Anda di halaman 1dari 28

METODE PENELITIAN HUKUM

PENELITIAN HUKUM EMPIRIK ANTROPOLOGIS

(Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode Penelitian
Hukum )

Dosen pengampu : Fahmi Muhammad Ahmadi, MSi

Disusun Oleh : Kelompok 4

Hasbil Khairi As Shidqie 11190430000010


Lutfiah Putri Ramaida 11190430000027
Lila Mustainah 11190430000039
Nuriman Safei 11190430000048
Raihan Ali Akbar 11190430000055

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1443 H/2021 M
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha


Pengasih lagi Maha Penyayang kami panjatkan puji syukur atas karunia-Nya yang
begitu berlimpah sehingga kami diberi kesempatan untuk menimba ilmu sampai
dijenjang ini. Shalawat serta salam tak lupa kami curahkan kepada baginda Nabi
Muhammad SAW semoga syafaatnya tercurahkan untuk kami yang sedang berjalan
menuntut ilmu.

Kami ucapkan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah metode
penelitian hukum yakni Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, Msi yang dengan tulus
membimbing kami. Semoga rahmat dan ridha Allah SWT selalu mengiringi
langkahnya.

Adapun makalah ini kami susun dengan usaha maksimal kami agar dapat
memberikan kemanfaatan untuk pembelajaran kami dan teman-teman di prodi
Perbandingan Mazhab walaupun kami sadar makalah ini jauh dari sempurna.
Kendati demikian, semoga dapat dimaklumi.

Jakarta, 10 April 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i

DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii

BAB I ...................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN .................................................................................................. 1

A. Latar Belakang ............................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 2

C. Tujuan Penulisan .......................................................................................... 3

BAB II .................................................................................................................... 4

PEMBAHASAN .................................................................................................... 4

A. Pengertian Antropologis............................................................................... 4

B. Etnografi Hukum .......................................................................................... 9

C. Deskripsi dan Peran Peralatan Hukum ....................................................... 15

D. Hukum Dalam Berbagai Adat dan Kesatuan Sosial .................................. 18

BAB III ................................................................................................................. 24

PENUTUP ............................................................................................................ 24

A. Kesimpulan ................................................................................................ 24

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 25

ii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kajian pendekatan dalam metode penelitian hukum sepenuhnya
bergantung pada permasalahan dan tujuan penelitian hukum terkait.Jika
permasalahan dan tujuan penelitian adalah unsur-unsur hukum ideal atau ius
constituendum dan ius constitutum maka kajian pendekatannya bersifat
yuridis normatif logika deduktif, bila masuk unsur atau konsep hukum pola
perilaku dan pemaknaan sosial, maka kajian pendekatannya bersifat
empiris/sosiologis-logika induktif.

Di dalam perkembangan antropologi, masalah hukum sebenarnya


juga sudah pernah ditelaah, walaupun di dalam suatu kerangka kebudayaan
yang serba luas. Sarjana-sarjana antropologi seperti Barton, Radcliffe-
Brown, Malinowski dan lainnya, pernah memusatkan perhatian pada hukum
sebagai suatu gejala sosial-budaya. Sesudah embrio dari antropologi hukum
timbul, maka pandangan para sarjana seperti Schapera, Gluckman, Hoebel,
Bohannan, Pospisil, Nader dan lainnya mempunyai peranan besar di dalam
perkembangan A.H.

Menurut Ihromi (1986; 3) relevansi menelaah hukum dari segi


antropologi, antara lain adalah: (a). Berkenaan dengan masalah yang
dihadapi oleh negara-negara berkembang (tentunya termasuk Indonesia)
yang secara budaya bersifat pluralistis dalam cita-citanya mewujudkan
unifikasi hukum atau modernisasi hokum; (b). berkenaan dengan
kemungkinan munculnya masalah bila warga masyarakat dari lingkungan
sukubangsa tertentu masih mempunyai normanorma tradisional yang kuat
dan menuntut ketaatan mengenai hal-hal tertentu, sedangkan dalam norma
hukum yang sudah tertulis dan berlaku secara nasional, hal hal yang harus
ditaati itu justru dirumuskan sebagai hal yang terlarang.

1
Secara faktual, masalah-masalah yang dirumuskan ke dalam dua
point utama itu sudah terjadi, baik berkenaan dengan munculnya konflik
horisontal di berbagai wilayah, pertikaian antara state (maupun pemda)
dengan masyarakat, maupun antar kelompok masyarakat sendiri. Hukum,
menurut Benda-Beckmann (1979; 113-114) adalah suatu cara khusus untuk
membatasi otonomi anggotaanggota masyarakat. Kebanyakan penulis
menyetujui bahwa hukum adalah suatu bentuk pengawasan sosial, itulah
mengapa secara esensial sifatnya normatif, dan hal itu merujuk pada apa
yang disebut (sebagai) konsepsi-konsepsi yang obyektif.

Implikasi pendekatan semacam ini adalah: bahwa hukum memberi


input kepada pranata pengendalian sosial (apapun variant-nya) dan
kemudian kepada rujukan berpikir masyarakat, dan sebaliknya. Hukum, di
sisi lain, dapat pula menyebabkan perubahan perangkat berpikir, dan
rujukan kemasyarakatan lainnya atau dikenal dalam sosiologi hukum
sebagai “law as tool of social engineering”. Namun, bila kesemua hal itu
berubah (dan pada kenyataannya memang selalu demikian), maka hukum
pun berubah mengikuti perubahan masyarakat dan lingkungannya.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pengertian Antropologis Dalam Penelitian Hukum Empirik
Antropologis?
2. Bagaimana Etnografi Hukum Dalam Penelitian Hukum Empirik
Antropologis?
3. Bagaimana Deskripsi dan Peran Peralatan Hukum?
4. Hukum Dalam Berbagai Adat dan Kesatuan Sosial?

2
C. Tujuan Penulisan
1. Menjelaskan dan memahami Pengertian Antropologis Dalam
Penelitian Hukum Empirik Antropologis.
2. Menjelaskan dan memahami Etnografi Hukum Dalam Penelitian
Hukum Empirik Antropologis.
3. Menjelaskan dan memahami Bagaimana Deskripsi dan Peran Peralatan
Hukum
4. Menjelaskan dan memahami Hukum Dalam Berbagai Adat dan
Kesatuan Sosial.

3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Antropologis
Secara etimologis Antropologi berasal dari dua kata “Antropos
(Manusia) dan Logos (Ilmu)”. Sehingga Antropologi adalah ilmu tentang
manusia. Manusia dengan segala aspeknya. Tinjauan yang secara holistic,
artinya manusia dapat ditinjau dari dua segi, yaitu:
1. Manusia sebagai makhluk biologis.
2. Manusia sebagai makhluk sosial-budaya.

Dalam tinjauan itu antropologi tidak melihat manusia biologi dan


manusia sosial budaya secara terpisah-pisah. Adapun cabang-cabang dari
antropologi itu sendiri adalah:

• Antropologi fisik, menyelidiki manusia sebagai makhluk biologis.


Melihat manusia dari sudut jasmaninya dalam arti yang seluas-luasnya.
Yang diselidiki ialah asal usul manusia, perkembangan evolusi organic,
struktur tubuh dan kelompok-kelompok manusia yang disebut ras.
• Antropologi budaya, yaitu: yang menyelidiki kebudayaan manusia pada
umumnya dan kebudayaan-kebudayaan dari berbagai bangsa di dunia
(menyelidiki seluruh cara hidup manusia).

Sedangkan makna dari antropologi hukum itu sendiri dapat kita lihat
dari objek penelitiannya. Untuk memberikan pemahaman tentang
antropologi hukum ialah makna dari antropologi itu sendiri. Antropologi
adalah pemahaman ilmiah tentang tingkah laku sosial dan cultural manusia
serta pemahaman secara sistematik terhadap distribusi manifestasi-
manifestasinya dalam kurum waktu dan ruang tertentu
(Hasanudin;112:2003).

Dengan demikian maka sesungguhnya karakteristik dari antropologi


hukum nampaknya terletak pada sifat pengamatan, penyelidikan, serta

4
pemahamannya secara menyeluruh terhadap kehidupan manusia. Sifat
menyeluruh ini lebih tegas lagi, karena ilmu ini tidak berhenti hanya pada
satu bangsa saja melainkan melakukan pengamatan secara lintas bangsa dan
lintas budaya. Berdasarkan ruang lingkup tersebut, antropologi hukum
memperhatikan dan menerima hukum sebagai bagian dari proses-proses
yang lebih besar dalam masyarrakat. Dan ia tidak melihat hukum secara
statis, melainkan dinamis (Hasanudin;113:2003).

Antropologi hukum merupakan suatu ilmu pengetahuan yang secara


relative masih muda usianya. Artinya, sebagai suatu ilmu yang dianggap
mandiri, maka antropologi hukum masih dalam taraf pembentukan.
Kemungkinan besar hal ini disebabkan, oleh karena ada suatu
kecenderungan untuk menganggap hukum sebagai objek penelitian yang
menjadi ruang lingkup wewenang dari para ahli hukum belaka. Disamping
itu, maka hukum dianggap suatu gejala sosial yang rumit yang sudah lama
dipelajari dan diteliti, sehingga telah timbul dan berkembang teori-teori
maupun konsepsi-konsepsi yang mantap. Sebagai akibatnya, maka timbul
suatu lingkaran tertutup yang seolah-olah sulit untuk ditembus mereka yang
dianggap bukan ahli hukum (Soekanto;159:1984). Dewasa ini ada
kecenderungan luas untuk membatasi ruang lingkup antropologi hukum
pada masalah sengketa yang terjadi di dalam suatu masyarakat. Yang diteliti
adalah, pertama-tama, pola-pola sengketa yang terjadi dalam masyarakat,
Hal yang kedua ditelaah adalah, bagaimana reaksi masyarakat terhadap
terjadinya sengketa-sengketa tersebut. Masalah ketiga adalah, bagaimana
pola untuk mengatasi sengketa-sengketa tersebut. Oleh karena itu dapatlah
diikatakan, bahwa masalah-masalah yang menjadi pusat perhatian itu erat
hubungannya dengan lembaga pengendalian sosial di dalam masyarakat-
masyarakat tertentu (misalnya, masyarakat bersahaja). Sudah tentu bahwa
ruang lingkup demikian memberikan warna tertentu pada ciri-ciri hukum
yang diteliti oleh para ahli antropologi hukum tersebut
(Soekanto;160:1984).

5
Maka pokok yang menjadi sorotan dalam antropologi hukum
adalah, bagaimana mendefinisikan hukum supaya gejala-gejala yang
beraneka ragam dan fungsi intinya sama dengan apa yang secara hakiki
merupakan fungsi hukum, dan terdapat dalam aneka budaya manusia dapat
tertampung.

Antropologi Hukum

Ada suatu suku di Liberia, bernama suku gola yang mempunyai


pemeo mengenai hukum sebagai berikut: “hukum itu laksana bunglon, dia
berubah bentuk pada tempatnya yang berbeda dan hanya dapat dikuasai oleh
mereka yang mengetahui seluk-beluknya.” Pemeo itu dapat disejajarkan
dengan pandangan yang terdapat juga pada sementara ahli hukum di Barat
yaitu bahwa hukum itu tidak mempunyai materi yang khusus, melainkan
luas kehidupan itu sendiri.

Kalau memang hukum itu dapat berubah-ubah seperti bunglon, dan


seluas kehidupan, maka dalam keseluruhannya hukum itu tidaklah dapat
dikuasai oleh orang-orang manapun, dan malahan oleh profesi apapun.
Maka diperlukan beberapa cabang keahlian untuk mendalaminya, untuk
memahami dan menerapkannya. Para ahli tersebut dapat dibagi dalam dua
golongan besar. Golongan pertama mereka adalah mereka yang mendalami
hukum dalam hubungan dengan kelakuan manusia, dan yang kedua
memperhatikan segi intelektual dan segi filosofis dari hukum. Yang pertama
terdiri dari para praktisi hukum, seperti pengacara, hakim, kepolisian, dan
para pembuat undang-undang. Yang kedua meliputi mereka yang
mempelajari ilmu hukum, sejarah, dan cara-cara pemerintahan dan juga
sarjana antropologi yang mengkhususkan diri pada pendalaman cara-cara
memecahkan sengketa yang dikenal oleh berbagai bangsa di bumi kita ini
dan bagaimana mereka mempertahankan paling kurang satu tata politik.

Para ahli hukum tampil pada waktu ada pihak-pihak yang berselisih
mengenai hak-haknya dan malahan berselisih mengenai cara berlaku yang

6
pantas. Para ahli hukum, pengacara dan hakim memecahkan kasus-kasus
persengketaan, sesuai dengan nilai-nilai yang lebih mendasar sifatnya, yang
dianut dalam suatu masyarakat, berusaha untuk membatasi sebanyak
mungkin pengaruh buruk dari gangguan yang terjadi akibat adanya sengketa
dan kesukaran. Dan mereka jugalah, yang merupakan penjaga nilai-nilai
moral yang paling dasar dan prinsip-prinsip etis yang terdapat dalam budaya
yang bersangkutan.

Dengan demikian ahli hukum dan ahli antropologi hukum tidaklah


mendekati hukum yang berwujud bunglon itu dari segi warnanya yang bisa
berubah itu dan juga tidak mempelajari kemampuannya untuk dapat
menyesuaikan warnanya dengan warna latar belakang dan akhirnya
menyembunyikan diri di alam sekitarnya. Ahli hukum dan ahli antropologi
hukum mempelajari struktur bunglon itu, tulang belulangnya, sistem
peredaran darah dan mekanisme yang memungkinkan dia dapat berubah
warna, dan bersatu dalam moralitas-moralitas sekelilingnya
(Ihromi;44:1984).

Seperti diketahui antropologi hukum merupakan ilmu pengetahuan


yang jauh sekali jangkauannya, ialah mengekspresikan kehidupan manusia
dalam loyalitasnya, sehingga segala segi kehidupan dibicarakan. Maka
apabila seorang antropolog hanya merupakan segi kecil daripada ruang
lingkup antropologi hukum. Oleh karena para antropolog akan banyak
menghadapi kesulitan dalam memasalahkan definisi-definisi tentang hukum
seperti yang dikenal dengan ilmu hukum positif. Bagi mereka hukum harus
diartikan lebih daripada sekadar peraturan-peraturan dan lembaga-lembaga
hukum yang formal.

Nilai-nilai yang dipegang oleh suatu masyarakat adalah demikian


luasnya, sehingga ia terlalu sukar untuk dapat diutarakan oleh masyarakat
melalui peraturan-peraturan dan lembaga-lembaga hukumnya yang resmi

7
semata-mata. Pada dasarnya studi antropologi terhadap hukum didasarkan
pada premis-premis sebagai berikut:

a) Hukum suatu masyarakat atau sistem hukum suatu masyarakat, harus


diselidiki dalam konteks sistem-sistem politik ekonomi dan agamanya,
dan juga dalam kerangka struktur sosial dari hubungan-hubungan antara
orang dan kelompok.
b) Hukum paling baik dipelajari melalui analisis terhadap prosedur-
prosedur yang berhubungan dengan penyelesaian sengketa atau dalam
perspektif yang lebih luas, melalui manajemen politik.
c) Pada gilirannya prosedur-prosedur akan menjadi penting manakala
penelitian dipusatkan pada sengketa sebagai urut deskripsi, analisis dan
perbandingan.
d) Agar dapat dibuat suatu laporan yang sah mengenai hukum rakyat, dua
tugas terpisah tetapi berhubungan perlu digarap. Yang satu adalah untuk
memastikan kategori-kategori kognitif yang dipakai oleh rakyat, yang
sistem hukumnya diselidiki, untuk mengemukakan ide-ide mereka
bentuk-bentuk dan prosedur-prosedur untuk membahas yang harus
diambil. Tugas yang lain menghendaki diterjemahkannya kategori-
kategori ini dalam saran komunikasi yang dipakai. Pekerjaan ini adalah
sukar. Oleh karena itu ia menuntut dua hal itu bahwa ciri-ciri esensi dan
sistem hukum yang asli tidak boleh diselewengkan dan bahwa ia
dituangkan ke dalam terminologi ilmiah yang memungkinkan
dilakukannya suatu perbandingan antar budaya.
Maka dengan demikian, antropologi hukum memperhatikan dan
menerima hukum sebagai bagian dari proses-proses yang lebih besar
dalam masyarakat. Dengan demikian ia melihat hukum tidak secara
statis, melainkan dinamis, yaitu dalam proses-proses terbentuknya dan
menghilang, secara berkesinambungan (Soeroso;309:2008).
Antropologi hukum merupakan bagian dari kajian sosial hukum,
maka tentunya tidak dapat melepaskan diri dari metode penelitian yang

8
dikembangkan dalamilmu sosial. Metode penelitian yang biasanya
dipakai dalam kajian antropologi adalah metode penelitian kualitatif.

B. Etnografi Hukum
Etnografi adalah sebuah kegiatan untuk menganalisis, melakukan
pengamatan, terhadap kelompok sosial atau pendukung kebudayaan
tertentu. Kegiatan ini dilakukan secara terlibat dengan subjek yang diteliti.
Hasil pengamatan dapat ditujukan pada orang, dan lokasi tertentu sebagai
objek1 Etnografi dilakukan dengan dasar riset lapangan (fieldwork),
menggunakan metode induktif dalam observasi dan wawancara mendalam
untuk menginvestigasi praktik kehidupan sosial, serta menangkap makna
dibalik perilaku interaksi sosial tersebut.2 Etnografi juga berarti kajian
untuk mendeskripsikan perilaku kelompok sosial tertentu. Kegiatan
etnografi difokuskan pada perilaku budaya oleh kelompok sosia], melihat
bagaimana kehidupan sehari-sehari yang dilakukan oleh kelompok tersebut
sebagai subjek yang diteliti.3 Etnografi tidak saja diartikan sebagai sebuah
cabang ilmu, melainkan juga sebuah seni untuk mengungkap perilaku
sekelompok orang dengan budaya yang melingkupinya. Tugas seorang
etnografer hampir sama dengan seorang investigator, tetapi yang
membedakan adalah bahwa seorang etnografer mencatat, menulis,. dan
mengabadikan kehidupan sehari-hari kelompok orang tersebut dalam kurun
waktu tertentu. Kebiasaan, cara berfikir, serta perilaku subjek diamati,
dicatat, dan dianalisis secara mendalam oleh seorang etnografer.4

1
Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional dan Call for Paper, "Menyiapkan Bangsa yang
Berkeadilan dalam Menyongsong Indonesia Satu Abad",diselenggarakan oleh Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Tangerang, tanggal 10 April 2018 Discover Anthropology,
Ethnography,sumber:https://www.discoveranthropology.org.uk/aboutanthropology/fieldwork/ethn
ography.htm l, diakses pada tanggal 19 Nopember 2017
2
Ron Iphofen, Research Erhics in Ethnography/,dnthtrcpologv, European Comission, DG Research
and Innovation, hal.6
3
Encylopedia Britannica, Ethnography, Sumber : https:/www.Britannic.com/science/ethnograph,
diakses pada tanggal 17 November 2017
4
David M. Faterman, Ethnograph, Second Edition, Sage Publication, (London : 1998) hal 1

9
Kajian tentang etnografi hukum menjadi penting setidaknya
disebabkan oleh beberapa hal:
Pertama, bahwa Etnografi dalam ruang hukum menunjukkan
adanya sebuah hubungan erat antara diri hukum dengan ruang-ruang sosial.
Hukum tidak saja sebagai bentuk dari sebuah putusan badan-badan
peradilan, tetapi bagaimana sekelompok orang berinteraksi dan mencoba
untuk mempersepsi hukum.
Kedua, guna memahami hukum dalam ruang-ruang sosial, maka
dibutuhkan sebuah interaksi mendalam antara seorang etnografer hukum
dengan subjek yang diteliti. Menyelami bagaimana sudut pandang dan
pemahaman sekelompok orang akan hukum. Sikap, perilaku, dan cara
berhukum diamati secara mendalam oleh seorang etnografer hukum untuk
mengetahui bagaimana orang berbuat hukum.
Dalam kajian-kajian etnografi hukum, seorang etnografer hukum
akan menggunakan kertas kerja sebagai kunci keberhasilan sebuah
penelitan etnografi. Melalui kertas kerja tersebut, seorang etnografer hukum
akan mampu memasuki kondisi mentalitas subjek yang diteliti, antara lain:
memąhami bahasa subjek, untuk itu ia perlu mempelajari bahasa subjek
yang diteliti. Penguasaan bahasa penting untuk dikuasai tidak saja
memahami makna yang sesungguhnya dari arti sebuah kalimat atau kata
(denotasi), tetapi juga makna kiasan (konotasi) untuk menghindari adanya
.kesalahan pemahaman antara etnografer hukum terhadap bahasa atau kata
dan kalimat yang diungkap oleh subjek.5
Dalam penelitian etnografi hukum, etnografer hukum tidak boleh
terpaku pada bentuk-bentuk baku yang mengikat sebuah format penelitian
sehingga menjadi kurang beralur. Ia harus menjelaskan dalam
penelitiannya, langkah- langkah apa saja yang ia ambil untuk mengungkap
masalah penelitian. Etnografer hukum harus menjelaskan secara detail
dengan apa ia mengenal subjek dan objek penelitian. la harus mampu

5
John Flood, Socio-Legal Ethnography dalam Banakar & Travers, eds., Theory and Meîhods in
Socio Legal Research, Hart Publishing, (Oxford: 2005), hal.37

10
mendeskripsikan detail dengan cara apa ia menciptakan rapoi yang baik
dengan subjek. Siapakah yang menjadi perantara yang menghubungkan
antara ia dengan subjek. Perlu diperhatikan bahwa detail adalali sebuah
kekhasan penelitian etnografer. Untuk itu ia wajib melatih diri untuk
menjelaskan secara detail setiap objek dan subjek yang ia tatap.

Konsep-Konsep Etnografi Hukum


Beberapa konsep dalam penelitian etnografi hukum selayaknya
difahami oleh seorang calon etnografer, antara Iain:
a. Etnografi Hukum merupakan Penelitian Induktif

Penelitian etnografi hukum dilakukan pada satuan masyarakat


terkecil (mikro). Etnografi dengan demikian merupakan penelitian
induktif, sebuah penelitian yang lebih mengutamakan metode kasus.
Tidak seperti hukum undangundang yang menggunakan model deduktif,
penelitian ini lebih mengutamaan kedalaman. Untuk mengambil sebuah
kesimpulan umum, maka dapat dikumpulkan beragam hasil penelitian
etnografi yang telah ditulis6
Penelitian etnografi hukum juga dapat diawali dengan melihat pada
datadata sekunder yang ada: hasil-hasil penelitian etnografi yang telah
ditulis, datadata statistik yang ada, data-data lain yang dapat menunjang
penelitian etnografi. Keterlibatan etnografer dalam satuan sosial yang
kecil untuk memantau reaksi dan perilaku berhukum adalah hal utama
dalam etnografi hukum. Dalam hal ini maka waktu menjadi sangat
menentukan dalam penelitian etnografi.
b. Penggunaan Bahasa dalam PerspektifEmic

Penguasaan bahasa adalah hal yang sangat penting dalam penelitian


etnografi. Penguasaan bahasa yang digunakan oleh subjek oleh seorang
etnografer akan mempercepat dan mempermudah dirinya dalam

6
Seth Kahn. Putting Ethnographic Writing in Contert. sumber•.
http://writingspaces.org/sites/default/files/kham-putting-Ethnographic-writing. Pdf, diakses pada
tanggal 28 Nopember 2017

11
menggali data yang dibutuhkan dalam penelitian. Penguasaa Bahasa
juga akan berkait erat dengan kemampuan etnografer untuk
mengungkapkan segala hal dalam alam berfikir subjek melalui
perspektif emic. Dalam penelitian etnografi salah satu keunggulannya
adalah bahwa penelitian ini mampu menghadirkan sebuah perspektif
emic, karenaia merupakan jantung sebuah penelitian etnografi.
Perspektif emic adalah sebuah pemahaman yang diungkap berdasarkan
pada perspektif subjek yang diteIiti.7
Kesulitan dalam penelitian etnografi adalah tahap untuk dapat
menangkap perspektif emic ini. Kegagalan untuk menangkap makna
dan ide yang dengannya perilaku berhukum dapat tergambar acapkali
gagal dicapai oleh peneliti. Kesulitan untuk memahami maksud dari
bahasa diungkap oleh subjek yang diteliti sering ditemui dalam
penelitian etnografi. Ketika seseorang mengungkapkan hilangnya
nyawa, maka setidaknya ada beberapa kata yang dapat diucapkan:
meninggal dunia, wafat. tewas, dan man. Masing kata tersebut memiliki
nilai yang berbeda ketika diucapkan Oleh subjek. Ketika seseorang
kehilangan nyawa, dan subjek yang diteliti menggunakan narasi kata
wafat, maka tergambar bahwa terdapat nilai penghormatan dari diri
subjek terhadap orang yang telah kehilangan nyawa tersebut. Hal ini
akan menjadi berbeda ketika subjek menggunakan kata mati terhadap
orang yang kehilangan nyawa tersebut. Terdapat nilai berbahasa yang
berbeda diantara keduanya walaupun menunjukkan sebuab peristiwa
hilangnya nyawa.
Pandangan subjek terhadap orang yang meninggal dengan memilih
kata akan menentukan bagaimana ia memandang serta memberikan
persepsi atas orang yang telah meninggal tersebut. Peneliti dapat
melihat adanya sebuah konflik yang muncul diantara subjek yang diteliti
dengan orang yang telah meninggal tersebut, ketika ia memilih

7
David M. Faterman, Ethnography, Second Edition, Sage Publications, (London: 1998), hal.20

12
menggunakan kata mati. Konflik yang muncul ditelusuri dari ungkapan-
ungkapan berbahasa yang ditunjukkan Oleh subjek. Hubungan yang
harmonis atau inharmonis antara subjek dengan orang yang meninggal
tersebut akan terungkap dengan penggunaan pilihan kata dalam
berbahasa. Untuk itu maka peneliti mengungkapkan dengan kalimat
langsung terhadap semua ucapan dan bahasa yang diungkap Oleh
subjek.
c. Orientasi Non-judgemental

Orientasi non-judgmental adalah sebuah orientasi pemahaman yang


harus dimiliki Oleh seorang etnografer untuk tidak dengan mudah
menyatakan sesuatu perbuatan yang dilakukan Oleh subjek dan
kelompok komunitas yang diteliti adalah sebuah kesalahan. Kesalahan
Yang sering dihadapi Oleh seorang etnografer adalah seringnya
etnografer hukum menjatuhkan sebuah nilai bersalah atas perbuatan
yang dilakukan Oleh komunitas sosial yang ia teliti. Perilaku berhukum
yang dilakukan Oleh subjek tidaklah sama dengan pemahaman dan
perilaku berhukum Yang difahami Oleh sang etnografer. Perbedaan
pemahaman berhukum tidaklah dengan mudah menjadikan etnografer
hukum menyatakan subjek telah melakukan kesalahan dalam
berhukum. Etnografer harus mampu melihat sudut pandang Iain dalam
pemahaman budaya yang berbeda. Dalam pendekatan culiural
relativism setiap budaya memiliki standar normanya masing-masing.
Seringkali seorang etnografer hukum menerapkan ethnocentrism dalam
menilai perilaku sekelompok manusia. Dalam pendekatan
ethnocentrism kelompok sosial pendukung kebudayaan tertentu
ditundukkan pada kelompok budaya yang Iain sebagai pendukung
budaya besar. Standar nilai dan norma benar-salah ditentukan oleh
pendukung kebudayaan besar terhadap kebudayaan yang Iain.
Selain itu pula bahwa orientasi ini berkaitan dengan perbedaan
standar nilai yang difahami oleh peneliti dan subjek. Perbedaan nilai ini
terkadang dapat mengakibatkan ketersinggungan dari pihak subjek

13
dikarenakan adanya penolakan oleh etnografer hukum. Jika seorang
etnografer hukum memasuki sebuah arena sosial penelitan, maka ia
harus mampu melakukan proses adaptasi dengan kondisi sosial budaya
yang ada. Pada awalnya akan muncul kebingungan pada diri seorang
etnografer hukum untuk bersikap dan berperilaku dalam lingkungan
sosial dan budaya yang sangat berbeda. Etnografer hukum harus segera
beradaptasi dengan mencoba mernahami apa yang boleh dilakukan dan
hal-hal apa saja yang tidak boleh dilakukan dalam lingkungan sosial
tersebut. Perlu diperhatikan bahwa seorang etnografer hukum
selayaknya tidak menunjukkan sikap dan perilaku
d. Fokus pada Kedalaman Penelitian

Untuk mewujudkan gambaran perilaku berhukum sebuah komunitas


atau kelompok sosial tertentu, maka etnografer tidak akan dapat
mewujudkan keluasan penelitian melainkan kedalaman. Metode
etnografi yang mengutamakan kedalaman akan terfokus pada kajian
mikro.8 Untuk mencapai kedalam tersebut, maka etnografer hukum
hanya akan mengkaji kelompok sosial dalam unit kecil. Etnografer
hukum terlibat ke dalam kelompok sosial tertentu, dengan perilaku
budaya yang homogen di dalamnya. la melakukan pertisipasi secara
aktif dalam kehidupan sehari-hari kelompok yang ia teliti.9 Etnografer
hukum mengkaji perilaku berhukum terhadap kelompok sosial tertentu.
Hasilnya tidak dapat digunakan sebagai sebuah kesimpulan umum
bahwa perilaku kelompok sosial ini menggambarkan perilaku
berhukum kelompok sosial lainnya.

8
Anne Griffths, Using Ethnography as a Tool in Legal Research: AnAnthropological Perspectives,
dalam Banakar and Travers, eds., Theory and Methods in Socio-Legal Research, Hart Publishing,
(London: 2005), hal. 114
9
Barbara Tedlock, The Observation of Participation and The Emergence of Publie Ethnography.
dalam Denzin and Licoln, eds., The Sage Handbook ofeualitative Research. Third Edition, Sage
Publication, (London: 2005), hal.467.

14
e. Menangkap dân mengungkap Simbol-simbol Hukum

Pada banyak kebudayaaan, segenap aturan-aturan hukum


sebagai pengendali sosial kemasyarakatan acapkali tidak tertuang dalam
bentuk yang tertulis. Simbol-simbol tertentu: gambar, warna, huruf, dan
angka, menjadi tanda tertentu terhadap hadirnya norma di tengah-tengah
komunitas. Norma hukum yang disiombolkan ini dijalankan serta
dipatuhi oleh komunitas tertentu. Tidak hanya simbol, sejumlah ritual
yang dijalankan oleh kelompok budaya juga dapat menjadi sebuah
hukum yang dipatuhi oleh komunitas yang diteliti.

C. Deskripsi dan Peran Peralatan Hukum


Dua Ahli Antropologi ternama mendefinisikan hukum sebagai
berikut : Hukum menurut Radcliffe-Brown: “Suatu sistem pengendalian
sosial yang hanya muncul dalam kehidupan masyarakat yang berada dalam
suatu bangunan negara, karena hanya dalam suatu organisasi sosial seperti
negara terdapat pranata-pranata hukum seperti polisi, pengadilan, penjara,
dan lain-lain. Sedangkan dalam masyarakat- masyarakat bersahaja yang
tidak ter- organisasi secara politis sebagai suatu negara tidak mempunyai
hukum. Walaupun tidak mempunyai hukum, ketertiban sosial dalam
masyarakat tersebut diatur dan dijaga oleh tradisi-tradisi yang ditaati oleh
warga masyarakat secara otomatis spontan.”10

Hukum menurut Bronislaw Malinowski: “Hukum tidak semata-


mata terdapat dalam masyarakat yang terorganisasi suatu neg- ara, tetapi
hukum sebagai sarana pengen- dalian sosial (legal order) terdapat dalam
setiap bentuk masyarakat. Hukum dalam kehidupan masyarakat bukan
ditaati karena adanya tradisi ketaatan yang bersifat oto- matis spontan,

10
Soerjono Soekanto, 1984, Antropologi Hukum Materi Pengembangan Ilmu Hukum Adat, C.V.
Rajawali, Ja-
karta, hlm. 160.

15
seperti dikatakan Radcliffe- Brown, tetapi karena adanya prinsip timbal-
balik dan prinsip publisitas.”

Pendapat dua ahli antropologi di atas dapat dikatakan bahwa apabila


hukum diberi pengertian yang sempit, hanya sebagai sistem pengendalian
sosial yang diciptakan oleh lembaga legislatif dan diterapkan oleh aparat
penegakan hukum seperti polisi, pengadilan, jaksa, atau penjara dalam
kehidupan organisasi negara, maka hukum diartikan bahwa masyarakat-
masyarakat yang sederhana yang tidak terorganisasi sebagai suatu negara
tidak memiliki hukum, tetapi bila hukum diberi pengertian yang luas, yaitu
sebagai proses- proses pengendalian sosial yang didasarkan pada prinsip
resiprositas dan publisitas yang secara empiris berlangsung dalam
kehidupan masyarakat, maka semua bentuk masyarakat betapapun
sederhananya memiliki hukum dalam bentuk mekanisme-mekanisme yang
diciptakan untuk menjaga keteraturan sosial atau sebagai sarana
pengendalian sosial.11

Dalam perkembangannya pendapat Malinowski memperoleh


komentar dan kritik dari Bohannan, yang menyatakan:

1. Mekanisme resiprositas dan publisitas sebagai kriteria untuk mengatur


hak dan kewajiban dalam kehidupan masyarakat pada dasarnya
bukanlah merupakan hukum seperti dimaksudkan Malinowski, tetapi
hanya merupakan suatu kebiasaan (custom) yang di- gunakan
masyarakat untuk menjaga keteraturan sosial.
2. Pengertian hukum harus dibedakan dengan tradisi atau kebiasaan, atau
lebih spesifik norma hukum mempu- nyai pengertian yang berbeda
dengan kebiasaan. Norma hukum adalah per- aturan hukum yang
mencerminkan tingkah laku yang seharusnya (ought) dilakukan dalam
hubungan antar indi- vidu. Sedangkan kebiasaan merupakan
seperangkat norma yang diwujudkan dalam tingkah laku dan

11
Ibid

16
berlangsung dalam kurun waktu yang lama. Kadang- kala kebiasaan
bisa sama dengan norma hukum, tetapi bisa juga bertentangan.
3. Kebiasaan terwujud sebagai institusi non hukum sedangkan peraturan
meru- pakan institusi hukum, di dalam ma- syarakat ditemukan
keduanya. Norma- norma hukum cenderung mengabaikan bahkan
sebaliknya memfungsikan ke beradaan kebiasaan-kebiasaan dalam
penyelesaian kasus-kasus sengketa yang terjadi dalam masyarakat.
4. Peraturan-peraturan hukum juga me- ngembangkan kebiasaan-
kebiasaan sebagai institusi hukum melalui proses pelembagaan ulang
(reinstitutionalized) dan dinyatakan ulang (restated) sehing- ga
peraturan hukum juga sebagai suatu kebiasaan yang telah dilembagakan
kembali untuk tujuan-tujuan yang ingin dicapai hukum tersebut.12

Komentar dan kritik terhadap Mali- nowski juga dilontarkan oleh


Pospisil, yang pada pokoknya menyatakan:

1. Pengertian hukum yang dikemukakan Malinowski dipandang terlalu luas,


sehingga hukum yang dimaksudkan juga mencakup pengertian kebiasaan-
kebiasaan, dan bahkan semua bentuk kewajiban-kewajiban yang berhubu-
ngan dengan aspek religi dan juga ke- wajiban yang bersifat moral dalam ke-
hidupan masyarakat.
2. Hukum pada dasarnya adalah suatu aktivitas kebudayaan yang mempunyai
fungsi sebagai alat untuk menjaga keteraturan sosial atau sebagai sarana
pengendalian sosial dalam masyarakat. Untuk itu cara membedakan peraturan
hukum dengan norma-norma lain, peraturan hukum dicirikan ada 4 atribut
hukum, yaitu:
a. Atribut otoritas (attributes of au- thority), keputusan berdasarkan
pemegang otoritas untuk menye- lesaikan sengketa atau ketegangan sosial
dalam masyarakat.

12
Ibid

17
b. Atribut dengan maksud untuk diaplikasikan terhadap peristiwa-peristiwa
yang sama secara uni- versal (attribute of intention of universal
application).
c. Atribut obligasio (attribute of obli- gatio), yaitu keputusan-keputusan dari
pihak pemegang otoritas me- ngandung suatu pernyataan bahwa pihak
pertama memiliki hak untuk menagih sesuatu dari pihak ke- dua, dan pihak
kedua mempunyai kewajiban untuk memenuhi hak pihak pertama tersebut
sepanjang mereka masih hidup.
d. Atribut sanksi (attribute of sanc- tion), yaitu keputusan-keputusan dari
pihak pemegang otoritas tersebut juga disertai dengan pen- jatuhan sanksi-
sanksi, baik berupa sanksi yang bersifat fisik, seperti hukuman badan dan
penyitaan harta benda, atau sanksi non fisik seperti dipermalukan di depan
orang banyak, diasingkan dari pergaulan sosial, dibuat menjadi ketakutan,
dan lain-lain.

D. Hukum Dalam Berbagai Adat dan Kesatuan Sosial


Istilah hukum adat adalah merupakan terjemahan dari istilah
Belanda "adat recht" yang awalnya dikemukakan oleh Prof. Dr. Christian
Snouck Hurgronje nama muslimnya H. Abdul Ghafar di dalam bukunya
berjudul "de atjehers" menyatakan bahwa:

Hukum adat adalah adat yang mempunyai sanksi, sedangkan adat


yang tidak mempunyai sanksi adalah merupakan kebiasaan normatif, yaitu
kebiasaan yang terwujud sebagai tingkah laku dan berlaku di dalam
masyarakat. Pada kenyataan antara hukum adat dengan adat kebiasaan itu
batasnya tidak jelas.13 Pengertian hukum adat menurut Soejono Soekanto,
beliau menyatakan bahwa hukum adat pada hakikatnya merupakan hukum
kebiasaan, artinya kebiasaan-kebiasaan yang mempunyai akibat hukum.

13 Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia, Bandung, Alfabeta, Th. 2009, Hal. 8

18
Kebiasaan yang merupakan hukum adat adalah perbuatan yang diulang-
ulang dalam bentuk yang sama.14

Hukum adat merupakan hukum tradisional masyarakat yang


merupakan perwujudan dari suatu kebutuhan hidup yang nyata serta
merupakan salah satu cara pandangan hidup yang secara keseluruhannya
merupakan kebudayaan masyarakat tempat hukum adat tersebut berlaku.
Hukum adat juga merupakan nilai-nilai yang hidup dan berkembang di
dalam masyarakat suatu daerah. Walaupun sebagian besar hukum adat tidak
tertulis, namun ia mempunyai daya ikat yang kuat dalam masyarakat. Ada
sanksi tersendiri dari masyarakat jika melanggar aturan hukum adat. Hukum
adat yang hidup dalam masyarakat ini bagi masyarakat yang masih kental
budaya aslinya akan sangat terasa. Penerapan hukum adat dalam kehidupan
sehari-hari juga sering diterapkan oleh masyarakat. Bahkan seorang hakim,
jika ia menghadapi sebuah perkara dan ia tidak dapat menemukannya dalam
hukum tertulis, ia harus dapat menemukan hukumnya dalam aturan yang
hidup dalam masyarakat, artinya hakim juga harus mengerti perihal hukum
adat. Hukum adat dapat dikatakan sebagai hukum perdatanya masyarakat
Indonesia.

Selain itu, dimensi terminologi hukum adat berserta masyarakat


adatnya mempunyai kolerasi erat, integral dan bahkan tidak terpisahkan.
Lazimnya hukum adat diungkapkan dalam bentuk petatah dan petitih,
sebagai contoh, dalam masyarakat Aceh yang dikenal dengan ungkapan:
"Matee anek mepat jerat matee adat phat" (kalau anak mati masih dapat
dilihat pusaranya, tetapi kalau adat di hilangkan/mati, maka akan sulit
dicari)15

Kriteria lain yang dapat digunakan sebagai patokan untuk memberi


arti pada masyarakat dalam hukum adat menyangkut norma yang dianut

14Ibid, Hal. 22
15Lilik Mulyadi, Hukum Pidana Adat Kajian Asas, Teori, Norma Praktik Dan Prosedur,
Bandung, PT Alumni, Th 2015, Hal. 2

19
oleh masyarakat tersebut. Norma yang dimaksud hendaknya telah melalui
proses pelembagaan sehingga bersifat mengikat perilaku warga masyarakat.
Dengan demikian norma tersebut memenuhi kebutuhan masyarakat akan
keteraturan.

Sistem hukum adat pada dasarnya berdasarkan pada alam pikiran


bangsa Indonesia yang tidak sama dengan alam pikiran masyarakat Barat.
Oleh karena itu sistem hukum adat dan sistem hukum Barat terdapat
beberapa perbedaan di antaranya:

Hukum adat dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk budaya


hukum yang oleh masyarakatnya secara temurun digunakan untuk mengatur
pedoman hidup dalam suatu masyarakat hukum adat. Kehidupan
masyarakat hukum adat terikat oleh solidaritas akan persamaan kepentingan
dan kesadaran. Sebagai budaya hukum, hukum adat merupakan formulasi
aturan yang pembentukannya tanpa melalui aturan yang pembentukannya
tanpa legeslatif, melainkan lahir dari opini-opini popular dan diperkuat oleh
sanksi yang bersifat kebiasaan. Dengan bentuknya sebagai kebiasaan itulah,
maka budaya hukum yang ada dalam suatu masyarakat hukum adat
cenderung berbentuk tidak tertulis (unwritten law). Karakter lain dari
budaya hukum dalam suatu masyarakat hukum adat adalah hukum yang
berlaku senantiasa mempertimbangkan dan memperhatikan kondisi
psikologi anggota masyarakat, sehingga substansi fungsi dari aplikasi
ketaatan akan hukum didasari atas rasa keadilan dan rasa butuh hukum
dalam masyarakat.16

Diketahui bersama susunan masyarakat adat Indonesia berbeda-


beda, ada yang bersifat patrilineal, matrilineal, parental dan campuran, oleh

16Suriyaman Mustari Pide, Hukum Adat Dahulu, Kini, Dan Akan Dating, Jakarta:
Kencana, Th 2015, Hal. 24-25

20
karenanya bentuk perkawinan yang berlaku di Indonesia berbeda pula
diantaranya bentuk perkawinan adalah sebagai berikut:17

a. Perkawinan Jujur
Perkawinan jujur merupakan perkawinan dengan pemberian
(pembayaran) uang (barang) jujur, pada umumnya berlaku pada
masyarakat hukum adat yang mempertahankan garis keturunan
bapak (patrilineal). Pemberian uang jujur (Gayo: unjuk; Batak:
boli, Tuhor, Parunjuk, Pangoli; Nias : beuli niha ; Lampung :
segreh, seroh daw, adat Timor-sawu : belis, Wellie; dan Maluku
beli, wilin) dilakukan oleh pihak kerabat calon isteri, sebagai
tanda pengganti pelepasan mempelai wanita kelar dari
kewargaan adat persekutuan hukum bapaknya, pindah dan
masuk ke dalam persekutuan hukum suami. Di sulawesi dikenal
dengan "Doi Panai" (Uang panai).
b. Perkawinan Semenda
Perkawinan semenda pada umumnya berlaku di lingkungan
masyarakat adat yang matrilineal, dengan maksud
mempertahankan garis keturunan ibu (wanita). Dalam
perkawinan semenda calon mempelai pria dan kerabatnya tidak
melakukan pemberian uang jujur kepada pihak wanita,
sebagaimana di minangkabau berlaku adat pelamaran berlaku
dari pihak wanita kepada pihak laki-laki. Pada umumnya dalam
perkawinan semenda kekuasaan pihak isteri yang lebih berperan,
sedangkan suami tidak ubahnya sebagai istilah "nginjam jago"
(meminjam Jantan) hanya sebagai pemberi bibit saja dan kurang
tanggung jawab atas keluarga/rumah tangga.
c. Perkawinan bebas
Perkawinan ini pada umumnya berlaku di lingkungan
masyarakat adat yang bersifat parental (keorangtuaan), seperti

17 Ibid, Hal. 26-32

21
berlaku di kalangan masyarakat Jawa, Sunda, Aceh, Melayu,
Kalimantan, dan Sulawesi dan dikalangan masyarakat Indonesia
yang modern. Dimana keluarga atau kerabat tidak banyak lagi
ikut campur tangan dalam keluarga/rumah tangga
d. Perkawinan campuran
Perkawinan campuran menurut hukum adat adalah
perkawinan yang terjadi diantara suami isteri yang berbeda suku
bangsa, adat budaya, dan/atau berbeda agama yang dianut.
Dalam pasal 57 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan yang dimaksud dengan perkawinan campuran
adalah perkawinan antara dua orang yang di indonesia tunduk
pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan
dan salah satu pihak berwarga negara Indonesia.
e. Perkawinan lari
Perkawinan lari dapat terjadi di suatu lingkungan masyarakat
adat, tetapi yang terbanyak berlaku adalah di kalangan
masyarakat Batak, Lampung, Bali, Bugi/Makassar dan Maluku.
Di daerah-daerah tersebut walaupun kawin lari ini merupakan
pelanggaran adat, namun terdapat tata tertib cara menyelesaikan
sesuai dengan hukum adat yang berlaku dalam persekutuan
masyarakat.
Dengan adanya perbedaan bentuk hukum perkawinan adat di
atas lebih disebabkan karena terdapatnya perbedaan sistem
kekerabatan atau sistem keturunan yang dianut oleh masing-
masing masyarakat hukum adat di Indonesia. Di kalangan
masyarakat hukum adat yang menganut sistem kekerabatan
"patrilineal" maka hukum perkawinan adat yang berlaku adalah
bentuk perkawinan "jujur", di daerha batak disebut "mangoli",
"beleket" di lampung. Dan di Sulawesi dikenal "Doi Panai".
Sedangkan pada masyarakat adat yang menganut sistem
"matrilineal" yang mempertahankan garis keturunan ibu

22
(wanita), dalam perkawinan semenda calon mempelai pria dan
kerabatnya tidak melakukan pemberian uang jujur kepada pihak
wanita bentuk hukum perkawinan adat yang berlaku adalah
bentuk perkawinan "samenda". Pada lingkungan masyarakat
adat yang menganut system "parental" atau "bilateral” maka
hukum perkawinan adat yang berlaku adalah bentuk perkawinan
bebas (mandiri).

23
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara etimologis Antropologi berasal dari dua kata “Antropos
(Manusia) dan Logos (Ilmu)”. Sehingga Antropologi adalah ilmu tentang
manusia. Manusia dengan segala aspeknya.

Etnografi adalah sebuah kegiatan untuk menganalisis, melakukan


pengamatan, terhadap kelompok sosial atau pendukung kebudayaan
tertentu. Kegiatan ini dilakukan secara terlibat dengan subjek yang diteliti.
Hasil pengamatan dapat ditujukan pada orang, dan lokasi tertentu sebagai
objek. Etnografi dilakukan dengan dasar riset lapangan (fieldwork),
menggunakan metode induktif dalam observasi dan wawancara mendalam
untuk menginvestigasi praktik kehidupan sosial, serta menangkap makna
dibalik perilaku interaksi sosial tersebut.

Beberapa konsep dalam penelitian etnografi hukum selayaknya


difahami oleh seorang calon etnografer, antara Iain:

1) Etnografi Hukum merupakan Penelitian Induktif


2) Penggunaan Bahasa dalam Perspektif Emic
3) Orientasi Non-judgemental
4) Fokus pada Kedalaman Penelitian
5) Menangkap dân mengungkap Simbol-simbol Hukum

Hukum adat merupakan hukum tradisional masyarakat yang


merupakan perwujudan dari suatu kebutuhan hidup yang nyata serta
merupakan salah satu cara pandangan hidup yang secara keseluruhannya
merupakan kebudayaan masyarakat tempat hukum adat tersebut berlaku.

Susunan masyarakat adat Indonesia berbeda-beda, ada yang bersifat


patrilineal, matrilineal, parental dan campuran, oleh karenanya bentuk
perkawinan yang berlaku di Indonesia berbeda pula diantaranya bentuk
perkawinan adalah sebagai berikut:

a. Perkawinan Jujur
b. Perkawinan Semenda
c. Perkawinan bebas
d. Perkawinan campuran
e. Perkawinan lari

24
DAFTAR PUSTAKA

Fahmi Muhammad Ahmadi & Jaenal Aripin. Metode Penelitian Hukum.


(Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta).

Feterman, David. M. (1998). Ethnograph. London: Sage Publication.

Mulyadi, Lilik. (2015). Hukum Pidana Adat Kajian Asas, Teori, Norma Praktik
dan Prosedur. Bandung: PT Alumni.

Pide, Suriyaman. Mustari. (2015). Hukum Adat Dahulu, Kini, dan Akan
Datang. Jakarta: Kencana.

Setiady, Tolib. (2009). Intisari Hukum Adat Indonesia. Bandung: Alfabeta.

Soekanto, Soerjono. (1984). Antropologi Hukum Materi Pengembangan Ilmu


Hukum Adat. Jakarta: C.V. Rajawali.

25

Anda mungkin juga menyukai