PROPOSAL PENELITIAN
OLEH
FAKULTAS FILSAFAT
UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDIRA
KUPANG
2018
i
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.............................................................................................................................i
DAFTAR ISI........................................................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................................................1
2.5.1 Pengertian..........................................................................................................................15
2.6 Agama.......................................................................................................................................16
ii
2.6.1 Pengertian..........................................................................................................................16
3.1 Interpretasi................................................................................................................................26
3.2 Induksi-Deduksi....................................................................................................................... 26
3.4 Holistika................................................................................................................................... 26
3.6 Idealisasi...................................................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................................28
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Manusia adalah makhluk bebas. Kebebasan beragama berarti bahwa setiap orang bebas
memilih, mengganti dan mengamalkan agamanya sesuai dengan keyakinannya. Menganut agama
pemerintah, melainkan kepada Allah Yang Maha Tahu. Manusia sebagai pribadi dikaruniai akal
budi dan kehendak bebas dan oleh karenanya mempunyai tanggungjawab pribadi yang tak dapat
diambil oleh siapapun. Orang harus dapat menjalankan kewajiban dan menggunakan haknya itu
dalam suasana yang bebas dari tekanan atau ketakutan apapun.1 Sifat iman yang sejati bukanlah
sekedar sikap menerima beberapa ajaran, tidak pula terbatas pada upacara-upacara ibadat saja dan
tidak cukup melaksanakan perintah-perintah Tuhan secara legalistis tanpa batin menyetujuinya.
Agama merupakan sebuah keniscayaan. Agama hadir untuk menjawab hal-hal yang tidak
terjangkau oleh otak manusia, ia hadir dalam berbagai bentuk sebagai konsekwensi kebutuhan
manusia. Setiap agama selalu membawa pesan-pesan positif yang mengajak setiap umatnya menuju
kepada Tuhan. Hal ini menunjukkan bahwa untuk mencapai realitas tertinggi manusia harus
melakukan hal-hal positif yang dapat mendekatkannya pada kesucian tertinggi, karena tidak
mungkin yang Maha Suci dapat didekati dengan cara yang profan. Namun, realitas tidak
sepenuhnya selalu sejalan dengan idealitas. Inilah yang tampak dalam sejarah manusia. Agama yang
seharusnya membawa pesan-pesan positif akan tetapi oleh para penganutnya dijadikan legitimasi
untuk menghalalkan tindakan kelompoknya, sehingga yang terjadi adalah atas nama agama manusia
bersatu dan bersaudara, dan demi agama pula orang bertengkar dan berseteru.2
1 AP. Budiyono HD, Membina Kerukunan Hidup Antar Umat Beriman 2 ( yogyakarta: kanisius, 1983), Hal.,217-
218.
2. Burhanuddin Daya, Agama Dialogis: Merenda Dialektika Idealita dan Realita Hubungan Antar Agama
(Yogyakarta: Mataram-Minang Lintas Budaya, 2004), Hal., 30.
1
Semua agama mengajarkan nilai-nilai kebaikan, kesempurnaan, keutamaan baik
menyangkut kehidupan orang seorang maupun kehidupan bersama dan kemasyarakatan. Usaha-
usaha untuk meningkatkan dan meratakan kesadaran beragama bagi pemeluk agama agar mereka
masing-masing benar-benar menjadi insan beragama seperti yang diajarkan agamanya, sebenarnya
sudah merupakan bentuk kongkret dan positif dari peranan agama membangun manusia.3
Dialog adalah sebuah proses belajar. Sebagai suatu proses belajar, dialog mendorong kita
juga untuk memahami ulang ajaran dalam agama dan keyakinan kita. Melalui pemahaman ulang itu
terjadilah proses pengayaan dan pembaruan dalam pemahaman keagamaan kita sendiri, selain
pengayaan pengetahuan tentang kekayaan iman mitra dialog. Dialog tidak menghilangkan
perbedaan, malahan mengajarkan dan menyadarkan kita akan adanya realitas perbedaan itu. Melalui
dialog kita belajar dan mengerti bahwa ada perbedaan, belajar untuk memahami dan mengerti
tradisi yang berbeda, belajar menghormati adanya perbedaan, belajar hidup dalam perbedaan dan
pada akhirnya belajar untuk membangun kebersamaan dalam perbedaan itu. Dialog bukan untuk
membangun sebuah harmoni palsu tetapi untuk membangun sesuatu yang dinamis. Karena itu
dialog pasti bukanlah kepentingan sesaat, juga bukan kepentingan sekelompok atau segolongan
orang. Sasaran akhir dialog selalu untuk kepentingan bersama dan lebih berjangka panjang. Itu
sebabnya dialog selalu merupakan proses yang tidak selalu mudah dan sering melelahkan.
Sampai sekarang telah banyak dialog yang dilangsungkan, baik yang diprakarsai oleh
pemerintah dan berbagai lembaga keagamaan. Tetapi umumnya dialog-dialog tersebut masih
bersifat birokratis, elitis dan intitusional, sehingga tidak menyentuh persoalan-persoalan yang ada
dan berkembang dalam masyarakat, serta juga tidak melibatkan masyarakat secara langsung. Sebab
itu sudah saatnya upaya-upaya untuk membangun semangat dialogis lebih banyak melibatkan
berbagai elemen dalam masyarakat, sehingga berbagai persoalan yang berkembang dalam
masyarakat dapat terangkat dan dialog lalu akan menjadi sebuah kebutuhan bersama. Dalam
konteks inilah agama-agama dan komunitas orang beriman dapat mengambil peran yang lebih besar
3 Olah H. Schumann, Dialog Antarumat Beragama (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), Hal., XVII.
2
dalam mendorong proses terwujudnya kehidupan masyarakat yang lebih demokratis dan terbuka.
Dalam konteks seperti ini pula identitas keagamaan tidak lagi terletak pada simbol-simbol
melainkan pada nilai dan makna yang disimbolkan, yaitu pada perjuangan untuk meningkatkan
harkat martabat keluhuran manusia. Simbol-simbol keagamaan memang penting, tetapi yang jauh
lebih penting adalah mewujudkan apa yang dimaknai dibalik simbol-simbol itu. Keberagaman yang
masih pada tahap simbol adalah keberagaman yang masih anak-anak dan emosional. Tetapi
keberagaman yang hakiki adalah keberagaman yang melampaui simbol-simbol.4 Dan dialog adalah
Dalam rangka dialog itu maka kemanusiaanlah yang menjadi titik temu sekaligus menjadi
dasar yang membenarkan orang beriman untuk memperkarsai dan mengembangkan berbagai bentuk
dialog, serta yang juga mendorong agar dialog menjadi suatu gaya hidup dalam masyarakat. Atas
dasar itulah maka Raimundo Panikkar menekankan gagasan dialog intrareligius yang sering
diabaikan, yakni suatu dialog batin dalam diri saya sendiri, suatu perjumpaan dalam kereligiusan
pribadi saya yang paling dalam, sesudah menjumpai pengalaman religius orang lain pada tingkat
yang paling intim itu. Dengan kata lain Panikkar menjelaskan supaya dialog intereligius menjadi
dialog yang sesungguhnya, suatu dialog intrareligius harus menyertainya, artinya dialog itu harus
mulai dengan mempertanyakan diri saya sendiri dan relativitas kepercayaan-kepercayaan saya
dengan menerima tantangan perubahan, pertobatan dan resiko tergugatnya pola-pola tradisional
saya.5
Beranjak dari hal tersebut, maka penulis berusaha membuat kajian teologis atas pemikiran
Panikkar mengenai dialog intrareligius sehubungan dengan itu penulis mengambil judul DIALOG
4 Ibid.,
5 Dr. A. Sudiarja. (Ed), Dialog Intra Religius (Yogyakarta: Kanisius, 1994), Hal.,81
3
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan pembahasan yang dikemukakkan pada latar belakang penulisan, maka penulis
ingin mengupas permasalahan dengan merumuskan masalah-masalah yang akan dikaji sebagai
berikut;
4.Bagaimana konsep Panikkar mengenai dialog intra religius sebagai sarana pendalaman
pengalaman iman?
Perbedaan dalam memahami setiap agama dan keyakinan merupakan persoalan yang sangat
fundamental bagi manusia karena sangat mempengaruhi seluruh aspek kehidupannya. Menyadari
hal ini, penulis ingin memaparkan pemikiran Panikkar mengenai dialog intra religius sebagai sarana
pendalaman pengalaman iman yang bagi penulis diyakini mampu mengatasi permasalahan tersebut
Agar gereja semakin menyadari dirinya ditengah situasi pluralitas sehingga mampu
mengembangkan sikap tolransi dengan agama-agama lain melalui dialog intra religius dalam
tulisan ini menjadi sumbangan besar bagi mahasiswa Universitas Katolik Widya Mandira
Kupang pada umumnya dan mahasiswa fakultas ilmu filsafat khususnya agar memperoleh wawasan
yang lebih luas mengenai dialog intra religius menurut filsuf dan teolog Raimundo Panikkar.
4
1.4.3 Bagi Penulis
agar penulis memiliki pemahaman yang lebih luas dan mendalam mengenai dialog intra
religius perspektif Raimundo Panikkar sehingga menjadi titik tolak mengembangkan kehidupan
Sistematika ini terdiri dari tiga bab. Dalam bab I yakni pendahuluan, penulis berusaha
mengemukakan hal-hal yang menjadi latar belakang penulisan ini. Disamping itu juga terdapat
pokok-pokok permasalahan yang menjadi acuan dalam penulisan ini yang terdapat dalam rumusan
masalah, juga tujuan serta kegunaan dari tulisan ini. Bab II mengulas mengenai siapa itu teolog
Raimundo Panikkar serta pemikiran-pemikiran apa saja yang mempengaruhi dirinya dalam
membangun sebuah pikiran serta pemikiran sendiri engenai dialog intra religius. Bab III yang
5
BAB II
LANDASAN TEORI
Raimundo Panikkar lahir di Barcelona, 3 November 1918. Ayahnya seorang penganut Hindu
bernama Ramuni Panikkar dan seorang ibu penganut Katolik Spanyol, Cerme Alemany. 6 Raimon
adalah anak pertama dari empat bersaudara (Josep Maria, Merce dan Salvador). Panikkar tumbuh
dalam keluarga yang kental dengan budaya Timur sekaligus Barat. Ia menerima pendidikan Katolik
konvensional di sebuah sekolah tinggi Yesuit di Barcelona sebelum melanjutkan studi ke universitas
Tidak ada yang begitu menarik dari kehidupan Panikkar sampai tahun 1954 kecuali bahwa ia
dibesarkan dalam suasana perang (perang saudara Spanyol dan perang dunia II). Dalam suasana
seperti itu, Panikkar memperoleh gelar masternya di bidang Sains di Universitas Barcelona dan
mendapat gelar master di bidang Filsafat dari Universitas Madrid dalam waktu hampir bersamaan
yakni antara tahun 1941 dan 1942. Dalam kurun waktu 5 tahun Panikkar berhasil meraih gelar
Pada tahun 1954, Panikkar berkunjung ke India untuk pertama kalinya, dan disinilah dimulai
Petualangannya ini melibatkan tradisi, budaya serta agama yang berbeda. Pertemuan budaya dan
agama India membuka cakrawala baru bagi pemahaman Panikkar tentang Yang Ilahi, manusia dan
alam semesta. Panikkar bertemu dengan Hinduisme dan Buddhisme pada tingkat yang mendalam,
6 Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004), hal., 89.
7 Trevor A. Hart (ed.), The Dictionary of Historical Theology (Michigan: William B. Ferdmans Publishing Company
Grand Rapids), hal.,417.
6
dengan tetap menjadi seorang Kristen yang ia gambarkan dalam buku The Dialog Intra-Religius
(1978): “saya ‘berangkat’ sebagai seorang Kristen, saya ‘menemukan’ diriku Hindu dan saya
‘kembali’ sebagai seorang Buddhis, tanpa berhenti menjadi seorang Kristen.” 8 Persinggungan
dengan kedua agama inilah menjadi awal transformasi teologinya. Proses transformasi dibantu oleh
persentuhan dan pertemuannya dengan 3 orang guru dan sahabatnya yaitu: Jules Monchanin atau
Swami Paramarubiananda (1895-1957) dan Henri Le Saux, juga dikenal sebagai Swami
antaragama dan mendirikan Ashram Saccidananda, serta Bede Griffiths, biarawan Benediktin asal
Inggris (1906-1993). Panikkar, melalui Le Saux, menemukan konfirmasi adalah mungkin untuk
secara simultan mempertemukan Kristen dan Hindu, berkat mengatasi Advaita tentang dualisme,
Pertemuan Panikkar dengan Buddhisme dirangsang oleh suatu komisi untuk menulis sebuah
artikel tentang atheisme Buddha untuk sebuah ensiklopedia Italia tentang atheisme, yang kemudian
diterbitkan dengan judul L’atheismo contemporaneo. Panikkar juga belajar pada Mistisisme Hindu
dengan Bhikkhu Kashyafa dan Mistisisme Buddha dengan Dalai Lama XIV serta di biara-biara Zen
di Jepang.9 Persentuhan dengan budaya dan tradisi yang berbeda mengakibatkan adanya
transformasi teologi dalam diri Panikkar yang sebelumnya konservatif, Katolik dan Neo-thomist
menjadi sangat terbuka dan membawanya ke dalam dialog agama dan intrareligius.10
Pada tahun 1964 Panikkar kembali ke India untuk melanjutkan penelitian tentang filsafat
Hindu, sekaligus bekerja untuk Institute Christian for Religius Studies and Society dari 1968 sampai
1975 di India. Selain itu pada tahun 1966 Panikar diundang sebagai dosen di Universitas Harvard
dan ia mengajar sampai tahun 1987.11 Dua tahun setelah pensiun (1989), Panikkar mendirikan studi
antar-budaya dan pusat penelitian yang disebut sebagai Vivarium. Vivarium terdiri dari dua lembaga
yaitu Vivarium Accademicum yang fokus pada wilayah pemikiran dan Vivarium Artium yang
8 Dr. A. Sudiarja. (Ed)., Op Cit, Hal. 36.
9 Ibid.,
10 Trevor A. Hart (ed.), Op Cit, Hal. 417.
11 http://www.raimon-panikkar.org/english/biography-1.html, diakses 14 September 2018.
7
melaksanakan pertemuan bulanan yang membahas berbagai topik seni. Selain mendirikan Vivarium,
Panikkar juga turut andil mendirikan Arbor (CSIS, Madrid) dan menjadi dewan di banyak publikasi
lainnya, termasuk Jurnal Studies Ecumenis (Philadelphia, USA), Jevaadhara (Khottayam, India),
Jurnal Dharma (Bangalore, India), Classics of Western Spiritualitas (New York, USA), dll.12
Setelah pensiun tahun 1987 Panikkar memutuskan kembali ke Catalonia dan mengambil
tempat tinggal di sana, tepatnya di kawasan Tavertet (Osona), sebuah dusun di Catalan pre-
Pyrenees. Di tempat inilah Panikkar menghabiskan hidupnya dengan bermeditasi dan yoga sembari
terus mengadakan kursus, seminar dan pertemuan pada tema-tema filosofis, agama dan budaya serta
melakukan investigasi mendalam ke dalam tradisi manusia yang berbeda. Sampai akhir hayatnya,
tahun 2010, Panikkar tetap berada di Tavertet. Di tempat tersebut, Panikkar menghabiskan
Panikkar sangat peduli dengan penelitian dan pemikirannya. Bentuk kepedulian Panikkar
salurkan melalui mendirikan Arbor (CSIS, Madrid), menjadi dewan di banyak publikasi seperti
Jurnal Studies Ecumenis (Philadelphia, Amerika Serikat), Jurnal Jevadhaara (Kottayam, India),
Jurnal Dhrama (Bangalore, India), Jurnal Classic of Western Spirituality (New York, Amerika
Serikat). Bagi Panikkar, menulis adalah tugas penting dalam hidupnya. Sebagaimana Panikkar
jelaskan bahwa: Saya tidak menulis tentang diri saya sendiri, sebaliknya diri sayalah yang
menulisnya. Inilah diri saya bahwa saya menulis tentangnya dan saya menulis sebagai salah satu
cara berbicara. Setiap paragraf saya menulis, mungkin setiap kalimat, adalah untuk mencerminkan
seluruh hidup saya dan menjadi ekspresi karakter saya. Salah satunya adalah untuk mengenali hidup
saya. Satu kalimat saya hanya bisa merekonstruksi kerangka lengkap dari hewan prasejarah, dengan
menggunakan satu tulang. Saya khawatir, di sini dengan keterkaitan simbolis semua makhluk hidup.
Satu kata tunggal menyatakan seluruh alam semesta. Setiap katakata saya adalah menjadi simbol
sama seluruh hidup saya.19 Panikkar adalah seorang pendeta dan guru besar sangat produktif dalam
12 http://www.raimon-panikkar.org/english/biography-2.html, diakses 14 September 2018.
8
menulis. Hal ini terlihat dari banyaknya tulisan yang telah dihasilkannya. Panikkar mengarang lebih
dari 60 judul buku yang diterbitkan dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan sekitar 1.500
artikel dalam jurnal dan majalah lainnya. Berikut beberapa karya utama intelektualnya:
6. The Vedic Experience Mantramanjari: An Anthology Of the Vedas for Modern Man and
Ada dua kenyataan besar yang merupakan ciri Asia: kemiskinan dan keberagaman agama.
Dari dua ciri ini keberagaman agama adalah ciri yang paling khas dari Asia. Artinya, tidak ada
benua lain di dunia yang sebanding dengan Asia untuk hal yang satu ini. Panikkar membangun
pemahamannya tentang misi atau pekabaran injil sebagai anak dalam zaman tertentu yakni jaman
yang ditandai dengan adanya kerinduan untuk pengenalan dan pemahaman yang mendalam antara
orang-orang yang berbeda dari dirinya. Panikkar menamakan kecendrungan itu a real thirst for
universality. Manusia tidak ingin tinggal terkurung dalam batas-batas geografi, sejarah dan agama
yang merupakan warisan masa laluyang ditandai dengan apa yang disebut Panikkar a lac of
universality.13
Didalam kehidupan beragama dalm hal ini agama Kristen kerinduan ini nampak dalam
pergerakan oikumene. Orang-orang kristen yang awalnya memisah dalam berbagai denominasi
berinisiatif merintis jalan pengenalan bahkan pertemuan dan hidup bersama dengan sesama orang
kristen dari denominasi kristen lain , bukan sekedar pengenalan yang dangkal tetapi maksimalis
yakni pengenalan yang saksama, dalam dan bahkan masuk sampai ke relung-relung pemahaman
13 A. A . Yewangoe, Teologi Salib Di Asia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia 1996), Hal, 9.
9
iman saudaranya yang berebeda itu. Apa yang terjadi dalam lingkungan internal kekristenan melalui
pergerakan oikumene terjadi juga dalam lingkungan agama hindu dan agama lain. Panikkar
menamakan upaya pengenalan dan pertemuan antara denominasi atau mashab-mashab yang
Kerinduan ke arah universalitas melalui pergerakan oikumene ini ternyata tidak sebatas
saling mengenal antara denominasi dalam satu agama melainkan sebuah gerakan yang melampaui
batas-batas agama alias antara tradisi agama yang berbeda-beda. Orang dari agama yang satu
belajar mengenal, memahami bahkan membangun kontak dalam hidup bersama dengan orang dari
agama lain, satu model pergaulan antara agama yang diistilakan dengan ecumenical ecumenisme
Ekumenisme yang ekumenis menurut panikkar bukan universalisme yang kabur atau
sinkretisme yang sembarangan. Itu merupakan kesadaran akan relativitas yang konstitutif yang
membuat manusia menjadi bagian hubungan-hubungan dalam rajutan yang misterius dari adanya. 16
Jelasnya, ekumenisme yang ekumenis adalah membuat sebuah agama universal, diketahui orang
lain dengan cara saling memperkenalkan agama masing-masing. Kerinduan untuk ambil bagian
dalam pengenalan akan yang lain itu berjalan dengan beriringan dengan ketakutan akan bahaya
pengaburan identitas sebagai akibat dari perjumpaan dengan sesuatu yang lain itu. Untuk mengatasi
bahaya ini, makin kuat pula kesadaran akan identitas persona dan kongkret dari orang-orang yang
Karena masing-masing agama memiliki pemahaman yang unik tetapi tidak utuh tentang
hakikat ilahi yang tidak dimilki oleh agama lain, maka dialog diantara agama-agama adalah
moment yang paling tepat dimana agama-agama itu bisa saling memperkaya satu sama lain.18
14 Raimundo Panikkar, The Unknown Christ of Hinduisme, Completely Revised and Enlarge Edition, (New York:
orbis Book 1981), Hal. 62.
15 Ibid., Hal 65.
16 Cris Wright, Tuhan Yesus Memang Khas Unik, Jalan Keselamatan Satu-Satunya, (Jakarta: Yayasan komunikasi
Bina Kasih/ OMF, 2003), Hal. 8.
17 Dr. A. Sudiarja. (Ed)., Op Cit, Hal. 39-42.
18 E. Armada Riyanto CM. Dialog Interreligius. Historisitas, Tesis, Pergumulan, Wajah, (Yogyakarta: Kanisius,
2010), Hal. 300.
10
Dasar dari ajakan dialog ialah bahwa kebenaran Allah hadir juga dalam banyak agama.
Dialog karena itu bukan perang, melainkan perjumpaan dari orang-orang yang mengenal kebenaran
harus diubah menjadi jembatan supaya curahan-curahan kebenaran dalam agama yang berbeda-
beda itu bisa saling melengkapi dan menyuburkan, bukan sekedar berdiri berdampingan tetapi
jalin-menjalin dan mencakupi satu sama lain, semacam circumincessio atau perichoresis yang
terdapat dalam Allah Tritunggal. Karena itu orang kristen yang sejati akan dan haruslah mengenal
kebenaran Allah yang juga hadir dalam agama lain itu. Ini mengandaikan kekristenan seseorang
diragukan kesejatiannya kalau ternyata orang itu tidak dapat mengenal kebenaran Allah dalam
agama lain.19
Agama harus menemukan dirinya dalam perjalanan menjumpai agama lain untuk hidup
dalam dialog yang saling mengisi dan menyuburkan. Ini sikap yang berpadanan dengan jati diri
agama sebagaimana yang disandang dalam namanya: religare yang artinya mengikat kembali
dimana memberi gambaran mengenai agama sebagai pengikat kesatuan. Agama menyatukan
masyarakat dengan kegiatan-kegiatannya sehingga menjadi satu suku atau bangsa. Melalui ibadat,
keintiman yang telah hancur atau hilang antara Allah dan manusia dengan yang lain, bukan hanya
menurut Raimundo Panikkar Allah ada dan eksis dalam semua ciptaan-Nya. Premis dasar
yang Panikkar kemukakan ialah bahwa Allah tanpa dunia dan ciptaan adalah Allah yang tidak real
dan tidak eksis. Allah tidak memiliki tubuh seperti manusia, tetapi Allah itu suatu ruang dan waktu
bahkan kebertubuhan Allah itu berebeda dengan kebertubuhan manusia. Eksisitensi Allah tidak
dapat dikenal dan diketahui dari Allah itu sendiri tetapi eksistensi Allah dapat diketahui dari
Tanggapan dan pengamatan terhadap kenyataan hidup yang ada di dalam dunia ini. Allah memang
ciptaan-Nya. Allah melampaui dimensi spesial temporal. Eksisitensi Allah tidak perlu diragukan.
Pemikiran dan diskursus manusia dalam mengungkapkan eksistensi Allah secara real dan transparan
Bagi Panikkar, Allah adalah kepenuhan tertinggi dari semua beings bergerak menuju
kepada-Nya. Dia adalah sumber dari segala sesuatu yang ada, segala sesuatu berhubungan baik
essensial maupun eksistensial dengan-Nya. Eksistensi Allah menjadikan diri-Nya dasar, yang
Menurut Raimundo Panikkar, Allah ada bagi semua tanpa terkecuali. Ini berarti Allah bukan
saja milik manusia dan agama tertentu tetapi ada bagi semua kultur religius dan segala ciptaan.
Maka konsekuensinya Allah juga ada bagi para ateis. Hal ini berarti juga bahwa Allah atau yang
absolut itu ada secara pluralistis karena Allah atau yang Absolut ini tidak terlukiskan atau tidak
memiliki nama. Nama yang dikenakan kepada-Nya hanyalah sarana bagi manusia untuk
Bagi Panikkar, orang-orang teis maupun ateis sama-sama memiliki kerinduan akan yang
absolut, meski dalam jalan yang berbeda. Keduanya sama-sama percaya akan adanya kebenaran,
beriman pada kebenaran, namun dengan pernyataan yang berbeda yakni kepercayaan bahwa Allah
ada dan bagi yang lain, kepercayaan bahwa Allah tidak ada.24
Panikkar lalu menegaskan bahwa Allah eksis secara impersonal. Hal ini bertitik tolak dari
pengalaman Panikkar berhadapan dengan kepercayaan Buddha. Allah dalam kacamata Panikkar
merupakan sebuah misteri besar yang tidak akan pernah ditemukan suatu konsep yang pasti dan
kekal mengenai-Nya. Pengalaman awal manusia dengan Realitas Tertinggi membuat mereka
mempersonifikasikan Allah dengan atribut-atribut yang ada pada manusia sebagai suatu usaha
21 Silvester Kanisius, Allah dan Pluralisme Religius. Menelaah Gagasan Raimundo Panikkar, (Jakarta: Obor, 2006),
hal. 37.
22 Ibid.,
23 Raimon Panikkar, The Experience Of God Icons Of The Mystery, tran by Joseph Cunneen from L' Experience de
dieu: Icon du Mistere, (Augsburg Fortress Press, 2006), hal. 23.
24 Silvester Kanisius, Op. Cit, hal. 39.
12
untuk memahami-Nya. Formulasi mengenai Allah dalam berbagai tradisi religius sangat penting,
meski tidak mencukupi, untuk membantu setiap individu agar mengalami pertemuan dengan-Nya.
Dengan demikian, bukan kesamaan dan kesatuan yang menentukan realitas melainkan keberbedaan
dan universalitas.25
Dalam pandangan Panikkar, kristologi menempati posisi yang amat penting karena
merupakan refleksi teologis mengenai misteri kristus yang sungguh-sungguh berpijak pada situasi
nyata hidup manusia (sitz im leben). Ada banyak macam Kristologi yang muncul dewasa ini seperti
kristologi Asia, kristologi Afrika, kristologi feminis, kristologi pembebasan, dan lain sebagainya.
Bagi Panikkar, disamping muncul berbagai macam kristologi kontekstual tersebut krisis tetap saja
terjadi dalam kehidupan kristiani. Hal ini terjadi karena kristologi ada masih dipengaruhi oleh
teologi Barat yang cendrung eksklusif, statis, abstrak dan spekulatif. Karena itu, pemikiran yang
dibangun oleh Panikkar mengenai Kristus berusaha keluar dari konteks tersebut.26
Menurut Panikkar, Kristus merupakan simbol hidup dari seluruh realitas. Dalam Kristus
tersingkap tidak hanya misteri ilahi, melainkan juga misteri manusia dan alam semesta. Kristus
adalah dasar dari manifestasi diri Allah yang juga terjadi dalam agama-agama lain. Kristus
dipahami sebagai Logos, prinsip yang dalam setiap tradisi religius menyebutnya dengan nama yang
bervariasi. Panikkar mengatakan bahwa Yesus adalah Kristus melampaui figur historis Yesus.
Kristus tidk hanya milik Yesus historis, melainkan juga semua manusia yang hidup dalam persatuan
dengan Allah pada pusat alam semesta. Karena itu, dalam diri setiap manusia terdapat kemampuan
untuk menampakan kristus, yang ia sebut kristofani. Hal ini terjadi karena pada dasarnya setiap
ciptaan merupakan ungkapan Sabda Allah. Hal ini berarti sudah menjadi tugas utama dari ciptaan
untuk melengkapi dan menyempurnakan gambar masing-masing. Kristus adalah simbol identitas
dan panggilan manusia, yang pemenuhannya terjadi pada saat seluruh realitas tercipta bersatu dalam
Kristofani bukanlah gagasan eksklusif yang digunakan oleh orang-orang kristen. Kristofani
merupakan suatu bentuk refleksi orang-orang kristen yang didasari oleh sikap saling memahami
tradis dan kepercayaan lain di dunia. Panikkar merangkum seluruh pemikirannya mengenai
a. Kristus merupakan simbol hidup dari totalitas realitas. Dengan kata lain
Kristus merupakan simbol kesatuan seluruh realitas yakni yang ilahi, manusia dan
kosmos.
pusat alam semesta. Penemuan ini merupakan suatu pengalaman personal dalam
mengalami kasih-Nya.
Pengalaman dan refleksi tentang Yesus dalam kehidupan orang Kristen tidak
sama (Kristus) dengan nama yang berbeda. Hal ini berarti Kristus sebetulnya
melampaui segala macam sebutan dan pemahaman. Sebab, segala macam sebutan
27 Ibid.,
14
manifestasi yang penuh dari trinitas yang saling memberikan diri dalam kasih.
orang Kristen, ingkarnasi itu bukan hanya suatu tindakan historis dalam ruang dan
waktu, melainkn jug suatu peristiwa budaya yang hanya dapat dipahami dalam
primordial dari kata 'Katolik' berarti Gereja yang ada di seluruh jagat. Allah
menciptakan dunia ini supaya segenap ciptaan diilahikan melalui Yesus Kristus.
dan kosmos. Yesus Kristus merupakan model dari semua manusia. Dalam Kristus,
realitas yang terbatas dan tidak terbatas bertemu; manusia dan yang ilahi disatukan.28
2.5.1 Pengertian
Iman adalah kepercayaan (yang berkenan dengan agama), ketetapan hati, keteguhan batin,
keseimbangan batin.29 Dalam tradisi kekristenan, iman merupakan keterbukaan diri manusia
terhadap Allah yang menempatkannya pada sebuah komunikasi dan persekutuan yang personal
dengan Allah. Tokoh keberimanan Kristen adalah Abraham. Menurut beberapa teolog, iman
memiliki perbedaan dengan kepercayaan. Iman merupakan semua sikap dan orientasi seseorang
kepada Allah, sedang kepercayaan merupakan sebuah persetujuan atau afirmasi terhadap beberapa
persoalan menyangkut iman atau apa yang diajarkan dalam sebuah komunitas religius.30
Panikkar membuat perbedaan tegas antara iman dan kepercayaan. Bagi Panikkar, iman
28 Mariasusai Dhavamony, The Cosmic Christ And Worl Religions, In Theology Of Religions, Christianity And
Other Religions, (Roma: Editrice Pontificia Univrsita Gregoriana, 1993), hal. 161, seperti dikutip oleh Stefanus
Mau, “Konsep Teandrisme Perspektif Raimundo Panikkar”, (Skripsi Sarjana, Fakultas Filsafat Agama Universitas
Katolik Widya Mandira Kupang, Kupang,2005), hal. 81-83
29 WJS Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,1998), hal. 326
30 Frank K. Flinn, Encyclopedia of Catholicism (New York: Fact On File, Inc, 2007), hlm.270
15
berfungsi untuk menghubungkan seseorang dengan yang transenden, dengan apa yang ada diatas
yang melampaui manusia. Iman ialah hubugan dengan yang diseberang . Dengan demikian, akibat
dari iman adalah keselamatan. Karena itu iman tidak dapat diungkapkan secara penuh. Karena iman
perlu diwujudkan dalam ide-ide dan rumusan-rumusan. Perwujudan dari iman itu ialah
kepercayaan.31
eksistensial manusia pada yang transenden. Iman mempunyai daya yang menyelamatkan.
Pengalaman iman manusia tidak akan termuat dalam suatu rumusan melainkan tersurat dalam
mengunakan bahasa-bahasa yang menjamin ungkapan tersebut dengan tradisi manusia yang ada.
Dalam hal-hal tertentu kepercayaan-kepercayaan memperlihatkan sifat dasar yang sama yang
ekuivalen yakni bahwa setiap kepercayaan mempunyai fungsi yang mirip untuk mengungkapkan
iman manusia yakni iman yang merupakan dimensi antropologis yang melaluinya manusia
2.6 Agama
2.6.1 Pengertian
Menurut tradisi Barat, agama berasal dari kata religio diambil dari kombinasi kata latin re
dan ligare yang berarti “mengumpulkan/ menyatukan kembali, mengulung”. Ada juga yang
mengatakan kata religion tersebut diambil dari kata re dan legare - to re-read = membaca ulang,
meneliti kembali secara cermat.33 Sedangkan dalam tradisi Timur pengertian agama didasarkan
pada dua kitab. Menurut kitab samdarigama kata agama terkomposisi dari awalan a (tidak), kata
artinya keadaan tidak pergi/ tidak bergerak dan tidak berubah atau “tetap dan kekal”. Sedangkan
menurut kitab sunarigama, kata agama tersusun dari kata a (hampa – kosong); ga (tempat) dan ma
(terang, matahari). Komposisi kata ini membingungkan atau tidak menunjukan suatu kejelasan arti.
Mungkin kata yang membingungkan ini menunjukan kepada suatu “misteri” yang sulit dijelaskan.
Misteri yang tidak habis dijelaskan dan dimengerti adalah “Dewa/ i atau Tuhan”.34
Kata agama sendiri memiliki sifat religiositas yang bersumber dari perasaan atau sentimen
religius seseorang yang dialaminya di dalam batin atau jiwanya. Dari perasaan atau sentimen
religius ini melahirkan apa yang disebut pengalaman-pengalaman religius. Puncak dari pengalaman
religius adalah pengalaman akan yang ilahi. Pengalaman ini merupakan pengalaman yang
fundamental dalam eksistensi kehidupan manusia karena keberadaan manusia pada dasarnya
membutuhkan atau merindukan sesuatu atau seseorang yang lain. Hal inilah yang kemudian
Bagi Panikkar agama adalah suatu jalan pemenuhan, jalan yang ditempuh manusia untuk
mencapai tujuan hidup manusia, sebuah jalan keselamatan. Agama merupaka peziarahan
eksistensial manusia yang dilakukan dengan sebuah keyakinan bahwa usahanya tersebut akan
membuatnya mencapai tujuan akhir hidupnya.36 Jadi agama merupakan sebuah dimensi dalam diri
manusia dan bukan merupakan sebuah jabatan keanggotaan yang dimiliki oleh beberapa orang yang
percaya.
Ada tiga unsur yang terdapat dalam agama-agama menurut Panikkar yakni:
34 Ibid.,
35 Jhon Hick, Tuhan Punya Banyak Nama, (penrj) Amin Ma'ruf dan Taufik Aminuddin, (Yogyakarta: Dian/interfidei,
2006), hal. 42
36 Dr. A. Sudarja, Op. Cit., hal.122
17
c. sarana-sarana untuk berpindah dari keadaan yang terdahulu ke keadaan yang kemudian.37
Lebih lanjut, Panikkar melihat agama dalam tiga model. Hal ini disebabkan karena orientasi
teologisnya mengenai bagaimana akhirnya agama-agama ada dalam perjumpaan yang membuat
agama-agama saling memahami, tetapi juga yang paling penting ialah memahami keberadaannya.
Tradisi keagamaan yang berbeda-beda pada umat manusia adalah seperti warna yang hampir
tak terbatas jumlahnya, yang kelihatan takkala cahaya putih jatuh di atas prisma pengalaman
manusia: cahaya putih ini menyebar ke dalam tradisi, ajaran dan agama yang tak terhitung
jumlahnya. Hijau bukanlah kuning, namun pada perbatasannya orang tidak tahu kecuali dibuat
suatu dalil sebelumnya, dimana kuning berakhir dan hijau mulai. Meski demikian, lewat satu warna
partikular yakni agama, orang dapat mencapai sumber dari cahaya putih. Setiap pengikut suatu
tradisi, diberi kemungkinan mencapai tujuannya, kepenuhan dan keselamatan, asalkan ada cahaya
Suatu agama dengan cara yang sama menyerap semua warna yang lain dan
penampakannya, pesannya pakai dunia luar, tetapi bukan seluruh hakikatnya. Kita hanya biasa
mencapai seluruh kenyataan ketika kita berusaha untuk memahami suatu agama dari dalam. Dengan
demikian, menjadi tidak benar ketika kita menilai agama lain hanya dari luarnya saja.
Nilai suatu model tidak hanya berasal dari kemungkinan penerapannya melainkan juga dari
kesamaan sifat dasarnya dengan fenomen yang diselidiki. Kenyataan fisik dari pelangi dalam hal ini
37 Raimundo Panikkar, The Methodic Of Hindu Christian Studies, (Journal of Hindu-Cristian Studies, Vol. 20, Article
Vol 13, 2007), hal. 3
18
2.6.3.2 Model Geometri: Invarian Topologis
Pada model ini, transformasi merupakan penyebab bentuk dan wujud yang beragam dari
sosok geometri, yakni agama-agama. Di dalam dan lewat ruangan dan juga karena pengaruh waktu,
jumlah yang hampir tak terbatas lewat berkisarnya manusia, rentangan sejarah, pembengkokan oleh
kekuatan alami dan sebagainya agama-agama tampak berlain-lainan dan bahkan tak bisa saling
didamaikan sampai atau kecuali jika ditemukan invarian38 topologis yang tetap. Titk tetap ini tidak
lain. Tiap-tiap agama mewakili keseluruhan bagi kelompok manusia tertentu dan dengan cara
tertentu merupakan agama dari kelompok lain hanya saja dalam bentuk topologis yang berbeda.
Model ini mengangap setiap agama sebagi suatu bahasa. Setiap agama adalah langka,
sebagai mana setiap bahasa, dan mampu mengungkapkan segala sesuatu yang dirasa perlu untuk
diungkapkan. Setiap agama terbuka untuk pertumbuhan dan evolusi sebagaimana bahasa. Keduanya
mampu menungkapkan atau menyembunyikan lagi suatu arti, mengubah istilah atau penekanan-
bahasa, agama-agama dapat saling mempengaruhi dan meminjam satu sama lain tanpa kehilangan
identitasnya sendiri. Ataupun juga dalam kasus yang ekstrem, sebuah agama dapat menghilang
sama sekali akibat tampak sangat mirip penaklukan, kehancuran perpindahan dan sebagainya.
Dalam sudut pandang internal setiap bahasa dan agama, sebenarnya tidaka banyak arti
menyatakan bahwa suatu bahasa lebih sempurna dari bahasa lainnya, sebab orang dapat saja
mengatakan dengan bahasanya, agamanya sendiri apa yang ia rasa perlu untuk dikatakan. Dalam
agama kita mungkin hanya mempunyai satu kata untuk kebijaksanaan, Tuhan rasa kasih atau
38
19
keutamaan sedangkan agama lain melebihinya.39
Dalam dialog intrareligius Panikkar mengarahkan orang pada refleksi pribadi dan melihat kembali
pengalaman agamanya sendiri bukan pengalaman agama orang lain dalam rangka dialog. Panikkar
memang tidak menganjurkan untuk berganti haluan melainkan untuk berani melihat pengalamannya
sendiri secara lebih kritis, Panikar mengajak membuka tabir-tabir gelap yang penuh mitos dari
kepercayaan kita sendiri, yang sering menjadi tempat yang hangat dimana kedamaian semu
bersarang; atau menjadi benteng pertahanan yang tinggi dan kokoh untuk mengeritik keberagaman
orang lain.
Karena konteks pembicaraannya bukan perang, melainkan dialog atau perjumapaan, maka
benteng-benteng itu mesti diubah menjadi jembatan. Dengan demikian, panikkar juga mencoba
terobosan-terobosan dan titian-titian baru, menyangkut upaya bagaimana hubungan antara agama
dimungkinkan, tanpa mengigkari iman yang dipeluknya sendiri. Namun karena rumitnya
permasalahan yang diutarakan ini, mudah sekali Panikkar bisa disalah-pahami. Panikkar dituduh
sebagai seorang sinkretis yang mencoba mengabung-gabugkan pengalaman agama yang satu
dengan yang lain. Tentu saja itu bukan maksud panikkar yang ia inginkan adalah iman seorang
harus kuat untuk memulai perjalanan ini. Langkah-langkah refleksi yang ditawarkan tidak
dianjurkan kepada sembarang orang, apalagi mereka yang lemah imannya, yang merasa mudah
dibahayakan oleh petualangan-petualangan semacam ini. Jadi dengan jelas panikkar menolak
Panikkar rupaya mencoba mengatasi jalan buntu antara kecendrungan sinkretis yang
sederhana dan sikap fanatisme yang kaku. Namun jelas sekali dari bahasa dan intensinya, jalan
semacam ini diakuinya bukan merupakan jalan umum, meski dari lain pihak juga bukan sekedar
coba-coba dari orang yang kurang serius. Dalam dialog intrareligius ini yang diperlukan keberanian
39 Dr. A. Sudarja, Loc. Cit., hal.24-32
20
yang jujur dan kemauan yang tulus untuk merintis jalan baru dalam memecahkan persoalan
pluralisme agama. Dari sini sebenarnya kelihatan, bahwa usaha-usaha pribadi merupakan satu-
satunya kemungkinan, sebab usaha-usaha semacam inilah yang memberikan iklim keakraban dan
Perjumpaan agama-agama merupakan kenyataan yang tak dapat dielakkan pada zaman
sekarang ini. Panikkar merumuskan satu prinsip yang mengatur perjumpaan agama-agama dan
menarik beberapa konsekuensi yang berkaitan dengannya. Prinsip yang Panikkar bangun adalah
perjumpaan agama harus benar-benar bersifat keagamaan. Ada beberapa konsekuensinya antara
lain:
Pertama, harus bebas dari apologi khusus. Orang Kristen atau Budha atau penganut agama
apapun yang mendekati penganut agama lain dengan gagasan apriori yang membela agamanya
sendiri mungkin akan mendapatkan suatu pembelaan yang berharga dari agama tersebut, dan tentu
saja tidak perlu menanggalkan kepercayaan dan pendiriannya. Hal ini bukanlah dialog agama,
bukan perjumpaan, apalagi usaha saling menyumbang dan menyuburkan. Kita harus mengahapus
setiap sikap apologi kalau memang ingin bersungguh-sungguh bertemu dengan penganut dari tradisi
keagamaan yang lain. Bersikap apologi mempunyai tempat dan fungsinya sendiri, tidak dalam
perjumpaan agama. 40
Kedua, harus bebas dari apologi umum. Panikkar mengambarkan situasi dimana penuh
dengan kegelisahan penganut agama modern yang menyaksikan gelombang ketidakberagaman dan
bahkan anti keagamaan sekarang ini, tetapi kelirulah kalau kita membangun semacam ikatan
keagamaan yang didasarkan atas rasa takut dan kuatir ini. Sikap untuk menawarkan persekutuan
umum bagi kaum agama untuk melawan ketidakpercayaan mungkin dapat dipahami, tetapi ini
40 Khotimah, M. Ag, “Dialog dan Kerukunan Antar Umat Beragama”, (Jurnal Ushuludin Vol. XVII No. 2, Juli
2011), hal. 218.
21
Ketiga, berani menhadapi tantangan pertobatan. Supaya perjumpaan itu bersifat keagamaan,
ia harus taat secara penuh pada kebenaran dan terbuka pada realitas. Memasuki medan yang baru
perjumpaan agama-agama mengandung tantangan dan resiko. Ia harus sadar bahwa kemungkinan
akan kehilangan suatu keyakinan khusus atau bahkan agamanya sendiri. Ia masuk tanpa senjata dan
bersedia untuk ditobatkan sendiri. Ia dapat kehilangan hidupnya dapat juga dilahirkan kembali.
Keempat, dimeni historis penting tetapi tidak mencukupi. Agama bukan sekedar privatsache
vertikal dengan Yang Mutlak, melainkan pertalian juga dengan umat manusia. Agama mempunyai
tradisi, mempunyai dimensi historis. Perjumpaan agama bukan semata-mata pertemuan dua atau
lebih orang dalam kapasitasnya sebagai individu-individu pribadi belaka, terpisah dari tradisi agama
masing-masing, tetapi ia mewakili orang-orang lain dari suatu komunitas, dari suatu tradisi
keagamaan yang hidup.41 Oleh karena itu, perjumpaan agama bukanlah perjumpaan apara ahli
sejarah, melainkan suatu dialog yang hidup, suatu medan untuk pemikiran kreatif dan jalan-jalan
baru yang imajinatif yang tidak memutuskan hubungan dengan masa lampau, melainkan
Kelima, bukan sekedar kongres filsafat. Tak perlu diragukan bahwa tanpa tingkat filsafat
tertentu, tak mungkin ada perjumpaan. Sekalipun demikian, dialog keagamaan bukanlah sekedar
pertemuan para filsuf untuk membicarakan masalah-masalah intelektual. Agama jauh dari sekedar
ajaran-ajaran. Mempersempit agama menjadi hanya seperangkat ajaran tertentu yang terbatas sama
saja dengan membunuh agama itu sendiri. Sikap pemahaman atau tafsiran dari suatu tradisi haruslah
cocok, paling tidak secara fenomenologis, dengan tafsiran dari dalam, yaitu dari sudut pandang
dipahami dalam konteks Yahudi, Kristen, Islam. Daripada mulai dengan apa yang jadi anggapan si
Keenam, bukan sekedar simposium teologis. Perjumpaan agama bukanlah sekedar usaha
untuk membuat orang luar memahami maksud kita. Akan tetapi yang lebih penting adalah meresapi
41 Gerard Hall sm, Multi Faith Dialogue in Conversation With Raimon Panikkar, (multi faith centre, Griffith
University, Autralian Association For The Study of Religion, Autralia 4th-6th Juli,2003), hal. 4-7.
22
lebih dahulu apa yang akan ditafsirkan mendahului setiap penjelasan yang kurang lebih masuk akal.
Misalnya, menyamakan konsep Brahman dalam Upanisad dengan ide Yahwe dalam Alkitab, jelas
keliru. Kendatipun demikian, tidaklah memuaskan untuk berkata bahwa kedua konsep tersebut
tidak mempunyai kesamaan apapun. Oleh karena itu, diperlukan pengertian homologi, bahwa
keduanya tidak memiliki hubungan langsung, keduanya tidak dapat saling diterjemahkan, tetapi
keduanya homolog, masing-masing memainkan peran yang serupa. Keduanya menunjukan pada
suatu nilai tertinggi maupun suatu pengertian yang mutlak. Jelas bahwa metode homologi tidak
mengimplikasikan bahwa sistem yang satu lebih baik dari sistem lainnya. Metode ini hanya
Ketujuh, bukan sekedar ambisi pemuka agama. Setiap dialog antar agama dapat terjadi
dalam tingkat yang berbeda-beda dan tiap tingkat memiliki kekhasannya sendiri. Perteuan resmi
diantara wakil-wakil kelompok agama sedunia sekarang ini merupakan suatu tugas yang tidak dapat
dielakan. Pertemuan diantara para wakil ini bukanlah dalam dialog yang berusaha mencapai
kedalaman sejauh mungkin tetapi hanya berkewajiban memelihara tradisi. Mereka harus
memikirkan kebayakan para penganut yang mengikuti tradisi atau agama itu. Mereka harus
menemukan cara-cara untuk bertolerasi, bekerjasama dan memahami. Mereka harus memecahkan
Kedelapan, perjumpaan agama dalam iman, harapan dan kasih. Sekalipun peristilahan itu
bernada kristiani maknanya bersifat universal dan iman, dimaksudkan sebagai suatu sikap yang
melampaui data sederhana dan juga perumusan dogmatis dari pengakuan yang berbeda-beda. Sikap
ini menyentuh pemahaman, sekalipun dalam kata-kata dan konsep-konsep berbeda. Kita tidak
membicarakan sistem-sistem, melainkan realitas dan cara realitas ini menyatakan diri sehingga
memberi arti bagi pasangan dialog kita. Dengan harapan dipahami sebagai sikap mengharapkan
yang melampaui segala harapan, dapat melompati tidak hanya hambatan awal kemanusiaan kita,
tetapi juga melompati segala bentuk pandangan yang semata-mata duniawi dan memasuki jantung
23
dialog, seolah-olah didesak dari atas untuk menjalankan tugas suci. Dengan cinta akhirnya
dimaksudkan sebagai gerak hati, kekuatan yang mendorong kita kepada sesama dan membimbing
kita untuk menemukan dari mereka apa yang kurang pada diri kita.42
Dialog religius pertama-tama harus menjadi suatu dialog yang autentik, tanpa superioritas,
praduga-praduga, motif-motif atau keyakinan tersembunyi dari kedua belah pihak. Lagi pula untuk
menjadi suatu dialog yang autentik, dialog itu juga harus menghindarkan prakonsepsi mengenai
tujuan-tujuan dan hasilnya. Kita tidak memasuki suatu dialog kalau kita telah mengandaikan lebih
dahulu apa yang akan dihasilkan daripadanya, atau telah memutuskan untuk menarik diri andaikata
dialog itu memasuki wilayah-wilayah yang kita kecualaikan secara a priori. Dialog itu tidak
pertama-tama berarti studi, konsultasi, pemeriksaan, pengajaran, pernyataan, dsb. Jika kita setia
untuk dialog, kita harus mematuhi dan mengikuti peraturan-peraturannya. Dialog itu mendengarkan
dan mengobservasi, tetapi juga berbicara, mengoreksi dan dikoreksi; tujuannya adalah untuk saling
pengertian.
Dialog religius haruslah bersifat religius sungguh-sunggu, bukan sekedar suatu pertukaran
doktrin-doktrin atau opini-opini intelektual. Karena itu dialog agama mengandung resiko
memodifikasi ide-ide dari Raimundo Panikkar. Dialog religius bukanlah ruang pertunjukan. Ini
berarti bahwa dialog harus bergerak dari dasar sikap reigius pribadi saya ke dasae sikap religius
yang sama dalamnya dari partner saya. Dengan kata lain, saya memahami dia atau berusaha ke arah
itu, baik dari maupun dalam iman saya, bukannya malah dengan menyingkirkan iman itu.
Bagaimana mungkin saya dapat memahami dengan akal budi saja sesuatu yang sangat sering
dinyatakan sebagai yang lebih dari rasionalaitas belaka, tanpa perlu jatuh ke dalam irasionilitas.43
Kalau saya percaya, entah dengan cara apapun, pada tindakan atau peristiwa yang membuat
krban itu masuk akal, maka barulah saya akan dapat memahami dengan mendalam apa yang
beranggapan bahwa saya memahami dia karena saya mengikuti deskripsinya dan mengetahui
akaibat-akaibat, tetapi saya akan keliru dalam hal kepercayaan dan entah saya nyatakan begitu atau
tidak kenyataannya saya memndang kepercayaannya itu sebagai magis belaka. Singkatnya inti
tindakan religius yang murni tidak dapt diketahui secara fenomenologis; setidaknya dengan teori
fenomenologi yang diterima hingga saat ini. Panikkar disini mengatakan bahwa fenomena agama
belumlah mengungkapakan seleuruh realitas agama, sehingga disamping dan bukannya berlawanan
dengan, fenomenologi agama masih terdapat ruang untuk filsafat dan teologi dan sebenarnya juga
untuk agama itu sendiri. Tidak dapat diragukan dialog interreligius merupakan persiapan untuk hal
semacam itu, suatu batu loncatan untuk dialog intrareligius dimana iman yang hidup terus menerus
25
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Interpretasi
dialog intrareligius. Dengan demikian penulis dapat mengetahui dialog interreligius berbeda dengan
dialog intrareligius yang mengarahkan orang refleksi pribadi dan melihat kembali pengalaman
agamanya sendiri.
3.2 Induksi-Deduksi
dan informasi yang tersedia, dikumpulkan, dianalisis dan diinterpretasi sehingga membentuk satu
penulis mempelajari gagasan- gagasan dasar secara keseluruhan lalu menetapkan inti
26
3.4 Holistika
pemahaman yang menyeluruh akan topik ini sangat membantu penulis dalam memberikan
pemahaman tentang pentingnya Allah dalam pandangan Panikkar dan relevansinya bagi hubungan
antar agama.
3.6 Idealisasi
untuk mencapai suatu konsep pemikiran yang ideal dan universa, penulis berusaha mempertahankan
pendalaman pengalaman iman, penulis mengunakan beberapa buku da artikel terkait sebagai
sumber utama dan sekunder untuk mendukung keotentikan pemikran Panikkar mengenai dialog
intrareligius yakni buku 'Dialog Intra Religius' yang merupakan terjemahan langsungdari buku “The
Intra-Religious Dialogue” karya Panikkar. Buku ini diterbitkan oleh penerbit Kanisius di
Yogyakarta tahun 1994 dengan tebal halaman 152 halaman. Buku ini berisi tentang pandangan
Panikkar mengenai bagaimana seharusnya agama-agama menempatkan diri dan berada dalam suatu
perjumpaan.
The Intrareligius Dialogue – the upper limit of the interreligious dialogue in the vision of
Raimundo Panikkar. A critical analysis oleh Caius Cutura merupakan sebuah artikel ilmiah dalam
jurnal yang di keluarkan oleh Universitatea Aurel Vlaicu Arad Facultatea De Teologie Ortodoxa
tahun 2012 dengan tebal12 halaman. Artikel ini mengulas pemikiran Raimundo Panikkar mengenai
dialog. Penulis mengulas mengenai tahapan-tahapan pemikiran Panikkar mengenai dialog hingga
KAMUS
ENSIKLOPEDI
Flinn, Frank K, Encyclopedia of Catholicism, New York: Fact On File, Inc, 2007.
BUKU-BUKU
AP. Budiyono HD, Membina Kerukunan Hidup Antar Umat Beriman 2 ( yogyakarta: kanisius,
1983)
Daya, Burhanuddin, Agama Dialogis: Merenda Dialektika Idealita dan Realita Hubungan Antar
Schumann, Olah H. Dialog Antarumat Beragama, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008.
Zed, Mestika, Metode Penelitian Kepustakaan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004.
Hart, Trevor A. (ed.), The Dictionary of Historical Theology Michigan: William B. Ferdmans
28
Publishing Company Grand Rapids.
Panikkar, Raimundo The Unknown Christ of Hinduisme, Completely Revised and Enlarge
Wright, Cris, Tuhan Yesus Memang Khas Unik, Jalan Keselamatan Satu-Satunya, (Jakarta:
Kanisius, Silvester, Allah dan Pluralisme Religius. Menelaah Gagasan Raimundo Panikkar,
Panikkar, Raimon, The Experience Of God Icons Of The Mystery, tran by Joseph Cunneen from L'
Hall sm, Gerard, Multi Faith Dialogue in Conversation With Raimon Panikkar, (multi faith
centre, Griffith University, Autralian Association For The Study of Religion, Autralia 4th-6 th
Juli,2003.
Hick, Jhon, Tuhan Punya Banyak Nama, (penrj) Amin Ma'ruf dan Taufik Aminuddin, Yogyakarta:
Dian/interfidei, 2006.
JURNAL
Prabu, Joseph, 'Adieu Raimon, A Dieu', Journal of Hindu-Christian Stidies, Vol. 21, Article 3,
2010.
M, Khotimah, Ag, “Dialog dan Kerukunan Antar Umat Beragama”, Jurnal Ushuludin Vol. XVII
SKRIPSI
29
Mau, Stefanus, “Konsep Teandrisme Perspektif Raimundo Panikkar”, (Skripsi Sarjana, Fakultas
MANUSKRIP
INTERNET
30