Anda di halaman 1dari 16

IMPLEMENTASI PERADILAN KONEKSITAS DALAM

PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI

UNTUK MELENGKAPI TUGAS MATA KULIAH HUKUM ACARA PIDANA

DOSEN PENGAMPU:

DISUSUN OLEH:

PRODI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMADIYAH PONTIANAK
2017

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNya sehingga makalah ini dapat
tersusun hingga selesai. Tidak lupa penulis juga mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan
dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun
pikirannya dalam penyusunan makalah ini.

Harapan penulis semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para
pembaca. Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar
menjadi lebih baik lagi.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman, penulis yakin masih banyak


kekurangan dalam makalah ini baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh
karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi
terhadap pembaca.

Pontianak, Desember 2017

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman Sampul...................................................................................................................... i

Kata Pengantar......................................................................................................................... ii

Daftar Isi................................................................................................................................... iii

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang................................................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah.............................................................................................................. 2

1.3 Tujuan Penulisan................................................................................................................ 2

BAB 2 ISI

2.1 Dasar Hukum Peradilan Koneksitas.................................................................................. 3

2.2 Peradilan Koneksitas dalam Mengadili Tindak Pidana Korupsi....................................... 6

BAB 3 PENUTUP

3.1 Kesimpulan....................................................................................................................... 11

3.2 Rekomendasi..................................................................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................13

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dewasa ini didalam masyarakat pada umumnya, konotasi supremasi hukum
seringkali dipahami (popular) dengan sebutan menjadikan hukum sebagai panglima.
Artinya segala permasalahan hukum wajib diselesaikan melalui prosedur hukum yang
berlaku. Tegasnya orientasi penegakan hukum hendaknya diarahkan untuk mencapai
tujuan hukum dan tujuan sosial melalui intsitusi penegak hukum yang berwenang. Para
aparat penegak hukum berkewajiban dan bertanggung jawab atas pelaksanaan penegakan
hukum secara tegas, konsekuen, dan konsisten dalam segala bentuk perbuatan yang
melawan hukum, baik yang dilakukan oleh kalangan sipil maupun kalangan militer yang
mempunyai lingkup peradilan sendiri-sendiri. Tindak pidana yang dilakukan oleh
masyarakat sipil harus diadili oleh pengadilan negeri, sebagai pengadilan dalam lingkup
peradilan umum. Sedangkan tindak pidana yang dilakukan oleh militer maka pelaku tindak
pidana tersebut harus diadili oleh Mahkamah Militer sebagai pengadilan dalan lingkup
peradilan militer. 1
Kejahatan yang terjadi dalam masyarakat tidak menutup kemungkinan dilakukan
oleh oknum militer atau anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) bersama-sama dengan
sipil yang secara yuridis formal harus diadili dalam satu lingkup peradilan umum
(Pengadilan Negeri) atau dalam lingkup peradilan militer (Mahkamah Militer). Inilah yang
disebut peradilan koneksitas.
Peradilan koneksitas merupakan suatu peradilan yang bertugas untuk mengadili
apabila terjadi suatu tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh sipil dan militer
(TNI) baik tindak pidana umum maupun tindak pidana khusus seperti tindak pidana
korupsi.
Tindak pidana korupsi dapat dilakukan oleh oknum militer (TNI) bersama-sama
dengan sipil (bukan TNI) yang telah menyalahgunakan keuangan Negara mengakibatkan
timbulnya kerugian Negara demi keuntungan pribadi atau kelompok atau badan hukum.
Apabila terjadi tindak pidana korupsi yang demikian, maka perkara tindak pidana korupsi
tersebut harus diadili dalam lingkungan peradilan koneksitas.

1
P.A.F. Lamintang, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Dengan Pembahasan Secara Yuridis Menurut
Yurispudensi dan Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana, (Bandung: Sinar Baru, 1984), hlm. 249

1
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana peraturan perundang-undangan di Indonesia mengatur tentang peradilan
koneksitas?
2. Bagaimana proses penegakan hukum terhadap perkara koneksitas dalam mengadili
tindak pidana korupsi?

1.3 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum Acara Pidana.
2. Untuk mengetahui aspek yuridis peradilan koneksitas.
3. Untuk mengetahui proses penegakan hukum terhadap perkara koneksitas dalam tindak
pidana korupsi.

2
BAB II
ISI

2.1 Dasar Hukum Peradilan Koneksitas


Undang-Undang No.14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman. Pasal 22 mengatur perihal koneksitas sebagai berikut:2
“Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan
peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam
lingkungan peradilan umum kecuali dalam keadaan tertentu menurut keputusan Menteri
Pertahanan/Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan
diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.”
Pelaksanaan dari ketentuan pasal 22 tersebut dikeluarkan Surat Keputusan bersama
antar Menteri Kehakiman, Menteri Hankam/Pangab, Ketua Mahkamah Agung dan Jaksa
Agung RI No.Kep.B/01.XII/1971 tentang kebijaksanaan dalam pemeriksaan tindak pidana
yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk dalam lingkungan peradilan umum
dan orang yang termasuk dalam lingkungan peradilan militer.3
Setelah mengalami perubahan pengaturan masalah koneksitas di atur kembali dalam
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman pasal 16. Undang-
undang ini memberikan kewenangan kepada Menteri Pertahanan/Keamanan dengan
persetujuan Menteri Kehakiman untuk menetapkan Pengadiilan Militer sebagai pengadilan
yang berwenang mengadili perkara koneksitas tersebut. Dimana unsur militer melebihi unsur
sipil misalnya, dapat dijadikan landasan untuk menetapkan pengadilan lain daripada
Pengadilan Umum ialah Pengadilan Militer untuk mengadili perkara-perkara koneksitas. Jika
dalam hal perkara diadili oleh Pengadilan Militer, maka susunan hakim adalah dari pengadilan
Militer dan Pengadilan Umum. Dalam hal ini kepentingan dari justisiabel tetap mendapat
perhatian sepenuhnya, yaitu dalam susunan hakim yang bersidang.4
Untuk memberikan dasar hukum yang mantap maka para Menteri dalam keputusan bersama
dengan sedikit perubahan dituangkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP). Setelah berlakunya KUHAP, maka ternyata ketentuan dalam Surat Keputusan

2
Indonesia, Undang-Undang tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, UU No. 14, LN No.
74 Tahun 1970, TLN No. 2951, Pasal 22
3
Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985 (Selanjutnya
disingkat Andi Hamzah II, hlm. 296.
4
Nico Ngani, I Nyoman Budi Jaya, Hasan Madani, Mengenal Hukum Acara Pidana, Seri 3, Liberty,
Yogyakarta, 1985, hlm. 24.

3
Bersama tersebut sebagian besar diambil alih dalam KUHAP.5 Koneksitas yang diatur dalam
pasal 89 KUHAP merupakan pengulangan atas ketentuan dari pasal 16 Undang-Undang Pokok
Kekuasaan Kehakiman. Acara yang di pakai dalam proses pemeriksaan perkara koneksitas
untuk selanjutnya diatur dalam Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93 dan Pasal 94 KUHAP.
Selain diatur di dalam KUHAP, masalah koneksitas ini pun diatur dalam Pasal 198
sampai dengan 203 Undang-Undang Peradilan Militer. Ketentuan pasal yang digunakan dalam
pasal-pasal tersebut merupakan pengulangan atas ketentuan pasal yang digunakan oleh
KUHAP dalam mengatur koneksitas, sehingga dapat disimpulkan bahwa acara yang dipakai
dalam dalam pemeriksaan perkara koneksitas ini tidak berbeda antara KUHAP dengan
Undang-Undang Peradilan Militer.
Tersangka-tersangka yang melakukan tindak pidana bersama-sama merupakan tindak
pidana yang berada dalam ruang lingkup Pasal 55 KUHP atau Pasal 56 KUHP. Pasal 55 KUHP
menyatakan:
(1) Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:
1. Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan
perbuatan.
2. Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan
kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman kekerasan, ancaman atau
penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, saran atau keterangan, sengaja
menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
(2) Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang
diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.
Sedangkan pasal 56 KUHP menyatakan: Dipidana sebagai pembantu kejahatan:
1. Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan.
2. Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana, atau keterangan untuk melakukan
kejahatan.
Penyertaan diatur dalam pasal 55 dan pasal 56 KUHP yang berarti bahwa ada dua orang
atau lebih yang melakukan suatu tindak pidana atau dengan perkataan ada dua orang atau lebih
mengambil kebahagiaan untuk mewujudkan suatu tindak pidana. Secara luas dapat disebutkan
bahwa seseorang turut serta ambil bagian dalam hubungannya dengan orang lain, untuk
mewujudkan suatu tindak pidana, mungkin jauh sebelum terjadinya (misalnya: merencanakan),
dekat sebelum terjadinya (misalnya: menyuruh atau menggerakan untuk melakukan,

5
Andi Hamzah II, Op.cit, hlm. 297.

4
memberikan keterangan dan sebagainya), pada saat terjadinya (misalnya: turut serta, bersama-
sama melakukan atau seseorang itu dibantu oleh orang lain) atau setelah terjadinya suatu tindak
pidana (misalnya: menyembunyikan pelaku atau hasil tindak pidana pelaku).6
Perkembangan saat ini, perkara koneksitas mendapat perhatian yang cukup serius
berkenaan dengan dikeluarkannya Ketetapan MPR No. VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara
Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 3 ayat (4) huruf a menyatakan:
“Prajurit Tentara Nasional Indonesia tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal
pelanggaran hukum militer dan tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal
pelanggaran hukum pidana umum.”
Ketetapan MPR tersebut menunjukan bahwa secara tidak langsung masalah koneksitas
yang berkenaan dengan tindak pidana sebagaimana telah diatur didalam hukum pidana umum
dihapuskan, namun kendalanya terdapat pada peraturan perundang-undangan yang menjadi
aturan pelaksanaan yang tertuang dalam bentuk perundang-undangan, ketetapan tersebut
belum dapat dilaksanakan.
Pasal 89 ayat (2) dan (3) KUHAP dinyatakan:7
(2) Penyidikan perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan oleh suatu
tim tetap yang terdiri dari penyidik sebagaimana dalam Pasal 6 dan Polisi Militer Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia dan Oditur Militer atau Oditur Militer Tinggi sesuai dengan
wewenang mereka masing-masing menurut hukum yang berlaku untuk penyidikan perkara.
(3) Tim sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) dibentuk dengan surat keputusan bersama Menteri
Pertahanan dan Keamanan dan Menteri Kehakiman.
Setelah penyidikan selesai dilaksanakan, maka diadakan penelitian bersama dengan
anggota peneliti terdiri dari Jaksa atau Jaksa Tinggi dan Oditur Militer dalam hal kepangkatan
tersangka kapten kebawah atau Oditur Militer Tinggi dalam kepangkatan tersangka Mayor
keatas. Penelitian tersebut dimaksudkan untuk menghindari terjadinya kekeliruan yang
menyebabkan suatu tindak pidana yang nyata-nyata merugikan militer, terlanjur diperiksa dan
diadili oleh lingkungan peradilan umum dan prosedur ini mengacu kepada ketentuan Pasal 90
ayat (1) KUHAP dan Pasal 199 ayat (1) Undang-Undang Peradilan Militer yang sama-sama
menyatakan, bahwa “untuk menetapkan Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum atau
Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer yang akan mengadili perkara tindak pidana

6
S. R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni AHM-PTHM, Jakarta, 1986
(selanjutnya disingkat S. R. Sianturi), hlm. 36)
7
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

5
hasil penyidikan koneksitas tersebut, diadakan penelitian bersama oleh Jaksa/Jaksa Tinggi dan
Oditur Militer/Oditur Militer Tinggi. Pada ayat-ayat selanjunya dari Pasal tersebut di atas,
ditentukan bahwa “Pendapat dari penelitian bersama tersebut dituangkan dalam berita acara
yang ditanda-tangani pihak-pihak dan apabila dalam penelitianbersama itu terdapat
persesuaian pendapat tentang Pengadilan yang berwenang mengadili perkara tersebut, hal ini
dilaporkan masing-masing kepada Jaksa Agung dan Oditur Jenderal”.8
Sebaliknya jika penelitian terdapat perbedaan, maka menurut ketentuan Pasal 93 ayat
(1) KUHAP dan Pasal 202 ayat (1) Undang-Undang Peradilan Militer masing-masing pihak
melaporkan perbedaan pendapat tersebut secara tertulis dengan diserai berkas perkara yang
bersangkutan kepada Jaksa Agung dan Oditur Jenderal. Penyelesaiannya menurut ayat-ayat
selanjutnya dari pasal tersebut di atas, dinyatakan bahwa Jaksa Agung dan Oditur Jenderal akan
bermusyawarah untuk mengambil keputusan, tetapi apabila musyawarah tersebut tidak dapat
mengakhiri perbedaan pendapat, maka pendapat Jaksa Agung yang menentukan Pengadilan
mana yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara tersebut, apakah perkara tersebut
diperiksa dan diadili dalam lingkungan peradilan umum atau diperiksa dan diadili dalam
lingkungan peradilan militer.9
Untuk menentukan ke pengadilan mana perkara koneksitas akan ditentukan, apakah
dilimpahkan ke pengadilan dalam lingkungan peradilan umum atau ke pengadilan dalam
lingkungan peradilan militer, haruslah berpedoman pada hukum acara yang berlaku yaitu Pasal
90, 91, 92, dan Pasal 93 KUHAP.

2.2 Peradilan Koneksitas dalam Mengadili Perkara Tindak Pidana Korupsi


Untuk menjelaskan berdasarkan ketentuan yuridis bahwa kejaksaan memiliki
wewenang sebagai penyidik tindak pidana korupsi dapat dilihat pada ketentuan-ketentuan
berikut:
1. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi:
“Penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupso dijalankan menurut ketentuan-
ketentuan yang berlaku, sekedar tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini.”
2. Pasal 284 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP):

8
Marwan Effendy, Peradilan in Absentia dan Koneksitas, (Jakarta: Timpani Publishing, 2010), hlm. 52)
9
Ibid

6
“Dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka terhadap semua
perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk
sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-
undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi.”
3. Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP:
“Penyidikan menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-
undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam pasal 284 ayat (2) KUHAP penyidik jaksa
dan penyidik lainnya yang berwenang lainnya yang ditunjuk berdasarkan peraturan
perundang-undangan.”
4. Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme:
“Apabila dalam hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditemukan
adanya petunjuk adanya korupsi, kolusi, atau nepotisme, maka hasil pemeriksaan tersebut
disampaikan kepada instansi yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, untuk ditindaklanjuti.”
5. Pasal 26 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi:
“Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana
korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain
dalam undang-undang ini.”
6. Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi:
(4) “Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi berpendapat bahwa perkara tersebut
diteruskan, Komisi Pemberantasan Korupsi dapat melaksanakan penyidikan sendiri atau
dapat melimpahkan perkara tersebut kepada penyidik kepolisian atau kejaksaan.”
(5) “Dalam hal penyidikan dilimpahkan kepada kepolisian atau kejaksaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) kepolisian atau kejaksaan wajib melakukan koordinasi dan
melaporkan perkembangan penyidikan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.”
7. Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia:
(1) “Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang: melakukan
penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang.
8. Fatwa Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor KMA1102/1/2005:

7
“Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang untuk melakukan penyidikan
terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang.”

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa sampai
dengan saat ini kejaksaan memiliki kewenangan melakukan penyidikan tindak pidana tertentu,
di antaranya adalah tindak pidana korupsi.
Dalam hal tindak pidana korupsi apabila dilakukan bersama-sama oleh mereka yang
tunduk pada Peradilan Umum dan Peradilan Militer, apabila dilakukan penyidikan antara
Kejaksaan dan POM TNI atau Oditur Militer/Oditur Militer Tinggi, maka berdasarkan Pasal
91 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
mengkoordinir dan menendalikan penyidikan dan penuntutan adalah Jaksa Agung Republik
Indonesia dan bunyi lengkap Pasal 39 tersebut adalah sebagai berikut:10
“Jaksa Agung mengkoordinir dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan
umum dan peradilan militer.”
Koordinasi dan pengendalian tersebut dapat disubsitusikan kepada Kepala Kejaksaan
Tinggi atau Kepala Kejaksaan Negeri, jika perkara tersebut ditangani oleh daerah, begitu juga
jika perkara tindak pidana korupsi tersebut ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) dengan POM TNI, maka yang mengkoordinator dan mengendalikan penyidikan dan
penuntutan Menurut Ketentuan Pasal 42 UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK adalah KPK dan
bunyi pasal 40 tersebut adalah sebagai berikut:11
“Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan
penyelidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang
yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum.”
Jika tidak ingin melakukan mengkoordinasikan atau mengendalikan penyidikan
koneksitas yang dimaksud, Komisi Pemberantasan Korupsi dapat menyerahkan perkara
tersebut kepada kejaksaan dalam hal ini Jaksa Agung untuk mengkoordinasikan dan
mengendalikannya, tetapi menurut Pasal 44 ayat (5), pelaksanaan penyidikan koneksitas
tersebut tetap dikoordinasikan dan dilaporkan perkembangannya kepada Komisi
Pemberantasan Korupsi.12

10
Marwan Effendy, Peradilan in Absentia dan Koneksitas, (Jakarta: Timpani Publishing, 2010), hlm. 43.
11
Ibid, hlm. 44.
12
Ibid, hlm. 45.

8
Tindak Pidana Korupsi yang disidangkan secara koneksitas di peradilan militer maka
sesuai dengan ketentuan Pasal 40 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2004 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Kewenangan Perwira
Penyerah Perkara (PEPERA) sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 123 ayat (1) huruf g
yang menentukan perkara untuk diselesaikan menurut hukum disiplin prajurit
dikesampingkan.13
Selain itu beberapa aturan hukum sebagaimana telah dikemukakan di atas, pengertian
penyidikan koneksitas adalah penyidikan yang dilakukan bersama oleh tim penyidik yang
masing-masing memiliki kewenangan terhadap seseorang yang tunduk pada peradilan umum
maupun peradilan militer. Dengan demikian, berkas perkara hasil penyidikan koneksitas
tersebut harus merupakan satu kesatuan yang untuk dengan tersangka mereka yang tunduk
pada peradilan umum dan peradilan militer, jika berkas perkara tersangka-tersangka tersebut
terpisah, maka berkas perkara hasil penyidikan koneksitas dimaksud tidak memenuhi syarat
penggarisan undang-undang.14
Selanjutnya adalah tahap penuntutan, adapun tahapan penuntutan selanjutnya yang
harus dilakukan oleh Jaksa sebagai Penuntut Umum adalah:15
1. Pra Penuntutan
Pra Penunutan adalah tindakan penuntut umum untuk memberi petunjuk dalam rangka
penyempurnaan penyidikan oleh penyidik sebagaimana tercantum dalam Pasal 14
KUHAP tentang wewenang penuntut umum khususnya huruf b, mengadakan pra
penuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan
Pasal 110 ayat (30 dan ayat (4) KUHAP, dengan memberikan petunjuk dalam rangka
menyempurnakan penyidikan dari penyidik. Apabila berkas telah dinyatakan lengkap (P-
21), maka penyidik akan menyerahkan tersangka dan barang bukti kepada Jaksa Penuntut
Umum. Jaksa penuntut umum akan melengkapi berkas-berkas yang dilimpahkan ke
pengadilan dengan berita acara pemeriksaan BA-10, yang dimaksudkan untuk
meyakinkan apakah berkas benar-benar lengkap dan apakah sangkaan yang disangkakan
kepada tersangka benar. Apabila Jaksa Penuntut Umum menemukan keraguan, akan
dilakukan pemeriksaan tambahan.
2. Surat Dakwaan

13
Ibid
14
Ibid, hlm. 46.
15
Andi Hamzah, Pelaksanaan Peradilan Pidana Berdasarkan Teori dan Praktek, Rineke Cipta, Jakarta, 1994,
hlm. 67.

9
Salah satu peran dari surat dakwaan adalah sebagai dasar tuntutan pidana (requisitoir).
Setelah dilakukan penyerahan tersangka dan barang bukti (penyerahan tahan II), Jaksa
Penuntut Umum menyiapkan Rencana Surat Dakwaan (Rendak). Rencana Surat Dakwaan
(Rendak) disusun dan dilaporkan secara berjenjang dengan bertolah ukur jumlah kerugian
negara, sebagaimana tahap penyelidikan dan penyidikan. Apabila Rencana Surat Dakwaan
belum mendapat persetujuan, maka Rancangan Surat Dakwaan akan diperbaiki sesuai
dengan petunjuk. Setelah Rancangan Surat Dakwaan mendapat persetujuan, maka surat
dakwaan dan berkas perkara dilimpahkan ke Pengadilan Negeri.
Surat Dakwaan dirumuskan oleh Jaksa Penuntut Umum setelah sebelumnya dilakukan
Pemeriksaan Pendahuluan, meliputi, keterangan terdakwa, keterangan saksi, alat bukti,
dan keterangan ahli. Dengan berdasarkan Pasal 160 ayat (3) KUHAP maka saksi sebelum
meberikan keterangan wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya
masing-masing.
Penuntut umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan hari
sidang, baik tujuan untuk menyempurnakan maupun untuk tidak melanjutkan
penuntutannya dan pengubahan surat dakwaan tersebut dapat dilakukan hanya satu kali
selambat-lambatnya 7 hari sebelum sidang dimulai.

3. Pelimpahan Berkas ke Pengadilan


Pelimpahan berkas ke pengadilan adalah merupakan kewenangan untuk melakukan
tindakan penututan dalam hal menurut yang diatur dalam hukum acara pidana dengan
permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim pengadilan. Baik dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana maupun Kitab Hukum Acara Militer telah diatur
tentang wewenang penuntut umum dalam hal:
a) Mempersiapkan segala sesuatu untuk pelaksanaan sidang.
b) Melaksanakan tindakan penuntutan di sidang pengadilan.
c) Melaksanakan penetapan hakim.
d) Melaksanakan upaya hukum lain dan upaya hukum luar biasa.

10
BAB III
PENUTUP

1.1 Kesimpulan
1. Koneksitas adalah suatu perkara tindak pidana yang dilakukan anggota sipil secara
bersama-sama dengan anggota militer yang berbeda lingkungan peradilannya
(jurisdiksi peradilannya), diperiksa dan diadili dalam lingkungan peradilan umum,
kecuali menurut keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan
Menteri Kehakiman perkara tersebut harus diperiksa dan diadili oleh peradilan militer.
Dalam kehidupan ketatanegaraan, nampak perubahan yang mendasar tentang
penyelenggaraan kehakiman yaitu, dahulu penyelenggaraan kehakiman dilakukan oleh
Menteri Kehakiman yang memegang pimpinan Departemen Kehakiman, dan dengan
berlakunya Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman,
penyelenggara kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung, dan badan
peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh Mahkamah
Konstitusi. Perkara koneksitas dimulai dengan proses penyidikan (Pasal 89 KUHAP),
penentuan pengadilan yang berwenang mengadili perkara koneksitas oleh Jaksa atau
Jaksa Tinggi dan Oditur Militer atau Oditur Militer Jenderal (Pasal 90 KUHAP), lalu
masuk ke tahap penuntutan, dan terakhir penentuan Majelis Hakim yang mengadili
perkara koneksitas tergantung perkara koneksitas tersebut diadili dalam peradilan
umum atau peradilan militer (Pasal 94 KUHAP).
2. Proses penanganan perkara koneksitas dalam tindak pidana umum dengan pidana
korupsi terdapat perbedaan di posisi penyidiknya. Dalam tindak pidana umum yang
menjadi penyidik dalam perkara koneksitas tersebut adalah Polisi, sedangkan dalam
tindak pidana korupsi yang menjadi penyidik dalam perkara koneksitas adalah Jaksa.
Dalam perkara Penyalahgunaan Dana Tabungan Wajib Perumahan Tentara Nasional
Republik Indonesia Angkatan Darat sebagian telah dilaksanakan sesuai hukum acara
pidana yang berlaku (KUHAP) dalam rangka penegakan hukum khususnya yaitu telah
diatur cara penentuan pengadilan yang mengadilinya yaitu Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan melalui prosedur penelitian bersama antara Jaksa dan Oditur Militer Jenderal
atas hasil penyidikan perkaranya (Pasal 90 KUHAP). Begitu juga pembentukan majelis
hakim yang terdiri dari 3 orang yang berasal dari unsur hakim Pengadilan Negeri

11
Jakarta Selatan 2 orang dan unsur Hakim Mahkamah Militer 1 orang (Pasal 94
KUHAP). Namun dalam hal pembentukan tim penyidik, pembentukannya tidak
berdasarkan KUHAP yaitu dengan Surat Keputusan Menhankam dan Menteri
Kehakiman. Dalam kasus tersebut pembentukan tim penyidik berdasarkan Surat
Keputusan Jaksa Agung.

3.2 Rekomendasi
1. Beberapa ketentuan dalam KUHAP tentang koneksitas perlu ditinjau kembali
khususnya dalam pembentukan tim penyidik (Pasal 89 ayat (2) KUHAP) karena tidak
sesuai lagi dengan perkembangan struktur pemerintahan dan perkembangan hukum
seperti dalam pembentukan tim penyidik harus didasarkan Surat Keputusan Bersama
Menhankam dan Menteri Kehakiman yang sekarang sudah diganti dengan Menteri
Hukum dan HAM yang mempunyai tugas dan wewenang yang berbeda.
2. Perlu aparat penyidik, Jaksa Penuntut Umum, dan hakim majelis yang profesional,
memiliki integritas kepribadian atau moral yang baik, dan disiplin yang tinggi dalam
menangani perkara koneksitas tindak pidana korupsi, karena tindak pidana korupsi
merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime).
3. Perlu kerjasama positif antara Kejaksaan dengan Oditur Militer dalam menangani
perkara koneksitas tindak pidana korupsi.
4. Dalam penanganan perkara koneksitas dalam tindak pidana korupsi, dalam proses
hukumnya harus bebas dari pengaruh politik dan kepentingan-kepentingan
organisasi/lembaga serta dilaksanakan secara objektif.

12
DAFTAR PUSTAKA

Effendy, Marwan. 2010. Peradilan in Absentia dan Koneksitas. Jakarta: Timpani Publishing.

Hamzah, Andi. 1985. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Hamzah, Andi. 1994. Pelaksanaan Peradilan Pidana Berdasarkan Teori dan Praktek.
Jakarta: Rineke Cipta.

Lamintang, P. A. F. 1984. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Dengan


Pembahasan Secara Yuridis Menurut Yurispudensi dan Ilmu Pengetahuan Hukum
Pidana. Bandung: Sinar Baru.

Ngani, Nico, I Nyoman Budi Jaya, Hasan Madani. 1985. Mengenal Hukum Acara Pidana,
Seri 3. Yogyakarta: Liberty.

Republik Indonesia. 1970. Undang-Undang tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan


Kehakiman, UU No. 14, LN No. 74 Tahun 1970, TLN No. 2951.

Republik Indonesia. 1981. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana.

Sianturi S. R. 1986. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta.

13

Anda mungkin juga menyukai