Anda di halaman 1dari 28

ANALISIS BERBAGAI KASUS PENDIDIKAN DIKAITKAN DENGAN

TEORI PENGEMBANGAN HAKIKAT MANUSIA

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK II

MUHAMMAD LUTHFI/191604
ZIDRAH/191604
KHUSNUL AMALIA/191604
ANNISA RAHMA/191604
HARDIANTI S./1916042003
NURAINA MISBAWATI/191604

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN IPA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Analisis berbagai Kasus
Pendidikan Dikaitkan dengan Teori Pengembangan Hakikat Manusia ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Bapak Arie
Arma Arsyad pada Bidang studi Pengantar Pendidikan. Selain itu, makalah ini juga bertujuan
untuk menambah wawasan bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu
kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca terutama Mahasiswa Pendidikan IPA,
Fakultas Matematika & Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Makassar

Makassar, 21 Februari 2020

Kelompok II

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................................... i


KATA PENGANTAR ................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN ..............................................................................................
A. Latar Belakang ............................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................................... 1
C. Tujuan ...……….…………………………………………………………. 1
BAB II. PEMBAHASAN ..............................................................................................
A. Pengertian Hakikat Manusia ....................................................................... 2
B. Sifat-Sifat Hakikat Manusia ....................................................................... 3
C. Dimensi Hakikat Manusia Sebagai Potensi, Keunikan, Dan Dinamikanya 5
D. Analisis Kasus Pendidikan yang Dikaitkan dengan Teori Pengembangan
Hakikat Manusia ………………………………………………………….
BAB III PENUTUP ...……………................................................................................
A. Kesimpulan ...………………...................................................................... 23

iii
B. Saran …………………………………………........................................... 23
DAFTAR PUSTAKA ...……………...……………………………………………...... 24

iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat, dan
pemerintahan. Melalui kegiatan bimbingan, pengajaran atau latihan, yang berlangsung di
sekolah dan di luar sekolah sepanjang hayat. Untuk mempersiapkan peserta didik agar dapat
memainkan peranan dalam berbagai lingkungan hidup. Secara tepat di masa yang akan
datang. Pendidikan suatu kebutuhan yang sangat penting di negeri ini. Akan tetapi
pendidikan di negeri ini masihlah banyak kekurangan dan banyak masalah-masalah.
Sehingga masyarakat sangat besar peranan dan pengaruhnya terhadap perkembangan
intelektual dan kepribadian individu peserta didik. Sebab keberadaan masyarakat merupakan
laboratorium dan sumber makro yang penuh alternatif untuk memperkaya pelaksanaan
proses pendidikan. Akan tetapi apa daya pendidikan ini, bila dirundung dengan berbagai
kasus yang menghambat perkembangan pendidikan itu sendiri. Oleh karena itu, penting
untuk kita mengetahui pendidikan lebih dalam.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan hakikat manusia?
2. Apa sifat-sifat dari hakikat manusia?
3. Apa yang disebut sebagai dimensi hakikat manusia?
4. Apa kasus pendidikan yang dikaitkan dengan teori pengembangan hakikat manusia?

C. Tujuan
1. Untuk memahami tentang hakikat manusia
2. Untuk memahami sifat-sifat hakikat manusia
3. Untuk memahami pengembangan dimensi hakikat manusia
4. Untuk mengetahui berbagai kasus pendidikan yang dikaitkan dengan teori
pengembangan hakikat manusia

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hakikat Manusia


Secara filosofis hakikat manusia merupakan kesatuan integral dari potensi-potensi
esensial yang ada pada diri manusia, yakni manusia sebagai makhluk pribadi, manusia
sebagai makhluk sosial, manusia sebagai makhluk susila dan manusia sebagai makhluk
religius. Dengan kata lain yang mudah dipahami, bahwa “manusia sebagai
makhluk pribadi, manusia sebagai makhluk sosial, manusia sebagai makhluk susila, dan
manusia sebagai makhluk religius” adalah status atau peran yang ditempatinya, pada hal
yang seperti demikian dituntut ada fungsi atau tugas yang dijalankannya di dalam kehidupan
sehari-hari. Sesungguhnya juga itu adalah tanggung jawab yang harus diembannya
Hakikat manusia adalah pembentukan kebudayaan dikarenakan manusia dihadapkan
pada persoalan yang meminta pemecahan dan penyelesaian. Dalam rangka survive manusia
mampu memenuhi apa yang menjadi kebutuhannya sehingga manusia melakukan berbagai
cara. Dimana memiliki peran ataupun fungsi yang harus dijalankan oleh setiap manusia.
Sesungguhnya hakikat manusia adalah mahluk yang bertanggung jawab atas tindakannya
dan manusia diberi naluri.
Naluri adalah semacam dorongan alamiah dari dalam diri manusia untuk memikirkan
serta menyatakan suatu tindakan. Setiap makluk hidup memiliki dorongan yang dapat
diekspresikan secara spontan sebagai tanggapannya kepada stimulus yang muncul dari dalam
diri atau dari luar dirinya. Naluri ini tidak setiap waktu muncul yang baik tetapi kadang
muncul naluri kejahata. Namun pada hakikatnya atas tindakan kebaikan maupun kejahatan
manusia memiliki tanggung jawab.

Hakikat manusia adalah sebagai berikut:

1. Makhluk yang memiliki tenaga dalam yang dapat menggerakkan hidupnya untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.

2
2. Individu yang memiliki sifat rasional yang bertanggung jawab atas tingkah laku
intelektual dan sosial yang mampu mengarahkan dirinya ke tujuan yang positif
sehingga mampu mengatur dan mengontrol dirinya dan mampu menentukan nasibnya.
3. Makhluk yang dalam proses menjadi berkembang dan terus berkembang tidak pernah
selesai selama hidupnya.
4. Individu yang dalam hidupnya selalu melibatkan dirinya dalam usaha untuk
mewujudkan dirinya sendiri, membantu orang lain dan membuat dunia lebih baik untuk
ditempati
5. Suatu keberadaan yang berpotensi yang perwujudanya merupakan ketakterdugaan
dengan potensi yang tak terbatas
6. Makhluk Tuhan yang berarti ia adalah makhluk yang mengandung kemungkinan baik
dan jahat.
7. Individu yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan turutama lingkungan sosial, bahkan
ia tidak bisa berkembang sesuai dengan martabat kemanusiaannya tanpa hidup di dalam
lingkungan sosial.

B. Sifat-Sifat Hakikat Manusia


Menurut ahli psikologi menyatakan bahwa hakikat manusia adalah rohani, jiwa.
Jasmani dan nafsu merupakan alat atau bagian dari rohani. Sifat hakikat manusia adalah ciri-
ciri karakteristik yang secara prinsipil membedakan manusia dari hewan, meskipun antara
manusia dengan hewan banyak kemiripan terutama dilihat dari segi biologisnya.
Sifat hakikat manusia diartikan sebagai ciri-ciri karakteristik, yang secara prinsipil
(jadi bukan hanya gradual) membedakan manus ia dari hewan. Meskipun antara manusia
dengan hewan banyak kemiripan terutama jika dilihat dari segi biologinya. Kenyataan dan
pernyataan tersebut dapat menimbulkan kesan yang keliru, mengira bahwa hewan dan
manusia itu hanya berbeda secara GRADUAL. Wujud sifat hakikat manusia (yang tidak
dimiliki oleh hewan) yang dikemukakan oleh paham eksistensi dengan maksud menjadi
masukan membenahi konsep pendidikan. Wujud dari sifat hakikat manusia yang tidak
dimiliki oleh hewan yang dikemukakan oleh faham eksistensialisme dengan maksud menjadi
masukan dalam membenahi konsep pendidikan, Prof. Dr. Umar Tirtaraharja dkk,
menyatakan:

3
1. Kemampuan Menyadari Diri
Berkat adanya kemampuan menyadari diri yang dimiliki manusia maka manusia
menyadari bahwa dirinya memiliki ciri khas atau karakteristik diri. Hal ini menyebabkan
manusia dapat membedakan dirinya dan membuat jarak dengan orang lain dan lingkungan
disekitarnya. Yang lebih istimewa lagi manusia dikaruniai kemampuan membuat jarak diri
dengan dirinya sendiri, sehingga manusia dapat melihat kelebihan yang dimiliki serta
kekurangan-kekurangan yang terdapat pada dirinya. Kemampuan memahami potensi-potensi
dirinya seperti ini peserta didik harus mendapat pendidikan dan perhatian yang serius dari
semua pendidik supaya dapat menumbuh kembangkan kemampuan mengeluarkan potensi-
potensi yang ada pada dirinya.

2. Kemampuan Bereksistensi
Kemampuan bereksistensi adalah kemampuan manusia menempatkan diri dan dapat
menembus atau menerobos serta mengatasi batas-batas yang membelenggu dirinya.
Sehingga manusia tidak terbelenggu oleh tempat dan waktu. Dengan demikian manusia
dapat menembus ke sana dan ke masa depan. Kemampuan bereksistensi perlu dibina melalui
pendidikan. Peserta didik diajar agar belajar dari pengalamannya, mengantisipasi keadaan
dan peristiwa, belajar melihat prospek masa depan dari sesuatu serta mengembangkan
imajinasi kreatifnya sejak masa anak-anak.

3. Kata Hati
Kata hari sering disebut dengan istilah hati nurani, lubuk hati, suara hati, pelita hati,
dan sebagainya. Kata hati adalah kemampuan membuat kepuasan tentang yang baik atau
yang benar dan yang buruk atau salah bagi manusia sebagai manusia. Untuk melihat
alternatif mana yang terbaik perlu didukung oleh kecerdasan akal budi disebut tajam kata
hatinya. Kata hati yang tumpul agar menjadi kata hari yang tajam harus ada usaha melalui
pendidikan kata hati yaitu dengan melatih akal kecerdasan dan kepekaan emosi. Tujuannya
agar orang memiliki keberanian berbuat yang didasari oleh kata hati yang baik atau benar
dan buruk atau salah bagi manusia sebagai manusia.

4. Moral

4
Jika kata hati diartikan sebagai bentuk pengertian menyertai perbuatan maka yang
dimaksud moral adalah perbuatan itu sendiri. Moral dan kata hati masih ada jarak antara
keduanya. Artinya orang yang mempunyai kata hati yang tajam belum tentu moralnya baik.
Untuk mengetahui jarak tersebut harus ada aspek kemauan untuk berbuat. Dari uraian di atas
dapat disimpulkan bahwa moral yang singkron dengan kata hati yang tajam merupakan
moral yang baik. Sebaliknya perbuatan yang tidak singkron dengan kata hatinya merupakan
moral yang buruk atau rendah.

5. Tanggung Jawab
Sifat tanggung jawab adalah kesediaan untuk menanggung segenap akibat dari
perbuatan yang menuntut jawab yang telah dilakukannya. Wujud bertanggung jawab adalah
penyesalan yang mendalam. Tanggung jawab kepada masyarakat bentuk tuntutannya adalah
sanksi-sanksi sosial seperti cemoohan masyarakat, hukuman penjara dan lain-lain. Tanggung
jawab kepada tuhan bentuk tuntutannya adalah perasaan berdosa dan terkutuk.

6. Rasa Kebebasan
Rasa kebebasan adalah tidak merasa terikat oleh sesuatu tetapi sesuai dengan tuntutan
kodrat manusia. Artinya bebas berbuat apa saja sepanjang tidak bertentangan dengan tuntutan
kodrat manusia. Jadi kebebasan atau kemerdekaan dalam arti yang sebenarnya memang
berlangsung dalam keterikatan.

7. Kewajiban dan Hak


Kewajiban dan hak adalah dua macam gejala yang timbul karena manusia itu sebagai
makhluk sosial, yang satu ada hanya karena adanya yang lain. Tidak ada hak tanpa
kewajiban. Kewajiban ada karena ada pihak lain yang harus dipenuhi haknya.

8. Kemampuan Menghayati Kebahagiaan


Kebahagiaan adalah merupakan integrasi dari segenap kesenangan, kegembiraan,
kepuasan dan sejenisnya dengan pengalaman-pengalaman pahit dan penderitaan. Proses dari
kesemuanya itu (yang menyenangkan atau yang pahit) menghasilkan suatu bentuk
penghayatan hidup yang disebut bahagia. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
kebahagiaan adalah perpaduan dari usaha, hasil atau takdir dan kesediaan menerimanya.

5
C. Dimensi Hakikat Manusia Sebagai Potensi, Keunikan, Dan Dinamikanya

Pada pembahasan telah diuraikan sifat-sifat hakikat manusia. Pada bagian ini sifat hakikat
tersebut akan dibahas lagi dimensi-dimensinya atau di tilik dari sisi lain. Ada empat macam
dimensi yang akan dibahas, yaitu:
 Dimensi Keindiviualan
 Dimensi Kesosialan
 Dimensi Kesusilaan
 Dimensi Keberagaman

1. Dimensi Keindividuan
Lysen mengartikan individu sebagai “orang-seorang”, sesuatu yang merupakan suatu
kebutuhan yang tidak dapat dibagi-bagi. Selanjutnya individu diartikan sebagai pribadi.
Setiap anak manusia yang dilahirkan telah dikaruniai potensi untuk menjadi berbeda dari
yang lain, atau menjadi seperti dirinya sendiri. Tidak ada diri individu yang identik di muka
bumi. Demikian kata M.J. Langeveld (seorang pakar pendidikan yang tersohor di negeri
Belanda) yang mengatakan bahwa setiap orang memiliki individualitas. Bahkan anak kembar
yang berasal dari satu telur pun, yang lazim dikatakan seperti pinang dibelah dua, serupa dan
sulit dibedakan satu dari yang lain, hanya serupa tetapi tidak sama, apalagi identik. Hal ini
berlaku baik dari sifat-sifat fisiknya maupun hidup kejiwaannya (kerohaniannya). Karena
adanya individualitas itu setiap oarang memiliki kehendak, perasaan, cita-cita,
kecenderungan, semangat, dan daya tahan yang berbeda.
2. Dimensi Kesosialan
Setiap bayi yang lahir dikaruniai potensi sosialitas. Demikian kata M.J. Langeveld.
Pernyataan tersebut diartikan bahwa setiap anak dikaruniai benih kemungkinan untuk
bergaul.  Artinya, setiap orang dapat saling berkomunikasi yang pada hakekatnya didalamnya
terkandung unsur saling memberi dan menerima. Bahkan menurut Langeveld, adanya
kesediaan untuk saling memberi dan menerima itu dipandang sebagai kunci sukse pergaulan.
Adanyta dorongan untuk menerima dan memberi itu sudah menggejala mulai pada masa
bayi. Seorang bayi sudah dapat menyambut atau menerima belaian ibunya dengan rasa
senang kemudian sebagia balasan ia dapat memberikan senyuman kepada lingkungannya,
khususnya pada ibunya.

6
Adanya dimensi kesosialan pada diri manusia tampak lebih jelas dorongan untuk bergaul.
Dengan adanya dorongan untuk bergaul, setiap orang ingin bertemu dengan sesamanya.
Betapa kuatnya dorongan tersebut sehingga bila dipenjarakan merupakan hukuman yang
paling berat dirasakan oleh manusia. Karena dengan diasingkan di dalam penjara berarti
diputuskannya dorongan bergaul tersebut secara mutlak. Immanuel Kant seorang filosofis
tersohor bangsa jerman menyataknan:  Manusia hanya menjadi manusia jika berada di sekitar
manusia. Kiranya tidak ada seorang pun yang bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain.
3. Dimensi Kesusilaan
Susila berasal dari kata su dan sila yang artinya kepantasan yang lebih tinggi. Akan tetapi
di dalam kehidupan bermasyarakat orang tidak cukup hanya berbuat yang pantas jika di
dalam yang pantas atau sopan itu misalnya terkandung kejahatan terselubung. Karena itu
pengertian susila berkembangsehingga memiliki perluasan arti menjadi kebaikan yang lebih.
Dalam bahasa ilmiah sering digunakan dua macam istilah yang mempunyai konotasi berbeda
yaitu etiket (persoalan kepantasan dan kesopanan) dan etika (persoalan kebaikan). Kedua hal
tersebut biasanya dikaitkan dengan persoalan hak dan kewajiban. Sehubungan dengan hal
tersebut ada dua pendapat yaitu:
a. Golongan yang menganggap bahwa kesusilaan mencakup kedua-duanya. Etiket tidak bisa
dibedakan dari etika karena sama-sama dibutuhkan dalam kehidupan.
b. Golongan yang memandang bahwa etiket dan etika perlu dibedakan, karena masing-masing
mengandung kondisi yang tidak selamanya selalu berjalan. Kesopanan merupakan minyak
pelincir dalam pergaulan hidup, sedangkan etika merupakan isinya.

Di dalam uraian ini kesusialaan diartikan mencakup etika dan etiket. Persoalan
kesusilaan selalu berhubungan erat dengan nilai-nilai. Pada hakikatnya manusia memiliki
kemampuan untuk mengambil keputusan susila, serta melaksanakannya sehingga dikatakan
manusia itu adalah makhluk susila. Drijarkara mengartikan manusia susila sebagai manusia
yang memiliki nilai-nilai, menghayati, dan melaksanakn nilai-nilai tersebit dalam perbuatan.
Nilai-nilai merupakan sesuatu yang dijunjung tinggi oleh manusia karena mengandung
makna kebaikan, keluhuran, kemuliaan, dan sebagainya, sehingg adapat diyakini dan
dijadikan pedoman dalam kehidupan.

7
4. Dimensi Keberagamaan
Pada hakikatnya manusia adalah makhluk religius. Sejak dahulu kala, sebelum manusia
mengenal agama mereka telah percaya bahwa di luar alam yang dapat dijangkau dengan
perantara alat indranya, diyakini akan adanya kekuatan supranatural yang menguasai hidup
alam semesta ini. Untuk dapat berkomunikasi dan mendekatkan diri kepada kekuatan
tersebut diciptakanlah mitos-mitos.
Kemudian setelah ada agama manusia mulai menganutnya. beragama merupakan
kebutuhan manusia karena manusia adalah makhluk yang lemah sehingga memerlukan
tempat bertopang. Manusia memerlukan agama demi keselamatan hidupnya. Dapat dikatakan
bahwa agama menjadi sandaran vertikal manusia. Ph. Khonstam berpendapat bahwa
pendidikan agama seyogyanya menjadi tugas orang tua dalam lingkungan keluaraga, karena
pendidikan agama adalah persoalan afektif dan kata hati.
Pemerintah dengan berlandaskan GBHN memasukkan pendidikan agama ke dalam
kurikulum di sekolah mulai dari SD sampai dengan perguruan tinggi. Di sini perlu
ditekankan bahwa meskipun pengkajian agama melalui mata pelajaran agama ditingkatkan,
namun harus tetap disadari bahwa pendidikan agama bukan semata-mata pelajaran agama
yang hanya memberikan pengetahuan tentang agama. Jadi dari segi-segi afektif harus
diutamakan.

D. Analisis Kasus Pendidikan yang Dikaitkan dengan Teori Pengembangan Hakikat


Manusia

1. Memutus Rantai Tawuran Pelajar


Tawuran menunjukkan lemahnya kepemimpinan, kultur sekolah, dan ketidakhadiran negara
(dalam bentuk ketidakberdayaannya aparat kepolisian) dalam menyikapi persoalan serius ini.
Pendidikan karakter dalam konteks tawuran tidak bisa diatasi dengan imbauan, pembuatan
kesepakatan damai antarsiswa atau sekolah, tetapi dengan pendekatan yang lebih komprehensif
dan komitmen dari banyak pihak. Maka, kultur pendidikan karakter yang nyaman dan aman
(caring community) di sekolah tidak bisa ditawar lagi!

8
Tradisi tawuran di SMA yang sudah terjadi bertahun-tahun menunjukkan minimnya
kesadaran dan tanggung jawab pemimpin sekolah terhadap lembaga pendidikan yang
dikelolanya. Memang, di sisi lain tawuran pelajar sering terjadi selepas jam sekolah, bahkan pada
sore hari, sehingga secara lokalitas sudah di luar batas pagar sekolah.

Mengapa terjadi terus-menerus? Berkelanjutannya aksi tawuran dikarena para pemimpin


sekolah kurang memiliki rasa tanggung jawab atas persoalan penting di sekolahnya. Tidak bisa
pemimpin sekolah hanya berujar, ”Kejadian itu di luar lingkup sekolah, maka kami tidak ikut
bertanggung jawab!” Sikap seperti ini mengerdilkan tanggung jawab pemimpin pendidikan
dalam membentuk karakter siswa.

Pendekatan ritual, yang menekankan pembuatan kesepakatan damai antarpihak sekolah


yang berselisih, tidak akan efektif karena perubahan untuk pembentukan karakter tidak cukup
hanya mengandalkan selembar kertas yang ditandatangani bersama. Yang dibutuhkan adalah
pembelajaran bersama antarsekolah dan antarsiswa tentang pentingnya membangun sikap damai
dan menghargai individu itu sebagai makhluk bermartabat, bukan benda atau barang yang bisa
dirusak setiap saat.

Kultur sekolah lemah

Selain unsur kepemimpinan, pendidikan karakter yang efektif akan terjadi ketika setiap
individu dalam lembaga pendidikan merasa aman dan nyaman bersekolah. Tanpa perasaan itu,
prestasi akademis siswa akan menurun. Siswa juga tidak dapat belajar dengan baik karena selalu
dihantui rasa waswas, apakah mereka akan selamat saat berangkat atau pulang sekolah.

Perasaan aman dan nyaman akan muncul bila setiap individu yang menjadi anggota
komunitas sekolah merasa dihargai, dimanusiakan, dan dianggap bernilai kehadirannya dalam
lingkungan pendidikan. Masalahnya adalah, budaya kekerasan telah merambah ke seluruh
lapisan masyarakat kita, menggerus kultur sekolah dengan wujud yang berbeda. Misalnya, ketika
lembaga pendidikan menerapkan sistem katrol nilai, di sini telah terjadi ketidakadilan dan
pelecehan terhadap kinerja individu. Mereka yang gigih belajar dan mendapatkan nilai baik,
tidak berbeda dengan yang tidak gigih belajar, malas, karena mereka dikatrol sehingga nilainya
juga baik.

9
Kultur sekolah ini sesungguhnya bertentangan dengan prinsip penghargaan terhadap
individu. Individu telah dimanipulasi sebagai alat pemenangan nama baik sekolah melalui sistem
katrol. Dengan demikian, sekolah seolah-olah memberi citra bahwa pendidikan di sekolah itu
baik dan ini terbukti dari kelulusan atau kenaikan kelas 100 persen.

Menghargai individu sesuai dengan harkat dan martabatnya, serta menghargai sesuai
dengan jasa dan usahanya dalam belajar, merupakan sebentuk praktik keadilan. Praksis keadilan
yang terjadi dalam lingkungan pendidikan akan membuat individu itu nyaman dan semakin
termotivasi dalam meningkatkan keunggulan akademik. Ketika kebanggaan pada kualitas
akademis berkurang, siswa mencari pembenaran dengan penghargaan diri palsu di luar, termasuk
tawuran.

Ketidakhadiran negara

Fenomena tawuran menjadi indikasi jelas bahwa negara tidak hadir, bahkan cenderung
membiarkan dan mengafirmasi kekeliruan pemahaman bahwa bila suatu tindak kejahatan
dilakukan bersama-sama, maka hal ini dapat dibenarkan.

Ketika aparat kepolisian hanya diam saja berhadapan dengan kegarangan siswa yang
membawa golok, rantai, dan bambu runcing di jalanan, saat itulah sebenarnya aparat kepolisian
menelanjangi diri dan menunjukkan bahwa negara absen.

Pendidikan karakter yang efektif mensyaratkan peran serta komunitas di luar sekolah
sebagai rekan strategis dalam pengembangan pendidikan. Karena itu, peran serta komunitas,
seperti media, orangtua, aparat kepolisian, pejabat pemerintah, dalam upaya mengikis perilaku
tawuran sangatlah diperlukan. Negara seharusnya tetap hadir dan menjadi pendidik masyarakat
untuk menaati ketertiban dan hukum.

Untuk mengatasi persoalan tawuran dan menghentikan rantai kekerasan, kiranya ada
beberapa solusi.

Pertama, kehadiran negara sangat diperlukan agar pendidikan karakter yang dicanangkan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan semakin efektif. Untuk mengatasi tawuran pelajar,
ketegasan aparat sangat diperlukan karena kebiasaan tawuran itu membahayakan diri dan orang
lain. Kepolisian harus bekerja sama dengan sekolah untuk mengembangkan budaya tertib hukum

10
dan taat aturan. Sikap reaktif, menangkap pelajar yang terlibat tawuran, memang dibutuhkan,
tetapi sikap preventif- edukatif melalui kerja sama dengan pihak sekolah lebih penting karena
akan mengatasi persoalan pada akarnya.

Kedua, sikap tegas pemerintah. Pemerintah juga perlu bersikap tegas terhadap unsur
kepemimpinan sekolah, baik itu di sekolah negeri maupun swasta. Pimpinan sekolah yang
sekolahnya selalu terlibat tawuran perlu diganti karena kepemimpinan mereka terbukti tidak
efektif.

Namun, pemerintah juga perlu hati-hati mengganti unsur kepala sekolah karena di dalam
lingkungan sekolah pun bisa jadi ada persaingan tidak sehat yang memanfaatkan tawuran sebagai
usaha memancing di air keruh demi kepentingan pribadi.

Peran komunitas sekolah

Ketiga, pendidikan karakter akan efektif kalau seluruh komunitas sekolah merasa
dilibatkan. Ini berarti, mulai dari penjaga keamanan, tukang kebun, pegawai kantin sekolah,
guru, karyawan nonpendidikan, staf guru, kepala sekolah, dan lain lain, harus mengerti tugas dan
tanggung jawab mereka, terutama yang terkait dengan pengembangan kultur cinta damai dalam
lembaga pendidikan.

Perilaku kekerasan terhadap fisik orang lain merupakan bentuk nyata tidak dihargainya
individu sebagai pribadi yang bernilai dan berharga. Pendidikan mestinya mengajarkan bahwa
setiap individu itu berharga dan bernilai dalam dirinya sendiri.

Siapa pun tidak pernah boleh memanipulasi dan mempergunakan bahkan merusak tubuh
orang lain dengan alasan apa pun. Tawuran pelajar merupakan tanda bahwa penghargaan
terhadap tubuh di lingkungan pendidikan kita masih lemah. Padahal, penghargaan terhadap
tubuh ini merupakan salah satu pilar keutamaan bagi pengembangan pendidikan karakter yang
utuh dan menyeluruh.

2.      Pendidikan Nasional yang Bermoral

Memang harus kita akui ada diantara (oknum) generasi muda saat ini yang mudah emosi
dan lebih mengutamakan otot daripada akal pikiran. Kita lihat saja, tawuran bukan lagi milik

11
pelajar SMP dan SLTA tapi sudah merambah dunia kampus (masih ingat kematian seorang
mahasiswa di Universitas Jambi, awal tahun 2002 akibat perkelahian didalam kampus). Atau kita
jarang (atau belum pernah) melihat demonstrasi yang santun dan tidak menggangu orang lain
baik kata-kata yang diucapkan dan prilaku yang ditampilkan. Kita juga kadang-kadang jadi ragu
apakah demonstrasi yang dilakukan mahasiswa murni untuk kepentingan rakyat atau pesanan
sang pejabat.

Selain itu, berita-berita mengenai tindakan pencurian kendaraan baik roda dua maupun
empat, penguna narkoba atau bahkan pengedar, pemerasan dan perampokan yang hampir setiap
hari mewarnai tiap lini kehidupan di negara kita tercinta ini banyak dilakukan oleh oknum
golongan terpelajar. Semua ini jadi tanda tanya besar kenapa hal tersebut terjadi?. Apakah dunia
Pendidikan (dari SD sampai PT) kita sudah tidak lagi mengajarkan tata susila dan prinsip saling
sayang - menyayangi kepada siswa atau mahasiswanya atau kurikulum pendidikan tinggi sudah
melupakan prinsip kerukunan antar sesama? Atau inikah hasil dari sistim pendidikan kita selama
ini ? atau Inikah akibat perilaku para pejabat kita?

Dilain pihak, tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme yang membuat bangsa ini morat-
marit dengan segala permasalahanya baik dalam bidang keamanan, politik, ekonomi, sosial
budaya serta pendidikan banyak dilakukan oleh orang orang yang mempunyai latar belakang
pendidikan tinggi baik dalam negri maupun luar negri. Dan parahnya, era reformasi bukannya
berkurang tapi malah tambah jadi. Sehingga kapan krisis multidimensi ini akan berakhir belum
ada tanda-tandanya.

a.       Perlu Pendidikan Yang Bermoral

Kita dan saya sebagai Generasi Muda sangat perihatin dengan keadaan generasi penerus
atau calon generasi penerus Bangsa Indonesai saat ini, yang tinggal, hidup dan dibesarkan di
dalam bumi republik ini. Untuk menyiapkan generasi penerus yang bermoral, beretika, sopan,
santun, beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa perlu dilakukan hal-hal yang
memungkin hal itu terjadi walaupun memakan waktu lama.

Pertama, melalui pendidikan nasional yang bermoral (saya tidak ingin mengatakan bahwa
pendidikan kita saat ini tidak bermoral, namun kenyataanya demikian di masyarakat). Lalu apa
hubungannya Pendidikan Nasional dan Nasib Generasi Penerus? Hubungannya sangat erat.

12
Pendidikan pada hakikatnya adalah alat untuk menyiapkan sumber daya manusia yang bermoral
dan berkualitas unggul. Dan sumber daya manusia tersebut merupakan refleksi nyata dari apa
yang telah pendidikan sumbangankan untuk kemajuan atau kemunduran suatu bangsa. Apa yang
telah terjadi pada Bangsa Indonesia saat ini adalah sebagai sumbangan pendidikan nasional kita
selama ini.

Pendidikan nasional selama ini telah mengeyampingkan banyak hal. Seharusnya


pendidikan nasional kita mampu menciptakan pribadi (generasi penerus) yang bermoral, mandiri,
matang dan dewasa, jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berperilaku santun, tahu malu
dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok.Tapi
kenyataanya bisa kita lihat saat ini. Pejabat yang melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme baik
di legislative, ekskutif dan yudikatif semuanya orang-orang yang berpendidikan bahkan tidak
tanggung-tanggung, mereka bergelar dari S1 sampai Prof. Dr. Contoh lainnya, dalam bidang
politik lebih parah lagi, ada partai kembar , anggota dewan terlibat narkoba, bertengkar ketika
sidang, gontok-gontokan dalam tubuh partai karena memperebutkan posisi tertentu (Bagaimana
mau memperjuangkan aspirasi rakyat kalau dalam diri partai saja belum kompak).

Dan masih ingatkah ketika terjadi jual beli kata-kata umpatan ("bangsat") dalam sidang
kasus Bulog yang dilakukan oleh orang-orang yang mengerti hukum dan berpendidikan tinggi.
Apakah orang-orang seperti ini yang kita andalkan untuk membawa bangsa ini kedepan? Apakah
mereka tidak sadar tindak-tanduk mereka akan ditiru oleh generasi muda saat ini dimasa yang
akan datang? Dalam dunia pendidikan sendiri terjadi penyimpangan-penyimpang yang sangat
parah seperti penjualan gelar akademik dari S1 sampai S3 bahkan professor (dan anehnya
pelakunya adalah orang yang mengerti tentang pendidikan), kelas jauh, guru/dosen yang curang
dengan sering datang terlambat untuk mengajar, mengubah nilai supaya bisa masuk sekolah
favorit, menjiplak skripsi atau tesis, nyuap untuk jadi pegawai negeri atau nyuap untuk naik
pangkat sehingga ada kenaikan pangkat ala Naga Bonar.

Di pendidikan tingkat menengah sampai dasar, sama parahnya, setiap awal tahun ajaran
baru. Para orang tua murid sibuk mengurusi NEM anaknya (untungsnya, NEM sudah tidak
dipakai lagi, entah apalagi cara mereka), kalau perlu didongkrak supaya bisa masuk sekolah-
sekolah favorit. Kalaupun NEM anaknya rendah, cara yang paling praktis adalah mencari lobby
untuk memasukan anaknya ke sekolah yang diinginkan, kalau perlu nyuap. Perilaku para orang

13
tua seperti ini (khususnya kalangan berduit) secara tidak langsung sudah mengajari anak-anak
mereka bagaimana melakukan kecurangan dan penipuan. (makanya tidak aneh sekarang ini
banyak oknum pejabat jadi penipu dan pembohong rakyat). Dan banyak lagi yang tidak perlu
saya sebutkan satu per satu dalam tulisan ini.

Kembali ke pendidikan nasional yang bermoral (yang saya maksud adalah pendidikan
yang bisa mencetak generasi muda dari SD sampai PT yang bermoral. Dimana proses pendidikan
harus bisa membawa peserta didik kearah kedewasaan, kemandirian dan bertanggung jawab,
tahu malu, tidak plin-plan, jujur, santun, berahklak mulia, berbudi pekerti luhur sehingga mereka
tidak lagi bergantung kepada keluarga, masyarakat atau bangsa setelah menyelesaikan
pendidikannya.Tetapi sebaliknya, mereka bisa membangun bangsa ini dengan kekayaan yang
kita miliki dan dihargai didunia internasional. Kalau perlu bangsa ini tidak lagi mengandalkan
utang untuk pembangunan. Sehingga negara lain tidak seenaknya mendikte Bangsa ini dalam
berbagai bidang kehidupan.

Dengan kata lain, proses transformasi ilmu pengetahuan kepada peserta didik harus
dilakukan dengan gaya dan cara yang bermoral pula. Dimana ketika berlangsung proses
tranformasi ilmu pengetahuan di SD sampai PT sang pendidik harus memiliki moralitas yang
bisa dijadikan panutan oleh peserta didik. Seorang pendidik harus jujur, bertakwa, berahklak
mulia, tidak curang, tidak memaksakan kehendak, berperilaku santun, displin, tidak arogan, ada
rasa malu, tidak plin plan, berlaku adil dan ramah di dalam kelas, keluarga dan masyarakat.
Kalau pendidik mulai dari guru SD sampai PT memiliki sifat-sifat seperti diatas. Negara kita
belum tentu morat-marit seperti ini.

Kedua, Perubahan dalam pendidikan nasional jangan hanya terpaku pada perubahan
kurikulum, peningkatan anggaran pendidikan, perbaikan fasilitas. Misalkan kurikulum sudah
dirubah, anggaran pendidikan sudah ditingkatkan dan fasilitas sudah dilengkapi dan gaji
guru/dosen sudah dinaikkan, Namun kalau pendidik (guru atau dosen) dan birokrat pendidikan
serta para pembuat kebijakan belum memiliki sifat-sifat seperti diatas, rasanya perubahan-
perubahan tersebut akan sia-sia. Implementasi di lapangan akan jauh dari yang diharapkan Dan
akibat yang ditimbulkan oleh proses pendidikan pada generasi muda akan sama seperti sekarang
ini. Dalam hal ini saya tidak berpretensi menyudutkan guru atau dosen dan birokrat pendidikan
serta pembuat kebijakan sebagai penyebab terpuruknya proses pendidikan di Indonesia saat ini.

14
Tapi adanya oknum yang berperilaku menyimpang dan tidak bermoral harus segera mengubah
diri sedini mungkin kalau menginginkan generasi seperti diatas.

Selain itu, anggaran pendidikan yang tinggi belum tentu akan mengubah dengan cepat
kondisi pendidikan kita saat ini. Malah anggaran yang tinggi akan menimbulkan KKN yang lebih
lagi jika tidak ada kontrol yang ketat dan moralitas yang tinggi dari penguna anggaran tersebut.
Dengan anggaran sekitar 6% saja KKN sudah merajalela, apalagi 20-25%.

Ketiga, Berlaku adil dan Hilangkan perbedaan. Ketika saya masih di SD dulu, ada
beberapa guru saya sangat sering memanggil teman saya maju kedepan untuk mencatat dipapan
tulis atau menjawab pertanyaan karena dia pintar dan anak orang kaya. Hal ini juga berlanjut
sampai saya kuliah di perguruan tinggi. Yang saya rasakan adalah sedih, rendah diri, iri dan
putus asa sehingga timbul pertanyaan mengapa sang guru tidak memangil saya atau yang lain.
Apakah hanya yang pintar atau anak orang kaya saja yang pantas mendapat perlakuan seperti
itu.? Apakah pendidikan hanya untuk orang yang pintar dan kaya? Dan mengapa saya tidak jadi
orang pintar dan kaya seperti teman saya? Bisakah saya jadi orang pintar dengan cara yang
demikian?

Dengan contoh yang saya rasakan ini (dan banyak contoh lain yang sebenarnya ingin
saya ungkapkan), saya ingin memberikan gambaran bahwa pendidikan nasional kita telah
berlaku tidak adil dan membuat perbedaan diantara peserta didik. Sehingga generasi muda kita
secara tidak langsung sudah diajari bagaimana berlaku tidak adil dan membuat perbedaan. Jadi,
pembukaan kelas unggulan atau kelas akselerasi hanya akan membuat kesenjangan sosial
diantara peserta didik, orang tua dan masyarakat. Yang masuk di kelas unggulan belum tentu
memang unggul, tetapi ada juga yang diunggul-unggulkan karena KKN. Yang tidak masuk kelas
unggulan belum tentu karena tidak unggul otaknya tapi karena dananya tidak unggul. Begitu juga
kelas akselerasi, yang sibuk bukan peserta didik, tapi para orang tua mereka mencari jalan
bagaimana supaya anaknya bisa masuk kelas tersebut.

Kalau mau membuat perbedaan, buatlah perbedaan yang bisa menumbuhkan peserta
didik yang mandiri, bermoral. dewasa dan bertanggungjawab. Jangan hanya mengadopsi sistem
bangsa lain yang belum tentu cocok dengan karakter bangsa kita. Karena itu, pembukaan kelas
unggulan dan akselerasi perlu ditinjau kembali kalau perlu hilangkan saja.

15
Contoh lain lagi , seorang dosen marah-marah karena beberapa mahasiswa tidak
membawa kamus. Padahal Dia sendiri tidak pernah membawa kamus ke kelas. Dan seorang
siswa yang pernah belajar dengan saya datang dengan menangis memberitahu bahwa nilai
Bahasa Inggrisnya 6 yang seharusnya 9. Karena dia sering protes pada guru ketika belajar dan
tidak ikut les dirumah guru tersebut. Inikan! contoh paling sederhana bahwa pendidikan nasional
kita belum mengajarkan bagaimana berlaku adil dan menghilangkan Perbedaan.

b.      Pejabat Harus Segera Berbenah Diri Dan Mengubah Perilaku

Kalau kita menginginkan generasi penerus yang bermoral, jujur, berakhlak mulia,
berbudi pekerti luhur, berperilaku santun, bermoral, tahu malu dan tidak arogan serta
mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok. Maka semua pejabat yang
memegang jabatan baik legislative, ekskutif maupun yudikatif harus berbenah diri dan memberi
contoh dulu bagaimana jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berperilaku santun,
bermoral, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi
atau kelompok kepada generasi muda mulai saat ini.

Karena mereka semua adalah orang-orang yang berpendidikan dan tidak sedikit pejabat
yang bergelar Prof. Dr. (bukan gelar yang dibeli obral). Mereka harus membuktikan bahwa
mereka adalah hasil dari sistim pendidikan nasional selama ini. Jadi kalau mereka terbukti salah
melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme, jangan cari alasan untuk menghindar. Tunjukan
bahwa mereka orang yang berpendidikan , bermoral dan taat hukum. Jangan bohong dan curang.
Apabila tetap mereka lakukan, sama saja secara tidak langsung mereka (pejabat) sudah
memberikan contoh kepada generasi penerus bahwa pendidikan tinggi bukan jaminan orang
untuk jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berprilaku santun, bermoral, tahu malu dan
tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok. Jadi jangan
salahkan jika generasi mudah saat ini meniru apa yang mereka (pejabat) telah lakukan . Karena
mereka telah merasakan, melihat dan mengalami yang telah pejabat lakukan terhadap bangsa ini.

Selanjutnya, semua pejabat di negara ini mulai saat ini harus bertanggungjawab dan
konsisten dengan ucapannya kepada rakyat. Karena rakyat menaruh kepercayaan terhadap
mereka mau dibawah kemana negara ini kedepan. Namun perilaku pejabat kita, lain dulu lain
sekarang. Sebelum diangkat jadi pejabat mereka umbar janji kepada rakyat, nanti begini, nanti

16
begitu. Pokoknya semuanya mendukung kepentingan rakyat. Dan setelah diangkat, lain lagi
perbuatannya. Contoh sederhana, kita sering melihat di TV ruangan rapat anggota DPR (DPRD)
banyak yang kosong atau ada yang tidur-tiduran. Sedih juga melihatnya. Padahal mereka sudah
digaji, bagaimana mau memperjuangkan kepentingan rakyat. Kalau ke kantor hanya untuk tidur
atau tidak datang sama sekali. Atau ada pengumuman di Koran, radio atau TV tidak ada
kenaikan BBM, TDL atau tariff air minum. Tapi beberapa minggu atau bulan berikutnya, tiba-
tiba naik dengan alasan tertentu. Jadi jangan salahkan mahasiswa atau rakyat demonstrasi dengan
mengeluarkan kata-kata atau perilaku yang kurang etis terhadap pejabat. Karena pejabat itu
sendiri tidak konsisten. Padahal pejabat tersebut seorang yang Bahan ini cocok untuk Semua
Sektor Pendidikan bagian PENDIDIKAN / EDUCATION.

Dengan demikian, apabila kita ingin mencetak generasi penerus yang mandiri, bermoral,
dewasa dan bertanggung jawab. Konsekwensinya, Semua yang terlibat dalam dunia pendidikan
Indonesia harus mampu memberikan suri tauladan yang bisa jadi panutan generasi muda. jangan
hanya menuntut generasi muda untuk berperilaku jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur,
berprilaku santun, bermoral, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa
bukan pribadi atau kelompok.

Tapi para pemimpin bangsa ini tidak melakukannya. Maka harapan tinggal harapan saja.
Karena itu, mulai sekarang, semua pejabat mulai dari level tertinggi hingga terendah di
legislative, eksekutif dan yudikatif harus segera menghentikan segala bentuk petualangan mereka
yang hanya ingin mengejar kepentingan pribadi atau kelompok sesaat dengan mengorbankan
kepentingan negara. Sehingga generasi muda Indonesia memiliki panutan-panutan yang bisa
diandalkan untuk membangun bangsa ini kedepan.

3.      Korupsi Pendidikan sangat Merugikan Bangsa


Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Jusuf Kalla Kalla
menegaskan, korupsi yang terbesar di negeri ini justru dilakukan oleh kalangan pendidikan.

Korupsi dunia pendidikan itu berbentuk pengatrolan nilai dari oknum pendidik, untuk
meluluskan peserta didiknya. Pada Rakernas Perguruan Tinggi se-Indonesia di Yogyakarta,
Kamis (27/3), Menko Kesra mengatakan, selama ini kalangan pendidik akan sangat bangga jika

17
anak didiknya dapat lulus 100%. \"Akibatnya sangat buruk, anak-anak menjadi merasa bahwa
belajar itu tidak perlu.\"
Dia menjelaskan, sekarang ini kalangan pejabat, termasuk mereka yang duduk di dunia
pendidikan, harus bisa tegas tidak meluluskan anak yang tidak pantas untuk naik kelas atau tidak
pantas lulus karena nilainya memang kurang mencukupi. \"Bahkan perlu kita menertawakan
sekolah-sekolah yang masih bangga dengan keberhasilannya meluluskan 100% anak didiknya.\"

Pengatrolan nilai demi angka kelulusan semacam ini harus segera dihilangkan. Sebab
menurut Menko, hal ini akan berakibat fatal, yaitu pembodohan dan menimbulkan kemalasan
peserta didik.

Pengawasan BBM

Pada kesempatan yang sama, Menko Kesra menandatangani kerja sama dengan 35
perguruan tinggi di Indonesia, untuk terlibat melakukan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan
PKPS BBM (Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakan Minyak), yang akan
dilaksanakan 2003 ini di sejumlah daerah.

Beberapa waktu lalu pihak Menko Kesra sudah meminta kesediaan kalangan perguruan
tinggi untuk membantu mengawasi pelaksanaan PKPS BBM, demi mencegah kebocoran dan
penyalahgunaan dana.

Ketua Pelaksana Koordinasi Sosialisasi dan Pemantauan PKPS BBM Kantor Menko
Kesra Soedjono Poerwaningrat mengatakan, pemantauan dan evaluasi yang dilaksanakan oleh
perguruan tinggi, berbeda dengan pemantauan yang dilakukan oleh unsur pemerintahan.

Ia mengatakan, pemantauan yang dilakukan oleh perguruan tinggi itu antara lain berupa
sejauh mana pelaksanaan PKPS BBM berlangsung, sesuai dengan ketentuan sasaran yang dituju,
jumlah dan mutu, serta waktu yang ditetapkan.

18
\"Selain itu pihak perguruan tinggi akan menganalisis faktor penyebab bila terjadi
ketidaktepatan, melakukan kajian evaluatif tentang efektivitas program, dan memberikan umpan
balik kepada penyelenggara PKPS BBM tentang masalah, hambatan penyaluran kompensasi
serta upaya perbaikan yang dapat ditempuh selama pelaksanaan program itu,\" jelasnya.

Disebutkan, selama tiga tahun terakhir ini dana PKPS BBM terus mengalami
kenaikan. \"Pada 2000 lalu sebesar Rp800 miliar, pada 2001 menjadi Rp2,2 triliun, 2002 menjadi
Rp2,8 triliun, dan pada 2003 ini dialokasikan sebesar Rp4,4 triliun.\"

Menurut Soedjono, tujuan program tersebut adalah untuk meringankan beban


pengeluaran masyarakat khususnya yang tidak mampu, dengan kompensasi yang meliputi beras
murah, bantuan pendidikan umum dan pendidikan agama, bantuan pelayanan kesehatan, bantuan
bahan makanan untuk panti sosial, bantuan alat kontrasepsi, bantuan transportasi, pemberdayaan
masyarakat pesisir, dana bergulir, dan penanggulangan pengangguran.

Perguruan tinggi yang terlibat dalam kerja sama pengawasan ini antara lain Institut
Teknologi Bandung, Universitas Islam Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Universitas
Brawijaya, Universitas Haluoleo, dan lain-lain.

4.      Merancang Pendidikan Moral dan Budi Pekerti


Manusia Indonesia menempati posisi sentral dan strategis dalam pelaksanaan
pembangunan nasional, sehingga diperlukan adanya pengembangan sumber daya manusia
(SDM) secara optimal. Pengembangan SDM dapat dilakukan melalui pendidikan mulai dari
dalam keluarga, hingga lingkungan sekolah dan masyarakat.
Salah satu SDM yang dimaksud bisa berupa generasi muda (young generation) sebagai
estafet pembaharu merupakan kader pembangunan yang sifatnya masih potensial, perlu dibina
dan dikembangkan secara terarah dan berkelanjutan melalui lembaga pendidikan sekolah.
Beberapa fungsi pentingnya pendidikan sekolah antara lain untuk : 1) perkembangan pribadi dan
pembentukan kepribadian, 2) transmisi cultural, 3) integrasi social, 4) inovasi, dan 5) pra seleksi
dan pra alokasi tenaga kerja ( Bachtiar Rifai). Dalam hal ini jelas bahwa tugas pendidikan
sekolah adalah untuk mengembangkan segi-segi kognitif, afektif dan psikomotorik yang dapat

19
dikembangkan melalui pendidikan moral. Dengan memperhatikan fungsi pendidikan sekolah di
atas, maka setidaknya terdapat 3 alasan penting yang melandasi pelaksanaan pendidikan moral di
sekolah, antara lain : 1). Perlunya karakter yang baik untuk menjadi bagian yang utuh dalam diri
manusia yang meliputi pikiran yang kuat, hati dan kemauan yang berkualitas, seperti : memiliki
kejujuran, empati, perhatian, disiplin diri, ketekunan, dan dorongan moral yang kuat untuk bisa
bekerja dengan rasa cinta sebagai ciri kematangan hidup manusia. 2). Sekolah merupakan tempat
yang lebih baik dan lebih kondusif untuk melaksanakan proses belajar mengajar. 3).Pendidikan
moral sangat esensial untuk mengembangkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan
membangun masyarakat yang bermoral (Lickona, 1996 , P.1993).

Pelaksanaan pendidikan moral ini sangat penting, karena hampir seluruh masyarakat di
dunia, khususnya di Indonesia, kini sedang mengalami patologi social yang amat kronis. Bahkan
sebagian besar pelajar dan masyarakat kita tercerabut dari peradaban eastenisasi (ketimuran)
yang beradab, santun dan beragama. Akan tetapi hal ini kiranya tidak terlalu aneh dalam
masyarakat dan lapisan social di Indonesia yang hedonis dan menelan peradaban barat tanpa
seleksi yang matang. Di samping itu system [pendidikan Indonesia lebih berorientasi pada
pengisian kognisi yang eqivalen dengan peningkatan IQ (intelengence Quetiont) yang walaupun
juga di dalamnya terintegrasi pendidikan EQ (Emotional Quetiont). Sedangkan warisan terbaik
bangsa kita adalah tradisi spritualitas yang tinggi kemudian tergadai dan lebih banyak digemari
oleh orang lain di luar negeri kita, yaitu SQ (Spiritual Quetiont). Oleh sebab itu, perlu kiranya
dalam pengembangan pendidikan moral ini eksistensi SQ harus terintegrasi dalam target
peningkatan IQ dan EQ siswa.

Akibat dari hanyutnya SQ pada pribadi masyarakat dan siswa pada umumnya
menimbulkan efek-efek social yang buruk. Bermacam-macam masalah sosial dan masalah-
masalahh moral yang timbul di Indonesia seperti : 1). meningkatnya pembrontakan remaja atau
dekadensi etika/sopan santun pelajar, 2). meningkatnya kertidakjujuran, seperti suka bolos,
nyontek, tawuran dari sekolah dan suka mencuri, 3). berkurangnya rasa hormat terhadap orang
tua, guru, dan terhadap figur-figur yang berwenang, 4). meningkatnya kelompok teman sebaya
yang bersifat kejam dan bengis, 5) munculnya kejahatan yang memiliki sikap fanatik dan penuh
kebencian, 6). berbahsa tidak sopan, 7). merosotnya etika kerja, 8). meningkatnya sifat-sifat
mementingkan diri sendiri dan kurangnya rasa tanggung jawab sebagai warga negara, 9).

20
timbulnya gelombang perilaku yang merusak diri sendiri seperti perilaku seksual premature,
penyalahgunaan mirasantika/narkoba dan perilaku bunuh diri, 10). timbulnya ketidaktahuan
sopan santun termasuk mengabaikan pengetahuan moral sebagai dasar hidup, seperti adanya
kecenderungan untuk memeras tidak menghormati peraturan-peraturan, dan perilaku yang
membahayakan terhadap diri sendiri atau orang lain, tanpa berpikir bahwa hal itu salah (Koyan,
2000, P.74).

Untuk merespon gejala kemerosotan moral tersebut, maka peningkatan dan intensitas
pelaksanan pendidikan moral di sekolah merupakan tugas yang sangat penting dan sangat
mendesak bagi kita, dan perlu dilaksanakan secara komprehensif dan dengan menggunakan
strategi serta model pendekatan secara terpadu, yaitu dengan melibatkan semua unsur yang
terkait dalam proses pembelajaran atau pendidikan seperti : guru-guru, kepala sekolah orang tua
murid dan tokoh-tokoh masyarakat. Tujuan pendidikan moral tidak semata-mata untuk
menyiapkan peserta didik untuk menelan mentah konsep-konsep pendidikan moral, tetapi yang
lebih penting adalah terbentuknya karakter yang baik, yaitu pribadi yang memiliki pengetahuan
moral, peranan perasaan moral dan tindakan atau perilaku moral (Lickona, 1992. P. 53).

Pada sisi lain, dewasa ini pelaksanan pendidikan moral di sekolah diberikan melalui
pembelajaran pancasila dan kewarganegaraan (PPKn) dan Pendidikan agama akan tetapi masih
tampak kurang pada keterpaduan dalam model dan strategi pembelajarannya Di samping
penyajian materi pendidikan moral di sekolah, tampaknya lebih berorientasi pada penguasaan
materi yang tercantum dalam kurikulum atau buku teks, dan kurang mengaitkan dengan isu-isu
moral esensial yang sedang terjadi dalam masyarakat, sehingga peserta didik kurang mampu
memecahkan masalah-masalah moral yang terjadi dalam masyarakat Bagi para siswa,adalah
lebih banyak untuk menghadapi ulangan atau ujian, dan terlepas dari isu-isu moral esensial
kehidupan mereka sehari-hari. Materi pelajaran PPKn dirasakah sebagai beban, dihafalkan dan
dipahami, tidak menghayati atau dirasakan secara tidak diamalkan dalam perilaku kehidupan
hari-hari.

Dalam upaya untuk meningkatkan kematangan moral dan pembentukann karakter siswa.
Secara optimal ,maka penyajian materi pendidikan moral kepada para siswa hendaknya
dilaksanakan secara terpadu kepada semua pelajaran dan dengan mengunakan strategi dan model
pembelajaran seccara terpadu, yaitu dengan melibatkan semua guru, kepala sekolah ,orang tua

21
murid, tokoh-tokoh masyarakat sekitar. Dengan demikian timbul pertanyaan,bahan kajian apa
sajakah yang diperlukan untuk merancang model pembelajaran pendidikan moral dengan
mengunakan pendekatan terpadu ?

Untuk mengembangkan strategi dan model pembelajaran pendidikan moral dengan


menggunakan pendekatan terpadu ,diperlukan adanya analisis kebutuhan (needs assessment)
siswa dalam belajar pendidikan moral. Dalam kaitan ini diperlukan adanya serangkaian kegiatan,
antara lain: (1) mengidentifikasikan isu-isu sentral yang bermuatan moral dalam masyarakat
untuk dijadikan bahan kajian dalam proses pembelajaran di kelas dengan menggunakan metode
klarifikasi nilai (2) mengidentifikasi dan menganalisis kebutuhan siswa dalam pembelajaran
pendidikan moral agar tercapai kematangan moral yang komprehensif yaitu kematangan dalam
pengetahuan moral perasaan moral,dan tindakan moral, (3) mengidentifikasi dan menganalisis
masalah-masalah dan kendala-kendala instruksional yang dihadapi oleh para guru di sekolah dan
para orang tua murid di tua murid dirumah dalam usaha membina perkembangan moral
siswa,serta berupaya memformulasikan alternatif pemecahannya, (4) mengidentifikasi dan
mengklarifikasi nilai-nilai moral yang inti dan universal yang dapat digunakan sebagai bahan
kajian dalam proses pendidikan moral, (5) mengidentifikasi sumber-sumber lain yang relevan
dengan kebutuhan belajar pendidikan moral.

Dengan memperhatikan kegiatan yang perlu dilakukan dalam proses aplikasi pendidikan
moral tersebut, kaitannya dengan kurikulum yang senantiasa berubah sesuai dengan akselerasi
politik dalam negeri, maka sebaiknya pendidikan moral juga dilakukan penngkajian ulang untuk
mengikuti competetion velocities dalam persaingan global. Bagaimanapun negeri ini
memerlukan generasi yang cerdas, bijak dan bermoral sehingga bisa menyeimbangkan
pembangunan dalam keselarasan keimanan dan kemajuan jaman. Pertanyaannya adalah siapkah
lingkungan sekolah (formal-informal), masyarakat dan keluarga untuk membangun komitmen
bersama mendukung keinginan tersebut ? Karena nasib bangsa Indonesia ini terletak dan
tergantung pada moralitas generasi mudanya.

22
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sifat hakekat manusia dan segenap
dimensinya hanya di miliki oleh manusia dan tidak terdapat pada hewan. Ciri-siri yang
khas tersebut membedakan secara principal dunia hewan dari dunia manusia adanya
hakekat tersebut memberikan tempat kedudukan pada manusia sedemikian rupa sehingga
derajat lebih tinggi dari pada hewan.
Salah satu hakekat yang istimewa adalah adanya kemampuan menghayati
kebahagiaan pada manusia. Semua sifat hakekat manusia dapat dan harus di tumbuh
kembangkan melalui pendidikan.
Berkat pendidikan maka sifat hakekat manusia dapat di tumbuhkembangkan dan
berimbang sehingga menjadi manusia yang utuh.

B. Saran
Sebagai seorang yang berpendidikan hendaknya mengetahui dahulu arti dari
manusia itu sendiri, sehingga mengetahui cara memperlakukan seorang manusia berbeda
dengan hewan karena pada hakekatnya manusia dan hewan itu berbeda, jika manusia
berakal sedangkan hewan tidak berakal.

23
DAFTAR PUSTAKA

https://www.slideshare.net/puujipuuuj/makalah-hakikat-manusia-dan-pengembangannya

https://zuwaily.blogspot.com/2013/03/pengertian-sifat-hakikat-manusia.html

http://www.habibullahurl.com/2018/04/dimensi-hakikat-manusia.html

http://fajriarifwibawa.blogspot.com/2015/04/analisis-artikel-musnahkan-berbagai.html

24

Anda mungkin juga menyukai