2
3
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan atas rahmat dan berkat
penyertaan-Nya yang sungguh penulis rasakan selama proses penulisan skripsi ini.
Penulis bersyukur karena telah diberi kesehatan dan kekuatan oleh Tuhan, sehingga
Skripsi ini ditulis untuk memenuhi persyaratan akademis dalam memperoleh gelar
sarjana Strata Satu (S-1) Filsafat pada Fakultas Filsafat Universitas Katolik Santo
Paulus II dalam keempat ajaran sosialnya terkait dimensi politis Gereja dalam skripsi
ini. Penulis berharap bahwa penulis sendiri dan juga setiap orang yang sudi membaca
skripsi ini semakin memahami bahwa Gereja turut ambil bagian dalam usaha
Penulis menghaturkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
mengarahkan, membantu, dan mendukung penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Oleh
1. Raidin Sinaga, Lic. S.Th., selaku pembimbing utama yang dengan penuh kesabaran
skripsi ini.
2. Alfonsus Ara, Lic. S.Th., sebagai pembimbing pendamping yang telah bersedia
mengoreksi dengan teliti dan memberi masukan agar skripsi ini menjadi lebih baik.
ii
Utara, yang telah membekali penulis dengan berbagai disiplin ilmu demi
Filsafat ini.
6. Ibu Marta Sembiring, Bapak Surahmin dan Ibu Siti Nella Manullang (petugas
perpustakaan dan Foto copy STFT St. Yohanes-Pematangsiantar), yang dengan sabar
melayani penulis dalam melengkapi sumber bacaan serta pihak Sekretariat yang
Akhirnya, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, penulis dengan rendah hati menerima segala koreksi, kritik, dan saran yang
Penulis
Silferius Hulu
iii
ABSTRAK
Gereja terlibat dalam politik untuk meneruskan perjuangan Yesus, yakni membela
kaum miskin dan tertindas secara universal. Dimensi politis Gereja itu tertuang dalam
dokumen Konsili Vatikan II. Paus Yohanes Paulus II telah mengeluarkan empat
dokumen berkaitan dengan usaha politis Gereja. Empat dokumen tersebut ialah
Annus.
politis Gereja yakni berada di pihak manusia dan membela kehidupan umat manusia.
Dia menegaskan bahwa Gereja tidak menganut sistem politik tertentu, tetapi Gereja
hidup manusia. Gereja menyumbangkan ide sosial politik, yakni melindungi martabat
manusia, memajukan hak asasi manusia, dan menciptakan kesejahteraan umum (bonum
commune). Gereja tidak membentuk jurang antara yang miskin dan kaya, antara yang
tertindas dan menindas. Gereja menjadi Sakramen Keselamatan Allah bagi semua
orang.
iv
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
3. Tujuan Penulisan............................................................................................6
1. Pengantar .......................................................................................................8
3.3.2 Gereja dan Politik dalam Masyarakat yang sedang Membangun ...22
4. Rangkuman .................................................................................................25
v
1. Pengantar ....................................................................................................27
3. Dimensi Politis Gereja Menurut Ajaran Sosial Paus Yohanes Paulus II ....31
5.2.3 Hak untuk Menolak atas Dasar Pertimbangan Suara Hati ............50
6. Rangkuman .................................................................................................54
BAB IV PENUTUP
1. Pengantar ....................................................................................................56
3. Keunggulan dan Telaah Kritis Ajaran Sosial Paus Yohanes Paulus II........59
3.2 Telaah Kritis terhadap Ajaran Sosial Paus Yohanes Paulus II ..............61
BAB I
PENDAHULUAN
kaum miskin dan tertindas secara universal. Gereja tidak mau menuntut kebenaran dan
keadilan hanya bagi dirinya sendiri, tetapi juga bagi semua orang. Perjuangan Gereja
Namun, patut diingat bahwa implikasi-implikasi politis yang dihadapi oleh Gereja tidak
1
Panggilan Gereja mempunyai dua arah: ke luar dan ke dalam. Pertama, ke luar Gereja berarti
Umat Allah dipanggil untuk memancarkan terang Kerajaan Allah ke segala ujung bumi, secara khusus ke
tengah masyarakat. Kerajaan Allah itu adalah kerajaan cinta kasih, keadilan dan keselamatan. Umat Allah
dipanggil untuk memaklumkan kabar gembira dan menghadirkan keselamatan Allah dalam Kristus
Yesus. Kedua, ke dalam Gereja berarti umat Allah membangun persatuan dan solidaritas dengan saling
mendukung dalam ikatan cinta kasih. Dua arah panggilan Gereja ini saling berkaitan. Dalam
memancarkan Kerajaan kasih sayang Allah ke dalam masyarakat, Umat Allah membangun persatuan
dalam cinta kasih serta memperkuat dirinya untuk memancarkan kasih sayang Allah ke dalam
masyarakat. [Lihat Franz Magnis-Suseno, Menjadi Saksi Kristus di tengah Masyarakat Majemuk
(Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 44-45.]
2
Implikasi politis adalah suatu bentuk keterlibatan dan keputusan yang berorientasi pada
masyarakat sebagai keseluruhan. Sebuah keputusan dikatakan bersifat politis apabila keputusan itu
menyangkut masyarakat sebagai keseluruhan. [Lihat Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip
Moral Dasar Kenegaraan Modern (Jakarta: PT. Gramedia, 1988), hlm. 19.]
2
mengakibatkan Gereja menjadi badan politik. Gereja tetap merupakan realitas insani
yang mengarah kepada realitas rohani. Sebagai realitas insani-rohani, Gereja menerima
panggilan untuk berpihak pada kesejahteraan insani dan rohani setiap orang, sebagai
dan tidak bisa mengelak dari kewajiban membela kebenaran dan keadilan.4
Keterlibatan Gereja di dalam bidang politik terjadi bukan karena Gereja mau
masyarakat. Gereja menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan bukan dalam kebencian
dan usaha untuk menggulingkan suatu sistem, melainkan untuk melawan kejahatan
dinyatakan oleh Konsili Vatikan II.6 Tugas dasar Gereja dalam bidang politik ini
3
Umat Allah menunjuk pada persatuan dan kesamaan dasariah semua anggota Gereja berkat
iman dan baptisan yang sama. Hal ini menandakan tugas, tanggung jawab, dan keterlibatan semua
anggota. [Lihat Adolf Heuken, Ensiklopedi Gereja, Jilid V Tr-Z (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka,
1995), hlm. 37.]; Umat Allah mengambil bagian dalam tugas imami, kenabian, dan rajawi Kristus untuk
menjalankan tugas perutusan yang dipercayakan Allah untuk dilaksanakan di dunia. [Lihat Kitab Hukum
Kanonik 1983 (Codex Iuris Canonici 1983), Edisi Resmi Bahasa Indonesia, diterjemahkan oleh
Sekretariat KWI (Jakarta: KWI, 2006), Kan. 204, § 1.] Untuk kutipan selanjutnya akan disingkat dengan
Kan jika satu nomor dan Kann jika lebih dari satu nomor, diikuti nomor kanon.
4
R. Sebastian, “Sikap Kaum Religius terhadap Politik”, dalam Eduard R. Dopo (ed.),
Keprihatinan Sosial Gereja (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hlm. 152.
5
R. Sebastian, “Sikap …”, hlm. 153.
6
Konsili Vatikan II menegaskan bahwa tanggung jawab politik merupakan bagian dari
perutusan Para Rasul dan para pengganti mereka untuk mewartakan Kristus Penebus dunia kepada
masyarakat. Gereja juga mengajak kaum mudanya untuk mempelajari dan mengembangkan pengetahuan
politiknya bagi kepentingan manusia. Keterlibatan di dalam dunia politik disadari oleh Gereja sebagai
panggilan yang khas kaum awam Katolik di dalam kehidupan bernegara. Menyadari hal ini, Gereja
menekankan bahwa kesejahteraan umum adalah tujuan utama dari pengabdian umat beriman di dalam
3
ditentukan oleh tiga alasan. Pertama, Gereja Katolik dengan jelas dan tegas mendukung
dan memperjuangkan hak-hak asasi manusia. Kedua, Gereja Katolik secara resmi dan
jelas menerima otonomi dunia dan masyarakat modern.7 Karena kedua alasan ini,
Gereja di satu pihak turut berperan penting dalam hidup masyarakat pluralistik, dan di
lain pihak dia memperoleh kaidah-kaidah yang cukup jelas tentang apa yang dapat dan
apa yang tidak dapat dilakukan dalam bidang politik. Alasan yang ketiga adalah
kesadaran akan kewajiban total Gereja untuk berpihak pada orang-orang lemah, miskin
dan tertindas.8
jelas diungkapkan oleh Paus Yohanes Paulus II. Beliau mengatakan bahwa Gereja
keterlibatannya dalam bidang politik. Gereja mengemban suatu tugas normatif untuk
moral yang diyakininya dapat menjadi landasan bagi perwujudan kesejahteraan umum. 9
kehidupan bernegara. [Lihat Konsili Vatikan II, “Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa
ini” (GS), dalam Dokumen Konsili Vatikan II, diterjemahkan oleh R. Hardawiryana (Jakarta:
Dokumentasi dan Penerangan KWI – Obor, 2012), no. 75-76.] Untuk kutipan selanjutnya, konstitusi ini
akan ditulis GS dan diikuti oleh nomor yang ditunjuk.
7
GS, no. 36.
8
Franz Magnis-Suseno, Menjadi …, hlm. 178-179.
9
Paus Yohanes Paulus II, Ensiklik Sollicitudo Rei Socialis (Keprihatinan akan Masalah Sosial)
(Seri Dokumentasi Gerejawi no. 3), diterjemahkan oleh P. Turang (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan
Penerangan KWI, 1988), no. 1. Untuk kutipan selanjutnya, Ensiklik ini akan ditulis SRS dan diikuti oleh
nomor yang ditunjuk.
4
Paus Yohanes Paulus II melihat dimensi politis Gereja dalam kaitannya dengan
paham martabat manusia, kesejahteraan umum, dan tuntutan solidaritas dengan orang-
orang miskin dan lemah.10 Dengan tegas dia menyuarakan martabat manusia dan
solidaritasnya dengan orang-orang lemah, dan dengan suara lantang mengeritik segala
sosial sebuah elit korup yang hanya bertujuan meraup keuntungan bagi dirinya sendiri.11
menggali pemikiran Yohanes Paulus II dalam ajaran sosialnya. Ketajaman cara berpikir
Yohanes Paulus II, secara khusus dalam mengembalikan wajah politik kepada keadaan
sebenarnya, menurut penulis sangat relevan dengan kondisi politik sekarang yang
masyarakat. Kesejahteraan umum dibutuhkan oleh semua orang untuk dapat hidup
layak. Akan tetapi, politik sering dimaknai secara negatif. Politik dipenuhi dengan
keburukan, penuh persaingan tidak sehat, pertentangan dan perpecahan, serta dijadikan
sebagai alat untuk kepentingan diri sendiri atau kelompok. Kebaikan umum yang
10
Bdk. SRS, no. 41.
11
Franz Magnis-Suseno, Menjadi …, hlm. 180.
5
saingan. Di sini diperlihatkan adanya keakuan manusia, yakni saling menjatuhkan dan
kekuasaan dengan cara menindas orang miskin, lemah, dan tidak berdaya di tengah
masyarakat.12 Oleh karena itu, paus mendesak agama-agama, lembaga sosial, politik,
dan ekonomi bergerak untuk senantiasa membela pribadi manusia, kehidupannya dan
keutuhan mendalam hidup yang dimilikinya. Paus mengakui bahwa hal ini bukanlah
dan keadilan. Keterlibatan Gereja dalam bidang politik didasarkan atas inti pewartaan
iman Kristiani, yakni pewartaan akan kabar pembebasan di dalam diri Yesus Kristus
masuk dan menyatu di dalam situasi nyata yang dialami oleh manusia. Melalui
persekutuan dengan Allah dan sesama. Oleh karena itulah, skripsi ini diberi judul
Gereja dan Politik: Dimensi Politis Gereja dalam Ajaran Sosial Paus Yohanes
Paulus II.
12
T. Krispurwana Cahyadi, Yohanes Paulus II: Gereja, Teologi, dan Kehidupan (Bogor: Grafika
Mardi Yuana, 2012), hlm. 301.
13
T. Krispurwana Cahyadi, Yohanes …, hlm. 54.
6
3. Tujuan Penulisan
tuntutan akademis guna menyelesaikan program Strata Satu (S-1) pada Fakultas
Filsafat, Universitas Katolik St. Thomas Sumatera Utara. Kedua, untuk melihat dimensi
politis Gereja dalam kehidupan politik seturut ajaran sosial Paus Yohanes Paulus II.
Ketiga, untuk memberi sumbangan yang berguna bagi para pembaca dalam hal politik
dan implikasi yang menyertainya. Dengan demikian diharapkan muncul perhatian yang
4. Metode Penulisan
Yohanes Paulus II serta sumber-sumber buku lain yang membahas tentang dimensi
akan menguraikan buah pemikiran tersebut menjadi sebuah skripsi dengan berpedoman
pada Pedoman Penulisan Skripsi. Di samping itu, penulis juga menggunakan metode
konsultasi dengan dosen pembimbing skripsi untuk memahami secara mendalam isi
5. Sistematika Penyajian
Skripsi ini terdiri dari empat bab. Bab I, Pendahuluan, berisi latar belakang
pemilihan tema, perumusan dan pembatasan tema, tujuan penulisan, metode penulisan
Dalam Bab II dipaparkan secara singkat riwayat hidup Paus Yohanes Paulus II.
Selanjutnya akan dipaparkan pengertian Gereja dan politik dengan melihat hubungan
keduanya dalam tradisi Gereja dan dalam masyarakat yang sedang membangun. Bab ini
Bab III merupakan inti skripsi. Pertama-tama akan dibahas keterlibatan Gereja
dalam politik. Kemudian akan dibahas ajaran-ajaran sosial Paus Yohanes Paulus II
berkaitan dengan politik. Selanjutnya, penulis akan memaparkan etika politik Gereja.
Kemudian dipaparkan paguyuban dan otoritas politik. Bab ini ditutup dengan
rangkuman.
rangkuman umum dari semua pembahasan skripsi ini. Di dalam bab ini disertakan juga
keunggulan dan telaah kritis terhadap pemikiran Paus Yohanes Paulus II. Dan terakhir,
penulis membuat relevansi pemikiran Paus Yohanes Paulus II terhadap politik dewasa
ini.
8
BAB II
1. Pengantar
bahasan skripsi ini. Dalam bab II ini, penulis akan memaparkan riwayat hidup Paus
Yohanes Paulus II, pengertian Gereja dan politik. Bab ini akan ditutup dengan
rangkuman.
Paus Yohanes Paulus II lahir pada tanggal 18 Mei 1920 di Wadowice, Polandia
Selatan. Dia memiliki nama kecil Karol Josef Wojtyła. Dia adalah anak ketiga dari tiga
14
Anak pertama adalah seorang laki-laki bernama Edmud, lahir pada tahun 1906 dan meninggal
pada tanggal 5 Desember 1932, akibat epidemi demam berdarah. Anak kedua adalah seorang perempuan
9
Dia dibaptis oleh Pastor Franciszck Zak pada tanggal 20 Juni 1920, di Wadowice.
Bapak dan ibu baptisnya adalah Josef Kuczimierczyk dan Maria Wiadrowska.17
Karol Josef Wojtyła menggeluti dunia teater pada usia 14 tahun. Dunia ini
temannya sebagai sang komunikator. Selain menggeluti dunia teater, dia juga sangat
Krakow. Dia memilih jurusan seni sastra dan drama. Buku pertama kumpulan puisinya
diterbitkan pada bulan Maret 1946 yang diberi judul Song of the Hidden God.19
Karol Josef Wojtyła menerima tahbisan imamat pada tanggal 1 November 1946,
di Katedral Wawel, Krakow. Misa perdana imam baru ini diselenggarakan pada tanggal
2 November 1946. Pada usia 26 tahun, Kardinal Sapieha menyuruh dia belajar di
bernama Olga, lahir dan meninggal pada tahun 1914. [Lihat Trias Kuncahyono, Paus Yohanes Paulus II:
Musafir dari Polandia (Jakarta: Kompas, 2005), hlm. 41-42.]
15
Karol Wojtyla adalah seorang kapten di dalam dinas ketentaraan Polandia. Dia membentuk
kepribadian Karol Josef Wojtyła dalam kedisplinan yang ketat dan juga menanamkan cinta pada
kebudayaan dan filsafat. [Lihat PSPS – KAM, “Mengenal Pribadi Yohanes Paulus II”, dalam PSPS –
KAM, Selamat Datang Sri Paus Yohanes Paulus II (Medan: Seksi Dokumentasi dan Publikasi Panitia
Penyambutan Sri Paus, 1989), hlm. 9.]
16
Emilia Kaczorowska adalah seorang guru. Dia mengajari Karol Josef Wojtyła bagaimana
membuat tanda salib dan mengajaknya untuk membaca Kitab Suci. Dia meninggal pada tanggal 13 April
1929 ketika Karol Josef Wojtyła berusia delapan tahun. [Lihat Trias Kuncahyono, Paus …, hlm. 43.]
17
Trias Kuncahyono, Paus …, hlm. 41.
18
Trias Kuncahyono, Paus …, hlm. 51.
19
Trias Kuncahyono, Paus …, hlm. 60.
10
Universitas Angelicum,20 Roma. Dia memperoleh gelar doktor di bidang etika pada
tanggal 30 April 1948. Pada tanggal 16 Desember 1948 dia meraih gelar doktor teologi
di Universitas Jagiellonian.21 Selanjutnya, dia diangkat menjadi dosen pada tahun 1953,
lektor dan mahaguru etika pada tahun 1954 di Universitas Katolik Lublin, sebuah
Pada tanggal 4 Juli 1958 Karol Josef Wojtyła diangkat menjadi uskup auksilier23
di Keuskupan Agung Dioses Krakow oleh Paus Pius XII, dibawah pimpinan uskup
Agung Eugniusz Baziak. Saat itu, dia berusia 38 tahun dan menjadi uskup termuda di
September 1958 di Katedral Wawel, Krakow.24 Dia memiliki moto tahbisan uskup
Sepeninggal uskup Agung Eugniusz Baziak pada bulan Juni 1962, Paus Paulus
VI mengangkat Karol Josef Wojtyła menjadi uskup Agung Krakow pada tanggal 3
20
Selama belajar di Universitas Angelicum, Karol Josef Wojtyła sangat dipengaruhi oleh
pandangan seorang penyair dan mistikus Spanyol Yohanes dari Salib. Dia sangat menyukai petikan kata-
kata Yohanes dari Salib, yakni: “Untuk sampai pada apa yang tidak kamu ketahui, kamu harus melewati
suatu jalan, yaitu jalan ketidaktahuan. Untuk mempunyai apa yang kamu tidak punyai kamu harus
mengabaikan jalan pemilikan. Untuk sampai pada tempatmu yang tinggi kamu harus melewati jalan di
mana kamu tidak berarti apa-apa.” [Lihat PSPS – KAM, “Mengenal …”, hlm. 13.]
21
Trias Kuncahyono, Paus …, hlm. 60-61.
22
Adolf Heuken, Ensiklopedi …, hlm. 139.
23
Uskup auksilier adalah uskup yang mendampingi uskup diosesan dalam seluruh
kepemimpinan keuskupan dan mewakili uskup diosesan jika ia tidak ada atau terhalang. Namun bila
terjadi tahta lowong, uskup auksilier tidak secara otomatis menggantikan uskup diosesan. [Kann. 403, §
1-2; 405, § 2.]
24
Trias Kuncahyono, Paus …, hlm. 62.
25
PSPS – KAM, “Mengenal …”, hlm. 16.
11
Maret 1964.26 Selanjutnya, pada tanggal 28 Juni 1967, dalam usianya yang ke- 47, Paus
Paulus VI mengangkat uskup Agung Krakow ini menjadi kardinal. Dia menerima topi
Serikat, Eropa dan Timur Jauh. Sebagai kardinal, dia mengeritik paham konsumerisme
dan dunia kapitalis yang memandang manusia sekadar alat-alat produksi belaka.28
Pada tanggal 16 Oktober 1978 para kardinal yang berkumpul di Vatikan secara
aklamasi memilih Kardinal Karol Josef Wojtyła menjadi Paus Gereja Katolik yang ke-
262, menggantikan Paus Yohanes Paulus I, yang hanya 33 hari menduduki tahta St.
Petrus. Dia memilih nama Yohanes Paulus II dan menjadi paus non-Italia pertama
Paus Yohanes Paulus II wafat pada tanggal 2 April 2005 dalam usia 85 tahun,
pukul 21.37 waktu setempat. Misa pemakamannya dipimpin oleh Kardinal Ratzinger
26
Uskup Agung Karol Josef Wojtyła mengikuti semua sidang Konsili Vatikan II (1962-1965)
dan turut menyumbangkan gagasannya pada penyusunan Konstitusi Pastoral Gereja dalam Dunia Modern
(Gaudium et Spes). Selain itu, dia juga menyumbang pemikirannya pada deklarasi tentang Kebebasan
Beragama (Dignitatis Humanae) dan dekrit tentang Upaya-upaya Komunikasi Sosial (Inter Mirifica).
[Lihat Adolf Heuken, Ensiklopedi …, hlm. 139.]
27
Trias Kuncahyono, Paus …, hlm. 62.
28
PSPS – KAM, “Mengenal …”, hlm. 20.
29
Kathryn Spink, Yohanes Paulus II: Butir-butir Nilai Kerohanian (judul asli: The Thins of the
Spirit), diterjemahkan oleh Marcel Beding (Jakarta: Biro Nasional Karya Kepausan Indonesia, 1989),
hlm. 10.
12
pada tanggal 8 April 2005 dengan dihadiri oleh ribuan orang. Banyak orang
Tujuh belas hari setelah meninggalnya Paus Yohanes Paulus II, para kardinal
Ratzinger sebagai paus dengan nama Benediktus XVI. Pada tanggal 19 Desember 2009,
Paus Benediktus XVI menandatangani sebuah dekret yang memuat catatan tentang
keutamaan hidup Paus Yohanes Paulus II sebagai orang yang dihormati. Kebenaran
mukjizat kesembuhan yang dialami oleh Sr. Marie Pierre Simon dari penyakit
Pada tanggal 29 April 2011, peti Paus Yohanes Paulus II digali dan dipindahkan
dari gua di bawah Basilika Santo Petrus ke monumen batu marmer di Kapel Santo
Sebastian, Pier Paolo Christofari. Pada tanggal 1 Mei 2011, Paus Benediktus XVI
menyatakan Paus Yohanes Paulus II sebagai beato.32 Pada tanggal 5 Juli 2013, Paus
Fransiskus menyetujui kanonisasi Paus Yohanes Paulus II dan Paus Yohanes XXIII.33
Pada tanggal 27 April 2014, Paus Fransiskus mengkanonisasi Paus Yohanes Paulus II
30
Stanislaw Dziwisz, Lebih Jauh bersama Karol Wojtyła (judul asli: A Life with Karol),
diterjemahkan oleh Paula (Malang: Dioma, 2010), hlm. 317-319.
31
Sylvia Marsidi, “Mukjizat Yohanes Paulus II”, dalam Hidup, 18/65 (Mei 2011), hlm. 12.
32
Richard Sinaga, “Beatifikasi Paus Yohanes Paulus II”, dalam Menjemaat, 5/XXXIII (Mei
2011), hlm. 7-8.
33
R.B.E. Agung Nugroho, “Jalan Tol Menuju Kanonisasi”, dalam Hidup, 34/67 (Agustus 2013),
hlm. 8.
13
Penulis telah menguraikan riwayat singkat hidup Paus Yohanes Paulus II.
Berikut ini penulis akan menguraikan pengertian Gereja. Selanjutnya, penulis akan
memaparkan pengertian politik dan hubungan antara Gereja dan politik. Hubungan
antara Gereja dan politik akan diuraikan lagi oleh penulis dengan melihat masalah
tatanan politis dalam Gereja dan dalam masyarakat yang sedang membangun.
Kata “Gereja” berasal dari kata Portugis igreja, yang berasal dari kata Yunani
ekklesia, artinya mereka yang dipanggil. Kata ini merupakan terjemahan dari kata Ibrani
Qahal, yang berarti pertemuan. Kata Qahal menunjuk pada perayaan bersama yang
dibaktikan kepada Allah. Kemudian istilah itu juga bermakna Umat Allah, terutama
pertemuan meriah Umat Allah. Kata Kerk (Belanda) yang serumpun dengan Kirche
(Jerman) berasal dari istilah Kuriakè (Yunani) yang berarti milik Tuhan. Istilah Gereja
dalam bahasa Indonesia mengandung kedua arti itu, dan selanjutnya digunakan juga
Dalam perspektif Kitab Suci dikatakan bahwa asal muasal Gereja adalah
khotbah Yesus Kristus mengenai kedatangan Kerajaan Allah kepada Umat Israel.
34
B.S. Mardiatmaja, Beriman dengan Sadar (Yogyakarta: Kanisius, 1985), hlm. 15-16.
14
Melalui khotbah itu Yesus menegaskan kembali identitas Israel sebagai Umat pilihan
Allah. Namun, ternyata mayoritas umat Israel pada waktu itu menolak seruan Yesus dan
pengutusan dan wafat-Nya dan serta-merta juga memanggil kedua belas suku bangsa
Israel supaya menerima Dia sebagai Almasih atau Penyelamat yang diutus oleh Allah
Menurut Ensiklopedi Gereja Katolik terbaru, Gereja bukan hanya sebagai sarana
keselamatan, tetapi Tubuh Mistik Kristus sendiri yang menampakkan dirinya kepada
dunia, serta membawa penyingkapan Kristus itu ke dalam persekutuan dengan umat
beriman lainnya. Gereja secara jelas menampakkan misteri keselamatan Allah. Gereja
Allah. Dia menjadi sebuah fenomen yang multidimensi: martabat manusia dan
keselamatan, yuridis dan mistik, imanen dan transenden, duniawi dan surgawi.36
Gereja adalah paguyuban umat beriman yang secara hirarkis tersusun. Berkat
iman kepada Yesus Kristus, Gereja mengungkapkan dirinya untuk melayani manusia.37
Gereja menunaikan pelayanan ini demi kesejahteraan umum. Gereja mengalami dirinya
35
Adolf Heuken, Ensiklopedi Gereja, Jilid I A-G (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1991),
hlm. 341.
36
Thomson, New Catholic Encyclopedia, Vol. III Can-Col (USA: The Catholic University of
America Press, 2000), hlm. 580.
37
Konsili Vatikan II, “Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium tentang Gereja” (LG), dalam
Dokumen Konsili Vatikan II, diterjemahkan oleh R. Hardawiryana (Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan
KWI – Obor, 2012), no. 8. Untuk kutipan selanjutnya, konstitusi ini akan ditulis LG dan diikuti oleh
nomor yang ditunjuk.
15
sungguh erat berhubungan dengan umat manusia dan sejarahnya. Gereja menjadi
sakramen persatuan antara Allah dengan manusia dan antara manusia dengan
sesamanya.38
manusia. Dia bukan hanya memiliki makna pada dirinya sendiri. Dia hadir bagi semua
orang. Dia menarik perhatian manusia kepada Allah Penyelamat. Dia membawa
Persekutuan itu dibangun atas dasar iman dan baptisan, yang dipersatukan oleh Kristus.
Menurut Paus Yohanes Paulus II, Gereja adalah Umat Allah, Tubuh Kristus, dan
Sakramen Keselamatan yang dipanggil dan diutus untuk memulihkan kehidupan, agar
manusia kembali hidup di hadapan Allah. Kemuliaan Allah menyata jika manusia
hidup, dan manusia hidup jika memandang Allah dalam diri sesamanya.41 Melalui
definisi ini, Paus Yohanes Paulus II ingin membawa Gereja pada upaya pencarian
38
LG, no. 1.
39
GS, no. 42.
40
Katekismus Gereja Katolik, diterjemahkan oleh Herman Embuiru (Ende: Arnoldus, 1995), no.
789. Untuk kutipan selanjutnya, Katekismus ini akan ditulis KGK dan diikuti oleh nomor yang ditunjuk.
41
T. Krispurwana Cahyadi, Yohanes …, hlm. 55.
16
mendalam akan realitas hidup manusia, untuk mengenali serta merefleksikan karya
Kata politik berasal dari bahasa Yunani, yang kemudian digunakan dalam
berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia. Pada zaman Yunani kuno, negara atau
negara kota disebut polis. Plato memberi judul bukunya politea, dan Aristoteles
politikon. Politik di sini berarti seni mengatur atau mengurus negara dan ilmu tentang
mengambil bagian dalam urusan kenegaraan atau pemerintahan. Pada umumnya, politik
bernegara yang mencakup proses penentuan tujuan, pelaksanaan tujuan dengan segala
Konsensus nasional memiliki dua segi yakni konsensus teleologis dan konsensus
masyarakat itu. Konsensus struktural adalah kesepakatan mengenai sarana, proses dan
42
T. Krispurwana Cahyadi, Yohanes …, hlm. 59.
43
Adolf Heuken, “Politik”, dalam Ensiklopedi Politik Pembangunan Pancasila (Par-Z) (Jakarta:
Yayasan Cipta Loka Caraka, 1984), hlm. 151.
17
prosedur guna mewujudkan nilai, mencapai tujuan serta menyelesaikan masalah yang
mungkin muncul.44
Bandung, mengatakan bahwa politik adalah medan kehidupan publik, dunia bersama,
yang mampu menggabungkan manusia hingga tidak saling menerkam satu sama lain,
melainkan bekerja sama demi kepentingan umum. Ruang gerak kehidupan politik itu
dijaga oleh tiga pranata sosial, antara lain penguasa yang berwibawa, hukum yang adil,
dan arus komunikasi. Ketiga pranata tersebut merupakan ungkapan dan hasrat dari
eksistensi manusia serta penghargaannya atas martabat dirinya dan orang lain. Menurut
Agus, letak seni dari politik adalah mengubah benturan niat menjadi langkah kerjasama
dengan menunjukkan butir-butir yang saling menguntungkan bagi kedua belah pihak.45
bersifat politis apabila dilakukan dalam kerangka acuan yang berorientasi pada
masyarakat luas. Suatu tindakan disebut politis jika seseorang melakukan suatu tindakan
44
Agus Rachmat W., “Landasan Etis Kehidupan Politik”, dalam Bambang Sugiharto dan Agus
Rachmat W., Wajah Baru Etika dan Agama (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm. 47.
45
Agus Rachmat W., “Landasan …”, hlm. 48-49.
46
Franz Magnis-Suseno, Etika Politik …, hlm. 20.
18
Dari berbagai pengertian dan batasan di atas, maka politik dapat didefinisikan
sebagai aspek menyeluruh kegiatan manusia yang bertujuan demi kesejahteraan umum
masyarakat.
umum. Melalui caranya, dia menuntut dan memperjuangkan hak-hak asasi manusia
yang menjadi tujuan luhurnya. Dia mempunyai hak dan kewajiban untuk berpartisipasi
dalam kehidupan umum meski dalam bentuk, tingkat, tugas dan tanggung jawab yang
dan kemanusiaan. Dasar keterlibatan Gereja dalam politik adalah eklesiologi. Gereja
memberikan pedoman dan inspirasi bagi para politis kristiani untuk mewujudnyatakan
imannya dalam politik. Sementara, politik membicarakan tentang suatu bidang yang
menyangkut bidang kemasyarakatan yang dikenal sebagai bidang politis atau urusan
47
Yohanes Paulus II, Melintasi Ambang Pintu Harapan (judul asli: Crossing the Threshold of
Hope), diterjemahkan oleh Penerbit Obor (Jakarta: Obor, 1995), hlm. 245.
48
Franz Magnis-Suseno, Iman dan Hati Nurani: Gereja Berhadapan dengan Tantangan-
tantangan Zaman (Yogyakarta: Kanisius, 2014), hlm. 104.
19
Paus Yohanes Paulus II mengakui bahwa tidak mudah menarik garis antara
kehadiran atau intervensi Gereja di dalam tatanan politis. Penyebab kesukaran tersebut
Iman dan politik memiliki hubungan timbal balik. Alasannya adalah jika iman
dihayati secara koheren, dia akan terungkap di dalam tatanan politis dan tatanan lainnya.
Sementara, politik merupakan salah satu dari bidang-bidang tempat buah-buah iman
harus dibuktikan. Tatanan politis merupakan wadah untuk mengakarkan iman kristiani.
Iman yang tidak terungkap di dalam tatanan politis yang adil adalah iman yang
Gereja bahwa melalui misteri inkarnasi Allah sendiri memasuki sejarah manusia. Allah
49
GS, no. 76.
50
Ricardo Antoncich, Iman dan Keadilan: Ajaran Sosial Gereja dan Praksis Sosial Iman (judul
asli: Christians in the Face of Injustice: a Latin American Reading of Catholic Social Teaching),
diterjemahkan oleh F. Budi Hardiman (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm. 178.
51
Ricardo Antoncich, Iman dan Keadilan …, hlm. 178-179.
20
terlibat dalam seluruh gerak kehidupan manusia. Dia datang dan memberikan daya
Keikutsertaan umat beriman dalam misteri tersebut membawa pada perubahan diri,
menjadi manusia baru, dan mengambil bagian dalam hidup Allah. Manusia menemukan
kembali kebesaran, martabat, dan nilai hidupnya bila mengambil bagian dalam misteri
kecakapan dan efisiensi yang diperlukan, menjadikan Gereja bertindak secara tepat dan
benar. Untuk mencapai ini, dituntut perjuangan dan tekad yang total untuk mengatasi
Sejarah umat manusia dan sejarah penyelamatan merupakan dua macam sejarah
dirinya sendiri. Dia memiliki nilainya hanya dalam rujukan pada pencapaian tujuan-
tujuan tertinggi pribadi serta kesejahteraan umum universal dari segenap ciptaan. Allah
52
Paus Yohanes Paulus II, Ensiklik Redemptoris Hominis (Penebus Umat Manusia) (Seri
Dokumentasi Gerejawi no. 38), diterjemahkan oleh R. Hardawiryana (Jakarta: Departemen Dokumentasi
dan Penerangan KWI, 1994), no. 1. Untuk kutipan selanjutnya, Ensiklik ini akan ditulis RH dan diikuti
oleh nomor yang ditunjuk.
53
T. Krispurwana Cahyadi, Yohanes …, hlm. 70-71.
54
Yohanes Paulus II, Menuju Kesempurnaan Ilahi (judul asli: Celebrate 2000! Reflections on
Jesus, the Holy Spirit, and the Father), diterjemahkan oleh Agus M. Hardjana (Yogyakarta: Kanisius,
1999), hlm. 80.
21
kepenuhannya berkat iman akan Paskah Yesus yang memberi cahaya terang pada
pencapaian kesejahteraan umum yang sejati dari umat manusia. Upaya pribadi dan
Yesus. Berkat Dia, melalui Dia dan dalam Dia, setiap realitas, termasuk masyarakat
Pandangan yang melulu historis dan materialistik akan berujung pada diubahnya
transendental apapun, yakni tanpa alasannya yang paling mendalam untuk berada.55
Tatanan politis telah dianggap sebagai bidang tanggung jawab manusia untuk
taraf tindakan yang dapat disatukan dengan usaha yang tampaknya kontradiktoris yakni
dipersembahkan kepada Allah, negara, dan masyarakat umum. Gereja membuat pilihan-
pilihan politis sesuai dengan kriteria Injil dan menanggapinya dengan tuntutan iman.56
55
Ricardo Antoncich, Iman dan Keadilan …, hlm. 179.
56
Ricardo Antoncich, Iman dan Keadilan …, hlm. 180.
22
Dalam konteks ini, ajaran sosial Gereja menempatkan tugas perutusan Gereja untuk
dan pembangunan umat manusia bukan hanya dalam segi ukuran teknis-material, tetapi
juga dalam kesadaran hati nurani. Dengan demikian, Gereja semakin menjunjung tinggi
martabat hidup manusia dan menjadikan hal tersebut menjadi pedoman kehidupan
tergantung pada situasi politis masing-masing negara. Masalah umum politis yang
dialami oleh umat kristiani adalah perihal sejauh manakah umat kristiani boleh memiliki
politik:
57
T. Krispurwana Cahyadi, Yohanes …, hlm. 103.
58
Ricardo Antoncich, Iman dan Keadilan …, hlm. 181.
59
GS, no. 76.
23
yakni tindakan atas nama Gereja dan tindakan atas tanggung jawab sendiri sebagai
orang Kristen. Atas nama Gereja seorang Katolik hanya dapat bicara dan bertindak
apabila dia ditugaskan oleh Gereja, artinya oleh pimpinan Gerejani yang bersangkutan.
Gereja menerima dan menghargai politik karena hakikat politik itu sendiri.
Dimensi politis Gereja merupakan sebuah bentuk keterlibatan konstitutif umat manusia
yang relevan dalam kehidupan sosialnya. Politik memiliki aspek menyeluruh karena
suatu otonomi tertentu. Gereja mengakui otonomi yang layak dalam tatanan politis.61
Dalam hal ini, Gereja membedakan dua macam arti politik, yakni:
Pertama, dalam arti luas, politik berarti suatu usaha untuk mewujudkan
otonomi dan partisipasi yang sah orang perseorangan dan kelompok-kelompok, dan
kedaulatan nasional dengan koeksistensi dan solidaritas internasional. Selain itu, politik
juga mendefinisikan etika dan sarana-sarana hubungan sosial. Dalam arti yang luas ini,
60
Franz Magnis-Suseno, Beriman dalam Masyarakat: Butir-butir Teologi Kontekstual
(Yogyakarta: Kanisius, 1993), hlm. 138.
61
Bdk. GS, no. 36.
24
politik menyangkut kepentingan Gereja, dan karena itu merupakan suatu bakti Gereja
Kedua, dalam arti sempit, politik merupakan suatu perwujudan konkret tugas
Para politisi bertekad untuk mengejar dan melaksanakan kekuasaan politis agar dapat
menyelesaikan masalah-masalah ekonomi, politik, dan sosial sesuai dengan kriteria dan
ideologi mereka. Di sinilah kaum awam kristiani dapat terlibat aktif dalam politik.63
Masalah pelik yang terjadi di dalam masyarakat yang sedang membangun yang
ini merupakan masalah politis karena melibatkan kesadaran hati nurani manusia. Gereja
sosialnya.64
hal itu tidak berarti Gereja mengusung suatu ideologi tertentu. Gereja tidak
menggunakan iman kristiani sebagai suatu skema atau alat perjuangan sosial politik,
atau hanya ditempatkan sebagai suatu gagasan humanisme belaka. Pendekatan dan cara
kerja Gereja adalah teologi. Gereja mewartakan Injil tidak secara partisan. Menurut
Ajaran Paus, ajaran sosial Gereja memang merupakan suatu refleksi mendalam akan
62
LG, no. 34.
63
Ricardo Antoncich, Iman dan Keadilan …, hlm. 183.
64
Ricardo Antoncich, Iman dan Keadilan …, hlm. 184.
25
realitas kompleks kehidupan. Refleksi tersebut didasarkan pada iman dan tradisi Gereja,
bukan berdasarkan suatu sistem atau kerangka pemikiran ideologis tertentu. Gereja pun
dalam ajarannya tidak menyajikan suatu model tertentu. Tujuannya pun bukan untuk
membangun suatu sistem, melainkan untuk memahami dan memberikan tuntunan bagi
sikap dan tindakan berdasarkan cahaya ajaran Kitab Suci. Dengan demikian,
keberpihakan Gereja akan martabat manusia adalah panggilan Injil dan buah kesadaran
iman.65
4. Rangkuman
Paus Yohanes Paulus II lahir pada tanggal 18 Mei 1920 di Wadowice. Dia
pembebasan manusia dari belenggu penindasan. Dia merefleksikan iman serta panggilan
Gereja yang diutus oleh Kristus ke tengah dunia. Dia menjadi suara iman dan moral di
tengah dunia.
Menurut Paus Yohanes Paulus II, Gereja berada di pihak manusia dan membela
kehidupan umat manusia. Gereja hadir di tengah dunia dan melibatkan dirinya dalam
kehidupan manusia pada arah karya keselamatan Allah, sebagaimana dalam rencana
65
T. Krispurwana Cahyadi, Yohanes …, hlm. 102.
26
memberi kesaksian iman akan Kristus dengan mengambil sikap yang berani dan tindak
dalam dunia politik bukanlah berarti bahwa Gereja menganut suatu sistem politik
tertentu, melainkan suatu bakti Gereja kepada Allah yang menguduskan dan
BAB III
1. Pengantar
Pada bab ini, penulis akan mendeskripsikan gagasan Paus Yohanes Paulus II
keterlibatan Gereja dalam politik. Kemudian, akan dibahas dimensi politis Gereja yang
Rei Socialis, dan Centesimus Annus. Selanjutnya, penulis memaparkan etika politik
Gereja, paguyuban politik, dan otoritas politik. Bagian akhir dari bab ini ditutup dengan
rangkuman.
28
Gereja mengekspresikan dirinya dalam bentuk visi dan misi. Visi dan misi
dibuat dengan tujuan untuk menjaga kontinuitas, kualitas, produktivitas dan kuantitas
kaum beriman kristiani. Untuk menjalankan visi dan misinya, Gereja membutuhkan
seperangkat fungsi yang terorganisir. Struktur fungsional hirarki dan kaum awam,
lembaga institusional.66
Gereja juga menyajikan solusi terhadap sejumlah masalah keagamaan dan organisasi
sosial politik.67
Gereja lahir, hidup, dan berkembang seiring dengan derap sejarah hidup manusia
di dunia ini. Gereja yang serentak ilahi dan insani berada di dalam dunia, 68 menjadi
bagian dari dunia serta terlibat dalam semua sendi kehidupan manusia di dunia ini,
termasuk dalam lingkup politik. Wujud keterlibatan Gereja dalam realitas kehidupan
manusia di dunia, terutama dalam praksis politik yang sudah ada sejak adanya Gereja
66
Antonius Subiyanto Bunyamin, “Reposisi Agama”, dalam Melintas, 20/61 (April – Juli 2004),
hlm. 38-39.
67
Saut Sirait, Politik Kristen di Indonesia: Suatu Tinjauan Etis (Jakarta: BPK Gunung Mulia),
hlm. 73.
68
LG, no. 8.
29
prinsip iman demi terciptanya bonum commune (kesejahteraan umum) di dunia ini.69
dalam dunia. Gereja sebagai persekutuan umat Allah mengandaikan adanya suatu sikap
baru dalam memandang dunia. Bagi dunia Gereja dimaklumkan sebagai tanda dan
menuntut Gereja menjadi bagian dari sejarah dunia dan turut serta mengalami
keterbatasan dan perkembangan dunia secara bertahap melalui berbagai peristiwa yang
Gereja memiliki sifat pastoral dan profetis. Gereja sebagai Umat Allah tidak
hanya menyibukkan diri dalam hal-hal rohani, tetapi juga mesti sungguh-sungguh
terlibat dalam kehidupan masyarakat sebagai hasil dari inkarnasi dan kebangkitan
Kristus. Gereja terlibat dengan menaruh komitmen kepada berbagai kenyataan sosial
dan pokok persoalan manusia, serta terlibat dalam perjuangan manusia demi
pembebasan.71
Paus Yohanes Paulus II, dalam sambutannya kepada peserta pertemuan studi
para ahli hukum di Universitas Lateran, pada tanggal 10 Maret 1984, mengungkapkan
69
Alfonsus Very Ara, “Keterlibatan Kaum Imam dalam Lingkup Politik menurut Konstitusi
Pastoral tentang Gereja di dunia Dewasa ini Gaudium et Spes no. 43”, dalam Warta Keuskupan Sibolga,
30/7 (Mei – Juni 2013), hlm. 27.
70
Errol D’lima, “Menggereja Secara Baru”, dalam Georg Kirchberger dan John Mansford Prior
(ed.), Kibrat Baru bagi Anggur Baru (Ende: Nusa Indah, 2000), hlm. 104-105.
71
Emmanuel Asi, “Mengimpikan Sebuah Model Gereja yang Baru: Gereja Umat”, dalam Georg
Kirchberger dan John Mansford Prior (ed.), Kibrat Baru ..., hlm. 125.
30
bahwa Gereja mendapatkan tugas perutusan dari Kristus untuk mewartakan kebenaran.
Hal ini berarti bahwa kristianitas harus merupakan dasar dan acuan bagi seluruh kajian
dan pertimbangan antropologis, bukan dianggap sebagai alternatif nilai atau pendekatan
karena praktek politik meninggalkan acuan akan kebenaran nilai-nilai moral dan realitas
politis.76
Perubahan pandangan, sikap, dan relasi Gereja terhadap dunia menuntut Umat
Allah untuk terlibat dalam pergerakan hidup dunia dan aneka persoalannya. Gereja
manusia. Gereja turut membangun dan membentuk tata dunia agar menjadi lebih
manusiawi serta bertanggung jawab atas perkara-perkara konkret yang dihadapi oleh
manusia. Gereja dipanggil dan diutus untuk membangun dan menata dunia agar menjadi
72
Egoisme adalah suatu teori yang mengemukakan bahwa segala perbuatan atau tindakan selalu
disebabkan oleh keinginan untuk menguntungkan diri sendiri. [Lihat Departemen Pendidikan Nasional,
Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hlm. 285.]
73
Hedonisme adalah suatu pandangan yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi
sebagai tujuan utama hidup. [Lihat Departemen Pendidikan Nasional, Kamus …, hlm. 394.]
74
Rasisme adalah suatu paham yang memandang bahwa ras diri sendiri adalah ras yang paling
unggul. [Lihat Departemen Pendidikan Nasional, Kamus …, hlm. 933.]
75
Materialisme praktis adalah sebuah pandangan hidup yang mencari dasar segala sesuatu yang
termasuk kehidupan manusia di dalam alam kebendaan semata-mata dengan mengesampingkan segala
sesuatu yang mengatasi alam indera. [Lihat Departemen Pendidikan Nasional, Kamus …, hlm. 723.]
76
T. Krispurwana Cahyadi, Yohanes …, hlm. 115-116.
31
lebih manusiawi. Oleh karena itu, Gereja melibatkan dirinya dalam pergumulan dunia,
Dalam bagian ini, penulis akan memaparkan dimensi politis Gereja menurut
Ajaran Sosial Paus Yohanes Paulus II. Selanjutnya, dimensi politis Gereja itu akan
semakin ditunjukkan dalam etika politik Gereja, yang di dalamnya memuat prinsip-
prinsip dasar dan sikap konkret keterlibatan politis kristiani. Melalui paguyuban politik,
ditulis oleh Paus Yohanes Paulus II pada tahun 1979, dalam tahun pertama masa
menempatkan Kristus sebagai ukuran bagi kehidupan, sehingga segala upaya dan
perkembangan yang ada, baik dalam bidang ekonomi, sosial, politik, dan budaya
diletakkan pada tatanan dan tujuan keselamatan ilahi. Menurut Paus Yohanes Paulus II,
keselamatan, berkat karya penebusan Kristus, umat manusia mengambil bagian dalam
77
Alfonsus Very Ara, “Keterlibatan …”, hlm. 27.
32
dikembalikan kepada keadaan semula, sebagai anak-anak Allah dan dipanggil untuk
Gereja tidak dapat bersikap acuh terhadap apa saja yang melayani kebaikan
manusia. Gereja tidak berhubungan dengan khayalan, tetapi dengan pribadi riil dengan
semua orang dalam kenyataan manusiawi masing-masing. Oleh karena Gereja adalah
penjaga corak transendensi pribadi manusia, maka dia tidak harus menjadi bingung
dengan suatu masyarakat politis ataupun mengikatkan diri pada sistem politik tertentu.79
Gereja tiada henti-hentinya berbicara kepada semua orang dan semua bangsa
bahwa keselamatan itu meresapi dunia dalam berbagai kenyataan ekonomi dan kerja,
berbagai relasi di antara aneka kebudayaan dan bangsa. Sikap Gereja ini ditegaskan oleh
78
T. Krispurwana Cahyadi, Yohanes …, hlm. 49-50.
79
Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi – KWI, Ajaran Sosial Gereja (Jakarta: KWI, 2008),
hlm. 80.
80
RH, no. 15.
33
terhadap kesejahteraan umum. Hak-hak kekuasaan hanya dapat dipahami atas dasar
hormat terhadap hak-hak asasi manusia. Hak asasi manusia itu bersifat obyektif dan
tidak dapat diganggu-gugat. Maka, prinsip penegakan hak asasi manusia merupakan
secara pribadi, kekerabatannya, dan hidup sosialnya. Karena alasan inilah maka Gereja
mengakui tugas hakikinya untuk menjamin agar persekutuan terpelihara dan dibarui. Di
dalam Kristus Tuhan, Gereja menunjukkan dan berjuang untuk menjadi yang pertama
14 September 1981 untuk mengenang sembilan puluh tahun Ensiklik Rerum Novarum,
tahun 1891. Dalam ensiklik ini Paus mengutarakan keprihatinannya atas masalah-
masalah yang ditimbulkan atau berkaitan dengan industrialisasi pada zaman mutakhir
ini. Paus menekankan hal yang sama yang telah dibuat oleh para pendahulunya tentang
peranan Gereja di dalam dunia modern. Dalam ensikliknya ini, Paus tidak ingin
81
RH, no. 17.
82
RH, no. 14.
34
ekonomi, melainkan menunjukkan keprihatinan pada martabat dan hak para pekerja,
mengecam situasi-situasi di mana martabat dan hak-hak asasi manusia diperkosa, dan
tekanan kuat pada keterlibatan manusia dalam dunia kerja dan aktivitas ekonomi.
Menurut Paus, kerja adalah kunci dari persoalan-persoalan sosial dan tanda dasariah
dimensi kehidupan umat manusia di dunia. Persoalan dunia kerja dan kehidupan
ekonomi tidak boleh mereduksi martabat manusia, apalagi menanggalkan aspek etis di
dalamnya. Tanpa nilai etika dan moral, martabat manusia tidak akan mendapatkan
materialisme.86
83
Eddy Kristiyanto, Diskursus Ajaran Sosial Gereja Sejak Leo XIII (Malang: Dioma, 2003),
hlm. 167-168.
84
Kapitalisme adalah suatu sistem dan paham ekonomi yang modalnya bersumber dari modal
pribadi atau modal perusahaan swasta dengan ciri persaingan pasar bebas. [Lihat Departemen
Pendidikan Nasional, Kamus …, hlm. 505.]
85
Ekonomisme adalah suatu paham yang sangat menekankan asas-asas produksi, distribusi dan
pemakaian barang serta modal. [Lihat Departemen Pendidikan Nasional, Kamus …, hlm. 287.]
86
Bdk. Paus Yohanes Paulus II, Ensiklik Laborem Excercens (Dengan Bekerja) (Seri
Dokumentasi Gerejawi no. 39), diterjemahkan oleh R. Hardawiryana (Jakarta: Departemen Dokumentasi
dan Penerangan KWI, 1995), no. 6. Untuk kutipan selanjutnya, Ensiklik ini akan ditulis LE dan diikuti
oleh nomor yang ditunjuk; bdk. juga T. Krispurwana Cahyadi, Yohanes …, hlm. 17.
35
kapitalisme. Dasar kritik Paus adalah komunisme dan kapitalisme merusak jiwa
Yohanes Paulus II, totalitarianisme dalam dunia modern terjadi karena orang menolak
realitas transenden, kenyataan ilahi, dan pemahaman yang salah akan arti dan makna
Paus Yohanes Paulus II membedakan kerja dalam arti objektif dan subjektif.
Dalam arti objektif pekerjaan berarti apa yang dihasilkan dari kerja manusia, yang
terungkap dalam kebudayaan dan peradaban sepanjang zaman, dengan alat-alat dan
teknik yang digunakan oleh manusia.90 Sedangkan pekerjaan dalam arti subyektif
berarti manusia sebagai pelaku dari pekerjaan itu. Dasar dan nilai luhur pekerjaan
adalah manusia. Manusia dipanggil untuk bekerja. Pekerjaan untuk manusia dan bukan
87
Komunisme adalah suatu paham atau ideologi dalam bidang politik yang menganut ajaran
Karl Marx dan Fredrich Engels, yang hendak menghapuskan hak milik perseorangan dan
menggantikannya dengan hak milik bersama yang dikontrol oleh negara. [Lihat Departemen Pendidikan
Nasional, Kamus …, hlm. 585-586.]
88
Totalitarianisme adalah suatu paham yang dianut oleh pemerintahan totaliter dan praktik-
praktik yang mereka laksanakan. [Lihat Departemen Pendidikan Nasional, Kamus …, hlm. 1208.]
89
LE, no. 11; bdk. T. Krispurwana Cahyadi, Yohanes …, hlm. 111.
90
LE, no. 5; bdk. J.B. Banawiratma dan J. MÜller, Berteologi Sosial Lintas Ilmu (Yogyakarta:
Kanisius, 1995), hlm. 209.
36
manusia untuk pekerjaan. Karena itu, manusia tidak pernah boleh dijadikan sarana dan
manusiawi, yakni primat pekerjaan atas modal. Modal yang merupakan kumpulan alat-
alat produksi adalah juga hasil dari pekerjaan manusia. Modal untuk manusia dan bukan
tanggal 30 Desember 1987 dalam rangka ulang tahun ke- 20 ensiklik Populorum
Progressio yang dikeluarkan oleh Paus Paulus VI pada tanggal 26 Maret 1967. Dalam
ensiklik ini, Paus Yohanes Paulus II berbicara tentang solidaritas94 sebagai bagian dari
91
LE, no. 6.
92
LE, no. 12.
93
LE, no. 13.
94
Solidaritas artinya sifat satu rasa; perasaan setia kawan. [Lihat Departemen Pendidikan
Nasional, Kamus …, hlm. 1082.]
37
panggilan ilahi manusia menuju perkembangan hidup yang sesuai dengan martabat
Hal ini ditandai dengan semakin melebarnya jurang antara negara-negara di belahan
Utara yang sudah maju dan negara-negara di belahan Selatan yang masih miskin. Di
semua negara ditemukan perbedaan yang sangat mencolok antara kemakmuran atau
Dunia dibagi dalam dua blok besar, yakni Barat dan Timur. Blok Barat memiliki
kontemporer inilah yang mendorong Paus menegaskan ajaran sosial Gereja yang
baru dipahami dengan tepat bila dilihat juga sebagai masalah politis dan kultural, dan
dengan demikian perkembangan menjadi sebuah tantangan etis. Paus Yohanes Paulus II
95
Eddy Kristiyanto, Diskursus ..., hlm. 181.
96
SRS, no. 14.
97
Kolektivisme adalah suatu paham yang tidak menghendaki adanya hak milik perseorangan,
baik atas modal, tanah, maupun alat produksi; semua harus dijadikan milik bersama, kecuali barang
konsumsi. [Lihat Departemen Pendidikan Nasional, Kamus …, hlm. 581.]
98
SRS, no. 20.
99
SRS, no. 21.
38
yang diterima oleh manusia dari Pencipta. Manusia tidak boleh acuh tak acuh akan
tugas perutusan tersebut. Setiap orang wajib mengusahakannya sebagai wujud dan tanda
Paus Yohanes Paulus II, partai politik tidak dapat dipisahkan dari demokrasi. Melalui
semangat demokrasi, partai politik dapat mencegah segala bentuk pemerintahan yang
masyarakat politis. Paus mengharapkan agar semangat demokrasi ini bertumbuh kuat
dalam tubuh partai politik. Dengan demikian, partai politik bisa berkembang dan
kesejahteraan umum.101
orang miskin. Solidaritas adalah sistem penilaian dan kategori moral dalam membangun
relasi ekonomi, politik, sosial, budaya, dan bahkan relasi antar umat beragama.
Solidaritas adalah tanda kebenaran serta kebajikan kristiani, yang bersumber dari
100
Franz Magnis-Suseno, Beriman ..., hlm. 50-51; bdk. SRS, no. 30.
101
SRS, no. 44.
39
sebagai citra-Nya.102
Paus Yohanes Paulus II mengajak Gereja dewasa ini untuk semakin meneladani
Dewasa ini persoalan sosial telah menjadi persoalan dunia, maka cinta
yang memihak pada kaum miskin, dan keputusan-keputusan yang mengilhami
kita, harus dapat merangkul jumlah yang amat besar orang lapar, orang
berkekurangan, orang yang tak mempunyai rumah, orang yang tanpa perawatan
medik, dan terutama orang yang tiada pengharapan akan suatu masa depan yang
lebih baik. Merupakan suatu keharusan untuk memperhitungkan eksistensi dari
kenyataan-kenyataan ini.103
Melalui ungkapan ini, Paus Yohanes Paulus II menegaskan bahwa Gereja berada di
pihak manusia. Pilihan sikap keberpihakan tersebut memiliki makna panggilan untuk
memulihkan manusia dan kehidupannya kembali pada arah karya keselamatan Allah.
Mei 1991 untuk memperingati seratus tahun Rerum Novarum yang diterbitkan oleh
Paus Leo XIII pada tanggal 15 Mei 1891. Ada tiga keistimewaan ensiklik Paus Yohanes
Paulus II ini. Pertama, Paus menawarkan sebuah tinjauan yang menyeluruh atas
kerangka fundamental kumpulan doktrinal ajaran sosial Gereja. Kedua, Paus membantu
102
T. Krispurwana Cahyadi, Yohanes …, hlm. 35-36.
103
SRS, no. 42.
40
Gereja mencari orientasi dalam situasi dunia pada akhir abad ke- 20 yang ditandai oleh
politik dan memilih pemimpin mereka. Berdasarkan pada pemahaman ini, Gereja
politik. Dalam ensiklik ini, Paus menegaskan bahwa demokrasi yang sejati hanya dapat
diwujudkan dalam negara hukum dan paham yang tepat tentang pribadi manusia.
tidak dipertimbangkan menurut norma keadilan dan moralitas. Hal ini menimbulkan
104
Franz Magnis-Suseno, Beriman ..., hlm. 85-86.
105
Paus Yohanes Paulus II, Ensiklik Centesimus Annus (Ulang Tahun ke Seratus) (Seri
Dokumentasi Gerejawi no. 15), diterjemahkan oleh R. Hardawiryana (Jakarta: Departemen Dokumentasi
dan Penerangan KWI, 1992), no. 46. Untuk kutipan selanjutnya, Ensiklik ini akan ditulis CA dan diikuti
oleh nomor yang ditunjuk.
41
kemerosotan politik dan sikap apatis masyarakat. Akibatnya, partisipasi politik dan
Paus Yohanes Paulus II menegaskan lebih lanjut bahwa ajaran sosial Gereja
pada hakikatnya merupakan partisipasi dalam pelaksanaan rencana Allah untuk setiap
manusia. Sebab, setiap manusia ditampung dalam misteri penebusan Kristus, dan
melalui misteri itu Kristus menyatukan diri-Nya kepada setiap manusia untuk selama-
lamanya.107 Berdasarkan alasan inilah, ajaran sosial Gereja merupakan bagian dari
antropologi teologis, khususnya bagian dari teologi moral. 108 Kebenaran yang
disampaikan oleh ajaran sosial Gereja tidak dapat dipandang sebagai teori melulu,
kesejahteraan umum. Hal itu dinyatakan dalam wujud kasih kepada mereka yang
miskin.109
tujuan politik. Artinya, sebuah demokrasi yang otentik bukanlah sekadar hasil
pelaksanaan formal sebuah aturan, melainkan buah dari pengakuan dan keyakinan akan
nilai-nilai demokrasi. Jadi, martabat pribadi manusia sebagai tujuan dan kriteria dari
kehidupan politik.110
106
CA, no. 47.
107
CA, no. 53.
108
CA, no. 55.
109
T. Krispurwana Cahyadi, Yohanes …, hlm. 101.
110
CA, no. 60.
42
Dimensi politis yang terdapat dalam keempat ensiklik di atas mengajak Gereja
untuk membela yang lemah, miskin, dan tersingkir. Tanggung jawab ini dilakukan
pelanggaran hak asasi manusia, dan menegakan keadilan dan kebenaran. Dalam hal
tanggung jawab tersebut, kaum awam terlibat langsung dalam tindak politik praktis ini.
Dengan dibimbing oleh hati nurani, kaum awam memenuhi kewajiban sebagai warga
negara dengan melaksanakan tugas yang tepat memasuki tatanan duniawi dengan nilai-
nilai kristiani. Dengan keterlibatannya, kaum awam menampilkan wajah sosial politik
Gereja.
Gereja mempunyai etika politik. Gereja mengembangkan etika politiknya atas dasar
ajaran Yesus. Lewat Yesus semua orang mengalami kuasa dan kasih Allah. Kuasa dan
kasih itu dilaksanakan dengan mengusahakan keadilan dan kebaikan bagi semua orang
dan golongan, menjunjung tinggi martabat manusia dan toleransi, solidaritas dengan
orang-orang lemah, miskin dan tersingkir, berpihak pada kehidupan dan mengutamakan
jalan damai.111
Solusi atas suatu permasalahan menuntut adanya suatu tolok ukur. Tolok ukur
dari etika politik Gereja adalah prinsip-prinsip injili. Prinsip tersebut mengusahakan
111
Franz Magnis-Suseno, Iman ..., hlm. 130-132.
43
bagaimana manusia harus hidup bersama agar martabatnya sebagai anak Allah sesuai
dengan apa yang telah diajarkan oleh Gereja. Paus Yohanes Paulus II mengakui bahwa
namun keduanya melibatkan diri dalam pelayanan kepada manusia dan kesejahteraan
umum.112
Ajaran sosial Gereja memberikan lima prinsip dasar keterlibatan politis kristiani,
antara lain:
ciptaan lainnya karena dia memiliki akal budi, kemauan, suara hati, kebebasan,
tujuan pada dirinya sendiri, dan terarah kepada Allah. Karena itu, setiap orang tidak
112
Komisi Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian, Kompendium Ajaran Sosial Gereja (judul
asli: Pontifical Council for Justice and Peace, Compendium of the Social Doctrine), diterjemahkan oleh
Yosef Maria Florisan, Paul Budi Kleden, Otto Gusti Madung (Ledalero: CV. Titian Galang Printika,
2009), no. 50. Untuk kutipan selanjutnya, kompendium ini akan ditulis ASG dan diikuti oleh nomor yang
ditunjuk; bdk. SRS, no. 8.
113
ASG, no. 419-420.
44
pribadi.
kehidupan masyarakat.
bersedia berkorban demi bangsa dan negara. Solidaritas juga berarti mendahulukan
yang lemah, miskin, dan tak berdaya (prefential option for the poor).
sebagai anggota masyarakat yang turut serta menentukan kelangsungan hidupnya dan
mesti mengilhami kaum awam kristiani dalam kegiatan politik adalah mewujudkan
114
ASG, no. 565.
45
Gereja turut serta mengambil bagian dalam kehidupan politik dan merasakan
bahwa berpolitik adalah suatu panggilan khusus untuk memadukan iman dan moralitas
sebagai dasar dan tujuan rencana konkret. Perpaduan iman dan moralitas menunjuk
pada pemahaman bahwa kekuasaan politik menjamin nilai-nilai luhur hidup masyarakat,
Keterlibatan Gereja di dalam dunia politik disadari sebagai panggilan yang khas
kaum awam di dalam kehidupan bernegara. Menyadari hal ini sebagai panggilan yang
khas, Gereja pun memberi seruan kepada kaum awam beriman kristiani agar mampu
menekankan bahwa kesejahteraan umum adalah tujuan utama dari pengabdian umat
5. Paguyuban Politik
politik adalah Kitab Suci. Kitab Suci memperlihatkan bahwa kekuasaan politik berasal
dari Allah dan merupakan bagian utuh dari tatanan yang Dia ciptakan. Tatanan tersebut
115
ASG, no. 555.
116
Bdk. GS, no. 42.
46
dikenal oleh manusia melalui hati nuraninya dan diwujudkan dalam kehidupan
Pribadi manusia merupakan dasar dan tujuan tatanan kehidupan politik. Berkat
kemampuan akal budinya manusia mampu bertanggung jawab atas keputusannya dan
Politik adalah sebuah realitas yang terpatri dalam kodrat manusia. Melalui paguyuban
dipertanggungjawabkan secara kodrati dan moral. Dari sini Paus Yohanes Paulus II
moral dan tindakan sosial yang semakin dibutuhkan dewasa ini. Paus mengharapkan
agar tindakan solidaritas menjadi sistem penilaian dan kategori moral dalam
memulihkan martabat manusia sebagai citra Allah. Karena itu, dimensi pribadi bagi
117
SRS, no. 39; bdk. juga ASG, no. 383.
118
ASG, no. 384.
47
sesama tidak bisa dipisahkan dari dimensi dasariah jati diri pribadi manusia, yakni
manusia tercapai apabila hak-hak asasi manusia dalam semua dimensi kehidupannya
dibela dan dimajukan. Paham hak asasi manusia merupakan sasaran penting etika
dengan kekuatan-kekuatan politik, sosial, dan ekonomi modern. Gereja melihat dirinya
membela dan memajukan hak asasi manusia. Setiap golongan atau kelompok sosial
tertentu tidak boleh meraup keuntungan istimewa karena hak-hak mereka dilindungi.
Pemerintah harus berusaha melindungi hak-hak asasi manusia secara menyeluruh dan
penuh.121
119
T. Krispurwana Cahyadi, Yohanes …, hlm. 65.
120
Franz Magnis-Suseno, Beriman ..., hlm. 53.
121
ASG, no. 389.
48
rencana Tuhan yang menghendaki agar semua orang membentuk satu keluarga dan
memperlakukan satu sama lain sebagai saudara. Setiap orang diciptakan secitra dengan
Allah dan dipanggil kepada satu tujuan tunggal dan sama yakni Allah sendiri. Di dalam
Allah, semua bangsa saling bersatu. Kesatuan itu bukan hanya karena hubungan
antarpribadi dan bangsa, melainkan lebih pada suatu kesatuan cinta dan persahabatan. 122
Gereja meneliti dan membuka diskusi tentang pelbagai macam konsep otoritas
dengan berpegang teguh pada upaya mempertahankan dan menyuarakan suatu model
122
ASG, no. 390-391.
123
GS, no. 25.
49
yang mendasarkan diri pada kodrat sosial pribadi manusia. Ajaran sosial Gereja
merumuskan otoritas politik sebagai sarana pemberi arah dan koordinasi yang
mengarahkan setiap orang dan kelompok untuk mengikuti aturan dan cara kerja suatu
batas moral dan tata perundang-undangan yang telah ditetapkan secara sah. Berdasarkan
hati nuraninya, setiap warga negara memiliki kewajiban untuk patuh pada otoritas
politik.124
Sollicitudo Rei Socialis. Paus menaruh harapan keyakinannya pada pemerintah yang
diktatoris dan otoriter itu, yakni sistem pemerintahan yang demokratis. Tatanan yang
Otoritas politik berkembang dalam suatu tatanan moral. Asal dan tujuannya
adalah Allah sendiri. Otoritas politik tidak ditentukan oleh faktor-faktor historis dan
124
GS, no. 74.
125
Franz Magnis-Suseno, Beriman ..., hlm. 53; bdk. juga SRS, no. 15, 26, 33, dan 42.
50
sosiologis. Alasannya ialah otoritas politik itu memiliki kaitan erat dengan tujuan
tatanan moral yang mendahului dan mendasarinya. Atas dasar tatanan moral ini otoritas
politik tidak boleh disalahgunakan, melainkan harus ditempatkan pada aturan dan
Otoritas politik bertindak berdasarkan hukum moral. Hukum moral tidak hanya
mengatur tingkah laku manusia, tetapi juga mengatur kesadaran serta kehendak bebas
kata lain, hukum moral mengandaikan adanya kebebasan dalam diri manusia untuk
bertindak sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. Hubungan di antara hukum moral
dan kebebasan manusia adalah kewajiban. Artinya, tindakan manusia sesuai dengan
atas asas ideologi tertentu. Gereja mengabdi pada kebenaran. Kebenaran yang diabdi
oleh Gereja dinyatakan dan diwujudkan dalam dan melalui pribadi Yesus Kristus.
126
ASG, no. 396.
127
Agus Rachmat W., “Dua Pola Moralitas dan Agama”, dalam Wajah ..., hlm. 107.
51
Kebenaran tersebut tidak direduksi dalam suatu sistem filsafat atau kegiatan politis
tertentu. Karena itu, antropologi yang dihidupi oleh Gereja adalah antropologi yang
berdasar pada Injil. Pembebasan yang diwartakan oleh Gereja adalah pembebasan injili,
yakni pembebasan dari dosa dan kejahatan, sehingga umat manusia kembali utuh
Setiap orang memiliki suara hati. Dia memiliki kewajiban untuk memilih yang
baik dan menolak yang jahat. Dia bertindak sesuai dengan kesadaran akan kewajiban
dan tanggung jawabnya. Kesadaran ini disebut dengan suara hati. Maka, kebebasan
suara hati merupakan hak asasi manusia untuk menolak ketaatan terhadap suatu
peraturan atau perintah negara yang bertentangan dengan suara hati. 129 Paus Yohanes
Paulus II menuliskan demikian: “Mereka yang mengajukan keberatan hati nurani harus
dilindungi bukan saja terhadap siksaan-siksaaan atas dasar hukum, melainkan juga
terhadap akibat-akibat negatif mana pun juga pada taraf hukum, tata tertib, finansial dan
profesional.”130
128
CA, no. 46.
129
Franz Magnis-Suseno, Etika Politik …, hlm. 146-147.
130
Paus Yohanes Paulus II, Ensiklik Evangelium Vitae (Injil Kehidupan) (Seri Dokumentasi
Gerejawi no. 41), diterjemahkan oleh R. Hardawiryana (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan
Penerangan KWI, 1996), no. 74.
52
secara kasar bertentangan dengan keadilan, terutama dengan pelanggaran terhadap hak-
hak asasi manusia. Tindakan menentang kekuasaan negara berarti menolak ketaatan
dengan memakai kekerasan. Hak perlawanan ini tidak sama dengan anarkisme.
Anarkisme secara prinsipiil menolak hak eksistensi kekuasaan negara. Sebaliknya, hak
perlawanan mengakui perlu adanya tatanan hukum dan kekuasaan yang berlaku.
mendukung tindakan ketidakadilan yang justru bertentangan dengan citra hukum yang
paling fundamental.131
Ajaran sosial Gereja memberikan lima kriteria praktik hak perlawanan. Pertama,
bahwa menurut pengetahuan yang pasti, hak asasi dilanggar secara kasar dan terus-
menerus. Kedua, bahwa segala cara penyelesaian yang lain sudah ditempuh. Ketiga,
bahwa karena itu tidak timbul kekacauan yang lebih buruk. Keempat, bahwa ada
harapan yang cukup besar akan keberhasilan. Kelima, bahwa menurut pertimbangan
131
Franz Magnis-Suseno, Etika Politik ..., hlm. 157-158.
132
ASG, no. 401.
53
keamanan pribadi, dan memperbaiki sikap terdakwa. Dalam pemberian hukuman ini,
tidak boleh diabaikan martabat dan hak pribadi terdakwa. Hak seorang terdakwa harus
dilindungi oleh para penegak hukum sama seperti hak seorang yang bebas. Hal ini
penyiksaan fisik kepada para terdakwa tidak diperbolehkan. Karena itu, institusi hukum
internasional mengingatkan para hakim dan jaksa untuk memiliki sikap kritis pada
proses peradilan. Tujuannya agar mereka tidak melecehkan hak privasi dan praduga
terdakwa.133
rahmat dan kehendak Allah. Gereja berjuang untuk membangun budaya kehidupan dan
bukan budaya kematian. Membela budaya kehidupan adalah sikap dasar untuk menaati
Allah dan bukan manusia. Segala keputusan dasar akan kehidupan umat manusia tidak
bisa dilepaskan dari hukum kodrati yang melekat dalam diri manusia sebagai ciptaan
Allah. Atas dasar keyakinan inilah, maka Gereja menolak pemberian hukuman mati.134
133
ASG, no. 402-404.
134
ASG, no. 405.
54
6. Rangkuman
hidup dan perutusannya adalah misteri hidup dan karya Kristus. Gereja membawakan
pembebasan yang dinyatakan oleh Gereja adalah perjuangan bagi keadilan dan martabat
hidup manusia.
secara konkret memuat dimensi politis. Paus Yohanes Paulus II tidak menyangkal hal
tersebut. Namun, Paus mengingatkan agar iman tidak digunakan sebagai ideologi,
sekalipun hal itu demi perjuangan kemanusiaan serta keadilan. Paus menyadari bahwa
ajaran iman dan moral yang dia ajarkan mengusung pesan politis.
Paus menerapkan ajaran iman dan moral yang bertujuan demi keselamatan
manusia dalam konteks realitas sosial yang aktual. Ajaran iman dan moral tersebut tidak
terjebak dalam memperjuangkan kepentingan dan kekuasaan. Ajaran itu juga dibuat
untuk mencegah agar tidak terdapat jurang pemisah antara yang miskin dan kaya, antara
Gereja dan negara adalah dua institusi yang masing-masing otonom dalam
Otoritas politik yang dimiliki oleh negara memiliki landasan dan tujuan, yakni untuk
55
menjunjung tinggi pribadi manusia dan bangsa, membela dan memajukan hak asasi
melainkan menempatkannya pada aturan dan tataran praksis, demi mewujudkan dan
BAB IV
PENUTUP
1. Pengantar
Pada bab penutup ini, penulis akan membuat rangkuman umum atas skripsi ini.
Selanjutnya, penulis akan melihat keunggulan dan telaah kritis ajaran sosial Paus
Yohanes Paulus II mengenai dimensi politis Gereja. Terakhir, relevansi ajaran sosial
2. Rangkuman Umum
Gereja turut ambil bagian dalam pergumulan hidup manusia. Kaum beriman
ini mengambil sikap dan tindakan yang tepat hingga menjamin tercapainya bonum
pokok hidup manusia. Dia membangun dan menata dunia agar menjadi lebih
manusiawi.
Gereja dan politik merupakan dua institusi yang berbeda, namun saling
melengkapi. Menurut Paus Yohanes Paulus II, Gereja adalah Umat Allah, Tubuh
Kristus, dan Sakramen Keselamatan, yang dipanggil dan diutus untuk memulihkan
manusia, sehingga kehidupan manusia terarah kepada karya keselamatan Allah. Politik
adalah seni mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Tujuan dari politik
adalah menjamin penghormatan akan hak-hak asasi manusia, martabat manusia sebagai
dan tujuan dari politik. Pribadi manusia menjadi ukuran dari segala perkembangan yang
ada, baik secara ekonomi, politik, sosial, budaya, dan sebagainya. Paus menegaskan hal
melihat adanya kesenjangan antara kaum pemilik modal dan kaum buruh pada masa itu.
ekonomisme. Akibatnya, terjadi ketidakadilan di antara pemilik modal dan kaum buruh.
Kerja tidak lagi dilihat sebagai kodrat dari manusia. Manusia hanya dilihat sebagai
sarana untuk mencapai keuntungan ekonomis. Melihat kenyataan ini, Paus mengecam
terhadap demokrasi serta ekonomi pasar, dalam konteks sebuah solidaritas yang mutlak
diperlukan. Manusia, dalam lingkup konkret sejarah, merupakan hati dan jiwa ajaran
sosial Gereja.
dilihat dalam kerangka perwujudan pelbagai asas ekonomi, hukum sosial dan aturan
politik. Perkembangan manusia yang integral harus ditempatkan dalam rangka tujuan
hidup manusia menuju Allah dan penebusan Kristus. Paus mengangkat perkembangan
masalah sosial dan manusia dalam ensiklik Sollicitudo Rei Socialis dan Centesimus
Annus. Paus mengecam rezim-rezim korup, diktator, dan otoriter. Beliau menghimbau
agar setiap kebijakan politik dibuat dan dijalankan atas dasar partisipasi demokratis.
Dengan demikian, menjadi jelas bahwa satu-satunya legitimisi dasar kekuasaan yang
harus ditata. Salah satu tolok ukur yang digunakan oleh Gereja adalah prinsip-prinsip
injili. Prinsip-prinsip itu antara lain penghormatan dan pengakuan terhadap martabat
manusia, kesejahteraan umum, subsidiaritas, dan solidaritas. Oleh karena itu, Paus
mendorong agar kaum beriman kristiani melibatkan diri dalam kehidupan politik.
Gereja menyadari dirinya sebagai bagian dari masyarakat; dan sebagai anggota
manusia sejati.
Setelah mendalami dengan cermat dan teliti ajaran sosial Paus Yohanes Paulus
II, penulis menemukan keunggulan yang termuat di dalamnya mengenai dimensi politis
Gereja. Berkenaan dengan hal itu, penulis akan memberikan telaah kritis terhadap
Dia berbicara tentang nilai dan norma yang harus dijaga menjadi model tatanan
inspirasi bagi Gereja, negara, dan para politisi. Suara kenabiannya memberi
berada dalam tatanan etis cahaya iman. Dia menegaskan bahwa Gereja tidak
mempunyai model-model untuk ditawarkan, karena bentuk yang sungguh nyata dan
efektif bisa tercapai bila sesuai dengan situasi historis pada zamannya, melalui usaha
penyelesaian masalah riil dalam segi sosial, politis, budaya, dan ekonomis. Gereja
60
membuka diri untuk terlibat dalam persoalan-persoalan yang dialami oleh manusia,
Paus Yohanes Paulus II mengakui bahwa Gereja tidak mempunyai usulan sistem
politis atau ekonomis khas Katolik; tidak ada juga model masyarakat Katolik atau
negara Katolik. Yang dimiliki oleh Katolik adalah tuntutan dan usaha agar tatanan
sosial politik itu sifatnya adil, sesuai dengan martabat manusia, berdasarkan solidaritas
segenap anggota masyarakat, dengan memberi perhatian secara khusus kepada orang-
bahwa penataan yang tepat masyarakat politik hanya mungkin dapat diwujudkan bila
dipahami dalam cahaya iman. Oleh karena itu, masyarakat harus dibangun sedemikian
individu mandiri dan keterikatan setiap orang dalam kebersamaan manusia. Pribadi
135
Franz Magnis-Suseno, “Iman dan Politik”, dalam Eduard R. Dopo (ed.), Keprihatinan Sosial
…, hlm. 35-36; bdk. CA, no. 43.
136
J. MÜller, “Tugas Perutusan Gereja di tengah Masalah-masalah Sosial”, dalam Eduard R.
Dopo (ed.), Keprihatinan Sosial …, hlm. 43; bdk. Franz Magnis-Suseno, Menjadi …, hlm. 117-118;
bdk. juga CA, no. 3.
137
ASG, no. 105; bdk. RH, no. 13-17.
138
CA, no. 46.
139
CA, no. 43.
61
manusia yang mandiri harus bertanggungjawab dalam dan atas kebersamaan di hadapan
hak-hak asasi manusia. Manusia adalah pelaku utama dan sasaran pengembangan,
bukan harta benda dan teknologi. Pribadi manusia tidak boleh dijadikan sebagai sarana
untuk apapun.140 Karena itu, Paus menentang segala pemikiran materialistis dan
ekonomistis.141
Ajaran sosial Paus Yohanes Paulus II belum konkret dan operasional. Beberapa
alasan yang dapat dikemukakan untuk hal tersebut: Pertama, Paus tidak memberikan
mengakui bahwa Gereja tidak mempunyai pandangan tentang sistem ekonomi dan
politik mana yang paling tepat. Ajaran sosial bukanlah merupakan jalan ketiga antara
kapitalisme liberalistik dan kolektivisme Marxis. Ajaran sosial juga bukanlah sebuah
ideologi, melainkan hasil-hasil refleksi tentang realitas yang dialami oleh manusia
bahwa harus dibedakan antara himpunan dengan serikat-serikat kerja. Himpunan sendiri
140
Ricardo Antoncich, Iman dan Keadilan …, hlm. 57-58; bdk. LE, no. 3.
141
LE, no. 7.
142
Eddy Kristiyanto, Diskursus …, hlm. 195-196.
62
Sedangkan serikat-serikat ini tumbuh dari perjuangan kaum buruh untuk melindungi
hak-hak mereka yang adil terhadap kaum usahawan dan pemilik usaha-usaha produksi.
kaum buruh.143
perkembangan manusia itu berjalan mulus tanpa tantangan. Padahal bila dilihat masalah
perkembangan manusia adalah suatu hal yang sangat pelik dan kompleks.
penindasan. Perkembangan yang benar diukur dan terarah pada kenyataan dan tujuan
yang benar pribadi manusia. Dimensi ekonomis diperlukan, namun tidak dibatasi
olehnya.144
kriteria untuk penilaian dan pedoman-pedoman untuk tindakan, yang menjadi titik tolak
untuk memajukan sebuah humanisme yang terpadu dan solider. Oleh karena itu, ajaran
sosial Paus ini merupakan sebuah prioritas pastoral yang sejati, sehingga semua orang
akan memperoleh pencerahan olehnya dan dengan demikian mampu untuk menafsir
143
Eddy Kristiyanto, Diskursus …, hlm. 177-179.
144
J.B. Banawiratma dan J. MÜller, Berteologi …, hlm. 200-203.
63
kenyataan dewasa ini dan mencari cara-cara bertindak yang tepat. Pengajaran dan
Gereja.145
pendekatan yang sistematis guna menemukan berbagai jalan keluar atas segala
persoalan, sehingga penilaian dan keputusan yang diambil sesuai dengan kenyataan.
Prinsip-prinsip dalam ajaran sosial Paus ini saling berkaitan dan menerangi satu sama
lain secara timbal balik, sejauh prinsip-prinsip tersebut merupakan suatu bentuk
ungkapan dari antropologi Kristen, buah-buah pewahyuan cinta kasih Allah untuk
pribadi manusia.146
Sekarang
Pada hakekatnya politik adalah suatu seni menata negara secara nasional dan
konstitusional dalam suatu sistem untuk mencapai tujuan negara, yakni kebaikan umum
atau bonum commune.147 Politik pada hakekatnya merupakan sesuatu yang baik, untuk
145
SRS, no. 41.
146
Franz Magnis-Suseno, Beriman …, hlm. 54-55.
147
Para penguasa politik berkewajiban menghormati hak asasi manusia. Mereka harus
melaksanakan keadilam secara manusiawi, sementara itu menghormati hak tiap orang, terutama hak
keluarga dan hak orang-orang yang berkekurangan. Hak-hak sebagai warga negara dapat dan harus
dijamin sesuai dengan tuntutan kesejahteraan umum. Penguasa-penguasa resmi tidak boleh
membatalkannya tanpa alasan yang benar dan memadai. Pelaksanaan hak-hak politik harus memajukan
kesejahteraan umum bangsa dan masyarakat manusia. Tugas dan tanggungjawab yang diemban dan
64
kebaikan umum. Namun, belakangan ini, politik dipenuhi dengan keburukan, penuh
persaingan tidak sehat, pertentangan dan perpecahan, serta dijadikan sebagai alat untuk
slogan kosong.148
didasarkan pada Kitab Suci dan Tradisi Suci, melainkan harus juga didasarkan pada
fakta dan data sosial masyarakat Indonesia pada semua periode sejarahnya. Untuk saat
ini, Gereja Katolik Indonesia perlu terlibat aktif di dalam wacana maupun program-
program publik, terutama dalam hal-hal yang terkait sangat erat dengan nilai-nilai
untuk mencapai kesejahteraan umum. Kekuasaan politik itu haruslah bersifat mengabdi
yaitu mengabdi kepada kesejahteraan umum dengan tetap mengindahkan nilai martabat
pribadi manusia. Akan tetapi, dalam perwujudan kesejahteraan umum ini, kekuasaan
politik juga mengabdi kepada Allah. Mengapa? Karena, tujuan akhir dari semua warga
dipercayakan itu dijalankan dengan berpegang pada prinsip-prinsip hormat terhadap martabat manusia,
kebebasan, keadilan, solidaritas, subsidiaritas, demokrasi, dan kesetaraan dalam hidup bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Jika prinsip-prinsip ini mampu dijalankan, maka bonum commune akan dialami
oleh banyak orang. [Bdk. KGK, no. 2236.]
148
Reza A.A Wattimena, Perspektif: dari Spiritualitas Hidup sampai dengan Hubungan antar
Bangsa (Yogyakarta: Maharsa, 2017), hlm. 162.
149
Yohanes Maryono, “Keterlibatan Gereja Katolik Indonesia dalam Bidang Politik”, dalam
Jurnal Teologi, 1/2 (November 2012), hlm. 104.
65
negara yang ambil bagian dalam kesejahteraan umum itu adalah kemuliaan Allah. Atas
dasar itulah, Gereja menuntut agar pelaksanaan kekuasaaan politik itu haruslah dalam
batas-batas hukum moral. Itulah yang dituntut oleh Konsili Vatikan II. ”Pelaksanaan
kekuasaan politik, baik dalam masyarakat itu sendiri maupun di lembaga-lembaga yang
mewakili negara, mesti selalu berlangsung dalam batas-batas tatanan moral dan atas
nama kesejahteraan umum yang diartikan secara dinamis, sesuai dengan tata perundang-
penilaian jelas dan eksplisit tentang demokrasi. Gereja menghargai sistem demokrasi
karena membuka wewenang yang luas bagi warga negara untuk berperan serta dalam
ini, Paus menempatkan martabat manusia sebagai dasar dan tujuan dari politik. Sebuah
demokrasi yang otentik bukanlah sekadar hasil pelaksanaan formal sebuah aturan,
melainkan buah dari pengakuan dan keyakinan akan nilai-nilai yang menjadi sumber
ilham prosedur demokrasi. Jadi, martabat pribadi manusia sebagai tujuan dan kriteria
Pada hakikatnya demokrasi itu adalah suatu sistem. Sebagai suatu sistem
demokrasi hanyalah suatu sarana, bukan tujuan. Karena itu, nilai moralnya tidak
150
GS, no. 74.
151
Yohanes Maryono, “Keterlibatan …”, hlm. 105; bdk. CA, no. 46.
66
otomatis, melainkan tergantung pada kesesuaiannya dengan hukum moral yang berlaku
bagi manusia. Dalam hal ini, hukum moral yang dimaksud adalah hukum yang berlaku
dalam Gereja.152
tugas perutusan Gereja. Dari perspektif legitimasi dan motivasi, tugas misioner yang
dijalankan Gereja tidak berasal dari otoritas manusiawi manapun, melainkan dari
otoritas Tuhan. Tugas misioner dijalankan demi manusia di dunia. Tugas tersebut mesti
menyapa dan menjawab keprihatinan manusia pada level hidup nyata. Dengan paham
seperti ini, maka tugas dalam bidang politik berhubungan erat dengan tugas perutusan
Gereja. Dalam kenyataannya, keterlibatan ini jelas bukan monopoli Gereja, karena
institusi-institusi lain pun atau orang per orang juga menaruh perhatian pada masalah
kemanusiaan. Kalau demikian, maka pilihan keterlibatan Gereja harus disertai dengan
keterbukaan untuk bekerja sama dengan siapa saja yang memiliki keprihatinan serta visi
yang sama.153
Semua nilai dan hal-hal duniawi lainnya ada untuk semua manusia demi memenuhi
kebutuhan hidupnya. Nilai keadilan menjadi prinsip dasar. Perlunya nilai keadilan
152
Mateus Mali, Konsep Berpolitik Orang Kristiani (Yogyakarta: Kanisius, 2014), hlm. 154.
153
R. Sebastian, “Sikap ...”, hlm. 151.
67
justru karena martabat manusia yang bebas dan memiliki hak atas kebahagiaan dan hak
harus selalu menjalankan peran kritis untuk menilai dan mengoreksi semua keyakinan
Dalam konteks Indonesia, peranan Ajaran Sosial Paus Yohanes Paulus II sangat
mendorong umat Katolik Indonesia untuk memposisikan diri sebagai umat Katolik
Indonesia dan bukan umat Katolik di Indonesia. Keterlibatan itu tentu saja akan
Indonesia, sehingga pelan-pelan Gereja Katolik dikenal dan diterima baik oleh
Pembumian ini dilakukan dengan usaha karitatif seperti pelayanan di bidang politik,
perusahaan, sekolah, rumah sakit, panti asuhan, dan sebagainya. Keterlibatan Gereja
154
Bdk. GS, no. 42-43.
155
Yohanes Maryono, “Keterlibatan …”, hlm. 115.
68
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Utama
Paus Yohanes Paulus II. Ensiklik Redemptoris Hominis (Penebus Umat Manusia) (Seri
Dokumentasi Gerejawi no. 38). Diterjemahkan oleh R. Hardawiryana. Jakarta:
Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1994.
-------. Ensiklik Laborem Excercens (Dengan Bekerja) (Seri Dokumentasi Gerejawi no.
39). Diterjemahkan oleh R. Hardawiryana. Jakarta: Departemen Dokumentasi
dan Penerangan KWI, 1995.
-------. Ensiklik Sollicitudo Rei Socialis (Keprihatinan akan Masalah Sosial) (Seri
Dokumentasi Gerejawi no. 3). Diterjemahkan oleh P. Turang. Jakarta:
Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1988.
Sumber Pendukung
Antoncich, Ricardo. Iman dan Keadilan: Ajaran Sosial Gereja dan Praksis Sosial Iman
(judul asli: Christians in the Face of Injustice: a Latin American Reading of
Catholic Social Teaching). Diterjemahkan oleh F. Budi Hardiman. Yogyakarta:
Kanisius, 1991.
Banawiratma, J.B. dan Müller, J. Berteologi Sosial Lintas Ilmu. Yogyakarta: Kanisius,
1995.
Cahyadi, T. Krispurwana. Yohanes Paulus II: Gereja, Teologi, dan Kehidupan. Bogor:
Grafika Mardi Yuana, 2012.
Dziwisz, Stanislaw. Lebih Jauh bersama Karol Wojtyła (judul asli: A Life with Karol).
Diterjemahkan oleh Paula. Malang: Dioma, 2010.
Kristiyanto, Eddy. Diskursus Ajaran Sosial Gereja Sejak Leo XIII. Malang: Dioma,
2003.
Kuncahyono, Trias. Paus Yohanes Paulus II: Musafir dari Polandia. Jakarta: Kompas,
2005.
69
Paulus II, Yohanes. Melintasi Ambang Pintu Harapan (judul asli: Crossing the
Threshold of Hope). Diterjemahkan oleh Penerbit Obor. Jakarta: Obor, 1995.
-------. Menuju Kesempurnaan Ilahi (judul asli: Celebrate 2000! Reflections on Jesus,
the Holy Spirit, and the Father). Diterjemahkan oleh Agus M. Hardjana.
Yogyakarta: Kanisius, 1999.
PSPS – KAM, “Mengenal Pribadi Yohanes Paulus II”, dalam PSPS – KAM, Selamat
Datang Sri Paus Yohanes Paulus II. Medan: Seksi Dokumentasi dan Publikasi
Panitia Penyambutan Sri Paus, 1989.
Sirait, Saut. Politik Kristen di Indonesia: Suatu Tinjauan Etis. Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2001.
Spink, Kathryn. Yohanes Paulus II: Butir-butir Nilai Kerohanian (judul asli: The Thins
of the Spirit). Diterjemahkan oleh Marcel Beding. Jakarta: Biro Nasional Karya
Kepausan Indonesia, 1989.
Wattimena, Reza A.A. Perspektif: dari Spiritualitas Hidup sampai dengan Hubungan
antar Bangsa. Yogyakarta: Maharsa, 2017.
Agung Nugroho, R.B.E. “Jalan Tol Menuju Kanonisasi”, dalam Hidup, 34/67 (Agustus
2013), hlm. 8.
Asi, Emmanuel. “Mengimpikan Sebuah Model Gereja yang Baru: Gereja Umat”, dalam
Georg Kirchberger dan John Mansford Prior (ed.). Kirbat Baru bagi Anggur
Baru. Ende: Nusa Indah, 2000, hlm. 125.
70
Bunyamin, Antonius Subiyanto. “Reposisi Agama”, dalam Melintas, 20/61 (April – Juli
2004), hlm. 38-39.
D’lima, Errol. “Menggereja Secara Baru”, dalam Georg Kirchberger dan John Mansford
Prior (ed.). Kirbat Baru bagi Anggur Baru. Ende: Nusa Indah, 2000, hlm. 104-
105.
Heuken, Adolf. Ensiklopedi Gereja, Jilid I A-G. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka,
1991.
-------. Ensiklopedi Gereja, Jilid V Tr-Z. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1995.
Kitab Hukum Kanonik 1983 (Codex Iuris Canonici 1983). Diterjemahkan oleh
Sekretariat KWI. Jakarta: KWI, 2006.
Komisi Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian. Kompendium Ajaran Sosial Gereja
(judul asli: Pontifical Council for Justice and Peace, Compendium of the Social
Doctrine). Diterjemahkan oleh Yosef Maria Florisan, Paul Budi Kleden, Otto
Gusti Madung. Ledalero: CV. Titian Galang Printika, 2009.
Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi – KWI. Ajaran Sosial Gereja. Jakarta: KWI,
2008.
Konsili Vatikan II, “Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium tentang Gereja” (LG), dalam
Dokumen Konsili Vatikan II, diterjemahkan oleh R. Hardawiryana. Jakarta:
Dokumentasi dan Penerangan KWI – Obor, 2012.
-------. “Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa ini” (GS), dalam Dokumen
Konsili Vatikan II. Diterjemahkan oleh R. Hardawiryana. Jakarta: Dokumentasi
dan Penerangan KWI – Obor, 2012.
Marsidi, Sylvia. “Mukjizat Yohanes Paulus II”, dalam Hidup, 18/65 (Mei 2011), hlm.
12.
Maryono, Yohanes. “Keterlibatan Gereja Katolik Indonesia dalam Bidang Politik”,
dalam Jurnal Teologi, 1/2 (November 2012), hlm. 104.
71
Paus Yohanes Paulus II. Ensiklik Evangelium Vitae (Injil Kehidupan) (Seri
Dokumentasi Gerejawi no. 41). Diterjemahkan oleh R. Hardawiryana. Jakarta:
Dokumentasi dan Penerangan KWI – Obor, 1996.
Rachmat W., Agus. “Landasan Etis Kehidupan Politik”, dalam Bambang Sugiharto dan
Agus Rachmat W. Wajah Baru Etika dan Agama. Yogyakarta: Kanisius, 2000,
hlm. 47.
-------. “Dua Pola Moralitas dan Agama”, dalam Bambang Sugiharto dan Agus Rachmat
W. Wajah Baru Etika dan Agama. Yogyakarta: Kanisius, 2000, hlm. 107.
Sinaga, Richard. “Beatifikasi Paus Yohanes Paulus II”, dalam Menjemaat, 5/XXXIII
(Mei 2011), hlm. 7-8.
Thomson. New Catholic Encyclopedia, Vol. III Can-Col. USA: The Catholic University
of America Press, 2000.
Very Ara, Alfonsus. “Keterlibatan Kaum Imam dalam Lingkup Politik Menurut
Konstitusi Pastoral tentang Gereja di dunia Dewasa ini Gaudium et Spes no. 43”,
dalam Warta Keuskupan Sibolga, 30/7 (Mei – Juni 2013), hlm 27.