Anda di halaman 1dari 33

DIALOG INTRA RELIGIUS SEBAGAI SARANA PENDALAMAN PENGALAMAN IMAN

PERSPEKTIF RAIMUNDO PANIKKAR

PROPOSAL PENELITIAN

Diajukan Kepada Fakultas Filsafat


Universitas Katolik Widya Mandira Kupang
Untuk Memenuhi Syarat Guna Menulis Skripsi

OLEH

Redemptus Dionesius Tefa


No Reg : 611 15 028

FAKULTAS FILSAFAT
UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDIRA
KUPANG
2018

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.............................................................................................................................i

DAFTAR ISI........................................................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN....................................................................................................................1

1.1 Latar Belakang Perumusan.........................................................................................................1

1.2 Perumusan Masalah....................................................................................................................4

1.3 Tujuan Penulisan........................................................................................................................ 4

1.4 Kegunaan Penulisan................................................................................................................... 4

1.4.2 Bagi Fakultas Filsafat..........................................................................................................4

1.4.3 Bagi Penulis.........................................................................................................................5

1.5 Sistematika Penulisan.................................................................................................................5

BAB II LANDASAN TEORI.............................................................................................................. 6

2.1 Informasi Yang Tersedia.............................................................................................................6

2.1.1 Riwayat Hidup Raimundo Panikkar....................................................................................6

2.1.2 Karya-Karya Raimundo Panikkar....................................................................................... 8

2.2 Konteks Berteologi Panikkar......................................................................................................9

2.3 Allah Menurut Panikkar........................................................................................................... 11

2.4 Kristus Menurut Panikkar........................................................................................................ 13

2.5 Iman dan Kepercayaan............................................................................................................. 15

2.5.1 Pengertian..........................................................................................................................15

2.5.2 Iman dan Kepercayaan Menurut Raimundo Panikkar...................................................... 15

2.6 Agama.......................................................................................................................................16

ii
2.6.1 Pengertian..........................................................................................................................16

2.6.2 Agama Menurut Panikkar..................................................................................................17

2.6.3 Model Agama.................................................................................................................... 17

2.7 Dialog Intrareligius...................................................................................................................19

2.7.1 Prinsip Dialog Intrareligius............................................................................................... 20

2.7.2 Menuju Perjumpaan Agama Yang Sejati...........................................................................23

BAB III METODOLOGI PENELITIAN...........................................................................................26

3.1 Interpretasi................................................................................................................................26

3.2 Induksi-Deduksi....................................................................................................................... 26

3.3 Koherensi Internal....................................................................................................................26

3.4 Holistika................................................................................................................................... 26

3.5 Kesinambungan Historis.......................................................................................................... 26

3.6 Idealisasi...................................................................................................................................26

3.7 Sumber Kepustakaan................................................................................................................27

DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................................28

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Perumusan

Manusia adalah makhluk bebas. Kebebasan beragama berarti bahwa setiap orang bebas

memilih, mengganti dan mengamalkan agamanya sesuai dengan keyakinannya. Menganut agama

tertentu tidak perlu dipertanggungjawabkan kepada seseorang manusia, masyarakat atau

pemerintah, melainkan kepada Allah Yang Maha Tahu. Manusia sebagai pribadi dikaruniai akal

budi dan kehendak bebas dan oleh karenanya mempunyai tanggungjawab pribadi yang tak dapat

diambil oleh siapapun. Orang harus dapat menjalankan kewajiban dan menggunakan haknya itu

dalam suasana yang bebas dari tekanan atau ketakutan apapun.1 Sifat iman yang sejati bukanlah

sekedar sikap menerima beberapa ajaran, tidak pula terbatas pada upacara-upacara ibadat saja dan

tidak cukup melaksanakan perintah-perintah Tuhan secara legalistis tanpa batin menyetujuinya.

Agama merupakan sebuah keniscayaan. Agama hadir untuk menjawab hal-hal yang tidak

terjangkau oleh otak manusia, ia hadir dalam berbagai bentuk sebagai konsekwensi kebutuhan

manusia. Setiap agama selalu membawa pesan-pesan positif yang mengajak setiap umatnya menuju

kepada Tuhan. Hal ini menunjukkan bahwa untuk mencapai realitas tertinggi manusia harus

melakukan hal-hal positif yang dapat mendekatkannya pada kesucian tertinggi, karena tidak

mungkin yang Maha Suci dapat didekati dengan cara yang profan. Namun, realitas tidak

sepenuhnya selalu sejalan dengan idealitas. Inilah yang tampak dalam sejarah manusia. Agama yang

seharusnya membawa pesan-pesan positif akan tetapi oleh para penganutnya dijadikan legitimasi

untuk menghalalkan tindakan kelompoknya, sehingga yang terjadi adalah atas nama agama manusia

bersatu dan bersaudara, dan demi agama pula orang bertengkar dan berseteru.2

1 AP. Budiyono HD, Membina Kerukunan Hidup Antar Umat Beriman 2 ( yogyakarta: kanisius, 1983), Hal.,217-
218.
2. Burhanuddin Daya, Agama Dialogis: Merenda Dialektika Idealita dan Realita Hubungan Antar Agama
(Yogyakarta: Mataram-Minang Lintas Budaya, 2004), Hal., 30.
1
Semua agama mengajarkan nilai-nilai kebaikan, kesempurnaan, keutamaan baik

menyangkut kehidupan orang seorang maupun kehidupan bersama dan kemasyarakatan. Usaha-

usaha untuk meningkatkan dan meratakan kesadaran beragama bagi pemeluk agama agar mereka

masing-masing benar-benar menjadi insan beragama seperti yang diajarkan agamanya, sebenarnya

sudah merupakan bentuk kongkret dan positif dari peranan agama membangun manusia.3

Dialog adalah sebuah proses belajar. Sebagai suatu proses belajar, dialog mendorong kita

juga untuk memahami ulang ajaran dalam agama dan keyakinan kita. Melalui pemahaman ulang itu

terjadilah proses pengayaan dan pembaruan dalam pemahaman keagamaan kita sendiri, selain

pengayaan pengetahuan tentang kekayaan iman mitra dialog. Dialog tidak menghilangkan

perbedaan, malahan mengajarkan dan menyadarkan kita akan adanya realitas perbedaan itu. Melalui

dialog kita belajar dan mengerti bahwa ada perbedaan, belajar untuk memahami dan mengerti

tradisi yang berbeda, belajar menghormati adanya perbedaan, belajar hidup dalam perbedaan dan

pada akhirnya belajar untuk membangun kebersamaan dalam perbedaan itu. Dialog bukan untuk

membangun sebuah harmoni palsu tetapi untuk membangun sesuatu yang dinamis. Karena itu

dialog pasti bukanlah kepentingan sesaat, juga bukan kepentingan sekelompok atau segolongan

orang. Sasaran akhir dialog selalu untuk kepentingan bersama dan lebih berjangka panjang. Itu

sebabnya dialog selalu merupakan proses yang tidak selalu mudah dan sering melelahkan.

Sampai sekarang telah banyak dialog yang dilangsungkan, baik yang diprakarsai oleh

pemerintah dan berbagai lembaga keagamaan. Tetapi umumnya dialog-dialog tersebut masih

bersifat birokratis, elitis dan intitusional, sehingga tidak menyentuh persoalan-persoalan yang ada

dan berkembang dalam masyarakat, serta juga tidak melibatkan masyarakat secara langsung. Sebab

itu sudah saatnya upaya-upaya untuk membangun semangat dialogis lebih banyak melibatkan

berbagai elemen dalam masyarakat, sehingga berbagai persoalan yang berkembang dalam

masyarakat dapat terangkat dan dialog lalu akan menjadi sebuah kebutuhan bersama. Dalam

konteks inilah agama-agama dan komunitas orang beriman dapat mengambil peran yang lebih besar

3 Olah H. Schumann, Dialog Antarumat Beragama (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), Hal., XVII.
2
dalam mendorong proses terwujudnya kehidupan masyarakat yang lebih demokratis dan terbuka.

Dalam konteks seperti ini pula identitas keagamaan tidak lagi terletak pada simbol-simbol

melainkan pada nilai dan makna yang disimbolkan, yaitu pada perjuangan untuk meningkatkan

harkat martabat keluhuran manusia. Simbol-simbol keagamaan memang penting, tetapi yang jauh

lebih penting adalah mewujudkan apa yang dimaknai dibalik simbol-simbol itu. Keberagaman yang

masih pada tahap simbol adalah keberagaman yang masih anak-anak dan emosional. Tetapi

keberagaman yang hakiki adalah keberagaman yang melampaui simbol-simbol.4 Dan dialog adalah

metode bagi pendewasaan dalam beragama.

Dalam rangka dialog itu maka kemanusiaanlah yang menjadi titik temu sekaligus menjadi

dasar yang membenarkan orang beriman untuk memperkarsai dan mengembangkan berbagai bentuk

dialog, serta yang juga mendorong agar dialog menjadi suatu gaya hidup dalam masyarakat. Atas

dasar itulah maka Raimundo Panikkar menekankan gagasan dialog intrareligius yang sering

diabaikan, yakni suatu dialog batin dalam diri saya sendiri, suatu perjumpaan dalam kereligiusan

pribadi saya yang paling dalam, sesudah menjumpai pengalaman religius orang lain pada tingkat

yang paling intim itu. Dengan kata lain Panikkar menjelaskan supaya dialog intereligius menjadi

dialog yang sesungguhnya, suatu dialog intrareligius harus menyertainya, artinya dialog itu harus

mulai dengan mempertanyakan diri saya sendiri dan relativitas kepercayaan-kepercayaan saya

dengan menerima tantangan perubahan, pertobatan dan resiko tergugatnya pola-pola tradisional

saya.5

Beranjak dari hal tersebut, maka penulis berusaha membuat kajian teologis atas pemikiran

Panikkar mengenai dialog intrareligius sehubungan dengan itu penulis mengambil judul DIALOG

INTRA RELIGIUS SEBAGAI SARANA PENDALAMAN PENGALAMAN IMAN

PERSPEKTIF RAIMUNDO PANIKKAR.

4 Ibid.,
5 Dr. A. Sudiarja. (Ed), Dialog Intra Religius (Yogyakarta: Kanisius, 1994), Hal.,81
3
1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan pembahasan yang dikemukakkan pada latar belakang penulisan, maka penulis

ingin mengupas permasalahan dengan merumuskan masalah-masalah yang akan dikaji sebagai

berikut;

1.Siapa itu Raimundo Panikkar?

2.Apa latar belakang pemikiran Raimundo Panikkar?

3.Bagaimana gambaran umum pemikiran Raimundo Panikkar?

4.Bagaimana konsep Panikkar mengenai dialog intra religius sebagai sarana pendalaman

pengalaman iman?

1.3 Tujuan Penulisan

Perbedaan dalam memahami setiap agama dan keyakinan merupakan persoalan yang sangat

fundamental bagi manusia karena sangat mempengaruhi seluruh aspek kehidupannya. Menyadari

hal ini, penulis ingin memaparkan pemikiran Panikkar mengenai dialog intra religius sebagai sarana

pendalaman pengalaman iman yang bagi penulis diyakini mampu mengatasi permasalahan tersebut

sehingga dapat tercipta kerukunan antar umat beragama.

1.4 Kegunaan Penulisan

1.4.1 Bagi Gereja

Agar gereja semakin menyadari dirinya ditengah situasi pluralitas sehingga mampu

mengembangkan sikap tolransi dengan agama-agama lain melalui dialog intra religius dalam

perspektif Raimundo Panikkar.

1.4.2 Bagi Fakultas Filsafat

tulisan ini menjadi sumbangan besar bagi mahasiswa Universitas Katolik Widya Mandira

Kupang pada umumnya dan mahasiswa fakultas ilmu filsafat khususnya agar memperoleh wawasan

yang lebih luas mengenai dialog intra religius menurut filsuf dan teolog Raimundo Panikkar.

4
1.4.3 Bagi Penulis

agar penulis memiliki pemahaman yang lebih luas dan mendalam mengenai dialog intra

religius perspektif Raimundo Panikkar sehingga menjadi titik tolak mengembangkan kehidupan

yang harmonis antar umat beragama dewasa ini.

1.5 Sistematika Penulisan

Sistematika ini terdiri dari tiga bab. Dalam bab I yakni pendahuluan, penulis berusaha

mengemukakan hal-hal yang menjadi latar belakang penulisan ini. Disamping itu juga terdapat

pokok-pokok permasalahan yang menjadi acuan dalam penulisan ini yang terdapat dalam rumusan

masalah, juga tujuan serta kegunaan dari tulisan ini. Bab II mengulas mengenai siapa itu teolog

Raimundo Panikkar serta pemikiran-pemikiran apa saja yang mempengaruhi dirinya dalam

membangun sebuah pikiran serta pemikiran sendiri engenai dialog intra religius. Bab III yang

memuat metodologi dari penulisan karya ini.

5
BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Informasi Yang Tersedia

2.1.1 Riwayat Hidup Raimundo Panikkar.

Raimundo Panikkar lahir di Barcelona, 3 November 1918. Ayahnya seorang penganut Hindu

bernama Ramuni Panikkar dan seorang ibu penganut Katolik Spanyol, Cerme Alemany. 6 Raimon

adalah anak pertama dari empat bersaudara (Josep Maria, Merce dan Salvador). Panikkar tumbuh

dalam keluarga yang kental dengan budaya Timur sekaligus Barat. Ia menerima pendidikan Katolik

konvensional di sebuah sekolah tinggi Yesuit di Barcelona sebelum melanjutkan studi ke universitas

untuk mengambil ilmu alam, filsafat, dan teologi.

Tidak ada yang begitu menarik dari kehidupan Panikkar sampai tahun 1954 kecuali bahwa ia

dibesarkan dalam suasana perang (perang saudara Spanyol dan perang dunia II). Dalam suasana

seperti itu, Panikkar memperoleh gelar masternya di bidang Sains di Universitas Barcelona dan

mendapat gelar master di bidang Filsafat dari Universitas Madrid dalam waktu hampir bersamaan

yakni antara tahun 1941 dan 1942. Dalam kurun waktu 5 tahun Panikkar berhasil meraih gelar

doktor di bidang filsafat, sains dan teologi.7

Pada tahun 1954, Panikkar berkunjung ke India untuk pertama kalinya, dan disinilah dimulai

petualangannya tentang agama-agama yang akan memberikan corak dalam teologinya.

Petualangannya ini melibatkan tradisi, budaya serta agama yang berbeda. Pertemuan budaya dan

agama India membuka cakrawala baru bagi pemahaman Panikkar tentang Yang Ilahi, manusia dan

alam semesta. Panikkar bertemu dengan Hinduisme dan Buddhisme pada tingkat yang mendalam,

6 Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004), hal., 89.
7 Trevor A. Hart (ed.), The Dictionary of Historical Theology (Michigan: William B. Ferdmans Publishing Company
Grand Rapids), hal.,417.
6
dengan tetap menjadi seorang Kristen yang ia gambarkan dalam buku The Dialog Intra-Religius

(1978): “saya ‘berangkat’ sebagai seorang Kristen, saya ‘menemukan’ diriku Hindu dan saya

‘kembali’ sebagai seorang Buddhis, tanpa berhenti menjadi seorang Kristen.” 8 Persinggungan

dengan kedua agama inilah menjadi awal transformasi teologinya. Proses transformasi dibantu oleh

persentuhan dan pertemuannya dengan 3 orang guru dan sahabatnya yaitu: Jules Monchanin atau

Swami Paramarubiananda (1895-1957) dan Henri Le Saux, juga dikenal sebagai Swami

Abhishiktananda (1910-1973), keduanya merupakan biarawan Prancis yang memelopori dialog

antaragama dan mendirikan Ashram Saccidananda, serta Bede Griffiths, biarawan Benediktin asal

Inggris (1906-1993). Panikkar, melalui Le Saux, menemukan konfirmasi adalah mungkin untuk

secara simultan mempertemukan Kristen dan Hindu, berkat mengatasi Advaita tentang dualisme,

dan Panikkar adalah presiden pertama dari Abhishiktananda Society (1978-1988).

Pertemuan Panikkar dengan Buddhisme dirangsang oleh suatu komisi untuk menulis sebuah

artikel tentang atheisme Buddha untuk sebuah ensiklopedia Italia tentang atheisme, yang kemudian

diterbitkan dengan judul L’atheismo contemporaneo. Panikkar juga belajar pada Mistisisme Hindu

dengan Bhikkhu Kashyafa dan Mistisisme Buddha dengan Dalai Lama XIV serta di biara-biara Zen

di Jepang.9 Persentuhan dengan budaya dan tradisi yang berbeda mengakibatkan adanya

transformasi teologi dalam diri Panikkar yang sebelumnya konservatif, Katolik dan Neo-thomist

menjadi sangat terbuka dan membawanya ke dalam dialog agama dan intrareligius.10

Pada tahun 1964 Panikkar kembali ke India untuk melanjutkan penelitian tentang filsafat

Hindu, sekaligus bekerja untuk Institute Christian for Religius Studies and Society dari 1968 sampai

1975 di India. Selain itu pada tahun 1966 Panikar diundang sebagai dosen di Universitas Harvard

dan ia mengajar sampai tahun 1987.11 Dua tahun setelah pensiun (1989), Panikkar mendirikan studi

antar-budaya dan pusat penelitian yang disebut sebagai Vivarium. Vivarium terdiri dari dua lembaga

yaitu Vivarium Accademicum yang fokus pada wilayah pemikiran dan Vivarium Artium yang
8 Dr. A. Sudiarja. (Ed)., Op Cit, Hal. 36.
9 Ibid.,
10 Trevor A. Hart (ed.), Op Cit, Hal. 417.
11 http://www.raimon-panikkar.org/english/biography-1.html, diakses 14 September 2018.
7
melaksanakan pertemuan bulanan yang membahas berbagai topik seni. Selain mendirikan Vivarium,

Panikkar juga turut andil mendirikan Arbor (CSIS, Madrid) dan menjadi dewan di banyak publikasi

lainnya, termasuk Jurnal Studies Ecumenis (Philadelphia, USA), Jevaadhara (Khottayam, India),

Jurnal Dharma (Bangalore, India), Classics of Western Spiritualitas (New York, USA), dll.12

Setelah pensiun tahun 1987 Panikkar memutuskan kembali ke Catalonia dan mengambil

tempat tinggal di sana, tepatnya di kawasan Tavertet (Osona), sebuah dusun di Catalan pre-

Pyrenees. Di tempat inilah Panikkar menghabiskan hidupnya dengan bermeditasi dan yoga sembari

terus mengadakan kursus, seminar dan pertemuan pada tema-tema filosofis, agama dan budaya serta

melakukan investigasi mendalam ke dalam tradisi manusia yang berbeda. Sampai akhir hayatnya,

tahun 2010, Panikkar tetap berada di Tavertet. Di tempat tersebut, Panikkar menghabiskan

waktunya untuk merenung dan berkontemplasi serta menulis.

2.1.2 Karya-Karya Raimundo Panikkar

Panikkar sangat peduli dengan penelitian dan pemikirannya. Bentuk kepedulian Panikkar

salurkan melalui mendirikan Arbor (CSIS, Madrid), menjadi dewan di banyak publikasi seperti

Jurnal Studies Ecumenis (Philadelphia, Amerika Serikat), Jurnal Jevadhaara (Kottayam, India),

Jurnal Dhrama (Bangalore, India), Jurnal Classic of Western Spirituality (New York, Amerika

Serikat). Bagi Panikkar, menulis adalah tugas penting dalam hidupnya. Sebagaimana Panikkar

jelaskan bahwa: Saya tidak menulis tentang diri saya sendiri, sebaliknya diri sayalah yang

menulisnya. Inilah diri saya bahwa saya menulis tentangnya dan saya menulis sebagai salah satu

cara berbicara. Setiap paragraf saya menulis, mungkin setiap kalimat, adalah untuk mencerminkan

seluruh hidup saya dan menjadi ekspresi karakter saya. Salah satunya adalah untuk mengenali hidup

saya. Satu kalimat saya hanya bisa merekonstruksi kerangka lengkap dari hewan prasejarah, dengan

menggunakan satu tulang. Saya khawatir, di sini dengan keterkaitan simbolis semua makhluk hidup.

Satu kata tunggal menyatakan seluruh alam semesta. Setiap katakata saya adalah menjadi simbol

sama seluruh hidup saya.19 Panikkar adalah seorang pendeta dan guru besar sangat produktif dalam
12 http://www.raimon-panikkar.org/english/biography-2.html, diakses 14 September 2018.
8
menulis. Hal ini terlihat dari banyaknya tulisan yang telah dihasilkannya. Panikkar mengarang lebih

dari 60 judul buku yang diterbitkan dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan sekitar 1.500

artikel dalam jurnal dan majalah lainnya. Berikut beberapa karya utama intelektualnya:

1. The Unknown Christ of Hinduism (1964)

2. The Trinity and World Religions (1970)

3. The Trinity and World Religions: Icon-Person-Mystery (1973)

4. Myth, Faith and Hermeneutics (1979).

5. The Silence of God (1989)

6. The Vedic Experience Mantramanjari: An Anthology Of the Vedas for Modern Man and

Contemporary Celebration (1977). Buku ini merupakan magnum opus.

2.2 Konteks Berteologi Panikkar

Ada dua kenyataan besar yang merupakan ciri Asia: kemiskinan dan keberagaman agama.

Dari dua ciri ini keberagaman agama adalah ciri yang paling khas dari Asia. Artinya, tidak ada

benua lain di dunia yang sebanding dengan Asia untuk hal yang satu ini. Panikkar membangun

pemahamannya tentang misi atau pekabaran injil sebagai anak dalam zaman tertentu yakni jaman

yang ditandai dengan adanya kerinduan untuk pengenalan dan pemahaman yang mendalam antara

orang-orang yang berbeda dari dirinya. Panikkar menamakan kecendrungan itu a real thirst for

universality. Manusia tidak ingin tinggal terkurung dalam batas-batas geografi, sejarah dan agama

yang merupakan warisan masa laluyang ditandai dengan apa yang disebut Panikkar a lac of

universality.13

Didalam kehidupan beragama dalm hal ini agama Kristen kerinduan ini nampak dalam

pergerakan oikumene. Orang-orang kristen yang awalnya memisah dalam berbagai denominasi

berinisiatif merintis jalan pengenalan bahkan pertemuan dan hidup bersama dengan sesama orang

kristen dari denominasi kristen lain , bukan sekedar pengenalan yang dangkal tetapi maksimalis

yakni pengenalan yang saksama, dalam dan bahkan masuk sampai ke relung-relung pemahaman
13 A. A . Yewangoe, Teologi Salib Di Asia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia 1996), Hal, 9.
9
iman saudaranya yang berebeda itu. Apa yang terjadi dalam lingkungan internal kekristenan melalui

pergerakan oikumene terjadi juga dalam lingkungan agama hindu dan agama lain. Panikkar

menamakan upaya pengenalan dan pertemuan antara denominasi atau mashab-mashab yang

berbeda dalam agama-agama inigeneral trend towards universality.14

Kerinduan ke arah universalitas melalui pergerakan oikumene ini ternyata tidak sebatas

saling mengenal antara denominasi dalam satu agama melainkan sebuah gerakan yang melampaui

batas-batas agama alias antara tradisi agama yang berbeda-beda. Orang dari agama yang satu

belajar mengenal, memahami bahkan membangun kontak dalam hidup bersama dengan orang dari

agama lain, satu model pergaulan antara agama yang diistilakan dengan ecumenical ecumenisme

(ekumenisme yang ekumenis).15

Ekumenisme yang ekumenis menurut panikkar bukan universalisme yang kabur atau

sinkretisme yang sembarangan. Itu merupakan kesadaran akan relativitas yang konstitutif yang

membuat manusia menjadi bagian hubungan-hubungan dalam rajutan yang misterius dari adanya. 16

Jelasnya, ekumenisme yang ekumenis adalah membuat sebuah agama universal, diketahui orang

lain dengan cara saling memperkenalkan agama masing-masing. Kerinduan untuk ambil bagian

dalam pengenalan akan yang lain itu berjalan dengan beriringan dengan ketakutan akan bahaya

pengaburan identitas sebagai akibat dari perjumpaan dengan sesuatu yang lain itu. Untuk mengatasi

bahaya ini, makin kuat pula kesadaran akan identitas persona dan kongkret dari orang-orang yang

berusaha untuk saling bertemu dalam sebuah keterhubungan global.17

Karena masing-masing agama memiliki pemahaman yang unik tetapi tidak utuh tentang

hakikat ilahi yang tidak dimilki oleh agama lain, maka dialog diantara agama-agama adalah

moment yang paling tepat dimana agama-agama itu bisa saling memperkaya satu sama lain.18

14 Raimundo Panikkar, The Unknown Christ of Hinduisme, Completely Revised and Enlarge Edition, (New York:
orbis Book 1981), Hal. 62.
15 Ibid., Hal 65.
16 Cris Wright, Tuhan Yesus Memang Khas Unik, Jalan Keselamatan Satu-Satunya, (Jakarta: Yayasan komunikasi
Bina Kasih/ OMF, 2003), Hal. 8.
17 Dr. A. Sudiarja. (Ed)., Op Cit, Hal. 39-42.
18 E. Armada Riyanto CM. Dialog Interreligius. Historisitas, Tesis, Pergumulan, Wajah, (Yogyakarta: Kanisius,
2010), Hal. 300.
10
Dasar dari ajakan dialog ialah bahwa kebenaran Allah hadir juga dalam banyak agama.

Dialog karena itu bukan perang, melainkan perjumpaan dari orang-orang yang mengenal kebenaran

Allah yang serpihan-serpihanya tercurah dalam agamanya. Dalam perjumpaan benteng-benteng

harus diubah menjadi jembatan supaya curahan-curahan kebenaran dalam agama yang berbeda-

beda itu bisa saling melengkapi dan menyuburkan, bukan sekedar berdiri berdampingan tetapi

jalin-menjalin dan mencakupi satu sama lain, semacam circumincessio atau perichoresis yang

terdapat dalam Allah Tritunggal. Karena itu orang kristen yang sejati akan dan haruslah mengenal

kebenaran Allah yang juga hadir dalam agama lain itu. Ini mengandaikan kekristenan seseorang

diragukan kesejatiannya kalau ternyata orang itu tidak dapat mengenal kebenaran Allah dalam

agama lain.19

Agama harus menemukan dirinya dalam perjalanan menjumpai agama lain untuk hidup

dalam dialog yang saling mengisi dan menyuburkan. Ini sikap yang berpadanan dengan jati diri

agama sebagaimana yang disandang dalam namanya: religare yang artinya mengikat kembali

dimana memberi gambaran mengenai agama sebagai pengikat kesatuan. Agama menyatukan

masyarakat dengan kegiatan-kegiatannya sehingga menjadi satu suku atau bangsa. Melalui ibadat,

keintiman yang telah hancur atau hilang antara Allah dan manusia dengan yang lain, bukan hanya

dengan Allah tetapi juga dengan sesamanya.20

2.3 Allah Menurut Panikkar

menurut Raimundo Panikkar Allah ada dan eksis dalam semua ciptaan-Nya. Premis dasar

yang Panikkar kemukakan ialah bahwa Allah tanpa dunia dan ciptaan adalah Allah yang tidak real

dan tidak eksis. Allah tidak memiliki tubuh seperti manusia, tetapi Allah itu suatu ruang dan waktu

bahkan kebertubuhan Allah itu berebeda dengan kebertubuhan manusia. Eksisitensi Allah tidak

dapat dikenal dan diketahui dari Allah itu sendiri tetapi eksistensi Allah dapat diketahui dari

Tanggapan dan pengamatan terhadap kenyataan hidup yang ada di dalam dunia ini. Allah memang

19 Dr. A. Sudiarja. (Ed)., Op Cit, Hal. 28.


20 Raimundo Panikkar., Op Cit, hal 10.
11
tidak dapat dikenal dan diketahui karena memang tidak tampak, tetapi hanya dikenal melalui

ciptaan-Nya. Allah melampaui dimensi spesial temporal. Eksisitensi Allah tidak perlu diragukan.

Pemikiran dan diskursus manusia dalam mengungkapkan eksistensi Allah secara real dan transparan

justru akan menjerumuskannya kedalam jurang ketiadaan dan ketakberartian. 21

Bagi Panikkar, Allah adalah kepenuhan tertinggi dari semua beings bergerak menuju

kepada-Nya. Dia adalah sumber dari segala sesuatu yang ada, segala sesuatu berhubungan baik

essensial maupun eksistensial dengan-Nya. Eksistensi Allah menjadikan diri-Nya dasar, yang

absolut, prinsip tertinggi segala sesuatu.22

Menurut Raimundo Panikkar, Allah ada bagi semua tanpa terkecuali. Ini berarti Allah bukan

saja milik manusia dan agama tertentu tetapi ada bagi semua kultur religius dan segala ciptaan.

Maka konsekuensinya Allah juga ada bagi para ateis. Hal ini berarti juga bahwa Allah atau yang

absolut itu ada secara pluralistis karena Allah atau yang Absolut ini tidak terlukiskan atau tidak

memiliki nama. Nama yang dikenakan kepada-Nya hanyalah sarana bagi manusia untuk

mendekatkan diri dan menghadirkan-Nya.23

Bagi Panikkar, orang-orang teis maupun ateis sama-sama memiliki kerinduan akan yang

absolut, meski dalam jalan yang berbeda. Keduanya sama-sama percaya akan adanya kebenaran,

beriman pada kebenaran, namun dengan pernyataan yang berbeda yakni kepercayaan bahwa Allah

ada dan bagi yang lain, kepercayaan bahwa Allah tidak ada.24

Panikkar lalu menegaskan bahwa Allah eksis secara impersonal. Hal ini bertitik tolak dari

pengalaman Panikkar berhadapan dengan kepercayaan Buddha. Allah dalam kacamata Panikkar

merupakan sebuah misteri besar yang tidak akan pernah ditemukan suatu konsep yang pasti dan

kekal mengenai-Nya. Pengalaman awal manusia dengan Realitas Tertinggi membuat mereka

mempersonifikasikan Allah dengan atribut-atribut yang ada pada manusia sebagai suatu usaha
21 Silvester Kanisius, Allah dan Pluralisme Religius. Menelaah Gagasan Raimundo Panikkar, (Jakarta: Obor, 2006),
hal. 37.
22 Ibid.,
23 Raimon Panikkar, The Experience Of God Icons Of The Mystery, tran by Joseph Cunneen from L' Experience de
dieu: Icon du Mistere, (Augsburg Fortress Press, 2006), hal. 23.
24 Silvester Kanisius, Op. Cit, hal. 39.
12
untuk memahami-Nya. Formulasi mengenai Allah dalam berbagai tradisi religius sangat penting,

meski tidak mencukupi, untuk membantu setiap individu agar mengalami pertemuan dengan-Nya.

Dengan demikian, bukan kesamaan dan kesatuan yang menentukan realitas melainkan keberbedaan

dan universalitas.25

2.4 Kristus Menurut Panikkar

Dalam pandangan Panikkar, kristologi menempati posisi yang amat penting karena

merupakan refleksi teologis mengenai misteri kristus yang sungguh-sungguh berpijak pada situasi

nyata hidup manusia (sitz im leben). Ada banyak macam Kristologi yang muncul dewasa ini seperti

kristologi Asia, kristologi Afrika, kristologi feminis, kristologi pembebasan, dan lain sebagainya.

Bagi Panikkar, disamping muncul berbagai macam kristologi kontekstual tersebut krisis tetap saja

terjadi dalam kehidupan kristiani. Hal ini terjadi karena kristologi ada masih dipengaruhi oleh

teologi Barat yang cendrung eksklusif, statis, abstrak dan spekulatif. Karena itu, pemikiran yang

dibangun oleh Panikkar mengenai Kristus berusaha keluar dari konteks tersebut.26

Menurut Panikkar, Kristus merupakan simbol hidup dari seluruh realitas. Dalam Kristus

tersingkap tidak hanya misteri ilahi, melainkan juga misteri manusia dan alam semesta. Kristus

adalah dasar dari manifestasi diri Allah yang juga terjadi dalam agama-agama lain. Kristus

dipahami sebagai Logos, prinsip yang dalam setiap tradisi religius menyebutnya dengan nama yang

bervariasi. Panikkar mengatakan bahwa Yesus adalah Kristus melampaui figur historis Yesus.

Kristus tidk hanya milik Yesus historis, melainkan juga semua manusia yang hidup dalam persatuan

dengan Allah pada pusat alam semesta. Karena itu, dalam diri setiap manusia terdapat kemampuan

untuk menampakan kristus, yang ia sebut kristofani. Hal ini terjadi karena pada dasarnya setiap

ciptaan merupakan ungkapan Sabda Allah. Hal ini berarti sudah menjadi tugas utama dari ciptaan

untuk melengkapi dan menyempurnakan gambar masing-masing. Kristus adalah simbol identitas

dan panggilan manusia, yang pemenuhannya terjadi pada saat seluruh realitas tercipta bersatu dalam

25 Ibid., hal. 63.


26 Joseph Prabu, 'Adieu Raimon, A Dieu', Journal of Hindu-Christian Stidies, (Vol. 21, Article 3, 2010), hal. 2
13
kasih Allah.27

Kristofani bukanlah gagasan eksklusif yang digunakan oleh orang-orang kristen. Kristofani

merupakan suatu bentuk refleksi orang-orang kristen yang didasari oleh sikap saling memahami

tradis dan kepercayaan lain di dunia. Panikkar merangkum seluruh pemikirannya mengenai

kristofani dalam Sembilan pokok gagasan, yakni:

a. Kristus merupakan simbol hidup dari totalitas realitas. Dengan kata lain

Kristus merupakan simbol kesatuan seluruh realitas yakni yang ilahi, manusia dan

kosmos.

b. Orang-orang kristen mengetahui Kristus dalam dan melalui Yesus dari

Nasaret. Dalam wahyu kristiani, orang-orang Kristen menemukan Kritus sebagai

pusat alam semesta. Penemuan ini merupakan suatu pengalaman personal dalam

komunitas orang-orang percaya, tetapi tidak mengurangi misteri Kristus.

c. Identitas kristus bukanlah identifikasinya. Identitas kristus hanya bisa

diketahui melalui pengalaman kasih. Dengan demikian, mengenal Kristus berarti

mengalami kasih-Nya.

d. Orang-orang Kristen tidak memonopoli dalam hal pengetahuan akan Kristus.

Pengalaman dan refleksi tentang Yesus dalam kehidupan orang Kristen tidak

mengurangi kekayaan realitas Kristus. Orang-orang Hindu menyebut misteri yang

sama (Kristus) dengan nama yang berbeda. Hal ini berarti Kristus sebetulnya

melampaui segala macam sebutan dan pemahaman. Sebab, segala macam sebutan

tidak menggambarkan misteri secara penuh.

e. Kristofani mengatasi tribal christologi. Kristologi kontemporer harus

mengembangkan suatu studi bagaimana misteri Kristus itu mewujudkan dirinya

dalam agama-agama lain.

f. Kristofani hanya bisa dipahami dalam rangka Trinitas. Kritus merupakan

27 Ibid.,
14
manifestasi yang penuh dari trinitas yang saling memberikan diri dalam kasih.

g. Ingkarnasi berarti juga suatu ingkulturasi. Sebagaimana dipahami oleh orang-

orang Kristen, ingkarnasi itu bukan hanya suatu tindakan historis dalam ruang dan

waktu, melainkn jug suatu peristiwa budaya yang hanya dapat dipahami dalam

konteks budaya tertentu.

h. Gereja memahami dirinya sebagai tempat berlangsungnya ingkarnasi. Arti

primordial dari kata 'Katolik' berarti Gereja yang ada di seluruh jagat. Allah

menciptakan dunia ini supaya segenap ciptaan diilahikan melalui Yesus Kristus.

i. Kristofani merupakan perwujudan misteri kesatuan dari realitas ilahi, manusia

dan kosmos. Yesus Kristus merupakan model dari semua manusia. Dalam Kristus,

realitas yang terbatas dan tidak terbatas bertemu; manusia dan yang ilahi disatukan.28

2.5 Iman dan Kepercayaan

2.5.1 Pengertian

Iman adalah kepercayaan (yang berkenan dengan agama), ketetapan hati, keteguhan batin,

keseimbangan batin.29 Dalam tradisi kekristenan, iman merupakan keterbukaan diri manusia

terhadap Allah yang menempatkannya pada sebuah komunikasi dan persekutuan yang personal

dengan Allah. Tokoh keberimanan Kristen adalah Abraham. Menurut beberapa teolog, iman

memiliki perbedaan dengan kepercayaan. Iman merupakan semua sikap dan orientasi seseorang

kepada Allah, sedang kepercayaan merupakan sebuah persetujuan atau afirmasi terhadap beberapa

persoalan menyangkut iman atau apa yang diajarkan dalam sebuah komunitas religius.30

2.5.2 Iman dan Kepercayaan Menurut Raimundo Panikkar

Panikkar membuat perbedaan tegas antara iman dan kepercayaan. Bagi Panikkar, iman
28 Mariasusai Dhavamony, The Cosmic Christ And Worl Religions, In Theology Of Religions, Christianity And
Other Religions, (Roma: Editrice Pontificia Univrsita Gregoriana, 1993), hal. 161, seperti dikutip oleh Stefanus
Mau, “Konsep Teandrisme Perspektif Raimundo Panikkar”, (Skripsi Sarjana, Fakultas Filsafat Agama Universitas
Katolik Widya Mandira Kupang, Kupang,2005), hal. 81-83
29 WJS Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,1998), hal. 326
30 Frank K. Flinn, Encyclopedia of Catholicism (New York: Fact On File, Inc, 2007), hlm.270
15
berfungsi untuk menghubungkan seseorang dengan yang transenden, dengan apa yang ada diatas

yang melampaui manusia. Iman ialah hubugan dengan yang diseberang . Dengan demikian, akibat

dari iman adalah keselamatan. Karena itu iman tidak dapat diungkapkan secara penuh. Karena iman

perlu diwujudkan dalam ide-ide dan rumusan-rumusan. Perwujudan dari iman itu ialah

kepercayaan.31

Menurut Panikkar, iman merupakan dimensi konstitutif manusia, suatu keterbukaan

eksistensial manusia pada yang transenden. Iman mempunyai daya yang menyelamatkan.

Pengalaman iman manusia tidak akan termuat dalam suatu rumusan melainkan tersurat dalam

rumusan-rumusan kepercayaan. Manusia terpaksa mengutarakan kesan-kesannya yang paling dalam

mengunakan bahasa-bahasa yang menjamin ungkapan tersebut dengan tradisi manusia yang ada.

Semua gambaran-gambaran dan simbol-simbol diungkapkan sesuai dengan tradisi kebudayaannya.

Dalam hal-hal tertentu kepercayaan-kepercayaan memperlihatkan sifat dasar yang sama yang

memungkinkan terjadinya dialog, bahkan dialektika. Pada umumnya kepercayaan-kepercayaan itu

ekuivalen yakni bahwa setiap kepercayaan mempunyai fungsi yang mirip untuk mengungkapkan

iman manusia yakni iman yang merupakan dimensi antropologis yang melaluinya manusia

mencapai tujuannya, yakni keselamatan.32

2.6 Agama

2.6.1 Pengertian

Menurut tradisi Barat, agama berasal dari kata religio diambil dari kombinasi kata latin re

dan ligare yang berarti “mengumpulkan/ menyatukan kembali, mengulung”. Ada juga yang

mengatakan kata religion tersebut diambil dari kata re dan legare - to re-read = membaca ulang,

meneliti kembali secara cermat.33 Sedangkan dalam tradisi Timur pengertian agama didasarkan

pada dua kitab. Menurut kitab samdarigama kata agama terkomposisi dari awalan a (tidak), kata

31 Dr. A. Sudarja, Op. Cit., hal.56


32 Stefanus Mau, Op Cit.,hal. 39
33 Rm. Dr. Octovianus Naif, Pr, Manuskrip Misiologi, (Kupang: 2013), hal. 25
16
dasar gam (pergi atau berjalan/bergerak atau berubah); akhiran a (menegaskan sifat). Jadi agama

artinya keadaan tidak pergi/ tidak bergerak dan tidak berubah atau “tetap dan kekal”. Sedangkan

menurut kitab sunarigama, kata agama tersusun dari kata a (hampa – kosong); ga (tempat) dan ma

(terang, matahari). Komposisi kata ini membingungkan atau tidak menunjukan suatu kejelasan arti.

Mungkin kata yang membingungkan ini menunjukan kepada suatu “misteri” yang sulit dijelaskan.

Misteri yang tidak habis dijelaskan dan dimengerti adalah “Dewa/ i atau Tuhan”.34

Kata agama sendiri memiliki sifat religiositas yang bersumber dari perasaan atau sentimen

religius seseorang yang dialaminya di dalam batin atau jiwanya. Dari perasaan atau sentimen

religius ini melahirkan apa yang disebut pengalaman-pengalaman religius. Puncak dari pengalaman

religius adalah pengalaman akan yang ilahi. Pengalaman ini merupakan pengalaman yang

fundamental dalam eksistensi kehidupan manusia karena keberadaan manusia pada dasarnya

membutuhkan atau merindukan sesuatu atau seseorang yang lain. Hal inilah yang kemudian

membuat manusia secara naluriah mencari dan menemukan asal keberadaannya.35

2.6.2 Agama Menurut Panikkar

Bagi Panikkar agama adalah suatu jalan pemenuhan, jalan yang ditempuh manusia untuk

mencapai tujuan hidup manusia, sebuah jalan keselamatan. Agama merupaka peziarahan

eksistensial manusia yang dilakukan dengan sebuah keyakinan bahwa usahanya tersebut akan

membuatnya mencapai tujuan akhir hidupnya.36 Jadi agama merupakan sebuah dimensi dalam diri

manusia dan bukan merupakan sebuah jabatan keanggotaan yang dimiliki oleh beberapa orang yang

percaya.

Ada tiga unsur yang terdapat dalam agama-agama menurut Panikkar yakni:

a. suatu visi yang nyata mengenai manusia

b. Pengertian tentang tujuan akhir manusia

34 Ibid.,
35 Jhon Hick, Tuhan Punya Banyak Nama, (penrj) Amin Ma'ruf dan Taufik Aminuddin, (Yogyakarta: Dian/interfidei,
2006), hal. 42
36 Dr. A. Sudarja, Op. Cit., hal.122
17
c. sarana-sarana untuk berpindah dari keadaan yang terdahulu ke keadaan yang kemudian.37

2.6.3 Model Agama

Lebih lanjut, Panikkar melihat agama dalam tiga model. Hal ini disebabkan karena orientasi

teologisnya mengenai bagaimana akhirnya agama-agama ada dalam perjumpaan yang membuat

agama-agama saling memahami, tetapi juga yang paling penting ialah memahami keberadaannya.

2.6.3.1 Model Fisika: Pelangi

Tradisi keagamaan yang berbeda-beda pada umat manusia adalah seperti warna yang hampir

tak terbatas jumlahnya, yang kelihatan takkala cahaya putih jatuh di atas prisma pengalaman

manusia: cahaya putih ini menyebar ke dalam tradisi, ajaran dan agama yang tak terhitung

jumlahnya. Hijau bukanlah kuning, namun pada perbatasannya orang tidak tahu kecuali dibuat

suatu dalil sebelumnya, dimana kuning berakhir dan hijau mulai. Meski demikian, lewat satu warna

partikular yakni agama, orang dapat mencapai sumber dari cahaya putih. Setiap pengikut suatu

tradisi, diberi kemungkinan mencapai tujuannya, kepenuhan dan keselamatan, asalkan ada cahaya

terang dan bukan kegelapan semata-mata.

Suatu agama dengan cara yang sama menyerap semua warna yang lain dan

menyembunyikan di dalam dirinya. Karenanya, warna luar itu sebenarnya hanyalah

penampakannya, pesannya pakai dunia luar, tetapi bukan seluruh hakikatnya. Kita hanya biasa

mencapai seluruh kenyataan ketika kita berusaha untuk memahami suatu agama dari dalam. Dengan

demikian, menjadi tidak benar ketika kita menilai agama lain hanya dari luarnya saja.

Nilai suatu model tidak hanya berasal dari kemungkinan penerapannya melainkan juga dari

kesamaan sifat dasarnya dengan fenomen yang diselidiki. Kenyataan fisik dari pelangi dalam hal ini

membantu kita untuk menerangkan seluk beluk fenomen antropologis agama.

37 Raimundo Panikkar, The Methodic Of Hindu Christian Studies, (Journal of Hindu-Cristian Studies, Vol. 20, Article
Vol 13, 2007), hal. 3
18
2.6.3.2 Model Geometri: Invarian Topologis

Pada model ini, transformasi merupakan penyebab bentuk dan wujud yang beragam dari

sosok geometri, yakni agama-agama. Di dalam dan lewat ruangan dan juga karena pengaruh waktu,

bentuk primordial dan asli mengadakan transformasi-transformasi yang dimungkinkan dalam

jumlah yang hampir tak terbatas lewat berkisarnya manusia, rentangan sejarah, pembengkokan oleh

kekuatan alami dan sebagainya agama-agama tampak berlain-lainan dan bahkan tak bisa saling

didamaikan sampai atau kecuali jika ditemukan invarian38 topologis yang tetap. Titk tetap ini tidak

harus satu untuk semua agama.

Agama-agama tidak berdiri berdampingan melainkan benar-benar jalin-menjalin satu sama

lain. Tiap-tiap agama mewakili keseluruhan bagi kelompok manusia tertentu dan dengan cara

tertentu merupakan agama dari kelompok lain hanya saja dalam bentuk topologis yang berbeda.

2.6.3.3 Model Antropologis: Bahasa

Model ini mengangap setiap agama sebagi suatu bahasa. Setiap agama adalah langka,

sebagai mana setiap bahasa, dan mampu mengungkapkan segala sesuatu yang dirasa perlu untuk

diungkapkan. Setiap agama terbuka untuk pertumbuhan dan evolusi sebagaimana bahasa. Keduanya

mampu menungkapkan atau menyembunyikan lagi suatu arti, mengubah istilah atau penekanan-

penekanan tertentu, memperhalus cara pengugkapan ataupun mengubahnya. Sebagaimana halnya

bahasa, agama-agama dapat saling mempengaruhi dan meminjam satu sama lain tanpa kehilangan

identitasnya sendiri. Ataupun juga dalam kasus yang ekstrem, sebuah agama dapat menghilang

sama sekali akibat tampak sangat mirip penaklukan, kehancuran perpindahan dan sebagainya.

Dalam sudut pandang internal setiap bahasa dan agama, sebenarnya tidaka banyak arti

menyatakan bahwa suatu bahasa lebih sempurna dari bahasa lainnya, sebab orang dapat saja

mengatakan dengan bahasanya, agamanya sendiri apa yang ia rasa perlu untuk dikatakan. Dalam

agama kita mungkin hanya mempunyai satu kata untuk kebijaksanaan, Tuhan rasa kasih atau

38
19
keutamaan sedangkan agama lain melebihinya.39

2.7 Dialog Intrareligius

Dialog intrareligius (Intrareligios Dialog), bukan Dialog Antaragama (interreligios Dialog).

Dalam dialog intrareligius Panikkar mengarahkan orang pada refleksi pribadi dan melihat kembali

pengalaman agamanya sendiri bukan pengalaman agama orang lain dalam rangka dialog. Panikkar

memang tidak menganjurkan untuk berganti haluan melainkan untuk berani melihat pengalamannya

sendiri secara lebih kritis, Panikar mengajak membuka tabir-tabir gelap yang penuh mitos dari

kepercayaan kita sendiri, yang sering menjadi tempat yang hangat dimana kedamaian semu

bersarang; atau menjadi benteng pertahanan yang tinggi dan kokoh untuk mengeritik keberagaman

orang lain.

Karena konteks pembicaraannya bukan perang, melainkan dialog atau perjumapaan, maka

benteng-benteng itu mesti diubah menjadi jembatan. Dengan demikian, panikkar juga mencoba

terobosan-terobosan dan titian-titian baru, menyangkut upaya bagaimana hubungan antara agama

dimungkinkan, tanpa mengigkari iman yang dipeluknya sendiri. Namun karena rumitnya

permasalahan yang diutarakan ini, mudah sekali Panikkar bisa disalah-pahami. Panikkar dituduh

sebagai seorang sinkretis yang mencoba mengabung-gabugkan pengalaman agama yang satu

dengan yang lain. Tentu saja itu bukan maksud panikkar yang ia inginkan adalah iman seorang

harus kuat untuk memulai perjalanan ini. Langkah-langkah refleksi yang ditawarkan tidak

dianjurkan kepada sembarang orang, apalagi mereka yang lemah imannya, yang merasa mudah

dibahayakan oleh petualangan-petualangan semacam ini. Jadi dengan jelas panikkar menolak

sinkretisme yang diartikan secara sederhana.

Panikkar rupaya mencoba mengatasi jalan buntu antara kecendrungan sinkretis yang

sederhana dan sikap fanatisme yang kaku. Namun jelas sekali dari bahasa dan intensinya, jalan

semacam ini diakuinya bukan merupakan jalan umum, meski dari lain pihak juga bukan sekedar

coba-coba dari orang yang kurang serius. Dalam dialog intrareligius ini yang diperlukan keberanian
39 Dr. A. Sudarja, Loc. Cit., hal.24-32
20
yang jujur dan kemauan yang tulus untuk merintis jalan baru dalam memecahkan persoalan

pluralisme agama. Dari sini sebenarnya kelihatan, bahwa usaha-usaha pribadi merupakan satu-

satunya kemungkinan, sebab usaha-usaha semacam inilah yang memberikan iklim keakraban dan

saling kepercayaan, yang sangat diperlukan untuk dialog intrareligius.

2.7.1 Prinsip Dialog Intrareligius

Perjumpaan agama-agama merupakan kenyataan yang tak dapat dielakkan pada zaman

sekarang ini. Panikkar merumuskan satu prinsip yang mengatur perjumpaan agama-agama dan

menarik beberapa konsekuensi yang berkaitan dengannya. Prinsip yang Panikkar bangun adalah

perjumpaan agama harus benar-benar bersifat keagamaan. Ada beberapa konsekuensinya antara

lain:

Pertama, harus bebas dari apologi khusus. Orang Kristen atau Budha atau penganut agama

apapun yang mendekati penganut agama lain dengan gagasan apriori yang membela agamanya

sendiri mungkin akan mendapatkan suatu pembelaan yang berharga dari agama tersebut, dan tentu

saja tidak perlu menanggalkan kepercayaan dan pendiriannya. Hal ini bukanlah dialog agama,

bukan perjumpaan, apalagi usaha saling menyumbang dan menyuburkan. Kita harus mengahapus

setiap sikap apologi kalau memang ingin bersungguh-sungguh bertemu dengan penganut dari tradisi

keagamaan yang lain. Bersikap apologi mempunyai tempat dan fungsinya sendiri, tidak dalam

perjumpaan agama. 40

Kedua, harus bebas dari apologi umum. Panikkar mengambarkan situasi dimana penuh

dengan kegelisahan penganut agama modern yang menyaksikan gelombang ketidakberagaman dan

bahkan anti keagamaan sekarang ini, tetapi kelirulah kalau kita membangun semacam ikatan

keagamaan yang didasarkan atas rasa takut dan kuatir ini. Sikap untuk menawarkan persekutuan

umum bagi kaum agama untuk melawan ketidakpercayaan mungkin dapat dipahami, tetapi ini

bukan sikap keagamaan, setidaknya menurut tingkat kesadaran keagamaan sekarang.

40 Khotimah, M. Ag, “Dialog dan Kerukunan Antar Umat Beragama”, (Jurnal Ushuludin Vol. XVII No. 2, Juli
2011), hal. 218.
21
Ketiga, berani menhadapi tantangan pertobatan. Supaya perjumpaan itu bersifat keagamaan,

ia harus taat secara penuh pada kebenaran dan terbuka pada realitas. Memasuki medan yang baru

perjumpaan agama-agama mengandung tantangan dan resiko. Ia harus sadar bahwa kemungkinan

akan kehilangan suatu keyakinan khusus atau bahkan agamanya sendiri. Ia masuk tanpa senjata dan

bersedia untuk ditobatkan sendiri. Ia dapat kehilangan hidupnya dapat juga dilahirkan kembali.

Keempat, dimeni historis penting tetapi tidak mencukupi. Agama bukan sekedar privatsache

vertikal dengan Yang Mutlak, melainkan pertalian juga dengan umat manusia. Agama mempunyai

tradisi, mempunyai dimensi historis. Perjumpaan agama bukan semata-mata pertemuan dua atau

lebih orang dalam kapasitasnya sebagai individu-individu pribadi belaka, terpisah dari tradisi agama

masing-masing, tetapi ia mewakili orang-orang lain dari suatu komunitas, dari suatu tradisi

keagamaan yang hidup.41 Oleh karena itu, perjumpaan agama bukanlah perjumpaan apara ahli

sejarah, melainkan suatu dialog yang hidup, suatu medan untuk pemikiran kreatif dan jalan-jalan

baru yang imajinatif yang tidak memutuskan hubungan dengan masa lampau, melainkan

meneruskan dan memperkembangkannya.

Kelima, bukan sekedar kongres filsafat. Tak perlu diragukan bahwa tanpa tingkat filsafat

tertentu, tak mungkin ada perjumpaan. Sekalipun demikian, dialog keagamaan bukanlah sekedar

pertemuan para filsuf untuk membicarakan masalah-masalah intelektual. Agama jauh dari sekedar

ajaran-ajaran. Mempersempit agama menjadi hanya seperangkat ajaran tertentu yang terbatas sama

saja dengan membunuh agama itu sendiri. Sikap pemahaman atau tafsiran dari suatu tradisi haruslah

cocok, paling tidak secara fenomenologis, dengan tafsiran dari dalam, yaitu dari sudut pandang

penganutnya sendiri. Misalnya, menyembah seorang penembah berhala sebagaimana umumnya

dipahami dalam konteks Yahudi, Kristen, Islam. Daripada mulai dengan apa yang jadi anggapan si

penganut itu sendiri, adalah melanggar aturan tersebut.

Keenam, bukan sekedar simposium teologis. Perjumpaan agama bukanlah sekedar usaha

untuk membuat orang luar memahami maksud kita. Akan tetapi yang lebih penting adalah meresapi
41 Gerard Hall sm, Multi Faith Dialogue in Conversation With Raimon Panikkar, (multi faith centre, Griffith
University, Autralian Association For The Study of Religion, Autralia 4th-6th Juli,2003), hal. 4-7.
22
lebih dahulu apa yang akan ditafsirkan mendahului setiap penjelasan yang kurang lebih masuk akal.

Misalnya, menyamakan konsep Brahman dalam Upanisad dengan ide Yahwe dalam Alkitab, jelas

keliru. Kendatipun demikian, tidaklah memuaskan untuk berkata bahwa kedua konsep tersebut

tidak mempunyai kesamaan apapun. Oleh karena itu, diperlukan pengertian homologi, bahwa

keduanya tidak memiliki hubungan langsung, keduanya tidak dapat saling diterjemahkan, tetapi

keduanya homolog, masing-masing memainkan peran yang serupa. Keduanya menunjukan pada

suatu nilai tertinggi maupun suatu pengertian yang mutlak. Jelas bahwa metode homologi tidak

mengimplikasikan bahwa sistem yang satu lebih baik dari sistem lainnya. Metode ini hanya

menyingkapkan adanya pertautan homologis.

Ketujuh, bukan sekedar ambisi pemuka agama. Setiap dialog antar agama dapat terjadi

dalam tingkat yang berbeda-beda dan tiap tingkat memiliki kekhasannya sendiri. Perteuan resmi

diantara wakil-wakil kelompok agama sedunia sekarang ini merupakan suatu tugas yang tidak dapat

dielakan. Pertemuan diantara para wakil ini bukanlah dalam dialog yang berusaha mencapai

kedalaman sejauh mungkin tetapi hanya berkewajiban memelihara tradisi. Mereka harus

memikirkan kebayakan para penganut yang mengikuti tradisi atau agama itu. Mereka harus

menemukan cara-cara untuk bertolerasi, bekerjasama dan memahami. Mereka harus memecahkan

problem-problem praktis dan dekat.

Kedelapan, perjumpaan agama dalam iman, harapan dan kasih. Sekalipun peristilahan itu

bernada kristiani maknanya bersifat universal dan iman, dimaksudkan sebagai suatu sikap yang

melampaui data sederhana dan juga perumusan dogmatis dari pengakuan yang berbeda-beda. Sikap

ini menyentuh pemahaman, sekalipun dalam kata-kata dan konsep-konsep berbeda. Kita tidak

membicarakan sistem-sistem, melainkan realitas dan cara realitas ini menyatakan diri sehingga

memberi arti bagi pasangan dialog kita. Dengan harapan dipahami sebagai sikap mengharapkan

yang melampaui segala harapan, dapat melompati tidak hanya hambatan awal kemanusiaan kita,

tetapi juga melompati segala bentuk pandangan yang semata-mata duniawi dan memasuki jantung

23
dialog, seolah-olah didesak dari atas untuk menjalankan tugas suci. Dengan cinta akhirnya

dimaksudkan sebagai gerak hati, kekuatan yang mendorong kita kepada sesama dan membimbing

kita untuk menemukan dari mereka apa yang kurang pada diri kita.42

2.7.2 Menuju Perjumpaan Agama Yang Sejati

Dialog religius pertama-tama harus menjadi suatu dialog yang autentik, tanpa superioritas,

praduga-praduga, motif-motif atau keyakinan tersembunyi dari kedua belah pihak. Lagi pula untuk

menjadi suatu dialog yang autentik, dialog itu juga harus menghindarkan prakonsepsi mengenai

tujuan-tujuan dan hasilnya. Kita tidak memasuki suatu dialog kalau kita telah mengandaikan lebih

dahulu apa yang akan dihasilkan daripadanya, atau telah memutuskan untuk menarik diri andaikata

dialog itu memasuki wilayah-wilayah yang kita kecualaikan secara a priori. Dialog itu tidak

pertama-tama berarti studi, konsultasi, pemeriksaan, pengajaran, pernyataan, dsb. Jika kita setia

untuk dialog, kita harus mematuhi dan mengikuti peraturan-peraturannya. Dialog itu mendengarkan

dan mengobservasi, tetapi juga berbicara, mengoreksi dan dikoreksi; tujuannya adalah untuk saling

pengertian.

Dialog religius haruslah bersifat religius sungguh-sunggu, bukan sekedar suatu pertukaran

doktrin-doktrin atau opini-opini intelektual. Karena itu dialog agama mengandung resiko

memodifikasi ide-ide dari Raimundo Panikkar. Dialog religius bukanlah ruang pertunjukan. Ini

berarti bahwa dialog harus bergerak dari dasar sikap reigius pribadi saya ke dasae sikap religius

yang sama dalamnya dari partner saya. Dengan kata lain, saya memahami dia atau berusaha ke arah

itu, baik dari maupun dalam iman saya, bukannya malah dengan menyingkirkan iman itu.

Bagaimana mungkin saya dapat memahami dengan akal budi saja sesuatu yang sangat sering

dinyatakan sebagai yang lebih dari rasionalaitas belaka, tanpa perlu jatuh ke dalam irasionilitas.43

Kalau saya percaya, entah dengan cara apapun, pada tindakan atau peristiwa yang membuat

krban itu masuk akal, maka barulah saya akan dapat memahami dengan mendalam apa yang

42 Dr. A. Sudarja, Op. Cit., hal.64-74


43 Ibid., hal. 92
24
sungguh-sungguh dipercayai oleh partner saya da tentu juga sebaliknya. Kalau tidak saya mungkin

beranggapan bahwa saya memahami dia karena saya mengikuti deskripsinya dan mengetahui

akaibat-akaibat, tetapi saya akan keliru dalam hal kepercayaan dan entah saya nyatakan begitu atau

tidak kenyataannya saya memndang kepercayaannya itu sebagai magis belaka. Singkatnya inti

tindakan religius yang murni tidak dapt diketahui secara fenomenologis; setidaknya dengan teori

fenomenologi yang diterima hingga saat ini. Panikkar disini mengatakan bahwa fenomena agama

belumlah mengungkapakan seleuruh realitas agama, sehingga disamping dan bukannya berlawanan

dengan, fenomenologi agama masih terdapat ruang untuk filsafat dan teologi dan sebenarnya juga

untuk agama itu sendiri. Tidak dapat diragukan dialog interreligius merupakan persiapan untuk hal

semacam itu, suatu batu loncatan untuk dialog intrareligius dimana iman yang hidup terus menerus

meneuntut dari kita pembaharuan yang menyeluruh.

25
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Interpretasi

Penulis berusaha menekuni pemikiran-pemikiran Raimundo Panikkar terutama mengenai

dialog intrareligius. Dengan demikian penulis dapat mengetahui dialog interreligius berbeda dengan

dialog intrareligius yang mengarahkan orang refleksi pribadi dan melihat kembali pengalaman

agamanya sendiri.

3.2 Induksi-Deduksi

Dalam menyelesaikan tulisan in, penulis mengunakan metode induksi-deduksi. Data-data

dan informasi yang tersedia, dikumpulkan, dianalisis dan diinterpretasi sehingga membentuk satu

alur pemikiran yang memiliki keterkaitan satu dengan yang lain.

3.3 Koherensi Internal

penulis mempelajari gagasan- gagasan dasar secara keseluruhan lalu menetapkan inti

pemikiran yang mendasar.

26
3.4 Holistika
pemahaman yang menyeluruh akan topik ini sangat membantu penulis dalam memberikan

pemahaman tentang pentingnya Allah dalam pandangan Panikkar dan relevansinya bagi hubungan

antar agama.

3.5 Kesinambungan Historis

Penulis menyelidiki sejarah Raimundo Panikkar dan pemikiran-pemikran Teologisnya

terutama mengenai dialog intrareligius.

3.6 Idealisasi

untuk mencapai suatu konsep pemikiran yang ideal dan universa, penulis berusaha mempertahankan

originalitas pembahasan dialog intrareligius pandangan Raimundo Panikkar.

3.7 Sumber Kepustakaan

Dalam mendalami pemikiran Panikkar mengenai dialog intrareligius sebagai sarana

pendalaman pengalaman iman, penulis mengunakan beberapa buku da artikel terkait sebagai

sumber utama dan sekunder untuk mendukung keotentikan pemikran Panikkar mengenai dialog

intrareligius yakni buku 'Dialog Intra Religius' yang merupakan terjemahan langsungdari buku “The

Intra-Religious Dialogue” karya Panikkar. Buku ini diterbitkan oleh penerbit Kanisius di

Yogyakarta tahun 1994 dengan tebal halaman 152 halaman. Buku ini berisi tentang pandangan

Panikkar mengenai bagaimana seharusnya agama-agama menempatkan diri dan berada dalam suatu

perjumpaan.

The Intrareligius Dialogue – the upper limit of the interreligious dialogue in the vision of

Raimundo Panikkar. A critical analysis oleh Caius Cutura merupakan sebuah artikel ilmiah dalam

jurnal yang di keluarkan oleh Universitatea Aurel Vlaicu Arad Facultatea De Teologie Ortodoxa

tahun 2012 dengan tebal12 halaman. Artikel ini mengulas pemikiran Raimundo Panikkar mengenai

dialog. Penulis mengulas mengenai tahapan-tahapan pemikiran Panikkar mengenai dialog hingga

bagaimana hal-hal tersebut membawa agama-agama kepada dialog intrareligius.


27
DAFTAR PUSTAKA

KAMUS

Poerwadarminta, WJS.Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1998.

ENSIKLOPEDI

Flinn, Frank K, Encyclopedia of Catholicism, New York: Fact On File, Inc, 2007.

BUKU-BUKU

AP. Budiyono HD, Membina Kerukunan Hidup Antar Umat Beriman 2 ( yogyakarta: kanisius,

1983)

Daya, Burhanuddin, Agama Dialogis: Merenda Dialektika Idealita dan Realita Hubungan Antar

Agama, Yogyakarta: Mataram-Minang Lintas Budaya, 2004.

Schumann, Olah H. Dialog Antarumat Beragama, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008.

Sudiarja, A, Dr, (Ed), Dialog Intra Religius, Yogyakarta: Kanisius, 1994.

Zed, Mestika, Metode Penelitian Kepustakaan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004.

Hart, Trevor A. (ed.), The Dictionary of Historical Theology Michigan: William B. Ferdmans

28
Publishing Company Grand Rapids.

Yewangoe, A. A, Teologi Salib Di Asia, Jakarta: BPK Gunung Mulia 1996.

Panikkar, Raimundo The Unknown Christ of Hinduisme, Completely Revised and Enlarge

Edition, New York: orbis Book 1981.

Wright, Cris, Tuhan Yesus Memang Khas Unik, Jalan Keselamatan Satu-Satunya, (Jakarta:

Yayasan komunikasi Bina Kasih/ OMF, 2003.

Riyanto, E. Armada CM, Dialog Interreligius. Historisitas, Tesis, Pergumulan, Wajah,

Yogyakarta: Kanisius, 2010.

Kanisius, Silvester, Allah dan Pluralisme Religius. Menelaah Gagasan Raimundo Panikkar,

Jakarta: Obor, 2006.

Panikkar, Raimon, The Experience Of God Icons Of The Mystery, tran by Joseph Cunneen from L'

Experience de dieu: Icon du Mistere, Augsburg Fortress Press, 2006.

Hall sm, Gerard, Multi Faith Dialogue in Conversation With Raimon Panikkar, (multi faith

centre, Griffith University, Autralian Association For The Study of Religion, Autralia 4th-6 th

Juli,2003.

Hick, Jhon, Tuhan Punya Banyak Nama, (penrj) Amin Ma'ruf dan Taufik Aminuddin, Yogyakarta:

Dian/interfidei, 2006.

JURNAL

Prabu, Joseph, 'Adieu Raimon, A Dieu', Journal of Hindu-Christian Stidies, Vol. 21, Article 3,

2010.

Panikkar, Raimundo, The Methodic Of Hindu Christian Studies, Journal of Hindu-Cristian

Studies, Vol. 20, Article Vol 13, 2007.

M, Khotimah, Ag, “Dialog dan Kerukunan Antar Umat Beragama”, Jurnal Ushuludin Vol. XVII

No. 2, Juli 2011.

SKRIPSI

29
Mau, Stefanus, “Konsep Teandrisme Perspektif Raimundo Panikkar”, (Skripsi Sarjana, Fakultas

Filsafat Agama Universitas Katolik Widya Mandira Kupang, Kupang, 2005.

MANUSKRIP

Naif, Octovianus, Manuskrip Misiologi, Kupang: 2013

INTERNET

http://www.raimon-panikkar.org/english/biography-1.html, diakses 14 September 2018.

http://www.raimon-panikkar.org/english/biography-2.html, diakses 14 September 2018.

30

Anda mungkin juga menyukai