Oleh :
LARANTUKA
2023/2024
HALAMAN PENGESAHAN
Pada
Oleh:
Pembimbing Penguji
Mengetahui
ii
ABSTRAKSI
iii
KATA PENGANTAR
Pertama-tama penulis mengucapkan puji dan syukur kapada Tuhan Yang Maha Esa
karena atas berkat dan bimbingan-Nya penulis dapat menyelesaikan karya imiah ini. Karya
ilmiah yang berjudul “TANGGAPAN KEREJA KATOLIK ROMA DALAM
MENYIKAPI MARTABAT KAUM LGBT DI INDONESIA ”. Karya ilmiah ini dibuat
sebagai salah satu syarat kelulusan.
Dalam penulisan karya ilmiah ini penulis tidak lepas dari hambatan-hambatan.
Namun semua kesulitan itu dapat diatasi dengan baik melalui bantuan berbagi pihak. Oleh
karna itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada, yang pertama, Lembaga Pendidikan
Sekolah Menengah Atas Swasta Katolik Frateran Podor Larantuka yang telah memberikan
sarana dan prasarananya bagi penulis selama menempuh pendidikan. Kedua, Bapak ……….,
selaku pembimbing bagi penulis dalam proses penyelesaian karya ilmiah ini. Ketiga, Bapak,
selaku wali kelas yang selalu membantu mengingatkan dan memotivasi penulis dalam
menyelesaikan karya Ilmiah ini. Keempat,orang tua penulis yang dengan cara masing-masing
mendukung dan memotivasi penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah ini. Kelima, rekan-
rekan seperjuangan kelas XII-MIA 1 dan semua pihak yang mendukung dan memberikan
semangat kepada penulis.
Akhirnya penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari yang diharapkan.
Penulis dengan lapang dada menerima kritikan dan saran dalam pengembangan karya ilmiah
ini.
Larantuka,
Ferbruari 2024
Penulis
iv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.......................................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN........................................................................................... ii
ABSTRAKSI...................................................................................................................... iii
KATAPENGANTAR........................................................................................................ iv
DAFTAR ISI...................................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................. 1
v
1.3 PANDANGAN GEREJA KATOLIK TERHADAP KEBERADAAN KAUM LGBT
9
1.3.1 Pandangan Kitab Suci........................................................................................... 9
1.3.1.1 Kitab suci Perjanjian Lama.................................................................................. 10
2.2.1.2 Kitab Suci Perjanjian baru................................................................................... 10
BAB III PEMBAHASAN ................................................................................................. 13
BAB IV PENUTUP............................................................................................................ 21
4.1 KESIMPULAN............................................................................................................ 21
4.2 SARAN......................................................................................................................... 21
BIBLIOGRAFI.................................................................................................................. 23
LAMPIRAN....................................................................................................................... 24
vi
BAB I
PENDAHULUN
2
1.3 TUJUAN PENULISAN
Tujuan dari penulisan karya ilmiah ini untuk mendeskripsikan Problematika
Keberadaan Kaum LGBT di Indonesia dan Tanggapan Gereja Katolik Dalam Menyikapi
Martabat Kaum LGBT.
3
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 KAUM LGBT
2.1.1 Pengertian Lesbian
Kata Lesbian pertama kali digunakan oleh seorang penyair Yunani yakni Sappho
yang terdapat dalam puisinya yang berkembang sejak abad VI sebelum masehi dan beberapa
di antaranya masih bertahan hingga sekarang. Puisi Sappho berisi tentang cinta lesbian. Pada
saat itu, percintaan homoseksual dipahami sebagai hal yang lebih unggul dibandingkan
percintaan heteroseksual. Istilah lesbian digunakan bagi perempuan yang mengarahkan
orientasi seksual nya kepada sesama perempuan atau disebut juga perempuan yang mencintai
perempuan baik secara fisik, seksual, emosional atau secara spiritual (Dr.Munadi,MA, 2017).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, lesbian adalah wanita yang mencintai atau
merasakan rangsangan seksual sesama jenisnya; wanita homoseks. Hal ini menjelaskan
bahwa hubungan seksual tersebut dilakukan antar sesama jenis yakni antara sesama wanita.
Selanjutnya lesbian dikenal atau disebut juga perempuan yang mencintai perempuan baik
secara rohaniah, jasmaniah, fisik, emosional, maupun seksual.
Adapun gejala atau ciri-ciri dari individu yang tergolong lesbian menurut Dr. Munadi,
MA, yaitu.
1) Seseorang lebih senang bergaul dengan individu berjenis kelamin yang sama
dan berusia relatif lebih muda darinya.
2) Seseorang biasanya enggan berbicara dengan lawan jenis.
3) Berpakaian seperti atau menyenangi kegiatan yang biasa dikerjakan laki-laki.
4) Banyak juga dijumpai lesbian yang gayanya seperti perempuan normal,
cenderung feminim, bahkan lebih feminim dari perempuan yang normal.
5) Tingkah lakunya terkadang lebih halus dari perempuan normal pada
umumnya.
6) Biasanya penampilan feminim terkesan dingin. Selalu tergantung kepada
pasangan, tidak mandiri, sering cemas, menjaga jarak dengan wanita lain yang
bukan pasangannya.
7) Cenderung sensitif dan dingin kepada laki-laki. Tapi ini bukan ciri yang
akurat, hanya ciri inilah yang kebanyakan muncul.
4
2.1.2 Pengertian Gay atau Homoseksual
Gay adalah kata yang mengacu pada orang homoseksual atau ciri-ciri homoseksual.
Istilah ini awalnya digunakan untuk mengungkapkan perasaan bebas, tidak terikat, bahagia,
cerah dan menyolok. Diperkirakan kata tersebut telah digunakan untuk menyebut kaum
homoseksual sejak akhir abad ke-19 M, namun menjadi lebih umum pada abad ke-20. Dalam
bahasa Inggris modern, "gay" digunakan sebagai kata sifat dan kata benda untuk merujuk
pada orang, khususnya laki-laki homoseksual dan aktivitasnya, serta budaya yang terkait
dengan homoseksualitas. (Dr.Munadi,MA, 2017). Kamus Besar Bahasa Indonesia
mengatakan bahwa gay sesuatu perbuatan homoseksual atau laki-laki homoseksual gaya:
Sikap atau gerakan.
Menurut Dr.Munadi, ada beberapa identifikasi yang menyatakan bahwa seorang itu
gay. Antara lain dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu:
1) Adanya ketertarikan terhadap orang lain yang mempunyai kesamaan gender
dengan dirinya.
2) Keterlibatan seksual dengan satu orang atau lebih yang memiliki kesamaan gender
dengan dirinya.
3) Ia mengidentifikasikan dirinya sebagai gay.
2.1.3 Pengertian Biseksual
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia biseksual adalah sesorang yang mempunyai
sifat kedua jenis kelamin (laki-laki dan perempuan); tertarik kepada jenis kelamin (baik
kepada laki-laki maupun kepada perempuan).
Biseksual merupakan ketertarikan romantis dan seksual, atau kebiasaan seksual
kepada pria maupun wanita. Istilah ini kerap digunakan dalam konteks ketertarikan manusia
untuk menunjukkan perasaan romantis atau seksual kepada pria maupun wanita sekaligus.
Istilah ini juga didefinisikan sebagai ketertarikan romantis atau seksual pada semua jenis
gender atau pada seseorang tanpa mempedulikan jenis kelamin atau gender biologis orang
tersebut, biseksual terkadang disebut juga panseksualitas (Dr.Munadi,MA, 2017).
Orang-orang yang memiliki orientasi biseksual memiliki beberapa ciri atau
karakteristik sebagai berikut.
1. memiliki daya tarik lebih kuat terhadap satu lawan jenis kelamin meskipun masih
memiliki daya tarik untuk keduanya.
5
2. Memiliki hubungan heteroseksual yang stabil dan sesekali hubungan homoseksual.
Sebaliknya memiliki hubungan homoseksual yang stabil dan sesekali hubungan
heteroseksual.
3. Suka berganti antara heteroseksual dan homoseksual.
2.1.4 Pengertian Transgender
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, transgender merupakan orang yang secara
emosional dan psikologis ingin hidup, berpakaian, dan sebagainya seperti lawan jenisnya,
terutama yang telah melakukan operasi medis untuk mengganti organ seksualnya:
transgender. Transgender bukan merupakan orientasi sekual. Seorang yang transgender dapat
mengidentifikasikan dirinya sebagai seorang heteroseksual, homoseksual, biseksual, maupun
aseksual. Para ahli mengatakan bahwa transgender merupakan Seseorang yang ditunjuk
sebagai seks tertentu, umumnya setelah kelahiran berdasarkan kondisi kelamin, namun
merasa bahwa hal tersebut adalah salah dan tidak mendeskripsikan diri mereka secara
sempurna.
7
2.2.2.2 Globalisasi
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak yang dimiliki setiap individu tanpa
memandang latar belakang seperti agama, bahasa, kebangsaan, jenis kelamin, warna kulit,
dan lainnya. HAM bersifat universal dan dijamin oleh hukum nasional dan internasional.
Konsep HAM mencakup kewajiban positif (perlindungan individu) dan kewajiban negatif
(menghindari pelanggaran HAM). Dalam perspektif liberalisme, prinsip HAM dinyatakan
dalam Deklarasi Kemerdekaan Amerika 1776 dan Declaration de l’Homme et du Citoyen
pada 1789 di Paris, menegaskan kebebasan individu, kesetaraan hak, kebebasan berpendapat,
dan larangan tindakan represif tanpa dasar hukum. HAM menjadi dasar bagi pendukung
komunitas LGBT, mengadvokasi kebebasan mencintai dan legalisasi pernikahan tanpa
memandang jenis kelamin, suku, ras, agama, atau kelompok sosial. Pernyataan Presiden
Barack Obama menyatakan bahwa LGBT adalah bagian dari HAM, menekankan martabat
8
setiap individu untuk hidup bebas dari ketakutan, kekerasan, dan diskriminasi, disampaikan
dalam perayaan Hari Internasional Melawan Homofobia dan Transfobia.
Dengan dukungan finansial yang besar dari kelompok, organisasi, dan gerakan
internasional, tujuan utamanya adalah memperluas gerakan LGBT dan memperoleh
pengakuan atau legitimasi dari negara-negara tempat mereka berada. Di Indonesia, sudah ada
organisasi non-pemerintah (NGO) yang fokus pada LGBT, dan mereka memainkan peran
signifikan dalam perkembangan LGBT di negara ini.
Perkembangan LGBT juga dipengaruhi oleh inspirasi dan contoh dari negara maju
seperti Amerika Serikat yang telah melegalkan dan mengakui hak-hak LGBT. Selain itu,
gaya hidup baru di kalangan kaum muda perkotaan juga dianggap sebagai faktor yang
memicu perkembangan LGBT, dianggap sebagai simbol kemoderenan.
Terakhir, lemahnya pemahaman dan penghayatan agama di kalangan kaum muda serta
ketidakpekaan masyarakat terhadap lingkungan sekitarnya juga menjadi faktor yang
memfasilitasi perkembangan LGBT. Sikap cuek dan tidak peduli terhadap apa yang terjadi
turut memainkan peran dalam fenomena ini.
BAB III
PEMBAHASAN
12
3.1 PROBLEMATIKA KEBERADAAN KAUM LGBT DI INDONESIA
13
mengakui eksistensi kaum LGBT tetapi mereka harus bisa menjaga sikap dengan baik dan
membina hubungan dengan orang-orang umum di sekitar mereka.
Di dalam kehidupan sosial-budaya, terdapat juga sebuah sistem perkawinan.
Perkawinan adalah hubungan permanen antara dua orang yang diakui secara sah oleh
masyarakat yang bersangkutan berdasarkan atas peraturan perkawinan yang berlaku. Hal ini
berarti perkawinan hanya terjadi apabila masyarakat yang homogen, tidak mengakui adanya
perkawinan sejenis karena tidak sesuai dengan kaidah dan norma tertentu. Hal tersebut
bertentangan dengan hukum alam dan budaya setempat. Kaum LGBT hanya mampu
melakukan aktivitasnya tanpa mengganggu aktivitas orang lain.
3.1.2 Bidang Politik-Ekonomi
Dalam bidang politik kaum homoseksual tidak sepenuhnya turut selibat dalam hal
kekuasaannya sebagai pemimpin politik maupun lain sebagainya. Mereka hanya diundang
untuk turut serta tidak untuk mengambul alih kekuasaan. Hal ini sulit diterima masyarakat
karena adanya suatu kekhawatiran pada saat memilih. Bisa saja sikap mereka yang sulit
diterima masyarakat sama seperti kesulitan masyarakat untuk memilih mereka sebagai
pemimpin politik ataupun lain sebagainya. Selain itu minimnya penerimaan masyarakat
terhadap kaum homoseksual di dalam bidang politik dikarenakan sikap dan perilaku mereka
yang tidak benar akan berdampak bagi kehidupan masyarakat lainnya yang tidak termasuk
sebagai homoseksual akan menjadi seorang homoseksual, bahkan mereka sendiri dengan
kewenangannya akan membela dan melegalisasi kelompoknya (Rita Darmayanti,2015).
“utang negara itu sudah banyak dan dapat bertambah akibat masalah kesehatan
(LGBT) yang akan membuat anggarannya membengkak. Orang bekerja itu bayar pajak, apa
kita mau pajak kita itu untuk orang yang kena penyakit.” Ungkap Ikhsan di warung Daun,
Cikini, Jakarta pusat, Sabtu (23/12/17).
Dalam bidang ekonomi, setiap manusia dalam memenuhi kebutuhannya tidk terbatas
pada alat pemuas kebutuhan. Jika alat pemuas kebutuhan tersebut telah dipenuhi maka
keinginan pun diperoleh sepenuhnya oleh orang tersebut. Pasal 28 C Ayat 1 UUD Tahun
1945 mengatur tentang hak asasi manusia, menyatakan bahwa setiap orang berhak
mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan
dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi
meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia (Wahyumedia, 2014).
Pernyataan tersebut menyatakan bahwa kegiatan ekonomi dapat diartikan sebagai
kegiatan yang dilakukan oleh semua orang tanpa memandang perbedaan fisik maupun
14
nonfisik. Hal tersebut sama seperti kaum LGBT yang terlibat dalam kehidupan masyarakat,
mereka juga melakukan kegiatan ekonominya masing-masing. Mereka bisa saja bekerja di
mana-mana yang keahliannya sesuai dengan profesi dan kreativitas mereka. Ada yang
bekerja di salon kecantikan sebagai tata rias wajah dan ada pula yang bekerja di kelompok
sosial tertentu sebagai alih dekorasi panggung pernikahan. Hal ini wajar karena banyak di
temukan di lingkup masyarakat setempat baik itu di daerah pedesaan mau pun di daerah
perkotaan.
Kaum LGBT akan banyak mendapatkan kesulitan jika mendapat pekerjaan di bidang
formal meskipun mereka bisa bekerja dengan baik dan memiliki keahlian yang profesional.
Dari sikap dan tingkah laku mereka sikap apatis dari masyarakat apalagi jika bekerja dengan
gaya dan penampilan yang mereka miliki. Hal tersebut mengundang masyarakat untuk
berpandangan serta berprasangka buruk terhadap mereka. Hal lain yang serupa, kaul LGBT
dapat diterima di dunia kerja seperti karyawan kantor, asalkan dalam waktu bekerja mereka
tidak mengganggu orang lain dan mampu bertanggung jawab atas pekerjaan mereka.
3.1.3 Bidang Agama
Di dalam UUD NRI pasal 28E ayat 1 menyatakan bahwa, setiap orang bebeas
memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan pengejaran, memilih
pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan
meninggalkannya, serta berhak kembali.
Masyarakat Indonesia dihebohkan oleh sebuah peristiwa yang terjadi di kabupaten
Gianyar, Bali pada September 2015 yakni pernikahan sebuah pasangan Gay dengan beda
warga negara. Pernikahan itu dihadiri seorang pemangku (pemimpin agama Hindu)
dan dihadiri oleh kedua orang tua salah satu mempelai pasangan sejenis itu. Kejadian ini
membuat Gubernur Bali, Made Mangku Pastika, naik pitam. Made Mangku menegaskan
bahwa hal itu sangat dilarang apalagi menurut agama Hindu.
Kehidupan beragama sepenuhnya telah diatur dalam UUD NRI tersebut dan memiliki
nilai yang harus dicerminkan dalam sila pertama Pancasila yakni, Ketuhanan Yang Maha
Esa. Dari kedua landasan hukum tersebut, setiap orang memiliki hak serta kewajiban untuk
mengikuti upacara sesuai agamanya yang diakui oleh Negara Indonesia. landasan tersebut
dibiarkan kepada semua orang termasuk di dalamnya yaitu kaum homoseksual (Lesby, Gay,
Biseksual, dan Transgender). Namun mereka tidak serta merta ikut dalam perkawinan sesama
jenis. Di dalam dogma agama, melarang bahwa tidak ada laki-laki dan tidak ada perempuan
15
yang kawin dengan sesama jenisnya. Hal ini sangat bertentangan dengan kehidupan moral
iman umat beragama.
Eksistensi kaum homoseksual di tengah lingkup keagamaan kini mendapat banyak
kecaman dari semua umat anggota agamanya. Dari sekian banyak agama yang ada di
Indonesia, agama Islam dan Katolik merupakan agama yang paling banyak menolak sikap
dan perbuatan kaum homoseksual di Indonesia. Tradisi dan budaya di Indonesia masih satu
irama dalam menyikapi keberadaan LGBT, yakni menolak. Tindakan menolak itu didasarkan
pada perbuatan moral kaum homoseksual yang bertentangan dengan ajaran agama. Tetapi
demikian lingkungan agama hanya menolak perbuatan mereka tetapi tidak menolak diri
mereka sebagai warga masyarakat serta sebagai mahkluk ciptaan Tuhan.
Kaum LGBT memiliki kehendak bebas untuk menjalankan upacara keagamaan.
Masyarakat yang melihat hal tersebut umumnya tidak menolak mereka untuk mengikuti
kegiatan keagamaan. Mereka dapat beribadah bersama-sama, bahkan dapat membangu
komunikasi diantara sesama umat beragama tanpa adanya batas pemisahan. Masyarakat
bahkan lebih senang dan mendorong LGBT untuk mengikuti kegiatan keagamaan supaya
mereka lebih memahami ajaran agama sehingga dapat membuat mereka sadar dan kembali ke
jalan yang benar. Meski demikian, masyarakat tetap tidak setuju apabila ada LGBT yang
menjadi atau mau menjadi pemimpin agama karena sebagai individu mereka sudah
bertentangan dengan ajaran agama dan dianggap tidak pantas (Rita Damayanti, 2015).
Secara penilaian agama, kaum LGBT dipandang sebagai kaum yang berdosa akibat
perbuatan mereka sendiri. Hal ini terjadi karena perbuatan mereka tidak patut untuk ditiru dan
karena menyimpang dari ajaran-ajaran agama yang menyatakan bahwa manusia hanya
diciptakan oleh Tuhan menurut gambar dan rupa-Nya. Perbuatan yang mereka lakukan
merupakan perbuatan yang tercemar secara rohaniah maupun jasmaniah. Jadi akibat
perbuatan tersebut kaum LGBT akhirnya disebut sebagai kaum pendosa.
3.1.4 Bidang Pendidikan
Dalam bidang pendidikan baik di jenjang TKK-Paud, SD, SMP, SMA-K, mau pun
perguruan tinggi, semua orang berhak untuk mendapatkan pendidikan serta
mengembangkannya. Kaum LGBT kerap kali mendapat banyak penindasan bahkan
pencemaran nama baik. Di lingkungan sekolah mereka kadang dikecam bahkan ditindak
sampai dianiaya. Perbuatan ini merupakan tindakan sengaja yang dilakukan teman sebaya
maupun dari para pendidik yang sama-sama mengabdi tempat tersebut. Dari kecemoohan dan
16
penindasan tersebut kaum LGBT juga kadang dirampas haknya dalam memperoleh akses
pendidikan.
Beberapa orang mengakatan bahwa di sekolah perlu adanya sosialisasi mengenai
LGBT supaya mereka yang LGBT dapat disembuhkan atau dicegah sejak dini dan bagi
masyarakat umum dan guru khususnya agar tidak memperlakukan mereka dengan buruk.
Namun, sebaiknya sosialisasi dilakukan ketika mereka yang terjerat homoseksual berumur
anak-anak sampai pada umur remaja karena mereka juga perlu persiapan yang matang untuk
mengeliolah pikiran dan akal budu mereka. Sosialisasi tersebut bukan hanya dilakukan
kepada mereka yang menganut LGBT, tetapi termasuk juga kepada mereka yang normal atau
tidak termasuk dalam kaum LGBT.
18
Jangnlah kita jatuh ke dalam dosa berusaha menggantikan Sang Pencipta. Kita adalah,
ciptaan, bukan yang maha kuasa. Ciptaan telah ada sebelum kita dan ini harus diterima
sebagai anugerah. Diwaktu yang sama kita panggil untun menjaga kemanusiaan kita dan hal
ini berarti pertama-tama menerima hal tersebut dan menghormatinya sebagaimana
kemanusiaan kita telah diciptakan (Paus Fransiskus, 2016).
Selain dari itu, ensiklik ini juga mengungkapkan bahwa, pendidikan seksual juga
mencakup rasa hormat dan penghargaan terhadap perbedaan, yang menunjukan pada setiap
orang kemungkinan mengatasi keterkurungan dalam keterbatasan diri sendiri dan terbuka
untuk menerima orang lain. dibalik aneka kesulitan yang dipahami, yang mungkin dialami
individu-individu, orang-orang muda perlu dibantu untuk menerima tubuh mereka sendiri
sebagaimana mereka diciptakan, dari “pikiran bahwa kita memiliki kekuasaan mutlak atas
tubuh kita sendiri, seringkali secara halus berubah menjadi pikiran bahwa kita memiliki
kekuasaan mutlak atas ciptaan. Menghargai tubuhnya sendiri sebagai laki-laki atau
perempuan juga diperlukan untuk dapat mengenali diri dalam perjumpaan orang yang
berbeda. Dengan demikian kita dengan sukacita dapat menerima anugerah khusus orang lain,
laki-laki atau perempuan, karya ciptaan Allah, dan dapat saling memperkaya.”
Ada dua cara berpikir yang selalu berulang disepanjang sejarah Gereja: mengucilkan
atau menyatukan kembali. Jalan Gereja, dari zaman konsili Yerusalem adalah Jalan Yesus,
Jalan belaskasih dan integrasi. Jalan Gereja tidaklah menghukum siapa pun selamanya; tetapi
mencurahkan rahmat Allah bagi semua yang memintanya dengan hati tulus. Karena
belaskasih sejati senantiasa tidak semestinya diberikan, tanpa syarat dan Cuma-Cuma.
Karenanya perlu untuk menghindari penghakiman yang tidak memperhitungkan kompleksitas
berbagai situasi dan harus memperhatikan bagaimana orang-orang hidup dan menderita
kesusahan karena kondisi mereka. Ini adalah soal menjangkau setiap orang, setiap orang
harus dibantu untuk menemukan jalanya sendiri untuk ambil bagian dalam komunitas Gereja
karena ia merasa diri sebagai subjek belas kasih yang tidak semestinya diberikan, tanpa syarat
dan Cuma-Cuma. Tidak ada orang yang dapat dipersalahkan selamanya karena hal itu bukan
logika injil.
20
BAB IV
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan, dapat diambil beberapa kesimpulan terkait
tanggapan Gereja Katolik terhadap martabat kaum LGBT di Indonesia:
1. Penerimaan Terhadap Martabat Kaum LGBT: Gereja Katolik memiliki sikap
tegas dalam menolak tindakan LGBT, terutama terkait dengan pernikahan sesama
jenis. Namun, Gereja tetap menghargai martabat individu LGBT sebagai manusia
yang diciptakan oleh Tuhan, dan menentang segala bentuk diskriminasi atau
kekerasan terhadap mereka.
2. Penolakan Terhadap Pernikahan Sesama Jenis: Gereja Katolik memandang
bahwa pernikahan sesama jenis bertentangan dengan ajaran moral Kristiani.
Meskipun menolak tindakan tersebut, Gereja tetap mengakui hak-hak dasar dan
martabat luhur LGBT sebagai manusia yang patut dihormati.
3. Pendekatan Pastoral: Gereja Katolik mengadopsi pendekatan pastoral yang
memperhatikan keberagaman individu dan memahami kompleksitas situasi
kehidupan. Meskipun menolak praktek homoseksual, Gereja berupaya memahami dan
mendampingi individu LGBT untuk hidup sesuai dengan ajaran Tuhan.
4. Penolakan Terhadap Diskriminasi: Gereja Katolik dengan tegas menentang segala
bentuk diskriminasi terhadap LGBT. Hal ini menunjukkan komitmen Gereja terhadap
keadilan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, tanpa memandang orientasi
seksual seseorang.
4.2 SARAN
Berdasarkan kesimpulan di atas, beberapa saran dapat diajukan:
1. Peningkatan Edukasi dan Dialog: Gereja Katolik dapat meningkatkan edukasi dan
dialog terkait isu LGBT dalam konteks ajaran moral Kristiani. Melalui pendekatan
ini, masyarakat Katolik dapat lebih memahami pandangan Gereja dan memberikan
ruang bagi dialog terbuka.
2. Penguatan Pendekatan Pastoral: Gereja Katolik perlu terus memperkuat
pendekatan pastoral terhadap individu LGBT. Pemberian dukungan moral dan
spiritual dapat membantu mereka menjalani kehidupan sesuai dengan ajaran agama,
sambil tetap menjaga penghargaan terhadap martabat mereka.
21
3. Aktivitas Sosial dan Kemanusiaan: Gereja Katolik dapat lebih aktif terlibat dalam
kegiatan sosial dan kemanusiaan yang mendukung hak-hak LGBT tanpa
mengesampingkan ajaran moral yang dianut. Ini dapat menciptakan lingkungan yang
inklusif dan mendukung bagi semua orang.
4. Pendampingan dan Konseling: Menyediakan layanan pendampingan dan konseling
khusus bagi individu LGBT yang ingin hidup sesuai dengan ajaran agama.
Pendampingan ini dapat membantu mereka mengatasi tantangan dan menjalani
kehidupan yang sejalan dengan nilai-nilai agama Katolik.
Dengan adanya upaya-upaya ini, diharapkan Gereja Katolik dapat menjalankan
perannya sebagai agen perubahan yang mempromosikan keadilan, penghormatan terhadap
hak asasi manusia, dan penerimaan terhadap keberagaman manusia.
22
DAFTAR PUSTAKA
Wahhab, “Memahami Istilah LGBT Lebih Dalam”, dppkbpmd.bantulkab.go.id, diakses pada 12 Maret 2022.
R. Hardawirjana, SJ, Index Analitis (Jakarta: Depertemen Dokumentasi Dan Penerangan KWI,
1992), hlm. 37-38.
ALKITAB DEUTERONIKA (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2013), hlm. 1.
Dr. Munadi, MA, DISKURSUS HUKUM LGBT DI INDONESIA (Sulawesi: Unimal Press, 2017), hlm. 12.
Team Pustaka Phoenix, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Pustaka Phoenix, 2007), hlm. 278.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:
Balai Pustaka, 1988), hlm. 121.
Istiqmah, “Keberadaan Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) di Indonesia Melalui Cerminan
Sosial dan Budaya dalam Perspektif Hukum dan Ham”, hhtp://repository.ubharajaya.ac.id, diakses
pada 25 April 2022.
23
LAMPIRAN
24
DAFTAR PUSTAKA
25
26