(Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode Penelitian
Hukum )
Kami ucapkan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah metode
penelitian hukum yakni Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, Msi yang dengan tulus
membimbing kami. Semoga rahmat dan ridha Allah SWT selalu mengiringi
langkahnya.
Adapun makalah ini kami susun dengan usaha maksimal kami agar dapat
memberikan kemanfaatan untuk pembelajaran kami dan teman-teman di prodi
Perbandingan Mazhab walaupun kami sadar makalah ini jauh dari sempurna.
Kendati demikian, semoga dapat dimaklumi.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
BAB II .................................................................................................................... 4
PEMBAHASAN .................................................................................................... 4
A. Pengertian Antropologis............................................................................... 4
PENUTUP ............................................................................................................ 24
A. Kesimpulan ................................................................................................ 24
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kajian pendekatan dalam metode penelitian hukum sepenuhnya
bergantung pada permasalahan dan tujuan penelitian hukum terkait.Jika
permasalahan dan tujuan penelitian adalah unsur-unsur hukum ideal atau ius
constituendum dan ius constitutum maka kajian pendekatannya bersifat
yuridis normatif logika deduktif, bila masuk unsur atau konsep hukum pola
perilaku dan pemaknaan sosial, maka kajian pendekatannya bersifat
empiris/sosiologis-logika induktif.
1
Secara faktual, masalah-masalah yang dirumuskan ke dalam dua
point utama itu sudah terjadi, baik berkenaan dengan munculnya konflik
horisontal di berbagai wilayah, pertikaian antara state (maupun pemda)
dengan masyarakat, maupun antar kelompok masyarakat sendiri. Hukum,
menurut Benda-Beckmann (1979; 113-114) adalah suatu cara khusus untuk
membatasi otonomi anggotaanggota masyarakat. Kebanyakan penulis
menyetujui bahwa hukum adalah suatu bentuk pengawasan sosial, itulah
mengapa secara esensial sifatnya normatif, dan hal itu merujuk pada apa
yang disebut (sebagai) konsepsi-konsepsi yang obyektif.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pengertian Antropologis Dalam Penelitian Hukum Empirik
Antropologis?
2. Bagaimana Etnografi Hukum Dalam Penelitian Hukum Empirik
Antropologis?
3. Bagaimana Deskripsi dan Peran Peralatan Hukum?
4. Hukum Dalam Berbagai Adat dan Kesatuan Sosial?
2
C. Tujuan Penulisan
1. Menjelaskan dan memahami Pengertian Antropologis Dalam
Penelitian Hukum Empirik Antropologis.
2. Menjelaskan dan memahami Etnografi Hukum Dalam Penelitian
Hukum Empirik Antropologis.
3. Menjelaskan dan memahami Bagaimana Deskripsi dan Peran Peralatan
Hukum
4. Menjelaskan dan memahami Hukum Dalam Berbagai Adat dan
Kesatuan Sosial.
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Antropologis
Secara etimologis Antropologi berasal dari dua kata “Antropos
(Manusia) dan Logos (Ilmu)”. Sehingga Antropologi adalah ilmu tentang
manusia. Manusia dengan segala aspeknya. Tinjauan yang secara holistic,
artinya manusia dapat ditinjau dari dua segi, yaitu:
1. Manusia sebagai makhluk biologis.
2. Manusia sebagai makhluk sosial-budaya.
Sedangkan makna dari antropologi hukum itu sendiri dapat kita lihat
dari objek penelitiannya. Untuk memberikan pemahaman tentang
antropologi hukum ialah makna dari antropologi itu sendiri. Antropologi
adalah pemahaman ilmiah tentang tingkah laku sosial dan cultural manusia
serta pemahaman secara sistematik terhadap distribusi manifestasi-
manifestasinya dalam kurum waktu dan ruang tertentu
(Hasanudin;112:2003).
4
pemahamannya secara menyeluruh terhadap kehidupan manusia. Sifat
menyeluruh ini lebih tegas lagi, karena ilmu ini tidak berhenti hanya pada
satu bangsa saja melainkan melakukan pengamatan secara lintas bangsa dan
lintas budaya. Berdasarkan ruang lingkup tersebut, antropologi hukum
memperhatikan dan menerima hukum sebagai bagian dari proses-proses
yang lebih besar dalam masyarrakat. Dan ia tidak melihat hukum secara
statis, melainkan dinamis (Hasanudin;113:2003).
5
Maka pokok yang menjadi sorotan dalam antropologi hukum
adalah, bagaimana mendefinisikan hukum supaya gejala-gejala yang
beraneka ragam dan fungsi intinya sama dengan apa yang secara hakiki
merupakan fungsi hukum, dan terdapat dalam aneka budaya manusia dapat
tertampung.
Antropologi Hukum
Para ahli hukum tampil pada waktu ada pihak-pihak yang berselisih
mengenai hak-haknya dan malahan berselisih mengenai cara berlaku yang
6
pantas. Para ahli hukum, pengacara dan hakim memecahkan kasus-kasus
persengketaan, sesuai dengan nilai-nilai yang lebih mendasar sifatnya, yang
dianut dalam suatu masyarakat, berusaha untuk membatasi sebanyak
mungkin pengaruh buruk dari gangguan yang terjadi akibat adanya sengketa
dan kesukaran. Dan mereka jugalah, yang merupakan penjaga nilai-nilai
moral yang paling dasar dan prinsip-prinsip etis yang terdapat dalam budaya
yang bersangkutan.
7
semata-mata. Pada dasarnya studi antropologi terhadap hukum didasarkan
pada premis-premis sebagai berikut:
8
dikembangkan dalamilmu sosial. Metode penelitian yang biasanya
dipakai dalam kajian antropologi adalah metode penelitian kualitatif.
B. Etnografi Hukum
Etnografi adalah sebuah kegiatan untuk menganalisis, melakukan
pengamatan, terhadap kelompok sosial atau pendukung kebudayaan
tertentu. Kegiatan ini dilakukan secara terlibat dengan subjek yang diteliti.
Hasil pengamatan dapat ditujukan pada orang, dan lokasi tertentu sebagai
objek1 Etnografi dilakukan dengan dasar riset lapangan (fieldwork),
menggunakan metode induktif dalam observasi dan wawancara mendalam
untuk menginvestigasi praktik kehidupan sosial, serta menangkap makna
dibalik perilaku interaksi sosial tersebut.2 Etnografi juga berarti kajian
untuk mendeskripsikan perilaku kelompok sosial tertentu. Kegiatan
etnografi difokuskan pada perilaku budaya oleh kelompok sosia], melihat
bagaimana kehidupan sehari-sehari yang dilakukan oleh kelompok tersebut
sebagai subjek yang diteliti.3 Etnografi tidak saja diartikan sebagai sebuah
cabang ilmu, melainkan juga sebuah seni untuk mengungkap perilaku
sekelompok orang dengan budaya yang melingkupinya. Tugas seorang
etnografer hampir sama dengan seorang investigator, tetapi yang
membedakan adalah bahwa seorang etnografer mencatat, menulis,. dan
mengabadikan kehidupan sehari-hari kelompok orang tersebut dalam kurun
waktu tertentu. Kebiasaan, cara berfikir, serta perilaku subjek diamati,
dicatat, dan dianalisis secara mendalam oleh seorang etnografer.4
1
Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional dan Call for Paper, "Menyiapkan Bangsa yang
Berkeadilan dalam Menyongsong Indonesia Satu Abad",diselenggarakan oleh Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Tangerang, tanggal 10 April 2018 Discover Anthropology,
Ethnography,sumber:https://www.discoveranthropology.org.uk/aboutanthropology/fieldwork/ethn
ography.htm l, diakses pada tanggal 19 Nopember 2017
2
Ron Iphofen, Research Erhics in Ethnography/,dnthtrcpologv, European Comission, DG Research
and Innovation, hal.6
3
Encylopedia Britannica, Ethnography, Sumber : https:/www.Britannic.com/science/ethnograph,
diakses pada tanggal 17 November 2017
4
David M. Faterman, Ethnograph, Second Edition, Sage Publication, (London : 1998) hal 1
9
Kajian tentang etnografi hukum menjadi penting setidaknya
disebabkan oleh beberapa hal:
Pertama, bahwa Etnografi dalam ruang hukum menunjukkan
adanya sebuah hubungan erat antara diri hukum dengan ruang-ruang sosial.
Hukum tidak saja sebagai bentuk dari sebuah putusan badan-badan
peradilan, tetapi bagaimana sekelompok orang berinteraksi dan mencoba
untuk mempersepsi hukum.
Kedua, guna memahami hukum dalam ruang-ruang sosial, maka
dibutuhkan sebuah interaksi mendalam antara seorang etnografer hukum
dengan subjek yang diteliti. Menyelami bagaimana sudut pandang dan
pemahaman sekelompok orang akan hukum. Sikap, perilaku, dan cara
berhukum diamati secara mendalam oleh seorang etnografer hukum untuk
mengetahui bagaimana orang berbuat hukum.
Dalam kajian-kajian etnografi hukum, seorang etnografer hukum
akan menggunakan kertas kerja sebagai kunci keberhasilan sebuah
penelitan etnografi. Melalui kertas kerja tersebut, seorang etnografer hukum
akan mampu memasuki kondisi mentalitas subjek yang diteliti, antara lain:
memąhami bahasa subjek, untuk itu ia perlu mempelajari bahasa subjek
yang diteliti. Penguasaan bahasa penting untuk dikuasai tidak saja
memahami makna yang sesungguhnya dari arti sebuah kalimat atau kata
(denotasi), tetapi juga makna kiasan (konotasi) untuk menghindari adanya
.kesalahan pemahaman antara etnografer hukum terhadap bahasa atau kata
dan kalimat yang diungkap oleh subjek.5
Dalam penelitian etnografi hukum, etnografer hukum tidak boleh
terpaku pada bentuk-bentuk baku yang mengikat sebuah format penelitian
sehingga menjadi kurang beralur. Ia harus menjelaskan dalam
penelitiannya, langkah- langkah apa saja yang ia ambil untuk mengungkap
masalah penelitian. Etnografer hukum harus menjelaskan secara detail
dengan apa ia mengenal subjek dan objek penelitian. la harus mampu
5
John Flood, Socio-Legal Ethnography dalam Banakar & Travers, eds., Theory and Meîhods in
Socio Legal Research, Hart Publishing, (Oxford: 2005), hal.37
10
mendeskripsikan detail dengan cara apa ia menciptakan rapoi yang baik
dengan subjek. Siapakah yang menjadi perantara yang menghubungkan
antara ia dengan subjek. Perlu diperhatikan bahwa detail adalali sebuah
kekhasan penelitian etnografer. Untuk itu ia wajib melatih diri untuk
menjelaskan secara detail setiap objek dan subjek yang ia tatap.
6
Seth Kahn. Putting Ethnographic Writing in Contert. sumber•.
http://writingspaces.org/sites/default/files/kham-putting-Ethnographic-writing. Pdf, diakses pada
tanggal 28 Nopember 2017
11
menggali data yang dibutuhkan dalam penelitian. Penguasaa Bahasa
juga akan berkait erat dengan kemampuan etnografer untuk
mengungkapkan segala hal dalam alam berfikir subjek melalui
perspektif emic. Dalam penelitian etnografi salah satu keunggulannya
adalah bahwa penelitian ini mampu menghadirkan sebuah perspektif
emic, karenaia merupakan jantung sebuah penelitian etnografi.
Perspektif emic adalah sebuah pemahaman yang diungkap berdasarkan
pada perspektif subjek yang diteIiti.7
Kesulitan dalam penelitian etnografi adalah tahap untuk dapat
menangkap perspektif emic ini. Kegagalan untuk menangkap makna
dan ide yang dengannya perilaku berhukum dapat tergambar acapkali
gagal dicapai oleh peneliti. Kesulitan untuk memahami maksud dari
bahasa diungkap oleh subjek yang diteliti sering ditemui dalam
penelitian etnografi. Ketika seseorang mengungkapkan hilangnya
nyawa, maka setidaknya ada beberapa kata yang dapat diucapkan:
meninggal dunia, wafat. tewas, dan man. Masing kata tersebut memiliki
nilai yang berbeda ketika diucapkan Oleh subjek. Ketika seseorang
kehilangan nyawa, dan subjek yang diteliti menggunakan narasi kata
wafat, maka tergambar bahwa terdapat nilai penghormatan dari diri
subjek terhadap orang yang telah kehilangan nyawa tersebut. Hal ini
akan menjadi berbeda ketika subjek menggunakan kata mati terhadap
orang yang kehilangan nyawa tersebut. Terdapat nilai berbahasa yang
berbeda diantara keduanya walaupun menunjukkan sebuab peristiwa
hilangnya nyawa.
Pandangan subjek terhadap orang yang meninggal dengan memilih
kata akan menentukan bagaimana ia memandang serta memberikan
persepsi atas orang yang telah meninggal tersebut. Peneliti dapat
melihat adanya sebuah konflik yang muncul diantara subjek yang diteliti
dengan orang yang telah meninggal tersebut, ketika ia memilih
7
David M. Faterman, Ethnography, Second Edition, Sage Publications, (London: 1998), hal.20
12
menggunakan kata mati. Konflik yang muncul ditelusuri dari ungkapan-
ungkapan berbahasa yang ditunjukkan Oleh subjek. Hubungan yang
harmonis atau inharmonis antara subjek dengan orang yang meninggal
tersebut akan terungkap dengan penggunaan pilihan kata dalam
berbahasa. Untuk itu maka peneliti mengungkapkan dengan kalimat
langsung terhadap semua ucapan dan bahasa yang diungkap Oleh
subjek.
c. Orientasi Non-judgemental
13
dikarenakan adanya penolakan oleh etnografer hukum. Jika seorang
etnografer hukum memasuki sebuah arena sosial penelitan, maka ia
harus mampu melakukan proses adaptasi dengan kondisi sosial budaya
yang ada. Pada awalnya akan muncul kebingungan pada diri seorang
etnografer hukum untuk bersikap dan berperilaku dalam lingkungan
sosial dan budaya yang sangat berbeda. Etnografer hukum harus segera
beradaptasi dengan mencoba mernahami apa yang boleh dilakukan dan
hal-hal apa saja yang tidak boleh dilakukan dalam lingkungan sosial
tersebut. Perlu diperhatikan bahwa seorang etnografer hukum
selayaknya tidak menunjukkan sikap dan perilaku
d. Fokus pada Kedalaman Penelitian
8
Anne Griffths, Using Ethnography as a Tool in Legal Research: AnAnthropological Perspectives,
dalam Banakar and Travers, eds., Theory and Methods in Socio-Legal Research, Hart Publishing,
(London: 2005), hal. 114
9
Barbara Tedlock, The Observation of Participation and The Emergence of Publie Ethnography.
dalam Denzin and Licoln, eds., The Sage Handbook ofeualitative Research. Third Edition, Sage
Publication, (London: 2005), hal.467.
14
e. Menangkap dân mengungkap Simbol-simbol Hukum
10
Soerjono Soekanto, 1984, Antropologi Hukum Materi Pengembangan Ilmu Hukum Adat, C.V.
Rajawali, Ja-
karta, hlm. 160.
15
seperti dikatakan Radcliffe- Brown, tetapi karena adanya prinsip timbal-
balik dan prinsip publisitas.”
11
Ibid
16
berlangsung dalam kurun waktu yang lama. Kadang- kala kebiasaan
bisa sama dengan norma hukum, tetapi bisa juga bertentangan.
3. Kebiasaan terwujud sebagai institusi non hukum sedangkan peraturan
meru- pakan institusi hukum, di dalam ma- syarakat ditemukan
keduanya. Norma- norma hukum cenderung mengabaikan bahkan
sebaliknya memfungsikan ke beradaan kebiasaan-kebiasaan dalam
penyelesaian kasus-kasus sengketa yang terjadi dalam masyarakat.
4. Peraturan-peraturan hukum juga me- ngembangkan kebiasaan-
kebiasaan sebagai institusi hukum melalui proses pelembagaan ulang
(reinstitutionalized) dan dinyatakan ulang (restated) sehing- ga
peraturan hukum juga sebagai suatu kebiasaan yang telah dilembagakan
kembali untuk tujuan-tujuan yang ingin dicapai hukum tersebut.12
12
Ibid
17
b. Atribut dengan maksud untuk diaplikasikan terhadap peristiwa-peristiwa
yang sama secara uni- versal (attribute of intention of universal
application).
c. Atribut obligasio (attribute of obli- gatio), yaitu keputusan-keputusan dari
pihak pemegang otoritas me- ngandung suatu pernyataan bahwa pihak
pertama memiliki hak untuk menagih sesuatu dari pihak ke- dua, dan pihak
kedua mempunyai kewajiban untuk memenuhi hak pihak pertama tersebut
sepanjang mereka masih hidup.
d. Atribut sanksi (attribute of sanc- tion), yaitu keputusan-keputusan dari
pihak pemegang otoritas tersebut juga disertai dengan pen- jatuhan sanksi-
sanksi, baik berupa sanksi yang bersifat fisik, seperti hukuman badan dan
penyitaan harta benda, atau sanksi non fisik seperti dipermalukan di depan
orang banyak, diasingkan dari pergaulan sosial, dibuat menjadi ketakutan,
dan lain-lain.
13 Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia, Bandung, Alfabeta, Th. 2009, Hal. 8
18
Kebiasaan yang merupakan hukum adat adalah perbuatan yang diulang-
ulang dalam bentuk yang sama.14
14Ibid, Hal. 22
15Lilik Mulyadi, Hukum Pidana Adat Kajian Asas, Teori, Norma Praktik Dan Prosedur,
Bandung, PT Alumni, Th 2015, Hal. 2
19
oleh masyarakat tersebut. Norma yang dimaksud hendaknya telah melalui
proses pelembagaan sehingga bersifat mengikat perilaku warga masyarakat.
Dengan demikian norma tersebut memenuhi kebutuhan masyarakat akan
keteraturan.
16Suriyaman Mustari Pide, Hukum Adat Dahulu, Kini, Dan Akan Dating, Jakarta:
Kencana, Th 2015, Hal. 24-25
20
karenanya bentuk perkawinan yang berlaku di Indonesia berbeda pula
diantaranya bentuk perkawinan adalah sebagai berikut:17
a. Perkawinan Jujur
Perkawinan jujur merupakan perkawinan dengan pemberian
(pembayaran) uang (barang) jujur, pada umumnya berlaku pada
masyarakat hukum adat yang mempertahankan garis keturunan
bapak (patrilineal). Pemberian uang jujur (Gayo: unjuk; Batak:
boli, Tuhor, Parunjuk, Pangoli; Nias : beuli niha ; Lampung :
segreh, seroh daw, adat Timor-sawu : belis, Wellie; dan Maluku
beli, wilin) dilakukan oleh pihak kerabat calon isteri, sebagai
tanda pengganti pelepasan mempelai wanita kelar dari
kewargaan adat persekutuan hukum bapaknya, pindah dan
masuk ke dalam persekutuan hukum suami. Di sulawesi dikenal
dengan "Doi Panai" (Uang panai).
b. Perkawinan Semenda
Perkawinan semenda pada umumnya berlaku di lingkungan
masyarakat adat yang matrilineal, dengan maksud
mempertahankan garis keturunan ibu (wanita). Dalam
perkawinan semenda calon mempelai pria dan kerabatnya tidak
melakukan pemberian uang jujur kepada pihak wanita,
sebagaimana di minangkabau berlaku adat pelamaran berlaku
dari pihak wanita kepada pihak laki-laki. Pada umumnya dalam
perkawinan semenda kekuasaan pihak isteri yang lebih berperan,
sedangkan suami tidak ubahnya sebagai istilah "nginjam jago"
(meminjam Jantan) hanya sebagai pemberi bibit saja dan kurang
tanggung jawab atas keluarga/rumah tangga.
c. Perkawinan bebas
Perkawinan ini pada umumnya berlaku di lingkungan
masyarakat adat yang bersifat parental (keorangtuaan), seperti
21
berlaku di kalangan masyarakat Jawa, Sunda, Aceh, Melayu,
Kalimantan, dan Sulawesi dan dikalangan masyarakat Indonesia
yang modern. Dimana keluarga atau kerabat tidak banyak lagi
ikut campur tangan dalam keluarga/rumah tangga
d. Perkawinan campuran
Perkawinan campuran menurut hukum adat adalah
perkawinan yang terjadi diantara suami isteri yang berbeda suku
bangsa, adat budaya, dan/atau berbeda agama yang dianut.
Dalam pasal 57 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan yang dimaksud dengan perkawinan campuran
adalah perkawinan antara dua orang yang di indonesia tunduk
pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan
dan salah satu pihak berwarga negara Indonesia.
e. Perkawinan lari
Perkawinan lari dapat terjadi di suatu lingkungan masyarakat
adat, tetapi yang terbanyak berlaku adalah di kalangan
masyarakat Batak, Lampung, Bali, Bugi/Makassar dan Maluku.
Di daerah-daerah tersebut walaupun kawin lari ini merupakan
pelanggaran adat, namun terdapat tata tertib cara menyelesaikan
sesuai dengan hukum adat yang berlaku dalam persekutuan
masyarakat.
Dengan adanya perbedaan bentuk hukum perkawinan adat di
atas lebih disebabkan karena terdapatnya perbedaan sistem
kekerabatan atau sistem keturunan yang dianut oleh masing-
masing masyarakat hukum adat di Indonesia. Di kalangan
masyarakat hukum adat yang menganut sistem kekerabatan
"patrilineal" maka hukum perkawinan adat yang berlaku adalah
bentuk perkawinan "jujur", di daerha batak disebut "mangoli",
"beleket" di lampung. Dan di Sulawesi dikenal "Doi Panai".
Sedangkan pada masyarakat adat yang menganut sistem
"matrilineal" yang mempertahankan garis keturunan ibu
22
(wanita), dalam perkawinan semenda calon mempelai pria dan
kerabatnya tidak melakukan pemberian uang jujur kepada pihak
wanita bentuk hukum perkawinan adat yang berlaku adalah
bentuk perkawinan "samenda". Pada lingkungan masyarakat
adat yang menganut system "parental" atau "bilateral” maka
hukum perkawinan adat yang berlaku adalah bentuk perkawinan
bebas (mandiri).
23
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara etimologis Antropologi berasal dari dua kata “Antropos
(Manusia) dan Logos (Ilmu)”. Sehingga Antropologi adalah ilmu tentang
manusia. Manusia dengan segala aspeknya.
a. Perkawinan Jujur
b. Perkawinan Semenda
c. Perkawinan bebas
d. Perkawinan campuran
e. Perkawinan lari
24
DAFTAR PUSTAKA
Mulyadi, Lilik. (2015). Hukum Pidana Adat Kajian Asas, Teori, Norma Praktik
dan Prosedur. Bandung: PT Alumni.
Pide, Suriyaman. Mustari. (2015). Hukum Adat Dahulu, Kini, dan Akan
Datang. Jakarta: Kencana.
25