Anda di halaman 1dari 118

KONSEP PENDEWASAAN RITUS YOYE NGI’I MASYARAKAT

OJA DALAM PERBANDINGAN DENGAN SAKRAMEN KRISMA

SKRIPSI

Diajukan kepada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero


untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat-Syarat
guna Memperoleh Gelar Strata Satu
Program Studi Ilmu Teologi-Filsafat
Agama Katolik

OLEH

VINSENSIUS SELE

NPM 16.75.5984

SEKOLAH TINGGI FILSAFAT KATOLIK LEDALERO

MAUMERE

2020
ii
iii
iv
v

KATA PENGANTAR

Gereja dan kebudayaan adalah dua entitas yang berbeda namun saling
berkaitan satu dengan yang lainnya. Gereja tidak dapat hidup tanpa adanya
kebudayaan. Karena itu, Gereja harus bekerja sama dan berdialog dengan agama-
agama lain termasuk di dalamnya agama tradisional agar kehadiran Allah tersebut
menjadi jelas. Melalui kebudayaan atau juga agama tradisional, Allah
mewujudkan cinta ilahi-Nya kepada manusia dengan hadir dan berbicara melalui
budaya. Akan tetapi, pada awalnya Gereja cenderung hidup dalam pandangan
bahwa di luar Gereja tidak ada keselamatan. Gereja mengamini bahwa
keselamatan itu hanya datang dari dalam Gereja sendiri. Namun, kehadiran
Konsili Vatikan II membawa arah segar bagi Gereja.
Konsili Vatikan II lebih menekankan sikap keterbukaan Gereja untuk
menerima kebudayaan dan agama-agama lain. Sebab Gereja mengakui bahwa
keselamatan itu bersifat universal. Oleh karena keselamatan itu bersifat universal,
maka Allah memakai kebudayaan dan agama-agama lain untuk mewartakan karya
keselamatan kepada dunia. Hal ini bertolak dari pandangan bahwa di dalam
kebudayaan terdapat nilai-nilai yang mengatur kebaikan dan keutuhan hidup
manusia. Agar karya pewartaan itu sungguh membumi di kalangan masyarakat
budaya, maka para misionaris harus masuk dan bersatu dengan unsur-unsur
kebudayaan masyarakat setempat. Salah satu unsur kebudayaan yang ditampilkan
dalam tulisan ini ialah ritus yoye ngi’i. Ritus yoye ngi’i merupakan salah satu
bentuk kebudayaan yang dihidupi dan dipraktek oleh masyarakat Oja. Ritus yoye
ngi’i tersebut menjadi suatu perayaan penting berkaitan dengan siklus
perkembangan seorang anak gadis. Konsep dasar, makna dan tujuan ritus yoye
ngi’i tersebut memiliki kesamaan dengan Sakramen Krisma dalam Gereja Katolik
Bertolak dari dua realitas di atas, maka penulis hendak mengkaji dan
membandingkan persamaan dan perbedaan makna, konsep dan tujuan dari ritus
yoye ngi’i dan Sakramen Krisma sebagai sarana pendewasaan seseorang baik dari
pandangan budaya maupun Gereja. Di samping itu juga, melalui tulisan ini,
penulis hendak memberikan sumbangan kepada Gereja berupa tawaran untuk
inkulturasi ritus yoye ngi’i ke dalam Sakramen Krisma.
vi

Dalam menyelesaikan karya tulis ini, penulis menyadari bahwa ada begitu
banyak pihak yang bersedia memberikan sumbangan berupa pikiran dan tenaga.
Oleh karena itu, pada tempat ini penulis menghaturkan puji dan syukur kepada
Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan kebajikkanNya yang menuntun dan
membimbing penulis dalam menyelesaikan tulisan ini dengan baik guna
memenuhi sebagian syarat-syarat memperoleh gelar strata satu (S1) pada Sekolah
Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Selain itu, penulis juga mengucapkan limpah
terima kasih kepada: pertama, P. Dr. Aleksander Jebadu, SVD yang telah
meluangkan waktu dengan setia membimbing penulis dalam proses pengerjaan
skripsi ini.
Kedua, Rm. Dr. Yohanes Hans Monteiro, selaku penguji sekaligus
penanggung jawab yang telah memberikan kontribusi berupa pikiran dan tenaga
yang tentunya amat memberikan sumbangsih berarti bagi penyelesaian skripsi ini.
Ketiga, Rm. Dr. Philipus Ola Daen yang turut memberikan kontribusi dalam
penyelesaian dan pengesahaan skripsi ini. Keempat, kedua orangtua, bapak
Zakarias Yos Marsedo, Mama Helena Wunu, Kakak Agripa No’a, Apolonaris Do,
Sofia Ka’o, Yohanes Mai Riwu, adik Mariana Medi dan anak Felix De Valois Do
Lombo yang telah dengan berbagai cara mendukung proses penyelesaiaan skripsi
ini. Kelima, Diakon Yohanes Mai, SVD yang tak hentinya memberikan
sumbangan pikiran serta tenaga dalam mengedit skripsi ini, keenam, Konfrater
Seminari Tinggi Interdiosesan Santo Petrus Ritapiret, khususnya calon diakon Ces
Djo, Yandri Kolin dan rekan-rekan seangkatan yang telah banyak membantu
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Akhirnya, penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari
kesempurnaan. Karena itu, penulis sangat mengharapkan masukkan dan kritikan
yang konstruktif untuk menyempurnakan tulisan ini. Pada akhirnya penulis
berharap, agar tulisan ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

STFK Ledalero, April 2020

Penulis
vii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i


LEMBARAN PENERIMAAN JUDUL............................................................. ii
LEMBARAN PENGESAHAN SKRIPSI ......................................................... iii
LEMBARAN PERNYATAAN ......................................................................... iv
KATA PENGANTAR ........................................................................................ v
DAFTAR ISI .................................................................................................... vii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah........................................................................................ 7
1.3 Tujuan Penulisan ......................................................................................... 7
1.4 Metode Penulisan ......................................................................................... 8
1.5 Sistematika Penulisan .................................................................................. 8

BAB II MENGENAL MASYARAKAT OJA DAN RITUS YOYE NGI’I


PADA MASYARAKAT OJA
2.1 Sejarah Singkat Masyarakat Oja .............................................................. 10
2.2 Keadaan Geografis Masyarakat Oja ......................................................... 12
2.3 Keadaan Demografi Masyarakat Oja ....................................................... 13
2.4 Sistem Kepercayaan Masyarakat Oja ....................................................... 15
2.4.1 Kepercayaan terhadap Wujud Tertinggi..................................................... 15
2.4.2 Kepercayaan Kepada Leluhur.................................................................... 17
2.5 Latar Belakang Kehidupan Ekonomi Masyarakat Oja ........................... 19
2.5.1 Bertani ..................................................................................................... 19
2.5.2 Pegawai .................................................................................................... 20
2.5.3 Pengusaha ................................................................................................. 20
2.6 Sistem Kekerabatan, Perkawinan, dan Pola Menetap Sesudah Nikah .... 20
2.6.1 Sistem Kekerabatan................................................................................... 20
2.6.2 Sistem Perkawinan dan Keturunan ............................................................ 21
2.6.3 Pola Menetap Sesudah Nikah .................................................................... 22
2.7 Upacara Yoye Ngi’i..................................................................................... 23
2.7.1 Terminologi .............................................................................................. 24
viii

2.7.2 Makna dan Tujuan Ritus Yoye Ngi’i .......................................................... 24


2.7.3 Persyaratan dalam Pelaksanaan Ritus Yoye Ngi’i ....................................... 26
2.7.4 Pelaku, Sarana dan Tempat Pelaksanan Ritus Yoye Ngi’i ........................... 27
2.7.4.1 Pelaku dan Penanggung jawab................................................................ 27
2.7.4.2 Tempat dan Waktu Pelaksanaan ............................................................. 29
2.7.5 Tahap-Tahap Pelaksanaan Ritus Yoye Ngi’i............................................... 30
2.7.5.1 Tahap Persiapan ..................................................................................... 30
2.7.5.2 Tahap Upacara Inti ................................................................................. 34
2.7.6 Acara Penutup ........................................................................................... 38
2.8 Kesimpulan................................................................................................. 38

BAB III SAKRAMEN KRISMA


3.1 Sakramen Secara Umum ........................................................................... 40
3.2 Krisma Sebagai Sakramen Inisiasi ............................................................ 42
3.3 Sejarah Perkembangan Sakramen Krisma .............................................. 43
3.4 Defenisi Sakramen Krisma ........................................................................ 46
3.4.1 Terminologi .............................................................................................. 46
3.4.2 Sakramen Pembaptisan Menurut Ensiklopedi Gereja ................................. 47
3.4.3 Konsep Sakramen Krisma ......................................................................... 47
3.4.4 Sakramen Krisma sebagai Sakramen Penguatan dan Pendewasaan ............ 48
3.5 Persyaratan dalam Sakramen Krisma ...................................................... 50
3.6 Penanggung Jawab Sakramen Krisma ..................................................... 52
3.6.1 Tanggung Jawab Penerima Sakramen Krisma ........................................... 52
3.6.2 Tanggung Jawab Orangtua ........................................................................ 53
3.6.3 Tanggung Jawab Gereja ............................................................................ 53
3.6.4 Tanggung Jawab Wali Krisma ................................................................... 54
3.6.5 Tanggung Jawab Umat Setempat............................................................... 55
3.7 Unsur-unsur dan Simbol Dalam Sakramen Krisma................................. 56
3.7.1 Forma ..................................................................................................... 56
3.7.2 Materi ..................................................................................................... 56
3.7.3 Simbol-Simbol dalam Sakramen Krisma ................................................... 58
3.7.3.1 Penumpangan Tangan Uskup ................................................................. 58
3.7.3.2 Pengurapan Minya Krisma ..................................................................... 60
3.7.3.3 Tepuk Pada Pipi Penerima Sakramen Krisma ......................................... 61
ix

3.8 Tahap Pelaksanaan Upacara Sakramen Krisma ...................................... 61


3.8.1 Tahap Persiapan ........................................................................................ 61
3.8.2 Tahap Pelaksanaan .................................................................................... 62
3.9 Kesimpulan................................................................................................. 63

BAB IV RITUS YOYE NGI’I MASYARAKAT OJA DALAM


PERBANDINGAN DENGAN SAKRAMEN KRISMA
4.1 Yoye ngi’i dalam Perbandingannya dengan Sakramen Inisiasi ............... 65
4.1.1 Persamaan Ritus Yoye ngi’i dengan Sakramen Krisma .............................. 65
4.1.1.1 Keduanya Merupakan Perayaan Inisiasi ................................................. 65
4.1.1.2 Keduanya Merupakan Perayaan Pendewasaan ........................................ 66
4.1.1.3 Keduanya Memiliki Tujuan yang Sama .................................................. 68
4.1.1.4 Keduanya Memiliki Syarat-Syarat Tertentu ............................................ 68
4.1.1.5 Keduanya Memiliki Forma, Materi dan Simbol ...................................... 74
4.1.1.5.1 Forma .................................................................................................. 74
4.1.1.5.2 Materi ................................................................................................. 75
4.1.1.5.3 Simbol................................................................................................. 76
4.1.1.6 Keduanya Memiliki Mekanisme Upacara ............................................... 79
4.1.1.6.1 Persiapan ............................................................................................. 79
4.1.1.6.2 Pelaksanaan ......................................................................................... 81
4.1.1.7 Keduanya Merupakan Perayaan Bersama ............................................... 84
4.1.1.8 Keduanya Memiliki Kurban ................................................................... 84
4.1.1.9 Keduanya Memiliki Actus Pengakuan akan Adanya Yang Transenden ... 85
4.1.2 Perbedaan Ritus Yoye Ngi’i dengan Sakramen Krisma .............................. 86
4.1.2.1 Ruang Lingkup Inisiasi........................................................................... 86
4.1.2.2 Tempat dan Waktu Pelaksanaan ............................................................. 87
4.1.2.2.1 Tempat Upacara Pelaksanaan .............................................................. 87
4.1.2.2.2 Waktu Pelaksanaan.............................................................................. 87
4.1.2.3 Pemimpin Perayaan ................................................................................ 88
4.2 Sikap Gereja Katolik dalam Konsili Vatikan II terhadap Kebudayaan
Lokal ............................................................................................................ 89
4.3 Inkulturasi Yoye Ngi’i ke dalam Sakramen Krisma ................................. 91
4.4 Kesimpulan................................................................................................. 95
x

BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan................................................................................................. 99
5.2 Saran......................................................................................................... 102
5.2.1 Bagi Masyarakat Oja ............................................................................... 102
5.2.2 Bagi Lembaga Gereja .............................................................................. 102

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 104


Lampiran........................................................................................................ 108
1

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Manusia merupakan makhluk sosial. Makhluk yang selalu membutuhkan


intervensi langsung dari pelbagai elemen kehidupan, baik secara horisontal antara
sesama ciptaan maupun secara vertikal dengan penciptanya. Dalam intervensi
secara langsung tersebut, manusia tidak dapat mengingkari peran dan peranan dari
bangunan relasi serta komunikasi nyata sesama ciptaan. Apabila dalam realitas
kehidupan, manusia tidak dapat mengaktualisasikan diri dengan berkomunikasi
dan berelasi maka ia telah mengingkari kodratnya sebagai makhluk sosial.
Pengingkaran itu secara tidak langsung akan menjerumuskan manusia ke
dalam keterasingan diri yang salah satunya terwujud dalam kegelisahan yang
dialami manusia itu sendiri. Kegelisahan sebagaimana ditegaskan oleh Fredi
Sebho adalah rasa yang asasi, yang dasariah, bahkan menjadi kunci untuk
mengetahui secara akurat keberadaan seseorang.1 Kegelisahan selalu datang tiba-
tiba, menyergap dengan gegas, lalu membuat seseorang bingung seketika.
Kegelisahan merupakan pengalaman umum, sebuah pengalaman yang menjadikan
seseorang tiba-tiba merasa sepi sendirian, dan merasa terkepung oleh kekosongan
hidup.2
Kegelisahan ini bisa diatasi jika manusia mampu memperhatikan
kehidupannya sebagai makhluk sosial, makhluk yang selalu berelasi. Kehidupan
manusia sebagai makhluk sosial yang selalu berelasi dengan sesama ciptaan tidak
dapat dieliminasikan dari yang namanya kebudayaan. Kebudayaan merupakan
salah satu aspek penghubung relasi baik secara horisontal dengan sesamanya
maupun relasi vertikal dengan penciptanya. Kedua relasi ini menunjukkan

1
Fredi Sebho, Moral Samaritan (Dari Kenisah Menuju tepi Jalan) (Maumere: Ledalero,
2018), hlm. 20.
2
Ibid.,
2

dimensi sosial sekaligus dimensi spiritual dari manusia yang mana relasi ini
membimbing manusia menuju pemenuhan jati dirinya. Melalui kebudayaan,
seluruh kepribadian dan karakter seorang manusia sungguh diperlihatkan.3
Berbicara tentang kebudayaan, hal lain yang juga tidak pernah terlepas
darinya adalah peran dan intervensi agama. Pada prinsipnya yang dimaksudkan
dengan intervensi agama ialah kehadiran Tuhan dalam kehidupan riil. Ia hadir
secara nyata dan tegas dalam realitas kehidupan manusia yang ditunjukkan salah
satunya melalui kebudayaan. Kebudayaan menjadi instrumen dalam relasi dasar
Allah dan manusia. Allah sendirilah yang menciptakan dan berkerja dalam
kebudayaan. Hal senada juga ditegaskan oleh Eben Nuban Timo bahwa Allah
sudah lebih dahulu bekerja dalam budaya, sejarah dan agama suatu masyarakat,
betapa pun masyarakat itu sangat terisolir.4
Agama dan kebudayaan merupakan suatu bagian integral dari kehidupan
manusia. Agama dan kebudayaan turut berperan aktif dalam menciptakan dan
membimbing manusia dalam suatu pencarian makna kehidupan kodrati. Konsili
Vatikan II membuka pintu Gereja untuk mengakui keberagaman budaya dan
agama.5 Gereja Katolik sebelum Konsili Vatikan II hidup nyaman dalam
kurungan slogan Extra Ecclesiam Nulla Salus. Bertahun-tahun Gereja hidup
dalam bayangan kehidupan yang bersifat etnosentrisme. Gereja bergerak dalam
pemahaman yang keliru bahwa keselamatan hanya ada pada dirinya.
Pasca Konsili Vatikan II pandangan Gereja berubah. Sebagaimana yang
ditegaskan sebelumnya, Gereja mengakui adanya keberagaman budaya dan agama
lain. Agama dan kebudayaan lain memiliki karakteristik kepercayaan
tradisionalnya masing-masing, termasuk suku bangsa yang ada di pulau Flores,
Nusa Tenggara Timur. Sebelum agama-agama Barat masuk ke pulau Flores,
masyarakat Flores pada umumnya telah menganut agama tradisional mereka
masing-masing. Masyarakat Flores telah mengimani Tuhan (Yang Transenden)
yang dipercaya dalam agama tradisional mereka. Misalnya, masyarakat Sikka

3
Kondrad Kebung, Filsafat Berpikir Orang Timur (Indonesia, Cina dan India) (Jakarta:
Prestasi Pustaka, 2011), hlm. 243.
4
Eben Nuban Timo, Sidik Jari Allah dalam Budaya Upaya menjajaki Makna Allah
dalam Prangkat Budaya Suku-suku di Nusa Tenggara Timur (Maumere: Ledalero, 2007), hlm. V.
5
Christologus Dhogo, Su’i Uwi Ritus Budaya Ngadha dalam Perbandingan dengan
Perayaan Ekaristi (Maumere: Ledalero, 2009), hlm. 1.
3

menyapa Yang Transenden dengan nama Ina Ni’ang Tana wawa, Ama Lero
Wulang Reta, masyarakat Flores Timur mengenal-Nya dengan nama Lera Wulan
Tana Ekan, masyarakat Ende-Lio menggelari-Nya dengan Dua Nggae.
Lengkapnya disebut Dua Gheta Lulu Wula, Nggae Ghale Wena Tana atau juga
Nggae Dewa Gheta Lulu Bewa, masyarakat Ngadha dan Nage mengenal-Nya
dengan nama Dewa Zeta, Ga’e Zale, masyarakat Manggarai menyapa-Nya
dengan Mori Kraeng.6 Allah itu sesungguhnya telah hadir dan menetap bersama
mereka jauh lebih dahulu sebelum kedatangan para misionaris.7
Terlepas dari konsep Yang Transenden di atas, Gereja meyakini bahwa
kehadiran Yesus Kristus ke dalam dunia merupakan tanda manifestasi konsep
dialogal yang dibangun antar Allah dan manusia. Yesus datang dan
menyampaikan Sabda-Nya kepada dunia. Bersama para murid-Nya, Yesus
meninggalkan tugas dalam karya keselamatan. Para murid digambarkan secara
implisit sebagai Gereja. Karenanya Gereja menjadi instrumen dialog antara Allah
dan dunia yang dihidupi dan dijiwai oleh Yesus Kristus. Selanjutnya Gereja harus
bekerja sama dan berdialog dengan agama-agama lain termasuk di dalamnya
agama tradisional agar kehadiran Allah tersebut menjadi jelas. Melalui
kebudayaan atau juga agama tradisional, Allah mewujudkan cinta ilahi-Nya
kepada manusia dengan hadir dan berbicara melalui budaya. Konsili Vatikan II
dalam Dekrit tentang Kegiatan Misioner Gereja (Ad Gentes [AG]) nomor 22
menyebutkan bahwa:
Gereja-gereja itu meminjam adat istiadat dan tradisi-tradisi para
bangsanya, dari kebijaksanaan dan ajaran mereka, segala sesuatu, yang
dapat merupakan sumbangan untuk mengakui kemuliaan Sang Pencipta,
untuk memperjelas rahmat Sang Penebus dan untuk mengatur hidup
kristiani dengan saksama.8

Hal ini menegaskan bahwa Gereja Pasca Konsili Vatikan II mengakui dan
memberikan peran kepada masing-masing budaya untuk mewartakan karya
keselamatan bagi seluruh umat manusia. Konsep dasar atas keselamatan yang
hanya datang dari Gereja perlahan-lahan mulai menghilang dari realitas kehidupan

6
Stephanus Ozias Fernandezs, Kebijakan Manusia Nusa Tenggara Timur Dulu dan Kini
(Ende: Percetakan Arnoldus, 1990), hlm. 299-313
7
Ibid.,
8
Konsili Vatikan II, Dokumen Konsili Vatikan II, penerj. R. Hardawiryana (Jakarta:
Obor, 2008), hlm. 446.
4

umat beriman. Menjawabi proses interaksi antara agama dan budaya, penulis
mencoba menggali nilai-nilai, norma dan tata aturan yang ada dalam salah satu
kelompok masyarakat tradisional Flores yakni kelompok masyarakat Oja.9 Dalam
budaya masyarakat Oja ada ritus-ritus keagamaan yang lazim dilakukan misalnya
upacara potong rambut (guti fu) pada masa bayi dan kanak-kanak, upacara potong
gigi (yoye ngi’i) pada anak perempuan dalam masa peralihan menuju dewasa dan
upacara antar belis (tu ngawu). Rangkaian upacara di atas menjadi dasar
pemahaman mengenai kehidupan masyarakat Oja sebagai masyarakat budaya.
Hemat penulis interaksi yang terkandung dari kedua komponen tersebut
nampak dalam salah satu ritus kelompok masyarakat Oja yaitu ritus yoye ngi’i.10
Penulis berfokus pada aspek dan peranan Sakramen Krisma sebagai tanda
pendewasaan iman Kristiani yang berakar pada Yesus Kristus dan ritus yoye ngi’i
pada masyarakat Oja sebagai pengakuan akan kedewasaan seseorang dalam
keanggotaan masyarakat. Pada hakekatnya upacara Sakramen Krisma dan ritus
yoye ngi’i memiliki makna, tujuan dan peranan yang sama. Penulis juga hendak
menemukan dan mendeskripsikan konsep-konsep kedewasaan seorang individu
ditinjau dari kedua aspek tersebut serta menemukan adanya kemungkinan untuk
diinkulturasikan.
Upacara yoye ngi’i bertujuan mendewasakan seorang perempuan secara
adat dan sebagai syarat untuk mendapat hak dan kewajibannya sebagai anggota
masyarakat adat-budaya. Selain itu, tersirat dengan upacara tersebut seorang anak
perempuan dilantik atau diinisiasikan ke dalam anggota klan atau marga dan
menandai bahwa dirinya dianggap sudah dewasa. Dalam perkembangannya
setelah melewati masa bayi dan kanak-kanak, seorang anak perempuan Oja akan
terus bertumbuh dan berkembang menjadi lebih dewasa dan bertanggung jawab.

9
Oja merupakan salah satu wilayah yang berada di Desa Tendambepa, Kecamatan
Nangpanda, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur. Pada dasarnya wilayah Kabupaten Ende
memiliki tiga etnis besar, yaitu etnis Aku (Wolowaru, Nggela, Jopu, Detusoko dan Wolotopo),
etnis Ja’o (Ende dan sebagian wilayah Nangapanda) dan terakhir sebagian kecil menganut etnis
Nga’o (etnis ini meliputi daerah wilayah Nangapanda yang berbatasan langsung dengan kabupaten
Nagekeo).
10
Yoye ngi’i merupakan satu jenis kegiatan ritus yang ada di wilayah Oja. Secara
etimologis yoye ngi’i berasal dari dua kata berbeda. Yoye yang berarti potong dan Ngi’i yang
berarti gigi. Dengan ini maka yoye ngi’i dapat dimengerti sebagai suatu ritus wajib bagi kaum
wanita yang memasuki usia dewasa dengan meratakan gigi sebagai pendewasaan dari aspek
biologi dan aspek spiritual. Ritus ini membawa mereka bergabung bersama dalam struktur
kemasyarakatan budaya setempat.
5

Kendatipun demikian, peran dan pendampingan dari orangtua dan keluarga besar
terus diberikan kepada anak-anak terutama kepada anak perempuan. Bila
orangtua mengetahui bahwa anak perempuan tersebut sudah memasuki masa
menstruasi atau datang bulan maka orangtua dan keluarga besar saling
mengingatkan untuk melaksanakan upacara pendewasaan.11 Bila perembukan
orangtua bersama keluarga besar ada kesepakatan, maka akan dilakukan upacara
yoye ngi’i. Hal yang paling pertama yang dilakukan adalah mempersiapkan secara
matang keperluan-keperluan yang dibutuhkan dalam upacara tersebut baik dari
aspek finansial maupun materi.
Dalam proses pelaksanaannya, ritus yoye ngi’i dilakukan dengan
menggunakan batu asa. Agar dalam proses pelaksanaan upacara yoye ngi’i tidak
mengalami halangan seperti gusi luka dan sakit yang mengerikan, anak gadis yang
sudah berbaring di atas tikar dibantu oleh perempuan tua memasukan bo’a hoba12
ke dalam mulut anak gadis dan diselipkan kata mesi13 untuk digigit kuat-kuat oleh
anak gadis tersebut. Ritus yoye ngi’i dalam masyarakat Oja mempunyai dua sifat.
Pertama, upacara tersebut bersifat spiritual dan kedua, upacara tersebut bersifat
mistis atau magis.14 Berdasarkan kepercayaan dan keyakinan masyarakat Oja,
sebelum anak perempuan memasuki tahapan usia dewasa, ia harus terlebih dahulu
melalui proses upacara tersebut.
Ritus yoye ngi’i merupakan suatu kegiatan wajib yang dilaksanakan oleh
semua perempuan dalam kelompok masyarakat Oja. Ritus tersebut menegaskan
eksistensi kaum perempuan dalam keanggotaan masyarakat. Ritus ini dilakukan
untuk menandai seorang perempuan memasuki jenjang usia dewasa, suatu jenjang
kehidupan yang lebih baik dan lebih berkualitas. Masyarakat Oja percaya bahwa
apabila ada perempuan dari kelompok ini yang tidak mengikuti ritus tersebut, ia
akan mengalami hambatan-hambatan dalam keseharian hidupnya. Hambatan-
hambatan tersebut berupa terganggunya kesehatan, perilaku hidup menjadi kurang
normal, gangguan psikis dan perubahan pola hidupnya yang drastis.

11
Cyrilus Bau Engo, Budaya Nage: Perjalanan Hidup Orang Nage di Nagekeo (Ende:
Nusa Indah, 2016), hlm. 49.
12
Bo’a Hoba yaitu benang sisa kain tenun ikat yang dipotong saat akan menjahitnya
menjadi sarung.
13
Kata Mesi yaitu kayu dadap yang diraut sepanjang ukuran mulut.
14
Hasil wawancara dengan Zakharias Yos Marsedo, Tokoh Masyarakat dan Tokoh Adat
Oja, wawancara via telepon, pada tanggal 29 November 2018.
6

Dalam kaitan dengan pendewasaan spriritual, ritus yoye ngi’i berkaitan


erat dengan sakramen inisiasi. Lebih tepatnya dalam hubungan dengan Sakramen
Krisma. Ritus yoye ngi’i pada prinsipnya memiliki tujuan yang sama dengan
Sakramen Krisma. Sakramen Krisma merupakan satu dari tiga sakramen inisiasi.
Inisiasi di sini berarti bahwa seseorang diterima dan masuk ke dalam Gereja
sebagai anggota penuh dengan segala kewajiban dan haknya. Perjalanan hidup
seseorang masih harus disucikan terus-menerus oleh Roh Kudus. Oleh karena itu,
Gereja menegaskan hal ini dengan perlunya menerima Sakramen Krisma. Melalui
Sakramen Krisma individu menyadari dan menerima kehadiran Roh Kudus yang
membimbing dan menyucikan perjalanan hidup menuju kedewasaan iman.
Ditinjau dari aspek eklesiologis Sakramen Krisma mengikat penerimanya lebih
dekat dan lebih erat kepada Gereja dan mewajibkannya untuk lebih serius
mengambil bagian dalam perutusan Gereja.15
Sakramen Krisma merupakan suatu simbol kedewasaan dalam iman
Kristiani. Dengan menerima Sakramen Krisma seseorang siap untuk menerima
tugas perutusan dan siap untuk menerima sakramen lainnya seperti sakramen
perkawinan dan imamat. Dalam karya perutusan seorang membutuhkan
kesaksian. Kesaksian yang datang dari Allah melalui Yesus untuk mewartakan
karya keselamatan. Dan dalam Sakramen Krisma menjadi jelas bahwa jemaat
membutuhkan kesaksian dan iman yang hidup dari masing-masing anggotanya
supaya jemaat itu bisa hidup dan beriman terus. Sakramen Krisma bertujuan
mendewasakan seseorang dalam iman agar mampu dan bersedia mewartakan
karya keselamatan serta mempertahankan imannya yang kokoh kepada Kristus.
Berdasarkan uraian dan penjelasan di atas, penulis akan mengkaji
sekaligus berusaha menghubungkan benang merah antara ritus yoye ngi’i pada
masyarakat Oja yang bertujuan mendewasakan seseorang secara adat dengan
Sakramen Krisma dalam ajaran Gereja sebagai sakramen inisiasi dan sebagai
instrumen pendewasaan iman seseorang. Oleh karena itu, di bawah judul
KONSEP PENDEWASAAN RITUS “YOYE NGI’I” MASYARAKAT OJA
DALAM PERBANDINGAN DENGAN SAKRAMEN KRISMA, penulis
hendak mengetahui, mendalami dan membandingkan konsep-konsep, makna serta

15
Georg Kirchberger, Allah Menggugat (Maumere: Ledalero, 2007), hlm. 496.
7

tujuan ritus yoye ngi’i sebagai pedewasaan kepribadian perempuan Oja dengan
Sakramen Krisma. Di samping itu, penulis juga memberikan tawaran dan
sumbangan kepada Gereja untuk diinkulturasikan ritus yoye ngi’i ke dalam
Sakramen Krisma.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan alasan pemilihan judul di atas


permasalahan utama tulisan ini adalah bagaimana konsep pendewasaan ritus yoye
ngi’i masyarakat Oja dalam perbandingan dengan Sakramen Krisma. Guna
mendalami dan memahami hubungan tersebut maka penulis merujuk pada
beberapa permasalahan yang menjadi dasar pegumulan penulis dalam skripsi ini,
yakni:
1. Apa dan bagaimana ritus yoye ngi’i dalam masyarakat Oja?
2. Bagaimana ajaran Katolik tentang Sakramen Krisma?
3. Apa kesamaan dan perbedaan antara ritus yoye ngi’i dan Sakramen
Krisma dalam Gereja Katolik?

1.3 Tujuan Penulisan

Bertolak dari latar belakang dan rumusan masalah di atas. Tujuan


penulisan skripsi dibagi kedalam dua tujuan, yakni tujuan khusus dan tujuan
umum.

1.3.1. Tujuan Khusus


Tujuan khusus penulisan skripsi ini adalah untuk memenuhi salah satu
sayarat dalam mendapatkan gelar starata satu (S1) pada STFK Ledalero

1.3.2. Tujuan Umum

1. Mendeskripsikan ritus yoye ngi’i dalam budaya Oja.


2. Menjelaskan sakramen Krisma dalam ajaran Katolik.
3. Menemukan dan membandingkan kesamaan serta perbedaan antara ritus
yoye ngi’i dan sakramen Krisma dalam pandangan Gereja Katolik.
8

1.4 Metode Penulisan

Dalam karya tulis ini, penulis menggunakan metode studi kepustakaan dan
metode penelitian berupa wawancara. Dalam metode kepustakaan, penulis
menggali data dari buku-buku, dokumen-dokumen resmi Gereja dan artikel-
artikel yang berhubugan dengan tema ini. Sedangkan dalam metode wawancara,
penulis akan turun ke lapangan dan mewawancarai orang-orang yang
berkompeten dalam hal budaya. Umunya narasumber yang penulis wawancarai
adalah tokoh-tokoh adat dan orang-orang yang mengetahui secara jelas dan detail
selayang pandang tentang ritus yoye ngi’i sehingga dapat memberikan data-data
yang akurat.

1.5 Sistematika Penulisan

Secara garis beras, tulisan ini terdiri atas lima bab. Adapun garis besar
tulisan ini adalah sebagai berikut:
Bab I berisi pendahuluan yang terdiri atas latar belakang, rumusan
masalah, tujuan yang hendak dicapai, metode yang digunakan, dan sistematika
penulisan.
Bab II berisi gambaran umum masyarakat Oja berupa keadaan geografis,
demografi, asal usul, stratifikasi, sistem kepercayaan dan sistem mata
pencaharian. Selain itu, penulis akan menguraikan konsep ritus yoye ngi’i dalam
masyarakat Oja yang mencakup selayang pandang ritus yoye ngi’i, terminologi,
tahap-tahap persiapan dan pelaksanaannya, pihak-pihak yang terkait dan yang
bertanggungjawab, unsur-unsur dan simbol serta ritus yoye ngi’i sebagai tahap
pendewasaan diri seseorang dalam masyarakat.
Bab III berisi pembahasan tentang Sakramen Krisma yang meliputi
pengertian, sejarah terbentuknya Sakramen Krisma, persyaratan-persyaratan
dalam Sakramen Krisma, pihak-pihak yang terlibat, pihak-pihak yang
bertanggung jawab, makna dan tujuan, unsur-unsur dan simbol, tahapan-tahapan
pelaksanaan Sakramen Krisma dan liturgi Sakramen Krisma.
Bab IV sebagai bab inti dari tulisan ini, penulis akan mengemukakan dan
membuat perbandingan antara ritus yoye ngi’i pada masyarakat Oja dengan
Sakramen Krisma. Di samping itu, penulis berusaha memberikan sumbangan
9

kepada Gereja bahwa ada kemungkinan ritus yoye ngi’i diinkulturasikan ke dalam
Sakramen Krisma,
Bab V, merupakan bab penutup yang terdiri atas kesimpulan dan saran.
10

BAB II

MENGENAL MASYARAKAT OJA DAN RITUS YOYE NGI’I PADA


MASYARAKAT OJA

Pada bagian ini, penulis akan membahas tentang keadaan kampung dan
kebudayaan Oja. Budaya yang akan digeluti oleh penulis adalah ritus yoye ngi’i.
Ritus yoye ngi’i merupakan sebuah sarana inisiasi pendewasaan seseorang secara
adat dan menerima atau mengukuhkan secara resmi seorang anak gadis sebagai
anggota masyarakat adat. Proses pelaksanaan upacara ini ialah dengan meratakan,
menggosok atau memotong gigi seorang anak gadis dengan menggunakan batu
asa. Locus utama penelitian penulis adalah wilayah Kecamatan Nangapanda,
khususnya di Desa Tendambepa. Oleh karena kebudayaan merupakan warisan
leluhur yang diyakini sebagai agama tradisional, maka ritus ini mengungkapkan
religiositas masyarakat Oja kepada Wujud Tertinggi. Sebelum memahami nilai-
nilai religiositas pada ritus yoye ngi’i, terlebih dahulu dipaparkan gambaran
keadaan wilayah Oja dan apa itu ritus yoye ngi’i.

2.1 Sejarah Singkat Masyarakat Oja

Pada awal mula orang-orang Oja menetap di perkampungan-


perkampungan kecil dan berjauhan antara satu kampung dengan kampung yang
lainnya. Fakta historis menggambarkan bahwa orang Oja lazimnya tinggal dalam
suatu kampung atau pemukiman dalam rumpun keluarga, suku atau klan.
Pemukiman-pemukiman kecil tersebut di antaranya adalah Dugo, Wolo Waru,
Mboa Donggo (sekarang Mboa Yombo), Pu’u Peda, Teo Bea, Tuya, Muku Watu,
Oda, Mada dheyo, Mbo’a donga, Woro Watu dan Oja One.16
Pada awalnya hanya ada satu kampung besar yaitu kampung Oja One.
Mayoritas masyarakat yang tinggal di kampung Oja One adalah rumpun keluarga
suku Sago. Sehingga kalau orang berbicara tentang kampung Oja One, maka

16
Hasil wawancara dengan Sebastianus Sabar Susa, Tokoh Masyarakat dan Tokoh Adat
Oja, pada 29 Desember 2019 di Oja.
11

dengan sendirinya suku Sago ada di dalamnya. Berdasarkan tradisi lisan, orang
pertama yang mendiami kampung Oja One adalah Nenek Weru dan anak-
anaknya. Pemberian nama Oja One dilatarbelakangi oleh keadaan alam dan
lingkungan di sekitarnya. Pada dasarnya nama kampung Oja diambil dari nama
pohon kayu Oja karena di sekitar perkampungan Oja One terdapat banyak pohon
kayu Oja. Sedangkan One yang secara harafiah artinya “di dalam” hendak
menggambarkan bahwa kampung tersebut berada di pedalaman. Hal ini
disebabkan oleh ekspansi Bangsa Belanda dan Jepang ke seluruh wilayah
Nusantara. Guna menghindari pengejaran dan penganiayaan para penjajah
tersebut, maka sebagian masyarakat cenderung tinggal di pedalaman.17
Perkembangan dan kemajuan arus zaman menuntut pembaharuan sehingga
pertambahan populasi yang mendiami kampung Oja One pun meningkat. Di
samping itu pula ada program pembukaan jalan jurusan Pu’ukungu sampai ke
wilayah Ma’ukaro dari pemerintah Kapitan masa lalu dan kapasitas air yang tidak
mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehingga mengakibatkan sebagian
besar dari anak-anak Nenek Weru memutuskan untuk berpindah ke Teo Bea,
Tuya, Oda, Muku Watu, Dugo dan Wolo Waru.18
Akibat perpindahan ke pemukiman baru tersebut, populasi masyarakat
yang mendiami kampung Teo Bea, Tuya, Oda, Muku Watu, Dugo dan Wolo
Waru meningkat. Orang-orang pertama yang mendiami kampung-kampung
tersebut adalah rumpun keluarga Sele, Wawo Dei, Dale Dei Rege Watu dan
Simba Ngita serta beberapa keluarga kecil lainnya.19 Agar nama kampung lama,
yaitu Oja One tidak dilupakan begitu saja, maka para anggota masyarakat yang
mendiami kampung-kampung kecil di sekitar jalan raya memutuskan untuk
menyatukan semua kampung-kampung kecil tersebut dengan sebutan Oja. Sejak
saat itu sampai sekarang kebanyakan masyarakat luas menyebut kampung-
kampung kecil tersebut dengan nama kampung Oja.

17
Hasil wawancara dengan Sebastianus Sabar Susa, Tokoh Masyarakat dan Tokoh Adat
Oja, pada 29 Desember 2019 di Oja.
18
Hasil wawancara dengan Sebastianus Sabar Susa, Tokoh Masyarakat dan Tokoh Adat
Oja, pada 29 Desember 2019 di Oja.
19
Kantor Desa Tendambepa, ”Sejarah Desa Tendambepa”, dalam Rencana
Pembangunan Jangka Panjang dan Menengah Desa Tendambepa Periode 2020-2025. Data
diambil pada 10 Januari 2020.
12

Pada awal masa pemerintahan Kapitan, dalam rangka memudahkan


pelayanan administrasi, kampung Oja dan sekitarnya dibagi ke dalam suatu
wilayah kapitan sendiri dan kebanyakan orang menyebutnya dengan sebutan
kapitan Oja. Sebuah wilayah kapitan dikepalai oleh seorang Kapitan Oja
(sekarang kepala desa). Akan tetapi, pada tahun 1975 atau masa Orde Baru
Kapitan Oja tersebut diubah atau ditingkatkan statusnya menjadi desa
Tendambepa yang dikepalai oleh seorang Kepala Desa.20

2.2 Keadaan Geografis Masyarakat Oja

Oja merupakan salah satu wilayah yang berada di desa Tendambepa,


Kecamatan Nangapanda. Berdasarkan data administrasi, Desa Tendambepa
merupakan salah satu dari 28 desa dan satu kelurahan di Kecamatan Nangapanda,
Kabupaten Ende. Masyarakat Oja menetap di wilayah bagian barat Kabupaten
Ende. Jarak Desa Tendambepa dari ibu kota Kabupaten Ende sekitar 40 km.
Secara teritorial wilayah Oja berbatasan langsung dengan Kabupaten Nagekeo.21
Desa Tendambepa mempunyai batas-batas wilayah sebagai berikut: bagian Utara
berbatasan dengan Desa Malawaru (Kecamatan Nangapanda) dan Desa Toto Mala
(Kecamatan Wolowae), bagian Selatan dengan Desa Mbo Bhenga (Kecamatan
Nangapanda), dan bagian Barat dengan Desa Roma Rea (Kecamatan
Nangapanda) dan Desa Ute Toto (Kecamatan Nangaroro), bagian Timur dengan
Desa Kerirea (Kecamatan Nangapanda) dan Desa Kamubheka (Kecamatan
Ma’ukaro).
Luas wilayah menurut kegunaannya adalah sebagai berikut. Luas
permukiman 10.900.000 ha dan pertanian 700.000 ha. Desa Tendambepa berada
di ketinggian 700 m dari permukaan laut. Keadaan iklim desa Tendambepa adalah
iklim tropis, di mana ia memiliki pergantian musim selama dua kali dalam
setahun. Pergantian musim tersebut sangat tergantung dengan keadaan atau
pergerakan angin Barat maupun angin Timur. Lazimnya musim hujan selama 6
bulan yakni pada bulan Oktober sampai dengan bulan April. Sedangkan musim

20
Kantor Desa Tendambepa, ”Sejarah Desa Tendambepa”, dalam Rencana
Pembangunan Jangka Panjang dan Menengah Desa Tendambepa Periode 2020-2025. Data
diambil pada 10 Januari 2020.
21
Hasil wawancara dengan Kanisius Durben, Kepala Desa Tendambepa, pada tanggal 09
Januari 2020, di Oja
13

kemarau pun jumlah bulannya sama yaitu 6 bulan dari bulan Mei sampai awal
bulan Oktober. Suhu rata-rata Desa Tendambepa adalah 30 derajat celcius dan
tingkat kelembapan mencapai 37 derajat celcius.22
Wilayah Oja memiliki curah hujan yang cukup tinggi. Hal ini pun turut
mempengaruhi tingkat kesuburan tanah. Wilayah Desa Tendambepa sebagian
besarnya dipadati oleh tanah humus (topsoil). Tingkat kesuburan yang tinggi
berdampak pada situasi kehidupan masyarakat Desa Tendambepa. Mayoritas
masyarakat Tendambepa adalah masyarakat agraris karena mereka melakukan
sebagian besar aktivitas kehidupannya sebagai petani.
Keadaan topografi wilayah Oja berupa pegunungan dan berbukit-bukit.
Keadaan tanah amat cocok untuk kegiatan pertanian dan perkebunan. Hal ini
disebabkan oleh tingkat kesuburan tanah yang cukup tinggi. Akibatnya pelbagai
jenis tanaman dapat bertahan hidup dan memberikan hasil panenan yang
memuaskan. Tanaman-tanaman yang tumbuh di daerah ini terdiri atas dua jenis,
yaitu tanaman jangka panjang dan tanaman jangka pendek. Jenis tanaman jangka
panjang berupa cengkeh, kakao, kopi, vanili, kemiri, kelapa, mangga dan pisang.
Sedangkan jenis tanaman jangka pendek berupa padi, jagung, ubi-ubian, nanas
dan lainnya sebagainya.23

2.3 Keadaan Demografi Masyarakat Oja

Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling ”bergaul” atau


dengan istilah ilmiah saling berinteraksi satu sama lain.24 Dari kodratnya manusia
adalah makhluk sosial yang selalu bekomunikasi dan berinteraksi antara yang satu
dengan yang lainnya. Sebagai makhluk sosial, manusia selalu memberikan reaksi
dan aksi atas realitas kehidupan serta menerima kembali umpan balik yang
diberinya. Pada dasarnya ada suatu konsep yang membentuk manusia untuk selalu
bersosialisasi dengan manusia lainnya.

22
Kantor Desa Tendambepa, ”Keadaan Topografi Desa Tendambepa”, dalam Rencana
Pembangunan Jangka Panjang dan Menengah Desa Tendambepa Periode 2020-2025. Data
diambil pada 10 Januari 2020.
23
Kantor Desa Tendambepa, ”Keadaan Topografi Desa Tendambepa” ibid.,
24
Koentajaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Aksara Baru, 1980), hlm.
144.
14

Konsep tersebut adalah No Man is an Island (seorang manusia tidak bisa


hidup sendirian seperti sebuah pulau). Hal ini akan selalu mendorong manusia
berkomunikasi dan berinteraksi dengan manusia lain. Perhimpunan manusia yang
demikianlah membentuk satu kelompok masyarakat manusia. Koentajaraningrat
menegaskan bahwa kehidupan kolektif manusia bukan bersifat naluri dalam
menghidupi sistem pembagian kerja, aktivitas kerja sama, berkomunikasi dan
berinteraksi tapi selalu dalam kebersamaan.25
Penduduk asli Desa Tendambepa adalah orang-orang yang pada tahun 60-
an sampai 70-an berpindah pemukiman dari pedalaman karena kemajuan zaman
dan mengikuti perkembangan zaman serta pembaharuan kebudayaan yang
menuntut mereka untuk bergabung bersama masyarakat kampung-kampung
lainnya. Penyatuan pemukiman-pemukiman kecil demikian membuat masyarakat
Oja menjadi satu kelompok masyarakat majemuk.26 Sebagai satu kelompok
masyarakat yang majemuk, orang-orang Oja selalu memperhatikan asas-asas
kebersamaan. Penduduk Desa Tendambepa terdiri atas penduduk asli dan
penduduk pendatang. Penduduk asli adalah mereka yang memegang teguh dan
menjalankan tradisi dan adat istiadat yang diwariskan oleh leluhur. Sedangkan
penduduk pendatang adalah mereka yang menetap di Oja karena alasan
perkawinan, ekspansi perdagangan dan pekerjaan.27
Kehidupan masyarakat Oja sangat majemuk. Hal ini dapat dilihat dari
sistem keturunan masyarakat Oja yang variatif. Ada suku-suku besar yang
menetap di pemukiman Oja misalnya suku Sago, Dodo, Asa, Ndiye, Yembu, Aya,
Nio Ngguna Naya, Nio dan sebagian dari suku Feo. Sedangkan suku-suku kecil
adalah suku Dea, Sarakora, Wudu dan Dede.28 Keadaan masyarakat yang variatif
ini turut membentuk masyakat Oja menjadi suatu masyarakat yang majemuk.
Data terakhir pada tahun 2018 mendeskripsikan populasi masyarakat yang
berdomisili di Desa Tendambepa berjumlah 958 jiwa. Dari jumlah penduduk

25
Ibid., hlm. 138.
26
Hasil wawancara dengan Zakarian Yos Marsedo, Tokoh Masyarakat dan Tokoh Adat
Oja, pada 28 Desember 2019 di Oja.
27
Hasil wawancara dengan Kanisius Durben, Kepala Desa Tendambepa, pada 09 Januari
2020 di Oja.
28
Hasil wawancara dengan Robertus Roga, Kepala Suku Asa, pada 03 Januari 2020
15

tersebut kaum perempuan berjumlah 544 jiwa. Sedangkan pria sebanyak 414 jiwa
dengan 165 kepala keluarga.29

2.4 Sistem Kepercayaan Masyarakat Oja

2.4.1 Kepercayaan terhadap Wujud Tertinggi

Manusia merupakan ciptaan Tuhan yang paling luhur dan mulia. Manusia
selalu bertindak dengan akal budi, berbeda dengan makhluk infrahuman yang
bertindak atas dasar naluri. Oleh karena itu, hidup manusia berlangsung di tengah-
tengah arus proses-proses kehidupan (imanensi), tetapi selalu juga muncul dari
arus alam raya itu untuk menilai alamnya sendiri dan mengubahnya
(transendensi).30 Proses imanensi dan transendensi merupakan bagian integral dari
kehidupan manusia. Manusia selalu mengarahkan diri kepada sesuatu yang
transendental.
Keterarahan hidup manusia pada sesuatu yang transendental pada
prinsipnya tidak pernah terlepas dari aspek kebudayaan. Masyarakat primitif
memiliki kepercayaan tersendiri akan suatu kekuatan yang melampaui kekuatan
dan daya manusia. Kepercayaan manusia primitif pertama dan utama adalah mitos
karena baginya mitos mempunyai kekuatan gaib tersendiri. Menurut anggapan
manusia primitif mitos berfungsi sebagai pengantara antara manusia dan daya-
daya kekuatan alam. Mitos memberikan keterangan tentang terjadinya dunia,
hubungan antara dewa-dewa dan asal mula kejahatan.31
Andrew Lang seorang ahli antropologi sering menemukan tokoh yang oleh
suku bangsa yang bersangkutan dianggap sebagai dewa tertinggi, pencipta seluruh
alam semesta beserta isinya, penjaga ketertiban alam dan kesusilaan.32 Seluruh
aktivitas kebudayaan manusia berupa mitos tersebut amat berkaitan erat dengan
kekuatan alam gaib (kekuatan transenden).

29
Kantor Desa Tendambepa, ”Keadaan Demografi Desa Tendambepa”, dalam Rencana
Pembangunan Jangka Panjang dan Menengah Desa Tendambepa Periode 2020-2025. Data
diambil pada 10 Januari 2020.
30
C. A. Van Peursen, Strategi Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius, 1976), hlm. 14.
31
Ibid., hlm. 41.
32
Dikutip dalam Koentjaraningrat, Ritus Peralihan di Indonesia (Jakarta: PN Balai
Pustaka, 1985), hlm. 15.
16

Pada umumnya masyarakat budaya Nage memiliki dan menganut


kepercayaan pada Wujud Tertinggi yang satu dan sama. Ngga’e Dewa merupakan
bentuk Wujud Tertinggi yang diimani oleh masyarakat budaya Nage umumnya
dan masyarakat Oja khususnya. Namun, Ngga’e Dewa yang dipercayai sebagai
Wujud Tertinggi oleh masyarakat Oja memiliki forma penjabaran yang lebih luas
yaitu Ngga’e ta yeta wawo diyu, dewa ta meya yade wawo tana (Tuhan di atas
langit dan dewa di bawah bumi).33
Berdasarkan cerita mitos, masyarakat Oja percaya bahwa Ngga’e Ta Yeta
Wawo Diyu, Dewa Ta Meya Yade Wawo Tana mempunyai dua pribadi yang
berbeda.34 Ngga’e Ta Yeta Wawo Diyu (Tuhan di atas langit) merupakan suatu
ungkapan kepercayaan bahwa Tuhan adalah pencipta abadi. Dia adalah penguasa
sejati dan kesempurnaan yang mutlak yang menguasai kosmos. Tempat Dia
berada adalah di atas langit dan membawahi bumi. Keberadaan-Nya di tempat
yang tinggi pada dasarnya amat berpengaruh bagi seluruh makhluk ciptaan. Ia
dapat mengendalikan segala perilaku manusia baik yang jahat maupun yang baik.
Dewa Ta Meya Yade Wawo Tana (dewa yang tinggal di bumi) merupakan
suatu ungkapan kepercayaan penguasa dunia. Masyarakat Oja mengakui bahwa
setiap wilayah atau perkampungan memiliki dewanya sendiri. Akan tetapi,
kepribadian dan keallahan dewa tersebut lebih rendah dari penguasa sejati
(Tuhan). Dewa-dewa adalah makhluk yang lebih rendah dan tidak memiliki sifat-
sifat keallahan yang khusus.35 Namun, mereka memiliki sikap kesatria yaitu
ramah terhadap manusia dan suka menolong. Sebagai makhluk yang lebih rendah
dari Ngga’e (Tuhan), para dewa juga memiliki sifat perkelahian dan peperangan
di antara sesama dewa dan pelbagai macam kejahatan lainnya.
Dewa bagi masyarkakat Oja selalu identik dengan nitu. Nitu selalu tinggal
di pohon-pohon besar, batu-batu besar, mata air, dan sungai-sungai besar.36 Hal
senada juga ditegaskan oleh Bernard S. Hayon bahwa manusia Timur, kosmos
adalah ciptaan ilahi. Kosmos, karena itu selalu dikaitkan dengan wujud ilahi

33
Hasil wawancara dengan Sebastianus sabar Susa, Tokoh masyarakat dan Tokoh Adat
Oja, tanggal 29 Desember 2019 di Oja.
34
Hasil wawancara dengan Sebastianus sabar Susa, Tokoh Masyarakat dan Tokoh Adat
Oja, tanggal 29 Desember 2019 di Oja.
35
Paul Arndt, Agama Orang Ngada: Roh-Roh Manusia dan Dunia (Maumere:
Candraditya, 2005), hlm. 12.
36
Ibid., hlm. 19.
17

dengan pelbagai nilai yang terkandung di dalamnya. Ia mempunyai makna dan


daya adi-duniawi. Ia mempengaruhi peristiwa harian: kelahiran, pergaulan sosial,
pekerjaan, kematian, dll. Alam memiliki jiwa tersendiri, bersifat sakral dan kerap
dipersonifikasi sebagi wujud yang mengatasi kuasa manusiawi dan insani.37 Pada
prinsipnya wujud nitu tidak kelihatan seperti manusia lazimnya, tetapi perubahan
wujud nitu dapat ditunjukkan melalui binatang-binatang.38 Namun, kendati wujud
nitu hanya tampak melalui binatang entah binatang air maupun binatang darat,
orang Oja percaya bahwa binatang-binatang tersebut memiliki kekuatan gaib.
Akan tetapi, kekuatan dan kekuasaan nitu tersebut tidak dapat melampaui Tuhan.
Ia hanya menguasai wilayah-wilayah tertentu.

2.4.2 Kepercayaan Kepada Leluhur

Setiap anggota masyarakat di seluruh belahan bumi pada umumnya


memiliki kepercayaan terhadap leluhurnya masing-masing. Leluhur merupakan
semua anggota keluarga yang telah meninggal dunia, tetapi keberadaan akan roh
atau jiwa diakui tetap ada. Hal ini ditegaskan Tylor bahwa pada waktu hidup jiwa
masih tersangkut kepada tubuh jasmani dan apabila manusia mati jiwanya
melayang, terlepas dan terputuslah dengan hubungan jasmani untuk selamanya.39
Berdasarkan kepercayaan masyarakat primitif, orang-orang yang telah meninggal
akan pergi menghadap dan tinggal bersama Allah Bapa dalam kerajaan Surga
abadi.40 Masyarakat Oja beranggapan bahwa para leluhur tetap ada bersama
mereka dan berperan serta dalam seluruh aspek kehidupan setiap anggota klannya
yang masih hidup. Mereka bisa dikatakan sebagai allah kedua yang siap
menerawang setiap perjalanan kehidupan anak cucunya.
Jiwa yang telah merdeka terlepas dari jasmaninya dapat berbuat
sekehendaknya. Alam semesta penuh dengan jiwa-jiwa merdeka itu, yang oleh

37
Bernard S. Hayon, “Ritus Hode Ilu dalam Masyarakat Lewoingu: Antara Tindakan
Supestisi dan Realitas Numinus”, dalam Jurnal Ledalero Religiositas Populer Vol. 10. No. 02.
Desember 2011. hlm. 198.
38
Hasil wawancara dengan Robertus Roga, Kepala Suku Asa, tanggal 03 Januari 2020 di
Oja.
39
Koentjaraningrat, op. cit., hlm. 13.
40
Hasil wawancara dengan Philipus Lando, Tokoh Masyarakat dan Tokoh Adat Oja,
tanggal 30 Desember 2019 di Oja.
18

Tylor tidak disebut soul atau jiwa lagi, tetapi spirit atau makhluk halus.41 Oleh
sebab itu setiap anak cucunya harus menunjukkan sikap yang pantas kepada para
leluhurnya kendati fakta menampilkan bahwa tubuhnya telah menjadi tanah. Akan
tetapi roh atau jiwa mereka terus hidup bersama anggota keluarga lainnya.42
Bahwasannya para leluhur senantiasa hidup bersama anggota maka anggota
keluarga yang masih hidup seyogianya membuat pemuja atau penghormatan
kepada leluhur.
Pemujaan terhadap leluhur adalah salah satu bagian penting dari kegiatan
budaya masyarakat Oja. Pemujaan tersebut menjadi ciri khas, kebiasaan dan
menampilkan identitas masyarakat setempat. Pemujaan terhadap leluhur lazimnya
dilakukan oleh masyarakat Oja dalam bentuk pemberian sesajian berupa tu pa’a.
Tu pa’a merupakan kegiatan pemberian makan dan minum kepada nenek moyang
yang telah meninggal. Akibatnya tu pa’a menjadi satu kegiatan rutin masyarakat
Oja dalam setiap kegiatan budaya.
Sebelum memulai kegiatan budaya hendaknya terlebih dahulu
memberikan makanan dan minuman kepada nenek moyang (tedha ka ti’i ebu
kajo). Masyarakat Oja yakin dan percaya bahwa melalui sesajian ini para leluhur
datang menghadiri dan ikut campur tangan dalam setiap kegiatan yang
dilakukannya. Selain itu pula, anggota masyarakat Oja juga meminta penyatuan
diri dari leluhur terhadap kegiatan yang akan mereka lakukan agar memberkati
seluruh proses kegiatan tersebut hingga selesai. Hal ini dimaksudkan agar segala
bahaya yang tidak diinginkan dapat dihindari.43
Masyarakat Oja hingga sekarang masih memegang teguh keyakinan
tradisional akan kekuatan magis dan peran serta leluhur. Sebab sebelum agama
Kristen masuk ke wilayah Oja, para tetua adat atau orang tua selalu memberikan
sesajian kepada leluhur dan nitu. Akan tetapi, secara perlahan mereka mulai
beradaptasi terhadap akulturasi kebudayaan Kristen. Dalam keseharian,
masyarakat Oja tekun mengikuti ajaran-ajaran Kristiani sembari tidak
mengeliminasikan sama sekali kepercayaan asli mereka. Ajaran-ajaran Kristen

41
Koenjaraningrat, loc cit.
42
Hasil wawancara dengan Robertus Roga, Kepala Suku Asa, tanggal 03 Januari 2020 di
Oja.
43
Hasil wawancara dengan Robertus Roga, Kepala Suku Asa, tanggal 03 Januari 2020 di
Oja.
19

yang direduksinya menjadi bahan pembanding terhadap nilai-nilai kebudayaan


mereka.

2.5 Latar Belakang Kehidupan Ekonomi Masyarakat Oja

2.5.1 Bertani

Bertani merupakan salah satu mata pencarian yang menjanjikan bagi


masyarakat pedesaan. Koentjaraningrat menegaskan bahwa proporsi terbesar dari
penduduk dunia masa kini merupakan petani-petani yang hidup dalam komunitas-
komunitas desa.44 Pada prinsipnya masyarakat Oja merupakan masyarakat
pedesaan yang hidup berdampingan dan membentuk komunitas. Mereka hidup
dari hasil pertanian. Sebagian besar bermata pencarian sebagai petani, khususnya
bercocok tanam secara tradisional dan bersifat menetap. Rata-rata masyarakat Oja
adalah petani. Jika dikalkulasi kehidupan masyarkat Oja sebagai petani mencapai
80%.45
Kehidupan sebagai petani merupakan suatu warisan.46 Sudah secara turun-
temurun masyarakat Oja bertahan hidup dengan cara mengolah lahan pertanian.
Dalam pengolahan lahan tersebut masyarakat jarang melakukananya secara
pribadi. Mereka selalu melibatkan warga (tetangga) komunitas lainnya. Sistem ini
disebut kema sama (kerja secara bersama-sama) dan papa woe.47 Masyarakat
sekarang sering menyebutnya kelompok. Pembentukan papa woe ini biasanya
berdasarkan anggota keluarga, suku atau klan dan tempat tinggal bahkan juga
wilayah kebun atau lahan yang berdekatan.
Masyarakat beranggapan bahwa dalam kebersamaan ini segala pekerjaan
akan dilakukan dengan mudah. Hidup dalam kebersamaan tersebut akan
membentuk komunitas dengan suatu tujuan yang sama. Masyarakat Oja jarang

44
Koentjaraningrat, op. cit., hlm. 270.
45
Hasil wawancara dengan Bernadus Nenga, Tokoh masyarakat dan tokoh adat Oja,
tanggal 05 Januari 2020 di Oja.
46
Hasil wawancara dengan Paulinus Poa Mai, Guru, tanggal 06 januari 2020 di Oja.
47
Papa woe merupakan salah satu sistem kerja sama yang dianut oleh masyarakat Oja.
Sistem ini menggambarkan setiap pribadi individu berkumpul dan membentuk suatu komuntias
atau kelompok. Pembentukan komunitas tersebut atas asas kebersamaan dengan tujuan membantu
sesama anggota komunitas yang membutuhkan pekerjaan. Mekanisme pekerjaannya beruapa
setiap anggota kelompok mendapatkan jatah kunjungan dari anggota lainnya dalam kelompok
tersebut. Jatah kunjungan unutk satu anggota hanya berlaku satu kali dalam satu putaran hingga
semua anggota mendapatkan jatah kunjungan.
20

melakukan pekerjaan secara otonom atau individualistik dalam setiap aspek


kehidupan bercocok tanam. Mereka selalu membangun suatu jaringan relasi
dengan komunitas-komunitas tetangganya, seperti anggota keluarga, suku atau
klan, lingkungan tempat tinggal dan masyarakat sosial. Dengan demikian tidak
ada sikap diskriminatif di antara setiap pranata dan kelompok kebudayaan.

2.5.2 Pegawai

Data statistik desa mencatat bahwa sebagian dari penduduk Oja berprofesi
sebagai pegawai antara lain sebagai guru TK, SD, SMA, Mentri dan Bidan.
Mayoritas mereka merupakan penduduk asli Oja dan sebagiannya pendatang.48

2.5.3 Pengusaha

Pengusaha merupakan salah satu mata profesi sampingan yang diemban


oleh masyarakat Oja. Pada prinsipnya mata pencarian utama masyarakat Oja
adalah bertani seperti yang telah diuraikan di atas. Bentuk usaha sampingan yakni
menjual barang-barang sembako yang sangat membantu kebutuhan harian
masyarakat setempat.

2.6 Sistem Kekerabatan, Perkawinan, dan Pola Menetap Sesudah Nikah

2.6.1 Sistem Kekerabatan

Pada prinsipnya setiap pranata budaya dan masyarakat sosial di belahan


dunia memiliki sistem kekerabatan. Sistem kekerabatan tersebut membentuk
individu-individu menjadi suatu komunitas masyarakat, keluarga dan suku atau
klan. Konsep sistem kekerabatan pada masyarakat, keluarga dan suku berbeda
antara yang satu dengan yang lainnya. Hal ini dilatarbelakangi oleh sistem
hubungan relasi, pola perilaku, tingkat kebutuhan hidup, kebiasaan dan
kepercayaan masyarakat setempat.
Claude Levi-Strauss dalam teorinya mengatakan bahwa ada tiga asas yang
melatarbelakangi sistem kekerabatan dalam suatu masyarakat yaitu kekerabatan

48
Kantor Desa Tendambepa, ”Mata Pencarian Desa Tendambepa”, dalam Rencana
Pembangunan Jangka Panjang dan Menengah Desa Tendambepa Periode 2020-2025. Data
diambil pada 10 Januari 2020.
21

karena hubungan darah, kekerabatan karena hubungan perkawinan dan


kekerabatan karena hubungan keturunan.49 Pada hakikatnya kompleksitas sistem
kekerabatan yang didominasi masyarakat Oja selalu bertolak dari ketiga asas
tersebut. Bangunan relasi yang dihidupi pertama oleh masyarakat Oja adalah
dalam keluarga inti yaitu ema-ana (bapak dan anak), ine-ana (ibu dan anak)
begitupun sebaliknya.
Sistem kekerabatan karena keturunan merupakan relasi terbesar dalam
masyarakat Oja yang terdiri dari hubungan karena anggota suku atau klan dan
hubungan karena keluarga inti. Hubungan suatu keturunan dapat bertahan apabila
ada ketiga elemen penting tersebut. Akibatnya seorang individu tidak mungkin
mengingkari garis keturunan yang telah diwariskan.

2.6.2 Sistem Perkawinan dan Keturunan

Sistem perkawinan setiap wilayah memiliki perbedaan. Kebudayaan


menjadi parameter utama untuk menetapkan sistem perkawinan seorang individu.
Mayoritas kebudayaan yang ada di wilayah Ende menganut sistem klen
patrilineal. Klen itu disebut pu’u, kepala klen ialah raki pu’u dan kepala lineage
patrilineal disebut raki.50 Komponen ini pada hakikatnya akan menjadi pewaris
harta (heritage) dan kekuasaan (power). Paul Budi Kleden menguraikan bahwa
dalam konteks Indonesia, ketimpangan gender yang kasat mata terjadi dalam
sistem hukum adat yang mengatur pembagian tanah warisan. Perempuan tidak
mendapat bagian yang selayaknya sebagai anak dalam keluarga.51
Sistem perkawinan yang dibangun di Oja adalah berdasarkan klen
patrilineal. Seorang individu (perempuan) yang menikahi laki-laki Oja harus
mengikuti kebudayaan suami. Setelah melangsungkan pernikahan, istri
diharapkan berpindah tempat tinggal dan bergabung dengan keluarga suami. Hal
ini dilatarbelakangi oleh sistem patrilineal yang dianut masyarakat Oja. Sistem ini
menelusuri asal usul keturunan hanya berdasarkan garis suami (laki-laki). Dengan

49
Dikutip dalam Ansel Dore Dae, ”Manusia dan Kebudayaan Indonesia” (ms.), STFK
Ledalero, 2005, hlm. 27.
50
F. A. E. Van Wouden, Klen, Mitos dan Kekuasaan: Struktur Sosial Indonesia Bagian
Timur (Jakarta: Grafiti Pres, 1985), hlm. 18.
51
Paul Budi Kleden, “Secerca Sinar Surya”, dalam Jurnal Ledalero Gender dan
Persoalannya Vol. 03. No. 01. Juni 2004.hlm. 3.
22

demikian ditegaskan oleh Zakarias Y. Marsedo dalam suatu sesi wawancara


bahwa anak laki-laki Oja akan menjadi pewaris.52
Konsep warisan harta (heritage) dan kekuasaan (power) diberikan
berdasarkan garis keturunan ayah. Pihak yang berhak menerima warisan hanyalah
anak laki-laki, sedangkan anak peremuan tidak menerimanya. Konsep ini bertolak
dari paradigma yang dibangun oleh masyarakat Oja sejak turun-temurun. Konsep
tersebut menegaskan bahwa anak laki-laki merupakan jenis ata one/ata todo sa’o
(orang dalam) dan anak perempuan sebagai ata wau (orang yang akan keluar).53
Pola pewarisan harta dan kekuasaan yang diberikan kepada anak laki-laki
akan diatur dalam suatu mekanisme. Pada saat seorang ayah masih hidup maka
yang berhak memberikan dan membagikan warisan tersebut adalah pribadinya
sendiri. Namun, apabila dalam perjalanannya suami atau ayah meninggal sebelum
adanya momen pemberian dan pembagian warisan secara sah, maka yang berhak
menggantikan posisi ayah adalah ana udu. Ana udu merupakan sebutan khas
masyarakat Oja yang ditujukan kepada anak pertama dalam keluarga.54
Apabila dalam suatu perkawinan, kedua pasangan tidak dapat memberikan
keturunan (prokreasi), hak ahli waris akan diberikan kepada keluarga suami. Ia
akan membagikannya kepada kakak-adik yang berada dalam garis keturunan
darah lurus. Jika dari prokreasi tersebut hanya dapat menghadirkan anak
peremuan, maka yang bertanggung jawab atas pembagian warisan tetap
dilaksanakan atas kebijakan suami. Apabila anak-anaknya sudah menikah dan
tetap tinggal dengan pola patrilokal, maka seluruh harta dan kekuasaan akan
diberikan kepada anak tersebut. Mekanisme pelimpahan ahli waris pun juga sama
dengan yang dianut oleh anak laki-laki.

2.6.3 Pola Menetap Sesudah Nikah

Setiap kebudayaan memiliki kebiasaan, tata aturan, norma dan hukum adat
sendiri yang mengatur di mana seorang individu yang sudah menikah akan

52
Hasil wawancara dengan Zakarias Yos Marsedo, Tokoh Masyarakat dan Tokoh Adat
Oja, tanggal 28 Desember 2019 di Oja.
53
Hasil wawancara dengan Zakarias Yos Marsedo, Tokoh Masyarakat dan Tokoh Adat
Oja, tanggal 28 Desember 2019 di Oja.
54
Hasil wawancara dengan Bernadus Nenga, Tokoh Masyarakat dan Tokoh Adat Oja,
tanggal 05 Januari 2020 di Oja.
23

tinggal. Lazimnya ada tiga pola pengaturan tempat tinggal bagi pasangan yang
baru menikah. Ketiga pola tersebut antara lain patrilokal, matrilokal dan neolokal.
Pada prinsipnya kebudayaan Oja menganut pola patrilokal. Pola patrilokal adalah
suatu pola pengaturan tempat tinggal di mana pasangan yang baru menikah akan
tinggal dan menetap dengan keluarga suami atau berdekatan dengan lingkungan
keluarga suami.55
Namun, seiring dengan perkembangan dan kemajuan zaman, evolusi atau
pembaruan kebudayaan, perkawinan dan pekerjaan (mata pencarian), maka
masyarakat Oja juga menganut dua pola pengaturan tempat tinggal bagi setiap
anggota masyarakat setempat.56 Pertama, pola matrilokal. Pola ini menerapkan
sistem pengaturan tempat tinggal di mana seseorang yang baru menikah tinggal
dengan keluarga istrinya. Kedua, pola neolokal. Pola pengaturan tempat tinggal di
mana pasangan yang baru nikah memilih untuk tinggal di tempat baru dan jauh
dari keluarga suami maupun istri.

2.7 Upacara Yoye Ngi’i

Pada hakikatnya manusia merupakan makhluk yang bermata rantai


kehidupan berupa rantai genetis. Manusia sebagai makhluk hidup akan selalu
mengalami peralihan mulai kelahiran hingga kematian pada suatu waktu. Seorang
pribadi merupakan suatu mata rantai pada rantai genetis. Dia memandang
rancangan yang dilukiskan oleh kebudayaan tentang perjalanan hidup sebagai
ritus-ritus peralihan pada titik balik yang dipilih.57
Ritus peralihan tersebut akan menjadi suatu bagian integral dari kehidupan
setiap masyarakat budaya. Kebudayaan Oja mempunyai ritus peralihan hidup dari
remaja ke dewasa yang disebut ritus pendewasaan laki-laki dan perempuan.
Masyarakat Oja mengenal ritus pendewasaan bagi seorang anak laki-laki disebut
nggua doya sedangkan ritus pendewasaan bagi seorang anak perempuan disebut
yoye ngi’i. Dalam tulisan ini penulis hanya memfokuskan perhatian pada ritus
pendewasaan seorang anak perempuan.

55
Bernard Raho, Pengantar Sosiologi (Maumere: Penerbit Ledalero, 2014), hlm. 265.
56
Hasil wawancara dengan Zakarias Yos Marsedo, Tokoh Masyarakat dan Tokoh Adat
Oja, tanggal 28 Desember 2019 di Oja.
57
Erik H. Erikson, Jati Diri, Kebudayaan dan Sejarah Pemahaman dan Tanggung Jawab
(Maumere: LPBAJ, 2001), hlm.218.
24

2.7.1 Terminologi

Yoye ngi’i berasal dari kata bahasa Oja yang terdiri atas dua kata yaitu
yoye yang berarti potong dan ngi’i yang berarti gigi. Dengan demikian, ritus yoye
ngi’i merupakan suatu rangkaian upacara pendewasaan seorang anak perempuan
secara adat pada masyarakat Oja. Upacara pendewasaan ini ditandai dengan
memotong, menggosok atau meratakan gigi seoarang anak gadis. Ritus tersebut
lazimnya dilaksanakan dengan proses meratakan gigi pada setiap anak perempuan
yang dianggap telah mencapai umur dewasa. Ritus yoye ngi’i merupakan suatu
proses atau upacara yang wajib dilaksanakan oleh kaum wanita yang memasuki
usia dewasa.
Substansi dari ritus ini sesungguhnya mengafirmasi kaum perempuan
untuk diterima dan bergabung bersama dalam struktur masyarakat budaya Oja.
Pada zaman dahulu proses meratakan, menggosok atau memotong gigi ini
menggunakan pisau kikir, tetapi pada saat sekarang pisau kikir ini sudah tidak
digunakan lagi karena mudah berkarat apabila tidak disimpan dengan baik. Pisau
kikir yang sudah berkarat ini tidak boleh digunakan lagi karena berbahaya bagi
kesehatan. Oleh karena itu, saat ini mereka sering menggunakan batu asa sebagai
alat untuk memotong, menggosok dan meratakan gigi seoarang anak gadis.

2.7.2 Makna dan Tujuan Ritus Yoye Ngi’i

Ritus yoye ngi’i dalam kebudayaan Oja memiliki makna dan tujuan yang
bersifat tetap dan mengikat.58 Jika ada kesalahan dalam pelaksanaan ritus ini
maka akan terjadi pelbagai masalah yang akan dihadapi pada saat upacara sedang
berlangsung dan di kemudian hari.
Makna dan tujuan ritus yoye ngi’i pada kebudayaan Oja dilukiskan sebagai
berikut. Pertama usu tubu koyo dombo.59 Konsep ini menunjukkan bahwa anak
gadis sebelum memasuki masa pubertas harus terlebih dahulu dilakukan proses
peralihan berupa upacara potong gigi. Upacara potong gigi ini lazimnya dilakukan

58
Hasil wawancara dengan Zakarias Yos marsedo, Tokoh Masyarakat dan Tokoh Adat
Oja, tanggal 28 Desember 2019 di Oja.
59
Usu berarti gigi; tubu berarti tumpul; koyo berarti mengikis atau meratakan dan dombo
berarti ujung. Lengkapnya konsep usu tubu koyo dombo berarti gigi anak gadis mulai tinggi, oleh
karena itu ujung gigi dari anak gadis tersebut harus diratakan melalui upacara atau ritus yoye ngi’i.
Ritus ini merupakan salah satu sarana inisiasi anak gadis ke dalam budaya Oja
25

dengan cara memotong, menggosok atau meratakan gigi dengan menggunakan


batu asa. Dengan upacara meratakan gigi ini, status seorang anak gadis secara
resmi diakui sebagai seorang perempuan dewasa dalam budaya masyarakat Oja.
Kedua pake keto ne’e kondo60 yang berarti bahwa anak perempuan dewasa
sudah bersedia mengenakan pakaian adat berupa kain sarung dan baju Ende.
Dengan mengenakan pakaian adat, seorang anak perempuan dapat dikatakan
sudah layak untuk ikut bergabung dengan orang-orang dewasa dalam lingkaran
budaya. Cara berpakaian seperti ini menunjukkan jati dirinya sebagai seorang
yang sudah dewasa. Pada prinsipnya yang berpakaian seperti keto ne’e kondo
hanya ibu-ibu dan perempuan-perempuan yang sudah dewasa sedangkan anak-
anak tidak mengenakannya. Hal ini menandakan perempuan-perempuan dewasa
dalam golongan ini secara adat telah melewati proses peralihan atau upacara
potong gigi.61
Ketiga pati/dhoga weti dheya bako62 berarti seorang anak gadis yang
sudah dinyatakan dewasa secara adat tersebut sudah layak makan sirih pinang dan
memberikan siri pinang kepada semua perempuan dewasa lainnya. Hal ini berarti
bahwa setelah upacara potong gigi, seorang anak perempuan dewasa sudah bisa
dan siap untuk melayani orang banyak, entah anggota keluarga inti, kerabat
maupun masyarakat komunitas budaya. Ia juga sudah layak untuk dipinang.
Secara implisit upacara ini dapat meningkatkan harkat dan martabat seorang anak
perempuan di hadapan anggota komunitas dan sesama orang dewasa lainnya.

60
Pake berarti mengenakan atau memakai; keto berarti sarung adat khusus perempuan;
ne’e berarti dan; kondo berarti baju adat untuk perempuan. Dengan demikian konsep ini berarti
anak gadis yang hendak dipotong giginya harus mengenakan sarung dan baju Ende sebagai busana
resmi dalam upacara potong gigi. Tampilan busana seperti ini menandakan bahwa dia bukan lagi
sebagai anak-anak, tetapi sudah menjadi seorag anak gadis dewasa secara adat.
61
Hasil wawancara dengan Bernadus Nenga, Tokoh Masyarakat dan Tokoh Adat Oja,
tanggal 05 Januari 2020 di Oja.
62
Pati/dhoga berarti memberikan; weti berarti sirih dan pinang; dheya memiliki
kesamaan makna dengan pati/dhoga; bako berarti rokok. Secara lebih luas arti dari frasa tersebut
ialah seorang anak gadis yang sudah melaksanakan upacara potong gigi tersebut secara resmi
memiliki hak dan berkewajiban untuk makan makanan tradisional dan dapat memberikan sirih
pinang kepada perempuan dewasa dan ibu-ibu serta melayani rokok kepada laki-laki. Namun,
dalam suatu upacara adat melayani rokok lebih dikhususkan untuk seorang laki-laki dewasa.
Dengan demikian, di sini menjadi jelas dikotomi dari tugas dan peran seorang anak gadis dan laki-
laki dewasa. Di sisi lain ia juga sudah layak untuk melayani banyak orang tanpa kecuali.
26

2.7.3 Persyaratan dalam Pelaksanaan Ritus Yoye Ngi’i

Hukum adat kebudayaan Oja menggarisbawahi bahwa perayaan ritus yoye


ngi’i memiliki syarat-syarat yang mengikat bagi seorang anak perempuan.
Sebelum ritus ini dilaksanakan, ada beberapa hal yang harus diperhatikan secara
bersama oleh orangtua, keluarga, anggota komunitas dan pribadi yang
bersangkutan.63
Pertama anggapan dalam kepercayaan masyarakat Oja tentang usu tubu
koyo dombo. Makna dari ungkapan tersebut adalah gigi taring dan gigi seri
seorang anak gadis sudah mulai tinggi. Oleh karena itu harus diratakan. Konsep
ini hendak menjelaskan kondisi dan keadaan biologis seorang anak gadis. Gigi
seri dan gigi taring yang tinggi dianggap tidak baik bagi seorang anak gadis oleh
masyarakat Oja. Oleh karena itu, gigi tersebut harus diratakan. Proses meratakan
gigi dilakukan melalui ritus yoye ngi’i.
Kedua seorang anak perempuan yang hendak mengikuti upacara potong
gigi seharusnya belum mengalami menstruasi untuk pertama kali dalam
hidupnya.64 Oleh karena itu, ketika seorang perempuan dalam keadaan pubertas
orangtua bertanggung jawab untuk segera melakukan upacara tersebut. Pada
dasarnya orangtua amat berperan dalam masa peralihan seorang anak perempuan
dari remaja menuju dewasa. Hal pertama dan utama yang harus dilakukan
orangtua ialah selalu mengingatkan anak-anak akan pentingnya upacara potong
gigi. Mereka hendaknya menanamkan nilai-nilai dan makna dari ritus tersebut.
Ketiga seorang anak perempuan yang telah berusia 11-15 tahun wajib
untuk melakukan upacara yoye ngi’i. 65 Hal ini bertolak dari pandangan biologis
bahwa usia tersebut merupakan usia pubertas. Pubertas adalah suatu masa di mana
seseorang akan mengalami perubahan dan perkembangan fisik serta mental.
Dengan pubertas seorang mengakhiri masa anak-anak.66 Pada zaman dahulu
ketika masyarakat Oja belum mengetahui cara menentukan usia seseorang untuk

63
Hasil wawancara dengan Robertus Roga, Kepala Suku Asa, tanggal 03 Januari 2020 di
Oja.
64
Hasil wawancara dengan Sebastianus Sabar Susa, Tokoh Masyarakat dan Tokoh Adat
Oja, tanggal 29 Desember 2019 di Oja.
65
Hasil wawancara dengan Sebastianus Sabar Susa, Tokoh Masyarakat dan Tokoh Adat
Oja, tanggal 29 Desember 2019 di Oja.
66
Erik H. Erikson, op. cit., hlm. 229.
27

melakukan upacara potong gigi, maka tanda khusus yang dipakai oleh mereka
ialah tanda-tanda perubahan tubuh bilogis anak gadis seperti menstruasi.
Keempat mbana ma’e punggu67 dalam arti bahwa anak gadis yang akan
dipotong giginya sewaktu berjalan tidak boleh terantuk. Apabila ia terantuk maka
hal itu disebut piye (pemali, haram) dan itu tidak baik bagi kesakralan suatu
upacara potong gigi. Karena itu, ketika seorang anak gadis berjalan hendaknya ia
hati-hati agar tidak terantuk.
Kelima seorang anak gadis seharusnya belum terikat oleh sebuah
perkawinan dengan seorang pemuda. Maksudnya dia belum hidup dengan seorang
laki-laki dan melakukan hubungan sebagai suami istri. Apabila dia sudah
melakukannya, maka sebelum acara inti hendaknya perempuan tersebut terlebih
dahulu mengakui perbuatannya sehingga dilakukan pemurnian kembali sehingga
dalam pelaksanaan acara tersebut tidak mengalami banyak rintangan.

2.7.4 Pelaku, Sarana dan Tempat Pelaksanan Ritus Yoye Ngi’i

2.7.4.1 Pelaku dan Penanggung Jawab

Ada banyak elemen yang berpartisipasi dalam ritus atau upacara yoye
ngi’i. Elemen-elemen tersebut diantaranya adalah sebagai berikut.
1. Anak Gadis (Ana Mbu’e)
Anak gadis (ana mbue) yang dimaksudkan adalah yang berusia
antara 11-15 tahun dan giginya belum dipotong. Dalam usia ini seorang
anak akan mengalami masa peralihan dari anak-anak ke remaja. Dia
menjadi tokoh sentral sebab acara ini dikhususkan baginya untuk
mendewasakannya secara adat.

2. Orangtua dan Keluarga (Ine Ema, Ka’e Ayi)


Dalam upacara atau ritus yoye ngi’i, anak menjadi perhatian dan
tanggung jawab penuh orangtua. Apabila orangtua kurang memperhatikan
kehidupan anak gadisnya, maka anak gadis tersebut bertumbuh dalam
kesendirian. Ada pembiaran dari orangtua terhadap anaknya (deya
67
Mbana berati berjalan; ma’e jangan; punggu berarti terantuk. Arti dari frasa tersebut
adalah ketika sedang berjalan, anak gadis tersebut tidak boleh terantuk. Apabila ia terantuk maka
disebut piye (pemali).
28

bhodo). Pembiaran dan kurangnya perhatian dapat menyebabkan perilaku


anak yang sering bertentangan dengan norma dan aturan bersama.
3. Om atau Paman (Ebu Ta’u)
Ine ame/ebu ta’u, yakni om dan tanta, saudara dan saudari dari
pihak keluarga mama. Ine ame/ebu ta’u memiliki kedudukan yang lebih
tinggi dalam budaya masyarakat Oja. Mereka turut ambil bagian dan
memfasilitasi upacara ini dengan menyiapkan beras, hewan korban,
pakaian adat bagi anak gadis, serta memberikan kekuatan melalui
dukungan moril bagi anak gadis. Pada dasarnya tugas dan peranan utama
om dan tanta adalah untuk membuka seluruh rangkaian upacara potong
gigi. Dengan demikian kehadiran dan keberadaan om dan tanta dalam
ritus yoye ngi’i amat berpengaruh terhadap pola pertumbuhan dan
perkembangan yang akan dialami anak gadis di kemudian hari.
Kehadiran paman mengafirmasi peran keterlibatan dan
kehadiran Wujud Tertinggi dan leluhur dari kedua rumpun keluarga.
Dalam kebudayaan Oja, paman adalah orang pertama yang akan
membuka dan menutup segala rangkaian ritus tersebut. Dalam
pelaksanaan ritus yoye ngi’i om berperan sebagai saksi. Kehidupan anak
perempuan selanjutnya akan menjadi tanggung jawab keluarga om atau
paman. Mereka mendidik dan membina kehidupan anak sejak upacara
potong gigi, antar belis (tu ngawu) hingga pada kematian (ata mata).
Kendatipun dalam realitas kehidupan mereka tidak memberikan diri
secara total.
4. Ahli atau Orang Pintar (Ata Madi)
Ahli atau orang pintar (ata madi) yang dimaksudkan di sini
adalah orang yang memiliki keterampilan dan kemampuan dalam hal
memotong gigi. Lazimnya orangtua menghubungi ahli atau orang pintar
tersebut sebelum upacara ini dilakukan. Keberadaan mereka telah diakui
dan dipercayai oleh orang banyak.
5. Perempuan Dewasa (Ana Mbu’e)
Peran dan peranan dari perempuan-perempuan dewasa turut
membantu melancarkan ritus yoye ngi’i. Lazimnya perempuan dewasa ini
29

adalah mereka yang sudah melalui upacara potong gigi tersebut. Mereka
hadir untuk mendampingi anak perempuan yang hendak dipotong
giginya. Dalam hari-hari sebelum upacara hingga upacara dilaksanakan,
mereka selalu menemaninya.
6. Masyarakat
Keberadaan dan kehadiran masyarakat (ata mboa= pu’u udu
dhu eko) dalam upacara tersebut bertujuan untuk menyaksikan dan secara
simbolik menerima anak perempuan yang baru dipotong giginya ke dalam
anggota budaya dan komunitas masyarakat. Di samping itu, setelah anak
gadis melakukan upacara yoye ngi’i, dia memberikan siri, pinang dan
rokok (weti bako) untuk orang kampung. Hal ini menggambarkan anak
perempuan tersebut mulai melatih diri untuk melayani orang lain bukan
hanya anggota keluarga dan dirinya sendiri.

2.7.4.2 Tempat dan Waktu Pelaksanaan

Pada zaman dulu masyarakat Oja sering menggunakan sa’o todo (rumah
panggung) untuk upacara potong gigi. Namun, pada zaman sekarang rumah
kolong tersebut sudah tidak ada sehingga dilakukan upacara potong gigi di rumah.
Pada dasarnya bukan rumah orangtua anak gadis, melainkan rumah tetangga
terdekat.
Apabila upacara potong gigi dilaksanakan di rumah orangtua, maka ia
disebut piye (pemali). Rumah orangtua hanya digunakan untuk yegho doka
(duduk adat). Ia dihuni oleh keluarga inti anak gadis, keluarga om, dan orang
kampung. Sedangkan anak gadis tersebut telah diungsikan ke rumah tetangga dua
hari sebelum hari upacara inti potong gigi berlangsung.68
Waktu pelaksanaan biasanya pada pagi hari sekitar jam 7 sampai jam 9.
Dengan demikian upacara potong gigi seharusnya dilakukan sebelum jam 10.
Apabila upacara tersebut dilakukan di atas jam 10 maka disebut piye (pemali). Hal
ini tidak baik untuk upacara adat (yoye ngi’i). Sebab tujuan dasar dari upacara ini

68
Hasil wawancara dengan Zakarias Yos marsedo, Tokoh Masyarakat dan Tokoh Adat
Oja, tanggal 28 Desember 2019 di Oja.
30

adalah memberikan kesehatan kepada anak gadis baik dari aspek budaya maupun
aspek sosial kemasyarakatan.69

2.7.5 Tahap-Tahap Pelaksanaan Ritus Yoye Ngi’i

Pelaksanaan ritus yoye ngi’i memiliki tahapan persiapan, inti, dan penutup.

2.7.5.1 Tahap Persiapan

Pada tahap persiapan ini ada beberapa langkah yang harus dilakukan.
1. Tahap pertama, mbe’o kombe; kombe lima esa/tera esa. Pada
tahap ini orangtua dan saudara-saudari anak gadis merencanakan
waktu pelaksanaan upacara potong gigi. Perencanaan ini dilakukan
dalam rumah bersama keluarga inti saja. Biasanya waktu
perencanaan enam hari atau tujuh hari sebelum acara inti. Di
samping merencanakan waktu yang tepat untuk upacara potong
gigi, orangtua bersama keluarga hendaknya menyiapkan makanan
dan minuman. Makanan dan minuman tersebut digunakan untuk
memberi makan dam minum kepada orang banyak yang datang
menghadiri upacara potong gigi.
2. Tahap kedua, tonda ta ebu ta’u neno pi pela, nio yu’i manu moka.
Setelah merencanakan waktu yang cocok untuk upacara potong
gigi, maka orangtua memberitahu pihak om sebagai ebu ta’u.
Tahap ini dimaksudkan agar memberikan informasi kepada pihak
om waktu pelaksanaannya. Secara kebudayaan, sesudah pihak
orangtua menginformasikan, maka om harus menyiapkan pakaian
adat untuk anak gadis, ayam betina, kelapa, satu ekor babi, tikar,
bantal, pisang dan kue cucur.
3. Tahap ketiga, sodh’o mbo’a. Pada tahap ini, orangtua dan keluarga
bersepakat mengutus salah satu dari mereka untuk mengundang
orang sekampung. Pada dasarnya undangan tersebut bersifat
verbal. Tidak dianjurkan untuk membuat undangan dalam bentuk
tulisan.
69
Hasil wawancara dengan Zakarias Yos marsedo, Tokoh Masyarakat dan Tokoh Adat
Oja, tanggal 28 Desember 2019 di Oja.
31

4. Tahap keempat, mbunggu wunu eya, mece, wuki, yu’i yembu ne’e
fi’i yembu70 (kayu kesambi). Pada siang hari sebelum tahap kombe
tama orang-orang yang telah dipercayai pergi mencari bahan-
bahan seperti wunu yi’a, wunu eya, mece, wuki, yu’i yembu ne’e
fi’i yembu. Bahan-bahan hutan ini akan digunakan sebagai ramuan
untuk merendam batu asa (dhali). Pada malam hari sebelum hari
pelaksanaannya, ramuan tersebut biasanya diletakkan dekat anak
gadis dengan maksud agar sarana yang akan digunakan dalam
acara potong gigi dapat menyatu dengan anak gadis tersebut.
5. Tahap kelima, kombe tama. Pada tahap ini pihak keluarga om (ebu
ta’u) dan orang kampung datang ke rumah orangtua anak gadis.
Biasanya pihak om datang pada waktu sore menjelang malam.
Setiba di rumah orangtua, om menyapa orang-orang yang ada di
dalam rumah (bhenggo sia todo sa’o). Bhenggo sia todo sa’o
merupakan sapaan yang paling sederhana untuk menyapa semua
anggota keluarga yang ada di dalam rumah tersebut, kemudian
orang-orang dalam rumah mempersilahkan om dan keluarga
lainnya masuk ke dalam rumah. Pada malam hari, tanta
menyerahkan pakaian adat kepada orangtua dan anak gadis dan
om memberikan doa adat sembari melakukan tahapan wesa/poke
ngi’i dako. Wesa/poke ngi’i dako merupakan tindakan
melemparkan bulir-bulir beras kepada hewan korban (babi) yang
akan disembelih. Proses pelemparan bulir-bulir beras tersebut
melambangkan sebuah bentuk permohonan kepada tiga unsur
kehidupan (Wujut Tertinggi, nenek moyang dan nitu) agar
memberkati upacara potong gigi. Hal ini dilakukan pada tahap
awal sebelum memasuki upacara inti potong gigi. Doa adat
tersebut yang bunyinya sebagai berikut:
Pasi gaci kowa ngowa wesa yea
O Dewa ne’e baba, ine, ebu, kajo ndia nga’o na mai make, nga’o
oa one miu susu nggua ana nama fau koo embu. Nga’o oa one miu
70
Mbunggu wunu eya, mece, wuki, yu’i yembu ne’e fi’i yembu merupakan jenis tanaman
tradisional masyarakat Oja dan belum memiliki nama ilmiah.
32

baba, ine, ebu kajo ta anggu watu wena tana ghila yi’a, meno
modhe. Ti’i imu tembo yi’a, pati imu lo pawe. Ti’i imu dhadhi ana
woso, pati imu embu kapa. Ti’i imu kema nggena, pati imu ghawo
ngala. Ti’i imu poto mbo’o pati imu tengge meka. Ti’i imu peni
mbi bhili sili wio, pati imu peni mbeka bhili ika yili lema. Ndia
nga’o oa one miu ghila yi’a meno modhe, ti’i imu to’o mbe’o, pati
imu yegho nggena. Tti’i imu kuku wu pati imu dhodo yilo. To’o
nggole wolo komba ma’e so, sai ta so komba, O Nggae,,,,, Kau
yoti komba ta imu so. Ke imu langga lowo fata ma’e papa. Kau tei
sai ta papa fata, O Dewa,,,, Kau nggete sai fata ta imu papa. Ti’i
imu mbana yada yi’a loya nete noa. Ti’i imu mbupu dhu, mbupu
dhugu rugu. Pati imu tembo waja dhu dhaga raga. Ti’i imu eko
tembu, pati imu yinga yaya.71

Terjemahan:
Do’a adat disertai dengan sarana berupa ngi’i dako.
O Dewa dan para leluhur, kini saya sudah datang, saya meminta
kepadamu Dewa dan leluhur sertailah upacara adat potong gigi ini.
Saya meminta kepadamu leluhurku yang sekarang sudah berada di
bawah tanah dan batu lihatlah baik-baik anak cucumu ini (sebut
nama anak gadis). Berilah dia jiwa dan badan yang sehat dan
melahirkan anak dan cucu yang banyak. Berilah dan sertailah
segala usaha dan pekerjaan agar sukses dan berhasil selalu. Berilah
dia makanan yang secukupnya untuk kebutuhan hidupnya. Berilah
dia kemampuan untuk memelihara binatang agar berkembang
seperti burung tekukur dan ikan di laut yang dalam. Di sini saya
meminta kepadamu lihatlah dan perhatikanlah dia baik-baik.
Berilah dia sikap bangun dan duduk yang baik. Berilah dia juga
tubuh yang kuat. Apabila dia melewati bukit janganlah tali-tali
hutan menghalanginya. Jika ada orang yang sengaja menghalangi
perjalanannya dengan tali-tali hutan tersebut, O Dewa,,,, Kau
71
Hasil wawancara dengan zakarias Yos Marsedo, Tokoh Masyarakat dan Tokoh Adat
Oja, tanggal 28 Desember 2019 di Oja.
33

putuskan tali hutan yang orang halangi ini dan jika dia hendak
menyeberang kali dan ada kayu besar yang menghalangi, O
Dewa,,,, Kau potonglah kayu itu agar dia dapat melewatinya.
Berilah selalu dia jalan yang baik dan bersih sehingga tidak
menghambat perjalanannya. Berilah dia usia hingga tua dan badan
yang sehat selalu. Berilah dia usia hingga tulang ekor tumbuh dan
telinga yang besar agar dia dapat mendengar semua orang yang
berbicara tentang dirinya entah yang baik maupun yang buruk.
6. Tahap kelima, popi wawi merupakan salah satu bagian sembelih
hewan kurban berupa seekor babi yang dibawa oleh ebu ta’u.
Setelah babi disembelih, kemudian dilanjutkan dengan
pembersihan dengan membakar bulu babi dan memotong daging
babi untuk mengambil hatinya yabhe ate wawi. Tahap ini
bertujuan agar om dapat melihat petunjuk masa depan anak gadis
yang diberikan oleh leluhur melalui hati babi. Seluruh ziarah
kehidupan anak gadis ke depannya entah yang baik maupun yang
buruk dapat ditampilkan melalui hati babi tersebut. Akan tetapi,
sebelum babi disembelih, om hendaknya terlebih dahulu
melantunkan doa adat guna meminta leluhur memberikan petunjuk
melalui hati babi tersebut. Doa adat tersebut adalah sebagai
berikut:
Ndia nga’o mo’o popi wawi. Nga’o oa one miu baba ine ebu kajo
papa yua mai bhali (sebut nama leluhur kedua belah pihak).
Nga’o oa one miu mumu pulu lema pongo, foko oko ngoyo faya,
ti’i uya yi’a pati ate pawe, sai ta po longgo kepe yende nee wunu
mbene. Miu tei sai ta pedo kemo yu ngai imu nee funu tu’u. Ye imu
ma’e tei eka imu ma’e nggena. Nga’o oa one miu ghila yi’a meno
modhe, mo’o tembo yi’a lo pawe pu’u ma ke dhu yebho ceka
newa.72

72
Hasil wawancara dengan Zakarias Yos Marsedo, Tokoh Masyarakat dan Tokoh Adat
Oja, tanggal 28 Desember 2019 di Oja.
34

Terjemahan;
Sekarang dan di sini saya hendak menyembelih babi. Saya
meminta kepadamu leluhurku dari kedua belah pihak (sebut nama-
nama leluhur). Saya meminta kepadamu satukan hati, pikiran,
perkataan dan perasaan dan susunlah urat-urat hati babi ini agar
saya dapat melihat ziarah perjalanan anak gadis ini. Kamu melihat
siapa yang menusuk tulang rusuknya dan menutup napasnya
dengan sabut kelapa supaya setiap pikiran dan perasaan yang tidak
baik tidak kelihatan dan tidak diingatnya. Saya memohon
kepadamu lihatlah baik-baik agar dia diberikan kesehatan tubuh
dan jiwanya hingga kekal.

2.7.5.2 Tahap Upacara Inti

Tahap inti dalam ritus potong gigi masyarakat Oja, dibagi dalam beberapa
proses sehingga upacara pelaksanaan potong gigi berjalan lancar. Tahap-tahap
tersebut sebagai berikut.
Pertama, acara mandi sore. Pada hari sebelumnya ana mbu’e harus
melewati acara mandi sore. Acara mandi sore ini pada dasarnya dilakukan pada
sore hari sekitar jam 14.00. Kondisi topografi Oja yang berbukit-bukit
menyebabkan kelangkaan air. Hal ini menyebabkan ana mbu’e tersebut harus
mandi di mata air.
Dalam acara mandi sore ini ana mbu’e ditemani oleh bebarapa anak gadis
dewasa. Anak-anak yang belum melakukan upacara potong gigi tidak
diperkenankan untuk menemaninya. Perjalanan menuju kali harus memperhatikan
tata urutan. Posisi ana mbu’e harus berada di tengah dan diapiti oleh anak-anak
gadis lainnya. Segala perlengkapan mandi dan pakaian ganti ana mbu’e diisi di
dalam sobha nata (sokal yang berukuran kecil). Tidak dianjurkan untuk
menggunakan keranjang yang dibeli dari toko atau pasar.
Kedua, pendinginan alat. Acara pendinginan alat ini biasanya dilakukan
pada malam hari sesudah pihak keluarga mencari dan menyiapkan bahan-bahan
dan ramuan. Pendinginan alat ini digunakan untuk mencampur ramuan-ramuan ke
dalam salah satu wadah toya atau ye’a. Ramuan-ramuan tersebut adalah wunu
35

yi’a, wunu eya, mece, wuki, yu’i yembu ne’e fi’i yembu yang dicampur dengan air
dan disatukan dalam wadah toya atau ye’a. Setelah ramuan disatukan dalam
wadah, kemudian rendamlah dhadi (batu asa) ke dalam wadah toya atau ye’a.
Ketiga, mempersiapkan bahan dan ramuan. Pada keesokan harinya atau
lebih tepat pada waktu pagi, keluarga menyiapkan segala keperluan berupa bahan-
bahan dan ramuan yang dibutuhkan dalam acara potong gigi. Orangtua dan
keluarga menyiapkan peralatan tersebut di rumah tetangga yang hendak dipakai
untuk acara potong gigi.
Keempat, mempersiapkan tempat upacara. Orangtua bersama keluarga
menyiapkan tempat yang layak untuk tempat upacara. Tempat upacara yang akan
dipakai hendaknya bersifat tertutup. Hal ini dimaksudkan agar anak-anak tidak
boleh melihat ketika upacara potong gigi sedang dilaksanakan. Orangtua
membentang tikar memenuhi ruangan itu, kemudian di tengahnya ditaruh sebuah
tikar khusus dan bantal untuk ana mbu’e. Tikar khusus tersebut sudah dalam
keadaan terbuka dan siap untuk pembaringan anak gadis.
Kelima, perarakan menuju tempat upacara. Setelah bahan-bahan, ramuan
dan segala keperluan yang dibutuhkan dalam upacara potong gigi disiapkan, maka
tibalah saat perarakan ke tempat potong gigi. Sebelum berarak ana mbu’e diajak
oleh para pendamping untuk pergi ke kamar belakang (toilet) dengan maksud agar
dia membuang air kecil dan air besar serta kentut sebelum upcara potong gigi.
Sebab, apabila pada saat upacara berlangsung dan ana mbu’e tersebut secara tidak
sengaja membuang air kecil, besar atau pun kentut maka disebut piye (pemali atau
haram).
Pada saat itu, ana mbu’e sudah mengenakan pakaian adat yang dibawa
oleh om tanta dan para petugas berarak menuju tempat upacara (wa’u mbana yoye
ngi’i). Pada saat perarakan menuju tempat upacara harus memperhatikan tata
urutan perarakan. Tata urutan perarakan sebagai berikut: Barisan paling depan
dipimpin oleh om kemudian disusul para pendamping. Salah satu dari
pendamping membawa sobha nata (tempat siri pinang) dan barisan terakhir
adalah ata madi. Ata madi adalah orang pintar atau orang yang berpengalaman
dalam memotong atau meratakan gigi. Sedangkan posisi ana mbu’e berada di
tengah para pendamping. Dalam perarakan tersebut, para pendamping membawa
36

serta bahan-bahan dan ramuan untuk upacara potong gigi. Selain bahan-bahan dan
ramuan, para pendamping juga membawa sabut kelapa untuk alas gusi pada saat
potong gigi, ayam betina, kelapa buah, pisau, siri, pinang dan rokok.
Keenam, acara potong gigi (yoye ngi’i). Inilah tahap inti dari seluruh
rangkaian pelaksanaan upacara potong gigi. Setiba di tempat upacara ata madi
meminta anak gadis mengambil tempat yang sudah disediakan sembari
memberikan arahan kepadanya. Anak gadis diminta berbaring di tikar dan bantal
yang sudah disediakan, kemudian dua pendamping mengambil posisi mengapiti
anak gadis tersebut tepat di sebelah kiri dan kanan dari kepalanya. Ata madi
meminta kedua pendamping menyelipkan sabut kelapa untuk menutupi gusi,
bibir dan lidah agar pada saat menggosok atau kikir tidak terkena batu asa atau
pisau. Tugas kedua pendamping adalah memegang kepala pada saat potong gigi
agar tidak goyang guna menghindari kesalahan dalam penggosokkan atau
pemotongan gigi seperti memotong atau menggosok lidah, bibir dan gusi. Mereka
juga bertugas membersihkan air liur anak gadis, dia diminta untuk tidak menelan
air liur tersebut. Pada saat bersamaan dia juga diminta mengigit bilah kayu yembu.
Hal ini dilakukan dengan maksud agar pada saat potong gigi, gigi tidak merasa
sakit dan goyang.
Setelah situasinya dan saatnya sudah siap dipotong, ata madi meminta om
melakukan ritual adat terlebih dahulu. Ritual tersebut berupa doa adat singkat
seperti esa, yua, tedu, wutu bhisa dhebe one ngi’i. Pada dasarnya doa adat tersebut
berarti satu. dua, tiga, empat terjadilah. Pada saat menyebut terjadilah, seharusnya
pisau atau batu asa diletakkan di gigi dengan maksud meminta penyatuan yang
utuh antara alat tersebut dengan gigi yang hendak dipotong atau diasah. Setelah
melantunkan doa adat tersebut, ata madi mulai memotong atau mengasah gigi
anak gadis. Dikatakan bahwa ata madi hanya memotong atau mengasah gigi-gigi
yang belum rata saja, sedangkan gigi yang sudah rata tidak perlu diasah atau
dipotong.
Berdasarkan kepercayaan, petugas yang mengapiti harus menjaga dan
menghindari gigi yang dipotong jangan sampai jatuh ke tikar atau pun terlempar
ke luar. Sebab, apabila gigi jatuh sampai ke tikar, itu berarti suatu waktu anak
gadis tersebut akan mata yimbo (mati tidak wajar). Sedangkan gigi yang lenting
37

ke luar menandai bahwa anak gadis tersebut nantinya akan menjadi pela atau polo
(setan atau orang tidak baik). Setelah semua gigi berhasil diratakan, seorang
petugas mengambil kulit kayu yembu yang sudah dipanaskan di dapur untuk
ditempelkan pada gigi anak gadis. Hal ini bertujuan untuk memanaskan kembali
gigi yang dipotong sehingga menghilangkan rasa sakit, asam dan ngilu pada gigi.
Kemudian anak gadis tersebut bangun dhoga weti bako untuk semua orang yang
ada dalam rumah upacara.
Dhoga weti bako merupakan salah satu kegiatan inti dalam upacara
potong gigi di mana anak gadis tersebut menyuguhkan makanan tradisional
seperti siri, pinang, kapur siri dan rokok kepada anggota keluarga dan semua yang
ada di dalam rumah upacara tersebut. Kegiatan memberikan makanan tradisional
oleh anak gadis ini layaknya para ibu di kampung Oja menandai bahwa dia sudah
diterima dan disahkan sebagai orang dewasa. Secara implisit kegiatan ini
bertujuan agar anak gadis tersebut siap untuk memberi diri dengan melayani
orang banyak. Sejak saat itu, dia sudah berhak untuk berpartisipasi atau ambil
bagian dalam seluruh hidup masyarakat seperti yang dilakukan oleh orang-orang
dewasa di kampung Oja.
Ketujuh, tahap ini merupakan tahap geru nio ne’e teka manu moka. Geru
nio ne’e teka manu moka adalah momen makan kelapa dan menyembelih ayam
betina. Setelah anak gadis memberikan makanan tradisional yaitu sirih dan pinang
kepada orang banyak, ebu ta’u (om) mengambil ayam betina dan
menyembelihnya. Pada saat itu hendaknya diperhatikan gerakan terakhir dari kaki
ayam tersebut. Apakah kaki ayam berhenti pada kaki kanan atau kaki kiri. Jika
kaki ayam berhenti bagian kanan maka di kemudian hari hidup anak gadis akan
terberkati dan banyak rezeki dan apabila kaki kiri yang berhenti menandai bahwa
rezekinya tidak melimpah.
Di samping itu, para pendamping dan anak gadis serta perempuan dewasa
lainnya makan kelapa. Kulit kelapa yang dikupas pada bagian bawah tidak boleh
putus. Hal ini dimaksudkan untuk menyimpan semua barang dan ramuan yang
tidak dipakai lagi guna dibawa ke salah satu pohon besar. Para pendamping
beserta anak gadis membersihkan kembali tempat upacara. Barang-barang dan
ramuan serta peralatan yang tidak dipakai lagi dibawa ke salah satu pohon besar
38

di dekat kampung. Hal ini bertujuan membuang semua masa kanak-kanak dan
sekarang anak gadis tersebut sudah memulai hidup baru sebagai orang dewasa.
Kedelapan, acara ka mbo’a meye. Acara ka mbo’a merupakan tahap akhir
dari upacara potong gigi. Dalam acara ini pihak orangtua dan keluarga beserta
anak gadis memberikan makanan kepada orang kampung yang hadir untuk
menyaksikan upacara potong gigi. Mereka siap menerimanya dalam keanggotaan
masyarakat sebagai orang dewasa. Dengan demikian masa remajanya sudah
berakhir dan beralih kepada masa dewasa.
Kesembilan, tahap ini berupa tahap wejangan dari orang tua bersama pihak
ebu ta’u (om dan tanta). Pada kesempatan tersebut orangtua menyerahkan secara
resmi segala urusan adat anak gadis tersebut seperti tu ngawu (antar belis) hingga
dhu mata (sampai pada kematian) kepada om.

2.7.6 Acara Penutup

Upacara penutup dinamai nu yoko kombe wutu, nu meye kombe lima esa
mo’o mbeo ko’o sala molo. Hal ini berarti asap kecil pada malam keempat dan
asap besar pada hari keenam setelah upacara potong gigi guna melihat apakah
upacara yang dilaksanakan benar atau salah.
Hukum adat mengajarkan bahwa acara penutup dilakukan pada hari
keempat dan keenam setelah upacara potong gigi. Kegiatannya berupa membakar
tempurung dan meletakkan parang di atas api tempurung yang berasap. Orangtua
kemudian membersihkan asap yang melekat pada parang dengan menggunakan
tangan dan menggosok ke gigi anak gadis. Apabila asap yang ada di tangan tidak
melekat pada gigi anak gadis sewaktu menggosok, maka itu tanda tidak baik
(pela/polo) dan jika melekat maka itu pertanda baik dan upacara yang
dilaksanakan berhasil tanpa hambatan.

2.8 Kesimpulan

Masyarakat sosial adalah kumpulan individu-individu dalam suatu wilayah


tertentu yang memiliki tujuan yang sama. Sebagai perhimpunan masyarakat sosial
tentunya memiliki aturan yang mengikat, norma, kebiasaan dan adat istiadat. Oja
merupakan salah satu wilayah yang berada di kabupaten Ende. Jika ditelisik
39

secara teritorial, maka keberadaan wilayah Oja berbatasan langsung dengan


kabupaten Nagekeo. Dengan demikian, pada umumnya kebudayaan masyarakat
Oja mempunyai kemiripan dengan kebudayaan Nage.
Berbicara mengenai kebudayaan, pada dasarnya setiap wilayah di belahan
dunia ini memiliki kebudayaannya masing-masing, begitu pula dengan
masyarakat Oja. Dalam siklus pertumbuhan dan perkembangan manusia,
masyarakat Oja memiliki kebudayaan yang mengikat di dalamnya. Kebudayaan
tersebut menjadi suatu bagian yang integral dari kehidupan masyarakat Oja sejak
proses kelahiran hingga kematian. Dalam ziarah kehidupan sebagai manusia
budaya salah satu bentuk kebudayaan yang dipraktikan hingga sekarang adalah
ritus yoye ngi’i.
Ritus yoye ngi’i merupakan satu jenis kegiatan kebudayaan atau ritus yang
ada di wilayah Oja. Ritus yoye ngi’i adalah suatu rangkaian upacara atau proses
pendewasaan seorang anak perempuan secara adat dengan cara memotong gigi.
Dia merupakan suatu proses atau upacara yang wajib bagi kaum wanita yang
memasuki usia dewasa.
Ritus atau upacara tersebut lazimnya dilaksanakan dengan proses
meratakan gigi pada setiap anak perempuan yang telah dianggap dewasa dalam
hal budaya. Eksistensi dan essensi dari ritus ini sesungguhnya mengafirmasi kaum
perempuan untuk diterima dan dikukuhkan ke dalam struktur kemasyarakatan
budaya setempat. Oleh karena itu, upacara potong gigi merupakan suatu kegiatan
yang wajib dilaksanakan bagi semua anak gadis dalam masyarakat Oja. Hal ini
bertolak dari pandangan dan pemahaman bahwa ritus yoye ngi’i merupakan suatu
upacara yang meresmikan seorang anak gadis secara dewasa dari pandangan
budaya.
40

BAB III

SAKRAMEN KRISMA

Pada bagian ini, penulis akan membahas tentang tiga sakramen inisiasi
dalam Gereja Katolik. Akan tetapi, penulis lebih mengerucutkan topik
pembahasannya pada Sakramen Pengurapan atau Krisma sebagai sakramen
inisiasi. Sakramen Krisma menjadi sarana pendewasaan iman seseorang. Pada
dasarnya inti inisiasi penerimaan Sakramen Penguatan dipusatkan pada
pengurapan dengan Roh Kudus. Dengan pencurahan Roh Kudus, seorang anggota
Gereja menjadi lebih serupa dengan Kristus, dikuatkan sehingga mereka dapat
memberikan kesaksian tentang Kristus dan dalam perspektif iman mereka menjadi
lebih dewasa, siap dan berani menjadi saksi Kristus ke seluruh penjuru dunia.

3.1 Makna Sakramen Secara Umum

Gereja merupakan cipta dan karsa Allah yang diberikan untuk


keberlangsungan hidup umat-Nya di dunia. Kehidupan Gereja selalu
mengarahkan diri pada warisan-warisan jemaat perdana. Warisan tersebut menjadi
pegangan dan rujukan jemaat dalam mewartakan Kerajaan Allah. Warisan
terbesar dalam sejarah Gereja dan bertahan sampai saat ini adalah adanya
sakramen-sakramen. Dalam perkembangan sejarah Gereja makna sakramen dalam
hidup orang Kristen sangatlah bervariasi.
Untuk mengerti dan megetahui arti dan makna dari sebuah kata, hal
pertama yang mesti dilakukan adalah memahami arti dari kata itu sendiri. Kata
sakramen berasal dari kata Bahasa Latin sacramentum yang berarti segala hal
yang berhubungan dengan yang kudus atau yang ilahi. Namun, dalam Kitab Suci
terlihat juga istilah sakramen dalam bahasa Yunani mysterion. Kata ini pula
direduksi ke dalam Bahasa Inggris berupa mystery yaitu suatu rahasia. Sebab kata
mysterion menunjukkan sesuatu yang tersembunyi.73 Oleh karenya, sakramen

73
J. B. Banawiratma, Baptis, Krisma dan Ekaristi (Yogyakarta: Kanisius, 1989), hlm. 12.
41

merupakan tanda atau sarana keselamatan bagi umat manusia karena di dalamnya
Allah secara penuh hadir dan terlaksana dalam diri Yesus.
Eksistensi dan substansi dari sakramen inisiasi seperti Baptis, Ekaristi dan
Krisma pada hakekatnya merupakan pintu masuk bagi seseorang untuk diangkat
menjadi anak Allah dan sekaligus secara resmi diterima sebagai anggota Gereja.
Individu yang diinisiasikan tersebut masuk menjadi anggota persekutuan orang-
orang yang percaya kepada Yesus.74 Dengan masuk ke dalam persekutuan,
seseorang sungguh menyadari akan kehadiran Kristus yang menyelamatkan.
Keselamatan yang diberikan Allah dalam Kristus sesungguhnya merupakan suatu
pertemuan atau persatuan personal.75 Oleh karena keselamatan datang dari Allah
untuk manusia, maka manusia harus membangun hubungan interpersonal yang
intim secara vertikal dengan Allah di dalam Yesus Kristus.
Hubungan interpersonal secara vertikal antara Allah dan manusia yang
harmonis akan selalu membawa manusia pada kekudusan. Sakramen hadir
sebagai sarana keselamatan untuk menyucikan dan menguduskan umat manusia.
Baik dalam sapek perilaku atau perbuatan maupun aspek ujaran atau perkataan.
Konsili Vatikan II dalam Konstitusi tentang Liturgi Suci (Sancrosantum
Concilium [SC]) nomor 59 menyebutkan bahwa:
Sakramen-sakramen dimaksud untuk menguduskan manusia, membangun
tubuh Kristus dan akhirnya mempersembahkan ibadat kepada Allah.
Namun, sebagai tanda sakramen juga dimaksud untuk mendidik. Sakramen
tidak saja mengandaikan iman, melainkan juga memupuk, meneguhkan,
dan mengungkapkannya dengan kata-kata dan benda. Maka juga disebut
sebagai sakramen iman. Memang sakramen memperoleh rahmat, tetapi
perayaan sakramen itu sendiri juga dengan amat baik menyiapkan kaum
beriman untuk menerima rahmat itu yang membuahkan hasil nyata, untuk
menyembah Allah secara benar dan untuk mengamalkan cinta.76
Oleh karena sakramen merupakan rahmat dan bukti kasih Allah, maka
manusia mesti menyadari secara total eksistensi dan essensi dari sakramen itu
sendiri. Keberadaan sakramen dalam Gereja sebagai sakramen menuntut manusia
untuk hidup seturut ajaran yang telah diwariskan. Manusia harus membangun
hubungan yang intim secara personal dengan Allah di dalam Kristus.

74
Alosius Soenarto, dkk., Katekese Bagi Calon Krisma (Yogyakarta: Kanisius, 2002),
hlm. 5.
75
J. B. Banawiratma, op. cit., hlm. 20.
76
Konsili Vatikan II, op. cit., hlm. 26.
42

3.2 Krisma Sebagai Sakramen Inisiasi

Secara leksikal kata inisiasi berasal dari bahasa Latin yaitu in-ire yang
berarti masuk ke dalam, initiare berarti memasukan ke dalam dan initium berarti
awal. Inisiasi merupakan suatu kegiatan Gereja untuk menerima atau
memasukkan seseorang ke dalam kelompok itu sebagai anggota penuh dengan
segala kewajiban dan haknya.77 Senyatanya tidak seorang pun dianggap begitu
saja sebagai kelompok anggota Kristen kendatipun pribadi tersebut dilahirkan dari
orangtua yang sudah menjadi anggota jemaat yang sah. Jika individu tersebut
tidak melewati suatu proses yang lazim dilakukan oleh Gereja. Untuk menjadi
anggota jemaat yang resmi, seseorang harus dimasukkan atau diinisiasikan
terlebih dahulu.
Setiap kelompok sosial manusia selalu menciptakan dan memakai upacara
tertentu untuk menerima dan memasukkan sesorang menjadi anggota kelompok
secara penuh. Bergabungnya sesorang menjadi anggota resmi ditandai dengan
pemberian hak-hak dan kewajiban tertentu yang telah disepakti bersama. Begitu
pula dengan Gereja Katolik sebagai kelompok sosial yang berdasarkan iman pada
Yesus Kristus juga memiliki upacara khusus sebagai tindakan inisasi. Upacara
khusus Gereja Katolik untuk menerima seseorang menjadi warga Gereja secara
penuh adalah Sakramen Pembaptisan, Sakramen Penguatan atau Krisma dan
Sakramen Ekaristi. Ketiga sakramen ini disebut sebagai sakramen inisasi.78
Pada dasarnya perayaan sakramen dan upacara-upacara gerejawi lainnya
berkaitan erat dengan situasi-situasi manusiawi. Sebagai contoh, baptisan
berkaitan dengan kelahiran, krisma sebagai padanan sunat dalam masyarakat
tradisional, perkawinan berkaitan dengan pasangan pria dan wanita, dan orang
sakit berkaitan dengan orang sakit.79 Upacara-upacara sakramen selalu berkaitan
erat satu dengan yang lainnya. Kehadiran sakramen-sakramen hanya merupakan
sarana keselamatan bagi umat beriman. Sakramen-sakramen ini juga menjadi
motor penggerak bagi umat beriman untuk hidup seturut ajaran dan pewartaan
Yesus Kristus.

77
J. B. Banawiratma, op. cit., hlm. 78.
78
L. Prasetya, Persiapan Sakramen Penguatan atau Krisma (Malang: Dioma, 2005),
hlm. 5.
79
J. D. Crichton, Perayaan Sakramen (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 16.
43

Dalam perjalanan muncul kelompok upacara yang menyoroti kolektif-


eklesia Roh Kudus.80 Sakramen Krisma menjadi sarana seorang individu disahkan
menjadi peserta dalam tugas penyelamatan yang diberikan kepada jemaat Kristen.
Baptisan yang diterima dalam inisiasi Krisma merupakan baptisan yang
berpusatkan pada Roh Kudus. Roh Kudus menyanggupkan jemaat untuk
melaksanakan tugasnya menjadi saksi Kristus dan mewartakan karya keselamatan
ke segala penjuru dunia.
Upacara inisiasi Krisma dalam Gereja mulai memisahkan dari upacara
inisiasi yang berpusatkan pada baptisan dengan air. Hal ini dilatar belakangi oleh
pencurahan Roh Kudus yang diterima krismawan atau krismawati melalui
penumpangan tangan Uskup dan pengurapan dengan minyak. Dalam ritus ini
terungkap bahwa bukan hanya orang yang diinisiasikan menjadi peserta dalam
tugas misioner terhadap dunia, tetapi oleh Roh Kudus disanggupkan dan dijiwai
untuk menjalankan tugas penyelamatan terhadap dunia.81 Roh Kudus
memampukan seseorang menjadi saksi efektif tentang keselamatan yang
diwartakan Kristus. Setelah seorang individu menerima upacara inisiasi melalui
Sakramen Krisma, ia tidak melaksanakan tugasnya seturut kehendaknya sendiri,
tetapi ia dijiwai oleh semangat dan kehendak Allah. Dengan demikian, Sakramen
Krisma secara eksplisit mengikutsertakan seseorang dalam tugas publik jemaat.

3.3 Sejarah Perkembangan Sakramen Krisma

Keberadaan Sakramen Penguatan atau Krisma dalam Gereja, sebagai


bagian dari sakramen inisiasi, tentunya tidak bisa dipisahkan dari sejarah.
Sakramen Krisma merupakan kelanjutan dari suatu proses inisiasi dalam Gereja
katolik. Dalam Sakramen Krisma, seseorang akan menerima daya Roh Kudus
yang diberikan Allah kepada para rasul pada peristiwa Pentakosta. Berkat
anugerah Roh Kudus tersebut, seseorang dimampukan untuk menjadi serupa
dengan Yesus serta dikuatkan untuk mewartakan karya keselamatan.
Dalam sejarah perkembangan Gereja abad perdana dikatakan bahwa ritus
inisiasi Baptis dan Krisma tidak dipisahkan. Perayaan inisiasi Gereja merupakan
satu kesatuan. Penguatan bersama dengan pembatisan merupakan satu ”sakramen
80
J. B. Banawiratma, op. cit., hlm. 95
81
Ibid., hlm. 100
44

ganda”.82 Kedua sakramen ini dilaksanakan dan diterimakan dalam satu rangkaian
upacara yaitu penerimaan Sakramen Pembaptisan pada malam Paskah.83
Bahwasannya kedua upacara inisiasi ini merupakan satu kesatuan dalam
pelaksanaan upacara inisiasi. Namun, sesuai dengan tuntutan dan perkembangan
zaman maka upacara dari kedua sakramen inisiasi dipisahkan.
Lazimnya perubahan suatu ritus atau upacara dikarenakan oleh adat
kebiasaan religius setempat. Dalam kaitan dengan Sakramen Krisma perubahan
ditinjau dari segi jemaat yang menginisiasikan diri dan dari aspek orang yang
diinisiasikan.84 Hal ini berarti bahwa perubahan Sakramen Krisma disebabkan
oleh pertambahan jumlah calon penerima Sakramen Krisma yang tidak sebading
dengan jumlah Uskup. Dalam sejarah, Gereja menandaskan bahwa tata cara
pelaksanaan upacara sakramen dilakukan oleh dua kelompok Gereja, yaitu Gereja
Latin-Barat dan Gereja Yunani-Timur.85
Gereja Timur tetap mempraktikkan upacara inisiasi Baptis dan Krisma
dalam waktu yang bersamaan. Namun, Gereja Timur hanya memaknai bahwa
pengurapan minyak sebagai unsur inti liturgi Krisma. Dikatakan bahwa
penumpangan tangan tidak ada dalam sakramen tersebut. Sedangkan di Gereja
Barat, mulai terjadi suatu tendensi untuk memisahkan Sakramen Krisma dari
inisiasi Baptis. Hal ini ditandai dengan pandangan bahwa baptisan sesungguhnya
belum sepenuhnya menganuggerahkan Roh Kudus.86
Roh Kudus dicurahkan apabila ada penumpangan tangan Uskup dan hal itu
ditandai dengan materai pada dahi penerima dengan minyak Krisma. Hal ini juga
diajarkan oleh Konsili Vatikan II dalam Konstitusi Dogmatis tentang Gereja
(Lumen Gentium [LG]) nomor 11 bahwa:
Dengan baptis kaum beriman dimasukkan ke dalam tubuh Gereja:
dengan menerima materai mereka ditugaskan untuk memimpin ibadat,
karena sudah dilahirkan menjadi anak-anak Allah. Berkat Sakramen
Penguatan, mereka terikat pada Gereja secara lebih sempurna, dan
diperkaya dengan daya kekuatan Roh Kudus yang istimewa, dengan
demikian mereka diwajibkan untuk menyebarluaskan dan membela

82
Kongregasi Ajaran Iman. Katekismus Gereja Katolik. penerj. Herman Embuiru (Ende:
Arnoldus, 1998), hlm. 329.
83
L Prasetya, op. cit., hlm. 30.
84
J. B. Banawiratma, op. cit., hlm. 93.
85
Ibid., hlm. 97.
86
E. Martasudjita, Sakramen-Sakramen Gereja Tinjauan Teologis, Liturgis dan Pastoral
(Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm. 246.
45

iman sebagai saksi Kristus yang sejati baik dengan perkataan maupun
perbuatan.87

Pada abad III Gereja Barat semakin memisahkan Sakramen Penguatan


atau Krisma dari Sakramen Baptis. Pada awalnya lahir sebuah sakramen khusus
yang disebut sebagai ceinsignatio (pemeteraian), entah confirmation
(peneguhan/penguatan), entah krisma (pengurapan). Upacara tersebut
88
dikhususkan untuk pemimpin Gereja partikular (Uskup). Sakramen Krisma
tersebut hanya diberikan oleh Uskup yang memiliki wewenang tahbisan tertinggi
dalam hirarki Gereja Katolik. Pada prinsipnya pemeteraian dan pengurapan pada
Sakramen Krisma tidak diwakili oleh seorang imam, melainkan hanya bisa
diberikan oleh seorang Uskup.
Akan tetapi, ketika jumlah umat semakin bertambah banyak dan jumlah
Uskup terbatas, maka upacara Sakramen Krisma harus dipisahkan dari Sakramen
Pembaptisan. Untuk mempermudah upacara tersebut maka dibentuklah paroki-
paroki sehingga upacara inisiasi kedua ini dapat deberikan dalam wilayah yang
lebih sempit. Hal ini juga memudahkan peran pengurapan Uskup kepada penerima
dengan berpindah dari satu paroki ke paroki lainnya.
Penerimaan Sakramen Penguatan atau Krisma secara resmi dalam Gereja
menemui puncaknya pada abad XI dan XII. Keberadaan Sakramen Krisma secara
tegas dipisahkan dari Sakramen Pembaptisan. Mulai saat itu Sakramen Krisma
dimasukkan secara defenitif ke dalam tujuh sakramen Gereja. Paus Inosentius III
menjadi paus pertama yang mendorong dan memasukkan Sakramen Krisma ke
dalam sakramen sehingga setara dengan sakramen-sakramen lainnya. Konsili
Lion II pada tahun 1274 menetapkan hal sebagai dogma.89
Konsep ketujuh sakramen sesunggunya dapat dilihat dari dua sudut
pandang. Pertama sudut pandang pewahyuan (kehendak Kristus) dan sudut
pandang manusia.90 Namun, sudut pandang yang pertama kelihatan kurang
relevan dengan essensi sakramen. Keberadaan ketujuh sakramen tersebut
sesungguhnya muncul dari kenyataan bahwa tindakan Kristus mengambil situasi

87
Konsili Vatikan II, op. cit., hlm. 83-84
88
J. B. Banawiratma, op. cit., hlm. 96.
89
C Groenen, Teologi Sakramen Inisiasi: Baptisan Krisma (Yogyakarta: Kanisius, 1992),
hlm. 109-110.
90
J. D. Cricton, op. cit., hlm. 18.
46

fundamental manusia. Hal ini merupakan dasar terbentunya suatu sakramen dalam
sejarah Gereja.
Konsili Vatikan II kembali menekankan suatu sikap kesatuan dalam
upacara inisiasi. Setiap pemimpin jemaat (pastor dan diakon) memiliki wewenang
untuk memberikan sakramen inisiasi. Namun, mereka hanya berhak memberikan
sakramen inisiasi berupa baptisan. Pemberian sakramen krisma mesti terjadi
dengan memakai minyak yang diberkati Uskup. Pemberian Sakramen Krisma
menjadi wewenang eksekutif Uskup.91 Kitab Hukum Kanonik, Kanon 882
menegaskan bahwa dalam perjalanan waktu, pemberian Sakramen Krisma dapat
diberikan oleh imam tertentu yang telah dipercayai oleh Uskup seperti Vikaris
Jenderal. Hal ini disebapkan oleh bertambah banyaknya jumlah calon yang tidak
seimbang dengan jumlah Uskup.92 Namun, perayaan upacara inisiasi tersebut
masih tetap dipimpin oleh seorang Uskup dan kehadiran para imam sebagai
konselebran dalam menyalurkan rahmat Roh Kudus.

3.4 Defenisi Sakramen Krisma

3.4.1 Terminologi: Confitmatio

Secara etimologis istilah Sakramen Krisma dapat dikatakan sebagai


Sakramen Penguatan. Dalam sejarah, Gereja menandaskan penguatan dan krisma
merupakan satu kesatuan. Namun, letak perbedaannya hanya pada bentuk dan asal
kata. Secara leksikal penguatan merupakan terjemahan kata dari Bahasa Latin
Comfirmatio, sedangkan krisma sendiri berasal dari kata Bahasa Yunani yaitu
crisma, krisma (pengurapan), yang kata kerjanya: chiro, chirein berarti
mengurapi.93
Akan tetapi, dokumen resmi Gereja dapat menyebutkan sakramen ini
sebagai Sakramen Penguatan atau Krisma. Makna dari kedua istilah tersebut
sesungguhnya tidak memiliki perbedaan. Unsur perbedaan dari kedua istilah
tersebut sesungguhnya hanya terletak pada pemberian nama. Namun, pada

91
J. B. Banawiratma, loc. cit.,
92
Gereja Katolik, Kitab Hukum Kanonik, penerj. V. Kartosiswoyo et.al., cet. I (Jakarta:
Obor, 2006), hlm. 251. Selanjutnya akan disingkat KHK untuk untuk setiap kutipan dari sumber
yang sama.
93
E. Martasudjita, op. cit., hlm. 245.
47

dasarnya pemberian nama tersebut tidak dapat menghilangkan makna yang


sesungguhnya.

3.4.2 Sakramen Krisma Menurut Ensiklopedi Gereja

Krisma adalah campuran minyak zaitun atau tidak mungkin untuk


menemukannya dapat dibuat dengan minyak dari tumbuhan-tumbuhan lain.
Minyak krisma diberkati oleh Uskup diosesan (Kan 880) biasanya dilakukan saat
misa krisma pada pagi hari sebelum misa Kamis Putih. Pemberkatan ini lazimnya
dilakukan di gereja-gereja Katedral bersama dengan minyak suci lainnya.
Oleh karena itu, Sakramen Penguatan disebut juga sebagai Sakramen
Krisma. Minyak krisma pada prinsipnya digunakan untuk mengoles telapak
tangan dan kepala calon imam dalam Sakramen Tahbisan. Selain itu juga dapat
digunakan untuk pemberkatan sarana-sarana liturgi lainnya, seperti Gedung
gereja, altar, piala, dan lonceng.94 Dengan demikian, minyak Krisma menjadi
salah satu unsur penting dalam seluruh rangkaian kegiatan liturgi.

3.4.3 Konsep Sakramen Krisma

Sakramen Krisma merupakan salah satu dari tiga sakramen inisiasi


(Baptis, Krisma dan Ekaristi) dalam Gereja Katolik. Sakramen Krisma atau
penguatan tersebut merupakan kelanjutan dari pembatisan. Sesungguhnya
penerimaan Sakramen Krisma hanya untuk melengkapi rahmat yang diterima
melalui pembaptisan. Pada prinsipnya kedua sakramen tersebut merupakan satu
kesatuan dalam rangkaian inisiasi. Namun, dalam upacara perayaan dipisahkan.
Perbedaan rangkaian inisiasi Kristen tersebut didasari oleh materi dan
forma yang menjadi pusat (fokus) kegiatan serta pemahaman dan penghayatan
akan rahmat yang diterima. Penerimaan Sakramen Pembaptisan dipusatkan pada
baptisan dengan air. Sedangkan penerimaan Sakramen Penguatan dipusatkan pada
pengurapan dengan Roh Kudus.95 Inti dari upacara Sakramen Krisma terletak
pada pengurapan dengan minyak krisma dan penumpangan tangan oleh Uskup.

94
Adolf Heuken, Ensiklopedi Gereja (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2005), hlm.
72.
95
L Praesetya, op. cit., hlm. 31.
48

Konsili Vatikan II dalam Konstitusi Dogmatis tentang Gereja (Lumen


Gentium [LG]) nomor 11 menyatakan bahwa Sakramen Pembatisan merupakan
pintu masuk seseorang menjadi anggota Gereja. Maka dengan Sakramen
Penguatan jemaat beriman terikat pada Gereja secara lebih sempurna dan
diwajibkan untuk menyebarluaskan dan membela iman sebagai saksi Kristus yang
sejati.96 Oleh karena itu, orang yang menerima Sakramen Pengurapan harus
menyadari secara penuh akan tugas dan tanggung jawab yang diembaninya.
Penerimaan Sakramen Krisma dalam Gereja merupakan tanda bahwa
seseorang sudah dewasa dalam iman. Konsekuensi dari Sakramen Krisma adalah
bahwa seseorang harus mampu mewartakan Injil, membela iman sebagai saksi
Kristus dan harus menjadi teladan hidup dalam hidup berkomunitas. Melalui
Sakramen Krisma pula seseorang diikat secara lebih kuat, lebih akrab dan
sempurna dengan Gereja serta diperkaya oleh kekuatan Roh Kudus.
Makna yang tersirat dalam Sakramen Pembaptisan mengandung arti votum
”keinginan” kepada penguatan atau krisma.97 Kendati keinginan tidak merujuk
pada kesadaran sewaktu menerima pembaptisan, yang pasti keinginan tersebut
merujuk pada pewartaan dan persatuan yang erat dengan Gereja yang dipertegas
dalam Sakramen Krisma. Setiap pribadi yang menerima baptisan diwariskan suatu
keinginan untuk menerima penguatan sehingga sudah seyogianya ia mewujudkan
kekristenan demi keselamatan orang lain dengan kekuatan Roh Kudus yang
berkarya dalam dirinya. Sakramen Krisma merupakan manisfestasi dari keinginan
yang terkandung dalam pembatisan dengan air.

3.4.4 Sakramen Krisma sebagai Sakramen Penguatan dan Pendewasaan

Dalam realitas khidupan sering kali muncul pertanyan, siapakah dan pada
usia berapa seseorang dapat menerima Sakramen Krisma. Pertanyaan ini
sesungguhnya merujuk pada diri seorang pribadi. Katekismus Universal Gereja
Katolik sebagaimana dikutip oleh L. Prasetya secara tegas mengatakan bahwa
setiap orang yang dibaptis wajib untuk menerima Sakramen Krisma. Namun,
bagaimana dengan usia penerima Sakramen Krisma. Konsep usia tersebut pada
dasranya lebih diamanatkan pada tingkat kedewasaan seseorang. Kedewasaan
96
Konsili Vatikan II, loc. cit.
97
C. Groenen, op. cit., hlm. 252.
49

yang dimaksudkan di sini adalah kedewasaan baik yang menyakut kedewasaan


usia maupun kedewasaan iman.98
Akan tetapi, perihal kedewasaan ini masih menyimpan suatu problem
kehidupan. Dikatakan bahwa usia seseorang boleh sudah lanjut, tetapi perihal
kematangan dan kedewasan iman belum tentu sebanding. Sebaliknya, seseorang
boleh berusia masih muda, tetapi boleh jadi imannya sudah mendalam dan
kehidupan rohaninya sudah matang. Sakramen Krisma pada prinsipnya
memberikan kedewasaan dalam kehidupan rohani dan jasmani. Sakramen Krisma
memampukan seseorang untuk bekerja sama dengan Roh Kudus. Kesatuan
dengan Roh Kudus ini mendorong seseorang untuk memikul tanggung jawab
kristiani baik di dalam maupun di luar lingkungan Gereja. Sakramen Krisma
merupakan sarana inisiasi kedewasaan rohani seseorang.
Berkaitan dengan konsep dasar bahwa Sakramen Krisma memampukan
seorang individu untuk dewasa dalam iman, ada tiga konsekuensi yang melekat
kuat dalam dirinya:99
a. Bertanggung jawab sendiri untuk memupuk imannya. Hal ini
berkaitan dengan suatu kesadaran pentingnya memupuk dan
membina iman, merasa butuh untuk pembinaan iman sekalipun
tidak disuruh atau dinilai dan tidak gampang menyerah dalam
menghadapi berbagai tantangan iman.
b. Berani menjadi saksi Kristus berarti seorang individu memilikii
suatu hubungan yang intim dengan Kristus, mewartakan dan
mewujudkan Injil dalam perkataan dan perbuatan dan berani
membela iman dan mempertanggung jawabkannya.
c. Terlibat dalam hidup menggereja berarti, menyadari hak dan
kewajiban sebagai anggota penuh gereja, tidak bersifat pasif, dan
dengan segala kemampuan dan keterbatasannya mengupayakan
pertumbuhan Gereja.

98
L. Prasetya, op. cit., hlm. 33.
99
F. X. Didik Bagitowinadi, Siap Diutus (Buku Kerja Persiapan Krisma) (Malang:
Dioma, 2001), hlm. 43.
50

3.5 Persyaratan dalam Sakramen Krisma

Persyaratan dalam Sakramen Krisma yang dimaksudkan di sini adalah


individu atau calon yang berhak untuk menerima pengurapan Sakramen Krisma.
Siapa yang berhak menerima Sakramen Krisma? Pertanyaan ini sesungguhnya
menjadi dasar fundamental bagi umat beriman untuk memaknai Sakramen
Krisma. Pada dasarnya yang berhak menerima Sakramen Krisma adalah semua
umat beriman yang telah melewati inisiasi pertama (baptisan). Namun, pada usia
berapa seseorang dinyatakan bisa menerima pengurapan atau krisma tersebut?
Kitab Hukum Kanonik kanon 889 menandaskan bahwa calon penerima
Sakramen Krisma harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat itu, antara
lain, anggota Gereja yang dapat menerima Sakramen Penguatan adalah semua
orang beriman dan hanya yang telah dibaptis serta belum pernah menerimanya.100
Akan tetapi, konsep pemaham ini nampaknya terlalu luas untuk dimaknai.
Akibatnya dari sudut pandang pastoral orang mempersoalkan usia yang paling
layak untuk menerimanya. Seperti yang dikutip oleh Groenen, Hukum Gereja
hanya menunjukkan bahwa seseorang yang menerima pengurapan atau Sakramen
Krisma secara akil balik atau sekurang-kurangnya sudah berumur 7 tahun.101
Selain itu, dikatakan bahwa orang berhak untuk menerima Sakramen
Krisma adalah orang yang dianggap dewasa. Kedewasaan yang dimaksudkan di
sini adalah kedewasaan yang menyangkut baik usia maupun iman.102 Orang yang
dianggap layak menerima Sakramen Krisma adalah orag yang dianggap sudah
dewasa. Akan tetapi, aspek kedewasaan ini tidak menjadi parameter utama untuk
mengukur kelayakan seseorang menerima pengurapan Roh Kudus. Sebab
kendatipun usianya telah mencapai dewasa, tetapi belum tentu imannya sudah
mendalam akan Yesus Kristus dan hidup rohaninya matang. Begitu pula
sebaliknya usia sesorang boleh saja muda, tetapi imannya bisa jadi sudah
mendalam dan kehidupan rohaninya pula sudah matang.103
Sebagian besar teolog Konsili Vatikan II (1962-1965) memandang bahwa
krisma haruslah menjadi suatu perayaan penerimaan dan pengukuhan keputusan

100
Gereja Katolik, op. cit., hlm. 253.
101
C. Groenen, op. cit., hlm. 257.
102
L. Praesetya, loc. cit.,
103
Ibid., hlm. 34.
51

yang dibuat bagi mereka oleh orangtua pada waktu permandian.104 Sewaktu
permandian orangtua yang menjadi wali untuk mengungkapkan janji baptis
sehingga pada upacara perayaan Sakramen Krisma pribadi yang bersangkutan
melakukan pemaharuan janji baptis secara sadar dengan tahu dan mau untuk
menjadi saksi pewartaan iman ke seluruh dunia.
Setiap orang yang dibaptis harus menerima Sakramen Penguatan. Oleh
karena Sakramen Baptis, Ekaristi dan Krisma merupakan satu kesatuan maka
umat beriman diwajibkan untuk menerima sakramen itu tepat pada waktunya.
Karena tanpa Sakramen Ekaristi dan Krisma, Sakramen Permandian inisiasi
Kristen masih belum lengkap.105 Kisaran usia yang paling layak menerima
Sakramen Krisma seperti yang ditegaskan dalam Konsili Lateran (1215) bahwa
jarak antara usia 7 sampai 12 tahun. Namun, pada awal abad XX Paus Pius X
menentukan usia penerima Sakramen Krisma adalah usia sesudah menerima
komuni pertama yakni 10 sampai 12 tahun.106
Pada prinsipnya dengan melihat data-data dan pengalaman umat di paroki
maka Gereja sendiri tidak dapat menentukan secara pasti batasan soal kedewasaan
tersebut. L. Prasetya menyebutkan “memang Kitab Hukum Kanonik menegaskan
bahwa Sakramen Penguatan hendaknya diberikan kepada semua umat pada sekitar
usia di mana mereka dapat menggunakan akal, kecuali jika Konferensi Wali
Gereja menentukan usia lain, atau jika ada bahaya kematian, atau jika pandangan
pandangan pelayan sakramen ada alasan berat menganjurkan lain”.107
Oleh krena alasan-alasan seperti ini, maka pelayan Gereja dapat
memberikan Sakramen Krisma dengan tidak berpedoman pada aspek kedewasaan
seseorang. Dalam berpastoral apabila ada umat yang mengalami bahaya maut,
tetapi ia ingin menerima Sakramen Krisma, maka para pelayan sakramen (Uskup,
Imam dan Diakon) harus melayaninya. Sebab pada prinsipnya eksistensi dan
essensi sakramen-sakramen yang paling pertama dan utama dalam melayani
sakramen adalah keselamatan iman bagi semua umat beriman.

104
Josep Martos, Sakramen-Sakramen Gereja, Krisma (Jakarta: Obor, 1997), hlm. 22.
105
Katekismus Gereja Katolik, op. cit., hlm. 332.
106
E. Martasudjita, op. cit., hlm. 260.
107
L. Praesetya, loc. cit.,
52

3.6 Penanggung Jawab Sakramen Krisma

Melalui Sakramen Krisma seorang individu dapat diinisiasikan ke dalam


Gereja. Sakramen Krisma menjadi satu sarana yang meresmikan seseorang
mewartakan Kerajaan Allah dan menjadi saksi iman akan Yesus Kristus. Dengan
menerima pengurapan seorang individu dikuatkan oleh Roh Kudus. Oleh
karenanya, setiap pewartaannya selalu dalam bimbingan dan dikuatkan oleh karya
Roh Kudus.
Dalam pewaartaan itu, ia harus bertanggung jawab atas konsekuesni
pengurapan yang diterimanya. Tanggung jawab ini meliputi tanggung jawab
terhadap pelbagai macam elemen, seperti Uskup, pastor paroki, guru agama,
katekis, wali krisma dan orangtua, serta seluruh umat beriman.108
Semua umat beriman memiliki tanggung jawab atas Sakramen Krisma
yang diterima oleh pribadi seseorang. Namun, melalui Sakramen Krisma ia telah
diinisiasikan menjadi anggota dan siap melakukan kewajiban-kewajiban Gereja.
Semua umat beriman yang telah diinisiasikan sudah menjadi satu anggota Gereja
sehingga dengan ini semua orang Kristen menjadi anggota-Nya yang hidup.109
Berikut merupakan penjabaran peran dan tanggung jawab dari pelbagai pihak
terhadap pengurapan Sakramen Krisma dari seseorang anggota Gereja.

3.6.1 Tanggung Jawab Penerima Sakramen Krisma

Dalam Katekismus Gereja Katolik dikatakan bahwa setiap orang yang


dibaptis, yang belum menerima penguatan, dapat dan harus menerima penguatan.
Sebab melalui Sakramen Penguatan seseorang dikuatkan oleh Roh Kudus untuk
membangun hidup yang lebih mesra dengan Yesus. Selain itu Sakramen Krisma
pula membuat seseorang beriman menjadi anggota Gereja secara penuh. Dalam
kepenuhannya itu, sesorang beriman harus siap menjadi saksi kebenaran dan siap
mewartakan Injil. Rahmat kepenuhan Roh Kudus tersebut memampukan
seseorang individu agar berperan secara aktif dalam karya Gereja. Seorang
beriman tidak boleh bersikap pasif seperti sebelum menerima pengurapan dari
Allah.

108
E. Martasudjita, op. cit., hlm. 259.
109
J. D. Cricton, op. cit., hlm. 90.
53

Seseorang yang menerima pengurapan Sakramen Krisma harus


bertanggung jawab atas konsekuensi-konsekuensi yang diterimanya. Sakramen
Krisma mewajibkan seseorang untuk melakukan kewajiban-kewajibannya sebagai
anggota Gereja. Selain menjadi saksi Kristus, orang yang menerima Sakramen
Krisma diikutsertakan dalam tugas-tugas liturgi, seperti memimpin ibadat,
menjadi lektor dan akolit, pemazmur, koor dan pegiat dalam mengembangkan
karya misi Gereja.

3.6.2 Tanggung Jawab Orangtua

Orangtua merupakan elemen penting dalam mendampingi seorang anak.


Sewaktu dibaptis orangtua menjadi orang pertama yang mengungkapkan janji-
janji baptis dari seorang anak. Oleh karenanya, dalam perziarahan hidup seorang
anak, orangtua memiliki peran dan peranan yang amat penting. Mulai dari
keluarga inti, seorang anak dididik dan dibina.
Dalam semangat iman tersebut orangtua harus mendukung anaknya untuk
menerima Sakramen Pengurapan. Orangtua harus memberikan waktu kepada
pelayan Gereja untuk membina anaknya. Orangtua harus turut terlibat secara
proatif dalam katekese mistagogi (membimbing dan membina anak) mulai dari
peresiapan Sakramen Krisma hingga penerimaan Sakramen Krisma.

3.6.3 Tanggung Jawab Gereja

Mengingat pentingnya Sakramen Krisma bagi kehidupan umat beriman,


para pelayan Gereja (Uskup, imam, daikon dan katekis) memiliki tanggung jawab
terhadap keselamatan umat. Uskup dan imam bertanggung jawab untuk
memberikan Sakramen Pengurapan tepat pada waktunya.110 Dalam konteks ini
tugas para pelayan Gereja adalah memberikan penjelasan dan pemahaman yang
tepat kepada calon penerima Sakramen Krisma atas makna dan tujuan dari pada
Sakramen Krisma itu sendiri.
Dengan pembinaan dan bimbingan dari pihak Gereja, umat beriman pada
akhirnya memiliki pemahaman yang memadai tentang Sakramen Krisma. Oleh
karena pemahaman yang memadai akan Sakramen Krisma maka perilaku hidup

110
E. Martasudjit, loc. cit.,
54

baik dari aspek perkataan maupun perbuatan dalam keseharian hidup umat
manusia tidak salah kaprah. Umat dapat mengetahui konsekuensi dan kewajiban-
kewajiban yang harus dilakukannya.

3.6.4 Tanggung Jawab Wali Krisma

Peran dan peranan wali krisma memiliki kemiripan dengan wali baptis.
Tugas pertama dan utama wali krisma adalah mendampingi dan membimbing
seorang individu yang akan diterimakan pengurapan. Dalam hal ini, wali krisma
hadir sebagai perwakilan orangtua dalam Gereja. Para wali menjadi orangtua dari
para calon dalam meneguhkan iman calon yang menerima Sakramen Krisma.
Pada dasarnya orangtua wali (wali krisma) tidak hanya mendampingi
calon pada saat upacara penerimaan Sakramen Krisma saja. Wali krisma
hendaknya terus membimbing dan mendampini anak wali hingga ia benar-benar
mandiri. Dalam arti bahwa anak tersebut tidak lagi membutuhkan ekstra
perhatian dari orsangtua wali.
Peran dan tanggung jawab wali Krisma menjadi sorotan dewasa ini.
Keterlibatan para orangtua wali kelihatannya tidak total. Dewasa ini, keterlibatan
orangtua wali hanya sebatas pada perayaanya saja. Peran dan pelaksanaan
tanggung jawab wali krisma terkesan kurang diperhatikan. Tugas wali Krisma
seolah-olah hanya pada saat upacaranya saja, lalu setelahnya tidak ada lagi
hubungan antara peserta krisma dan walinya.111
Padahal menurut Cricton, peran pertama dari walibaptis adalah membantu
orangtua anak baptis.112 Wali baptis ditunjuk untuk ambil bagian dalam membina
dan mendampingi peziarahan hidup anak. Wali krisma memiliki peran penting
bagi pengembangan iman peserta krisma. Para orangtua wali memiliki tugas
memberikan pemahaman bagi peserta krisma (anak wali) bahwa setelah menerima
penguatan melalui Sakramen Krisma, anak seharusnya bertindak sebagai saksi
Kristus yang sejati, setia memenuhi semua kewajiban dan siap untuk
melaksanakan konsekuensi yang ada dalam sakramen krisma. Menjadi saksi
Kristus yang sejati dapat ditampilkan melalui perbuatan dan perkataan sejalan dan
sepadan dengan semangat Injil.
111
Ibid.,
112
J. D. Cricton, op. cit., hlm. 61.
55

Pemilihan orangtua wali bagi calon krisma pada dasarnya tidak jauh
berbeda dengan wali baptis. Dalam KHK kanon 874 menyebutkan bahwa agar
seseorang dapt diterima untuk mengemban tugas wali baptis, haruslah:113
1. ditunjuk oleh calon baptis sendiri atau orangtuanya atau oleh
orang yang mewakili mereka atau, bila mereka itu tidak ada,
oleh pastor paroki atau pelayan baptis, selain itu ia cakap dan
mau melaksanakan tugas itu.
2. telah berumur genap enambelas tahun, kecuali umur lain
ditentukan oleh Uskup diosesan atau ada kekecualian atas
alasan wajar dianggap dapat diterima oleh pastor paroki atau
pelayan baptis.
3. seorang Katolik yang sudah menerima Sakramen Penguatan
dan Sakramen Ekaristi, lagi pula hidup sesuai dengan iman dan
tugas yang diterimanya.
4. tidak terkena suatu hukuman kanonik ysang dijatuhkan atau
dinyatakan secara legitim
5. bukan ayah atau ibu dari calon baptis.

3.6.5 Tanggung Jawab Umat Setempat

Tanggung jawab terhadap peserta krisma pada dasarnya tidak hanya


diletakan pada pihak-pihak yang sudah diuraikan di atas. Akan tetapi, tanggung
jawab terhadap peserta krisma tersebut mencakup semua umat setempat. Umat
setempat hendaknya menerima dan mendukung para peserta krisma dalam
berbagai kegiatan.114 Kegiatan tersebut tidak hanya dimaksudkan pada kegiatan
Gerejawi, melainkan juga semua kegiatan yang berhubungan dengan segala aspek
kehidupan.
Keberadaan umat setempat menjadi repsentasi Allah yang hidup. Melalui
pihak-pihak yang telah diuraikan Allah hadir dan berkarya di dalamnya. Hal ini
dibuat supaya para peserta krisma dapat bertanggung jawab secara penuh atas apa
yang diterimanya sewaktu pengurapan Sakramen Krisma.

113
Gereja Katolik, op.cit., hlm. 249.
114
E. Martasudjit, loc. cit.,
56

3.7 Unsur-unsur dan Simbol Dalam Sakramen Krisma

3.7.1 Forma

Rangkaian dalam penerimaan Sakramen Krisma memiliki rumusan verbal


(forma) yang bersifat mengikat. Forma dalam upacara penerimaan Sakramen
Krisma merupakan suatu rumusan kalimat baku yang lazim diucapkan oleh
Uskup. Pada dasarnya Uskup menumpangkan tangan ke atas peserta krisma
sambil berkata “Terimalah tanda pemberian Roh Kudus”.115
Berdasarkan iman kristiani, Roh Kudus yang diterima dalam Sakramen
Krisma adalah Roh Kudus yang sama seperti yang para rasul terima dalam
peristiwa Pentekosta. Dengan pencurahan Roh Kudus, seorang anggota Gereja
menjadi lebih serupa dengan Kristus, dikuatkan sehingga mereka dapat
memberikan kesaksian tentang Kristus dan dalam perspektif iman mereka menjadi
lebih dewasa, siap dan berani menjadi saksi Kristus ke seluruh penjuru dunia.

3.7.2 Materi

Sejarah liturgi menguraikan secara tegas bahwa materi yang digunakan


dalam Sakramen Krisma adalah minyak krisma (chyrion). Minyak krisma tersebut
diurapi dengan membuat tanda salib pada dahi peserta krisma. Pada umumya
minyak krisma tersebut dipakai untuk menguatkan, menyembuhkan,
menyahatkan, melantik atau membuat seseorang atau sesuatu menjadi khusus
dengan tugas yang istimewa.116 Seseorang yang diurapi dengan minyak krisma
secara tidak langsung ditahbiskan demi untuk bersatu dan dipenuhi Roh Kudus.
Dengannya pribadi seorang invidu direduksi ke dalam Kristus yang dipenuhi
dengan daya Roh Kudus. Orang yang diurapi memperoleh tugas jabatan Kristus
sebagai imam, nabi dan raja.117
Bapa Gereja yang memahami Bahasa Yunani mendevenisikan hubungan
antara chrisma dan Kristus. Keduanya berasal dari kata yang sama. Menurut
Hippolytus, Uskup mengurapi si baptis dengan minyak suci.118 Chrisma

115
FX. Wibowo Ardhi, Sakramen Krisma (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hlm. 13.
116
Bernardus Boli Ujan, “Minyak Krisma,” Majalah Liturgi, Vol. 20 Mei-Juni, 2009,
hlm. 23.
117
Ibid.,
118
J. D. Criston, op. cit., hlm. 37.
57

merupakan gambaran yang sesuai dengan atau pas (antitypon) dengan mana
Kristus diurapi dan menjadi penuh dengan Roh Kudus.119 Kristus adalah pencipa
suka cita rohani dan minyak krisma menampilkan wangian yang amat luar biasa
maka Santo Sirilus menegaskan bahwa wewangian itu sendiri merupakan
lambang pemberian Kristus. Wangian (minyak krisma) berkaitan erat dengan
kehidupan manusia. Tentang hal ini Santo Paulus dalam suratnya kepada jemaat
di Korintus menulis: ”Bagi Allah kami adalah bau yang harum dari Kristus”
(2Kor 2:15).
Pengurapan dengan minyak itu menguduskan karena pengurapan itu
sendiri berasal dari Yang Kudus. Pengurapan itu mengajarkan hal-hal yang benar
tentang segala sesuatu.120 Oleh karena pengurapan yang dimeteraikan dengan
minyak krisma berasal dari Yang Kudus, maka dituntut agar setiap orang yang
menerimanya tetap tinggal di dalam-Nya. Pengurapan itu bersifat adikodrati.
Karena pengurapan itu sendiri sudah ada di dalam setiap pribadi umat beriman.
121
”Sebab di dalam kamu tetap ada yang pengurapan yang kamu terima dari pada-
Nya”.122 Walaupun pengurapan itu merupakan sesuatu yang adikodrati, tetapi
tetap dibutuhkan instrumen atau sarana yang mengafirmasi akan kodrat tersebut.
Pembuatan minyak krisma terbuat dari minyak buah zaitun yang dicampur
sedikit dengan balsam. Menurut kebiasaan Gereja Timur minyak krisma dicampur
dengan sedikit bahan yang membuatnya harum semerbak. Hippolytus
sebagaimana dikutip oleh Bernadus Boli Ujan mengacu pada kebiasaan tua orang
Alexandira dan menyatakan bahwa minyak krisma adalah ”minyak syukur.”
Minyak krisma itu sendiri menjadi simbol pengudusan oleh Roh Kudus yang
hadir dalam bau harum mewangi. 123
Pemberkatan minyak krisma dilkukan melalui sebuah misa khusus. Misa
khusus tersebut disebut sebagai misa krisma. Berdasarkan tradisi Gereja, misa
pemberkatan minyak krisma lazinya dilaksanakan pada hari kamis pagi sebelum
misa Kamis Putih. Minyak krisma dikuduskan (dikonsekrasi) pada saat misa

119
Ibid.,
120
Bernadus Boli Ujan, op. cit., hlm. 24.
121
Ibid.,
122
Ibid.,
123
Ibid., hlm. 25.
58

bersama yang dihadiri oleh umat, para imam dan Uskup.124 Berdasarkan
kebiasaan yang diwariskan Agustinus, para imam berkonselbrasi bersama
Uskupnya dan umat beriman mengambil bagian lain dalamnya untuk
memperlihatkan kesatuan yang erat dalam tubuh Gereja.125
Misa pemberkatan minyak krisma tersebut dilaksanakan setahun sekali.
Pada dunia dewasa ini, berhadapan dengan pertumbuhan jumlah umat yang tidak
sebanding dengan jumlah Uskup dan para klerus dan tempat tinggal umat
berjauhan, maka misa krisma ini tidak bisa dipusatkan pada hari Kamis pagi
sebelum misa Kamis Putih. Misa krisma ini diatur seseuai otoritas setiap
keuskupan. Secara de fakto misa krisma tersebut dilaksanakan bersamaan dengan
pembaharuan janji imamat. Dalam moment seperti ini, para lerus diwajibkan hadir
dan ambil bagian secara aktif dalam misa tersebut.

3.7.3 Simbol-Simbol dalam Sakramen Krisma

Liturgi hidup dalam dunia simbol untuk menyatakan dan menyampaikan


misteri Kristus. Jemaat berkumpul untuk merayakan sakramen merupakan
lambang karena mereka akan menampilkan realitas yang lebih besar dan luas.126
Keberadaaan simbol-simbol dalam liturgi akan mempertegas penyampaian makna
liturgis itu sendiri. Oleh karena itu simbol yang dipakai tidak hanya sebagai
perhiasan belaka karena melalui simbol-simbol tersebut memiliki banyak makna,
baik yang tersirat maupun tersurat dapat terima oleh jemaat beriman.

3.7.3.1 Penumpangan Tangan Uskup

Gerakan atau Bahasa tubuh merupakan salah satu sarana komunikasi yang
paling jelas. Gerakan berupa penumpangan tangan sekaligus memperjelas dan
mempertegas makna yang hendak disampaikan kendatipun ia merupakan sebuah
misteri. Dalam Perjanjian Lama penumpangan tangan dapat berarti pengududsan
dan menyendirikan orang tertentu (bdk Bil 8:10) serta pemberian Roh
kebijaksanaan (bdk Ul 34:9). Sedangkan dalam Perjanjian Baru Penumpangan

124
Ibid., hlm. 26.
125
Ibid., hlm. 23.
126
J. D. Cricton, op. cit., hlm. 27.
59

tangan merupakan lambang pemberian dan sekaligus penerimaan Roh Kudus.127


Selain itu Perjanjian Baru juga mengenal tindakan penumpangan tangan sebagai
pencurahan Roh Kudus (bdk Kis 8:14-17: 19:1-7).128
Bertolak dari Kitab suci, penumpangan tangan dapat diartikan sebagai
pelimpahan kekuasaan, tindakan penyembuhan, lambang pemberkatan yakni
mengalihkan berkat (daya ilahi) dari satu orang kepada orang lain, penyerahan
tugas suci serta daya yang diperlukan yakni Roh Kudus yang menjiwai seluruh
jemaat.129 Berkaitan dengan karya pastoral, penumpangan tangan hendak
mengesahkan seseorang untuk suatu karya pelayanan atau tugas tertentu dalam
jemaat. Pada prinsipnya pengurapan dilihat sebagai simbol yang paling nyata dari
pemberian Roh Kudus.130
Sakramen Pengurapan harus diterimakan kepada semua orang yang sudah
dibaptis. Maka simbol atau ritus penumpangan tangan menjadi unsur pokok dalam
penerimaan Sakramen Penguatan atau krisma.131 Melalui Sakramen Krisma
seseorang ditetapkan sebagai milik Allah. Penumpangan tangan menandakan
bahwa Allah mempunyai hak atas orang yang bersangkutan.132 Oleh sebab itu,
tidak adanya kehadiran ritus penumpangan tangan dalam upacara Sakramen
Krisma, maka dengan sendirinya upacara penerimaan Sakramen Krisma itu
menjadi tidak bermakna. Secara sederhana hal ini hendak menggambarkan bahwa
penumpangan tangan merupakan simbol turunnya Roh Kudus ke atas seorang
para peserta calon krisma.
Penumpangan tangan sebagai pemberian Roh Kudus berawal dari
peristiwa Pentekosta ketika Yesus memberikan Penghibur (Roh Kudus) seperti
yang Ia janjikan kepada para murid-Nya dalam rupa lidah-lidah api. Setelah
menerima Roh Kudus para Rasul dimampukan untuk mewartakan Injil Tuhan.
Kehadiran Roh Kudus tersebut mengafirmasi kedewasaan iman seseorang dan
menyatakan siap untuk menjadi saksi Kristus. Selain itu pula hadirnya Roh Kudus

127
Ibid., hlm. 39.
128
E. Martasudjita, op. cit., hlm. 246.
129
FX. Wibowo Ardhi, loc. cit.
130
Ibid., hlm 40
131
L. Prasetya, op. cit., hlm. 33.
132
Georg Kirchberger, Allah Menggugat Sebuah Dogmatik Kristiani (Maumere:
Ledalero, 2012), hlm. 496.
60

ini menjadi dasar para peserta krisma untuk melaksanakan tugas dan Kewajiban-
kewajiban serta konsekuensi-konsekuensi hidupnya sebagai saksi Kristus.

3.7.3.2 Pengurapan Minyak Krisma

Setelah melewati proses upacara penumpangan tangan, para calon krisma


akan menerima pengurapan. Pengurapan yang dimaksudkan berupa pengurapan
dengan minyak krisma pada dahi peserta krisma. Pengurapan dengan minyak
krisma tersebut dilakukan dalam bentuk tanda salib. Hal ini menandakan bahwa
orang yang menerima krisma sekarang diinisiasikan sepenuhnya ke dalam Tubuh
Kristus yang penuh semangat. Kata Kristus berarti ”yang diurapi”.133 Katekismus
Gereja Katolik mengatakan bahwa oleh pengurapan ini, orang yang menerima
penguatan, menerima tanda meterai Roh Kudus.134 Dengan adanya meterai
tersebut seseorang disahkan untuk ikut serta dalam karya pewartaan dan perutusan
Yesus Kristus. Groenen menegaskan bahwa pengurapan minyak suci (krisma)
berarti pengangkatan seseorang dalam suatu jabatan atau suatu tugas suci.135
Tugas suci tersebut diamanatkan untuk menjadi saksi Kristus. Pengurapan
tersebut melegatimasi seorang individu untuk secara penuh menjadi saksi Kristus
di dunia. Hal ini bertolak dari pertiwa Pentakosta, di mana para jemaat Kristus
diurapi Roh Kudus untuk menjadi saksi Kristus keseluruh bangsa. Dalam
kesaksian tersebut seorang individu secara implisit diangkat menjadi peserta
dalam tugas Kristus, raja, imam dan nabi.136
Pada prinsipnya pengurapan menjadi simbol pemberian rahmat atau
anugerah dari Allah yang menguatkan, menugaskan dan mengutus serta
memberikan seseorang suatu tugas baru yang sebelumnya tidak pernah dialami.
Selain itu, pengurapan menjadikan seseorasng dewasa dalam iman sehingga ia
dengan berani dan bertanggung jawab menjadi saksi Kristus di dunia.

133
Josep Martons, op. cit., hlm. 34.
134
Katekismus Gereja Katolik, op. cit., hlm. 330.
135
C. Groenen, op. cit., hlm. 247.
136
Ibid.,
61

3.7.3.3 Tepuk Pada Pipi Penerima Sakramen Krisma

Tepuk pada pipi (tempeleng kecil) merupakan satu unsur atau simbol
penting dalam upacara Sakramen Krisma. Kendati nampaknya sederhana, tetapi ia
memiliki makna yang sangat berarti. Upacara tersebut biasanya dilakukan oleh
Uskup atau imam yang dipercayakan oleh Uskup untuk membantunya. Uskup
yang menepuk pipi peserta krisma memiliki alasan dasar sebagai suatu pemberian
restu untuk berkarya dan mengusir roh jahat. Di samping itu pula upacara ini
sekaligus memberikan semangat kepada peserta krisma untuk sungguh
menghayati dan menerima tugas perutusan sebagai saksi Kristus dengan mantap
dan berani.

3.8 Tahap Pelaksanaan Upacara Sakramen Krisma

3.8.1 Tahap Persiapan

Gereja mendeskripsikan bahwa setiap orang beriman yang sudah dibaptis


berhak dan diwajibkan untuk menerima Sakramen Krisma. Namun, sebelum
menerima Sakramen Krisma setiap calon krisma terlebih dahulu diberi
pemahaman yang mendalam dan luas tentang arti dan makna serta tujuan
Sakramen Krisma itu sendiri. Tahap tersebut dimasudkan sebagai tahap persiapan.
Dalam tahap persiapan tersebut pejabat Gereja (katekis) menguraikan bahwa
tahap persiapan dapat menjadi saat-saat di mana orang-orang muda mengadakan
peralihan dari orang-orang Kristen pasif kepada orang-orang Kristen aktif.137
Maksudnya, setiap orang yang hendak menerima Sakramen Krisma dituntut untuk
secara aktif dalam karya dan pewartaan serta secara bertanggung jawab menjadi
saksi Kristus.
Tahap persiapan dalam Sakramen Krisma tersebut dapat dikategorikan
sebagai bentuk dari pastoral liturgi. Dalam hal ini, pastoral liturgi (tahap
persiapan) bukan semata-mata suatu Kerygma atau pewartaan kebenaran iman
kepada mereka yang belum percaya melainkan sebagai katekese mistagogi. Sebab
katekese mistagogi lebih bertujuan untuk membina dan membimbing umat

137
Joseph Martos, op. cit., hlm. 25.
62

beriman kepada pengertian yang lebih baik tentang misteri iman kristiani.138
Katekesse misatagogi tersebut juga turut menyatakan suatu proses evangelisasi
atau penginjilan. Penginjilan bertujuan untuk mewartakan Kabar Gembira
keselamatan dan membawa orang berhubungan dengan kristus.139
Tahap persiapan tersebut hanya memiliki satu tujuan akhir yaitu membawa
semua orang untuk mencapai kesatuan yang lebih erat dan intim dengan Kristus
melalui bimbingan Roh Kudus. Kesatuan yang mesra dengan Kristus terwujud
apabila dihidupi oleh Roh kudus itu sendiri sehingga dapat melaksanakan tugas
perutusannya di dunia. Roh Kudus yang tinggal dan mendiami dalam diri setiap
pribadi pada prinsipnya tidak pernah terlepas dari proses persiapan. Dalam
persiapan penerimaan Sakramen Krisma tersebut, dari calon krisma amat dituntut
dua hal penting yaitu ia harus membuat suatu keputusan yang lebih matang dan
secara aktif menghidupi imannya.

3.8.2 Tahap Pelaksanaan

Sakramen Baptis, Ekaristi dan Krisma merupakan sakramen-sakramen


inisiasi dalam Gereja Katolik. Ketiga sakramen tersebut merupakan satu kesatuan
yang tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lain. Oleh karena
ketiga sakramen inisiasi ini merupakan satu kesatuan, maka tata upacara
pelaksanaan selalu berjalan bersamaan. Hal serupa ditegaskan oleh Alosius
Soenarto, dkk ketika mereka mengatakan bahwa dengan daya kekuatan Roh
Kudus, Gereja diberikan kemampuan untuk menghadirkan Kristus di tengah
masyarakat. Dengan demikian peristiwa inisiasi (Baptis, Ekaristi dan Krisma)
merupakan peristiwa besar dan menjadi satu kesatuan sehingga perlu dirayakan.140
Secara liturgis dalam perayaan Ekaristi, upacara penerimaan Sakramen
Krisma diletakkan di antara liturgi Sabda dan doa umat. Dalam pelaksanaanya
dapat dua kemungkinan yakni disatukan dengan pembatisan dan dipisahkan dari
pembaptisan. Tata upacara pelaksanaan dalam menerimakan Sakramen Krisma
yang diwariskan dan terus bertahan hingga sekarang adalah kemungkinan yang
kedua. Kemungkinan yang kedua tersebut menggaris bawahi bahwa ada tiga

138
Antonius Martinus Tangi, op. cit., hlm. 6.
139
J. D. Cricton, op. cit., hlm. 56.
140
Alosius Soenarto, dkk., op. cit., hlm. 82.
63

bagian pokok dalam liturgi krisma yaitu pembaharuan janji baptis, penumpangan
tangan dan pengurapan dengan minyak krisma.141 Ketiga bagian pokok dalam
liturgi krisma ini dirayakan tepat setalah liturgi sabda dan sebelum doa umat.
Setelah liturgi sabda, para calon krisma dihadapkan kehadapan Uskup oleh pastor
paroki atau petugas-petugas lain untuk diterimakan ke dalam upacara krisma.
Kalau calon merupakan anak-anak maka mereka diantarkan oleh orangtua wali
dan juga apabila jumlahnya terlalu banyak dianjurkan para calon krisma cukup
dipanggil nama saja.142
Sesudahnya dilanjutkan dengan homili. Dalam homili tersebut Uskup
sebagai selebran utama menyampaikan tema-tema bacaan dan menggunakannya
sebagai pedoman untuk membawa para calon krisma pada pemahaman yang lebih
mendalam akan misteri krisma. Biasanya dalam mengakhiri holmili, Uskup
menutupnya dengan mengundang para calon krisma untuk menolak setan dan
mengakui imanya yang teguh akan Yesus Kristus.143
Setelah bersedia menolak setan dan setia mengakui iman, maka Uskup
mengajak semua umat yang hadir untuk masuk dalam keheningan seraya berdoa
memohon turunya Roh Kudus ke atas krismawan/i. Sewaktu proses penumpangan
tangan dan pengurapan dengan minyak krisma, para calon krisma didampingi oleh
orangtua wali sambil memegang bahu kanan dari pada calon krisma tersebut. Hal
ini dimaksudkan agar orangtua wali memberikan dukungan dan siap untuk
membina dan membimbing peserta krisma untuk menjadi saksi Kristus yang sejati
ke seluruh dunia. Kemudian perayaan Ekaristi berjalan seperti biasanya namun
dalam Liturgi penerimaan Sakramen Krisma menggunakan rumusan Doa Syukur
Agung I (pertama).144

3.9 Kesimpulan

Dalam Gereja Katolik, Sakramen Krisma adalah salah satu dari tujuh
sakramen. Sakramen Krisma dipahami sebagai kelanjutan dari dua sakramen
inisiasi sebelumnya seperti Baptis dan Ekaristi. Berbicara tentang Sakramen

141
F. X didik Bagiyowinadi, op. cit., hlm. 64.
142
J. D Cricton, Perayaan Sakramen Pembaptisan dan Krisma (Yogyakarta: Kanisius,
1990), hlm. 100.
143
Ibid., hlm. 101.
144
Ibid.
64

Krisma selalu identik dengan kedewasaan seseorang dalam iman. Apabila seorang
anggota Gereja sudah menerima Sakramen krisma, maka secara otomatis orang
tersebut sudah dinyatakan ”dewasa” oleh Gereja. Dengan demikian, Sakramen
Krisma merupakan sakaramen kedewasaan. Hal ini bertolak dari paradigama
bahwa Sakramen krisma hadir sebagai pemberian kebijakan, pengetahuan dan
keberanian untuk menjadi saksi Kristus dalam mewartakan karya keselamatan
kepada dunia.
Eksistensi dan esensi Sakramen Krisma sebagai sakramen pendewasaan
bagi seluruh anggota Gereja, maka dalam upacara penerimaannya dibutuhkan
material khusus sebagai bentuk afirmasi cinta Allah. Material yang digunakan
dalam Sakramen Krisma ialah minyak krisma (minyak zaitun yang dicampur
dengan balsam khusus yang wangi). Di samping itu, inti upacara penerimaan
Sakramen Krisma adalah menerima kepenuhan Roh Kudus. Melalui doa Epiklese,
Uskup meminta dan memohon agar turunnya Roh kudus ke atas para calon
krismawan dan krismawati. Roh Kudus yang dicurahkan ke atas krismawan dan
krismawati itu menjadikanya untuk secara penuh dan aktif berkarya dalam Gereja.
Sakramen Krisma memampukan seseorang beriman untuk bekerja sama
dengan Roh Kudus. Kesatuan dengan Roh Kudus ini mendorong seseorang untuk
memikul tanggung jawab kristiani baik di dalam maupun di luar lingkungan
Gereja. Roh Kudus yang diterimanya dalam upacara penerimaan Sakramen
krisma memampukan para krismawan dan krismawati untuk menjadi Saksi kristus
yang sejati dan bersedia mewartakan karya misioner Gereja. Secara lebih luas
peran dan peranan Roh Kudus sesungguhnya menyanggupkan dan menjiwai
krismawan dan krismawati untuk dapat menjalankan tugas penyelamatan terhadap
dunia. Roh Kudus memampukan seseorang menjadi saksi efektif tentang
keselamatan yang diwartakan Kristus. Setelah seorang individu menerima Roh
Kudus melalui Sakramen Krisma, ia tidak melaksanakan tugasnya seturut
kehendaknya sendiri, tetapi ia dijiwai oleh semangat dan kehendak Allah. Dengan
demikian Sakramen Krisma secara eksplisit mengikut sertakan seseorang dalam
tugas publik jemaat karena dalam kaca mata iman, ia sudah dinyatakan sebagi
seorang yang dewasa dalam iman.
65

BAB IV

RITUS YOYE NGI’I MASYARAKAT OJA DALAM PERBANDINGAN


DENGAN SAKRAMEN KRISMA

Dalam bab ini, penulis akan menganalisis dan mengkaji konsep


pendewasaan ritus yoye ngi’i masyarakat Oja dalam perbandingan dengan
Sakramen Krisma. Dalam upaya menemukan perbandingan konsep pendewasaan
tersebut secara tepat, penulis akan mengemukakan nilai-nilai yang terkandung
dalam ritus yoye ngi’i dan Sakramen Krisma. Di samping itu juga, penulis hendak
memberikan suatu tawaran solutif sebagai kemungkinan untuk diinkulturasikan
ritus yoye ngi’i ke dalam Sakramen Krisma.

4.1 Yoye ngi’i dalam Perbandingannya dengan Sakramen Inisiasi

Sebagai ritus inisiasi, Yoye ngi’i memiliki korelasi dengan dengan


Sakramen Krisma. Pada dasarnya kedua sarana inisiasi ini menjadi pintu masuk
bagi seseorang untuk diterima ke dalam suatu kelompok dan menjadi bagian dari
kelompok tersebut. Korelasi keduanya dapat dilihat lebih jauh melalui kesamaan
dan perbedaannya.

4.1.1 Persamaan Ritus Yoye ngi’i dengan Sakramen Krisma

4.1.1.1 Keduanya Merupakan Perayaan Inisiasi

Secara leksikal kata inisiasi berasal dari Bahasa Latin initiare yang berarti
memasukkan atau mentahbiskan.145 Dalam konteks sakramen Gereja, inisiasi
dipahami sebagai upacara untuk menerima atau memasukkan seseorang menjadi
anggota Gereja dengan segala kewajiban dan haknya. Upacara inisiasi tidak hanya
terjadi dalam Gereja, tetapi juga pada kelompok sosial pada umumnya.146 Pada
titik ini, inisiasi menjadi sarana afirmasi dan pengukuhan seorang individu ke

145
TH. I. Verheoven dan Marcus Carvalo, Kamus Latin-Indonesia (Ende: Nusa Indah,
1969), hlm. 541.
146
J. B. Banawiratma, op. cit., hlm. 77.
66

dalam suatu kelompok. Dengan demikian perayaan inisiasi menjadi bagian


integral dari setiap elemen kehidupan. Sakramen inisiasi yang dirayakan dalam
Gereja mempunyai korelasi dengan kebudayaan masyarakat di mana sakramen itu
dirayakan. Pada bagian ini penulis ingin melihat hubungan antara sakremen
Krisma dan upacara adat yoye ngi’i.
Dalam konteks masyarakat Oja, proses inisiasi dilaksanakan dalam ritus
yoye ngi’i. Masyarakat Oja percaya bahwa ritus yoye ngi’i merupakan sarana
pendewasaan bagi seorang anak khususnya anak perempuan yang telah memasuki
usia akil balik. Ritus tersebut lazimnya dilaksanakan melalui proses meratakan
gigi pada setiap anak perempuan. Lebih jauh, ritus ini dilakukan sebelum mereka
menginjak usia dewasa atau secara biologis sebelum mereka memasuki masa
menstruasi.
Sebagai upacara inisiasi, Sakramen Krisma dan ritus yoye ngi’i merupakan
perayaan yang bertujuan untuk menerima dan memasukkan seseorang menjadi
anggota kelompoknya secara penuh. Inisiasi ini merupakan upacara yang wajib
dilaksanakan dalam kedua lembaga tersebut. Sebab dengan melaksanakan upacara
tersebut, seseorang dapat mengafirmasi dirinya sebagai bagian dari keanggotaan
sebuah kelompok.

4.1.1.2 Keduanya Merupakan Perayaan Pendewasaan

Setiap manusia pasti mengalami proses peralihan dari anak-anak menuju


dewasa. Parameter kedewasaan tidak hanya diukur dari segi fisik, emosi dan
pikiran, tetapi juga dilihat dari sikap dan perilaku hidup seseorang seutuhnya.
Secara spiritual, Gereja mempunyai peran dalam proses pedewasaan seseorang.147
Kedewasaan seorang anggota Gereja yang bertumbuh dalam iman dapat dilihat
melalui persatuannya yang erat dengan Kristus sebagai wujud konkret Allah di
dunia. Kehadiran dan keberadaan Sakramen Krisma seyogianya menjadi
instrumen pengikat dan pengukuhan kedewasaan seseorang dalam iman. Melalui
Sakramen Krisma, seorang krismawan dan krismawati mendapat pencurahan Roh
Kudus. Roh Kudus dicurahkan untuk tinggal dan menjadi pedoman hidup setiap
anggota Gereja. Hidup dalam kesatuan dengan Roh Kudus mendorong seseorang
147
J. M. Fuster, Teknik Mendewasakan Diri: Tumbuh dan Berkembang dalam Iman
(Yogyakarta: Kanisius, 1985), hlm. 5.
67

untuk memikul tanggung jawab kristiani baik di dalam maupun di luar lingkungan
Gereja.
Ada tiga konsekuensi yang melekat dalam diri seorang yang menerima
Sakramen Krisma sebagai tanda kedewasaan iman.148 Pertama, ia bertanggung
jawab sendiri untuk memupuk imannya. Hal ini berkaitan dengan suatu kesadaran
akan pentingnya memupuk dan membina iman secara personal. Kedua, seseorang
harus berani menjadi saksi Kristus. Menjadi saksi Kristus berarti membangun
hubungan yang intim dengan Kristus. Ia harus berani mewartakan dan
mewujudkan Injil dalam perkataan dan perbuatan dan berani membela iman serta
mempertanggung jawabkannya. Ketiga, seseorang harus terlibat dalam hidup
menggereja. Seorang individu dapanggil untuk melaksanakan hak dan kewajiban
sebagai anggota serta mengupayakan pertumbuhan Gereja.
Senada dengan Sakramen Krisma dalam Gereja, masyarakat Oja
mempunyai ritus yoye ngi’i sebagai upacara inisiasi menuju kedewasaan. Seorang
pribadi khususnya perempuan menjadi anggota penuh masyarakat budaya Oja
apabila ia sudah melewati ritus tersebut. Ritus ini menjadi sarana resmi
penerimaan dan pengukuhan seseorang ke dalam anggota budaya secara resmi.
Seorang anak gadis yang sudah melewati ritus tersebut berhak dan berkewajiban
untuk terlibat secara aktif dalam seluruh rangkaian upacara adat. Pada saat yang
sama, seorang anak perempuan memiliki harkat dan martabat yang sama seperti
perempuan dewasa pada umumnya.
Berdasarkan fungsinya, perayaan yoye ngi’i dan Sakramen Krisma
mempunyai makna yang sama yaitu sebagai tanda kedewasaan. Ritus yoye ngi’i
meresmikan dan mengukuhkan seorang anak gadis ke dalam golongan orang
dewasa dengan segala hak dan kewajibannya. Sedangkan melalui Sakramen
Krisma, seorang anggota Gereja dilantik menjadi orang yang dewasa dalam iman
guna membangun persekutuan yang erat dengan Kristus. Membangun
persekutuan yang erat dengan Kristus berarti ia bertugas dan berkewajiban
mengembangkan karya keselamatan di dunia yang telah dihidupi oleh Yesus
Kristus.

148
F. X. Didik Bagitowinadi, Siap Diutus (Buku Kerja Persiapan Krisma) (Malang:
Dioma, 2001), hlm. 43.
68

4.1.1.3 Keduanya Memiliki Tujuan yang Sama

Prinsip dasar pelaksanaan kedua upacara Sakramen Krisma dan yoye ngi’i
adalah menerima dan memasukkan seseorang ke dalam kelompoknya. Seorang
individu dapat diterima secara sah dalam sebuah kelompok, jika ia memenuhi
semua ketentuan dari upacara yang dirayakan.
Kedua perayaan merupakan tanda kedewasaan. Sakramen Krisma
merupakan tanda kedewasaan dalam iman. Sebagai sebuah rahmat, iman
seseorang terus bertumbuh dan dinyatakan dalam segala keputusan. Sebagai
sebuah keputusan, iman perlu diinternalisasikan ke dalam diri untuk mencapai
kematangan. Proses akhir kematangan iman yang utuh mencapai puncaknya
ditandai melalui Sakramen Krisma. Penguatan yang diterima dengan pencurahan
Roh Kudus dalam Sakramen Krisma membantu seorang individu untuk terlibat
aktif dalam tugas dan perannya di dalam Gereja demi menghadirkan keselamatan
Allah di tengah dunia. Pada titik ini, Sakramen Krisma menguatkan seseorang
untuk menjadi saksi Kristus dalam karya keselamatan dunia sebagai bentuk
konkretisasi cinta Tuhan.
Sementara itu, ritus yoye ngi’i adalah tanda kedewasaan seseorang secara
adat. Upacara ini memungkinkan seseorang untuk terlibat aktif dalam kegiatan-
kegiatan adat misalnya, ritus peminangan atau ritus Tu Ngawu, dan ritus Guti Fu
Ana (ritus pemotongan rambut balita). Lebih jauh, ritus ini melantik seseorang
untuk mengambil bagian dalam tugas pelayanan secara adat.
Pada prinsipnya tujuan utama dari kedua upacara tersebut memberikan
afirmasi akan peran dan keterlibatan seseorang dalam sebuah kelompok. Proses
pendewasaan yang diterima seseorang melalui ritus yoye ngi’i dan Sakramen
Krisma dengan demikian menjadi bagian integral dalam kehidupan mereka.

4.1.1.4 Keduanya Memiliki Syarat-Syarat Tertentu

Secara keseluruhan syarat-syarat Sakramen Krisma dapat ditemukan dalam


dokumen-dokumen resmi Gereja. Secara garis besar aturan dan syarat-syarat
pelaksanaan Sakramen Krisma diatur dalam Kitab Hukum Kanonik secara khusus
Kanon 879-896. Sedangkan syarat-syarat pelaksanaan ritus yoye ngi’i pada
masyarakat Oja tidak dibuat secara tertulis dalam dokumen atau kitab hukum
69

karena syarat-syarat itu dituturkan secara lisan. Syarat-syarat pelaksanaan ritus


yoye ngi’i merupakan warisan verbal dari para leluhur. Persyaratan yang menjadi
perhatian khusus dari keduanya dapat ditinjau dari aspek upacara pelaksanaanya,
pelayan, usia calon penerima dan wali atau saksi. Beberapa aspek pesyaratan
tersebut dapat ditampilkan sebagai berikut.
Pertama, upacara pelaksanaan. Proses pelaksanaan keduanya berada
dalam suatu sistem atau rangkaian upacara yang baku. Bahwasannya Sakramen
Krisma merupakan upacara yang dilaksanakan hanya sekali dalam hidup seorang
beriman. KHK kanon 880 menyebutkan bahwa Sakramen Penguatan diberikan
dengan pengurapan dengan minyak krisma pada dahi dan penumpangan tangan
yang dilakukan Uskup. Minyak krisma yang digunakan dalam Sakramen
Penguatan haruslah dikonsekrasi oleh Uskup.149 Inti dari pelaksanaan Sakramen
Penguatan adalah pencurahan Roh Kudus yang ditandai dengan materai dan
forma. Seseorang yang diurapi dengan minyak krisma secara tidak langsung
ditahbiskan untuk bersatu dan dipenuhi Roh Kudus. Seorang individu yang telah
diurapi bersatu dengan Kristus dan dipenuhi dengan daya Roh Kudus. Dengannya
ia serentak mengambil bagian dalam tugas dan jabatan Kristus sebagai imam, nabi
dan raja.150
Sementara itu, ritus yoye ngi’i berlangsung dalam suatu upacara dengan
rangkaian tata laksananya secara adat. Upacara ini dilaksanakan dengan cara
meratakan gigi dengan memotong atau mengasah gigi seorang anak gadis.
Namun, tidak semua gigi itu diasah hingga rata dengan gusi. Gigi-gigi yang
diasah hanyalah gigi taring dan gigi seri yang kelihatan lebih tinggi dari gigi
lainnya. Dalam arti harafiah, pemotongan gigi ini sesungguhnya memperlihatkan
unsur seni, misalnya gigi anak gadis akan nampak lebih rapi dan teratur. Lebih
jauh, upacara potong gigi sesungguhnya mengafirmasikan kedewasaan seorang
anak gadis secara adat.
Kedua, ditinjau dari konsep pelayan. Pada prinsipnya proses pelaksanaan
kedua upacara inisiasi tersebut sama-sama diberikan oleh pemimpin yang
memiliki kekuasaan dan otoritas penuh terhadap upacara tersebut. Dalam

149
dalam Gereja Katolik, op. cit., hlm. 251.
150
Bernardus Boli Ujan, “Minyak Krisma,” Majalah Liturgi, Vol. 20 Mei-Juni, 2009,
hlm. 23.
70

Sakramen Penguatan, seseorang yang berwenang memberikan pencurahan Roh


Kudus adalah Uskup. Uskup merupakan perpanjangan tangan para rasul. Dengan
kekuasaan episkopalnya, ia memiliki otoritas dan kuasa untuk memberikan
Sakramen Krisma kepada krismawan dan krismawati. KHK kanon 882
menambahkan bahwa sejalan dengan bertambahnya jumlah umat, maka sakramen
ini dapat juga diberikan oleh imam yang memiliki kewenangan itu berdasarkan
hukum universal atau pemberian khusus dari otoritas yang berwenang.151
Dalam ritus yoye ngi’i yang berhak membuka rangkaian upacara dan
memotong gigi anak gadis adalah ine ame ebu ta’u (saudara dari ibu seoarang
anak perempuan yang giginya dipotong). Namun, dalam praktik memotong atau
mengasah gigi, tidak semua ebu ta’u (om) memiliki kemampuan dan keterampilan
dalam hal ini. Oleh karena itu, proses pemotong tersebut dilakukan oleh orang
yang memiliki kemampuan dan keterampilan khusus. Orang yang memiliki
kemampuan dan keterampilan khusus ini dipilih oleh keluarga seturut restu dari
pihak om. Dalam upacara tersebut peran om tetaplah yang paling penting karena
ia berhak untuk membuka seluruh rangkaian upacara dan mengucapkan doa adat.
Ketiga, usia kelayakan dalam penerimaan. Setiap pranata atau lembaga
sosial memiliki tata aturan atau norma yang mengatur kelayakan seseorang untuk
dapat diinisiasikan ke dalam kelompoknya. Kitab Hukum Kanonik kanon 889
menandaskan bahwa calon penerima Sakramen Krisma harus memenuhi syarat-
syarat tertentu seperti orang beriman yang telah dibaptis serta belum pernah
menerimanya.152 Dalam hal ini, seorang individu yang berhak menerima
Sakramen Krisma atau Penguatan adalah mereka yang sudah mencapai usia akil
balik. Hal ini ditegaskan dalam Konsili Lateran (1215) bahwa seseorang boleh
menerima Sakramen Krisma apabila mereka berada pada rentangan usia 7 sampai
12 tahun. Namun, pada awal abad XX Paus Pius X menentukan usia penerima
Sakramen Krisma adalah usia sesudah menerima komuni pertama, yakni 10
sampai 12 tahun.153 Pada usia inilah seorang individu dianggap sungguh-sungguh
dewasa baik dari aspek spiritual maupun badaniah. Ia juga sudah siap dan

151
Gereja Katolik, loc. cit.
152
Ibid., hlm. 253.
153
E. Martasudjita, op. cit., hlm. 260.
71

bertanggung jawab secara bebas untuk bersedia menjadi saksi Kristus guna
mewartakan karya keselamatan kepada dunia.
Dalam ritus yoye ngi’i, seorang anak gadis yang berhak menerima upacara
tersebut adalah mereka yang berada pada kisaran usia 11 hingga 15 tahun. Hal ini
bertolak dari argumen bahwa pada usia tersebut, seseorang dapat ambil bagian
dalam upacara adat. Tahapan usia ini menandai bahwa ia sudah dewasa dan siap
untuk memberikan diri demi melayani orang banyak. Tingkat kematangan dan
kedewasaan seseorang dapat ditunjukkan melalui aspek biologis. Pada zaman
dahulu, ketika masyarakat Oja belum secara pasti mengetahui batasan usia tentang
sah dan layaknya seorang anak gadis melakukan upacara tesebut, maka aspek
biologis inilah yang dapat dijadikan tolak ukur.
Secara biologis, seorang anak gadis yang hendak diratakan atau dipotong
giginya seyogianya belum pernah mengalami menstruasi (haid) untuk pertama
kali dalam hidupnya. Apabila seorang anak gadis sudah mengalami menstruasi,
namun ia belum melaksanakan ritus yoye ngi’i maka hal ini disebut piye (pemali
atau haram). Masa pubertas merupakan masa adolensi, dimana ditandai dengan
datangnya masa pubertas maka sebenarnya masa anak-anak telah berakhir, dengan
demikian anak tersebut sudah memasuki masa ideal untuk melaksanakan ritus ini.
Keempat, peran wali atau saksi. Sakramen Krisma dan ritus yoye ngi’i
sama-sama memiliki pendamping atau wali dalam pelaksanaan upacara.
Pendamping atau wali ini bertanggung jawab penuh atas keberlangsungan hidup
anak walinya. Dalam KHK kanon 892 menyebutkan bahwa Sakramen Krisma
atau Penguatan hendaknya sedapat mungkin didampingi oleh seorang wali-
penguatan, yang bertugas agar pribadi-pribadi yang telah menerima Sakramen
Krisma bertindak sebagai saksi Kristus yang sejati dan setia memenuhi
kewajiban-kewajiban yang melekat pada sakramen itu.154 Pada prinsipnya, peran
wali dalam Sakramen Krisma tidak hanya pada saat upacara penerimaaan
Sakramen Krisma berlangsung, tetapi juga selalu berpartisipasi aktif dalam
seluruh ziarah kehidupan anak wali tersebut demi menjadi saksi Kristus dan
menjadi pewarta keselamatan kepada dunia.

154
Gereja Katolik, loc. cit.
72

Menurut Cricton, peran pertama dari wali baptis adalah membantu


orangtua anak yang menerima Sakramen Baptis.155 Wali Krisma ditunjuk untuk
ambil bagian dalam membina dan mendampingi perziarahan hidup sang anak.
Wali Krisma memiliki peran penting bagi pengembangan iman peserta krisma.
Para orangtua wali memiliki tugas memberikan pemahaman bagi peserta krisma
(anak wali) bahwa setelah menerima penguatan melalui Sakramen Krisma, anak
seharusnya bertindak sebagai saksi Kristus yang sejati, setia memenuhi semua
kewajiban dan siap untuk melaksanakan konsekuensi yang ada dalam Sakramen
Krisma.
Kanon 874156 menegaskan bahwa untuk menjadi seorang wali baptis
haruslah memperhatikan beberapa aspek. Pertama, ditunjuk oleh calon baptis
sendiri atau oleh orangtuanya. Kedua, seseorang yang telah berumur genap
enambelas tahun, kecuali umur lain yang telah ditentukan oleh Uskup Diosesan.
Ketiga, seorang Katolik yang telah menerima penguatan dan Sakramen Ekaristi.
Keempat, tidak memiliki masalah dan mendapat hukuman kanonik. Kelima,
bukan ayah atau ibu calon baptis.157 Konsep dasar wali baptis ini juga berlaku
bagi seseorang yang hendak menjadi wali-penguatan.
Dalam ritus yoye ngi’i, mereka yang berperan untuk menjadi wali atau
pendamping dalam hukum adat adalah ebu ta’u (om dan tanta). Hukum adat
menegaskan bahwa kehidupan anak perempuan selanjutnya akan menjadi
tanggung jawab keluarga om atau paman. Seluruh rangkaian upacara adat yang
berkaitan langsung dengan anak gadis tersebut menjadi tanggung jawab penuh
dari pihak om dan tanta. Mereka mendidik dan membina kehidupan anak sejak
upacara potong gigi, antar belis (tu ngawu) hingga pada kematian (ata mata).
Akan tetapi de facto, orangtua tetap memiliki andil yang besar atas
kehidupan anaknya. Orangtua bertanggung jawab penuh terhadap ziarah hidup
anak hingga ia memisahkan diri dari keluarga, yakni dengan hidup bersama
suaminya. Orangtua bertanggung jawab dalam hal membina, mendidik dan
mendampingi anaknya.

155
J. D. Crichton, op. cit., hlm. 61.
156
Menurut Kanon 893, syarat-syarat bagi seseorang menjadi wali Krisma sama dengan
syarat-syarat yang disebut dalam Kanon 874 tentang wali Baptis.
157
Gereja Katolik, op. cit., hlm. 249.
73

Kelima, kemurnian. Hal ini menandaskan bahwa persyaratan inisiasi


dalam sebuah pranata sosial harus bebas dari tindakan dosa, karena dosa inilah
yang akan memisahkan seseorang dengan kekuatan supranatural. Dalam
penerimaan Sakramen Krisma, hal yang mesti juga diperhatikan adalah dosa yang
diemban oleh seorang individu. Berkaitan dengan persyaratan bebas dari tindakan
dosa, para calon krismawan maupun krismawati tidak boleh memiliki dosa besar
(pembunuhan, aborsi) yang belum diampuni melalui Sakramen Tobat.158
Tindakan dosa merupakan suatu sikap batin yang tidak mau menerima
keterlibatan Allah atas hidupnya. seperti Simon Petrus yang mengusir kehadiran
Yesus dalam hidupnya karena ia adalah seorang berdosa (bdk. Luk, 5:8). Akibat
dosa maka manusia menjadi sarang kediaman setan.159 Dosa juga memutuskan
hubungan antara Allah dan manusia. Manusia membutuhkan pengampunan agar
ia dibebaskan dari dosa. Seorang anak manusia harus menyatukan hidupnya
dengan Kristus sebab dari pada-Nya manusia akan memperolah keselamatan (bdk.
Luk, 1:77).
Sementara itu, tradisi lisan upacara yoye ngi’i menandaskan bahwa
seorang anak gadis yang hendak diinisiasikan seharusnya belum melakukan
hubungan intim dengan seorang laki-laki manapun. Dalam realitas kehidupan,
masyarakat budaya memiliki dua macam tindakan seksual yang dapat
menghilangkan harkat dan martabat seorang anak gadis. Pertama, tindakan
seksual karena dorongan afeksi seksual yang berlebihan. Kedua, karena
kecelakaan (sala peda).160 Hubungan seksual pada masa adolensi dan di luar
inisiasi tersebut menghilangkan hakekat seksualitas itu sendiri. Memang
seksualitas itu selalu terkait dengan status manusia sebagai bagian inti keluarga.161
Namun, pada dasarnya hubungan seksual genital itu tidak boleh dilepaskan dari
komitmen perkawinan, yakni kesediaan untuk setia kepada pasangan dan
tanggung jawab kepada kehidupan atau anak yang adalah buah dari hubungan

158
FX. Wibowo Ardhi, Sakramen Krisma (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hlm. 17.
159
Bosco Da Cunha, Tiga Sakramen Inisiasi (Malang: Dioma, 1991), hlm. 18.
160
Hasil wawancara dengan Sebastianus Sabar Susa, Tokoh Masyarakat dan Tokoh Adat
Oja, pada 29 Desember 2019 di Oja.
161
Paskalis Lina, Moral Pribadi: Pribadi Manusia dan Seksualitasnya (Maumere:
Ledalero, 2017), hlm. 3.
74

seksual itu sendiri.162 Dalam konteks budaya, kehidupan seksual yang dibangun
sebelum upacara yoye ngi’i dapat menghilangkan nilai kesakralan dari upacara
potong gigi tersebut. Jika sebelum melakukan upacara potong gigi, anak gadis
tersebut tidak terlebih dahulu mangakui perbuatannya atau kesalahannya, maka
dalam pelaksanaanya, tua madi (orang pintar) dapat mengetahuinya. Hal ini
ditandai dengan proses pemotongan gigi berjalan tidak lancar dan akan selalu
mengalami hambatan bahkan pada akhirnya dapat mencelakai anak gadis tersebut.
Apabila hal demikian benar-benar terjadi, maka anak beserta keluarganya dikenai
denda adat. Masyarakat Oja menganggap hubungan ini merupakan tabu bagi suku
atau klan dan keluarga.

4.1.1.5 Keduanya Memiliki Forma, Materi dan Simbol

4.1.1.5.1 Forma

Forma dalam upacara penerimaan Sakramen Krisma merupakan suatu


rumusan kalimat baku yang lazim diucapkan oleh Uskup. Pada dasarnya Uskup
menumpangkan tangan ke atas peserta krisma sambil berkata “Terimalah tanda
pemberian Roh Kudus”.163 Penumpangan tangan Uskup merupakan bentuk nyata
pemberian dan pencurahan Roh Kudus kepada krismawan dan krismawati
sehingga mereka menerimanya dengan bebas dan bertanggung jawab untuk hidup
dalam Kristus. Dengan penganugerahan forma tersebut, para krismawan dan
krismawati dituntut untuk menjawab amin. Amin merupakan jawaban
kesiapsediaan untuk menjalankan semua tugas keselamatan seturut konsekuensi
yang diterima dalam Sakramen Penguatan.
Sementara forma dalam ritus yoye ngi’i merupakan bentuk doa adat yang
diucapkan oleh ebu ta’u (om). Bentuk doa adat dalam upacara tersebut berupa
ndeka, yua, tedu, wutu, bhisa. Makna harafiah dari doa adat tersebut adalah satu,
dua, tiga, empat terjadilah. Akan tetapi, makna tersirat dari doa adat ini adalah
meminta penyatuan dengan seluruh elemen kehidupan. Konsep doa adat yang
dibuat dalam upacara ini memuat ada tiga unsur kehidupan manusia. Pertama, esa
(satu) yang melambangkan penyatuan dengan Ngga’e Dewa (Tuhan Allah),

162
Ibid., hlm. 187.
163
FX. Wibowo Ardhi, op cit., hlm. 13.
75

kedua, yua (dua) yang melambangkan penyatuan dengan Nitu (Tuhan penguasa
bumi), dan ketiga, tedu (tiga) yang melambangkan penyatuan dengan ine ame ebu
kajo (leluhur). Sedangkan wutu, bhisa (empat, terjadilah atau amin) merupakan
kata penyatuan dari unsur-unsur kehidupan tersebut yang berarti terjadilah, amin
atau berkatilah.164

4.1.1.5.2 Materi

Materi dasar dalam upacara Sakramen Krisma adalah minyak krisma


(chyrion). Hal ini bertolak dari anggapan bahwa minyak krisma dipakai untuk
menguatkan, menyembuhkan, menyehatkan, melantik atau membuat seseorang
atau sesuatu menjadi khusus dengan tugas yang istimewa.165 Dengan demikian
seseorang yang diurapi dengan minyak krisma secara tidak langsung telah
ditahbiskan untuk bersatu dan dipenuhi oleh Roh Kudus.
Pada prinsipnya pengurapan dengan minyak itu bersifat menguduskan
karena pengurapan itu sendiri berasal dari Yang Kudus. Pengurapan itu
mengajarkan hal-hal yang benar tentang segala sesuatu.166 Oleh karena
pengurapan yang dimeteraikan dengan minyak krisma berasal dari Yang Kudus,
maka dituntut agar setiap orang yang menerimanya tetap tinggal di dalam-Nya.
Kehadiran Roh Kudus menyanggupkan krismawan dan krismawati untuk hidup
sebagai anggota Gereja yang utuh, yaitu melaksanakan segala tugas dan
kewajiban serta konsekuensi yang diterima dalam sakramen tersebut. Dimensi
eklesial dari pengurapan adalah membawa seorang individu untuk memperoleh
tugas jabatan Kristus sebagai imam, nabi dan raja.167
Kesucian dan kekudusan minyak krisma diperoleh dalam sebuah misa
khusus. Misa khusus tersebut disebut sebagai misa krisma. Berdasarkan tradisi
Gereja, misa pemberkatan minyak krisma lazimnya dilaksanakan pada hari Kamis
pagi sebelum misa Kamis Putih. Minyak krisma dikuduskan (dikonsekrasi) pada
saat misa yang dihadiri oleh umat, para imam dan Uskup.168 Berdasarkan

164
Hasil wawancara dengan Zakarian Yos Marsedo, Tokoh Masyarakat dan Tokoh Adat
Oja, pada 28 Desember 2019 di Oja
165
Bernardus Boli Ujan, op. cit., hlm. 23.
166
Ibid., hlm. 24.
167
Ibid.,
168
Ibid., hlm. 26.
76

kebiasaan yang diwariskan Agustinus, para imam berkonselebrasi bersama


Uskupnya dan umat beriman mengambil bagian dalamnya untuk memperlihatkan
kesatuan yang erat dalam tubuh Gereja.169 Misa pemberkatan minyak krisma
tersebut dilaksanakan setahun sekali.
Ada beberapa materi yang digunakan dalam upacara yoye ngi’i: Pertama,
dhadi (batu asah) yang digunakan untuk memotong, menggosok atau mengasah
gigi anak gadis. Kedua, ramuan tradisional yang digunakan untuk merendam batu
asah pada upacara pendinginan alat. Ramuan tersebut diantaranya, wunu yi’a
(daun siri berukuran agak kecil), wunu mici, mboko nee wunu eya. Jenis tanaman
hutan yang digunakan sebagai obat ramuan tradisional ini dicampur dengan air
dalam sebuah wadah kecil (ye’a/toya), setelahnya masuklah batu asah untuk
direndam. Hal ini bermaksud agar batu asah tersebut disteril sehingga pada saat
upacara, gigi anak gadis tidak mengalami infeksi karena terkontaminasi langsung
dengan batu asah tersebut. Ketiga, fi’i kaju yembu (kayu kesambi) yang digunakan
sebagai alat untuk mensterilkan gigi setelah upacara potong gigi selesai. Di
samping itu, materi ini juga digunakan untuk menguatkan kembali gigi anak gadis
yang goyang sewaktu dipotong atau diasah. Sebelum digunakan kayu tersebut
hendaknya dipanaskan terdahulu di bara api atau lebih tepatnya di bawah tungku
api (dasar abu dari tungku). Sebab jika kayu tersebut tidak dipanaskan terlebih
dahulu, maka kayu tersebut tidak ada gunanya dalam pemakaiannya.

4.1.1.5.3 Simbol

Manusia adalah makhluk simbolik. Hal ini mau menegaskan bahwa


banyak tindakan dan perwujudan diri manusia tidak hanya bisa dimengerti secara
lugas, tetapi juga perlu dimengerti sebagai ungkapan simbolik.170 Simbol-simbol
yang dipakai merupakan ungkapan yang mengandung makna lebih dari pada
sekedar yang ditangkap indera. Manusia yang bersifat simbolik nampak jelas
dalam bahasa dan gerak tubuh.
Dalam pelaksanaannya, kedua upacara ini sama-sama mempunyai simbol-
simbol yang dipakai. Secara garis besar Sakramen Krisma memiliki tiga simbol

169
Ibid., hlm. 23.
170
Albertus Heriyanto, “Makna Simbolik Kultus Kargo”, dalam Jurnal Lineal Agama
dan Kebudayaan Vol. 03. No. 01. Oktober 2006. hlm. 29.
77

utama dalam perayaan inisiasi. Pertama, berupa penumpangan tangan Uskup.


Bertolak dari pemahaman Kitab Suci Perjanjian Lama, penumpangan tangan
dapat berarti pengudusan dan menyendirikan orang tertentu (bdk Bil 8:10) serta
pemberian Roh kebijaksanaan (bdk Ul 34:9). Sedangkan dalam Perjanjian Baru,
penumpangan tangan merupakan lambang pemberian dan penerimaan Roh
Kudus.171 Selain itu Perjanjian Baru juga mengenal tindakan penumpangan tangan
sebagai pencurahan Roh Kudus (bdk Kis 8:14-17: 19:1-7).172
Sakramen Pengurapan harus diterimakan kepada semua orang yang sudah
dibaptis. Maka simbol atau ritus penumpangan tangan menjadi unsur pokok dalam
penerimaan Sakramen Penguatan atau Krisma.173 Melalui Sakramen Krisma,
seseorang ditetapkan sebagai milik Allah. Penumpangan tangan menandakan
bahwa Tuhan mempunyai hak atas orang yang bersangkutan.174
Penumpangan tangan sebagai pemberian Roh Kudus berawal dari
peristiwa Pentekosta ketika Yesus menganugerahkan penghibur (Roh Kudus)
seperti yang Ia janjikan kepada para murid-Nya dalam rupa lidah-lidah api (bdk.
Mat, 3:11). Setelah menerima Roh Kudus para rasul dimampukan untuk
mewartakan Injil Tuhan. Kehadiran Roh Kudus tersebut mengafirmasi
kedewasaan iman seseorang dan menyatakan siap untuk menjadi saksi Kristus.
Selain itu, kehadiran Roh Kudus juga menjadi dasar para peserta krisma untuk
melaksanakan tugas dan kewajiban-kewajiban serta konsekuensi-konsekuensi
hidupnya sebagai saksi Kristus.
Kedua, pengurapan minyak krisma. Pengurapan minyak krisma dilakukan
dengan membuat tanda salib pada dahi krismawan atau krismawati. Pembuatan
tanda salib pada dahi ini menandakan bahwa orang yang menerima Sakramen
Krisma diinisiasikan sepenuhnya ke dalam Tubuh Kristus yang penuh semangat.
Kata Kristus berarti ”yang diurapi”.175 Katekismus Gereja Katolik menegaskan
bahwa oleh pengurapan ini, orang yang menerima penguatan menerima tanda

171
J. D. Cricton, op. cit., hlm. 39.
172
E. Martasudjita, op. cit., hlm. 246.
173
L. Prasetya, Persiapan Sakramen Penguatan atau Krisma (Malang: Dioma, 2005),
hlm. 33.
174
Georg Kirchberger, Allah Menggugat Sebuah Dogmatik Kristiani (Maumere:
Ledalero, 2012), hlm. 496.
175
Josep Martos, Sakramen-sakramen Gereja, Krisma (Jakarta: Obor, 1997), hlm. 34.
78

meterai Roh Kudus.176 Pengurapan dengan minyak ini merupakan bentuk nyata
dari perutusan karya misioner. Kendati dalam prakteknya pengurapan minyak
tersebut hanya dibuat dengan mengoleskan minyak kepada krismawan atau
krismawati, ritus ini tetap memiliki makna yang mendalam yaitu, menguatkan,
menugaskan, mengutus dan memberikan krismawan atau krismawati suatu tugas
baru yang sebelumnya tidak pernah dialami.
Ketiga, tepuk pada pipi penerima sakramen. Tepuk pada pipi seorang
krismawan atau krismawati merupakan satu simbol penting dalam upacara
penerimaan Sakramen Krisma. Kendati nampaknya sederhana, tetapi ia memiliki
makna yang sangat berarti. Upacara tersebut biasanya dilakukan oleh Uskup atau
imam yang dipercayakan oleh Uskup untuk membantunya. Hal ini melambangkan
penguairan roh jahat atau kekuatan jahat dan menjadi saksi Kristus. Di samping
itu, upacara memberikan semangat kepada krismawan untuk sungguh menghayati
dan menerima tugas perutusan sebagai saksi Kristus dengan mantap dan berani.
Sementara itu, ritus yoye ngi’i memiliki tiga simbol khusus dalam upacara
potong gigi. Pertama, wesa/poke ngi’i dako. Wesa/poke ngi’i dako merupakan
tindakan melemparkan bulir-bulir beras kepada hewan korban (babi) yang akan
disembelih. Proses pelemparan bulir-bulir beras tersebut melambangkan sebuah
bentuk permohonan kepada tiga unsur kehidupan (Wujut Tertinggi, nenek
moyang dan nitu) agar memberkati upacara potong gigi. Hal ini dilakukan pada
tahap awal sebelum memasuki upacara inti potong gigi. Peristiwa ini hampir
serupa dengan doa pembuka dalam upacara penerimaan Sakramen Krisma. Doa
pembuka yang dilantunkan pada awal upacara Sakramen Krisma merupakan
tindakan permohonan akan penyertaan dan keterlibatan Allah dalam seluruh
rangkaian upacara inisiasi Sakramen Krisma. Di samping itu, makna pemberkatan
hewan korban ini juga hampir mirip dengan proses memberkati umat beriman
dengan mereciki air berkat. Proses mereciki air berkat kepada umat beriman
bertujuan agar umat beriman dapat disucikan.
Kedua, pasi gaci ndeka, yua, tedu, wutu bhisa. Simbol ini merupakan
tindakan mengayunkan sebilah pisau oleh om ke atas gigi anak gadis yang hendak
dipotong. Pasi gaci (doa adat) yang ditampilkan dalam budaya Oja berupa
176
Kongregasi Ajaran Iman. Katekiskus Gereja Katolik. penerj. Herman Embuiru (Ende:
Arnoldus, 1998), hlm. 330.
79

hitungan mulai dari angka satu, dua tiga dan empat terjadilah atau amin. Konsep
pemahaman masyarakat budaya terhadap doa adat ini identik dengan praktik tanda
salib dalam Gereja Katolik, seperti dalam nama Bapa, dan Putra dan Roh Kudus,
Amin. Tanda kemenangan Kristus yang dilakukan umat menandai dan membuka
seluruh rangkaian upacara keagamaan. Sementara paci gaci merupakan tanda
salib dari perspektif budaya guna membuka seluruh rangkaian upacara adat.
Ketiga, pake keto kondo merupakan simbol mengenakan pakaian adat.
Busana atau pakaian adat tersebut melambangkan kedewasaan. Orang yang
mengenakan busana ini sesungguhnya sudah memiliki hak dan kewajiban dalam
pelaksanaan upacara adat. Kelengkapan dalam berbusana adat menandai bahwa ia
juga sudah siap untuk dipinang. Hal ini hampir serupa dengan upacara menerima
Tubuh dan Darah Kristus yang melambangkan penegasan akan kelayakan
seseorang beriman dalam pelaksanaan keselamatan. Tubuh dan darah Kristus
menandai bahwa seseorang yang menerimanya itu sudah dewasa dalam iman,
sehingga ia patut untuk berpartisipasi dalam karya misioner Gereja. Keempat,
dhoga weti bako melambangkan bahwa anak gadis sudah siap untuk memberi diri
demi melayani banyak orang. Pelayanan yang diberikan tidak hanya bagi anggota
keluarga inti saja, tetapi juga bagi semua masyarakat budaya setempat.

4.1.1.6 Keduanya Memiliki Mekanisme Upacara

4.1.1.6.1 Persiapan

Keduanya sama-sama memiliki tahap-tahap persiapan sebelum melangkah


ke tahap inti perayaan inisiasi. Tahapan persiapan ini menjadi sangat penting
karena ia akan membawa individu-individu yang terlibat ke dalam pemahaman
akan suatu konsep upacara yang mendalam dan luas mengenai arti, makna dan
tujuan upacara inisiasi tersebut. Unsur yang berperan penting dalam persiapan
seorang calon krisma adalah lembaga Gereja. Peran pertama dan utama pejabat
Gereja adalah memberikan katekese iman dengan membangkitkan minat kepada
iman kristiani dan kerinduan untuk masuk dan terlibat sebagai anggota
persekutuan gerejani.177 Dalam kegiatan ketekese tersebut, para calon krisma

177
Bosco Da Cunha, op. cit., hlm 28
80

diajak untuk mengikatkan diri pada kewajiban untuk mendengarkan Sabda Allah,
turut dalam doa bersama dan terlibat dalam hidup bersama.
Tahapan persiapan (katekese) dalam Sakramen Krisma dapat
dikategorikan sebagai bentuk dari pastoral liturgi. Pada hakekatnya, pastoral
liturgi tidak semata-mata memfokuskan pada kerigma atau pewartaan kebenaran
iman tetapi sebagai katekese mistagogi. Katekese mistagogi lebih bertujuan untuk
membina dan membimbing umat kepada pengertian yang lebih baik tentang
misteri iman kristiani.178 Seperti halnya ditegaskan oleh Bosco Da Cunha dalam
bukunya yang berjudul Tiga Sakramen Inisiasi bahwa seseorang yang telah
melewati tahap awal persiapan (katekese) akan beralih pada masa katekumenat.
Masa katekumenat bukanlah persiapan untuk menerima sakramen-sakramen
inisiasi, tetapi lebih pada pematangan progresif dalam hal hidup sebagai orang
kristen.179 Pada prinsipnya, tahapan persiapan dalam penerimaan Sakramen
Krisma hanya memiliki satu tujuan akhir yakni membawa semua orang untuk
mencapai kesatuan yang lebih erat dan intim dengan Kristus melalui bimbingan
Roh Kudus.
Sementara itu, pihak yang berperan penting dalam tahap persiapan ritus
yoye ngi’i adalah orangtua dan keluarga anak gadis. Dalam budaya masyarakat
Oja ada dua bentuk persiapan yang mesti dilakukan oleh orangtua dan keluarga.180
Pertama, persiapan moral anak gadis. Dalam persiapan ini, orangtua sejak dini
menanamkan nilai-nilai budaya yang berkaitan dengan upacara potong gigi
kepada anak gadis. Hal ini hendak menujukkan bahwa dalam peziarahan hidup,
anak gadis harus memperhatikan nilai-nilai budaya dan menjaga tubuhnya agar
tetap sakral untuk mengikuti upacara potong gigi.
Kedua, tahap persiapan materi, sarana dan prasarana yang dibutuhkan
dalam upacara potong gigi dan waktu pelaksanaan. Materi yang mesti disiapkan
oleh orangtua dan keluarga adalah semua alat-alat dan ramuan yang dibutuhkan
dalam upacara tersebut. Sementara persiapan sarana dan prasarana ialah
menyiapkan makanan dan minuman serta semua perlengkapan untuk memberi

178
Antonius Martinus Tangi, ”Liturgi Pastoral” (Bahan Ajar STFK Ledalero, Maumere,
2015), hlm. 6.
179
Bosco Da Cunha, op cit., hlm. 29.
180
Hasil wawancara dengan Sebastianus Sabar Susa, Tokoh Masyarakat dan Tokoh Adat
Oja, pada 29 Desember 2019 di Oja.
81

makan kepada anggota klan atau suku yang hadir dalam menyaksikan upacara
potong gigi anak gadis. Di samping itu, orangtua juga mempersiapkan waktu yang
tepat untuk melakukan upacara potong gigi tersebut. Ketika orangtua telah
melihat tanda-tanda peralihan atau masa adolansi pada anak gadis mereka, maka
mereka mulai merencanakan waktu yang tepat untuk upacara tersebut.

4.1.1.6.2 Pelaksanaan

Inisasi menjadi salah satu bagian wajib dalam sebuah kelompok atau
lembaga kehidupan, entah itu dari pihak Gereja maupun pihak adat (budaya).
Sebagai upacara yang wajib bagi anggotanya, maka kegiatan inisiasi harus
dirayakan dalam suatu moment. Peristiwa inisiasi (Baptis, Krisma dan Ekaristi)
merupakan peristiwa besar dan menjadi satu kesatuan sehingga perlu dirayakan.181
Begitu pula dengan ritus yoye ngi’i pada masyarakat Oja. Proses pelaksanaan
dalam kedua upacara ini pada prinsipnya sama-sama memiliki beberapa tahap
yang mesti dilalui.
Pertama, keduanya sama-sama dirayakan dalam suatu moment khusus.
Perayaan Sakramen Krisma dilaksanakan dalam perayaan Ekaristi (Misa).
Namun, penerimaan Sakramen Krisma lebih dikhusukan pada saat setelah liturgi
sabda atau sebelum doa umat. Sementara ritus yoye ngi’i dilaksanakan dalam
suatu upacara adat peralihan. Upacara adat peralihan ini dilakukan dengan tujuan
untuk mendewasakan seseorang secara budaya. Hal ini berarti bahwa upacara ini
memungkinkan seorang anak gadis untuk menerima hak dan kewajiban sebagai
masyarakat budaya.
Kedua, keduanya sama-sama diantarkan oleh wali atau pendamping.
Dalam penerimaan Sakramen Krisma, calon krisma diantar oleh wali-krisma ke
hadapan Allah yang ditampilkan melalui wakil-Nya, yaitu Uskup dan para imam.
Hal ini bermaksud agar calon krisma mendapat kekuatan dan pencurahan Roh
Kudus yang diterimanya melalui pengurapan minyak krisma dan penumpangan
tangan Uskup. Sedangkan dalam ritus yoye ngi’i, seorang anak gadis diantar oleh
walinya, orangtua dan pendamping lainnya. Wali dalam upacara ini adalah ebu
ta’u (om dan tanta). Hal ini melambangkan dukungan dan kasih sayang orangtua
181
Alosius Soenarto, dkk., Katekese Bagi Calon Krisma (Yogyakarta: Kanisius, 2002),
hlm. 82.
82

serta keluarga kepada mereka. Selain itu, kehadiran pihak-pihak ini secara tidak
langsung turut memberikan dukungan dan kekuatan kepada anak gadis untuk
menghadapi dan mengalami upacara potong gigi sehingga dia tidak merasa takut.
Ketiga, inti perayaan. Penerimaan Sakramen Penguatan berpuncak pada
pencurahan Roh Kudus, seperti para rasul yang dicurahi Roh Kudus pada
peristiwa Pentakosta. Pencurahan karunia Roh Kudus kepada para calon bertujuan
agar mereka menjadi lebih serupa dengan Kristus dan dikuatkan sehingga mereka
dapat memberikan kesaksian tentang Kristus demi pembangunan jemaat dalam
iman dan kasih.182 Sarana pencurahan Roh Kudus ini dapat dialami melalui
pembaharuan janji baptis, penumpangan tangan dan pengurapan dengan minyak
krisma.183
Sementara inti dari perayaan ritus yoye ngi’i adalah upacara potong gigi
atau meratakan gigi. Proses meratakan gigi pada anak gadis merupakan simbol
utama dari keseluruhan rangkaian upacara ini. Bahwasanya pada tahap ini seorang
anak gadis sudah dikatakan sebagai anggota klan atau suku yang sah sehingga
masa adolensinya sebagai anak-anak sudah berakhir dan beralih kepada masa
dewasa, yaitu sebuah masa di mana anak gadis tersebut sudah siap memberi diri
untuk dilayani dan melayani semua orang tanpa terkecuali.
Keempat, upacara makan bersama atau perjamuan bersama. Dari
pengalaman hidup sehari-hari, acara yang mempersatukan bahkan menjadi puncak
pertemuan seluruh anggota keluarga dan komunitas adalah acara makan bersama.
Dengan makan bersama, tumbuhlah rasa persaudaraan dan keakraban seluruh
anggota komunitas. Puncak perjamuan Krisma adalah perayaan Ekaristi karena
dalam Ekaristi seluruh misteri kehidupan bersama dengan Allah dan manusia
mengalami kepenuhannya dalam Kristus.184 Oleh sebab itu, perayaan Ekaristi
menjadi sumber dan puncak seluruh kehidupan umat beriman. Perayan Ekaristi
merupakan perjamuan bersama untuk mengenang kembali perjamuan Paskah
Tuhan, yaitu pemecahan roti dan minum anggur sebagai lambang Tubuh dan
Darah Kristus. Sebagai saksi Kristus yang sejati, setiap pribadi hendaknya hidup
dalam kasih Tuhan. Tubuh dan darah Kristus memampukan manusia unuk

182
J. D. Cricton, op cit hlm. 91.
183
F. X Didik Bagiyowinadi, op. cit., hlm. 64.
184
E. Martasudjita, op cit., hlm. 266.
83

menyatukan hidupnya dengan Allah sebagai anggota tubuh Gereja. Dikatakan


bahwa dalam membagikan roti dan meminum darah Kristus ini, maka Kristus
yang bangkit sendiri meneguhkan kesatuan di antara mereka serta memenuhi
mereka dengan segala berkat surga.185
Perjamuan bersama dalam ritus yoye ngi’i pada dasarnya memuat dua buah
model yang lazimnya dipraktekkan dalam acara adat. Pertama, tu pa’a ne’e tedha
ka. Konsep ini merupakan upacara makan bersama yang diberikan (sesajian)
kepada leluhur. Pemberian sesajian ini sesungguhnya bertolak dari pandangan
bahwa makanan yang diletakkan secara terpisah dalam sebuah piring akan diambil
oleh mereka yang tidak dapat dilihat (transenden) seperti leluhur dan nitu serta
kosmos. Hal ini bermaksud agar mereka yang transenden ini hadir dan terlibat
aktif serta memberkati seluruh rangkaian upacara adat itu. Kedua acara ka mbo’a
meye. Hal ini berarti bahwa perjamuan bersama ini dilakukan dengan memberikan
makan kepada seluruh anggota keluarga, suku atau klan anggota kampung yang
hadir pada acara itu.
Kelima, perutusan ke tengah jemaat atau masyarakat. Pada perayaan
Ekarsti, sebelum pulang biasanya imam atau pemimpin mengakhirinya dengan
perutusan. Dalam upacara penerimaan Sakramen Krisma, pada akhir perayaan
Ekaristi imam akan mengucapkan ”pergilah, kita sekalian diutus”. Memang
penggalan kalimat ini amat sederhana, tetapi memiliki kekayaan makna yang
tegas dan mendalam. Berkat perutusan ini pada dasarnya tidak hanya dikhususkan
bagi para krismawan/i, tetapi juga bagi semua umat beriman yang hadir pada
perayaan itu. Akan tetapi, khusus bagi krismawan/i setelah menerima pelantikan
menjadi seorang pribadi yang dewasa dalam iman, maka dengan berkat perutusan
ini ia harus hidup sebagai saksi Kristus dan mewartakan karya keselamatan
kepada dunia.
Sementara berkat perutusan dalam ritus yoye ngi’i berupa wejangan adat
dari pihak ebu ta’u (om dan tanta). Om dan tanta menitipkan pesan-pesan adat
demi kebaikan dan keberlangsungan anak gadis. Selain itu, dalam acara ini
orangtua juga melimpahkan wewenang adat kepada om dan tanta yang berkaitan
dengan kehidupan anak gadis.

185
Loc cit.,
84

4.1.1.7 Keduanya Merupakan Perayaan Bersama

Penerimaan Sakramen Krisma selalu dirayakan bersamaan dengan


Ekaristi. Perayaan Ekaristi adalah puncak iman kristiani, maka semua umat
beriman dituntut untuk ambil bagian dalam perayaan tersebut karena pada
dasarnya perayaan ini merupakan perayaan bersama. Secara detail pihak-pihak
yang terlibat dalam perayaan ini adalah keluarga, para pejabat Gereja (Uskup dan
imam), para pembantu yang melancarkan kegiatan ini dan semua umat beriman.
Kehadiran dan keberadaan mereka ini turut membantu dan memberikan dukungan
kepada para krismawan/i agar siap dan berani menjadi saksi Kristus.
Sama halnya dengan pelaksanaan Sakramen Krisma, pelaksanaan ritus
yoye ngi’i juga merupakan perayaan komunal. Sebagai perayaan adat, yoye ngi’i
melibatkan banyak orang. Mereka yang terlibat dalam acara ini adalah keluarga
inti, anggota suku atau klan, keluarga om dan tanta (ine ame ebu ta’u) dan semua
masyarakat kampung. Kehadiran mereka adalah fundamental karena mereka
berperan sebagai saksi dari inisiasi seseorang menjadi anggota sebuah kelompok
sosial tertentu. Melalui upacara ini, seorang anak gadis diinisiasikan menjadi
pribadi yang dewasa secara adat dan boleh menerima hak dan kewajiban sebagai
anggota budaya lainnya.

4.1.1.8 Keduanya Memiliki Kurban

Jika ditinjau dari aspek kurban, maka keduanya sama-sama memiliki


korban. Korban dalam perayaan Ekaristi umumnya dan penerimaan Sakramen
Krisma khusunya adalah Yesus Kristus sang Imam Agung. Dalam perayaan
Ekaristi, Yesus Kristus adalah satu-satunya pemimpin perayaan dan sekaligus
korban itu sendiri.186 Yesus mengorbankan diri-Nya demi keselamatan umat
manusia. Satu-satunya korban Perjanjian Baru ialah kurban Kristus yang
mempersembahkan diri sebagai kurban tak bernoda kepada Bapa.
Yesus merupakan Anak Domba Allah yang telah disembelih demi
melaksanakan karya penebusan umat manusia. Pada prinsipnya kurban tidak
dipisahkan dari sakramen, melainkan dinyatakan sebagai kurban sakramental

186
Cristologus Dhogo, Su’i Uwi: Ritus Budaya Ngada dalam Perbandingan dengan
Sakramen Ekaristi (Maumere: Ledalero, 2009), hlm. 209.
85

yang mengaktualkan satu-satunya kurban Perjanjian Baru yaitu kurban salib.187


Pengorbanan diri Yesus sesungguhnya memenuhi segala rencana Allah. Secara
teologis, Yesus yang mewartakan karya keselamatan dan Kerajaan Allah,
merupakan Yesus sungguh-sungguh Allah dan sungguh-sungguh manusia. Ketika
mempersembahkan korban, Dia mengorbankan diri-Nya dengan menumpahkan
darah-Nya di kayu salib demi keselamatan semua orang.188
Korban dalam ritus yoye ngi’i adalah anak gadis itu sendiri. Dia
memberikan diri untuk diikrarkan ke dalam budaya setempat. Namun korban
pemberian diri ini sesungguhnya diwujudnyatakan melalui hewan kurban. Hewan
kurban ini dijadikan sebagai persembahan kepada leluhur sehingga mereka
mendapat restu dan berkat dari leluhur dan Allah yang mereka imani. Tanpa
adanya restu dan berkat dari leluhur upacara ini menjadi tidak berfaedah sama
sekali bagi keberlangsungan hidup anak gadis. Dengan kata lain, ritus ini juga
merupakan sebuah cara membangun relasi manusia yang hidup dengan nenek
moyang.

4.1.1.9 Keduanya Memiliki Aktus Pengakuan akan Adanya Yang Transenden

Setiap kegiatan yang dirayakan dalam suatu kelompok pada hakekatnya


mengajak orang untuk merefleksikan kehidupannya. Setiap orang diajak untuk
kembali kepada asal muasalnya yaitu kepada (sub)klan asalnya dan kepada
Penyelenggara Kehidupan.189 Upacara penerimaan Sakramen Krisma dan ritus
yoye ngi’i adalah perayaan untuk mengalami yang transenden yang tidak lain
adalah tujuan dan sumber kehidupan.
Perayaan iman yang dirayakan dalam upacara Sakramen Krisma adalah
salah satu pengakuan akan adanya Yang Transenden yang adalah Allah.
Sementara itu, dalam ritus yoye ngi’i masyarakat Oja mengakui dan percaya akan
adanya Yang Transenden itu diwujudnyatakan melalui Ngga’e Dewa, roh nenek
moyang dan nitu.
Seluruh kehidupan manusia di dunia profan merupakan berkat yang
diterimanya dari Yang Transenden sendiri. Mereka percaya dan mengakui bahwa

187
J. B. Banawiratma, op cit., hlm. 131-132.
188
Loc cit.,
189
Cristologus Dhogo, op cit., hlm. 80.
86

Yang Transenden atau Allah itu selalu hadir dalam seluruh peziarahan dan
pengalaman hidup manusia, hal ini ditegaskan oleh Harvey H. Potthoff bahwa
Allah memanggil manusia untuk tumbuh dan mencapai tujuan hidupnya,
mengatasi kesulitan hidup, menjelajahi hal-hal yang tidak diketahui.190
Keberadaan dan kehadiran-Nya di dunia ini melampaui ruang dan waktu, Ia hadir
untuk menyertai dan menuntuk peziarahan hidup umat manusia. Pengakuan akan
eksistensi yang transenden dapat dilihat dalam perayaan-perayaan baik budaya
maupun agama seperti Sakramen Krisma dan yoye ngi’i.

4.1.2 Perbedaan Ritus Yoye Ngi’i dengan Sakramen Krisma

4.1.2.1 Ruang Lingkup Inisiasi

Pada dasarnya upacara Sakramen Krisma dan ritus yoye ngi’i merupakan
sarana yang menginisiasikan seseorang ke dalam salah satu kelompok. Namun,
keduanya memiliki perbedaan mendasar dalam ruang lingkup. Ruang lingkup
pelaksanaan dan penerimaan upacara Sakramen Krisma lebih luas cakupannya,
yaitu Gereja universal. Hal ini bertolak dari pemahaman Gereja tentang sakramen,
yaitu suatu tanda pemberi rahmat atau lambang serta sarana keselamatan bagi
umat manusia.191 Sakramen sebagai lambang keselamatan ini merupakan buah
kurban penyelamatan Yesus di salib. Dengan kata lain, sakramen merupakan
rencana keselamatan Allah yang diwujudkan dalam diri Yesus.
Konsili Vatikan II dalam Konstitusi Dogmatis tentang Gereja (Lumen
Gentium [LG]) nomor 11 menyebutkan bahwa Sakramen Krisma ialah wujud
konkrit sakramentalis Gereja dalam kehiduapan sehari-hari. Essensi dari
Sakramen Krisma ialah mendewasakan iman umat sehingga mereka mampu hidup
dalam Kristus sebagai sarana keselamatan yang utama. Berkat Sakramen
Penguatan seseorang dianugerahkan kekuatan Roh Kudus yang
menyanggupkannya untuk menyebarluaskan dan membela iman sebagai saksi
Kristus yang sejati dengan perkataan maupun perbuatan.192 Dengan demikian,
Sakramen Krisma memiliki cakupan lebih luas yakni bagi semua orang katolik.

190
Harvey H. Potthoff, God and the Celebration of Life (New York: Rand McNally and
Compani, 1969), hlm. 59.
191
J. B. Banawiratma, op. cit., hlm. 11.
192
Konsili Vatikan II, loc. cit.
87

Sementara itu, ruang lingkup pelaksanaan ritus yoye ngi’i memiliki


cakupan yang lebih sempit daripada Sakramen Krisma. Hal ini tampak dalam
pelaksanaan ritus ini yang berskala lokal karena hanya dipraktikan dalam wilayah-
wilayah tertentu saja. Dalam arti bahwa ritus ini dilaksanakan hanya pada
kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki atau menganut ritus yoye ngi’i
saja.

4.1.2.2 Tempat dan Waktu Pelaksanaan

4.1.2.2.1 Tempat Upacara Pelaksanaan

KHK kanon 881 menyebutkan bahwa Sakramen Penguatan umumnya


dirayakan dalam Gereja atau pada tempat lain yang layak dan telah dipersiapkan
dengan baik, dan khususnya dalam perayaan Ekaristi.193 Sementara itu, tempat
pelaksanaan upacara yoye ngi’i adalah rumah tetangga dan harus pada tempat
yang terpisah dari rumah orang tua.
Hal ini dilakukan sesuai dengan paradigma kebudayaan masyarakat Oja
bahwa rumah tetangga adalah simbol tersirat tentang kepemilikan masyarakat
umum. Artinya, rumah tetangga yang dipakai merupakan lambang persekutuan
anggota keluarga, suku atau klan dan masyarakat umum.

4.1.2.2.2 Waktu Pelaksanaan

Waktu perayaan sakramen-sakramen inisiasi Sakramen Krisma hendaknya


dirayakan pada hari Minggu.194 Namun, peneriman Sakramen Krisma tidak
diwajibkan untuk selalu diselenggarakan pada hari Minggu. Waktu pelaksanaan
Sakramen Krisma dalam suatu wilayah keUskupan ditentukan oleh Uskup sebagai
ordinaris wilayah. Hal ini melihat kebutuhan dan kesiapan iman umat untuk
menerimanya. Bersamaan dengan itu, pemberian Sakramen Krisma di setiap
wilayah (paroki) hendak menegaskan kunjungan episkopalnya ke wilayah
tersebut.
Waktu pelaksanaan upacara yoye ngi’i biasanya dilakukan pada pagi hari
sekitar jam 7-10 am. Apabila waktu pelaksanaanya di luar waktu yang telah

193
Gereja Katolik, op. cit., hlm. 251.
194
Bosko Da Cunha, op cit., hlm. 39.
88

ditetapkan ini, maka masyarakat menganggapnya haram/pemali (piye). Hal ini


bertolak dari kepercayaan dan keyakinan masyarakat Oja bahwa acara yang
dilaksanakan pada siang hari tidak direstui oleh leluhur. Sebab pada waktu itu
diyakini bahwa jiwa-jiwa para leluhur sudah kembali kepada “keabadian”.
Namun, ketika malam tiba jiwa-jiwa leluhur ini kembali manghampiri anggota
keluarganya. Dalam pandangan masyarakat Oja, malam selalu diidentikkan
dengan segala sesuatu yang jahat sehingga tidak dibolehkan untuk melakukan
upacara ini.

4.1.2.3 Pemimpin Perayaan

Setiap upacara dalam suatu kelompok masyarakat, baik upacara


keagamaan maupun adat pada dasarnya selalu memiliki seorang pemimpin utama.
Pemimpin utama dalam Sakramen Krisma adalah kaum hirarki tertahbis yaitu,
Uskup dan para imam. Kekhasan hierarki tertahbis ini terletak dalam hubungan
dengan Kristus sebagai gembala dan kepala umat-Nya. Sebagai pejabat Gereja,
Uskup dan imam merupakan tanda pribadi Kristus (in persona Christi).195
Dengan demikian, Uskup dan imam memperoleh suatu jabatan khusus atau
kekudusan istimewa sehingga secara otomatis dibedakan dari umat. Jabatan
khusus dan kekududan istimewa ini diperoleh dalam Sakramen Tahbisan. Melalui
Sakramen Tahbisan, Uskup dan imam disanggupkan untuk bertindak atas nama
Kristus.196 Hal ini pun telah diajarkan secara tegas oleh teolog gereja, yakni Petrus
Lombardus bahwa dengan tahbisan seorang Uskup dan imam diserahkan kuasa
dan tugas pelayanan Gereja.197
Sementara pemimpin utama dalam upacara yoye ngi’i adalah kaum awam
terbaptis, dalam hal ini adalah ebu ta’u. Kepemimpinan yang dianut oleh ebu ta’u
merupakan simbol perpanjangan tangan dari leluhur sehingga dalam
pelaksanaannya leluhur dapat merestui dan memberkati upacara tersebut. Selain
itu, upacara yoye ngi’i juga dibutuhkan ata madi (orang pintar). Mereka
merupakan kaum awan terbaptis yang tidak ditahbiskan, tetapi karena
keterampilan dan keahlian dalam bidang ini, maka mereka dikukuhkan secara adat

195
Georg Kirchberger, op cit., hlm. 614.
196
Ibid., hlm. 617.
197
J. B. Banawiratma, op cit., hlm. 149.
89

sebagai pemimpin resmi. Pengukuhan ata madi ini merupakan rujukan bersama
dari lembaga masyarakat adat, keluarga dan ebu ta’u. Namun, yang menjadi
pemimpin utama dalam ritus yoye ngi’i ialah ebu ta’u karena dia merupakan orang
yang berhak untuk membuka seluruh rangkaian upacara.

4.2 Sikap Gereja Katolik dalam Konsili Vatikan II terhadap Kebudayaan


Lokal

Gereja sebagai lembaga agama selalu berusaha untuk memperbarui


dirinya. Pembaharuan dalam tubuh Gereja dilaksanakan sebagai hasil dari konsili-
konsili yang diterangi dan dibimbing langsung oleh Roh Kudus. Gereja berusaha
mengevaluasi, menilai dan menentukan arah hidup yang baru. Salah satu
keberhasilan Gereja pasca Konsili Vatikan II adalah adanya perubahan dalam
sikap Gereja yang semakin membuka dirinya terhadap dunia.198 Salah satu tanda
keterbukaan terhadap dunia itu tampak dalam penerimaannya terhadap budaya-
budaya lokal.199
Konsili Vatikan II dalam Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia
Dewasa Ini (Gaudium et Spes [GS]) nomor 53 menegaskan bahwa sikap terbuka
Gereja terhadap dunia melalui penerimaan budaya ke dalam tubuhnya ini bertolak
dari kesadarannya bahwa penolakan terhadap budaya sama artinya dengan
penolakan terhadap manusia yang menghidupi budaya-budaya tersebut. Kodrat
manusia di dunia merupakan cerminan wajah Allah (imago Dei). Sebagai Imago
Dei, manusia dapat mencapai kepenuhan kemanusiaannya yang sejati dengan
Allah melalui kebudayaan.200 Gereja mendefenisikan kebudayaan sebagai berikut:
Segala sarana dan upaya manusia untuk menyempurnakan dan
mengembangkan pelbagai bakat pembawaan jiwa raganya. Ia berusaha
menguasai alam semesta dengan pengetahuan maupun jerih payahnya. Ia
menjadikan kehidupan sosial, dalam keluarga maupun dalam seluruh
masyarakat lebih manusiawi melalui tata susila dan lembaga-lembaga.201
Gereja pasca Konsili Vatikan II menampilkan wajah barunya, yaitu suatu wajah
yang penuh persahabatan dan keterbukaan dengan agama serta kebudayaan-
kebudayaan yang berbeda. Gereja tidak lagi hidup dalam pemahamannya yang

198
Cristologus Dhogo, op cit., hlm. 148.
199
Loc cit.,
200
Konsili Vatikan II, op. cit., hlm. 594.
201
Loc cit.,
90

sempit tentang keselamatan. Pada hakekatnya keselamatan yang diterima manusia


tidak hanya berasal dari Gereja, tetapi juga berasal dari agama-agama tradisional
karena keselamatan itu bersifat universal.
Dalam Pernyataan tentang Hubungan Gereja dengan Agama-Agama
Bukan Kristen (Nostra Aetate) sebagaimana dikutip oleh Cristologus Dhogo
menyebutkan bahwa kebudayaan dan agama lain mengandung benih-benih Sabda
Allah.202 Dalam kebudayaan terdapat suatu kesadaran tentang peran dan karya
Wujud Tertinggi dalam setiap peristiwa-peristiwa hidup manusia. Hal ini
menunjukkan bahwa Allah hadir melalui agama dan kebudayaan yang diyakini
sebagai jembatan penghubung dengan kekuatan Yang Transenden. Kehadiran dan
keterlibatan Allah dalam kehidupan manusia ini sesungguhnya membawa suatu
tujuan utama, yaitu Allah menghendaki semua umat-Nya diselamatkan. Hal ini
diperkuat dalam Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini
(Gaudium et Spes [GS]) nomor 58 menegaskan bahwa:
Sebab Allah, yang mewahyukan diri-Nya sepenuhnya dalam Putra-Nya
yang menjelma, telah bersabda menurut kebudayaan yang khas bagi
pelbagai zaman. Begitu pula Gereja, yang dalam sepanjang zaman hidup
dalam pelbagai situasi, telah memanfaatkan sumber-sumber aneka
budaya, untuk melalui pewartaan menyebarluaskan dan menguraikan
pewartaan Kristus kepada semua bangsa, untuk menggali, makin
menyelami, serta untuk mengungkapkan secara lebih baik dalam perayaan
liturgi. Sekaligus juga Gereja, yang diutus kepada semua bangsa dari
segala zaman di daerah mana pun, tidak terikat secara eksklusif tidak
terceraikan kepada suku atau bangsa mana pun, kepada corak hidup yang
khas mana pun, kepada adat istiadat, entah yang lama maupun yang baru.
Seraya berpegang pada tradisinya sendiri, pun sekaligus menyadari
perutusannya yang universal, Gereja mampu menjalin persekutuan dengan
pelbagai kebudayaan. Dengan demikian, baik Gereja sendiri maupun
kebudayaan diperkaya.203
Gereja menyadari bahwa dalam kebudayaan terdapat sinar kebenaran yang
memantulkan cahayanya bagi manusia. Hal ini bertolak dari pemahaman bahwa
sebelum Gereja masuk, masyakat terlebih dahulu menghayati iman mereka kepada
Yang Transenden melalui pola tingkah laku dan tata aturan yang sudah lama
melekat dalam kebudayaan tersebut. Penerimaan nilai-nilai budaya ke dalam
Gereja memungkinkan terjadinya proses inkulturasi.

202
Cristologus Dhogo, op cit., hlm. 149.
203
Konsili Vatikan II, op. cit., hlm. 600.
91

4.3 Inkulturasi Yoye Ngi’i ke dalam Sakramen Krisma sebagai Litugi


Penerimaan Krisma yang Inkulturatif

Term inkulturasi berasal dari Bahasa Latin yaitu in dan cultura. In yang
berarti dalam dan cultura berarti budaya. Dengan demikian inkulturasi berarti
masuk ke dalam suatu wilayah dan tinggal serta menetap dalam kebudayaan
tersebut.204 Konsep inkulturasi dalam lingkungan Gereja pertama kali
diperkenalkan pada tahun 1973 oleh G. L. Barney dalam bidang misiologi dan
bukan dalam bidang liturgi. G. L. Barney mengatakan bahwa di tanah misi, nilai-
nilai Injil yang adibudaya dan yang hendak diwartakan kepada orang-orang
setempat haruslah terlebih dahulu diinkulturasikan ke dalam kebudayaan
masyarakat sehingga dapat membentuk suatu kebudayaan baru yang bersifat
Kristen.205 Secara khusus istilah inkulturasi ini dipakai dalam bidang katekese
ketika pada tahun 1975 oleh para anggota sidang umum Serikat Yesus.206
Dalam arti yang lebih luas, inkulturasi adalah sejenis penyesuaian dan
adaptasi kepada masyarakat, kelompok umat, kebiasaan, bahasa dan perilaku yang
biasa yang terdapat pada suatu tempat.207 Hal ini ditegaskan oleh Paus Benediktus
XV dalam Ensikliknya Maximum Ilud bahwa seorang pembawa karya misioner
harus menahan diri dalam semangat nasionalismenya sembari mewartakan Injil
Tuhan.208 Hal ini berarti bahwa seorang misionaris diharapkan agar masuk ke
dalam kehidupan budaya setempat dan melakukan adaptasi dan inkulturasi di
tempat mereka berkarya sehingga pesan (pewartaan) Injil dapat diterima oleh
orang-orang yang belum mengimani Kristus. Proses inkulturasi ini merupakan
sarana untuk membawa masyarakat budaya memahami dan mengalami kasih
Allah. Sebagaimana ditegaskan oleh Banawiratma dalam bukunya Menjernihkan
Inkulturasi: dalam Inkultutasi Bina Liturgi 1 bahwa warta kristiani harus berakar
dalam kebudayaan setempat. Para pewarta tidak hanya memberi kepada, tetapi
juga menerima dari kebudayaan setempat yang menerima Injil. Inkulturasi terjadi

204
A. Soenarja, inkulturasi (Yogyakarta: Kanisius, 1997), hlm. 41.
205
Bernadus Boli Udjan dan Georg Kirchberger (ed.), Liturgi Autentik dan Relevan
(Maumere: Ledalero, 2006), hlm 10-11
206
Anscar J. Chupungco, Liturgical Inkulturation: Sacramentals, Religiosity and
Chatechesis (Minesota: The Liturgical Press Collegeville, 1992), hlm. 27.
207
Anicentius B. Sinaga, Gereja dan Inkulturasi (Yogyakarta: Kanisius, 1984), hlm. 8.
208
Ibid., hlm. 28.
92

kalua hidup orang beriman digerakan oleh Roh Kudus untuk menjadi pelayan Injil
dengan mewartakan serta menyaksikan Kristus sebagai penyelamata semua orang
bersama kebudayaan mereka. Inkulturasi memampukan orang beriman untuk
berdialog dengan kebudayaan setempat, tidak hanya berbicara kepada, tetapi juga
berbicara dengan orang-orang setempat mengenai hidup dan kebudayaanya.209
Proses inkulturasi yang nyata dapat ditemukan dalam ritus yoye ngi’i.
Ritus ini dapat diinkultiurasiakn ke dalam Sakramen Krisma. Beriman kepada
Yesus Kristus itu mesti ditumbuhkembangkan dan dihidupi dalam masyarakat
budaya dengan melakukan adaptasi atau inkulturasi nilai-nilai Kristiani ke dalam
budaya setempat. Nilai-nilai kristiani yang hendak diinkulturasikan salah satunya
adalah Sakramen Krisma. Konsili Vatikan II dalam dokumen Konstitusi Liturgi
Suci (Sacrosanctum Concilium [SC]) nomor 37 menguraikan bahwa:
Dalam hal-hal yang tidak menyangkut iman atau kesejahteraan segenap
jemaat, Gereja dalam liturgi pun tidak ingin mengharuskan suatu
keseragaman yang kaku. Sebaliknya, Gereja memelihara dan memajukan
kekayaan yang menghiasi jiwa pelbagai suku dan bangsa. Apa saja dalam
adat kebiasaan para bangsa, yang secara mutlak terikat pada takhyul atau
ajaran sesat, oleh Gereja dipertimbangkan dengan murah hati, dan
mungkin dipeliharan dalam keadaan baik dan utuh. Bahkan adakalanya
Gereja menampungnya dalam liturgi sendiri, asal saja selaras dengan
hakikat yang sejati dan asali.210

Melalui dokumen ini, Gereja menjadikan liturgi sebagai suatu perayaan umat atau
perayaan iman yang mampu disesuaikan dengan budaya masyarakat setempat.
Adaptasi dan penyusaian ini membawa dampak bahwa misteri iman yang
diwartakan dapat diterima dan diimani oleh masyarakat budaya secara utuh.
Pada hakikatnya praktek ritus yoye ngi’i pada masyarakat Oja tidak
menghilangkan semangat liturgi yang sejati dan asali. Pelaksanaan ritus yoye ngi’i
dalam masyarakat Oja tidak bertentangan dengan hakikat ritus Romawi sebagai
pedoman dasar pelaksanaan pelbagai kegiatan keagamaan dalam Gereja. Hakikat
ritus Romawi yang dimaksudkan di sini adalah tata aturan dan konsep dasar dari
Sakramen Krisma dalam Gereja Katolik sebagai tanda pendewasaan iman
seseorang. Dengan demikian, Konsili Vatikan II Sacrosanctum Concilium nomor
38 menegaskan bahwa Gereja dituntut untuk memberikan ruang yang cukup

209
J. B. Banawiratma, Menjernihkan Inkulturasi: dalam Inkultutasi Bina Liturgi 1
(Yogyakarta: Kanisius, 1985), hlm. 19.
210
Konsili Vatikan II, op. cit., hlm. 17.
93

kepada kemajemukan bentuk dan penyusaian yang wajar dengan pelbagai


kelompok dan daerah budaya terutama pada daerah-daerah misi.211 Agar
penghayatan iman masyarakat Oja lebih bersifat otentik, maka Gereja harus
mengakarkan Yesus Kristus dalam praktek-praktek kebudayaan masyarakat
setempat sehingga mereka dapat mengerti dan meneriman serta menghayati iman
akan Kristus seturut budaya mereka.
Dengan proses inkulturasi ritus yoye ngi’i ke dalam upacara Sakramen
Krisma, secara tidak langsung memperkaya dan memperdalam iman masyarakat
Oja akan Yesus Kristus. Kendati pun Gereja dan kebudayaan adalah dua
kenyataan yang berbeda, namun dalam aspek petumbuhan dan perkembangan
iman, peran dan keterlibatan Gereja serta kebudayaan sangat fundamental.
Keduanya harus membuka diri serta membangun interaksi yang dinamis secara
timbal balik demi pertumbuhan dan peradaban suatu masyarakat.
Inkulturasi ritus yoye ngi’i ke dalam Sakramen menjadi proses pengakaran
iman dalam budaya Oja sehingga iman yang dihidupi oleh masyarakat Oja bukan
suatu realitas yang jauh dari kehidupan yang mereka alami sehari-hari. Kehidupan
iman akan Yesus Kristus itu menjadi bagian integral dari kehidupan mereka.
Kehidupan iman masyarakat Oja akan bertumbuh apabila mereka mampu
menghayati dan memahami serta mengalami Allah dari sudut pandang budaya
mereka sendiri. Inkulturasi ritus yoye ngi’i ke dalam Sakramen Krisma merupakan
suatu upaya untuk menjajaki kemungkinan guna dirayakan secara bersama
sehingga membentuk liturgi penerimaan Krisma yang inkulturatif.
Bertolak dari pemahaman inkulturasi di atas, maka ada kemungkinan
penyatuan sruktur umum pelaksanaan upacara. Kemungkinan yang ditawarkan
oleh penulis ialah praktek-praktek pelaksanaan upacara Sakramen Krisma dan
ritus yoye ngi’i dapat dirayakan secara bersamaan. Dengan demikian, ada
beberapa unsur yang dapat dirayakan secara bersama dari kedua upacara tersebut.
Pertama, pembukaan. Pada tahap ini, keluarga mengantar anak gadis ke
tempat perayaan Ekaristi. Dalam proses perarakan tersebut keluarga mesti tetap
memperhatikan struktur perarakan anak-anak gadis seturut tata aturan perarakan
yang dipakai dalam ritus yoye ngi’i. Anak gadis dan petugas yang terlibat dalam

211
Ibid., hlm. 18.
94

ritus yoye ngi’i hendaknya mengenakan pakaian adat, khususnya anak gadis sudah
mengenakan pakaian adat yang dibawa oleh ebu ta’u dari rumah induk
pelaksanaan. Dengan demikian pakaian adat tersebut akan dijadikan sebagai
busana resmi dalam perayaan Ekaristi. Sementara itu, para petugas liturgi lainnya
sudah menunggu di tempat perayaan Ekaristi. Setiba di tempat perayaan Ekaristi
dilanjutkan dengan upacara penerimaan Sakramen Krisma yang diawali dengan
perayaan Ekaristi.
Kedua, ritus penerimaan. Dikatakan bahwa upacara penerimaan Sakramen
Krisma dilaksanakan setelah Liturgi Sabda atau sebelum doa permohonan.
Pelaksanaan ritus yoye ngi’i dianjurkan agar dilaksanakan setelah Liturgi Sabda.
Dalam arti bahwa setelah homili, terlebih dahulu dilaksanakan upacara potong
gigi bagi anak gadis dan kemudian diikuti dengan penerimaan Sakramen Krisma
yang ditandai dengan pengurapan minyak krisma dan penumpangan tangan
Uskup. Pada tahap ini, waktu pelaksanaan yang dibutuhkan berbeda dari biasanya.
Bisa dikatakan bahwa waktu pelaksanaannya cukup lama karena adanya
peleburan dalam penerimaan Sakramen Krisma dan upacara potong gigi. Sebab
pada tahap ini merupakan inti dari kedua perayaan tersebut.
Ketiga, doa permohonan. Doa adat (pasi gaci) yang diucapkan ebu ta’u
dalam upacara potong gigi merupakan salah satu bentuk doa permohonan kepada
ketiga unsur kehidupan. Karena itu, doa tersebut dapat dilaksanakan dalam doa
permohonan penerimaan Sakramen Krisma. Pada prinsipnya yang berhak
melantunkan doa adat tersebut ialah Ebu ta’u (om), maka ia juga dapat
menjalankan tugas sebagai pembawa doa permohonan dalam upacara penerimaan
Sakramen Krisma.
Keempat, persembahan. Pada tahap ini bahan-bahan yang diantar ke meja
kurban (altar) berupa alat-alat potong gigi dan roti dan anggur. Secara lebih
khusus difokuskan pada alat-alat yang akan digunakan dalam upacara potong gigi.
Hal ini bermaksud bahwa alat-alat potong gigi yang diantarakan ke meja kurban
tersebut dipersembahkan kepada Tuhan agar diberkati oleh Tuhan melalui
perayaan Ekaristi. Hal ini bertujuan agar Tuhan turut menyempurnakan berkat
adat yang dibuat dalam upacara pendinginan alat.
95

Kelima, penutup. Setelah perayaan Ekaristi usai yang ditutup dengan


perutusan agar para krismawan dan krismawati diutus dan dikuatkan untuk
menjadi saksi Kristus, maka dilanjutkan dengan upacara penutup yang
dilaksanakan dalam ritus yoye ngi’i. Dengan demikian setelah lagu penutup, para
peserta kembali diarak ke rumah pokok untuk dilakukan wejangan adat.
Kemudian para pendamping dan anak gadis membawa barang-barang yang tidak
dipakai ke pohon besar di sekitar kampung dan dilanjutkan dengan acara makan
bersama.

4.3 Kesimpulan

Sakramen Krisma dan ritus yoye ngi’i merupakan perayaan inisiasi dalam
lingkungan Gereja dan budaya masyarakat Oja. Sebagai perayaan inisiasi,
keduanya tentu memiliki titik temu atau persamaan dan juga memiliki perbedaan.
Kendatipun demikian, inisiasi dari keduanya memiliki suatu tujuan fundamental,
yaitu hendak mendewasakan seseorang baik dari perspektif iman maupun budaya
dan mengukuhkan atau menerima seseorang secara resmi ke dalam kelompoknya.
Ritus yoye ngi’i memiliki nilai religiositas terhadap kekuatana transedental. Oleh
karena itu, pemahaman yang baik terhadap ritus yoye ngi’i membuka horizon
berpikir mereka kepada peran dan keterlibatan Yang Transenden atas
kehidupannya.
Praktek pelaksanaan upacara yoye ngi’i pada dasarnya tidak bertentangan
dengan upacara pendewasaan iman seseorang dalam Gereja umumnya dan
Sakramen Krisma khususnya. Pemahaman yang baik akan ritus yoye ngi’i
memiliki relevansi bagi pengembangan dan penghayatan iman kristiani yang
semakin mendalam. Pada prinsipnya iman kristiani itu tidak bertumbuh begitu
saja pada masyarakat primitif, tetapi malalui karya pewartaan makna iman
kristiani tersebut dapat bertumbuh dengan baik seturut ajaran Gereja Katolik.
Oleh karena itu, Gereja harus membuka diri terhadap kebudayaan guna
mewartakan keselamatan Allah. Sebab kselamatan itu bersifat universal dan ada
begitu banyak jalan atau sarana yang ditempuh untuk mencapai keselamatan itu.
Salah satu sarana yang dipakai dalam konteks ini adalah kebudayaan.
96

Gereja pasca Konsili Vatikan II memancarkan cahaya segar bagi


kebudayaan, di mana Gereja mulai membuka diri terhadap agama lain dan
kebudayaan. Karya pewartaan Injil mestinya membumi di daerah-daerah misi.
Karya pewartaan Gereja harus membudaya karena menggunakan metode, saran
dan nilai-nilai adat kebiasaan atau cara hidup masyarakat setempat untuk
menjelaskan, memahami dan menghayati misteri keselamatan yang diwartakan
Kristus. Paus Yohanes Paulus II menguraikan bahwa inkulturasi merupakan
sebuah peristiwa inkarnasi Injil dalam pelbagai kebudayaan yang otonom dan
sekaligus memasukan kebudayaan-kebudayaan tersebut ke dalam kehidupan
Gereja. Melalui proses inkulturasi ini mendorong Gereja untuk memasukkan nilai-
nilai budaya ke dalam tubuh Gereja agar misteri keselamatan yang diwartakan
lebih membumi.
Tema inkulturasi Gereja Katolik di Indonesia merupakan permasalahan
teologis yang amat luas dan kompleks. Pada zaman sekarang inkulturasi telah
menjadi sebuah tema yang direfleksikan secara intensif dalam bidang teologi.
Sebagai contoh, apa yang merupakan unsur bagi keterampilan religius, dan
bagaimana begitu banyak orang mendiami lebih dari satu jagat agama jarang
disinggung pada permulaan gerakan menuju inkulturasi yang lebih besar. Namun,
dewasa ini, terutama di Asia dan juga di bagian-bagian lain, hal itu adalah
kenyataan yang yang tidak bisa diabaikan.212 Dengan demikian tema inkulturasi
ini merupakan suatu pokok permasalahan yang amat kompleks. Akibatnya tema
inkulturasi tersebut hendaknya mendapatkan penjernihan dari pelbagai disiplin
ilmu. Berbicara tentang inkulturasi memang sesuatu yang tidak mudah untuk
dilaksanakan, tetapi tidak mungkin juga untuk tidak dibicarakan dalam realitas
kehidupan. Sebab sebagian orang masih memandang bahwa dasar pokok
inkulturasi hanya bersumber pada misteri inkarnasi atau peristiwa Yesus
menjelma menjadi manusia. Padahal sesungguhnya horizon berpikir manusia itu
harus lebih luas dalam memahami inkulturasi dengan berdasarkan keseluruhan
misteri Yesus Kristus yang tidak hanya menjelma, tetapi juga hidup, berkarya,
wafat serta bangkit (misteri paskah) hingga mengutus Roh Kudus kepada Gereja-
Nya. Dengan demikian, dalam kehidupan bergereja dan bermasyarakat diperlukan
212
Robert J. Schreiter, “Inkulturasi Kekristenan dalam Konteks Aneka Budaya dan
Agama”, dalam Jurnal Ledalero Narasi Diri Vol. 11. No. 01. 1 Juni 2012. hlm. 106.
97

terus menerus diskusi yang sifatnya luas, mendalam dan interdisipliner untuk
semakin menemukan arah yang jelas mengenai inkulturasi.
Melalui tulisan ini, penulis bersikap memberikan sumbangan kepada
Gereja sebagai suatu bentuk atau upaya penjernihan terhadapa inkulturasi. Penulis
juga menyadari bahwa sumbangan ini tidak bersifat tuntas dan mutlak terhadap
tema inkulturasi karena tema ini memiliki cakupan yang sangat luas. Akan tetapi,
menawarkan ritus yoye ngi’i untuk diinkulturasikan ke dalam Sakramen Krisma.
Sebab penulis melihat bahwa melalui inkulturasi ritus yoye ngi’i ke dalam
Sakramen Krisma secara tidak langsung hendak mewartakan Allah kepada
masyarakat Oja. Hal ini menegaskan bahwa dengan adanya inkulturasi tersebut
membuat masyarakat Oja dapat memahami dan mengalami secara lebih
mendalam tentang hakikat dari Sakramen Krisma.
Bentuk inkulturasi ritus yoye ngi’i ke dalam Sakramen Krisma untuk
dirayakan secara bersama yang ditawarkan penulis di sini sesungguhnya tidak
bersifat memaksa atau suatu keharusan, tetapi hanya sebagai sumbangan bagi
Gereja. Tulisan ini merupakan suatu kerangka dasar atau sketsa yang
membutuhkan diskusi dan pendalaman lanjutan. Dengan bertolak dari
perbandingan yang dibuat sebelumnya kedua upacara tersebut memiliki nilai,
tujuan dan makna yang sama. Namun, tawaran untuk dirayakan secara bersama ini
harus memperhatikan batas-batas yang telah ditetapkan oleh terbitan otentik buku-
buku liturgi dan tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah dasar yang terdapat
dalam Konstitusi Liturgi. Di samping itu juga kemungkinan ini harus terlebih
dahulu didiskusikan dengan pemimpin Gereja setempat karena mereka memiliki
wewenang khusus, seperti ditegaskan dalam Sacrosanctum Concilium no 22
bahwa:
Wewenang untuk mengatur liturgi semata-mata ada pada pemimpin
Gereja, yakni Takhta Apostolik, dan menurut kaidah hukum pada Uskup.
Berdasarkan kuasa yang diberikan hukum, wewenang untuk mengatur
perkara-perkara liturgi dalam batas-batas tertentu juga ada pada pelbagai
macam Konferensi Uskup sedaerah yang didirikan secara sah.213

Tawaran penulis untuk memasukkan ritus yoye ngi’i ke dalam Sakramen


Krisma guna dirayakan secara bersama ini bertujuan mempererat nilai

213
Loc cit.,
98

persekutuan anatara Gereja dan budaya masyarakat setempat. Dengan ini,


mereka akan lebih mudah memahami dan mengenal Sakramen Krisma dalam
pandangan budaya mereka. Akan tetapi, jika ritus yoye ngi’i tidak
memungkinkan untuk dirayakan secara bersama, maka kedua upacara tersebut
hendaknya dirayakan secara terpisah. Dalam arti bahwa ritus yoye ngi’i
dilaksanakan terlebih dahulu dan setelahnya diikuti dengan perayaan Sakramen
Krisma. Namun, keduanya tetap merupakan satu kesatuan dalam rangkaian
upacara pelaksanaan.
99

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Gereja dan kebudayaan adalah dua entitas yang berbeda namun saling
berkaitan satu sama lain. Gereja tidak dapat hidup tanpa ada kebudayaan.
Keduanya mempunyai kesamaan yaitu berbicara tentang nilai-nilai kehidupan.
Eksistensi dan esensi dari keduanya pada hakekatnya saling melengkapi dan
menyempurnakan antara yang satu dengan yang lainnya.
Gereja sebagai lembaga agama menyadari bahwa nilai ketuhanan sudah
ada dan hidup dalam setiap budaya. Pengakuan akan adanya Wujud Tertinggi
dalam setiap budaya diungkapkan secara nyata dalam ritus yang dirayakan. Yoye
ngi’i adalah satu dari banyak upacara adat yang dibuat sebagai bentuk ungkapan
dari pengakuan akan adanya Wujud Tertinggi dalam masyarakat Oja. Pengakuan
adanya Wujud Tertinggi dalam suatu budaya mendorong gereja untuk membuka
diri untuk menerima nilai-nailai kebudayaan dari suatu budaya dan
mengintegrasikannya ke dalam Gereja
Konsili Vatikan II membawa angin segar ke dalam Gereja melalui
semboyan argionamento. Keterbukaan Gereja terhadap agama-agama dan
kebudayaan lain sesungguhnya bertolak dari pemahaman bahwa agama-agama
lain dan kebudayaan bangsa-bangsa juga mempunyai nilai-nilai baik, dan suci.
Pemahaman ini mendorong gereja untuk bersikap positif terhadap agama-agama
lian dan kebudayaan bangsa-bangsa. Keterbukaan Gereja dapat dilihat secara jelas
melalui proses inkulturasi sebuah budaya ke dalam Gereja.
Inkulturasi adalah salah satu cara untuk mengkontekstualisasikan nilai-
nilai Injil dengan tujuan agar karya pewartaan Injil dalam budaya lokal lebih
membumi dan mudah dipamahami serta dimengerti oleh masyarakat budaya.
Salah satu budaya yang dapat membangun dilog dengan Gereja dalam masyarakat
Oja ialah ritus yoye ngi’i.
100

Ritus yoye ngi’i merupakan salah satu bentuk kebudayaan yang dihidupi
dan diparktek oleh masyarakat Oja hingga sekarang ini. Ritus yoye ngi’i tersebut
menjadi sebuah perayaan penting yang berkaitan dengan siklus pertumbuhan
seorang anak gadis. Konsep dasar, makna dan tujuan ritus yoye ngi’i adalah proses
insiasi seorang anak gadis dalam masyarakat budaya. Proses pendewasaan
seorang anak gadis dapat disimbolisasikan melalui cara meratakan, menggosok
atau memotong gigi. Melalui ritus ini, seorang gadis dinayatakan dewasa secara
adat dan sekaligus menjadi anggota penuh dari sebuah suku tertentu.
Senada dengan praktik budaya seperti ritus yoye ngi’i, Gereja juga
memiliki ritus inisiasi. Salah satu ritus inisiasi dalam Gereja adalah Sakramen
Krisma. Sakramen Krisma menjadi sebuah sarana yang menginisiasikan
seseorang menjadi anggota Gereja yang utuh. Melalui sakramen ini, seseorang
dinyatakan dewasa dalam hal iman.
Kedewasaan dalam iman tersebut menjadi tolak ukur keterlibatan
seseorang dalam seluruh rangkaian karya misi keselamatan yang diemban Gereja.
Melalui penerimaan Sakramen Krisma seorang krismawan/i mendapat kepenuhan
atau pencurahan Roh Kudus. Melalui pencurahan ini, mereka dimampukan untuk
menwarakan Kristus dalam kehidupan setiap hari.
Antara ritus yoye ngi’i dan Sakramen Krisma ada beberapa persamaan dan
juga ada beberapa perbedaan. Pertama, ritus yoye ngi’i memiliki makna dan
tujuan yang sama dengan Sakramen Krisma yakni secara resmi melantik dan
mengukuhkan seseorang ke dalam suatu kelompok. Pelantikan dan pengukuhan
tersebut didasari oleh konsep kedewasaan baik dalam iman maupun budaya. Di
samping itu, secara fundamental keduanya merupakan merupakan momen
pengungkapan religiositas manusia atas cinta Allah (WujudTertinggi) yang
mereka alami dalam perjalanan hidup mereka. Keduanya mempersatukan manusia
untuk saling memberikan kekuatan dan menegaskan identitas diri di hadapan
Allah dan sesama
Kedua, kesamaan isi dari ritus. Secara ritual, antara ritus yoye ngi’i dengan
Sakramen Krisma terdapat beberapa kesamaan struktur dan isi. Pertama,
keduanya pada dasarnya memiliki struktur perayaan yang sama yang didahului
oleh ”Liturgi Sabda” dan disusuli dengan ”Litugi Kurban”. Kedua, keduanya
101

merupakan perjamuan bersama sebagai sarana pemersatu yang mempersatukan


umat beriman dan anggotanya dalam suatu persekutuan. Ketiga, keduanya
merupakan perayaan bersama karena esensi dari upacara tersebut ialah menerima
seseorang secara resmi ke dalam kelompok atau persekutuan mereka. Dalam
proses pelaksanaan upacara tersebut, mereka selalu berkumpul dan merayakannya
secara bersama-sama.
Selain persamaan, kedua ritus ini juga memiliki beberapa perbedaan yang
khas. Pertama, korban perayaan. Korban dalam perayaan Sakramen Krisma ialah
Anak Domba Allah yaitu Yesus Kristus. Demi keselamatan umat manusia Ia rela
mengorbangkan diri-Nya pada kayu salib dalam misteri Paska. Sementara itu,
korban dalam ritus yoye ngi’i ialah beberapa ekor hewan ayam dan babi. Kurban
hewan ini digunakan untuk menggantikan kurban diri manusia termasuk anak
gadis yang laksana upacara potong gigi dalam rangka memohon restu Wujut
Tertinggi seperti Ngga’e dewa, dan roh-roh nenek moyang yang telah meninggal.
Kedua, pemimpin perayaan. Pemimpin perayaan dalam penerimaan
Sakramen Krisma ialah Uskup dan imam. Secara singkat dapat dikatakan bahwa
pemimpin Sakramen Krisma ialah kaum tertahbis. Namun, yang menjadi
pemimpin utama dalam upacara Sakramen Krisma ialah Uskup setempat.
Sementara imam hanya bertugas membantu Uskup karena ia mengambil bagian
dalam tahbisan tertinggi (Uskup). Sedangkan pemimpin perayaan dalam ritus yoye
ngi’i ialah ebu ta’u. Akan tetapi, karena tidak semua ebu ta’u memiliki
ketrampilan dan keahlian dalam memotong gigi, maka mereka memutuskan dan
memilih seseorang yang memiliki keahlian dan keterampilan dalam momotong
gigi anak gadis dan disebut sebagai ata madi (orang pintar). Namun, yang menjadi
pemimpin utama dalam ritus tersebut tetaplah ebu ta’u.
Perbandingan ini membantu masyarakat Oja penganut agama Katolik
untuk mengerti dan mendalami apa itu upacara penerimaan Sakramen Krisma.
Melalui perbadingan ini dapat dilihat dengan jelas apakah ada kemungkinan
proses inkulturasi ritus yoye ngi’i ke dalam upacara Sakramen Krisma. Lebih
jauh, perbandingan ini bermaksud agar masyarkat melihat ritus yoyi ngi’i dalam
bingkai iman Katolik. Pemahaman yang baik akan relasi yang benar antara
keduanya akan mengantar masyrarakat Oja untuk menghargai nilai-nilai budaya
102

serta Sakramen Krisma. Kesamaan makna dan tujuan antara kedua ritus ini
membantu umat untuk mengerti makna Sakramen Krisma itu sendiri. Dengan
demikian tidak berlebihan jika dikatakan bahwa ritus yoye ngi’i adalah cara untuk
mengaktualisasikan serta mengkontektualisasikan Sakramen Krisma ke dalam
konteks umat Oja.

5.2 Saran

5.2.1 Bagi Masyarakat Oja

Kampung Oja menjadi lokus penelitian dan pembahasan penulis dalam


tulisan ini. Penulis membahas banyak hal mengenai kehidupan masyarakat Oja,
kebiasaan dan kehidupan harian mereka serta ritus yoye ngi’i sebagai warisan
kekayaan budaya tradisional mereka. Ritus yoye ngi’i tersebut sesungguhnya
merupakan tampilan identitas mereka sebagai masyarakat berbudaya. Oleh karena
itu, masyarakat Oja yang tinggal di kampung Oja hendaknya menjadi agen-agen
budaya dalam sistem pewarisan ritus tersebut sehingga tetap bertahan.
Peran dan keterlibatan anggota keluarga, suku atau klan, lembaga
pemangku adat dan masyarakat Oja menjadi sebuah keharusan. Para agen-agen
budaya tersebut seharusnya terlibat secara aktif dalam membina, membimbing
dan mendampingi perjalanan hidup seorang anak gadis yang adalah sasaran dari
ritus yoye ngi’i tersebut.
Masyarakat Oja juga disarankan untuk tetap menjaga dan melestarikan
budaya-budaya yang ada di wilayahnya. Pelestarian kebudayaan tersebut
merupakan wujud konkret dari usaha menjaga kekayaan dan identitas kebudayaan
masyarakat setempat. Oleh karena itu, upacara adat, ritus-ritus dan kebudayaan
lainnya harus tetap dijaga dan diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya.

5.2.2 Bagi Lembaga Gereja

Lembaga Gereja merupakan salah satu agen pembentukkan kepribadian


seorang individu. Secara spiritual Gereja bertanggung jawab atas proses
perkembangan iman seseorang. Melalui Sakramen Krisma, Gereja menjalankan
fungsi spiritualnya yaitu menginisiasikan seseorang ke dalam Gereja secara penuh
103

melalui Sakramen Krisma. Oleh karena itu, Gereja harus turut aktif dalam setiap
proses yang dijalani oleh seseorng dalam menerima Sakramen Krisma.
Berdasarkan analisis penulis tentang relasi antara ritus yoye ngi’i dan
Sakramen Krisma di mana keduanya memiliki kesamaan yang hakiki, maka
penulis mengajurkan kemungkinan adanya inkulturasi antara keduanya. Satu hal
yang pasti adalah bahwa tidak semua unsur kebudayaan dapat diinisiasikan.
Namun, paling kurang dianjurkan dalam konteks Oja, agar kedua ritus ini
dirayakan dalam waktu bersamaan seperti Sakramen Perkawinan. Dengan
demikian, umat dapat melihat makna dan arti ritus yoye ngi’i tidak hanya dalam
pemahaman sebuah budaya semata tetapi dapat memahaminya juga dalam terang
iman.
104

DAFTAR PUSTAKA
1. DOKUMEN GEREJA

Konsili Vatikan II. Dokumen Konsili Vatikan II. Penerj. Hardawiryana, R. Jakarta:
Obor, 2008.
Gereja Katolik, Kitab Hukum Kanonik. Penerj. V. Kartosiswoyo et. Al., cet XII.
Jakarta: Obor 2004.
Kongregasi Ajaran Iman. Katekismus Gereja Katolik. Penerj. Herman Embuiru.
Ende: Arnoldus,

2. ENSIKLOPEDIA

Heuken, Adolf. Ensiklopedi Gereja. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2005.

Verheoven, TH. I. dan Marcus Carvalo. Kamus Latin-Indonesia. Ende: Nusa


Indah, 1969.

3. BUKU

Ardhi, FX. Wibowo. Sakramen Krisma. Yogyakarta: Kanisius, 1993.


Arndt, Paul. Agama Orang Ngada: Roh-Roh Manusia dan Dunia. Maumere:
Candraditya, 2005.
Bagiowinadi, F. X. Didik. Siap Diutus (Buku Kerja Persiapan Krisma). Malang:
Dioma, 2001.
Banawiratma, J. B. Baptis, Krisma dan Ekaristi. Yogyakarta: Kanisius, 1989.
------. Menjernihkan Inkulturasi: dalam Inkultutasi Bina Liturgi 1. Yogyakarta:
Kanisius, 1985.
Chupungco, Anscar J. Liturgical Inkulturation: Sacramentals, Religiosity and
Chatechesis. Minesota: The Liturgical Press Collegeville, 1992 .
Cricton, J. D. Perayaan Sakramen Pembaptisan dan Krisma. Yogyakarta:
Kanisius, 1990.
Cunha, Bosco Da. Tiga Sakramen Inisiasi. Malang: Dioma, 1991.
Dhogo, Christologus. Su’i Uwi Ritus Budaya Ngadha dalam Perbandingan
dengan Perayaan Ekaristi. Maumere: Ledalero, 2009.
Engo, Cyrilus Bau. Budaya Nage: Perjalanan Hidup Orang Nage di Nagekeo.
Ende: Nusa Indah, 2016.
105

Erikson, Erik H. Jati Diri, Kebudayaan dan Sejarah Pemahaman dan Tanggung
Jawab. Maumere: LPBAJ, 2001.
Fernandez, Stephanus Ozias. Kebijakan Manusia Nusa Tenggara Timur Dulu dan
Kini. Ende: Percetakan Arnoldus, 1990.
Fuster, J. M. Teknik Mendewasakan Diri: Tumbuh dan Berkembang dalam Iman.
Yogyakarta: Kanisius, 1985.
Groenen, C. Teologi Sakramen Inisiasi: Baptisan Krisma . Yogyakarta: Kanisius,
1992.
Kebung, Kondrad. Filsafat Berpikir Orang Timur (Indonesia, Cina dan India).
Jakarta: Prestasi Pustaka, 2011.
Kirchberger, Georg. Allah Menggugat. Maumere: Ledalero, 2007.
Koentajaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru, 1980.
---------. Ritus Peralihan di Indonesia. Jakarta: PN Balai Pustaka, 1985.
Lina, Paskalis. Moral Pribadi: Pribadi Manusia dan Seksualitasnya. Maumere:
Ledalero, 2017.
Martasudjita, E. Sakramen-Sakramen Gereja Tinjauan Teologis, Liturgis dan
Pastoral. Yogyakarta: Kanisius, 2003.
Martos, Josep. Sakramen-sakramen Gereja, Krisma. Jakarta: Obor, 1997.
Peursen, C. A. Van. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius, 1976.
Potthoff, Harvey H. God and the Celebration of Life. New York: Rand McNally
and Compani, 1969.
Prasetya, L. Persiapan Sakramen Penguatan atau Krisma. Malang: Dioma, 2005.
Raho, Bernard. Pengantar Sosiologi. Maumere: Ledalero, 2014.
Sebho, Fredi. Moral Samaritan (Dari Kenisah Menuju tepi Jalan) . Maumere :
Ledalero , 2018.
Sinaga, Anicentius B. Gereja dan Inkulturasi. Yogyakarta: Kanisius, 1984.
Soenarja, A. Inkulturasi. Yogyakarta: Kanisius, 1997.
Soenarto, Alosius dkk. Katekese bagi Calon Krisma. Yogyakarta: Kanisius, 2002.
Timo, Eben Nuban. Sidik Jari Allah dalam Budaya Upaya menjajaki Makna Allah
dalam Prangkat Budaya Suku-suku di Nusa Tenggara Timur. Maumere:
Ledalero, 2007.
Udjan, Bernadus Boli dan Kirchberger Georg. Liturgi Autentik dan Relevan.
Maumere: Ledalero, 2006.
106

Wouden, F. A. E. Van. Klen, Mitos dan Kekuasaan: Struktur Sosial Indonesia


Bagian Timur. Jakarta: Grafiti Pres, 1985.

4. JURNAL DAN MAJALAH

Hayon, Bernard S. “Ritus Hode Ilu dalam Masyarakat Lewoingu: Antara


Tindakan Supestisi dan Realitas Numinus”. dalam Jurnal Ledalero
Religiositas Populer. Vol. 10. No. 02. Desember 2011.
Heriyanto, Albertus. “Makna Simbolik Kultus Kargo”, dalam Jurnal Lineal
Agama dan Kebudayaan. Vol. 03. No. 01. Oktober 2006.
Kleden, Paul Budi. “Secerca Sinar Surya”, dalam Jurnal Ledalero Gender dan
Persoalannya Vol. 03. No. 01. Juni 2004.
Schreiter, Robert J. “Inkulturasi Kekristenan dalam Konteks Aneka Budaya dan
Agama”, dalam Jurnal Ledalero Narasi Diri. Vol. 11. No. 01. 1 Juni 2012.
Ujan, Bernardus Boli. “Minyak Krisma,” Majalah Liturgi. Vol. 20. Mei-Juni,
2009.

5. MANUSKRIP

Dae, Ansel Dore. ”Manusia dan Kebudayaan Indonesia” (ms). Maumere. STFK
Ledalero, 2005,
Tangi, Antonius Martinus. “Liturgi Pastoral” (ms). Maumere. STFK Ledalero,
2015.
Kantor Desa Tendambepa. ”Sejarah Desa Tendambepa”, dalam Rencana
Pembangunan Jangka Panjang dan Menengah Desa Tendambepa Periode
2020-2025. Data diambil pada 10 Januari 2020.
Kantor Desa Tendambepa. ”Keadaan Topografi Desa Tendambepa”, dalam
Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan Menengah Desa
Tendambepa Periode 2020-2025. Data diambil pada 10 Januari 2020.
Kantor Desa Tendambepa. ”Keadaan Demografi Desa Tendambepa”, dalam
Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan Menengah Desa
Tendambepa Periode 2020-2025. Data diambil pada 10 Januari 2020.
107

Kantor Desa Tendambepa. ”Mata Pencarian Desa Tendambepa”, dalam Rencana


Pembangunan Jangka Panjang dan Menengah Desa Tendambepa Periode
2020-2025. Data diambil pada 10 Januari 2020.

6. WAWANCARA

Durben, Kanisius. Kepala Desa Tendambepa, pada tanggal 09 Januari 2020.


Lando, Philipus. Tokoh Masyarakat dan Tokoh Adat Oja, tanggal 30 Desember
2019.
Mai, Paulinus Poa. Guru, tanggal 06 januari 2020.
Marsedo, Zakharias Yos. Tokoh Masyarakat dan Tokoh Adat Oja, pada tanggal
29 November 2018.
Nenga, Bernadus. Tokoh masyarakat dan tokoh adat Oja, tanggal 05 Januari 2020.
Roga, Robertus. Kepala Suku Asa, pada 03 Januari 2020.
Susa, Sebastianus Sabar. Tokoh Masyarakat dan Tokoh Adat Oja, pada 29
Desember 2019.
108

Lampiran
Pertanyaan Wawancara
1. Bagaimana sejarah terbentuknya kampung Oja?
2. Bagaimana keadaan Geografis wilayah kampung Oja?
3. Bagaimana keadaan Demografi masyarakat kampung Oja?
4. Bagaimana sistem kepercayaan masyarakat Oja?
5. Bagaiamana sistem ekonomi masyarakat Oja?
6. Bagaimana sistem perkawinan dan keturunan masyarakat Oja?
7. Apa itu ritus yoye ngi’i?
8. Apa makna dan tujuan ritus yoye ngi’i?
9. Bagaimana persyaratan dalam pelaksanaan ritus yoye ngi’i?
10. Siapa saja yang terlibat dalam ritus yoye ngi’i?
11. Sarana apa saja yang digunakan dalam ritus yoye ngi’i?
12. Dimana tempat melaksanakan ritus yoye ngi’i?
13. Kapan ritus yoye ngi’i dilaksanakan?
14. Bagaimana tahap-tahap pelaksanaan ritus yoye ngi’i?
15. Bagaimana keterlibatan masyarakat Oja dalam melaksanakan ritus
yoye ngi’i?

Anda mungkin juga menyukai