Kutipan langsung
Kutipan langsung adalah kutipan yang sama persis seperti dalam sumber yang dikutip, kata
demi kata termasuk tanda baca. Bila sumber asli salah cetak pun, tetap ditulis demikian seperti dalam
sumber, tetapi sesudah kata yang salah cetak itu ditulis dalam kurung sic.Sic. adalah singkatan dari
kata Latin, sicut yang berarti seperti / demikian (ditulis dalam sumber). Dengan menulis sic. di dalam
kurung (sic.), kekeliruan itu tidak dianggap kekeliruan penulis yang mengutip tetapi orang tahu bahwa
dalam sumbernya memang demikian.
Bila kutipan langsung itu tidak lebih dari tiga baris, bisa diintegrasikan dalam teks, hanya
diberi tanda kutip lalu diberi catatan kaki. Bila lebih dari tiga baris, kutipan itu harus disendirikan
yaitu masuk ke dalam dari margin kiri dan kanan masing-masing lima karakter, diketik satu spasi dan
menggunakan font yang lebih kecil, dan tanpa tanda kutip. Misalnya bila badan teks menggunakan
Times New Roman 12, maka dalam kutipan langsung itu digunakan Times New Roman 11. Kutipan
langsung tidak perlu italic atau bold, tetapi tegak seperti bagian lain dalam teks. Contoh:
Hidup bersama Allah merupakan pengalaman dasar yang hadir dan berlangsung melalui
pengalaman konkret sehari-hari. Melalui pengalaman konkret sehari-hari itu, Allah
sedang menawarkan kepada kita suatu kebersamaan dan kebersatuan denganNya. Apabila
kita mengupayakan hidup ini dengan baik dan sehat – misalnya hidup damai, rukun,
penuh persahabatan dan persadaraan, ramah dan suka membantu orang lain…. – maka
kita telah menanggapi tawaran Tuhan untuk hidup bersama Dia. 2
2
E. Martasudjita, Pr, Sakramen-sakramen Gereja, Tinjauan Teologis, Liturgis dan Pastoral
(Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm. 51.
Cf. Alex Jebadu, SVD, Bukan Berhala Penghormatan Kepada Leluhur (Maumere: Ledalero, 2009),
hlm. 5.
“Cf.” bisa juga diganti dengan “lihat”. “Cf.” atau “lihat” digunakan juga untuk mengutip
gagasan anda sendiri yang sudah pernah dikemukakan dalam bagian terdahulu dari tulisan anda. Bila
mengutip gagasan sendiri, misalnya dari halaman sepuluh, cukup ditulis pada catatan kaki:
Cf. hlm. 10 di atas, atau
Lihat hlm. 10 di atas.
“Iman akan Allah Trinitas” menurut Greshake, “mengubah seluruh pemahaman akan
realitas.”3
Pada catatan kaki lalu ditulis:
Gisbert Greshake, An den drei-einen Gott glauben (Freiburg: Herder, 2000), terjemahan Indonesia,
3
Bila dalam kutipan ada kata-kata yang tidak perlu dikutip (dihilangkan), maka pada akhir
kalimat kutipan diberi empat titik sebelum nomor catatan kaki.
Contoh:
“Untuk mempertahankan koherensi seluruh sistem penjelasan yang bertolak dari pengalaman
adanya keteraturan di dalam dunia dan dari harapan akan kekekalan segala sesuatu, lebih tepat apabila
Allah tetap dipandang sebagai satu satuan aktual….” 4
Bila mau memberi penekanan pada kutipan dengan cetak miring (italic), karena hal itu
merupakan kata-kata kunci yang hendak anda komentari, maka pada catatan kaki diberi catatan: italic
dari penulis.
Contoh:
“Untuk mempertahankan koherensi seluruh sistem penjelasan yang bertolak dari pengalaman
adanya keteraturan di dalam dunia dan dari harapan akan kekekalan segala sesuatu, lebih tepat apabila
Allah tetap dipandang sebagai satu satuan aktual….”5
5
Paulus Budi Kleden, Dialog Antaragama Dalam Terang Filsafat Proses Alfred North Whitehead
(Maumere: Ledalero, 2002), hlm. 97. Italic dari penulis.
Untuk kutipan ayat-ayat Kitab Suci, biasanya nomor bab dan ayat ditempatkan dalam kurung, bukan
pada catatan kaki. Contoh:
Dalam Injil Yohanes Yesus mengatakan “Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya
kepadaKu, tidak akan mati selama-lamanya” (Yoh 11: 25).
“The uniqueness of Jesus can be understood for Christians today only from the perspective of
solidarity with the poor and social action with the poor.”6
Kedua, pada badan teks diketik terjemahan lalu pada catatan kaki ditulis bahasa aslinya, disertai
catatan: terjemahan di atas dari penulis.
Contoh:
“Keunikan Yesus bagi orang-orang Kristen dewasa ini hanya dapat dimengerti dari perspektif
solidaritas dengan kaum miskin dan kegiatan sosial bersama kaum miskin.” 7
Bila kutipan Bahasa asing itu hanya terdiri atas beberapa kata, terjemahannya bisa
langsung ditempatkan dalam kurung, tanpa harus menempatkannya pada catatan kaki.
Hendaknya prinsip intellectual honesty (kejujuran intellektual) tetap dijunjung tinggi.
Karena itu tidak boleh menerjemahkan karya dari bahasa asing lalu dijadikan seakan-akan karya anda
sendiri, tanpa catatan referensi.
Bila buku itu terdiri atas beberapa edisi, maka pada “tahun” (misalnya 1999) ditulis
superscript nomer edisi.
Contoh: (andaikan buku di atas terdiri atas beberapa edisi, dan edisi yang dipakai adalah edisi
kedua, tahun 1999), maka ditulis seperti ini:
Untuk catatan kaki, nama pengarang ditulis lurus seperti tertulis pada buku, termasuk gelar,
singkatan nama dll.
Virginia Fabella, M.M. dan R.S. Sugirtharajah, Dictionary of Third World Theologies (New
York: Orbis Books, 2000), hlm. 12.
1.5.3. Mengutip buku yang memiliki banyak pengarang (lebih dari dua)
Buku dengan banyak pengarang adalah buku yang ditulis oleh lebih dari dua orang, terdiri
dari sejumlah artikel dan tiap artikel ditulis oleh orang yang berbeda-beda, tanpa disebutkan
siapa editornya. Cara mengutip:
Nama pengarang artikel,judul artikel (dalam tanda kutip), dalam, AA.VV., judul buku (italic)
(Kota: lembaga penerbit, tahun), halaman tempat artikel (tanpa hlm.), halaman yang dikutip
(dengan hlm.). AA.VV artinya: banyak pengarang (Various authors).
Contoh (andaikan yang dikutip halaman 28 dari keseluruhan artikel yang panjangnya dari
halaman 27-42):
Giuseppe Rizzardi, “Nascere e morire nell’Islam”, dalam AA.VV., La vita e la morte nelle
grandi religioni (Torino: Paoline, 2000), 27-42, hlm. 28.
Aloysius Pieris, “Dialog antaragama dan teologi agama-agama: suatu pendekatan model
Asia”, dalam Dr. G. Kirchberger (ed.), Gereja Berwajah Asia (Ende: Nusa Indah, 1995), 193-
204, hlm. 194.
Untuk Bunga Rampai dengan dua atau lebih editor: Nama penulis artikel, judul artikel (dalam
tanda kutip), dalam, nama para editors (eds.), judul Buku Bunga Rampai (Kota: Lembaga
penerbit, tahun), halaman tempat artikel (tanpa hlm.), halaman yang dikutip (dengan hlm.).
Contoh (andaikan yang dikutip halaman 211 dari keseluruhan artikel yang panjangnya dari
halaman 193-213):
Emanuel Hane, “Gagasan Sacrosanctum Concilium tentang pembaharuan tata cara nikah
Romawi dan kemungkinan-kemungkinan inkulturasinya”, dalam Bernardus Boli Ujan dan
Georg Kirchberger (eds.), Liturgi Autehtik dan Relevan (Maumere: Ledalero, 2006), 193-213,
hlm. 211.
Theodorus Silab, “Kure’ dalam Ume Mnasi: Sebuah praktek inkulturasi klasik sebagai upaya
pemeliharaan iman umat di daerah budaya etnis Dawan Noemuti – Timor”, dalam Lumen
Veritatis, Jurnal Filsafat dan Teologi, Vol. 2. No. 2, Oktober 2008-Maret 2009 (Kupang:
Fakultas Filsafat Agama Unwira), 117-134, hlm. 120.
Leonardo Toda, “Hati nurani dan otoritas (tentang Gereja dan Ham)”, dalam Veritas, Vol. 3,
No. 1, Januari – Juni 2010 (Kupang: Fratres Seminari Tinggi St. Mikhael), hlm. 44.
Ada pula Majalah yang lembaga penerbitnya kurang jelas. Untuk Majalah seperti itu cukup
ditulis kota tempat terbitnya.
Contoh:
Agustinus Kemadi, “Kita Butuh Yesus”, dalam Inspirasi, Thn. VII, No. 84, Agustus 2011
(Semarang), hlm. 36.
Joann Wolski Conn, “Spirituality”, dalam Wolfgang Beinaert dan Francis Schüssler Fiorenza
(eds.), Handbook of Catholic Theology (New York: Crossroad, 1995), 676-679, hlm. 678.
Januario Pareira Teti, Aktualisasi diri menurut Carl Ransom Rogers dan implikasinya bagi
pendidikan calon imam (Skripsi) (Kupang: Fakultas Filsafat Agama Unwira, 2011), hlm. 10.
Dr. Herman Punda Panda, Kristologi (diktat) (Kupang: Fakultas Filsafat Agama Unwira,
2007), hlm. 80.
Eduardus Kalumbang, wawancara 20 Juli 2011 di Karuni, tersimpan dalam tape recorder.
Contoh ceramah:
Mgr. Petrus Turang, Ceramah 22 Agustus 2011 di Seminari Tinggi St. Mikhael, tersimpan
dalam tape recorder.
1.5.10. Mengutip Sumber internet
Akhir-akhir ini banyak pula digunakan artikel atau buku yang diunduh dari website. Hal ini
sudah dianggap sah dalam penulisan ilmiah. Bila menggunakan sumber dari internet, perlu
dicatat secara rinci nama pengarang, website, judul artikel, tanggal dan jam kunjungan /
diakses.
Contoh:
Konsili Vatikan II, Lumen Gentium, Konstitusi Dogmatis tentang Gereja (21 November
1964), dalam R. Hardawirjana (penerj.), Dokumen Konsili Vatikan II (Jakarta: Obor,
1993), no. 5.
b) Untuk dokumen dari Paus (misalnya: Ensiklik, Anjuran Apostolik): Nama Paus penulis
dokumen, nama dan jenis dokumen (italic), tanggal terbit (dalam kurung), dalam nama
dan nomer seri terjemahan, (Kota: Lembaga Penerbit, tahun), nomer artikel.
Contoh untuk ensiklik (andaikan yang dikutip no. 7):
Yohanes Paulus II, Fides et Ratio,Ensiklik (14 September 1998), dalam Seri Dokumen
Gerejawi 56 (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1999), no. 7.
Contoh lain untuk Anjuran Apostolik (andaikan yang dikutip no. 10):
Yohanes Paulus II, Familiaris Consortio, Anjuran Apostolik(22November 1981), dalam
Seri Dokumen Gerejawi 30 (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI,
2005), no. 10.
c) Untuk dokumen dari Roman Dicasteries (misalnya: instruksi, surat edaran): Nama
Lembaga Kepausan, nama dan jenis dokumen (italic), tanggal terbit (dalam kurung),
dalam nama dan nomer seri terjemahan, (Kota: Lembaga Penerbit, tahun), nomer artikel.
Contoh (andaikan yang dikutip no. 9):
Kongregasi untuk Tarekat Hidup Bakti dan Serikat Hidup Apostolik, Bertolak Segar
Dalam Kristus: Komitmen Hidup Bakti yang dibaharui di Millenium ketiga,Instruksi (16
Mei 2002), dalam Seri Dokumen Gerejawi 68 (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan
Penerangan KWI, 2004), no. 9.
Paulus Budi Kleden, Dialog Antaragama Dalam Terang Filsafat Proses Alfred North
1
b) Idem (id.).
Idem (disingkat Id.,) artinya sama dengan di atas. Idem digunakan untuk menyebut
pengarang yang sama, belum diselingi oleh pengarang lain tetapi buku / karangan yang
dikutip berbeda. Bila banyak pengarang, gunakan Iidem. Bila pengarang wanita, gunakan
Eadem.
Contoh: (andaikan yang dikutip halaman 30 untuk buku pada catatan kaki 9, dan untuk
buku berikutnya dari pengarang yang sama dengan catatan kaki 10 dikutip halaman 60).
Caranya:
9
C. Groenen, Sakramentologi (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 30.
10
Id., Perkawinan Sakramental (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hlm. 60.
c) Op. cit.
Op. cit., lengkapnya opus citatum (karya yang telah dikutip). Op. cit., digunakan untuk
mengutip kembali karya yang sama dari pengarang yang sama, yang sebelumnya telah
dikutip secara lengkap, tetapi telah diselingi oleh pengarang lain. Hal ini dibedakan atas
(1) pengarang yang memiliki hanya satu karyanya yang dikutip dan (2) pengarang yang
memiliki lebih dari satu karyanya dikutip.
(1) Untuk pengarang yang memiliki hanya satu karya yang dikutip, caranya: Nama
pengarang, op. cit. (italic), halaman. Op.Cit selalu dicetak miring karena
mengganti judul buku.
Contoh: (andaikan pada catatan kaki satu, dikutip buku Paulus Budi Kleden, lalu
diselingi dua karya dari orang lain yaitu catatan kaki dua dan tiga, dan pada catatan
kaki empat dikutip lagi karya yang sama dari Paulus Budi Kleden). Caranya:
Paulus Budi Kleden, Dialog Antaragama Dalam Terang Filsafat Proses Alfred
1
(2) Untuk pengarang yang memiliki lebih dari satu karya yang dikutip, caranya: Nama
pengarang, dua kata pertama dari judul karya yang dikutip, op.cit., halaman.
Contoh: (andaikan, yang hendak dikutip lagi pada catatan kaki 14 adalah buku C.
Groenen, Perkawinan Sakramental, yang telah dikutip pada catatan kaki 11. Buku itu
bukan satu-satunya buku C. Groenen yang pernah dikutip karena ada buku lain
berjudul Sakramentologi, yaitu pada catatan kaki sembilan. Dan buku yang hendak
dikutip itu sudah diselingi dengan dua karya dari pengarang yang berbeda yaitu pada
catatan kaki 12 dan 13). Caranya:
Paulus Budi Kleden, Dialog Antaragama Dalam Terang Filsafat Proses Alfred
10
Agustinus Kemadi, “Kita Butuh Yesus”, dalam Inspirasi, Thn. VII, No. 84, Agustus
12
Fiorenza (eds.), Handbook of Catholic Theology (New York: Crossroad, 1995), 676-
679, hlm. 678.
14
C. Groenen, Perkawinan Sakramental, op.cit., hlm. 65.
d) Loc. cit.
Loc. cit., lengkapnya locus citatus, artinya halaman yang sama yang telah dikutip. Loc.
cit., digunakan untuk mengutip lagi karya yang sama dari pengarang yang sama dan pada
halaman yang sama, tetapi karya yang hendak dikutip lagi itu sudah diselingi oleh
pengarang lain. Hal ini dibedakan untuk (1) pengarang yang memiliki hanya satu karya
yang dikutip dan (2) pengarang yang memiliki lebih dari satu karyayang dikutip.
(1) Untuk pengarang yang memiliki hanya satu karya yang dikutip. Caranya: Nama
pengarang, loc. cit.Loc. cit selalu dicetak miring karena mengganti judul buku.
Contoh: (andaikan pada catatan kaki sembilan, dikutip buku C. Groenen halaman 30,
lalu diselingi tiga karya dari orang lain yaitu catatan kaki 10, 11 dan 12, dan pada
catatan kaki 13 dikutip lagi karya yang sama dari C. Groenen, pada halaman yang
sama yaitu halaman 30). Caranya:
Paulus Budi Kleden, Dialog Antaragama Dalam Terang Filsafat Proses Alfred
10
Agustinus Kemadi, “Kita Butuh Yesus”, dalam Inspirasi, Thn. VII, No. 84, Agustus
11
Joann Wolski Conn, “Spirituality”, dalam Wolfgang Beinaert dan Francis Schüssler
12
Fiorenza (eds.), Handbook of Catholic Theology (New York: Crossroad, 1995), 676-
679, hlm. 678.
13
C. Groenen, Loc.cit.
(2) Untuk pengarang yang memiliki lebih dari satu karya yang dikutip, caranya: Nama
pengarang, dua kata pertama dari judul karya yang dikutip, loc.cit.
Contoh: (andaikan, yang hendak dikutip lagi pada catatan kaki 14 adalah buku C.
Groenen, Perkawinan Sakramental, halaman 60, yaitu halaman yang sama dengan
yang telah dikutip pada catatan kaki 11. Buku itu bukan satu-satunya buku C.
Groenen yang pernah dikutip karena ada buku lain berjudul Sakramentologi, yaitu
pada catatan kaki sembilan. Dan buku yang hendak dikutip itu sudah diselingi dengan
dua karya dari pengarang yang berbeda yaitu pada catatan kaki 12 dan 13). Caranya:
9
C. Groenen, Sakramentologi (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 30.
Paulus Budi Kleden, Dialog Antaragama Dalam Terang Filsafat Proses Alfred
10
Agustinus Kemadi, “Kita Butuh Yesus”, dalam Inspirasi, Thn. VII, No. 84, Agustus
12
Joann Wolski Conn, “Spirituality”, dalam Wolfgang Beinaert dan Francis Schüssler
13
Fiorenza (eds.), Handbook of Catholic Theology (New York: Crossroad, 1995), 676-
679, hlm. 678.
14
C. Groenen, Perkawinan Sakramental, Loc.cit.
Konsili Vatikan II, Lumen Gentium, Konstitusi Dogmatis tentang Gereja (21 November
32
Paus Yohanes Paulus II (Promulgator), Kitab Hukum Kanonik, kembali diedit oleh RD.
33
R Rubiyatmoko, (Bogor: KWI – Grafika Mardi Yuana, 2006), kan. 10. Selanjutnya akan
disingkat KHK 1983, danno. kanonnya.
34
LG, no. 7
35
Paus Yohanes Paulus II (Promulgator), Katekismus Gereja Katolik, terjemahan
Indonesia P. Herman Embuiru, SVD (Ende: Propinsi Gerejani Ende, 1995), no, 172.
Selanjutnya akan disingkat KGK dan nomernya.
36
KHK 1983, kan. 413 § 1.
Yohanes Paulus II, Fides et Ratio,Ensiklik (14 September 1998), dalam Seri Dokumen
37
FR, no. 9.
St. Thomas Aquinas mengatakan bahwa Ekaristi dalam Gereja “merupakan puncak hidup
rohani dan tujuan semua sakramen”3
3
St. Thomas Aquinas, Summa Theologiae, III, q. 73, a. 3c.
Pengutipan di atas salah dan tidak menerapkan prinsip intellectual honesty, karena tidak
menyebut sumber dari mana pendapat itu dibaca, melainkan langsung menyebut sumber
aslinya. Yang benar adalah harus disebutkan sumber sekunder (Ensiklik) dari mana penulis
mengambil pendapat St. Thomas lalu menambahkan cf. St. Thomas Aquinas. Cara
pengutipan yang benar dan jujur seperti di bawah ini:
Paus Yohanes Paulus II dengan mengutip St. Thomas Aquinas menegaskan bahwa Ekaristi
dalam Gereja “merupakan puncak hidup rohani dan tujuan semua sakramen” 3
3
Paus Yohanes Paulus II, Ecclesia de Eucharistia, Ensiklik (17 April 2003), dalam Seri
Dokumen Gerejawi 67 (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2005), no.
38. Cf. St. Thomas Aquinas, Summa Theologiae, III, q. 73, a. 3c.
Mungkin penulis tidak pernah membaca Summa Theologiae dari St. Thomas Aquinas, tetapi
paling kurang ada kejujuran intellektual dengan menyebut sekaligus sumber asli dan sumber
sekunder dari mana penulis benar-benar membacanya.
Hal yang sama berlaku juga ketika mengutip pendapat Bapak-Bapak Gereja dari sumber-
sumber sekunder. Contoh lain: andaikan penulis mengutip pendapat St. Yustinus Martir dari
buku J. Dupuis, Toward a Christian Theology of Religious Pluralism. Caranya:
Putera Allah, satu-satunya yang secara tepat boleh disebut Putera, yaitu Sabda
yang ada bersama dia dan dilahirkan sebelum segala ciptaan, ketika pada mulanya
dia menciptakan dan mengatur (ekosmèse) segala sesuatu, disebut Kristus karena
dia diurapi dan karena Allah mengatur (kosmèsai) alam semesta melalui dia.”4
4
St. Yustinus, 2 Apol. VI, 3, sebagaimana dikutip dalam J. Dupuis, Toward a Christian
Theology of Religious Pluralism (New York: Orbis Books, 1997), hlm. 57. The son of God,
the only one who may properly be called son, the Word existing with him and begotten before
all creatures, when in the beginning he created and ordered (ekosmèse) all things, was called
Christ because he was anointed and because God ordered (kosmèsai) the universe through
him. Terjemahan di atas dari penulis.
Untuk sumber internet, dalam daftar pustaka hanya disebutkan nama pengarang, website
utama dan judul artikel yang diunduh tanpa perincian.
DAFTAR PUSTAKA
Dokumen Gereja
Konsili Vatikan II, Lumen Gentium, Konstitusi Dogmatis tentang Gereja (21 November 1964), dalam
R. Hardawirjana (penerj.), Dokumen Konsili Vatikan II (Jakarta: Obor, 1993).
______, Dei Verbum, Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi (18 November 1965), dalam R.
Hardawirjana (penerj.), Dokumen Konsili Vatikan II (Jakarta: Obor, 1993).
Yohanes Paulus II, Familiaris Consortio, Anjuran Apostolik (22 November 1981), dalam Seri
Dokumen Gerejawi 30 (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2005).
______, Fides et Ratio,Ensiklik (14 September 1998), dalam Seri Dokumen Gerejawi 56 (Jakarta:
Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1999).
Kongregasi untuk Tarekat Hidup Bakti dan Serikat Hidup Apostolik, Bertolak Segar Dalam Kristus:
Komitmen Hidup Bakti yang dibaharui di Millenium ketiga,Instruksi (16 Mei 2002), dalam
Seri Dokumen Gerejawi 68 (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2004).
Buku
Bakker, Y.W.M., Umat Katolik Berdialog dengan Umat Beragama Lain, (Yogyakarta: Kanisius,
1976).
Boelars, H.J.W.M., Indonesianisasi, dari Gereja Katolik di Indonesia Menjadi Gereja Katolik
Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 2005).
Boli Ujan, B dan G. Kirchberger (Ed.), Liturgi Autentik dan Relevan (Maumere: Ledalero, 2006).
Internet
J. Habermas, “Glauben und Wissen. Dankesrede des Friedenspreisträgers” dalam http://www.gasnost.