Anda di halaman 1dari 96

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMBELI UNIT APARTEMEN

MADISON AVENUE YANG DEVELOPERNYA WANPRESTASI

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum


Di Fakultas Hukum UPN “Veteran” Jawa Timur

Oleh :

ARGA FIRSTANZA
NPM. 1671010074

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR


FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
SURABAYA
2020
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan Puja dan Puji Syukur atas Kehadirat Allah SWT

yang telah melimpahkan rahmat serta karunia-Nya, sehingga Penulis mampu

menyusun dan menyelesaikan Skripsi ini. Disini penulis mengambil judul

“PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMBELI UNIT APARTEMEN

MADISON AVENUE YANG DEVELOPERNYA WANPRESTASI”. Skripsi

ini disusun guna memenuhi persyaratan berdasarkan kurikulum yang ada di

Fakultas Hukum UPN “Veteran” Jawa Timur yang dimaksudkan sebagai sarana

untuk menambah serta membandingkan ilmu pengetahuan dan wawasan baik

secara teori maupun dalam praktiknya di lapangan, serta diharapkan juga dapat

memberikan bekal mengenai hal - hal yang berkaitan dengan disiplin ilmu yang

berkaitan guna penyusunan skripsi. Skripsi ini dapat diselesaikan atas bantuan

bimbingan dan motivasi dari beberapa pihak, maka dikesempatan ini penyusun

mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Dr. H. Sutrisno, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum

UPN “Veteran” JawaTimur.

2. Ibu Mas Anienda Tien F, S.H., M.H selaku Wakil Dekan I Fakultas

Hukum UPN “Veteran” Jawa Timur.

3. Ibu Dra. Ec. Nurjanti Takarini, selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum

UPN “Veteran” Jawa Timur.

4. Bapak Fauzul Aliwarman, S.HI., M.Hum Wakil Dekan III dan sekaligus

Dosen Wali di Fakultas Hukum UPN “Veteran” Jawa Timur.


5. Bapak Eko Wahyudi, S.H., M.H., selaku Koordinator Program Studi

Fakultas Hukum UPN “Veteran” Jawa Timur sekaligus Dosen

Pembimbing baik selama menempuh mata kuliah maupun selama

penelitian skripsi ini.

6. Bapak atau Ibu Dosen Pengajar Fakultas Ilmu Hukum Universitas

Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur yang telah banyak

membantu selama menempuh pendidikan ini.

7. Bapak dan Ibu tim penguji seminar proposal skripsi yang telah

memberikan evaluasi, kritik dan saran yang penting untuk penulis

kedepannya.

8. Bapak dan Ibu bagian Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas

Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur yang telah memberikan

kemudahan dalam pengurusan administrasi.

9. Orang tua Penulis yang telah mendukung dan mendoakan kelancaran

dalam penulisan penelitian ini.

10. Luqman, Jimmy, Rifda, Ais, Karina, dan Diza terimakasih banyak atas

waktu dan dukungan moralnya.

11. Gayatri Mutiara Larasati Terimakasih banyak.

12. Nabilah, Octa, Septian, Adam, Zefanya, Nungky, Safina, Jupe, Nanda,

Thirza, dan Dea dukungan, bantuan,kerjasama dan semangatnya.

13. Teman-Teman seperbimbingan yang telah saling membantu dan

mengingatkan.
14. Teman-teman Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional

“Verteran” Jawa Timur Angkatan 2016.

15. Seluruh pihak-pihak yang membantu namun tidak dapat penulis sebutkan

satu persatu. Kesempurnaan hanya milik Allah SWT, sehingga Penulis

menyadari bahwa penyusunan Skripsi ini jauh dari kata sempurna. Pada

akhirnya Penulis berharap semoga Skripsi ini dapat berguna bagi

pembacanya.

Surabaya, 7 Desember 2019

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..............................................................................................

HALAMAN PERSETUJUAN ................................................................................ i

HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. ii

HALAMAN REVISI ............................................................................................... iii

SURAT PERNYATAAN......................................................................................... iv

KATA PENGANTAR ............................................................................................. v

DAFTAR ISI ............................................................................................................ viii

DAFTAR GAMBAR................................................................................................ xi

DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... xii

ABSTRAK.................. .............................................................................................. xiii

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ............................................................................... 1

1.2. Rumusan Masalah............................................................................ 5

1.3. Tujuan Penelitian ............................................................................. 6

1.4. Manfaat Penelitian............................................................................ 6

1.5. Kajian Pustaka ................................................................................. 7

1.5.1. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian ..................................... 7

1.5.1.1. Pengertian Perjanjian............................................... 7

1.5.1.2. Unsur-Unsur Perjanjian........................................... 11

1.5.1.3. Syarat Sah Perjanjian............................................... 12

1.5.1.4. Asas-Asas dalam Perjanjian.................................... 15

1.5.1.5. Akibat Perjanjian yang Sah..................................... 19


1.5.1.6. Jenis-Jenis Perjanjian............................................... 22

1.5.1.7. Wanprestasi Dalam Perjanjian................................ 30

1.5.2. Tinjauan Umum Tentang Apartemen..................................... 33

1.5.2.1. Pengertian Apartemen............................................. 33

1.5.2.2. Satuan Apartemen/Rumah Susun............................ 36

1.5.2.3. Hak Milik atas Satuan Apartemen........................... 37

1.5.2.4. Kepemilikan atas Satuan Apartemen...................... 41

1.5.3. Akta Di Bawah Tangan.......................................................... 43

1.5.3.1. Pengertian Akta Di Bawah Tangan......................... 43

1.5.3.2. Perbedaan Antara Akta Otentik dengan Akta Di

Bawah Tangan........................................................ 45

1.6. Metode Penelitian............................................................................. 46

1.6.1. Jenis Penelitian ...................................................................... 46

1.6.2. Sumber Data........................................................................... 46

1.6.3. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data.......................... 47

1.6.4. Metode Analisis Data............................................................. 48

1.6.5. Sistematika Penulisan ............................................................ 48

BAB II PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMBELI UNIT

APARTEMEN MADISON AVENUE YANG DEVELOPERNYA

WANPRESTASI

2.1. Hubungan Hukum Para Pihak dalam Pembelian Unit Apartemen

Madison Avenue yang Developernya Wanprestasi ......................... 50


2.2. Perlindungan Hukum Bagi Pembeli Unit Apartemen Madison

Avenue yang Developernya Wanprestasi

60

BAB III UPAYA HUKUM BAGI PEMBELI UNIT APARTEMEN

MADISON AVENUE YANG DEVELOPERNYA

WANPRESTASI
................................................................................................................

65

BAB IV PENUTUP

4.1. Kesimpulan....................................................................................... 72

4.2. Saran................................................................................................. 73

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Syarat-syarat dan Ketentuan pemesanan Apartemen Madison Avenue

Tower A
.............................................................................................................

53

Gambar 2 Surat Pesanan PT. Kertabakti Raharja atas nama Ibu Hariyani
.............................................................................................................

54

Gambar 3 Kwitansi PT. Kertabakti Raharja atas nama Ibu Hariyani


.............................................................................................................

55

Gambar 4 Harga Jual Unit Apartemen Madison Avenue atas nama Ibu Hariyani
.............................................................................................................

57

Gambar 5 Penanggungan Biaya-Biaya Lain Apartemen Madison Avenue


.............................................................................................................

58
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Surat Penugasan Pembimbing Skripsi

Lampiran 2 : Kartu Bimbingan Skripsi

Lampiran 3 : Lembar Revisi Penguji I

Lampiran 4 : Lembar Revisi Penguji II

Lampiran 5 : Lembar Revisi Penguji III


UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR
FAKULTAS HUKUM

Nama Mahasiswa : ARGA FIRSTANZA


NPM : 1671010074
Tempat Tanggal Lahir : Surabaya, 21 Agustus 1998
Program Studi : Strata 1 (S1)
Judul Skripsi :

“PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMBELI UNIT APARTEMEN


MADISON AVENUE YANG DEVELOPERNYA WANPRESTASI”

ABSTRAKSI

Pelaksanaan jual beli satuan unit apartemen yang seperti itu dilakukan dengan
cara memesan terlebih dahulu atas unit yang akan dibeli, kemudian dituangkan
dalam perikatan pendahuluan dalam bentuk bukti konfirmasi pemesanan.
Sehingga pada saat pembangunan apartemen dimulai, sudah banyak pembeli yang
membeli apartemen tersebut. Melakukan perjanjian jual beli apartemen secara
dibawah tangan yang dilakukan sebelum bangunan apartemen selesai dibangun
memiliki beberapa kekurangan salah satunya yaitu developer apartemen bisa saja
melakukan wanprestasi. Wanprestasi yang dilakukan oleh pihak developer berupa
tidak menyelesaikan pembangunan apartemen. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa perlindungan hukum bagi pembeli unit apartemen yang developernya
wanprestasi terdapat dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang
Rumah Susun maupun Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen berupa penyelesaian sengketa di bidang
litigasi/nonlitigasi. Selain itu upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pembeli
unit apartemen yang developernya wanprestasi yaitu dengan cara meminta ganti
kerugian yang diterimanya kepada developer apartemen tersebut dengan cara
menggugat ke Pengadilan Negeri.

Kata Kunci : Perlindungan Hukum, Jual Beli, Wanpretasi.

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kebutuhan akan tempat tinggal yang layak merupakan permasalahan

manusia di seluruh dunia, tidak saja di negara-negara yang sedang

berkembang tetapi juga di negara yang sudah maju. Pembangunan

perumahan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu kebutuhan dasar

manusia, sekaligus untuk meningkatkan mutu lingkungan kehidupan,

memberi arah pada pertumbuhan wilayah, memperluas lapangan kerja serta

menggerakkan kegiatan ekonomi dalam peningkatan dan pemerataan

kesejahteraan rakyat.1

Perumahan dan pemukiman merupakan kebutuhan dasar manusia yang

sangat berpengaruh dalam pembentukan kepribadian bangsa. Perumahan dan

1
Arie. S. Hutagalung, Serba Aneka Tanah Dalam Kegiatan Ekonomi, Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2002, hlm. 175
pemukiman tidak dapat hanya dilihat sebagai sarana kebutuhan hidup, tetapi

lebih dari itu merupakan proses bermukim manusia dalam menciptakan

tatanan hidup untuk masyarakat dan dirinya dalam menampakkan jati diri. 2

Namun demikian, masih banyak rakyat Indonesia yang belum dapat

menikmati rumah yang layak, sehat, aman dan serasi.

Menurut Prof. Arie S. Hutagalung, yang menjadi dilema utama dalam

pelaksanaan pembangunan perumahan dan pemukiman ini adalah kebutuhan

akan penyediaan tanah sebagai pusat kegiatan operasionalnya. Realitas

Penyediaan tanah dari hari ke hari semakin terbatas baik dilihat dari segi

kualitas maupun kuantitasnya sedangkan kegiatan pembangunan melesat

begitu cepat terutama di daerah-daerah perkotaan.3

Dalam perkembangan pembangunan perumahan di Indonesia, terutama

di kota besar seperti Kota Surabaya, terlihat kecenderungan pada

pembangunan vertikal. Hal tersebut dapat dimaklumi mengingat jumlah

penduduk terus bertambah tetapi tanah atau lahan untuk kebutuhan

perumahan tidak pernah bertambah. Apabila pembangunan kota dibiarkan

berkembang secara horizontal, maka akan menghabiskan tanah-tanah

pertanian yang subur di sekitar kota tersebut.

Pembangunan rumah susun merupakan salah satu alternatif pemecahan

masalah kebutuhan perumahan dan pemukiman terutama di daerah perkotaan

yang jumlah penduduknya terus meningkat, karena pembangunan rumah

susun dapat mengurangi penggunaan tanah, membuat ruang-ruang terbuka


2
Arie. S. Hutagalung, Kondominium dan Permasalahannya, Badan Penerbit Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2007, hlm. 1
3
Arie. S. Hutagalung, Serba Aneka Tanah Dalam Kegiatan Ekonomi, Op.cit., hlm. 175
kota yang lebih lega dan dapat digunakan sebagai suatu cara untuk

peremajaan kota bagi daerah kumuh.4

Pembangunan rumah susun di Kota Surabaya sejak tahun 2000

berkembang secara pesat. Hal ini tentu berdampak positif karena dengan

banyaknya rumah susun yang dibangun maka semakin banyak masyarakat

yang dapat memenuhi kebutuhan tempat tinggalnya. Saat ini masyarakat

dimanjakan dengan pasar rumah susun yang variatif, mulai dari yang mewah,

menengah hingga yang sederhana.

Tersedianya pasar rumah susun yang variatif dan kebutuhan akan

tempat tinggal yang layak sangat tinggi, mendapat respon yang sangat baik

dan cukup tinggi dari masyarakat, mengingat bahwa semakin sempitnya

lahan di kota-kota besar untuk dijadikan rumah ataupun tempat tinggal yang

menjadi kebutuhan mendasar bagi setiap manusia. Bahkan saat ini rumah

susun atau apartemen sudah menjadi salah satu bagian dari gaya hidup selain

menjadi kebutuhan dasar.

Kehadiran Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah

Susun memberikan jawaban atas permasalahan padatnya penduduk serta

terbatasnya lahan di daerah perkotaan. Maraknya pembangunan rumah susun

atau apartemen saat ini tidak hanya diperuntukkan bagi golongan masyarakat

kelas atas akan tetapi juga mengarah kepada kelas menengah dan kelas

bawah yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana pendukung guna

menciptakan pemukiman yang lengkap dan fungsional, yang didalamnya

4
Arie. S. Hutagalung, Kondominium dan Permasalahannya, Op.cit., hlm. 2
tetap menggunakan sistem pemilikan perorangan yang terpisah pada unit-

unitnya yang diikuti dengan pemilikan bersama atas bagian-bagian dan

benda- benda dari bangunan tersebut dan hak bersama atas tanah yang

menjadi alas hak didirikannya bangunan-bangunan tersebut yang semuanya

merupakan satu kesatuan yang secara fungsional tidak terpisahkan. Hal ini

lebih dikenal dengan istilah strata title, yaitu sistem kepemilikan pada objek

yang terletak pada strata-strata yang berbeda-beda.5

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun telah

mengatur bahwa ketentuan untuk dapat dibuatnya PPJB di hadapan Notaris

adalah apabila sudah ada ketersediaan bangunan minimal 20% dari total

bangunan. Dalam kondisi seperti di atas tentunya posisi dari konsumen

adalah posisi yang rawan untuk dirugikan karena pada kenyataan yang sering

terjadi setelah konsumen membayar beberapa kali angsuran hingga mencapai

pembayaran sebesar 20% dari harga perikatan bahkan lebih, namun

apartemen tersebut belum terbangun hingga 20%, sehingga PPJB di hadapan

Notaris yang akan menjadi Akta Otentik bagi masing-masing pihak tidak

dapat dibuat.6

Pemasaran apartemen pada umumnya sudah dilakukan sebelum

pembangunan apartemen dilaksanakan. Pelaksanaan jual beli satuan unit

apartemen yang seperti itu dilakukan dengan cara memesan terlebih dahulu

atas unit yang akan dibeli, kemudian dituangkan dalam perikatan

5
Ahmad Chairudin, Beberapa Catatan Mengenai Pelaksanaan Sistem Strata Title Pada
Bangunan Gedung Bertingkat, makalah disampaikan pada Program Khusus Pelatihan
Professional Property-Executive Short Course, Jakarta, 6 Juli 2007.
6
Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi & Implementasi, Buku
Kompas, Jakarta, 2001, hlm. 161
pendahuluan dalam bentuk bukti konfirmasi pemesanan. Sehingga pada saat

pembangunan apartemen dimulai, sudah banyak konsumen yang membeli

apartemen tersebut. Perikatan Pendahuluan dalam bentuk bukti konfirmasi

pemesanan apartemen terjadi sebelum PPJB dilakukan, hal ini dikarenakan

ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah

Susun bahwa PPJB baru bisa dilakukan apabila ketersediaan bangunan sudah

mencapai 20% dari total bangunan.

Sebagian besar pengembang menempuh jalan keluar dengan membuat

perjanjian berupa konfirmasi pemesanan pembelian yang isinya menyerupai

PPJB yang setelah itu akan dibawa oleh pengembang ke hadapan notaris

untuk di waarmerking. Hal tersebut dilakukan untuk meyakinkan konsumen.

Namun yang perlu dipertanyakan adalah apakah hal tersebut dapat

memberikan kepastian hukum bagi masing-masing pihak khususnya bagi

konsumen terlebih apabila terjadi wanprestasi oleh pengembang.

PT. Kertabakti Raharja selaku developer Apartemen Madison Avenue

telah melakukan suatu bentuk wanprestasi yaitu belum dapat menyelesaikan

pembangunan tower apartemennya. Konsumen seharusnya sudah melakukan

serah terima kunci unit apartemen pada bulan Februari 2019. Namun hingga

bulan september 2019 ini pihak developer belum dapat memberikan kunci

apartemen tersebut bahkan pembangunan Apartemen Madison Avenue belum

juga selesai.

Berdasarkan latar belakang tersebut penulis menuangkannya kedalam

bentuk penelitian yang berjudul :


“PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMBELI UNIT

APARTEMEN MADISON AVENUE YANG DEVELOPERNYA

WANPRESTASI”

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana perlindungan hukum bagi pembeli unit Apartemen Madison

Avenue yang developernya wanprestasi ?

2. Bagaimana upaya hukum bagi pembeli unit Apartemen Madison Avenue

yang developernya wanprestasi ?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui dan memahami perlindungan hukum bagi pembeli unit

Apartemen Madison Avenue yang developernya wanprestasi.

2. Untuk mengetahui dan memahami upaya hukum bagi pembeli unit

Apartemen Madison Avenue yang developernya wanprestasi.

1.4 Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis

1. Peneliti diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran di bidang

Ilmu Hukum, serta ilmu hukum perdata, khususnya pengetahuan

mengenai perlindungan hukum bagi pembeli unit Apartemen yang

developernya wanprestasi.

2. Untuk mendalami dan mempraktekkan teori yang telah diperoleh

peneliti selama kuliah di Fakultas Hukum Universitas Pembangunan

Nasional “Veteran” Jawa Timur.

b. Manfaat Praktis
1. Peneliti diharapkan dapat mengembangkan penalaran dan membentuk

pola pikir yang dinamis sekaligus untuk mengetahui kemampuan

peneliti dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.

2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang bermanfaat

bagi para praktisi dan instansi-instansi terkait, khususnya bagi

masyarakat mengenai perlindungan hukum bagi pembeli unit

Apartemen yang developernya wanprestasi agar menjadi pedoman bagi

para pihak yang melakukan jual beli unit apartemen.

1.5 Kajian Pustaka

1.5.1 Tinjauan Umum Tentang Perjanjian

1.5.1.1 Pengertian Perjanjian

Istilah perjanjian merupakan terjemahan dari kata

overeenkomst (Belanda) yang diterjemahkan dengan persetujuan

/ perjanjian.7 Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

merumuskan perjanjian sebagai berikut:

Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau

lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.

Berdasarkan rumusan tersebut dapat diketahui bahwa

suatu perjanjian adalah:

a. Suatu perbuatan.

b. Antara sekurangnya dua orang.

7
R. Subekti, R. Tjitrosudibio, Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita,
Jakarta, 2003, hlm. 338
c. Perbuatan tersebut melahirkan perikatan di antara pihak-pihak

yang berjanji tersebut.

Perbuatan yang disebutkan dalam rumusan awal ketentuan

Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjelaskan

kepada kita semua bahwa perjanjian hanya mungkin terjadi jika

ada suatu perbuatan nyata, baik dalam bentuk ucapan, maupun

tindakan secara fisik, dan tidak hanya dalam bentuk pikiran

semata-mata.8

Menurut Abdulkadir Muhammad, ketentuan Pasal 1313

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sebenarnya kurang tepat

karena ada beberapa kelemahan yang perlu dikoreksi, yaitu

sebagai berikut:

a. Hanya menyangkut sepihak saja. Hal ini dapat diketahui dari

rumusan kata kerja “mengikatkan diri”, sifatnya hanya datang

dari satu pihak saja, tidak dari pihak. Seharusnya rumusan itu

ialah “saling mengikatkan diri”, jadi ada konsensus antara

dua pihak.

b. Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus. Dalam

pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan

penyelenggaraan kepentingan (zaakwaarneming), tindakan

melawan hukum (onrechtmatigedaad) yang tidak

8
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Rajawali,
Jakarta, 2010, hlm. 7
mengandung suatu konsensus. Seharusnya dipakai istilah

“persetujuan”.

c. Pengertian perjanjian terlalu luas. Perngertian perjanjian

mencakup juga perjanjian kawin yang diatur dalam bidang

hukum keluarga. Padahal yang dimaksud adalah hubungan

antara debitur dan kreditur mengenai harta kekayaan.

Perjanjian yang diatur dalam buku III KUHPerdata

sebenarnya hanya meliputi perjanjian yang bersifat

kebendaan, bukan bersifat kepribadian (personal).

d. Tanpa menyebut tujuan. Dalam rumusan Pasal itu tidak

disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga pihak-

pihak mengikatkan diri itu tidak jelas untuk apa.

Berdasarkan alasan-alasan di atas, maka dapat dirumuskan

bahwa perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua

orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan

suatu hal yang bersifat kebendaan yang terletak di dalam

lapangan harta kekayaan. Dari definisi tersebut jelas terdapat

konsensus antara pihak-pihak, untuk melaksanakan sesuatu hal,

mengenai harta kekayaan, yang dapat dinilai dengan uang.9

Para sarjana lain juga merasa bahwa pengertian perjanjian

sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1313 Kitab Undang

Undang Hukum Perdata ini mengandung banyak kelemahan,

9
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, PT Citra Aditya, Bandung, 2000, hlm.
224
memberikan rumusan mengenai arti perjanjian. Menurut

Wirjono Prodjodikoro, perjanjian merupakan suatu perhubungan

hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam

mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk

melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal,

sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji tersebut.10

Menurut M. Yahya Harahap, perjanjian adalah suatu

perhubungan hukum kekayaan/ harta antara dua orang atau lebih

yang memberikan kekuatan hak pada satu pihak untuk

memperoleh prestasi sekaligus mewajibkan kepada pihak lain

untuk menunaikan prestasi.11 Menurut Subekti, perjanjian adalah

peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau

dimana dua orang itu saling berjanji untuk melakukan sesuatu.12

Sedangkan menurut R. Setiawan, pengertian perjanjian tersebut

terlalu luas, karena istilah perbuatan yang dipakai dapat

mencakup juga perbuatan melawan hukum dan perwalian

sukarela, padahal yang dimaksud adalah perbuatan melawan

hukum.13

Dari defenisi perjanjian tersebut dapat disimpulkan bahwa

suatu perjanjian merupakan dua pihak atau lebih yang

mengikatkan janji atau kesanggupan baik secara lisan maupun

10
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Sumur
Bandung, Bandung, 1981, hlm. 11
11
M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni Bandung, Bandung, 1986, hlm. 9
12
R. Subekti, Hukum Perjanjian, Penerbit Intermasa, Jakarta, 1998, hlm. 1
13
R. Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, 1979, hlm. 49
secara tertulis untuk melakukan sesuatu atau menimbulkan

akibat hukum.

1.5.1.2 Unsur-Unsur Perjanjian

Apabila dirinci, perjanjian mengandung unsur-unsur

sebagai berikut:

a. Essentialia, ialah unsur yang mutlak harus ada bagi

terjadinya perjanjian. Unsur ini mutlak harus ada agar

perjanjian itu sah, merupakan syarat sahnya perjanjian. Unsur

essentialia dalam perjanjian mewakili ketentuan-ketentuan

berupa prestasi-prestasi yang wajib dilakukan oleh salah satu

atau lebih pihak, yang mencerminkan sifat dari perjanjian

tersebut, yang membedakankannya secara prinsip dari jenis

perjanjian lainnya. Unsur essentialia ini pada umumnya

dipergunakan dalam memberikan rumusan, definisi, atau

pengertian dari suatu perjanjian.

b. Naturalia, yaitu unsur yang lazimnya melekat pada

perjanjian, yaitu unsur yang tanpa diperjanjikan secara

khusus dalam perjanjian secara diam-diam dengan sendirinya

dianggap ada dalam perjanjian karena sudah merupakan

pembawaan atau melekat pada perjanjian. Unsur naturalia

pasti ada dalam suatu perjanjian tertentu, setelah unsur


essentialia diketahui secara pasti. Misalnya dalam perjanjian

yang mengandung unsur essentialia jual beli, pasti akan

terdapat unsur naturalia berupa kewajiban dari penjual untuk

menanggung kebendaan yang dijual dari cacat-cacat

tersembunyi. Sehubungan dengan hal itu, maka berlakulah

ketentuan Pasal 1339 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

yang menyatakan bahwa: “Perjanjian-perjanjian tidak hanya

mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di

dalamnya, melainkan juga untuk segala sesuatu yang menurut

sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau

Undang-Undang.”14

c. Accidentalia, yaitu unsur pelengkap dalam suatu perjanjian,

yang merupakan ketentuan-ketentuan yang dapat diatur

secara menyimpang oleh para pihak sesuai dengan kehendak

para pihak, merupakan persyaratan khusus yang ditentukan

secara bersama-sama oleh para pihak. Dengan demikian,

maka unsur ini pada hakekatnya bukan merupakan suatu

bentuk prestasi yang harus dilaksanakan atau dipenuhi oleh

para pihak.15

1.5.1.3 Syarat Sah Perjanjian

Sebagaimana telah diatur pada Pasal 1320 Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata yaitu:


14
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 2009, hlm.
118
15
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.cit., hlm. 85-90
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3. Suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab yang halal.

Syarat pertama dan kedua disebut syarat subjektif, karena

mengenai para subjek yang membuat perjanjian tersebut.

Sedangkan ketiga dan keempat disebut syarat objektif karena

mengenai objek dalam perjanjian tersebut.16

Syarat Pertama yang berbunyi “Sepakat mereka yang

mengikatkan diri” berarti para pihak yang membuat perjanjian

harus sepakat atau menyetujui tentang hal-hal pokok atau materi

yang termuat dalam perjanjian, kesepakatan itu harus dicapai

dengan tanpa ada paksaan, penipuan atau kekhilafan (Pasal 1321

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Jadi menurut Pasal

1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut jika

dalam suatu perjanjian terdapat unsur-unsur paksaan,

kekhilafan atau penipuan berarti perjanjian tersebut tidak

mempunyai unsur kata sepakat dan karena kata sepakat

merupakan salah satu syarat untuk sahnya perjanjian maka

perjanjian yang dibuat dengan tidak ada kata sepakat

mengakibatkan tidak sahnya perjanjian itu.


16
Hananto Prasetyo, “Pembaharuan Hukum Perjanjian Sportentertainment Berbasis Nilai
Keadilan (Studi Kasus Pada Petinju Profesional di Indonesia)”, Jurnal Pembaharuan Hukum Vol
IV No. 1, 2017, hlm. 69
Syarat Kedua yang berbunyi “Kecakapan untuk membuat

suatu perikatan” telah diatur lebih lajut pada Pasal 1320 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata tentang pihak-pihak mana saja

yang dapat dianggap cakap untuk membuat perjanjian. Dalam

penganturannya, Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata menyebutkan pihak-pihak yang dianggap tidak cakap

dalam perjanjian yaitu:

Tak cakap untuk membuat sesuatu perjanjian adalah:

1. Orang yang belum dewasa.

2. Orang yang ditaruh dibawah pengampuan (seperti cacat, gila,

boros, telah dinyatakan pailit oleh pengadilan).

3. Seorang Istri (namun pengaturan lebih lanjut pada Surat

Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963, seorang istri

sudah dapat dikatakan cakap dalam melakukan perbuatan

hukum).

Yang berarti cakap atau diperbolehkan oleh hukum untuk

membuat perjanjian adalah orang yang sudah dewasa, yaitu

sudah berumur genap 21 tahun sebagaimana dijelaskan pada

Pasal 330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan orang yang

tidak sedang dibawah pengampuan.

Syarat Ketiga berbunyi “Suatu hal tertentu” maksudnya

adalah objek dalam perjanjian yang harus jelas, setidaknya jenis


barang itu harus ada. Sebagaimana diatur pada Pasal 1333 Kitab

Undang Undang Hukum Perdata:

Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang


yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi
halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu
terkemudian dapat ditentukan atau dihitung.
Syarat keempat berbunyi “Suatu sebab yang halal” yang

berarti tidak boleh memperjanjikan sesuatu yang dilarang

undang-undang atau yang betentangan dengan hukum, nilai-

nilai kesopanan, ataupun ketertiban umum (Pasal 1337 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata).

1.5.1.4 Asas-Asas Dalam Perjanjian

Menurut Sudikno Mertokusumo, asas hukum merupakan

pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar

belakang dari peraturan konkret yang terdapat di dalam dan di

belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam perundang-

undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif

dan dapat pula asas hukum diketemukan dengan mencari sifat-

sifat umum yang terdapat pada peraturan konkret.17

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terdapat asas

umum yang merupakan pedoman atau patokan serta menjadi

batas atau rambu untuk mengatur dan membentuk perjanjian

yang akan dibuat hingga pada akhirnya menjadi perikatan yang

17
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1988,
hlm. 32
berlaku bagi para pihak yang dapat dipaksakan pelaksanaan atau

pemenuhannya.

Di dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

dikenal lima asas penting, yaitu:

1. Asas Kebebasan Berkontrak

Dapat dilihat bahwa asas ini diatu dalam ketentuan

Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,

yang berbunyi:

Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai

undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang

memberikan kebebasan kepada para pihak untuk :

(1) Membuat atau tidak membuat perjanjian;

(2) Mengadkan perjanjian dengan siapapun;

(3) Menetukan isi perjanjian, pelaksanaannya, dan

persyaratannya;

(4) Menetukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.

Lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah adanya

paham individualisme yang lahir pada zaman Yunani.

Menurut paham individualisme, sistem orang bebas untuk

memperoleh apa yang dikehendakinya. Namun pada abad ke-

19, karena desakan paham etis dan sosialis, paham


individualisme mulai pudar, paham ini dianggap tidak

mencerminkan keadilan. Oleh karena itu, kehendak bebas

tidak lagi diberikan, maka akhirnya pengaturan substansi

kontrak tidak semata-mata dibiarkan pada para pihak namun

juga harus diawasi oleh pemerintah.

2. Asas Konsensualisme

Dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata ditentukan bahwa salah satu

syarat sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan kedua

belah pihak. Asas konsensualisme adalah asas yang

menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan

secara formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan

kedua belah pihak. Kesepakatan merupakan persesuaian

antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua

belah pihak.

3. Asas Pacta Sunt Servanda

Dapat disebut juga dengan asas kepastian hukum. Asas

ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas Pacta Sunt

Servanda adalah asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus

menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak,

sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak

boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang

dibuat oleh para pihak. Asas pacta sunt servanda diatur


dalam Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata, yang berbunyi:

Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-

undang.

4. Asas Itikad Baik

Dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (3) Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi “Perjanjian

harus dilaksanakan dengan itikad baik.”

Asas itikad baik merupakan asas bahwa para pihak,

yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan

substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan

yang teguh atau kemauan baik dari para pihak. Asas itikad

baik dibagi menjadi dua macam yaitu itikad baik nisbi dan

itikad baik mutlak. Pada itikad baik nisbi, orang

memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari

subjek. Pada itikad mutlak, penilaiannya terletak pada akal

sehat dan keadilan, dibuat ukuran yang objektif untuk menilai

keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma

yang objektif.

5. Asas kepribadian (personalitas)

Asas kepribadian adalah asas yang menentukan bahwa

seseorang yang melakukan dan atau membuat kontrak hanya


utnuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini diatur dalam

Pasal 1315 dan 1340 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Pasal 1315 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berbunyi

“Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan

atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.”

Inti ketentuan ini adalah seseorang yang mengadakan

perjanjian untuk kepentingan diri sendiri. Pasal 1340 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata berbunyi “Perjanjian hanya

berlaku antar pihak yang berlaku bagi mereka yang

membuatnya”.

Ini berarti bahwa perjanjian yang dibuat oleh para

pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Namun

ketentuan ini ada pengecualiannya, sebagaimana diintrodusir

dalam Pasal 1317 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

yang berbunyi “Dapat pula perjanjian diadakan untuk

kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat

untuk diri sendiri, atau suatu pemberian orang lain,

mengandung suatu syarat semacam itu.”

Pasal ini mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat

mengadakan perjanjian untuk pihak ketiga dengan suatu

syarat yang ditentukan. Sedangkan pada Pasal 1318 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata, mengatur perjanjian selain


untuk diri sendiri tetapi juga untuk ahli warisnya dan orang-

orang yang memperoleh hak daripadanya.18

1.5.1.5 Akibat Perjanjian yang Sah

Akibat hukum perjanjian yang sah berdasarkan Pasal

1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yakni yang

memenuhi syarat-syarat pada Pasal 1320 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata berlaku sebagai Undang-Undang bagi para

pembuatnya, tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan

kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang cukup

menurut Undang-Undang dan harus dilaksanakan dengan itikad

baik.

Perjanjian yang sah berlaku sebagai undang-undang bagi

pihak-pihak pembuatnya, artinya pihak-pihak harus menaati

perjanjian itu sama dengan menaati undang-undang. Jika ada

yang melanggar perjanjian yang mereka buat, ia dianggap sama

dengan melanggar undang-undang, yang mempunyai akibat

hukum tertentu yaitu sanksi hukum. Jadi barang siapa

melanggar perjanjian yang ia buat, maka ia akan mendapat

hukuman seperti yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang.19

Perjanjian yang sah tidak dapat ditarik kembali secara

sepihak. Perjanjian tersebut mengikat pihak-pihaknya, dan tidak

dapat ditarik kembali atau dibatalkan secara sepihak saja. Jika


18
Salim H.S, Perkembangan Hukum Kontrak Innominat Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,
2008, hlm. 9
19
Abdulkadir Muhammad, Op.cit., hlm. 97
ingin menarik kembali atau membatalkan itu harus memperoleh

persetujuan pihak lainnya, jadi diperjanjikan lagi. Namun

demikian, apabila ada alasan-alasan yang cukup menurut

Undang-Undang, perjanjian dapat ditarik kembali atau

dibatalkan secara sepihak.20

Pelaksanaan dengan itikad baik, ada dua macam, yaitu

sebagai unsur subjektif, dan sebagai ukuran objektif untuk

menilai pelaksanaan. Dalam hukum benda unsur subjektif

berarti “kejujuran“ atau “kebersihan“ si pembuatnya. Namun

dalam Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata, bukanlah dalam arti unsur subjektif ini, melainkan

pelaksanaan perjanjian itu harus berjalan dengan mengindahkan

norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Jadi yang dimaksud

dengan itikad baik disini adalah ukuran objektif untuk menilai

pelaksanaan perjanjian itu. Adapun yang dimaksud dengan

kepatutan dan kesusilaan itu, Undang-Undang pun tidak

memberikan perumusannya, karena itu tidak ada ketepatan

batasan pengertian istilah tersebut. Tetapi jika dilihat dari arti

katanya, kepatutan artinya kepantasan, kelayakan, kesesuaian,

kecocokan; sedangkan kesusilaan artinya kesopanan, keadaban.

Dari arti kata ini dapat digambarkan kiranya kepatutan dan

kesusilaan itu sebagai nilai yang patut, pantas, layak, sesuai,

20
Ibid.
cocok, sopan dan beradab, sebagaimana sama-sama dikehendaki

oleh masing-masing pihak yang berjanji.21

1.5.1.6 Jenis-Jenis Perjanjian

1. Perjanjian Jual Beli

Jual beli adalah perjanjian timbal balik dalam mana

pihak yang satu (si penjual) berjanji untuk menyerahkan hak

milik atas suatu barang, sedang pihak yang lainnya (si

pembeli) berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas

sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik

tersebut. Jual beli menurut Pasal 1457 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata, mengatakan jual beli adalah suatu

persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan

dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang

lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.22

Dari definisi yang diberikan oleh Pasal 1457 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata tersebut, perjanjian jual beli

membebankan 2 kewajiban, yaitu :

a. Kewajiban pihak penjual untuk menyerahkan barangnya

yang dijual kepada pembeli.

b. Kewajiban pihak penjual untuk membayar harga barang

yang dibeli kepada penjual.


21
Ibid., hlm. 99
22
A.Qirom Syamsudin Meliala, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya,
Liberty, Yogyakarta, 2010, hlm. 38
Menurut Pasal 1458 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata, jual beli sudah dianggap terjadi antara kedua belah

pihak seketika setelah mereka mencapai sepakat tentang

barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan

maupun harganya belum dibayar, sehingga dengan lahirnya

“kata sepakat” maka lahirlah perjanjian itu dan sekalian pada

saat itu menyebabkan timbulnya hak dan kewajiban, oleh

karena itu maka perjanjian jual beli dikatakan juga sebagai

perjanjian konsensuil dan sering juga disebut “perjanjian

obligatur”.23

Dalam ilmu pengetahuan hukum, perjanjian jual beli

merupakan perjanjian obligatoir yaitu suatu perjanjian yang

hanya membebankan kewajiban kepada para pihak, sehingga

dengan perjanjian ini baru menimbulkan perikatan. Maka

dengan sahnya perjanjian jual beli belum menyebabkan

beralihnya benda atau barang yang dijual itu tetapi baru akan

menimbulkan perikatan yaitu bahwa pihak pembeli

diwajibkan membayar harganya untuk beralihnya barang

tersebut seara nyata harus ada penyerahan baik yuridis

maupun nyata.24

Selain definisi perjanjian jual beli yang terdapat dalam

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut, R. Subekti

23
Ibid., hlm. 39
24
R. Setiawan, Op.cit., hlm. 2
memberikan pendapat mengenai pengertian jual beli, yaitu

“Jual beli adalah suatu perjanjian timbal balik dalam mana

pihak yang satu (si penjual) berjanji untuk menyerahkan hak

milik atas suatu barang, sedang pihak yang lain (si pembeli)

berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah

uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut.”25

Perjanjian jual beli adalah suatu perjanjian antara pihak

penjual dan pihak pembeli, dimana pihak penjual

mengikatkan diri untuk menyerahkan hak miliknya atas

sesuatu barang kepada pembeli, dan pembeli mengikatkan dii

untuk membayar harga barang itu dengan uang, sesuai

dengan yang telah disepakati dalam perjanjian mereka. Objek

dari suatu perjanjian jual beli adalah hak milik suatu barang,

dengan kata lain tujuan pembeli adalah pemilikan suatu

barang.26

Unsur-unsur pokok (essentialia) perjanjian jual beli

adalah barang dan harga, sesuai dengan asas

“konsensualisme” yang menjiwai hukum perjanjian Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata bahwa perjanjian jual beli

itu sudah dilahirkan pada detik tercapainya “sepakat”

mengenai barang dan harga yang kemudian lahirlah

R. Subekti, Aneka Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hlm. 1
25

26
Djohari Santoso dan Achmad Ali, Hukum Perjanjian Indonesia, Perpustakaan Fakultas
Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 1989, hlm. 115
perjanjian jual beli yang sah.27 Sifat konsensuil dari jual beli

tersebut dapat dilihat dari Pasal 1458 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata, yang isinya jual beli sudah dianggap terjadi

antara kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai

sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum

diserahkan maupun harganya belum dibayar.28

Abdulkadir Muhammad merincikan unsur-unsur dalam

perjanjian jual beli ke dalam empat unsur sebagai berikut:29

1) Subjek Jual Beli

Subjek jual beli adalah pihak-pihak dalam

perjanjian. Sekurang-kurangnya ada dua pihak, yaitu

penjual yang menyerahkan hak milik atas benda dan

pembeli yang membayar harga dari benda tersebut. Subjek

dari perjanjian jual beli adalah penjual dan pembeli, yang

masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban.

Subjek yang berupa orang atau manusia ini telah diatur

oleh Undang-Undang yaitu harus memenuhi syarat umum

untuk dapat melakukan suatu perbuatan hukum antara

lain, ia harus dewasa, sehat pikirannya, dan tidak dilarang

atau dibatasi di dalam melakukan suatu perbuatan hukum

yang sah oleh Undang-Undang.

27
R. Subekti, Aneka Perjanjian, Op.cit., hlm. 2
28
Ibid., hlm. 39
29
Abdulkadir Muhammad Oleh Rizki Sukma Hapsari, Perjanjian Baku dalam Praktik
Perusahaan Perdagangan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 34
2) Status Pihak-Pihak

Pihak penjual atau pembeli dapat berstatus

pengusaha atau bukan pengusaha. Pengusaha adalah

penjual atau pembeli yang menjalankan perusahaan,

sedangkan penjual atau pembeli yang bukan pengusaha

adalah pemilik atau konsumen biasa. Penjual atau pembeli

dapat juga berstatus kepentingan diri sendiri, atau

kepentingan pihak lain atau kepentingan badan hukum.

3) Peristiwa Jual Beli

Peristiwa jual beli adalah saling mengikatkan diri

berupa penyerahan hak milik dan pembayaran harga.

Peristiwa jual beli di dasari oleh persetujuan dan

kesepakatan anatara penjual dan pembeli. Apa yang

dikehendaki oleh penjual, itulah yang dikehendaki

pembeli.

4) Objek Jual Beli

Objek jual beli adalah barang dan harga. Barang

adalah harta kekayaan yang berupa benda material benda

immaterial, baik bergerak maupun tidak bergerak.

Sedangkan harga ialah sejumlah uang yang senilai dengan

benda. Objek persetujuan jual beli adalah barang yang

diperjualbelikan tersebut. karena barang adalah essensial

pada perjanjian jual beli, maka tentunya tidak ada


perjanjian jual beli, maka tentunya tidak ada perjanjian

jual beli apabila tidak ada barang yang diperjualbelikan.

Penjual dan Pembeli memiliki hak dan kewajiban

masing-masing, yaitu :

a) Hak dan Kewajiban Penjual

Menurut Pasal 1457 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata, hak penjual adalah menuntut harga

pembayaran atas barang-barang yang diserahkannya

kepada pembeli, sedangkan kewajiban penjual adalah

menyerahkan barang ke dalam kekuasaan dan

kepunyaan si pembeli dan menanggung terhadap

barang yang dijual itu. Mengenai “menanggung”, lebih

lanjut diatur dalam Pasal 1491 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata, yang mengatakan bahwa kewajiban

dari penjual adalah menjamin bahwa penguasaan benda

yang dijual oleh si pembeli berlangsung secara aman

dan menjamin terhadap adanya cacat tersembunyi.30

Menjamin bahwa penguasaan benda yang dijual oleh si

pembeli berlangsung secara aman termasuk

penanggulangan terhadap hak-hak pihak ketiga,

maksudnya setelah terjadi jual beli itu jangan sampai

ada gugatan dari pihak ketiga yang mengatakan, bahwa

dirinya sebagai pemilik dari benda yang dijual itu, juga


30
A.Qirom Syamsudin Meliala, Op.cit., hlm. 38
benda itu dibebani hyphotek atau kredit verban, ini

semuanya harus dijamin oleh si penjual.31

Mengenai menjamin terhadap adanya cacat

tersembunyi, menurut Pasal 1504 Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata, dimaksudkan adalah cacat

yang membuat barang itu tidak sanggup untuk dipakai

sebagai yang dimaksudkan atau yang demikian

mengurangi pemakaian itu sehingga seandainya pihak

pembeli mengetahui cacat itu ia sama sekali tidak akan

membeli barang itu atau membelinya dengan harga

yang murah.32

b) Hak dan Kewajiban Pembeli

Hak pembeli adalah menuntut penyerahan barang

yang telah dibelinya dari si penjual, sedangkan

kewajibannya adalah membayar harga pembelian pada

waktu dan tempat sebagaimana yang ditetapkan di

dalam perjanjian mereka. Menurut Pasal 1514 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata, jika pada waktu

membuat persetujuan tidak ditetapkan tentang itu,

pihak pembeli harus membayar di tempat dan pada

waktu di mana penyerahan harus dilakukan.33

2. Perjanjian Sewa-Menyewa
31
Ibid., hlm. 45
32
Ibid.
33
Ibid., hlm. 46
Perjanjian sewa menyewa adalah sebagai salah satu

bentuk perjanjian yang diatur di dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata dan merupakan perjanjian timbal

balik yang selalu mengacu kepada asas konsensualitas atau

berdasarkan kesepakatan para pihak dan merupakan salah

satu jenis perjanjian yang sering terjadi dalam kehidupan di

masyarakat.34

Adapun unsur “waktu tertentu” di dalam definisi yang

diberikan dalam undang-undang dalam Pasal 1548 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata tersebut tidak memberikan

penjelasan mengenai sifat mutlaknya atau tidak adanya batas

waktu, tetapi ada beberapa pasal lain dalam yang

menyinggung tentang waktu sewa.

Pasal 1570 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

berbunyi “Jika sewa dibuat dengan tulisan maka sewa itu

berakhir demi hukum, apabila waktu yang ditentukan telah

lampau, tanpa diperlukannya sesuatu pemberhentian untuk

itu.”

Pasal 1571 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

berbunyi “Jika sewa tidak dibuat dengan tulisan maka sewa

itu tidak berakhir pada waktu yang ditentukan, melainkan

jika pihak lain hendak menghentikan sewanya, dengan

34
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perjanjian dan Perikatan, Pradya Paramita, Jakarta, 1987,
hlm. 53
mengindahkan tenggang-tenggang waktu yang diharuskan

menurut kebiasaan setempat.”

1.5.1.7 Wanprestasi Dalam Perjanjian

Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang

berarti prestasi buruk.35 Adapun yang dimaksud dengan

wanprestasi ialah kelalaian debitur untuk memenuhi

kewajibannya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.36

“Untuk menentukan kapan seseorang telah melalaikan


kewajibannya dapat dilihat dari isi perjanjian. Dalam perjanjian
biasanya diatur kapan seseorang harus melaksanakan
kewajibannya, seperti menyerahkan sesuatu barang atau
melakukan suatu perbuatan. Apabila dalam perjanjian tidak
disebutkan kapan seseorang harus menyerahkan sesuatu atau
berbuat sesuatu, maka sebelum mengajukan gugatan wanprestasi
seorang kreditur harus memberikan somasi atau surat peringatan
yang menyatakan bahwa kreditur telah lalai dan agar memenuhi
kewajibannya dalam jangka waktu tertentu (Pasal 1238).
Apabila prestasi yang diperjanjikan adalah untuk tidak
melakukan suatu perbuatan, maka tidak diperlukan somasi. Hal
ini karena begitu debitur melakukan perbuatan yang dilarang,
maka dia telah melakukan wanprestasi.”37
Menurut Prof. Subekti, wanprestasi (kelalaian atau

kealpaan) seorang debitur dapat berupa empat macam:38

a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;

b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak

sebagaimana yang dijanjikannya;

c. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi terlambat; dan

35
R. Subekti, Hukum Perjanjian, Op.cit., hlm. 45
36
Akhmad Budi Cahyono dan Surini Ahlan Sjarif, Mengenal Hukum Perdata, CV. Gitama
Jaya, Jakarta, 2008, hlm.141
37
Ibid.
38
R. Subekti, Hukum Perjanjian, Op.cit., hlm.45
d. Melakukan sesuatu perbuatan, yang menurut perjanjian tidak

boleh dilakukan.

Hal ini sesuai dengan pernyataan, Setiawan bahwa : “jika

debitur tidak melaksanakan kewajibannya bukan karena keadaan

memaksa, maka debitur dianggap melakukan ingkar janji”.

Tidak dipenuhinya kewajiban itu ada dua kemungkinan

alasannya yaitu :

a. Karena kesalahan debitur, baik karena kesengajaan maupun

kelalaian;

b. Karena keadaan memaksa (force majeur), jadi diluar

kemampuan debitur, debitur tidak bersalah.

Terhadap suatu perbuatan wanprestasi, ada empat macam

hukuman atau sanksi bagi seorang debitur yang lalai, yaitu:39

a. Debitur diharuskan membayar ganti kerugian yang diderita

oleh kreditur (Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata). Ketentuan ini berlaku untuk semua perikatan;

b. Dalam perjanjian timbal balik (bilateral), wanprestasi dari

satu pihak memberikan hak kepada pihak lainnya untuk

membatalkan atau memutuskan perjanjian lewat hakim (Pasal

1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata);

c. Risiko beralih kepada debitur sejak saat terjadinya

wanprestasi (Pasal 1237 ayat (2) Kitab Undang-Undang

39
Ibid.
Hukum Perdata). Ketentuan ini hanya berlaku bagi perikatan

untuk memberikan sesuatu;

d. Membayar biaya perkara, apabila diperkarakan dimuka

hakim (Pasal 181 ayat (1) HIR). Debitur yang terbukti

melakukan wanprestasi tentu dikalahkan dalam perkara.

Ketentuan ini berlaku untuk semua perikatan;

e. Memenuhi perjanjian jika masih dapat dilakukan, atau

pembatalan perjanjian disertai dengan pembayaran ganti

kerugian (Pasal 1267 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata). Ini berlaku untuk semua perikatan.

Dari akibat hukum tersebut di atas, kreditur dapat memilih

diantara beberapa kemungkinan tuntutan terhadap debitur yaitu:

dapat menuntut pemenuhan perikatan atau pemenuhan perikatan

disertai dengan ganti kerugian, atau menuntut ganti kerugian

saja atau menuntut pembatalan perjanjian lewat hakim atau

menuntut pembatalan perjanjian disertai dengan ganti

kerugian.40

Sehubungan dengan hal tersebut, ganti kerugian yang

dapat dituntut atas dasar wanprestasi berupa:

a. Biaya, yaitu kerugian berupa biaya-biaya yang telah

dikeluarkan;

40
Abdulkadir Muhammad, Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangan,
Op.cit., hlm. 24
b. Rugi, yaitu kerugian yang sungguh-sungguh menimpa harta

bendanya;

c. Bunga, yaitu keuntungan yang akan diperolehnya seandainya

pihak debitur lalai.

1.5.2 Tinjauan Umum Tentang Apartemen

1.5.2.1 Pengertian Apartemen/Rumah Susun

Istilah apartemen merupakan istilah yang paling banyak

digunakan oleh para pengembang di dalam melakukan

pemasaran rumah susun, maupun di dalam pemberitaan media

cetak, dan media elektronik. Lihat saja iklan yang dipasang

pengembang di surat kabar, majalah, papan iklan-papan iklan di

titik-titik strategis jalan raya, di dalam berpromosi melalui

media elektronik televisi, di dalam talk show di radio, dan lain-

lainnya. Bahkan, di dalam menyebutkan rumah susun sederhana

milik (selanjutnya akan disebut “rusunami”) yang merupakan

bagian dari program pembangunan 1000 menara rumah susun

sederhana (selanjutnya akan disebut ”rusuna”) yang

pencanangannya secara nasional dilakukan Presiden Susilo

Bambang Yudoyono di Jakarta 2006 lalu dalam upaya

mempercepat pemenuhan kebutuhan perumahan bagi

masyarakat perkotaan terutama yang berpenghasilan menengah

bawah, pengembang yang membangun proyek rusunami lebih

senang menyebutnya dengan apartemen bersubsidi, atau


pemberitaan media cetak sering menyebutnya dengan istilah

apartemen rakyat.

Kamus Besar Bahasa Indonesia menerangkan arti

apartemen adalah tempat tinggal yang terdiri atas ruang duduk,

kamar tidur, kamar mandi, dapur, dan sebagainya yang berada

pada satu lantai bangunan bertingkat yang besar dan mewah,

dilengkapi dengan berbagai fasilitas (kolam renang, pusat

kebugaran, toko, dan sebagainya).41

Apartemen di dalam bahasa Belanda disebut

“apartement” yang diartikan ke dalam bahasa Indonesia sebagai

bagian dari tempat kediaman/tinggal berupa kamar, ruang/bilik,

yang juga disebut “kamer” atau vertrek” oleh orang Belanda.42

Penulisannya di dalam bahasa Indonesia adalah

Kondominium, yang di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia43

diartikan sebagai kepunyaan bersama (untuk penggunaan di

bidang sosiologi); sebagai negeri atau daerah yang dikuasai

bersama (untuk penggunaan di bidang politik dan

pemerintahan); dan sebagai gedung besar, mewah, bertingkat

yang disewakan atau disamakan dengan apartemen (untuk

penggunaan pada umumnya).

41
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, PT Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 2008, hlm. 80
42
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman, Analisa dan Evaluasi
Hukum tentang Kedudukan Hukum dan Sertifikat Pemilikan Rumah Susun, Jakarta, 1994, hlm. 15
43
Departemen Pendidikan Nasional , Op. cit., hlm. 722
Oleh Tim Kerja Analisa dan Evaluasi Hukum tentang

Kedudukan Hukum dan Sertipikat Pemilikan Rumah Susun,44

condominium dapat diartikan sebagai suatu sistem kepemilikan

bangunan yang terdiri atas bagian-bagian yang masing-masing

merupakan satuan yang dapat digunakan secara terpisah-pisah

serta dimiliki secara individual dan bagian-bagian lain dari

bangunan itu berikut tanah di atas mana bangunan tersebut

berdiri yang karena fungsinya digunakan bersama dan dimiliki

bersama oleh para pemilik.

Arie S. Hutagalung di dalam bukunya “Kondominium dan

Permasalahannya” menuliskan condominium berasal dari bahasa

Latin dan terdiri dari dua kata, yaitu con yang berarti bersama-

sama dan dominium yang berarti pemilikan.45 Dengan merujuk

pada makalahnya yang berjudul “Sistem Condominium

Indonesia: Implikasi dan Manfaatnya Bagi Developer/Property

Owner” pada Program Pendidikan Lanjutan Ilmu Hukum

Bidang Konsultan Hukum dan Kepengacaraan Fakultas Hukum

Universitas Indonesia, selanjutnya menuliskan bahwa dalam

perkembangan selanjutnya, condominium mempunyai arti

sebagai suatu pemilikan bangunan yang terdiri atas bagian-

bagian lain dari bangunan itu dan tanah di atas mana bangunan

itu berdiri yang karena fungsinya digunakan bersama, dimiliki

44
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman, Op. cit., hlm. 14
45
Arie. S. Hutagalung, Kondominium dan Permasalahannya, Op. cit., hlm. 3
secara bersama-sama oleh pemilik bagian yang dimiliki secara

individual tersebut.46

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah

Susun memberikan pengertian Rumah Susun sebagai:

“Bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu


lingkungan, yang terbagi dalam bagian-bagian yang
distrukturkan secara fungsional dalam arah horisontal dan
vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing
dapat dimiliki dan dihuni secara terpisah, terutama bentuk
tempat hunian, yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda
bersama dan tanah bersama.”
Rumah susun yang dimaksudkan dalam Undang-undang

ini, adalah istilah yang memberikan pengertian hukum bagi

bangunan gedung bertingkat yang senantiasa mengandung

sistem pemilikan perseorangan dan hak bersama, yang

penggunaannya untuk hunian atau bukan secara mandiri atau

secara terpadu sebagai satu kesatuan sistem pembangunan.47

1.5.2.2 Satuan Apartemen/Rumah Susun

Berdasarkan Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2011 tentang Rumah Susun, yang dimaksud dengan

satuan rumah susun adalah “rumah susun yang tujuan

peruntukkan utamanya digunakan secara terpisah sebagai tempat

hunian, yang mempunyai sarana penghubung ke jalan umum”.

Diadakannya sarana ke jalan umum bertujuan agar pemilik dari

satuan rumah susun dapat leluasa menggunakannya secara

individual tanpa mengganggu orang lain. Satuan rumah susun


46
Ibid.
47
Ibid., hlm. 12
pada dasarnya merupakan dimensi dan volume ruang tertentu

yang mempunyai batas-batasnya jelas, yaitu pada alasnya, batas

samping yang mengelilingi satuan rumah susun dan pada

atasnya. Batas-batas atas dan alasnya jelas akan berupa lantai

atas atapnya dari bangunan yang bersangkutan, sedangkan batas

samping tidak harus berupa dinding atau tembok tertutup.

Satuan rumah susun harus mendapat pencahayaan yang

cukup alami oleh karenanya untuk rumah susun hunian

disyaratkan satuan rumah susunnya harus berada di atas

permukaan tanah kecuali dalam keadaan terpaksa. Sedangkan

untuk rumah susun bukan hunian, satuan-satuan rumah susun

dapat berada di bawah permukaan tanah untuk itu disyaratkan

adanya sistem penyinaran buatan.48

1.5.2.3 Hak Milik atas Satuan Apartemen/Rumah Susun

Sifat hak milik atas satuan rumah susun yaitu perorangan

dan terpisah. Hak milik atas satuan rumah susun meliputi juga

hak kepemilikan bersama atas bagian bersama, tanah bersama

dan benda bersama yang merupakan satu kesatuan yang tidak

terpisahkan dengan pemilikan satuan rumah susun yang

bersangkutan.

Di dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2011 tentang Rumah Susun yang dimaksud dengan bagian

48
Ibid., hlm. 14
bersama, tanah bersama dan benda bersama adalah sebagai

berikut:

a. Tanah Bersama

Tanah bersama adalah sebidang tanah yang digunakan

atas dasar hak bersama secara tidak terpisah yang di atasnya

berdiri rumah susun dan ditetapkan batasnya dalam

persyaratan izin bangunan. Pasal 7 Undang-Undang Nomor

20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun menetapkan bahwa

rumah susun hanya dapat dibangun di atas tanah yang

dikuasai dengan Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai

atas Tanah Negara atau Hak Pengelolaan.

Hak atas tanah bersama ini sangat menentukan dapat

tidaknya seseorang mempunyai hak milik atas satuan rumah

susun, apabila seseorang atau badan hukum yang karena

hukum tidak boleh mempunyai hak atas tanah dengan hak

milik atau hak guna bangunan, maka Undang-Undang Nomor

20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun juga menetapkan

bahwa orang atau badan hukum tersebut juga tidak dapat

mempunyai hak milik atas satuan rumah susun yang

bersangkutan.49

b. Bagian Bersama

Berdasarkan Pasal 1 angka (4) Undang-Undang Nomor

20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, yang dimaksud


49
Ibid., hlm. 16
dengan bagian bersama adalah bagian rumah susun yang

dimiliki secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama

dalam kesatuan fungsi dengan satuan-satuan rumah susun.

Bagian rumah susun ini merupakan struktur bangunan dari

bangunan rumah susun yang terdiri dari:

1) Pondasi;

2) Kolom-kolom;

3) Sloof;

4) Balok-balok luar;

5) Penunjang;

6) Dinding-dinding struktur utama;

7) Atap;

8) Ruang masuk;

9) Koridor;

10) Selasar;

11) Tangga;

12) Pintu-pintu dan tangga darurat;

13) Jalan masuk dan jalan keluar dari rumah susun;

14) Jaringan-jaringan listrik, gas, dan telekomunikasi; dan

15) Ruang untuk umum.

Bagian-bagian bersama ini tidak dapat dihaki atau

dimanfaatkan sendiri-sendiri oleh pemilik satuan rumah

susun, tetapi merupakan hak bersama yang merupakan bagian


yang tidak terpisahkan dari satuan rumah susun yang

bersangkutan.50

c. Benda Bersama

Menurut Pasal 1 angka (5) Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2011 tentang Rumah Susun, yang dimaksud dengan

benda bersama adalah benda yang bukan merupakan bagian

rumah susun tetapi yang dimiliki bersama secara tidak

terpisah untuk pemakaian bersama. Benda bersama yang

melengkapi rumah susun agar berfungsi sebagaimana

mestinya terdiri atas:

1) Jaringan air bersih;

2) Jaringan listrik;

3) Jaringan gas (untuk hunian);

4) Saluran pembuangan air hujan;

5) Saluran pembuangan air limbah;

6) Saluran dan atau pembuangan sampah;

7) Tempat kemungkinan pemasangan jaringan telepon atau

alat komunikasi lainnya;

8) Alat transportasi yang berupa lift atau eskalator sesuai

tingkat kebutuhannya;

9) Alat pemadam kebakaran;

10) Alat atau sistem alarm;

11) Generator listrik (untuk yang menggunakan lift);


50
Ibid., hlm. 17
12) Pertamanan yang ada di atas tanah bersama;

13) Pelataran parkir;

14) Penangkal petir;

15) Fasilitas olahraga dan rekreasi di atas tanah bersama.51

1.5.2.4 Kepemilikan atas Satuan Apartemen/Rumah Susun

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah

Susun memperkenalkan suatu lembaga pemilikan baru sebagai

suatu kebendaan, yaitu berupa hak milik atas satuan rumah

susun yang terdiri dari hak perorangan atas unit satuan rumah

susun, dan hak bersama atas tanah, benda dan bagian bersama.

Semua hal itu merupakan suatu kesatuan yang tidak

terpisahkan dengan satuan-satuan yang bersangkutan.

Dari pengertian diatas, rumah susun memiliki dua jenis

kepemilikan, yaitu kepemilikan perseorangan (individual) dan

kepemilikan bersama dalam satu paket jenis hak kepemilikan

yang disebut Hak Milik atas Satuan Rumah Susun (HMSRS),

dengan pengertian bahwa kepemilikan perseorangan atas satuan

rumah susun meliputi pula hak bersama atas bangunan, benda

dan tanahnya. Konsep dasar yang melandasi hak milik satuan

rumah susun berpangkal kepada teori-teori tentang kepemilikan

suatu benda. Menurut hukum, suatu benda dapat dimiliki oleh

seseorang, dua orang atau lebih yang dikenal dengan

kepemilikan bersama. Dalam kepemilikan bersama dikenal dua


51
Ibid., hlm.18
bentuk hak kepemilikan, yaitu hak kepemilikan bersama secara

terikat (gebinden mede-eigendom) dan hak kepemilikan

bersama secara bebas (vrije mede-eigendom).

Pemilikan bersama yang terikat (gebonden mede-

eigendom), yaitu suatu pemilikan bersama yang mempunyai

dasar utama berupa ikatan hukum yang ada terlebih dahulu

diantara pemilik bersamanya. Di mana para pemilik bersama ini

tidak dapat secara bebas memindahkan haknya kepada orang

lain tanpa persetujuan pemilik yang lain. Contohnya, pemilikan

bersama atas harta perkawinan atau harta peninggalan.

Pemilikan bersama yang bebas (vrije mede-eigendom),

yaitu merupakan suatu pemilikan bersama dimana antara para

pemilik bersama tidak terdapat ikatan hukum terlebih dahulu

selain hak bersama untuk menjadi pemilik suatu benda. Disini

ada kehendak untuk bersama-sama menjadi pemilik atas suatu

benda untuk digunakan bersama. Bentuk pemilikan bersama

yang bebas inilah yang menurut Hukum Romawi disebut

“Condominium” yang penerapannya diatur dengan undang-

undang.52

Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011

tentang Rumah Susun merumuskan suatu jenis kepemilikan baru

yang disebut hak milik atas satuan rumah susun. Hak milik atas

satuan rumah susun tersebut lahir sejak didaftarkannya akta


52
Ibid., hlm. 10
pemisahan dengan dibuatnya buku tanah atas setiap satuan

rumah susun yang bersangkutan dimana pemiliknya harus

memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah. Pemilik

satuan rumah susun yang bersangkutan mempunyai suatu alat

bukti yang kuat berupa sertifikat hak milik atas satuan rumah

susun yang merupakan jaminan kepastian hukum bagi

pemegang haknya.

1.5.3 Akta Di Bawah Tangan

1.5.3.1 Pengertian Akta Di Bawah Tangan

Akta di bawah tangan adalah akta yang dibuat tidak di

hadapan pejabat yang berwenang atau Notaris. Akta ini dibuat

dan ditandatangani oleh para pihak yang membuatnya. Apabila

suatu akta di bawah tangan tidak disangkal oleh para pihak,

maka berarti mereka mengakui dan tidak menyangkal kebenaran

apa yang tertulis pada akta di bawah tangan tersebut, sehingga

sesuai Pasal 1875 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata akta di

bawah tangan tersebut memperoleh kekuatan pembuktian yang

sama dengan suatu Akta Otentik. Akta di bawah tangan terdiri

dari:

a. Akta di bawah tangan biasa

Akta di bawah tangan biasa adalah akta yang dibuat

serta ditanda tangani oleh para pihak yang bersepakat dalam

perikatan atau antara para pihak yang berkepentingan saja.


b. Akta Waarmerken

Akta Waarmerken adalah suatu akta di bawah tangan

yang dibuat dan ditandatangani oleh para pihak untuk

kemudian didaftarkan pada Notaris, karena hanya

didaftarkan, maka Notaris tidak bertanggungjawab terhadap

materi/isi maupun tanda tangan para pihak dalam dokumen

yang dibuat oleh para pihak.

c. Akta Legalisasi

Akta Legalisasi adalah suatu akta di bawah tangan

yang dibuat oleh para pihak namun penandatanganannya

disaksikan oleh atau di hadapan Notaris, namun Notaris tidak

bertanggung jawab terhadap materi/isi dokumen melainkan

Notaris hanya bertanggung jawab terhadap tanda tangan para

pihak yang bersangkutan dan tanggal ditandatanganinya

dokumen tersebut.

1.5.3.2 Perbedaan Antara Akta Otentik dengan Akta Di Bawah

Tangan

Perbedaan antara akta otentik dengan akta di bawah

tangan adalah sebagai berikut :

a. Akta Otentik (Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata)

a) Akta otentik dibuat dalam bentuk sesuai dengan yang


ditentukan oleh Undang-Undang.
b) Harus dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang
berwenang.
c) Mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna,
terutama mengenai waktu, tanggal pembuatan, dan dasar
hukumnya.
d) Apabila kebenarannya disangkal, maka si penyangkal
harus membuktikan ketidakbenarannya.
b. Akta Di Bawah Tangan

a) Tidak terikat bentuk formal, melainkan bebas.

b) Dapat dibuat bebas oleh setiap subjek hukum yang

berkepentingan.

c) Apabila diakui oleh penandatangan atau tidak disangkal,

akta tersebut mempunyai kekuatan pembuktian yang

sempurna sama halnya seperti akta otentik.

d) Akan tetapi apabila kebenarannya disangkal, maka pihak

yang mengajukan sebagai bukti yang harus membuktikan

kebenarannya (melalui bukti atau saksi-saksi).53

1.6 Metodologi Penelitian

1.6.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis adalah Normatif

atau Yuridis-Normatif, dengan metode pendekatan perundang-

undangan. Penelitian normatif merupakan penelitian yang dilakukan

dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri

daribahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum

53
R.Soeroso, Perjanjian Di Bawah Tangan, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, 2011, hlm. 12
tersier. Bahan-bahan tersebut disusun kemudian dikaji dan ditarik

kesimpulan mengenai hubungan dengan masalah yang diteliti.

1.6.2 Sumber Data

Di dalam jenis penelitian hukum normatif, data yang diperoleh dari :

1. Data Sekunder

Data yang diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, buku-

buku yang berhubungan dengan objek penelitian, hasil penelitian

dalam bentuk laporan, skripsi, dan peraturan perundang-undangan.

Data sekunder dapat dibagi menjadi :

a. Bahan Hukum Primer

Bahan-bahan hukum yang mengikat terdiri dari peraturan

perundang-undangan yang terkait dengan objek penelitian, yaitu:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah

Susun

3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah buku teks karena buku

teks berisi mengenai prinsip-prinsip dasar ilmu hukum dan

pandangan-pandangan klasik para sarjana yang mempunyai

kualifikasi tinggi.54

54
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kharisma Putra Utama, Jakarta, 2010, hlm.
182
c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah petunjuk atau penjelasan

mengenai bahan hukum primer atau bahan hukum sekunder

yang berasal dari kamus, ensiklopedia, majalah, dan

sebagainya.55

1.6.3 Metode Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan bahan hukum yang diperlukan dalam

penulisan skripsi ini diperoleh dengan cara :

1. Studi Pustaka / Dokumen

Studi kepustakaan merupakan pengumpulan data dengan cara

mempelajari berbagai literatur bahan bacaan, makalah, surat kabar,

majalah, artikel, internet, hasil penelitian serta peraturan perundang–

undangan yang berlakudimana terkait dengan permasalahan yang

diteliti oleh penulis. Semua ini dijadikan pedoman dan landasan

dalam penelitian.

2. Wawancara

Wawancara adalah suatu proses komunikasi yang dilakukan

oleh pewawancara dan terwawancara untuk memperoleh informasi

yang lengkap.

1.6.4 Metode Analisis Data

Tahap berikutnya adalah metode analisis data. Hal yang dapat

diperoleh dengan analisis data ini adalah untuk mendapatkan jawaban

dari permasalahan yang ada.


55
Zainuddin Ali, Metode Penelitian hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hlm. 106
Berdasarkan sifat penelitian ini yang menggunakan metode

penelitian bersifat deskriptif analitis, analisis yang digunakan adalah

pendekatan kualitatif terhadap data primer dan data sekunder.

Deskriptif tersebut, meliputi isi dan struktur hukum positif, yaitu suatu

kegiatan yang dilakukan oleh penulis untuk menentukan isi atau makna

aturan hukum yang dijadikan rujukan dalam menyelesaikan

permasalahan hukum yang menjadi objek kajian.56

1.6.5 Sistematika Penulisan

Adapun sistematika dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Bab Pertama, merupakan bab pendahuluan, dalam bab ini

memberikan gambaran secara umum dan menyeluruh tentang pokok

permasalahannya. Suatu pembahasan sebagai pengantar untuk masuk

kedalam pokok penelitian yang akan dibahas. Berisi uraian mengenai

latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat

penelitian, kajian pustaka, metode penelitian yang digunakan adalah

Yuridis Normatif.

Bab Kedua, membahas tentang perlindungan hukum bagi

pembeli unit Apartemen Madison Avenue yang developernya

wanprestasi yang dalam bab dua ini di bagi menjadi dua sub bab. Sub

bab pertama mengenai hubungan hukum para pihak dalam pembelian

unit Apartemen Madison Avenue yang developernya wanprestasi, sub

56
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm.
107
bab kedua mengenai perlindungan hukum bagi pembeli unit Apartemen

Madison Avenue yang developernya wanprestasi.

Bab Ketiga, membahas tentang upaya hukum bagi pembeli unit

Apartemen Madison Avenue yang developernya wanprestasi.

Bab Keempat, adalah bab penutup dalam penulisan skripsi yang

memuat tentang kesimpulan atau ringkasan dari seluruh uraian yang

telah dijelaskan dan saran-saran yang dianggap perlu.

BAB II

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMBELI UNIT APARTEMEN

MADISON AVENUE YANG DEVELOPERNYA WANPRESTASI

2.1 Hubungan Hukum Para Pihak dalam Pembelian Unit Apartemen

Madison Avenue yang Developernya Wanprestasi

Jual beli unit apartemen menimbulkan suatu hubungan hukum bagi

para pihak yang melakukannya. Hubungan hukum tersebut terjadi antara


pihak penjual/developer apartemen yaitu PT. Kertabakti Raharja dengan

pembeli apartemen Madison Avenue.

Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjelaskan

terdapat 4 syarat sahnya suatu perjanjian yaitu :

1. Kedua belah pihak sepakat untuk saling mengikatkan dirinya;

2. Kedua belah pihak cakap untuk membuat suatu perikatan;

3. Objek yang diperjanjikan jelas/ tidak abstrak;

4. Objek yang diperjanjikan tidak dilarang oleh Undang-Undang.

Sesuai syarat pertama dan kedua syarat sah suatu perjanjian tersebut

yang merupakan syarat subjektif, pihak pembeli dan pihak developer

apartemen telah sepakat mengikatkan diri untuk melakukan perjanjian jual

beli unit apartemen Madison Avenue. Selain itu kedua belah pihak juga telah

cakap untuk melakukan suatu perikatan. Kemudian sesuai syarat ketiga dan

keempat syarat sah suatu perjanjian tersebut yang merupakan syarat objektif,

objek perjanjian jual beli tersebut jelas yaitu sebuah unit apartemen Madison

Avenue. Selain itu objek tersebut bukan merupakan objek yang dilarang oleh

Undang-Undang. Jadi, perjanjian jual beli yang dilakukan oleh developer

apartemen dengan pembeli apartemen tersebut menimbulkan suatu hubungan

hukum bagi kedua belah pihak karena perjanjian tersebut sah yang mana telah

memenuhi Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berisi

syarat sah perjanjian.

Jual beli merupakan salah satu cara dalam memperoleh hak atas satuan

rumah susun (apartemen). Jual beli unit apartemen umumnya pada pre-
launching atau dilakukan sebelum gedung apartemen tersebut siap

dipasarkan. Membeli apartemen yang dijual saat pre-launching memiliki

harganya jauh lebih murah dibandingkan apartemen yang sudah siap dan

telah dipasarkan. Mayoritas developer apartemen memberi penawaran berupa

promo menarik dan berbagai potongan harga untuk menarik pembeli membeli

apartemen tersebut. Oleh karena itu apartemen yang masih dalam tahap

pembangunan sangat banyak diminati oleh banyak orang karena memiliki

berbagai macam keuntungan daripada apartemen yang sudah sidap

dipasarkan.

Jual beli unit pada apartemen Madison Avenue antara pembeli dan

developer apartemen (PT. Kertabakti Raharja) pada kasus ini juga pada pre-

launching atau dilakukan sebelum gedung apartemen tersebut siap

dipasarkan. Pelaksanaan jual beli apartemen seperti itu dilakukan dengan cara

memesan terlebih dahulu atas unit yang akan dibeli, kemudian dituangkan

dalam perikatan pendahuluan berbentuk bukti konfirmasi pemesanan. Bukti

konfirmasi pemesanan tersebut terdiri atas syarat-syarat dan ketentuan

pemesanan; surat pesanan; serta kwitansi pembayaran. Syarat-syarat dan

ketentuan pemesanan tersebut memuat klausul-klausul yang telah disepakati

oleh developer maupun pembeli. Surat pesanan memuat harga unit apartemen

untuk dibayarkan kepada pihak developer. Sedangkan kwitansi pembayaran

memuat keterangan bahwa pembeli telah membayarkan sejumlah uang

kepada pihak developer. Dengan demikian, pada saat pembangunan

apartemen dimulai, pembeli dapat membeli apartemen tersebut.


Bukti konfirmasi pemesanan unit apartemen tersebut memuat

hubungan hukum antara kedua belah pihak yaitu penjual/ developer dengan

pembeli. Hubungan hukum tersebut karena telah terjadi kesepakatan antara

kedua belah pihak untuk mengikatkan diri dalam sebuah perjanjian jual beli

unit apartemen yang tertuang dalam perjanjian tertulis. Perjanjian jual beli

yang hanya menggunakan bukti konfirmasi pemesanan unit apartemen

termasuk kedalam perjanjian di bawah tangan karena perjanjian tersebut

dibuat serta ditanda tangani oleh para pihak yang bersepakat dalam perikatan

atau antara para pihak yang berkepentingan saja, tidak dilakukan di hadapan

pejabat yang berwenang atau Notaris.

Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjelaskan bahwa

semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi

mereka yang membuatnya. Jadi, menurut pasal 1338 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata diatas, dapat disimpulkan bahwa meskipun perjanjian hanya

dilakukan dibawah tangan, perjanjian tersebut dapat berlaku sebagai undang-

undang bagi mereka yang membuatnya apabila dibuat secara sah dan

keduanya telah menyepakati perjanjian tersebut.

Akan tetapi, membeli apartemen dengan pada pre-launching yang

hanya menggunakan perjanjian di bawah tangan saja memiliki kelemahan dan

risiko. Konsekuensi dari membeli apartemen yang belum jadi adalah pembeli

belum bisa melakukan PPJB (Perjanjian Pengikatan Jual Beli) dengan

developer apartemen. Pembuatan PPJB baru bisa dibuat ketika syarat-syarat

untuk membuat sebuah PPJB atas pembelian satuan rumah susun/apartemen


telah terpenuhi. Syarat-syarat tersebut bisa berasal dari undang-undang

maupun dari perjanjian antara kedua pihak dalam jual beli apartemen

tersebut.

Pasal 43 UU Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun menjelaskan

mengenai proses jual beli satuan rumah susun sebelum rumah susus selesai

dan syarat dapat dilakukannya PPJB, yaitu :

1. Jual beli satuan rumah susun yang dilakukan sebelum pembangunan

rumah susun selesai dapat melalui PPJB yang dibuat di hadapan notaris.

2. PPJB baru dapat dilakukan setelah memenuhi persyaratan kepastian atas:

a. status kepemilikan tanah;

b. kepemilikan Izin Mendirikan Bangunan;

c. ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum;

d. bangunan paling sedikit 20% (dua puluh persen) telah

terbangun; dan

e. hal yang diperjanjikan

Berdasarkan Pasal 43 ayat (2) huruf d di diatas, dapat disimpulkan

bahwa pembeli harus menunggu agar dapat melakukan PPJB. PPJB baru bisa

dilakukan apabila ketersediaan bangunan sudah mencapai 20% dari total

bangunan.
Gambar 1
Syarat-syarat dan ketentuan pemesanan Apartemen Madison Avenue Tower A

Berdasarkan penjelasan pada nomor 15 syarat-syarat dan ketentuan

pemesanan dapat disimpulkan bahwa syarat dapat dilakukannya PPJB antara

pembeli dan developer apartemen adalah pembeli diwajibkan setidaknya

membayarkan 70% dari harga yang telah disepakati antara pembeli dan

developer apartemen Madison Avenue.

Harga satuan unit apartemen Madison Avenue yang telah disepakati

oleh kedua belah pihak terdapat dalam Surat pesanan PT. Kertabakti Raharja

sebagai berikut :
Gambar 2
Surat Pesanan PT. Kertabakti Raharja atas nama Ibu hariyani

Berdasarkan surat pesanan PT. Kertabakti Raharja diatas, harga jual

satu unit apartemen Madison Avenue seharga Rp 243.100.000,- (dua ratus

empat puluh tiga juta seratus ribu rupiah). Apabila PPJB baru dapat dilakukan

setidaknya telah membayarkan 70% dari harga yang telah disepakati, maka

pembeli harus membayar uang paling sedikit sebesar Rp 170.170.000,-

(seratus tujuh puluh juta seratus tujuh puluh ribu rupiah) agar bisa melakukan

PPJB.
Gambar 3
Kwitansi PT. Kertabakti Raharja atas nama Ibu Hariyani

Berdasarkan surat kwitansi diatas, Ibu Hariyani telah membayar lunas

lunas unit apartemen Madison Avenue yang dibelinya seharga seharga Rp

243.100.000,- (dua ratus empat puluh tiga juta seratus ribu rupiah). Menurut

syarat-syarat dan ketentuan pemesanan, Ibu Hariyani telah berhak melakukan

PPJB dengan pihak developer.

Penulis melakukan wawancara dengan Ibu Hariyani selaku pembeli

unit apartemen Madison Avenue yang telah membayar lunas.57 Berdasarkan

keterangan dari Ibu Hariyani, menurut syarat-syarat dan ketentuan

pemesanan, beliau seharsunya telah berhak melakukan PPJB dengan pihak

developer. Akan tetapi pihak developer hingga saat ini tidak membuatkan

PPJB tersebut dengan alasan yang tidak jelas.

Meskipun belum dilakukannya PPJB dalam pembelian unit apartemen

Madison Avenue, perjanjian jual beli di bawah tangan tersebut telah memiliki

hubungan hukum yang menimbulkan kewajiban yang harus dilaksanakan

oleh kedua pihak tersebut. Selain itu, kedua pihak tersebut juga mendapatkan

hak dari perjanjian tersebut.

Beberapa kewajiban yang harus dilaksanakan serta hak yang

didapatkan oleh penjual dan pembeli apartemen Madison Avenue tercantum

pada perjanjian tertulis hanya sebatas sebuah surat pemesanan unit


57
Wawancara dengan Ibu Hariyani selaku pembeli unit apartemen Madison Avenue hari
Senin tanggal 23 desember 2019.
Apartemen saja. Selebihnya kewajiban yang harus dilaksanakan serta hak

yang didapatkan oleh penjual dan pembeli terdapat dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata, UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen, serta ada juga yang hanya dijanjikan oleh pihak developer secara

lisan kepada pembeli.

Berikut merupakan kewajiban dan hak dari penjual dalam perjanjian

pembelian unit apartemen Madison Avenue, yaitu :

1. Kewajiban Penjual

Menurut Pasal 1474 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,

menyebutkan bahwa penjual mempunyai dua kewajiban utama, yaitu

menyerahkan sebuah unit apartemen Madison Avenue yang telah

diperjualbelikan dan menanggung unit apartemen terbut apabila terdapat

ketidaksesuaian seperti yang telah dijanjikan kepada pembeli apartemen

Madison Avenue.

Sedangkan menurut Pasal 7 huruf d UU Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen mengenai kewajiban penjual yang harus

dilakukan, bahwa kewajiban penjual yaitu menjamin unit apartemen dalam

kondisi yang seperti yang diperjanjikan apabila telah siap untuk diserah

terimakan. Selain itu, pada wawancara yang penulis lakukan terdapat

kewajiban yang dijanjikan oleh pihak developer kepada pembeli secara

lisan yaitu melaksanakan pembangunan gedung apartemen Madison

Avenue hingga selesai pada akhir 2018.58

58
Wawancara dengan Ibu Hariyani selaku pembeli unit apartemen Madison Avenue hari
Senin tanggal 23 desember 2019.
2. Hak Penjual

Menurut Pasal 6 huruf a UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen menjelaskan mengenai hak yang didapatkan oleh

penjual/ developer apartemen Madison Avenue adalah hak untuk

menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi

dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperjualbelikan.

Hak yang didapatkan oleh penjual juga terdapat dalam surat pesanan

unit apartemen Madison Avenue yaitu mendapatkan pembayaran satu unit

apartemen Madison Avenue yang telah dijualnya seharga Rp

243.100.000,- (dua ratus empat puluh tiga juta seratus ribu rupiah).

Gambar 4
Harga Jual unit Apartemen Madison Avenue atas nama Ibu Hariyani

Adapun kewajiban dan hak dari pembeli dalam perjanjian pembelian

unit apartemen Madison Avenue, yaitu :

1. Kewajiban Pembeli
Menurut Pasal 1513 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,

menyebutkan bahwa kewajiban utama pembeli adalah melunasi

pembayaran satu unit apartemen Madison Avenue sesuai kesepakatan

antara kedua belah pihak.

Sedangkan menurut Pasal 5 huruf c UU Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen mengenai kewajiban yang harus

dilakukan oleh pembeli adalah membayarkan uang atas unit apartemen

Madison Avenue sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.

Kewajiban pembeli juga terdapat dalam surat pesanan unit

apartemen Madison Avenue yaitu menanggung biaya-biaya yang muncul

diluar harga apartemen Madison Avenue.

Gambar 5
Penanggungan biaya-biaya lain Apartemen Madison Avenue

2. Hak Pembeli

Menurut Pasal 1483 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,

menyebutkan bahwa penjual wajib menyerahkan barang yang dijual yaitu

unit apartemen dalam keadaan utuh, sebagaimana dinyatakan dalam

perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Hal ini berarti

pihak pembeli memiliki hak untuk mendapatkan unit apartemen berupa

serah kunci pada waktu yang telah dijanjikan oleh penjual.


2.2 Perlindungan Hukum Bagi Pembeli Unit Apartemen Madison Avenue

yang Developernya Wanprestasi

Perjanjian jual beli apartemen yang dilakukan pada pre-launching atau

dilakukan sebelum gedung apartemen tersebut siap dipasarkan memiliki

kerugian bagi pembeli ketika pihak developer tidak membuatkan perjanjian

pengikatan jual beli (PPJB) sesuai yang dijanjikan pihak developer kepada

pembeli pada saat perjanjian jual beli di bawah tangan.

Penulis melakukan wawancara dengan Ibu Hariyani selaku pembeli

unit apartemen Madison Avenue yang telah membayar lunas.59 Berdasarkan

keterangan dari Ibu Hariyani, pada saat perjanjian jual beli di bawah tangan

pihak developer menjanjikan akan membuatkan perjanjian pengikatan jual

beli (PPJB) kepada beliau. Akan tetapi hingga saat ini pihak developer tidak

membuatkan perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) tersebut.

Pemenuhan prestasi dalam sebuah perjanjian merupakan sebuah

kewajiban yang harus dilakukan oleh kedua belah pihak yang melaksanakan

perjanjian. Apabila terdapat salah satu pihak yang tidak memenuhi

prestasinya maka pihak yang lain pasti merasa dirugikan. Sama halnya dalam

perjanjian jual beli apartemen, pembeli dan developer apartemen juga harus

melakukan kewajiban masing-masing berupa pemenuhan prestasi. Selain itu

pihak developer apartemen seharusnya berkewajiban untuk menyelesaikan

pembangunan apartemen tersebut sebagai suatu pemenuhan prestasi. Namun

dalam kasus jual beli unit apartemen Madison Avenue ini, pihak developer

59
Wawancara dengan Ibu Hariyani selaku pembeli unit apartemen Madison Avenue hari
Senin tanggal 23 desember 2019.
atau PT. Kertabakti Raharja sengaja menunda-nunda pembangunan

apartemen sehingga membuat pembeli mendapatkan unit apartemen lebih

lambat. Hal ini menyebabkan pihak pembeli tidak mendapatkan hak-haknya

dalam perjanjian jual beli apartemen tersebut.

Penulis melakukan wawancara dengan Ibu Hariyani selaku pembeli

unit apartemen Madison Avenue yang telah membayar lunas.60 Berdasarkan

keterangan dari Ibu Hariyani, pembangunan apartemen Madison Avenue

berhenti sejak September 2018 hingga akhir 2019 ini. Menurutnya, alasan

dari pihak penjual terhadap berhentinya pembangunan apartemen karena

terdapat miscommunication antara pihak developer dengan pihak kontraktor.

Perbuatan tersebut merupakan suatu bentuk wanprestasi. Wanprestasi

yang dilakukan oleh pihak developer berupa tidak menyelesaikan

pembangunan apartemen. Perbuatan tersebut melanggar kewajiban developer

dalam perjanjian jual beli apartemen Madison Avenue yang seharusnya pihak

developer harus menyelesaikan pembangunan apartemen sesuai kesepakatan

dalam perjanjian dibawah tangan meskipun tidak tertulis dalam perjanjian

tertulis. Oleh karena wanprestasi developer tersebut pembeli dirugikan karena

tidak mendapatkan unit apartemen yang telah dibelinya.

Pasal 1239 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, disebutkan bahwa

tiap-tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu,

wajib diselesaikan dengan memberikan penggantian biaya, kerugian dan

bunga, bila debitur tidak memenuhi kewajibannya. Pasal 1243 Kitab Undang-

60
Wawancara dengan Ibu Hariyani selaku pembeli unit apartemen Madison Avenue hari
Senin tanggal 23 desember 2019.
Undang Hukum Perdata menjelaskan bahwa penggantian biaya, kerugian dan

bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur,

walaupun telah dinyatakan lalai, tetap lalai untuk memenuhi perikatan itu,

atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat

diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah

ditentukan.

Berdasarkan penjelasan kedua pasal diatas, pembeli memiliki hak

untuk meminta ganti kerugian kepada pihak developer apartemen Madison

Avenue yang wanpretasi. Akibat dari wanprestasi yang dilakukan developer

apartemen tersebut, pembeli tidak mendapatkan bangunan apartemen yang

seharusnya pembeli dapatkan. Ganti rugi merupakan sebuah pemenuhan hak

yang dilakukan oleh seseorang kepada seseorang lain untuk yang pada

sebelumnya tidak dipenuhinya.

Pasal 1244 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjelaskan bahwa

debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga. bila ia

tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak

tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu

hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertanggungkan kepadanya. walaupun

tidak ada itikad buruk kepadanya.

Berdasarkan penjelasan pasal diatas, apabila pihak developer

apartemen tidak dapat membuktikan bahwa tidak dipenuhinya suatu

kewajiban/pretasi yang seharusnya dilakukan kepada pembeli apartemen

yaitu pembangunan gedung apartemen, maka developer tersebut dihukum


untuk mengganti biaya, kerugian, dan bunga. Biaya,yaitu segala pengeluaran

yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh satu pihak. Kerugian yaitu

kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang diakibatkan debitur.

Bunga yaitu kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah

dihitung oleh kreditur,tetapi dibatasi hanya kerugian yang diduga saja.

Pasal 4 angka 8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen menjelaskan bahwa pembeli mendapatkan hak

untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila

barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak

sebagaimana mestinya.

Berdasarkan penjelasan pasal diatas, dapat disimpulkan bahwa ganti

kerugian dan kompensasi akan didapatkan oleh pembeli jika pembeli tidak

mendapatkan hak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

Ganti kerugian menurut bentuknya dibagi menjadi dua yaitu ganti

kerugian materiil dan ganti kerugian imateriil. Kerugian secara materiil

adalah kerugian yang nyata atau tampak di derita yang bisa dihitung dan

dinominalkan, seperti uang, barang, biaya. Kerugian secara immateriil adalah

kerugian terhadap sesuatu yang bersifat abstrak dan tidak begitu saja

langsung bisa dihitung nominalnya, misalnya luka-luka, cacat, kematian atau

penghinaan. Pada umumnya penjual/developer apartemen hanya memberikan

ganti rugi materiil saja karena ganti rugi materiil saja sudah susah untuk

dipenuhi oleh pihak developer yang melakukan wanprestasi tersebut. Oleh

karena itu, pihak pembeli hanya meminta ganti kerugian atas kerugian
materiil saja kepada developer apartemen Madison Avenue agar pihak

developer dapat memenuhi ganti rugi tersebut.

Dapat disimpulkan perlindungan hukum bagi pembeli apabila

developer wanprestasi sebelum dilakukannya PPJB menurut Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata dan juga Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen yaitu dengan mendapatkan ganti kerugian

atas hak-haknya yang dilanggar berupa penggantian biaya, kerugian, dan

bunga.

BAB III

UPAYA HUKUM BAGI PEMBELI UNIT APARTEMEN MADISON

AVENUE YANG DEVELOPERNYA WANPRESTASI

Perbuatan developer apartemen Madison Avenue yang tidak

menyelesaikan pembangunan gedung apartemen menyebabkan pihak pembeli

mengalami kerugian. Pembeli seharusnya mempunyai hak untuk

mendapatkan unit apartemen yang telah dibelinya. Pembeli dapat melakukan

upaya-upaya untuk mendapatkan haknya yang dilanggar oleh pihak

developer. Upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh pembeli tersebut terdapat

dalam U Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun.

Berdasarkan Pasal 105 UU Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah

Susun memberikan cara-cara penyelesaian sengketa sebagai upaya hukum

yang dapat dilakukan oleh pembeli apartemen untuk mendapatkan ganti


kerugian dari pihak developer apartemen Madison Avenue yang wanprestasi

yaitu :

1. Non-Litigasi

a. Musyawarah untuk mufakat.

Musyawarah merupakan sebuah cara penyelesaian sengketa yang

harus dilakukan pertama kali untuk menyelesaikan sengketa jual beli

apartemen Madison Avenue. Pembeli unit apartemen telah beberapa

kali mengupayakan penyelesaian sengketa melalui musyawarah dengan

pihak developer apartemen Madison Avenue tersebut. Dalam

musyawarah pembeli menuntut hak-haknya yang telah dilanggar oleh

developer apartemen Madison Avenue. Namun pada musyawarah yang

dilakukan oleh kedua belah pihak tersebut tidak menemukan kata

mufakat antara kedua belah pihak. Pihak developer apartemen Madison

Avenue memiliki banyak alasan untuk membela diri bahwa dirinya

tidak melakukan wanprestasi. Pihak developer beralasan bahwa proses

pembangunan gedung apartemen dijanjikan akan segera diselesaikan

kepada pihak pembeli. Namun pada kenyataanya proses pembangunan

telah terhenti mulai awal 2019 hingga sekarang yang membuat pihak

pembeli tidak mendapatkan haknya yaitu penyelesaian bangunan

apartemen Madison Avenue yang telah dibelinya. Penyelesaian

sengketa melalui musyawarah tersebut tidak menemui hasil yang

menguntungkan bagi pembeli apartemen. Pembeli sangat tidak puas

dengan hasil musyawarah tersebut karena pembeli masih tidak


mendapatkan hak-haknya. Pembeli dapat menggunakan upaya hukum

lain apabila dengan cara musyawarah pihak developer apartemen tetap

tidak memenuhi pretasinya.

b. Negosiasi

Negosiasi merupakan upaya hukum selanjutnya yang dapat

dilakukan apabila dengan cara musyawarah tidak menemukan kata

mufakat. Negosiasi yang dilakukan antara pembeli dan developer

apartemen Madison Avenue dengan maksud developer agar dapat

memenuhi prestasinya kepada pembeli. Pada negosiasi pembeli

memberikan keringanan kepada pihak developer apartemen Madison

Avenue untuk memenuhi pretasinya dengan cara memberikan jangka

waktu pembangunan yang lebih lama. Hal ini bertujuan agar pihak

developer apartemen mau untuk memberikan ganti kerugian kepada

pihak pembeli. Tetapi tetap saja pihak developer apartemen tersebut

tidak memiiliki niat sedikitpun untuk memenuhi prestasi yang

seharusnya dilakukannya. Pihak developer apartemen ini masih saja

beralasan bahwa akan menyelesaikan pembangunan apartemen

Madison Avenue ini dengan memberikan janji secara lisan kepada

pembeli. Akan tetapi developer apartemen tersebut pada kenyataannya

memberikan janji palsu kepada pihak pembeli. Penyelesaian sengketa

dengan cara negosiasi juga masih belum dapat memberikan ganti

kerugian terhadap hak-hak pembeli yang dilanggar oleh developer

apartemen akibat wanprestasi. Pembeli dapat menggunakan upaya


hukum lain apabila dengan cara negosiasi pihak pembeli tetap tidak

mendapatkan hak-haknya sebagai pembeli.

2. Litigasi

Apabila melalui jalur nonlitigasi yaitu dengan cara musyawarah dan

juga negosiasi tidak dapat menyelesaikan sengketa antara kedua belah

dalam sengketa apartemen Madison Avenue tersebut, maka pihak pembeli

dapat menggugat melalui pengadilan negeri atas wanprestasi yang

dilakukan oleh developer apartemen Madison Avenue.

Berdasarkan Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata, setiap perjanjian yang telah dibuat secara sah berlaku sebagai

undang- undang bagi yang membuatnya. Jadi meskipun PPJB belum

dibuat, pernjanjian jual beli dibawah tangan yang dibuat antara pembeli

dengan pihak developer apartemen sudah mengikat kedua belah pihak dan

dapat dijadikan dasar gugatan di pengadilan bahwa pihak developer

apartemen Madison Avenue telah melakukan wanprestasi.

Pembeli dapat menempuh upaya hukum melalui gugatan

wanprestasi apabila developer apartemen tidak memenuhi prestasinya.

Gugatan tersebut didasarkan pada kerugian yang didapatkan pembeli

akibat dari wanprestasi yang dilakukan developer apartemen Madison

Avenue. Hal ini dapat dilakukan oleh pembeli apabila pihak developer

tidak menyelesaikan pembangunan apartemen Madison Avenue tersebut.

Sesuai Pasal 1267 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dalam upaya

mendapatkankan hak-haknya, pembeli dapat memilih untuk memaksa


developer apartemen untuk memenuhi perjanjian yang telah disepakati jika

hal itu masih dapat dilakukan atau menuntut pembatalan perjanjian dengan

penggantian biaya, kerugian dan bunga.

Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen menjelaskan bahwa ganti rugi yang dilakukan

oleh pihak developer apartemen dapat berupa pengembalian uang kepada

pihak pembeli apartemen. Dengan demikian, pembeli dapat menggugat

developer apartemen untuk mendapatkan penggantian biaya, kerugian dan

bunga akibat dari wanprestasi yang dilakukannya.

Sesuai kwitansi pembayaran yang telah diberikan oleh PT.

Kertabakti Raharja nominal yang telah dibayarkan oleh pihak pembeli

kepada pihak developer apartemen yaitu sebesar Rp 243.100.000,- (dua

ratus empat puluh tiga juta seratus ribu rupiah). Terhitung setahun setelah

akhir 2018, dilihat dari bangunan apartemen Madison Avenue pada saat

ini, tidak terlihat sama sekali proses pembangunan. Hal ini menandakan

bahwa memang tidak ada itikad baik dari developer apartemen untuk

memenuhi ganti rugi yang seharusnya dipenuhinya. Pembeli dapat

meminta kepada pihak developer apartemen penggantian biaya atas waktu

serta pemanfaatan bangunan. Penggantian biaya tersebut dapat berupa

penggantian berupa uang terhitung sejak bangunan apartemen tersebut

telah selesai dijanjikan pada perjanjian secara lisan yaitu pada akhir 2018

hingga bangunan apartemen tersebut sudah dapat digunakan.


Pasal 106 UU Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun,

gugatan tersebut dapat dilakukan oleh :

1. Perseorangan.

2. Badan Hukum.

3. Masyarakat.

4. Pemerintah atau instansi terkait.

Berdasarkan pasal diatas, pembeli dapat melakukan gugatan ke

Pengadilan Negeri secara perseorangan atas wanprestasi yang dilakukan

oleh developer apartemen Madison Avenue. Maka apabila pihak pembeli

merasa dirugikan akibat perbuatan dari pihak developer apartemen dapat

melakukan gugatan langsung secara pribadi kepada Pengadilan Negeri

setempat. Gugatan tersebut bertujuan agar pembeli yang dirugikan tersebut

mendapatkan hak-haknya kembali.

Akan tetapi karena perjanjian jual beli apartemen tersebut hanya

merupakan perjanjian di bawah tangan yang berupa bukti konfirmasi

pemesanan saja, maka dalam pembuktian dalam persidangan memerlukan

bukti lain selain perjanjian di bawah tangan tersebut dan juga saksi-saksi

untuk membuktikan kebenaran perjanjian tersebut bahwa memang pihak

developer telah melakukan wanprestasi.

Gugatan di pengadilan negeri tersebut merupakan upaya hukum

yang paling efektif yang dapat dilakukan oleh pembeli untuk mendapatkan

ganti kerugian atas wanprestasi yang dilakukan oleh developer apartemen

Madison Avenue.
Dengan demikian, upaya hukum bagi pembeli apabila developer

wanprestasi sebelum dilakukannya PPJB menurut UU Nomor 20 Tahun 2011

tentang Rumah Susun yaitu dapat melalui penyelesaian sengketa secara non-

litigasi maupun litigasi. Pertama yang harus dilakukan pembeli untuk

menuntut ganti kerugian yang diterimanya dengan melakukan penyelesaian

sengketa melalui musyawarah untuk mufakat terlebih dahulu. Apabila kata

mufakat tidak dapat tercapai, maka pembeli dapat melakukan penyelesaian

sengketa dengan negosiasi untuk dapat mengusahakan pemenuhan prestasi

dari penjual dengan memberikan keringanan jangka waktu yang lebih lama

agar developer apartemen tersebut bersedia memenuhi prestasinya. Namun

apabila cara-cara tersebut tetap tidak berhasil maka pihak pembeli dapat

mengupayakan penyelesaikan sengketa di jalur litigasi yaitu dengan cara

menggugat melalui pengadilan negeri untuk mendapatkan hak-haknya dari

perjanjian jual beli apartemen Madison Avenue tersebut.


BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis terhadap perlindungan hukum bagi pembeli

apartemen Madison Avenue yang developernya wanprestasi diatas maka

penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Perlindungan hukum bagi pembeli apabila developer wanprestasi sebelum

dilakukannya PPJB menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan

juga Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen yaitu dengan mendapatkan ganti kerugian atas hak-haknya yang

dilanggar berupa penggantian biaya, kerugian, dan bunga.

2. Upaya hukum bagi pembeli apabila developer wanprestasi sebelum

dilakukannya PPJB menurut UU Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah


Susun yaitu dapat melalui penyelesaian sengketa secara non-litigasi maupun

litigasi. Pertama yang harus dilakukan pembeli untuk menuntut ganti

kerugian yang diterimanya dengan melakukan penyelesaian sengketa

melalui musyawarah untuk mufakat terlebih dahulu. Apabila kata mufakat

tidak dapat tercapai, maka pembeli dapat melakukan penyelesaian sengketa

dengan negosiasi Namun apabila cara-cara tersebut tetap tidak berhasil

maka pihak pembeli dapat mengupayakan penyelesaikan sengketa di jalur

litigasi yaitu dengan cara menggugat melalui pengadilan negeri.

4.2 Saran

1. Seharusnya pembeli apabila ingin membeli apartemen yang masih

dalam tahap pembangunan maupun belum dibangun sama sekali harus

menggunakan perjanjian tertulis agar pembeli mendapatkan jaminan

atas yang seharusnya pembeli dapatkan.

2. Pembeli harus melihat riwayat perusahaan developer apartemen

tersebut terlebih dahulu sebagai acuan bagi pembeli mengetahui apakah

perusahaan tersebut bisa dipercaya sebagai developer apartemen yang

akan dibelinya.

3. Developer seharusnya memiliki itikad baik untuk menyelesaikan

kewajibannya sebagai penjual yaitu memenuhi prestasinya untuk

membangun bangunan apartemen yang telah dijualnya kepada pihak

pembeli.
4. Developer seharusnya berupaya memberikan ganti kerugian kepada

pihak pembeli yang telah membayarkan uang terhadap unit apartemen

yang telah dibelinya. Ganti kerugian tersebut harus dilakukan karena

pihak developer telah melakukan wanprestasi kepada pihak pembeli.

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU
Ali, Zainuddin. 2013. Metode Penelitian hukum. Jakarta: Sinar Grafika.

Cahyono, Akhmad Budi dan Surini Ahlan Sjarif. 2008. Mengenal Hukum
Perdata. Jakarta: CV. Gitama Jaya.

Harahap, M. Yahya. 1986. Segi-segi Hukum Perjanjian. Bandung: Alumni


Bandung.

Harsono, Boedi. 2003. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan


Undang-undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta:
Djambatan.

Hutagalung, Arie. S. 2002. Serba Aneka Tanah Dalam Kegiatan Ekonomi.


Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Hutagalung, Arie. S. 2007. Kondominium dan Permasalahannya. Depok:


Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Marzuki, Peter Mahmud. 2010. Penelitian Hukum. Jakarta: Kharisma Putra


Utama
Meliala, A.Qirom Syamsudin. 2010. Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta
Perkembangannya. Yogyakarta: Liberty.

Mertokusumo, Sudikno. 2009. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta:


Liberty.

Mertokusumo, Sudikno. 1988. Mengenal Hukum Suatu Pengantar.


Yogyakarta: Liberty.

Muhammad, Abdulkadir. 2000. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: PT


Citra Aditya.

Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja. 2010. Perikatan yang Lahir dari
Perjanjian. Jakarta: Rajawali.

Nasional, Departemen Pendidikan. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia.


Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Nasional, Badan Pembinaan Hukum, Departemen Kehakiman. 1994. Analisa


dan Evaluasi Hukum tentang Kedudukan Hukum dan Sertifikat
Pemilikan Rumah Susun. Jakarta.

Prodjodikoro, Wirjono. 1987. Hukum Perjanjian dan Perikatan. Jakarta:


Pradya Paramita.

Prodjodikoro, Wirjono. 1981. Hukum Perdata tentang Persetujuan-


Persetujuan Tertentu. Bandung: Sumur Bandung.

S, Salim H. 2008. Perkembangan Hukum Kontrak Innominat Di Indonesia.


Jakarta: Sinar Grafika.

Santoso, Djohari dan Achmad Ali. 1989. Hukum Perjanjian Indonesia.


Yogyakarta: Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.

Setiawan, R. 1979. Pokok-pokok Hukum Perikatan. Bandung: Bina Cipta.

Soeroso, R. 2011. Perjanjian Di Bawah Tangan. Sinar Grafika.

Subekti, R. 1995. Aneka Perjanjian. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Subekti, R. 1998. Hukum Perjanjian. Jakarta: Penerbit Intermasa.

Subekti, R.dan Tjitrosudibio. 2003. Kitab Undang – Undang Hukum Perdata.


Jakarta: Pradnya Paramita.
Sumardjono, Maria S.W. 2001. Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi &
Implementasi. Jakarta: Buku Kompas.

Waluyo, Bambang. 2008. Penelitian Hukum Dalam Praktek. Jakarta: Sinar


Grafika.

B. JURNAL
Chairudin, Ahmad. Beberapa Catatan Mengenai Pelaksanaan Sistem Strata
Title Pada Bangunan Gedung Bertingkat. makalah disampaikan pada
Program Khusus Pelatihan Professional Property-Executive Short
Course. Jakarta, 6 Juli 2007.

C. PERUNDANG-UNDANGAN
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

D. LAIN-LAIN
Wawancara dengan Ibu Hariyani selaku pembeli unit apartemen Madison
Avenue. Hari Senin 23 desember 2019 Pukul 18.00 WIB.

Anda mungkin juga menyukai