Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

KONSEP HAKIKAT MANUSIA

Dosen Pembimbing : Dian Devita Yohanie, M.Pd

Nama kelompok :

1. Bagus Sulistyo ( 2115010025 )


2. Cicio Caesar Ramadhan ( 2115010033 )
3. Dike Septiarani ( 2115010006 )
4. Novi Anggraeni ( 2115010018 )
5. Tamara Jasmine ( 2115010020 )

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS ILMU KESEHATAN DAN SAINS

UNIVERSITAS NUSANTARA PGRI KEDIRI

TAHUN AJARAN 2022/2023

i
KATA PENGANTAR

Pertama-tama marilah kita panjatkan puja dan puji syukur Alhamdulilah atas segala
limpahan rahmat dan nikmat Allah SWT, sehingga makalah ini dapat diselesaikan.
Sholawat serta salam juga kita curahkan kepada baginda nabi Muhammad SAW. Semoga
kita, orang tua kita, nenek dan kakek kita, para dosen dan orang terdekat kita mendapat
syafaat Beliau di Yaumil Mahsyar kelak. Amin ya Rabbal’ Alamin

Tidak lupa saya ucapkan terima kasih kepada Ibu Dian Devita Yohanie, M.Pd selaku
dosen pembimbing Dasar-dasar Pendidikan tugas makalah ini.

Mungkin dalam pembuatan makalah ini terdapat kesalahan yang belum saya ketahui.
Oleh karena itu, saya mohon saran dan kritik dari teman-teman maupun dosen demi
tercapainya makalah yang sempurna. Saya berharap makalah yang saya susun ini
memberikan manfaat dan juga inspirasi untuk para pembaca.

Kediri, 14 September 2022

Kelompok 1

ii
DAFTAR ISI
SAMPUL .................................................................................................................................. i

KATA PENGANTAR ............................................................................................................ii

DAFTAR ISI ...........................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ......................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah .................................................................................1

1.3 Tujuan ...................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Hakikat manusia dan pengembangannya............................................3

2.2 Dimensi-Dimensi Hakikat Manusia serta Potensi, Keunikan, dan


Dinamikannya..............................................................................7

2.3 Pengembangan Dimensi Hakikat Manusia.........................................9

2.4 Sosok Manusia Indonesia Seutuhnya .......................................9

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan ..........................................................................................10

3.2 Saran.....................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Masalah


Hakikat manusia adalah sebagai makhluk sosial. Antara manusia satu dengan yang
lain memiliki dorongan untuk berinteraksi dan berkelompok untuk mencapai tujuan.
Kemampuan bersosialisasi dengan lingkungan sosial akan mempengaruhi proses kehidupan
kedepannya.Sikap bersosialisasi yang baik antar sesama dalam hidup akan menciptakan
kerukunan, kenyamanan, ketentraman di Negara Indonesia.

Sumber daya manusia merupakan aset nasional dan sebagai modal dasar dalam
mewujudkan pembangunan bangsa. Untuk mengembangkan potensi tersebut maka
diperlukan pendidikan. Sasaran pendidikan adalah manusia. Manusia sebagai makhluk yang
paling sempurna dimuka bumi ini mempunyai perbedaan dan kelebihan dengan makhluk-
makhluk lain. Akal, merupakan sesuatu hal yang dimiliki oleh manusia yang sangat berguna
untuk mengatur insting serta ego manusia itu sendiri agar tercapai tujuan kehidupannya.

Dengan akal, manusia bisa mempelajari makna serta hakikat kehidupan dimuka bumi
ini, tanpa akal, manusia tidak mempunyai perbedaan sedikitpun dengan makhluk yang
lainnya. Akal juga membutuhkan ilmu serta pengetahuan agar bisa berjalan dengan
fungsinya, hakikat manusia sebagai makhluk yang selalu membutuhkan ilmu pengetahuan.
Hakikat manusia bisa menjadi makhluk individual, makhluk sosial, makhluk peadegogis
dan manusia sebagai mahkluk yang beragama.

Kita juga perlu memahami karakteristik manusia yang membedakan antara manusia
dan hewan. Sehingga perlu mengetahui lebih khusus mengenai tentang konsep hakikat
manusia yang meliputi : sifat hakikat, dimensi dan pengembangannya , sosok manusia
Indonesia seutuhnya.

1.2. Rumusan masalah


1. Bagaimana sifat hakikat manusia?

2. Apa yang dimaksud sifat hakikat manusia?


3. Bagaimana wujud sifat hakikat manusia?
4. Bagaimana dimensi – dimensi hakikat manusia?
5. Bagaimana pengembangan dimensi hakikat manusia?
6. Bagaimana sosok manusia seutuhnya?

1
1.3. Tujuan
1. Untuk pemenuhan mata kuliah dasar dasar pendidikan
2. Untuk mengetahui sifat hakikat manusia
3. Untuk mengetahui definisi sifat hakikat manusia
4. Umtuk mengetahui wujud sifat hakikat manusia
5. Untuk mengetahui dimensi hakikat manusia

6. Untuk mengetahui pengembangan dimensi hakikat manusia


7. Untuk mengetahui bagaimana sosok manusia seutuhnya

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 HAKIKAT MANUSIA DAN PENGEMBANGANNYA

Sasaran pendidikan adalah manusia. Pendidikan bermaksud membantu peserta didik


untuk menumbuhkembangkan potensi-potensi kemanusiaannya. Potensi kemanusiaan
merupakan benih kemungkinan untuk menjadi manusia. Manusia memiliki ciri khas yang
secara prinsipiil berbeda dari hewan. Ciri khas manusia yang membedakannya dari hewan
terbentuk dari kumpulan terpadu (integrated) dari apa yang disebut sifta hakikat manusia.
Disebut hakikat manusia karena secara hakikat sifat tersebut hanya dimiliki oleh manusia dan
tidak terdapat pada hewan. Pemahaman pendidik terhadap sifat hakikat manusia akan
membentuk pada peta tentang karakteristik manusia.

Gambaran yang benar dan jelas tentang manusia itu perlu dimiliki oleh pendidik
karena adanya perkembangan sains dan teknologi yang sangat pesat, lebih-lebih pada masa
mendatang. Oleh karena itu, sangat strategis jika pembahasan tentang hakikat manusia
ditempatkan pada bagian pertama dari seluruh pengkajian tentang pendidikan, dengan
harapan menjadi titik tolak bagi paparan selanjutnya.

A. Sifat Hakikat Manusia


Sifat hakikat manusia menjadi bidang kajian filsafat, khususnya filsafat
antropologi. Hal ini menjadi keharusan, karena pendidikan bukanlah sekedar soal
praktek melainkan praktek yang berlandaskan dan bertujuan. Sedangkan landasan
dan tujuan itu sendiri sifatnya filosofis normatif. Bersift filosofis karena untuk
mendapatkan landasan yang kukuh diperlukan adanya kajian yang bersifat
mendasar, sistematis, dan universal tentang ciri hakiki manusia. Bersifat normatif
karena pendidikan mempunyai tugas untuk menumbuhkembangkan sifat hakiki
manusia tersebut sebagai sesuatu yang bernilai luhur, dan hal itu menjadi
keharusan.
1. Pengertian Sifat Hakiki Manusia
Sifat hakiki manusia diartikan sebagai ciri-ciri karakteristik, yang
secara prinsipiil (jadi bukan hanya gradual) membedakan manusia dari
hewan. Beberapa filosof seperti Socrates menamakan manusia itu Zoom
Politicon (hewan yang bermasyarakat), Max Scheller menggambarkan
manusia sebagai Das Kranke Tier (hewan yang sakit). (Drijarkara, 1962 :
138) yang selalu gelish dan bermasalah.
Upaya manusia untuk mendapatkan keterangan bahwa hewan tidak
identik dengan manusia telah ditemukan. Charles Darwin (dengan teori
evolusinya) telah berjuang untuk menemukan bahwa manusia berasal dari
primat atau kera, tetapi ternyata gagal. Ada suatu proses antara yang tak
dapat dijelaskan. Jelasnnya tidak ditemukan bukti-bukti yang
menunjukkan bahwa manusia muncul sebagai bentuk ubah dari primat
atau kera melalui proses evolusi yang bersifat gradual.

3
2. Wujud Sifat Hakiki Manusia
Wujud sifat hakiki manusia (yang tidak dimiliki oleh hewan) yang
dikemukakan oleh paham eksistensialisme, dengan maksud mejadi
masukan dalam membenahi konsep pendidikan, yaitu :
a. Kemampuan menyadari diri
Berkat adanya kemampuan menyadari diri yang dimiliki oleh
manusia, maka manusia menyadari bahwa dirinya memiliki ciri
khas atau karakteristik diri. Hal ini menyebabkan manusia dapat
membedakan dirinya dengan yang lain dan lingkungan fisik
disekitarnya. Bahkan bukan hanya membedakan, manusia juga
dapat membuat jarak dengan lingkungannya, baik yang berupa
pribadi maupun nonpribadi. Orang lain merupakan pribadi-pribadi
disekitar, adapun pohon, batu, cuaca dan sebagainya.
Kemampuan membuat jarak dengan lingkungannya berarah
ganda, yaitu arah keluar dan ke dalam. Didalam pendidikan,
kecendurangan dua arah tersebut perlu dikembangkan secara
berimbang. Pengembangan arah keluar merupakan pembinaan
aspek sosialitas, sedangkan pengembangan arah kedalam berarti
pembinaan aspek individualisme manusia.
Yang lebih istimewa ialah bahwa manusia dikaruniai
kemampuan untuk membuat jarak diri dengan diri sendiri.
Drijarkara (drijarkara : 138) menyebutkan bahwa kemapuan
tersebut merupakan kemampuan mengeksplorasi potensi-potensi
yang ada pada diri dan memahami potensi-potensi tersebut sebagai
kekuatan yang dapat dikembangkan sehingga dapat berkembang
kearah kesempurnaan diri.
b. Kemampuan bereksistensi
Kemampuan menempatkan diri dan menerobos inilah yang
disebut kemamuan bereksistensi. Justru karena manusia memiliki
kemampuan bereksistensi inilah makan pada manusia terdapat
unsur kebebasan. Dengan kata lain, adanya manusia bukan seperti
hewan didalam kandang dan tumbuh-tumbuhan didalam kebun,
melainkan dimuka bumi (Drijarkara, 1962 : 61-63). Adanya
kemapuan bereksistensi inilah pula yang membedakan manusia
sebagai makhluk human dari hewan selaku makhluk infra human,
dimana hewan menjadi onderil dari lingkungan, sedangkan
manusia menjadi manajer terhadap lingkungannya.
Kemampuan bereksistensi perlu dibina melalui pendidikan.
Peserta didik diajar agar belajar dari pengalamannya, belajar
mengantisipasi sesuatu keadaan dan peristiwa, belajar melihat
prospek masa depan sesuatu, serta mengambangkan daya imajinasi
kreatif sejak dari masa kanak-kanak.
c. Pemilikan kata hati

4
Kata hati atau conscience of man juga sering disebut dengan
istilah hati nurani, lubuk hati, suatu hati, pelita hati, dan
sebagainya.
Dapat disimpulkan bahwa kata hati itu adalah kemampuan
membuat keputusan tentang yang baik atau benar dan yang buruk
atau salah bagi manusia sebagai manusia. Dalam kaitan dengan
moral (perbuatan), kata hati merupakan “petunjuk bagi moral atau
perbuatan”. Usaha untuk mengubah kata hati yang tumbuh menjadi
kata hati yang tajam disebut pendidikan kata hati (gewetan
forming). Realisasinya dapat ditempuh dengan melatih akal
kecerdasan dan kepekaan emosi. Tujuannya agar orang memiliki
keberanian moral (berbuat) yang didasari oleh kata hati yang tajam.
d. Moral
Moral atau yang sering disebut juga etika adalah perbuatan itu
sendiri. Disini tampak bahwa masih ada jarak antara kata hati
dengan moral. Artinya seseorang yang telah memiliki kata hati
yang tajam belum otomatis perbuatannya merupakan realisasi dari
kata hatinya itu. Untuk menjembatani jarak yang mengantarai
keduanya masih ada aspek yang diperlukan yaitu kemauan.
Bukankah banyak orang yang memiliki kecerdasan akal tetapi tidak
cukup memiliki moral (keberanian berbuat). Itulah sebabnya maka
pendidikan moral juga sering disebut pendidikan kemauan, yang
dinamakan De opvoedeling omzichcelfs oleh M.J. Langeveld.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa moral yang
sinkron dengan kata hati yang tajam atau benar-benar baik bagi
manusia merupakan moral yang baik atau moral yang tinggi
(luhur).
e. Kemampuan bertanggung jawab
Wujud tanggung jawab bermacam-macam. Ada tanggung
jawab kepada diri sendiri, bertanggung jawab kepada masyarakat,
dan bertanggung jawab kepada tuhan. Disini tampak beta eratnya
hubungan anatara kata hati, moral, dan tanggung jawab. Kata hati
memberi pedoman, moral melakukan, dan tanggung jawab
merupakan kesediaan menerima konsekuensi dan perbuatan.
Tanggung jawab dapat diartikan sebagai keberanian untuk
menentukan bahwa sesuatu perbuata sesuai dengan tuntutan kodrat
manusia, karena itu perbuatan tersebut dilakukan sehingga sanksi
apapun yang dituntutkan diterima dengan penuh kesadaran dan
kerelaan.
f. Rasa kebebasan (kemerdekaan)
Merdeka adalah rasa bebas (tidak merasa terikat oleh sesuatu),
tetapi sesuai dengan tuntutan kodrat manusia. Dalam pernyataan ini
ada dua hal yang kelihatannya saling bertentangan yaitu “rasa

5
bebas” dan “sesuai dengan tuntutan kodrat manusia” yang berarti
ada ikatan.
Kemerdekaan dalam arti yang sebenarnya memang berlangsung
dalam keterkaitan. Artinya, bebas berbuat sepanjang tidak
bertentangan dengan tuntutan kodrat manusia. Seseorang
mengalami rasa merdeka apabila segenap perbuatannya (moralnya)
sesuai dengan apa yang dikatakan oleh hatinya, yaitu kata hati yang
sesuai dengan tuntutan kodrat manusia, karena perbuatan seperti itu
tidak sulit atau siap sedia untuk dipertanggungjawabkan dan tidak
akan sedikit pun menimbulkan kekhawatiran (rasa
ketidakmerdekaan). Implikasi pedagosisnya adalah sama dengan
pendidikan moral yaitu mengusahakan agar peserta didik
dibiasakan menginternalisasikan nilai-nilai, aturan-aturan kedalam
dirinya, sehingga dirasakan sebagai miliknya.
g. Kesediaan melaksanakan kewajiban dan menyadari hak
Kewajiban dan hak adalah dua macam gejala yang timbul
sebagai manifesasi dari manusia sebagai makhluk sosial. Tak ada
hak tanpa kewajiban. Jika seseorang memunyai hak untuk
menuntut sesuatu maka tentu ada pihak lain yang berkewajiban
untuk memenuhi hak tersebut (yang pada saat itu belum dipenuhi).
Pada dasarnya, hak itu adalah sesuatu yang masih kosong. Artinya
meskipun hak tentang sesuatu itu ada, belum tentu seseorang
mengetahuinya (misalnya hak memperoleh perlindungan hukum).
(Drijakara, 1978 : 24-27) menyatakan bahwa kewajiban
bukanlah beban melainkan suatu keniscayaan. Artinya, selama
seseorang menyebut dirinya manusia dan mau dipandang sebagai
manusia, maka kewajiban itu menjadi keniscayaan baginya.
Dengan kata lain, melaksanakan “kewajiban” itu adalah suatu
keluhuran. Alangkah luhurnya seorang guru yang melaksanakan
kewajiban sebaik-baiknya sebagai guru (tanpa pamrih).
Melaksanakan kewajiban berarti terikat kepada kewajiban,
tetapi anehnya yang sesungguhnya bukan keanehan manusia
memilihnya. Sebab melaksanakan kewajiban berarti meluhurkan
diri sebagai manusia. Atau merasa baru manusia bila menaati
kewajiban dengan demikian baru merasa lega, bebas atau merdeka.
Wajib bukanlah “ikatan”, melainkan suatu keniscayaan. Karena
wajib adalah keniscayaan, maka terhadap apa yang diwajibkan
manusia menjadi tidak merdeka. Hak yang secara asasi dimiliki
oleh setiap insan serta sesuai dengan tuntutan kodrat manusia
disebut hak asasi manusia.
h. Kemampuan menghayati kebahagiaan
Kebahagiaan adalah suatu istilah yang lahir dari kehidupan
manusia. Penghayatan hidup yang disebut “kebahagiaan” ini tidak
mudah untuk dijabarkan tetapi tidak sulit untuk dirasakan. Dengan

6
kata lain, kebahagiaan merupakan integrasi atau rentetan dari
sejumlah kesenangan. Ada yang berpendapat bahwa kebahagiaan
tidak cukup digambarkan sebagai himpunan dari pengalaman-
pengalaman yang menyenangkan saja, tetapi kebahagiaan
merupakan integrasi dari segenap kesenangan, kegembiraan,
kepuasan, pengalaman-pengalaman pahit dan penderitaan. Oleh
karena itu dikatakan bahwa kebahagiaan itu sifatnya irasional.
Kebahagiaan terikat dalam tiga hal yaitu usaha, norma-norma
dan takdir. Yang dimaksud dengan usaha adalah perjuangan yang
terus menerus untuk mengatasi masalah hidup. Selanjutnya usaha
tersebut harus bertumpu pada norma-norma atau kaidah-kaidah.
Kebahagiaan adalah hidup yang tentram. Hidup tentram apabila
dalam hidup tanpa ada tekanan. Itulah hidup merdeka.
Kebahagiaan dicapai dengan penyatuan diri dengan norma-norma.
Kebahagiaan juga mengandung sisi sosial, karena norma-norma
hidup selalu bersifat sosial.
Kemudian takdir merupakan rangkaian yang tak terpisahkan
dalam proses terjadinya kebahagiaan. Komponen takdir ini erat
bertalian dengan komponen usaha. Kebahagiaan hanya dapat diraih
oleh mereka yang mampu bersyukur. Untuk itu kemampuan
menghayati sangat diperlukan.
Dapat disimpulkan bahwa kebahagiaan itu dapat diusahakan
peningkatannya. Dengan demikian pendidikan mempunyai peran
penting sebagai wahana untuk mencapai kebahagiaan, utamanya
pendidikan keagamaan.
Manusia adalah makhluk yang serba terhubung dengan
masyarakat, lingkungannya, dirinya sendiri, dan Tuhan.
Kebahagiaan hanya dapat dicapai apabila manusia meningkatkan
kealitas hubungannya sebagai makhluk yang memiliki kondisi
serba terhubung dengan memahami kelebihan dan kekurangan-
kekurangan diri sendiri.
Manusia yang menghayati kebahagiaan adalah pribadi manusia
yang menghayati segenap keadaan dan kemampuannya. Manusia
menghayati kebahagiaan apabila jiwanya bersih, stabil, jujur, dan
bertanggung jawab. Mempunyai padangan hidup dan keyakinan
idup yang kukuh dan bertekad untuk merealisasikan dengan cara
realitas, demikian pandangan Max Scheler (Drijarkara, 1978 :
137-140)
2.2 Dimensi-Dimensi Hakikat Manusia serta Potensi, Keunikan, dan Dinamikannya
Ada 4 macam dimensi yang akan dibahas yaitu :
1. Dimensi Keindividualan
Lysen mengartikan individu sebagai sesuatu yang merupakan suatu
keutuhan yang tidak dapat dibagi-bagi (in devide). Selanjutnya individu
diartikan sebagai pribadi. Setiap indovidu memiliki sifat yang unik karena

7
secara fisik bentuk muka sama tetapi terdapat perbedaan mengenai
matanya. Secara kerohanian mungkin kapasitas intelegensinya sama, tetapi
kecenderungan dan perhatiannya terhadap sesuatu berbeda.
Kesanggupan untuk memikul tanggungjawab sendiri merupakan ciri
yang sangat esensial dari adanya individualisme pada diri manusia.
Dengan kata lain kepribadian seseorang tidak akan terbentuk dengan
semestinya sehingga seseorang tidak memiliki warna yang khas sebagai
miliknya. Pendidikan berfungsi untuk membentuk kepribadiannya atau
menemukan kediriannya sendiri. Pola pendidikan yang bersifat demokratis
dipandang cocok untuk mendorong bertumbuh dan berkembangnya
potensi individualisme sebagaimana dimaksud. Dalam pengembangan
individualitas melalui pendidikan tidak dibenarkan jika pendidik
memaksakan keinginannya kepada subjek pendidik. Tugas pendidik hanya
menunjukkan jalan dan mendorong subjek didik bagaimana cara
memperoleh sesuatu dalam mengambangkan diri dengan berpedoman
pada prinsip ing ngarso sungtulodo, ing madya mangun karsa, tut wuri
handayani.
2. Dimensi Kesosialan
Adanya dimensi kesosialan pada diri manusia tampak lebih jelas pada
dorongan untuk bergaul. Dengan adanya dorongan untuk bergaul, setiap
orang ingin bertemu dengan sesamanya. Betapa kuatnya dorongan tersebut
sehingga bila dipenjarakan merupakan hukuman yang paling berat yang
dirasakan oleh manusisa, karena dengan diasingkan didalam penjara
berarti diputuskannya dorongan bergaul tersebut secara mutlak.
Immanuel Kant seorang filosof tersohor bangsa Jerman menyatakan :
manusia hanya menjadi manusia jika berada di antara manusia karena
orang hanya dapat mengembangkan individualitasnya didalam pergaulan
sosial. Seseorang dapat mengembangkan kegemarannya, sikapnya dan
cita-citanya didalam interaksi dengan sesamanya. Hanya didalam
berinteraksi dengan sesamanya sesorang menyadari dan menghayati
kemanusiaanya.
3. Dimensi Kesuilaan
Susila berarti dari kata su dan sila yang artinya kepantasan yang lebih
tinggi. Akan tetapi, didalam kehidupan bermasyarakat orang tidak cukup
hanya berbuat pantas atau sopan. Karena itu pengertian susila berkembang
sehingga memiliki perluasan arti menjadi kebaikan yang lebih. Dalam
bahasa ilmiah sering digunakan dua macam istilah yang mempunyai
konotasi berbeda yaitu etiket (persoalan kepantasan dan kesopanan) dan
etika (persoalan kebaikan).
Pada hakikatnya manusia memiliki kemampuan untuk mengambil
keputusan susila, serta melaksanakannya sehingga dikatakan manusia itu
adalah makhluk susila. Drijaraka mengartikan manusia susila sebgai
makhluk yang memiliki nilai-nilai, menghayati dan melaksanakan nilai-
nilai tersebutdalam perbuatan (Drijaraka, 1978 : 36-39). Nilai-nilai

8
merupakan sesuatu yang dijunjung tinggi oleh manusia karena
mengandung makna kebaikan, keluhuran, dan kemuliaan. Sehingga dapat
diyakini dan dijadikan pedoman dalam hidup.
4. Dimensi Keberagaman
Pada hakikatnya manusia adalah makhluk religius. Kemudian setelah
ada agaman maka manusia menganutnya. Beragama merupakan kebutuhan
manusia karena manusia adalah makhluk yang lemah sehingga
memerlukan tempat untuk bertopang. Manusia memerlukan agama untuk
keselamatan hidupnya. Dapat dikatakan bahwa agama manjadi sandaran
vertikal manusi. Manusia dapat menghayati agama melalui proses
pendidikan agama. Ph. Kohnstamm berpendapat bahwa pendidikan agama
menjadi tugas orang tua dalam lingkungan keluarga, karena pendidikan
agama adalah persoalan efektif dan kata hati.
2.3 Pengembangan Dimensi Hakikat Manusia
Sasaran pendidikan adalah manusia sehingga dengan sendirinya
pengembangan dimensi hakikat manusia menjadi tugas pendidikan. Seseorang
yang dilahirkan dengan bakat seni memerlukan pendidikan untuk diproses
menjadi seniman terkenal. Setiap manusia lahir dikaruniai “naluri” yaitu
dorongan-dorongan yang alami. Jika seandainya manusia dapat hidup dengan
hanya dengan naluri maka tidak bedanya ia dengan hewan. Hal demikian bisa
terjadi karena pendidik itu adalah manusia biasa, yang tidak luput dari kelemahan-
kelemahan. Sehubungan dengan itu ada dua kemungkinan yang bisa terjadi yaitu :
1. Pengembangan yang utuh
Tingkat keutuhan perkembangan dimensi hakikat manusia ditentukan
oleh dua faktor, yaitu kuliatas dimensi hakikat manusia itu sendiri secara
potensial dan kualitas pendidikan yag disediakan untuk memberikan
pelayanan atas perkembangannya. Namun demikian kualitas dari hasil
pendidikan sebenarnya harus dipulangkan kepada peserta didik itu sendiri
sebagai subjek sasaran pendidikan. Pendidikan yang berhasil adalah
pendidikan yang sanggup menghantar subjek didik menjadi seperti dirinya
sendiri selaku anggota masyarakat. Pengembangan yang utuh dapat dilihat
dari berbagai segi yaitu :
a. Dari wujud dimensianya
b. Dari arah pengembangan
2. Pengembangan yang tidak utuh
Pengembangan yang tidak utuh terhadap dimensi hakikat manusia akan
terjadi didalm proses pengembangan jika ada unsur dimensi hakikat
manusia yang terabaikan untuk ditangani. Pengembangan yang tidak utuh
berakibat terbentuknya kepribadian yang pincang dan tidak mantap.
Pengembangan yang seperti ini dinamakan pengembangan yang patagolis.
2.4 Sosok Manusia Indonesia Seutuhnya
Sosok manusia Indonesia seutuhnya telah dirumuskan didalam GBHN
mengenai arah pembangunan jangka panjang. Dinyatakan bahwa pembangunan
nasional dilaksanakan didalam rangka pembangunan manusia indonesia seutuhnya

9
dan pembangunan seluruh masyarakat indonesia. Maksudnya pembangunan itu
merata diseluruh tanah air, bukan hanya untuk golongan atau sebagian dari
masyarakat. Selain itu juga diartikan sebagai keselarasan hubungan antara
manusia dengan lingkungan alam sekitarnya, keselarasan hubungan antara
bangsa-bangsa, dan juga keselarasan antara cita-cita hidup didunia dengan
kebahagiaan diakhirat.

10
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Sifat hakikat manusia dan segenap dimensinya hanya dimiliki oleh manusia
dan tidak terdapat pada hewan. Ciri-ciri yang khas tersebut membedakan secara
prinsipiil dunia dewan dan dunia manusia.
Adanya sifat hakikat tersebut memberikan tempat kedudukan pada manusia
sedemikian rupa sehingga derajatnya lebih tinggi daripada hewan dan sekaligus
menguasai hewan.Salah satu sifat hakikat yang istimewa ialah adanya kemampuan
menghayati kebahagiaan manusia.
Semua sifat hakikat manusia dapat dan harus ditumbuh kembangkan melalui
pendidikan. Berkat pendidikan maka sifat hakikat manusia dapat
ditumbuhkembangkan secara selaras dan berimbang sehingga menjadi manusia
yang utuh.
3.2 Saran
Konsep hakikat manusia itu sangat penting untuk dipelajari karena terkait
dengan sifat hakikat manusia beserta dimensi dimensi dan pengembangannya
karena hal tersebut dapat membedakan antara manusia dan makhluk hidup lainya
(hewan). Adanya hubungan antara konsep hakikat manusia dan pendidikan terjadi
karena pendidikan merupakan salah satu faktor berkembangnya pendidikan.
Dengan itu pendidikan sangat diperlukan dalam kehidupan. Konsep hakikat
manusia sangat perlu dipahami oleh seorang pendidik untuk masa sekarang dan
masa yang akan dating karena kehidupan saat ini sains dan teknologinya
berkembang pesat.

11
DAFTAR PUSTAKA

Beerling, F.. 1951. Filsafat Dewasa Ini . Jakarta: Balai Pustaka.

Bloom, Benjamin. S.. 1975. Taxonomy of Educational Objectivitas: (The Classification


of Educational Goals), Handbook I: Cognitive Domain. New York: David Mc.
Key Company, Inc: (Reprinted by Phoenic Press, Inc. Quezon City, Phillipines).

Dahler, F.. 1971. Asal dan tujuan manusia; (Teori Evolusi). Semarang. Kanisius.

Drijarkara. 1978. Percikan Filsafat. Semarang: Penerbit Kanisus.

Handerson, Stella, V.P.. 1959. Introducation to Philosophy of Education. Chicago: The


University Chicago National.

Honeger, W Cs. 1976. Genetic (Heredity, Environment, and Personality) . New York.
John Wiley and Sons.

Lysen, A..1970. Individu dan Masyarakat.

Mayor Polak, J. B.A. F.. 1958.. Sosiologi. Jakarta: Icthtiar.

Mohammad Thayeb, M... 1972. Personalisme Theotick Kohnstamm;. Ujung


Pandang: FIP-IKIP.

Raka Joni T.. 1981. Wawasan Kependidikan Jakarta: Depdikbud.

Sandy Martin. 1985. Pendidikan Manusia. Bandung: Penerbit Alumni.

Konsep Hakikat Manusia. 2020. (Online) (https://www.stiepasim.ac.id/hakikat-


manusia-sebagai-makhluk-sosial/ ). Diakses pada 16 September 2022.

Hakekat Manusia dan Pendidikan. 2021.


(Online)(https://educhanel.id/blog/artikel/hakekat-manusia-dan-pendidikan-html).
Diakses 16 September 2022.

12

Anda mungkin juga menyukai