Anda di halaman 1dari 30

MANUSIA SEBAGAI ANIMAL EDUCANDUM

MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Pedagogika
Dosen Pengampu : Santy Widiani, M.Pd.

Disusun oleh :
Kelompok 2
Yesi Siti Rohmah (1986210003)
Nur Indahsari (1986210012)
Maulida Nurul Baiti (1986210015)
Maitsa Salsabila (1986210016)
Intan Tiara Eka P. S (1986210017)
Hamzah Raihan (1986210029)

Semester IV
SEKOLAH TINGGI KEPERGURUAN ILMU PENDIDIKAN (STKIP)
SUBANG
2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada
kami. Sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini hingga selesai. Sholawat serta
salam semoga terlimpah curahkan kepada junjunan Nabi Muhammad SAW, para keluarga,
sahabat serta pengikutnya hingga akhir zaman.

Tujuan dari penyusunan makalah ini yaitu sebagai salah satu tugas dalam Mata Kuliah
Pedagogika. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang membangun kami harapkan, tidak lupa kami ucapkan terima kasih
kepada Allah SWT dan Ibu Santy Widiani, M.Pd selaku dosen Mata Kuliah Pedagogika yang
telah membimbing kami, serta pihak yang telah kami jadikan sebagai referensi dalam
pembuatan makalah ini sehingga kami bisa menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat maupun
inspirasi terhadap pembaca.

Subang, 27 Februari 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………………………….i
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………..ii
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………..1
A. Latar Belakang…………………………………………………………………………...1
B. Rumusan Masalah………………………………………………………………………..1
C. Tujuan……………………………………………………………………………………1
BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………………………2
A. Pendidikan Hanya untuk Manusia……………………………………………………….2
1. Manusia dan Hewan………………………………………………………………...2
2. Mengapa Manusia Harus Dididik...............................................................................3
3. Manusia sebagai Makhluk yang Dapat Dididik…………………………………….5
B. Anak Manusia dalam Kondisi Perlu Bantuan……………………………………………7
1. Manusia Lahir Tidak Berdaya………………………………………………………8
2. Dunia Manusia sebagai Dunia Terbuka…………………………………………....10
C. Dasar dan Ajar………………………………………………………………………….17
1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Manusia……………………...17
2. Aliran-aliran Pendidikan…………………………………………………………...19
BAB III PENUTUP………………………………………………………………………..24
A. Kesimpulan……………………………………………………………………………..24
B. Saran……………………………………………………………………………………24
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………..25

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia dijuluki sebagai animal educandum (makhluk yang dididik) dan animal
educandus (makhluk yang mendidik) sekaligus karena pendidik adalah hal penting yang
merupakan kebutuhan setiap manusia dan selalu ada dalam kehidupan sehari-hari. Dengan
kata lain, manusia adalah makhluk yang senantiasa terlibat dalam proses pendidikan, baik
yang dilakukan terhadap orang lain maupun terhadap dirinya sendiri (Sukardjo & Ukim,
2009). Indonesia merupakan salah satu Negara berkembang yang memiliki banyak tantangan
seperti tingkat bencana alam yang cukup tinggi, tingkat kebersihan yang kurang terutama di
kota-kota besar, dan masalah kesehatan. Pendidikan dapat digunakan sebagai alat untuk
mempersiapkan sumber daya manusia dalam menghadapi tantangan-tantangan tersebut.
Anak-anak merupakan masa depan suatu bangsa, jika dipersiapkan dengan baik dengan
pendidikan dengan cukup, mereka akan berpengaruh terhadap kemajuan suatu bangsa di
masa yang akan datang. Dapat dilihat bahwa pendidikan untuk anak-anak merupakan hal
yang penting untuk diperhatikan, terutama di Indonesia dimana pendidikan belum merata,
bahkan di kota-kota besar. Hal ini menjadi perhatian oleh sejumlah kelompok atau pihak
yang peduli akan masa depan Indonesia. Saat ini, berbagai golongan dan kelompok
masyarakat mulai peduli akan pentingnya pendidikan dan mulai berkontribusi untuk
menyelenggarakan diluar pendidikan formal.
B. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam makalah adalah sebagai berikut :

1. Mengapa pendidikan hanya untuk manusia?


2. Mengapa manusia perlu dididik?
3. Mengapa anak manusia dalam kondisi perlu bantuan?
4. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan manusia?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Alasan manusia perlu di didik sebagai animal educandum.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan manusia.
3. Untuk mengetahui bahwa anak manusia itu dalam kondisi perlu bantuan.

1
BAB II
PEMBAHASAN
MANUSIA SEBAGAI ANIMAL EDUCANDUM

A. Pendidikan Hanya untuk Manusia


Manusia sebagai animal educandum, secara bahasa bahwa manusia merupakan hewan
yang dapat dididik dan harus mendapatkan pendidikan. Dari pengertian tersebut secara tidak
langsung menunjukan bahwa terdapat perbedaan antara manusia dan hewan. Perbedaan
manusia dan hewan, ialah manusia dapat dididik dan harus mendapatkan pendidikan.
Manusia tidak dapat disamakan dengan hewan. Manusia dilahirkan sebagai mahluk yang
tidak berdaya, yang tidak memiliki insting untuk dapat menyesuaikan diri dengan
lingkungannya. Namun, manusia dapat dididik dalam suatu proses belajar yang
membutuhkan waktu lama untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya, atau yang
dikenal dengan pendidikan. Hal inilah yang membedakan antara manusia dengan hewan.
Pada umumnya, hewan tidak dapat dididik melainkan hanya dilatih melalui pemberian
tekanan-tekanan, artinya latihan untuk mengerjakan sesuatu yang sifatnya statis/tidak
berubah.
Pada dasarnya terdapat dua alasan dasar mengapa manusia itu harus dididik/mendidik.
Alasan pertama adalah dasar biologis dan alasan kedua adalah dasar sosio-antropologis.
Dasar biologis mengemukakan bahwa manusia lahir dengan kondisi yang tidak dilengkapi
dengan insting sempurna untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungannya, manusia perlu
masa belajar yang panjang sebagai persiapan bersaing dalam lingkungan, serta pendidikan itu
dimulai ketika manusia sudah mencapai penyesuaian jasmani.
Dasar biologis ini memberikan implikasi manusia memerlukan bantuan manusia dewasa
untuk memberikan perlindungan dan perawatan sebagai masa persiapan pendidikan, serta
manusia dewasa yang tidak berhasil dididik perlu melakukan reedukasi. Dasar sosio-
antropologis mengemukakan bahwa peradaban tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan
dimiliki oleh setiap anggota masyarakat. Dasar ini memberikan implikasi terhadapa
keharusan dalam pendidikan, yaitu diperlukan transformasi dari organisme biologis ke
organisme berbudaya, diperlukan juga transmisi dan internalisasi budaya.
Pada binatang menyusui secara biologis mempunyai banyak persamaan dengan manusia,
misalnya pada kucing atau anjing. Seekor kucing atau anjing yang beranak, pada saat

2
anaknya masih lemah, dia menyusui anaknya, dibersihkan badannya dengan dijilat
menggunakan lidahnya. Sebelum anaknya besar, induk kucing atau anjing melatih anaknya
berbagai gerakan seperti menerkam mangsanya, melatih lari seperti akan mengejar mangsa
atau menyelamatkan diri dari musuh.
Secara akal dan kebiasaaan manusia ada yang sangat bertentangan seperti pada prilaku
kalajengking dan laba-laba. Disamping itu juga ada prilaku hewan yang biasa dilakukan
manusia seperti pada kucing dan anjing mengurus anak-anaknya dengan kasih sayang. Dari
situ juga dapat disimpulkan prilaku kucing itu dapat dikatakan sebagai suatu proses
pendidikan.
Hakikat pendidikan bukan terletak pada perbaikan keterampilan seperti pada hewan,
melainkan kita mendidik anak sehingga kepribadiannya merupakan integritas, merupakan
kesatuan jasmani rohani, dan dapat berperilaku yang bertanggung jawab. Kemampuan
bertanggungjawab memerlukan kemampuan memilih nilai-nilai, khususnya nilai kesusilaan,
nilai religi, sehingga dapat berbuah kebaikan. berikut pembahasannya :
1. Manusia dan Hewan
Pada dasarnya hewan berperilaku hanyalah berdasarkan atas insting atau nalurinya.
Hewan tidak dapat membedakan perbuatan baik ataupun buruk, mana perbuatan bermoral
maupun tidak bermoral. Hewantidak memiliki hati nurani tidak mampu memiliki nilai-nilai,
tidak memiliki perasaan. Hewan tidak akan memiliki perasaan, bagaimana pun manusia
berusaha menyampaikannya pada hewan tersebut.
Beberapa ekor hewan mungkin dapat dilatih untuk mengenal tanda-tanda (signal-signal)
tertentu, sehingga tanda-tanda tersebut dapat dikenali oleh hewan dengan hasil berupa
gerakan-gerakan mereka. Namun, gerakan-gerakan tersebut hanyalah gerakan yang terjadi
mekanis, secara otomatis saja. Kita tidak dapat menyimpulkan bahwa gerakan tersebut
merupakan hasil berpikir dari hewan tersebut.
Hasil berpikir secara intelektual melibatkan simbol-simbol. Hewan dapat dilatih
mengenal tanda-tanda melalui latihan secara terus-menerus, tetapi hewan tidak akan
memahami simbol-simbol, seperti bahasa. Berbeda dengan manusia yang berkemampuan
berkomunikasi melalui simbol-simbol.
Manusia dengan hewan memiliki beberapa persamaan dalam struktur fisik dan
perilakunya. Secara fisik, manusia dan hewan, khususnya hewan menyusui dan bertulang
belakang, memiliki perlengkapan prinsipal tidak terbatas perbedaan.
Pendidikan pada hakikatnya akan berusaha untuk mengubah perilaku. Teteapi perilaku
mana yang dapat terjangkau oleh pendidikan, karena hewan pun adalh makhluk yang
3
berperilaku. Dalam hal ini Prof. Khonstam mengemukakan beberapa jenis perilaku dari
berbagai makhluk sebagai berikut :
a. Anorganis,yaitu suatu gerakan yang terjadi pada benda-benda mati, tidak bernyawa.
Gerakan ini ditentukan atau tergantung kepada hukum kausal (sebab-akibat).manusia
dilempar dari gudung bertingkat tiga misalnya, ia akan jatuh kebawah, sama halnya
seperti kita melempar batu (benda mati). Hal iini terjadi karena adanya gaya tarik bumi.
b. Organis/nabati, yaitu yang terjadi pada tumbuh-tumbuhan. Manusia dan hewan sama-
sama memiliki perilaku ini, manusia maupun hewan bernapas, tumbuhan juga bernapas.
Dalam tubuh hewan dan tumbuhan terjadi peredaran zat-zat maanan, seperti halnya juga
terjadi pada tumbuh-tunbuhan.gerakan ini terjadi secara otomatis tidak perlu dipelajari.
Setiap makhluk hidup dengan sendirinya memiliki gerakan nabati ini
c. Hewani, perilaku ini lebih tinggi derajatnyadari perilaku nabati. Perilaku ini bersifat
inspiratif (seperti insting lapar, insting seks, insting berkelahi), dapat diperbaiki sampai
taraf tertentu, dan dapat memiliki kesadaran indra, di mana manusia an hewan dapat
mengamati lingkungan karena memiliki alat indra.
d. Manusiawi, meripakan perilaku yang hanay terdapat pada manusia. Adapun perilaku ciri-
ciri ini adalah :
 Manusia berkemampuan untuk menguasai hawa nafsu.
 Manusia memiliki kesadaran intelektual, ia dapat mengembangkan ilmu pengetahuan
dan teknologi, ejadikan manusia makhluk berbudaya.
 Manusia memiliki kesadaran diri, dapat menyadari sifat-sifat yang ada pada dirinya,
manusia dapat mengadakan introspeksi.
 Manusia adalah makhlluk sosial, membutuhkan orang lain untuk hidupbersama-sama,
berorganisasi dan bernegara.
 Manusia memiliki bahasa simbolis, baik tertulis maupun secara lisan.
 Manusia dapat menyadari nilai-nilai (etika maupun estetika) dan dapat berbuat sesuai
nilai-nilai trsebut, dan memiliki kata hati.
Ciri-ciri tersebut diatas sama sekali tidak dimiliki oleh hewan, yang dengan cirri-ciri itu
lah manusia dapat dididik, dapat memperbaiki perilakunya, dalam bentuk suatu pribadi
yang utuh.
e. Mutlak, dimana manusia dapat berkomunikasi dengan Maha pencipta. Manusia dapat
menghayati mkehidupan beragama, yang merupakan nilai yang paling tinggi dalam
kehidupan manusia.

4
Dari segi pendidikan, lapisan perilaku yang menjadi garapan pendidikan ialah lapisan
manusiawi dan lapisan mutlak. Lapisan manusiawi sebagian besar menyangkut dimensi
kejiwaan dan psikis, sedangkan lapisan mutlak menyangkut kehidupan spiritual. Dimensi
kejiwaan meliputi aspek kognitif, afektif atau emosional serta aspek psikomotoris.
Sehingga dalam hal ini, jelas bahwasanya hewan tidak dapat dididik dan tidak
memungkinkan untuk menerima pendidikan, sehingga tidak mungkin dapat dilibatkan dalam
proses pendidikan karena hewan seperti yang sudah dijelaskan bahwa hewan hanya memiliki
insting namun tidak memiliki akal. Hanya manusialah yang dapat dan memungkinkan menerima
pendidikan, karena manusia memiliki dilengkapi dengan akal.
2. Mengapa Manusia Harus Dididik
Bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan tidak berdaya serta tidak dilengkapi dengan
insting yang sempurna untuk menyesuaikan diri dalam menghadapi lingkungan, perlu masa
belajar yang panjang dan awal pendidikan terjadi setelah anak manusia mencapai
penyesuaian jasmani. Implikasinya anak manusia harus menerima bantuan, perlindungan dan
perawatan, dan diperlukan pendidikan kembali atau reedukasi.
Berdasarkan pada aspek Sosio Antropologis, bahwa peradaban tidak terjadi dengan
sendirinya dan masyarakat menginginkan kehidupan yang berada.Implikasinya pendidikan
memerlukan personalisasi peranan sosial budaya dalam rangka transmisi budaya, internalisasi
budaya untuk transformasi dari organisme biologis ke organisme yang berbudaya.
sejarah pembentukan masyarakat dimulai dari keluarga adam dan hawa sebagai unit
terkecil dari masyarakat dimuka bumi ini. Dalam keluarga tersebut telah dimulai proses
kependidikan umat manusia, meskipun dalam ruangh lingkup terbatas sesuai dengan
kebutuhan hidupnya. Dasar minimal usaha mempertahankan hidup manusia terletak pada tiga
orientasi hubungan manusia, yaitu :
a. Hubungan manusia dengan Tuhan YME.
b. Hubungan manusia dengan sesama manusia.
c. Hubungan manusia dengan alam sekitar.
Dari prinsip hubungan inilah, kemudian manusia mengembangkan proses pertumbuhan
kebudayaan, proses inilah yang mendorong manusia ke arah kemajuan hidup sejalan dengan
tuntutan zaman. Untuk sampai kepada kebutuhan tersebut, diperlukan satu pendidikan yang
dapat mengembangkan kehidupan manusia dalam dimensi daya cipta, rasa dan karsa
masyarakat beserta anggota anggotanmya. Ketiga daya tersebut, kakan menjadi motivasi bagi
manusia untuk saling berpacu, sehingga keberadaannya pendidikan akan menjadi semakin

5
penting, bahkan pendidikan merupakan kunci utama kemajuan hidup umat manusia dalam
segala aspek.
Manusia adalah subjek pendidikan dan sekaligus pula sebagai objek pendidikan, subagai
subjek pendidikan manusia (khususnya manusi dewasa) bertanggung jawab dalam
menyelenggarakan pendidikan secara moral berkewajiban atas perkembangan pribadi anak
anak mereka, generasi penerus, manusia dewasa yang berfungsi sebagai pendidik
bertanggung jawab untk melaksanakan misi pendidikan sesuai dengan tujuan dan nilai nilai
yang dikehendaki manusia dimana pendidikan berlangsung. Sebagai objek pendidikan,
manusia (khususnya anak) merupakan sasaran pembinaan dalam melaksanakan pendidikan,
yang pada hakekatnya ia memilki pribadi yang sama seperti manusia dewasa, namun Karena
kodratnya belum berkembang (Sadullah, 2001: 80).
Proses pendidikan merupakan interaksi pluralistis antara manusia dengan manusia,
dengan lingkungan alamiah, social dan cultural akan sangat ditentukan oleh aspek
manusianya. Kedudukan manusi sebagai subjek dalam masyarakat dan di alam semesta ini
memiliki tanggung jawab besar dalam mengemban amanat untuk membina dan
mengembangkan manusia sesamanya. Memelihara lingkungan hidup bersama lebih jauh
manuis bertanggung jawab atas martabat kemanusiaanya. Ada beberapa alasan yang menjadi
dasar mengapa manusia harus dididik dan memperoleh pendidikan, yaitu :
a. Manusia dilahirkan dalam kedaan tidak berdaya, manusia begitu lahir ke dunia perlu
mendapatkan uluran orang lain untuk dapat melangsungkan hidup dan kehidupanya.
b. Manusia lahir tidak langsung dewasa, untuk sampai pada kedewasaan yang merupakan
tujuan pendidikan dalam arti khusus memerlukan waktu lama. Pada manusia primitif
mungkin proses pencapaian kedewasaaan tersebut akan lebih pendek dibandingkan
dengan manusia modern dewasa ini, pada manuisia primitif cukup dengan mencapai
kedewasaan secara konvensional, dimana apabila seseorang sudah memiliki ketrampilan
untuk hidup khususnya untuk hidup berkeluarga, seperti dapat berburu, dapat bercocok
tanam, mengenal norma norma, atau norma norma hidup bermasyarakat, sudah dapat
dikatakan dewasa, dilihat dari segi usia misalnya, usia 12-15 tahun pada masyarakat
primitif sudah melangsungkan hidup berkeluarga, pada masyarakat modern tuntutan
kedewasaan lebih komplek, sesuai dengan makin kompleknya ilmu pengetahuan dan
teknologi, dan juga makin kompleknya system nilai.
c. Manusia pada hakekatnya adalah makhluk social, ia tidak akan berprilaku manusia
seandainya tidak hidup bersama dengan manusia lainnya. Lain halnya dengan hewan,
dimanapun hewan dibesarkan akan tetap memiliki perilaku hewan, seekor kucing yang
6
dibesarkan dalam lingkungan anjing akan tetap berprilaku kucing, tidak akan berperilaku
anjing. Karena setiap jenis hewan sudah dilengkapi dengan insting tertentu yang pasti dan
seragam, yang berbeda antara jenis hewan yang satu dengan yang lainnya.
Dari asumsi-asumsi tersebut diatas , maka dapat diketahui bahwa manusia merupakan
makhluk yang harus dididik dan mendidik. Pendidikan akan dapat membantu manusia untuk
merealisasikan dirinya, memanusiakan manusia. Pendidikan akan berusaha membantu
manusia untuk menyingkapkan dan menemui rahasia alam, mengembangkan fitrah manusia
yang merupakan potensi untuk berkembang, mengarahkan kecenderungan dan
membimbingnya demi kebaikan dirinya dan masyarakat. Pada akhirnya dengan pertolongan
dan bimbingan tadi, manusia akan menjadi manusia yang sebenarnya, manusia yang beriman
dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
3. Manusia sebagai Makhluk yang Dapat Dididik
Langeveld ( Sadulloh, 2010) merumuskan manusia sebagai “animal educandum”,
manusia yang perlu dididik, agar ia dapat melaksanakan kehidupannya sebagai manusia, agar
ia dapat melaksanakan tugas hidupnya secara mandiri. Secara implisit, rumusan ini mencakup
pula pandangan bahwa manusia itu adalah “hewan” yang dididik.
Pendidikan diartikan sebagai suatu kegiatan, kegiatan yang khas, kegiatan yang istimewa.
Keistimewaannya terletak diantaranya dalam hal, bahwa yang menjadi obyek kegiatannya
adalah tidak begitu saja “menerima” apa yang dididikkan kepadanya; suatu kegiatan yang
keberhasilannya tercapai tidak semata-mata karena kegiatan itu sendiri, melainkan dengan
kerjasama antara pendidik dengan obyek yang dididik. Mungkin timbul pertanyaan
bagaimana pendidikan dapat berlangsung, bagaimana anak dapat dididik,dan bagaiamana
arah pendidikan itu sendiri.
Dalam menentukan batas batas pendidikan manusia akan mengalami persoalan,
mereka akan menemui beberapa pertanyaan tentang kapan pendidikan dimulai dan bila
mana pendidikan akan berakhir. Pernah kita temukan satu istilah dalam bahasa inggris yang
menyataka “Long live education” yang artinya “pendidikan seumur hidup” Dari pernyataan
pernyatan tersebut tergambarkan jelas bahwa pendidikan akan dimulai segera setelah anak
lahir dan akan berlangsung terus sampai manusia meninggal dunia, sepanjang ia mampu
menerima pengaruh pengaruh, oleh karena itu pendidikan akan berlangsung seumur hidup.
Namun dalam mengalami proses pendidikan menusia akan mendapatkan pendidikan
dimana akan terdapat pembatasan nyata dari proses pendidikan dalam jangka waktu tertentu
(Daradjat, 2000:48 ).

7
Pendidikan dimulai dengan pemeliharaan yang merupakan persiapan ke arah
pendidikan nyata, yaitu pada minggu dan bulan pertama seorang anak dilahirkan, sedangkan
pendidikan yang sesungguhnya baru terjadi kemudian. Pendidikan dalam bentuk
pemeliharaan adalah bersifat murni, sebab pada pendidikan murni diperlukan adanya
kesadaran mental dari si terdidik. Dari segi psikologis usia 3 – 4 tahun dikenal sebagai masa
berkembang, atau masa krisis, dari segi pendidikan justru pada masa itu terbuka peluang
ketidakpatuhan yang sekaligus merupkan landasan untuk menegakkan kepatuhan yang
sesungguhnya. Disini pulalah mulai terbuka penyelenggaraan pendidikan artinya sentuhan
sentuhan pendidikan untuk menumbuhkembangkan motivasi anak dalam perilakunya ke arah
tujuan pendidikan. Sebagaimana sulitnya menetapkan kapan sesungguhnya pendidikan anak
berlangsung untuk pertama kalinya, begitu pulalah sulitnya menentuka kapan pendidikan itu
berlangsung untuk terakhir kalinya. Sehubungan dengan itu, perlu suatu kehati hatian kalau
juga ingin mengatakan bahwa sepanjang tatanan yang berlaku, proses pendidikan itu
mempunyai titik akhir yang bersifat alamiah. Titik akhir bersifat prinsipel dan tercapai bila
seseorang manusia muda itu dapat berdiri sendiri dan secara mantap mengembangkan serta
melaksanakan rencana sesuai pandanagan hidupnya.pada kondisi yang disebutkan di atas
pendidikan sudah tidak menjadi masalah lagi, ia telah dapat mendidik dirinya sendiri, tetapi
tidaklah dapat disangkal bahwa mungkin juga diperlukan untuk tetap menerima ajaran dalam
bidang bidang tertentu dalam memajukan kehidupanya, bantuan pendidikan yang demikian
itu disebut pembentukan manusia dewasa”.
Inti dari kegiatan pendidikan adalah pemberian bantuan kepada anak dalam rangka
mencapai kedewasaannya. Pemberian bantuan itu mengimplikasikan :
a. Bahwa yang dibantu adalah seseorang yang memiliki aktivitas. Aktivitas yang
direalisasikannya, hendaknya tidak bertentangan dengan proses dan arah kegiatan yang
bersangkutan. Jadi aktivitas dan kreativitas anak didik yang sejalan dengan proses dan
arah pendidikan denan kata lain kerjasama antara pendidik dan anak didik dimana
pendidik memperkuat kedudukan anak manusia sebagai makhluk yang dapat dididik.
b. Pencapaian kemandirian harus dimulai dengan menerima realita tentang ketergantungan
anak mencakup kemampuan untuk beridentifikasi, bekerja sama dan meniru
pendidiknya.
c. Tidak semua orang mampu melaksanakan kehidupan sebagai orang dewasa yang berarti
terdapat peralihan dari status bayi, aanak, sampai deawa itu tidak berlangsung dengan
sendirinya. Artinya manusia mendapat pengaruh-pengaru dari luar.

8
d. Manusia adalah makhluk yang dapat dididik berdasar pada empat pandangan dasar
antropologis yaitu :
 Prinsip Individualitas
Menyatakan bahwa setiap orang memiliki ekstitensinya sendiri, walaupun hubungan dan
pergaulan dengan sesama manusia sangat prinsipil baginya, namun ia bukan lah sekedar
salah satu bagian yang sama segala-galanya atau salah satu embel-embel dari
masyarakatnya. Lysen (tirtarahardja, 2001:17) mengartikan individu sebagai “orang-
orang”, sesuatu yang merupakan suatu keutuhan yang tidak dapat dibagi-bagi (in-devide).
Selanjutnya individu diartikan sebagai pribadi.
 Prinsip Sosialitas
Menyatakan bahwa manusia pada dasarnya merupakan makhluk sosial, artinya dalam
melangsungkan kehidupannua secara fundamental dapat dan perlu pergaulan dengan
sesame manusia. Lengeveld (1980), menyatakan bahwa setiap bayi yang lahir dikaaruniai
potensi sosial. Artinya setiap anak dikaruniai benih kemungkinan untuk bergaul . setiap
oranh dapat saling berkomunikasi yang pada hakikatnya di dalamnya terkandung unsur
saling memberi dan menerima.
 Prinsip Moralitas
Menyatakan bahwa semua manusia memiliki prinsipnya sama dalam hal, bahwa mereka
mampu untuk mengambil keputusan susila sendiri serta mampu pula mengarahkan
perbuatannya selaras dengan keputusan susila yang dipilihnya itu. Apabila prinsip ini
dikaitkan dengan prinsip sosialitas yang menempatkan manusia di tengah kehidupan
masyarakatnya dengan prisip individualitas yang mencakup kemampuan manusia untuk
tampil secara pribadi dan keharusan untuk bertanggung jawab dan mempertanggung
jawabkan kehidupannya.
 Prinsip Uniksitas
Menyatakan bahwa setiap manusia bersifat unik dan tidak ada dua manusia identic (sama)
dalam segalanya.

B. Anak Manusia dalam Kondisi Perlu Bantuan


Anak manusia untuk bisa menjadi manusia yang mandiri, membutuhkan suatu proses
yang lama dan tidak akan dengan sendirinya tanpa bantuan orang lain untuk mencapainya.
Karena itu anak manusia memerlukan bantuan orang lain yang berada disekitarnya. Dirumah
ia membutuhkan kasih sayang kedua orang tuanya, diluar rumah ia akan bergaul dengan

9
teman sebayanya, yang pasti akan saling mengisi berbagai pengalamannya. Apabila sang
anak sudah bersekolah, ia akan sangat membutuhkan bantuan pendidiknya, yaittu gurunya
yang melakukan tugasnya secaara profesional, dan tanggung jawab yang sangat dalam. Guru
di sekolah merupakan pihak yang mewakili para orang tua anak.
Manusia pada saat lahir tidak langsung dapat mengembangkan kemanusiaannya, karena
ketidakberdayaan dan kelemahannya yang ia miliki secara kodrati memerlukan uluran pihak
luar untuk membantunya. Namun secara kodrati pula anak dilahirkan dengan potensi untuk
berkembang menuju kemandirian. Potensi inilah yaang perlu dipahami oleh pihak luar
khususnya orang tua sehingga potensi tersebut dapat berkembang secara optimal.
1. Manusia Lahir Tidak Berdaya
a. Manusia memiliki kelebihan
Dalam memberikan lukisan maupun definisi tentang manusia, manusia sering
dibandingkan dengan hewan. Manusia adala hewan yang berakal budi, manusia adalah
hewan yang pandai berbicara, manusia adalah hewan yang belum selesai dan sebagainya.
Pada umumnya dalam membandingkan itu ditunjukkan dari kelebihan martabat dan
kehidupan manusia diatas hewan. Kehidupan manusia dewasa ini sunggu luar biasa
pesatnya, sehingga jarak anatara kehidupan hewan dengan kehidupan manusiawi rasanya
bukan untuk dibandingkan. Perbedan-perbedaan dalam struktur organis manusia dengan
hewan dapat mempunyai akibat-akibat yang jauh dan prinsipil. Misalnya letak ibujari
yang berhadapan dengan keempat jari lainnya yang dimiliki manusia memungkinkan
manusia untuk menggenggam alat, menggunakan alat. Sekali menyadari kemungkinan
dan kemampuannya untuk menggunakan alat, berarti kemungkinan dan kemampuan
“memperpanjang dirinya” dalam mengadakan hubungan dengan lingkungannya.
b. Manusia Belum Dapat Menolong Dirinya Sendiri
Manusia dilahirkan dalam keadaan belum dapat menolong dirinya sendiri, juga dalam
hal-hal yaang sangat penting bagi kelangsungan hidupnya. Dengan kata lain “manusia
berada dalam keadaaan perlu bantuan”, dan bantuan harus datang dari pihak lain. Tanpa
bantuan dari pihak lain, manusia tidak mungkin melangsungkan hidupnya. Bantuan
tersebut tidak saja bagi kehidupan fisiknya, namun juga bagi kehidupan psikisnya dan
kehidupan sosialnya. Pemutusan tali ari-ari ketika dilahirkan tidak berarti pemutusan
hubungan antara ibu dengan anak. Hubungan itu masih berlangsung terus bahkan tidak
pernah putus hingga ajalnya.

10
c. Manusia Dilahirkan dalam Lingkungan Manusiawi
Manusia dilahirkan dalam lingkungan manusiawi yang bertanggung jawab, yang
berperasaan, dan bermoral. Keadaan anak manusia yang perlu bantuan itu menggugah
dan mengundang kasih sayang bagi orang tua dewasa, khususnya kedua orang tuanya.
Kita bersyukur bahwa manusia dilahirkan dalam lingkungan yang manusiawi.Ia
dilahirkan dalam lingkungan manusiawi yang bertanggung jawab, yang berperasaan,
bermoral, dan yang sosial. Keadaan anak manusia yang perlu bantuan itu menggugah dan
mengundang kasih sayang bagi orang dewasa khususnya kedua orang tuanya. Orang tua
dan anak dengan masing-masing karakteristiknya dari kedua pihak saling mengisi,
sehingga keduanya bersifat saling melengkapi. Ketergantungan anak diimbangi dengan
kesediaan orang tua, guru untuk memimbingnya. Ketidaktahuan anak akan segala sesuatu
diimbangi orang tua dan guru dengan mengajar dan mendidiknya. Ketidak terampilan
anak dalam melakukan hal-hal yang harus dilakukannya diimbangi orang tua, dan guru
dengan melatih dan membiasakannya. Kelemahan anak diimbangi dengan kasih saying
orang tua dan guru yang memang dirasakan suatu keperluan untuk menumpahkannya.
Proses saling mengisi dan mengimbangi ini tidak dirasakan sebagai sesuatu yang sulit
dan rumit. Anak merasa dirinya satu dengan orang tua, dengan lingkungannya sehingga
wajarlah dengan kekurangannya diisi oleh orang tua. Seperti dikemukakan, pemutusan
tali ari-ari tidak sekaligus merupakan pembelahan atau pemisahan dunia anak dengan
ibunya. Pada pihak anak terdapat suatu kepercayaan dan dan rasa kewajaran bila sifat
perlu bantuannya dipenuhi oleh orang tuanya dan gurunya di sekolah. Di lain pihak dan
pada orang tua, dan guru terdapat rasa tanggung jawab, kasih sayang dan kepercayaan
untuk memberikan bantuan dalam rangka memungkinkan kelangsungan hidupnya, karena
anak itu adalah anaknya. Segala pemberian bantuan itu tidak dirasakannya berat, malahan
menyenangkan karena hal itu dipandang sebagai tugasnya dan malahan sebagai
kebutuhannya. Maka terjadilah kasih sayang yang timbal-balik antara kedua pihak itu
yang selanjutnya memungkinkan lahirnya saling memahami antara keduanya.
Keadaan memerlukan bantuan dengan demikian tidak merupakan suatu beban bagi
kedua pihak, melainkan justru dirasakan merupakan suatu karunia yang mengikat dan
memperdalam hubungan kedua pihak sehingga pelepasan dan pemisahannya kelak
berjalan dengan lancar. Keadaan perlu bantuan dari si anak mengukuhkan kedudukan
orang tua dan sebaliknya kesediaan dan ketulusan orang tua untuk membimbing dan
memberikan bantuan kepadanya yang berupa pendidikan dan perawatan itu

11
memungkinkan anak hidup sebagai anak yang sedang mempersiapkan diri untuk meraih
kedewasaannya kelak.
2. Dunia Manusia sebagai Dunia Terbuka
a. Manusia Belum Siap Menghadapi Kehidupan
Dalam teori retardasi dari Bolk tersirat pendapat bahwa manusia dilahirkan terlalu dini,
sebab pada saat kelahirannya anak belum memiliki suatu spesialisasi dalam rangka mengisi
dan melaksanakan tugas hidupnya. Anak manusia dilahirkan dalam keadaan belum siap
menghadapi kehidupan. Karena belum siap dan belum terspesialisasikan itu, ia harus
mempersiapkan diri dan mendapatkan suatu cara yang khas bagi dia dalam melaksanakan
kehidupan dan tugas hidupnya itu. Dengan kata lain: ia harus menentukan kepribadiannya, ia
harus menentukan eksistensinya\ \9keberadaan dirinya).

Manusia harus menentukan cara dan corak, arah dan tujuan hidupnya, bahkan makna
hidup baginya tidak disodorkan alam secara dilaksanakannya. Pelaksanaannya tidak secara
menjiplak cara-cara orang lain, tidak dengan jalan menenggelamkan diri dalam kebiasaan
yang telah dibiasakannya oleh orang tuanya, tidak dengan secara pasif menyesuaikan diri
kepada lingkngannya. Melainkan dengan tandas menyatakan kehadirannya, dengan secara
menyatakan ucapnya, sesuai dengan pendapat pandangannya sendiri, sesuai dengan selera
dan gejolak hatinya.

Manusia bebas menghadapi lingkungannya, namun ini tidak berarti bahwa dengan
kebebasannya itu ia dapat berbuat sekehendak hati. Pada garis pembimbing yang menuntun
dan memberikan batas pada perbuatannya; aturan yang harus ditaatinya; ada norma yang
harus dijadikan patokan dan pegangan hidupnya. Walaupun norma dan nilai yang
menggariskan kehidupannya mungkin semula berasal dari luar telah dijadikan miliknya
sendiri, maka garis dan batas itu tidak dirasakannya sebagai kekangan hidup, malahan
menjadi dorongan hidupnya. Jadi kebebaan terjalin dan berada dibawah naungan paying nilai.

Inisiatif dan daya kreasi yang merupakan manisfestasi dari kebebasan dirinya dan
merupakan saluran imajinasinya menjadi jelas arah dan sasarannya dalam realita kehidupan
yang harus digelutinya. Dan pembinaan inisiatif dan daya kreasi ini hanya dapat terlaksana
melalui bimbingan dan pendidikan yang berlangsung dalam lingkungan hidup manusia.

b. Manusia Mampu Menggunakan Alat

Melalui anggota tubuhnya manusia menemukan kemungkinan dan kemampuannya untuk


menggunakan alat. Kemampuan ini membuka corak dan dimensi yang secara prinsipil
berlainan dengan hewan. Persoalannya tidak hanya terletak pada alat itu sendiri, melainkan
pada penemuan alat sebagai alat, pada pemilihan alat yang cocok dan pada pencarian dan
penciptaan alat yang diperlukannya, dalam menghadapi dan menghidupi lingkungannya.
Dalam hal ini semua tersirat dengan adanya:

12
 Inisiatif dan Daya Kreasi Manusia

Inisiatif dan daya kreasi manusia merupakan manifestasi dari hakikat manusia sebagai
makhluk yang bebas. Dengan modal kebebasan, manusia mempengaruhi hidupnya,
menghadapi dan menghidupi dunianya. Inisiatif merupakan penggerak bagi eksplorasinya
(petualangannya) di dalam dunianya. Daya kreasi merupakan penggugah hatinya untuk
bereksperimen (mencoba) dengan imajinasinya. Maka manusia menghidupi dunianya tidak
dengan jalan melarutkan diri di dalamnya, melainkan dengan menghadapinya sebagai tugas
yang harus ditempuh dan dilaksanakannya.

Inisiatif dan daya kreasi yang merupakan manifestasi dari kebebasan dirinya dan
merupakan saluran imajinasinya menjadi jelas arah dan sasarannya dalam realita kehidupan.
Dan pembinaan inisiatif dan daya kreasi ini hanya dapat terlaksana melalui bimbingan dan
pendidikan yang berlangsung dalam lingkungan hidup manusia.

 Kemampuan manusia untuk merealisasikan dirinya

Inisiatif dan daya kreasi, prnemuan dan penciptaan alat yang serasi ditunjukkan kepada
kemampuan penanggulangan lingkungan yang dihadapi dan dihidupinya. Dalam kedua istilah
``Menghidupi `` dan ``Menghadapi`` lingkungan ini tersirat, bahwa manusia itu bersikap
ganda terhadapnya. Pada suatu pihak manusia menyatu dengan lingkungannya, ia ada
didalamnya, ia tidak dapat lepas dari padanya suatu kenyataan, maka dalam segala tingkah
perbuatannya, ia harus memperhitungkan dan memperhatikan lingkungannya. Namun dilain
pihak, lingkungan yang hidup, dunia yang dihidupinya itu, hatus pula dihadapinya sebagai
tugas. Dalam berhadapan dengan lingkungannya, ia tidak memungkinkan larut dalam
sepenuhnya menyerah kepada dunianya apabila dihadapkan kepada realita (Kenyataan) yang
tidak selalu selaras dengannya. Maka ia harus mengambil sikap terhadapnya, harus mengalah
dan atau mungkin mengatasinya.

 Kesadaran manusia akan lingkungan


Manusia menanggapi lingkungan berbeda dengan hewan. Bagi manusia lingkungan tidak
sekedar merupakan sesuatu ``yang melindungi, melainkan mengundangnya untuk mengolah
dan menggarapnya, karena itu lingkungan tapil bagi manusia sebagai suatu lapangan kerja.
Berlainan dengan hewan yang lebih banyak menyesuaikan diri dengan lingkungannya karena
memang sudah disesuaikan dan dispesialisasikan untuknya, yang lebih banyak digerakkan
oleh lingkungannya.

Dalam komunikasi dengan lingkungannya, berkat inisiatif dan daya kreasinya itu manusia
berkreasi secara aktif dan terarah, sedangkan hewan bereaksi dengan lingkungannya secara
instingtif, tanpa menyadarinya, karena hewan tidak mampu untuk menyadari lingkungan dan
tidak pula mampu untuk menyadari dirinya. Sebaiknya manusia mampu mengadakan refleksi
(bercermin diri), memikirkan dirinya dan perbuatannya serta mampu menyadari
kedudukannya dalam lingkungannya dan mengambil posisi terhadapnya. Ia mampu
mengontol, mengoreksi, dan memperbaiki lingkungannya. Inisiatif dan daya kreasinya
kesadaran akan diri serta lingkungannya, membuat cakrawala kemungkinan yang luas pada

13
lingkungannya untuk digarapnya. Inisiatif dan daya krasinya keadaan yang belum
terspesialisasi, memungkinkan ia menghayati dunianya sebagai dunia terbuka dan
mengundangnya untuk menghuninya serta mengelolanya sepanjang hayatnya.

 Keterarahan hidup manusia kepada lingkungan


Mengenai pertautan manusia dengan lingkungannya terdapat dua pandangan yang ekstrim
yang saling berlawanan : 1. Pandangan Leidniz dengan teori metode yang tertutup yang
memandang pribadi aktif dari dalam, tanpa mendapatkan pengaruh dari luar, sehingga
manusia merupakan penyebab, bukan akibat, dari lingkungannya. 2. Pandangan Evipiminalis
yang menganggap pribadi hanyalah efek atau akibat dari sistem persyaratan yang tidak
berdaya sama sekali.

Kedua pandangan tersebut tidak dapat diterima, karena manusia merupakan sekaligus
penyebab dan akibat (causa maupun efek), pasif maupun aktif terhadap lingkungannya: ia
mampu memilih dan berinisiatif, namun keberadaannya tidak dapat dilepaskan dari
lingkungannya. Pandangan ini sejalan dengan apa yang disinggung dimuka sebagai
``dwifungsi`` manusia terhadap lingkungannya.

Pandangan manusia tidak dapat melepaskan dirinya dari lingkungannya tersirat pula
dalam konsep ``posisi eksentris`` manusia terhadap lingkungannya. Artinya manusia tidak
selesai dalam dirinya sendiri. Ia tidak berpusat pada dirinya sendiri, melainkan pusat manusia
berada di luar dirinya.

 Kemampuan Manusia Untuk Merealisasikan Dirinya

Inisiatif dan daya kreasi, penemuan dan penciptaan alat yang serasi ditujukan kepada
kemampuan penanggulangan lingkungan yang dihadapi dan dihidupinya. Dalam kedua istilah
``menghidupi`` dan ``menghadapi`` lingkungan ini tersirat, bahwa manusia itu bersikap
ganda terhadapnya. Pada suatu pihak manusia menyatu dengan lingkungannya, ia ada di
dalamnya, ia tidak dapat lepas dari padanya ini merupakan suatu kenyataan. Maka dalam
segala tingkah perbuatannya., ia harus memperhitungkan dan memperhatikan lingkungannya.
Namun di lain pihak, lingkungan yang hidup, dunia yang dihidupinya itu, harus pula
dihadapinya sebagai tugas. Dalam berhadapan dengan lingkungannya, ia tidak
memungkinkan larut dan sepenuhnya menyerah kepada dunianya apabila dihadapkan kepada
realita (kenyataan) yang tidak selalu selaras dengannya. Maka ia harus mengambil sikap
terhadapnya, harus mengalah atau mungkin mengatasinya.

 Kesadaran manusia akan lingkungan


Manusia menanggapi lingkungan berbeda dengan hewan. Bagi manusia lingkungan
sesuatu “yang melindungi“, melainkan mengundangnya untuk mengolah dan menggarapnya,
karena itu lingkungan tampil bagi manusia sebagai suatu lapangan kerja. Berlainan dengan
hewan yang lebih banyak menyesuaikan diri dengan lingkungannya karena memang sudah

14
disesuaikan dan dispesialisasikan untuknya, yang lebih banyak digerakkan oleh
lingkungannya.
Dalam komunikasi dengan lingkungan, berkat inisiatif dan daya kreasinya itu manusia
bereaksi secara aktif dan terarah, sedangkan hewan bereaksi dengan lingkungannya secara
instingtif, tanpa menyadarinya, karena hewan tidak mampu untuk menyadari lingkungan dan
tidak pula mampu untuk menyadari dirinya. Sebaiknya manusia mampu mengadakan refleksi
(bercermin diri), memikirkan dirinya dan perbuatannya serta mampu menyadari
kedudukannya dalam lingkungan dan mengambil posisi terhadapnya. Ia mampu mengontrol,
mengoreksi, dan memperbaiki lingkungannya. Ia mampu melihat jauh ke depan dan
kemungkinan baru pada lingkungannya. Inisiatif dan daya kreasinya, kesadaran akan diri
serta lingkungannya, membuat cakrawala kemungkinan yang luas pada lingkungannya untuk
digarapnya. Inisiatif dan daya kreasinya, keadaan yang belum terspesialisasi, memungkinkan
ia menghayati dunianya sebagai dunia terbuka dan mengundangnya untuk menghuninya serta
mengelolanya sepanjang hayatnya.
 Keterarahan hidup manusia kepada lingkungan
Mengenai pertautan manusia dengan lingkungannya terdapat dua pandangan yang ekstrim
yang saling berlawanan: (1) pandangan Leibniz dengan teori metode yang tertutup yang
memandang pribadi aktif dari dalam, tanpa mendapatkan pengaruh dari luar, sehingga
manusia merupakan penyebab, bukan akibat dari lingkungannya:(2) pandangan epifeminalis
yang menganggap pribadihanyalah efek atau akibat dan system persyarafan yang tidak
berdaya sama sekali.
Kedua pandangan tersebut tidak dapat diterima, krena manusia merupakan sekaligus
penyebab dan akibat (causa maupun efek), pasif maupun aktif terhadap lingkungannya ia
mampju memilih dan berinisiatif, namun keberadaannya tidak dapat dilepaskan dari
lingkungannya. Pandangan ini sejalan dengan apa yang disinggung dimuka sebagai
“dwifungsi” manusia terhadap lingkungannya.
Pandangan manusia tidak dapat dilepaskan dirinya dari lingkungannya tersirat pula dalam
konsep “posisi eksentris” manusia terhadap lingkungannya. Artinya manusia tidak selesai
dalam dirinya sendiri. Ia tidak berpusat pada dirinya sendiri, melainkan pusat manusia berada
diluar dirinya. Ia mengarah kedunia diluar dirinya: Tuhan dan lingkungan, termasuk
pertautannya dengan lingkungan budaya dan social. Pandangan ini dapat diungkapkan lebih
dengan menyatakan bahwa “ Lingkungan dan manusia adalah dialog “, artinya saling
mengisi, saling menerima dan saling memberi. Sehingga dapat menemukannya dalam
keadaan seutuhnya manakala ia sedang berada dalam situasinya. Namun sebaliknya, setiap
15
pelukisan situasi yang kongkrit selalu menunjukan kepada orang yang menghuninya.
Keadaan manusia seperti ini dirumuskan Drijakarsa (1964) dalam perumusan yang ganjil
manusia mendunia. Dalam dunianya, manusia nbukan makhluk yang polos. Manusia adalah
makhluk yang terarah. Terarah pada lingkungannya, kepada tuhan ekpada benda-benda
sekitar , kepada sesama manusia, kepada diri sendiri, kepda dunia, dan dunia tidaklah tertutup
baginya dunia manusia adalah dunia terbuka.
 Kesadaran manusia akan tugasnya dalam lingkungan hidupnya
Dunia manusia tidak merupakan sesuatu yang telah selasai, melainkan yang harus
digarapnya. Manusia menghayati dunianya sebagai suatu penugasan bila diingat keadaan
manusia saat ini dilahirkan keadaan perlu bantuan maka kesenjangan antara keadaannya saat
itu dengan tugas yang harus dipenuhi saat ia telah dewasa sungguh luas dan dalam.
Menjembatani kesenjangan seluas dan sedalam itu memerlukan upaya yang luas dan dalam
pula disertai dengan kesungguhan.
 Manusia sebagai makhluk yang perlu dididik
Pandangan bahwa manusia perlu dididik, mempradugakan akan adanya suatu pandangan
tentang manusia sebagai makhluk yang dapat dididik. Akan tetapi sebaliknya, pandangan
bahwa manusia dapat dididik tidak dengan sendirinya mengimplikasikan, bahwa manusia
perlu dididik. Jadi kita sekarang dihadapkan kepada pertanyaan, apakah manusia itu memang
perlu mendapat pendidikan ?
Jelaslah, bahwa kemampuan berjalan tegak diatas dua kakinya, kemampuan bicara
manusia dan perbuatan-perbuatan lain yang dianggap lazim dilakukan manusia, merupakan
hasil belajar dari lingkungannya, dibawah bimbingannya orang lain. Hal ini menguatkan
pendapat yangb diajukan dimuka, bahwa kelahiran manusia belum terspesialisasikan seperti
hewan, seekor kucing yang sejak dilahirkan, terus berada di lingkungan manusia dan diajak
berbicara tetapi akan bertindak sebagaimana telah digariskan bersama “kekucingannya”
kucing hidup didalam dunian tertutup sedangmanusia dalam dunia terbuka.
Dengan menggunakan peristilahan dari Bloom, masalah nilai-nilai kemanusiaan tidak
hanya bergerak dibidang kognitif dan psikomotor, akan tetapi juga dalam perealisasiannya
dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab harus sampai menjangkau bidang afektif, atau
kalau digunakan peristilahan dengan “pengajaran” saja belum cukup untuk membuat
seseorang bertindak susila. Untuk itu berusaha “pendidikan” yang diartikan mencakup
keseluruhan pribadi manusia, mencakup pengetahuan, nilai, keterampilan, emosi, dan
spiritual.

16
Bila manusia diserahkan kepada dirinya sendiri, ia hanya akan mengikuti dorongan
intingnya saja. Padahal hidup sebagai manusia mencakup keharusan menjungjung tinggi,
mengakui dan merealisasikan nilai-nilai kemanusiaan.
Apabila diingkari bahwa manusia itu makhluk yang perlu dididik, maka harus sampai
kepada kesimpulan bahwa.
1) Manusia dilahirkan keadaan dewasa, dalam arti bahwa ia dapat bertindak secara mandiri
dan bertanggung jawab dalam melaksanakan tugas hidupnya, kenyataannya tidak
demikian.
2) Kemampuan untuk hidup secara manusia dan melaksanakan hidupnya secara mandiri dan
bertanggung jawab diperoleh manusia melalui “ pertumbuhan dan perkembangan dari
dalam”, dan cukup mempercayakannya kepada dorongan-dorongan dan insting padahal
kenyataannya tidsk demikian.
3) Kehidupan manusia tidak harus selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan dan cukup hidup
secara instingtif dan mengikuti dorongan-dorongan nafsu belaka. Ini pun tidak selaras
dengan tuntutan hidup manusiawi.
Maka tidak ada jalan lain, kecuali kita harus mengakui bahwa Manusia itu makhluk yang
perlu Dididik.
Persoalan ini memang bukan persoalan baru. Ada dua pandangan saling bertentangan,
yaitu pandangan nativisme yang berpendapat bahwa manusia dilahirkan dengan dibekali
bakat /pembawaan, yang emnentukan garis perkembangnya seseorang selanjutnya, dan
pandanga empiris yang berpendapat bahwa perkembangan seseorang ditentukan oleh
pengaruh yang dialaminya dari lingkungannya, termasuk pendidikan. Jadi bila dikaitkan
dengan kedua istilah diatas, maka istilah dasar mengingatkan kita kepada nativisme dan
istilah ajar mengingatkan kepada empirisme.

Dalam bagian berikut ini akan diuraikan beberapa pandangan yang berkaitan dengan
dasar dan ajar ini, yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan anak, beberapa
pandangan yang berkaitan faktor-faktor tersebut, yaitu pandangan Nativisme, Empirisme,
Naturalisme, dan pandangan Konvergensi.
1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Manusia
Anak manusia sejak dilahirkan berkembang terus sampai mati. Perkembangan anak
manusia itu meliputi perkembangan fisik badaniah dan rohaniah. Perkembangan
berlangsung secara teratur dan terarah menuju kedewasaannya. Tugas pendidikan
membimbing anak agar perkembangannya berlangsung secara wajar dan optimal.

17
a. Faktor keturunan (Heriditas)
Anak memiliki warisan sifat-sifat bawaan yang berasal dari kedua orang tuanya,
merupakan potensi tertentu sudah terbentuk dan sukar diubah. Menurut H.C.
Wittherington hereditas adalah proses penurunan sifat-sifat tertentu dari suatu
generasi ke generasi lain dengan perantaraan sel benih.
Pada dasarnya yang diturunkan itu adalah struktur tubuh, jadi apa yang diturunkan
orang tua kepada anak-anaknya berdasar kepada perpaduan gen-gen, yang pada
umumnya hanya mencakup sifat atau ciri-ciri struktur individu yang diturunkan itu
sangat kecil menyangkut ciri atau sifat orang tua yang diperoleh dari lingkungan atau
hasil belajar dari lingkungannya.
Beberapa ciri atau sifat orang tua yang kemungkinan dapat diturunkan, misalnya:
warna kulit, intelegensi (kecerdasan), bentuk fisik seperti bentuk mata, hidung, suara
berhubungan dengan stuktur selaput suara, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan
struktur fisik individu.
b. Faktor Lingkungan (Environment)
Lingkungan di sekitar manusia dapat digolongkan kepada dua jenis lingkungan yaitu
lingkungan abiotik dan lingkungan biotik. Lingkungan abiotik adalah lingkungan
makhluk tidak bernyawa seperti batu, air, dan hujan, tanah, musim yang disebabkan
iklim karena peredaran matahari, dan sebagainya. lingkungan biotik adalah
lingkungan mahluk hidup yang bernyawa terdiri dari tiga jenis, yaitu; lingkungan
nabati atau lingkungan tumbuhan, lingkungan hewani, dan lingkungan manusia, yaitu
kehidupan manusia termasuk sosial, budaya dan spiritual.
1) Lingkungan sosial, mencakup bentuk hubungan , sikap atau tingkah laku antar
manusia, dan hubungannya antar manusia dengan manusia disekitar anak.
2) Lingkungan budaya, dapat berupa bahasa, karya seni, adat istiadat, ilmu
pengetahuan dan norma-norma atau peraturan – peraturan yang berlaku dalam
pergaulan di masyarakat sekitar anak.
3) Lingkungan spiritual, berupa agama, keyakinan, dan ide-ide yang muncul dalam
masyrakat disekitar anak.
C. Dasar dan Ajar
Ada dua pandangan saling bertentangan, yaitu pandangan nativisme yang berpendapat
bahwa manusia dilahirkan dengan dibekali bakat atau pembawaan, yang menentukan garis
perkembangannya seseorang selanjutnya, dan pandangan empiris yang berpendapat bahwa

18
perkembangan seseorang ditentukan oleh pengaruh yang dialaminya dari lingkungannya,
termasuk pendidikan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan anak, beberapa pandangan yang
berkaitan faktor-faktor tersebut, yaitu pandangan Nativisme, Empirisme, Naturalisme, dan
pandangan Konvergensi.
1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Manusia
Anak manusia sejak dilahirkan berkembang terus sampai mati. Perkembangan anak
manusia itu meliputi perkembangan fisik badaniah dan rohaniah, berlangsung secara teratur
dan terarah menuju kedewasaannya. Tugas pendidikan membimbing anak agar
perkembangannya berlangsung secara wajar dan optimal.
Beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan anak, adalah:
a. Faktor Keturunan (Heriditas)
Anak memiliki warisan sifat-sifat bawaan yang berasal dari kedua orang tuanya, merupakan
potensi tertentu sudah terbentuk dan sukar diubah. Menurut H.C. Witherington, dalam Abu
Ahmadi (2001), heriditas adalah proses penurunan sifat-sifat atau ciri-ciri tertentu dari suatu
generasi lain dengan perantaraan sel benih. Pada dasarnya yang diturunkan itu adalah struktur
tubuh, jadi apa yang diturunkan orang tua kepada anak-anaknya berdasar kepada perpaduan
gen-gen, yang pada umumnya hanya mencakup sifat atau ciri-ciri struktur individu yang
diturunkan itu sangat kecil menyangkut ciri atau sifat orang tua yang diperoleh dari
lingkungan atau hasil belajar dari lingkungannya.
Beberapa ciri atau sifat orang tua yang kemungkinan dapat diturunkan, misalnya: warna kulit,
intelegensi (kecerdasaan), bentuk fisik seperti bentuk mata, hidung, suara berhubungan
dengan struktur selaput suara, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan struktur fisik
individu.
b. Faktor lingkungan (environment)
Lingkungan di sekitar manusia dapat digolongkan kepada dua jenis lingkungan yaitu
lingkungan abiotik dan lingkungan biotik. Lingkungan abiotik adalah lingkungan makhluk
tidak bernyawa seperti batu, air, dan hujan, tanah, musim yang disebabkan iklim karena
peredaran matahari, dan sebagainya. lingkungan biotik adalah lingkungan mahluk hidup yang
bernyawa terdiri dari tiga jenis, yaitu; lingkungan nabati atau lingkungan tumbuhan,
lingkungan hewani, dan lingkungan manusia, yaitu kehidupan manusia termasuk sosial,
budaya dan spiritual.
1) Lingkungan sosial, mencakup bentuk hubungan , sikap atau tingkah laku antar
manusia, dan hubungannya antar manusia dengan manusia disekitar anak.
19
2) Lingkungan budaya, dapat berupa bahasa, karya seni, adat istiadat, ilmu pengetahuan
dan norma-norma atau peraturan – peraturan yang berlaku dalam pergaulan di
masyarakat sekitar anak.
3) Lingkungan spiritual, berupa agama, keyakinan, dan ide-ide yang muncul dalam
masyrakat disekitar anak.
c. Faktor Diri (self)
Guru harus memahami faktor diri yang merupakan faktor kejiwaan kehidupan seorang anak.
Faktor-faktor ini dapat berupa perasaan (emosi), dorongan untuk berbuat (motivasi), intelegensi,
sikap, kemampuan berkomunikasi, dan sebagainya. Adapun ciri perkembangan kejiwaan anak pada
anak SD yang dikemukakan oleh Abu Ahmadi (2001:220-221), sebagai berikut :
 Pertumbuhan fisik dan motorik maju pesat.
 Kehidupan sosial diperkaya dengan kemampuan bekerja sama dan bersaing dalam kehidupan
kelompok.
 Mempunyai kemampuan memahami sebab akibat.
 Dalam kegiatan-kegiatannya belum membedakan jenis kelamin, dan dasar yang digunakan adalah
kemampuan dan pengalaman yang sama.
1) Ciri Perkembangan Kejiwaan Anak TK
 Kemampuan melayani kebutuhan fisik secara sederhana telah mulai berubah.
 Mulai mengenal kehidupan sosial dan pola sosial yang berlaku dan
dilakukannya.
 Menyadari dirinya berbeda dengan anak yang lainyang mempunyai keinginan
dan perasaan tertentu.
 Masih tergantung dari orang lain, dan memerlukan perlindungan orang lain.
 Belum dapat membedakan antara yang nyata dan yang khayal.
2) Ciri Perkembangan Kejiwaan Anak SD
 Pertumbuhan fisik dan motorik maju pesat.
 Kehidupan sosial diperkaya dengan kemampuan bekerja sama dan bersaing
dalam kehidupan berkelompok.
 Mempunyai kemampuan memahami sebab akibat
 Dalam kegiatan – kegiatannya belum membedakan jenis kelamin, dan dasar yang
digunakan adalah kemampuan dan pengalaman yang sama.
3) Ciri Perkembangan kejiwaan Anak SMP
 Mulai mampu memahami hal-hal yang abstrak ( khayal).
 Mampu bertukar pendapat dengan orang lain
 Tumbuh minat memahami diri sendiri dan diri orang lain

20
 Tumbuh pengertian tentang konsep norma dan social
 Mampu membuat keputusan sendiri
2. Aliran-aliran Pendidikan
Aliran- aliran pendidikan adalah pemikiran – pemikiran yang membawa pembaharuan
dalam dunia pendidikan.Pemikiran tersebut berlangsung seperti suatu diskusi
berkepanjangan, yakni pemikiran – pemikiran orang terdahulu selalu ditanggapi dengan pro
dan kontra oleh pemikir berikutnya.Sehingga timbul pemikiran yang baru, dan demikian
seterusnya.
Aliran-aliran yang meliputi aliran-aliran empirisme, nativisme, naturalisme, dan
konvergensi merupakan benang-benang merah yang menghubungkan pemikiran-pemikiran
pendidikan masa lalu, kini, dan mungkin yang akan datang. Aliran-aliran itu mewakili
berbagai variasi pendapat tentang pendidikan, mulai dari yang pesimis yang memandang
bahwa pendidikan kurang bermanfaat bahkan merusak bakat yang telah dimiliki anak sampai
dengan yang optimis yang memandang bahwa anak seakan-akan tanah liat yang dapat
dibentuk sesuka hati.
Aliran-aliran itu pada umumnya mengemukakan satu faktor dominan tertentu saja,dan
dengan demikian, suatu aliran dalam pendidikan akan mengajukan gagasan untuk
mengoptimalkan faktor tersebut untuk mengembangkan manusia.
a. Nativisme
Pandangan Nativisme dapat dicarikannya pada alam pikiran filsafat yang rasional
dengan tokoh-tokohnya diantaranya Descartes dan Libniz. Descartes berpendapat bahwa
dalam pertautannya dengan lingkungan, orang menggunakan pengertian-pengertian tertentu
yang tidak dapat dikatakan sebagai abstraksi dari pengalaman yang dialaminya dari
lingkungannya.
Leibniz berpikir lebih jauh dari itu. Bagi Leibniz pengertian yang harus
dikembalikannya kepada ide-ide yang dibawa lahir bukan beberapa pengertian saja,
melainkan semuanya harus dikembalikan kepada ide-ide yang dibawa lahir.
Aliran nativisme berkeyakinan bahwa anak yang baru lahir membawa bakat,
kesanggupan dan sifat-sifat tertentu. Bakat, kemampuan, dan sifat-sifat yang dibawa sejak
lahir sangat menentukan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak manusia. Pendidikan
dan lingkungan tidak berpengaruh terhadap perkembangan anak. Misalnya seorang anak yang
memiliki bakat melukis, maka pikirannya, perasaannya dan kemauannya serta seluruh
pribadinya tertuju kepada melukis.

21
Pandangan ini memiliki kesejajaran pikiran dengan persoalan hereditas (pembawaan).
Dikatakan kehidupan manusiadimulai sejak jauh sebelum kelahira, yaitu dalam bentuk
“zygote” yang terbentuk melalui pertemuan sel ibu dengan sel dari ayah (sperma). Dalam zat
ini terkandung berbagai potensi pertumbuhan dan perkembangan yang menimbulkan
keragaman individu disamping persamaannya. Demikianlah menurut pandangan nativisme,
perkembangan seseorang sepenuhnya ditentukan oleh bakat pembawaannya. Namun ternyata
masalah bakat ini bukan sesuatu yang mudah dapat dikenal. Bakat dalam artinya yang utuh,
tidak dapat dikenal manusia. Bakat dalam arti yang utuh ini biasa disebut genotype dari bakat.
Genotype dari bakat ini menentukan apa yang akan terjadi dengan suatu organisme dalam
suatu lingkungan tertentu, serta menentukan pula karakteristik hereditas yang akan
dialihkannya kepada keturunannya.
Adapun yang dapat dikenal adalah fenotypenya, yaitu penampilan eksternalnya
(penampilan lahirlah). Artinya ialah bakat yang telah mencerap pengaruh lingkungkannya;
bakat sebagaimana telah berkembang dalam lingkungan tertentu.
Bila dihubungkan dengan pendidikan, ternyata pandangan nativisme membawa
persoalan sendiri. Apabila benar apa yang dikemukakan Schopenhauer, bahwa perkembangan
seseora ng semata-mata merupakan penjabaran dari bakat yang telah dimilikinya bersama
kelahirannya maka tingkah laku sepenuhnya merupakan penjabaran bakat. Bakat dipandang
mutlak menentukan tingkah laku seseorang.
Pandangan ini nampaknya kurang mempercayai bahwa pendidikan akan mampu
mengubah atau mengarahkan tingkah laku seseorang. Peran pendidikan sangat kurang;
kalaupun ada, hanya sampai pengembangan bakat yang telah ada. Oleh karena itu, padangan
ini bersikap pesimis terhadap usaha-usaha pendidikan. Dikatakan, paham ini sebagai
pesimisme pedagogis.
Menurut pandangan ini, bahwa perkembangan manusia dalam kehidupannya akan
berganyung kepda pembawaannya/bakat yang dibawa sejak lahir, sehingga pengaruh dunia
sekitar kurang sekali. Sebaliknya pandangan ini sangat percaya pada “modal” atau
“perlengkapan” yang telah dibekali alam kepada anak bersama kelahirannya. Kepercayaan
yang berlebihan kepada ala mini menyebabkan pandangan ini dijuluki dengan pandangan
optimism naturalism.
b. Naturalisme
Nature artinya alam atau apa yang dibawa sejak lahir. Aliran naturalism yang
dipelopori J.J Rousseau filosof Prancis (1712-17780 hampir senda dengan nativisme.
Berbeda dengan Schopenhauer (nativisme), Rousseau berpandangan bahwa semua anak yang
22
dilahirkan berpembawaan baik, dan pembawaan baik anak tersebut akan menjadi rusak
karena dipengaruhi lingkungan. Pendidikan yang diberikan orang dewasa bisa merusak
pembawaan anak yang baik itu. Aliran ini biasa disebut juga negativism, karena pendidikan
harus membiarkan pertumbuhan anak pada alam. Jadi pendidikan dalam arti bimbingan dari
orang luar (orang dewasa) tidak diperlukan.

Sebagai pendidik Rousseau mengajukan konsep “pendidikan alam”. Artinya anak


hendaklah dibiarkan tumbuh dan berkembang sendiri menurut alamnya, manusia atau
masyarakat jangan mencampurinya. Upaya mengembangkan anak didik dilaksanakan dengan
menyerahkannya kea lam, agar pembawaan yang baik tidak menjadi rusak oleh tangan
manusia. Rousseau ingin menjauhkan anak dari segala keburukan masyarakat yang serba
dibuat-buat sehingga kebaikan anak yang dibawa secara alamiah sejak saat kelahirannya akan
secara spontan dan bebas.

c. Empirisme

Empirisme bertolak pandang Jhon Locke (1704-1932) yang mementingkan


rangsangan dari luar dalam perkembangan manusia, dan menyatakan bahwa perkembangan
anak tergantung kepada lingkungan. Perkembangan pribadi manusia tergantung kepada
pengaruh yang dating dari luar, sama sekali tidak memperhatikan pembawaan atau bakat
anak. Jhon Locke sebagai tokoh empirisme, mengembalikan seluruh pengetahuan yang
didapatnya dari lingkungannya. Respon manusia terhadap pengaruh lingkungan bersifat
netral-pasif, sehingga manusia tidak berdaya sama sekali terhadap pengaruh yang ditimpanya
lingkungankepadanya. Pandangan Locke tergolong pandangan enviromentalisme yang
ekstrim. Penganut aliran empirisme memandang manusia sebagai makhluk pasif yang dapat
dimanipulasi, misalnya melalui modifikasi (mempebaiki) tingkah laku.

Pengalaman yang diperoleh anak dalam kehidupan sehari-hari diperoleh dari dunia
sekitarnya yang berupa stimulasi-stimulasi (rangsangan-rangsangan). Rangsangan ini berasal
dari alam bebas, atau diciptakan oleh orang dewasa dalam bentuk program pendidikan. Aliran
ini dipandang berat sebelah sebab hanya mementingkan pearanan pengalaman yang diperoleh
dari lingkungan. Sedangkan kemampuan dasar yang dibawa anak sejak lahir dianggap tidak
menentukan sama sekali.

Pengalaman dalam pendidikan menunjukkan ada anak yang berhasil dalam


perkembangan pribadinya karena bakat, walaupun keadaan lingkungannya tidak mendukung.

23
Keberhasilan tersebut disebabkan karena adanya kemampuan yang berasal dari dalam diri
anak.

Keadaan manusia saat dilahirkan diumpamakan Locke sebagai “Labula rasa”, yaitu
sebuah meja yang dilapisi lilin, yang digunakan disekolah dalam rangka belajar menulis.
(Penggunaan “labularasa” untuk latihan menulis mungkin disebabkan kertas masih langka.
Barangkali sekarang ada orang yang menyebutnya “teori kertas kosong”). Pengalaman yang
diperoleh orang dari lingkungannyalah yang menggoresi tabularasa, jiwa manusia, yang
masih kosong polo situ, karena kiasan ini menjadi sering dijuluki sebagai “teori tabularasa” di
abad 20 terdapat tokoh-tokoh pendidikan yang ajarannya dalam beberapa hal mengingatkan
kita kepada john locke.

Diantaranya : J.B. Watson dari Amerika yang merupakan tokoh aliran behaviorisme.
Behaviorisme tidak mengakui adanya pembawaan dan keturunan, atau sifat-sifat yang
diturunkan. Pendidikan merupakan behaviorismeadalah pembentukan kebiasaaan, yaitu
menurut kebiasaan-kebiasaan, yang berlaku dalam lingkungan seorang anak. Jadi menurut
paham behaviorisme, kekuatan, kesenangan cinta kasih dan seluruh sifat dan sikap manusia,
bahkan perkembangan manusia dapat dibentuk dan ditentukan melalui kondisionisasi.

d. Konvergensi

William stern mempertemukan kedua pandangan di atas dalam teorinya yang


kemudian dikenal sebagai teori konvergensi. (konvergensi berarti pertemuan anatara dua
garis lurus, pada suatu titik). Inti persoalannya adalah : bagaimana nisbet anatara individu
dengan lingkungannya. Stern berependapat bahwa perkembangan individu mendapatkan
pengaruh, baik dari bawaan “dasar” maupun lingkungan, termasuk pendidikan “ajar”
keduanya bekerja sama.

Implikasi bagi pendidikan adalah, bahwa dalam melaksanakan pendidikan, kedua


momen dasar dan ajar, hendaknya mendapatkan perhatian seimbang, dalam perkembangan
manusia, pendidikan memegang peranaan yang penting. Namun demikian seorang pendidik
hendaknya berendah hati;tidak pada tempatnya dengan bangga menunjukan : inilah hasil
didikan saya.

Sebab upayanya itu tergantung pula dari situasi saat pendidikan itu berlangsung, dari
cara anak menerimanya (menolaknya), dari bakat dan kemampuan yang ada pada anak;

24
sangat sulit ditentukan, mana hasil didikan, mana oenjabaean bakat dan bawaan. Hendaknya
seorang pendidik tetap memiliki optimism, namun oatut diingat, bahwa banyak variable yang
turut menentukan kebrhasilan pendidikannya.

25
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Manusia sejak lahir telah dibekali dengan sejumlah potensi. Potensi adalah
kemampuan, kesanggupan, daya yang menjadi modal bagi manusia tersebut agar kelak siap
mandiri dalam menjalani kehidupan di lingkungan dimana dia berada. M.J. langeveld yang
memandang manusia sebagai animal educandum yang mengandung makna bahwa manusia
merupakan makhluk yang perlu atau harus di didik. Manusia merupakan makhluk yang perlu
di didik., karena manusia pada saat dilahirkan kondisinya sangat tidak berdaya sama sekali.
Seorang bayi yang baru dilahirkan, berada dalam kondisi yang sangat memerlukan bantuan,
ia memiliki ketergantungan yang sangat besar. Padahal nanti dikemudian hari apabila ia telah
dewasa akan mempunyai tugas yang besar yakni sebagai khalifah dimuka bumi. Kondisi
seperti ini jelas sangat memerlukan bantuan dari orang yang ada disekitarnya. Bantuan yang
diberikan itulah yang menjadi awal kegiatan pendidikan.

B. SARAN

Manusia mempunyai potensi yang tidak dapat dimiliki makhluk lain yaitu akal. Oleh
karena itu manusia harus terus belajar dan perlu pendidikan untuk mendewasakan dirinya.
Karena tanpa pendidikan manusia tidak dapat mengembangkan potensinya secara optimal.

26
DAFTAR PUSTAKA

Sadulloh, Uyoh dkk. 2009. Pedagogik. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Sadulloh, Uyoh. 2010. Pedagogik (Ilmu Mendidik). Bandung: Alfabeta.

Hafizhah, Dina. 2018. Pendidikan Hanya untuk Manusia. Cirebon: Universitas


Muhammadiyah.

Ngalimun dkk. 2015. Individualitas pada Prinsip Pembelajaran. Bandung: Universitas


Pendidikan Indonesia.

Kadir, Abdul, 2008. Dasar-dasar Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Mudyahardjo, Redja. 2001. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

27

Anda mungkin juga menyukai