Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

HUKUM SEBAGAI KEBUTUHAN MANUSIA DAN


MASYARAKAT

Disusun Oleh :

RAFLY MAULANA AKBAR


2101230055

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BUNG KARNO
JAKARTA
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat-nya dan
karunianya saya dapat menyelesaikan karya tulis ini. Adapun judul dari karya ini
adalah “Hukum Sebagai Kebutuhan Manusia Dan Masyarakat”.

Karya tulis ini dibuat untuk memenuhi tugas dari mata kuliah Pengantar
Ilmu Hukum yang diberikan oleh dosen saya Ibu Utami Yustihasana Untoro, S.H.,
M.H. Disamping itu penulis berharap karya tulis ini mampu memberikan kontribusi
dalam menunjang pengetahuan para mahasiswa pada khususnya dan pihak lain
pada umumnya.

Dengan terselenggaranya karya tulis ini, penulis mengucapkan terima kasih


khususnya kepada pihak pengurus perpustakaan Universitas Bung Karno karena
telah membantu mencarikan referensi buku yang saya butuhkan sehingga karya
tulis ini dapat terselesaikan.

Saya menyadari akan segala kekurangan dan ketidaksempurnaan dari karya


tulis ini, baik dari segi penulisan maupun dari cara penyajiannya. Oleh karena itu
penulis dengan senang hati menerima kritik dan saran demi perbaikan karya tulis
ini di masa yang akan datang.

Jakarta, 22 Oktober 2023

Rafly Maulana Akbar


DAFTAR ISI

BAB I ......................................................................................................................................................4
1.1. Latar Belakang .................................................................................................................4
1.2. Rumusan Masalah ...........................................................................................................5
1.3. Tujuan ..................................................................................................................................5
BAB II ....................................................................................................................................................5
2.1. Hakikat Manusia ...................................................................................................................5
2.2. Kedudukan Manusia Dalam Masyarakat .................................................................. 10
2.3. Hukum Sebagai Kebutuhan Manusia Dan Masyarakat........................................ 14
BAB III ............................................................................................................................................... 19
3.1. Kesimpulan ........................................................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................................... 20
Referensi ............................................................................................................................................. 20
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Manusia adalah pemeran utama dalam sebuah sejarah peradaban dunia, salah
satu dimensi penting dalam peristiwa sejarah—karena dianggap sebagai penggerak,
pelaku, dan saksi sejarah. Tanpa manusia maka tidak akan ada peristiwa sejarah dan
tidak akan ada peradaban di dunia ini. Kajian tentang manusia telah banyak
dilakukan para ahli, yang selanjutnya dikaitkan dengan berbagai kegiatan, seperti
politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, agama dan lain sebagainya. Hal
tersebut dilakukan karena manusia selain sebagai subjek (pelaku), juga sebagai
objek (sasaran) dari berbagai kegiatan tersebut.

Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang melakukan interaksi antara


seseorang dengan orang lainnya dan mempunyai keinginan untuk memenuhi
kebutuhan pribadinya. Sudah kodratnya sebagai manusia untuk bermasyarakat,
seperti yang ditulis oleh C.S.T Kansil dalam bukunya yang berjudul Pengantar Ilmu
Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Menurut kodrat alam, manusia di mana-mana
dan pada zaman apapun juga selalu hidup bersama, hidup berkelompok- kelompok.
Sekurang-kurangnya kehidupan bersama itu terdiri dari dua orang, suami-istri
ataupun ibu dan bayinya.

Manusia sebagai makhluk sosial memiliki kompleksitas dalam berbagai aspek


kehidupan, salah satunya adalah hubungan dengan hukum. Hukum merupakan
suatu sistem norma dan aturan yang mengatur perilaku manusia dalam suatu
masyarakat. Kehidupan manusia tak lepas dari keterkaitannya dengan hukum, yang
menjadi pedoman dan landasan untuk menjaga tatanan dan keadilan dalam
masyarakat.

Pada suatu masa dalam lintasan sejarah filsafat, perbincangan bergeser dari
pertanyaan besar tentang alam semesta ke pertanyaan besar mengenai: “apakah
manusia itu?”. Dalam makalah ini mencoba menjelaskan hakikat manusia,
kedudukan manusia dalam masyarakat, dan hubungannya dengan hukum.
1.2. Rumusan Masalah
a. Apa hakikat manusia dan masyarakat?
b. Bagaimana kedudukan manusia dalam masyarakat?
c. Apakah hukum menjadi kebutuhan manusia dan masyarakat?

1.3.Tujuan
a. Mengetahui hakikat dari manusia dan masyarakat.
b. Mengetahui kedudukan manusia dalam masyarakat.
c. Mengtahui apakah hukum menjadi kebutuhan manusia dan masyarakat.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Hakikat Manusia
Sebelum kita berbicara tentang hakikat manusia, hendaknya kita
mengetahui terlebih dahulu apa itu hakikat. Secara sederhana hakikat sering
disamakan sebagai sesuatu yang mendasar atau esensi yang substansial, yang
hakiki, yang penting, yang diutamakan dan berbagai makna sepadan dengan
pengertian itu. Namun memahami hakikat tidak tepat hanya dengan mengacu pada
pengertian sederhana. Hakikat dapat dan semestinya memang dipahami secara
hakikat pula. Memahami istilah hakikat secara hakikat.

Dalam sejarah filsafat, sebelumnya manusia lebih bergairah mengajukan


pertanyaan di luar dirinya. Namun, bagi Socrates yang pertama harus diselesaikan
adalah kenalilah dirimu, “siapa saya?”. Mengenal dengan baik siapa saya dapat
mengantar pada pengenalan terhadap di luar saya yang lebih asasi yang menjadi
penentu segalanya. Hanya dengan mengetahui terutama mengenal siapa manusia,
kita menjadi sadar tentang kedirian kita. Bukan itu saja, mengenal diri (manusia)
penting artinya dalam membebaskan manusia dari keterasingan. Karena hakikatnya
manusia dapat menemukan ‘hakikat’ ketika pikiran telah keluar dari manusia
(Latief, 2006:14).
Dari perspektif sains, manusia adalah binatang. Manusia masuk dalam
keluarga besar kingdom of animalia. Manusia adalah binatang bertulang belakang,
lebih mengerucut lagi manusia dikelompokkan sebagai mamalia—manusia adalah
primata, manusia adalah kera—lebih kecil lagi kita termasuk hominid—lebih kecil
lagi kita adalah homo sapiens.

Dalam bidang linguistik, manusia adalah binatang yang berbicara—yang


kemudian dari bicara itu menjadi bahasa. Psikosomatik memandang manusia hanya
terdiri atas jasad yang memiliki kebutuhan untuk menjaga keberlangsungannya
artinya manusia memerlukan kebutuhan primer (sandang, pangan dan papan) untuk
keberlangsungan hidupnya.

Secara biologis, manusia adalah makhluk yang memiliki dua kaki, dua
tangan, dua mata, dua telinga, berjalan, melahirkan dan lain sebagainya—di lihat
secara fisiologis. Namun definisi ini terlalu rancu sehingga dapat disamakan dengan
binatang yang memiliki ciri-ciri fisik yang hampir sama. Dari persamaan definisi
manusia yang sering dikaitkan dengan binatang, menurut aristoteles manusia adalah
animal rasionale artinya binatang yang memiliki kemampuan rasional. Oleh karena
itu, terdapat perbedaan antara manusia dengan binatang. Dalam ilmu mantiq
(logika) manusia disebut sebagai al-insanu hayawanun nathiq (manusia adalah
binatang yang berakal).

Akal adalah salah satu organ manusia yang istimewa, sekaligus yang
membedakan antara manusia dan makhluk hidup lainnya yaitu dianugrahi akal.
Dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Ilmu Antropologi” Koentjaningrat
(2009:111) mengatakan, akal manusia mampu membayangkan dirinya dan
peristiwa-peristiwa yang mungkin terjadi pada dirinya, sehingga dengan demikian
manusia dapat mengadakan pilihan dan seleksi terhadap berbagai alternatif dalam
tingkah lakunya untuk mencapai efektivitas yang optimal dalam mempertahankan
hidup terhadap kekejaman alam sekelilingnya. Tanpa akal manusia hanyalah
binatang berkaki dua.
Setidaknya ada dua faktor yang menyebabkan perbedaan antara manusia
dengan binatang. Dua faktor itu adalah: manusia memiliki bahasa dan memiliki
kerangka berpikir menurut kerangka berpikir alur tertentu yang kemudian disebut
penalaran (Sumarna, 2004:66). Dalam hal ini manusia lebih unggul dibandingkan
dengan binatang. Cecep Sumarna dalam bukunya “Filsafat Ilmu” menuliskan
analogi dari kemampuan penalaran yang di miliki manusia : “Kera misalnya, tahu
mana buah Apel yang matang dan mana buah Apel yang belum matang. Ia juga tahu
mana Apel yang berisi dan mana buah Apel yang tidak berisi. Tetapi, Kera tidak
pernah tahu bagaimana agar pohon Apel itu berbuah lebat dan bagaimana pula agar
buah Apel itu dapat berisi. Ia tidak dapat mengembangkan model pertanian seperti
ia juga tidak dapat mencari alternatif pemupukkan terhadap pohon Apel itu.
ketidakmampuan Kera dan binatang lainnya dalam mengembangkan pengetahuan,
disebabkan oleh tidak adanya bahasa dan kerangka berpikir dengan alur berpikir
tertentu yang dimiliki manusia.

Melalui bahasa, manusia bukan saja dapat berkomunikasi dengan manusia


lainnya, tetapi ia juga dapat memperdebatkan temuan dan pengetahuannya terhadap
manusia lainnya. Sehingga antara manusia dengan manusia lainnya dapat saling
menambahkan dan berbagi pengetahuan yang dimilikinya. Manusia dapat
mengkomunikasikan latar belakang, reasoning sebuah informasi yang dimilikinya
kepada orang lain.

Begitupun dengan penalaran. Melalui penalaran, manusia dapat


mengembangkan pengetahuan dengan cepat dan mantap. Binatang dapat berpikir,
seperti anak tikus yang ketakutan terhadap kucing karena informasi induknya
bahwa kucing suka memangsa tikus. Namun tikus tidak dapat mengantisipasi
bagaimana agar kucing tidak menangkap dan memakannya. Tikus, kucing, kera
atau binatang lainnya, tidak dapat menangkap gejala alam sebagaimana manusia
dapat melakukannya. Ia tidak mampu melakukan penalaran. Oleh karena itu,
pengetahuan binatang tidak mengalami perubahan, meskipun jaman telah berubah
sedemikian dahsyat.
Perbedaan antara manusia dan binatang juga bisa di lihat dari potensi yang
dimiliki oleh manusia, diantaranya yang membedakan potensi manusia dan
binatang adalah: (satu) potensi tubuh, manusia memiliki kemampuan dan
keterampilan teknis, (dua) potensi hidup, dengan potensi ini memungkinkan
manusia beradaptasi dan bertahan hidup serta berkembang sesuai dengan tantangan
alamnya, (tiga) potensi akal, manusia memiliki kemampuan mengembangkan ilmu
dan teknologi sehingga mampu mengolah alam semesta beserta isinya untuk
kepentingan hidup. Melalui potensi nalar manusia juga mampu merenungkan dan
memahami sunnatullah, (empat) potensi kalbu, memungkinkan manusia memiliki
kemampuan moral, etika, nilai, spiritual dan merasakan kebesaran Allah Swt.
sebagai pencipta alam semesta. (Mufid, Islam & Ekologi Manusia 2010 : 61)

Moral, etika, nilai dan spiritual hanya dimiliki oleh manusia, sebab tidaklah
mungkin monyet di kebun binatang saat diberi makan kacang oleh penjaganya ia
berterimakasih kepada penjaganya, yang terjadi adalah monyet itu langsung
berlarian menyantap kacang itu tanpa berdo’a, tanpa berpikir makanan itu adalah
makanannya atau bukan dan berebut dengan kawanannya. Moral, etika, nilai dan
spiritual adalah hal penting yang menjadikannya berbeda dengan binatang.

Beberapa ahli filsafat berbeda dalam mendefinisikan manusia. Manusia


adalah makhluk yang concerned (menaruh minat yang besar) terhadap hal-hal yang
berhubungan dengannya, sehingga tidak ada henti-hentinya selalu bertanya dan
berpikir. Dalam perspektif humanisme, manusia di definisikan dari tingkah laku dan
kebiasaannya dalam menjalani hidup. Kesadaran manusia tentang kediriannya
menjadi awal dari perkembangan manusia modern ini.

Dalam bukunya “Filsafat Umum Dari Mitologi Sampai Teofilososfi” Atang


Abdul Hakim, et al (2008 : 350) menyatakan, Manusia adalah makhluk yang sadar
akan dirinya sendiri. Artinya, dia adalah makhluk hidup satu-satunya yang memiliki
pengetahuan budaya dalam nisbatnya dengan dirinya. Ini memungkinkan manusia
untuk mempelajari dirinya sendiri sebagai objek yang terpisah dari dirinya: menarik
hubungan sebab-akibat, menganalisis, mendefinisikan, memberi penilaian, dan
akhirnya mengubah dirinya sendiri.
Tweny, seorang filosof sejarah yang besar pada masa ini, mengatakan
“peradaban manusia dewasa ini, telah sampai pada tingkat puncak kesempurnaan
sejarahnya. Sebab, peradaban masa modern sekarang inilah satu-satunya,
peradaban manusia yang tahu bahwa manusia menuju pada kehancurannya.”

Dari pernyataan tersebut terdapat beberapa perbedaan antara manusia dan


binatang. Aristoteles dalam bukunya Anshari mengidentifikasikan sejumlah
kelebihan yang tidak dimiliki oleh binatang dan hanya dimiliki oleh manusia yaitu
berakal, berbicara, berpolitik, berkeluarga, bermasyarakat. Ini mencerminkan
kompleksitas dan keragaman manusia sebagai makhluk hidup. Dalam teorinya,
Aristoteles juga menyatakan, bahwa manusia adalah Zoon Politicon, artinya bahwa
manusia itu sebagai makhluk pada dasarnya selalu ingin bergaul dan berkumpul
dengan sesama manusia lainnya, jadi makhluk yang suka bermasyarakat. Dan oleh
karena sifatnya yang suka bergaul satu sama lain, maka manusia disebut makhluk
sosial.

Manusia sebagai makhluk sosial memungkinkan untuk membentuk suatu


koloni sesuai dengan persamaan pemikiran yang dipercayai oleh kelompoknya,
perbuatan yang disepakati oleh kelompoknya, dan aturan yang mengikat dirinya
memungkinkan dalam suatu masyarakat memunculkan orang yang di percayai dapt
memimpin mereka. Dalam hal ini, secara alamiah manusia sudah mengenal politik
dan hukum sejak mereka bermasyarakat, dan saat itupula lahirnya nilai dan norma
dalam masyarakat.

Dari definisi serta pembahasan di atas, pada hakikatnya manusia secara


internal, dirinya memiliki akal dan mampu berpikir secara rasional dengan
kerangka berpikir tertentu serta mempertimbangkan suatu pilihan atas kejadian-
kejadian yang dialami oleh dirinya, manusia juga memiliki sifat dasar kemanusiaan,
seperti: moral, etika, nilai dan kepercayaan (spiritual). Secara eksternal, manusia
adalah makhluk yang hidup berdampingan dengan manusia lain dan saling
berkaitan dengan alam semesta. kemudian ini lazim di sebut dengan manusia
sebagai makhluk yang bermasyarakat.
2.2. Kedudukan Manusia Dalam Masyarakat
Bumi yang saat ini kita huni, diisi oleh banyak makhluk yang hidup saling
berdampingan. Binatang, tumbuhan, dan manusia hidup selaras dan saling mengisi.
Hal ini sering disebut sebagai “ekosistem” yaitu suatu sistem ekologi yang
terbentuk oleh hubungan timbal balik tak terpisahkan antara makhluk hidup dengan
lingkungannya. Peran manusia dalam ekosistem sangatlah penting karena untuk
menjaga keseimbangan dan kelestarian alam sekitarnya, sebab manusia adalah
makhluk yang mempunyai kemampuan berpikir yang paling tinggi sudah
selayaknya manusia yang ada di bumi ini menjaga hal itu. Jadi, tidak hanya
memanfaatkannya untuk keperluan hidupnya saja, tapi juga harus menjaganya.

Secara umum pengertian masyarakat adalah sekumpulan individu-individu


yang hidup bersama, bekerja sama untuk memperoleh kepentingan bersama yang
telah memiliki tatanan kehidupan, norma-norma, dan adat istiadat yang ditaati
dalam lingkungannya. Masyarakat berasal dari bahasa inggris yaitu "society" yang
berarti "masyarakat", lalu kata society berasal dari bahasa latin yaitu "societas"
yang berarti "kawan"( Prasetyo et al : 2019). Dari bahasa latin itu, bisa di artikan
bahwa sekawanan lebah yang hidup bersama dalam lingkungan yang sama juga
dapat disebut masyarakat, “masyarakat lebah”. Dalam perspektif manusia
Pengertian masyarakat juga dapat didefinisikan sebagai kelompok orang yang
terorganisasi karena memiliki tujan yang sama. Pengertian masyarakat secara
sederhana adalah sekumpulan manusia yang saling berinteraksi atau bergaul dengan
kepentingan yang sama.

Dalam sejarah perkembangan manusia, tak terdapat seorangpun yang hidup


menyendiri, terpisah dari kelompok manusia lainnya, kecuali dalam keadaan
terpaksa dan itu pun hanyalah untuk sementara waktu. Hidup menyendiri terlepas
dari pergaulan manusia dalam masyarakat, hanya mungkin terjadi dalam alam
dongeng belaka (seperti Tarzan, Robinson Crusoe dan sebagainya) namun dalam
kenyataan hal itu tak mungkin terjadi. Sejak dahulu kala pada diri manusia terdapat
hasrat untuk berkumpul dengan sesamanya dalam satu kelompok, hasrat untuk
bermasyarakat.
Manusia sebagai individu (perseorangan) mempunyai kehidupan jiwa yang
menyendiri, namun manusia itu sebagai mahluk sosial tidak dapat dipisahkan dari
masyarakat. Manusia lahir, hidup berkembang dan meninggal dunia di dalam
masyarakat. Sebagai individu, manusia tidak dapat mencapai segala sesuatu yang
diinginkannya dengan mudah. Sebagai contoh: pak tani baru dapat mengerjakan
tanahnya setelah ia memperoleh alat-alat pertanian yang dibuat oleh pandai besi.
Pakaiannya malah hasil tukang jahit; tukang jahit tidak dapat menghasilkan pakaian
kalau tidak ada ahli tenun atau pekerja pabrik yang mengusahakan bahannya
terlebih dahulu, dan demikianlah seterusnya. Lebih-lebih dalam zaman modern ini
tidaklah mungkin bagi seseorang untuk hidup secara layak dan sempurna tanpa
bantuan dari atau kerja sama dengan orang lain.

Hasrat untuk hidup bersama memang telah menjadi pembawaan manusia,


merupakan kebutuhan badaniah untuk melangsungkan hidupnya. Hidup bersama
sebagai perhubungan antara individu dengan individu, persatuan manusia yang
timbul dari kodrat yang sama itu lazim disebut masyarakat. Jadi, masyarakat itu
terbentuk apabila ada dua orang atau lebih hidup bersama, sehingga dalam
pergaulan hidup itu timbul pelbagai hubungan atau pertalian yang mengakibatkan
bahwa yang seorang dan yang lain saling kenal mengenal dan pengaruh-
mempengaruhi. (C.S.T Kansil, 1986 : 30)

Terbentuknya masyarakat karena manusia menggunakan perasaan, pikiran


dan keinginannya untuk memberikan reaksi pada lingkungannya—reaksi alami
yang dimiliki oleh setiap individu manusia. Manusia dan masyarakat tidak dapat
dipisahkan—sebagai satu kesatuan yang timbul atas dasar panggilan alam.
perkumpulan manusia yang didasari oleh rasa yang sama membuat manusia
menganggap bermasyarakat sebagai kebutuhan.
C.S.T Kansil (1986 : 32) menyatakan bahwa, Adapun yang menyebabkan
manusia selalu hidup bermasyarakat ialah antara lain dorongan kesatuan biologis
yang terdapat dalam naluri manusia, setidaknya ada tiga faktor pendorong manusia
hidup bermasyarakat, misalnya :

a. hasrat untuk memenuhi keperluan makan dan minum


b. hasrat untuk membela diri
c. hasrat untuk mengadakan keturunan

Adapun naluri itu sudah ada pada diri manusia ketia ia dilahirkan, tanpa ada
orang yang mengajarkannya. kebutuhan makanan dan minuman termasuk
keperluan primer untuk segala makhluk hidup baik binatang maupun manusia.
Dalam usaha untuk mendapatkan keperluan hidupnya, manusia perlu mendapat
bantuan dari orang lain. tiap usaha akan berhasil bila dikerjakan bersama, bantu-
membantu.

Dalam kehidupan sehari-hari kita sering melihat orang yang menangkap


ikan bersama-sama, bercocok tanam dan sebagainya dilakukan dengan bersama-
sama dan saling bantu-membantu. Modern ini manusia dituntut untuk bekerja sama
dalam pekerjaan (team work) sehingga hidup menyendiri hanya akan menimbulkan
kesulitan; tiap usaha akan berhasil bila dikerjakan bersama, bantu-membantu.

Kehidupan manusia yang hidup di bumi sejak jaman dahulu hingga


sekarang, tidak luput dari tantangan hidup kemanusiaan. Berbagai bahaya selalu
mengancam kehidupan manusia seperti: bencana alam, penyakit, kelaparan,
serangan suku bangsa lain, peperangan dan sebagainnya. Oleh karena itu, manusia
jika hanya seorang diri akan sulit untuk mempertahankan hidupnya. Manusia
memerlukan adanya persatuan dalam menyusun usaha dan mempunyai rencana
bersama untuk dapat membela diri, keluarga, dan kelompoknya. Hasrat membela
diri adalah salah satu sebab yang menimbulkan keinginan hidup bersama, hidup
bermasyarakat.
Keinginan untuk mempertahankan spesiesnya sudah menjadi dasar dari sifat
manusia. sudah menjadi kodrat alam pula, bahwa pada tiap-tiap manusia (yang
normal) terdapat hasrat untuk melanjutkan jenisnya dengan mengadakan keturunan.
Hal ini lazim disebut sebagai kebutuhan biologis manusia dan tentu tidak dapat
dilakukan oleh seorang diri.

Selain dari keinginan-keinginan yang timbul dari nurani dan kodrat alam
itu, ada juga faktor-faktor pendorong lain untuk hidup bermasyarakat, ialah: ikatan
pertalian darah, persamaan nasib, persamaan agama, persamaan bahasa, persamaan
cita-cita dan persamaan kesadaran bahwa mereka mendiami suatu daerah yang
sama.

Sudah jelas bahwa ikatan kekeluargaan dalam diri manusia mengantarkan


manusia pada suatu peristiwa yang menjadikan manusia sebagai makhluk sosial.
Pun demikian, persamaan nasib menjadi penting dan sering kita jumpai akhir-akhir
ini seperti banyaknya komunitas yang dibangun berdasarkan kesamaan nasib
hingga partai politik yang berdiri karena tujuan yang dibangun berdasarkan
persamaan nasib. Persatuan sebuah negara sering dilandasi atas dasar persamaan
agama, salah satu contohnya adalah indonesia. Banyak pula perkumpulan yang
mengatasnamakan agama, walaupun tidak saling kenal apalagi memiliki ikatan
darah, namun dengan persamaan agama manusia dapat berkumpul dengan senang
hati apabila terdapat permasalahan yang mengancam keberlangsungan eksistensi
dari agama yang dianutnya. Bahasa juga menjadi faktor penting sebab tanpa bahasa
manusia akan sulit untuk berkomunikasi dan mengembangkat diskusi diantara
manusia atau masyarakat.

Dari faktor-faktor yang disebutkan di atas, dapat ditarik kesimpulan, bahwa


bagi tiap individu hidup bersama itu merupakan suatu keharusan yang tidak dapat
dielakkan, dan kedudukan manusia dalam masyarakat adalah sebagai makhluk yang
saling membutuhkan dan paling sempurna untuk kemudian disebut sebagai
makhluk sosial.
2.3. Hukum Sebagai Kebutuhan Manusia Dan Masyarakat
Manusia sebagai individu, memiliki kepribadian masing-masing yang
berbeda dengan manusia lainnya. Bahkan seorang anak yang dilahirkan kembar pun
memiliki sifat atau karakter yang berbeda dengan kembarannya itu walaupun secara
fisik mereka percis sama, yang berarti manusia sebagai individu itu memiliki sifat
yang berdiri sendiri tanpa bisa ditiru oleh siapapun. Sebab sifat dan karakter
seseorang bisa timbul akibat dari pengalaman hidup yang dialami oleh masing-
masing manusia itu dan juga oleh lingkungan yang dia adopsi. Namun manusia
sebagai makhluk sosial tidak mungkin dapat mempertahankan sifatnya sendiri
tanpa memperhatikan sifat yang dimiliki orang lain, apabila manusia hanya
mempertahankan sifatnya sendiri (egoisme), itu hanya akan menimbulkan
perpecahan dan gesekan diantara manusia.

Tiap manusia memiliki sifat, watak, dan kehendak sendiri-sendiri. Namun


di dalam masyarakat manusia mengadakan hubungan satu sama lain, mengadakan
Kerjasama, tolong menolong, bantu membantu untuk memperoleh keperluan
hidupnya (C.S.T Kansil, 1986 : 33). Keperluan atau bisa disebut sebagai
kepentingan ini memiliki ciri khas sendiri dari sifatnya yang egois. Sebagai contoh,
karena kepentingan ini milik individu akan bertentangan dengan kepentingan orang
lain, sehingga dapat menimbulkan pertikaian yang mengganggu keserasian hidup
bersama.

Dalam kaitannya dengan masyarakat, hukum mempunyai posisi yang


penting dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Hukum menjadi
sebuah alat untuk menjalin hubungan yang tertib antara individu dengan individu
maupun kelompok dengan kelompok. Ubi societas ibi ius “dimana ada Masyarakat
disitu ada hukum” Adigium ini menggambarkan bahwa manusia sebagai
masyarakat tidak dapat memisahkan diri dengan hukum. Carl Von Savigny
mengungkapkan, bahwa hukum itu tidak dibuat, akan tetapi tumbuh dan
berkembang bersama-sama dengan masyarakat (volkgeist). Sosiologi hukum,
Zainuddin Ali (2016:3). Hukum terbentuk akibat dari kebiasaan-kebiasaan manusia
dalam bermasyarakat.
Manusia sebagai makhluk sosial memiliki kompleksitas dalam berbagai
aspek kehidupan, salah satunya adalah hubungan dengan hukum. Hukum
merupakan suatu sistem norma dan aturan yang mengatur perilaku manusia dalam
suatu masyarakat. Kehidupan manusia tak lepas dari keterkaitannya dengan hukum,
yang menjadi pedoman dan landasan untuk menjaga tatanan dan keadilan dalam
masyarakat. Dengan sadar atau tidak, manusia dipengaruhi oleh peraturan-
peraturan hidup bersama. Peraturan-peraturan hidup itu memberi ancer-ancer
perbuatan mana yang boleh dijalankan dan perbuatan mana yang harus dihindari.

Peraturan hidup itu memberi petunjuk kepada manusia bagaimana ia harus


bertingkah laku dan bertindak di dalam masyarakat. Peraturan-peraturan hidup
seperti itu disebut peraturan hidup kemasyarakatan. Peraturan hidup
kemasyarakatan yang bersifat mengatur dan memaksa untuk menjamin tata-tertib
dalam masyarakat, dinamakan peraturan hukum atau kaedah hukum. Adanya
hukum dalam masyarakat bertujuan untuk mengatur tingkah laku dan perbuatan
manusia agar tidak seperti binatang—atau supaya manusia tidak melakukan hal-hal
yang diluar batas wajar (tidak lazim).

Di Indonesia sejak jaman dahulu jauh sebelum di deklarasikan merdeka,


sudah berlaku dalam sistem kemasyarakatan suatu hukum yang kemudian disebut
dengan “hukum adat”. Dari sini mari kita lihat relevansi antara hukum adat
indonesia dengan masyarakat dalam perspektif antropologi. Untuk menyelami latar
belakang kehidupan hukum adat Indonesia, antropologi dianggap penting karena
hukum adat bukan merupakan suatu sistem hukum yang telah di abstraksikan
sebagai aturan-aturan dalam kitab-kitab undang-undang, melainkan timbul dan
hidup langsung dari masalah-masalah perdata yang berasal dari dalam aktivitas
masyarakat.

Sebaliknya, antropologi juga memerlukan bantuan ilmu hukum adat


Indonesia, hal itu karena setiap masyarakat, baik yang sederhana bentuknya,
maupun yang telah maju, tentu mempunyai aktivitas-aktivitas yang berfungsi
sebagai pengendali sosial atau social control. Salah satu sistem pengendali sosial
ini adalah hukum.
Konsepsi dari antropologi yang menganggap hukum hanya sebagai salah
satu aktivitas kebudayaan lapangan social control itu, menyebabkan bahwa seorang
ahli antropologi juga harus mempunyai pengetahuan umum tentang konsep-konsep
hukum pada umumnya. (Pengantar ilmu antropologi, koentjaningrat, 2009:23)

Sosial kontrol (social control) biasanya diartikan sebagai suatu proses, baik
yang direncanakan maupun tidak, yang bersifat mendidik, mengajak, atau bahkan
memaksa warga masyarakat agar mematuhi sistem kaidah dan nilai yang berlaku.
Perwujudan sosial kontrol tersebut mungkin berupa pemidanaan. Dalam tahap ini,
warga masyarakat yang dalam lingkungannya melanggar suatu kaidah atau nilai
dapat mengakibatkan penderitaan (sanksi negatif) bagi pelanggarnya.

Setiap kelompok masyarakat selalu memiliki problem sebagai akibat


adanya perbedaan antara yang ideal dan aktual, antara yang standar dan yang
praktis, antara yang seharusnya atau yang di harapkan untuk dilakukan dan apa
yang dalam kenyataan dilakukan. Standar dan nilai-nilai kelompok dalam
masyarakat mempunyai variasi sebagai faktor yang menentukan tingkah laku
individu. Penyimpangan nilai-nilai yang ideal dalam masyarakat dapat disebut
sebagai contoh: pencurian, perzinaan, ketidakmampuan membayar utang, melukai
orang lain, pembunuhan, mencemarkan nama baik, dan semacamnya. semua contoh
itu merupakan bentuk-bentuk tingkah laku menyimpang yang menimbulkan
persoalan di dalam masyarakat modern. di dalam situasi yang demikian itu,
kelompok itu berhadapan dengan problem untuk menjamin ketertiban bila
kelompok itu menginginkan mempertahankan eksistensinya.

Hukum dapat dianggap sebagai kebutuhan manusia karena berperan penting


dalam menjaga ketertiban, keadilan, dan keamanan dalam masyarakat. Beberapa
alasan mengapa hukum dianggap sebagai kebutuhan manusia: (Satu) Pengaturan
Hubungan Sosial: Hukum mengatur hubungan antara individu, kelompok, dan
institusi dalam masyarakat. Hal ini membantu mencegah konflik dan pertikaian
yang mungkin timbul akibat perbedaan kepentingan dan nilai-nilai.
(Dua) Perlindungan Hak Asasi: Hukum memberikan perlindungan terhadap hak
asasi manusia, seperti hak atas kehidupan, kebebasan, dan hak untuk tidak
mengalami diskriminasi. Ini penting untuk memastikan bahwa individu tidak
disalahgunakan atau dianiaya. (Tiga) Keadilan: Hukum adalah alat untuk mencapai
keadilan. Ini berarti bahwa hukum harus diterapkan secara adil dan setiap individu
memiliki hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama di mata hukum. (Empat)
Keamanan dan Ketertiban: Hukum membantu menjaga keamanan dan ketertiban
dalam masyarakat. Dengan adanya hukum yang jelas dan sanksi bagi
pelanggarannya, masyarakat merasa lebih aman dan cenderung menghindari
tindakan yang melanggar hukum. (Lima) Pemberian Struktur dan Prediktabilitas:
Hukum memberikan struktur yang diperlukan dalam masyarakat. Ini
memungkinkan individu dan bisnis untuk merencanakan tindakan mereka dengan
lebih baik karena mereka tahu apa yang diharapkan dari mereka dan apa
konsekuensinya jika mereka melanggar hukum. (Enam) Penyelesaian Sengketa:
Hukum memberikan mekanisme penyelesaian sengketa yang adil. Ketika konflik
muncul, individu dapat meminta bantuan dari sistem hukum untuk mencari solusi
yang adil dan sesuai dengan hukum. (Tujuh) Pengaturan Ekonomi dan Bisnis:
Hukum mengatur aktivitas ekonomi dan bisnis, menciptakan kerangka kerja yang
diperlukan untuk pertumbuhan ekonomi dan perlindungan konsumen. (Delapan)
Perubahan Sosial: Hukum juga dapat digunakan sebagai alat untuk mencapai
perubahan sosial yang diinginkan. Misalnya, hukum dapat digunakan untuk
melindungi lingkungan, mempromosikan kesetaraan gender, atau menghapus
diskriminasi.

Hukum adalah suatu kebutuhan yang mendasar dalam kehidupan manusia


dan masyarakat. Seperti yang dikemukakan oleh Roscoe Pound, seorang ahli
hukum terkemuka, hukum adalah "satu-satunya ilmu yang berhubungan langsung
dengan prinsip-prinsip keadilan sosial." Ini mencerminkan pandangan bahwa
hukum adalah alat utama untuk menciptakan dan mempertahankan keseimbangan
dan keadilan dalam masyarakat. Selain itu, John Locke, seorang filsuf politik,
menekankan pentingnya hukum sebagai sarana untuk melindungi hak-hak individu
dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan pemerintah. Konsep ini juga diperkuat
oleh Mahatma Gandhi, yang melihat hukum sebagai alat perubahan sosial yang
non-kekerasan yang dapat digunakan untuk mengatasi ketidakadilan dalam
masyarakat. Kesimpulannya, hukum bukan hanya merupakan aspek penting dalam
kehidupan sehari-hari, tetapi juga merupakan fondasi dari keadilan sosial dan
perlindungan hak individu yang menjadi kebutuhan mendasar manusia dan
masyarakat. Manusia dan hukum, sebenarnya sudah terikat suatu hubungan, pada
manusia, hukum berfungsi untuk mengatur emosi, hawa nafsu dan perasaan lainnya
pada tubuh manusia.

Hukum bukan hanya sekadar aturan-aturan formal yang harus dipatuhi,


melainkan juga tercermin dari hakikat manusia sebagai individu dan anggota
masyarakat. Hakikat manusia memunculkan kebutuhan untuk memiliki aturan yang
mengatur interaksi dan hubungan antar individu dalam masyarakat. Hakikat ini
meliputi berbagai aspek seperti keadilan, kebebasan, tanggung jawab, dan
kewajiban, yang semuanya diwujudkan melalui hukum.

Ciri-ciri dari hukum itu adanya perintah dan atau larangan dan perintah
atau larangan itu harus patuh ditaati oleh setiap orang. Setiap orang wajib bertindak
sedemikian rupa dalam masyarakat, sehingga tata-tertib dalam masyarakat itu tetap
terpelihara dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itulah hukum meliputi pelbagai
peraturan yang menentukan dan mengatur perhubungan orang satu dengan yang
lain, yakni peraturan-peraturan hidup kemasyarakatan yang dinamakan kaedah
hukum. Barangsiapa yang dengan sengaja melanggar suatu kaedah hukum akan
dikenakan sanksi (sebagai akibat pelanggaran kaedah hukum) yang berupa
hukuman.

Hukum sebagai kebutuhan manusia berakar dari naluri manusia untuk hidup
bersama secara teratur, adil, dan harmonis. Manusia sebagai makhluk sosial
memiliki dorongan untuk berinteraksi, berkolaborasi, dan membentuk masyarakat
yang teratur. Dalam konteks ini, hukum menjadi instrumen yang mendasar dalam
memelihara ketertiban, menyeimbangkan kepentingan individu dengan
kepentingan masyarakat, serta memastikan keadilan di tengah kompleksitas
kehidupan sosial.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Konklusi dari pembahasan di atas dapat dipahami bahwa, hakikat manusia
terdiri dari beberapa definisi yang saling berkaitan dan membentuk satu konklusi
baru tentang konsepsi manusia itu sendiri. Manusia adalah binatang yang berakal
yang memiliki kemampuan berpikir, oleh karena itu dapat disebut dengan (animal
rasionale), kemampuan berpikir yang tinggi membuat manusia memiliki kerangka
berpikir yang sistematis dan teoritis sehingga manusia dapat memperoleh suatu
pengetahuan baru dari apa yang ia lihat, dengar dan rasa.

Secara alamiah kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dengan


masyarakat, sifat manusia yang selalu membutuhkan orang lain dalam setiap
tindakannya membuat manusia dikenal sebagai makhluk sosial. Hubungan antara
manusia dengan manusia lainnya membutuhkan suatu kesadaran yang tinggi agar
terjadi keharmonisan dalam bermasyarakat. Manusia sebagai individu memiliki
sifat yang khas yang memungkinkan bertentangan dengan manusia lain. Oleh
karena itu memerlukan suatu alat untuk mengatur tingkah laku dan membatasi
perilaku manusia, alat itu adalah hukum.

Hukum berfungsi sebagai alat sosial kontrol (sosial control) pada kehidupan
manusia—atas perbedaan kepentingan manusia yang bermacam-macam. Hukum
menjadi penting karena bukan hanya berfungsi sebagai aturan-aturan yang
melindungi hak individu tetapi juga sebagai pondasi untuk menjaga
keberlangsungan hidup manusia. Keseimbangan dalam masyarakat ditentukan dari
kesadaran masyarakat tentang hukum dan norma yang berlaku. Kebutuhan akan
hukum seharusnya sudah disadari oleh manusia semenjak ia hidup bermasyarakat,
seperti adigium yang populer ini—"ubi societas ibi ius” dimana ada masyarakat
disitu ada hukum.
DAFTAR PUSTAKA

Referensi

Ali, Z. (2016). Sosiologi Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.

Anshari, E. S. (1982). Sains Falsafah dan Agama. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
Pustaka.

Hakim, A. A. (2008). Filsafat Umum Dari Metologi Sampai Teofilosofi. Kota


Tanggerang: Pustaka Setia.

Kansil, C. (1986). Pengantar Ilmu hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.

Koentjaraningrat. (2009). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.

Locke, J. (1689). Two Treatises Of Government. England: Awnsham Churchill.

Mufid, S. A. (2010). Islam & Ekologi Manusia. Bandung: Nuansa.

Pound, R. (2012). The Ideal Element In Law. Indianapolis: Liberty Fund.

Sumarna, C. (2004). Filsafat Ilmu: Dari Hakikat Menuju Nilai. Bandung: Pustaka Bani
Quraisy.

Anda mungkin juga menyukai