Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH ANTROPOLOGI HUKUM

DOSEN PENGAMPU : MIEKE APRILIA UTAMI., S.H., M.Kn

DISUSUN OLEH :

NAMA : SELPIA

NIM : 21.400.0044

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS


HUKUM DAN BISNIS UNIVERSITAS CAHAYA
BANGSA PSDKU KAPUAS

2023
Kata Pengantar

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas selesainya makalah yang berjudul
"Antropologi Hukum". Atas dukungan moral dan materil yang diberikan dalam penyusunan makalah ini, maka
penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Ibu Mieke Aprilia Utami., S.H., M.Kn, selaku dosen pengampu
yang memberikan materi pendukung, masukan, bimbingan kepada penulis sorta rekan-rekan sekelas penulis yang
telah memberi dukungan kepada penulis untuk membuat makalah ini.

Makalah ini merupakan hasil dari tugas mandiri bagi para mahasiswa, untuk belajar dan mempelajari lebih
lanjut mengenaitopik Antropologi Hukum. Penyusunan makalah ini bertujuan untuk menumbuhkan proses belajar
mandiri kepada mahasiswa, agar kreativitas dan penguasaan materi kuliah dapat optimal sesuai dengan yang
diharapkan.

Dengan adanya makalah ini diharapkan dapat membantu mahasiswa dalam mengetahui dan mendalami
mengenai Antropologi Hukum.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan senantiasa menjadi sahabat dalam belajar untuk meraih prestasi
yang gemilang. Penulis menyadari bahwa makalah ini belumlah sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun dari dosen pengampu mata kuliah dan juga teman-teman sangatpenulis harapkan untuk perbaikan dan
penyempurnaan dalam belajar pada masa mendatang.

Kuala Kapuas, 27 Januari 2023

Selpia
Daftar Isi

KATA PENGANTAR........................................................................................................... 2

DAFTAR ISI.......................................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................... 4

1.1 Latar Belakang..................................................................................................... 4

1.2 Rumusan Masalah............................................................................................... 5

1.3 Tujuan Penelitian................................................................................................ 5

BAB II PEMBAHASAN....................................................................................................... 6

2.1 Sejarah Antropologi Hukum............................................................................... 6

2.2 Pengertian Antropologi Hukum......................................................................... 15

2.3 Metode Penelitian dan Pendekatan Antropologi Hukum................................. 16

2.4 Peran.................................................................................................................. 17

2.5 Status................................................................................................................. 17

2.6 Nilai................................................................................................................... 18

2.7 Norma................................................................................................................ 19

2.8 Kebudayaan....................................................................................................... 19

BAB III PENUTUP.............................................................................................................. 21

3.1 Kesimpulan......................................................................................................... 21

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................... 23
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Antropologi secara etimologis berasal dari bahasa Yunani. Kata Anthropos berarti mansia dan logos berarti
ilmu pengetahuan. Jadi, antropologi adalah ilmu yang mempelajari manusia. Oleh karena itu antropologi
didasarkan pada kemajuan yang telah dicapai ilmu pengetahuan sebelumnya.

Pitirim Sorokim mengatakan bahwa Sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari hubungan dan pengaruh
timbal balik antara aneka macam gejala-gejala sosial (gejala ekonomi dengan agama, keluarga dengan moral,
hukum dengan ekonomi) dengan gejala lainnya (nonsosial).

Berbeda dengan pendapat Rouceke dan Warren yang mengatakan bahwa Sosiologi adalah ilmu yang
mempelajari hubungan manusia dengan kelompok-kelompok.

Berasarkan uraian di atas, maka Sosiologi adalah jelas merupakan ilmu sosial yang objeknya adalah
masyarakat sebagai ilmu. Ia berdiri sendiri karena telah memiliki unsur ilmu pengetahuan.

Dalam ilmu antropologi hukum dipelajari juga mengenaiStatus atau kedudukan, Nilai, Norma dan juga
Budaya atau kebudayaan. Keempat hal tersebut berkaitan erat dengan ilmu antropologi hukum.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana sejarah adanya antropologi hukum?

2. Apakah pengertian antropologi hukum?

3. Bagaimana metode penelitian dan pendekatan antropologi hukum dilakukan?

4. Apakah pengertian Peran atau Peranan dalam ilmu antropologi hukum?

5. Apakah pengertian Status atau Kedudukan dalam ilmu antropologi hukum?

6. Apakah pengertian Nilai dalam ilmu antropologi hukum?

7. Apakah pengertian Norma dalam ilmu antropologi hukum?

8. Apakah pengertian Budaya atau Kebudayaan dalam ilmu antropologi hukum?


1.3 TUJUAN PENELITIAN

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui sejarah antropologi hukum.

2. Mengetahui pengertian antropologi hukum.

3. Mengetahui metode penelitian dan pendekatan antropologi hukum.

4. Mengetahui pengertian peran atau peranan dalam ilmu antropologi hukum.

5. Mengetahui pengertian status atau kedudukan dalam ilmu antropologi hukum.

6. Mengetahui pengertian nilai dalam ilmu antropologi hukum.

7. Mengetahui pengertian norma dalam ilmu antropologi hukum

8. Mengetahui pengertian budaya atau kebudayaan dalam ilmu antropologi hukum.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 SEJARAH ANTROPOLOGI HUKUM

Awal pemikiran antropologis tentang hukum dimulai dengan studi-studi yang dilakukan oleh kalangan ahli
antropologi, bukan dari kalangan sarjana hukum. Awal kelahiran antropologi hukum biasanya dikaitkan dengan
karya klasik Sir Henry Maine yang bertajuk The Ancient Law yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1861. Ia
dipandang sebagai peletak dasar studi antropologis tentang hukum melalui introduksi teori evolusionistik
mengenai masyarakat dan hukum. Secara umum tema kajian antropologi hukum dapat dibagi dalam 3 fase, yaitu
Fase Evolusionisme, Fase Fungsionalisme, Fase Pluralisme.
1. Fase Evolusionisme (1861-1926)
Tema-tema kajian yang dominan pada fase evolusionisme atau awal perkembangan Antropologi Hukum adalah
berkisar pada eksistensi hukum. Perspektif pada fase ini adalah adanya anggapan hukum berevolusi/berkembang
sesuai dengan perkembangan masyarakatnya. Studi evolusionistik Antropologi Hukum dimulai oleh Sir Henry
Maine dalam bukunya The Ancient Law (1861), yang mengatakan bahwa perkembangan hukum menyesuaikan
dengan perkembangan masyarakatnya, yang dimulai dari masyarakat purba, masyarakat suku, dan masyarakat
wilayah bersama.
Menurut Maine, pada masyarakat purba, masyarakatnya masih disibukkan dengan urusan makanan dan
melangsungkan keturunan, sehingga dikatakan pada waktu itu belum ada hukum. Kemudian masyarakat suku
menyadari bahwa mereka berasal dari keturunan yang sama. Kesadaran ini membentuk ikatan hubungan darah
yang disebut masyarakat suku (tribal society). Pada masyarakat suku ini, kata Maine pada dasarnya masih belum
ada hukum, tetapi dikatakan ada hukum jika hukum tersebut berlaku secara kontinyu bukan secara insidental.
Kemudian masyarakat suku timbul kesadaran baru bahwa suku-suku yang ada bertempat tinggal pada teritorial
bersama, sehingga terbentuk masyarakat wilayah bersama. Pada masyarakat ini sudah terbentuk pemerintahan baik
monarki maupun republik. Perkembangan hukum pada masyarakat ini dibedakan menjadi dua, masyarakat wilayah
bersama yang statis (diluar Eropa dan Amerika Utara) hukumnya masih sederhana, sedangkan pada masyarakat
wilayah bersama yang dinamis, bentuk hukumnya sudah kompleks dan modern.
Tokoh kedua pada fase evolusionisme adalah J.J. Bachofen dengan bukunya Das Mutterecht (terbit 1861).
Menurut Bachofen perkembangan masyarakat dimulai dari Gemeinschaft menuju masyarakat Gesseischaft.
Masyarakat Gemeinschaft adalah suatu masyarakat yang masih menjunjung tinggi semangat kebersamaan,
kekeluargaan, gotong-royong dalam kehidupannya. Pada masyarakat ini bentuk hukumnya mengikuti
masyarakatnya, artinya hukum yang terbentuk masih mengutamakan hal-hal yang sifatnya komunal.
Kemudian pada masyarakat Gesseischaft adalah suatu masyarakat yang sudah menggunakan rasionalisme,
individualisme, dan ekonomis dalam kehidupannya. Demikian pula hukum yang terbentuk pada masyarakat ini
menempatkan kepentingan pribadi, rasionalitas dan ekonomis diatas kepentingan bersama.
2. Fase Fungsionalisme (awal abad ke-20)
Selanjutnya pada fase fungsionalisme ini, terjadi perdebatan apa itu hukum, apakah hukum ada pada semua
masyarakat, dari para peminat Antropologi Hukum. Dimulai dari A.R Radcliffe Brown yang mengatakan hukum
adalah suatu sistem pengendalian sosial yang hanya muncul dalam kehidupan masyarakat yang berada dalam suatu
bangunan negara. Alasannya, hanya dalam suatu organisasi sosial seperti negara terdapat pranata-pranata hukum
seperti polisi, pengadilan, penjara dan lain-lain sebagai pranata negara yang mutlak harus ada untuk menjaga
keteraturan sosial dalam masyarakat. Oleh karena itu, dalam masyarakat-masyarakat bersahaja yang tidak
terorganisasi secara politis sebagai suatu negara tidak mempunyai hukum. Walaupun tidak mempunyai hukum,
ketertiban sosial dalam masyarakat tersebut diatur dan dijaga oleh tradisi-tradisi yang ditaati oleh warga
masyarakat secara otomatis-spontan (automatic spontaneus submission to tradition).
Pendapat Brown ini, yang mengatakan bahwa hukum tidak semata-mata terdapat dalam masyarakat yang
terorganisasi suatu negara, tetapi hukum sebagai sarana pengendalian sosial terdapat dalam setiap bentuk
masyarakat. Hukum dalam masyarakat sederhana, dikritik oleh Bronislaw Malinowski dalam bukunya Crime and
Punishment in Savage Society yang terbit tahun 1926, menurut Malinowski juga bukan ditaati karena adanya tradisi
ketaatan yang bersifat otomatis, tetapi hukum harus diberi pengertian luas, yaitu sebagai suatu sistem pengendalian
sosial (legal order system) yang didasarkan pada prinsip timbal-balik (principle of reciprocity) dan publisitas
(principle of publicity) yang secara empiris berlangsung dalam kehidupan masyarakat.
Pendapat Malinowski ini memperoleh komentar dan kritik dari Paul Bohannan (Law and Warfare, Studies in
the Anthopology of Conflict, 1967:45-49) yang mengatakan sebagai berikut :
1. Mekanisme resiprositas dan publisitas sebagai kriteria untuk mengatur hak dan kewajiban dalam kehidupan
masyarakat pada dasarnya bukanlah merupakan hukum, tetapi hanya merupakan suatu kebiasaan (custom)
yang digunakan masyarakat untuk menjaga keteraturan sosial.
2. Pengertian hukum harus dibedakan dengan tradisi atau kebiasaan, atau lebih spesifik norma hukum
mempunyai pengertian yang berbeda dengan kebiasaan. Norma hukum adalah peraturan yang mencerminkan
tingkah laku yang seharusnya dilakukan dalam hubungan antar individu. Sedangkan kebiasaan merupakan
seperangkat norma yang diwujudkan dalam tingkah laku dan berlangsung dalam kurun waktu yang lama.
Kadang kala kebiasaan bisa sama dan sesuai dengan hukum, tetapi bisa juga bertentangan dengan
norma-norma hukum.
Oleh karena itu Bohannan mengajukan definisi hukum sebagai seperangkat kewajiban yang dipandang
sebagai hak warga masyarakat dan kewajiban bagi warga masyarakat yang lain, yang telah dilembagakan ulang
menjadi institusi hukum untuk mencapai tujuan agar kehidupan masyarakat dapat berfungsi dan teratur. Karena itu,
dikatakan bahwa resiprositas berada pada basis kebiasaan, tetapi kebiasaan yang telah dilembagakan sebagai
norma hukum melalui tahapan yang disebut double institutionalization of norm atau pelembagaan kembali norma.
Selanjutnya, Leopold Pospisil (Anthopology of Law, A Comparative Study, 1971: 39-35) mengajukan
definisi hukum sebagai suatu aktivitas kebudayaan yang berfungsi sebagai alat untuk pengendalian sosial. Untuk
membedakan peraturan hukum dengan norma-norma lain, yang sama-sama mempunyai fungsi sebagai sarana
pengendalian sosial, maka peraturan hukum dicirikan mempunyai 4 atribut (attributes of law) yaitu:
1. Atribut kekuasaan/otoritas (attribute of authority), adalah keputusan-keputusan dari pemegang otoritas
untuk menyelesaikan sengketa.
2. Atribut penerapan secara universal (attribute of intention of universal aplication) artinya
keputusan-keputusan pemegang otoritas juga akan diaplikasikan terhadap peristiwa-peristiwa yang sama
secara universal.
3. Atribut obligasio (attribute of obligation) berarti keputusan pemegang otoritas tersebut mengandung
suatu pernyataan bahwa pihak pertama memilki hak untuk menagih sesuatu dari pihak kedua, dan pihak
kedua mempunyai kewajiban untuk memenuhi hak pihak pertama.
4. Atribut sanksi (attribute of sanction) berarti keputusan-keputusan dari pihak pemegang otoritas juga
disertai penjatuhan sanksi.
Dalam konteks hukum adat Indonesia, konsep hukum yang semata-mata berdasarkan atribut otoritas,
juga diperkenalkan oleh Ter Haar dengan teorinya Teori Keputusan yang mendefinisikan hukum sebagai
keputusan-keputusan kepala adat terhadap kasus sengketa dan non sengketa.
3. Fase Pluralisme Hukum (1940-sekarang)
Fase ini terbagi menjadi sub-sub fase antara lain : 1) Fase antropolgi hukum penyelesaian sengketa
(1940-1950-an); 2) Fase pluralisme hukum penyelesaian sengketa dan non sengketa (1960-1970-an); 3) Fase
pluralisme hukum pengelolaan sumber daya alam, lingkungan hidup dan lain-lain (1990-sekarang).
Pada Fase Antropologi Hukum penyelesaian sengketa, teori-teori evolusionisme dan fungsionalisme
mulai ditinggalkan dan bergeser ke arah untuk memahami mekanisme-mekanisme penyelesaian sengketa dalam
masyarakat. Metode penelitian juga sudah berganti dari studi pustaka/dokumen menjadi studi lapangan (fields
research). Karya klasik dari Karl Llewellyn dan E.A. Hoebel bertajuk The Cheyenne Way (1941) merupakan hasil
studi lapangan kolaborasi dari seorang sarjana hukum (Llewellyn) dengan ahli antropologi (Hoebel) dalam
masyarakat Indian Cheyenne di AS. Kemudian Hoebel mempublikasikan hasil studinya dengan judul The Law of
Primitive Man (1954), disusul karya Gluckman mengenai hukum orang Barotse dan lozi di Afrika, juga karya
Bohannan mengenai hukum orang Tiv, dan Gulliver mengenai hukum orang Arusha dan Ndenduli, serta karya
Pospisil tentang hukum orang Kapauku di Papua. Pada fase ini, kajian yang menonjol adalah penemuan hukum
orang Arusha dan Ndenduli, serta karya Pospisil tentang hukum orang Kapauku di Papua. Kajian yang menonjol
adalah penemuan hukum dengan menelusuri kasus sengketa. Pada masa itu, untuk menemukan hukum pada
masyarakat yang belum megenal tulisan dipakai metode 3 jalan raya hukum yaitu:
1. Metode ideologis, adalah cara penemuan hukum dengan mencari aturan atau norma yang dipersepsikan
sebagai hukum/pedoman perilaku.
2. Metode deskriptif, ialah cara penemuan hukum dengan mengamati perilaku anggota masyarakat untuk
diabstraksikan menjadi hukum.
3. Metode kasus sengketa, adalah cara penemuan hukum dengan mengikuti, mengamati dan menelaah kasus
yang telah atau sedang terjadi di masyarakat.
Menurut Hoebel, metode pertama dan kedua mempunyai kelemahan yaitu pada metode pertama kita hanya
mendapatkan aturan yang belum tentu dipraktekan dalam kasus yang sedang dihadapi. Sedangkan pada metode
kedua, perilaku yang muncul belum tentu menunjukkan keadaan yang sebenarnya, jika sedang menghadapi
sengketa. Oleh karena itu, metode ketiga sangat cocok dan komplit, karena didalamnya kita dapat menemukan apa
yang ditemukan dalam metode pertama dan kedua. Selain itu metode ini dipandang lebih ilmiah karena
menerapkan metode induktif (dari khusus ke umum).
Dalam kepustakaan sosiologi sengketa disebut dengan konflik. Pengertian konflik adalah fenomena sosial
yang bersifat semesta (universal) dan melekat (inherent) dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu konflik
tidak perlu dilihat sebagai gejala patologis yang bersumber dari tingkah-laku devian/abnormal, karena setiap
komunitas masyarakat mempunyai kapasitas untuk menciptakan norma-norma dan mekanisme-mekanisme
tersendiri untuk menyelesaikan konflik-konflik yang muncul dalam pergaulan sosial warga masyarakat.
Dalam perspektif antropologi hukum, fenomena konflik mempunyai makna ganda yaitu makna negatif dan
makna positif. Makna negatif, konflik menimbulkan disintegrasi suatu kehidupan sosial dan melemahkan kohesi
sosial atau menimbulkan kerusakan suatu sistem hubungan sosial dalam masyarakat. Makna positif, konflik dapat
mempertahankan integrasi sosial, memperkokoh ikatan sosial, memberi kontribusi untuk mengembalikan
keseimbangan hubungan sosial antar individu atau kelompok. Makna positif akan terwujud jika pihak-pihak yang
terlibat konflik secara bersama-sama dapat mengelola, mengendalikan, dan menyelesaikan konflik yang dihadapi
secara dewasa, bijak, damai, dengan atau tanpa mengundang kehadiran pihak ketiga (Gluckman, 1956).
Secara umum dikatakan bahwa terjadinya konflik dalam masyarakat bersumber dari persoalan-persoalan
sebagai berikut:
1. Penguasaan, pemanfaatan dan distribusi sumber daya alam (natural resources control and distribution)
2. Ekspansi batas wilayah kehidupan suatu kelompok masyarakat (terittoriality expantion)
3. Kegiatan ekonomi masyarakat (economic activities); dan
4. Kepadatan penduduk (density of population).
Dalam perspektif Antropologi Hukum, konflik yang yangterjadi dalam masyarakat paling tidak
dapat dikategorisasi menjadi 3 macam, yaitu:
1. Konflik kepentingan (conflict of interests)
2. Konflik nilai-nilai (conflict of values)
3. Konflik norma (conflict of norms).
Nader dan Todd (1978) menyatakan bahwa pada dasarnya konflik-konflik yang terjadi di masyarakat
melalui tahapan-tahapan konflik sebagai berikut:
1. Pra konflik, adalah keadaan yang mendasari rasa tidak puasseseorang, bersifat monadik.
2. Konflik, adalah keadaan dimana para pihak menyadari atau mengetahui adanya perasaan tidak puas tersebut,
bersifatdiadik.
3. Sengketa, adalah keadaan dimana konflik tersebut dinyatakan di muka umum atau melibatkan pihak ketiga,
bersifat triadikatau publik.
Sedangkan model-model penyelesaian konflik yang dikenal dalam masyarakat sederhana maupun modern
adalah sebagai berikut:
1. Membiarkan saja (lumping it), salah satu pihak tidak menanggapi keluhan, gugatan, tuntutan pihak lain atau
mengabaikan konflik yang terjadi dengan pihak lain.
2. Menghindar (avoidance), salah satu pihak menghindari konflik karena tidak berdaya atau untuk menjaga
hubungan dengan pihak lain.
3. Kekerasan (coersion), penyelesaian dengan mengandalkan kekuatan fisik dan kekerasan, seperti melakukan
tindakan hukum sendiri (self-helf atau eigenrichting) atau bentuk perang antar suku (warfare).
4. Negosiasi, melalui proses kompromi antara pihak-pihak yang berkonflik.
5. Mediasi, melalui kesepakatan antara pihak-pihak untukmelibatkan pihak ketiga (mediator dalam
penyelesaian konflik, walau hanya berfungsi sebatas perantara (go-between) yang bersifat pasif, karena inisiatif
untuk mengambil keputusan tetap didasarkan pada kesepakatan pihak-pihak yang berkonflik.
6. Arbitrase, melalui kesepakatan untuk melibatkan pihak ketiga yang disebut arbitrator sebagai wasit yang
memberi keputusan tersebut harus ditaati dan dilaksanakan oleh pihak-pihak yang berkonflik.
7. Adjudikasi, melalui institusi pengadilan yang keputusannya mengikat para pihak.
Sistem, nilai, norma, politik ekonomi dan keyakinan sangat mempengaruhi pilihan bentuk institusi dan
model-model penyelesaian konflik dalam masyarakat. Institusi penyelesaian konflik yang dikenal dalam
masyarakat paling tidak ada 2 macam, diantaranya :
1. Institusi tradisional (folk institutions), biasanya dipilih oleh masyarakat yang masih sederhana dan subsistem,
dimana relasi antar individu, hubungan kekerabatan dan kelompok masih kuat, maka maksud penyelesaian
sengketa adalah untuk mengembalikan magis dalam masyarakat.
2. Institusi negara (state institusion), biasanya dipilih oleh masyarakat yang sudah kompleks dan modern,
dimana relasi sosial lebih bersifat individualistik, berorientasi pada ekonomi pasar, maka maksud penyelesaian
sengketa dengan mengacu pada hukum negara yang legalistik.
Daniel S. Lev. Indonesianis dari Amerika Serikat (1972) pernah melakukan penelitian mengenai budaya
hukum penyelesaian sengketa masyarakat pedesaan di Jawa dan Bali menyimpulkan sebagai berikut :
1. Dalam kehidupan sosial sebagian besar masyarakat Indonesia cenderung untuk menghindari konflik dengan
siapapun, karena nilai-nilai pergaulan sosial yang dianut lebih bersifat personal, komunal, mengutamakan
solidaritas dan bernuansa magis.
2. Konflik antar individu sedapat mungkin dihindari, dan kalaupun harus terjadi cenderung ditutupi
dengan gaya yang halus, tidak merusak hubungan/pergaulan sosial, tidak menjatuhkan derajat/martabat pihak
yang diajak konflik.
3. Fokus penyelesaian konflik bukan pada penerapan peraturan hukum, tetapi lebih pada upaya pelenyapan
konflik yang menjadi sumber ketegangan sosial.
4. Makna penyelesaian konflik bukan pada persoalan kalah-menang, tetapi menjadi kewajiban para pihak untuk
menghentikan perselishan dan meniadakan ketegangan sosial yang telah terjadi.
5. Para pihak yang berkonflik lebih melihat pihak ketiga (petugas hukum) dari pada peraturan-peraturan hukum
yang mengatur penyelesaian sengketanya.
Pada Fase Pluralisme Hukum Penyelesaian Sengketa dan Non Sengketa, tema kajian pluralisme hukum
pada awalnya difokuskan pada fenomena kemajemukan cara penyelesaian sengketa dalam masyarakat melalui
mekanisme dan institusi tradisional yang dikenali masyarakat setempat. Kemudian tema-tema studi pluralisme
model penyelesaian sengketa selain menurut hukum yang diberlakukan pemerintah kolonial di negeri
jajahannya, juga menurut hukum positif yang berlaku di negara-negara merdeka.
Sejak tahun 1970-an tema studi Antropologi Hukum secara sistematis difokusnya pada korelasi antara
institusi-institusi penyelesaian sengketa secara tradisional dalam masyarakat menurut hukum rakyat (folk law) dan
menurut institusi penyelesaian sengketa menurut hukum Negara (state law). Karya-karya Nader dan Todd, van
Rouverory van Nieuwaal, suami-istri Franz dan Keebet von Benda Backmann mewakili masa itu. Nader dan Todd
(1978) sebagai hasil riset dari Berkeley Village Law Project, memfokuskan kajiannya pada proses-proses,
mekanisme-mekanisme, institusi-institusi penyelesaian sengketa yang dikenal dalam komunitas-komunitas
masyarakat tradisional maupun masyarakat modern di sepuluh negara dunia. Kemudian Niewaal melakukan riset
tentang mekanisme penyelesaian sengketa dalam kehidupan orang Togo di Afrika. Franz (1979) dan Keebet (1984)
memberi pemahaman tentang proses mekanisme dan institusi penyelesaian sengketa mengenai harta warisan di
kalangan orang Minangkabau menurut pengadilan adat dan pengadilan negeri di Sumatera Barat. Karya Sally
Falk M (1978) mulai meninggalkan tema pluralisme hukum penyelesaian sengketa berganti temapluralisme hukum
diluar penyelesaian sengketa, dengan penelitiannya tentang persoalan agrarian pada suku Chagga di Tanzania
(Afrika). Mekanisme dalam proses produksi di satu pabrik garment terkenal di AS
Berikutnya kajian pluralisme hukum dalam berbagai hal mengemuka sejak 1970-an. Pluralisme hukum
menurut Griffiths (1986:1) di definisikan sebagai situasi dimana dua atau lebih sistem hukum bekerja secara
berdampingan dalam suatu bidang kehidupan sosial yang sama. Sedangkan Hooker (1975:3) menjelaskan
pluralisme hukum sebagai situasi dimana dua atau lebih sistem hukum berinteraksi dalam satu kehidupan sosial.
Sementara itu Franz von Benda Beckmann mengartikan pluralisme hukum sebagai kondisi dimana lebih dari satu
sistem hukum atau institusi bekerja dengan berdampingan dalam aktivitas-aktivitas dan hubungan-hubungan dalam
satu kelompok masyarakat.
Ajaran mengenai pluralisme hukum (legal pluralism) secara umum dipertentangkan dengan ideologi
sentralisme hukum (legal centralism). Ideologi sentralisme hukum diartikan sebagai suatu ideologi yang
menghendaki pemberlakuan hukum negara sebagai satu-satunya hukum bagi semua warga masyarakat, dengan
mengabaikan eksistensi sistem-sistem yang lain, seperti hukum agama, hukum kebiasaan, dan semua bentuk
mekanisme-mekanisme pengaturan lokal yang secara empiris berlangsung dalam kehidupan masyarakat. Jadi,
ideologi sentralisme hukum cenderung mengabaikan kemajemukan sosial dan budaya dalam masyarakat. Oleh
karena itu pemberlakuan sentralisme hukum dalam suatu komunitas masyarakat yang memiliki kemajemukan
sosial dan budaya hanya merupakan sebuah kemustahilan.
Menurut Griffiths, pluralisme hukum pada dasarnya dibedakan menjadi dua macam, yaitu pluralisme hukum
yang kuat dan pluralisme hukum yang lemah. Pluralisme hukum yang kuat (strong legal pluralism) mengacu pada
fakta adanya kemajemukan tatanan hukum dalam semua kelompok masyarakat yang dipandang sama
kedudukannya, sehingga tidak ada hierarki yang menunjukkan hukum yang satu lebih dominan dari sistem hukum
yang lain. Sedangkan pluralisme hukum yang lemah, merupakan bentuk lain dari pada sentralisme hukum, karena
walaupun hukum negara mengakui adanya sistem-sistem hukum yang lain, tetapi hukum negara tetap dipandang
sebagai superior, sementara sistem hukum yang bersifat inferior. Contoh konsep pluralisme hukum yang lemah
adalah interaksi sistem hukum pemerintah kolonial dengan sistem hukum rakyat dan hukum agama yang
berlangsung di negara-negara jajahan.
Setelah munculnya teori Semi Autonomous Social Field dari Sally Falk Moore (1978), maka Griffiths
mengadopsi teori Moore, sehingga hukum yang dimaksud dalam konsep pluralisme menjadi tidak terbatas pada
sistem hukum negara, hukum kebiasaan, atau hukum agama saja, tetapi kemudian diperluas termasuk juga sistem
normative yang berupa mekanisme-mekanisme pengaturan sendiri. Pada tahap perkembangan ini, konsep
pluralisme hukum lebih menekankan pada interaksi dan ko-eksistensi berbagai sistem hukum yang mempengaruhi
bekerjanya norma, proses, dan institusi hukum dalam masyarakat.
Pada Fase pluralisme hukum pengelolaan sumber daya alam tahun 1970-an tema studi-studi Antropologi
Hukum cenderung lebih diarahkan untuk memberi pemahaman mengenai fungsi dan peran hukum dalam
fenomena pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup, seperti ditunjukkan karya bersama Joop Spiertz
dan Melanie G. Wilber (eds) yang bertajuk the role of law in natural resources management(1996). Kecendrungan
lainnya, pada april 2002 the commission on folk law and legal pluralism menyelenggarakan the XIII-th
international congress and symposium di Chiang Mai, Thailand dengan tajuk legal pluralism and unofficial law in
social, economic and political development. Selanjutnya perkembangan terakhir pada bulan juni 2006 lalu di
universitas Indonesia, Jakarta the commission on folk law and legal pluralism kembali menyelenggarakan kongres
dan symposium internasional dengan tema law, power and culture : transnational, national and local process in
the contex of legal pluralism. Pada kongres ini selain berfokus pada kemajemukan pengelolaan dan hak
penguasaan masyarakat adat atas sumber daya alam, juga dibahas topik kajian hukum ber-perspektif jender, agama
dan kemajemukan hukum, regulasi hak asasi manusia, perlindungan HKI, masalah jaminan sosial, KDRT,
trafficking (perdagangan manusia), hak atas kesehatan reproduksi, sampai aspek penanggulangan bencana alam.
2.2 PENGERTIAN ANTROPOLOGI HUKUM

Pengertian Antropologi dapat dilihat dari 2 sisi yaitu Antropologi sebagai ilmu pengetahuan artinya bahwa
Antropologi merupakan kumpulan pengetahuan-pengetahuan tentang kajian masyarakat dan kebudayaan yang
disusun secara sistematis atas dasar pemikiran yang logis. Pengertian Antropologi yang kedua adalah cara-cara
berpikir untuk mengungkapkan realitas sosial dan budaya yang ada dalam masyarakat dengan prosedur dan
teori yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.

2.3 METODE PENELITIAN DAN PENDEKATAN DALAM ANTROPOLOGI HUKUM

Metode Penelitian Antropologi Hukum adalah sebagai berikut:


1. Metode Ideologis,metode ini dilakukan untuk penelitian penjajahan dengan memperlajari kaidah-kaidah
hukum yg ideal (norma ideal) yg tertulis maupun yg tdk tertulis.Penelitian ini memperoleh prinsip-prinsip
hukum dalam kehidupan masyarakat.
2. Metode Deskriptif,penelitian ini bersifat penjajahan yang bermaksud untuk mengetahui bagaimana
hukum dlm kenyataannya dapat diterima dalam kehidupan masyarakat.
3. Study Kasus, biasanya mempelajari kasus-kasus perselisihan kelompok masyarakat, latar belakang
kultur yg menyebabkannya dan rencana solusi penyelesaiannya.
Metode Pendekatan dalam Antropologi Hukum adalah sebagai berikut:
1. Metode Historis mempelajari perilaku manusia dan budaya hukumnya dgn kacamata sejarah.
Perkembangan karakteristik budaya merupakan awal budaya masyarakat.Budaya hukum yaitu ide, gagasan,
harapan masyarakat terhadap hukum.
2. Metode Deskriptif Prilaku menggambarkan perilaku manusia dan budaya hukumnya termasuk
melukiskan / menggambarkan perilaku nyata jika mereka sedang berselisih / bersengketa. (melihat system
hukum mana yg digunakan (hukum adat atau hukum Negara)
3. Metode Study Kasus mempelajari kasus-kasus hukum dan penyelesaiaannya yang berkembang dalam
masyarakat. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan merupakan alternative terakhir.
Setiap masyarakat mempunyai persamaan terhadap suatu perkara, peristiwa, bahkan terhadap
ideologi karena itu merupakan jaminan dalam suatu kesatuan (komunitas). Budaya hukum bukan merupakan
budaya pribadi, melainkan merupakan budaya yang menyeluruh dari suatu masyarakat tertentu yang
merupakan satu kesatuan sikap dan prilaku.
Dengan mempelajari antropologi hukum kita dapat mengetahui bahwa kemanfaatan antropologi hukum
tidak saja dapat dilihat dari segi kebutuhan teoritis tetapi dilihat juga dari peningkatan mutu berfikir ilmiah
khususnya dilingkungan perguruan tinggi terutama kepada ilmu-ilmu sosial dan terkhusus pula yang
mempelajari tentang ilmukemasyarakatan serta ilmu ilmu-ilmu budaya dan hukum dan terkhusus kepada
praktisi-praktisi hukum yaitu dalam rangka pembangunan hukum, pembentukan peraturan-peraturan
hukum, penegakan serta penerapan hukum dan keadilan dalam kehidupan masyarakat.

2.4 PERAN

Peranan merupakan aspek dinamis dari kedudukan, yaitu seorang yang melaksanakan hak-hak dan
kewajibannya. Artinya, apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya,
maka dia telah menjalankan suatu peranan. Suatu peranan paling tidak mencakup tiga hal berikut :
1. Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam
masyarakat
2. Peranan merupakan suatu konsep perihal apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat
sebagai organisasi.
3. Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial.

Peranan yang melekat pada diri seseorang harusa dibedakan dengan posisi dalam pergaulan masyarakat.
Posisi seseorang dalam masyarakat (social-position) merupakan unsur statis yang menunjukkan tempat
individu dalam masyarakat. Peranan lebih banyak menunjuk pada fungsi, penyesuaian diri, dan sebagai suatu
proses. Jadi, seseorang menduduki suatu posisi dalam masyarakat serta menjalankan suatu peranan.

2.5 STATUS

Kedudukan (status) diartikan sebagai tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial.
Sedangkan kedudukan sosial (social status) artinya tempat seseorang secara umum dalam masyarakatnya
sehubungan dengan orang lain, dalam arti lingkungan pergaulannya, prestisenya, dan hak-hak serta
kewajiban-kewajibannya. Namun untuk mempermudah dalam pengertiannya maka dalam kedua istilah di atas
akan dipergunakan dalam arti yang sama dan digambarkan dengan istilah “kedudukan” (status) saja.
Masyarakat pada umumnya mengembangkan dua macam kedudukan(status), yaitu sebagai berikut :
1. Ascribed Status yaitu kedudukan seseorang dalam masyarakat tanpa memerhatikan
perbedaan-perbedaaan rohaniah dan kemampuan. Kedudukan ini diperoleh karena kelahiran
2. Achieved Status yaitu kedudukan yang dicapai oleh seseorang dengan usaha-usaha yang disengaja.
Kedudukan ini bersifat terbuka bagi siapa saja, tergantung dari kemampuan masing-masing dalam
mengejar serta mencapai tujuan-tujuannya.
Kadang-kadang dibedakan lagi satu macam kedudukan, yaitu Assigned Status yang merupakan kedudukan
yang diberikan. Status ini sering berhubungan erat dengan Achieved Status, dalam arti bahwa suatu kelompok
atau golonganmemberikan kedudukan yang lebih tinggi kepada seseorang yang berjasa yang telah
memperjuangkan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat.

2.6 NILAI

Nilai sosial adalah nilai yang dianut oleh suatu masyarakat, mengenai apa yang dianggap baik dan apa
yang dianggap buruk oleh masyarakat. Sebagai contoh, orang menanggap menolong memiliki nilai baik,
sedangkan mencuri bernilai buruk. Woods mendefinisikan nilai sosial sebagai petunjuk umum yang telah
berlangsung lama, yang mengarahkan tingkah laku dan kepuasan dalam kehidupan sehari-hari.

Untuk menentukan sesuatu itu dikatakan baik atau buruk, pantas atau tidak pantas harus melalui proses
menimbang. Hal ini tentu sangat dipengaruhi oleh kebudayaan yang dianut masyarakat. tak heran apabila
antara masyarakat yang satu dan masyarakat yang lain terdapat perbedaan tata nilai. Contoh, masyarakat yang
tinggal di perkotaan lebih menyukai persaingan karena dalam persaingan akan muncul
pembaharuan-pembaharuan. Sementara apda masyarakat tradisional lebih cenderung menghindari persaingan
karena dalam persaingan akan mengganggu keharmonisan dan tradisi yang turun-temurun.

Drs. Suparto mengemukakan bahwa nilai-nilai sosial memiliki fungsi umum dalam masyarakat. Di
antaranya nilai-nilai dapat menyumbangkan seperangkat alat untuk mengarahkan masyarakat dalam berpikir
dan bertingkah laku. Selain itu, nilai sosial juga berfungsi sebagai penentu terakhir bagi manusia dalam
memenuhi peranan-peranan sosial. Nilai sosial dapat memotivasi seseorang untuk mewujudkan harapan sesuai
dengan peranannya. Contohnya ketika menghadapi konflik, biasanya keputusan akan diambil berdasarkan
pertimbangan nilai sosial yang lebih tinggi. Nilai sosial juga berfungsi sebagai alat solidaritas di kalangan
anggota kelompok masyarakat. Dengan nilai tertentu anggota kelompok akan merasa sebagai satu kesatuan.
Nilai sosial juga berfungsi sebagai alat pengawas (kontrol) perilaku manusia dengan daya tekan dan daya
mengikat tertentu agar orang berprilaku sesuai dengan nilai yang dianutnya.

2.7 NORMA

Norma dalam antropologi hukum adalah seluruh kaidah dan peraturan yang diterapkan melalui
lingkungan sosialnya. Sanksi yang diterapkan oleh norma ini membedakan norma dengan produk sosial
lainnya seperti budaya dan adat. Ada/ tidaknya norma diperkirakan mempunyai dampak dan pengaruh atas
bagaimana seseorang berperilaku.

Dalam kehidupannya, manusia sebagai mahluk sosial memiliki ketergantungan dengan manusia lainnya.
Mereka hidup dalam kelompok-kelompok, baik kelompok komunal maupun kelompok materiil.

Kebutuhan yang berbeda-beda, secara individu/kelompok menyebabkan benturan kepentingan. Untuk


menghindari hal ini maka kelompok masyarakat membuat norma sebagai pedoman perilaku dalam menjaga
keseimbangan kepentingan dalam bermasyarakat.
2.8 BUDAYA

Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak
dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam
bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau
mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan
sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia.

Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw
Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh
kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri.

Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism. Herskovits memandang kebudayaan sebagai
sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai
superorganic. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu
pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan
intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.

Menurut Edward B. Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya
terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan
lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Sedangkan menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman
Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.

Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan yang mana akan
mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia,
sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan
adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan
benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi,
seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan
bermasyarakat.

BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Antropologi adalah ilmu yang mempelajari manusia. Oleh karena itu antropologi didasarkan pada
kemajuan yang telah dicapai ilmu pengetahuan sebelumnya.

Pengertian Antropologi dapat dilihat dari 2 sisi yaitu Antropologi sebagai ilmu pengetahuan artinya bahwa
Antropologi merupakan kumpulan pengetahuan-pengetahuan tentang kajian masyarakat dan kebudayaan yang
disusun secara sistematis atas dasar pemikiran yang logis. Dan pengertian Antropologi yang kedua adalah
cara-cara berpikir untuk mengungkapkan realitassosial dan budaya yang ada dalam masyarakat dengan prosedur
dan teori yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.

Setelah di kaji kita dapat mengemukakan hasilnya bahwa manfaat di dalam antropologi hukum sangat
luas.Antropologi hukum telah memberikan kontribusi yang sangat besar bangi perkembangan ilmu hukum.Dan
kesimpulan yang dapat diambil adalah dimana pun kita ,kita tidak akan pernah jauh dari hukum selama kita
berada di Negara hukum.

Peranan adalah aspek dinamis dari kedudukan, yaitu seorang yang melaksanakan hak-hak dan
kewajibannya.

Status adalah tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial. Sedangkan kedudukan sosial
(social status) artinya tempat seseorang secara umum dalam masyarakatnya sehubungan dengan orang lain,
dalam arti lingkungan pergaulannya, prestisenya, dan hak-hak serta kewajiban-kewajibannya. Namun untuk
mempermudah dalam pengertiannya maka dalam kedua istilah di atas akan dipergunakan dalam arti yang sama
dan digambarkan dengan istilah “kedudukan” (status) saja.

Nilai (Nilai Sosial) adalah nilai yang dianut oleh suatu masyarakat, mengenai apa yang dianggap baik dan
apa yang dianggap buruk oleh masyarakat.
Norma adalah seluruh kaidah dan peraturan yang diterapkan melalui lingkungan sosialnya.
Budaya adalah hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.
Kebudayaan merupakan keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan
struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang
menjadi ciri khas suatu masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
http://ardianrock.wordpress.com/2012/06/25/makalah-antropologi-hukum/
http://mbahkarno.blogspot.com/2012/10/pengertian-antropologi-hukum-dan.html

http://statushukum.com/antropologi-hukum.html

Slide show Antropologi hukum

M.J. Herskovits.2006. Antropologi Suatu Pengantar. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada


Ensiklopedi Indonesia, 16.45, 18 Februari 2009 http://www.id.wikipedia.org

Huky, Wila. Drs. D. A. 1986. Antropologi. Surabaya: Usaha Nasional


Koentjaraningrat. Prof. Dr. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Soekanto, Soerjono. Prof. Dr. 1984. Antropologi Hukum. Jakarta: CV. Rajawali
Wignjodipuro, Surojo. S.H. 1968. Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat. Jakarta: Gunung Agung.

Anda mungkin juga menyukai