Anda di halaman 1dari 17

KONSEP ANTROPOLOGI HUKUM

Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Antropologi Hukum IH-5A
Dosen Pengampu: Bapak Dr. Yayan Sopyan, S.H., M.A., M.H.

DISUSUN OLEH KELOMPOK 1:

Alfito Januardi (11200480000012)


Ulfa Asriani SI (11200480000015)
Muhammad Alfarizi Firdaus (11200480000060)
Prita Sahada Salsabila (11200480000071)
Ezra Zachary Rakan Maoelana (11200480000077)

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2022 M/1444 H
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga
saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Konsep Antropologi Hukum” ini tepat
pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dosen Bapak Dr.
Yayan Sopyan, S.H., M.A., M.H., pada mata kuliah Antropologi Hukum Selain itu, makalah
ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang “Konsep Antropologi Hukum” bagi para
pembaca dan juga bagi penulis.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada bapak Bapak Dr. Yayan Sopyan, S.H., M.A., M.H.
selaku dosen mata kuliah Antropologi Hukum yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang penulis tekuni. Penulis
juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.

penulis menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun akan penulis nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Ciputat, 10 September 2022


Penulis

KELOMPOK 1

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................... 1


DAFTAR ISI......................................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 3
B. Rumusan Masalah ................................................................................. 4
C. Tujuan Penulisan ................................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi dan Makna Antropologi Hukum ............................................ 5
B. Asas-Asas Antropologi Hukum ........................................................... 6
C. Ruang Lingkup Antropologi Hukum ................................................... 13
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................................... 15
B. Kritik atau Saran .................................................................................. 15
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 16

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Antropologi secara etimologis berasal dari bahasa Yunani. Kata Anthropos berati
Manusia dan Logos berati Ilmu Pengetahuan. Jadi Antropologi Hukum adalah ilmu yang
mempelajari tentang Manusia. Oleh karena itu antropologi didasarkan pada kemajuan yang
telah dicapai dalam ilmu pengetahuan sebelumnya. Karena antropologi sebagai disiplin
ilmu terus berkembang, tidak hanya pada tataran teoritis tetapi juga sebagai ilmu terapan
yang mampu memberikan masukan bagi para pembuat keputusan dalam menentukan
kebijakan pembangunan.
Secara historis, antropologi berkembang dari suatu deskripsi hasil-hasil laporan
perjalanan para penjelajah dan penjajah tentang kehidupan manusia di daerah yang
disinggahi para penjelajah, atau kehidupan salah satu suku bangsa yang tinggal di daerah
jajahan. Deskripsi tersebut dikenal dengan nama etnografi. Dalam perjalanannya
kemudian, antropologi berkembang sebagaimana keberadaannya sekarang baik di negara-
negara Eropa Barat, Amerika maupun di Asia. Beberapa cabang antropologi yang dikenal
secara luas saat ini adalah antropologi fisik atau biologi, antropologi sosial, dan
antropologi budaya. Di sisi yang lain, antropologi juga merupakan bidang ilmu terapan
sehingga hasil kajiannya dapat dimanfaatkan sebagai masukan dalam pengambilan
keputusan untuk keperluan pembangunan, terutama dalam pembangunan sosial budaya,
seperti antropologi pembangunan, antropologi kesehatan, antropologi ekonomi, dan
sebagainya.
Dalam keilmuan antropologi hukum memiliki substansi terkait dengan peran, status
atau kedudukan, nilai, norma dan juga kebudayaan. Kesemuanya ini merupakan hal-hal
yang sangat erat kaitannya dengan ilmu antropologi hukum. dan semua materi yang berada
di dalam ilmu antropologi hukum mempunyai banyak sekali manfaatnya. Kemudian dalam
antropologi hukum tidak dapat membatasi diri pada isi peraturan-peraturan hukum dan
bentuk-bentuk sanksinya, tapi yang perlu diketahui dengan jelas adalah proses
pembentukan hukumnya.
.

3
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa Yang Dimaksud Dengan Definisi dan Makna Antropologi Hukum.
2. Bagaimana Asas-Asas dari Antropologi Hukum.
3. Bagaimana Ruang Lingkup dari Antropologi Hukum.
C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk Mengetahui Definisi dan Makna Antropologi Hukum.
2. Untuk Mengetahui Asas-Asas dari Antropologi Hukum.
3. Untuk Mengetahui Ruang Lingkup dari Antropologi Hukum.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. DEFINISI DAN MAKNA ANTROPOLOGI HUKUM


Secara etimologi kata Antropologi berasal dari kata anthtopos yang memiliki arti “manusia
atau orang” dan logos yang memiliki arti “ilmu”. Sedangkan Antropologi menurut Kamus
Oxford yakni studi yang berkaitan dengan masyarakat mengenai budaya manusia serta
perkembangannya. Menurut salah satu ahli antropologi yaitu Koentjaraningrat, Antropologi di
definisikan sebagai ilmu yang mempelajari keaenakaragaman bentuk fisik suatu masyarakat
serta kebudayaan-kebudayaan yang dihasilkan oleh manusia. Dari penjelasan tersebut dapat
disimpulkan definisi sederhana dari antropologi, yakni suatu ilmu yang mengkaji atau
mempelajari manusia dari aspek keanekaragaman fisik serta kebudayaan yang dihasilkannya
sehingga menyebabkan adanya perbedaan antara manusia yang satu dengan yang lainnya.1

Sedangkan pengertian dari antropologi hukum yaitu ilmu pengetahuan tentang manusia
yang berkaitan dengan hukum. Manusia yang dimaksud disini ialah masyarakat yang berbaur
antara satu sama lain, baik masyarakat yang budayanya masih sederhana maupun masyarakat
yang sudah modern. Paul Bohanan mengatakan bahwa antropologi hukum merupakan cabang
ilmu pengetahuan hukum yang mempelajari pola-pola sengketa dan cara penyelesaiannya. Lalu
Prof, T.O. Ihromi mengatakan bahwa antropologi hukum merupakan cabang dari antropologi
budaya dan dalam ilmu itu hendak dipahami bagaimana masyarakat mempertahankan nilai-
nilai yang berlaku, dijunjung tinggi, melalui proses pengendalian sosial dan dalam hal itu
hukum diperhatikan sebagai salah satu metode dari pengendalian sosial2.

Kemudian menurut J.B. Daliyo, antropologi hukum adalah antropologi yang mempelajari
hukum sebagai suatu aspek kebudayaan. Budaya yang dimaksud disini ialah budaya hukum,
artinya semua wujud tingkah laku budaya manusia yang berkaitan atau berpengaruh dalam
masalah hukum. Sedangkan permasalahan hukum yang dimaksud yakni bukan sebatas hukum
dalam bentuk perilaku kebiasaan yang terjadi secara repetitif layaknya hukum adat maupun
hukum dengan pendekatan normative, melainkan juga meliputi pendekatan dari segi
cendikiawan, filsafat, psikologi, dan lain-lain yang menjadi latar belakang adanya hukum

1 Rizki Aditya, Pengertian Antropologi Hukum Menurut Para Ahli Indonesia dan Dunia dalam Mendukung
Perkembangan Antropologi Hukum, hlm 2-4.
2 Salman Manggalatung and Amrizal Siagian. Pengantar Studi Antropologi Hukum Di Indonesia. UIN Jakarta
Press, 2015., hlm 2.

5
tersebut, serta cara masyarakat menyelesaikan suatu perkara atau sengketa yang muncul dalam
ruang masyarakat.3
Dapat disimpulkan bahwa masalah hukum yang ada dalam antropologi hukum itu bukan
sebatas masalah hukum yang normative layaknya terdapat dalam hukum perundang-undangan,
atau masalah hukum yang merupakan kebiasaan yang terjadi berulang-ulang seperti dalam
hukum adat, melainkan juga memuat faktor-faktor budaya perilaku manusianya dalam
menghadapi suatu masalah hukum. Maksud dari faktor budaya yang melatar belakangi masalah
hukum disini yakni budaya yang mempengaruhi cara-cara yang digunakan oleh masyarakat
pada daerah tertentu dalam menyelesaikan masalah perselisihan disuatu daerah, yang mana hal
tersebut belum tentu sama dengan cara-cara masyarakat daerah lainnya dalam menyelesaikan
suatu perkara atau perselisihan. Hal tersebut tidak sama dikarenakan adanya perbedaan latar
belakang budaya masyarakat adatnya.4 Misalnya kalangan orang-orang Padang dengan
kalangan orang-orang Bali, yang memiliki perbedaan dalam menyelesaikan suatu perselisihan
atau masalah hukum. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa antropologi hukum adalah
sebuah ilmu yang mempelajari bagaimana pola perilaku manusia kepada hukum, di mana objek
kajiannnya adalah budaya hukum dari manusia itu sendiri.

B. ASAS-ASAS ANTROPOLOGI HUKUM


Sebagaimana dikemukakan L. Pospisil bahwa antropologi hukum tidaklah bersifat
etnosentris, artinya tidaklah segala sesuatunya hanya diukur menurut ukuran yang berlaku
dalam budaya sendiri, oleh karena antopologi itu adalah sebagai berikut:
1. Antropologi Hukum itu tidak membatasi pandangannya pada kebudayaan-kebudayaan
tertentu. Masyarakat manusia di pelajari dengan cara perbandingan. Bagaimana
sederhananya tahap perkembangan masyarakat, sepatutnya dipelajari di samping
masyarakat yang budayanya sudah maju, yang tidak dibedakan secara kualitatif.
2. Antropologi Hukum berbeda dari cabang ilmu sosial yang lainnya karena ilmu ini
mempelajari masyarakat sebagai suatu keseluruhan yang utuh dimana bagian-bagiannya
saling bertautan. Jadi tidak dapat dipotong-potong menurut segi tertentu.
3. Antropologi Hukum yang modern tidak lagi memusatkan perhatian hanya pada kekuatan-
kekuatan sosial dan hal-hal yang superorganis, lalu memperkecil peranan individu.
Semuanya mendapat perhatian yang sama.

3 Hilman Handikusuma, Pengantar Antropologi Hukum (Bandung: PT CITRA ADITYA BAKTI, 2004) hlm 4.
4 Ibid, hlm 5.

6
4. Antropologi Hukum tidak memandang masyarakat yang dalam keseimbangan yang
mengalami gangguan jika ada penyimpangan tetapi masyarakat dipandang secara dinamis,
sehingga peranan sosial dari hukum tidak terbatas mempertahankan statusquo.
Sebagaimana dikatakan Stone, Antropologi Hukum bukanlah penganut “ketidakmampuan
legislatif”.
5. Antropologi Hukum termasuk ilmu tentang hukum yang bersifat empiris, konsekuensinya
ialah bahwa teori yang dikemukakan harus didukung fakta yang relevan atau setidak-
tidaknya terwakili secara representatif dari fakta yang relevan. Fakta yang dimaksud
adalah kejadian yang dapat di tangkap oleh pancaindra.
Sebagaimana ilmu-ilmu sosial lainnya, penggunaan konsep dalam antropologi adalah
penting, sebab pengembangan konsep yang terdefinisikan dengan baik merupakan tujuan dari
setiap disiplin ilmu. Walaupun menurut keesing (1958: 152) yang mengemukakan “tidak ada
dua ahli antropologi yang berfikirnya sama persis, atau mengguanakan dengan tepat
pengoprasian konsep-konsep atau simbol-simbol yang sama”. Adapun contoh konsep-konsep
antropologi, diantaranya:
1. Kebudayaan
Istilah culture (kebudayaan) berasal dari bahas latin, yakni cultura dari kata dasar colere
yang berarti berkembang tumbuh. Namun, secara umum pengertian kebudayaan mengacu
kepada kumpulan pengetahuan yang secara sosial diwariskan dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Maka itu kontras dengan pengertian kebudayaan sehari-hari yang hanya
merujuk kepada bagian-bagian tertentu warisan social, yakni tradisi sopan santun dan
kesenian (D’Andrade, 1995:1999).
2. Evolusi
Secara sederhana, konsep evolusi mengacu pada sebuah transformasi yang berlangsung
secara bertahap. Walaupun istilah tersebut merupakan istilah umum yang dapat dipakai
dalam berbagai bidang studi (McHenry, 2000: 453). Dalam pandangan para antropologi,
istilah evolusi yang merupakan gagasan bahwa bentuk-bentuk kehidupan berkembang dari
suatu bentuk ke bentuk lain melalui mata rantai transformasi dan modifikasi yang tidak
pernah putus asa, pada umumnya diterima sebagai awal landasan berfikir mereka.
Konsep evolusi yang sering digandengkan dengan pengertian perubahan secara
perlahan-lahan tapi pasti, memang diawali dengan karya Charles Darwin dalam bukunya
yang terkenal Origin of Species (1859). Sebenarnya, gagasan ini menyatakan bahwa
bentuk-bentuk kehidupan berkembang dari bentuk satu ke bentuk yang lainnya
diperkirakan sudah sejak zaman yunani kuno, sejumlkah pemikir pada masa itu telah

7
membuat postulat yang serupa atau mendekati pengertian asal usul kehidupan yang
evolusioner. Banyak pelopor sebelum Darwin, termasuk kakeknya sendiri, mengakui
adanya keragaman dan diversitas kehidupan dengan mengajukan hipotesis tentang
modifikasi evolusioner.
Gagasan tentang evolusi melalui seleksi alam merupakan gagasan utama Darwin dalam
bukunya tersebut. Darwin dianggap telah mencapai pemahaman yang koheren, meskipun
tidak lengkap karena dia tidak tahu tentang proses hereditas atau pewarisan karekter yang
kemudian ditemukan Gregor Mendel (Dobzhansky, 1962; Huxley, 1942). Pengaruhnya
begitu luas, bukan hanya di bidang biologi saja, tetapi melebar ke bidang-bidang social
budaya. Oleh karena itu, terminology evolusi tidak berhenti dalam bidang biologi, tetapi
merambah ke bidang lain sehingga di kenal istilah-istilah dan teori-teori, seperti teori
evolusi keluarga, evolusi agama, dan evolusi social budaya. Untuk nama yang terakhir,
sering overlap dengan darwinisme sosial, di mana Herbert Spencer merupakan sumber
pertama yang memunculkan jargon the survival of the fittest (daya tahan dari jenis atau
individu yang memiliki cirri-ciri paling cocok dengan lingkungannya), sebagaimana
tertung dalam karyanya Principle of Sociology.
3. Culture Area (Daerah Budaya)
Suatu daerah budaya (culture area) adalah suatu daerah geografis yang memiliki
sejumlah ciri-ciri budaya dan kompleksitas lain yang dimilikinya (Banks, 1977: 274).
Menurut definisi di atas, suatu daerah kebudayaan pada mulanya berkaitan dengan
pertumbuhan kebudayaan yang menyebabkan timbulnya unsur-unsur baru yang akan
mendesak unsus-unsur lama kearah pinggir, sekeliling daerah pusat pertumbuhan tersebut.
4. Enkulturasi
Konsep enkulturasi mengacu kepada suatu proses pembelajaran kebudayaan (Soekanto,
1993:167). Dengan demikian, pada hakikatnya setiap orang sejak kecil sampai tua,
melakukan proses enkulturasi, mengingat manusia sebagai makhluk yang dianugerahi
kemampuan untuk berfikir dan bernalar sangat memungkinkan untuk setiap waktu
meningkatkan kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotornya.
5. Difusi
Difusi adalah proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan secara meluas sehingga
melewati batas tempat di mana kebudayaan itu timbul (Soekanto, 1993: 150). Dalam
proses difusi ini erat kaitannya dengan konsep inovasi (pembaharuan). Menurut Everett
M. Rogers dalam karyanya Diffusion of Innovation (1983), cepat tidaknya suatu proses
difusi sangat erat hubungannya dengan empat elemen pokok, yaitu (a) sifat inovasi; (b)

8
komunikasi dengan saluran tertentu; (c) waktu yang tersedia; (d) sistem sosial warga
masyarakat.
6. Akulturasi
Akulturasi adalah proses pertukaran ataupun saling memengaruhi dari suatu
kebudayaan asing yang berbeda sifatnya sehingga unsure-unsur kebudayaan asing tersebut
lambat laun diakomodasikan dan diintegrasikan ke dalam kebudayaan itu sendiri tanpa
kehilangan kepribadiannya sendiri (Koenjtaraningrat, 1990: 91). Proses akulturasi sangat
penting dalam pembelajaran ilmu-ilmu sosial maupun studi sosial, mengingat
sebagaimana dijelaskan R. Linton (1984: 357-360) bahwa percepatan budaya inti (covert
culture) dengan budaya lahiriah (overt culture) adalah berbeda.
7. Etnosentrisme
Tiap-tiap kelompok cenderung untuk berfikir bahwa kebudayaan dirinya itu adalah
superior (lebih baik dan lebih segalanya) dari pada semua budaya yang lain. Inilah yang
disebut dengan etnosentrisme. Seorang ahli komunikasi intercultural Fred E. Jandt dalam
karyanya Intercultural Communication: An Introduction (1998: 52) mengemukakan
etnosentrisme merupakan sikap ... “negatively judging aspects of another culture by the
standards of ones’s own culture.”... secara negatif menilai aspek budaya orang lain oleh
standar kultur diri sendiri’. Oleh karena itu, jandt dalam penjelasan selanjutnya
mengemukakan bahwa etnosentrisme merupakan penghambat ketiga dalam keterampilan
komunikasi intercultural setelah kecemasan dan mengumpamakan persamaan sebagai
perbedaan. Tercapainya keterampilan komunikasi intercultural yang optimal menjadi
penting, baik ditingkat local, nasional, maupun global. Pada tingkat local dan nasional,
pembelajaran pengembangan keterampilan komunikasi intercultural dapat meningkatkan
rasa saling menghargai, rasa memiliki, dan solidaritas yang pada gilirannya mampu
memelihara persatuan dan kesatuan bangsa. Sedangkan pada level global atau
internasional dapat memupuk kepedulian antarwarga dunia, meningkatkan rasa
kesetiakawanan, solidaritas, dan kerjasama antar bangsa yang saling menguntungkan
dalam kesamaan dan kesetaraan Supardan, 2004: 84-86).
8. Tradisi
Tradisi adalah suatu pola perilaku atau kepercayaan yang telah menjadi bagian dari
suatu budaya yang telah lama dikenal sehingga menjadi bagian dari suatu budaya yang
telah lama dikenal sehingga menjadi adat istiadat dan kepercyaan secara turun-temurun
(Soekanto, 1993: 520). Para masing-masing individu perlu mempelajari tradisi sebab tidak
sedikit dalam kajian tradisi mengandung nilai-nilai keluhuran budi yang tinggi dan sering

9
tidak tersentuh oleh agama maupun budaya global. Kita dapat belajar dari pengembangan
nilai-nilai tradisional jepang sebagai bagian integral keberhasilan restorasi meiji dan
modernisasinya sehingga jepang menjadi Negara industri pertama dan termaju di Asia
sejak abad ke-19 (Clyde, 1958: 223-225).
Namun sebaliknya, tradisi tidak terlalu berpihak kepada nilai kebaikan bahkan
bertentangan dengan nilai hak asasi manusia secara universal. Pertunjukan gladiator yang
mempertontonkan kekuatan dan kekejian seorang pembunuh di depan raja dan golongan
bangsawan romawi abad pertengahan, upacara satti yang merupakan pembakaran janda di
India yang pernah hidup pada masa India klasik, menunjukan betapa hal itu merendahkan
nilai-nilai kemanusiaan hingga nyawa manusia menjadi ajang permainan belaka. Oleh
karena itu, dengan mempelajari tradisi, siswa dapat reflektif, belajar berfikir kritis, dan
kreatif. Mempertanyakan hakikat nilai-nilai kebenaran, abaik pada masanya maupun
relavansinya denga kekinian.
9. Ras dan Etnik
Suatu ras adalah sekelompok orang yang memiliki sejumlah ciri biologi (fisik) tertentu
atau suatu populasi yang memiliki suatu kesamaan dalam sejumlah unsur biologis atau
fisik khas yang disebabkan oleh faktor hereditas atau keturunan (Oliver, 1964: 153)
Sedangkan etnik menurut marger (1985: 7) ... “are groups within a larger society that
display a unique set of culture traits.” Jadi, dalam kajian etnik lebih menekankan sebagai
kelompok social bagian dari ras yang memiliki cirri-ciri budaya yang sifatnya unik. Bangsa
Indonesia memiliki sejumlah etnik yang jumlahnya hamper 500 etnik, tersebar dari sabang
sampai merauke.
10. Stereotip
Stereotip (stereotype) adalah istilah yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu stereos yang
berarti solid dan tupos yang berarti citra atau kesan. Suatu stereotip mulanya adalah suatu
rencana cetakan yang begitu terbentuk sulit diubah. Oleh Walter Lippman, orang pertama
yan mengaltikulasikan teori cognitive miser dalam bukunya Publik Opinion (1922), kata
ini diadaptasi untuk penggunaanya yang sekarang, biasanya didefinisikan sebagai
generalisasi yang relatif tetap mengenai kelompok atau kelas manusia yang menjurus ke
hal-hal negatif ataupun tidak menguntungkan, meskipun beberapa penulis juga
memasukan konsep stereotip positif.
Di Indonesia, stereotip pun demikian berkembang terutama di kalangan masyarakat
menengah ke bawah maupun masyarakat yang relative berpendididkan rendah. Beberapa
etnis tertentu sering mendapat label yang menyudutkan, seperti “Cina Licik”, “Jawa

10
Koek”, “Padang Bengkok”, “Bapak si tukang copet”, dan sebagainya (Supardan, 2004: 63-
70). Wajar jika menurut Fred E. Jandt dalam bukunya “Intercultural Communication: An
Introduction” mengemukakan bahwa stereotype dan prejudice merupakan penghambat
terjadinya komunikasi antarbudaya yang bermakna di tengah budaya yang berbeda, di
samping faktor-faktor kecemasan dan etnosentrisme (Jandt, 1998:70-74).
11. Kekerabatan
Istilah kekerabatan atau kinship menurut antropolog Robin Fox dalam karyanya
Kinship and Marriege (1969) merupakan konsep inti dalam antropologi. Konsep
kekerabatan tersebut merujuk kepada tipologi klasifikasi kerabat (kin) menurut penduduk
tertentu berdasarkan aturan-aturan keturunan (descent) dan aturan- aturan perkawinan.
Satu tesis yang umum diterima oleh kebanyakan antropologi bahwa dalam komunitas
purba, unit dan ikatan domestik didasarkan pada kelompok-kelompok keterunan unilineal,
keturunan ditelusuri pada garis laki-laki (patrilineal) maupun pada garis perempuan
(matrilineal). Namun akhirnya pada awal abad ke-20, pendapat tersebut ditolak (Kuper,
2000: 533). Menurut Malinowski, keluarga adalah suatu institusi domestik, bergantung
pada afeksi, dan bertujuan membesarkan anak. Korporasi keturunan adalah institusi publik
dan politis yang memiliki suatu peran dalam urusan komunitas dan pengaturan hak-hak
kepemilikan (property rights).
Akan tetapi, Malinowski pun mengatakan bahwa kelompok keturunan dibangun di atas
sentimen-sentimen solidaritas yang tercipta dalam keluarga domestic Malinowski, 1929).
Kemudian, Radcliffe-Brown berpandangan bahwa sistem kekerabatan yang lebih luas
dibangun di atas fondasi keluarga, namun bila keluarga secara universal bersifat bilateral
– ikatan ibu dan ayah – kebanyakan masyarakat lebih menyukai satu sisi dalam keluarga
untuk tujuan-tujuan public. Sebab fungsi utama ketturunan adalah untuk meregulasi
transmisi kepemilikan dan hak masyarakat dari generasi ke generasi (Kupper, 1992).
12. Magis
Konsep magis menurut seorang pendiri antropologi di Inggris E.B. Tylor dalam
Primitive Culture (1871) merupakan ilmu pseudo dan salah satu khayalan paling merusak
yang pernah menggerogoti umat manusia. Kemudian, dari antropolog J.G. Frazer dalam
karyanya Golden Bough (1890), mengemukakan bahwa magis adalah penerapan yang
salah pada dunia materiil dari hukum pikiran dengan maksud untuk mendukung sistem
palsu dari hukum alam.
Penegasan di atas tidak memberi penjelasan yang memadai, terutama Tylor yang
menyoroti dari sisi negatifnya karena ia hanya melihat dari sisi efek yang ditimbulkannya.

11
Namun demikian, Tylor pun mengemukakan bahwa sebagai ‘ilmu pseudo’ –suatu istilah
yang pertama kali dipopulerkan-nya yang kemudian dapat diringkas menjadi dua prinsip
dasar. Pertama, kemiripan menghasilkan kemiripan. Kedua, segala sesuatu atau benda
yang pernah dihubungkan akan terus saling berhubungan dalam jarak tertentu. Dua prinsip
ini menghasilkan magis homeophatic atau imitative dan magis sympatheic karena
keduanya mengasumsikan bahwa segala benda akan saling berhubunagn satu sama lain
dalam jarak tertentu melalui suatu simpati rahasia, impuls ditransmisikan dari satu pihak
ke pihak lain lewat sarana yang kita sebut sebagai zat tidak terlihat (Tylor, 1871; Frazer,
1932).
13. Tabu
Istilah tabu berasal dari bahasa polinesia yang berarti terlarang. Secara apa yang
dikatakan terlarang adalah persentuhan antara hal duniawi dengan hal yang keramat,
termasuk suci (misalnya persentuhan dengan ketua suku, dll.)
14. Perkawinan
Secara umum konsep perkawinan tersebut mengacu kepada proses formal pemaduan
hubungan dua individu yang berbeda jenis yang dilakukan secara seremonial-simbolis dan
makin dikarakterisasi oleh adanya kesederajatan, kerukunan, dan kebersamaan dalam
memulai hidup baru dalam berpasangan.
Pada sebagian besar tradisi, perkawinan juga merupakan proses institusi sosial sebagai
wahana reproduksi dan mengembangkan keturunan. Oleh karena itu, kecenderungan
umum dari perkawinan, dengan adanya kelahiran anak-anak mendorong ikatan yang lebih
erat dalam pembagian kerja (Mansfielf dan Collard, 1988), sekaligus sebagai konsekuensi
negatif dalam partisipasi sosial dan ekonomi bagi wanita. Walaupun tidak mudah untuk
memperoleh data yang memadai, bukti dari berbagai Negara mengindikasi bahwa pria
secara rutin memiliki tingkatan yang lebih tinggi dalam belanja individu dibanding dengan
pasangan wanitanya. Pria pun memiliki kuasa yang lebih besar dalam menangani
keputusan-keputusan besar dan memberikan prioritas yang lebih tinggi terhadap
pekerjaan-pekerjaan dan aktivitas waktu luang mereka (Allan, 2000: 612).

12
C. RUANG LINGKUP ANTROPOLOGI HUKUM
Pada awalnya, fokus para ahli antropologi hukum dalam mempelajari antropologi hukum
hanyalah menguraikan laporan tentang norma-norma hukum di dalam lingkungan masyarakat
yang sederhana yang bersumber dari tulisan para pegawai pemerintahan kolonial dan para
misionaris dan kemudian dikumpulkan menjadi satu. Namun pada tahun 1940, tulisan yang
menguraikan analisis terhadap penyelesaian perkara perkara perselisihan di dalam masyarakat
mulai muncul, sebagaimana yang telah dilakukan oleh llewellyn. Sejak tahun 1954, mulai
muncul karya tulis yang menggunakan metode kasus yang bersifat deskriptif, contohnya karya
tulis hoebel, smith, Roberts, howell dan lain lain.
Dari karya inilah ditemukan ruang lingkup dari antropologi hukum. Menurut Laura Nader
dalam bukunya yang berjudul “The anthropological Study of Law” ruang lingkup antropologi
hukum meliputi:
1. Apakah di dalam setiap masyarakat terdapat hukum, dan bagaimana karakteristik hukum
yang universal?
2. Bagaimana hubungan antara hukum dengan aspek kebudayaan dan organisasi sosial?
3. Mungkinkah mengadakan tipologi hukum tertentu, sedangkan variasi karakteristik
hukum terbatas?
4. Apakah tipologi hukum itu berguna untuk menganalisis hubungan antara hukum dan
aspek kebudayaan dan organisasi sosial. Mengapa pula hukum itu berubah?
5. Bagaimana cara mendeskripsi sistem-sistem hukum, apa akibatnya apabila sistem hukum
dan sub-sistem hukum antara masyarakat dan kebudayaan yang saling berhubungan, dan
bagaimana kemungkinan untuk membandingkan sistem hukum yang satu dan yang lain?
Selanjutnya, menurut Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si. dan Drs. H. Encup Supriatna, M.Si,
Ruang Lingkup Kajian Antropologi Hukum meliputi antara lain: 5
1. Manusia Dengan Kebudayaannya
a. Sejarah manusia dan kemanusiaan
b. Manusia sebagai individu
c. Manusia sebagai makhluk sosial
d. Manusia dalam hidup berkeluarga
e. Manusia dalam kehidupan bermasyarakat
f. Manusia dan sistem nilai yang berlaku
g. Manusia dalam perkembangan pola pikir dan pola kehidupannya.

5 Beni Ahmad Saebani and Encup Supriatna, Antropologi Hukum (Bandung: CV Pustaka Setia, 2012).

13
2. Manusia dengan hukum dan tatanan kehidupannya
a. Sistem berpikir pada manusia
b. Sistem nilai yang tumbuh dan dianut manusia
c. Pembentukan kebudayaan normatif
d. Keluarga dan hukum yang ditimbulkannya
e. Hukum-hukum dalam kemasyarakatan
f. Internalitas hukum dalam kehidupan manusia yang berbudaya
g. Perubahan sistem nilai dan norma sosial
h. Keseimbangan antara kehendak manusia dan lingkungan geografis
i. Kebudayaan pencetus hukum yang legal dan formal.
Namun apabila jika membahas lebih spesifik terkait antropologi hukum, maka ruang
lingkupnya dapat dipersempit menjadi 3 (Tiga) hal bagian saja, yakni:
1. Perilaku Hukum Masyarakat.
2. Budaya Hukum Masyarakat.
3. Cara Pandang Masyarakat Terhadap Hukum dan Produk Turunannya.
Sejak Antropologi Hukum itu merupakan bagian dari antropologi, objeknya pun lebih sempit
daripada objek antropologi, yaitu manusia di dalam masyarakat suku bangsa, kebudayaan dan
perilakunya. Selain ruang lingkup antropologi hukum, terdapat juga ruang lingkup antropologi
di Indonesia. Seperti yang diketahui Bersama, Indonesia memiliki keragaman suku, budaya
dan bahasa sehingga terbentuknya ruang lingkup antropologi di Indonesia. Adapun ruang
lingkupnya meliputi 5 hal, antara lain:
1. Budaya sebagai acuan dan pedoman sikap serta perilaku manusia dalam kehidupan
bermasyarakat.
2. Proses pewarisan sistem nilai dan perubahan budaya.
3. Peranan kemajuan kebudayaan dalam pembangunan masyarakat.
4. Posisi budaya Indonesia di tengah situasi perubahan masyarakat di dunia
5. Hubungan budaya dengan lingkungan, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial
sehingga membentuk satu sistem (Social Cultural System).

14
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Secara etimologi kata Antropologi berasal dari kata anthtopos yang memiliki arti “manusia
atau orang” dan logos yang memiliki arti “ilmu”. Sedangkan Antropologi menurut Kamus
Oxford yakni studi yang berkaitan dengan masyarakat mengenai budaya manusia serta
perkembangannya. Sedangkan hukum adalah sebuah aturan yang hidup dan berlaku di
masyarakat. Jadi dapat disimpulkan bahwa antropologi hukum adalah sebuah ilmu yang
mempelajari bagaimana pola perilaku manusia kepada hukum, di mana objek kajiannnya
adalah budaya hukum dari manusia itu sendiri. Dalam ruang lingkup antropologi hukum dibagi
menjadi 3 bagian, antara lain: “Pertama, Perilaku Hukum Masyarakat; Kedua, Budaya Hukum
Masyarakat; Ketiga, Cara Pandang Masyarakat Terhadap Hukum dan Produk Turunannya.
B. KRITIK ATAU SARAN
Demikian makalah yang Penulis buat, semoga dapat menambah wawasan atau pengetahuan
serta mengajak para pembaca agar berpikir lebih luas. Apabila ada saran dan kritik yang ingin
disampaikan silahkan sampaikan kepada kelompok 1.

15
DAFTAR PUSTAKA

Aditya, Rizki, Pengertian Antropologi Hukum Menurut Para Ahli Indonesia dan Dunia dalam
mendukung Perkembangan Antropologi Hukum, hlm 2-4.
Arifin, Tajul. 2016. Antropologi Hukum Islam. Bandung: Pusat Penelitian dan Penerbitan UIN
SunanGunung Djati Bandung.
Fernandez, Daniel. 2018. Handout Antropologi. Jakarta: FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN
ILMU POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF.DR. HAMKA.
Handikusuma, Hilman. 2004. Pengantar Antropologi Hukum. Bandung: PT CITRA ADITYA.
Manggalatung, Salman dan Siagian, Amrizal. 2015. Pengantar Studi Antropologi Hukum
Indonesia. Jakarta: Press UIN.
Saebani, Beni Ahmad & Supriatna, Encup. 2012. Antropologi Hukum. Bandung: CV Pustaka
Setia.

16

Anda mungkin juga menyukai