SKRIPSI
OLEH
VINSENSIUS SELE
NPM 16.75.5984
MAUMERE
2020
ii
iii
iv
v
KATA PENGANTAR
Gereja dan kebudayaan adalah dua entitas yang berbeda namun saling
berkaitan satu dengan yang lainnya. Gereja tidak dapat hidup tanpa adanya
kebudayaan. Karena itu, Gereja harus bekerja sama dan berdialog dengan agama-
agama lain termasuk di dalamnya agama tradisional agar kehadiran Allah tersebut
menjadi jelas. Melalui kebudayaan atau juga agama tradisional, Allah
mewujudkan cinta ilahi-Nya kepada manusia dengan hadir dan berbicara melalui
budaya. Akan tetapi, pada awalnya Gereja cenderung hidup dalam pandangan
bahwa di luar Gereja tidak ada keselamatan. Gereja mengamini bahwa
keselamatan itu hanya datang dari dalam Gereja sendiri. Namun, kehadiran
Konsili Vatikan II membawa arah segar bagi Gereja.
Konsili Vatikan II lebih menekankan sikap keterbukaan Gereja untuk
menerima kebudayaan dan agama-agama lain. Sebab Gereja mengakui bahwa
keselamatan itu bersifat universal. Oleh karena keselamatan itu bersifat universal,
maka Allah memakai kebudayaan dan agama-agama lain untuk mewartakan karya
keselamatan kepada dunia. Hal ini bertolak dari pandangan bahwa di dalam
kebudayaan terdapat nilai-nilai yang mengatur kebaikan dan keutuhan hidup
manusia. Agar karya pewartaan itu sungguh membumi di kalangan masyarakat
budaya, maka para misionaris harus masuk dan bersatu dengan unsur-unsur
kebudayaan masyarakat setempat. Salah satu unsur kebudayaan yang ditampilkan
dalam tulisan ini ialah ritus yoye ngi’i. Ritus yoye ngi’i merupakan salah satu
bentuk kebudayaan yang dihidupi dan dipraktek oleh masyarakat Oja. Ritus yoye
ngi’i tersebut menjadi suatu perayaan penting berkaitan dengan siklus
perkembangan seorang anak gadis. Konsep dasar, makna dan tujuan ritus yoye
ngi’i tersebut memiliki kesamaan dengan Sakramen Krisma dalam Gereja Katolik
Bertolak dari dua realitas di atas, maka penulis hendak mengkaji dan
membandingkan persamaan dan perbedaan makna, konsep dan tujuan dari ritus
yoye ngi’i dan Sakramen Krisma sebagai sarana pendewasaan seseorang baik dari
pandangan budaya maupun Gereja. Di samping itu juga, melalui tulisan ini,
penulis hendak memberikan sumbangan kepada Gereja berupa tawaran untuk
inkulturasi ritus yoye ngi’i ke dalam Sakramen Krisma.
vi
Dalam menyelesaikan karya tulis ini, penulis menyadari bahwa ada begitu
banyak pihak yang bersedia memberikan sumbangan berupa pikiran dan tenaga.
Oleh karena itu, pada tempat ini penulis menghaturkan puji dan syukur kepada
Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan kebajikkanNya yang menuntun dan
membimbing penulis dalam menyelesaikan tulisan ini dengan baik guna
memenuhi sebagian syarat-syarat memperoleh gelar strata satu (S1) pada Sekolah
Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Selain itu, penulis juga mengucapkan limpah
terima kasih kepada: pertama, P. Dr. Aleksander Jebadu, SVD yang telah
meluangkan waktu dengan setia membimbing penulis dalam proses pengerjaan
skripsi ini.
Kedua, Rm. Dr. Yohanes Hans Monteiro, selaku penguji sekaligus
penanggung jawab yang telah memberikan kontribusi berupa pikiran dan tenaga
yang tentunya amat memberikan sumbangsih berarti bagi penyelesaian skripsi ini.
Ketiga, Rm. Dr. Philipus Ola Daen yang turut memberikan kontribusi dalam
penyelesaian dan pengesahaan skripsi ini. Keempat, kedua orangtua, bapak
Zakarias Yos Marsedo, Mama Helena Wunu, Kakak Agripa No’a, Apolonaris Do,
Sofia Ka’o, Yohanes Mai Riwu, adik Mariana Medi dan anak Felix De Valois Do
Lombo yang telah dengan berbagai cara mendukung proses penyelesaiaan skripsi
ini. Kelima, Diakon Yohanes Mai, SVD yang tak hentinya memberikan
sumbangan pikiran serta tenaga dalam mengedit skripsi ini, keenam, Konfrater
Seminari Tinggi Interdiosesan Santo Petrus Ritapiret, khususnya calon diakon Ces
Djo, Yandri Kolin dan rekan-rekan seangkatan yang telah banyak membantu
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Akhirnya, penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari
kesempurnaan. Karena itu, penulis sangat mengharapkan masukkan dan kritikan
yang konstruktif untuk menyempurnakan tulisan ini. Pada akhirnya penulis
berharap, agar tulisan ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Penulis
vii
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah........................................................................................ 7
1.3 Tujuan Penulisan ......................................................................................... 7
1.4 Metode Penulisan ......................................................................................... 8
1.5 Sistematika Penulisan .................................................................................. 8
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan................................................................................................. 99
5.2 Saran......................................................................................................... 102
5.2.1 Bagi Masyarakat Oja ............................................................................... 102
5.2.2 Bagi Lembaga Gereja .............................................................................. 102
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1
Fredi Sebho, Moral Samaritan (Dari Kenisah Menuju tepi Jalan) (Maumere: Ledalero,
2018), hlm. 20.
2
Ibid.,
2
dimensi sosial sekaligus dimensi spiritual dari manusia yang mana relasi ini
membimbing manusia menuju pemenuhan jati dirinya. Melalui kebudayaan,
seluruh kepribadian dan karakter seorang manusia sungguh diperlihatkan.3
Berbicara tentang kebudayaan, hal lain yang juga tidak pernah terlepas
darinya adalah peran dan intervensi agama. Pada prinsipnya yang dimaksudkan
dengan intervensi agama ialah kehadiran Tuhan dalam kehidupan riil. Ia hadir
secara nyata dan tegas dalam realitas kehidupan manusia yang ditunjukkan salah
satunya melalui kebudayaan. Kebudayaan menjadi instrumen dalam relasi dasar
Allah dan manusia. Allah sendirilah yang menciptakan dan berkerja dalam
kebudayaan. Hal senada juga ditegaskan oleh Eben Nuban Timo bahwa Allah
sudah lebih dahulu bekerja dalam budaya, sejarah dan agama suatu masyarakat,
betapa pun masyarakat itu sangat terisolir.4
Agama dan kebudayaan merupakan suatu bagian integral dari kehidupan
manusia. Agama dan kebudayaan turut berperan aktif dalam menciptakan dan
membimbing manusia dalam suatu pencarian makna kehidupan kodrati. Konsili
Vatikan II membuka pintu Gereja untuk mengakui keberagaman budaya dan
agama.5 Gereja Katolik sebelum Konsili Vatikan II hidup nyaman dalam
kurungan slogan Extra Ecclesiam Nulla Salus. Bertahun-tahun Gereja hidup
dalam bayangan kehidupan yang bersifat etnosentrisme. Gereja bergerak dalam
pemahaman yang keliru bahwa keselamatan hanya ada pada dirinya.
Pasca Konsili Vatikan II pandangan Gereja berubah. Sebagaimana yang
ditegaskan sebelumnya, Gereja mengakui adanya keberagaman budaya dan agama
lain. Agama dan kebudayaan lain memiliki karakteristik kepercayaan
tradisionalnya masing-masing, termasuk suku bangsa yang ada di pulau Flores,
Nusa Tenggara Timur. Sebelum agama-agama Barat masuk ke pulau Flores,
masyarakat Flores pada umumnya telah menganut agama tradisional mereka
masing-masing. Masyarakat Flores telah mengimani Tuhan (Yang Transenden)
yang dipercaya dalam agama tradisional mereka. Misalnya, masyarakat Sikka
3
Kondrad Kebung, Filsafat Berpikir Orang Timur (Indonesia, Cina dan India) (Jakarta:
Prestasi Pustaka, 2011), hlm. 243.
4
Eben Nuban Timo, Sidik Jari Allah dalam Budaya Upaya menjajaki Makna Allah
dalam Prangkat Budaya Suku-suku di Nusa Tenggara Timur (Maumere: Ledalero, 2007), hlm. V.
5
Christologus Dhogo, Su’i Uwi Ritus Budaya Ngadha dalam Perbandingan dengan
Perayaan Ekaristi (Maumere: Ledalero, 2009), hlm. 1.
3
menyapa Yang Transenden dengan nama Ina Ni’ang Tana wawa, Ama Lero
Wulang Reta, masyarakat Flores Timur mengenal-Nya dengan nama Lera Wulan
Tana Ekan, masyarakat Ende-Lio menggelari-Nya dengan Dua Nggae.
Lengkapnya disebut Dua Gheta Lulu Wula, Nggae Ghale Wena Tana atau juga
Nggae Dewa Gheta Lulu Bewa, masyarakat Ngadha dan Nage mengenal-Nya
dengan nama Dewa Zeta, Ga’e Zale, masyarakat Manggarai menyapa-Nya
dengan Mori Kraeng.6 Allah itu sesungguhnya telah hadir dan menetap bersama
mereka jauh lebih dahulu sebelum kedatangan para misionaris.7
Terlepas dari konsep Yang Transenden di atas, Gereja meyakini bahwa
kehadiran Yesus Kristus ke dalam dunia merupakan tanda manifestasi konsep
dialogal yang dibangun antar Allah dan manusia. Yesus datang dan
menyampaikan Sabda-Nya kepada dunia. Bersama para murid-Nya, Yesus
meninggalkan tugas dalam karya keselamatan. Para murid digambarkan secara
implisit sebagai Gereja. Karenanya Gereja menjadi instrumen dialog antara Allah
dan dunia yang dihidupi dan dijiwai oleh Yesus Kristus. Selanjutnya Gereja harus
bekerja sama dan berdialog dengan agama-agama lain termasuk di dalamnya
agama tradisional agar kehadiran Allah tersebut menjadi jelas. Melalui
kebudayaan atau juga agama tradisional, Allah mewujudkan cinta ilahi-Nya
kepada manusia dengan hadir dan berbicara melalui budaya. Konsili Vatikan II
dalam Dekrit tentang Kegiatan Misioner Gereja (Ad Gentes [AG]) nomor 22
menyebutkan bahwa:
Gereja-gereja itu meminjam adat istiadat dan tradisi-tradisi para
bangsanya, dari kebijaksanaan dan ajaran mereka, segala sesuatu, yang
dapat merupakan sumbangan untuk mengakui kemuliaan Sang Pencipta,
untuk memperjelas rahmat Sang Penebus dan untuk mengatur hidup
kristiani dengan saksama.8
Hal ini menegaskan bahwa Gereja Pasca Konsili Vatikan II mengakui dan
memberikan peran kepada masing-masing budaya untuk mewartakan karya
keselamatan bagi seluruh umat manusia. Konsep dasar atas keselamatan yang
hanya datang dari Gereja perlahan-lahan mulai menghilang dari realitas kehidupan
6
Stephanus Ozias Fernandezs, Kebijakan Manusia Nusa Tenggara Timur Dulu dan Kini
(Ende: Percetakan Arnoldus, 1990), hlm. 299-313
7
Ibid.,
8
Konsili Vatikan II, Dokumen Konsili Vatikan II, penerj. R. Hardawiryana (Jakarta:
Obor, 2008), hlm. 446.
4
umat beriman. Menjawabi proses interaksi antara agama dan budaya, penulis
mencoba menggali nilai-nilai, norma dan tata aturan yang ada dalam salah satu
kelompok masyarakat tradisional Flores yakni kelompok masyarakat Oja.9 Dalam
budaya masyarakat Oja ada ritus-ritus keagamaan yang lazim dilakukan misalnya
upacara potong rambut (guti fu) pada masa bayi dan kanak-kanak, upacara potong
gigi (yoye ngi’i) pada anak perempuan dalam masa peralihan menuju dewasa dan
upacara antar belis (tu ngawu). Rangkaian upacara di atas menjadi dasar
pemahaman mengenai kehidupan masyarakat Oja sebagai masyarakat budaya.
Hemat penulis interaksi yang terkandung dari kedua komponen tersebut
nampak dalam salah satu ritus kelompok masyarakat Oja yaitu ritus yoye ngi’i.10
Penulis berfokus pada aspek dan peranan Sakramen Krisma sebagai tanda
pendewasaan iman Kristiani yang berakar pada Yesus Kristus dan ritus yoye ngi’i
pada masyarakat Oja sebagai pengakuan akan kedewasaan seseorang dalam
keanggotaan masyarakat. Pada hakekatnya upacara Sakramen Krisma dan ritus
yoye ngi’i memiliki makna, tujuan dan peranan yang sama. Penulis juga hendak
menemukan dan mendeskripsikan konsep-konsep kedewasaan seorang individu
ditinjau dari kedua aspek tersebut serta menemukan adanya kemungkinan untuk
diinkulturasikan.
Upacara yoye ngi’i bertujuan mendewasakan seorang perempuan secara
adat dan sebagai syarat untuk mendapat hak dan kewajibannya sebagai anggota
masyarakat adat-budaya. Selain itu, tersirat dengan upacara tersebut seorang anak
perempuan dilantik atau diinisiasikan ke dalam anggota klan atau marga dan
menandai bahwa dirinya dianggap sudah dewasa. Dalam perkembangannya
setelah melewati masa bayi dan kanak-kanak, seorang anak perempuan Oja akan
terus bertumbuh dan berkembang menjadi lebih dewasa dan bertanggung jawab.
9
Oja merupakan salah satu wilayah yang berada di Desa Tendambepa, Kecamatan
Nangpanda, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur. Pada dasarnya wilayah Kabupaten Ende
memiliki tiga etnis besar, yaitu etnis Aku (Wolowaru, Nggela, Jopu, Detusoko dan Wolotopo),
etnis Ja’o (Ende dan sebagian wilayah Nangapanda) dan terakhir sebagian kecil menganut etnis
Nga’o (etnis ini meliputi daerah wilayah Nangapanda yang berbatasan langsung dengan kabupaten
Nagekeo).
10
Yoye ngi’i merupakan satu jenis kegiatan ritus yang ada di wilayah Oja. Secara
etimologis yoye ngi’i berasal dari dua kata berbeda. Yoye yang berarti potong dan Ngi’i yang
berarti gigi. Dengan ini maka yoye ngi’i dapat dimengerti sebagai suatu ritus wajib bagi kaum
wanita yang memasuki usia dewasa dengan meratakan gigi sebagai pendewasaan dari aspek
biologi dan aspek spiritual. Ritus ini membawa mereka bergabung bersama dalam struktur
kemasyarakatan budaya setempat.
5
Kendatipun demikian, peran dan pendampingan dari orangtua dan keluarga besar
terus diberikan kepada anak-anak terutama kepada anak perempuan. Bila
orangtua mengetahui bahwa anak perempuan tersebut sudah memasuki masa
menstruasi atau datang bulan maka orangtua dan keluarga besar saling
mengingatkan untuk melaksanakan upacara pendewasaan.11 Bila perembukan
orangtua bersama keluarga besar ada kesepakatan, maka akan dilakukan upacara
yoye ngi’i. Hal yang paling pertama yang dilakukan adalah mempersiapkan secara
matang keperluan-keperluan yang dibutuhkan dalam upacara tersebut baik dari
aspek finansial maupun materi.
Dalam proses pelaksanaannya, ritus yoye ngi’i dilakukan dengan
menggunakan batu asa. Agar dalam proses pelaksanaan upacara yoye ngi’i tidak
mengalami halangan seperti gusi luka dan sakit yang mengerikan, anak gadis yang
sudah berbaring di atas tikar dibantu oleh perempuan tua memasukan bo’a hoba12
ke dalam mulut anak gadis dan diselipkan kata mesi13 untuk digigit kuat-kuat oleh
anak gadis tersebut. Ritus yoye ngi’i dalam masyarakat Oja mempunyai dua sifat.
Pertama, upacara tersebut bersifat spiritual dan kedua, upacara tersebut bersifat
mistis atau magis.14 Berdasarkan kepercayaan dan keyakinan masyarakat Oja,
sebelum anak perempuan memasuki tahapan usia dewasa, ia harus terlebih dahulu
melalui proses upacara tersebut.
Ritus yoye ngi’i merupakan suatu kegiatan wajib yang dilaksanakan oleh
semua perempuan dalam kelompok masyarakat Oja. Ritus tersebut menegaskan
eksistensi kaum perempuan dalam keanggotaan masyarakat. Ritus ini dilakukan
untuk menandai seorang perempuan memasuki jenjang usia dewasa, suatu jenjang
kehidupan yang lebih baik dan lebih berkualitas. Masyarakat Oja percaya bahwa
apabila ada perempuan dari kelompok ini yang tidak mengikuti ritus tersebut, ia
akan mengalami hambatan-hambatan dalam keseharian hidupnya. Hambatan-
hambatan tersebut berupa terganggunya kesehatan, perilaku hidup menjadi kurang
normal, gangguan psikis dan perubahan pola hidupnya yang drastis.
11
Cyrilus Bau Engo, Budaya Nage: Perjalanan Hidup Orang Nage di Nagekeo (Ende:
Nusa Indah, 2016), hlm. 49.
12
Bo’a Hoba yaitu benang sisa kain tenun ikat yang dipotong saat akan menjahitnya
menjadi sarung.
13
Kata Mesi yaitu kayu dadap yang diraut sepanjang ukuran mulut.
14
Hasil wawancara dengan Zakharias Yos Marsedo, Tokoh Masyarakat dan Tokoh Adat
Oja, wawancara via telepon, pada tanggal 29 November 2018.
6
15
Georg Kirchberger, Allah Menggugat (Maumere: Ledalero, 2007), hlm. 496.
7
tujuan ritus yoye ngi’i sebagai pedewasaan kepribadian perempuan Oja dengan
Sakramen Krisma. Di samping itu, penulis juga memberikan tawaran dan
sumbangan kepada Gereja untuk diinkulturasikan ritus yoye ngi’i ke dalam
Sakramen Krisma.
Dalam karya tulis ini, penulis menggunakan metode studi kepustakaan dan
metode penelitian berupa wawancara. Dalam metode kepustakaan, penulis
menggali data dari buku-buku, dokumen-dokumen resmi Gereja dan artikel-
artikel yang berhubugan dengan tema ini. Sedangkan dalam metode wawancara,
penulis akan turun ke lapangan dan mewawancarai orang-orang yang
berkompeten dalam hal budaya. Umunya narasumber yang penulis wawancarai
adalah tokoh-tokoh adat dan orang-orang yang mengetahui secara jelas dan detail
selayang pandang tentang ritus yoye ngi’i sehingga dapat memberikan data-data
yang akurat.
Secara garis beras, tulisan ini terdiri atas lima bab. Adapun garis besar
tulisan ini adalah sebagai berikut:
Bab I berisi pendahuluan yang terdiri atas latar belakang, rumusan
masalah, tujuan yang hendak dicapai, metode yang digunakan, dan sistematika
penulisan.
Bab II berisi gambaran umum masyarakat Oja berupa keadaan geografis,
demografi, asal usul, stratifikasi, sistem kepercayaan dan sistem mata
pencaharian. Selain itu, penulis akan menguraikan konsep ritus yoye ngi’i dalam
masyarakat Oja yang mencakup selayang pandang ritus yoye ngi’i, terminologi,
tahap-tahap persiapan dan pelaksanaannya, pihak-pihak yang terkait dan yang
bertanggungjawab, unsur-unsur dan simbol serta ritus yoye ngi’i sebagai tahap
pendewasaan diri seseorang dalam masyarakat.
Bab III berisi pembahasan tentang Sakramen Krisma yang meliputi
pengertian, sejarah terbentuknya Sakramen Krisma, persyaratan-persyaratan
dalam Sakramen Krisma, pihak-pihak yang terlibat, pihak-pihak yang
bertanggung jawab, makna dan tujuan, unsur-unsur dan simbol, tahapan-tahapan
pelaksanaan Sakramen Krisma dan liturgi Sakramen Krisma.
Bab IV sebagai bab inti dari tulisan ini, penulis akan mengemukakan dan
membuat perbandingan antara ritus yoye ngi’i pada masyarakat Oja dengan
Sakramen Krisma. Di samping itu, penulis berusaha memberikan sumbangan
9
kepada Gereja bahwa ada kemungkinan ritus yoye ngi’i diinkulturasikan ke dalam
Sakramen Krisma,
Bab V, merupakan bab penutup yang terdiri atas kesimpulan dan saran.
10
BAB II
Pada bagian ini, penulis akan membahas tentang keadaan kampung dan
kebudayaan Oja. Budaya yang akan digeluti oleh penulis adalah ritus yoye ngi’i.
Ritus yoye ngi’i merupakan sebuah sarana inisiasi pendewasaan seseorang secara
adat dan menerima atau mengukuhkan secara resmi seorang anak gadis sebagai
anggota masyarakat adat. Proses pelaksanaan upacara ini ialah dengan meratakan,
menggosok atau memotong gigi seorang anak gadis dengan menggunakan batu
asa. Locus utama penelitian penulis adalah wilayah Kecamatan Nangapanda,
khususnya di Desa Tendambepa. Oleh karena kebudayaan merupakan warisan
leluhur yang diyakini sebagai agama tradisional, maka ritus ini mengungkapkan
religiositas masyarakat Oja kepada Wujud Tertinggi. Sebelum memahami nilai-
nilai religiositas pada ritus yoye ngi’i, terlebih dahulu dipaparkan gambaran
keadaan wilayah Oja dan apa itu ritus yoye ngi’i.
16
Hasil wawancara dengan Sebastianus Sabar Susa, Tokoh Masyarakat dan Tokoh Adat
Oja, pada 29 Desember 2019 di Oja.
11
dengan sendirinya suku Sago ada di dalamnya. Berdasarkan tradisi lisan, orang
pertama yang mendiami kampung Oja One adalah Nenek Weru dan anak-
anaknya. Pemberian nama Oja One dilatarbelakangi oleh keadaan alam dan
lingkungan di sekitarnya. Pada dasarnya nama kampung Oja diambil dari nama
pohon kayu Oja karena di sekitar perkampungan Oja One terdapat banyak pohon
kayu Oja. Sedangkan One yang secara harafiah artinya “di dalam” hendak
menggambarkan bahwa kampung tersebut berada di pedalaman. Hal ini
disebabkan oleh ekspansi Bangsa Belanda dan Jepang ke seluruh wilayah
Nusantara. Guna menghindari pengejaran dan penganiayaan para penjajah
tersebut, maka sebagian masyarakat cenderung tinggal di pedalaman.17
Perkembangan dan kemajuan arus zaman menuntut pembaharuan sehingga
pertambahan populasi yang mendiami kampung Oja One pun meningkat. Di
samping itu pula ada program pembukaan jalan jurusan Pu’ukungu sampai ke
wilayah Ma’ukaro dari pemerintah Kapitan masa lalu dan kapasitas air yang tidak
mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehingga mengakibatkan sebagian
besar dari anak-anak Nenek Weru memutuskan untuk berpindah ke Teo Bea,
Tuya, Oda, Muku Watu, Dugo dan Wolo Waru.18
Akibat perpindahan ke pemukiman baru tersebut, populasi masyarakat
yang mendiami kampung Teo Bea, Tuya, Oda, Muku Watu, Dugo dan Wolo
Waru meningkat. Orang-orang pertama yang mendiami kampung-kampung
tersebut adalah rumpun keluarga Sele, Wawo Dei, Dale Dei Rege Watu dan
Simba Ngita serta beberapa keluarga kecil lainnya.19 Agar nama kampung lama,
yaitu Oja One tidak dilupakan begitu saja, maka para anggota masyarakat yang
mendiami kampung-kampung kecil di sekitar jalan raya memutuskan untuk
menyatukan semua kampung-kampung kecil tersebut dengan sebutan Oja. Sejak
saat itu sampai sekarang kebanyakan masyarakat luas menyebut kampung-
kampung kecil tersebut dengan nama kampung Oja.
17
Hasil wawancara dengan Sebastianus Sabar Susa, Tokoh Masyarakat dan Tokoh Adat
Oja, pada 29 Desember 2019 di Oja.
18
Hasil wawancara dengan Sebastianus Sabar Susa, Tokoh Masyarakat dan Tokoh Adat
Oja, pada 29 Desember 2019 di Oja.
19
Kantor Desa Tendambepa, ”Sejarah Desa Tendambepa”, dalam Rencana
Pembangunan Jangka Panjang dan Menengah Desa Tendambepa Periode 2020-2025. Data
diambil pada 10 Januari 2020.
12
20
Kantor Desa Tendambepa, ”Sejarah Desa Tendambepa”, dalam Rencana
Pembangunan Jangka Panjang dan Menengah Desa Tendambepa Periode 2020-2025. Data
diambil pada 10 Januari 2020.
21
Hasil wawancara dengan Kanisius Durben, Kepala Desa Tendambepa, pada tanggal 09
Januari 2020, di Oja
13
kemarau pun jumlah bulannya sama yaitu 6 bulan dari bulan Mei sampai awal
bulan Oktober. Suhu rata-rata Desa Tendambepa adalah 30 derajat celcius dan
tingkat kelembapan mencapai 37 derajat celcius.22
Wilayah Oja memiliki curah hujan yang cukup tinggi. Hal ini pun turut
mempengaruhi tingkat kesuburan tanah. Wilayah Desa Tendambepa sebagian
besarnya dipadati oleh tanah humus (topsoil). Tingkat kesuburan yang tinggi
berdampak pada situasi kehidupan masyarakat Desa Tendambepa. Mayoritas
masyarakat Tendambepa adalah masyarakat agraris karena mereka melakukan
sebagian besar aktivitas kehidupannya sebagai petani.
Keadaan topografi wilayah Oja berupa pegunungan dan berbukit-bukit.
Keadaan tanah amat cocok untuk kegiatan pertanian dan perkebunan. Hal ini
disebabkan oleh tingkat kesuburan tanah yang cukup tinggi. Akibatnya pelbagai
jenis tanaman dapat bertahan hidup dan memberikan hasil panenan yang
memuaskan. Tanaman-tanaman yang tumbuh di daerah ini terdiri atas dua jenis,
yaitu tanaman jangka panjang dan tanaman jangka pendek. Jenis tanaman jangka
panjang berupa cengkeh, kakao, kopi, vanili, kemiri, kelapa, mangga dan pisang.
Sedangkan jenis tanaman jangka pendek berupa padi, jagung, ubi-ubian, nanas
dan lainnya sebagainya.23
22
Kantor Desa Tendambepa, ”Keadaan Topografi Desa Tendambepa”, dalam Rencana
Pembangunan Jangka Panjang dan Menengah Desa Tendambepa Periode 2020-2025. Data
diambil pada 10 Januari 2020.
23
Kantor Desa Tendambepa, ”Keadaan Topografi Desa Tendambepa” ibid.,
24
Koentajaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Aksara Baru, 1980), hlm.
144.
14
25
Ibid., hlm. 138.
26
Hasil wawancara dengan Zakarian Yos Marsedo, Tokoh Masyarakat dan Tokoh Adat
Oja, pada 28 Desember 2019 di Oja.
27
Hasil wawancara dengan Kanisius Durben, Kepala Desa Tendambepa, pada 09 Januari
2020 di Oja.
28
Hasil wawancara dengan Robertus Roga, Kepala Suku Asa, pada 03 Januari 2020
15
tersebut kaum perempuan berjumlah 544 jiwa. Sedangkan pria sebanyak 414 jiwa
dengan 165 kepala keluarga.29
Manusia merupakan ciptaan Tuhan yang paling luhur dan mulia. Manusia
selalu bertindak dengan akal budi, berbeda dengan makhluk infrahuman yang
bertindak atas dasar naluri. Oleh karena itu, hidup manusia berlangsung di tengah-
tengah arus proses-proses kehidupan (imanensi), tetapi selalu juga muncul dari
arus alam raya itu untuk menilai alamnya sendiri dan mengubahnya
(transendensi).30 Proses imanensi dan transendensi merupakan bagian integral dari
kehidupan manusia. Manusia selalu mengarahkan diri kepada sesuatu yang
transendental.
Keterarahan hidup manusia pada sesuatu yang transendental pada
prinsipnya tidak pernah terlepas dari aspek kebudayaan. Masyarakat primitif
memiliki kepercayaan tersendiri akan suatu kekuatan yang melampaui kekuatan
dan daya manusia. Kepercayaan manusia primitif pertama dan utama adalah mitos
karena baginya mitos mempunyai kekuatan gaib tersendiri. Menurut anggapan
manusia primitif mitos berfungsi sebagai pengantara antara manusia dan daya-
daya kekuatan alam. Mitos memberikan keterangan tentang terjadinya dunia,
hubungan antara dewa-dewa dan asal mula kejahatan.31
Andrew Lang seorang ahli antropologi sering menemukan tokoh yang oleh
suku bangsa yang bersangkutan dianggap sebagai dewa tertinggi, pencipta seluruh
alam semesta beserta isinya, penjaga ketertiban alam dan kesusilaan.32 Seluruh
aktivitas kebudayaan manusia berupa mitos tersebut amat berkaitan erat dengan
kekuatan alam gaib (kekuatan transenden).
29
Kantor Desa Tendambepa, ”Keadaan Demografi Desa Tendambepa”, dalam Rencana
Pembangunan Jangka Panjang dan Menengah Desa Tendambepa Periode 2020-2025. Data
diambil pada 10 Januari 2020.
30
C. A. Van Peursen, Strategi Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius, 1976), hlm. 14.
31
Ibid., hlm. 41.
32
Dikutip dalam Koentjaraningrat, Ritus Peralihan di Indonesia (Jakarta: PN Balai
Pustaka, 1985), hlm. 15.
16
33
Hasil wawancara dengan Sebastianus sabar Susa, Tokoh masyarakat dan Tokoh Adat
Oja, tanggal 29 Desember 2019 di Oja.
34
Hasil wawancara dengan Sebastianus sabar Susa, Tokoh Masyarakat dan Tokoh Adat
Oja, tanggal 29 Desember 2019 di Oja.
35
Paul Arndt, Agama Orang Ngada: Roh-Roh Manusia dan Dunia (Maumere:
Candraditya, 2005), hlm. 12.
36
Ibid., hlm. 19.
17
37
Bernard S. Hayon, “Ritus Hode Ilu dalam Masyarakat Lewoingu: Antara Tindakan
Supestisi dan Realitas Numinus”, dalam Jurnal Ledalero Religiositas Populer Vol. 10. No. 02.
Desember 2011. hlm. 198.
38
Hasil wawancara dengan Robertus Roga, Kepala Suku Asa, tanggal 03 Januari 2020 di
Oja.
39
Koentjaraningrat, op. cit., hlm. 13.
40
Hasil wawancara dengan Philipus Lando, Tokoh Masyarakat dan Tokoh Adat Oja,
tanggal 30 Desember 2019 di Oja.
18
Tylor tidak disebut soul atau jiwa lagi, tetapi spirit atau makhluk halus.41 Oleh
sebab itu setiap anak cucunya harus menunjukkan sikap yang pantas kepada para
leluhurnya kendati fakta menampilkan bahwa tubuhnya telah menjadi tanah. Akan
tetapi roh atau jiwa mereka terus hidup bersama anggota keluarga lainnya.42
Bahwasannya para leluhur senantiasa hidup bersama anggota maka anggota
keluarga yang masih hidup seyogianya membuat pemuja atau penghormatan
kepada leluhur.
Pemujaan terhadap leluhur adalah salah satu bagian penting dari kegiatan
budaya masyarakat Oja. Pemujaan tersebut menjadi ciri khas, kebiasaan dan
menampilkan identitas masyarakat setempat. Pemujaan terhadap leluhur lazimnya
dilakukan oleh masyarakat Oja dalam bentuk pemberian sesajian berupa tu pa’a.
Tu pa’a merupakan kegiatan pemberian makan dan minum kepada nenek moyang
yang telah meninggal. Akibatnya tu pa’a menjadi satu kegiatan rutin masyarakat
Oja dalam setiap kegiatan budaya.
Sebelum memulai kegiatan budaya hendaknya terlebih dahulu
memberikan makanan dan minuman kepada nenek moyang (tedha ka ti’i ebu
kajo). Masyarakat Oja yakin dan percaya bahwa melalui sesajian ini para leluhur
datang menghadiri dan ikut campur tangan dalam setiap kegiatan yang
dilakukannya. Selain itu pula, anggota masyarakat Oja juga meminta penyatuan
diri dari leluhur terhadap kegiatan yang akan mereka lakukan agar memberkati
seluruh proses kegiatan tersebut hingga selesai. Hal ini dimaksudkan agar segala
bahaya yang tidak diinginkan dapat dihindari.43
Masyarakat Oja hingga sekarang masih memegang teguh keyakinan
tradisional akan kekuatan magis dan peran serta leluhur. Sebab sebelum agama
Kristen masuk ke wilayah Oja, para tetua adat atau orang tua selalu memberikan
sesajian kepada leluhur dan nitu. Akan tetapi, secara perlahan mereka mulai
beradaptasi terhadap akulturasi kebudayaan Kristen. Dalam keseharian,
masyarakat Oja tekun mengikuti ajaran-ajaran Kristiani sembari tidak
mengeliminasikan sama sekali kepercayaan asli mereka. Ajaran-ajaran Kristen
41
Koenjaraningrat, loc cit.
42
Hasil wawancara dengan Robertus Roga, Kepala Suku Asa, tanggal 03 Januari 2020 di
Oja.
43
Hasil wawancara dengan Robertus Roga, Kepala Suku Asa, tanggal 03 Januari 2020 di
Oja.
19
2.5.1 Bertani
44
Koentjaraningrat, op. cit., hlm. 270.
45
Hasil wawancara dengan Bernadus Nenga, Tokoh masyarakat dan tokoh adat Oja,
tanggal 05 Januari 2020 di Oja.
46
Hasil wawancara dengan Paulinus Poa Mai, Guru, tanggal 06 januari 2020 di Oja.
47
Papa woe merupakan salah satu sistem kerja sama yang dianut oleh masyarakat Oja.
Sistem ini menggambarkan setiap pribadi individu berkumpul dan membentuk suatu komuntias
atau kelompok. Pembentukan komunitas tersebut atas asas kebersamaan dengan tujuan membantu
sesama anggota komunitas yang membutuhkan pekerjaan. Mekanisme pekerjaannya beruapa
setiap anggota kelompok mendapatkan jatah kunjungan dari anggota lainnya dalam kelompok
tersebut. Jatah kunjungan unutk satu anggota hanya berlaku satu kali dalam satu putaran hingga
semua anggota mendapatkan jatah kunjungan.
20
2.5.2 Pegawai
Data statistik desa mencatat bahwa sebagian dari penduduk Oja berprofesi
sebagai pegawai antara lain sebagai guru TK, SD, SMA, Mentri dan Bidan.
Mayoritas mereka merupakan penduduk asli Oja dan sebagiannya pendatang.48
2.5.3 Pengusaha
48
Kantor Desa Tendambepa, ”Mata Pencarian Desa Tendambepa”, dalam Rencana
Pembangunan Jangka Panjang dan Menengah Desa Tendambepa Periode 2020-2025. Data
diambil pada 10 Januari 2020.
21
49
Dikutip dalam Ansel Dore Dae, ”Manusia dan Kebudayaan Indonesia” (ms.), STFK
Ledalero, 2005, hlm. 27.
50
F. A. E. Van Wouden, Klen, Mitos dan Kekuasaan: Struktur Sosial Indonesia Bagian
Timur (Jakarta: Grafiti Pres, 1985), hlm. 18.
51
Paul Budi Kleden, “Secerca Sinar Surya”, dalam Jurnal Ledalero Gender dan
Persoalannya Vol. 03. No. 01. Juni 2004.hlm. 3.
22
Setiap kebudayaan memiliki kebiasaan, tata aturan, norma dan hukum adat
sendiri yang mengatur di mana seorang individu yang sudah menikah akan
52
Hasil wawancara dengan Zakarias Yos Marsedo, Tokoh Masyarakat dan Tokoh Adat
Oja, tanggal 28 Desember 2019 di Oja.
53
Hasil wawancara dengan Zakarias Yos Marsedo, Tokoh Masyarakat dan Tokoh Adat
Oja, tanggal 28 Desember 2019 di Oja.
54
Hasil wawancara dengan Bernadus Nenga, Tokoh Masyarakat dan Tokoh Adat Oja,
tanggal 05 Januari 2020 di Oja.
23
tinggal. Lazimnya ada tiga pola pengaturan tempat tinggal bagi pasangan yang
baru menikah. Ketiga pola tersebut antara lain patrilokal, matrilokal dan neolokal.
Pada prinsipnya kebudayaan Oja menganut pola patrilokal. Pola patrilokal adalah
suatu pola pengaturan tempat tinggal di mana pasangan yang baru menikah akan
tinggal dan menetap dengan keluarga suami atau berdekatan dengan lingkungan
keluarga suami.55
Namun, seiring dengan perkembangan dan kemajuan zaman, evolusi atau
pembaruan kebudayaan, perkawinan dan pekerjaan (mata pencarian), maka
masyarakat Oja juga menganut dua pola pengaturan tempat tinggal bagi setiap
anggota masyarakat setempat.56 Pertama, pola matrilokal. Pola ini menerapkan
sistem pengaturan tempat tinggal di mana seseorang yang baru menikah tinggal
dengan keluarga istrinya. Kedua, pola neolokal. Pola pengaturan tempat tinggal di
mana pasangan yang baru nikah memilih untuk tinggal di tempat baru dan jauh
dari keluarga suami maupun istri.
55
Bernard Raho, Pengantar Sosiologi (Maumere: Penerbit Ledalero, 2014), hlm. 265.
56
Hasil wawancara dengan Zakarias Yos Marsedo, Tokoh Masyarakat dan Tokoh Adat
Oja, tanggal 28 Desember 2019 di Oja.
57
Erik H. Erikson, Jati Diri, Kebudayaan dan Sejarah Pemahaman dan Tanggung Jawab
(Maumere: LPBAJ, 2001), hlm.218.
24
2.7.1 Terminologi
Yoye ngi’i berasal dari kata bahasa Oja yang terdiri atas dua kata yaitu
yoye yang berarti potong dan ngi’i yang berarti gigi. Dengan demikian, ritus yoye
ngi’i merupakan suatu rangkaian upacara pendewasaan seorang anak perempuan
secara adat pada masyarakat Oja. Upacara pendewasaan ini ditandai dengan
memotong, menggosok atau meratakan gigi seoarang anak gadis. Ritus tersebut
lazimnya dilaksanakan dengan proses meratakan gigi pada setiap anak perempuan
yang dianggap telah mencapai umur dewasa. Ritus yoye ngi’i merupakan suatu
proses atau upacara yang wajib dilaksanakan oleh kaum wanita yang memasuki
usia dewasa.
Substansi dari ritus ini sesungguhnya mengafirmasi kaum perempuan
untuk diterima dan bergabung bersama dalam struktur masyarakat budaya Oja.
Pada zaman dahulu proses meratakan, menggosok atau memotong gigi ini
menggunakan pisau kikir, tetapi pada saat sekarang pisau kikir ini sudah tidak
digunakan lagi karena mudah berkarat apabila tidak disimpan dengan baik. Pisau
kikir yang sudah berkarat ini tidak boleh digunakan lagi karena berbahaya bagi
kesehatan. Oleh karena itu, saat ini mereka sering menggunakan batu asa sebagai
alat untuk memotong, menggosok dan meratakan gigi seoarang anak gadis.
Ritus yoye ngi’i dalam kebudayaan Oja memiliki makna dan tujuan yang
bersifat tetap dan mengikat.58 Jika ada kesalahan dalam pelaksanaan ritus ini
maka akan terjadi pelbagai masalah yang akan dihadapi pada saat upacara sedang
berlangsung dan di kemudian hari.
Makna dan tujuan ritus yoye ngi’i pada kebudayaan Oja dilukiskan sebagai
berikut. Pertama usu tubu koyo dombo.59 Konsep ini menunjukkan bahwa anak
gadis sebelum memasuki masa pubertas harus terlebih dahulu dilakukan proses
peralihan berupa upacara potong gigi. Upacara potong gigi ini lazimnya dilakukan
58
Hasil wawancara dengan Zakarias Yos marsedo, Tokoh Masyarakat dan Tokoh Adat
Oja, tanggal 28 Desember 2019 di Oja.
59
Usu berarti gigi; tubu berarti tumpul; koyo berarti mengikis atau meratakan dan dombo
berarti ujung. Lengkapnya konsep usu tubu koyo dombo berarti gigi anak gadis mulai tinggi, oleh
karena itu ujung gigi dari anak gadis tersebut harus diratakan melalui upacara atau ritus yoye ngi’i.
Ritus ini merupakan salah satu sarana inisiasi anak gadis ke dalam budaya Oja
25
60
Pake berarti mengenakan atau memakai; keto berarti sarung adat khusus perempuan;
ne’e berarti dan; kondo berarti baju adat untuk perempuan. Dengan demikian konsep ini berarti
anak gadis yang hendak dipotong giginya harus mengenakan sarung dan baju Ende sebagai busana
resmi dalam upacara potong gigi. Tampilan busana seperti ini menandakan bahwa dia bukan lagi
sebagai anak-anak, tetapi sudah menjadi seorag anak gadis dewasa secara adat.
61
Hasil wawancara dengan Bernadus Nenga, Tokoh Masyarakat dan Tokoh Adat Oja,
tanggal 05 Januari 2020 di Oja.
62
Pati/dhoga berarti memberikan; weti berarti sirih dan pinang; dheya memiliki
kesamaan makna dengan pati/dhoga; bako berarti rokok. Secara lebih luas arti dari frasa tersebut
ialah seorang anak gadis yang sudah melaksanakan upacara potong gigi tersebut secara resmi
memiliki hak dan berkewajiban untuk makan makanan tradisional dan dapat memberikan sirih
pinang kepada perempuan dewasa dan ibu-ibu serta melayani rokok kepada laki-laki. Namun,
dalam suatu upacara adat melayani rokok lebih dikhususkan untuk seorang laki-laki dewasa.
Dengan demikian, di sini menjadi jelas dikotomi dari tugas dan peran seorang anak gadis dan laki-
laki dewasa. Di sisi lain ia juga sudah layak untuk melayani banyak orang tanpa kecuali.
26
63
Hasil wawancara dengan Robertus Roga, Kepala Suku Asa, tanggal 03 Januari 2020 di
Oja.
64
Hasil wawancara dengan Sebastianus Sabar Susa, Tokoh Masyarakat dan Tokoh Adat
Oja, tanggal 29 Desember 2019 di Oja.
65
Hasil wawancara dengan Sebastianus Sabar Susa, Tokoh Masyarakat dan Tokoh Adat
Oja, tanggal 29 Desember 2019 di Oja.
66
Erik H. Erikson, op. cit., hlm. 229.
27
melakukan upacara potong gigi, maka tanda khusus yang dipakai oleh mereka
ialah tanda-tanda perubahan tubuh bilogis anak gadis seperti menstruasi.
Keempat mbana ma’e punggu67 dalam arti bahwa anak gadis yang akan
dipotong giginya sewaktu berjalan tidak boleh terantuk. Apabila ia terantuk maka
hal itu disebut piye (pemali, haram) dan itu tidak baik bagi kesakralan suatu
upacara potong gigi. Karena itu, ketika seorang anak gadis berjalan hendaknya ia
hati-hati agar tidak terantuk.
Kelima seorang anak gadis seharusnya belum terikat oleh sebuah
perkawinan dengan seorang pemuda. Maksudnya dia belum hidup dengan seorang
laki-laki dan melakukan hubungan sebagai suami istri. Apabila dia sudah
melakukannya, maka sebelum acara inti hendaknya perempuan tersebut terlebih
dahulu mengakui perbuatannya sehingga dilakukan pemurnian kembali sehingga
dalam pelaksanaan acara tersebut tidak mengalami banyak rintangan.
Ada banyak elemen yang berpartisipasi dalam ritus atau upacara yoye
ngi’i. Elemen-elemen tersebut diantaranya adalah sebagai berikut.
1. Anak Gadis (Ana Mbu’e)
Anak gadis (ana mbue) yang dimaksudkan adalah yang berusia
antara 11-15 tahun dan giginya belum dipotong. Dalam usia ini seorang
anak akan mengalami masa peralihan dari anak-anak ke remaja. Dia
menjadi tokoh sentral sebab acara ini dikhususkan baginya untuk
mendewasakannya secara adat.
adalah mereka yang sudah melalui upacara potong gigi tersebut. Mereka
hadir untuk mendampingi anak perempuan yang hendak dipotong
giginya. Dalam hari-hari sebelum upacara hingga upacara dilaksanakan,
mereka selalu menemaninya.
6. Masyarakat
Keberadaan dan kehadiran masyarakat (ata mboa= pu’u udu
dhu eko) dalam upacara tersebut bertujuan untuk menyaksikan dan secara
simbolik menerima anak perempuan yang baru dipotong giginya ke dalam
anggota budaya dan komunitas masyarakat. Di samping itu, setelah anak
gadis melakukan upacara yoye ngi’i, dia memberikan siri, pinang dan
rokok (weti bako) untuk orang kampung. Hal ini menggambarkan anak
perempuan tersebut mulai melatih diri untuk melayani orang lain bukan
hanya anggota keluarga dan dirinya sendiri.
Pada zaman dulu masyarakat Oja sering menggunakan sa’o todo (rumah
panggung) untuk upacara potong gigi. Namun, pada zaman sekarang rumah
kolong tersebut sudah tidak ada sehingga dilakukan upacara potong gigi di rumah.
Pada dasarnya bukan rumah orangtua anak gadis, melainkan rumah tetangga
terdekat.
Apabila upacara potong gigi dilaksanakan di rumah orangtua, maka ia
disebut piye (pemali). Rumah orangtua hanya digunakan untuk yegho doka
(duduk adat). Ia dihuni oleh keluarga inti anak gadis, keluarga om, dan orang
kampung. Sedangkan anak gadis tersebut telah diungsikan ke rumah tetangga dua
hari sebelum hari upacara inti potong gigi berlangsung.68
Waktu pelaksanaan biasanya pada pagi hari sekitar jam 7 sampai jam 9.
Dengan demikian upacara potong gigi seharusnya dilakukan sebelum jam 10.
Apabila upacara tersebut dilakukan di atas jam 10 maka disebut piye (pemali). Hal
ini tidak baik untuk upacara adat (yoye ngi’i). Sebab tujuan dasar dari upacara ini
68
Hasil wawancara dengan Zakarias Yos marsedo, Tokoh Masyarakat dan Tokoh Adat
Oja, tanggal 28 Desember 2019 di Oja.
30
adalah memberikan kesehatan kepada anak gadis baik dari aspek budaya maupun
aspek sosial kemasyarakatan.69
Pelaksanaan ritus yoye ngi’i memiliki tahapan persiapan, inti, dan penutup.
Pada tahap persiapan ini ada beberapa langkah yang harus dilakukan.
1. Tahap pertama, mbe’o kombe; kombe lima esa/tera esa. Pada
tahap ini orangtua dan saudara-saudari anak gadis merencanakan
waktu pelaksanaan upacara potong gigi. Perencanaan ini dilakukan
dalam rumah bersama keluarga inti saja. Biasanya waktu
perencanaan enam hari atau tujuh hari sebelum acara inti. Di
samping merencanakan waktu yang tepat untuk upacara potong
gigi, orangtua bersama keluarga hendaknya menyiapkan makanan
dan minuman. Makanan dan minuman tersebut digunakan untuk
memberi makan dam minum kepada orang banyak yang datang
menghadiri upacara potong gigi.
2. Tahap kedua, tonda ta ebu ta’u neno pi pela, nio yu’i manu moka.
Setelah merencanakan waktu yang cocok untuk upacara potong
gigi, maka orangtua memberitahu pihak om sebagai ebu ta’u.
Tahap ini dimaksudkan agar memberikan informasi kepada pihak
om waktu pelaksanaannya. Secara kebudayaan, sesudah pihak
orangtua menginformasikan, maka om harus menyiapkan pakaian
adat untuk anak gadis, ayam betina, kelapa, satu ekor babi, tikar,
bantal, pisang dan kue cucur.
3. Tahap ketiga, sodh’o mbo’a. Pada tahap ini, orangtua dan keluarga
bersepakat mengutus salah satu dari mereka untuk mengundang
orang sekampung. Pada dasarnya undangan tersebut bersifat
verbal. Tidak dianjurkan untuk membuat undangan dalam bentuk
tulisan.
69
Hasil wawancara dengan Zakarias Yos marsedo, Tokoh Masyarakat dan Tokoh Adat
Oja, tanggal 28 Desember 2019 di Oja.
31
4. Tahap keempat, mbunggu wunu eya, mece, wuki, yu’i yembu ne’e
fi’i yembu70 (kayu kesambi). Pada siang hari sebelum tahap kombe
tama orang-orang yang telah dipercayai pergi mencari bahan-
bahan seperti wunu yi’a, wunu eya, mece, wuki, yu’i yembu ne’e
fi’i yembu. Bahan-bahan hutan ini akan digunakan sebagai ramuan
untuk merendam batu asa (dhali). Pada malam hari sebelum hari
pelaksanaannya, ramuan tersebut biasanya diletakkan dekat anak
gadis dengan maksud agar sarana yang akan digunakan dalam
acara potong gigi dapat menyatu dengan anak gadis tersebut.
5. Tahap kelima, kombe tama. Pada tahap ini pihak keluarga om (ebu
ta’u) dan orang kampung datang ke rumah orangtua anak gadis.
Biasanya pihak om datang pada waktu sore menjelang malam.
Setiba di rumah orangtua, om menyapa orang-orang yang ada di
dalam rumah (bhenggo sia todo sa’o). Bhenggo sia todo sa’o
merupakan sapaan yang paling sederhana untuk menyapa semua
anggota keluarga yang ada di dalam rumah tersebut, kemudian
orang-orang dalam rumah mempersilahkan om dan keluarga
lainnya masuk ke dalam rumah. Pada malam hari, tanta
menyerahkan pakaian adat kepada orangtua dan anak gadis dan
om memberikan doa adat sembari melakukan tahapan wesa/poke
ngi’i dako. Wesa/poke ngi’i dako merupakan tindakan
melemparkan bulir-bulir beras kepada hewan korban (babi) yang
akan disembelih. Proses pelemparan bulir-bulir beras tersebut
melambangkan sebuah bentuk permohonan kepada tiga unsur
kehidupan (Wujut Tertinggi, nenek moyang dan nitu) agar
memberkati upacara potong gigi. Hal ini dilakukan pada tahap
awal sebelum memasuki upacara inti potong gigi. Doa adat
tersebut yang bunyinya sebagai berikut:
Pasi gaci kowa ngowa wesa yea
O Dewa ne’e baba, ine, ebu, kajo ndia nga’o na mai make, nga’o
oa one miu susu nggua ana nama fau koo embu. Nga’o oa one miu
70
Mbunggu wunu eya, mece, wuki, yu’i yembu ne’e fi’i yembu merupakan jenis tanaman
tradisional masyarakat Oja dan belum memiliki nama ilmiah.
32
baba, ine, ebu kajo ta anggu watu wena tana ghila yi’a, meno
modhe. Ti’i imu tembo yi’a, pati imu lo pawe. Ti’i imu dhadhi ana
woso, pati imu embu kapa. Ti’i imu kema nggena, pati imu ghawo
ngala. Ti’i imu poto mbo’o pati imu tengge meka. Ti’i imu peni
mbi bhili sili wio, pati imu peni mbeka bhili ika yili lema. Ndia
nga’o oa one miu ghila yi’a meno modhe, ti’i imu to’o mbe’o, pati
imu yegho nggena. Tti’i imu kuku wu pati imu dhodo yilo. To’o
nggole wolo komba ma’e so, sai ta so komba, O Nggae,,,,, Kau
yoti komba ta imu so. Ke imu langga lowo fata ma’e papa. Kau tei
sai ta papa fata, O Dewa,,,, Kau nggete sai fata ta imu papa. Ti’i
imu mbana yada yi’a loya nete noa. Ti’i imu mbupu dhu, mbupu
dhugu rugu. Pati imu tembo waja dhu dhaga raga. Ti’i imu eko
tembu, pati imu yinga yaya.71
Terjemahan:
Do’a adat disertai dengan sarana berupa ngi’i dako.
O Dewa dan para leluhur, kini saya sudah datang, saya meminta
kepadamu Dewa dan leluhur sertailah upacara adat potong gigi ini.
Saya meminta kepadamu leluhurku yang sekarang sudah berada di
bawah tanah dan batu lihatlah baik-baik anak cucumu ini (sebut
nama anak gadis). Berilah dia jiwa dan badan yang sehat dan
melahirkan anak dan cucu yang banyak. Berilah dan sertailah
segala usaha dan pekerjaan agar sukses dan berhasil selalu. Berilah
dia makanan yang secukupnya untuk kebutuhan hidupnya. Berilah
dia kemampuan untuk memelihara binatang agar berkembang
seperti burung tekukur dan ikan di laut yang dalam. Di sini saya
meminta kepadamu lihatlah dan perhatikanlah dia baik-baik.
Berilah dia sikap bangun dan duduk yang baik. Berilah dia juga
tubuh yang kuat. Apabila dia melewati bukit janganlah tali-tali
hutan menghalanginya. Jika ada orang yang sengaja menghalangi
perjalanannya dengan tali-tali hutan tersebut, O Dewa,,,, Kau
71
Hasil wawancara dengan zakarias Yos Marsedo, Tokoh Masyarakat dan Tokoh Adat
Oja, tanggal 28 Desember 2019 di Oja.
33
putuskan tali hutan yang orang halangi ini dan jika dia hendak
menyeberang kali dan ada kayu besar yang menghalangi, O
Dewa,,,, Kau potonglah kayu itu agar dia dapat melewatinya.
Berilah selalu dia jalan yang baik dan bersih sehingga tidak
menghambat perjalanannya. Berilah dia usia hingga tua dan badan
yang sehat selalu. Berilah dia usia hingga tulang ekor tumbuh dan
telinga yang besar agar dia dapat mendengar semua orang yang
berbicara tentang dirinya entah yang baik maupun yang buruk.
6. Tahap kelima, popi wawi merupakan salah satu bagian sembelih
hewan kurban berupa seekor babi yang dibawa oleh ebu ta’u.
Setelah babi disembelih, kemudian dilanjutkan dengan
pembersihan dengan membakar bulu babi dan memotong daging
babi untuk mengambil hatinya yabhe ate wawi. Tahap ini
bertujuan agar om dapat melihat petunjuk masa depan anak gadis
yang diberikan oleh leluhur melalui hati babi. Seluruh ziarah
kehidupan anak gadis ke depannya entah yang baik maupun yang
buruk dapat ditampilkan melalui hati babi tersebut. Akan tetapi,
sebelum babi disembelih, om hendaknya terlebih dahulu
melantunkan doa adat guna meminta leluhur memberikan petunjuk
melalui hati babi tersebut. Doa adat tersebut adalah sebagai
berikut:
Ndia nga’o mo’o popi wawi. Nga’o oa one miu baba ine ebu kajo
papa yua mai bhali (sebut nama leluhur kedua belah pihak).
Nga’o oa one miu mumu pulu lema pongo, foko oko ngoyo faya,
ti’i uya yi’a pati ate pawe, sai ta po longgo kepe yende nee wunu
mbene. Miu tei sai ta pedo kemo yu ngai imu nee funu tu’u. Ye imu
ma’e tei eka imu ma’e nggena. Nga’o oa one miu ghila yi’a meno
modhe, mo’o tembo yi’a lo pawe pu’u ma ke dhu yebho ceka
newa.72
72
Hasil wawancara dengan Zakarias Yos Marsedo, Tokoh Masyarakat dan Tokoh Adat
Oja, tanggal 28 Desember 2019 di Oja.
34
Terjemahan;
Sekarang dan di sini saya hendak menyembelih babi. Saya
meminta kepadamu leluhurku dari kedua belah pihak (sebut nama-
nama leluhur). Saya meminta kepadamu satukan hati, pikiran,
perkataan dan perasaan dan susunlah urat-urat hati babi ini agar
saya dapat melihat ziarah perjalanan anak gadis ini. Kamu melihat
siapa yang menusuk tulang rusuknya dan menutup napasnya
dengan sabut kelapa supaya setiap pikiran dan perasaan yang tidak
baik tidak kelihatan dan tidak diingatnya. Saya memohon
kepadamu lihatlah baik-baik agar dia diberikan kesehatan tubuh
dan jiwanya hingga kekal.
Tahap inti dalam ritus potong gigi masyarakat Oja, dibagi dalam beberapa
proses sehingga upacara pelaksanaan potong gigi berjalan lancar. Tahap-tahap
tersebut sebagai berikut.
Pertama, acara mandi sore. Pada hari sebelumnya ana mbu’e harus
melewati acara mandi sore. Acara mandi sore ini pada dasarnya dilakukan pada
sore hari sekitar jam 14.00. Kondisi topografi Oja yang berbukit-bukit
menyebabkan kelangkaan air. Hal ini menyebabkan ana mbu’e tersebut harus
mandi di mata air.
Dalam acara mandi sore ini ana mbu’e ditemani oleh bebarapa anak gadis
dewasa. Anak-anak yang belum melakukan upacara potong gigi tidak
diperkenankan untuk menemaninya. Perjalanan menuju kali harus memperhatikan
tata urutan. Posisi ana mbu’e harus berada di tengah dan diapiti oleh anak-anak
gadis lainnya. Segala perlengkapan mandi dan pakaian ganti ana mbu’e diisi di
dalam sobha nata (sokal yang berukuran kecil). Tidak dianjurkan untuk
menggunakan keranjang yang dibeli dari toko atau pasar.
Kedua, pendinginan alat. Acara pendinginan alat ini biasanya dilakukan
pada malam hari sesudah pihak keluarga mencari dan menyiapkan bahan-bahan
dan ramuan. Pendinginan alat ini digunakan untuk mencampur ramuan-ramuan ke
dalam salah satu wadah toya atau ye’a. Ramuan-ramuan tersebut adalah wunu
35
yi’a, wunu eya, mece, wuki, yu’i yembu ne’e fi’i yembu yang dicampur dengan air
dan disatukan dalam wadah toya atau ye’a. Setelah ramuan disatukan dalam
wadah, kemudian rendamlah dhadi (batu asa) ke dalam wadah toya atau ye’a.
Ketiga, mempersiapkan bahan dan ramuan. Pada keesokan harinya atau
lebih tepat pada waktu pagi, keluarga menyiapkan segala keperluan berupa bahan-
bahan dan ramuan yang dibutuhkan dalam acara potong gigi. Orangtua dan
keluarga menyiapkan peralatan tersebut di rumah tetangga yang hendak dipakai
untuk acara potong gigi.
Keempat, mempersiapkan tempat upacara. Orangtua bersama keluarga
menyiapkan tempat yang layak untuk tempat upacara. Tempat upacara yang akan
dipakai hendaknya bersifat tertutup. Hal ini dimaksudkan agar anak-anak tidak
boleh melihat ketika upacara potong gigi sedang dilaksanakan. Orangtua
membentang tikar memenuhi ruangan itu, kemudian di tengahnya ditaruh sebuah
tikar khusus dan bantal untuk ana mbu’e. Tikar khusus tersebut sudah dalam
keadaan terbuka dan siap untuk pembaringan anak gadis.
Kelima, perarakan menuju tempat upacara. Setelah bahan-bahan, ramuan
dan segala keperluan yang dibutuhkan dalam upacara potong gigi disiapkan, maka
tibalah saat perarakan ke tempat potong gigi. Sebelum berarak ana mbu’e diajak
oleh para pendamping untuk pergi ke kamar belakang (toilet) dengan maksud agar
dia membuang air kecil dan air besar serta kentut sebelum upcara potong gigi.
Sebab, apabila pada saat upacara berlangsung dan ana mbu’e tersebut secara tidak
sengaja membuang air kecil, besar atau pun kentut maka disebut piye (pemali atau
haram).
Pada saat itu, ana mbu’e sudah mengenakan pakaian adat yang dibawa
oleh om tanta dan para petugas berarak menuju tempat upacara (wa’u mbana yoye
ngi’i). Pada saat perarakan menuju tempat upacara harus memperhatikan tata
urutan perarakan. Tata urutan perarakan sebagai berikut: Barisan paling depan
dipimpin oleh om kemudian disusul para pendamping. Salah satu dari
pendamping membawa sobha nata (tempat siri pinang) dan barisan terakhir
adalah ata madi. Ata madi adalah orang pintar atau orang yang berpengalaman
dalam memotong atau meratakan gigi. Sedangkan posisi ana mbu’e berada di
tengah para pendamping. Dalam perarakan tersebut, para pendamping membawa
36
serta bahan-bahan dan ramuan untuk upacara potong gigi. Selain bahan-bahan dan
ramuan, para pendamping juga membawa sabut kelapa untuk alas gusi pada saat
potong gigi, ayam betina, kelapa buah, pisau, siri, pinang dan rokok.
Keenam, acara potong gigi (yoye ngi’i). Inilah tahap inti dari seluruh
rangkaian pelaksanaan upacara potong gigi. Setiba di tempat upacara ata madi
meminta anak gadis mengambil tempat yang sudah disediakan sembari
memberikan arahan kepadanya. Anak gadis diminta berbaring di tikar dan bantal
yang sudah disediakan, kemudian dua pendamping mengambil posisi mengapiti
anak gadis tersebut tepat di sebelah kiri dan kanan dari kepalanya. Ata madi
meminta kedua pendamping menyelipkan sabut kelapa untuk menutupi gusi,
bibir dan lidah agar pada saat menggosok atau kikir tidak terkena batu asa atau
pisau. Tugas kedua pendamping adalah memegang kepala pada saat potong gigi
agar tidak goyang guna menghindari kesalahan dalam penggosokkan atau
pemotongan gigi seperti memotong atau menggosok lidah, bibir dan gusi. Mereka
juga bertugas membersihkan air liur anak gadis, dia diminta untuk tidak menelan
air liur tersebut. Pada saat bersamaan dia juga diminta mengigit bilah kayu yembu.
Hal ini dilakukan dengan maksud agar pada saat potong gigi, gigi tidak merasa
sakit dan goyang.
Setelah situasinya dan saatnya sudah siap dipotong, ata madi meminta om
melakukan ritual adat terlebih dahulu. Ritual tersebut berupa doa adat singkat
seperti esa, yua, tedu, wutu bhisa dhebe one ngi’i. Pada dasarnya doa adat tersebut
berarti satu. dua, tiga, empat terjadilah. Pada saat menyebut terjadilah, seharusnya
pisau atau batu asa diletakkan di gigi dengan maksud meminta penyatuan yang
utuh antara alat tersebut dengan gigi yang hendak dipotong atau diasah. Setelah
melantunkan doa adat tersebut, ata madi mulai memotong atau mengasah gigi
anak gadis. Dikatakan bahwa ata madi hanya memotong atau mengasah gigi-gigi
yang belum rata saja, sedangkan gigi yang sudah rata tidak perlu diasah atau
dipotong.
Berdasarkan kepercayaan, petugas yang mengapiti harus menjaga dan
menghindari gigi yang dipotong jangan sampai jatuh ke tikar atau pun terlempar
ke luar. Sebab, apabila gigi jatuh sampai ke tikar, itu berarti suatu waktu anak
gadis tersebut akan mata yimbo (mati tidak wajar). Sedangkan gigi yang lenting
37
ke luar menandai bahwa anak gadis tersebut nantinya akan menjadi pela atau polo
(setan atau orang tidak baik). Setelah semua gigi berhasil diratakan, seorang
petugas mengambil kulit kayu yembu yang sudah dipanaskan di dapur untuk
ditempelkan pada gigi anak gadis. Hal ini bertujuan untuk memanaskan kembali
gigi yang dipotong sehingga menghilangkan rasa sakit, asam dan ngilu pada gigi.
Kemudian anak gadis tersebut bangun dhoga weti bako untuk semua orang yang
ada dalam rumah upacara.
Dhoga weti bako merupakan salah satu kegiatan inti dalam upacara
potong gigi di mana anak gadis tersebut menyuguhkan makanan tradisional
seperti siri, pinang, kapur siri dan rokok kepada anggota keluarga dan semua yang
ada di dalam rumah upacara tersebut. Kegiatan memberikan makanan tradisional
oleh anak gadis ini layaknya para ibu di kampung Oja menandai bahwa dia sudah
diterima dan disahkan sebagai orang dewasa. Secara implisit kegiatan ini
bertujuan agar anak gadis tersebut siap untuk memberi diri dengan melayani
orang banyak. Sejak saat itu, dia sudah berhak untuk berpartisipasi atau ambil
bagian dalam seluruh hidup masyarakat seperti yang dilakukan oleh orang-orang
dewasa di kampung Oja.
Ketujuh, tahap ini merupakan tahap geru nio ne’e teka manu moka. Geru
nio ne’e teka manu moka adalah momen makan kelapa dan menyembelih ayam
betina. Setelah anak gadis memberikan makanan tradisional yaitu sirih dan pinang
kepada orang banyak, ebu ta’u (om) mengambil ayam betina dan
menyembelihnya. Pada saat itu hendaknya diperhatikan gerakan terakhir dari kaki
ayam tersebut. Apakah kaki ayam berhenti pada kaki kanan atau kaki kiri. Jika
kaki ayam berhenti bagian kanan maka di kemudian hari hidup anak gadis akan
terberkati dan banyak rezeki dan apabila kaki kiri yang berhenti menandai bahwa
rezekinya tidak melimpah.
Di samping itu, para pendamping dan anak gadis serta perempuan dewasa
lainnya makan kelapa. Kulit kelapa yang dikupas pada bagian bawah tidak boleh
putus. Hal ini dimaksudkan untuk menyimpan semua barang dan ramuan yang
tidak dipakai lagi guna dibawa ke salah satu pohon besar. Para pendamping
beserta anak gadis membersihkan kembali tempat upacara. Barang-barang dan
ramuan serta peralatan yang tidak dipakai lagi dibawa ke salah satu pohon besar
38
di dekat kampung. Hal ini bertujuan membuang semua masa kanak-kanak dan
sekarang anak gadis tersebut sudah memulai hidup baru sebagai orang dewasa.
Kedelapan, acara ka mbo’a meye. Acara ka mbo’a merupakan tahap akhir
dari upacara potong gigi. Dalam acara ini pihak orangtua dan keluarga beserta
anak gadis memberikan makanan kepada orang kampung yang hadir untuk
menyaksikan upacara potong gigi. Mereka siap menerimanya dalam keanggotaan
masyarakat sebagai orang dewasa. Dengan demikian masa remajanya sudah
berakhir dan beralih kepada masa dewasa.
Kesembilan, tahap ini berupa tahap wejangan dari orang tua bersama pihak
ebu ta’u (om dan tanta). Pada kesempatan tersebut orangtua menyerahkan secara
resmi segala urusan adat anak gadis tersebut seperti tu ngawu (antar belis) hingga
dhu mata (sampai pada kematian) kepada om.
Upacara penutup dinamai nu yoko kombe wutu, nu meye kombe lima esa
mo’o mbeo ko’o sala molo. Hal ini berarti asap kecil pada malam keempat dan
asap besar pada hari keenam setelah upacara potong gigi guna melihat apakah
upacara yang dilaksanakan benar atau salah.
Hukum adat mengajarkan bahwa acara penutup dilakukan pada hari
keempat dan keenam setelah upacara potong gigi. Kegiatannya berupa membakar
tempurung dan meletakkan parang di atas api tempurung yang berasap. Orangtua
kemudian membersihkan asap yang melekat pada parang dengan menggunakan
tangan dan menggosok ke gigi anak gadis. Apabila asap yang ada di tangan tidak
melekat pada gigi anak gadis sewaktu menggosok, maka itu tanda tidak baik
(pela/polo) dan jika melekat maka itu pertanda baik dan upacara yang
dilaksanakan berhasil tanpa hambatan.
2.8 Kesimpulan
BAB III
SAKRAMEN KRISMA
Pada bagian ini, penulis akan membahas tentang tiga sakramen inisiasi
dalam Gereja Katolik. Akan tetapi, penulis lebih mengerucutkan topik
pembahasannya pada Sakramen Pengurapan atau Krisma sebagai sakramen
inisiasi. Sakramen Krisma menjadi sarana pendewasaan iman seseorang. Pada
dasarnya inti inisiasi penerimaan Sakramen Penguatan dipusatkan pada
pengurapan dengan Roh Kudus. Dengan pencurahan Roh Kudus, seorang anggota
Gereja menjadi lebih serupa dengan Kristus, dikuatkan sehingga mereka dapat
memberikan kesaksian tentang Kristus dan dalam perspektif iman mereka menjadi
lebih dewasa, siap dan berani menjadi saksi Kristus ke seluruh penjuru dunia.
73
J. B. Banawiratma, Baptis, Krisma dan Ekaristi (Yogyakarta: Kanisius, 1989), hlm. 12.
41
merupakan tanda atau sarana keselamatan bagi umat manusia karena di dalamnya
Allah secara penuh hadir dan terlaksana dalam diri Yesus.
Eksistensi dan substansi dari sakramen inisiasi seperti Baptis, Ekaristi dan
Krisma pada hakekatnya merupakan pintu masuk bagi seseorang untuk diangkat
menjadi anak Allah dan sekaligus secara resmi diterima sebagai anggota Gereja.
Individu yang diinisiasikan tersebut masuk menjadi anggota persekutuan orang-
orang yang percaya kepada Yesus.74 Dengan masuk ke dalam persekutuan,
seseorang sungguh menyadari akan kehadiran Kristus yang menyelamatkan.
Keselamatan yang diberikan Allah dalam Kristus sesungguhnya merupakan suatu
pertemuan atau persatuan personal.75 Oleh karena keselamatan datang dari Allah
untuk manusia, maka manusia harus membangun hubungan interpersonal yang
intim secara vertikal dengan Allah di dalam Yesus Kristus.
Hubungan interpersonal secara vertikal antara Allah dan manusia yang
harmonis akan selalu membawa manusia pada kekudusan. Sakramen hadir
sebagai sarana keselamatan untuk menyucikan dan menguduskan umat manusia.
Baik dalam sapek perilaku atau perbuatan maupun aspek ujaran atau perkataan.
Konsili Vatikan II dalam Konstitusi tentang Liturgi Suci (Sancrosantum
Concilium [SC]) nomor 59 menyebutkan bahwa:
Sakramen-sakramen dimaksud untuk menguduskan manusia, membangun
tubuh Kristus dan akhirnya mempersembahkan ibadat kepada Allah.
Namun, sebagai tanda sakramen juga dimaksud untuk mendidik. Sakramen
tidak saja mengandaikan iman, melainkan juga memupuk, meneguhkan,
dan mengungkapkannya dengan kata-kata dan benda. Maka juga disebut
sebagai sakramen iman. Memang sakramen memperoleh rahmat, tetapi
perayaan sakramen itu sendiri juga dengan amat baik menyiapkan kaum
beriman untuk menerima rahmat itu yang membuahkan hasil nyata, untuk
menyembah Allah secara benar dan untuk mengamalkan cinta.76
Oleh karena sakramen merupakan rahmat dan bukti kasih Allah, maka
manusia mesti menyadari secara total eksistensi dan essensi dari sakramen itu
sendiri. Keberadaan sakramen dalam Gereja sebagai sakramen menuntut manusia
untuk hidup seturut ajaran yang telah diwariskan. Manusia harus membangun
hubungan yang intim secara personal dengan Allah di dalam Kristus.
74
Alosius Soenarto, dkk., Katekese Bagi Calon Krisma (Yogyakarta: Kanisius, 2002),
hlm. 5.
75
J. B. Banawiratma, op. cit., hlm. 20.
76
Konsili Vatikan II, op. cit., hlm. 26.
42
Secara leksikal kata inisiasi berasal dari bahasa Latin yaitu in-ire yang
berarti masuk ke dalam, initiare berarti memasukan ke dalam dan initium berarti
awal. Inisiasi merupakan suatu kegiatan Gereja untuk menerima atau
memasukkan seseorang ke dalam kelompok itu sebagai anggota penuh dengan
segala kewajiban dan haknya.77 Senyatanya tidak seorang pun dianggap begitu
saja sebagai kelompok anggota Kristen kendatipun pribadi tersebut dilahirkan dari
orangtua yang sudah menjadi anggota jemaat yang sah. Jika individu tersebut
tidak melewati suatu proses yang lazim dilakukan oleh Gereja. Untuk menjadi
anggota jemaat yang resmi, seseorang harus dimasukkan atau diinisiasikan
terlebih dahulu.
Setiap kelompok sosial manusia selalu menciptakan dan memakai upacara
tertentu untuk menerima dan memasukkan sesorang menjadi anggota kelompok
secara penuh. Bergabungnya sesorang menjadi anggota resmi ditandai dengan
pemberian hak-hak dan kewajiban tertentu yang telah disepakti bersama. Begitu
pula dengan Gereja Katolik sebagai kelompok sosial yang berdasarkan iman pada
Yesus Kristus juga memiliki upacara khusus sebagai tindakan inisasi. Upacara
khusus Gereja Katolik untuk menerima seseorang menjadi warga Gereja secara
penuh adalah Sakramen Pembaptisan, Sakramen Penguatan atau Krisma dan
Sakramen Ekaristi. Ketiga sakramen ini disebut sebagai sakramen inisasi.78
Pada dasarnya perayaan sakramen dan upacara-upacara gerejawi lainnya
berkaitan erat dengan situasi-situasi manusiawi. Sebagai contoh, baptisan
berkaitan dengan kelahiran, krisma sebagai padanan sunat dalam masyarakat
tradisional, perkawinan berkaitan dengan pasangan pria dan wanita, dan orang
sakit berkaitan dengan orang sakit.79 Upacara-upacara sakramen selalu berkaitan
erat satu dengan yang lainnya. Kehadiran sakramen-sakramen hanya merupakan
sarana keselamatan bagi umat beriman. Sakramen-sakramen ini juga menjadi
motor penggerak bagi umat beriman untuk hidup seturut ajaran dan pewartaan
Yesus Kristus.
77
J. B. Banawiratma, op. cit., hlm. 78.
78
L. Prasetya, Persiapan Sakramen Penguatan atau Krisma (Malang: Dioma, 2005),
hlm. 5.
79
J. D. Crichton, Perayaan Sakramen (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 16.
43
ganda”.82 Kedua sakramen ini dilaksanakan dan diterimakan dalam satu rangkaian
upacara yaitu penerimaan Sakramen Pembaptisan pada malam Paskah.83
Bahwasannya kedua upacara inisiasi ini merupakan satu kesatuan dalam
pelaksanaan upacara inisiasi. Namun, sesuai dengan tuntutan dan perkembangan
zaman maka upacara dari kedua sakramen inisiasi dipisahkan.
Lazimnya perubahan suatu ritus atau upacara dikarenakan oleh adat
kebiasaan religius setempat. Dalam kaitan dengan Sakramen Krisma perubahan
ditinjau dari segi jemaat yang menginisiasikan diri dan dari aspek orang yang
diinisiasikan.84 Hal ini berarti bahwa perubahan Sakramen Krisma disebabkan
oleh pertambahan jumlah calon penerima Sakramen Krisma yang tidak sebading
dengan jumlah Uskup. Dalam sejarah, Gereja menandaskan bahwa tata cara
pelaksanaan upacara sakramen dilakukan oleh dua kelompok Gereja, yaitu Gereja
Latin-Barat dan Gereja Yunani-Timur.85
Gereja Timur tetap mempraktikkan upacara inisiasi Baptis dan Krisma
dalam waktu yang bersamaan. Namun, Gereja Timur hanya memaknai bahwa
pengurapan minyak sebagai unsur inti liturgi Krisma. Dikatakan bahwa
penumpangan tangan tidak ada dalam sakramen tersebut. Sedangkan di Gereja
Barat, mulai terjadi suatu tendensi untuk memisahkan Sakramen Krisma dari
inisiasi Baptis. Hal ini ditandai dengan pandangan bahwa baptisan sesungguhnya
belum sepenuhnya menganuggerahkan Roh Kudus.86
Roh Kudus dicurahkan apabila ada penumpangan tangan Uskup dan hal itu
ditandai dengan materai pada dahi penerima dengan minyak Krisma. Hal ini juga
diajarkan oleh Konsili Vatikan II dalam Konstitusi Dogmatis tentang Gereja
(Lumen Gentium [LG]) nomor 11 bahwa:
Dengan baptis kaum beriman dimasukkan ke dalam tubuh Gereja:
dengan menerima materai mereka ditugaskan untuk memimpin ibadat,
karena sudah dilahirkan menjadi anak-anak Allah. Berkat Sakramen
Penguatan, mereka terikat pada Gereja secara lebih sempurna, dan
diperkaya dengan daya kekuatan Roh Kudus yang istimewa, dengan
demikian mereka diwajibkan untuk menyebarluaskan dan membela
82
Kongregasi Ajaran Iman. Katekismus Gereja Katolik. penerj. Herman Embuiru (Ende:
Arnoldus, 1998), hlm. 329.
83
L Prasetya, op. cit., hlm. 30.
84
J. B. Banawiratma, op. cit., hlm. 93.
85
Ibid., hlm. 97.
86
E. Martasudjita, Sakramen-Sakramen Gereja Tinjauan Teologis, Liturgis dan Pastoral
(Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm. 246.
45
iman sebagai saksi Kristus yang sejati baik dengan perkataan maupun
perbuatan.87
87
Konsili Vatikan II, op. cit., hlm. 83-84
88
J. B. Banawiratma, op. cit., hlm. 96.
89
C Groenen, Teologi Sakramen Inisiasi: Baptisan Krisma (Yogyakarta: Kanisius, 1992),
hlm. 109-110.
90
J. D. Cricton, op. cit., hlm. 18.
46
fundamental manusia. Hal ini merupakan dasar terbentunya suatu sakramen dalam
sejarah Gereja.
Konsili Vatikan II kembali menekankan suatu sikap kesatuan dalam
upacara inisiasi. Setiap pemimpin jemaat (pastor dan diakon) memiliki wewenang
untuk memberikan sakramen inisiasi. Namun, mereka hanya berhak memberikan
sakramen inisiasi berupa baptisan. Pemberian sakramen krisma mesti terjadi
dengan memakai minyak yang diberkati Uskup. Pemberian Sakramen Krisma
menjadi wewenang eksekutif Uskup.91 Kitab Hukum Kanonik, Kanon 882
menegaskan bahwa dalam perjalanan waktu, pemberian Sakramen Krisma dapat
diberikan oleh imam tertentu yang telah dipercayai oleh Uskup seperti Vikaris
Jenderal. Hal ini disebapkan oleh bertambah banyaknya jumlah calon yang tidak
seimbang dengan jumlah Uskup.92 Namun, perayaan upacara inisiasi tersebut
masih tetap dipimpin oleh seorang Uskup dan kehadiran para imam sebagai
konselebran dalam menyalurkan rahmat Roh Kudus.
91
J. B. Banawiratma, loc. cit.,
92
Gereja Katolik, Kitab Hukum Kanonik, penerj. V. Kartosiswoyo et.al., cet. I (Jakarta:
Obor, 2006), hlm. 251. Selanjutnya akan disingkat KHK untuk untuk setiap kutipan dari sumber
yang sama.
93
E. Martasudjita, op. cit., hlm. 245.
47
94
Adolf Heuken, Ensiklopedi Gereja (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2005), hlm.
72.
95
L Praesetya, op. cit., hlm. 31.
48
Dalam realitas khidupan sering kali muncul pertanyan, siapakah dan pada
usia berapa seseorang dapat menerima Sakramen Krisma. Pertanyaan ini
sesungguhnya merujuk pada diri seorang pribadi. Katekismus Universal Gereja
Katolik sebagaimana dikutip oleh L. Prasetya secara tegas mengatakan bahwa
setiap orang yang dibaptis wajib untuk menerima Sakramen Krisma. Namun,
bagaimana dengan usia penerima Sakramen Krisma. Konsep usia tersebut pada
dasranya lebih diamanatkan pada tingkat kedewasaan seseorang. Kedewasaan
96
Konsili Vatikan II, loc. cit.
97
C. Groenen, op. cit., hlm. 252.
49
98
L. Prasetya, op. cit., hlm. 33.
99
F. X. Didik Bagitowinadi, Siap Diutus (Buku Kerja Persiapan Krisma) (Malang:
Dioma, 2001), hlm. 43.
50
100
Gereja Katolik, op. cit., hlm. 253.
101
C. Groenen, op. cit., hlm. 257.
102
L. Praesetya, loc. cit.,
103
Ibid., hlm. 34.
51
yang dibuat bagi mereka oleh orangtua pada waktu permandian.104 Sewaktu
permandian orangtua yang menjadi wali untuk mengungkapkan janji baptis
sehingga pada upacara perayaan Sakramen Krisma pribadi yang bersangkutan
melakukan pemaharuan janji baptis secara sadar dengan tahu dan mau untuk
menjadi saksi pewartaan iman ke seluruh dunia.
Setiap orang yang dibaptis harus menerima Sakramen Penguatan. Oleh
karena Sakramen Baptis, Ekaristi dan Krisma merupakan satu kesatuan maka
umat beriman diwajibkan untuk menerima sakramen itu tepat pada waktunya.
Karena tanpa Sakramen Ekaristi dan Krisma, Sakramen Permandian inisiasi
Kristen masih belum lengkap.105 Kisaran usia yang paling layak menerima
Sakramen Krisma seperti yang ditegaskan dalam Konsili Lateran (1215) bahwa
jarak antara usia 7 sampai 12 tahun. Namun, pada awal abad XX Paus Pius X
menentukan usia penerima Sakramen Krisma adalah usia sesudah menerima
komuni pertama yakni 10 sampai 12 tahun.106
Pada prinsipnya dengan melihat data-data dan pengalaman umat di paroki
maka Gereja sendiri tidak dapat menentukan secara pasti batasan soal kedewasaan
tersebut. L. Prasetya menyebutkan “memang Kitab Hukum Kanonik menegaskan
bahwa Sakramen Penguatan hendaknya diberikan kepada semua umat pada sekitar
usia di mana mereka dapat menggunakan akal, kecuali jika Konferensi Wali
Gereja menentukan usia lain, atau jika ada bahaya kematian, atau jika pandangan
pandangan pelayan sakramen ada alasan berat menganjurkan lain”.107
Oleh krena alasan-alasan seperti ini, maka pelayan Gereja dapat
memberikan Sakramen Krisma dengan tidak berpedoman pada aspek kedewasaan
seseorang. Dalam berpastoral apabila ada umat yang mengalami bahaya maut,
tetapi ia ingin menerima Sakramen Krisma, maka para pelayan sakramen (Uskup,
Imam dan Diakon) harus melayaninya. Sebab pada prinsipnya eksistensi dan
essensi sakramen-sakramen yang paling pertama dan utama dalam melayani
sakramen adalah keselamatan iman bagi semua umat beriman.
104
Josep Martos, Sakramen-Sakramen Gereja, Krisma (Jakarta: Obor, 1997), hlm. 22.
105
Katekismus Gereja Katolik, op. cit., hlm. 332.
106
E. Martasudjita, op. cit., hlm. 260.
107
L. Praesetya, loc. cit.,
52
108
E. Martasudjita, op. cit., hlm. 259.
109
J. D. Cricton, op. cit., hlm. 90.
53
110
E. Martasudjit, loc. cit.,
54
baik dari aspek perkataan maupun perbuatan dalam keseharian hidup umat
manusia tidak salah kaprah. Umat dapat mengetahui konsekuensi dan kewajiban-
kewajiban yang harus dilakukannya.
Peran dan peranan wali krisma memiliki kemiripan dengan wali baptis.
Tugas pertama dan utama wali krisma adalah mendampingi dan membimbing
seorang individu yang akan diterimakan pengurapan. Dalam hal ini, wali krisma
hadir sebagai perwakilan orangtua dalam Gereja. Para wali menjadi orangtua dari
para calon dalam meneguhkan iman calon yang menerima Sakramen Krisma.
Pada dasarnya orangtua wali (wali krisma) tidak hanya mendampingi
calon pada saat upacara penerimaan Sakramen Krisma saja. Wali krisma
hendaknya terus membimbing dan mendampini anak wali hingga ia benar-benar
mandiri. Dalam arti bahwa anak tersebut tidak lagi membutuhkan ekstra
perhatian dari orsangtua wali.
Peran dan tanggung jawab wali Krisma menjadi sorotan dewasa ini.
Keterlibatan para orangtua wali kelihatannya tidak total. Dewasa ini, keterlibatan
orangtua wali hanya sebatas pada perayaanya saja. Peran dan pelaksanaan
tanggung jawab wali krisma terkesan kurang diperhatikan. Tugas wali Krisma
seolah-olah hanya pada saat upacaranya saja, lalu setelahnya tidak ada lagi
hubungan antara peserta krisma dan walinya.111
Padahal menurut Cricton, peran pertama dari walibaptis adalah membantu
orangtua anak baptis.112 Wali baptis ditunjuk untuk ambil bagian dalam membina
dan mendampingi peziarahan hidup anak. Wali krisma memiliki peran penting
bagi pengembangan iman peserta krisma. Para orangtua wali memiliki tugas
memberikan pemahaman bagi peserta krisma (anak wali) bahwa setelah menerima
penguatan melalui Sakramen Krisma, anak seharusnya bertindak sebagai saksi
Kristus yang sejati, setia memenuhi semua kewajiban dan siap untuk
melaksanakan konsekuensi yang ada dalam sakramen krisma. Menjadi saksi
Kristus yang sejati dapat ditampilkan melalui perbuatan dan perkataan sejalan dan
sepadan dengan semangat Injil.
111
Ibid.,
112
J. D. Cricton, op. cit., hlm. 61.
55
Pemilihan orangtua wali bagi calon krisma pada dasarnya tidak jauh
berbeda dengan wali baptis. Dalam KHK kanon 874 menyebutkan bahwa agar
seseorang dapt diterima untuk mengemban tugas wali baptis, haruslah:113
1. ditunjuk oleh calon baptis sendiri atau orangtuanya atau oleh
orang yang mewakili mereka atau, bila mereka itu tidak ada,
oleh pastor paroki atau pelayan baptis, selain itu ia cakap dan
mau melaksanakan tugas itu.
2. telah berumur genap enambelas tahun, kecuali umur lain
ditentukan oleh Uskup diosesan atau ada kekecualian atas
alasan wajar dianggap dapat diterima oleh pastor paroki atau
pelayan baptis.
3. seorang Katolik yang sudah menerima Sakramen Penguatan
dan Sakramen Ekaristi, lagi pula hidup sesuai dengan iman dan
tugas yang diterimanya.
4. tidak terkena suatu hukuman kanonik ysang dijatuhkan atau
dinyatakan secara legitim
5. bukan ayah atau ibu dari calon baptis.
113
Gereja Katolik, op.cit., hlm. 249.
114
E. Martasudjit, loc. cit.,
56
3.7.1 Forma
3.7.2 Materi
115
FX. Wibowo Ardhi, Sakramen Krisma (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hlm. 13.
116
Bernardus Boli Ujan, “Minyak Krisma,” Majalah Liturgi, Vol. 20 Mei-Juni, 2009,
hlm. 23.
117
Ibid.,
118
J. D. Criston, op. cit., hlm. 37.
57
merupakan gambaran yang sesuai dengan atau pas (antitypon) dengan mana
Kristus diurapi dan menjadi penuh dengan Roh Kudus.119 Kristus adalah pencipa
suka cita rohani dan minyak krisma menampilkan wangian yang amat luar biasa
maka Santo Sirilus menegaskan bahwa wewangian itu sendiri merupakan
lambang pemberian Kristus. Wangian (minyak krisma) berkaitan erat dengan
kehidupan manusia. Tentang hal ini Santo Paulus dalam suratnya kepada jemaat
di Korintus menulis: ”Bagi Allah kami adalah bau yang harum dari Kristus”
(2Kor 2:15).
Pengurapan dengan minyak itu menguduskan karena pengurapan itu
sendiri berasal dari Yang Kudus. Pengurapan itu mengajarkan hal-hal yang benar
tentang segala sesuatu.120 Oleh karena pengurapan yang dimeteraikan dengan
minyak krisma berasal dari Yang Kudus, maka dituntut agar setiap orang yang
menerimanya tetap tinggal di dalam-Nya. Pengurapan itu bersifat adikodrati.
Karena pengurapan itu sendiri sudah ada di dalam setiap pribadi umat beriman.
121
”Sebab di dalam kamu tetap ada yang pengurapan yang kamu terima dari pada-
Nya”.122 Walaupun pengurapan itu merupakan sesuatu yang adikodrati, tetapi
tetap dibutuhkan instrumen atau sarana yang mengafirmasi akan kodrat tersebut.
Pembuatan minyak krisma terbuat dari minyak buah zaitun yang dicampur
sedikit dengan balsam. Menurut kebiasaan Gereja Timur minyak krisma dicampur
dengan sedikit bahan yang membuatnya harum semerbak. Hippolytus
sebagaimana dikutip oleh Bernadus Boli Ujan mengacu pada kebiasaan tua orang
Alexandira dan menyatakan bahwa minyak krisma adalah ”minyak syukur.”
Minyak krisma itu sendiri menjadi simbol pengudusan oleh Roh Kudus yang
hadir dalam bau harum mewangi. 123
Pemberkatan minyak krisma dilkukan melalui sebuah misa khusus. Misa
khusus tersebut disebut sebagai misa krisma. Berdasarkan tradisi Gereja, misa
pemberkatan minyak krisma lazinya dilaksanakan pada hari kamis pagi sebelum
misa Kamis Putih. Minyak krisma dikuduskan (dikonsekrasi) pada saat misa
119
Ibid.,
120
Bernadus Boli Ujan, op. cit., hlm. 24.
121
Ibid.,
122
Ibid.,
123
Ibid., hlm. 25.
58
bersama yang dihadiri oleh umat, para imam dan Uskup.124 Berdasarkan
kebiasaan yang diwariskan Agustinus, para imam berkonselbrasi bersama
Uskupnya dan umat beriman mengambil bagian lain dalamnya untuk
memperlihatkan kesatuan yang erat dalam tubuh Gereja.125
Misa pemberkatan minyak krisma tersebut dilaksanakan setahun sekali.
Pada dunia dewasa ini, berhadapan dengan pertumbuhan jumlah umat yang tidak
sebanding dengan jumlah Uskup dan para klerus dan tempat tinggal umat
berjauhan, maka misa krisma ini tidak bisa dipusatkan pada hari Kamis pagi
sebelum misa Kamis Putih. Misa krisma ini diatur seseuai otoritas setiap
keuskupan. Secara de fakto misa krisma tersebut dilaksanakan bersamaan dengan
pembaharuan janji imamat. Dalam moment seperti ini, para lerus diwajibkan hadir
dan ambil bagian secara aktif dalam misa tersebut.
Gerakan atau Bahasa tubuh merupakan salah satu sarana komunikasi yang
paling jelas. Gerakan berupa penumpangan tangan sekaligus memperjelas dan
mempertegas makna yang hendak disampaikan kendatipun ia merupakan sebuah
misteri. Dalam Perjanjian Lama penumpangan tangan dapat berarti pengududsan
dan menyendirikan orang tertentu (bdk Bil 8:10) serta pemberian Roh
kebijaksanaan (bdk Ul 34:9). Sedangkan dalam Perjanjian Baru Penumpangan
124
Ibid., hlm. 26.
125
Ibid., hlm. 23.
126
J. D. Cricton, op. cit., hlm. 27.
59
127
Ibid., hlm. 39.
128
E. Martasudjita, op. cit., hlm. 246.
129
FX. Wibowo Ardhi, loc. cit.
130
Ibid., hlm 40
131
L. Prasetya, op. cit., hlm. 33.
132
Georg Kirchberger, Allah Menggugat Sebuah Dogmatik Kristiani (Maumere:
Ledalero, 2012), hlm. 496.
60
ini menjadi dasar para peserta krisma untuk melaksanakan tugas dan Kewajiban-
kewajiban serta konsekuensi-konsekuensi hidupnya sebagai saksi Kristus.
133
Josep Martons, op. cit., hlm. 34.
134
Katekismus Gereja Katolik, op. cit., hlm. 330.
135
C. Groenen, op. cit., hlm. 247.
136
Ibid.,
61
Tepuk pada pipi (tempeleng kecil) merupakan satu unsur atau simbol
penting dalam upacara Sakramen Krisma. Kendati nampaknya sederhana, tetapi ia
memiliki makna yang sangat berarti. Upacara tersebut biasanya dilakukan oleh
Uskup atau imam yang dipercayakan oleh Uskup untuk membantunya. Uskup
yang menepuk pipi peserta krisma memiliki alasan dasar sebagai suatu pemberian
restu untuk berkarya dan mengusir roh jahat. Di samping itu pula upacara ini
sekaligus memberikan semangat kepada peserta krisma untuk sungguh
menghayati dan menerima tugas perutusan sebagai saksi Kristus dengan mantap
dan berani.
137
Joseph Martos, op. cit., hlm. 25.
62
beriman kepada pengertian yang lebih baik tentang misteri iman kristiani.138
Katekesse misatagogi tersebut juga turut menyatakan suatu proses evangelisasi
atau penginjilan. Penginjilan bertujuan untuk mewartakan Kabar Gembira
keselamatan dan membawa orang berhubungan dengan kristus.139
Tahap persiapan tersebut hanya memiliki satu tujuan akhir yaitu membawa
semua orang untuk mencapai kesatuan yang lebih erat dan intim dengan Kristus
melalui bimbingan Roh Kudus. Kesatuan yang mesra dengan Kristus terwujud
apabila dihidupi oleh Roh kudus itu sendiri sehingga dapat melaksanakan tugas
perutusannya di dunia. Roh Kudus yang tinggal dan mendiami dalam diri setiap
pribadi pada prinsipnya tidak pernah terlepas dari proses persiapan. Dalam
persiapan penerimaan Sakramen Krisma tersebut, dari calon krisma amat dituntut
dua hal penting yaitu ia harus membuat suatu keputusan yang lebih matang dan
secara aktif menghidupi imannya.
138
Antonius Martinus Tangi, op. cit., hlm. 6.
139
J. D. Cricton, op. cit., hlm. 56.
140
Alosius Soenarto, dkk., op. cit., hlm. 82.
63
bagian pokok dalam liturgi krisma yaitu pembaharuan janji baptis, penumpangan
tangan dan pengurapan dengan minyak krisma.141 Ketiga bagian pokok dalam
liturgi krisma ini dirayakan tepat setalah liturgi sabda dan sebelum doa umat.
Setelah liturgi sabda, para calon krisma dihadapkan kehadapan Uskup oleh pastor
paroki atau petugas-petugas lain untuk diterimakan ke dalam upacara krisma.
Kalau calon merupakan anak-anak maka mereka diantarkan oleh orangtua wali
dan juga apabila jumlahnya terlalu banyak dianjurkan para calon krisma cukup
dipanggil nama saja.142
Sesudahnya dilanjutkan dengan homili. Dalam homili tersebut Uskup
sebagai selebran utama menyampaikan tema-tema bacaan dan menggunakannya
sebagai pedoman untuk membawa para calon krisma pada pemahaman yang lebih
mendalam akan misteri krisma. Biasanya dalam mengakhiri holmili, Uskup
menutupnya dengan mengundang para calon krisma untuk menolak setan dan
mengakui imanya yang teguh akan Yesus Kristus.143
Setelah bersedia menolak setan dan setia mengakui iman, maka Uskup
mengajak semua umat yang hadir untuk masuk dalam keheningan seraya berdoa
memohon turunya Roh Kudus ke atas krismawan/i. Sewaktu proses penumpangan
tangan dan pengurapan dengan minyak krisma, para calon krisma didampingi oleh
orangtua wali sambil memegang bahu kanan dari pada calon krisma tersebut. Hal
ini dimaksudkan agar orangtua wali memberikan dukungan dan siap untuk
membina dan membimbing peserta krisma untuk menjadi saksi Kristus yang sejati
ke seluruh dunia. Kemudian perayaan Ekaristi berjalan seperti biasanya namun
dalam Liturgi penerimaan Sakramen Krisma menggunakan rumusan Doa Syukur
Agung I (pertama).144
3.9 Kesimpulan
Dalam Gereja Katolik, Sakramen Krisma adalah salah satu dari tujuh
sakramen. Sakramen Krisma dipahami sebagai kelanjutan dari dua sakramen
inisiasi sebelumnya seperti Baptis dan Ekaristi. Berbicara tentang Sakramen
141
F. X didik Bagiyowinadi, op. cit., hlm. 64.
142
J. D Cricton, Perayaan Sakramen Pembaptisan dan Krisma (Yogyakarta: Kanisius,
1990), hlm. 100.
143
Ibid., hlm. 101.
144
Ibid.
64
Krisma selalu identik dengan kedewasaan seseorang dalam iman. Apabila seorang
anggota Gereja sudah menerima Sakramen krisma, maka secara otomatis orang
tersebut sudah dinyatakan ”dewasa” oleh Gereja. Dengan demikian, Sakramen
Krisma merupakan sakaramen kedewasaan. Hal ini bertolak dari paradigama
bahwa Sakramen krisma hadir sebagai pemberian kebijakan, pengetahuan dan
keberanian untuk menjadi saksi Kristus dalam mewartakan karya keselamatan
kepada dunia.
Eksistensi dan esensi Sakramen Krisma sebagai sakramen pendewasaan
bagi seluruh anggota Gereja, maka dalam upacara penerimaannya dibutuhkan
material khusus sebagai bentuk afirmasi cinta Allah. Material yang digunakan
dalam Sakramen Krisma ialah minyak krisma (minyak zaitun yang dicampur
dengan balsam khusus yang wangi). Di samping itu, inti upacara penerimaan
Sakramen Krisma adalah menerima kepenuhan Roh Kudus. Melalui doa Epiklese,
Uskup meminta dan memohon agar turunnya Roh kudus ke atas para calon
krismawan dan krismawati. Roh Kudus yang dicurahkan ke atas krismawan dan
krismawati itu menjadikanya untuk secara penuh dan aktif berkarya dalam Gereja.
Sakramen Krisma memampukan seseorang beriman untuk bekerja sama
dengan Roh Kudus. Kesatuan dengan Roh Kudus ini mendorong seseorang untuk
memikul tanggung jawab kristiani baik di dalam maupun di luar lingkungan
Gereja. Roh Kudus yang diterimanya dalam upacara penerimaan Sakramen
krisma memampukan para krismawan dan krismawati untuk menjadi Saksi kristus
yang sejati dan bersedia mewartakan karya misioner Gereja. Secara lebih luas
peran dan peranan Roh Kudus sesungguhnya menyanggupkan dan menjiwai
krismawan dan krismawati untuk dapat menjalankan tugas penyelamatan terhadap
dunia. Roh Kudus memampukan seseorang menjadi saksi efektif tentang
keselamatan yang diwartakan Kristus. Setelah seorang individu menerima Roh
Kudus melalui Sakramen Krisma, ia tidak melaksanakan tugasnya seturut
kehendaknya sendiri, tetapi ia dijiwai oleh semangat dan kehendak Allah. Dengan
demikian Sakramen Krisma secara eksplisit mengikut sertakan seseorang dalam
tugas publik jemaat karena dalam kaca mata iman, ia sudah dinyatakan sebagi
seorang yang dewasa dalam iman.
65
BAB IV
Secara leksikal kata inisiasi berasal dari Bahasa Latin initiare yang berarti
memasukkan atau mentahbiskan.145 Dalam konteks sakramen Gereja, inisiasi
dipahami sebagai upacara untuk menerima atau memasukkan seseorang menjadi
anggota Gereja dengan segala kewajiban dan haknya. Upacara inisiasi tidak hanya
terjadi dalam Gereja, tetapi juga pada kelompok sosial pada umumnya.146 Pada
titik ini, inisiasi menjadi sarana afirmasi dan pengukuhan seorang individu ke
145
TH. I. Verheoven dan Marcus Carvalo, Kamus Latin-Indonesia (Ende: Nusa Indah,
1969), hlm. 541.
146
J. B. Banawiratma, op. cit., hlm. 77.
66
untuk memikul tanggung jawab kristiani baik di dalam maupun di luar lingkungan
Gereja.
Ada tiga konsekuensi yang melekat dalam diri seorang yang menerima
Sakramen Krisma sebagai tanda kedewasaan iman.148 Pertama, ia bertanggung
jawab sendiri untuk memupuk imannya. Hal ini berkaitan dengan suatu kesadaran
akan pentingnya memupuk dan membina iman secara personal. Kedua, seseorang
harus berani menjadi saksi Kristus. Menjadi saksi Kristus berarti membangun
hubungan yang intim dengan Kristus. Ia harus berani mewartakan dan
mewujudkan Injil dalam perkataan dan perbuatan dan berani membela iman serta
mempertanggung jawabkannya. Ketiga, seseorang harus terlibat dalam hidup
menggereja. Seorang individu dapanggil untuk melaksanakan hak dan kewajiban
sebagai anggota serta mengupayakan pertumbuhan Gereja.
Senada dengan Sakramen Krisma dalam Gereja, masyarakat Oja
mempunyai ritus yoye ngi’i sebagai upacara inisiasi menuju kedewasaan. Seorang
pribadi khususnya perempuan menjadi anggota penuh masyarakat budaya Oja
apabila ia sudah melewati ritus tersebut. Ritus ini menjadi sarana resmi
penerimaan dan pengukuhan seseorang ke dalam anggota budaya secara resmi.
Seorang anak gadis yang sudah melewati ritus tersebut berhak dan berkewajiban
untuk terlibat secara aktif dalam seluruh rangkaian upacara adat. Pada saat yang
sama, seorang anak perempuan memiliki harkat dan martabat yang sama seperti
perempuan dewasa pada umumnya.
Berdasarkan fungsinya, perayaan yoye ngi’i dan Sakramen Krisma
mempunyai makna yang sama yaitu sebagai tanda kedewasaan. Ritus yoye ngi’i
meresmikan dan mengukuhkan seorang anak gadis ke dalam golongan orang
dewasa dengan segala hak dan kewajibannya. Sedangkan melalui Sakramen
Krisma, seorang anggota Gereja dilantik menjadi orang yang dewasa dalam iman
guna membangun persekutuan yang erat dengan Kristus. Membangun
persekutuan yang erat dengan Kristus berarti ia bertugas dan berkewajiban
mengembangkan karya keselamatan di dunia yang telah dihidupi oleh Yesus
Kristus.
148
F. X. Didik Bagitowinadi, Siap Diutus (Buku Kerja Persiapan Krisma) (Malang:
Dioma, 2001), hlm. 43.
68
Prinsip dasar pelaksanaan kedua upacara Sakramen Krisma dan yoye ngi’i
adalah menerima dan memasukkan seseorang ke dalam kelompoknya. Seorang
individu dapat diterima secara sah dalam sebuah kelompok, jika ia memenuhi
semua ketentuan dari upacara yang dirayakan.
Kedua perayaan merupakan tanda kedewasaan. Sakramen Krisma
merupakan tanda kedewasaan dalam iman. Sebagai sebuah rahmat, iman
seseorang terus bertumbuh dan dinyatakan dalam segala keputusan. Sebagai
sebuah keputusan, iman perlu diinternalisasikan ke dalam diri untuk mencapai
kematangan. Proses akhir kematangan iman yang utuh mencapai puncaknya
ditandai melalui Sakramen Krisma. Penguatan yang diterima dengan pencurahan
Roh Kudus dalam Sakramen Krisma membantu seorang individu untuk terlibat
aktif dalam tugas dan perannya di dalam Gereja demi menghadirkan keselamatan
Allah di tengah dunia. Pada titik ini, Sakramen Krisma menguatkan seseorang
untuk menjadi saksi Kristus dalam karya keselamatan dunia sebagai bentuk
konkretisasi cinta Tuhan.
Sementara itu, ritus yoye ngi’i adalah tanda kedewasaan seseorang secara
adat. Upacara ini memungkinkan seseorang untuk terlibat aktif dalam kegiatan-
kegiatan adat misalnya, ritus peminangan atau ritus Tu Ngawu, dan ritus Guti Fu
Ana (ritus pemotongan rambut balita). Lebih jauh, ritus ini melantik seseorang
untuk mengambil bagian dalam tugas pelayanan secara adat.
Pada prinsipnya tujuan utama dari kedua upacara tersebut memberikan
afirmasi akan peran dan keterlibatan seseorang dalam sebuah kelompok. Proses
pendewasaan yang diterima seseorang melalui ritus yoye ngi’i dan Sakramen
Krisma dengan demikian menjadi bagian integral dalam kehidupan mereka.
149
dalam Gereja Katolik, op. cit., hlm. 251.
150
Bernardus Boli Ujan, “Minyak Krisma,” Majalah Liturgi, Vol. 20 Mei-Juni, 2009,
hlm. 23.
70
151
Gereja Katolik, loc. cit.
152
Ibid., hlm. 253.
153
E. Martasudjita, op. cit., hlm. 260.
71
bertanggung jawab secara bebas untuk bersedia menjadi saksi Kristus guna
mewartakan karya keselamatan kepada dunia.
Dalam ritus yoye ngi’i, seorang anak gadis yang berhak menerima upacara
tersebut adalah mereka yang berada pada kisaran usia 11 hingga 15 tahun. Hal ini
bertolak dari argumen bahwa pada usia tersebut, seseorang dapat ambil bagian
dalam upacara adat. Tahapan usia ini menandai bahwa ia sudah dewasa dan siap
untuk memberikan diri demi melayani orang banyak. Tingkat kematangan dan
kedewasaan seseorang dapat ditunjukkan melalui aspek biologis. Pada zaman
dahulu, ketika masyarakat Oja belum secara pasti mengetahui batasan usia tentang
sah dan layaknya seorang anak gadis melakukan upacara tesebut, maka aspek
biologis inilah yang dapat dijadikan tolak ukur.
Secara biologis, seorang anak gadis yang hendak diratakan atau dipotong
giginya seyogianya belum pernah mengalami menstruasi (haid) untuk pertama
kali dalam hidupnya. Apabila seorang anak gadis sudah mengalami menstruasi,
namun ia belum melaksanakan ritus yoye ngi’i maka hal ini disebut piye (pemali
atau haram). Masa pubertas merupakan masa adolensi, dimana ditandai dengan
datangnya masa pubertas maka sebenarnya masa anak-anak telah berakhir, dengan
demikian anak tersebut sudah memasuki masa ideal untuk melaksanakan ritus ini.
Keempat, peran wali atau saksi. Sakramen Krisma dan ritus yoye ngi’i
sama-sama memiliki pendamping atau wali dalam pelaksanaan upacara.
Pendamping atau wali ini bertanggung jawab penuh atas keberlangsungan hidup
anak walinya. Dalam KHK kanon 892 menyebutkan bahwa Sakramen Krisma
atau Penguatan hendaknya sedapat mungkin didampingi oleh seorang wali-
penguatan, yang bertugas agar pribadi-pribadi yang telah menerima Sakramen
Krisma bertindak sebagai saksi Kristus yang sejati dan setia memenuhi
kewajiban-kewajiban yang melekat pada sakramen itu.154 Pada prinsipnya, peran
wali dalam Sakramen Krisma tidak hanya pada saat upacara penerimaaan
Sakramen Krisma berlangsung, tetapi juga selalu berpartisipasi aktif dalam
seluruh ziarah kehidupan anak wali tersebut demi menjadi saksi Kristus dan
menjadi pewarta keselamatan kepada dunia.
154
Gereja Katolik, loc. cit.
72
155
J. D. Crichton, op. cit., hlm. 61.
156
Menurut Kanon 893, syarat-syarat bagi seseorang menjadi wali Krisma sama dengan
syarat-syarat yang disebut dalam Kanon 874 tentang wali Baptis.
157
Gereja Katolik, op. cit., hlm. 249.
73
158
FX. Wibowo Ardhi, Sakramen Krisma (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hlm. 17.
159
Bosco Da Cunha, Tiga Sakramen Inisiasi (Malang: Dioma, 1991), hlm. 18.
160
Hasil wawancara dengan Sebastianus Sabar Susa, Tokoh Masyarakat dan Tokoh Adat
Oja, pada 29 Desember 2019 di Oja.
161
Paskalis Lina, Moral Pribadi: Pribadi Manusia dan Seksualitasnya (Maumere:
Ledalero, 2017), hlm. 3.
74
seksual itu sendiri.162 Dalam konteks budaya, kehidupan seksual yang dibangun
sebelum upacara yoye ngi’i dapat menghilangkan nilai kesakralan dari upacara
potong gigi tersebut. Jika sebelum melakukan upacara potong gigi, anak gadis
tersebut tidak terlebih dahulu mangakui perbuatannya atau kesalahannya, maka
dalam pelaksanaanya, tua madi (orang pintar) dapat mengetahuinya. Hal ini
ditandai dengan proses pemotongan gigi berjalan tidak lancar dan akan selalu
mengalami hambatan bahkan pada akhirnya dapat mencelakai anak gadis tersebut.
Apabila hal demikian benar-benar terjadi, maka anak beserta keluarganya dikenai
denda adat. Masyarakat Oja menganggap hubungan ini merupakan tabu bagi suku
atau klan dan keluarga.
4.1.1.5.1 Forma
162
Ibid., hlm. 187.
163
FX. Wibowo Ardhi, op cit., hlm. 13.
75
kedua, yua (dua) yang melambangkan penyatuan dengan Nitu (Tuhan penguasa
bumi), dan ketiga, tedu (tiga) yang melambangkan penyatuan dengan ine ame ebu
kajo (leluhur). Sedangkan wutu, bhisa (empat, terjadilah atau amin) merupakan
kata penyatuan dari unsur-unsur kehidupan tersebut yang berarti terjadilah, amin
atau berkatilah.164
4.1.1.5.2 Materi
164
Hasil wawancara dengan Zakarian Yos Marsedo, Tokoh Masyarakat dan Tokoh Adat
Oja, pada 28 Desember 2019 di Oja
165
Bernardus Boli Ujan, op. cit., hlm. 23.
166
Ibid., hlm. 24.
167
Ibid.,
168
Ibid., hlm. 26.
76
4.1.1.5.3 Simbol
169
Ibid., hlm. 23.
170
Albertus Heriyanto, “Makna Simbolik Kultus Kargo”, dalam Jurnal Lineal Agama
dan Kebudayaan Vol. 03. No. 01. Oktober 2006. hlm. 29.
77
171
J. D. Cricton, op. cit., hlm. 39.
172
E. Martasudjita, op. cit., hlm. 246.
173
L. Prasetya, Persiapan Sakramen Penguatan atau Krisma (Malang: Dioma, 2005),
hlm. 33.
174
Georg Kirchberger, Allah Menggugat Sebuah Dogmatik Kristiani (Maumere:
Ledalero, 2012), hlm. 496.
175
Josep Martos, Sakramen-sakramen Gereja, Krisma (Jakarta: Obor, 1997), hlm. 34.
78
meterai Roh Kudus.176 Pengurapan dengan minyak ini merupakan bentuk nyata
dari perutusan karya misioner. Kendati dalam prakteknya pengurapan minyak
tersebut hanya dibuat dengan mengoleskan minyak kepada krismawan atau
krismawati, ritus ini tetap memiliki makna yang mendalam yaitu, menguatkan,
menugaskan, mengutus dan memberikan krismawan atau krismawati suatu tugas
baru yang sebelumnya tidak pernah dialami.
Ketiga, tepuk pada pipi penerima sakramen. Tepuk pada pipi seorang
krismawan atau krismawati merupakan satu simbol penting dalam upacara
penerimaan Sakramen Krisma. Kendati nampaknya sederhana, tetapi ia memiliki
makna yang sangat berarti. Upacara tersebut biasanya dilakukan oleh Uskup atau
imam yang dipercayakan oleh Uskup untuk membantunya. Hal ini melambangkan
penguairan roh jahat atau kekuatan jahat dan menjadi saksi Kristus. Di samping
itu, upacara memberikan semangat kepada krismawan untuk sungguh menghayati
dan menerima tugas perutusan sebagai saksi Kristus dengan mantap dan berani.
Sementara itu, ritus yoye ngi’i memiliki tiga simbol khusus dalam upacara
potong gigi. Pertama, wesa/poke ngi’i dako. Wesa/poke ngi’i dako merupakan
tindakan melemparkan bulir-bulir beras kepada hewan korban (babi) yang akan
disembelih. Proses pelemparan bulir-bulir beras tersebut melambangkan sebuah
bentuk permohonan kepada tiga unsur kehidupan (Wujut Tertinggi, nenek
moyang dan nitu) agar memberkati upacara potong gigi. Hal ini dilakukan pada
tahap awal sebelum memasuki upacara inti potong gigi. Peristiwa ini hampir
serupa dengan doa pembuka dalam upacara penerimaan Sakramen Krisma. Doa
pembuka yang dilantunkan pada awal upacara Sakramen Krisma merupakan
tindakan permohonan akan penyertaan dan keterlibatan Allah dalam seluruh
rangkaian upacara inisiasi Sakramen Krisma. Di samping itu, makna pemberkatan
hewan korban ini juga hampir mirip dengan proses memberkati umat beriman
dengan mereciki air berkat. Proses mereciki air berkat kepada umat beriman
bertujuan agar umat beriman dapat disucikan.
Kedua, pasi gaci ndeka, yua, tedu, wutu bhisa. Simbol ini merupakan
tindakan mengayunkan sebilah pisau oleh om ke atas gigi anak gadis yang hendak
dipotong. Pasi gaci (doa adat) yang ditampilkan dalam budaya Oja berupa
176
Kongregasi Ajaran Iman. Katekiskus Gereja Katolik. penerj. Herman Embuiru (Ende:
Arnoldus, 1998), hlm. 330.
79
hitungan mulai dari angka satu, dua tiga dan empat terjadilah atau amin. Konsep
pemahaman masyarakat budaya terhadap doa adat ini identik dengan praktik tanda
salib dalam Gereja Katolik, seperti dalam nama Bapa, dan Putra dan Roh Kudus,
Amin. Tanda kemenangan Kristus yang dilakukan umat menandai dan membuka
seluruh rangkaian upacara keagamaan. Sementara paci gaci merupakan tanda
salib dari perspektif budaya guna membuka seluruh rangkaian upacara adat.
Ketiga, pake keto kondo merupakan simbol mengenakan pakaian adat.
Busana atau pakaian adat tersebut melambangkan kedewasaan. Orang yang
mengenakan busana ini sesungguhnya sudah memiliki hak dan kewajiban dalam
pelaksanaan upacara adat. Kelengkapan dalam berbusana adat menandai bahwa ia
juga sudah siap untuk dipinang. Hal ini hampir serupa dengan upacara menerima
Tubuh dan Darah Kristus yang melambangkan penegasan akan kelayakan
seseorang beriman dalam pelaksanaan keselamatan. Tubuh dan darah Kristus
menandai bahwa seseorang yang menerimanya itu sudah dewasa dalam iman,
sehingga ia patut untuk berpartisipasi dalam karya misioner Gereja. Keempat,
dhoga weti bako melambangkan bahwa anak gadis sudah siap untuk memberi diri
demi melayani banyak orang. Pelayanan yang diberikan tidak hanya bagi anggota
keluarga inti saja, tetapi juga bagi semua masyarakat budaya setempat.
4.1.1.6.1 Persiapan
177
Bosco Da Cunha, op. cit., hlm 28
80
diajak untuk mengikatkan diri pada kewajiban untuk mendengarkan Sabda Allah,
turut dalam doa bersama dan terlibat dalam hidup bersama.
Tahapan persiapan (katekese) dalam Sakramen Krisma dapat
dikategorikan sebagai bentuk dari pastoral liturgi. Pada hakekatnya, pastoral
liturgi tidak semata-mata memfokuskan pada kerigma atau pewartaan kebenaran
iman tetapi sebagai katekese mistagogi. Katekese mistagogi lebih bertujuan untuk
membina dan membimbing umat kepada pengertian yang lebih baik tentang
misteri iman kristiani.178 Seperti halnya ditegaskan oleh Bosco Da Cunha dalam
bukunya yang berjudul Tiga Sakramen Inisiasi bahwa seseorang yang telah
melewati tahap awal persiapan (katekese) akan beralih pada masa katekumenat.
Masa katekumenat bukanlah persiapan untuk menerima sakramen-sakramen
inisiasi, tetapi lebih pada pematangan progresif dalam hal hidup sebagai orang
kristen.179 Pada prinsipnya, tahapan persiapan dalam penerimaan Sakramen
Krisma hanya memiliki satu tujuan akhir yakni membawa semua orang untuk
mencapai kesatuan yang lebih erat dan intim dengan Kristus melalui bimbingan
Roh Kudus.
Sementara itu, pihak yang berperan penting dalam tahap persiapan ritus
yoye ngi’i adalah orangtua dan keluarga anak gadis. Dalam budaya masyarakat
Oja ada dua bentuk persiapan yang mesti dilakukan oleh orangtua dan keluarga.180
Pertama, persiapan moral anak gadis. Dalam persiapan ini, orangtua sejak dini
menanamkan nilai-nilai budaya yang berkaitan dengan upacara potong gigi
kepada anak gadis. Hal ini hendak menujukkan bahwa dalam peziarahan hidup,
anak gadis harus memperhatikan nilai-nilai budaya dan menjaga tubuhnya agar
tetap sakral untuk mengikuti upacara potong gigi.
Kedua, tahap persiapan materi, sarana dan prasarana yang dibutuhkan
dalam upacara potong gigi dan waktu pelaksanaan. Materi yang mesti disiapkan
oleh orangtua dan keluarga adalah semua alat-alat dan ramuan yang dibutuhkan
dalam upacara tersebut. Sementara persiapan sarana dan prasarana ialah
menyiapkan makanan dan minuman serta semua perlengkapan untuk memberi
178
Antonius Martinus Tangi, ”Liturgi Pastoral” (Bahan Ajar STFK Ledalero, Maumere,
2015), hlm. 6.
179
Bosco Da Cunha, op cit., hlm. 29.
180
Hasil wawancara dengan Sebastianus Sabar Susa, Tokoh Masyarakat dan Tokoh Adat
Oja, pada 29 Desember 2019 di Oja.
81
makan kepada anggota klan atau suku yang hadir dalam menyaksikan upacara
potong gigi anak gadis. Di samping itu, orangtua juga mempersiapkan waktu yang
tepat untuk melakukan upacara potong gigi tersebut. Ketika orangtua telah
melihat tanda-tanda peralihan atau masa adolansi pada anak gadis mereka, maka
mereka mulai merencanakan waktu yang tepat untuk upacara tersebut.
4.1.1.6.2 Pelaksanaan
Inisasi menjadi salah satu bagian wajib dalam sebuah kelompok atau
lembaga kehidupan, entah itu dari pihak Gereja maupun pihak adat (budaya).
Sebagai upacara yang wajib bagi anggotanya, maka kegiatan inisiasi harus
dirayakan dalam suatu moment. Peristiwa inisiasi (Baptis, Krisma dan Ekaristi)
merupakan peristiwa besar dan menjadi satu kesatuan sehingga perlu dirayakan.181
Begitu pula dengan ritus yoye ngi’i pada masyarakat Oja. Proses pelaksanaan
dalam kedua upacara ini pada prinsipnya sama-sama memiliki beberapa tahap
yang mesti dilalui.
Pertama, keduanya sama-sama dirayakan dalam suatu moment khusus.
Perayaan Sakramen Krisma dilaksanakan dalam perayaan Ekaristi (Misa).
Namun, penerimaan Sakramen Krisma lebih dikhusukan pada saat setelah liturgi
sabda atau sebelum doa umat. Sementara ritus yoye ngi’i dilaksanakan dalam
suatu upacara adat peralihan. Upacara adat peralihan ini dilakukan dengan tujuan
untuk mendewasakan seseorang secara budaya. Hal ini berarti bahwa upacara ini
memungkinkan seorang anak gadis untuk menerima hak dan kewajiban sebagai
masyarakat budaya.
Kedua, keduanya sama-sama diantarkan oleh wali atau pendamping.
Dalam penerimaan Sakramen Krisma, calon krisma diantar oleh wali-krisma ke
hadapan Allah yang ditampilkan melalui wakil-Nya, yaitu Uskup dan para imam.
Hal ini bermaksud agar calon krisma mendapat kekuatan dan pencurahan Roh
Kudus yang diterimanya melalui pengurapan minyak krisma dan penumpangan
tangan Uskup. Sedangkan dalam ritus yoye ngi’i, seorang anak gadis diantar oleh
walinya, orangtua dan pendamping lainnya. Wali dalam upacara ini adalah ebu
ta’u (om dan tanta). Hal ini melambangkan dukungan dan kasih sayang orangtua
181
Alosius Soenarto, dkk., Katekese Bagi Calon Krisma (Yogyakarta: Kanisius, 2002),
hlm. 82.
82
serta keluarga kepada mereka. Selain itu, kehadiran pihak-pihak ini secara tidak
langsung turut memberikan dukungan dan kekuatan kepada anak gadis untuk
menghadapi dan mengalami upacara potong gigi sehingga dia tidak merasa takut.
Ketiga, inti perayaan. Penerimaan Sakramen Penguatan berpuncak pada
pencurahan Roh Kudus, seperti para rasul yang dicurahi Roh Kudus pada
peristiwa Pentakosta. Pencurahan karunia Roh Kudus kepada para calon bertujuan
agar mereka menjadi lebih serupa dengan Kristus dan dikuatkan sehingga mereka
dapat memberikan kesaksian tentang Kristus demi pembangunan jemaat dalam
iman dan kasih.182 Sarana pencurahan Roh Kudus ini dapat dialami melalui
pembaharuan janji baptis, penumpangan tangan dan pengurapan dengan minyak
krisma.183
Sementara inti dari perayaan ritus yoye ngi’i adalah upacara potong gigi
atau meratakan gigi. Proses meratakan gigi pada anak gadis merupakan simbol
utama dari keseluruhan rangkaian upacara ini. Bahwasanya pada tahap ini seorang
anak gadis sudah dikatakan sebagai anggota klan atau suku yang sah sehingga
masa adolensinya sebagai anak-anak sudah berakhir dan beralih kepada masa
dewasa, yaitu sebuah masa di mana anak gadis tersebut sudah siap memberi diri
untuk dilayani dan melayani semua orang tanpa terkecuali.
Keempat, upacara makan bersama atau perjamuan bersama. Dari
pengalaman hidup sehari-hari, acara yang mempersatukan bahkan menjadi puncak
pertemuan seluruh anggota keluarga dan komunitas adalah acara makan bersama.
Dengan makan bersama, tumbuhlah rasa persaudaraan dan keakraban seluruh
anggota komunitas. Puncak perjamuan Krisma adalah perayaan Ekaristi karena
dalam Ekaristi seluruh misteri kehidupan bersama dengan Allah dan manusia
mengalami kepenuhannya dalam Kristus.184 Oleh sebab itu, perayaan Ekaristi
menjadi sumber dan puncak seluruh kehidupan umat beriman. Perayan Ekaristi
merupakan perjamuan bersama untuk mengenang kembali perjamuan Paskah
Tuhan, yaitu pemecahan roti dan minum anggur sebagai lambang Tubuh dan
Darah Kristus. Sebagai saksi Kristus yang sejati, setiap pribadi hendaknya hidup
dalam kasih Tuhan. Tubuh dan darah Kristus memampukan manusia unuk
182
J. D. Cricton, op cit hlm. 91.
183
F. X Didik Bagiyowinadi, op. cit., hlm. 64.
184
E. Martasudjita, op cit., hlm. 266.
83
185
Loc cit.,
84
186
Cristologus Dhogo, Su’i Uwi: Ritus Budaya Ngada dalam Perbandingan dengan
Sakramen Ekaristi (Maumere: Ledalero, 2009), hlm. 209.
85
187
J. B. Banawiratma, op cit., hlm. 131-132.
188
Loc cit.,
189
Cristologus Dhogo, op cit., hlm. 80.
86
Yang Transenden atau Allah itu selalu hadir dalam seluruh peziarahan dan
pengalaman hidup manusia, hal ini ditegaskan oleh Harvey H. Potthoff bahwa
Allah memanggil manusia untuk tumbuh dan mencapai tujuan hidupnya,
mengatasi kesulitan hidup, menjelajahi hal-hal yang tidak diketahui.190
Keberadaan dan kehadiran-Nya di dunia ini melampaui ruang dan waktu, Ia hadir
untuk menyertai dan menuntuk peziarahan hidup umat manusia. Pengakuan akan
eksistensi yang transenden dapat dilihat dalam perayaan-perayaan baik budaya
maupun agama seperti Sakramen Krisma dan yoye ngi’i.
Pada dasarnya upacara Sakramen Krisma dan ritus yoye ngi’i merupakan
sarana yang menginisiasikan seseorang ke dalam salah satu kelompok. Namun,
keduanya memiliki perbedaan mendasar dalam ruang lingkup. Ruang lingkup
pelaksanaan dan penerimaan upacara Sakramen Krisma lebih luas cakupannya,
yaitu Gereja universal. Hal ini bertolak dari pemahaman Gereja tentang sakramen,
yaitu suatu tanda pemberi rahmat atau lambang serta sarana keselamatan bagi
umat manusia.191 Sakramen sebagai lambang keselamatan ini merupakan buah
kurban penyelamatan Yesus di salib. Dengan kata lain, sakramen merupakan
rencana keselamatan Allah yang diwujudkan dalam diri Yesus.
Konsili Vatikan II dalam Konstitusi Dogmatis tentang Gereja (Lumen
Gentium [LG]) nomor 11 menyebutkan bahwa Sakramen Krisma ialah wujud
konkrit sakramentalis Gereja dalam kehiduapan sehari-hari. Essensi dari
Sakramen Krisma ialah mendewasakan iman umat sehingga mereka mampu hidup
dalam Kristus sebagai sarana keselamatan yang utama. Berkat Sakramen
Penguatan seseorang dianugerahkan kekuatan Roh Kudus yang
menyanggupkannya untuk menyebarluaskan dan membela iman sebagai saksi
Kristus yang sejati dengan perkataan maupun perbuatan.192 Dengan demikian,
Sakramen Krisma memiliki cakupan lebih luas yakni bagi semua orang katolik.
190
Harvey H. Potthoff, God and the Celebration of Life (New York: Rand McNally and
Compani, 1969), hlm. 59.
191
J. B. Banawiratma, op. cit., hlm. 11.
192
Konsili Vatikan II, loc. cit.
87
193
Gereja Katolik, op. cit., hlm. 251.
194
Bosko Da Cunha, op cit., hlm. 39.
88
195
Georg Kirchberger, op cit., hlm. 614.
196
Ibid., hlm. 617.
197
J. B. Banawiratma, op cit., hlm. 149.
89
sebagai pemimpin resmi. Pengukuhan ata madi ini merupakan rujukan bersama
dari lembaga masyarakat adat, keluarga dan ebu ta’u. Namun, yang menjadi
pemimpin utama dalam ritus yoye ngi’i ialah ebu ta’u karena dia merupakan orang
yang berhak untuk membuka seluruh rangkaian upacara.
198
Cristologus Dhogo, op cit., hlm. 148.
199
Loc cit.,
200
Konsili Vatikan II, op. cit., hlm. 594.
201
Loc cit.,
90
202
Cristologus Dhogo, op cit., hlm. 149.
203
Konsili Vatikan II, op. cit., hlm. 600.
91
Term inkulturasi berasal dari Bahasa Latin yaitu in dan cultura. In yang
berarti dalam dan cultura berarti budaya. Dengan demikian inkulturasi berarti
masuk ke dalam suatu wilayah dan tinggal serta menetap dalam kebudayaan
tersebut.204 Konsep inkulturasi dalam lingkungan Gereja pertama kali
diperkenalkan pada tahun 1973 oleh G. L. Barney dalam bidang misiologi dan
bukan dalam bidang liturgi. G. L. Barney mengatakan bahwa di tanah misi, nilai-
nilai Injil yang adibudaya dan yang hendak diwartakan kepada orang-orang
setempat haruslah terlebih dahulu diinkulturasikan ke dalam kebudayaan
masyarakat sehingga dapat membentuk suatu kebudayaan baru yang bersifat
Kristen.205 Secara khusus istilah inkulturasi ini dipakai dalam bidang katekese
ketika pada tahun 1975 oleh para anggota sidang umum Serikat Yesus.206
Dalam arti yang lebih luas, inkulturasi adalah sejenis penyesuaian dan
adaptasi kepada masyarakat, kelompok umat, kebiasaan, bahasa dan perilaku yang
biasa yang terdapat pada suatu tempat.207 Hal ini ditegaskan oleh Paus Benediktus
XV dalam Ensikliknya Maximum Ilud bahwa seorang pembawa karya misioner
harus menahan diri dalam semangat nasionalismenya sembari mewartakan Injil
Tuhan.208 Hal ini berarti bahwa seorang misionaris diharapkan agar masuk ke
dalam kehidupan budaya setempat dan melakukan adaptasi dan inkulturasi di
tempat mereka berkarya sehingga pesan (pewartaan) Injil dapat diterima oleh
orang-orang yang belum mengimani Kristus. Proses inkulturasi ini merupakan
sarana untuk membawa masyarakat budaya memahami dan mengalami kasih
Allah. Sebagaimana ditegaskan oleh Banawiratma dalam bukunya Menjernihkan
Inkulturasi: dalam Inkultutasi Bina Liturgi 1 bahwa warta kristiani harus berakar
dalam kebudayaan setempat. Para pewarta tidak hanya memberi kepada, tetapi
juga menerima dari kebudayaan setempat yang menerima Injil. Inkulturasi terjadi
204
A. Soenarja, inkulturasi (Yogyakarta: Kanisius, 1997), hlm. 41.
205
Bernadus Boli Udjan dan Georg Kirchberger (ed.), Liturgi Autentik dan Relevan
(Maumere: Ledalero, 2006), hlm 10-11
206
Anscar J. Chupungco, Liturgical Inkulturation: Sacramentals, Religiosity and
Chatechesis (Minesota: The Liturgical Press Collegeville, 1992), hlm. 27.
207
Anicentius B. Sinaga, Gereja dan Inkulturasi (Yogyakarta: Kanisius, 1984), hlm. 8.
208
Ibid., hlm. 28.
92
kalua hidup orang beriman digerakan oleh Roh Kudus untuk menjadi pelayan Injil
dengan mewartakan serta menyaksikan Kristus sebagai penyelamata semua orang
bersama kebudayaan mereka. Inkulturasi memampukan orang beriman untuk
berdialog dengan kebudayaan setempat, tidak hanya berbicara kepada, tetapi juga
berbicara dengan orang-orang setempat mengenai hidup dan kebudayaanya.209
Proses inkulturasi yang nyata dapat ditemukan dalam ritus yoye ngi’i.
Ritus ini dapat diinkultiurasiakn ke dalam Sakramen Krisma. Beriman kepada
Yesus Kristus itu mesti ditumbuhkembangkan dan dihidupi dalam masyarakat
budaya dengan melakukan adaptasi atau inkulturasi nilai-nilai Kristiani ke dalam
budaya setempat. Nilai-nilai kristiani yang hendak diinkulturasikan salah satunya
adalah Sakramen Krisma. Konsili Vatikan II dalam dokumen Konstitusi Liturgi
Suci (Sacrosanctum Concilium [SC]) nomor 37 menguraikan bahwa:
Dalam hal-hal yang tidak menyangkut iman atau kesejahteraan segenap
jemaat, Gereja dalam liturgi pun tidak ingin mengharuskan suatu
keseragaman yang kaku. Sebaliknya, Gereja memelihara dan memajukan
kekayaan yang menghiasi jiwa pelbagai suku dan bangsa. Apa saja dalam
adat kebiasaan para bangsa, yang secara mutlak terikat pada takhyul atau
ajaran sesat, oleh Gereja dipertimbangkan dengan murah hati, dan
mungkin dipeliharan dalam keadaan baik dan utuh. Bahkan adakalanya
Gereja menampungnya dalam liturgi sendiri, asal saja selaras dengan
hakikat yang sejati dan asali.210
Melalui dokumen ini, Gereja menjadikan liturgi sebagai suatu perayaan umat atau
perayaan iman yang mampu disesuaikan dengan budaya masyarakat setempat.
Adaptasi dan penyusaian ini membawa dampak bahwa misteri iman yang
diwartakan dapat diterima dan diimani oleh masyarakat budaya secara utuh.
Pada hakikatnya praktek ritus yoye ngi’i pada masyarakat Oja tidak
menghilangkan semangat liturgi yang sejati dan asali. Pelaksanaan ritus yoye ngi’i
dalam masyarakat Oja tidak bertentangan dengan hakikat ritus Romawi sebagai
pedoman dasar pelaksanaan pelbagai kegiatan keagamaan dalam Gereja. Hakikat
ritus Romawi yang dimaksudkan di sini adalah tata aturan dan konsep dasar dari
Sakramen Krisma dalam Gereja Katolik sebagai tanda pendewasaan iman
seseorang. Dengan demikian, Konsili Vatikan II Sacrosanctum Concilium nomor
38 menegaskan bahwa Gereja dituntut untuk memberikan ruang yang cukup
209
J. B. Banawiratma, Menjernihkan Inkulturasi: dalam Inkultutasi Bina Liturgi 1
(Yogyakarta: Kanisius, 1985), hlm. 19.
210
Konsili Vatikan II, op. cit., hlm. 17.
93
211
Ibid., hlm. 18.
94
ritus yoye ngi’i hendaknya mengenakan pakaian adat, khususnya anak gadis sudah
mengenakan pakaian adat yang dibawa oleh ebu ta’u dari rumah induk
pelaksanaan. Dengan demikian pakaian adat tersebut akan dijadikan sebagai
busana resmi dalam perayaan Ekaristi. Sementara itu, para petugas liturgi lainnya
sudah menunggu di tempat perayaan Ekaristi. Setiba di tempat perayaan Ekaristi
dilanjutkan dengan upacara penerimaan Sakramen Krisma yang diawali dengan
perayaan Ekaristi.
Kedua, ritus penerimaan. Dikatakan bahwa upacara penerimaan Sakramen
Krisma dilaksanakan setelah Liturgi Sabda atau sebelum doa permohonan.
Pelaksanaan ritus yoye ngi’i dianjurkan agar dilaksanakan setelah Liturgi Sabda.
Dalam arti bahwa setelah homili, terlebih dahulu dilaksanakan upacara potong
gigi bagi anak gadis dan kemudian diikuti dengan penerimaan Sakramen Krisma
yang ditandai dengan pengurapan minyak krisma dan penumpangan tangan
Uskup. Pada tahap ini, waktu pelaksanaan yang dibutuhkan berbeda dari biasanya.
Bisa dikatakan bahwa waktu pelaksanaannya cukup lama karena adanya
peleburan dalam penerimaan Sakramen Krisma dan upacara potong gigi. Sebab
pada tahap ini merupakan inti dari kedua perayaan tersebut.
Ketiga, doa permohonan. Doa adat (pasi gaci) yang diucapkan ebu ta’u
dalam upacara potong gigi merupakan salah satu bentuk doa permohonan kepada
ketiga unsur kehidupan. Karena itu, doa tersebut dapat dilaksanakan dalam doa
permohonan penerimaan Sakramen Krisma. Pada prinsipnya yang berhak
melantunkan doa adat tersebut ialah Ebu ta’u (om), maka ia juga dapat
menjalankan tugas sebagai pembawa doa permohonan dalam upacara penerimaan
Sakramen Krisma.
Keempat, persembahan. Pada tahap ini bahan-bahan yang diantar ke meja
kurban (altar) berupa alat-alat potong gigi dan roti dan anggur. Secara lebih
khusus difokuskan pada alat-alat yang akan digunakan dalam upacara potong gigi.
Hal ini bermaksud bahwa alat-alat potong gigi yang diantarakan ke meja kurban
tersebut dipersembahkan kepada Tuhan agar diberkati oleh Tuhan melalui
perayaan Ekaristi. Hal ini bertujuan agar Tuhan turut menyempurnakan berkat
adat yang dibuat dalam upacara pendinginan alat.
95
4.3 Kesimpulan
Sakramen Krisma dan ritus yoye ngi’i merupakan perayaan inisiasi dalam
lingkungan Gereja dan budaya masyarakat Oja. Sebagai perayaan inisiasi,
keduanya tentu memiliki titik temu atau persamaan dan juga memiliki perbedaan.
Kendatipun demikian, inisiasi dari keduanya memiliki suatu tujuan fundamental,
yaitu hendak mendewasakan seseorang baik dari perspektif iman maupun budaya
dan mengukuhkan atau menerima seseorang secara resmi ke dalam kelompoknya.
Ritus yoye ngi’i memiliki nilai religiositas terhadap kekuatana transedental. Oleh
karena itu, pemahaman yang baik terhadap ritus yoye ngi’i membuka horizon
berpikir mereka kepada peran dan keterlibatan Yang Transenden atas
kehidupannya.
Praktek pelaksanaan upacara yoye ngi’i pada dasarnya tidak bertentangan
dengan upacara pendewasaan iman seseorang dalam Gereja umumnya dan
Sakramen Krisma khususnya. Pemahaman yang baik akan ritus yoye ngi’i
memiliki relevansi bagi pengembangan dan penghayatan iman kristiani yang
semakin mendalam. Pada prinsipnya iman kristiani itu tidak bertumbuh begitu
saja pada masyarakat primitif, tetapi malalui karya pewartaan makna iman
kristiani tersebut dapat bertumbuh dengan baik seturut ajaran Gereja Katolik.
Oleh karena itu, Gereja harus membuka diri terhadap kebudayaan guna
mewartakan keselamatan Allah. Sebab kselamatan itu bersifat universal dan ada
begitu banyak jalan atau sarana yang ditempuh untuk mencapai keselamatan itu.
Salah satu sarana yang dipakai dalam konteks ini adalah kebudayaan.
96
terus menerus diskusi yang sifatnya luas, mendalam dan interdisipliner untuk
semakin menemukan arah yang jelas mengenai inkulturasi.
Melalui tulisan ini, penulis bersikap memberikan sumbangan kepada
Gereja sebagai suatu bentuk atau upaya penjernihan terhadapa inkulturasi. Penulis
juga menyadari bahwa sumbangan ini tidak bersifat tuntas dan mutlak terhadap
tema inkulturasi karena tema ini memiliki cakupan yang sangat luas. Akan tetapi,
menawarkan ritus yoye ngi’i untuk diinkulturasikan ke dalam Sakramen Krisma.
Sebab penulis melihat bahwa melalui inkulturasi ritus yoye ngi’i ke dalam
Sakramen Krisma secara tidak langsung hendak mewartakan Allah kepada
masyarakat Oja. Hal ini menegaskan bahwa dengan adanya inkulturasi tersebut
membuat masyarakat Oja dapat memahami dan mengalami secara lebih
mendalam tentang hakikat dari Sakramen Krisma.
Bentuk inkulturasi ritus yoye ngi’i ke dalam Sakramen Krisma untuk
dirayakan secara bersama yang ditawarkan penulis di sini sesungguhnya tidak
bersifat memaksa atau suatu keharusan, tetapi hanya sebagai sumbangan bagi
Gereja. Tulisan ini merupakan suatu kerangka dasar atau sketsa yang
membutuhkan diskusi dan pendalaman lanjutan. Dengan bertolak dari
perbandingan yang dibuat sebelumnya kedua upacara tersebut memiliki nilai,
tujuan dan makna yang sama. Namun, tawaran untuk dirayakan secara bersama ini
harus memperhatikan batas-batas yang telah ditetapkan oleh terbitan otentik buku-
buku liturgi dan tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah dasar yang terdapat
dalam Konstitusi Liturgi. Di samping itu juga kemungkinan ini harus terlebih
dahulu didiskusikan dengan pemimpin Gereja setempat karena mereka memiliki
wewenang khusus, seperti ditegaskan dalam Sacrosanctum Concilium no 22
bahwa:
Wewenang untuk mengatur liturgi semata-mata ada pada pemimpin
Gereja, yakni Takhta Apostolik, dan menurut kaidah hukum pada Uskup.
Berdasarkan kuasa yang diberikan hukum, wewenang untuk mengatur
perkara-perkara liturgi dalam batas-batas tertentu juga ada pada pelbagai
macam Konferensi Uskup sedaerah yang didirikan secara sah.213
213
Loc cit.,
98
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Gereja dan kebudayaan adalah dua entitas yang berbeda namun saling
berkaitan satu sama lain. Gereja tidak dapat hidup tanpa ada kebudayaan.
Keduanya mempunyai kesamaan yaitu berbicara tentang nilai-nilai kehidupan.
Eksistensi dan esensi dari keduanya pada hakekatnya saling melengkapi dan
menyempurnakan antara yang satu dengan yang lainnya.
Gereja sebagai lembaga agama menyadari bahwa nilai ketuhanan sudah
ada dan hidup dalam setiap budaya. Pengakuan akan adanya Wujud Tertinggi
dalam setiap budaya diungkapkan secara nyata dalam ritus yang dirayakan. Yoye
ngi’i adalah satu dari banyak upacara adat yang dibuat sebagai bentuk ungkapan
dari pengakuan akan adanya Wujud Tertinggi dalam masyarakat Oja. Pengakuan
adanya Wujud Tertinggi dalam suatu budaya mendorong gereja untuk membuka
diri untuk menerima nilai-nailai kebudayaan dari suatu budaya dan
mengintegrasikannya ke dalam Gereja
Konsili Vatikan II membawa angin segar ke dalam Gereja melalui
semboyan argionamento. Keterbukaan Gereja terhadap agama-agama dan
kebudayaan lain sesungguhnya bertolak dari pemahaman bahwa agama-agama
lain dan kebudayaan bangsa-bangsa juga mempunyai nilai-nilai baik, dan suci.
Pemahaman ini mendorong gereja untuk bersikap positif terhadap agama-agama
lian dan kebudayaan bangsa-bangsa. Keterbukaan Gereja dapat dilihat secara jelas
melalui proses inkulturasi sebuah budaya ke dalam Gereja.
Inkulturasi adalah salah satu cara untuk mengkontekstualisasikan nilai-
nilai Injil dengan tujuan agar karya pewartaan Injil dalam budaya lokal lebih
membumi dan mudah dipamahami serta dimengerti oleh masyarakat budaya.
Salah satu budaya yang dapat membangun dilog dengan Gereja dalam masyarakat
Oja ialah ritus yoye ngi’i.
100
Ritus yoye ngi’i merupakan salah satu bentuk kebudayaan yang dihidupi
dan diparktek oleh masyarakat Oja hingga sekarang ini. Ritus yoye ngi’i tersebut
menjadi sebuah perayaan penting yang berkaitan dengan siklus pertumbuhan
seorang anak gadis. Konsep dasar, makna dan tujuan ritus yoye ngi’i adalah proses
insiasi seorang anak gadis dalam masyarakat budaya. Proses pendewasaan
seorang anak gadis dapat disimbolisasikan melalui cara meratakan, menggosok
atau memotong gigi. Melalui ritus ini, seorang gadis dinayatakan dewasa secara
adat dan sekaligus menjadi anggota penuh dari sebuah suku tertentu.
Senada dengan praktik budaya seperti ritus yoye ngi’i, Gereja juga
memiliki ritus inisiasi. Salah satu ritus inisiasi dalam Gereja adalah Sakramen
Krisma. Sakramen Krisma menjadi sebuah sarana yang menginisiasikan
seseorang menjadi anggota Gereja yang utuh. Melalui sakramen ini, seseorang
dinyatakan dewasa dalam hal iman.
Kedewasaan dalam iman tersebut menjadi tolak ukur keterlibatan
seseorang dalam seluruh rangkaian karya misi keselamatan yang diemban Gereja.
Melalui penerimaan Sakramen Krisma seorang krismawan/i mendapat kepenuhan
atau pencurahan Roh Kudus. Melalui pencurahan ini, mereka dimampukan untuk
menwarakan Kristus dalam kehidupan setiap hari.
Antara ritus yoye ngi’i dan Sakramen Krisma ada beberapa persamaan dan
juga ada beberapa perbedaan. Pertama, ritus yoye ngi’i memiliki makna dan
tujuan yang sama dengan Sakramen Krisma yakni secara resmi melantik dan
mengukuhkan seseorang ke dalam suatu kelompok. Pelantikan dan pengukuhan
tersebut didasari oleh konsep kedewasaan baik dalam iman maupun budaya. Di
samping itu, secara fundamental keduanya merupakan merupakan momen
pengungkapan religiositas manusia atas cinta Allah (WujudTertinggi) yang
mereka alami dalam perjalanan hidup mereka. Keduanya mempersatukan manusia
untuk saling memberikan kekuatan dan menegaskan identitas diri di hadapan
Allah dan sesama
Kedua, kesamaan isi dari ritus. Secara ritual, antara ritus yoye ngi’i dengan
Sakramen Krisma terdapat beberapa kesamaan struktur dan isi. Pertama,
keduanya pada dasarnya memiliki struktur perayaan yang sama yang didahului
oleh ”Liturgi Sabda” dan disusuli dengan ”Litugi Kurban”. Kedua, keduanya
101
serta Sakramen Krisma. Kesamaan makna dan tujuan antara kedua ritus ini
membantu umat untuk mengerti makna Sakramen Krisma itu sendiri. Dengan
demikian tidak berlebihan jika dikatakan bahwa ritus yoye ngi’i adalah cara untuk
mengaktualisasikan serta mengkontektualisasikan Sakramen Krisma ke dalam
konteks umat Oja.
5.2 Saran
melalui Sakramen Krisma. Oleh karena itu, Gereja harus turut aktif dalam setiap
proses yang dijalani oleh seseorng dalam menerima Sakramen Krisma.
Berdasarkan analisis penulis tentang relasi antara ritus yoye ngi’i dan
Sakramen Krisma di mana keduanya memiliki kesamaan yang hakiki, maka
penulis mengajurkan kemungkinan adanya inkulturasi antara keduanya. Satu hal
yang pasti adalah bahwa tidak semua unsur kebudayaan dapat diinisiasikan.
Namun, paling kurang dianjurkan dalam konteks Oja, agar kedua ritus ini
dirayakan dalam waktu bersamaan seperti Sakramen Perkawinan. Dengan
demikian, umat dapat melihat makna dan arti ritus yoye ngi’i tidak hanya dalam
pemahaman sebuah budaya semata tetapi dapat memahaminya juga dalam terang
iman.
104
DAFTAR PUSTAKA
1. DOKUMEN GEREJA
Konsili Vatikan II. Dokumen Konsili Vatikan II. Penerj. Hardawiryana, R. Jakarta:
Obor, 2008.
Gereja Katolik, Kitab Hukum Kanonik. Penerj. V. Kartosiswoyo et. Al., cet XII.
Jakarta: Obor 2004.
Kongregasi Ajaran Iman. Katekismus Gereja Katolik. Penerj. Herman Embuiru.
Ende: Arnoldus,
2. ENSIKLOPEDIA
Heuken, Adolf. Ensiklopedi Gereja. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2005.
3. BUKU
Erikson, Erik H. Jati Diri, Kebudayaan dan Sejarah Pemahaman dan Tanggung
Jawab. Maumere: LPBAJ, 2001.
Fernandez, Stephanus Ozias. Kebijakan Manusia Nusa Tenggara Timur Dulu dan
Kini. Ende: Percetakan Arnoldus, 1990.
Fuster, J. M. Teknik Mendewasakan Diri: Tumbuh dan Berkembang dalam Iman.
Yogyakarta: Kanisius, 1985.
Groenen, C. Teologi Sakramen Inisiasi: Baptisan Krisma . Yogyakarta: Kanisius,
1992.
Kebung, Kondrad. Filsafat Berpikir Orang Timur (Indonesia, Cina dan India).
Jakarta: Prestasi Pustaka, 2011.
Kirchberger, Georg. Allah Menggugat. Maumere: Ledalero, 2007.
Koentajaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru, 1980.
---------. Ritus Peralihan di Indonesia. Jakarta: PN Balai Pustaka, 1985.
Lina, Paskalis. Moral Pribadi: Pribadi Manusia dan Seksualitasnya. Maumere:
Ledalero, 2017.
Martasudjita, E. Sakramen-Sakramen Gereja Tinjauan Teologis, Liturgis dan
Pastoral. Yogyakarta: Kanisius, 2003.
Martos, Josep. Sakramen-sakramen Gereja, Krisma. Jakarta: Obor, 1997.
Peursen, C. A. Van. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius, 1976.
Potthoff, Harvey H. God and the Celebration of Life. New York: Rand McNally
and Compani, 1969.
Prasetya, L. Persiapan Sakramen Penguatan atau Krisma. Malang: Dioma, 2005.
Raho, Bernard. Pengantar Sosiologi. Maumere: Ledalero, 2014.
Sebho, Fredi. Moral Samaritan (Dari Kenisah Menuju tepi Jalan) . Maumere :
Ledalero , 2018.
Sinaga, Anicentius B. Gereja dan Inkulturasi. Yogyakarta: Kanisius, 1984.
Soenarja, A. Inkulturasi. Yogyakarta: Kanisius, 1997.
Soenarto, Alosius dkk. Katekese bagi Calon Krisma. Yogyakarta: Kanisius, 2002.
Timo, Eben Nuban. Sidik Jari Allah dalam Budaya Upaya menjajaki Makna Allah
dalam Prangkat Budaya Suku-suku di Nusa Tenggara Timur. Maumere:
Ledalero, 2007.
Udjan, Bernadus Boli dan Kirchberger Georg. Liturgi Autentik dan Relevan.
Maumere: Ledalero, 2006.
106
5. MANUSKRIP
Dae, Ansel Dore. ”Manusia dan Kebudayaan Indonesia” (ms). Maumere. STFK
Ledalero, 2005,
Tangi, Antonius Martinus. “Liturgi Pastoral” (ms). Maumere. STFK Ledalero,
2015.
Kantor Desa Tendambepa. ”Sejarah Desa Tendambepa”, dalam Rencana
Pembangunan Jangka Panjang dan Menengah Desa Tendambepa Periode
2020-2025. Data diambil pada 10 Januari 2020.
Kantor Desa Tendambepa. ”Keadaan Topografi Desa Tendambepa”, dalam
Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan Menengah Desa
Tendambepa Periode 2020-2025. Data diambil pada 10 Januari 2020.
Kantor Desa Tendambepa. ”Keadaan Demografi Desa Tendambepa”, dalam
Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan Menengah Desa
Tendambepa Periode 2020-2025. Data diambil pada 10 Januari 2020.
107
6. WAWANCARA
Lampiran
Pertanyaan Wawancara
1. Bagaimana sejarah terbentuknya kampung Oja?
2. Bagaimana keadaan Geografis wilayah kampung Oja?
3. Bagaimana keadaan Demografi masyarakat kampung Oja?
4. Bagaimana sistem kepercayaan masyarakat Oja?
5. Bagaiamana sistem ekonomi masyarakat Oja?
6. Bagaimana sistem perkawinan dan keturunan masyarakat Oja?
7. Apa itu ritus yoye ngi’i?
8. Apa makna dan tujuan ritus yoye ngi’i?
9. Bagaimana persyaratan dalam pelaksanaan ritus yoye ngi’i?
10. Siapa saja yang terlibat dalam ritus yoye ngi’i?
11. Sarana apa saja yang digunakan dalam ritus yoye ngi’i?
12. Dimana tempat melaksanakan ritus yoye ngi’i?
13. Kapan ritus yoye ngi’i dilaksanakan?
14. Bagaimana tahap-tahap pelaksanaan ritus yoye ngi’i?
15. Bagaimana keterlibatan masyarakat Oja dalam melaksanakan ritus
yoye ngi’i?