Anda di halaman 1dari 16

1.1.

Kutipan langsung
Kutipan langsung adalah kutipan yang sama persis seperti dalam sumber yang dikutip, kata
demi kata termasuk tanda baca. Bila sumber asli salah cetak pun, tetap ditulis demikian seperti dalam
sumber, tetapi sesudah kata yang salah cetak itu ditulis dalam kurung sic.Sic. adalah singkatan dari
kata Latin, sicut yang berarti seperti / demikian (ditulis dalam sumber). Dengan menulis sic. di dalam
kurung (sic.), kekeliruan itu tidak dianggap kekeliruan penulis yang mengutip tetapi orang tahu bahwa
dalam sumbernya memang demikian.
Bila kutipan langsung itu tidak lebih dari tiga baris, bisa diintegrasikan dalam teks, hanya
diberi tanda kutip lalu diberi catatan kaki. Bila lebih dari tiga baris, kutipan itu harus disendirikan
yaitu masuk ke dalam dari margin kiri dan kanan masing-masing lima karakter, diketik satu spasi dan
menggunakan font yang lebih kecil, dan tanpa tanda kutip. Misalnya bila badan teks menggunakan
Times New Roman 12, maka dalam kutipan langsung itu digunakan Times New Roman 11. Kutipan
langsung tidak perlu italic atau bold, tetapi tegak seperti bagian lain dalam teks. Contoh:

Hidup bersama Allah merupakan pengalaman dasar yang hadir dan berlangsung melalui
pengalaman konkret sehari-hari. Melalui pengalaman konkret sehari-hari itu, Allah
sedang menawarkan kepada kita suatu kebersamaan dan kebersatuan denganNya. Apabila
kita mengupayakan hidup ini dengan baik dan sehat – misalnya hidup damai, rukun,
penuh persahabatan dan persadaraan, ramah dan suka membantu orang lain…. – maka
kita telah menanggapi tawaran Tuhan untuk hidup bersama Dia. 2

Pada catatan kaki ditulis:

2
E. Martasudjita, Pr, Sakramen-sakramen Gereja, Tinjauan Teologis, Liturgis dan Pastoral
(Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm. 51.

1.2. Kutipan tidak langsung


Kutipan tidak langsung adalah kutipan ide atau gagasan seorang pengarang tetapi
diungkapkan dengan rumusan lain oleh penulis. Kutipan seperti itu biasanya tidak amat panjang,
karena itu selalu diintegrasikan dalam teks tanpa tanda kutip. Pada akhir kalimat di mana ide yang
dikutip itu termuat, diberi nomor catatan kaki. Pada catatan kaki ditulis cf yang berarti confer,
menyusul pengarang, judul karangan (Kota: Lembaga penerbit, tahun) halaman. Contoh penulisan
pada catatan kaki (andaikan anda mengutip gagasan dari buku di bawah ini pada halaman 5):

Cf. Alex Jebadu, SVD, Bukan Berhala Penghormatan Kepada Leluhur (Maumere: Ledalero, 2009),
hlm. 5.
“Cf.” bisa juga diganti dengan “lihat”. “Cf.” atau “lihat” digunakan juga untuk mengutip
gagasan anda sendiri yang sudah pernah dikemukakan dalam bagian terdahulu dari tulisan anda. Bila
mengutip gagasan sendiri, misalnya dari halaman sepuluh, cukup ditulis pada catatan kaki:
Cf. hlm. 10 di atas, atau
Lihat hlm. 10 di atas.

“Cf.” atau “lihat” tidak dicetak miring.

1.3. Cara lain mengutip sumber


Ada pula cara lain mengutip seorang pengarang, supaya ada variasi dan teks tetap mengalir
lancar. Caranya adalah menyebut beberapa kata kunci dalam tanda kutip, lalu penjelasan tambahan
dari pengarang, juga dalam tanda kutip. Pada akhir kalimat diberi nomor catatan kaki. Contoh:

“Iman akan Allah Trinitas” menurut Greshake, “mengubah seluruh pemahaman akan
realitas.”3
Pada catatan kaki lalu ditulis:

Gisbert Greshake, An den drei-einen Gott glauben (Freiburg: Herder, 2000), terjemahan Indonesia,
3

Mengimani Allah Tritunggal (Maumere: Ledalero, 2003), hlm. 34.

Bila dalam kutipan ada kata-kata yang tidak perlu dikutip (dihilangkan), maka pada akhir
kalimat kutipan diberi empat titik sebelum nomor catatan kaki.
Contoh:
“Untuk mempertahankan koherensi seluruh sistem penjelasan yang bertolak dari pengalaman
adanya keteraturan di dalam dunia dan dari harapan akan kekekalan segala sesuatu, lebih tepat apabila
Allah tetap dipandang sebagai satu satuan aktual….” 4

Pada catatan kaki ditulis:


4
Paulus Budi Kleden, Dialog Antaragama Dalam Terang Filsafat Proses Alfred North Whitehead
(Maumere: Ledalero, 2002), hlm. 97.

Bila mau memberi penekanan pada kutipan dengan cetak miring (italic), karena hal itu
merupakan kata-kata kunci yang hendak anda komentari, maka pada catatan kaki diberi catatan: italic
dari penulis.
Contoh:
“Untuk mempertahankan koherensi seluruh sistem penjelasan yang bertolak dari pengalaman
adanya keteraturan di dalam dunia dan dari harapan akan kekekalan segala sesuatu, lebih tepat apabila
Allah tetap dipandang sebagai satu satuan aktual….”5

Pada catatan kaki ditulis:

5
Paulus Budi Kleden, Dialog Antaragama Dalam Terang Filsafat Proses Alfred North Whitehead
(Maumere: Ledalero, 2002), hlm. 97. Italic dari penulis.

Untuk kutipan ayat-ayat Kitab Suci, biasanya nomor bab dan ayat ditempatkan dalam kurung, bukan
pada catatan kaki. Contoh:

Dalam Injil Yohanes Yesus mengatakan “Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya
kepadaKu, tidak akan mati selama-lamanya” (Yoh 11: 25).

1.4. Kutipan Bahasa Asing


Bila kutipan berasal dari sumber berbahasa asing, ada dua cara mengutip. Pertama, pada
badan teks diketik menurut Bahasa aslinya, lalu pada catatan kaki setelah menyebut sumber, diketik
terjemahannya, disertai catatan: terjemahan dari penulis.
Contoh:

“The uniqueness of Jesus can be understood for Christians today only from the perspective of
solidarity with the poor and social action with the poor.”6

Pada catatan kaki ditulis:


6
James L. Fredericks, Faith amongFaiths. Christian Theology and Non-Christian Religions (New
York: Pasulist Press, 1999), hlm. 72. “Keunikan Yesus bagi orang-orang Kristen dewasa ini hanya
dapat dimengerti dari perspektif solidaritas dengan kaum miskin dan kegiatan sosial bersama kaum
miskin.” Terjemahan dari penulis.

Kedua, pada badan teks diketik terjemahan lalu pada catatan kaki ditulis bahasa aslinya, disertai
catatan: terjemahan di atas dari penulis.
Contoh:

“Keunikan Yesus bagi orang-orang Kristen dewasa ini hanya dapat dimengerti dari perspektif
solidaritas dengan kaum miskin dan kegiatan sosial bersama kaum miskin.” 7

Pada catatan kaki ditulis:


7
James L. Fredericks, Faith amongFaiths. Christian Theology and Non-Christian Religions (New
York: Pasulist Press, 1999), hlm. 72. “The uniqueness of Jesus can be understood for Christians today
only from the perspective of solidarity with the poor and social action with the poor.” Terjemahan di
atas dari penulis.

Bila kutipan Bahasa asing itu hanya terdiri atas beberapa kata, terjemahannya bisa
langsung ditempatkan dalam kurung, tanpa harus menempatkannya pada catatan kaki.
Hendaknya prinsip intellectual honesty (kejujuran intellektual) tetap dijunjung tinggi.
Karena itu tidak boleh menerjemahkan karya dari bahasa asing lalu dijadikan seakan-akan karya anda
sendiri, tanpa catatan referensi.

1.5. Penulisan catatan kaki


Penomeran catatan kaki dianjurkan supaya bersambung dari bab ke bab (karena thesis
hanya setebal k.l 80-an halaman).Antara teks dan catatan kaki diberi garis separasi (biasanya otomatis
bila menggunakan komputer).

1.5.1. Mengutip buku dengan satu pengarang


Untuk buku dengan satu pengarang, pada catatan kaki ditulis: Pengarang, judul buku (italic),
(Kota: Lembaga penerbit, tahun terbit), halaman.
Contoh (andaikan yang dikutip halaman 72):

James L. Fredericks, Faith amongFaiths. Christian Theology and Non-Christian Religions


(New York: Pasulist Press, 1999), hlm. 72.

Bila buku itu terdiri atas beberapa edisi, maka pada “tahun” (misalnya 1999) ditulis
superscript nomer edisi.
Contoh: (andaikan buku di atas terdiri atas beberapa edisi, dan edisi yang dipakai adalah edisi
kedua, tahun 1999), maka ditulis seperti ini:

James L. Fredericks, Faith amongFaiths. Christian Theology and Non-Christian Religions


(New York: Pasulist Press, 19992), hlm. 72.

Untuk catatan kaki, nama pengarang ditulis lurus seperti tertulis pada buku, termasuk gelar,
singkatan nama dll.

1.5.2. Mengutip buku dengan dua pengarang


Nama-nama pengarang ditulis lengkap dengan gelar seperti dalam buku. Untuk catatan kaki
nama tidak dibalik (nama keluarga, lalu nama kecil) tetapi ditulis lurus seperti dalam buku.
Contoh (andaikan yang dikutip halaman 12):

Virginia Fabella, M.M. dan R.S. Sugirtharajah, Dictionary of Third World Theologies (New
York: Orbis Books, 2000), hlm. 12.

1.5.3. Mengutip buku yang memiliki banyak pengarang (lebih dari dua)
Buku dengan banyak pengarang adalah buku yang ditulis oleh lebih dari dua orang, terdiri
dari sejumlah artikel dan tiap artikel ditulis oleh orang yang berbeda-beda, tanpa disebutkan
siapa editornya. Cara mengutip:
Nama pengarang artikel,judul artikel (dalam tanda kutip), dalam, AA.VV., judul buku (italic)
(Kota: lembaga penerbit, tahun), halaman tempat artikel (tanpa hlm.), halaman yang dikutip
(dengan hlm.). AA.VV artinya: banyak pengarang (Various authors).
Contoh (andaikan yang dikutip halaman 28 dari keseluruhan artikel yang panjangnya dari
halaman 27-42):

Giuseppe Rizzardi, “Nascere e morire nell’Islam”, dalam AA.VV., La vita e la morte nelle
grandi religioni (Torino: Paoline, 2000), 27-42, hlm. 28.

1.5.4. Mengutip artikel dalam buku Bunga Rampai


Buku Bunga Rampai adalah buku yang terdiri atas sejumlah artikel dan masing-masing artikel
ditulis oleh penulis yang berbeda-beda, disunting atau diedit oleh seorang atau lebih editor.
Cara mengutip pada catatan kaki:
Nama penulis artikel, judul artikel (dalam tanda kutip), dalam, nama editor (ed.), judul buku
Bunga Rampai (italic) (Kota: Lembaga penerbit, tahun), halaman tempat artikel (tanpa
menyebut hlm.), halaman yang dikutip (dengan hlm.).
Contoh (andaikan yang dikutip halaman 194 dari keseluruhan artikel yang panjangnya dari
halaman 193-204):

Aloysius Pieris, “Dialog antaragama dan teologi agama-agama: suatu pendekatan model
Asia”, dalam Dr. G. Kirchberger (ed.), Gereja Berwajah Asia (Ende: Nusa Indah, 1995), 193-
204, hlm. 194.

Untuk Bunga Rampai dengan dua atau lebih editor: Nama penulis artikel, judul artikel (dalam
tanda kutip), dalam, nama para editors (eds.), judul Buku Bunga Rampai (Kota: Lembaga
penerbit, tahun), halaman tempat artikel (tanpa hlm.), halaman yang dikutip (dengan hlm.).
Contoh (andaikan yang dikutip halaman 211 dari keseluruhan artikel yang panjangnya dari
halaman 193-213):
Emanuel Hane, “Gagasan Sacrosanctum Concilium tentang pembaharuan tata cara nikah
Romawi dan kemungkinan-kemungkinan inkulturasinya”, dalam Bernardus Boli Ujan dan
Georg Kirchberger (eds.), Liturgi Autehtik dan Relevan (Maumere: Ledalero, 2006), 193-213,
hlm. 211.

1.5.5. Mengutip Jurnal / periodik ilmiah


Jurnal atau periodik ilmiah adalah terbitan berkala yang memiliki bobot ilmiah, diterbitkan
oleh lembaga ilmiah seperti Perguruan Tinggi atau kelompok ilmiawan profesional, memiliki
ISSN, dan diedarkan secara nasional. Jurnal terdiri atas jurnal terakreditasi dan tidak
terakreditasi. Ada pula jurnal international yaitu jurnal berbahasa asing dan diterbitkan oleh
lembaga ilmiah berskala international. Cara mengutip jurnal:
Nama pengarang artikel, judul artikel (dalam tanda kutip), dalam, nama Jurnal (italic),
Volume, Nomor, bulan dan tahun terbit (Kota: Lembaga Penerbit) halaman tempat artikel
(tanpa hlm,), halaman yang dikutip (dengan hlm.).
Contoh (andaikan yang dikutip halaman 120 dari keseluruhan artikel yang panjangnya dari
halaman 117-134):

Theodorus Silab, “Kure’ dalam Ume Mnasi: Sebuah praktek inkulturasi klasik sebagai upaya
pemeliharaan iman umat di daerah budaya etnis Dawan Noemuti – Timor”, dalam Lumen
Veritatis, Jurnal Filsafat dan Teologi, Vol. 2. No. 2, Oktober 2008-Maret 2009 (Kupang:
Fakultas Filsafat Agama Unwira), 117-134, hlm. 120.

1.5.6. Mengutip Majalah


Majalah terdiri atas majalah ilmiah populer dan majalah biasa, terbit bulanan atau mingguan,
memiliki ISSN, diedarkan secara nasional. Cara pengutipan:
Nama penulis artikel, judul artikel (dalam tanda kutip), dalam, nama Majalah (italic), Tahun,
Nomer, tanggal terbit (Kota: Lembaga Penerbit), halaman.
Contoh:

Leonardo Toda, “Hati nurani dan otoritas (tentang Gereja dan Ham)”, dalam Veritas, Vol. 3,
No. 1, Januari – Juni 2010 (Kupang: Fratres Seminari Tinggi St. Mikhael), hlm. 44.

Ada pula Majalah yang lembaga penerbitnya kurang jelas. Untuk Majalah seperti itu cukup
ditulis kota tempat terbitnya.

Contoh:

Agustinus Kemadi, “Kita Butuh Yesus”, dalam Inspirasi, Thn. VII, No. 84, Agustus 2011
(Semarang), hlm. 36.

1.5.7. Mengutip artikel dalam ensiklopedi / kamus


Yang dimaksud Ensiklopedi adalah kumpulan tulisan / artikel ilmiah yang diuraikan di bawah
judul-judul / kata-kata tertentu. Kamus mirip dengan ensiklopedi, hanya uraiannya lebih
singkat, juga di bawah judul / kata-kata tertentu. Baik Kamus maupun Ensiklopedi diterbitkan
oleh lembaga ilmiah, diedit oleh seorang atau beberapa orang ahli. Cara mengutipnya: Nama
penulis artikel, judul / kata / ungkapan (dalam tanda kutip), dalam, nama Pengarang / editor
(ed. / eds.), Judul ensiklopedi / Kamus (italic) (Kota: Lembaga penerbit, tahun), halaman
tempat artikel (tanpa hlm.), halaman yang dikutip (dengan hlm.).
Contoh cara mengutip Ensiklopedi / Kamus:

Joann Wolski Conn, “Spirituality”, dalam Wolfgang Beinaert dan Francis Schüssler Fiorenza
(eds.), Handbook of Catholic Theology (New York: Crossroad, 1995), 676-679, hlm. 678.

1.5.8. Mengutip karya yang tidak diterbitkan


Karya yang tidak diterbitkan meliputi naskah hasil penelitian, diktat kuliah, modul, skripsi
atau thesis yang tersimpan di perpustakaan dan tidak dipublikasikan secara luas. Cara
mengutip: Nama pengarang, judul karangan (italic), jenis karangan (dalam kurung, misalnya
skripsi, thesis, diktat, modul, bahan kuliah), (Kota: Lembaga yang menerbitkan / menyimpan,
tahun), halaman.
Contoh mengutip skripsi:

Januario Pareira Teti, Aktualisasi diri menurut Carl Ransom Rogers dan implikasinya bagi
pendidikan calon imam (Skripsi) (Kupang: Fakultas Filsafat Agama Unwira, 2011), hlm. 10.

Contoh mengutip diktat:

Dr. Herman Punda Panda, Kristologi (diktat) (Kupang: Fakultas Filsafat Agama Unwira,
2007), hlm. 80.

1.5.9. Mengutip hasil wawancara dan ceramah


Untuk wawancara:
Nama orang yang diwawancarai / berceramah, wawancara / ceramah tanggal dan tempat,
tersimpan dalam medium perekam.
Contoh wawancara:

Eduardus Kalumbang, wawancara 20 Juli 2011 di Karuni, tersimpan dalam tape recorder.

Contoh ceramah:

Mgr. Petrus Turang, Ceramah 22 Agustus 2011 di Seminari Tinggi St. Mikhael, tersimpan
dalam tape recorder.
1.5.10. Mengutip Sumber internet
Akhir-akhir ini banyak pula digunakan artikel atau buku yang diunduh dari website. Hal ini
sudah dianggap sah dalam penulisan ilmiah. Bila menggunakan sumber dari internet, perlu
dicatat secara rinci nama pengarang, website, judul artikel, tanggal dan jam kunjungan /
diakses.
Contoh:

J. Habermas, “Glauben und Wissen. Dankesrede des Friedenspreisträgers” dalam


http://www.gasnost.de/docs01/011014 habermas.html; diakses pada 3 Februari 2007, pukul
12: 35.

1.5.11. Mengutip Dokumen Gereja


Yang dimaksudkan dengan dokumen Gereja adalah ajaran Konsili, Paus, Roman Dicasteries
(Kongregasi / Dewan di Vatikan), juga dokumen Konferensi Wali Gereja setempat seperti
KWI dan dokumen Gereja Lokal misalnya Keuskupan tertentu. Dokumen-dokumen Gereja
Universal biasanya dibukukan dalam suatu seri yang terkenal dan lazim digunakan. Dalam
skala International, dikenal DS (Henricus Denzinger dan Adolfus Schönmetzer,Enchiridion
Symbolorum, Definitionum et Declarationum de rebus fidei et morum) dan AAS (Acta
Apostolicae Sedis). Di Indonesia kita kenal Dokumen Konsili Vatikan II, terjemahan Robertus
Hardawirjana, SJ, juga Seri Dokumen Gerejawi terjemahan dan terbitan KWI. Cara mengutip
Dokumen Gereja:
a) Untuk ajaran Konsili: Nama konsili, nama dan jenis dokumen (italic), tanggal terbit
(dalam kurung), dalam nama penerjemah (penerj.), judul terjemahan (italic), (Kota:
Lembaga penerbit, tahun), nomer artikel.
Contoh (andaikan yang dikutip no. 5):

Konsili Vatikan II, Lumen Gentium, Konstitusi Dogmatis tentang Gereja (21 November
1964), dalam R. Hardawirjana (penerj.), Dokumen Konsili Vatikan II (Jakarta: Obor,
1993), no. 5.

b) Untuk dokumen dari Paus (misalnya: Ensiklik, Anjuran Apostolik): Nama Paus penulis
dokumen, nama dan jenis dokumen (italic), tanggal terbit (dalam kurung), dalam nama
dan nomer seri terjemahan, (Kota: Lembaga Penerbit, tahun), nomer artikel.
Contoh untuk ensiklik (andaikan yang dikutip no. 7):

Yohanes Paulus II, Fides et Ratio,Ensiklik (14 September 1998), dalam Seri Dokumen
Gerejawi 56 (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1999), no. 7.

Contoh lain untuk Anjuran Apostolik (andaikan yang dikutip no. 10):
Yohanes Paulus II, Familiaris Consortio, Anjuran Apostolik(22November 1981), dalam
Seri Dokumen Gerejawi 30 (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI,
2005), no. 10.

c) Untuk dokumen dari Roman Dicasteries (misalnya: instruksi, surat edaran): Nama
Lembaga Kepausan, nama dan jenis dokumen (italic), tanggal terbit (dalam kurung),
dalam nama dan nomer seri terjemahan, (Kota: Lembaga Penerbit, tahun), nomer artikel.
Contoh (andaikan yang dikutip no. 9):

Kongregasi untuk Tarekat Hidup Bakti dan Serikat Hidup Apostolik, Bertolak Segar
Dalam Kristus: Komitmen Hidup Bakti yang dibaharui di Millenium ketiga,Instruksi (16
Mei 2002), dalam Seri Dokumen Gerejawi 68 (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan
Penerangan KWI, 2004), no. 9.

1.5.12. Penggunaan Ibidem, Idem, op.cit., loc.cit


a) Ibidem (Ibid.)
Ibidem artinya sumber yang sama. Ibidem biasa disingkat ibid., digunakan untuk
mengutip sumber yang sama yang telah disebutkan dalam catatan kaki sebelumnya, dan
belum diselingi sumber lain. Bila masih dari halaman yang sama, cukup diketik: ibid. Bila
halaman berbeda, ketik ibid., halaman.
Contoh: andaikan anda mengutip Paulus Budi Kleden halaman 97 (catatan kaki 1), dan
tanpa ada selingan sumber lain, anda kutip sekali lagi dari halaman 97 (halaman yang
sama). Maka, langsung di bawahnya (pada catatan kaki 2) anda tulis ibid. Seandainya
anda kutip untuk ketiga kalinya buku yang sama dari Paulus Budi Kleden, tetapi halaman
berbeda, misalnya halaman 99, anda tulis pada catatan kaki 3, ibid., hlm. 99. Caranya:

Paulus Budi Kleden, Dialog Antaragama Dalam Terang Filsafat Proses Alfred North
1

Whitehead (Maumere: Ledalero, 2002), hlm. 97.


2
Ibid.
3
Ibid., hlm. 99.

b) Idem (id.).
Idem (disingkat Id.,) artinya sama dengan di atas. Idem digunakan untuk menyebut
pengarang yang sama, belum diselingi oleh pengarang lain tetapi buku / karangan yang
dikutip berbeda. Bila banyak pengarang, gunakan Iidem. Bila pengarang wanita, gunakan
Eadem.
Contoh: (andaikan yang dikutip halaman 30 untuk buku pada catatan kaki 9, dan untuk
buku berikutnya dari pengarang yang sama dengan catatan kaki 10 dikutip halaman 60).
Caranya:
9
C. Groenen, Sakramentologi (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 30.
10
Id., Perkawinan Sakramental (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hlm. 60.

c) Op. cit.
Op. cit., lengkapnya opus citatum (karya yang telah dikutip). Op. cit., digunakan untuk
mengutip kembali karya yang sama dari pengarang yang sama, yang sebelumnya telah
dikutip secara lengkap, tetapi telah diselingi oleh pengarang lain. Hal ini dibedakan atas
(1) pengarang yang memiliki hanya satu karyanya yang dikutip dan (2) pengarang yang
memiliki lebih dari satu karyanya dikutip.
(1) Untuk pengarang yang memiliki hanya satu karya yang dikutip, caranya: Nama
pengarang, op. cit. (italic), halaman. Op.Cit selalu dicetak miring karena
mengganti judul buku.
Contoh: (andaikan pada catatan kaki satu, dikutip buku Paulus Budi Kleden, lalu
diselingi dua karya dari orang lain yaitu catatan kaki dua dan tiga, dan pada catatan
kaki empat dikutip lagi karya yang sama dari Paulus Budi Kleden). Caranya:
Paulus Budi Kleden, Dialog Antaragama Dalam Terang Filsafat Proses Alfred
1

North Whitehead (Maumere: Ledalero, 2002), hlm. 97.


2
Agustinus Kemadi, “Kita Butuh Yesus”, dalam Inspirasi, Thn. VII, No. 84, Agustus
2011 (Semarang), hlm. 36.
3
Joann Wolski Conn, “Spirituality”, dalam Wolfgang Beinaert dan Francis Schüssler
Fiorenza (eds.), Handbook of Catholic Theology (New York: Crossroad, 1995), 676-
679, hlm. 678.
4
Paulus Budi Kleden, Op. Cit., hlm. 99.

(2) Untuk pengarang yang memiliki lebih dari satu karya yang dikutip, caranya: Nama
pengarang, dua kata pertama dari judul karya yang dikutip, op.cit., halaman.
Contoh: (andaikan, yang hendak dikutip lagi pada catatan kaki 14 adalah buku C.
Groenen, Perkawinan Sakramental, yang telah dikutip pada catatan kaki 11. Buku itu
bukan satu-satunya buku C. Groenen yang pernah dikutip karena ada buku lain
berjudul Sakramentologi, yaitu pada catatan kaki sembilan. Dan buku yang hendak
dikutip itu sudah diselingi dengan dua karya dari pengarang yang berbeda yaitu pada
catatan kaki 12 dan 13). Caranya:

C. Groenen, Sakramentologi (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 30.


9

Paulus Budi Kleden, Dialog Antaragama Dalam Terang Filsafat Proses Alfred
10

North Whitehead (Maumere: Ledalero, 2002), hlm. 97.

C. Groenen, Perkawinan Sakramental (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hlm. 60.


11

Agustinus Kemadi, “Kita Butuh Yesus”, dalam Inspirasi, Thn. VII, No. 84, Agustus
12

2011 (Semarang), hlm. 36.


Joann Wolski Conn, “Spirituality”, dalam Wolfgang Beinaert dan Francis Schüssler
13

Fiorenza (eds.), Handbook of Catholic Theology (New York: Crossroad, 1995), 676-
679, hlm. 678.
14
C. Groenen, Perkawinan Sakramental, op.cit., hlm. 65.

d) Loc. cit.
Loc. cit., lengkapnya locus citatus, artinya halaman yang sama yang telah dikutip. Loc.
cit., digunakan untuk mengutip lagi karya yang sama dari pengarang yang sama dan pada
halaman yang sama, tetapi karya yang hendak dikutip lagi itu sudah diselingi oleh
pengarang lain. Hal ini dibedakan untuk (1) pengarang yang memiliki hanya satu karya
yang dikutip dan (2) pengarang yang memiliki lebih dari satu karyayang dikutip.
(1) Untuk pengarang yang memiliki hanya satu karya yang dikutip. Caranya: Nama
pengarang, loc. cit.Loc. cit selalu dicetak miring karena mengganti judul buku.
Contoh: (andaikan pada catatan kaki sembilan, dikutip buku C. Groenen halaman 30,
lalu diselingi tiga karya dari orang lain yaitu catatan kaki 10, 11 dan 12, dan pada
catatan kaki 13 dikutip lagi karya yang sama dari C. Groenen, pada halaman yang
sama yaitu halaman 30). Caranya:

C. Groenen, Sakramentologi (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 30.


9

Paulus Budi Kleden, Dialog Antaragama Dalam Terang Filsafat Proses Alfred
10

North Whitehead (Maumere: Ledalero, 2002), hlm. 97.

Agustinus Kemadi, “Kita Butuh Yesus”, dalam Inspirasi, Thn. VII, No. 84, Agustus
11

2011 (Semarang), hlm. 36.

Joann Wolski Conn, “Spirituality”, dalam Wolfgang Beinaert dan Francis Schüssler
12

Fiorenza (eds.), Handbook of Catholic Theology (New York: Crossroad, 1995), 676-
679, hlm. 678.
13
C. Groenen, Loc.cit.

(2) Untuk pengarang yang memiliki lebih dari satu karya yang dikutip, caranya: Nama
pengarang, dua kata pertama dari judul karya yang dikutip, loc.cit.
Contoh: (andaikan, yang hendak dikutip lagi pada catatan kaki 14 adalah buku C.
Groenen, Perkawinan Sakramental, halaman 60, yaitu halaman yang sama dengan
yang telah dikutip pada catatan kaki 11. Buku itu bukan satu-satunya buku C.
Groenen yang pernah dikutip karena ada buku lain berjudul Sakramentologi, yaitu
pada catatan kaki sembilan. Dan buku yang hendak dikutip itu sudah diselingi dengan
dua karya dari pengarang yang berbeda yaitu pada catatan kaki 12 dan 13). Caranya:
9
C. Groenen, Sakramentologi (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 30.
Paulus Budi Kleden, Dialog Antaragama Dalam Terang Filsafat Proses Alfred
10

North Whitehead (Maumere: Ledalero, 2002), hlm. 97.

C. Groenen., Perkawinan Sakramental (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hlm. 60.


11

Agustinus Kemadi, “Kita Butuh Yesus”, dalam Inspirasi, Thn. VII, No. 84, Agustus
12

2011 (Semarang), hlm. 36.

Joann Wolski Conn, “Spirituality”, dalam Wolfgang Beinaert dan Francis Schüssler
13

Fiorenza (eds.), Handbook of Catholic Theology (New York: Crossroad, 1995), 676-
679, hlm. 678.
14
C. Groenen, Perkawinan Sakramental, Loc.cit.

e) Pengulangan dalam pengutipan dokumen Gereja.


Untuk dokumen Gereja seperti dokumen konsili, Katekismus Gereja Katolik, Kitab
Hukum Kanonik, dokumen Roman Dicasteries, biasanya bila dikutip lagi tidak digunakan
ibid., op.cit., loc. cit., hanya disebutkan singkatan dokumen dan nomer artikelnya. Tetapi
ketika dikutip pertama kali, dokumen itu ditulis lengkap, disertai catatan: untuk
selanjutnya akan disngkat…. menyusul nomer artikelnya.
Contoh:

Konsili Vatikan II, Lumen Gentium, Konstitusi Dogmatis tentang Gereja (21 November
32

1964), dalam R. Hardawirjana (penerj.), Dokumen Konsili Vatikan II (Jakarta: Obor,


1993), Art. 5. Selanjutnya akan disingkat LG dan nomer artikelnya.

Paus Yohanes Paulus II (Promulgator), Kitab Hukum Kanonik, kembali diedit oleh RD.
33

R Rubiyatmoko, (Bogor: KWI – Grafika Mardi Yuana, 2006), kan. 10. Selanjutnya akan
disingkat KHK 1983, danno. kanonnya.

34
LG, no. 7
35
Paus Yohanes Paulus II (Promulgator), Katekismus Gereja Katolik, terjemahan
Indonesia P. Herman Embuiru, SVD (Ende: Propinsi Gerejani Ende, 1995), no, 172.
Selanjutnya akan disingkat KGK dan nomernya.
36
KHK 1983, kan. 413 § 1.

Yohanes Paulus II, Fides et Ratio,Ensiklik (14 September 1998), dalam Seri Dokumen
37

Gerejawi 56 (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1999), no. 7.


Selanjutnya akan disingkat FR menyusul nomer artikelnya.

KGK, no. 175.

FR, no. 9.

1.5.13. Mengutip kutipan dalam karya orang lain


Seringkali terjadi penulis tidak membaca sumber asli tetapi mendapatkan gagasan itu
sebagaimana dikutip penulis lain. Hal ini sebenarnya tidak dianjurkan. Penulis perlu sedapat
mungkin berusaha mendapatkan sumber aslinya bila ingin mengutip pendapat tersebut.
Walaupun demikian, ada banyak karya klasik yang sulit ditemukan sumber aslinya (karena
keterbatasan perustakaan kita). Bila amat perlu mengutip suatu karya klasik bukan dari
sumber asli tetapi dari tulisan orang lain, perlu kedua sumber itu disebutkan (baik sumber asli
maupun sumber sekunder dari mana gagasan itu dibaca).
Kekeliruan yang sering terjadi adalah penulis menyebut sumber utama, padahal sebenarnya
hanya membacanya dari sumber sekunder. Misalnya kutipan pendapat St. Thomas Aquinas di
bawah ini sebenarnya diambil dari ensiklik Paus Yohanes Paulus II, Ecclesia de Eucharistia,
no. 38 tetapi dalam kutipan sama sekali tidak disebutkan Ensiklik tersebut melainkan
langsung disebut Summa Theologiae dari St. Tohmas. Contoh pengutipan yang salah:

St. Thomas Aquinas mengatakan bahwa Ekaristi dalam Gereja “merupakan puncak hidup
rohani dan tujuan semua sakramen”3

Dalam catatan kaki ditulis:

3
St. Thomas Aquinas, Summa Theologiae, III, q. 73, a. 3c.

Pengutipan di atas salah dan tidak menerapkan prinsip intellectual honesty, karena tidak
menyebut sumber dari mana pendapat itu dibaca, melainkan langsung menyebut sumber
aslinya. Yang benar adalah harus disebutkan sumber sekunder (Ensiklik) dari mana penulis
mengambil pendapat St. Thomas lalu menambahkan cf. St. Thomas Aquinas. Cara
pengutipan yang benar dan jujur seperti di bawah ini:

Paus Yohanes Paulus II dengan mengutip St. Thomas Aquinas menegaskan bahwa Ekaristi
dalam Gereja “merupakan puncak hidup rohani dan tujuan semua sakramen” 3

Dalam catatan kaki ditulis:

3
Paus Yohanes Paulus II, Ecclesia de Eucharistia, Ensiklik (17 April 2003), dalam Seri
Dokumen Gerejawi 67 (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2005), no.
38. Cf. St. Thomas Aquinas, Summa Theologiae, III, q. 73, a. 3c.

Mungkin penulis tidak pernah membaca Summa Theologiae dari St. Thomas Aquinas, tetapi
paling kurang ada kejujuran intellektual dengan menyebut sekaligus sumber asli dan sumber
sekunder dari mana penulis benar-benar membacanya.
Hal yang sama berlaku juga ketika mengutip pendapat Bapak-Bapak Gereja dari sumber-
sumber sekunder. Contoh lain: andaikan penulis mengutip pendapat St. Yustinus Martir dari
buku J. Dupuis, Toward a Christian Theology of Religious Pluralism. Caranya:

Yustinus Martir mengatakan:

Putera Allah, satu-satunya yang secara tepat boleh disebut Putera, yaitu Sabda
yang ada bersama dia dan dilahirkan sebelum segala ciptaan, ketika pada mulanya
dia menciptakan dan mengatur (ekosmèse) segala sesuatu, disebut Kristus karena
dia diurapi dan karena Allah mengatur (kosmèsai) alam semesta melalui dia.”4

Dalam catatan kaki ditulis:

4
St. Yustinus, 2 Apol. VI, 3, sebagaimana dikutip dalam J. Dupuis, Toward a Christian
Theology of Religious Pluralism (New York: Orbis Books, 1997), hlm. 57. The son of God,
the only one who may properly be called son, the Word existing with him and begotten before
all creatures, when in the beginning he created and ordered (ekosmèse) all things, was called
Christ because he was anointed and because God ordered (kosmèsai) the universe through
him. Terjemahan di atas dari penulis.

2.5.13. Menyusun Daftar Pustaka


Daftar pustaka disusun secara alfabetis (dari A – Z). Beda dengan catatan kaki, dalam daftar
pustaka nama keluarga lebih dahulu lalu koma dan menyusul nama kecil, juga tidak disebutkan
halaman yang dikutip. Bila dua pengarang, hanya pengarang pertama yang namanya dibalik (nama
keluarga, koma lalu nama kecil) sedangkan pengarang kedua ditulis lurus. Bila seorang pengarang
memiliki beberapa karya, nama tidak diulangi tetapi diganti dengan garis sepanjang tujuh karakter.
Urutan karya dari pengarang yang sama disusun berdasarkan tahun terbitnya: karya yang terbit lebih
dahulu di urutan atas. Semua gelar akademik, juga nama tarekat religius (bila penulis seorang religius)
tidak disebutkan dalam daftar pustaka. Selain nama yang dibalik dan tanpa gelar, cara penulisan judul,
kota, penerbit dan tahun, sama dengan catatan kaki.
Daftar pustaka disusun rapi: untuk satu judul karya, baris pertama rata kiri, baris kedua dan
seterusnya masuk ke dalam sebanyak tujuh karakter. Jarak antar baris dalam satu judul gunakan satu
spasi, sedangkan jarak antara judul (satu judul ke judul lain) gunakan satu setengah spasi. Margin kiri
dan kanan harus rata.
Daftar pustaka dibagi dalam beberapa kategori berdasarkan bobotnya:
- Kitab Suci
- Dokumen Gereja
- Kamus / Ensiklopedi
- Buku-buku. Untuk buku-buku, bila studi tentang tokoh tertentu, perlu dibedakan atas sumber
primer (karya asli dari tokoh) dan sumber sekunder (komentar pengarang lain atas karya
tokoh tersebut).
- Karya yang tidak diterbitkan
- Sumber internet.

Untuk sumber internet, dalam daftar pustaka hanya disebutkan nama pengarang, website
utama dan judul artikel yang diunduh tanpa perincian.

Contoh daftar pustaka:

DAFTAR PUSTAKA

Dokumen Gereja

Konsili Vatikan II, Lumen Gentium, Konstitusi Dogmatis tentang Gereja (21 November 1964), dalam
R. Hardawirjana (penerj.), Dokumen Konsili Vatikan II (Jakarta: Obor, 1993).

______, Dei Verbum, Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi (18 November 1965), dalam R.
Hardawirjana (penerj.), Dokumen Konsili Vatikan II (Jakarta: Obor, 1993).

Yohanes Paulus II, Familiaris Consortio, Anjuran Apostolik (22 November 1981), dalam Seri
Dokumen Gerejawi 30 (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2005).

______, Fides et Ratio,Ensiklik (14 September 1998), dalam Seri Dokumen Gerejawi 56 (Jakarta:
Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1999).

Kongregasi untuk Tarekat Hidup Bakti dan Serikat Hidup Apostolik, Bertolak Segar Dalam Kristus:
Komitmen Hidup Bakti yang dibaharui di Millenium ketiga,Instruksi (16 Mei 2002), dalam
Seri Dokumen Gerejawi 68 (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2004).

Buku

Bakker, Y.W.M., Umat Katolik Berdialog dengan Umat Beragama Lain, (Yogyakarta: Kanisius,
1976).

______, Filsafat Kebudayaan Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Kanisius, 1984).

Banawiratma, J.B., “Menjernihkan Inkulturasi” dalam Inkulturasi,Bina Liturgia I (Yogyakarta:


Kanisius, 1985).
______, “Beberapa Tantangan terhadap Usaha Berteologi Dewasa Ini”, dalam Budi Susanto SJ (ed.),
Teologi dan Praksis Komunitas Postmodern, (Yogyakarta: Kanisius, 1994).

Boelars, H.J.W.M., Indonesianisasi, dari Gereja Katolik di Indonesia Menjadi Gereja Katolik
Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 2005).

Boli Ujan, B dan G. Kirchberger (Ed.), Liturgi Autentik dan Relevan (Maumere: Ledalero, 2006).

Internet
J. Habermas, “Glauben und Wissen. Dankesrede des Friedenspreisträgers” dalam http://www.gasnost.

Anda mungkin juga menyukai