Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

LANDASAN KEPENDIDIKAN

“HAKIKAT MANUSIA DAN HAKIKAT PENDIDIKAN”

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Landasan Kependidikan


Dosen Pengampu Prof. Dr. DYP Sugiharto, M.Pd., Kons.

OLEH:

1. GUS MUNIR NIM. 0106518036


2. AINUN FADHILAH NIM. 0106518037

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2018
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah dengan rahmat, hidayah, dan inayah Allah SWT saya panjatkan puji
syukur kehadirat Allah SWT sehingga saya dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Landasan
Pendidikan dalam bentuk makalah dengan judul “Hakikat Manusia dan Hakikat Pendidikan“
dengan lancar dan sukses tanpa halangan suatu apapun. Ini semua berkat dorongan dan
kerjasama serta partisipasi semua pihak yang terkait, lebih-lebih saya ucapkan terima kasih
kepada :

Bapak Prof. Dr. DYP Sugiharto, M.Pd., Kons. selaku dosen mata kuliah Landasan
Pendidikan yang telah memberikan penulis penugasan berupa pembuatan makalah berkat
keramahan dan kesabaran beliau mendorong penulis untuk terus menganalisis dan menulis
tugas tersebut sesuai dengan arahan dan bimbingan beliau.

Semua anggota keluarga yang dengan do’a dan dorongannya telah membuat penulis
tetep bersemangat untuk menyelesaikan tugas tersebut. Penulis menyatakan kekagumannya
karena mereka secara tidak sadar menganggap bahwa sewajarnya penulis ini harus berhasil,
tak mungkin rasanya mereka penulis kecewakan. Semoga manfaat dan makna usaha penulis
benar-benar seimbang dengan kepentingan mereka yang sering penulis korbankan.

Bagi penulis semoga tugas makalah yang diberikan ini di terima dan menjadi
jembatan emas bagi pengembangan keilmuan penulis sekaligus memberi manfaat bagi handai
tolan yang sempat membaca makalah ini. Penulis yakin Allah SWT akan terus menolong
penulis menghasilkan makalah-makalah lain yang kebih berkualitas. Amin dan penulis
mohon maaf apabila ada kesalahan pada penyusunan dalam penulisan makalah ini.

Semarang, 27 Agustus 2018


TIM Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ………..................................................................................... i


KATA PENGANTAR …………………………………………………………….. ii
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………..... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ……………………………………………………....... 1
B. Rumusan Masalah ………………………………………….................. 2
C. Tujuan Masalah ..................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Hakikat Manusia .................. ..................................…………………….. 3
B. Hakikat Pendidikan ........................... ...................................................... 13
C. Hubungan Manusia dan Pendidikan ........................................................ 23
BAB III PENUTUP
A. Simpulan ..................................................................................................... 25
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………….. 26
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Hakikat manusia dari sisi penciptanya adalah makhluk yang sempurna karena dibekali
dengan akal dan pikiran. Maka dengan akal itulah manusia akan selalu berfikir tentang
kelangsungan hidupnya. Manusia akan selalu berupaya untuk menemukan berbagai cara
untuk menjadi lebih baik bagi dirinya maupun keturunannya, sekaligus menigkatkan kualitas
kehidupannya baik fisik maupun non fisik yang berlangsung secara alami. Hal tersebut
merupakan hakikat pendidikan secara umum.
Berbicara tentang pendidikan, berarti berbicara tentang manusia. Hal ini disebabkan
karena manusia adalah objek pendidikan dan pendidikan yang dilakukan adalah untuk
manusia. Kegiatan pendidikan merupakan kegiatan yang melibatkan manusia secara penuh,
dilakukan oleh manusia, antar manusia, dan untuk manusia.

Pendidikan bagi sebagian orang, berarti berusaha membimbing anak untuk


menyerupai orang dewasa, sebaliknya pendidikan berarti menghasilkan, menciptakan,
sekalipun tidak banyak, sekalipun suatu penciptaan dibatasi oleh pembandingan dengan
penciptaan yang lain. Menurut pemahaman yang saya ketahui pendidikan sebagai
penghubung dua sisi, disatu sisi individu yang sedang tumbuh dan disisi lain nilai sosial,
intelektual, dan moral yang menjadi tanggung jawab pendidik untuk mendorong individu
tersebut. Individu berkembang sejak lahir dan terus berkembang, perkembangan ini bersifat
kausal. Namun terdapat komponen normatif,juga karena pendidik menuntut nilai. Nilai ini
adalah norma yang berfungsi sebagai petunjuk dalam mengidentifikasi apa yang diwajibkan,
diperbolehkan, dan dilarang. Jadi, pendidikan adalah hubungan normatif antara individu dan
nilai. Pandangan tersebut memberi makna bahwa pendidikan adalah segala situasi hidup yang
mempengaruhi pertumbuhan individu sebagai pengalaman belajar yang berlangsung dalam
segala lingkungan dan sepanjang hidup. Dalam arti sempit pendidikan adalah pengajaran
yang diselenggarakan umumnya disekolah lsebagai lembaga pendidikan formal. Agar lebih
jelasnya maka penulis disini akan mendiskripsikan secara terperinci tentang hakikat manusia
dan hakikat pendidikan.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang saya sampaikan maka permasalahan yang akan di bahas
dalam makalah ini diantaranya:
1. Apa yang dimaksud dengan Hakikat Manusia ?
2. Apa yang dimaksud dengan Hakikat Pendidikan ?
3. Bagaimana hubungan manusia dengan pendidikan ?

C. TUJUAN
Adapun tujuan pembahasan dalam makalah ini antara lain:
1. Untuk mengetahui dan memahami arti dari Hakikat Manusia.
2. Untuk mengetahui dan memahami arti dari Hakikat pendidikan.
3. Untuk mendeskripsikan hubungan manusia dengan pendidikan.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Hakikat Manusia
Ada berbagai pendapat tentang manusia, tergantung pada sudut pandang masing-
masing orang. Beberapa diantaranya telah memandang manusia sebagai makhluk yang
mampu berpikir, makhluk yang memiliki akal budi, makhluk yang mampu berbahasa, dan
makhluk yang mampu membuat perangkat peralatan untuk memenuhi kebutuhan dan
mempertahankan eksistensinya dalam kehidupan. Manusia adalah makhluk bertanya yang
selalu ingin tahu tentang berbagai hal. Tidak hanya ingin mengetahui tentang segala sesuatu
yang ada di luar dirinya, manusia juga berusaha mencari tahu tentang siapa dirinya sendiri.
Dalam kehidupannya yang nyata, manusia mempunyai banyak sekali perbedaan, baik
tampilan fisik, strata sosial, kebiasaan maupun pengetahuannya. Tetapi, dibalik perbedaan itu
terdapat satu hal yang menunjukkan kesamaan di antara semua manusia, yaitu semua
manusia adalah manusia. Berbagai kesamaan yang menjadi karakteristik esensial dari setiap
manusia itulah yang kemudian disebut hakikat manusia. Atau dengan kata lain hakikat
manusia adalah seperangkat gagasan tentang “sesuatu yang olehnya” manusia menjadi apa
yang terwujud, “sesuatu yang olehnya”manusia memiliki karakteristik yang khas, “sesuatu
yang olehnya” ia merupakan sebuah nilai yang unik, yang memiliki sesuatu martabat khusus
(Wahyudin, 2008: 1.4).

Beberapa pandangan secara rinci mengenai hakikat manusia (Sardiman, 2007:105-109):


1. Pandangan Psikoanalitik
Dalam pandangan psikoanalitik diyakini bahwa pada hakikatnya manusia
digerakkan oleh dorongan-dorongan dari dalam dirinya yang bersifat instingtif. Hal
ini menyebabkan tingkah laku seorang manusia diatur dan dikontrol oleh kekuatan
psikologis yang memang ada dalam diri manusia. Terkait hal ini diri manusia tidak
memegang kendali atau tidak menentukan atas nasibnya seseorang tapi tingkah laku
seseorang itu semata-mata diarahkan untuk mememuaskan kebuTuhan dan insting
biologisnya.
2. Pandangan Humanistik
Para humanis menyatakan bahwa manusia memiliki dorongan-dorongan dari
dalam dirinya untuk mengarahkan dirinya mencapai tujuan yang positif. Mereka
menganggap manusia itu rasional dan dapat menentukan nasibnya sendiri. Hal ini
membuat manusia itu terus berubah dan berkembang untuk menjadi pribadi yang
lebih baik dan lebih sempurna. Manusia dapat pula menjadi anggota kelompok
masyarakat dengan tingkah laku yang baik. Mereka juga mengatakan selain adanya
dorongan-dorongan tersebut, manusia dalam hidupnya juga digerakkan oleh rasa
tanggung jawab sosial dan keinginan mendapatkan sesuatu. Dalam hal ini manusia
dianggap sebagai makhluk individu dan juga sebagai makhluk sosial.
3. Pandangan Martin Buber
Martin Buber mengatakan bahwa pada hakikatnya manusia tidak bisa disebut
‘ini’ atau ‘itu’. Menurutnya manusia adalah sebuah eksistensi atau keberadaan yang
memiliki potensi namun dibatasi oleh kesemestaan alam. Namun keterbatasan ini
hanya bersifat faktual bukan esensial sehingga apa yang akan dilakukannya tidak
dapat diprediksi. Dalam pandangan ini manusia berpotensi utuk menjadi ‘baik’ atau
‘jahat’, tergantung kecenderungan mana yang lebih besar dalam diri manusia. Hal ini
memungkinkan manusia yang ‘baik’ kadang-kadang juga melakukan ‘kesalahan’.
4. Pandangan Behavioristik
Pada dasarnya kelompok Behavioristik menganggap manusia sebagai makhluk
yang reaktif dan tingkah lakunya dikendalikan oleh faktor-faktor dari luar dirinya,
yaitu lingkungannya. Lingkungan merupakan faktor dominan yang mengikat
hubungan individu. Hubungan ini diatur oleh hukum-hukum belajar, seperti adanya
teori conditioning atau teori pembiasaan dan keteladanan. Mereka juga meyakini
bahwa baik dan buruk itu adalah karena pengaruh lingkungan.
Dari uraian di atas bisa diambil beberapa kesimpulan yaitu (Sardiman, 2007:110);
a. Manusia pada dasarnya memiliki tenaga dalam yang dapat menggerakkan
hidupnya.
b. Dalam diri manusia ada fungsi yang bersifat rasional yang bertanggung jawab atas
tingkah laku intelektual dan sosial individu.
c. Manusia pada hakikatnya dalam proses ‘menjadi’, dan terus berkembang.
d. Manusia mampu mengarahkan dirinya ke tujuan yang positif, mampu mengatur
dan mengendalikan dirinya dan mampu menentukan nasibnya sendiri.
e. Dalam dinamika kehidupan individu selalu melibatkan dirinya dalam usaha untuk
mewujudkan dirinya sendiri, membantu orang lain, dan membuat dunia menjadi
lebih baik.
f. Manusia merupakan suatu keberadaan yang berpotensi yang perwujudannya
merupakan ketakterdugaan. Namun potensi itu bersifat terbatas.
g. Manusia adalah makhluk Tuhan, yang yang kemungkinan menjadi ‘baik’ atau
‘buruk’.
h. Lingkungan adalah penentu tingkah laku manusia dan tingkah laku itu merupakan
kemampuan yang dipelajari.

Beberapa pandangan lain tentang hakikat manusia adalah (Desmita, 2007:29):


1. Pandangan Mekanistik
Dalam pandangan mekanistik semua benda yang ada di dunia ini termasuk makhluk
hidup dipandang sebagai sebagai mesin, dan semua proses termasuk proses psikologi pada
akhirnya dapat diredusir menjadi proses fisik dan kimiawi. Lock dan Hume, berdasarkan
asumsi ini memandang manusia sebagai robot yang pasif yang digerakkan oleh daya dari luar
dirinya. Menurut penulis pendapat ini seperti menafikan keberadaan potensi diri manusia
sehingga manusia hanya bisa diaktivasi oleh kekuatan yang ada dari luar dirinya.
2. Pandangan Organismik
Pandangan organismik menganggap manusia sebagai suatu keseluruhan (gestalt), yang
lebih dari pada hanya penjumlahan dari bagian-bagian. Dalam pandangan ini dunia dianggap
sebagai sistem yang hidup seperti halnya tumbuhan dan binatang. Organismik menyatakan
bahwa pada hakikatnya manusia bersifat aktif, keuTuhan yang terorganisasi dan selalu
berubah. Manusia menjadi sesuatu karena hasil dari apa yang dilakukannya sendiri, karena
hasil mempelajari. Menurut penulis pandangan ini mengakui adanya kemampuan aktualisasi
diri manusia melalui pengembangan potensi-potensi yang telah ada pada diri manusia.
3. Pandangan Kontekstual
Dalam pandangan kontekstual manusia hanya dapat dipahami dalam konteksnya.
Manusia tidak independent, melainkan merupakan bagian dari lingkungannya. Manusia
adalah individu yang aktif dan organisme sosial. Untuk bisa memahami manusia maka
pandangan ini megharuskan mengenal perkembangan manusia secara utuh seperti
memperhatihan gejala-gejala fisik, psikis, dan juga lingkungannya, serta peristiwa-peristiwa
budaya dan historis.

Manusia menurut pandangan Islam ada beberapa dimensi manusia yaitu (Desmita,
2007:18-31)
1) Manusia Sebagai Hamba Allah (Abd Allah)
Sebagai hamba Allah, manusia wajib mengabdi dan taat kepada Allah selaku
Pencipta karena adalah hak Allah untuk disembah dan tidak disekutukan (Khasinah,
2013: 302). Bentuk pengabdian manusia sebagai hamba Allah tidak terbatas hanya
pada ucapan dan perbuatan saja, melainkan juga harus dengan keikhlasan hati, seperti
yang diperintahkan dalam surah Bayyinah: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali
supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam
menjalankan agama yang lurus …,” (QS:98:5). Dalam surah adz- Dzariyat Allah
menjelaskan: “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka
menyembah Aku.” (QS51:56).
Dengan demikian manusia sebagai hamba Allah akan menjadi manusia yang
taat, patuh dan mampu melakoni perannya sebagai hamba yang hanya mengharapkan
ridha Allah.
2) Manusia Sebagai al-Nas
Manusia, di dalam al- Qur’an juga disebut dengan al- nas. Konsep al- nas ini
cenderung mengacu pada status manusia dalam kaitannya dengan lingkungan
masyarakat di sekitarnya. Berdasarkan fitrahnya manusia memang makhluk sosial.
Dalam hidupnya manusia membutuhkan pasangan, dan memang diciptakan
berpasang-pasangan seperti dijelaskan dalam surah an- Nisa’, “Hai sekalian manusia,
bertaqwalaha kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan
dari padanya Allah menciptakan istirinya, dan dari pada keduanya Alah
memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah
kepada Allah dengan (mempergunakan) namanya kamu saling meminta satu sama
lain dan peliharalah hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
mengawasi kamu.” (QS:4:1).
Selanjutnya dalam surah al- Hujurat dijelaskan: “Hai manusia sesungguhnya
Kami menciptakan kamu dari seorng laki-laki dan seorang perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-
mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu disisi Allah adalah yang
paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal.” (QS: 49:13).
Dari dalil di atas bisa dijelaskan bahwa manusia adalah makhluk sosial, yang
dalam hidupnya membutuhkan manusia dan hal lain di luar dirinya untuk
mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya agar dapat menjadi bagian dari
lingkungan soisal dan masyarakatnya.
3) Manusia Sebagai khalifah Allah
Hakikat manusia sebagai khalifah Allah di bumi dijelaskan dalam surah al
Baqarah ayat 30: “Ingatlah ketika Tuhan-mu berfirman kepada para malaikat:
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi .” Mereka
berkata: ”Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang
akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa
bertasbih dengan memuji engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman:
“Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang kamu tidak ketahui.” (QS:2: 30), dan surah
Shad ayat 26, “Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (peguasa)
di muka bumi, maka berilah keputusan di antara manusia dengan adil dan janganlah
kamu mengikuti hawa nafsu. Karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. …”
(QS:38:26).
Dari kedua ayat di atas dapat dijelaskan bahwa sebutan khalifah itu merupakan
anugerah dari Allah kepada manusia, dan selanjutnya manusia diberikan beban untuk
menjalankan fungsi khalifah tersebut sebagai amanah yang harus
dipertanggungjawabkan. Sebagai khalifah di bumi manusia mempunyai wewenang
untuk memanfaatkan alam (bumi) ini untuk memenuhi Kebutuhan hidupnya sekaligus
bertanggung jawab terhadap kelestarian alam ini. seperti dijelaskan dalam surah al-
Jumu’ah, “Maka apabila telah selesai shalat, hendaklah kamu bertebaran di muka
bumi ini dan carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu
beruntung.” (QS: 62: 10), selanjutnya dalam surah AlBaqarah disebutkan: “Makan
dan minumlah kamu dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu, dan janganlah
kamu berbuat bencana di atas bumi.” (QS: 2 : 60).
4) Manusia Sebagai Bani Adam
Sebutan manusia sebagai bani Adam merujuk kepada berbagai keterangan
dalam al- Qur’an yang menjelaskan bahwa manusia adalah keturunan Adam dan
bukan berasal dari hasil evolusi dari makhluk lain seperti yang dikemukakan oleh
Charles Darwin. Konsep bani Adam mengacu pada penghormatan kepada nilainilai
kemanusiaan. Konsep ini menitikbertakan pembinaan hubungan persaudaraan antar
sesama manusia dan menyatakan bahwa semua manusia berasal dari keturunan yang
sama. Dengan demikian manusia dengan latar belakang sosia kultural, agama, bangsa
dan bahasa yang berbeda tetaplah bernilai sama, dan harus diperlakukan dengan sama.
Dalam surah al- A’raf dijelaskan: “Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah
menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk
perhiasan. Dan pakaian taqwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah
sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, semoga mereka selalu ingat. Hai anak
Adam janganlah kamu ditipu oleh syaitan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua
ibu bapamu dari surga, …” (QS : 7; 26-27).
5) Manusia Sebagai al- Insan
Manusia disebut al- insan dalam al- Qur’an mengacu pada potensi yang
diberikan Tuhan kepadanya. Potensi antara lain adalah kemampuan berbicara
(QS:55:4), kemampuan menguasai ilmu pengetahuan melalui proses tertentu (QS:6:4-
5), dan lain-lain. Namun selain memiliki potensi positif ini, manusia sebagai al- insan
juga mempunyai kecenderungan berprilaku negatif (lupa). Misalnya dijelaskan dalam
surah Hud: “Dan jika Kami rasakan kepada manusia suatu rahmat, kemudian rahmat
itu kami cabut dari padanya, pastilah ia menjadi putus asa lagi tidak berterima
kasih.” (QS: 11:9).
6) Manusia Sebagai Makhluk Biologis (al- Basyar)
Hasan Langgulung mengatakan bahwa sebagai makhluk biologis manusia terdiri
atas unsur materi, sehingga memiliki bentuk fisik berupa tubuh kasar (ragawi).
Dengan kata lain manusia adalah makhluk jasmaniah yang secara umum terikat
kepada kaedah umum makhluk biologis seperti berkembang biak, mengalami fase
pertumbuhan dan perkembangan, serta memerlukan makanan untuk hidup, dan pada
akhirnya mengalami kematian. Dalam al- Qur’an surah al Mu’minūn dijelaskan:
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari sari pati tanah. Lalu Kami
jadikan saripati itu air mani yang disimpan dalam tempat yang kokoh (rahim).
Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu menjadi segumpal daging,
dan segumpal daging itu kemudian Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang
belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk
berbentuk lain, maka Maha Sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.”(QS: 23: 12-
14).
1. Hakikat Manusia dari Dimensi Pendidikan
Menurut Wahyudin (2008: 1.6) ada beberapa aspek hakikat manusia antara lain
berkenaan dengan asal-usulnya (contoh: manusia sebagai makhluk Tuhan), struktur
metafisiknya (contoh: manusia sebagai kesatuan badan-ruh), serta karakteristik dan makna
eksistensi manusia di dunia (contoh: manusia sebagai makhluk individual, sebagai makhluk
sosial, sebagai makhluk berbudaya, sebagai makhluk susila, dan sebagai makhluk beragama).
1) Manusia sebagai makhluk Tuhan
Manusia adalah subjek kesadaran dan penyadaran diri. Oleh karena itu manusia
adalah subjek yang menyadari keberadaannya, ia mampu membedakan dirinya dengan
segala sesuatu yang ada diluar dirinya (objek). Terdapat dua pandangan filsafat yang
berbeda tentang asal-usul alam semesta dan manusia, yaitu Evolusionisme dan
Kreasionisme. Menurut Evolusionisme, alam semesta dan manusia ada dengan
sendirinya tanpa ada yang menciptakan, alam semesta dan manusia berkembang dari
alam itu sendiri sebagai hasil evolusi. Sebaliknya Kreasionisme menyatakan bahwa
adanya alam semesta dan manusia ini adalah hasil ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
2) Manusia sebagai kesatuan badan-roh
Berkenaan dengan struktur metafisiknya manusia adalah kesatuan badani-
rohani yang tak dapat dibagi, serta memiliki perbedaan dan subjektivitas, karena itu
manusia disebut makhluk individual. Terdapat empat paham atas permasalahan
manusia sebagai kesatuan badan-roh, yaitu materialisme, idealisme, dualisme, dan
paham yang menyatakan bahwa manusia adalah kesatuan badan-ruh.
Menurut paham materialisme yang esensial dari manusia adalah badannya,
bukan jiwa atau rohnya. Sedangkan paham idealisme mengungkapkan bahwa yang
esensial dari manusia adalah rohnya atau jiwanya, bukan badannya. Sementara itu
paham dualisme mengemukakan bahwa manusia terdiri dari dua substansi yaitu
badan dan jiwa, namun tidak terdapat hubungan saling mempengaruhi antara
keduanya.Paham keempat menyatakan bahwa manusia adalah kesatuan dari hal yang
bersifat badani dan rohani yang pada hakikatnyaberbeda dengan tumbuhan, hewan
maupun material. Dari penegasan ini, jelaslah bahwa manusia itu adalah kesatuan
badani-rohani.
3) Manusia sebagai makhluk individu
Kesadaran manusia akan dirinya sendiri merupakan perwujudan individualitas
manusia. Manusia sebagai individu atau sebagai pribadi merupakan kenyataan yang
paling riil dalam kesadaran manusia. Sebagai individu, setiap manusia menpunyai
perbedaan yang unik dan khas karena tidak ada manusia yang sama persis. Walaupun
ada yang mirip, belum tentu sifatnya sama.
4) Manusia sebagai makhluk sosial
Manusia adalah makhluk yang harus hidup bermasyarakat untuk kelangsungan
hidupnya, baik yang menyangkut pengembangan pikiran, perasaan dan tindakannya
serta agar dapat mengembangkan sifat-sifat kemanusiaan dalam lingkungan manusia.
5) Manusia sebagai makhluk berbudaya
Manusia memiliki inisiatif dan kreatif dalam menciptakan kebudayaan, hidup
berbudaya, dan membudaya. Kebudayaan hakikatnya meliputi perbuatan manusia itu
sendiri.
6) Manusia sebagai makhluk susila
Manusia merasa bahwa didalam jiwanya ada suatu kekuatan yang
memperingatkan perbuatan buruk dan usaha mencegah dari perbuatan itu. Manusia
pada umumnya mengetahui ada baik dan ada buruk. Pengetahuan bahwa ada baik dan
ada buruk itu disebabkan kesadaran kesusilaan.
7) Manusia sebagai makhluk beragama

Aspek keagamaan merupakan salah satu karakteristik esensial eksistensi


manusia yang terungkap dalam bentuk pengakuan atau keyakinan akan kebenaran
suatu agama yang diwujudkan dalam sikap dan perilaku.

Menurut Tirtahardja dan La Sulo (2010: 17) ada empat macam dimensi dalam hakikat
manusia, yaitu:
1) Dimensi keindividualan
Setiap anak manusia yang dilahirkan telah dikaruniai potensi untuk menjadi
berbeda dari yang lain atau menjadi dirinya sindiri. Inilah sifat individualitas.
Karena adanya individualitas itu setiap orang mempunyai kehendak, perasaan, cita-
cita, kecenderungan, semangat dan daya tahan yang berbeda-beda. Setiap manusia
memiliki kepribadian unik yang tidak dimiliki oleh orang lain.
2) Dimensi kesosialan
Dalam kehidupan sehari-hari manusia selalu berinteraksi dan berkomunikasi
dengan sesamanya. Manusia hanya menjadi menusia jika berada diantara manusia.
Tidak ada seorangpun yang dapat hidup seorang diri lengkap dengan sifat hakikat
kemanusiaannya di tempat yang terasing. Sebab seseorang hanya dapat
mengembangkan sifat individualitasnya di dalam pergaulan sosial. Seseorang dapat
mengembangkan kegemarannya, sikapnya, cita-citanya di dalam interaksi dengan
sesamanya.
3) Dimensi kesusialaan
Kesusilaan adalah kepantasan dan kebaikan yang lebih tinggi. Manusia itu
dikatakan sebagai makhluk susila. Drijarkoro mengartikan manusia susila sebagai
manusia yang memiliki nilai-nilai, menghayati, dan melaksanakan nilai-nilai
tersebut dalam perbuatan. Agar manusia dapat melakukan apa yang semestinya
harus dilakukan, maka dia harus mengetahui, menyadari dan memahami nilai-nilai.
Kemudian diikuti dengan kemauan atau kesanggupan untuk melaksanakan nilai-
nilai tersebut.
4) Dimensi keberagamaan

Pada hakikatnya manusia adalah makhluk religius yang mempercayai adanya


kekuatan yang menguasai alam semesta ini. Dengan adanya agama yang
diturunkan oleh Tuhan Yang Maha Esamanusia pun menganut agama
tersebut.Beragama merupakan kebutuhan manusia karena manusia adalah makhluk
yang lemah sehingga memerlukan tempat bertopang. Manusia memerlukan agama
demi keselamatan hidupnya.

2. Wujud dan Sifat Manusia


Beberapa wujud hakikat manusia yang dijelaskan di bawah ini akan memberikan
gambaran yang jelas bahwa manusia berbeda dengan hewan. Wujud sifat hakikat manusia ini
merupakan karakteristik yang hanya dimiliki oleh manusia. Faham eksistensialisme
mengemukakan bahwa karakteristik manusia tersebut seharusnya menjadi bahan
pertimbangan dalam menetapkan dan membenahi arah dan tujuan pendidikan. Umar Tirta
Raharja dan La Sulo mengatakan di antara wujud sifat hakikat manusia adalah sebagai
berikut (Umar Tirta dan La Sulo dalam Khasinah, 2013: 305) :
1) Kemampuan Menyadari Diri Melalui
kemampuan ini manusia betul-betul mampu menyadari bahwa dirinya memiliki
ciri yang khas atau karakteristi diri. Kemampuan ini membuat manusia bisa
beradaptasi dengan lingkungannya baik itu limgkungan berupa individu lainnya selain
dirinya, maupun lingkungan nonpribadi atau benda. Kemampuan ini juga membuat
manusia mampu mengeksplorasi potensi-potensi yang ada dalam dirinya melalui
pendidikan untuk mencapai kesempurnaan diri. Kemampuan menyadari diri ini pula
yang membuat manusia mampu mengembangkan aspek sosialitas di luar dirinya
sekaligus pengembangan aspek individualitas di dalam dirinya.
2) Kemampuan Bereksistensi
Melalui kemampuan ini manusia menyadari bahwa dirinya memang ada dan
eksis dengan sebenarnya. Dalam hal ini manusia punya kebebasan dalam ke
‘beradaan’ nya. Berbeda dengan hewan di kandang atau tumbuhan di kebun yang ‘ada’
tapi tidak menyadari ‘keberadaan’ nya sehingga mereka menjadi onderdil dari
lingkungannya. Sementara itu manusia mampu menjadi manajer bagi lingkungannya.
Kemampuan ini juga perlu dibina melalui pendidikan. Manusia perlu diajarkan belajar
dari pengalaman hidupnya, agar mampu mengatasi masalah dalam hidupnya dan siap
menyambut masa depannya.
3) Pemilikan Kata Hati
Yang dimaksud dengan kata hati di sini adalah hati nurani. Kata hati akan
melahirkan kemampuan untuk membedakan kebaikan dan keburukan. Orang yang
memiliki hati nurani yang tajam akan memiliki kecerdasan akal budi sehingga mampu
membuat keputusan yang benar atau yang salah. Kecerdasan hati nurani inipun bisa
dilatih melalui pendidikan sehingga hati yang tumpul menjadi tajam. Hal ini penting
karena kata hati merupakan petunjuk bagi moral dan perbuatan.
4) Moral dan Aturan
Moral sering juga disebut etika, yang merupakan perbuatan yang merupakan
wujud dari kata hati. Namun, untuk mewujudkan kata hati dengan perbuatan
dibutuhkan kemauan. Artinya tidak selalu orang yang punya kata hati yang baik atau
kecerdasan akal juga memiliki moral atau keberanian berbuat. Maka seseorang akan
bisa disebut memiliki moral yang baik atau tinggi apabila ia mampu mewujudkanya
dalam bentuk perbuatan yang sesuai dengan nilai-nilai moral tersebut.
5) Kemampuan Bertanggung Jawab
Karakteristik manusia yang lainnya adalah memiliki rasa tanggung jawab, baik
itu tanggung jawab kepada Tuhan, masyarakat ataupu pada dirinya sendiri. Tanggung
jawab kepada diri sendiri terkait dengan pelaksanaan kata hati. Tanggung jawab
kepada masyarakat terkait dengan norma- norma sosial, dan tanggung jawab kepada
Tuhan berkaitan erat dengan penegakan norma-norma agama. Dengan kata lain kata
hati merupakan tuntunan, moral melakukan perbuatan,dan tanggung jawab adalah
kemauan dan kesediaan menanggung segala akibat dari perbuatan yang telah
dilakukan.
6) Rasa Kebebasan (Kemerdekaan)
Kebebasan yang dimaksud di sini adalah rasa bebas yang harus sesuai dengan
kodrat manusia. Artinya ada aturan-aturan yang tetap mengikat, sehingga kebebasan
ini tidak mengusik rasa kebebasan manusia lainnya. Manusia bebas berbuat selama
perbuatan itu tetap sesuai denga kata hati yang baik maupun moral atau etika.
Kebebasan yang melanggar aturan akan berhadapan dengan tanggung jawab dan
sanksi-sanksi yang mengikutinya yang pada akhirnya justru tidak memberikan
kebebasan bagi manusia.
7) Kesediaan Melaksanakan Kewajiban dan Menyadari Hak
Idealnya ada hak ada kewajiban. Hak baru dapat diperoleh setelah pemenuhan
kewajiban, bukan sebaliknya. Pada kenyataanya hak dianggap sebagai sebuah
kesenangan, sementara kewajiban dianggap sebagi beban. Padahal manusia baru bisa
mempunyai rasa kebebasan apabila ia telah melaksanakan kewajibannya dengan baik
dan mendapatkan haknya secara adil. Kesediaan melaksanakan kewajiban dan
menyadari hak ini haru dilate melalui proses pendidikan disiplin. Sebagaimana dikutip
oleh Umar dan La Sulo, Selo Soemarjan menyatakan bahwa perlu ditanamkan empat
macam pendidikan disiplin untuk membentuk karakter yang memahami kewajiban
dan memahami hak-haknya. a) disiplin rasional yang bila dilanggar akan melahirkan
rasa bersalah. b) disiplin sosial, yang bila dilanggar akam menyebabkan rasa malu. c)
disiplin afektif, yang bila dilanggar akan melahirkan rasa gelisah dan d) disiplin
agama, yang bila dilanggar akan menimbulkan rasa bersalah dan berdosa.
8) Kemampuan Menghayati Kebahagian
Kebahagian bisa diartikan sebagai kumpulan dari rasa gembira, senang, nikmat
yang dialami oleh manusia. Secara umum orang berpendapat bahwa kebahagiaan itu
lebih pada rasa bukan pikiran. Padahal tidak selamanya demikian, karena selain
perasaan, aspek-aspek kepribadian lainnya akal pikiran juga mempengaruhi
kebahagian seseorang. Misalnya, orang yang sedang mengalami stress tidak akan
dapat menghayati kebahagian secara utuh. Dari contoh ini jelas, bahwa kemampuan
menghayati kebahagiaan dipengaruhi juga oleh aspek nalar di samping aspek rasa.
Untuk mendapatkan kebahagiaan seseorang harus berusaha. Usaha-usaha tersebut
harus berlandaskan norma-norma atau kaidah-kaidah yang ada. Namun usaha-usaha
yang dilakukan itu akan terkait erat dengan takdir Tuhan. Sehingga rasa menerima dan
syukur akan mempengaruhi kemampuan manusia dalam menghayati kebahagian.
Dalam hal ini, pendidikan agama menjadi modal utama untuk dapat menghayati
kebahagian.

B. HAKIKAT PENDIDIKAN

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, pendidikan berasal dari kata dasar “didik”
(mendidik), yaitu memelihara dan memberi latihan (ajaran pimpinan) mengenai akhlak dan
kecerdasan pikiran.
Berdasarkan undang-undang Sisdiknas No.20 tahun 2003 Bab I, bahwa pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Hakikat pendidikan adalah suatu proses menumbuh kembangkan eksistensi peserta
didik yang memasyarakat, membudaya, dalam tata kehidupan yang berdimensi lokal,
nasional dan global.
Redja Mudyaharjo, dalam bukunya Pengantar Pendidikan ”Sebuah Studi Awal
Tentang Dasar-dasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia” menyatakan
tentang asumsi pokok pendidikan yaitu :
1. Pendidikan adalah actual, artinya pendidikan bermula dari kondisi-kondisi actual dari
individu yang belajar dan lingkungan belajarnya.
2. Pendidikan adalah formatif, artinya pendidikan tertuju pada mencapai hal-hal yang baik
atau norma-norma yang baik.
3. Pendidikan adalah suatu proses pencapaian tujuan, artinya berupa serangkaian kegiatan
yang bermula dari kondisi-kondisi actual dari individu yang belajar, tertuju pada
pencapaian individu yang diharapkan.

Pembahasan tentang hakikat pendidikan diartikan sebagai kupasan secara konseptual


terhadap kenyataan-kenyataan kehidupan manusia baik disadari maupun tidak disadari,
manusia telah melaksanakan pendidikan mulai dari keberadaan manusia pada zaman primitif
sampai zaman modern (masa kini), bahkan selama masih ada kehidupan manusia didunia
pendidikan akan tetap berlangsung (Syaifullah,1981).
Melalui penerapan pendekatan humanistik maka pendidikan ini benar-benar akan
merupakan upaya bantuan bagi anak untuk menggali dan mengembangkan potensi diri serta
dunia kehidupan dari segala liku dan seginya. Menurut Ki Hadjar Dewantara terdapat lima
asas dalam pendidikan yaitu :
1. Asas kemerdekaan; Memberikan kemerdekaan kepada anak didik, tetapi bukan
kebebasan yang leluasa, terbuka (semau gue), melainkan kebebasan yang dituntun
oleh kodrat alam, baik dalam kehidupan individu maupun sebagai anggota
masyarakat.
2. Asas kodrat Alam; Pada dasarnya manusia itu sebagai makhluk yang menjadi satu
dengan kodrat alam, tidak dapat lepas dari aturan main (Sunatullah), tiap orang diberi
keleluasaan, dibiarkan, dibimbing untuk berkembang secara wajar menurut kodratnya.
3. Asas kebudayaan; Berakar dari kebudayaan bangsa, namun mengikuti kebudyaan luar
yang telah maju sesuai dengan jaman. Kemajuan dunia terus diikuti, namun
kebudayaan sendiri tetap menjadi acauan utama (jati diri).
4. Asas kebangsaan; Membina kesatuan kebangsaan, perasaan satu dalam suka dan
duka, perjuangan bangsa, dengan tetap menghargai bangsa lain, menciptakan
keserasian dengan bangsa lain.
5. Asas kemanusiaan; Mendidik anak menjadi manusia yang manusiawi sesuai dengan
kodratnya sebagai makhluk Tuhan.
Menurut Tilaar (2000 : 16) ada tiga hal yang perlu di kaji kembali dalam pendidikan.
Pertama, pendidikan tidak dapat dibatasi hanya sebagai schooling belaka. Rumusan mengenai
pendidikan dan kurikulumnya yang hanya membedakan antara pendidikan formal dan non
formal perlu disempurnakan lagi dengan menempatkan pendidikan informal yang justru akan
semakin memegang peranan penting didalam pembentukan tingkah laku manusia dalam
kehidupan global yang terbuka. Kedua, pendidikan bukan hanya untuk mengembangkan
intelegensi akademik peserta didik. Ketiga, pendidikan ternyata bukan hanya membuat
manusia pintar tetapi yang lebih penting ialah manusia yang berbudaya dan menyadari
hakikat tujuan penciptaannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Sindhunata (2000 : 14) bahwa
tujuan pendidikan bukan hanya manusia yang terpelajar tetapi manusia yang berbudaya
(educated and Civized human being).
Peletakan dasar bahwa manusia sebagai makhluk budaya merupakan suatu pengakuan
hanya manusialah yang berhak disebut sebagai makhluk berbudaya, karena hanya manusialah
yang mampu menciptakan nilai-nilai kebudayaan dan sekaligus membedakan antara manusia
dengan makhkluk lainnya di dunia ini. Asas perkembangan pendidikan sejajar dengan
perkembangan kebudayaan menunjukkan bahwa pendidikan selalu dalam keadaan berubah
sesuai perkembangan kebudayaan. Kesejajaran perkembangan pendidikan dan kebudayaan
ini, mengharuskan adanya dua sifat yang harus dimiliki pendidikan yaitu bersifat reflektif dan
progresif.
Pengakuan manusia sebagai makhluk budaya memiliki kesamaan pandangan dengan
pernyataan yang menyatakan manusia sebagai makhluk yang dapat dididik (animal
educable), makhluk yang harus dididik (animal educandum) dan makhluk yang aktif (animal
educandus).
Aktifitas pendidikan berlangsung baik secara formal maupun informal. Baik
pendidikan yang formal maupun informal memiliki kesamaan tujuan yaitu sesuai dengan
filsafat hidup dari masyarakat. Pengakuan akan pendidikan sebagai gejala kebudayaan tidak
membedakan adanya pendidikan informal dan formal, semuanya merupakan aktifitas
pendidikan yang seharusnya memiliki tujuan yang sama. Mendasarkan pada uraian diatas
maka pembahasan tentang hakikat pendidikan merupakan tinjauan yang menyeluruh dari segi
kehidupan manusia yang menampakkan konsep-konsep pendidikan. Karena itu pembahasan
hakikat pendidikan meliputi pengertian-pengertian:
1) Pendidikan dan ilmu pendidikan
2) Pendidikan dan sekolah
3) Pendidikan sebagai aktifitas sepanjang hayat.
4) Komponen-komponen pendidikan
1. Pendidikan dan Ilmu Pendidikan

Pemahaman terhadap konsep pendidikan setidaknya berorientasi pada dua aktifitas utama
yaitu pendidikan sebagai tindakan manusia sebagai usaha membimbing manusia yang lain
(educational practice), dengan pendidikan sebagai ilmu pendidikan (educational thought).
Pendidikan sebagai suatu tindakan sudah berlangsung lama sebelum orang berfikir tentang
bagaimana mendidik. Bahkan dapat dikatakan pendidikan dalam artian ini sudah ada sejak
leberadaan manusia di dunia ini, sedangkan pendidikan sebagai ilmu baru lahir kira-kira pada
abad 19.
Dua pengertian tersebut oleh prof. Gununing dibedakan dengan dua peristilahan,
yaitu Paedagogie untuk pendidikan dalam artian praktik dan Paedagogiek untuk ilmu
pendidikan atau yang berhubungan dengan teori pendidikan yang mengutamakan perenungan
atau pemikiran ilmiah (Siwarno 1982).
Dari tinjauan sejarah pendidikan kelahiran ilmu pendidikan diawali dengan lahirnya
tokoh-tokoh pemikir dalam bidang pendidikan. Pada abad 18 lahirlah tokoh-tokoh seperti J. A
Comeniu, John Locke, Jean Jaques Rousseau, Immanuelkant dan J. J Pestalozzi. Sedangkan
tokoh-tokoh pendidikan abad 19 hingga awal abad 20 diantaranya adalah Herbart, Frobel,
Montessori, John Dewey dan lain-lain. Bermula dari pemikir-pemikir tersebut maka ilmu
pendidikan terus berkembang hingga saat ini.
Ilmu pendidikan atau Paedagogiek adalah teori pendidikan perenungan tentang
pendidikan dalam arti yang luas. Ilmu pendidikan adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari
soal-soal yang timbul dalam praktik pendidikan (Brojonegoro, 1986). Ilmu pendidikan telah
berkembang dan memenuhi persyaratan sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri. Ilmu
pengetahuan dapat berdiri sendiri apabila telah memenuhi persyaratan yaitu:
1) Memiliki objek sendiri,
Ilmu pendidikan memiliki objek yang menjadi lapangan penyelidikannya yang terdiri
dari objek forma dan objek materi. Objek forma adalah lapangan atau bahan
penyelidikan suatu ilmu, sedangkan objek materi adalah sudut tinjauan dari suatu ilmu.
Objek materi dari ilmu pendidikan adalah manusia,sedang objek formanya adalah
kegiatan manusia membimbing perkembangan manusia untuk mencapai tujuan tertentu.
Ilmu pendidikan dimungkinkan memiliki objek materi yang sama dengan ilmu
pengetahuan lainnya namun berbeda dalam objek formanya. Dari objek forma inilah
ditemukan permasalahan pendidikan, yang menjadi bahasan suatu ilmu yang disebut
ilmu pendidikan.
2) Methode penelitian ilmu pendidikan,
Ilmu pendidikan sebagai ilmu pengetahuan memiliki metode penelitian yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Metode tersebut mencakup metode untuk
mengumpulkan data maupun metode untuk mengolah data. Metode pengumpulan data
dapat dilakukan melalui observasi, tes, interview, angket dan lain-lain. Metode untuk
menganalisis data dapat menggunakan data analisis statistik maupun non statistik.
Metode berfikir yang digunakan menganalisis dapat menggunakan metode induktif
ataupun deduktif.
3) Sistematika dalam ilmu pendidikan,
Sistem adalah susunan persoalan-persoalan yang teratur, sehingga merupakan suatu
kesatuan yang organis, sehingga antara satu dengan lainnya saling berhubungan dan tidak
dapat terpisahkan. Ilmu pendidikan memiliki persoalan-persoalan yang tersusun secara
sistematis sehingga merupakan suatu kesatuan yang saling terkait. Terdapat berbagai
variasi dalam komponen sistem pendidikan, namun ada beberapa hal yang selalu ada
dalam sistem tersebut adalah (1) tujuan pendidikan, (2) pendidik, (3) peserta didik,
(4)interaksi pendidikan, dan(5) lingkungan pendidikan.
4) Tujuan ilmu pendidikan,
Dalam pengembangan ilmu pendidikan memiliki dua tujuan yang ingin dicapai yaitu
untuk pengembangan suatu ilmu, yang berorientasi pada kebenaran suatu ilmu itu
sendiri. Dengan cara ini akan menghasilkan ilmu teoritis murni yang tidak menghiraukan
kegunaannya dalam praktik. Di samping tujuan tersebut ilmu pendidikan
mengembangkan ilmu yang selanjutnya dapat digunakan dalam praktik pendidikan
sehari-hari. Hal yang demikian ini sering disebut dengan ilmu bersifat praktis. Artinya
teori yang ditemukan harus berorientasi pada praktik, atau dapat dipraktikan.
2. Pendidikan dan Sekolah
Dua istilah yang sering dikaburkan, kalau tidak dipertentangkan adalah
pendidikan dan sekolah (education Vs schooling). Pendidikan dan sekolah dua konsep yang
sulit untuk dipisahkan, karena pada umumnya manusia tidak memandang perbedaan
keduanya. Sebagian besar manusia memandang keduanya merupakan konsep yang
berkesinambungan.
Satu hal yang perlu dipahami bahwa sekolah merupakan bagian dari pendidikan, yang
memiliki peranan penting. Sekolah memiliki kedudukan penting karena sekolah diperlukan
untuk melanjutkan perkembangan suatu masyarakat; sekolah merupakan sumber utama bagi
masyarakat untuk mendapatkan pengetahuan, ketrampilan yang dibutuhkan bagi
pertumbuhan dan perkembangan masyarakat.
Pendidikan pada sisi lain merupakan suatu konsep yang luas. Sekolah merupakan
bagian dari pendidikan, disamping masih banyak lagi yang termasuk dalam konsep
pendidikan dan berlangsung tidak dalam bentuk pendidikan formal dengan sistem kelas.
Pendidikan dalam artian luas dapat terjadi dimana-mana. Hanya saja kebiasaan masyarakat
jika berbicara tentang pendidikan umumnya memasuki sekolah. Hal itu pun tidak salah
karena pengertian sempit dari pendidikan adalah persekolahan.
Dari uraian tersebut diatas penggunaan istilah sekolah mengarah pada pendidikan
formal yang berlangsung dalam sekolah. Sedangkan pendidikan istilah yang digunakan untuk
segala pengalaman belajar baik yang terjadi dalam sekolah maupun diluar sekolah.
Berdasarkan definisi tersebut di atas, pengertian pendidikan memiliki ciri sebagai
berikut :
1) Pendidikan merupakan proses sepanjang hayat,
Proses pendidikan berjalan sejajar dengan pertumbuhan individu. Anak-anak belajar
bagaimana memberikan respon terhadap kasih sayang, bagaimana memegang suatu
dengan tangan, bagaimana menggerakkan benda atau orang. Semua aktifitas tersebut
bukan hasil pengajaran tetapi mereka pelajari dari lingkungannya. Dengan demikin
tampak bahwa pendidikan akan berlangsung terus sepanjang hidup manusia.
2) Pendidikan merupakan suatu aktifitas yang terbuka,
Proses pendidikan dapat terjadi pada berbagai bentuk dan berbagai situasi dan dengan
berbagai pembimbing pengalaman belajar. Pendidikan tidak hanya berlangsung di
sekolah saja tetapi dapat terjadi di mana saja, kapan saja dan dengan siapa saja.
3) Pendidikan mencakup pengertian pendidikan formal dan informal,
Pendidikan yang terjadi pada situasi belajar yang berstruktur dikatakan pendidikan
formal. Pada masyarakat yang sudah maju pendidikan semacam ini berlangsung di
sekolah dan kita sebut persekolahan. Lembaga penyelenggara pendidikan mungkin
pemerintahan atau lembaga non-pemerintahan seperti lembaga keagamaan, lembaga
sosial lain yang peduli terhadap pelaksanaan pendidikan. Aktifitas dan kegiatan belajar
ditata sercara terstruktur untuk memenuhi kebutuhan tertentu, yang biasanya diformalkan
dalam bentuk kurikulum. Sedangkan pendidikan informal biasanya tidak terstruktur.
Pendidikan ini dapat berlangsung pada berbagai situasi, mungkin dalam keluarga, teman
sebaya, pada perjalanan, lingkungan bermain, tempat kerja dan kelompok-kelompok olah
raga. Pendidikan informal yang paling dominan terjadi pada media masa.
Pendidikan formal atau sekolah adalah pendidikan yang berada di dalam suatu naungan
lembaga tertentu, yang dipesiapkan untuk mereka yang sudah mengayomi pendidikan dalam
keluarga, Sekolah sabagai pusat pendidikan formal, ia lahir dan berkembang dari pemikiran
efisiensi dan efektifitas di dalam pemberian pendidikan kepada warga masyarakat. Lembaga
pendidikan formal atau persekolahan, kelahiran dan pertumbuhanya dari dan untuk
masyarakat bersangkutan. Artinya, sekolah sebagai pusat pendidikan formal merupakan
perangkat masyarakat yang diserahi kewajiban pemberian pendidikan. Perangkat ini di tata
dan dikelola secara formal, mengikuti haluan yang pasti dan diberlakukan di dalam
masyarakat bersangkutan. Haluan tersebut tercermin di dalam falsafah dan tujuan,
penjenjangan, kurikulum pengadministrasian serta pengelolaanya.
Pendidikan formal atau sekolah memiliki ciri-ciri tersendiri, yaitu; Sekolah dibatasi oleh
waktu, Siswa yang memasuki lembaga formal sekolah, dibatasi oleh umur tertentu, untuk
pendidikan dasar pada usia 6 sampai 12/13 tahun. Pendidikan menengah setelah tamat
pendidikan dasar. Perguruan tinggi ditempuh setelah tamat pendidikan menengah, pendidikan
tinggi. Masa belajarpun dibatasi untuk pendidikan dasar selama 9 tahun, pendidikan
menengah 3 tahun. Perguruan tinggi 4 sampai 7 tahun untuk strata satu. Sekolah berorientasi
pada kerja, Fokus dari suatu kurikulum yang dijabarkan pada pengalaman belajar, diarahkan
pada pengetahuan spesifik dan ketrampilan spesifik untuk memasuki dunia kerja. Beberapa
kurikulum sangat spesifik berorientasi pada satu jenis pekerjaan. Pada sisi lain kurikulum
mempersiapkan siswa untuk kerja yang berorientasi pada kebutuhan masa depan. Sekolah
memiliki tujuan pembelajaran yang jelas, Mungkin karakteristik yang satu ini membedakan
antara sekolah dan pendidikan. Suatu kurikulum sekolah telah didesain dengan tujuan yang
spesifik dan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan tersebut direncakanan dan ditata
sehingga pengalaman belajar dapat berlangsung dan bermakna. Hal ini tentunya berbeda
dengan pendidikan yang tidak direncanakan secara specifik dan pengalaman belajarpun akan
terjadi diluar perhitungan atau mungkin tidak bermakna.
3. Pendidikan Sebagai Aktivitas Sepanjang Hayat
Konsep pendidikan yang dikemukakan oleh Prof. De. M.J Langeveld, yang
membatasi proses pendidikan dari mulai anak mengerti dan mengakui akan kewibawaan
sampai pada anak/manusia tunduk kepada kewibawaannya sendiri, yaitu telah mencapai taraf
kedewasaan tidak dapat sepenuhnya diterima. Hal ini didasarkan pada konsep pendidikan
yang tidak hanya terbatas pada pendidikan formal di sekolah, dan tidak pula dibatsi oleh
waktu dan umur anak. Konsekuensi pandangan pendidikan sebagai gejala kebudayaan
membawa dampak pada pengakuan bahwa pendidikan berlangsung sepanjang hidup dan
kehidupan manusia.
Pandangan tersebut diatas sejajar dengan gagasan dasar pendidikan yang harus
dikonsepsikan secara formal sebagai proses yang terus menerus dalam kehidupan individu,
mulai masa kanak-kanak sampai dewasa (Cropley, 1974). Kemudian pendidikan sepanjang
hayat didefinisikan sebagai tujuan atau ide formal untuk perorganisasian dan perstrukturan
pengalaman pendidikan. Pengorganisasianya dan penstrukturan ini diperluas mengikuti
seluruh rentangan usia, dari usia yang paling muda sampai paling tua (Cropley : 67). Hal ini
didukung oleh pendapat Stephens (1987) belajar dan mengajar adalah peristiwa wajar yang
terjadi pada makhluk manusia secara terus-menerus berlangsung dengan cara yang spontan
bahkan tanpa disadari melaukannya. Karena itulah belajar harus didukung dan dibantu dari
buaian sampai dewasa. Kenyataan bahwa manusia berkembang melalui proses pendidikan,
melahirkan suatu pandangan bahwa pendidikan pada dasarnya sebagai pelayanan untuk
membantu pengembangan personel sepanjang hidup.
4. Komponen-komponen Pendidikan
Komponen merupakan bagian dari suatu sistem yang meiliki peran dalam keseluruhan
berlangsungnya suatu proses untuk mencapai tujuan sistem. Komponen pendidikan berarti
bagian-bagian dari sistem proses pendidikan, yang menentukan berhasil dan tidaknya atau
ada dan tidaknya proses pendidikan. Bahkan dapat diakatakan bahwa untuk berlangsungnya
proses kerja pendidikan diperlukan keberadaan komponen-komponen tersebut.
Komponen-komponen yang memungkinkan terjadinya proses pendidikan atau
terlaksananya proses mendidik minimal terdiri dari 6 komponen, yaitu :
1) Tujuan Pendidikan

Dalam Undang-Undang RI nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan


nasional disebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggunng jawab.
Keharusan terdapatnya tujuan pada tindakan pendidikan didasari oleh sifat ilmu
pendidikan yang normatif dan praktis. Sebagai ilmu pengetahuan normatif , ilmu
pendidikan merumuskan kaidah-kaidah; norma-norma dan atau ukuran tingkah laku
perbuatan yang sebenarnya dilaksanakan oleh manusia. Sebagai ilmu pengetahuan
praktis, tugas pendidikan dan atau pendidik maupun guru ialah menanamkam sistem-
sistem norma tingkah-laku perbuatan yang didasarkan kepada dasar-dasar filsafat
yang dijunjung oleh lembaga pendidikan dan pendidik dalam suatu masyarakat
(Syaifulah, 1981).
Urutan hirarkhis tujuan pendidikan dapat dilihat dalam kurikulum pendidikan
yang terjabar mulai dari 1) Cita-cita nasional/tujuan nasional (Pembukaan UUD
1945), 2) Tujuan Pembangunan Nasional (dalam Sistem Pendidikan Nasional), 3)
Tujuan Institusional (pada tiap tingkat pendidikan/sekolah), 4) Tujuan kurikuler (Pada
tiap-tiap bidang studi/mata pelajaran atau kuliah), dan 5) Tujuan instruksional yang
dibagi menjadi dua yaitu tujuan instruksional umum dan tujuan instruksional khusus.
2) Peserta Didik

Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan


potensi diri melalui proses pembelajaran pada jalur pendidikan baik pendidikan
formal maupun pendidikan nonformal, pada jenjang pendidikan dan jenis pendidikan
tertentu.
Ciri khas peserta didik yang perlu dipahami oleh pendidik ialah:
a) Individu yang memiliki potensifisik dan psikis yang khas, sehingga merupakan
insan yang unik.
Anak sejak lahir telah memiliki potensi – potensi yang ingin dikembangkan
dan diaktualisasikan. Untuk mengaktualisasikannya membutuhkan bantuan dan
bimbingan.
b) Individu yang sedang berkembang.

Yang dimaksud perkembangan di sini adalah perubahan yang terjadi dalam


diri peserta didik secara wajar, baik ditujukan kepada diri sendiri maupun kearah
penyesuaian dengan lingkungan. Sejak manusia lahir bahkan sejak masih berada
dalam kandungan ia berada dalam proses perkembangan. Proses perkembangan ini
melalui suatu rangkaianyang bertingkat – tingkat. Tiap tingkat (fase) mempunyai sifat
– sifat khusus. Tiap fase berbeda dengan fase lainya.Anak yang berada pada fase bayi
berbeda dengan fase remaja, dewasa dan orang tua. Perbedaan – perbedaan ini
meliputi perbedaan minat, kebutuhan, kegemaran, emosi, intelegensi dan sebagainya.
Perbedaan tersebut harus diketahui oleh pendidik pada masing – masing tingkat
perkembangan tersebut. Atas dasar itu pendidikan dapat mengatur kondisi dan strategi
yang relevan dengan kebutuhan peserta didik.
c) Individu yang membutuhkan bimbingan individual dan perlakuan manusiawi.

Dalam proses perkembangannya peserta didik membutuhkan bantuan dan


bimbingan. Bayi yang baru lahir secara badani dan hayati tidak terlepas dari ibunya,
seharusnya setelah ia tumbuh berkembang menjadi dewasa ia sudah dapat hidup
sendiri. Tetapi kenyataanya untuk perkembangan hidupnya, ia masih menggantungkan
diri sepenuhnya kepada orang dewasa, sepanjang ia belum dewasa. Hal ini
menunjukkan bahwa pada diri peserta didik ada dua hal yang menggejala :
 Keadaanya yang tidak berdaya menyebabkan ia membutuhkan bantuan. Hal
ini manimbulkan kewajiban orang tua untuk membantunya.
 Adanya kemampuan untuk mengembangkan dirinya, hal ini membutuhkan
bimbingan. Orang tua berkewajiban untuk membimbingnya. Agar bantuan dan
bimbingan itu mencapai hasil maka harus disesuaikan dengan tingkat
perkembangan anak.
d) Individu yang memiliki kemampuan untuk mandiri.

Dalam perkembangan peserta didik ia mempunyai kemampuan untuk


berkembang kea rah kedewasaan. Pada diri anak ada kecenderungan untuk
memerdekakan diri. Hal ini menimbulkan kewajiban pendidik dan orang tua untuk
setapak demi setapak memberikan kebebasan dan akhirnya mengundurkan diri. Jadi,
pendidik tidak boleh memaksakan agar peserta didik berbuat menurut pola yang
dikehendaki pendidik. Ini dimaksud agar peserta didik memperoleh kesempatan
memerdekakan diri dn bertanggungjawab sesuai dengan kepribadianya sendiri. Pada
saat ini si anak telah dapat berdiri sendiri dan bertanggung jawab sendiri.

C. HUBUNGAN MANUSIA DAN PENDIDIKAN


Manusia lahir telah dikaruniai dimensi hakikat manusia tetapi masih dalam wujud
potensi, belum teraktualisasi menjadi wujud kenyataan atau “aktualisasi”. Dari
kondisi “potensi” menjadi wujud aktualisasi terdapat rentangan proses yang
mengundang pendidikan untuk berperan dalam memberikan jasanya. Seseorang yang
dilahirkan dengan bakat seni misalnya, memerlukan pendidikan untuk diproses
menjadi seniman terkenal (Tirtahardja dan La Sulo, 2010: 24).
1. Perlunya Pendidikan Bagi Manusia
Sejak kelahirnannya manusia memang adalah manusia, tetapi ia tidak secara
otomatis menjadi manusia dalam arti dapat memenuhi berbagai aspek hakikat
kemanusiaan. Dalam konteks ini dapat dipahami bahwa manusia hidup di dunia
dalam keadaan belum tertentukan menjadi apa atau menjadi siapa nantinya,
karena itu hakikat manusia pada dasarnya merupakan potensi sekaligus adalah
sebagai tugas yang harus diwujudkan oleh setiap manusia. Adapun untuk menjadi
manusia yang sesungguhnya diperlukan pendidikan atau harus dididik. “Man can
become man through education only”, demikian pernyataan Immanuel Kant
dalam teori pendidikannya (Wahyudin, 2008: 1.21).
2. Asas-Asas Kemungkinan Pendidikan
Manusia perlu dididik, implikasinya manusia harus melaksanakan pendidikan
dan mendidik diri. M.J. Langeveld (1980) menyatakan bahwa manusia
adalah animal educantum, dan ia memang adalah animal educabile. Ada lima
asas antropologis yang mendasari kesimpulan bahwa manusia dapat dididik, yaitu
sebagai berikut.
1) Asas potensialitas, menyatakan bahwa manusia dapat dididik karena ia
memiliki potensi untuk dapat menjadi manusia.
2) Asas dinamika, menyatakan bahwa manusia dapat dididik karena ia
memiliki dinamika untuk menjadi manusia yang ideal.
3) Asas individualitas, menyatakan bahwa manusia dapat dididik karena ia
memiliki kedirisendirian (subjektivitas), ia berbeda dari yang lainnya dan
memiliki keinginan untuk menjadi seseorang sesuai keinginan dirinya
sendiri.
4) Asas sosialitas, menyatakan bahwa manusia dapat dididik karena ia hidup
bersama dengan sesamanya, ia bergaul dengan orang lain, dan ada pengaruh
timbal balik dari pergaulan tersebut.
5) Asas moralitas, menyatakan bahwa manusia dapat dididik karena manusia
memiliki kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang buruk, dan
pada dasarnya ia berpotensi untuk berperilaku baik atas dasar kebebasan
dan tanggung jawabnya (aspek moralitas).(Wahyudin, 2008: 1.23).

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Hakikat manusia pada intinya bahwa Manusia pada dasarnya memiliki tenaga
dalam yang dapat menggerakkan hidupnya, Dalam diri manusia ada fungsi yang
bersifat rasional yang bertanggung jawab atas tingkah laku intelektual dan sosial
individu, Manusia pada hakikatnya dalam proses ‘menjadi’, dan terus berkembang,
Manusia mampu mengarahkan dirinya ke tujuan yang positif, mampu mengatur dan
mengendalikan dirinya dan mampu menentukan nasibnya sendiri, Dalam dinamika
kehidupan individu selalu melibatkan dirinya dalam usaha untuk mewujudkan dirinya
sendiri, membantu orang lain, dan membuat dunia menjadi lebih baik, Manusia
merupakan suatu keberadaan yang berpotensi yang perwujudannya merupakan
ketakterdugaan namun potensi itu bersifat terbatas, Manusia adalah makhluk Tuhan,
yang yang kemungkinan menjadi ‘baik’ atau ‘buruk’, Lingkungan adalah penentu
tingkah laku manusia dan tingkah laku itu merupakan kemampuan yang dipelajari.
Hakikat pendidikan adalah suatu proses menumbuh kembangkan eksistensi
peserta didik yang memasyarakat, membudaya, dalam tata kehidupan yang
berdimensi lokal, nasional dan global. hakikat pendidikan merupakan tinjauan yang
menyeluruh dari segi kehidupan manusia yang menampakkan konsep-konsep
pendidikan. Karena itu pembahasan hakikat pendidikan meliputi pengertian-
pengertian Pendidikan dan ilmu pendidikan, Pendidikan dan sekolah, Pendidikan
sebagai aktifitas sepanjang hayat dan Komponen-komponen pendidikan.
Sejak kelahirnannya manusia memang adalah manusia, tetapi ia tidak secara
otomatis menjadi manusia dalam arti dapat memenuhi berbagai aspek hakikat
kemanusiaan. Dalam konteks ini dapat dipahami bahwa manusia hidup di dunia dalam
keadaan belum tertentukan menjadi apa atau menjadi siapa nantinya, karena itu
hakikat manusia pada dasarnya merupakan potensi sekaligus adalah sebagai tugas
yang harus diwujudkan oleh setiap manusia. Adapun untuk menjadi manusia yang
sesungguhnya diperlukan pendidikan atau harus dididik.

DAFTAR PUSTAKA

Tirtarahardja, Umar dan La Sulo. 2010. Pengantar Pendidikan. Jakarta: PT Rineka


Cipta.

Wahyudin, Dinn. 2008. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Universitas Terbuka.

Sardiman, 2007, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Jakarta: Rajawali Press.

Desmita, 2007, Psikologi Perkembangan, Bandung: Rosda Karya.


Khasinah, Siti, 2013, Hakikat Manusia Menurut Pandangan Islam dan Barat, Jurnal
Ilmiah DIDAKTIKA, Vol.13: 296-317

Al Quran dan Terjemah Maknanya dalam Bahasa Indonesia. 2012. Jakarta: Mikraj
Hasanah Ilmu

Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Jakarta.


Depdiknas.
http://hakikat-pendidikan_690.html (di akses 25 agustus 2018 pukul 12.00 WIB)

Anda mungkin juga menyukai