Anda di halaman 1dari 80

1

2
3
i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan atas rahmat dan berkat

penyertaan-Nya yang sungguh penulis rasakan selama proses penulisan skripsi ini.

Penulis bersyukur karena telah diberi kesehatan dan kekuatan oleh Tuhan, sehingga

skripsi ini dapat selesai tepat pada waktunya.

Skripsi ini ditulis untuk memenuhi persyaratan akademis dalam memperoleh gelar

sarjana Strata Satu (S-1) Filsafat pada Fakultas Filsafat Universitas Katolik Santo

Thomas, Sumatera Utara. Penulis berusaha memaparkan pemahaman Paus Yohanes

Paulus II dalam keempat ajaran sosialnya terkait dimensi politis Gereja dalam skripsi

ini. Penulis berharap bahwa penulis sendiri dan juga setiap orang yang sudi membaca

skripsi ini semakin memahami bahwa Gereja turut ambil bagian dalam usaha

memperjuangkan martabat manusia dan demi terwujudnya kesejahteraan umum.

Penulis menghaturkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah

mengarahkan, membantu, dan mendukung penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Oleh

karena itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Raidin Sinaga, Lic. S.Th., selaku pembimbing utama yang dengan penuh kesabaran

telah berupaya membimbing penulis, memeriksa, mengarahkan dan memperbaiki

skripsi ini.

2. Alfonsus Ara, Lic. S.Th., sebagai pembimbing pendamping yang telah bersedia

mengoreksi dengan teliti dan memberi masukan agar skripsi ini menjadi lebih baik.
ii

3. Semua Dosen Fakultas Filsafat Universitas Katolik St. Thomas, Sumatera

Utara, yang telah membekali penulis dengan berbagai disiplin ilmu demi

perkembangan intelektual penulis.

4. Para Pembina dan Semua Saudara Kapusin di Persaudaraan Kapusin Alverna-

Sinaksak, Persaudaraan Kapusin St. Fransiskus Assisi-Jl. Medan, yang

senantiasa menyemangati dan mendukung penulis.

5. Pater Kustos Kustodia Generalat Kapusin Kepulauan Nias dan Dewan

Penasihatnya, yang memperkenankan penulis menempuh pendidikan di Fakultas

Filsafat ini.

6. Ibu Marta Sembiring, Bapak Surahmin dan Ibu Siti Nella Manullang (petugas

perpustakaan dan Foto copy STFT St. Yohanes-Pematangsiantar), yang dengan sabar

melayani penulis dalam melengkapi sumber bacaan serta pihak Sekretariat yang

setia mengurus administrasi skripsi ini.

7. Orangtua, saudara-saudari, keluarga, sahabat, kenalan dan siapa saja yang

senantiasa mendukung penulis melalui nasihat, doa, dan perhatian.

Akhirnya, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh

karena itu, penulis dengan rendah hati menerima segala koreksi, kritik, dan saran yang

membangun, demi penyempurnaan skripsi ini.

Pematangsiantar, 18 Juli 2017

Penulis

Silferius Hulu
iii

ABSTRAK

Gereja terlibat dalam politik untuk meneruskan perjuangan Yesus, yakni membela

kaum miskin dan tertindas secara universal. Dimensi politis Gereja itu tertuang dalam

dokumen Konsili Vatikan II. Paus Yohanes Paulus II telah mengeluarkan empat

dokumen berkaitan dengan usaha politis Gereja. Empat dokumen tersebut ialah

Redemptoris Hominis, Laborem Excercens, Sollicitudo Rei Socialis, dan Centesimus

Annus.

Paus Yohanes Paulus II gigih memperjuangkan keadilan, perdamaian, maupun

pembebasan manusia dari belenggu penindasan. Beliau mengemukakan bahwa dimensi

politis Gereja yakni berada di pihak manusia dan membela kehidupan umat manusia.

Dia menegaskan bahwa Gereja tidak menganut sistem politik tertentu, tetapi Gereja

berbakti kepada Allah untuk menguduskan dan menyelamatkan manusia.

Dimensi politis Gereja bertujuan untuk memperjuangkan keadilan dan martabat

hidup manusia. Gereja menyumbangkan ide sosial politik, yakni melindungi martabat

manusia, memajukan hak asasi manusia, dan menciptakan kesejahteraan umum (bonum

commune). Gereja tidak membentuk jurang antara yang miskin dan kaya, antara yang

tertindas dan menindas. Gereja menjadi Sakramen Keselamatan Allah bagi semua

orang.
iv

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................... i

ABSTRAK ..................................................................................................................... iii

DAFTAR ISI ................................................................................................................. iv

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Pemilihan Tema....................................................................1

2. Perumusan dan Pembatasan Tema ................................................................4

3. Tujuan Penulisan............................................................................................6

4. Metode Penulisan ..........................................................................................6

5. Sistematika Penyajian ...................................................................................7

BAB II POLITIK DAN GEREJA

1. Pengantar .......................................................................................................8

2. Riwayat Hidup Paus Yohanes Paulus II ........................................................8

3. Pengertian Politik dan Gereja ......................................................................13

3.1 Pengertian Gereja..................................................................................13

3.2 Pengertian Politik..................................................................................16

3.3 Hubungan antara Gereja dan Politik ....................................................18

3.3.1 Masalah Tatanan Politis dalam Tradisi Gereja ...............................21

3.3.2 Gereja dan Politik dalam Masyarakat yang sedang Membangun ...22

4. Rangkuman .................................................................................................25
v

BAB III DIMENSI POLITIS GEREJA DALAM AJARAN SOSIAL

PAUS YOHANES PAULUS II

1. Pengantar ....................................................................................................27

2. Keterlibatan Gereja dalam Politik ...............................................................28

3. Dimensi Politis Gereja Menurut Ajaran Sosial Paus Yohanes Paulus II ....31

3.1 Redemptoris Hominis ............................................................................31

3.2 Laborem Excercens................................................................................33

3.3 Sollicitudo Rei Socialis ..........................................................................36

3.4 Centesimus Annus ..................................................................................39

4. Etika Politik Gereja .....................................................................................42

4.1 Prinsip-prinsip Dasar Keterlibatan Politis Kristiani ..............................43

4.2 Sikap Konkret Politis Kristiani .............................................................44

5. Paguyuban Politik ........................................................................................45

5.1 Landasan dan Tujuan Paguyuban Politik...............................................45

5.1.1 Pribadi Manusia dan Bangsa ...........................................................46

5.1.2 Membela dan Memajukan Hak Asasi Manusia ..............................47

5.1.3 Hidup Bersama atas Dasar Persahabatan Warga ............................48

5.2 Otoritas Politik......................................................................................48

5.2.1 Dasar Otoritas Politik ......................................................................48

5.2.2 Otoritas sebagai Kekuatan Moral....................................................49

5.2.3 Hak untuk Menolak atas Dasar Pertimbangan Suara Hati ............50

5.2.4 Hak Perlawanan ............................................................................52

5.2.5 Pemberian Hukuman .....................................................................53


vi

6. Rangkuman .................................................................................................54

BAB IV PENUTUP

1. Pengantar ....................................................................................................56

2. Rangkuman Umum .....................................................................................56

3. Keunggulan dan Telaah Kritis Ajaran Sosial Paus Yohanes Paulus II........59

3.1 Keunggulan Ajaran Sosial Paus Yohanes Paulus II ..............................59

3.2 Telaah Kritis terhadap Ajaran Sosial Paus Yohanes Paulus II ..............61

4. Relevansi Ajaran Sosial Paus Yohanes Paulus II terhadap Kehidupan

Politik Sekarang ...........................................................................................63

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................68


1

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Pemilihan Tema

Gereja dipanggil1 dan diutus untuk meneruskan perjuangan Yesus membela

kaum miskin dan tertindas secara universal. Gereja tidak mau menuntut kebenaran dan

keadilan hanya bagi dirinya sendiri, tetapi juga bagi semua orang. Perjuangan Gereja

dalam membela kebenaran dan keadilan pasti mengandung implikasi-implikasi politis.2

Namun, patut diingat bahwa implikasi-implikasi politis yang dihadapi oleh Gereja tidak

1
Panggilan Gereja mempunyai dua arah: ke luar dan ke dalam. Pertama, ke luar Gereja berarti
Umat Allah dipanggil untuk memancarkan terang Kerajaan Allah ke segala ujung bumi, secara khusus ke
tengah masyarakat. Kerajaan Allah itu adalah kerajaan cinta kasih, keadilan dan keselamatan. Umat Allah
dipanggil untuk memaklumkan kabar gembira dan menghadirkan keselamatan Allah dalam Kristus
Yesus. Kedua, ke dalam Gereja berarti umat Allah membangun persatuan dan solidaritas dengan saling
mendukung dalam ikatan cinta kasih. Dua arah panggilan Gereja ini saling berkaitan. Dalam
memancarkan Kerajaan kasih sayang Allah ke dalam masyarakat, Umat Allah membangun persatuan
dalam cinta kasih serta memperkuat dirinya untuk memancarkan kasih sayang Allah ke dalam
masyarakat. [Lihat Franz Magnis-Suseno, Menjadi Saksi Kristus di tengah Masyarakat Majemuk
(Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 44-45.]
2
Implikasi politis adalah suatu bentuk keterlibatan dan keputusan yang berorientasi pada
masyarakat sebagai keseluruhan. Sebuah keputusan dikatakan bersifat politis apabila keputusan itu
menyangkut masyarakat sebagai keseluruhan. [Lihat Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip
Moral Dasar Kenegaraan Modern (Jakarta: PT. Gramedia, 1988), hlm. 19.]
2

mengakibatkan Gereja menjadi badan politik. Gereja tetap merupakan realitas insani

yang mengarah kepada realitas rohani. Sebagai realitas insani-rohani, Gereja menerima

panggilan untuk berpihak pada kesejahteraan insani dan rohani setiap orang, sebagai

Umat Allah3. Gereja turut bertanggungjawab untuk mengupayakan kesejahteraan umum

dan tidak bisa mengelak dari kewajiban membela kebenaran dan keadilan.4

Keterlibatan Gereja di dalam bidang politik terjadi bukan karena Gereja mau

berpolitik. Gereja hanya mau menyatakan keprihatinannya terhadap kenyataan aktual

yakni merajalelanya penyalahgunaan sistem kekuasaan yang menyengsarakan

masyarakat. Gereja menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan bukan dalam kebencian

dan usaha untuk menggulingkan suatu sistem, melainkan untuk melawan kejahatan

dengan cinta kasih sesuai dengan ajaran moral Kristiani.5

Gereja Katolik menyadari tugas dasarnya dalam bidang politik sebagaimana

dinyatakan oleh Konsili Vatikan II.6 Tugas dasar Gereja dalam bidang politik ini

3
Umat Allah menunjuk pada persatuan dan kesamaan dasariah semua anggota Gereja berkat
iman dan baptisan yang sama. Hal ini menandakan tugas, tanggung jawab, dan keterlibatan semua
anggota. [Lihat Adolf Heuken, Ensiklopedi Gereja, Jilid V Tr-Z (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka,
1995), hlm. 37.]; Umat Allah mengambil bagian dalam tugas imami, kenabian, dan rajawi Kristus untuk
menjalankan tugas perutusan yang dipercayakan Allah untuk dilaksanakan di dunia. [Lihat Kitab Hukum
Kanonik 1983 (Codex Iuris Canonici 1983), Edisi Resmi Bahasa Indonesia, diterjemahkan oleh
Sekretariat KWI (Jakarta: KWI, 2006), Kan. 204, § 1.] Untuk kutipan selanjutnya akan disingkat dengan
Kan jika satu nomor dan Kann jika lebih dari satu nomor, diikuti nomor kanon.
4
R. Sebastian, “Sikap Kaum Religius terhadap Politik”, dalam Eduard R. Dopo (ed.),
Keprihatinan Sosial Gereja (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hlm. 152.
5
R. Sebastian, “Sikap …”, hlm. 153.
6
Konsili Vatikan II menegaskan bahwa tanggung jawab politik merupakan bagian dari
perutusan Para Rasul dan para pengganti mereka untuk mewartakan Kristus Penebus dunia kepada
masyarakat. Gereja juga mengajak kaum mudanya untuk mempelajari dan mengembangkan pengetahuan
politiknya bagi kepentingan manusia. Keterlibatan di dalam dunia politik disadari oleh Gereja sebagai
panggilan yang khas kaum awam Katolik di dalam kehidupan bernegara. Menyadari hal ini, Gereja
menekankan bahwa kesejahteraan umum adalah tujuan utama dari pengabdian umat beriman di dalam
3

ditentukan oleh tiga alasan. Pertama, Gereja Katolik dengan jelas dan tegas mendukung

dan memperjuangkan hak-hak asasi manusia. Kedua, Gereja Katolik secara resmi dan

jelas menerima otonomi dunia dan masyarakat modern.7 Karena kedua alasan ini,

Gereja di satu pihak turut berperan penting dalam hidup masyarakat pluralistik, dan di

lain pihak dia memperoleh kaidah-kaidah yang cukup jelas tentang apa yang dapat dan

apa yang tidak dapat dilakukan dalam bidang politik. Alasan yang ketiga adalah

kesadaran akan kewajiban total Gereja untuk berpihak pada orang-orang lemah, miskin

dan tertindas.8

Kesadaran Gereja untuk berperanserta dalam kehidupan masyarakat juga sangat

jelas diungkapkan oleh Paus Yohanes Paulus II. Beliau mengatakan bahwa Gereja

mengajukan keyakinan dan kebenaran iman kristiani yang menjadi landasan

keterlibatannya dalam bidang politik. Gereja mengemban suatu tugas normatif untuk

mendiskusikan, merumuskan, menjelaskan, dan menawarkan nilai-nilai moral yang

pantas diwujudkan dan layak dipertahankan. Gereja mengaktualisasikan nilai-nilai

moral yang diyakininya dapat menjadi landasan bagi perwujudan kesejahteraan umum. 9

kehidupan bernegara. [Lihat Konsili Vatikan II, “Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa
ini” (GS), dalam Dokumen Konsili Vatikan II, diterjemahkan oleh R. Hardawiryana (Jakarta:
Dokumentasi dan Penerangan KWI – Obor, 2012), no. 75-76.] Untuk kutipan selanjutnya, konstitusi ini
akan ditulis GS dan diikuti oleh nomor yang ditunjuk.
7
GS, no. 36.
8
Franz Magnis-Suseno, Menjadi …, hlm. 178-179.
9
Paus Yohanes Paulus II, Ensiklik Sollicitudo Rei Socialis (Keprihatinan akan Masalah Sosial)
(Seri Dokumentasi Gerejawi no. 3), diterjemahkan oleh P. Turang (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan
Penerangan KWI, 1988), no. 1. Untuk kutipan selanjutnya, Ensiklik ini akan ditulis SRS dan diikuti oleh
nomor yang ditunjuk.
4

Paus Yohanes Paulus II melihat dimensi politis Gereja dalam kaitannya dengan

paham martabat manusia, kesejahteraan umum, dan tuntutan solidaritas dengan orang-

orang miskin dan lemah.10 Dengan tegas dia menyuarakan martabat manusia dan

solidaritasnya dengan orang-orang lemah, dan dengan suara lantang mengeritik segala

konsep pembangunan, entah karena fanatisme ideologis, entah karena ketidakpedulian

sosial sebuah elit korup yang hanya bertujuan meraup keuntungan bagi dirinya sendiri.11

Penyalahgunaan kekuasaan politik dewasa ini mendorong penulis untuk

menggali pemikiran Yohanes Paulus II dalam ajaran sosialnya. Ketajaman cara berpikir

Yohanes Paulus II, secara khusus dalam mengembalikan wajah politik kepada keadaan

sebenarnya, menurut penulis sangat relevan dengan kondisi politik sekarang yang

terjadi di berbagai belahan dunia, khususnya di negara Indonesia.

2. Perumusan dan Pembatasan Tema

Politik merupakan sebuah usaha yang terarah pada kesejahteraan seluruh

masyarakat. Kesejahteraan umum dibutuhkan oleh semua orang untuk dapat hidup

layak. Akan tetapi, politik sering dimaknai secara negatif. Politik dipenuhi dengan

keburukan, penuh persaingan tidak sehat, pertentangan dan perpecahan, serta dijadikan

sebagai alat untuk kepentingan diri sendiri atau kelompok. Kebaikan umum yang

seharusnya diperjuangkan, justru diabaikan dan dihancurkan.

10
Bdk. SRS, no. 41.
11
Franz Magnis-Suseno, Menjadi …, hlm. 180.
5

Paus Yohanes Paulus II menyatakan keprihatinan atas situasi politik pada

zamannya. Manusia tidak memandang sesamanya sebagai saudara, tetapi sebagai

saingan. Di sini diperlihatkan adanya keakuan manusia, yakni saling menjatuhkan dan

bahkan menganggap orang lain sebagai lawan. Manusia menyalahgunakan sistem

kekuasaan dengan cara menindas orang miskin, lemah, dan tidak berdaya di tengah

masyarakat.12 Oleh karena itu, paus mendesak agama-agama, lembaga sosial, politik,

dan ekonomi bergerak untuk senantiasa membela pribadi manusia, kehidupannya dan

keutuhan mendalam hidup yang dimilikinya. Paus mengakui bahwa hal ini bukanlah

perkara mudah di tengah arus kehidupan dewasa ini.13

Gereja ada untuk memperjuangkan kebenaran dan semakin beriman kepada

Allah. Gereja berada di pihak manusia. Gereja mengungkapkan nilai-nilai kebenaran

dan keadilan. Keterlibatan Gereja dalam bidang politik didasarkan atas inti pewartaan

iman Kristiani, yakni pewartaan akan kabar pembebasan di dalam diri Yesus Kristus

yang akan memperoleh pemenuhannya saat kedatangan-Nya kembali. Penghayatan Injil

masuk dan menyatu di dalam situasi nyata yang dialami oleh manusia. Melalui

pembebasan tersebut, martabat manusia dipulihkan, manusia dipanggil dalam

persekutuan dengan Allah dan sesama. Oleh karena itulah, skripsi ini diberi judul

Gereja dan Politik: Dimensi Politis Gereja dalam Ajaran Sosial Paus Yohanes

Paulus II.

12
T. Krispurwana Cahyadi, Yohanes Paulus II: Gereja, Teologi, dan Kehidupan (Bogor: Grafika
Mardi Yuana, 2012), hlm. 301.
13
T. Krispurwana Cahyadi, Yohanes …, hlm. 54.
6

3. Tujuan Penulisan

Penulisan skripsi ini mempunyai beberapa tujuan. Pertama, untuk memenuhi

tuntutan akademis guna menyelesaikan program Strata Satu (S-1) pada Fakultas

Filsafat, Universitas Katolik St. Thomas Sumatera Utara. Kedua, untuk melihat dimensi

politis Gereja dalam kehidupan politik seturut ajaran sosial Paus Yohanes Paulus II.

Ketiga, untuk memberi sumbangan yang berguna bagi para pembaca dalam hal politik

dan implikasi yang menyertainya. Dengan demikian diharapkan muncul perhatian yang

serius untuk senantiasa memaknai panggilan hidupnya memperjuangkan martabat

manusia dan kesejahteraan umum.

4. Metode Penulisan

Dalam menyusun skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian

kepustakaan (library research), dengan berusaha mengumpulkan ajaran sosial Paus

Yohanes Paulus II serta sumber-sumber buku lain yang membahas tentang dimensi

politis Gereja. Kemudian, penulis membaca, merenungkan dan berusaha memahami

gagasan-gagasan yang ada dalam sumber-sumber yang ditemukan. Selanjutnya, penulis

akan menguraikan buah pemikiran tersebut menjadi sebuah skripsi dengan berpedoman

pada Pedoman Penulisan Skripsi. Di samping itu, penulis juga menggunakan metode

konsultasi dengan dosen pembimbing skripsi untuk memahami secara mendalam isi

ajaran sosial Paus Yohanes Paulus II.


7

5. Sistematika Penyajian

Skripsi ini terdiri dari empat bab. Bab I, Pendahuluan, berisi latar belakang

pemilihan tema, perumusan dan pembatasan tema, tujuan penulisan, metode penulisan

dan sistematika penyajian.

Dalam Bab II dipaparkan secara singkat riwayat hidup Paus Yohanes Paulus II.

Selanjutnya akan dipaparkan pengertian Gereja dan politik dengan melihat hubungan

keduanya dalam tradisi Gereja dan dalam masyarakat yang sedang membangun. Bab ini

ditutup dengan rangkuman.

Bab III merupakan inti skripsi. Pertama-tama akan dibahas keterlibatan Gereja

dalam politik. Kemudian akan dibahas ajaran-ajaran sosial Paus Yohanes Paulus II

berkaitan dengan politik. Selanjutnya, penulis akan memaparkan etika politik Gereja.

Kemudian dipaparkan paguyuban dan otoritas politik. Bab ini ditutup dengan

rangkuman.

Bab IV merupakan bagian Penutup. Dalam bab ini, penulis menyajikan

rangkuman umum dari semua pembahasan skripsi ini. Di dalam bab ini disertakan juga

keunggulan dan telaah kritis terhadap pemikiran Paus Yohanes Paulus II. Dan terakhir,

penulis membuat relevansi pemikiran Paus Yohanes Paulus II terhadap politik dewasa

ini.
8

BAB II

POLITIK DAN GEREJA

1. Pengantar

Dalam bab pendahuluan, penulis telah memberikan panorama mengenai pokok

bahasan skripsi ini. Dalam bab II ini, penulis akan memaparkan riwayat hidup Paus

Yohanes Paulus II, pengertian Gereja dan politik. Bab ini akan ditutup dengan

rangkuman.

2. Riwayat Hidup Paus Yohanes Paulus II

Paus Yohanes Paulus II lahir pada tanggal 18 Mei 1920 di Wadowice, Polandia

Selatan. Dia memiliki nama kecil Karol Josef Wojtyła. Dia adalah anak ketiga dari tiga

bersaudara.14 Ayahnya bernama Karol Wojtyla15 dan ibunya, Emilia Kaczorowska.16

14
Anak pertama adalah seorang laki-laki bernama Edmud, lahir pada tahun 1906 dan meninggal
pada tanggal 5 Desember 1932, akibat epidemi demam berdarah. Anak kedua adalah seorang perempuan
9

Dia dibaptis oleh Pastor Franciszck Zak pada tanggal 20 Juni 1920, di Wadowice.

Bapak dan ibu baptisnya adalah Josef Kuczimierczyk dan Maria Wiadrowska.17

Karol Josef Wojtyła menggeluti dunia teater pada usia 14 tahun. Dunia ini

sangat memengaruhi hidupnya. Berkat kepiawaiannya, dia dijuluki oleh teman-

temannya sebagai sang komunikator. Selain menggeluti dunia teater, dia juga sangat

piawai berdansa dengan irama polonaise, mazurka, waltz, dan tango.18

Pada usia 18 tahun Karol Josef Wojtyła belajar di Universitas Jagiellonian,

Krakow. Dia memilih jurusan seni sastra dan drama. Buku pertama kumpulan puisinya

diterbitkan pada bulan Maret 1946 yang diberi judul Song of the Hidden God.19

Karol Josef Wojtyła menerima tahbisan imamat pada tanggal 1 November 1946,

di Katedral Wawel, Krakow. Misa perdana imam baru ini diselenggarakan pada tanggal

2 November 1946. Pada usia 26 tahun, Kardinal Sapieha menyuruh dia belajar di

bernama Olga, lahir dan meninggal pada tahun 1914. [Lihat Trias Kuncahyono, Paus Yohanes Paulus II:
Musafir dari Polandia (Jakarta: Kompas, 2005), hlm. 41-42.]
15
Karol Wojtyla adalah seorang kapten di dalam dinas ketentaraan Polandia. Dia membentuk
kepribadian Karol Josef Wojtyła dalam kedisplinan yang ketat dan juga menanamkan cinta pada
kebudayaan dan filsafat. [Lihat PSPS – KAM, “Mengenal Pribadi Yohanes Paulus II”, dalam PSPS –
KAM, Selamat Datang Sri Paus Yohanes Paulus II (Medan: Seksi Dokumentasi dan Publikasi Panitia
Penyambutan Sri Paus, 1989), hlm. 9.]
16
Emilia Kaczorowska adalah seorang guru. Dia mengajari Karol Josef Wojtyła bagaimana
membuat tanda salib dan mengajaknya untuk membaca Kitab Suci. Dia meninggal pada tanggal 13 April
1929 ketika Karol Josef Wojtyła berusia delapan tahun. [Lihat Trias Kuncahyono, Paus …, hlm. 43.]
17
Trias Kuncahyono, Paus …, hlm. 41.
18
Trias Kuncahyono, Paus …, hlm. 51.
19
Trias Kuncahyono, Paus …, hlm. 60.
10

Universitas Angelicum,20 Roma. Dia memperoleh gelar doktor di bidang etika pada

tanggal 30 April 1948. Pada tanggal 16 Desember 1948 dia meraih gelar doktor teologi

di Universitas Jagiellonian.21 Selanjutnya, dia diangkat menjadi dosen pada tahun 1953,

lektor dan mahaguru etika pada tahun 1954 di Universitas Katolik Lublin, sebuah

perguruan tinggi yang paling berprestasi di Polandia pada masa itu. 22

Pada tanggal 4 Juli 1958 Karol Josef Wojtyła diangkat menjadi uskup auksilier23

di Keuskupan Agung Dioses Krakow oleh Paus Pius XII, dibawah pimpinan uskup

Agung Eugniusz Baziak. Saat itu, dia berusia 38 tahun dan menjadi uskup termuda di

Polandia. Upacara penahbisannya sebagai uskup dilaksanakan pada tanggal 28

September 1958 di Katedral Wawel, Krakow.24 Dia memiliki moto tahbisan uskup

Totus Tuus (sepenuhnya milik-Mu).25

Sepeninggal uskup Agung Eugniusz Baziak pada bulan Juni 1962, Paus Paulus

VI mengangkat Karol Josef Wojtyła menjadi uskup Agung Krakow pada tanggal 3

20
Selama belajar di Universitas Angelicum, Karol Josef Wojtyła sangat dipengaruhi oleh
pandangan seorang penyair dan mistikus Spanyol Yohanes dari Salib. Dia sangat menyukai petikan kata-
kata Yohanes dari Salib, yakni: “Untuk sampai pada apa yang tidak kamu ketahui, kamu harus melewati
suatu jalan, yaitu jalan ketidaktahuan. Untuk mempunyai apa yang kamu tidak punyai kamu harus
mengabaikan jalan pemilikan. Untuk sampai pada tempatmu yang tinggi kamu harus melewati jalan di
mana kamu tidak berarti apa-apa.” [Lihat PSPS – KAM, “Mengenal …”, hlm. 13.]
21
Trias Kuncahyono, Paus …, hlm. 60-61.
22
Adolf Heuken, Ensiklopedi …, hlm. 139.
23
Uskup auksilier adalah uskup yang mendampingi uskup diosesan dalam seluruh
kepemimpinan keuskupan dan mewakili uskup diosesan jika ia tidak ada atau terhalang. Namun bila
terjadi tahta lowong, uskup auksilier tidak secara otomatis menggantikan uskup diosesan. [Kann. 403, §
1-2; 405, § 2.]
24
Trias Kuncahyono, Paus …, hlm. 62.
25
PSPS – KAM, “Mengenal …”, hlm. 16.
11

Maret 1964.26 Selanjutnya, pada tanggal 28 Juni 1967, dalam usianya yang ke- 47, Paus

Paulus VI mengangkat uskup Agung Krakow ini menjadi kardinal. Dia menerima topi

kardinal di kapel Sistina bersama 26 kardinal baru lainnya.27

Sebagai seorang kardinal, dia segera mengadakan sinode dalam keuskupannya

dan mengadakan perjalanan ke mancanegara. Dia mengunjungi Kanada, Amerika

Serikat, Eropa dan Timur Jauh. Sebagai kardinal, dia mengeritik paham konsumerisme

dan dunia kapitalis yang memandang manusia sekadar alat-alat produksi belaka.28

Pada tanggal 16 Oktober 1978 para kardinal yang berkumpul di Vatikan secara

aklamasi memilih Kardinal Karol Josef Wojtyła menjadi Paus Gereja Katolik yang ke-

262, menggantikan Paus Yohanes Paulus I, yang hanya 33 hari menduduki tahta St.

Petrus. Dia memilih nama Yohanes Paulus II dan menjadi paus non-Italia pertama

selama kurun waktu setelah 450 tahun.29

Paus Yohanes Paulus II wafat pada tanggal 2 April 2005 dalam usia 85 tahun,

pukul 21.37 waktu setempat. Misa pemakamannya dipimpin oleh Kardinal Ratzinger

26
Uskup Agung Karol Josef Wojtyła mengikuti semua sidang Konsili Vatikan II (1962-1965)
dan turut menyumbangkan gagasannya pada penyusunan Konstitusi Pastoral Gereja dalam Dunia Modern
(Gaudium et Spes). Selain itu, dia juga menyumbang pemikirannya pada deklarasi tentang Kebebasan
Beragama (Dignitatis Humanae) dan dekrit tentang Upaya-upaya Komunikasi Sosial (Inter Mirifica).
[Lihat Adolf Heuken, Ensiklopedi …, hlm. 139.]
27
Trias Kuncahyono, Paus …, hlm. 62.
28
PSPS – KAM, “Mengenal …”, hlm. 20.
29
Kathryn Spink, Yohanes Paulus II: Butir-butir Nilai Kerohanian (judul asli: The Thins of the
Spirit), diterjemahkan oleh Marcel Beding (Jakarta: Biro Nasional Karya Kepausan Indonesia, 1989),
hlm. 10.
12

pada tanggal 8 April 2005 dengan dihadiri oleh ribuan orang. Banyak orang

memapangkan plakat yang berbunyi, “Santo Subito!” (jadikan santo segera!).30

Tujuh belas hari setelah meninggalnya Paus Yohanes Paulus II, para kardinal

mengadakan konklaf untuk mencari penggantinya. Konklaf memilih Kardinal Joseph

Ratzinger sebagai paus dengan nama Benediktus XVI. Pada tanggal 19 Desember 2009,

Paus Benediktus XVI menandatangani sebuah dekret yang memuat catatan tentang

keutamaan hidup Paus Yohanes Paulus II sebagai orang yang dihormati. Kebenaran

mukjizat kesembuhan yang dialami oleh Sr. Marie Pierre Simon dari penyakit

Parkinson dibenarkan oleh pihak kepausan.31

Pada tanggal 29 April 2011, peti Paus Yohanes Paulus II digali dan dipindahkan

dari gua di bawah Basilika Santo Petrus ke monumen batu marmer di Kapel Santo

Sebastian, Pier Paolo Christofari. Pada tanggal 1 Mei 2011, Paus Benediktus XVI

menyatakan Paus Yohanes Paulus II sebagai beato.32 Pada tanggal 5 Juli 2013, Paus

Fransiskus menyetujui kanonisasi Paus Yohanes Paulus II dan Paus Yohanes XXIII.33

Pada tanggal 27 April 2014, Paus Fransiskus mengkanonisasi Paus Yohanes Paulus II

dan Paus Yohanes XXIII.

30
Stanislaw Dziwisz, Lebih Jauh bersama Karol Wojtyła (judul asli: A Life with Karol),
diterjemahkan oleh Paula (Malang: Dioma, 2010), hlm. 317-319.
31
Sylvia Marsidi, “Mukjizat Yohanes Paulus II”, dalam Hidup, 18/65 (Mei 2011), hlm. 12.
32
Richard Sinaga, “Beatifikasi Paus Yohanes Paulus II”, dalam Menjemaat, 5/XXXIII (Mei
2011), hlm. 7-8.
33
R.B.E. Agung Nugroho, “Jalan Tol Menuju Kanonisasi”, dalam Hidup, 34/67 (Agustus 2013),
hlm. 8.
13

3. Pengertian Politik dan Gereja

Penulis telah menguraikan riwayat singkat hidup Paus Yohanes Paulus II.

Berikut ini penulis akan menguraikan pengertian Gereja. Selanjutnya, penulis akan

memaparkan pengertian politik dan hubungan antara Gereja dan politik. Hubungan

antara Gereja dan politik akan diuraikan lagi oleh penulis dengan melihat masalah

tatanan politis dalam Gereja dan dalam masyarakat yang sedang membangun.

3.1 Pengertian Gereja

Kata “Gereja” berasal dari kata Portugis igreja, yang berasal dari kata Yunani

ekklesia, artinya mereka yang dipanggil. Kata ini merupakan terjemahan dari kata Ibrani

Qahal, yang berarti pertemuan. Kata Qahal menunjuk pada perayaan bersama yang

dibaktikan kepada Allah. Kemudian istilah itu juga bermakna Umat Allah, terutama

pertemuan meriah Umat Allah. Kata Kerk (Belanda) yang serumpun dengan Kirche

(Jerman) berasal dari istilah Kuriakè (Yunani) yang berarti milik Tuhan. Istilah Gereja

dalam bahasa Indonesia mengandung kedua arti itu, dan selanjutnya digunakan juga

untuk menunjuk gedung-gedung ibadat maupun paguyuban umat beriman.34

Dalam perspektif Kitab Suci dikatakan bahwa asal muasal Gereja adalah

khotbah Yesus Kristus mengenai kedatangan Kerajaan Allah kepada Umat Israel.

34
B.S. Mardiatmaja, Beriman dengan Sadar (Yogyakarta: Kanisius, 1985), hlm. 15-16.
14

Melalui khotbah itu Yesus menegaskan kembali identitas Israel sebagai Umat pilihan

Allah. Namun, ternyata mayoritas umat Israel pada waktu itu menolak seruan Yesus dan

bahkan kehadiran-Nya. Akhirnya, dengan memilih kedua belas rasul, Yesus

memperlihatkan dan mengintrodusir para murid untuk semakin memasuki rahasia

pengutusan dan wafat-Nya dan serta-merta juga memanggil kedua belas suku bangsa

Israel supaya menerima Dia sebagai Almasih atau Penyelamat yang diutus oleh Allah

untuk mendirikan KerajaanNya secara definitif.35

Menurut Ensiklopedi Gereja Katolik terbaru, Gereja bukan hanya sebagai sarana

keselamatan, tetapi Tubuh Mistik Kristus sendiri yang menampakkan dirinya kepada

dunia, serta membawa penyingkapan Kristus itu ke dalam persekutuan dengan umat

beriman lainnya. Gereja secara jelas menampakkan misteri keselamatan Allah. Gereja

berperanserta dalam memperjuangkan martabat manusia dalam terang keselamatan

Allah. Dia menjadi sebuah fenomen yang multidimensi: martabat manusia dan

keselamatan, yuridis dan mistik, imanen dan transenden, duniawi dan surgawi.36

Gereja adalah paguyuban umat beriman yang secara hirarkis tersusun. Berkat

iman kepada Yesus Kristus, Gereja mengungkapkan dirinya untuk melayani manusia.37

Gereja menunaikan pelayanan ini demi kesejahteraan umum. Gereja mengalami dirinya

35
Adolf Heuken, Ensiklopedi Gereja, Jilid I A-G (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1991),
hlm. 341.
36
Thomson, New Catholic Encyclopedia, Vol. III Can-Col (USA: The Catholic University of
America Press, 2000), hlm. 580.
37
Konsili Vatikan II, “Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium tentang Gereja” (LG), dalam
Dokumen Konsili Vatikan II, diterjemahkan oleh R. Hardawiryana (Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan
KWI – Obor, 2012), no. 8. Untuk kutipan selanjutnya, konstitusi ini akan ditulis LG dan diikuti oleh
nomor yang ditunjuk.
15

sungguh erat berhubungan dengan umat manusia dan sejarahnya. Gereja menjadi

sakramen persatuan antara Allah dengan manusia dan antara manusia dengan

sesamanya.38

Gaudium et Spes merumuskan Gereja sebagai Sakramen Keselamatan bagi umat

manusia. Dia bukan hanya memiliki makna pada dirinya sendiri. Dia hadir bagi semua

orang. Dia menarik perhatian manusia kepada Allah Penyelamat. Dia membawa

manusia kepada karya keselamatan Allah.39

Katekismus Gereja Katolik mendefinisikan Gereja sebagai paguyuban atau

komunitas umat beriman yang membentuk persekutuan sebagai Umat Allah.

Persekutuan itu dibangun atas dasar iman dan baptisan, yang dipersatukan oleh Kristus.

Roh Kudus membimbing Gereja melalui sabda Allah, sakramen-sakramen, keutamaan-

keutamaan, dan karisma-karisma.40

Menurut Paus Yohanes Paulus II, Gereja adalah Umat Allah, Tubuh Kristus, dan

Sakramen Keselamatan yang dipanggil dan diutus untuk memulihkan kehidupan, agar

manusia kembali hidup di hadapan Allah. Kemuliaan Allah menyata jika manusia

hidup, dan manusia hidup jika memandang Allah dalam diri sesamanya.41 Melalui

definisi ini, Paus Yohanes Paulus II ingin membawa Gereja pada upaya pencarian

38
LG, no. 1.
39
GS, no. 42.
40
Katekismus Gereja Katolik, diterjemahkan oleh Herman Embuiru (Ende: Arnoldus, 1995), no.
789. Untuk kutipan selanjutnya, Katekismus ini akan ditulis KGK dan diikuti oleh nomor yang ditunjuk.
41
T. Krispurwana Cahyadi, Yohanes …, hlm. 55.
16

mendalam akan realitas hidup manusia, untuk mengenali serta merefleksikan karya

keselamatan Allah yang berlangsung di tengah dunia kehidupan manusia. 42

3.2 Pengertian Politik

Kata politik berasal dari bahasa Yunani, yang kemudian digunakan dalam

berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia. Pada zaman Yunani kuno, negara atau

negara kota disebut polis. Plato memberi judul bukunya politea, dan Aristoteles

politikon. Politik di sini berarti seni mengatur atau mengurus negara dan ilmu tentang

negara. Politik mencakup semua kebijaksanaan atau tindakan yang bermaksud

mengambil bagian dalam urusan kenegaraan atau pemerintahan. Pada umumnya, politik

merupakan kegiatan yang beraneka ragam dalam kehidupan bermasyarakat dan

bernegara yang mencakup proses penentuan tujuan, pelaksanaan tujuan dengan segala

kebijakan umum dan pengaturannya.43

Politik merupakan seni untuk mengatur kehidupan bermasyarakat. Kehidupan

bermasyarakat terjadi karena adanya suatu konsensus atau kesepakatan nasional.

Konsensus nasional memiliki dua segi yakni konsensus teleologis dan konsensus

struktural. Konsensus teleologis adalah kesepakatan bersama mengenai nilai-nilai yang

melandasi kehidupan bermasyarakat dan tujuan-tujuan yang hendak diraih oleh

masyarakat itu. Konsensus struktural adalah kesepakatan mengenai sarana, proses dan

42
T. Krispurwana Cahyadi, Yohanes …, hlm. 59.
43
Adolf Heuken, “Politik”, dalam Ensiklopedi Politik Pembangunan Pancasila (Par-Z) (Jakarta:
Yayasan Cipta Loka Caraka, 1984), hlm. 151.
17

prosedur guna mewujudkan nilai, mencapai tujuan serta menyelesaikan masalah yang

mungkin muncul.44

Agus Rachmat W., dosen filsafat di Fakultas Filsafat, Universitas Parahyangan,

Bandung, mengatakan bahwa politik adalah medan kehidupan publik, dunia bersama,

yang mampu menggabungkan manusia hingga tidak saling menerkam satu sama lain,

melainkan bekerja sama demi kepentingan umum. Ruang gerak kehidupan politik itu

dijaga oleh tiga pranata sosial, antara lain penguasa yang berwibawa, hukum yang adil,

dan arus komunikasi. Ketiga pranata tersebut merupakan ungkapan dan hasrat dari

eksistensi manusia serta penghargaannya atas martabat dirinya dan orang lain. Menurut

Agus, letak seni dari politik adalah mengubah benturan niat menjadi langkah kerjasama

dengan menunjukkan butir-butir yang saling menguntungkan bagi kedua belah pihak.45

Franz Magnis-Suseno mengatakan bahwa politik itu beserta dimensinya

bersangkutpaut dengan masyarakat sebagai keseluruhan. Suatu pendekatan disebut

bersifat politis apabila dilakukan dalam kerangka acuan yang berorientasi pada

masyarakat luas. Suatu tindakan disebut politis jika seseorang melakukan suatu tindakan

yang memperhatikan kepentingan masyarakat sebagai keseluruhan.

Dengan demikian dimensi politis manusia dapat ditentukan sebagai


dimensi di mana manusia menyadari diri sebagai anggota masyarakat sebagai
keseluruhan yang menentukan kerangka kehidupannya dan ditentukan kembali
oleh tindak-tanduknya.46

44
Agus Rachmat W., “Landasan Etis Kehidupan Politik”, dalam Bambang Sugiharto dan Agus
Rachmat W., Wajah Baru Etika dan Agama (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm. 47.
45
Agus Rachmat W., “Landasan …”, hlm. 48-49.
46
Franz Magnis-Suseno, Etika Politik …, hlm. 20.
18

Dari berbagai pengertian dan batasan di atas, maka politik dapat didefinisikan

sebagai aspek menyeluruh kegiatan manusia yang bertujuan demi kesejahteraan umum

masyarakat.

3.3 Hubungan antara Gereja dan Politik

Gereja melibatkan dirinya dalam seluruh dimensi kehidupan manusia, termasuk

dalam kehidupan politik. Dia tidak meninggalkan partisipasinya dalam kehidupan

umum. Melalui caranya, dia menuntut dan memperjuangkan hak-hak asasi manusia

yang menjadi tujuan luhurnya. Dia mempunyai hak dan kewajiban untuk berpartisipasi

dalam kehidupan umum meski dalam bentuk, tingkat, tugas dan tanggung jawab yang

berbeda-beda dan saling melengkapi.47

Gereja dan politik memiliki otonomi masing-masing. Gereja tidak mencampuri

urusan negara, tetapi dia menyuarakan keyakinan-keyakinannya tentang etika politik

dan kemanusiaan. Dasar keterlibatan Gereja dalam politik adalah eklesiologi. Gereja

memberikan pedoman dan inspirasi bagi para politis kristiani untuk mewujudnyatakan

imannya dalam politik. Sementara, politik membicarakan tentang suatu bidang yang

menyangkut bidang kemasyarakatan yang dikenal sebagai bidang politis atau urusan

negara.48 Konsili Vatikan II menegaskan hal ini:

47
Yohanes Paulus II, Melintasi Ambang Pintu Harapan (judul asli: Crossing the Threshold of
Hope), diterjemahkan oleh Penerbit Obor (Jakarta: Obor, 1995), hlm. 245.
48
Franz Magnis-Suseno, Iman dan Hati Nurani: Gereja Berhadapan dengan Tantangan-
tantangan Zaman (Yogyakarta: Kanisius, 2014), hlm. 104.
19

Berdasarkan tugas dan wewenangnya, Gereja sama sekali tidak dapat


dicampuradukkan dengan negara dan tidak terikat pada sistem politik manapun.
Sekaligus Gereja itu menjadi tanda dalam perlindungan transendensi pribadi
manusia.49

Paus Yohanes Paulus II mengakui bahwa tidak mudah menarik garis antara

kehadiran atau intervensi Gereja di dalam tatanan politis. Penyebab kesukaran tersebut

adalah berkembangnya ideologi kapitalis liberal. Meskipun demikian, Paus mendorong

Gereja agar tetap membela kaum miskin, mengkhotbahkan dan memperjuangkan

keadilan sebagai tindakan campur tangan politis.50

Iman dan politik memiliki hubungan timbal balik. Alasannya adalah jika iman

dihayati secara koheren, dia akan terungkap di dalam tatanan politis dan tatanan lainnya.

Sementara, politik merupakan salah satu dari bidang-bidang tempat buah-buah iman

harus dibuktikan. Tatanan politis merupakan wadah untuk mengakarkan iman kristiani.

Iman yang tidak terungkap di dalam tatanan politis yang adil adalah iman yang

kontradiktoris dan merupakan sebuah batu sandungan.51

Paus Yohanes Paulus II, dalam ensiklik Redemptoris Hominis, mengingatkan

Gereja bahwa melalui misteri inkarnasi Allah sendiri memasuki sejarah manusia. Allah

49
GS, no. 76.
50
Ricardo Antoncich, Iman dan Keadilan: Ajaran Sosial Gereja dan Praksis Sosial Iman (judul
asli: Christians in the Face of Injustice: a Latin American Reading of Catholic Social Teaching),
diterjemahkan oleh F. Budi Hardiman (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm. 178.
51
Ricardo Antoncich, Iman dan Keadilan …, hlm. 178-179.
20

terlibat dalam seluruh gerak kehidupan manusia. Dia datang dan memberikan daya

penyelamatan-Nya bagi seluruh umat manusia di dalam Putera-Nya.52

Menurut Paus, misteri keselamatan itu sendiri merupakan misteri Allah.

Keikutsertaan umat beriman dalam misteri tersebut membawa pada perubahan diri,

menjadi manusia baru, dan mengambil bagian dalam hidup Allah. Manusia menemukan

kembali kebesaran, martabat, dan nilai hidupnya bila mengambil bagian dalam misteri

kehidupan abadi Allah dan pelayanan kasih kepada sesama manusia.53

Semangat pelayanan merupakan unsur yang sangat fundamental yang mesti

dimiliki oleh Gereja dalam menjalankan dimensi politisnya. Semangat pelayanan,

kecakapan dan efisiensi yang diperlukan, menjadikan Gereja bertindak secara tepat dan

benar. Untuk mencapai ini, dituntut perjuangan dan tekad yang total untuk mengatasi

segala godaan penyelewangan kekuasaan.54

Sejarah umat manusia dan sejarah penyelamatan merupakan dua macam sejarah

yang berjalan sejajar. Kesejahteraan umum masyarakat bukanlah tujuan di dalam

dirinya sendiri. Dia memiliki nilainya hanya dalam rujukan pada pencapaian tujuan-

tujuan tertinggi pribadi serta kesejahteraan umum universal dari segenap ciptaan. Allah

52
Paus Yohanes Paulus II, Ensiklik Redemptoris Hominis (Penebus Umat Manusia) (Seri
Dokumentasi Gerejawi no. 38), diterjemahkan oleh R. Hardawiryana (Jakarta: Departemen Dokumentasi
dan Penerangan KWI, 1994), no. 1. Untuk kutipan selanjutnya, Ensiklik ini akan ditulis RH dan diikuti
oleh nomor yang ditunjuk.
53
T. Krispurwana Cahyadi, Yohanes …, hlm. 70-71.
54
Yohanes Paulus II, Menuju Kesempurnaan Ilahi (judul asli: Celebrate 2000! Reflections on
Jesus, the Holy Spirit, and the Father), diterjemahkan oleh Agus M. Hardjana (Yogyakarta: Kanisius,
1999), hlm. 80.
21

adalah tujuan terakhir dari makhluk-makhluk ciptaan-Nya. Perspektif ini mencapai

kepenuhannya berkat iman akan Paskah Yesus yang memberi cahaya terang pada

pencapaian kesejahteraan umum yang sejati dari umat manusia. Upaya pribadi dan

bersama untuk meningkatkan kondisi kemanusiaan berawal dan berakhir di dalam

Yesus. Berkat Dia, melalui Dia dan dalam Dia, setiap realitas, termasuk masyarakat

manusia, bisa dibawa kepada Kebaikan-Nya Yang Tertinggi dan kegenapan-Nya.

Pandangan yang melulu historis dan materialistik akan berujung pada diubahnya

kesejahteraan umum menjadi satu faedah sosio-ekonomi semata-mata, tanpa sasaran

transendental apapun, yakni tanpa alasannya yang paling mendalam untuk berada.55

3.3.1 Masalah Tatanan Politis dalam Tradisi Gereja

Tatanan politis telah dianggap sebagai bidang tanggung jawab manusia untuk

mengusahakan dan mewujudkan kesejahteraan umum. Tradisi Gereja juga telah

menegaskan pentingnya menghormati otonomi tatanan politis. Gereja membedakan dua

taraf tindakan yang dapat disatukan dengan usaha yang tampaknya kontradiktoris yakni

menunjukkan nilai total dari politik dan merelatifkan politik.

Komitmen politis adalah suatu tugas kewajiban umat Kristiani yang

dipersembahkan kepada Allah, negara, dan masyarakat umum. Gereja membuat pilihan-

pilihan politis sesuai dengan kriteria Injil dan menanggapinya dengan tuntutan iman.56

55
Ricardo Antoncich, Iman dan Keadilan …, hlm. 179.
56
Ricardo Antoncich, Iman dan Keadilan …, hlm. 180.
22

Dalam konteks ini, ajaran sosial Gereja menempatkan tugas perutusan Gereja untuk

senantiasa mendorong perkembangan dan pembangunan umat manusia. Perkembangan

dan pembangunan umat manusia bukan hanya dalam segi ukuran teknis-material, tetapi

juga dalam kesadaran hati nurani. Dengan demikian, Gereja semakin menjunjung tinggi

martabat hidup manusia dan menjadikan hal tersebut menjadi pedoman kehidupan

bersama.57 Gereja menyatakan dimensi politisnya karena nilai yang diperjuangkan di

dalamnya adalah nilai-nilai yang sesuai dengan Kerajaan Allah.58

3.3.2 Gereja dan Politik dalam Masyarakat yang sedang Membangun

Hubungan Gereja dan politik dalam masyarakat yang sedang membangun

tergantung pada situasi politis masing-masing negara. Masalah umum politis yang

dialami oleh umat kristiani adalah perihal sejauh manakah umat kristiani boleh memiliki

keterlibatan atau berperan aktif dalam politik.

Konsili Vatikan II membuat patok-patok dasar keterlibatan umat kristiani dalam

politik:

Adalah sangat penting, terutama dalam masyarakat pluralistik, bahwa


dibedakan dengan jelas antara apa yang dilakukan oleh orang-orang Kristen,
baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, atas nama mereka sendiri sebagai
warga negara, dengan dibimbing oleh hati nurani Kristiani mereka, dan apa yang
mereka lakukan atas nama Gereja bersama dengan para gembalanya.59

57
T. Krispurwana Cahyadi, Yohanes …, hlm. 103.
58
Ricardo Antoncich, Iman dan Keadilan …, hlm. 181.
59
GS, no. 76.
23

Pernyataan di atas membedakan antara dua macam tindakan orang Katolik,

yakni tindakan atas nama Gereja dan tindakan atas tanggung jawab sendiri sebagai

orang Kristen. Atas nama Gereja seorang Katolik hanya dapat bicara dan bertindak

apabila dia ditugaskan oleh Gereja, artinya oleh pimpinan Gerejani yang bersangkutan.

Sedangkan tindakan atas namanya sendiri dipertanggungjawabkannya sendiri, sebagai

orang yang mengimani Kristus.60

Gereja menerima dan menghargai politik karena hakikat politik itu sendiri.

Dimensi politis Gereja merupakan sebuah bentuk keterlibatan konstitutif umat manusia

yang relevan dalam kehidupan sosialnya. Politik memiliki aspek menyeluruh karena

bertujuan demi kesejahteraan umum. Tatanan politis menurut hakikatnya memiliki

suatu otonomi tertentu. Gereja mengakui otonomi yang layak dalam tatanan politis.61

Dalam hal ini, Gereja membedakan dua macam arti politik, yakni:

Pertama, dalam arti luas, politik berarti suatu usaha untuk mewujudkan

kesejahteraan umum, baik secara nasional maupun internasional. Tugasnya adalah

merinci nilai-nilai fundamental setiap komunitas, keselarasan internal dan keamanan

eksternal, memperdamaikan kesamaan dengan kebebasan, otoritas publik dengan

otonomi dan partisipasi yang sah orang perseorangan dan kelompok-kelompok, dan

kedaulatan nasional dengan koeksistensi dan solidaritas internasional. Selain itu, politik

juga mendefinisikan etika dan sarana-sarana hubungan sosial. Dalam arti yang luas ini,

60
Franz Magnis-Suseno, Beriman dalam Masyarakat: Butir-butir Teologi Kontekstual
(Yogyakarta: Kanisius, 1993), hlm. 138.
61
Bdk. GS, no. 36.
24

politik menyangkut kepentingan Gereja, dan karena itu merupakan suatu bakti Gereja

kepada Allah yang menguduskan dan menyelamatkan manusia.62

Kedua, dalam arti sempit, politik merupakan suatu perwujudan konkret tugas

politis yang fundamental yang dilaksanakan oleh kelompok-kelompok warna negara.

Para politisi bertekad untuk mengejar dan melaksanakan kekuasaan politis agar dapat

menyelesaikan masalah-masalah ekonomi, politik, dan sosial sesuai dengan kriteria dan

ideologi mereka. Di sinilah kaum awam kristiani dapat terlibat aktif dalam politik.63

Masalah pelik yang terjadi di dalam masyarakat yang sedang membangun yang

mengundang keprihatinan Gereja adalah pemerkosaan hak-hak asasi manusia. Masalah

ini merupakan masalah politis karena melibatkan kesadaran hati nurani manusia. Gereja

mengecam secara konkret praktek-praktek yang tidak manusiawi melalui ajaran

sosialnya.64

Berkaitan dengan pernyataan di atas, Paus Yohanes Paulus II menegaskan

bahwa betapapun Gereja dipanggil untuk memperjuangkan martabat manusia, namun

hal itu tidak berarti Gereja mengusung suatu ideologi tertentu. Gereja tidak

menggunakan iman kristiani sebagai suatu skema atau alat perjuangan sosial politik,

atau hanya ditempatkan sebagai suatu gagasan humanisme belaka. Pendekatan dan cara

kerja Gereja adalah teologi. Gereja mewartakan Injil tidak secara partisan. Menurut

Ajaran Paus, ajaran sosial Gereja memang merupakan suatu refleksi mendalam akan

62
LG, no. 34.
63
Ricardo Antoncich, Iman dan Keadilan …, hlm. 183.
64
Ricardo Antoncich, Iman dan Keadilan …, hlm. 184.
25

realitas kompleks kehidupan. Refleksi tersebut didasarkan pada iman dan tradisi Gereja,

bukan berdasarkan suatu sistem atau kerangka pemikiran ideologis tertentu. Gereja pun

dalam ajarannya tidak menyajikan suatu model tertentu. Tujuannya pun bukan untuk

membangun suatu sistem, melainkan untuk memahami dan memberikan tuntunan bagi

sikap dan tindakan berdasarkan cahaya ajaran Kitab Suci. Dengan demikian,

keberpihakan Gereja akan martabat manusia adalah panggilan Injil dan buah kesadaran

iman.65

4. Rangkuman

Paus Yohanes Paulus II lahir pada tanggal 18 Mei 1920 di Wadowice. Dia

dikenal sebagai Paus yang gigih memperjuangkan keadilan, perdamaian, maupun

pembebasan manusia dari belenggu penindasan. Dia merefleksikan iman serta panggilan

Gereja yang diutus oleh Kristus ke tengah dunia. Dia menjadi suara iman dan moral di

tengah dunia.

Menurut Paus Yohanes Paulus II, Gereja berada di pihak manusia dan membela

kehidupan umat manusia. Gereja hadir di tengah dunia dan melibatkan dirinya dalam

seluruh dimensi kehidupan, termasuk dalam dimensi politisnya. Pilihan sikap

keberpihakan tersebut memiliki makna panggilan untuk memulihkan kembali

kehidupan manusia pada arah karya keselamatan Allah, sebagaimana dalam rencana

keselamatan Allah dalam kisah penciptaan.

65
T. Krispurwana Cahyadi, Yohanes …, hlm. 102.
26

Politik merupakan kegiatan duniawi masyarakat, yang bagi Gereja juga

merupakan sebuah wadah untuk mengungkapkan iman. Gereja dipanggil untuk

memberi kesaksian iman akan Kristus dengan mengambil sikap yang berani dan tindak

kenabian dalam menghadapi penyalahgunaan kekuasaan politik. Keterlibatan Gereja

dalam dunia politik bukanlah berarti bahwa Gereja menganut suatu sistem politik

tertentu, melainkan suatu bakti Gereja kepada Allah yang menguduskan dan

menyelamatkan manusia. Demikianlah riwayat hidup dan pandangan Paus Yohanes

Paulus II mengenai Gereja dan politik.


27

BAB III

DIMENSI POLITIS GEREJA

DALAM AJARAN SOSIAL PAUS YOHANES PAULUS II

1. Pengantar

Pada bab ini, penulis akan mendeskripsikan gagasan Paus Yohanes Paulus II

mengenai dimensi politis Gereja. Terlebih dahulu akan dipaparkan mengenai

keterlibatan Gereja dalam politik. Kemudian, akan dibahas dimensi politis Gereja yang

terdapat dalam empat ensiklik: Redemptoris Hominis, Laborem Excercens, Sollicitudo

Rei Socialis, dan Centesimus Annus. Selanjutnya, penulis memaparkan etika politik

Gereja, paguyuban politik, dan otoritas politik. Bagian akhir dari bab ini ditutup dengan

rangkuman.
28

2. Keterlibatan Gereja dalam Politik

Gereja mengekspresikan dirinya dalam bentuk visi dan misi. Visi dan misi

dibuat dengan tujuan untuk menjaga kontinuitas, kualitas, produktivitas dan kuantitas

kaum beriman kristiani. Untuk menjalankan visi dan misinya, Gereja membutuhkan

seperangkat fungsi yang terorganisir. Struktur fungsional hirarki dan kaum awam,

dengan uraian tugasnya masing-masing, sangatlah diperlukan. Gereja menjadi suatu

lembaga institusional.66

Gereja memberikan kontribusinya di dalam kehidupan manusia. Gereja

berperanserta dalam hidup menggereja dan bermasyarakat dengan semangat kristiani.

Gereja juga menyajikan solusi terhadap sejumlah masalah keagamaan dan organisasi

sosial politik.67

Gereja lahir, hidup, dan berkembang seiring dengan derap sejarah hidup manusia

di dunia ini. Gereja yang serentak ilahi dan insani berada di dalam dunia, 68 menjadi

bagian dari dunia serta terlibat dalam semua sendi kehidupan manusia di dunia ini,

termasuk dalam lingkup politik. Wujud keterlibatan Gereja dalam realitas kehidupan

manusia di dunia, terutama dalam praksis politik yang sudah ada sejak adanya Gereja

nyata dalam keterlibatan anggota-anggotanya. Tujuan keterlibatan Gereja adalah

66
Antonius Subiyanto Bunyamin, “Reposisi Agama”, dalam Melintas, 20/61 (April – Juli 2004),
hlm. 38-39.
67
Saut Sirait, Politik Kristen di Indonesia: Suatu Tinjauan Etis (Jakarta: BPK Gunung Mulia),
hlm. 73.
68
LG, no. 8.
29

memperjuangkan dan menyingkapkan visi kemanusiaan yang utuh berdasarkan prinsip-

prinsip iman demi terciptanya bonum commune (kesejahteraan umum) di dunia ini.69

Konsili Vatikan II memberikan ruang yang baru menyangkut keterlibatan Gereja

dalam dunia. Gereja sebagai persekutuan umat Allah mengandaikan adanya suatu sikap

baru dalam memandang dunia. Bagi dunia Gereja dimaklumkan sebagai tanda dan

sakramen keselamatan. Keberadaan Gereja sebagai sebuah persekutuan di dalam dunia

menuntut Gereja menjadi bagian dari sejarah dunia dan turut serta mengalami

keterbatasan dan perkembangan dunia secara bertahap melalui berbagai peristiwa yang

terjadi di dalam dunia.70

Gereja memiliki sifat pastoral dan profetis. Gereja sebagai Umat Allah tidak

hanya menyibukkan diri dalam hal-hal rohani, tetapi juga mesti sungguh-sungguh

terlibat dalam kehidupan masyarakat sebagai hasil dari inkarnasi dan kebangkitan

Kristus. Gereja terlibat dengan menaruh komitmen kepada berbagai kenyataan sosial

dan pokok persoalan manusia, serta terlibat dalam perjuangan manusia demi

pembebasan.71

Paus Yohanes Paulus II, dalam sambutannya kepada peserta pertemuan studi

para ahli hukum di Universitas Lateran, pada tanggal 10 Maret 1984, mengungkapkan

69
Alfonsus Very Ara, “Keterlibatan Kaum Imam dalam Lingkup Politik menurut Konstitusi
Pastoral tentang Gereja di dunia Dewasa ini Gaudium et Spes no. 43”, dalam Warta Keuskupan Sibolga,
30/7 (Mei – Juni 2013), hlm. 27.
70
Errol D’lima, “Menggereja Secara Baru”, dalam Georg Kirchberger dan John Mansford Prior
(ed.), Kibrat Baru bagi Anggur Baru (Ende: Nusa Indah, 2000), hlm. 104-105.
71
Emmanuel Asi, “Mengimpikan Sebuah Model Gereja yang Baru: Gereja Umat”, dalam Georg
Kirchberger dan John Mansford Prior (ed.), Kibrat Baru ..., hlm. 125.
30

bahwa Gereja mendapatkan tugas perutusan dari Kristus untuk mewartakan kebenaran.

Hal ini berarti bahwa kristianitas harus merupakan dasar dan acuan bagi seluruh kajian

dan pertimbangan antropologis, bukan dianggap sebagai alternatif nilai atau pendekatan

terhadap masalah-masalah kemanusiaan. Menurut Paus Yohanes Paulus II,

kecenderungan yang berkembang dalam kehidupan politik dan praktik pemerintahan

demokratis seperti egoisme,72 hedonisme,73 rasisme,74 dan materialisme praktis,75 terjadi

karena praktek politik meninggalkan acuan akan kebenaran nilai-nilai moral dan realitas

transendental dalam kehidupan, dan dalam proses pengambilan keputusan-keputusan

politis.76

Perubahan pandangan, sikap, dan relasi Gereja terhadap dunia menuntut Umat

Allah untuk terlibat dalam pergerakan hidup dunia dan aneka persoalannya. Gereja

menaruh perhatiannya terutama berkenaan dengan peradaban, perjuangan, dan harapan

manusia. Gereja turut membangun dan membentuk tata dunia agar menjadi lebih

manusiawi serta bertanggung jawab atas perkara-perkara konkret yang dihadapi oleh

manusia. Gereja dipanggil dan diutus untuk membangun dan menata dunia agar menjadi

72
Egoisme adalah suatu teori yang mengemukakan bahwa segala perbuatan atau tindakan selalu
disebabkan oleh keinginan untuk menguntungkan diri sendiri. [Lihat Departemen Pendidikan Nasional,
Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hlm. 285.]
73
Hedonisme adalah suatu pandangan yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi
sebagai tujuan utama hidup. [Lihat Departemen Pendidikan Nasional, Kamus …, hlm. 394.]
74
Rasisme adalah suatu paham yang memandang bahwa ras diri sendiri adalah ras yang paling
unggul. [Lihat Departemen Pendidikan Nasional, Kamus …, hlm. 933.]
75
Materialisme praktis adalah sebuah pandangan hidup yang mencari dasar segala sesuatu yang
termasuk kehidupan manusia di dalam alam kebendaan semata-mata dengan mengesampingkan segala
sesuatu yang mengatasi alam indera. [Lihat Departemen Pendidikan Nasional, Kamus …, hlm. 723.]
76
T. Krispurwana Cahyadi, Yohanes …, hlm. 115-116.
31

lebih manusiawi. Oleh karena itu, Gereja melibatkan dirinya dalam pergumulan dunia,

baik dalam lingkup sosial, ekonomi, budaya maupun politik.77

3. Dimensi Politis Gereja Menurut Ajaran Sosial Paus Yohanes Paulus II

Dalam bagian ini, penulis akan memaparkan dimensi politis Gereja menurut

Ajaran Sosial Paus Yohanes Paulus II. Selanjutnya, dimensi politis Gereja itu akan

semakin ditunjukkan dalam etika politik Gereja, yang di dalamnya memuat prinsip-

prinsip dasar dan sikap konkret keterlibatan politis kristiani. Melalui paguyuban politik,

Gereja semakin menunjukkan keterlibatan anggota-anggotanya dalam politik.

3.1 Redemptoris Hominis

Redemptoris Hominis (Penebus Umat Manusia) adalah ensiklik pertama yang

ditulis oleh Paus Yohanes Paulus II pada tahun 1979, dalam tahun pertama masa

kepausannya. Di dalam ensiklik ini terkandung refleksi antropologis kristiani yang

menempatkan Kristus sebagai ukuran bagi kehidupan, sehingga segala upaya dan

perkembangan yang ada, baik dalam bidang ekonomi, sosial, politik, dan budaya

diletakkan pada tatanan dan tujuan keselamatan ilahi. Menurut Paus Yohanes Paulus II,

keselamatan memiliki dimensi ilahi dan sekaligus manusiawi. Dalam misteri

keselamatan, berkat karya penebusan Kristus, umat manusia mengambil bagian dalam

77
Alfonsus Very Ara, “Keterlibatan …”, hlm. 27.
32

misteri kehidupan abadi Allah. Melalui penebusan Kristus tersebut, manusia

dikembalikan kepada keadaan semula, sebagai anak-anak Allah dan dipanggil untuk

hidup dalam rahmat, yakni panggilan untuk saling mengasihi.78

Gereja tidak dapat bersikap acuh terhadap apa saja yang melayani kebaikan

manusia. Gereja tidak berhubungan dengan khayalan, tetapi dengan pribadi riil dengan

semua orang dalam kenyataan manusiawi masing-masing. Oleh karena Gereja adalah

penjaga corak transendensi pribadi manusia, maka dia tidak harus menjadi bingung

dengan suatu masyarakat politis ataupun mengikatkan diri pada sistem politik tertentu.79

Gereja tiada henti-hentinya berbicara kepada semua orang dan semua bangsa

bahwa keselamatan itu meresapi dunia dalam berbagai kenyataan ekonomi dan kerja,

teknologi dan komunikasi, masyarakat dan politik, masyarakat internasional dan

berbagai relasi di antara aneka kebudayaan dan bangsa. Sikap Gereja ini ditegaskan oleh

Paus Yohanes Paulus II:

Diilhami oleh iman eskatologis, Gereja memandang perutusannya


sebagai unsur pemersatu yang hakiki dan tidak terputuskan untuk menaruh
perhatian terhadap manusia, terhadap kemanusiaannya, terhadap masa depan
manusia di bumi dan oleh karenanya juga terhadap arah yang ditetapkan untuk
seluruh perkembangan dan kemajuan. Gereja menemukan prinsip perhatiannya
dalam Yesus Kristus sendiri, sebagaimana dipersaksikan oleh Injil. Inilah
sebabnya mengapa Gereja ingin membuat perhatian ini bertumbuh terus-
menerus melalui hubungannya dengan Kristus, dengan membaca situasi manusia
di dalam dunia modern.80

78
T. Krispurwana Cahyadi, Yohanes …, hlm. 49-50.
79
Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi – KWI, Ajaran Sosial Gereja (Jakarta: KWI, 2008),
hlm. 80.
80
RH, no. 15.
33

Gereja menghimbau setiap pemangku jabatan politik agar bertindak demi

perwujudan kesejahteraan umum. Kewajiban fundamental kekuasaan adalah perhatian

terhadap kesejahteraan umum. Hak-hak kekuasaan hanya dapat dipahami atas dasar

hormat terhadap hak-hak asasi manusia. Hak asasi manusia itu bersifat obyektif dan

tidak dapat diganggu-gugat. Maka, prinsip penegakan hak asasi manusia merupakan

keprihatinan yang sangat penting dipahami oleh badan-badan politik.81

Gereja merangkul manusia dalam seluruh kebenaran hidupnya, keberadaannya

secara pribadi, kekerabatannya, dan hidup sosialnya. Karena alasan inilah maka Gereja

mengakui tugas hakikinya untuk menjamin agar persekutuan terpelihara dan dibarui. Di

dalam Kristus Tuhan, Gereja menunjukkan dan berjuang untuk menjadi yang pertama

menempuh pribadi manusia.82

3.2 Laborem Excercens

Paus Yohanes Paulus II menerbitkan Ensiklik Laborem Exercens pada tanggal

14 September 1981 untuk mengenang sembilan puluh tahun Ensiklik Rerum Novarum,

tahun 1891. Dalam ensiklik ini Paus mengutarakan keprihatinannya atas masalah-

masalah yang ditimbulkan atau berkaitan dengan industrialisasi pada zaman mutakhir

ini. Paus menekankan hal yang sama yang telah dibuat oleh para pendahulunya tentang

peranan Gereja di dalam dunia modern. Dalam ensikliknya ini, Paus tidak ingin

81
RH, no. 17.
82
RH, no. 14.
34

membuat analisis ilmiah tentang konsekuensi-konsekuensi perubahan teknologi, politik,

ekonomi, melainkan menunjukkan keprihatinan pada martabat dan hak para pekerja,

mengecam situasi-situasi di mana martabat dan hak-hak asasi manusia diperkosa, dan

menuntun pada perubahan-perubahan yang menjamin kemajuan yang otentik berkenaan

dengan manusia dan masyarakat.83

Dalam ensiklik Laborem Excercens, Paus Yohanes Paulus II memberikan

tekanan kuat pada keterlibatan manusia dalam dunia kerja dan aktivitas ekonomi.

Menurut Paus, kerja adalah kunci dari persoalan-persoalan sosial dan tanda dasariah

dimensi kehidupan umat manusia di dunia. Persoalan dunia kerja dan kehidupan

ekonomi tidak boleh mereduksi martabat manusia, apalagi menanggalkan aspek etis di

dalamnya. Tanpa nilai etika dan moral, martabat manusia tidak akan mendapatkan

penghargaan yang layak, sehingga martabat manusia terjepit dalam kepentingan

kapitalisme84 dan industri yang bergerak dengan prinsip ekonomisme85 dan

materialisme.86

83
Eddy Kristiyanto, Diskursus Ajaran Sosial Gereja Sejak Leo XIII (Malang: Dioma, 2003),
hlm. 167-168.
84
Kapitalisme adalah suatu sistem dan paham ekonomi yang modalnya bersumber dari modal
pribadi atau modal perusahaan swasta dengan ciri persaingan pasar bebas. [Lihat Departemen
Pendidikan Nasional, Kamus …, hlm. 505.]
85
Ekonomisme adalah suatu paham yang sangat menekankan asas-asas produksi, distribusi dan
pemakaian barang serta modal. [Lihat Departemen Pendidikan Nasional, Kamus …, hlm. 287.]
86
Bdk. Paus Yohanes Paulus II, Ensiklik Laborem Excercens (Dengan Bekerja) (Seri
Dokumentasi Gerejawi no. 39), diterjemahkan oleh R. Hardawiryana (Jakarta: Departemen Dokumentasi
dan Penerangan KWI, 1995), no. 6. Untuk kutipan selanjutnya, Ensiklik ini akan ditulis LE dan diikuti
oleh nomor yang ditunjuk; bdk. juga T. Krispurwana Cahyadi, Yohanes …, hlm. 17.
35

Paus Yohanes Paulus II melontarkan kritik terhadap komunisme87 dan

kapitalisme. Dasar kritik Paus adalah komunisme dan kapitalisme merusak jiwa

manusia. Kedua paham ini akhirnya menghasilkan totalitarianisme.88 Menurut Paus

Yohanes Paulus II, totalitarianisme dalam dunia modern terjadi karena orang menolak

realitas transenden, kenyataan ilahi, dan pemahaman yang salah akan arti dan makna

kebebasan. Melaluinya kebenaran tertinggi diingkari, sebab paham ini membangun

kebenaran di dalam dirinya sendiri. Keluhuran martabat manusia dan kenyataan

transenden dalam diri pribadi manusia sebagai citra Allah, disangkal.89

Paus Yohanes Paulus II membedakan kerja dalam arti objektif dan subjektif.

Dalam arti objektif pekerjaan berarti apa yang dihasilkan dari kerja manusia, yang

terungkap dalam kebudayaan dan peradaban sepanjang zaman, dengan alat-alat dan

teknik yang digunakan oleh manusia.90 Sedangkan pekerjaan dalam arti subyektif

berarti manusia sebagai pelaku dari pekerjaan itu. Dasar dan nilai luhur pekerjaan

adalah manusia. Manusia dipanggil untuk bekerja. Pekerjaan untuk manusia dan bukan

87
Komunisme adalah suatu paham atau ideologi dalam bidang politik yang menganut ajaran
Karl Marx dan Fredrich Engels, yang hendak menghapuskan hak milik perseorangan dan
menggantikannya dengan hak milik bersama yang dikontrol oleh negara. [Lihat Departemen Pendidikan
Nasional, Kamus …, hlm. 585-586.]
88
Totalitarianisme adalah suatu paham yang dianut oleh pemerintahan totaliter dan praktik-
praktik yang mereka laksanakan. [Lihat Departemen Pendidikan Nasional, Kamus …, hlm. 1208.]
89
LE, no. 11; bdk. T. Krispurwana Cahyadi, Yohanes …, hlm. 111.
90
LE, no. 5; bdk. J.B. Banawiratma dan J. MÜller, Berteologi Sosial Lintas Ilmu (Yogyakarta:
Kanisius, 1995), hlm. 209.
36

manusia untuk pekerjaan. Karena itu, manusia tidak pernah boleh dijadikan sarana dan

faktor produksi belaka.91

Sejalan dengan itu, Paus Yohanes Paulus II menekankan prioritas kerja

manusiawi, yakni primat pekerjaan atas modal. Modal yang merupakan kumpulan alat-

alat produksi adalah juga hasil dari pekerjaan manusia. Modal untuk manusia dan bukan

manusia untuk modal. Ekonomisme materialistik yang memandang pekerjaan manusia

melulu demi keuntungan ekonomis, tidak dapat diterima.92

Satu-satunya kemungkinan yang agaknya masih terbuka untuk secara


radikal mengatasi kesesatan itu ialah melalui perubahan-perubahan yang
memadai dalam teori maupun praktek, sehaluan dengan keyakinan yang mantap
akan keunggulan pribadi terhadap barang-barang, dan keunggulan kerja manusia
terhadap modal dalam arti seluruh perangkat upaya-upaya produksi.93

3.3 Sollicitudo Rei Socialis

Paus Yohanes Paulus II mengeluarkan ensiklik Sollicitudo Rei Socialis pada

tanggal 30 Desember 1987 dalam rangka ulang tahun ke- 20 ensiklik Populorum

Progressio yang dikeluarkan oleh Paus Paulus VI pada tanggal 26 Maret 1967. Dalam

ensiklik ini, Paus Yohanes Paulus II berbicara tentang solidaritas94 sebagai bagian dari

91
LE, no. 6.
92
LE, no. 12.
93
LE, no. 13.
94
Solidaritas artinya sifat satu rasa; perasaan setia kawan. [Lihat Departemen Pendidikan
Nasional, Kamus …, hlm. 1082.]
37

panggilan ilahi manusia menuju perkembangan hidup yang sesuai dengan martabat

manusia sebagaimana telah diserukan oleh Paus Paulus VI.95

Paus Yohanes Paulus II melihat situasi dunia yang semakin memprihatinkan.

Hal ini ditandai dengan semakin melebarnya jurang antara negara-negara di belahan

Utara yang sudah maju dan negara-negara di belahan Selatan yang masih miskin. Di

semua negara ditemukan perbedaan yang sangat mencolok antara kemakmuran atau

kekayaan di satu pihak dan kemiskinan atau kemelaratan di pihak lain.96

Dunia dibagi dalam dua blok besar, yakni Barat dan Timur. Blok Barat memiliki

ideologi kapitalis liberalis. Blok Timur memiliki ideologi kolektivisme 97 Marxist.

Kedua blok ini memunculkan ketegangan-ketegangan politis.98 Panorama dunia

kontemporer inilah yang mendorong Paus menegaskan ajaran sosial Gereja yang

melancarkan sikap kritis terhadap kapitalisme liberal dan kolektivisme marxistis.99

Paus Yohanes Paulus II memberi dua himbauan mengenai perkembangan.

Pertama, perkembangan jangan hanya dilihat sebagai masalah ekonomi. Perkembangan

baru dipahami dengan tepat bila dilihat juga sebagai masalah politis dan kultural, dan

dengan demikian perkembangan menjadi sebuah tantangan etis. Paus Yohanes Paulus II

95
Eddy Kristiyanto, Diskursus ..., hlm. 181.
96
SRS, no. 14.
97
Kolektivisme adalah suatu paham yang tidak menghendaki adanya hak milik perseorangan,
baik atas modal, tanah, maupun alat produksi; semua harus dijadikan milik bersama, kecuali barang
konsumsi. [Lihat Departemen Pendidikan Nasional, Kamus …, hlm. 581.]
98
SRS, no. 20.
99
SRS, no. 21.
38

menegaskan bahwa perkembangan yang sejati tercapai apabila membantu manusia

untuk merealisasikan panggilannya. Kedua, perkembangan merupakan tugas perutusan

yang diterima oleh manusia dari Pencipta. Manusia tidak boleh acuh tak acuh akan

tugas perutusan tersebut. Setiap orang wajib mengusahakannya sebagai wujud dan tanda

solidaritasnya kepada mereka yang menderita.100

Pembangunan masyarakat merupakan misi dari setiap partai politik. Menurut

Paus Yohanes Paulus II, partai politik tidak dapat dipisahkan dari demokrasi. Melalui

semangat demokrasi, partai politik dapat mencegah segala bentuk pemerintahan yang

korup, diktatorial, dan otoriter. Semangat demokrasi menjamin perkembangan

masyarakat politis. Paus mengharapkan agar semangat demokrasi ini bertumbuh kuat

dalam tubuh partai politik. Dengan demikian, partai politik bisa berkembang dan

mampu membuat perencanaan ke depan secara lebih baik demi mewujudkan

kesejahteraan umum.101

Paus Yohanes Paulus II kemudian berbicara mengenai solidaritas kepada orang-

orang miskin. Solidaritas adalah sistem penilaian dan kategori moral dalam membangun

relasi ekonomi, politik, sosial, budaya, dan bahkan relasi antar umat beragama.

Solidaritas adalah tanda kebenaran serta kebajikan kristiani, yang bersumber dari

100
Franz Magnis-Suseno, Beriman ..., hlm. 50-51; bdk. SRS, no. 30.
101
SRS, no. 44.
39

tindakan Allah yang menunjukkan kasih-Nya untuk memulihkan martabat manusia

sebagai citra-Nya.102

Paus Yohanes Paulus II mengajak Gereja dewasa ini untuk semakin meneladani

hidup Yesus, yang mendahulukan kaum miskin.

Dewasa ini persoalan sosial telah menjadi persoalan dunia, maka cinta
yang memihak pada kaum miskin, dan keputusan-keputusan yang mengilhami
kita, harus dapat merangkul jumlah yang amat besar orang lapar, orang
berkekurangan, orang yang tak mempunyai rumah, orang yang tanpa perawatan
medik, dan terutama orang yang tiada pengharapan akan suatu masa depan yang
lebih baik. Merupakan suatu keharusan untuk memperhitungkan eksistensi dari
kenyataan-kenyataan ini.103

Melalui ungkapan ini, Paus Yohanes Paulus II menegaskan bahwa Gereja berada di

pihak manusia. Pilihan sikap keberpihakan tersebut memiliki makna panggilan untuk

memulihkan manusia dan kehidupannya kembali pada arah karya keselamatan Allah.

3.4 Centesimus Annus

Paus Yohanes Paulus II menerbitkan ensiklik Centesimus Annus pada tanggal 1

Mei 1991 untuk memperingati seratus tahun Rerum Novarum yang diterbitkan oleh

Paus Leo XIII pada tanggal 15 Mei 1891. Ada tiga keistimewaan ensiklik Paus Yohanes

Paulus II ini. Pertama, Paus menawarkan sebuah tinjauan yang menyeluruh atas

kerangka fundamental kumpulan doktrinal ajaran sosial Gereja. Kedua, Paus membantu

102
T. Krispurwana Cahyadi, Yohanes …, hlm. 35-36.
103
SRS, no. 42.
40

Gereja mencari orientasi dalam situasi dunia pada akhir abad ke- 20 yang ditandai oleh

runtuhnya sistem komunisme internasional, krisis makna masyarakat, dan kemiskinan

yang semakin tajam terutama di negara-negara berkembang. Ketiga, Paus mempertegas

sikap-sikap yang seharusnya ditempuh oleh Gereja dalam menghadapi masalah-masalah

sosial dewasa ini, terlebih dalam perjuangan melawan ketidakadilan.104

Centesimus Annus memberikan penilaian jelas tentang demokrasi. Gereja

menghargai sistem demokrasi. Sistem pemerintahan demokratis membuka kesempatan

bagi setiap warga negara untuk berperanserta dalam menentukan kebijakan-kebijakan

politik dan memilih pemimpin mereka. Berdasarkan pada pemahaman ini, Gereja

menolak pemimpin yang tidak demokratis. Gereja mencela penyalahgunaan kekuasaan

politik. Dalam ensiklik ini, Paus menegaskan bahwa demokrasi yang sejati hanya dapat

diwujudkan dalam negara hukum dan paham yang tepat tentang pribadi manusia.

Demokrasi harus mengembangkan setiap warga negara melalui pendidikan, pembinaan,

dan peningkatan partisipasi dan tanggungjawab bersama.105

Paus Yohanes Paulus II melihat negara-negara yang berhaluan demokrasi tidak

selalu menegakkan hak-hak manusia. Keputusan-keputusan politis yang dibuat tidak

demi kesejahteraan umum, melainkan kepentingan golongan tertentu. Segala kebijakan

tidak dipertimbangkan menurut norma keadilan dan moralitas. Hal ini menimbulkan

104
Franz Magnis-Suseno, Beriman ..., hlm. 85-86.
105
Paus Yohanes Paulus II, Ensiklik Centesimus Annus (Ulang Tahun ke Seratus) (Seri
Dokumentasi Gerejawi no. 15), diterjemahkan oleh R. Hardawiryana (Jakarta: Departemen Dokumentasi
dan Penerangan KWI, 1992), no. 46. Untuk kutipan selanjutnya, Ensiklik ini akan ditulis CA dan diikuti
oleh nomor yang ditunjuk.
41

kemerosotan politik dan sikap apatis masyarakat. Akibatnya, partisipasi politik dan

semangat kewarganegaraan mengalami kemunduran.106

Paus Yohanes Paulus II menegaskan lebih lanjut bahwa ajaran sosial Gereja

pada hakikatnya merupakan partisipasi dalam pelaksanaan rencana Allah untuk setiap

manusia. Sebab, setiap manusia ditampung dalam misteri penebusan Kristus, dan

melalui misteri itu Kristus menyatukan diri-Nya kepada setiap manusia untuk selama-

lamanya.107 Berdasarkan alasan inilah, ajaran sosial Gereja merupakan bagian dari

antropologi teologis, khususnya bagian dari teologi moral. 108 Kebenaran yang

disampaikan oleh ajaran sosial Gereja tidak dapat dipandang sebagai teori melulu,

melainkan sebagai patokan nyata dan sekaligus pendorong untuk mewujudkan

kesejahteraan umum. Hal itu dinyatakan dalam wujud kasih kepada mereka yang

miskin.109

Paus Yohanes Paulus II menempatkan martabat manusia sebagai dasar dan

tujuan politik. Artinya, sebuah demokrasi yang otentik bukanlah sekadar hasil

pelaksanaan formal sebuah aturan, melainkan buah dari pengakuan dan keyakinan akan

nilai-nilai demokrasi. Jadi, martabat pribadi manusia sebagai tujuan dan kriteria dari

kehidupan politik.110

106
CA, no. 47.
107
CA, no. 53.
108
CA, no. 55.
109
T. Krispurwana Cahyadi, Yohanes …, hlm. 101.
110
CA, no. 60.
42

Dimensi politis yang terdapat dalam keempat ensiklik di atas mengajak Gereja

untuk membela yang lemah, miskin, dan tersingkir. Tanggung jawab ini dilakukan

dengan berpartisipasi pada usaha membangun keadaban publik, membela korban

pelanggaran hak asasi manusia, dan menegakan keadilan dan kebenaran. Dalam hal

tanggung jawab tersebut, kaum awam terlibat langsung dalam tindak politik praktis ini.

Dengan dibimbing oleh hati nurani, kaum awam memenuhi kewajiban sebagai warga

negara dengan melaksanakan tugas yang tepat memasuki tatanan duniawi dengan nilai-

nilai kristiani. Dengan keterlibatannya, kaum awam menampilkan wajah sosial politik

Gereja.

4. Etika Politik Gereja

Gereja tidak memberikan petunjuk bagaimana manusia harus ditata. Namun,

Gereja mempunyai etika politik. Gereja mengembangkan etika politiknya atas dasar

ajaran Yesus. Lewat Yesus semua orang mengalami kuasa dan kasih Allah. Kuasa dan

kasih itu dilaksanakan dengan mengusahakan keadilan dan kebaikan bagi semua orang

dan golongan, menjunjung tinggi martabat manusia dan toleransi, solidaritas dengan

orang-orang lemah, miskin dan tersingkir, berpihak pada kehidupan dan mengutamakan

jalan damai.111

Solusi atas suatu permasalahan menuntut adanya suatu tolok ukur. Tolok ukur

dari etika politik Gereja adalah prinsip-prinsip injili. Prinsip tersebut mengusahakan

111
Franz Magnis-Suseno, Iman ..., hlm. 130-132.
43

bagaimana manusia harus hidup bersama agar martabatnya sebagai anak Allah sesuai

dengan apa yang telah diajarkan oleh Gereja. Paus Yohanes Paulus II mengakui bahwa

masyarakat politik dan Gereja memiliki otonomi dalam bidangnya masing-masing,

namun keduanya melibatkan diri dalam pelayanan kepada manusia dan kesejahteraan

umum.112

4.1 Prinsip-prinsip Dasar Keterlibatan Politis Kristiani113

Ajaran sosial Gereja memberikan lima prinsip dasar keterlibatan politis kristiani,

antara lain:

1. Hormat terhadap martabat manusia sebagai persona. Manusia mengungguli makhluk

ciptaan lainnya karena dia memiliki akal budi, kemauan, suara hati, kebebasan,

tujuan pada dirinya sendiri, dan terarah kepada Allah. Karena itu, setiap orang tidak

boleh diperalat demi mencapai tujuan politik tertentu.

2. Pengakuan terhadap martabat manusia yang sama tanpa membedakan suku,

keturunan, agama, kepercayaan, keyakinan politik, jenis kelamin, kedudukan sosial,

ras, dan warna kulit.

112
Komisi Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian, Kompendium Ajaran Sosial Gereja (judul
asli: Pontifical Council for Justice and Peace, Compendium of the Social Doctrine), diterjemahkan oleh
Yosef Maria Florisan, Paul Budi Kleden, Otto Gusti Madung (Ledalero: CV. Titian Galang Printika,
2009), no. 50. Untuk kutipan selanjutnya, kompendium ini akan ditulis ASG dan diikuti oleh nomor yang
ditunjuk; bdk. SRS, no. 8.
113
ASG, no. 419-420.
44

3. Kesejahteraan umum. Maksudnya adalah negarawan dan politisi, baik di tingkat

nasional maupun lokal mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan

pribadi.

4. Subsidiaritas. Maksudnya adalah negara membantu dan mendukung kegiatan dan

kehidupan masyarakat.

5. Solidaritas. Maksudnya adalah setiap anggota masyarakat bertanggung jawab dan

bersedia berkorban demi bangsa dan negara. Solidaritas juga berarti mendahulukan

yang lemah, miskin, dan tak berdaya (prefential option for the poor).

4.2 Sikap Konkret Politis Kristiani

Keterlibatan kaum awam kristiani dalam politik merupakan ungkapan dirinya

sebagai anggota masyarakat yang turut serta menentukan kelangsungan hidupnya dan

ditentukan kembali oleh tindak-tanduknya sesuai dengan kemampuannya. Sikap yang

mesti mengilhami kaum awam kristiani dalam kegiatan politik adalah mewujudkan

kesejahteraan umum. Hal itu dinyatakan melalui semangat pelayanan, penegakan

keadilan, penghormatan terhadap otonomi realitas duniawi, pembelaan hak-hak dasar

manusia, dan perdamaian.114

114
ASG, no. 565.
45

Gereja turut serta mengambil bagian dalam kehidupan politik dan merasakan

bahwa berpolitik adalah suatu panggilan khusus untuk memadukan iman dan moralitas

sebagai dasar dan tujuan rencana konkret. Perpaduan iman dan moralitas menunjuk

pada pemahaman bahwa kekuasaan politik menjamin nilai-nilai luhur hidup masyarakat,

sesuai dengan kehendak Allah.115

Keterlibatan Gereja di dalam dunia politik disadari sebagai panggilan yang khas

kaum awam di dalam kehidupan bernegara. Menyadari hal ini sebagai panggilan yang

khas, Gereja pun memberi seruan kepada kaum awam beriman kristiani agar mampu

memancarkan keteladanan untuk mengabdikan diri pada kesejahteraan bersama. Gereja

menekankan bahwa kesejahteraan umum adalah tujuan utama dari pengabdian umat

beriman di dalam kehidupan bernegara.116

5. Paguyuban Politik

5.1 Landasan dan Tujuan Paguyuban Politik

Paus Yohanes Paulus II menegaskan bahwa sumber inspirasi Gereja tentang

politik adalah Kitab Suci. Kitab Suci memperlihatkan bahwa kekuasaan politik berasal

dari Allah dan merupakan bagian utuh dari tatanan yang Dia ciptakan. Tatanan tersebut

115
ASG, no. 555.
116
Bdk. GS, no. 42.
46

dikenal oleh manusia melalui hati nuraninya dan diwujudkan dalam kehidupan

masyarakat lewat kebenaran, keadilan, kebebasan, solidaritas, dan perdamaian.117

5.1.1 Pribadi Manusia dan Bangsa

Pribadi manusia merupakan dasar dan tujuan tatanan kehidupan politik. Berkat

kemampuan akal budinya manusia mampu bertanggung jawab atas keputusannya dan

mewujudkan rencana-rencananya, baik secara individual maupun sosial. Hal ini

mengandaikan bahwa kehidupan politik membutuhkan tatanan moral. Kehidupan

Politik adalah sebuah realitas yang terpatri dalam kodrat manusia. Melalui paguyuban

politik setiap pribadi mewujudkan cita-cita kodratinya, yakni mencari kebenaran,

mengusahakan kebaikan, dan menciptakan kesejahteraan umum.118

Pemeliharaan dan pembangunan struktur kehidupan bersama mesti

dipertanggungjawabkan secara kodrati dan moral. Dari sini Paus Yohanes Paulus II

kemudian berbicara mengenai solidaritas. Menurut Paus, solidaritas adalah kebenaran

moral dan tindakan sosial yang semakin dibutuhkan dewasa ini. Paus mengharapkan

agar tindakan solidaritas menjadi sistem penilaian dan kategori moral dalam

memulihkan martabat manusia sebagai citra Allah. Karena itu, dimensi pribadi bagi

117
SRS, no. 39; bdk. juga ASG, no. 383.
118
ASG, no. 384.
47

sesama tidak bisa dipisahkan dari dimensi dasariah jati diri pribadi manusia, yakni

pribadi bagi Tuhan.119

5.1.2 Membela dan Memajukan Hak Asasi Manusia

Sollicitudo Rei Socialis berulang kali menegaskan bahwa perkembangan sejati

manusia tercapai apabila hak-hak asasi manusia dalam semua dimensi kehidupannya

dibela dan dimajukan. Paham hak asasi manusia merupakan sasaran penting etika

politik Gereja. Tujuannya untuk menjamin keutuhan martabat manusia berhadapan

dengan kekuatan-kekuatan politik, sosial, dan ekonomi modern. Gereja melihat dirinya

dipanggil untuk menjadi pembela hak asasi manusia.120

Perwujudan kesejahteraan umum mewajibkan paguyuban politik untuk berjuang

membela dan memajukan hak asasi manusia. Setiap golongan atau kelompok sosial

tertentu tidak boleh meraup keuntungan istimewa karena hak-hak mereka dilindungi.

Pemerintah harus berusaha melindungi hak-hak asasi manusia secara menyeluruh dan

penuh.121

119
T. Krispurwana Cahyadi, Yohanes …, hlm. 65.
120
Franz Magnis-Suseno, Beriman ..., hlm. 53.
121
ASG, no. 389.
48

5.1.3 Hidup Bersama atas Dasar Persahabatan Warga

Usaha untuk menyatukan pribadi-pribadi dan bangsa-bangsa selaras dengan

rencana Tuhan yang menghendaki agar semua orang membentuk satu keluarga dan

memperlakukan satu sama lain sebagai saudara. Setiap orang diciptakan secitra dengan

Allah dan dipanggil kepada satu tujuan tunggal dan sama yakni Allah sendiri. Di dalam

Allah, semua bangsa saling bersatu. Kesatuan itu bukan hanya karena hubungan

antarpribadi dan bangsa, melainkan lebih pada suatu kesatuan cinta dan persahabatan. 122

Manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan orang lain, masyarakat, dan

lembaga-lembaga sosial. Secara pribadi manusia tidak dapat memenuhi segala

kebutuhannya. Baru melalui kehidupan sosial manusia memiliki kesempatan untuk

mengembangkan segala kemampuannya, mencapai tujuannya, menunaikan

kewajibannya, dan berelasi dengan orang lain dalam dialog persaudaraan.123

5.2 Otoritas Politik

5.2.1 Dasar Otoritas Politik

Gereja meneliti dan membuka diskusi tentang pelbagai macam konsep otoritas

dengan berpegang teguh pada upaya mempertahankan dan menyuarakan suatu model

122
ASG, no. 390-391.
123
GS, no. 25.
49

yang mendasarkan diri pada kodrat sosial pribadi manusia. Ajaran sosial Gereja

merumuskan otoritas politik sebagai sarana pemberi arah dan koordinasi yang

mengarahkan setiap orang dan kelompok untuk mengikuti aturan dan cara kerja suatu

institusi. Tujuannya untuk mendewasakan dan mempersatukan manusia menurut batas-

batas moral dan tata perundang-undangan yang telah ditetapkan secara sah. Berdasarkan

hati nuraninya, setiap warga negara memiliki kewajiban untuk patuh pada otoritas

politik.124

Paus Yohanes Paulus II menyinggung masalah demokrasi dalam ensikliknya

Sollicitudo Rei Socialis. Paus menaruh harapan keyakinannya pada pemerintah yang

demokratis. Paus menegaskan bahwa struktur-struktur diktatoris dan otoriter dalam

pemerintahan perlu diganti. Paus mengusulkan pengganti dari struktur-struktur

diktatoris dan otoriter itu, yakni sistem pemerintahan yang demokratis. Tatanan yang

demokratis memungkinkan setiap orang untuk menentukan arah perkembangannya.

Paham mengenai demokrasi membuka perspektif baru bagi kelangsungan pemeliharaan

dan penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia.125

5.2.2 Otoritas sebagai Kekuatan Moral

Otoritas politik berkembang dalam suatu tatanan moral. Asal dan tujuannya

adalah Allah sendiri. Otoritas politik tidak ditentukan oleh faktor-faktor historis dan

124
GS, no. 74.
125
Franz Magnis-Suseno, Beriman ..., hlm. 53; bdk. juga SRS, no. 15, 26, 33, dan 42.
50

sosiologis. Alasannya ialah otoritas politik itu memiliki kaitan erat dengan tujuan

tatanan moral yang mendahului dan mendasarinya. Atas dasar tatanan moral ini otoritas

politik tidak boleh disalahgunakan, melainkan harus ditempatkan pada aturan dan

tataran praksis, demi mewujudkan kesejahteraan umum.126

Otoritas politik bertindak berdasarkan hukum moral. Hukum moral tidak hanya

mengatur tingkah laku manusia, tetapi juga mengatur kesadaran serta kehendak bebas

manusia, untuk melakukan sesuatu berdasarkan dorongan kesadaran pribadi. Dengan

kata lain, hukum moral mengandaikan adanya kebebasan dalam diri manusia untuk

bertindak sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. Hubungan di antara hukum moral

dan kebebasan manusia adalah kewajiban. Artinya, tindakan manusia sesuai dengan

kaidah-kaidah yang berlaku. Maka, kewajiban berarti perasaan terikat untuk

melaksanakan hukum moral yang berlaku dalam masyarakat.127

5.2.3 Hak untuk Menolak atas Dasar Pertimbangan Suara Hati

Paus Yohanes Paulus II dalam ensiklik Centesimus Annus menegaskan bahwa

Gereja tidak mendukung pembentukan kelompok-kelompok kepemimpinan yang

tertutup, yang menggunakan kekuasaannya hanya untuk keuntungan perorangan dan

atas asas ideologi tertentu. Gereja mengabdi pada kebenaran. Kebenaran yang diabdi

oleh Gereja dinyatakan dan diwujudkan dalam dan melalui pribadi Yesus Kristus.

126
ASG, no. 396.
127
Agus Rachmat W., “Dua Pola Moralitas dan Agama”, dalam Wajah ..., hlm. 107.
51

Kebenaran tersebut tidak direduksi dalam suatu sistem filsafat atau kegiatan politis

tertentu. Karena itu, antropologi yang dihidupi oleh Gereja adalah antropologi yang

berdasar pada Injil. Pembebasan yang diwartakan oleh Gereja adalah pembebasan injili,

yakni pembebasan dari dosa dan kejahatan, sehingga umat manusia kembali utuh

sebagai anak Allah.128

Setiap orang memiliki suara hati. Dia memiliki kewajiban untuk memilih yang

baik dan menolak yang jahat. Dia bertindak sesuai dengan kesadaran akan kewajiban

dan tanggung jawabnya. Kesadaran ini disebut dengan suara hati. Maka, kebebasan

suara hati merupakan hak asasi manusia untuk menolak ketaatan terhadap suatu

peraturan atau perintah negara yang bertentangan dengan suara hati. 129 Paus Yohanes

Paulus II menuliskan demikian: “Mereka yang mengajukan keberatan hati nurani harus

dilindungi bukan saja terhadap siksaan-siksaaan atas dasar hukum, melainkan juga

terhadap akibat-akibat negatif mana pun juga pada taraf hukum, tata tertib, finansial dan

profesional.”130

128
CA, no. 46.
129
Franz Magnis-Suseno, Etika Politik …, hlm. 146-147.
130
Paus Yohanes Paulus II, Ensiklik Evangelium Vitae (Injil Kehidupan) (Seri Dokumentasi
Gerejawi no. 41), diterjemahkan oleh R. Hardawiryana (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan
Penerangan KWI, 1996), no. 74.
52

5.2.4 Hak Perlawanan

Hak perlawanan adalah hak untuk berhadapan dengan tindakan-tindakan yang

secara kasar bertentangan dengan keadilan, terutama dengan pelanggaran terhadap hak-

hak asasi manusia. Tindakan menentang kekuasaan negara berarti menolak ketaatan

dengan memakai kekerasan. Hak perlawanan ini tidak sama dengan anarkisme.

Anarkisme secara prinsipiil menolak hak eksistensi kekuasaan negara. Sebaliknya, hak

perlawanan mengakui perlu adanya tatanan hukum dan kekuasaan yang berlaku.

Perlawanan hanya dibenarkan dalam keadaan ekstrem di mana kekuasaan negara

mendukung tindakan ketidakadilan yang justru bertentangan dengan citra hukum yang

paling fundamental.131

Ajaran sosial Gereja memberikan lima kriteria praktik hak perlawanan. Pertama,

bahwa menurut pengetahuan yang pasti, hak asasi dilanggar secara kasar dan terus-

menerus. Kedua, bahwa segala cara penyelesaian yang lain sudah ditempuh. Ketiga,

bahwa karena itu tidak timbul kekacauan yang lebih buruk. Keempat, bahwa ada

harapan yang cukup besar akan keberhasilan. Kelima, bahwa menurut pertimbangan

matang tidak dapat diharapkan penyelesaian yang lebih baik.132

131
Franz Magnis-Suseno, Etika Politik ..., hlm. 157-158.
132
ASG, no. 401.
53

5.2.5 Pemberian Hukuman

Pemberian hukuman memiliki tujuan untuk menjaga tatanan publik, menjamin

keamanan pribadi, dan memperbaiki sikap terdakwa. Dalam pemberian hukuman ini,

tidak boleh diabaikan martabat dan hak pribadi terdakwa. Hak seorang terdakwa harus

dilindungi oleh para penegak hukum sama seperti hak seorang yang bebas. Hal ini

ditegaskan oleh institusi hukum internasional. Hukum internasional menegaskan bahwa

penyiksaan fisik kepada para terdakwa tidak diperbolehkan. Karena itu, institusi hukum

internasional mengingatkan para hakim dan jaksa untuk memiliki sikap kritis pada

proses peradilan. Tujuannya agar mereka tidak melecehkan hak privasi dan praduga

terdakwa.133

Gereja memandang kehidupan sebagai sesuatu yang positif dan berharga. Di

dalamnya Gereja menyadari bahwa kehidupan harus ditempatkan dalam kerangka

rahmat dan kehendak Allah. Gereja berjuang untuk membangun budaya kehidupan dan

bukan budaya kematian. Membela budaya kehidupan adalah sikap dasar untuk menaati

Allah dan bukan manusia. Segala keputusan dasar akan kehidupan umat manusia tidak

bisa dilepaskan dari hukum kodrati yang melekat dalam diri manusia sebagai ciptaan

Allah. Atas dasar keyakinan inilah, maka Gereja menolak pemberian hukuman mati.134

133
ASG, no. 402-404.
134
ASG, no. 405.
54

6. Rangkuman

Gereja melaksanakan panggilan dan perutusannya di dalam dunia. Landasan

hidup dan perutusannya adalah misteri hidup dan karya Kristus. Gereja membawakan

identitasnya dalam perjumpaannya dengan umat manusia seluruhnya. Gereja senantiasa

mendorong perkembangan dan pembangunan umat manusia. Tujuan dari warta

pembebasan yang dinyatakan oleh Gereja adalah perjuangan bagi keadilan dan martabat

hidup manusia.

Perjuangan akan pembebasan dan keadilan di tengah konteks realitas sosial

secara konkret memuat dimensi politis. Paus Yohanes Paulus II tidak menyangkal hal

tersebut. Namun, Paus mengingatkan agar iman tidak digunakan sebagai ideologi,

sekalipun hal itu demi perjuangan kemanusiaan serta keadilan. Paus menyadari bahwa

ajaran iman dan moral yang dia ajarkan mengusung pesan politis.

Paus menerapkan ajaran iman dan moral yang bertujuan demi keselamatan

manusia dalam konteks realitas sosial yang aktual. Ajaran iman dan moral tersebut tidak

terjebak dalam memperjuangkan kepentingan dan kekuasaan. Ajaran itu juga dibuat

untuk mencegah agar tidak terdapat jurang pemisah antara yang miskin dan kaya, antara

yang tertindas dan menindas.

Gereja dan negara adalah dua institusi yang masing-masing otonom dalam

bidangnya. Namun, keduanya memiliki kewajiban untuk melayani umat manusia.

Otoritas politik yang dimiliki oleh negara memiliki landasan dan tujuan, yakni untuk
55

menjunjung tinggi pribadi manusia dan bangsa, membela dan memajukan hak asasi

manusia. Otoritas politik tersebut tidak digunakan untuk menindas masyarakat,

melainkan menempatkannya pada aturan dan tataran praksis, demi mewujudkan dan

meningkatkan kesejahteraan umum dan martabat manusia.


56

BAB IV

PENUTUP

1. Pengantar

Pada bab penutup ini, penulis akan membuat rangkuman umum atas skripsi ini.

Selanjutnya, penulis akan melihat keunggulan dan telaah kritis ajaran sosial Paus

Yohanes Paulus II mengenai dimensi politis Gereja. Terakhir, relevansi ajaran sosial

Paus Yohanes Paulus II terhadap kehidupan politik sekarang.

2. Rangkuman Umum

Gereja turut ambil bagian dalam pergumulan hidup manusia. Kaum beriman

kristiani memperjuangkan martabat dan hak-hak asasi manusia. Lembaga institusional

ini mengambil sikap dan tindakan yang tepat hingga menjamin tercapainya bonum

commune (kesejahteraan umum). Dia menaruh komitmen kepada berbagai persoalan


57

pokok hidup manusia. Dia membangun dan menata dunia agar menjadi lebih

manusiawi.

Gereja dan politik merupakan dua institusi yang berbeda, namun saling

melengkapi. Menurut Paus Yohanes Paulus II, Gereja adalah Umat Allah, Tubuh

Kristus, dan Sakramen Keselamatan, yang dipanggil dan diutus untuk memulihkan

kehidupan manusia. Gereja mendorong perkembangan dan pembangunan umat

manusia, sehingga kehidupan manusia terarah kepada karya keselamatan Allah. Politik

adalah seni mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Tujuan dari politik

adalah menjamin penghormatan akan hak-hak asasi manusia, martabat manusia sebagai

pribadi, dan terwujudnya kesejahteraan umum.

Paus Yohanes Paulus II menempatkan martabat pribadi manusia sebagai dasar

dan tujuan dari politik. Pribadi manusia menjadi ukuran dari segala perkembangan yang

ada, baik secara ekonomi, politik, sosial, budaya, dan sebagainya. Paus menegaskan hal

ini dalam ensiklik Redemptoris Hominis.

Ensiklik Laborem Excercens memberi perhatian pada kerja manusia. Paus

melihat adanya kesenjangan antara kaum pemilik modal dan kaum buruh pada masa itu.

Pemilik modal (kaum kapitalis) mereduksi martabat manusia ke dalam prinsip

ekonomisme. Akibatnya, terjadi ketidakadilan di antara pemilik modal dan kaum buruh.

Kerja tidak lagi dilihat sebagai kodrat dari manusia. Manusia hanya dilihat sebagai

sarana untuk mencapai keuntungan ekonomis. Melihat kenyataan ini, Paus mengecam

segala paham komunis, kapitalis, dan totaliter. Paus memperlihatkan penghargaan


58

terhadap demokrasi serta ekonomi pasar, dalam konteks sebuah solidaritas yang mutlak

diperlukan. Manusia, dalam lingkup konkret sejarah, merupakan hati dan jiwa ajaran

sosial Gereja.

Paus Yohanes Paulus II melihat perkembangan manusia tidak cukup hanya

dilihat dalam kerangka perwujudan pelbagai asas ekonomi, hukum sosial dan aturan

politik. Perkembangan manusia yang integral harus ditempatkan dalam rangka tujuan

hidup manusia menuju Allah dan penebusan Kristus. Paus mengangkat perkembangan

masalah sosial dan manusia dalam ensiklik Sollicitudo Rei Socialis dan Centesimus

Annus. Paus mengecam rezim-rezim korup, diktator, dan otoriter. Beliau menghimbau

agar setiap kebijakan politik dibuat dan dijalankan atas dasar partisipasi demokratis.

Dengan demikian, menjadi jelas bahwa satu-satunya legitimisi dasar kekuasaan yang

sah adalah legitimasi demokratis.

Paus mengakui bahwa Gereja tidak memberikan petunjuk bagaimana manusia

harus ditata. Salah satu tolok ukur yang digunakan oleh Gereja adalah prinsip-prinsip

injili. Prinsip-prinsip itu antara lain penghormatan dan pengakuan terhadap martabat

manusia, kesejahteraan umum, subsidiaritas, dan solidaritas. Oleh karena itu, Paus

mendorong agar kaum beriman kristiani melibatkan diri dalam kehidupan politik.

Gereja menyadari dirinya sebagai bagian dari masyarakat; dan sebagai anggota

masyarakat Gereja turut menentukan dan menjamin keberlangsungan hidup manusia

sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Gereja senantiasa mengusahakan

perkembangan dan pembangunan masyarakat. Dimensi politis Gereja dalam ajaran


59

sosial Paus Yohanes Paulus II membantu manusia mengembangkan dirinya menuju

manusia sejati.

3. Keunggulan dan Telaah Kritis Ajaran Sosial Paus Yohanes Paulus II

Setelah mendalami dengan cermat dan teliti ajaran sosial Paus Yohanes Paulus

II, penulis menemukan keunggulan yang termuat di dalamnya mengenai dimensi politis

Gereja. Berkenaan dengan hal itu, penulis akan memberikan telaah kritis terhadap

gagasan Paus Yohanes Paulus II.

3.1 Keunggulan Ajaran Sosial Paus Yohanes Paulus II

Paus Yohanes Paulus II mengalamatkan ajaran sosialnya kepada seluruh dunia.

Dia berbicara tentang nilai dan norma yang harus dijaga menjadi model tatanan

masyarakat. Dimensi politis Gereja yang dirumuskannya menjadi sebuah sumber

inspirasi bagi Gereja, negara, dan para politisi. Suara kenabiannya memberi

pengharapan bagi orang-orang yang disingkirkan. Ajaran sosial yang dituliskannya

berada dalam tatanan etis cahaya iman. Dia menegaskan bahwa Gereja tidak

mempunyai model-model untuk ditawarkan, karena bentuk yang sungguh nyata dan

efektif bisa tercapai bila sesuai dengan situasi historis pada zamannya, melalui usaha

penyelesaian masalah riil dalam segi sosial, politis, budaya, dan ekonomis. Gereja
60

membuka diri untuk terlibat dalam persoalan-persoalan yang dialami oleh manusia,

secara khusus dalam bidang politik.135

Paus Yohanes Paulus II mengakui bahwa Gereja tidak mempunyai usulan sistem

politis atau ekonomis khas Katolik; tidak ada juga model masyarakat Katolik atau

negara Katolik. Yang dimiliki oleh Katolik adalah tuntutan dan usaha agar tatanan

sosial politik itu sifatnya adil, sesuai dengan martabat manusia, berdasarkan solidaritas

segenap anggota masyarakat, dengan memberi perhatian secara khusus kepada orang-

orang miskin dan dipinggirkan.136

Kesadaran tentang paham martabat manusia sebagai persona menjadi dasar

antropologi keterlibatan Gereja dalam dunia.137 Paus Yohanes Paulus II menegaskan

bahwa penataan yang tepat masyarakat politik hanya mungkin dapat diwujudkan bila

berdasarkan pengertian tepat tentang manusia sebagai persona.138 Martabat manusia

dipahami dalam cahaya iman. Oleh karena itu, masyarakat harus dibangun sedemikian

rupa sehingga mencapai perkembangan yang integral.139

Paus mengembangkan konsep pribadi dalam keseimbangan antara keunikan

individu mandiri dan keterikatan setiap orang dalam kebersamaan manusia. Pribadi

135
Franz Magnis-Suseno, “Iman dan Politik”, dalam Eduard R. Dopo (ed.), Keprihatinan Sosial
…, hlm. 35-36; bdk. CA, no. 43.
136
J. MÜller, “Tugas Perutusan Gereja di tengah Masalah-masalah Sosial”, dalam Eduard R.
Dopo (ed.), Keprihatinan Sosial …, hlm. 43; bdk. Franz Magnis-Suseno, Menjadi …, hlm. 117-118;
bdk. juga CA, no. 3.
137
ASG, no. 105; bdk. RH, no. 13-17.
138
CA, no. 46.
139
CA, no. 43.
61

manusia yang mandiri harus bertanggungjawab dalam dan atas kebersamaan di hadapan

Allah. Pembelaan pada transendensi manusia mencakup pemahaman mendalam akan

hak-hak asasi manusia. Manusia adalah pelaku utama dan sasaran pengembangan,

bukan harta benda dan teknologi. Pribadi manusia tidak boleh dijadikan sebagai sarana

untuk apapun.140 Karena itu, Paus menentang segala pemikiran materialistis dan

ekonomistis.141

3.2 Telaah Kritis terhadap Ajaran Sosial Paus Yohanes Paulus II

Ajaran sosial Paus Yohanes Paulus II belum konkret dan operasional. Beberapa

alasan yang dapat dikemukakan untuk hal tersebut: Pertama, Paus tidak memberikan

pemecahan-pemecahan teknis terhadap masalah sosial, ekonomi dan politik. Paus

mengakui bahwa Gereja tidak mempunyai pandangan tentang sistem ekonomi dan

politik mana yang paling tepat. Ajaran sosial bukanlah merupakan jalan ketiga antara

kapitalisme liberalistik dan kolektivisme Marxis. Ajaran sosial juga bukanlah sebuah

ideologi, melainkan hasil-hasil refleksi tentang realitas yang dialami oleh manusia

dalam masyarakat baik secara nasional maupun internasional.142

Kedua, dalam ensiklik Laborem Excercens Paus Yohanes Paulus II menyatakan

bahwa harus dibedakan antara himpunan dengan serikat-serikat kerja. Himpunan sendiri

140
Ricardo Antoncich, Iman dan Keadilan …, hlm. 57-58; bdk. LE, no. 3.
141
LE, no. 7.
142
Eddy Kristiyanto, Diskursus …, hlm. 195-196.
62

menurut konsep Gereja hanyalah kumpulan organisasi menurut jenis kerjanya.

Sedangkan serikat-serikat ini tumbuh dari perjuangan kaum buruh untuk melindungi

hak-hak mereka yang adil terhadap kaum usahawan dan pemilik usaha-usaha produksi.

Tugas serikat-serikat ini kembali ditegaskan yakni membela dan melindungi

kepentingan-kepentingan nyata kaum buruh di segala sektor yang menyangkut hak

kaum buruh.143

Ketiga, perihal perkembangan manusia. Paus Yohanes Paulus II menganggap

perkembangan manusia itu berjalan mulus tanpa tantangan. Padahal bila dilihat masalah

perkembangan manusia adalah suatu hal yang sangat pelik dan kompleks.

Perkembangan bukanlah suatu proses yang mulus. Konsep perkembangan perlu

pengkajian kembali. Alasannya, tanpa tuntutan pemahaman moral dan keterarahan

kepada kesejahteraan umum, perkembangan ekonomi dapat menjadi sumber

penindasan. Perkembangan yang benar diukur dan terarah pada kenyataan dan tujuan

yang benar pribadi manusia. Dimensi ekonomis diperlukan, namun tidak dibatasi

olehnya.144

Ajaran sosial Paus Yohanes Paulus II berisi prinsip-prinsip untuk refleksi,

kriteria untuk penilaian dan pedoman-pedoman untuk tindakan, yang menjadi titik tolak

untuk memajukan sebuah humanisme yang terpadu dan solider. Oleh karena itu, ajaran

sosial Paus ini merupakan sebuah prioritas pastoral yang sejati, sehingga semua orang

akan memperoleh pencerahan olehnya dan dengan demikian mampu untuk menafsir

143
Eddy Kristiyanto, Diskursus …, hlm. 177-179.
144
J.B. Banawiratma dan J. MÜller, Berteologi …, hlm. 200-203.
63

kenyataan dewasa ini dan mencari cara-cara bertindak yang tepat. Pengajaran dan

penyebaran ajaran sosialnya merupakan bagian dari tugas perutusan penginjilan

Gereja.145

Ajaran sosial Paus Yohanes Paulus II dimaksudkan untuk menyajikan sebuah

pendekatan yang sistematis guna menemukan berbagai jalan keluar atas segala

persoalan, sehingga penilaian dan keputusan yang diambil sesuai dengan kenyataan.

Prinsip-prinsip dalam ajaran sosial Paus ini saling berkaitan dan menerangi satu sama

lain secara timbal balik, sejauh prinsip-prinsip tersebut merupakan suatu bentuk

ungkapan dari antropologi Kristen, buah-buah pewahyuan cinta kasih Allah untuk

pribadi manusia.146

4. Relevansi Ajaran Sosial Paus Yohanes Paulus II terhadap Kehidupan Politik

Sekarang

Pada hakekatnya politik adalah suatu seni menata negara secara nasional dan

konstitusional dalam suatu sistem untuk mencapai tujuan negara, yakni kebaikan umum

atau bonum commune.147 Politik pada hakekatnya merupakan sesuatu yang baik, untuk

145
SRS, no. 41.
146
Franz Magnis-Suseno, Beriman …, hlm. 54-55.
147
Para penguasa politik berkewajiban menghormati hak asasi manusia. Mereka harus
melaksanakan keadilam secara manusiawi, sementara itu menghormati hak tiap orang, terutama hak
keluarga dan hak orang-orang yang berkekurangan. Hak-hak sebagai warga negara dapat dan harus
dijamin sesuai dengan tuntutan kesejahteraan umum. Penguasa-penguasa resmi tidak boleh
membatalkannya tanpa alasan yang benar dan memadai. Pelaksanaan hak-hak politik harus memajukan
kesejahteraan umum bangsa dan masyarakat manusia. Tugas dan tanggungjawab yang diemban dan
64

kebaikan umum. Namun, belakangan ini, politik dipenuhi dengan keburukan, penuh

persaingan tidak sehat, pertentangan dan perpecahan, serta dijadikan sebagai alat untuk

kepentingan diri sendiri atau kelompok. Kesejahteraan umum yang seharusnya

diperjuangkan, justru diabaikan dan dihancurkan. Kesejahteraan umum hanya menjadi

slogan kosong.148

Perwujudan keterlibatan Gereja Katolik Indonesia itu tidak boleh hanya

didasarkan pada Kitab Suci dan Tradisi Suci, melainkan harus juga didasarkan pada

fakta dan data sosial masyarakat Indonesia pada semua periode sejarahnya. Untuk saat

ini, Gereja Katolik Indonesia perlu terlibat aktif di dalam wacana maupun program-

program publik, terutama dalam hal-hal yang terkait sangat erat dengan nilai-nilai

ketuhanan, perikemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan, dan keadilan sosial.149

Gereja menekankan bahwa kekuasaan politik dari negara haruslah dilaksanakan

untuk mencapai kesejahteraan umum. Kekuasaan politik itu haruslah bersifat mengabdi

yaitu mengabdi kepada kesejahteraan umum dengan tetap mengindahkan nilai martabat

pribadi manusia. Akan tetapi, dalam perwujudan kesejahteraan umum ini, kekuasaan

politik juga mengabdi kepada Allah. Mengapa? Karena, tujuan akhir dari semua warga

dipercayakan itu dijalankan dengan berpegang pada prinsip-prinsip hormat terhadap martabat manusia,
kebebasan, keadilan, solidaritas, subsidiaritas, demokrasi, dan kesetaraan dalam hidup bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Jika prinsip-prinsip ini mampu dijalankan, maka bonum commune akan dialami
oleh banyak orang. [Bdk. KGK, no. 2236.]
148
Reza A.A Wattimena, Perspektif: dari Spiritualitas Hidup sampai dengan Hubungan antar
Bangsa (Yogyakarta: Maharsa, 2017), hlm. 162.
149
Yohanes Maryono, “Keterlibatan Gereja Katolik Indonesia dalam Bidang Politik”, dalam
Jurnal Teologi, 1/2 (November 2012), hlm. 104.
65

negara yang ambil bagian dalam kesejahteraan umum itu adalah kemuliaan Allah. Atas

dasar itulah, Gereja menuntut agar pelaksanaan kekuasaaan politik itu haruslah dalam

batas-batas hukum moral. Itulah yang dituntut oleh Konsili Vatikan II. ”Pelaksanaan

kekuasaan politik, baik dalam masyarakat itu sendiri maupun di lembaga-lembaga yang

mewakili negara, mesti selalu berlangsung dalam batas-batas tatanan moral dan atas

nama kesejahteraan umum yang diartikan secara dinamis, sesuai dengan tata perundang-

undangan yang ditetapkan secara sah.”150

Di dalam ensiklik Centesimus Annus Paus Yohanes Paulus II memberikan

penilaian jelas dan eksplisit tentang demokrasi. Gereja menghargai sistem demokrasi

karena membuka wewenang yang luas bagi warga negara untuk berperan serta dalam

penentuan kebijakan-kebijakan politik. Berkaitan dengan penilaian ini, Gereja dengan

jelas menolak pengangkatan pemimpin yang tidak demokratis dan mencela

penyalahgunaan kekuasaan politik untuk mencari keuntungan diri. Di dalam ensiklik

ini, Paus menempatkan martabat manusia sebagai dasar dan tujuan dari politik. Sebuah

demokrasi yang otentik bukanlah sekadar hasil pelaksanaan formal sebuah aturan,

melainkan buah dari pengakuan dan keyakinan akan nilai-nilai yang menjadi sumber

ilham prosedur demokrasi. Jadi, martabat pribadi manusia sebagai tujuan dan kriteria

dari kehidupan politik.151

Pada hakikatnya demokrasi itu adalah suatu sistem. Sebagai suatu sistem

demokrasi hanyalah suatu sarana, bukan tujuan. Karena itu, nilai moralnya tidak

150
GS, no. 74.
151
Yohanes Maryono, “Keterlibatan …”, hlm. 105; bdk. CA, no. 46.
66

otomatis, melainkan tergantung pada kesesuaiannya dengan hukum moral yang berlaku

bagi manusia. Dalam hal ini, hukum moral yang dimaksud adalah hukum yang berlaku

dalam Gereja.152

Keterlibatan Gereja dalam politik mesti dimengerti dalam keseluruhan konteks

tugas perutusan Gereja. Dari perspektif legitimasi dan motivasi, tugas misioner yang

dijalankan Gereja tidak berasal dari otoritas manusiawi manapun, melainkan dari

otoritas Tuhan. Tugas misioner dijalankan demi manusia di dunia. Tugas tersebut mesti

menyapa dan menjawab keprihatinan manusia pada level hidup nyata. Dengan paham

seperti ini, maka tugas dalam bidang politik berhubungan erat dengan tugas perutusan

Gereja. Dalam kenyataannya, keterlibatan ini jelas bukan monopoli Gereja, karena

institusi-institusi lain pun atau orang per orang juga menaruh perhatian pada masalah

kemanusiaan. Kalau demikian, maka pilihan keterlibatan Gereja harus disertai dengan

keterbukaan untuk bekerja sama dengan siapa saja yang memiliki keprihatinan serta visi

yang sama.153

Gereja dalam keterlibatannya sebenarnya mau merealisasikan atau

mengaktualisasikan nilai-nilai moral yang diyakininya dapat menjadi landasan bagi

perwujudan kesejahteraan umum. Akan tetapi, nilai-nilai tersebut diajukan secara

terbuka untuk dirumuskan, didiskusikan, dipertanggungjawabkan dan ditinjau kembali.

Semua nilai dan hal-hal duniawi lainnya ada untuk semua manusia demi memenuhi

kebutuhan hidupnya. Nilai keadilan menjadi prinsip dasar. Perlunya nilai keadilan

152
Mateus Mali, Konsep Berpolitik Orang Kristiani (Yogyakarta: Kanisius, 2014), hlm. 154.
153
R. Sebastian, “Sikap ...”, hlm. 151.
67

justru karena martabat manusia yang bebas dan memiliki hak atas kebahagiaan dan hak

terpenuhinya kebutuhan hidupnya secara manusiawi. Gereja dalam peran profetisnya

harus selalu menjalankan peran kritis untuk menilai dan mengoreksi semua keyakinan

terhadap nilai dan kecenderungan kebenaran serta nilai.154

Dalam konteks Indonesia, peranan Ajaran Sosial Paus Yohanes Paulus II sangat

mendorong umat Katolik Indonesia untuk memposisikan diri sebagai umat Katolik

Indonesia dan bukan umat Katolik di Indonesia. Keterlibatan itu tentu saja akan

membawa pengaruh yang sangat besar dalam menanamkan keberadaan Gereja di

Indonesia, sehingga pelan-pelan Gereja Katolik dikenal dan diterima baik oleh

masyarakat Indonesia. Gereja Katolik Indonesia berusaha membumikan keberadaannya

di Indonesia sebagai sebuah komunitas yang menawarkan nilai-nilai Kerajaan Allah.

Pembumian ini dilakukan dengan usaha karitatif seperti pelayanan di bidang politik,

perusahaan, sekolah, rumah sakit, panti asuhan, dan sebagainya. Keterlibatan Gereja

dalam politik menjadi nyata dalam tindakannya.155

154
Bdk. GS, no. 42-43.
155
Yohanes Maryono, “Keterlibatan …”, hlm. 115.
68

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Utama

Paus Yohanes Paulus II. Ensiklik Redemptoris Hominis (Penebus Umat Manusia) (Seri
Dokumentasi Gerejawi no. 38). Diterjemahkan oleh R. Hardawiryana. Jakarta:
Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1994.

-------. Ensiklik Laborem Excercens (Dengan Bekerja) (Seri Dokumentasi Gerejawi no.
39). Diterjemahkan oleh R. Hardawiryana. Jakarta: Departemen Dokumentasi
dan Penerangan KWI, 1995.

-------. Ensiklik Sollicitudo Rei Socialis (Keprihatinan akan Masalah Sosial) (Seri
Dokumentasi Gerejawi no. 3). Diterjemahkan oleh P. Turang. Jakarta:
Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1988.

-------. Ensiklik Centesimus Annus (Ulang Tahun ke Seratus) (Seri Dokumentasi


Gerejawi no. 15). Diterjemahkan oleh R. Hardawiryana. Jakarta: Departemen
Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1992.

Sumber Pendukung

Antoncich, Ricardo. Iman dan Keadilan: Ajaran Sosial Gereja dan Praksis Sosial Iman
(judul asli: Christians in the Face of Injustice: a Latin American Reading of
Catholic Social Teaching). Diterjemahkan oleh F. Budi Hardiman. Yogyakarta:
Kanisius, 1991.

Banawiratma, J.B. dan Müller, J. Berteologi Sosial Lintas Ilmu. Yogyakarta: Kanisius,
1995.

Cahyadi, T. Krispurwana. Yohanes Paulus II: Gereja, Teologi, dan Kehidupan. Bogor:
Grafika Mardi Yuana, 2012.

Dopo, Eduard R. (ed.). Keprihatinan Sosial Gereja. Yogyakarta: Kanisius, 1992.

Dziwisz, Stanislaw. Lebih Jauh bersama Karol Wojtyła (judul asli: A Life with Karol).
Diterjemahkan oleh Paula. Malang: Dioma, 2010.

Kristiyanto, Eddy. Diskursus Ajaran Sosial Gereja Sejak Leo XIII. Malang: Dioma,
2003.

Kuncahyono, Trias. Paus Yohanes Paulus II: Musafir dari Polandia. Jakarta: Kompas,
2005.
69

Magnis-Suseno, Franz. Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan


Modern. Jakarta: PT. Gramedia, 1988.

-------. Beriman dalam Masyarakat: Butir-butir Teologi Kontekstual. Yogyakarta:


Kanisius, 1993.

-------. Menjadi Saksi Kristus di tengah Masyarakat Majemuk. Yogyakarta: Kanisius,


2004.

--------. Iman dan Hati Nurani: Gereja Berhadapan dengan Tantangan-tantangan


Zaman. Yogyakarta: Kanisius, 2014.

Mali, Mateus. Konsep Berpolitik Orang Kristiani. Yogyakarta: Kanisius, 2014.

Mardiatmaja, B.S. Beriman dengan Sadar. Yogyakarta: Kanisius, 1985.

Paulus II, Yohanes. Melintasi Ambang Pintu Harapan (judul asli: Crossing the
Threshold of Hope). Diterjemahkan oleh Penerbit Obor. Jakarta: Obor, 1995.

-------. Menuju Kesempurnaan Ilahi (judul asli: Celebrate 2000! Reflections on Jesus,
the Holy Spirit, and the Father). Diterjemahkan oleh Agus M. Hardjana.
Yogyakarta: Kanisius, 1999.

PSPS – KAM, “Mengenal Pribadi Yohanes Paulus II”, dalam PSPS – KAM, Selamat
Datang Sri Paus Yohanes Paulus II. Medan: Seksi Dokumentasi dan Publikasi
Panitia Penyambutan Sri Paus, 1989.

Sirait, Saut. Politik Kristen di Indonesia: Suatu Tinjauan Etis. Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2001.

Spink, Kathryn. Yohanes Paulus II: Butir-butir Nilai Kerohanian (judul asli: The Thins
of the Spirit). Diterjemahkan oleh Marcel Beding. Jakarta: Biro Nasional Karya
Kepausan Indonesia, 1989.

Wattimena, Reza A.A. Perspektif: dari Spiritualitas Hidup sampai dengan Hubungan
antar Bangsa. Yogyakarta: Maharsa, 2017.

Artikel-artikel, Dokumen, Ensiklopedi dan Kamus

Agung Nugroho, R.B.E. “Jalan Tol Menuju Kanonisasi”, dalam Hidup, 34/67 (Agustus
2013), hlm. 8.

Asi, Emmanuel. “Mengimpikan Sebuah Model Gereja yang Baru: Gereja Umat”, dalam
Georg Kirchberger dan John Mansford Prior (ed.). Kirbat Baru bagi Anggur
Baru. Ende: Nusa Indah, 2000, hlm. 125.
70

Bunyamin, Antonius Subiyanto. “Reposisi Agama”, dalam Melintas, 20/61 (April – Juli
2004), hlm. 38-39.

D’lima, Errol. “Menggereja Secara Baru”, dalam Georg Kirchberger dan John Mansford
Prior (ed.). Kirbat Baru bagi Anggur Baru. Ende: Nusa Indah, 2000, hlm. 104-
105.

Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai


Pustaka, 2005.

Heuken, Adolf. Ensiklopedi Gereja, Jilid I A-G. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka,
1991.

-------. Ensiklopedi Gereja, Jilid V Tr-Z. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1995.

-------. Ensiklopedi Politik Pembangunan Pancasila (Par-Z). Jakarta: Yayasan Cipta


Loka Caraka, 1984.

Katekismus Gereja Katolik. Diterjemahkan oleh Herman Embuiru. Ende: Arnoldus,


1995.

Kitab Hukum Kanonik 1983 (Codex Iuris Canonici 1983). Diterjemahkan oleh
Sekretariat KWI. Jakarta: KWI, 2006.

Komisi Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian. Kompendium Ajaran Sosial Gereja
(judul asli: Pontifical Council for Justice and Peace, Compendium of the Social
Doctrine). Diterjemahkan oleh Yosef Maria Florisan, Paul Budi Kleden, Otto
Gusti Madung. Ledalero: CV. Titian Galang Printika, 2009.

Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi – KWI. Ajaran Sosial Gereja. Jakarta: KWI,
2008.

Konsili Vatikan II, “Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium tentang Gereja” (LG), dalam
Dokumen Konsili Vatikan II, diterjemahkan oleh R. Hardawiryana. Jakarta:
Dokumentasi dan Penerangan KWI – Obor, 2012.

-------. “Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa ini” (GS), dalam Dokumen
Konsili Vatikan II. Diterjemahkan oleh R. Hardawiryana. Jakarta: Dokumentasi
dan Penerangan KWI – Obor, 2012.

Marsidi, Sylvia. “Mukjizat Yohanes Paulus II”, dalam Hidup, 18/65 (Mei 2011), hlm.
12.
Maryono, Yohanes. “Keterlibatan Gereja Katolik Indonesia dalam Bidang Politik”,
dalam Jurnal Teologi, 1/2 (November 2012), hlm. 104.
71

Paus Yohanes Paulus II. Ensiklik Evangelium Vitae (Injil Kehidupan) (Seri
Dokumentasi Gerejawi no. 41). Diterjemahkan oleh R. Hardawiryana. Jakarta:
Dokumentasi dan Penerangan KWI – Obor, 1996.

Rachmat W., Agus. “Landasan Etis Kehidupan Politik”, dalam Bambang Sugiharto dan
Agus Rachmat W. Wajah Baru Etika dan Agama. Yogyakarta: Kanisius, 2000,
hlm. 47.

-------. “Dua Pola Moralitas dan Agama”, dalam Bambang Sugiharto dan Agus Rachmat
W. Wajah Baru Etika dan Agama. Yogyakarta: Kanisius, 2000, hlm. 107.

Sinaga, Richard. “Beatifikasi Paus Yohanes Paulus II”, dalam Menjemaat, 5/XXXIII
(Mei 2011), hlm. 7-8.

Thomson. New Catholic Encyclopedia, Vol. III Can-Col. USA: The Catholic University
of America Press, 2000.

Very Ara, Alfonsus. “Keterlibatan Kaum Imam dalam Lingkup Politik Menurut
Konstitusi Pastoral tentang Gereja di dunia Dewasa ini Gaudium et Spes no. 43”,
dalam Warta Keuskupan Sibolga, 30/7 (Mei – Juni 2013), hlm 27.

Anda mungkin juga menyukai