Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

HAKIKAT MANUSIA DALAM PENDIDIKAN ISLAM

Oleh :

Kelompok 1

Giva Nisa Pangesti Br Tarigan (0309202092)

Rezxi Limbong (0309202058)

Wika Wiryanti Siregar (0309192086)

Dosen Pengampuh : Azizah Hanum OK, M.Ag

PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

T.A. 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, taufik dan hidayah-Nya
sehingga penulis bisa menyelesaikan makalah ini. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan
kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabatnya.

Tidak lupa saya sampaikan terima kasih kepada Ibu dosen pengampu mata kuliah Filsafat
Pendidikan Islam yaitu Azizah Hanum OK, M.Ag. serta semua pihak yang telah membantu penulis dalam
pembuatan makalah ini. Yang berjudul Hakikat Manusia Dalam Pendidikan Islam.

Selanjutnya demi kesempurnaan makalah ini penulis meminta saran dan kritikan kepada semua
pihak dan terutama kepada bapak dosen pengampu mata kuliah Evaluasi Pembelajaran IPS. Dengan
adanya makalah ini mudah-mudahan dapat menambah wawasan serta pengetahuan dari semua pihak,
serta dapat memetik yang terkandung didalamnya.

Medan, 20 September 2022

Penulis

Kelompok 1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................................

DAFTAR ISI...................................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG.........................................................................................................

2. RUMUSAN MASALAH.....................................................................................................

3. TUJUAN

BAB II PEMBAHASAN

1. PENGERTIAN MANUSIA.................................................................................................

2. FUNGSI DAN KEDUDUKAN MANUSIA........................................................................

3. HAKIKAT MANUSIA........................................................................................................

BAB III PENUTUP

1. KESIMPULAN....................................................................................................................

2. SARAN................................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berbicara tentang manusia dan agama dalam Islam adalah membicarakan sesuatu yang
sangat klasik namun senantiasa aktual. Berbicara tentang kedua hal tersebut sama saja dengan
berbicara tentang kita sendiri dan keyakinan asasi kita sebagai makhluk Tuhan.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, „manusia‟ diartikan sebagai „makhluk yang
berakal budi (mampu menguasai makhluk lain); insan; orang‟ (1989:558). Menurut pengertian ini
manusia adalah makhluk Tuhan yang diberi potensi akal dan budi, nalar dan moral untuk dapat
menguasa makhluk lainnya demi kemakmuran dan kemaslahatannya. Dalam bahasa Arab, kata
„manusia‟  ini bersepadan dengan kata-kata nâs, basyar, insân, mar‟u, ins dan lain -lain.
Meskipun bersinonim, namun kata-kata tersebut memiliki perbedaan dalam hal makna
spesifiknya. Kata nâs misalnya lebih merujuk pada makna manusia sebagai makhluk sosial.
Sedangkan kata basyar lebih menunjuk pada makna manusia sebagai makhluk biologis. Begitu
juga dengan kata-kata lainnya.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengetian manusia ?


2. Apa fungsi dan kedudukan manusia?
3. Bagaimana hakikat manusia ?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui pengertian manusia


2. Untuk mengetahui fungsi dan kedudukan manusia
3. Untuk mengetahui hakikat manusia
BAB 11

PEMBAHASAN

A. Pengertian Manusia

Manusia secara bahasa disebut juga insan yang dalam bahasa Arab, berasal dari kata
nasiya yang berarti lupa dan jika dilihat dari kata dasar al-uns yang berarti jinak. Kata insan di
pakai untuk menyebutkan manusia, karena manusia memiliki sifat lupa dan jinak. Manusia selalu
menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru di sekitarnya. Kemampuan berpikir tersebut yang
menentukan kakikat manusia. Manusia juga memiliki karyanyang di hasilkan sehingga berbeda
dengan makhluk yang lain. Dari karya yang di buat manusia tersebut menjadikan ia sebagai
makhluk yang menciptakan sejarah.

Manusia adalah hewan rasional (animal rational) dan pendapat ini di yakini oleh para
filosof. Sedangkan yang lain menilai manusia animal simbolik adalah pernyataan tersebut
dikarenakan manusiamengkomunikasikan bahasa melalui symbol-simblo dan manusia
menafsirkan symbol-simbol tersebut. Ada yang lain menilai tentang manusia adalah sebagai
homo feber dimana manusia adalah hewan yang melakukan pekerjaan dan dapat gila terhadap
kerja. Manusia memang sebagai makhluk yang aneh dikarenakan disatu pihak ia merupakan
“makhluk alami”, seperti binatang ia memerlukan alam untuk hidup. Di pihak lain ia berhadapan
dengan alam sebagai sesuatu yang asing ia harus menyesuaikan alam sesuai dengan
kebutuhannya. Manusia dapat disebut sebagain homo sapiens, manusia arif memiliki akal budi
dan mengungguli makhluk yang lain.

Manusia menurut Paulo Freire manusia merupakan satu-satunya makhluk yang memiliki
hubungan dengan dunia. Manusai berbeda dari hewan yang tidak memiliki sejarah, dan hidup
dalam masa kini yang kekal, yang mempunyai kontak tidak kritis dengan dunia yang hanya
berada dalam dunia. Manusia dibedakan dari hewan dikarenakan kemampuannya untuk
melakukan reflefsi (termasuk operasi-operasi intens-ionalitas, keterarahan, temporaritas dan
trasendensi) yang menjadikan makhluk berelasi dikarenakan kapasitasnya untuk menyampaikan
hubungan dengan dunia. Tindakan dan kesadaran manusia bersikap epokal, yang menunjukkan
disini berhubungan disana, sekarang berhubunganmasa lalu dan berhubungan dengan masa
depan. Manusia menciptakan sejarah juga sebaliknya manusia diciptakan oleh sejarah.

Para penganut teori psikoanalisis menyebut manusia sebagai homo volens (makhluk
berkeinginan). Menurut aliran ini, manusia adalah makhluk yang memiliki perilaku interaksi
antara komponen biologis (id), psikologis (ego), dan social (superego). Di dalam diri manusia
tedapat unsur animal (hewani), rasional (akali), dan moral (nilai). Para penganut teori
behaviorisme menyebut manusia sebagai homo mehanibcus (manusia mesin). Behavior lahir
sebagai reaksi terhadap introspeksionisme (aliran yang menganalisa jiwa manusia berdasarkan
laporan subjektif dan psikoanalisis (aliran yang  berbicara tentang alam bawa sadar yang tidak
nampak). Behavior yang menganalisis prilaku yang Nampak saja. Menurut aliran ini segala
tingkah laku manusia terbentuk sebagai hasil  proses pembelajaran terhadap lingkungannya, tidak
disebabkan aspek.

Para penganut teori kognitif menyebut manusia sebagai homo sapiens (manusia
berpikir). Menurut aliran ini manusia tidak di pandang lagi sebagai makhluk yang bereaksi secara
pasif pada lingkungannya, makhluk yang selalu berfikir. Penganut teori kognitif mengecam
pendapat yang cenderung menganggap pikiran itu tidak nyata karena tampak tidak mempengaruhi
peristiwa. Padahal berpikir , memutuskan, menyatakan, memahami, dan sebagainya adalah fakta
kehidupan manusia. Manusia adalah mahluk paling sempurna yang pernah diciptakan oleh Allah
SWT. Kesempurnaan yang dimiliki oleh manusia merupakan suatu konsekuensi fungsi dan tugas
mereka sebagai khalifah dimuka bumi ini (Adz-Dzaky 2004 : 13).

Gambaran menyangkut keberadaan manusia itu menandakan bahwa makhluk yang


namanya manusia itu unik, makhluk yang serba dimensi, ada di antara predisposisi negative dan
positif. Penciptaan manusia sebagai mahluk yang tertinggi sesuai dengan maksud dan tujuan
terciptanya manusia, yaitu untuk menjadi khalifah.

Dalam memahami manusia tentu harus dipedomani dengan pandangan islam sebagai
tolak ukur yang mendasar untuk mengetahui sesungguhnya apa hakikat manusia. Dalam
pandangan Islam manusia tercipta dari dua unsur yaitu unsur materi dan non materi. Jadi, dapat
disimpulkan bahwa manusia secara hakikatnya yang ditinjau dari kualitas dan kuantitas dalam
pandangan pendidikan islam merupakan gabungan dua unsur yang terdiri dari unsur jasmani dan
unsur rohani.

Adapun salah satu kemampuan yang dimiliki manusia yakni kemampuan menalar.
Kemampuan menalar inilah yang menyebabkan manusia mampu mengembangkan pengetahuan
yang merupakan rahasia kekuasaan-kekuasaan-Nya. Secara simbolik manusia memakan buah
pengetahuan lewat Adam dan Hawa, dan setelah itu manusia harus hidup berbekal pengetahuan.
Dia mengetahui mana yang baik dan mana yang tidak untuk dirinya. Jadi, manusia adalah salah
satunya makhluk yang mengembangkan pengetahuan secara bersungguh-sungguh.

B. Fungsi dan Kedudukan Manusia


1. Kedudukan manusia di dunia (Perspektif Filsafat Pendidikan Islam)

Manusia memiliki daya-daya untuk melaksanakan fungsinya, baik sebagai ‘abdi (mu’abbid),
khalifah fi al-ardh, maupun immarah fi al-ardh. Sebagai Mu’abbid, manusia dituntut tidak hanya semata-
mata dalam konteks ibadah wajib seperti shalat, puasa, zakat, dan lain sebagainya, tetapi juga segala
sesuatu aktivitas yang bernilai baik dalam kehidupannya yang dilakukan dengan tujuan pendekatan diri
pada penciptanya, Tuhan. Baik sebagai mu’abbid, maupun sebagai khalifah dituntut untuk merefleksikan
sifat-sifat Tuhan ke dalam dirinya dan menjadikan sifat-sifat itu aktual dalam berbagai tindakannya.
Pengupayaan sifat-sifat Tuhan ini merupakan suatu keniscayaan dalam pembentukan humanitas manusia
muslim sebagai potret dan lambang kebaikan dan kebajikan yang mesti selalu ditiru dan diupayakan agar
nantinya menjadi sikap diri menuju aktualisasi diri. Ia bertugas untuk menata dunia sedemikian rupa
sehingga dapat menjadikan manusia hidup sejahtera, damai, sentosa dan bahagia.

2. Kedudukan manusia dalam alam semesta

a. ‘Abdu/ Mu’abbid

Kedudukan manusia di alam ini yang sering diangkat oleh para pakar adalah sebagai hamba yang
harus beribadah kepada Allah swt. Hal ini biasanya didasarkan pada petunjuk ayat yang berbunyi:

‫وما خلقت الجن واالنس اال ليعبدوان‬

Terjemahnya:

“Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka menyembah (ibadah) kepada-Ku"

Manusia sebagai makhluk yang paling mulia diberi potensi untuk mengembangkan diri dan
kemanusiaannya. Potensi-potensi tersebut merupakan modal dasar bagi manusia dalam menjalankan
berbagai fungsi dan tanggungjawab kemanusiaannya. Agar potensi- potensi itu menjadi aktual dalam
kehidupan perlu dikembangkan dan digiring pada penyempurnaan-penyempurnaan melalui upaya
pendidikan, karena itu diperlukan penciptaan arah bangun pendidikan yang menjadikan manusia layak
untuk mengembang misi Ilahi. Beribadah berarti mencakup keseluruhan kegiatan manusia dalam hidup di
dunia ini, termasuk kegiatan duniawi sehari-hari, jika kegiatan itu dilakukan dengan sikap batin serta niat
pengabdian dan penghambaan diri kepada Tuhan, yakni sebagai tindakan bermoral yakni untuk
menempuh hidup dengan kesabaran penuh bahwa makna dan tujuan keberadaan manusia ialah
“perkenan” atau ridha Allah swt.

Dalam literatur keislaman dikenal ada ibadat mahdah (ibadah dalam arti khas), ta’abbudi atau
taalluh dan ada ibadah ‘ammah, lazim juga disebut sebagai muamalah atau al-aadah. Yang pertama adalah
yang dikenal sebagai ritus, dan yang kedua adalah muamalah yakni aktivitas yang menuntut untuk kreatif
dan inovatif. Ibadah dalam arti luas juga dinamakan syari’ah. Kalau syari’ah diartikan aturan agama
tentang prinsip- prinsip ibadat dan muamalat, maka fikih pengembangan dari syari’ah untuk menjawab
segala persoalan yang ditemukan dalam kehidupan bermasyarakat dan belum ditemukan petunjuk yang
jelas dan tegas dalam al-Qur’an dan hadis. Dengan demikian, syari’ah dan fikih adalah aturan atau hukum
Allah tentang segenap perilaku pribadi dan kelompok. Aturan atau hukum itu ada yang wajib, sunah,
haram, makruh dan ada yang mubah, boleh dilakukan boleh tidak.
Sesuatu yang amat penting untuk diingat mengenai ibadat atau ubudiyah ini ialah bahwa dalam
melakukan amal perbuatan itu seseorang harus hanya mengikuti petunjuk agama dengan referensi kepada
sumber-sumber suci (Kitab dan Sunnah), tanpa sedikit pun hak bagi seseorang untuk menciptakan sendiri
cara dan pola mengerjakannya. Justru suatu kreasi, penambahan atau invasi di bidang ibadat dalam
pengertian khusus ini akan (ibadah) kepada-Ku.

tergolong sebagai penyimpangan keagamaan (bid’ah, heresy) yang terlarang keras. Sebaliknya
ibadah kedua, yang dalam pembicaraan sebelumnya yang disebut muamalah menuntut untuk kreatif dan
inovatif. Islam hanya memberikan petunjuk umum dan pengarahan saja. Islam memerintahkan qitaal
(memerangi) kaum yang zalim. Nabi mencontohkan dengan pedang, panah, perisai, kuda, dan unta. Islam
memberikan petunjuk umum: berperanglah dengan senjata dan kenderaan. Sekarang ini tentu dengan
menggunakan senapan, bom, rudal, dengan mengendarai tank-tank baja, pesawat tempur, atau mungkin
peralatan mutakhir yang disebut perang bintang. Di sini, cara, waktu, dan tempat tidak ditentukan secara
fixed oleh Rasulullah saw.

Bagi Emile Durkheim, upacara-upacara ritual dan ibadat adalah untuk meningkatkan solidaritas,
untuk menghilangkan perhatian kepada kepentingan individu. Masyarakat yang melakukan ritual larut
dalam kepentingan bersama. Terlihat bahwa Durkheim menciukkan makna-makna yang terkandung
dalam upacara keagamaan kepada keutuhan masyarakat atau solidaritas sosial. Akan tetapi, banyak pula
ibadat yang dilakukan sendiri-sendiri, seperti do’a, zikir, shalat tahajjud.

Makna memperkuat hubungan dengan Tuhan dalam kehidupan sehari-hari, supaya manusia
mendapatkan kepuasan batin, ketabahan, harapan, memperbaiki kesalahan, adalah makna-makna penting
yang terkandung dalam ibadat, di samping makna untuk tetap jujur, ikhlas dan mengesakan Tuhan.
Menurut Naquib Al-Attas bahwa konsep agama yang dibawa oleh para nabi dan rasul tersebut memiliki
landasan yang sangat fundamental yang dikenal setia kepada janji.

Pokok ajaran agama yang diwahyukan Tuhan kepada para nabi dan rasul adalah karena anak cucu
keturunan Adam as secara psikologis dengan sebagai ayat perjanjian, dihadapkan kepada Tuhan dan
dituntut pengakuannya terhadap ketuhanan-Nya. Hasan Langgulung menyebutkan bahwa manusia yang
beribadah atau mu’abbid mesti mengembangkan sifat Tuhan yang diberikannya kepada manusia berupa
potensi-potensi yang bersumber dari Tuhan. Ibadah dalam konteks ini bukan dalam maknanya yang
sempit, karena setiap adanya upaya mengembangkan dan mendalami sifat-sifat Tuhan seperti
berkehendak, ilmu, kaya, kuat, mulia, pengasih, dan penyayang adalah ibadah.

3. Kedudukan manusia dalam pendidikan islam

Islam memandang tentang alam sebagai makhluk Allah yang terdiri komponen biotik dan abiotik
yang terbentang dari sub-atomik hingga kosmik. Sama halnya dengan alam, manusia juga makhluk Allah
yang hidup besama-sama dalam ruang di jagad raya ini. Terdapat keterkaitan antara manusia dengan
alam, manusia disebut (microcosmos) dan alam (macrocosmos) dimana keduanya memilik hubungan
pemanfaatan dan kemakmuran bersama. Allah menundukkan alam bagi manusia sebagai tempat observasi
untuk menemukan temuan-temuan kebenaran yang merupakan hasil kajian dan pengamatan terhadap
sunna Allah ( natural law ). Dalam prosesnya, manusia untuk memakmurkan bumi membutuhkan
pengetahuan dengan berpegang kepada wahyu ( al-Qur’an dan Hadits) dan pengetahuan-pengetahuan
empirik yang ditransformasikan dalam pendidikan islam. Pendidikan Islam merupakan upaya normatif
untuk menumbuhkembangkan segala potensi yang melekat pada manusia sehingga dapat mempengaruhi
pola perkembangan dan pertumbuhan manusia sebagai subyek-obyek didik. Dengan berbekal
pengetahuan melalui proses pendidikan islam ini, manusia dapat bisa mengambil peran sebagai (khalifah)
Allah untuk memakmurkan bumi dan mampu melakukan pengembangan dari ketidaktahuan menjadi
individu yang berperadaban.

4. Potensi dan Kedudukan Manusia di Alam Semesta

Hingga saat ini, apa saja potensi manusia yang sesungguhnya? Masih menjadi misteri. Tidak
sedikit kalangan cerdik pandai mencoba mengungkapkannya sejak masa sebelum masehi hingga kini.
Kajian ini mencoba menelaah pandangan tiga tokoh pemikir pada masanya (Aristoteles, Sigmund Freud,
dan Al-Ghazali), tentang potensi manusia dan kedudukannya di alam semesta. Hasil kajian yang
dilakukan dengan melakukan telaah pustaka ini, menemukan bahwa Jiwa dalam pandangan Aristoteles,
yang berhampiran maknanya dengan super ego menurut Sigmund Freud, serta al-Qalbu sebagaimana
dikemukakan oleh Al-Ghazali, merupakan potensi manusia yang sangat berkaitan dengan hal-hal
normatif dalam memandu interaksi manusia dengan semesta dan isinya. Sementara rasio, sebagaimana
dipahami oleh Aristoteles, dan id yang dikemukakan Sigmund Freud, serta Akal dan an-Nafs dalam
pemahaman Al-Ghazali adalah potensi manusia yang memunculkan daya kreasi dalam berinteraksi
dengan sesama penghuni semesta ini. Di sisi lain, Al-Ghazali bersendiri ketika mencetuskan gagasan
potensi manusia yang lain, yakni ar-Ruh. Inilah potensi yang menghubungkan manusia dengan
penciptanya (Allah SWT). Keterhubungan sebagai jalan pertanggung-jawaban manusia di hadapan
Penciptanya nanti.

5. Kedudukan akal dalam Islam

Allah swt., menganugerahkan akal kepada seluruh manusia yang merupakan kelebihan manusia
dibanding dengan makhluk-makhluk-Nya yang lain. Dengan menggunakan akalnya manusia dapat
membuat hal-hal yang dapat mempermudah urusan mereka di dunia. Tetapi segala yang dimiliki manusia
sudah tentu ada keterbatasan-keterbatasan sehingga ada batas-batas yang tidak boleh dilewati. Meskipun
Islam sangat memperhatikan dan memuliakan akal, tetapi tidak menyerahkan segala sesuatu kepada akal,
bahkan Islam membatasi ruang lingkup akal sesuai dengan kemampuannya, karena akal terbatas
jangkauannya, tidak akan mungkin bisa menjangkau hakekat segala sesuatu. Maka Islam menundukkan
akal terhadap Wahyu dan Sunnah Nabi saw., artinya di dalam segala hal wahyu dan sunnah harus di
dahulukan.

C. Hakikat Manusia
Dalam konsepsi Islam, manusia merupakan satu hakikat yang mempunyai dua dimensi, yaitu
dimensi material (jasad) dan dimensi immaterial (ruh, jiwa, akal dan sebagainya). Unsur jasad akan
hancur dengan kematian, sedangkan unsur jiwa akan tetap dan bangkit kembali pada hari kiamat. (QS.
Yasin, 36: 78-79). Manusia adalah makhluk yang mulia, bahkan lebih mulia dari malaikat (QS. al-Hijr,
15: 29). Bahkan manusia adalah satu-satunya mahluk yang mendapat perhatian besar dari Al-Qur’an,
terbukti dengan begitu banyaknya ayat al-Qur‟an yang membicarakan hal ikhwal manusia dalam berbagai
aspek-nya, termasuk pula dengan nama-nama yang diberikan al-Qur’an untuk menyebut manusia,
setidaknya terdapat lima kata yang sering digunakan Al-Qur’an untuk merujuk kepada arti manusia, yaitu
insan atau ins atau al-nas atau unas, dan kata basyar serta kata bani adam atau durriyat adam. Berbicara
dan berdiskusi tentang manusia memang menarik dan tidak pernah tuntas. Pembicaraan mengenai
makhluk psikofisik ini laksana suatu permainan yang tidak pernah selesai. Selalu ada saja pertanyaan
mengenai manusia. Para ahli telah mencetuskan pengertian manusia sejak dahulu kala, namun sampai saat
ini pun belum ada kata sepakat tentang pengertian manusia yang sebenarnya.

Hakikat manusia sebagai makhluk yang mulia ciptaan Allah memberikan makna bahwa
penciptaan merupakan pihak penentu dan yang diciptakan adalah pihak yang ditentukan, baik mengenai
kondisi maupun makna penciptaannya. Manusia tidak mempunyai peranan apapun dalam proses hasil
penciptaan dirinya. Oleh karena itu ketidakmampuan manusia itu merupakan peringatan bagi manusia.
Seperti halnya manusia tidak ikut menentukan atau memilih orang tuanya, suku atau bangsa dan lain-lain
sebagainya. Oleh karenanya manusia harus menyadari atas ketentuan-ketentuan yang telah diberikan oleh
Allah SWT.

Sebagai makhluk yang mulia, manusia dapat dilihat dari beberapa hal diantaranya:

1. Manusia adalah makhluk yang keberadaannya di dunia ini untuk mengadakan sesuatu, artinya seorang
manusia mempunyai tugas bekerja dalam hidupnya.

2. Manusia ada untuk berbuat yang baik dan membahagiakan manusia, artinya manusia ada untuk
mengadakan sesuatu yang benar serta bermanfaat, dari sanalah muncul segala bentuk karya manusia
meliputi kreativitas dan dinamika di dalam kehidupannya.

3. Manusia adalah makhluk yang memiliki kebebasan dalam hidup artinya kebebasan manusia nampak
melalui aneka kreasi dalam segala segi kehidupan dan melalui kebiasaan itulah muncul berbagai kegiatan.

4. Manusia adalah makhluk yang bertanggung jawab. Dalam diri manusia ada kesadaran untuk
mempertanggungjawabkan apa yang dilakukan dalam hidupnya. Misalnya dalam salah satu wujud
kesadaran religius bahwa manusia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya pada ilahi.

5. Manusia adalah makhluk yang mempunyai keterbatasan walaupun manusia adalah makhluk mulia.

Kelima hal tersebut merupakan perincian dari hakikat manusia dalam Islam sebagai makhluk yang
istimewa.

Manusia perlu mengenal dan memahami hakikat dirinya sendiri agar mampu mewujudkan
eksistensi yang ada dalam dirinya. Pemahaman dalam hidup akan mengantarkan manusia pada kesediaan
untuk mencari makna serta arti kehidupan agar hidupnya tidak sia-sia eksistensi manusia di dunia
merupakan tanda kekuasaan Allah SWT terhadap hamba-hambanya, bahwa dialah yang menciptakan,
menghidupkan dan menjaga kehidupan manusia. Dengan demikian, tujuan diciptakannya manusia dalam
konteks hubungan manusia dengan Allah SWT adalah dengan mengimani Allah SWT serta memikirkan
ciptaannya untuk menambah keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT. Sedangkan dalam konteks
hubungan manusia dengan manusia serta manusia dengan alam adalah untuk berbuat amal, yaitu
perbuatan baik dan tidak melakukan kejahatan terhadap sesama manusia, serta tidak merusak alam.
Terkait dengan tujuan hidup manusia dengan manusia lain dapat dijelaskan sebagai berikut.

1.Tujuan umum adanya manusia di dunia

Dalam Quran surah al-anbiya (21:107) yang artinya "Dan tidaklah kami mengutus kamu
melainkan untuk rahmat bagi semesta alam"ayat ini menerangkan tujuan manusia diciptakan oleh Allah
SWT dan berada di dunia ini adalah untuk menjadi rahmat bagi alam semesta. Arti kata rahmat adalah
karunia, kasih sayang dan belas kasih jadi manusia sebagai rahmat merupakan manusia yang diciptakan
oleh Allah SWT untuk menebar dan memberikan kasih sayang kepada alam semesta.

2.Tujuan khusus adanya manusia di dunia

Tujuan khusus adanya manusia di dunia adalah sukses dunia dan akhirat dengan cara
melaksanakan amal sholeh yang merupakan investasi pribadi manusia sebagai individu. Allah berfirman
dalam Quran surah An-Nahl ayat (16:97) yang artinya barangsiapa mengerjakan amal saleh baik laki-laki
maupun perempuan dalam keadaan beriman maka sesungguhnya Allah SWT akan memberikan
kepadanya kehidupan yang baik dan akan diberi balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik
dengan apa yang telah mereka kerjakan.

3.Tujuan individu dalam keluarga

Manusia di dunia tidak hidup sendirian. Manusia merupakan makhluk sosial yang mempunyai
sifat hidup berkelompok dan saling membutuhkan satu sama lain. Hampir semua manusia pada awalnya
merupakan bagian dari anggota kelompok sosial yang dinamakan keluarga. Dalam ilmu komunikasi dan
sosiologi keluarga merupakan bagian dari klasifikasi kelompok sosial dan termasuk dalam small group
atau kelompok terkecil karena paling seni sedikit anggotanya. Namun keberadaan keluarga sangat penting
karena merupakan bentuk khusus dalam kerangka sistem sosial secara keseluruhan.

4.Tujuan individu dalam masyarakat

Setelah hidup berkeluarga manusia mempunyai kebutuhan untuk bermasyarakat. Tujuan hidup
bermasyarakat yaitu mencari keberkahan yang melimpah dalam hidup. kecukupan kebutuhan hidup ini
menyangkut kebutuhan fisik seperti perumahan, makan, pakaian kebutuhan sosial bertetangga, kebutuhan
rasa aman dan kebutuhan aktualisasi diri. Kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat mudah diperoleh apabila
masyarakat beriman dan bertakwa. Apabila masyarakat tidak beriman dan tidak bertakwa maka Allah
akan memberikan siksa dan jauh dari keberkahan. Oleh sebab itu apabila dalam suatu masyarakat ingin
hidup damai dan serba kecukupan maka kita harus mengajak setiap anggota masyarakat untuk
memelihara iman dan taqwa.

Manusia diturunkan ke bumi ini bukanlah hanya sebagai penghias atau pelengkap di bumi semata
tetapi manusia sesungguhnya mempunyai kedudukan peran, dan tugas yang telah ditentukan dan melekat
padanya yang terbawa sejak ia lahir ke dunia.Manusia telah dipilih oleh Allah untuk melaksanakan
tanggung jawab sebagai hamba Allah dan seorang khalifah di bumi karena manusia merupakan makhluk
yang paling istimewa dibanding dengan makhluk-makhluk yang lainnya. Mereka dipilih untuk
menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada dengan cara mereka sendiri dan tanpa melepas tanggung
jawab.

Adapun tanggung jawab manusia di dunia ini sebagai hamba Allah adalah:

1. Tanggung jawab manusia sebagai hamba Allah

Ayat Alquran menyebutkan bahwa manusia merupakan makhluk yang diciptakan oleh Allah dari
tanah kemudian berkembang biak melalui sperma dan ovum dalam suatu ikatan pernikahan yang suci
serta proses biologis produktivitas manusia (QS.Al-Mukminun:12-16). Dalam konteks ini nabi
Muhammad SAW bersabda bahwasanya seseorang kamu dihimpunkan kejadian di dalam perut ibu
selama 40 hari kemudian berupa segumpal darah seperti itu pula lamanya kemudian berupa segumpal
daging seperti itu pula lamanya kemudian Allah mengutus seorang malaikat maka diperintahkan kepada
malaikat: engkau tuliskan amalnya, rezekinya, ajalnya, dan celaka atau bahagianya. Kemudian ditiupkan
roh kepada makhluk tersebut (HR.Bukhari).

2. Tanggung jawab manusia sebagai khalifah di muka bumi

Khalifah berasal dari kata khalafa h yang berarti mengganti. Khalifah diartikan pengganti karena
ia menggantikan yang di depannya. Dalam bahasa Arab, kalimat Allah menjadi Khalifah bagimu berarti
Allah menjadi pengganti bagimu dari orang tuamu yang meninggal. Allah menjadikan manusia sebagai
khalifah di bumi berarti Allah menyerahkan pengolahan dan kemakmuran bumi bukan secara mutlak
kepada manusia. Di samping arti ini khalifah juga menunjukkan arti pemimpin negara atau kaum. Kata
khalifah dengan arti pemimpin terdapat dalam QS Shad :38.

Dapat disimpulkan bahwa manusia adalah makhluk yang kompleks. Diciptakannya manusia di
bumi oleh sang pencipta tidak hanya untuk diam saja tetapi manusia dituntut untuk selalu berperan aktif
untuk berbuat kebaikan. Sebagai seorang manusia, kita juga harus menjadi individu yang dapat
bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain.

Manusia bukanlah makhluk yang sempurna, masih banyak kekurangan yang melekat dalam diri
manusia. Salah satu contohnya adalah kurangnya pemahaman manusia tentang agama, oleh karena itu
manusia dianjurkan untuk saling menghormati dan mengasihi satu sama lain karena kita diciptakan tanpa
adanya perbedaan. Selain itu sebagai seorang manusia kita harus mematuhi aturan yang ada.

Memikirkan dan membicarakan mengenai hakikat manusia inilah, yang menyebabkan orang tidak
henti-hentinya berusaha mencari jawaban yang memuaskan tentang pertanyaan yang mendasar tentang
manusia yaitu apa, bagaimana, dan kemana manusia itunantinya. Berbicara mengenai apa itu manusia,
ada beberapa aliran yang mendasari yaitu :

1. Aliran serba zat, mengatakan bahwa yang sungguh-sungguh ada hanyalah zat atau materi. Zat atau
materi itulah hakekat dari sesuatu. Alam ini adalah materi dan manusia adalah unsur dari alam maka dari
itu hakikat dari manusia itu adalah zat atau materi.
2. Aliran serba roh, berpendapat bahwa segala hakikat sesuatu yang ada di dunia ini adalah roh, begitu
juga hakikat manusia adalah roh. Adapun zat itu adalah manifestasi daripada roh di dunia ini.

3. Aliran dualisme, mencoba untuk meyakinkan kedua aliran di atas. Aliran ini menganggap bahwa
manusia itu pada hakikatnya terdiri dari dua substansi yaitu jasmani dan rohani. Kedua substansi ini
masing-masing merupakan unsur asalnya, tidak tergantung satu sama lain. Jadi badan tidak berasal dari
roh, juga sebaliknya. Hanya dalam perwujudannya manusia itu ada dua, jasad dan roh, yang keduanya
berintegrasi membentuk yang disebut manusia.

4. Aliran eksistensialisme, yang memandang manusia secara menyeluruh, artinya aliran ini memandang
manusia tidak dari sudut zat atau serba roh atau dualisme, tetapi memandangnya dari segi eksistensi
manusia itu sendiri yaitu cara beradanya manusia itu sendiri di dunia ini.

Dari keempat aliran tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa hakikat manusia yang
sebenarnya adalah sesuatu yang melatar belakangi keberadaanya di dunia ini sebagai manusia yang terdiri
dari jasmani dan rohani. Sedangkan dalam Islam sendiri, hakikat manusia didasarkan pada apa yang
diterangkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunah, atau melalui pengenalan asal kejadian manusia itu sendiri.
Hakikat manusia dalam Islam merupakan suatu keberadaan yang mendasari diciptakannya manusia yang
telah diberi amanat untuk mengatur bumi (Khalifah) yaitu untuk mengabdi atau beribadah kepada Allah.

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dapat disimpulkan bahwa manusia adalah makhluk yang kompleks. Di ciptakannya


manusia di bumi oleh Sang Pencipta tidak hanya untuk diam saja, tetapi manusia dituntut untuk
selalu berperan aktif untuk berbuat kebaikan. Sebagai seorang manusia, kita juga harus menjadi
individu yang dapat bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain.
Manusia bukanlah makhluk yang sempurna, masih banyak kekurangan yang melekat
dalam diri manusia. Salah satu contohnya adalah kurangnya pemahaman manusia tentang agama,
oleh karena itu manusia dianjurkan untuk saling menghormati dan mengasihi satu sama lain
karena kita diciptakan tanpa adanya perbedaan. Selain itu, sebagai seorang manusia kita harus
mematuhi aturan yang ada.
B. SARAN

Dari penulisan makalah ini, penulis menyarankan agar sebagai seorang manusia kita
harus menjadi individu yang dapat bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Sebagai makhluk
sosial, manusia tidak dapat hidup sendiri oleh karena itu kita harus saling tolong menolong dalam
kebaikan antar sesama.
Untuk kedepannya tugas dalam membuat makalah ini sangat dianjurkan untuk
dilanjutkan, karena bisa menambah wawasan manusia tentang pengetahuan Agama. Selain itu,
makalah ini diharapkan dapat membantu pembaca untuk menggali lebih dalam Hakikat Manusia
Dalam Pendidikan Islam.

DAFTAR PUSTAKA

Asifuddin,Ahmad Jannan.2009.Mengungkit pilar-pilar pendidikan islam(tinjauan


filosofis).Yogyakarta:suka pers

Ihsan,Hamdani dan Faud Ihsan.2007.Filsafat pendidikan islam.Bandung:pustaksa setia

Jalaludin dan Abdulloh.1997.Filsafat Pendidikan.Jakarta:Gaya media pratama

Noor Syam,Mohammad.1988 cet 4.Filsafat pendidikan dan dasar filsafat pendidikan


pancasila.Surabaya:usaha Nasional

Suhartono,Suparlan,2007.Filsafat Pendidikan.Yogyakarta:Ar-ruzz Media

https://ejournal.iainkendari.ac.id/al-tadib/article/view/556

https://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/InspiratifPendidikan/article/download/7918/6263
http://ejournal.kopertais4.or.id/mataraman/index.php/elwahdah/article/view/4437

Azizah Hanum OK, Filsafat Pendidikan Islam (Sebuah Pengantar), Medan : CV. Scientific Corner
Publishing, 2020

Abuddin Nata, AL-Qur’an dan Hadits (Dirasah Islamiyah, Jakarta : PT. Raja Grafindo  Persada, 1998

Muhammadong. 2009. Pendidikan Agama Islam. Makassar : Tim Dosen Pendidikan Agama  Islam
Universitas Negeri Makassar.

Anda mungkin juga menyukai