Anda di halaman 1dari 19

i

TINJAUAN FILOSOFIS TENTANG KEDUDUKAN FUNGSI DAN PERAN MANUSIA


DI MUKA BUMI

Dosen Pengampu: Bapak M. Iksan Kahar, S. Pd., M. Pd.

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah: Filsafat Pendidikan Islam

Oleh:

1. Sri wahyuni (211220005)


2. Yuni anizar (211220006)
3. Winda (211220007)

TADRIS MATEMATIKA

FAKULTAS TARBIYAH & ILMU KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM DATOKARAMA PALU

2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke Hadirat Tuhan yang Maha Esa, karena berkat limpahan
Rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini dengan baik dan tepat
waktunya. Dalam makalah ini kami membahas mengenai “Tinjauan Filosofis Tentang
Kedudukan Fungsi dan Peran Manusia di Bumi”.

Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada Bapak M. Iksan Kahar, S. Pd., M. Pd. Selaku
dosen pengampu yang membimbing kami dalam pengerjaan tugas makalah ini. Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada teman-teman kami yang selalu setia membantu dalam hal
mengumpulkan data-data dalam pembuatan makalah ini.

Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh
karena itu kami berharap dapat mendapatkan saran dan kritik yang dapat membangun kami.
Kritik konstruktif dari teman-teman sangat kami harapkan untuk penyempurnaan makalah
selanjutnya. Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita sekalian.

Palu, 18 September 2022

Kelompok 2

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………………i

DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………………..ii

BAB I PENDAHULUAN ………...………………………………………………………………1

A. LATAR BELAKANG ……….……………………………………………………………1


B. RUMUSAN MASALAH ………………………………………………………………….1
C. TUJUAN …………………………………………………………………………………..1

BAB II PEMBAHASAN …………………………………………………………………………2

A. MANUSIA …………………………………………………………………………………2
B. KEDUDUKAN MANUSIA DI BUMI …………………………………………………….3
1. ‘ABDU/ MU’ABBID …………………………………………………………………..4
2. KHALIFAH ……………………………………………………………………………6
C. FUNGSI MANUSIA DI BUMI ……………………………………………………………9
D. PERAN MANUSIA DI BUMI …………………………………………………………...12

BAB III PENUTUP ……………………………………………………………………………..15

A. KESIMPULAN …………………………………………………………………………..15
B. SARAN …………………………………………………………………………………..15

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………………….16

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Manusia sebagai makhluk individu memiliki unsur jasmani dan rohani, unsur psikis dan
fisik, unsur jiwa dan raga. Menurut kodratnya manusia ialah makhluk sosial dan makhluk yang
bermasyarakat. Dalam hubungannya dengan manusia lain, manusia memiliki peran masing-
masing, yang dengan peran tersebut manusia dapat membantu manusia yang lainnya. Setiap
manusia dapat terpengaruh dengan lingkungannya, begitu juga sebaliknya, manusia dapat
mempengaruhi lingkungannya.

Secara umum peran manusia seperti yang dijelaskan oleh Allah SWT dalam surah Fatir
ayat 39 ialah menjadi khalifah, Allah SWT memberikan kedudukan kepada manusia sebagai
khalifah. Khalifah diartikan bahwa manusia diciptakan untuk menjadi penguasa yang mengatur
apa-apa yang ada di bumi dan memanfaatkan apa yang ada di bumi untuk kemaslahatannya.
Inilah peran manusia secara umum dalam Islam.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Seperti apakah Kedudukan manusia di muka bumi?


2. Seperti apakah Fungsi manusia di muka bumi?
3. Seperti apakah Peran manusia di muka bumi?

C. TUJUAN

1. Untuk mengetahui bagaimana kedudukan manusia di muka bumi


2. Untuk mengetahui fungsi manusia di muka bumi
3. Untuk mengetahui peran manusia di muka bumi

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Manusia
Pandangan tentang manusia tidak saja memiliki relevansi teoretis, tetapi juga memiliki
implikasi praktis. Pandangan tertentu tentang manusia juga akan mewarnai cara bagaimana kita
bersikap, memperlakukan orang lain serta menentukan corak hubungan implikasi praktis dalam
kehidupan sosial. Mengingat pentingnya pengertian dan pandangan tentang manusia, maka
uraian ini akan mengungkapkan ulasan tentang manusia berdasarkan studi yang telah
dikemukakan oleh para ahli.
a. D.C. Mulder
Manusia adalah makhluk yang berakal, akal yang menjadi pembeda pokok antara
manusia dengan binatang, akal pula yang menjadi dasar dari segala kebudayaan.
b. Aristoteles
Manusia adalah hewan berakal sehat yang mengeluarkan pendapatnya dan berbicara
berdasarkan akal pikiran.
c. Horald H. Titus
Manusia adalah organisme hewani, namun manusia itu mampu mempelajari dirinya
sendiri sebagai suatu organisme dan memperbandingkannya serta menafsirkan bentuk-
bentuk hidup dan mampu menyelidiki makna eksistensi dirinya.
d. Adinegoro
Manusia adalah alam kecil sebagian dari alam besar yang ada di atas bumi, sebagian dari
makhluk yang bernyawa, sebagian dari bangsa anthropomorphic, binatang menyusui,
yang mengetahui dan menguasai kekuatan-kekuatan alam, di luar maupun di dalam
dirinya.
e. Abbas Mahmud Al-Aqqad
Manusia adalah makhluk ciptaan Allah SWT yang bertanggung jawab, yang diciptakan
dengan sifat-sifat ketuhanan.1
Islam memandang manusia sebagai makhluk yang memiliki derajat yang tinggi,
bertanggung jawab atas segala yang diperbuat, serta merupakan makhluk pemikul amanat yang

1
Abdul kosim. pendidikan Agama Islam. Bandung. PT. Remaja rosda Karya. 2018 h.61

2
berat. Apapun perbuatan manusia, termasuk di dalamnya perbuatan hina, karakteristiknya tetap
dihargai sebagai manusia, bukan diidentikkan dengan hewan, walaupun seperti (perbuatan)
hewan dari segi sifatnya, tetapi substansinya tetap berbeda.
Manusia dan hewan memang sama-sama mempunyai otak dan indera, tetapi otak
binatang tidak bisa berfungsi untuk membentuk persepsi. Manusialah yang mampu membentuk
persepsi-persepsi yang kemudian diuji coba untuk memastikan suatu hipotesa. Oleh karena itu,
pernyataan filosof Yunani bahwa manusia adalah hewan yang berakal, tidak dapat
dipertahankan. Kalau pengertian itu tetap dipertahankan, maka hewan bisa diartikan sebagai
manusia yang tidak berakal. Logiskah pernyataan seperti ini? Pernyataan tersebut merupakan
pernyataan yang materialis bukan pernyataan yang spiritualis. Bagaimanapun juga manusia tetap
manusia yang dapat berpikir, dan dengan kekuatan otaknya, manusia dapat menentukan persepsi-
persepsi yang kelak akan menjadi dasar-dasar pengetahuan dan kehidupan manusia.
Manusia serupa dengan hewan dalam sebagian karakteristik fisik dan dorongan emosi
untuk mempertahankan hidup. Namun manusia berbeda dengan hewan dalam karakteristik
rohnya yang memiliki kecenderungan mencari Allah dan menyembah-Nya. Selain itu, perbedaan
menyeluruh antara manusia dengan hewan adalah manusia dikaruniai akal oleh Allah. Dengan
akal itulah manusia dapat bertingkah laku atau melakukan perbuatan untuk berhubungan dengan
manusia lain dalam kehidupan sehari-hari.
Secara fisik manusia mungkin lebih lemah daripada hewan. Hewan dilengkapi dengan
peralatan untuk mempertahankan dirinya, seperti ayam jago dengan tajinya, harimau dengan
kuku tajam dan taringnya, ular dengan bisanya, gajah dengan fisiknya yang besar dan kuat.
Namun dengan akalnya, manusia dapat membuat peralatan untuk mempertahankan diri dan
kehidupannya. Bagaimanapun lemahnya manusia, dengan akal manusia masih bisa menguasai
mereka.
Selain hewan dan manusia, Allah juga menciptakan makhluk lain, seperti jin, syaitan,
iblis, dan malaikat.2

B. Kedudukan manusia di muka bumi


1. ‘Abdu/ Mu’abbid

2
M.Quraish shihab,yang tersembunyi ,jin,iblis, setan dan malaikat dalam Al-qur’an dan sunnah, Jakarta. lentera
hati. 1999 h.27

3
Kedudukan manusia di alam ini yang sering diangkat oleh para pakar adalah sebagai
hamba yang harus beribadah kepada Allah swt. Hal ini biasanya didasarkan pada petunjuk QS.
Al Dzariyat/51:56, “Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka
menyembah (ibadah) kepada-Ku.” Manusia sebagai makhluk yang paling mulia diberi potensi
untuk mengembangkan diri dan kemanusiaannya. Potensi-potensi tersebut merupakan modal
dasar bagi manusia dalam menjalankan berbagai fungsi dan tanggung jawab kemanusiaannya.
Agar potensi-potensi itu menjadi aktual dalam kehidupan perlu dikembangkan dan digiring pada
penyempurnaan -penyempurnaan melalui upaya pendidikan, karena itu diperlukan penciptaan
arah bangun pendidikan yang menjadikan manusia layak untuk mengembang misi Ilahi.
Beribadah berarti mencakup keseluruhan kegiatan manusia dalam hidup di dunia ini, termasuk
kegiatan duniawi sehari-hari, jika kegiatan itu dilakukan dengan sikap batin serta niat
pengabdian dan penghambaan diri kepada Tuhan, yakni sebagai tindakan bermoral yakni untuk
menempuh hidup dengan kesabaran penuh bahwa makna dan tujuan keberadaan manusia ialah
“perkenan” atau ridha Allah swt.
Dalam literatur keislaman dikenal ada ibadat mahdah (ibadah dalam arti khas), ta’abbudi
atau taalluh dan ada ibadah ‘ammah, lazim juga disebut sebagai muamalah atau al-adah. Yang
pertama adalah yang dikenal sebagai ritus, dan yang kedua adalah muamalah yakni aktivitas
yang menuntut untuk kreatif dan inovatif. Ibadah dalam arti luas juga dinamakan syari’ah. Kalau
syari’ah diartikan aturan agama tentang prinsip-prinsip ibadat dan muamalat, maka fikih
pengembangan dari syari’ah untuk menjawab segala persoalan yang ditemukan dalam kehidupan
bermasyarakat dan belum ditemukan petunjuk yang jelas dan tegas dalam Al-Qur’an dan
hadis.Dengan demikian, syari’ah dan fikih adalah aturan atau hukum Allah tentang segenap
perilaku pribadi dan kelompok. Aturan atau hukum itu ada yang wajib, sunah, haram, makruh
dan ada yang mubah, boleh dilakukan boleh tidak. Sesuatu yang amat penting untuk diingat
mengenai ibadat atau ubudiyah ini ialah bahwa dalam melakukan amal perbuatan itu seseorang
harus hanya mengikuti petunjuk agama dengan referensi kepada sumber-sumber suci (Kitab dan
Sunnah), tanpa sedikit pun hak bagi seseorang untuk menciptakan sendiri cara dan pola
mengerjakannya. Justru suatu kreasi, penambahan atau invasi di bidang ibadat dalam pengertian
khusus ini akan tergolong sebagai penyimpangan keagamaan (bid’ah) yang terlarang keras
(Madjid, 1992).3

3
Madjid,Nurcholish.(1992).Islam doktrin peradaban .cet I ,jakarta:Paramadinah.

4
Sebaliknya, ibadah kedua yang dalam pembicaraan sebelumnya yang disebut muamalah
menuntut untuk kreatif dan inovatif. Islam hanya memberikan petunjuk umum dan pengarahan
saja. Islam memerintahkan qital (memerangi) kaum yang zalim. Nabi mencontohkan dengan
pedang, panah, perisai, kuda, dan unta. Islam memberikan petunjuk umum: berperanglah dengan
senjata dan kendaraan. Sekarang ini tentu dengan menggunakan senapan, bom, rudal, dengan
mengendarai tank-tank baja, pesawat tempur, atau mungkin peralatan mutakhir yang disebut
perang bintang. Di sini, cara, waktu, dan tempat tidak ditentukan secara fixed oleh Rasulullah
saw. Bagi Emile Durkheim, upacara-upacara ritual dan ibadat adalah untuk meningkatkan
solidaritas, untuk menghilangkan perhatian kepada kepentingan individu. Masyarakat yang
melakukan ritual larut dalam kepentingan bersama. Terlihat bahwa Durkheim menciukkan
makna-makna yang terkandung dalam upacara keagamaan kepada keutuhan masyarakat atau
solidaritas sosial. Akan tetapi, banyak pula ibadat yang dilakukan sendiri-sendiri, seperti do’a,
zikir, shalat tahajjud. Makna memperkuat hubungan dengan Tuhan dalam kehidupan sehari-hari,
supaya manusia mendapatkan kepuasan batin, ketabahan, harapan, memperbaiki kesalahan,
adalah makna-makna penting yang terkandung dalam ibadat, di samping makna untuk tetap
jujur, ikhlas dan setia kepada janji (Bustanuddin, 2005). 4
Pokok ajaran agama yang diwahyukan Tuhan kepada para nabi dan rasul adalah
mengesakan Tuhan. Menurut Al-Attas (1992), bahwa konsep agama yang dibawa oleh para nabi
dan rasul tersebut memiliki landasan yang sangat fundamental yang dikenal dengan sebagai ayat
perjanjian, karena anak cucu keturunan Adam a.s. secara psikologis dihadapkan kepada Tuhan
dan dituntut pengakuannya terhadap ketuhanan-Nya. Langgulung (1995) menyebutkan bahwa
manusia yang beribadah atau mu’abbid mesti mengembangkan sifat Tuhan yang diberikannya
kepada manusia berupa potensi-potensi yang bersumber dari Tuhan. Ibadah dalam konteks ini
bukan dalam maknanya yang sempit, karena setiap adanya upaya mengembangkan dan
mendalami sifat-sifat Tuhan seperti berkehendak, ilmu,kaya, kuat, mulia, pengasih, dan
penyayang adalah ibadah. Sebagai mu’abbid, manusia kata Muhmidayeli (2011) dalam hal ini
dituntut untuk mampu merefleksikan sifat-sifat Tuhan ke dalam dirinya dan menjadikan sifat-
sifat itu aktual dalam berbagai tindakannya. Pengupayaan sifat-sifat Tuhan ini ke dalam dirinya
merupakan suatu keniscayaan dalam pembentukan humanitas manusia muslim sebagai potret dan

4
Bustanuddin,Agus (2005).Agama dalam kehidupan manusia,pengantar Antropologi. jakarta PT Raja Grafindo
Persada

5
lambang kebaikan dan kebajikan yang mesti selalu ditiru dan diupayakan agar ia menjadi sikap
diri menuju aktualisasi diri.

2. Khalifah
Shihab (1997) telah membahas masalah konsep kekhalifahan ini. Menurut hasil
penelitiannya, bahwa di dalam al-Qur’an terdapat kata khalifah dalam bentuk tunggal sebanyak
dua kali, yaitu dalamm surat al- Baqarah ayat 30 dan surat shad ayat 26; dan dalam bentuk plural
(jamak), yaitu khalaif dan khulafa’ yang masing-masing diulang sebanyak empat kali dan tiga
kali (Q.S. al- An’am/6:165; Yunus/10:14, 73; Fathir/35:39, Al- A’raf/7:69, 74 dan
al-Naml/27:62.) Keseluruhan kata tersebut menurutnya berakar pada kata ‘khulafa’ yang pada
mulanya berarti “di belakang”. Dari sini, kata khalifah menurutnya seringkali diartikan sebagai
“pengganti” (karena yang menggantikan selalu berada atau datang di belakang, sesudah yang
digantiannya. Shihab (1997) selanjutnya menguraikan segi penggunaan dari istilahistilah
tersebut. Dengan mengacu kepada ayat yang artinya: “Dan Daud membunuh Jalut, Allah
memberinya kekuasan/kerajaan dan hikmah serta mengajarkannya apa yang Dia kehendaki…”.
Shihab (1997) mengatakan bahwa kekhalifahan yang dianugerahkan kepada Daud as. Bertalian
dengan kekuasaan mengolah wilayah tertentu. Hal ini diperolehnya berkat anugerah Ilahi yang
mengajarkan kepadanya al-hikmah dan ilmu pengetahuan.
Disebutnya istilah kekhalifahan yang dikaitkan dengan upaya Tuhan yang mengajarkan
al-hikmah dan ilmu pengetahuan sebagaimana disebutkan itu memberikan petunjuk yang jelas
tentang adanya kaitan yang erat antara pelaksanaan fungsi kekhalifahan dengan pendidikan dan
pengajaran.Yaitu bahwa untuk dapat melaksanakan fungsi kekhalifahan itu seseorang perlu
dibekali dengan pengetahuan. Selanjutnya jika diamati dengan seksama, nampak bahwa istilah
khalifah dalam bentuk mufrad (tunggal) yang berarti penguasa politik hanya digunakan untuk
nabi-nabi, yang dalam hal ini nabi Adam as.Dan tidak digunakan untuk manusia pada umumnya.
Sedangkan untuk manusia biasa digunakan istilah khala’if yang di dalamnya mempunyai arti
yang lebih luas yaitu bukan hanya sebagai penguasa politik tetapi juga penguasa dalam berbagai
bidang kehidupan. Dalam hubungan dengan pembicaraan dengan kedudukan manusia dalam
alam ini, tampaknya lebih cocok digunakan istilah khala’if dari pada kata khalifah. Namun
demikian yang terjadi dalam penggunaan sehari-hari adalah bahwa manusia sebagai khalifah
dimuka bumi. Pendapat demikian memang tidak ada salahnya, karena dalam istilah khala’if

6
sudah terkandung makna istilah khalifah. Sebagai seorang khalifah ia berfungsi menggantikan
orang lain dan menempati tempat serta kedudukannya (Al-Razi, 1995).5
Ia menggantikan orang lain, menggantikan kedudukannya, kepemimpinanya atau
kekuasaannya. Manusia diberi status yang terhormat yaitu sebagai khalifah Allah di muka bumi,
lengkap dengan kerangka dan program kerjanya. Secara simbolis fungsi dan kerangka kerja itu
dinyatakan Allah pada proses penciptaan Adam as, sebagai mana difirmankan Allah swt dalam
Q.S Al- Baqarah/2:30, yang berarti, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di
muka bumi”. Ditambahkan pula pada Q.S. Huud/11:61), yang berarti, “Dan sekaligus
menugaskan manusia untuk memakmurkan bumi.” Untuk menjalankan tugas-tugas yang
dimaksudkan itu, agar dapat berjalan dengan lancar, Allah swt., memberikan seperangkat
perlengkapan yang diperlukan manusia. Perlengkapan pertama dan utama adalah berupa potensi
tauhid (Q.S. Al-A’raf/7:172), yang berarti, “Dan (ingatlah) Ketika Tuhanmu mengeluarkan dari
sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian
terhadap roh mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuahnmu?” Mereka menjawab,
“Betul (Engkau Tuhan Kami), kami bersaksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari
Kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini.” dengan
sinyalemen selanjutnya berupa penyempurnaan bentuk kejadian dan penghembusan ruh (Q.S.
Al- Hijr/15:29), berarti, “Maka apabila Aku telah menyempurnakan (kejadian)nya, dan Aku telah
meniupkan roh (ciptaan)-Ku ke dalamnya, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.
Pernyataan Allah swt ini menurut Langgulung dikutip oleh Al-Munawar (2005) mengisyaratkan
akan adanya sifat-sifat Tuhan (walaupun dalam kadar yang terbatas) pada diri manusia.
Al-Qur’an menggambar dalam dua bentuk: 1) penganugerahan dari Allah, 2) penawaran
dari-Nya yang disambut dengan penerimaan dari manusia (Q.S. Al-Ahzab/ 33:72), yang dalil ini
berarti, “Sesungguhnya kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-
gunung; tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan
melaksanakannya (berat), lalu dipikullah amanat itu oleh manusia. Sungguh, manusia itu sangat
zalim dan sangat bodoh.” Untuk lebih menegaskan fungsi kekhalifahan manusia di alam ini,
dapat dilihat misalnya pada QS. Al- An’am/6:165, yang berarti, “Dan Dialah yang menjadikan
kamu penguasa- penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian yang lain
beberapa derajat…” serta contoh lain, pada QS. Fathir/35:39, yang berarti, “Dialah yang

5
Al-razi,Muhammad.(1995).Fakraldin tafsir al-fakhr al- razi. Bairut: Dar al-fikr

7
menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi. Barang siapa yang kafir, maka akibat ke
kafirannya menimpah diri sendiri.”
Ayat-ayat tersebut disamping menjelaskan kedudukan manusi di alam raya ini sebagai
khalifah dalam arti yang luas juga memberi isyarat tentang perlunya sikap moral atau etik yang
harus ditegakkan dalam melaksanakan fungsi ke khalifahannnya itu. Shihab (1997) misalnya
mengatakan bahwa hubungan antar manusia dengan alam atau hubungan manusia dengan
sesamanya bukan merupakan hubunga antara penakluk dengan yang ditaklukkan, atau antara
tuan dengan hamba, tetapi hubungan kebersamaan dalam ketundukkan kepada Allah swt. karena
kalaupun manusia mampu mengelolah (menguasai), namun hal tersebut bukan akibat kekuatan
yang dimilikinya, tetapi akibat Tuhan menundukkannya untuk manusia. Hal ini sejalan pula
dengan apa yang dikemukakan musa Asy’arie menurutnya bahwa tugas seorang khalifah,
sebagai pengganti yang memegang kepemimpinan dan kekuasaan, pada dasarnya mengandung
implikasi moral,karena kepemimpinan dan kekuasaan yang dimiliki seorang khalifah dapat
disalahgunakan untuk kepentingan mengejar kepuasan hawa nafsunya, atau sebaliknya juga
dapat dipakai untuk kepentingan menciptakan kesejahteraan hidup bersama. Oleh karena
itu,kepemimpinan dan kekuasaan manusia harus tetap diletakkan dalm kerangka eksistensi
manusia yang bersifat sementara, sehingga dapat dihindari kecenderungan pemutlakan
kepemimpinan atau kekuasaan yang akibatnya dapat merusak tatanan dan harmoni kehidupan
(Asy’arie, 1992).6
Selain itu kekuasaan seorang khalifah pada dasarnya tidaklah bersifat mutlak, karena
kekuasaanya dibatasi oleh pemberi mandat kekhalifahan yaitu Tuhan. Dan sebagai pemegang
mandat Tuhan, seorang khalifah tidak diperbolehkan melawan hukum-hukum yang ditetapkan
Tuhan selanjutnya terdapat pula persyaratan yang bersifat tekhnis dan keterampilan yang harus
dimiliki oleh seorang yang menjadi khalifah. Hal ini dapat dilihat dari isyarat yang terkandung
dalam surah al-Baqarah / 2 : 30 dan 31, yang memiliki arti tiap-tiap ayatnya, adalah, “ Dan
(ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku Engkau menjadikan khalifah
di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan
menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-
Mu?” Dia berfirman, “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui. Dan Dia ajarkan

6
Asy’arie,Musa (1992).Manusia pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an. cet. I yogyakarta: Lembaga Study
Filsafat islam.

8
kepada Adam nama-nama (benda) semuanya, kemudian Dia perlihatkan kepada para malaikat,
seraya berfirman, “Sebutlah kepada-Ku nama semua (benda) ini, jika kamu yang benar!”.
Pada ayat-ayat tersebut dijelaskan bahwa nabi Adam setelah diangkat sebagai khalifah di
muka bumi ia kemudian diberikan pengajaran. Ini mengisyaratkan bahwa seorang khalifah perlu
memiliki pengetahuan, keterampilan, mental yang dewasa serta pendidikan pada umumnya.
Kemampuan lebih yang dimiliki nabi Adam yang digambarkan dengan kemampuannya
menerima pelajaran tentang nama-nama benda dan kemampuannya mengemukakan nama-nama
tersebut di hadapan malaikat, yang keseluruhannya ini dapat diartikan sebagai kemampuan yang
bersifat konseptual, justru menjadi salah satu modal yang melandasi kedudukan Nabi Adam as
sebagai khalifah. Dengan kata lain, karena nabi Adam as memiliki kemampuan yang bersifat
konseptual yang dihasilkan melalui pendidikan itulah yang menjadi kunci kesuksesannya sebagai
khalifah. Ini artinya bahwa sebagai seorang khalifah perlu memiliki pendidikan yang cukup.

C. Fungsi manusia di muka bumi


Kedudukan yang dipegang dan peranan yang dimainkan manusia dalam panggung
kehidupannya di dunia pasti berakhir dengan kematian. Sesudah itu, dia akan dibangkitkan atau
dihidupkan kembali di alam akhirat. Di alam akhirat ini segala peranan yang dilaksanakan
manusia selama hidup di dunia, sekecil apapun peranan itu, akan dipertanggungjawabkan, lalu
dinilai dan diperhitungkan oleh Allah Yang Maha Adil. Setiap peranan akan mendapat balasan.
Peranan yang baik akan mendapat balasan yang baik, sementara peranan yang buruk akan
mendapatkan balasan yang buruk pula. Manusia yang mendapatkan balasan yang buruk akan
merasakan kesengsaraan yang teramat sangat, dan manusia yang memperoleh balasan yang baik
akan merasakan kebahagiaan yang abadi.
Tugas atau fungsi manusia di dalam kehidupan ini adalah menjalankan peranan itu
dengan sempurna dan senantiasa menambah kesempurnaan itu sampai akhir hayat. Hal itu
dilakukan agar manusia benar-benar menjadi makhluk yang paling mulia dan bertakwa dengan
sebenar-benar takwa.
Manusia dilahirkan di tengah eksistensi alam semesta ini menyandang tugas dan
kewajiban yang berat dalam fungsinya yang ganda, yakni sebagai hamba Allah dan sebagai
khalifah Allah.
a) Tanggung Jawab Manusia Sebagai Hamba Allah

9
Hamba Allah adalah orang yang taat dan patuh kepada perintah Allah. Hakikat
kehambaan kepada Allah adalah ketaatan, ketundukan dan kepatuhan. Ketaatan, ketundukan dan
kepatuhan manusia itu hanya layak diberikan kepada Allah. Dalam hubungannya dengan Tuhan,
manusia menempati posisi sebagai ciptaan dan Tuhan sebagai Pencipta. Posisi ini memiliki
konsekuensi adanya keharusan manusia untuk taat dan patuh kepada Penciptanya. Hal itu sudah
termaktub dalam Al-Quran tentang tujuan Allah menciptakan manusia, yakni untuk menyembah
kepada-Nya.
Konsekuensi manusia sebagai hamba Allah, dia harus senantiasa beribadah hanya
kepada-Nya. Hanya Allahlah yang disembah dan hanya kepada Allahlah manusia mohon
pertolongan. Beribadah kepada Allah merupakan prinsip hidup yang paling hakiki bagi orang
Islam, sehingga perilakunya sehari-hari senantiasa mencerminkan pengabdian itu di atas segala-
galanya. (Jamal Syarif Ibrani, 2004: 71-75).7
Menyembah Allah semata, artinya hanya kepada Allahlah segala pengabdian ditujukan.
Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa, Pencipta segala makhluk, tiada sekutu bagi-Nya baik Dia
sebagai Tuhan yang disembah maupun sebagai Tuhan Pemelihara alam semesta ini.
Pengingkaran manusia dalam penghambaan diri kepada Allah akan mengakibatkan dia
menghamba kepada dirinya, menghamba kepada hawa nafsunya, atau menghamba kepada
sesama makhluk Allah. Menyembah, memohon perlindungan atau apa saja perbuatan yang
menyerupakan Tuhan dengan makhluk, atau mengangkat makhluk berkedudukan sebagai Tuhan
disebut syirik. Orang yang berbuat syirik disebut musyrik. Perbuatan syirik adalah kezaliman
terbesar di sisi Allah. Perbuatan atau amal shalih yang terwujud dalam fungsi manusia sebagai
khalifah akan berarti di sisi Allah jika dilakukan dalam rangka pengabdian kepada-Nya.
Maksudnya, sering kali ada perbuatan yang tampaknya dilakukan dalam urusan duniawi (seperti
berdagang, bertani, mengajar, menuntut ilmu, membersihkan lingkungan dan urusan dunia
lainnya) jika dilakukan dengan niat dan maksud ibadah kepada-Nya maka seseorang telah
melakukan dua fungsi (sebagai hamba dan khalifah) sekaligus. Ganjarannya diperoleh di dunia
dan di akhirat. Sebaliknya, sesuatu pekerjaan besar yang telah banyak manfaatnya bagi manusia
akan sia-sia di sisi Allah jika tidak disertai niat ibadah kepada-Nya.

7
Jamal syarif Ibrani.Mengenal islam.jakarta: Al-Khafi 2004 h. 71-75

10
b) Tanggung Jawab Manusia Sebagai Khalifah Allah
Al-Quran banyak memperkenalkan ayat tentang hakikat dan sifat-sifat manusia sebagai
makhluk yang menempati posisi unggul. Jauh sebelum manusia diciptakan, Tuhan telah
menyampaikan kepada malaikat bahwa Dia akan menciptakan khalifah (wakil) di muka bumi.
Manusia adalah khalifah Allah di muka bumi. Dia yang bertugas mengurus bumi dengan seluruh
isinya, dan memakmurkannya sebagai amanah dari Allah. Sebagai penguasa di bumi, manusia
berkewajiban membudayakan alam semesta ini guna menyiapkan kehidupan yang bahagia dan
sejahtera. Tugas dan kewajiban ini merupakan ujian dari Allah kepada manusia, siapa di
antaranya yang paling baik menunaikan amanah itu.
Dalam pelaksanaannya kewajiban dan amanah, semua manusia dipandang sama
berdasarkan bidang dan keahliannya masing-masing. Tidak ada kelebihan yang satu dari yang
lainnya, kecuali yang paling baik dalam menunaikan fungsinya sebagai khalifah Allah di muka
bumi ini, yang lebih banyak manfaatnya bagi kemanusiaan, atau dengan kata lain yang lebih
bertakwa kepada Allah SWT. Perbedaan warna kulit, ras dan bangsa hanya sebagai pertanda dan
identitas dalam pergaulan kehidupan sehari-hari. Setiap orang memiliki hak dan kewajiban yang
sama. Islam tidak memberikan hak istimewa bagi seseorang atau segolongan tertentu baik dalam
bidang ibadah ritual, maupun dalam bidang politik, sosial dan ekonomi. Setiap orang memiliki
hak yang sama dalam berkehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, Islam menentang bentuk
diskriminasi, baik diskriminasi keturunan, maupun diskriminasi warna kulit, kesukuan,
kebangsaan dan kekayaan.
Konsekuensi kekhalifahan manusia di muka bumi adalah membangun, mengolah dan
memakmurkan bumi ini dengan sebaik-baiknya. Dengan demikian kehidupan seorang muslim
akan dipenuhi dengan amaliah dan kerja keras yang tiada henti. Kerja keras bagi seorang muslim
adalah salah satu dari bentuk ibadah kepada Allah.
Manusia yang dianggap sebagai khalifah tidak akan menjunjung tinggi tanggung jawab
kekhalifahannya tanpa dilengkapi dengan potensi-potensi yang memungkinkannya mampu
melaksanakan tugasnya. M. Quraish Shihab mengemukakan beberapa potensi tersebut yang
diberikan Allah kepada manusia sehubungan dengan kedudukannya sebagai khalifah Allah di
muka bumi, yakni:
1. Kemampuan untuk mengetahui sifat, fungsi, dan kegunaan segala macam benda. Melalui
potensi ini manusia dapat menemukan hukum-hukum dasar alam semesta, menyusun

11
konsep, mencipta, mengembangkan, dan mengemukakan gagasan untuk
melaksanakannya serta memiliki pandangan menyeluruh terhadapnya.
2. Pengalaman selama berada di surga, baik yang manis seperti kedamaian dan
kesejahteraan, maupun yang pahit seperti keluarnya Adam dan Hawa dari surga akibat
terbujuk oleh rayuan syaitan. Pengalaman ini amat berharga dalam menghadapi rayuan
syaitan di dunia, sekaligus peringatan bahwa jangankan yang belum masuk surga, yang
sudah masuk surga pun, bila mengikuti rayuan syaitan akan diusir dari surga.
3. Tuhan telah menaklukkan dan memudahkan alam semesta ini untuk diolah oleh manusia.
Penaklukkan yang tidak mungkin dilakukan oleh manusia sendiri. Perlu digarisbawahi
bahwa kemudahan dan penaklukkan tersebut bersumber dari Allah. Dengan demikian,
manusia dan seluruh isi alam semesta itu mempunyai kedudukan yang sama dari segi
ketundukan (penghambaan diri) kepada Allah.
4. Tuhan memberikan petunjuk kepada manusia selama berada di bumi.8

D. Peran Manusia di Muka Bumi


Manusia mempunyai peran yang ideal yang harus dijalankan, yakni memakmurkan bumi,
mendiami dan memelihara serta mengembangkannya demi kemaslahatan hidup mereka sendiri,
bukan mengadakan pengrusakan di dalamnya.
Kekhalifahan manusia di satu pihak berperan sebagai subjek dan di sisi lain menjadi objek,
sebagai subjek, manusia mempunyai tanggung jawab yang lebih kompleks dalam meningkatkan
kualitas dirinya. Seperti dalam LKNU menyatakan bahwa Manusia berkualitas harus
bercermin keimanannya, sehat jasmani dan rohani, berpendidikan, mengerjakan amal saleh,
berbuat baik kepada orang lain, bertanggung jawab terhadap keluarganya, bertanggung
jawab terhadap keluarganya, arif terhadap lingkungan hidupnya (Mud, 2010)21.Dalam konsep
ekologi manusia, terdapat berbagai macam pandangan dalam memandang hubungan antara
manusia dan alam. Islam mengakui keberadaan semua makhluk hidup di muka bumi sebagai
kesatuan atas penciptaan dari sang khalik, sehingga jika terjadi kerusakan terhadap ciptaan
Allah, hal ini merupakan pengingkaran terhadap ciptaan Allah. bahkan lebih dalam lagi,
islam memiliki prinsip-prinsip dasar dalam upaya melestarikan lingkungan hidup dan sumber
daya alam.

8
Sayyid Qutbh,1975 h.378

12
Kewajiban manusia untuk mengelola alam dan menjaga akan diminta
pertanggungjawabannya, sehingga manusia tidak berhak berlaku sewenang-wenang dalam
memimpin dan mengelola alam. Mengenai kewajiban manusia sebagai khalifah atau penguasa
(pemimpin) yang harus bertanggung jawab atas perbuatannya terdapat pada hadits nabi yaitu
“masing-masing kamu adalah orang yang bertanggung jawab, maka akan diminta (kelak)
pertanggungjawabannya, raja adalah orang yang bertanggung jawab atas rakyat yang
dipimpinnya, dan dia (penguasa) akan dimintai pertanggung jawabannya tentang mereka,
seorang laki-laki kepala rumah tangga bertanggung jawab atas keluarganya dan akan dimintai
pertanggungjawabannya tentang mereka, dan seorang perempuan sebagai ibu rumah tangga
harus bertanggung jawab atas suami dan anak-anaknya dan akan dimintai
pertanggungjawabannya tentang mereka, pembantu bertanggung jawab atas harta
majikannya, dan akan diminta pertanggungjawabannya tentang itu, ingatkah bahwa masing-
masing kamu adalah orang yang bertanggung jawab, dan setiap kamu akan dimintai
pertanggungjawaban atas apa yang kamu lekolanya” (HR. Imam Bukhari dari Abdullah Ibnu
Umar).
Islam sebagai agama dalam kehidupan sejatinya memiliki visi dan misi rahmah li al-
Alamin (kebaikan bagi semesta alam), dengan mewujudkan visi dan misi tersebutlah Allah
menugaskan kepada manusia sebagai khalifah di Bumi. Seperti yang di jelaskan dalam surat Al-
Ahzab [33] ayat 72, yang artinya: “Sesungguhnya kami telah mengemukakan amanah kepada
langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanah itu dan
mereka khawatir akan menghianatinya, dan dipikullah amanah itu oleh manusia, sesungguhnya
manusia itu amat zalim dan amat bodoh” (QS.Al-Ahzab [33 ]: 72)
Tugas manusia sebagai khalifah adalah untuk menjaga dan bertanggungjawab atas dirinya,
sesama manusia dan alam yang menjadi sumber penghidupan. Karena sudah menjadi
kewajiban bagi manusia yang merupakan khalifah di bumi memiliki dua bentuk sunatullah
yang harus dilakukan, yaitu baik kewajibannya antara manusia dengan tuhannya, antara
sesama manusia sendiri, dan antara manusia dengan ekosistemnya. Kewajiban tersebut haru
dilaksanakan karena merupakan amanah dari Allah sang pencipta. Tanggung jawab manusia
terhadap moral agama sebagai khalifah di bumi yaitu mengelola sebaik-baiknya alam semesta
dan kehidupan sosial didalamnya. Kehidupan manusia sangat tergantung kepada komponen-
komponen lain dalam ekosistem sehingga secara moral manusia terhadap alam dituntut untuk

13
bertanggung jawab kepada kelangsungan, keseimbangan dan kelestarian alam yang menjadi
sumber kehidupannya.
Menjaga keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup, baik alam ataupun lingkungan
sosial merupakan tugas daripada khalifah dalam upacara memformasi bumi, Madjid
menegaskan bahwa muara dari semua prinsip kekhalifahan manusia adalah reformasi bumi
(Madjid, 2009)9
Permasalahan lingkungan alam semakin berkembang seiring berjalannya waktu dan saling
terkait secara global. Bahkan masing-masing manusia dalam setiap negara berlomba-lomba
merusak sumber daya alam dengan dilakukannya pembangunan yang dilakukan, khususnya
yang paling banyak berada di negara berkembang.
Tugas dari seorang khalifah menjadikan perlindungan bagi umat dan menjaga
kelestarian alam (ekosistem), sehingga khalifah dan umat harus bersatu dan saling
mencintai guna menjalankan kehidupan sesuai dengan syariat Islam dan keberlangsungan
hidup.
Tugas khalifah dalam Al Qur’an biasa disebut imaratul ardh (memakmurkan bumi) dan
ibadatullah (beribadah kepada Allah). Allah menciptakan manusia dari bumi ini dan
menugaskan manusia untuk melakukan imarah dimuka bumi dengan mengelola dan
memeliharanya.

BAB III
9
Madjid,nurcholish.2009.cita-cita politik islam.jakarta:paramadina dan dian rakyat.

14
PENUTUP

A. Kesimpulan
Manusia memiliki daya-daya untuk melaksanakan fungsinya, baik sebagai ‘abdi
(mu’abbid), khalifah fi al-ardh, maupun imamrah fi al-ardh. Sebagai Mu’abbid, manusia dituntut
tidak hanya semata-mata dalam konteks ibadah wajib seperti shalat, puasa, zakat, dan lain
sebagainya, tetapi juga segala sesuatu aktivitas yang bernilai baik dalam kehidupannya yang
dilakukan dengan tujuan pendekatan diri pada penciptanya, Tuhan.
Sebagi khalifah, manusia bertugas untuk menata dunia sedemikian rupa sehingga dapat
menjadikan manusia hidup sejahtera, damai, sentosa dan bahagia.
Tugas atau fungsi manusia di dalam kehidupan ini adalah menjalankan peranan itu
dengan sempurna dan senantiasa menambah kesempurnaan itu sampai akhir hayat. Hal itu
dilakukan agar manusia benar-benar menjadi makhluk yang paling mulia dan bertakwa dengan
sebenar-benar takwa.Manusia mempunyai peran yang ideal yang harus dijalankan, yakni
memakmurkan bumi, mendiami dan memelihara serta mengembangkannya demi kemaslahatan
hidup mereka sendiri, bukan mengadakan pengrusakan di dalamnya.
B. Saran
Kami harap, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan terutama bagi
penyusun juga. Penyusun juga menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu penyusun berharap kritik dan sarannya agar dalam pembuatan
makalah selanjutnya akan lebih baik lagi.

Daftar Pusaka

15
Madjid, Nurcholish. Islam Doktrin dan Peradaban, Cet. I; Jakarta: Paramadinah, 1992.

Jamal Syarif Ibrani. Mengenal Islam. Jakarta. Al-Kahfi. 2004.

Madjid, Nurcholish. 2009.Cita-Cita Politik Islam. Jakarta : Paramadina & Dian Rakyat.
Masrokhin. Konsep Ekologi Islam Seyyed Hossein Nasr (Studi Kitab Al-Taharah dalam Kajian
Fiqih), Konsep Ekologi Islam, Jurnal Irtifaq, Vol. 1, No 1, 2014.

Abdul Kosim. Pendidikan Agama Islam. Bandung. PT. Remaja Rosda Karya. 2018.

Bustanuddin, Agus. (2005). Agama dalam Kehidupan Manusia, Pengantar Antropologi. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada.

Al-Razi, Muhammad. (1995). Fakral-Din Tafsir al-Fakhr al-Razi. Beirut:Dar al-Fikr.

Asy’arie, Musa. (1992). Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an. Cet. I. Yogyakarta:
Lembaga Study Filsafat Islam.

Madjid, Nurcholish. Islam Doktrin dan Peradaban, Cet. I; Jakarta: Paramadinah, 1992.

Jamal Syarif Ibrani. Mengenal Islam. Jakarta. Al-Kahfi. 2004.

Madjid, Nurcholish. 2009.Cita-Cita Politik Islam. Jakarta : Paramadina & Dian Rakyat.
Masrokhin. Konsep Ekologi Islam Seyyed Hossein Nasr (Studi Kitab Al-Taharah dalam Kajian
Fiqih), Konsep Ekologi Islam, Jurnal Irtifaq, Vol. 1, No 1, 2014.

Abdul Kosim. Pendidikan Agama Islam. Bandung. PT. Remaja Rosda Karya. 2018.

Bustanuddin, Agus. (2005). Agama dalam Kehidupan Manusia, Pengantar

Antropologi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Al-Razi, Muhammad. (1995). Fakral-Din Tafsir al-Fakhr al-Razi. Beirut: Dar al-Fikr.

Asy’arie, Musa. (1992). Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an. Cet. I. Yogyakarta:
Lembaga Study Filsafat Islam.

16

Anda mungkin juga menyukai