Anda di halaman 1dari 193

BAB 1

GAMBARAN UMUM FILSAFAT KONTEMPORER

Para ahli Sejarah Filsafat biasanya memasukkan 2 abad


terakhir (abad 19-20) sebagai focus studi Filsafat Kontemporer. Kedua
abad terakhir ini, dengan perkembangan dan problematic refleksi
filosofisnya yang actual dan mutakhir, bukanlah 2 abad yang berdiri
sendiri-sendiri, lepas dan terpisah dari proses perkembangan
sebelumnya. Sebaliknya Filsafat Kontemporer menjadi actual dan
dijuluki “kontemporer” hanya karena merupakan hasil perkembangan
dan kontinuitas dari perkembangan abad-abad sebelumnya.
Singkatnya, ia berakar dalam dan bersumber dari jaman Klasik,
jaman Skolastik, dan jaman Modern. Karena itu, studi tentang Filsafat
Kontemporer menuntut pengetahuan yang memadai tentang
perkembangan filsafat di masa-masa sebelumnya, baik dari masa
klasik (Yunani-Romawi-Abad Pertengahan-Renaissance-Barok-
Pencerahan Budi) dengan segala implikasinya.

Sementara itu, jaman kontemporer sedang beredar dan


berkembang menuju kea rah yang belum bisa dipastikan. Persoalan-
persoalan dan pekembangan mutakhir dalam pelbagai bidang
kehiduan masih selalu akan kita hadapi. Semuanya masih
berlangsung, dan kita tidak mungkin mengetahui segalanya secara
tuntas. Namun kita hidup di dalamnya, seolah terproyeksi ke masa
depan yang masih penuh teka-teki. Di sinilah urgensinya studi
sejarah filsafat kontemporer, agar kita bisa mengetahui apa yang
sudah terjadi pada masa-masa terakhir dan bisa memprediksi arah
perkembangannya.

Di jaman kontemporer ini kita alami betapa kuatnya tarik-


menarik antara nasionalisme – internasionalisme, subjektivisme,
objektivisme, optimisme – pessimisme, modernisme – romanticisme,
liberalisme – rigorisme, spiritualisme – materialisme, scientisme –
2
fideisme, theocentrisme – antropocnetrisme, dst. Khusus di bidang
filsafat kita saksikan tendensi lahirnya kembali semangat spekulasi
dari abad-abad silam: Neo-Hegelisme, Neo-Metafisika, Neo-
Positivisme, Neo-Tomisme, Neo-Marxisme, Neo-Rasionalisme, Neo-
Augustinisme, filsafat analitik dan hermeneutic, irrasionalisme,
fenomenologi, eksistensialisme, pragmatisme, dst. Paradoks-paradoks
ini sebetulnya berhubungan dengan masalah-masalah abadi yang
sudah digulati sejak dulu, misalnya permasalahan menyangkut
dunia, manusia, Tuhan dan masalah-masalah lain yang merupakan
perkembangan jaman ini.

Untuk mendapatkan gambaran umum tentang problematic


persoalan filosofis dewasa ini, kita akan sebutkan secara garis besar
beberapa kekhasan filosofis abad 19-20.

1.1 GAMBARAN UMUM FILSAFAT BARAT MODERN


Situasi umum refleksi filosofis filsafat Barat Modern dapat
diungkapkan dalam 1 kata: Antroposentrisme. Sementara filsafat
jaman kuno lebih bersifat “kosmosentris,” dan filsafat abad
pertengahan lebih bercorak “theosentris,” filsafat jaman modern lebih
bercorak “antroposentris.” Manusia dan subjektivitasnya (ego-nya)
dielevasi sebagai tema sentral dalam pemikiran modern dan
kontemporer. Ini memang merupakan akibat langsung dari
pembelokan metodologis Descartes, yang terungkap lewat penegasan
kepastian subjektifnya Cogito ergo sum! Dalam filsafat abad 19
manusia masih tetap dianggap dan menganggap diri sebagai pusat
kenyataan, walaupun perhatian utama sudah beralih dari ratio,
empiri, ide-ide ke unsur irasional, yaitu kehendak atau kebebasan
{dan perasaan}sebagai motor penggerak tindakan manusia.
Sedangkan cirikhas perkembangan pemikiran filsafat abad 20 ialah
“desentralisasi” manusia. Subjek manusiawi tidak lagi dianggap
sebagai pusat kenyataan, tapi bahasa dianggap sebagai “subjek”
kenyataan kita. Inilah yang lazim disebut “logosentrisme” di abad
3
kontemporer. Hampir seluruh filsafat Anglosaxon, Heidegger, Filsafat
Dialogis dapat dikategorikan filsafat “logosentristis.” Dalam hal ini
bahasa dimengerti dalam arti luas yakni sebagai “teks” tenunan
struktur-struktur. Banyak filsuf anggap filsafat sebagai teks yang
harus diinterpretasi. Dengan mengajukan pertanyaan pokok
“Siapakah pengarang teks ini?” mereka menjadikan filsafat semata-
mata hanya “filsafat mengenai filsafat,” atau Hermeneutik. Bahkan
bahasa sering dianggap pula “subjek” terpenting dari pemikiran.
Manusia didesentralisasikan dan peranannya diambilalih oleh
bahasa. Manusia tidak lagi dilihat sebagai subjek bahasa, subjek
pemikiran, subjek tindakan, dan pusat sejarah. Manusia tidak lagi
“berbicara sendiri” tapi lebih “dibicarakan” oleh struktur bahasa,
struktur sosio-ekonomis, politik, dsb. Banyak filsuf melihat di dalam
proses desentralisasi ini “kematian manusia sebagai subjek,” yang di
dalam seni dan sastra didukung oleh munculnya “anti-humanisme.”

1.2 BEBERAPA POKOK KHARAKTERISTIK FILSAFAT


KONTEMPORER
Di bawah pengaruh ratio dialektis dan idealisme, didukung pula
oleh sensibilitas refleksif, lahirlah beberapa kharakteristik jaman
Post-modern atau Kontemporer yang sungguh kasat mata:

1. Kecurigaan terhadap Theologi dan metafisik klasik, disertai


penolakan atau transformasi semantic atas nilai-nilai atau
kategori-kategori seperti Esse, Ens, Tuhan, Causa, Esensi,
Substansi, dan diganti dengan persoalan fenomen, relative,
pragmatis, irrational, histories dari upaya berfilsafat. Akibat yang
relative diabsolutkan seperti dalam scientisme evolusionistis,
kulturalisme antroposentris, etik situasi, dsb.
2. Kharakter voluntaristis yang ditandai oleh krisis ontologism-
metafisis yang dimanifestasikan sebagai ethos kolektif dan sebagai
kemungkinan (posibilitas) teoretis yang mengganti ratio logis
dengan kehendak untuk berkuasa, dengan konsep bawah-sadar,
4
ketidakpastian eksistensial, dengan modalitas dari “pemikrian liar”
(Lévi Strauss) dengan dikembalikannya dunia kehidupan, yang
mengagungkan kebebasan tanpa batas. Inilah awal dari
perkembangan pragmatis dan sekularistis dari dunia kontemporer.
3. Upaya sintesis baru antara teknik, ilmu pengetahuan dan
kebijaksanaan (téchne, episteme dan Sophia) oleh Bergson, Blondel,
Einstein, Heidegger, yang mengatasi dogmatisme dari ilmu yang
menguasai penggunaan teknik, atau sebaliknya oleh idealisme
yang menempatkan sejarah dalam kerangka yang terlampau
abstrak. Tidak pernah cukup supaya untuk mengubah dunia;
harus disertai pengetahuan atas tujuan yang menggerakkan
kegiatan kita dalam artian moral dan rational.
4. Dengan kerangka “system” dari abad 18 muncullah tendensi untuk
lebih memperhatikan “persoalan-persoalan” yang berhubungan
lebih erat dengan fakta-fakta konkrit dari hidup dan sejarah. Karya
ilmiah condong lebih mengutamakan analisis dan kurang
memperhatikan upaya synthesis, bukti-bukti indrawi dan
perhitungan dijadikan kriterium dari “ilmu-ilmu positif.” Prospek
“ADA” diganti dengan “nilai” intuitif (Bergson, Scheler, Mounier)
ataupun dengan “riak-gelombang” (Windelband dan Rickert).
Dipentingkan juga penelitian fenomelogis dan hermeneutis atas
realitas, dan tidak lagi berdasarkan ideae clarae et disitnctae dari
Descartes. Aksi (Fichte, Gentile, Blondel) lebih diutamakan
daripada kontemplasi atas ada (Parmanides) sehingga timbullah
persoalan histories yang menggantikan persoalan kosmologis.
5. Filsafat kontemporer lebih sibuk dengan penekanan atas posisi
strukturalistis, neopositivistis dan dialektik. Dari pihak lain
dibutuhkan tuntutan metodologis dari ilmu pengetahuan
(neopositivisme, pragmatisme, neorealisme, dan epistemology) dan
dari pihak lain dirasakan perlunya menganalisis secara mendalam
seluruh implikasi dari kesadaran histories (neoidealisme,
kesadaran utopis, humanisme positif).
5
6. Sambil menyadari konflik secular antara iman dan ilmu, diberi
tempat seluas-luasnya kepada otonomitas dan kesadaran moral
“ego” individual dan kolektif, dan ini memberi harapan baru bagi
kesadaran histories atas ide-ide daripada hanya sekedar
mempertahankan ideology.
7. Kemajuan lain dilihat juga dari besarnya perhatian atas persistensi
ontology dan metafisika klasik, yang diprakarsai oleh neotomisme
dan neoaugustianisme. Rintisan sejak Neo-Scholastica, sambil
menekankan kebaikan dari “ratio autonom,” terarah kepada Allah
sebagai ADA yang menarik segala sesuatu sebagai tujuan terakhir.
Neoaugustinisme yang diprakarsai oleh Rosmini, Carlini, atau dari
gerakan Gallarate, menekankan metodologi interioritas persoalan
menuju dialog manusia yang membutuhkan keselamtan dan
Allah-cinta Kasih. Di sini nampak bahwa manusia dalam tendensi
sekularistisnya yang dipengaruhi juga oleh tendensi relasionisme,
organicisme, totalitas aktif, dan fungsionalisme kosmologis, masih
tetap membutuhkan Yang Absolut, juga kalau disangkal dogma
tentang philosophia perennis. Persoalan yang dihadapi ialah: atau
pengesahan prospektif “ada” (Parmenides dan Kristen) yang
mengukur pengetahuan manusia, atau manusia Protagoras yang
menjadikan dirinya ukuran untuk segala sesuatu.
Dalam situasi pertentangan antara 2 tendensi ini, para filsuf
seharusnya merasa terpanggil dan tersentuh dari kedalaman
nurani untuk menjadikan buah pikirannya sebagai kesaksian
hidup, yang rela membiarkan tempat demi mengagumi barang-
barang dan keterarahan kepada Transendensi. Berfilsafat
seharusnya merupakan upaya manusiawi… Filsuf adalah dia yang
membiarkan dirinya kagum, di mana semua orang tidak merasa
tersentuh… berpikir berarti mampu menangkap makna mistik dari
keteraturan barang-barang dan dari setiap kejadian.” (E. Mounier).
Atau, seperti diungkapkan Heidegger, berfilsafat berarti “kembali
ke fondamen.”.
6

BAB 2

NEO-HEGELIANISME ITALIA

2.1 HEGELIANISME, HEGELIANISME ORTHODOX DAN NEO-


HEGELIANISME

2.1.1 HEGELIANISME

„Hegelianisme“ secara umum menunjuk kepada pengaruh


pemikiran Hegel tidak hanya dalam pemikiran metafisika systematis
tapi juga dalam bidang Aesthetik, Politik dan Teori Sosial, dalam
Theologi Protestan, Filsafat Agama dan Historiografi, khususnya
dalam penafsiran atas Sejarah Intelektual (Fislafat Sejarah
Spekulatif). Namun berbagai aspek pemikiran Hegel berpengaruh atas
cara tertentu dan dengan kadar intensitas pengaruh yang berbeda-
beda dalam berbagai bidang dan aliran pemikiran.

Perbedaan bahkan kontradiksi dalam pemahaman pikiran Hegel


tidak hanya menyangkut kontingensi historis tapi juga dalam
tendensi-tendensi kontradiktoris dalam System Filsafat Hegel sendiri.
Hegel sendiri memperlakukan semua kontradiksi sebagai moment-
moment dialektis dalam hidup Roh Absolut, menyatukannya dalam
satu system komprehensif tunggal filsafat. Dalam filsafat Hegel,
moment idealistik pertama selalu berpuncak dan berjaya mengatasi
kekonkritan historis moment yang kedua. Hal inilah yang
7
menimbulkan polemik berkepanjangan tentang apa yang
sesungguhnya diajarkan Hegelianisme.

2.1.2 HEGELIANISME ORTHODOX (OLD HEGELIANISM)

Hegelianisme Orthodox (Old Hegelianism) adalah aliran


pemikiran / sekolah filsafat yang mendapatkan pengaruh langsung
dari Hegel periode 1820-an saat Hegel memberi kuliah di Universitas
Berlin. Hegelianisme di sini tidak hanya merupakan suatu system tapi
juga metode berpikir dari students yang dimotivasi Hegel dan merasa
terdorong untuk menerapkan pemikiran Hegel dalam berbagi
bidang/disiplin yakni di bidang Filsafat Systematik (Georg Gabler,
Leopold von Henning), di bidang Theologi (seorang kolleganya di
Universitas Heidelberg yaitu Karl Daub, dan Philipp Karl Marheineke
di Berlin); keduanya mengembangkan Dogma Protestan atas dasar
Metode Dilaketis melawan Ratioanlisme Theologis dan
Supernaturalisme Theologis; di bidang Hukum (Eduard Gans), di
bidang Seni dan Literatur (Heinrich Rötscher, Heinrich Hotho dan Karl
Rosenkranz); di bidang Theologi, Filsafat Politik dan Aesthetics (Karl
Heinrich Schultz). Bahkan pada Juli 1826 di rumah Hegel
dibentuklah „Society for Scientific Criticism“ yang membawahi 3 divisi
yaitu filsafat, ilmu alam dan history. Mereka terbitkan Journal resmi
Old-Hegelianism dengan judul Jahbücher für wissenschaftliche Kritik.
Kelompok inilah yang mempertahankan keaslian system pemikiran
Hegel dan karena itu sering disebut juga „Hegelianisme Orthodox“
atau „Sayap Benar Hegelianisme.“

Untuk memperoleh gambaran tentang perkembangan dan


problematik seputar Hegelianisme1, bacalah pokok-pokok berikut: 1).
Theological Conflict from 1830 to 1841; 2) Left-Wing Hegelianism; 3)
Right-Wing Hegelianism; 4). Other Nineteenth-Century Developments.

2.1.3 NEO-HEGELIANISME
1
Stephen D. Crites, “Hegelianism” dalam Paul Edwards, The Encyclopedia of Philossphy, Vol.
3 and 4, pp. 451-459.
8
Neo-Hegelianisme berkembang subur sebagai pengembangan
lanjut pemikiran Hegel di Inggris (Bernard Bossanquet, F. H. Bradley)
yang mengembangkan System Logika dan Ethica Hegel. Neo-
Hegelianisme berkembang juga di Amerika dengan tokoh
prominentnya Josiah Royce dari Harvard dan Brand Blanshard dari
Yale yang mengembangkan System Metafisika Idealistik yang secara
khusus berupaya menghubungkan waktu dan keabadian, yang
banyak dan yang satu, yang individual dan yang kolektif.

2.2 NEO-HEGELIANISME ITALIA

Abad 20 sering dilihat juga sebagai Abad Kelahiran Kembali


Filsafat Hegel (The Hegel renaissance in Germany, British dan Italy
during the preceding decades). Kita focus pada Hegelianisme di Italia
dengan proponentnya Benedetto Croce (1866-1952) dan Giovanni
Gentile (1875-1944)

2. 2.1 BENEDETTO CROCE

2.2.1.1 Formasi Intelektual dan Filosofis

Formasi Intelektual Benedetto Croce (1866-1952) terjadi lewat


Giosuè Carducci (1835-1907) dan sejarahwan di bidang literature,
Francesco De Santis (1817-1883). Dalam diri Carducci Croce melihat
“Nabi terakhir Italia antic yang agung” karena ketegasan etika yang
membangkitkan inspirasi.

Lebih mendasar, pelajaran dari De Santis yang sudah beralih ke


arus pemikiran filosofis Hegel, di mana pikiran Bertrando dan Silvio
Spaventa juga dimatangkan. Pada merekalah Croce berguru, dan
lewat mereka ia mendalami pikiran Kant dan Herbart.

Tahun 1893 ia menerbitkan karya berjudul La storia ridotta


sotto il concetto generale dell’ arte, di mana ia mengambil kembali
konsep Aristoteles tentang “reduksi” sejarah, secara lebih luas pada
reduksi kepada seni, dalam arti sejarah adalah juga representasinya.
9
Tahun 1894 terbit lagi karyanya yang lain, La critica letteraria. Tahun
1899 terbit lagi karyanya yang berjudul Materialismo Storico ed
economia marxista, sebagai upayanya untuk menelaah secara
mendalam perbedaan antara ilmu dan filsafat, yang nampaknya tetap
gelap dalam paham determinisme dan positivisme, dan yang dijadikan
materi spekulatif di universitas idealistis (Tübingen).

Masa selanjutnya ditandai kerjasamanya dengan Gentile dan


berhubungan dengan kematangan pemikiran filosofisnya. Pada akhir
abad itu Croce membaca di Akademi Pontaniana Tesi fondamentale di
un’estetica dan Estetica come scienza dell’espressione e linguistica
generale (1902). Dalam karya-karaya ini, intuisi disamakan dengan
ekspresi dan estetika diidentikkan dengan linguistic. Mulailah
pikirannya menunjukkan satu perkembangan sistematis yang lebih
mendalam dan terartikulasi. Banyak tema besar hadir kembali dalam
benaknya: puisi, literaur, kritika, sejarah, kehidupan moral dan
politik. Lewat karya-karyanya Filosofia dello spirito, Lineamenti di una
logica (1905), Filosofia della pratica economica ed etica (1908), Logica
come scienza del concetto puro (1909) lengkaplah system Croce, yang
secara baru menampilkan kategori “berguna.” Tahun 1917 ia
menerbitkan lagi volume 4 berjudul Teoria e storia della storriografia.

Karya lainnya pada periode ini: Filosofia dello Spirito, Filosofia


della pratica, Cultura e vita morale (1913-1925), Majalah “La Critica”
(1903-1944), “Quaderni della Critica” (1945-1951).

Dalam masa kematangan sesudahnya Croce sungguh aktif dan


produktif. Elementi di etica (1922), Elementi di politica (1925), La
poesia (1936), La storia come pensiero e come azione (1938), Carattere
della filosofia moderna (1941), Discorsi div aria filosofia (1945),
Filosofia e storiografia (1949), Indagini su Hegel e schiarimenti filosofia
(1952).

2.2.1.2 Neo-Hegelisme Dalam Filasfat Croce


10
2.2.1.2.1 Historicisme

Filsafat Croce bukanlah pengolahan kembali pikiran Kant


dengan elemen-elemen yang berasal dari Fichte, tapi satu bentuk
idealisme Hegel, di mana sebagai fundamen dari seluruh realitas
ditempatkan Roh (Budi, Kesadaran). Aspek yang membedakan filsafat
Croce dan Hegel ialah integrasi proses dialektis, yang secara essential
merupakan gerak dari 2 contradictio dan synthesisnya, didasarkan
atas prinsip distinctio. Distingsi internal dari roh atas 4 activitas
utama (yang berkembang ke dalam secara dialektis dengan satu gerak
ke luar secara sirkular), yakni estetika, logika, ekonomi dan etika.
Estetika dan logika aktivitas teoretis dengan objeknya adalah yang
universal, sedangkan ekonomi dan etika adalah aktivitas praktis
dengan objeknya yang individual. Hubungan antara berbagai aktivitas
ini diatur oleh prinsip pertalian/koneksi dari distinction, yang
menghendaki agar aktivitas-aktivitas ini saling mengintegrasikan.

Dari ke 4 aktivitas di atas, Croce lebih mencurahkan perhatian


pada estetika. Dari pandangan Panlogisme2 Hegel, Croce mengerti seni
bukan sebagai “produk” tapi sebagai “intuisi lyris dari yang particular”
yang menekankan bahwa imaginasi estetis dan karya seni adalah satu
synthesis dari intuisi dan perasaan (sentiment). Perasaan adalah
elemen material dan imaginasi adalah elemen formal. Nilai seni tidak
bisa praktis atau intelektualistis tapi semata-mata teoretis dan
komprehensif.

Elemen penyatu dari ke 4 aktivitas budi adalah filsafat, tapi


bukan filsafat abstrak melainkan filsafat-sejarah. Yang menempati
tempat filsafat transcendental bukan lagi filsafat tapi sejarah, atau
filsafat sebagai sejarah dan sebaliknya. Filsafat Sejarah inilah yang

2
Panlogisme (παν = seluruh, dan λογος = pikiran) adalah pandangan Hegel yang mengatakan
bahwa seluruh realitas adalah pikiran, kesadaran, budi, Roh, yang berkembang dan mencapai
puncaknya dalam Roh Absolut.
11
memiliki prinsip identitas universal dan individual dari intelek dan
intuisi.

Identifikasi filsafat dan sejarah inilah satu hal asing yang


diturunkan kepada filsafat kontemporer dari Idealisme [Hegel]. Hal
asing ini dapat dilihat jelas berdasarkan hal-hal berikut: Pertama,
seluruh filsafat klasik, pertengahan dan modern berpandangan bahwa
pengetahuan historis dan filsafat sungguh berbeda. Sejarah
menyangkut hal-hal kontingen, sedangkan filsafat berhubungan
dengan prinsip-prinsip absolute dan necessarium dari realitas kosmis,
antropologis dan theologis. Kedua, hal ini diintegrasikan Hegel dengan
mengidentifikasi realitas histories dan realitas absolute. Inilah yang
diambil kembali oleh Croce dengan mengidentifikasi filsafat dan
sejarah, yang oleh Croce sendiri disebut Historicisme. Menurut Croce,
Historicisme dalam artian ilmiah dan harafiah adalah affirmasi bahwa
hidup dan realitas adalah sejarah dan bukan sesuatu yang lain.”

Persoalannya, bagaimana seorang filsuf [-sejarahwan]


merefleksikan sejarah secara filosofis? Croce menegaskan bahwa
realitas histories sungguh absolute, tidak ada penilaian atasnya. Bila
realitas ini dikehendaki oleh Tuhan, ia diloloskan sebagai sesuatu
yang rasional dapat dimengerti karena cocok dengan dinamika
peredaran dunia. Tugas filsfat ialah mengerti fakta histories,
memahaminya dengan putusan empiris (terjadi begini atau begitu)
dan bukan dengan putusan moral/nilai (ini baik atau buruk).

Di sini Croce mengambil kembali pikiran Hegel tentang


Rasionalitas (Roh) Absolute dari sejarah untuk mengembangkan
pikirannya atas sejarah. Sejarah sungguh diliputi rasionalitas,
berkembang tanpa henti, di mana aspek dialektis merupakan unsur
konstitutif dan inti dari adanya.

Berbeda dari Hegel, Croce menegaskan bahwa rasionalitas


sejarah tidak terungkap lewat disposisi sistematis yang menjelaskan
12
secara tuntas “sejarah universal,” tapi dalam sistematisasi histories
yang selalu meluas dan berdialektik bertarung dalam seluruh
kehidupan.

Dengan pikiran ini, Croce sebenarnya berlangkah lebih jauh


dari Hegel, dan bersama Giambattista Vico berkata: “verum et factum
convertuntur” (Kebenaran dan fakta dapat saling bertukartempat). Tapi
di sini factum berarti produksi dari manusia sebagai subjek, sehingga
manusia dapat mengetahui hanya apa yang telah ia produksi. Dan
Vico menambahkan bahwa manusia mengetahui sangat sedikit
tentang dunia yang adalah ciptaan Allah.

Padahal Croce berpendapat bahwa manusia adalah satu subjek


universal dan absolute, dan seluruh [sejarah, factum] diproduksi
olehnya, dan karena itu manusia dikenal justru dari hasil karyanya
yang paling karakteristik yaitu apa saja yang membentuk materi dari
hisstoriografi. Inilah identifikasi filsafat dan historiografi.

Pikiran Croce disituasikan dalam prospektif Idealisme Historis.


Jasanya ialah ia memberikan kepada seni fungsi dan peran untuk
mengintuisi yang absolute, - yang sering sulit dikenal – dan dia
memasukkan ke dalam sejarah satu rasionalitas sempurna yang
bertarung dalam suka-duka kehidupan, baik dalam arti fisik maupun
moral. Di sinilah terletak keterbatasan system teoretis Croce, yang
lazim disebut Aporia Historicisme. Croce terpaksa harus menerima
contingentia facti, yang merupakan sisa respeknya terhadap idealisme
histories. Aporia Historicisme merupakan ketidakmampuan fakta
untuk menampung dalam dirinya seluruh perkembangan Roh (budi,
kesadaran). Inilah ketidakseimbangan antara yang histories dan yang
abadi. Secara praktis, aporia ini menunjuk kemungkinan bahwa
sejarah tidak menjawabi kebebasan roh, dan secara teoretis
mengartikan keharusan membedakan gerak dalam lingkaran abadi
13
roh dalam dirinya sendiri dan gerak terbuka dan contingent dari
sejarah.

2.2.1.2.2 Agama

Pandangan Croce tentang agama mengikuti schema Hegel.


Agama adalah satu moment gerak dialektis dari roh, sehingga fase-
fase dari perkembagan spiritual yang disebut agama mencapai puncak
kematangannya dalam kesadaran hati nurani. Ini tercapai setelah
orang melewati fase metafora dan mithos. Di sini Croce memasukkan
elemen-elemen dari pandangan Illuminisme, khususnya kategori
ideologis dari “progressi” (“kemajuan”) ala Massoneria yang
menyebabkan hegemoni kebudayaan Italia sesudah tercapai Uni Italia
sebagai Negara (1860).

Secara moderat Croce mengkritik agama Kristen sebagai forma


histories dari agama yang hadir dalam masyarakat. Dalam artikel
berjudul „Perché non possiamo non dirci “cristiani”, dia menulis:
“Kekristenan adalah revolusi terbesar yang tidak pernah dicapai oleh
seluruh umat manusia. Kekristenan begitu besar, komprehensif dan
mendalam, begitu subur dengan konsekuensi besar, tak pernah
terbayangkan dan tak dapat dilawan dalam mengaktualisasikan
dirinya, sehingga tidak mengherankan bahwa mukjizat masih terus
saja terjadi, satu revelasi dari atas, satu intervensi langsung dari Allah
dalam urusan-urusan manusiawi, karena dari Dia urusan-urusan itu
menerima hukum dan tujuan yang sama sekali baru.”

Pada titik ini, terjadi kekeliruan mendasar dari Croce: Tidak ada
revelasi atau intervensi dari Tuhan dalam arti yang benar, tapi
kekristenan hanya menyangkut hal-hal yang semata-mata fakta besar
manusia, karena dengan semuanya itu roh merayakan dalam
keabadian dirinya sendiri, dan ini berarti objek yang diabstraksikan
oleh subjek ditempatkan pada tempat subjek sebagai pencipta abadi
dari barang-barang dan merupakan satu-satunya prinsip untuk
14
menjelaskan kejadian barang-barang itu. Di sini yang menjadi subjek
bukan lagi Allah Sang Pencipta tapi ciptaan. Agama Kristen
menemukan subjek dan menempatkannya pada tempat objek yakni
ciptaan dan memberinya peran pencipta, menjadikan ciptaan sebagai
Pencipta.

Selanjutnya Croce menginginkan agar Gereja membatasi diri


dalam merumuskan dogma-dogma “yang dapat dipikirkan” dan “yang
sepenuhnya dipecahkan oleh kesanggupan pikiran”, yakni menurut
kanon-kanon panlogisme bukanlah pemakluman misteri-misteri yang
diwahyukan Allah tetapi semata-mata kebenaran-kebenaran rational
yang sederhana.

Menengok kembali perintiwa pengkristenan seluruh dunia,


Croce dengan caranya ingin membangun satu apologi terhadap
Gereja. Menurut doktrinnya, aksi identik dengan situasi factual dan
penilaian dilakukan atas fakta yang telah jadi sebagai justifikasi
atasnya. Sejarah adalah hakim atas dirinya sendiri. Seluruh sejarah
adalah “sejarah kudus” (historia sacra) dan karenanya segala fakta
dari sejarah Gereja sesungguhnya seperti apa adanya, tidak bisa
dibenarkan atau dipersalahkan, juga kalau ada hal-hal yang
bertentangan dengan iman dan moral (pemakan manusia yang
sesudah memangsa manusia tidur dengan tenang). Selebihnya Croce
melihat Gereja semata-mata sebagai institusi manusiawi, bukan
institusi ilahi.

Mengapa kita tidak bisa disebut Kristiani? Menurut Croce,


alasannya ialah karena kekristenan bukanlah suatu kebenaran
sempurna dan definitive, tapi satu kebenaran yang sedang mengalami
transformasi dan sedang dalam proses perkembangan. Kekristenan
bukanlah pengulang dan komentator harafiah dari dogma, tapi revisi
seharusnya dari konsep-konsep pertama. Orang-orang Kristen
bukanlah St. Anselmus, St. Thomas Aquinas, St. Bonaventura,
15
Rosmini, tetapi orang-orang dari Humanisme dan Renaissance
ataupun dari Reformasi, seperti Luther. Selanjutnya Vico, Kant,
Fichte, Voltaire, dan terlebih Hegel, yang menyambut konsep realitas
sebagai sejarah, atau “integrasi kritis” atas Wahyu. Dengan demikian,
kita semua menjadi putera kekristenan, entah dari kalangan para
atheis atau orang beriman, Protestan atau Katolik, semuanya telah
mengembangkan dan menyempurnakan kebenaran Yesus, sehingga
semuanya menjadi Kristen. Kekristenan bukanlah kebenaran yang
diwahyukan karena Yesus bukanlah Sabda Allah. Dogma-dogma
adalah mithos, dan kekristenan adalah satu doktrin moral manusiawi
yang dimodifikasi dan disempurnakan oleh Kant, Fichte dan Hegel
yang menyongsong realitas sebagai sejarah.

Dalam tulisan singkatnya Filosofia e Religione yang terdapat


dalam “Quaderni della Critica” n. 11, 1948, pp. 12-18 Croce
memberikan alasan mengapa ia menolak agama Kristen:

1. Oposisi logis dan moral antara Gereja Katolik dan dunia modern.
2. Sifat mythis Dogma dan Revelasi: Deus ex machine!
3. Relasi ganda dan berbeda antara filsafat dan agama, yang
seharusnya identik.
Singkatnya, tanpa orisinalitas Croce mengulang kembali jejak
argument secular illuministis melawan Agama Wahyu.

2.2.2 GIOVANNI GENTILE

2.2.2.1 Hidup dan Karya Gentile

Giovanni Gentile (1875-1944) memulai karier filosofisnya di


Palermo (Sicilia) dan kemudian di Roma (Universitas „La Sapeinza”).
Oleh Fascist Benito Mussolini, ia diangkat menjadi Menteri
Pendidikan Nasional (1922) dan beberapa tahun kemudian, Presiden
Akademi Italia. Tahun 1944 terbunuh di Firenze oleh orang suruhan
Komunis dalam suatu pemberontakan politik.
16
Karya-karyanya: Rosmini e Gioberti (1898); Sommario di
pedagogia come scienza filosofica (1912); Studi vichiani (1915);
Fondamenti della filosofia del diritto (1916); Teoria generale dello spirito
come atto puro (1916); Sistema di logica come teoria del conoscere
(1971-1922); Le origini della filosofia contemporanea in Italia (1917-
1923); Il pensiero italiano nel Rinascimento (1920); Studi sul
Rinascimento (1923); Filosofia dell’ arte (1931); Genesi e struttura della
societá (1946).

2.2.2.2 Neo-Hegelianisme Dalam Filsafat Gentile

2.2.2.1 Aktualisme

Gentile mengolah kembali system filsafat idealisme, dan dia


sendiri menyebut sistemnya “Aktualisme” yang tertuang dalam sajian
ilmiahnya La riforma della dialettica hegeliana (1913). System filsafat
Gentile berpusat pada actus, di mana Yang Absolut identik dengan
actus purus. Pikiran in actu adalah satu totalitas yang merangkum
dirinya. Tidak ada sesuatu di luar subjektivitas, entah itu objek,
tempat ataupun waktu. Dunia dan ego kita sendiri merupakan objek
yang kita pikirkan dulu, sekarang dan masa depan, dan kita
mengkonfigurasikan ekstensi dan kekuasaan.

Gentile menolak kebenaran yang harus diketahui, ditempatkan


di depan pikiran manusia sebagai objek pengetahuan, sebab tidak ada
kebenaran abstrak. Yang ada hanyalah kebenaran actual dan konkrit
sebagai satu-satunya yang ada dalam pikiran, yang dapat diketahui
dan dikenal. Tuhan adalah aktualitas pikiran, kebenaran yang tidak
dapat ditiadakan oleh siapapun, lantaran tak seorangpun yang tidak
berpikir. Objek aktivitas pikir, kita yang tidak bisa disangsikan,
adalah personalitas Allah. Inilah fusi sempurna subjek di dalam objek.
Bersama Immanentisme Ekstreem dan Identifikasi Ada (realitas)
dengan Pikiran, Gentile mengidentikkan pikiran dan kehendak, dan
pikiran dan perbuatan. Konsekuensinya, pengetahuan selalu juga
17
kehendak, dan sekaligus praksis hidup. Inilah identifikasi filsafat dan
hidup.

Actus Purus (cf. Idea dari Fichte dan Hegel) menyatakan


aktivitasnya menurut satu proses triadic, dengan moment utamanya
adalah seni, agama dan filsafat. Seni adalah moment subjektif, forma
langsung (immediate) dari Roh Absolut. Agama adalah antithesis dari
seni, dan merupakan moment objektif, moment pengangkatan objek
sebagai Allah di mana subjek menempatkan diri, namun yang secara
mystic cenderung lenyap. Gentile memberikan kepada agama satu
peranan fundamental dan menekankan agar agama tidak
diabaikan/ditinggalkan dalam perkembangan konkrit roh manusia,
yakni selama proses pendidikan. Filsafat membangun satu synthesis
dari moment subjektif dan objektif, sambil menyadari kembali yang
absolute dalam actualitasnya yang menempatkan dirinya dalam suatu
dialektik abad, yang terealisir dalam sejarah. Dalam filsafat Gentile,
Negara dilihat sebagai inkarnasi tertinggi dari Roh, sehingga Negara
tidak lain dari kehendak berdaulat absolute yang tertinggi. Dari
Negara sebagai kehendak berdaulat yang absolute lahirlah moral dan
hukum. Moral adalah aktivitas roh sebagai kehendak yang
menghendaki secara absolute atau kebebasan absolute. Dan hukum
adalah objektivitasi dari moral, yakni segala kebaikan yang
dikehendaki oleh moral. Menurut Gentile, individu merealisasikan
dirinya dalam masyarakat, yang secara penuh teraktualisir dalam
Negara (State). Komunitas adalah penjamin kepastian moral, yang
menghantar ke situasi vox populi vox Dei. Vox Populi adalah Ratio
Cognoscendi dari Kebenaran dan nilai, yang menurut Cicero adalah
Consensus Gentium [bisa berkaitan dengan Sensus Communis], tanda
dari kebenaran. Vox Populi ini sungguh esensial, satu-satunya yang
harus ditaati sebagai norma hidup setiap individu. Inilah suara
masyarakat ideal yang immanen dalam individu, penuntun kata,
perbuatan dan hidup, yang mendukung individu dari dalam sebagai
18
inti kekuatannya. Bila Vox populi ini ditaati dan terealisir dengan baik,
akan terbentuklah di dalam masyarakat suatu karakter, yakni
konstansi dari kehendak, yang tersinthesikan dalam integrasi kata
dan perbuatan, dan membangkitkan dalam diri manusia suatu
perasaan kagum atas revelasi yang sesungguhnya dari kemanusiaan.

Konsep atas karakter ini merupakan penegasan atas kewajiban


rohani dari koherensi moral yakni keberanian sipil, berupa kesetiaan
kuat atas kesadaran sendiri, dalam berbicara atau bertindak secara
bertanggungjawab seturut kehendak sendiri.

Dalam karya Postumumnya Fondamenti della filosofia del dirito


(1937), Gentile membeberkan konsepnya tentang bangsa (nation) dan
hukum. Bangsa seharusnya merupakan kesadaran sebagai isi
konstitutif dari hakekat ada spiritual yang tercipta oleh Negara (State),
karena kehendak umum dan universal adalah Negara. Kehendak
umum inilah hukum, di mana setiap individu menemukan dasar
eksistensinya. Di sini Gentile mengidentikkan filsafat dan Negara.
Dalam arti ini, Negara adalah auto-kritik abadi, revolusi
berkesinambungan, yang selalu hidup dalam kontras, yang timbul
dari kedalaman orisinal dan cenderung membentuk satu kesatuan
lebih tinggi yang adalah kesatuan sejati dari roh yang melahirkan
setiap sejarah manusia. Inilah kunci dari perang dan damai, dari
perjuangan pahit-getir manusia untuk menggapai tujuan hidupnya
dan terang harapan dari jalan hidup manusia sendiri. Peerdamaian
internasional mengandaikan perdamaian bangsa, yang secara
mendasar mengandaikan perdamaian dalam hati manusia. Makanya
perdamaian ditentukan dan dibatasi oleh satu system yang adalah
tatanan social yang terselenggara oleh Negara. Bagi Gentile, negara
lahir dari kesadaran transcendental lewat astu proses spiritual
merupakan realisasi otentik dari subjek.

2.2.2.2.2 Pertemuan Dengan Agama Katolik


19
Konsep Gentile tentang agama berkaitan erat dengan
pandangannya yang dilatarbelakangi oleh Illuminisme dan secara
lebih khusus oleh Hegel bahwa pikiran adalah realitas dan realitas
adalah pikiran (cf. Teori Umum tentang Roh sebagai Actus Purus). Di
luar pikiran tidak ada objek konkrit. Yang ada hanyalah pikiran yang
dipikirkan (pensiero pensato), tapi pikiran yang berpikir (pensiero
pensante), actus, autokonsep. Roh berproses secara dialektis: actus
sebagai posisi konkrit adalah mediasi. Filsafat, bukanlah satu
tingkatan dari Roh melainkan seluruhnya adalah Roh. Di luar actus
berpikir tidak ada objek konkrit. Ego memiliki kesadaran atas
objeknya sejauh memiliki kesadaran atas diri sendiri dalam actus
memikirkannya. “Pengetahuan atas realitas spiritual tidak lain dari
mengasimilasikan realitas itu pada pikiran kita yang mengetahuinya.
Boleh dikata, hukum dari mengetahui realitas rohani ialah bahwa
objek terlebur dalam subjek dalam subjek yang mengetahuinya.

Peleburan Roh ini bersifat dialektis: actus sebagai penempatan


diri yang konkrit adalah mediasi, dan bukan immediasi. Olehnya, Roh
adalah kesatuan yang majemuk tapi juga pluritas yang merupakan
unitas.

Bagi Hegel, Moment dialektis dari Roh Absolut ialah seni,


agama, filsafat. Seni adalah subjektivitas murni yang bersifat abstrak
karena immediasinya. Seni dapat ditangkap secara konkrit dalam
perkembangan dialektis roh, yakni pikiran. Antithesis dari seni ialah
agama. Inilah moment objektivitas murni, pengangkatan objek, yang
beroposisi secara abstrak terhadap pengetahuan, dan di hadapannya
subjek kehilangan diri: Manusia berlutut di hadapan Tuhan, yakni
Objek Absolut. Menyadari ketiadaan dirinya di hadapan objek yang
adalah seluruhnya.

Bagi Gentile, agama adalah suatu moment essential dari proses


dialektis Roh, di mana roh hnay mungkin terwujud sebagai subjek
20
yang sadar (filsafat) kalau ia terlebih dahulu menempatkan diri
sebagai objek. Seni dan agama tidak lagi abstrak kalau sudah
dimengerti sebagai moment dari yang riil, yakni pikiran. Mereka
menjadi dialektis dan jadi konkrit bila mereka masuk dalam proses
sejarah, yang adalah juga proses perkembangan dialektis dari Roh.

Singkatnya, rasa seni dan rasa keagamaan sungguh riil dalam


pikiran dan dalam filsafat, yang tidak lain adalah konsep. Agama
adalah satu tahap rohani, satu tahap peralihan, di mana Roh tidak
terpengaruh oleh negasi atas dirinya (objektivitas murni), tapi dipaksa
untuk menegaskan diri sebagai subjek absolute dan kebebasan
absolute. Tuhan dari agama adalah sesuatu yang abstrak, yang
dikonkritkan dalam system subjek dan objek. Tidak ada Tuhan yang
transenden. Tuhan dan manusia, dalam realitas Roh adalah dua dan
juga satu, lantaran manusia hanya menjadi manusia otentik dalam
relasinya dengan Allah, dan dari pihak Allah, Dia hanya menjadi Allah
sejati karena Dialah merupakan Kesatuan dengan manusia secara
essensial. Allah menjadi manusia dan disalibkan.

Dapat diajukan keberatan terhadap Gentile: Benar, Tuhan


adalah Roh. Tapi manusia bukanlah Roh sama seperti Allah. Kita
tercipta dengan kebebasan. Kita tercipta menurut gambar dan rupa
Allah, bukan sebaliknya. “Manusia menyandang Allah dalam
essensinya. Ini bukan Allah sejati orang Kristen tapi Allah idealisme
transcendental, yang jadi menurut kejadian histories.

Gentile mengidentikkan agama dengan katolisitas dan dengan


Gereja, Menurut dia, dibenarkan bahwa setiap orang Kristen, bila ia
mau, dapat menciptakan proselit, mendirikan sekte, mendirikan satu
Gereja. Ini berarti, setiap orang sungguh katolik tapi menurut caranya
sendiri-sendiri.

BAB 3
21
METAFISIKA BARU: “MENJADI”

DOKTRIN DASAR POSITIVISME DAN NEO-POSITIVISME 3


Term „Positivisme“ dipakai pertama kali oleh Claude-Henry de
Rouvroy (1760-1825), seorang Pangeran dari Saint-Simon untuk
menunjukkan metode ilmiah dan perluasan/pemakaiannya dalam
filsafat. Di bawah pengaruh para penyusun Encyclopedia, dia merasa
terpanggil untuk mengembangkan karakter kejelasan dan sistematis
dalam karier ilmiahnya. Positivisme dipahaminya sebagai
pengetahuan total dan uniter. Namun penerapan paham ini
menghantar pada Sosialisme Utopis. Utopia, entah Politik maupun
Religius adalah karakter singular Positivisme. Abad Positivisme
sesungguhnya ditandai oleh satu „iman“ akan keilmiahan fenomen-
fenomen, yaitu Sosiologi dan Sejarah dari satu pihak, Psikologi,
Biologi dan Anthropologi dari pihak lain. Kita simak beberapa
eksponen dari Sosiologi dan Sejarah, lalu dari Psikologi, Biologi dan
Anthropologi.

Tokoh Positivisme dari Sosiologi dan Sejarah adalah Claude-


Henry de Rouvroy conte de Saint-Simon dan Auguste Comte.

Doktrin dasar dan pokok de Saint-Simon:

1. Prinsip: Hubungan sosial menyangkut fenomen-fenomen


fisiologis, sehingga harus dipelajari dari sudut pandang fisik
dengan metode ilmiah-empiris dan dihindari setiap premis
metafisik.
2. Masyarakat adalah organisme kompleks di mana sejarah
merevelasikan evolusi fisiologis sambil menstabilkan hukum-
hukum. Filsafat Sejarah membentuk instrument esensial dari
pengetahuan ilmiah atas masyarakat, khususnya manusia
sebagai bagian integratif yang tak tergantikan. De Saint-Simon

3
Cf. Nicola Abbagnano, “Positivism,” dalam Paul Edwards, The Encyclopedia of Philosophy,
Vol. 5 and 6, pp. 414-419; Antonio Livi, La Filosofia e la sua Storia, La filosofia contemporanea –
L’Ottocento, Vol. III/1, pp. 2002-237.
22
menyangkal hypothesis natralistik atas status a-sosial manusia
(Cf. Homo homini lupus), di mana sejarah tidak berkembang
secara linear tapi dalam alternative jaman organis, di mana
anarki social dan anarki teoretis berkembang secara
bersamaan. Dalam alternatif ini lahirlah progresi yang adalah
afirmasi dari kebenaran baru atas kehancuran prinsip-prinsip
yang secara historis berakhir.
3. Dalam „masyarakat organis“ atau masyarakat politik yang
didasari kerja dan didominasi ilmu pengetahuan, teknologi, riset
empiris dan aplikasi industri sebagai elemen fundamental, yang
menjadi „leaders sejati“ adalah para ilmuwan dan industriawan.
Yang diidamkan bukanlah „masyarakat tanpa kelas“ seperti
dikemukakan Marx tapi masyarakat di mana kebebasan
dirangkum seluruhnya dalam rationalitas sempurna dari
system.
4. Sosiologisme Humaniter: karena merasakan bahwa ratio ilmiah
tidak memadai, de Saint-Simon kembali kepada agama. Dari
kekristenan yang diperbaharui (menurutnya terjadi pada masa
Skolastik), ia menarik prinsip persaudaraan antar manusia
yang merangkum yang ilahi di dalam agama tetapi yang
dikembalikan kepada system moral social. Prinsip fundamental
agama baru ialah “perbaikan kondisi moral dan fisik kaum
miskin.” Dengan ini ia meretas jalan ke sosiologisme umaniter
yang didasarkan atas persaudaraan dalam kerja dan atas
penyelamatan produktivistik kaum Proletar.
Positivisme Sosiologis lalu diadopsi oleh Auguste Comte (1798-
1857) untuk menunjukkan gerakan filsafat besar yang dari
pertengahan abad 19 hingga awal abad 20 sungguh berpengaruh di
negara-negara Barat. Maksud awalnya ialah menghadirkan satu
filsafat sebagai teori ilmiah, di mana dirancang cerita tentang hidup
roh untuk sampai pada “tingkatan positif” berdasarkan hukum 3
tingkatan
23
Karya-karya Comte a.l.: Plan des travaux scientifiques
necessaries pour reorganizer la société, (Penjenjangan studi ilmiah yang
perlu untuk menata masyarakat, 1826-1827), Cours de philosophie
positive, (Kursus Filsafat Positive, 6 Vol., 1830-1842), Système de
politique positive ou Traité de socioligie instituant la religion de
l’Humanité, (System Politik Positive atau Traktat Sosiologi untuk
memantapkan agama manusia, 4 Vol., 1851-1854), Considération
philosophiques sur les sciences et le savant, (Refleksi filosofis atas ilmu
pengetahuan dan ilmuwan, 1825), Discours sur l’esprit positive,
(Risalah atas semangat Positive, 1844), Catéchisme positive, ou
Sommaire exposition de la religion universelle, (Katekismus Positivist,
atau Ikhtisar Exposisi atas Agama Universal, 1852), dan Synthèse
subjective ou Système universal des conceptions propes à l’état normal
de l’Humanité (Synthesis subjektif atau System Universal dari konsep-
konsep khusus bagi status normal Kemanusiaan, 1856). Dari karya-
karya ini dapatlah kita temukan beberapa pokok pemikiran Comte:

1. Hukum 3 tingkatan: Bagi dia, filsafat bukanlah kesadaran


subjektif individu tapi kesadaran social, yaitu subjek sejati
dalam kegiatan berfilsafat. “Bon Sens” (sensus bonum)
menunjuk pada “kebijaksanaan universal.” Comte
sesungguhnya dirasuki oleh konsep pengetahuan yang semata-
mata rationalistic atas pengetahuan, dan mereduksi
pengetahuan hanya pada 1 type dan 1 metode, yaitu
Positivisme. Filsafat lalu menjadi hanya 1 systematisasi dari
ilmu-ilmu. Dalam 1 état (tingkatan, status) social fislafat adalah
moment “yang mendasari.” Setiap tingkatan social selalu
dibangun atas 1 “regim intelektual.” 1 état social pertama-tama
adalah satu kesatuan ide, yang diorganisir (regime) dengan 1
pengetahuan yang kurang-lebih rational di atasnya dibangun
sejumlah tatanan untuk kehidupan bersama. Konsep ini
diambil dari “Roh Objektif” Hegel. Negara (Moment Roh Objektif)
24
secara total bebas dari individu-individu. Prinsip Negara adalah
ordo, hukum, yang mencipta stabilitas dan progresi yang
memungkinkan kemajuan. Dalam perubahan inilah “roh
manusia” bergerak menurut cara adanya melewati 3 tahap.
2. Hukum 3 tahap/status: Teologis, Metafisik, Positif: Tahap
Teologis merupakan tahap “Régime Dewa-dewi”. Metode yang
dipakai: imaginasi yang mendorong ke arah pengetahuan
absolut untuk menemukan Sebab Terakhir. Tahapnya:
Feticisme, Politheisme, dan akhrinya Monotheisme. Tahap
Metafisik berkaitan dengan entitas-entitas abstrak, sehingga
disebut “Régime Entitas“ dan berlangsung dari Abad
Pertengahan hingga Comte. Metode Ilmiah: Lebih rational
namun masih imaginative, di mana fenomen alam coba
dijelaskan dengan kekuatan occultis atau kebajikan yang
terdapat dalam barang-barang. Periode I: Entitas Abstrak;
Periode II: Alam. Reduksi ini melahirkan pengetahuan modern
yang akan menyangkal sebab-sebab transendent dan kembali
hanya kepada alam. Tahap Positif: Inilah tahap „Régime Fakta-
Fakta“ yang didasari Hukum yakni regularitas aktivitas fakta-
fakta. Metodenya: Penalaran untuk menjelaskan inti hakiki dari
barang-barang.
3. Yang positif adalah yang real, yang berguna, meyakinkan,
persis, konstatabile yang merangkum dalam dirinya segala
perbedaan tipis term positif. Yang positif itu memanifesatikan
diri, fenomen, dapat diobservasi, dapat ditemukan dalam
bentuk yang persis, dapat diverifikasi. Objektivitas hanya
mungkin dengan metode ilmu pengetahuan positif. Fakta selalu
memanifestasikan diri dalam regularitas, dan „bagaimana“nya
itulah Hukum. Sedangkan yang tiada selalu merupakan suatu
irregularitas, tidak teratur, tidak memiliki tatanan, tidak kenal
„bagaimana”.
25
4. Filsafat, kebijaksanaan universal dan Agama: Filsafat hanyalah
studi atas generalitas dari ilmu-ilmu yang berbeda-beda yang
memiliki metode tunggal. Filsafat adalah refleksi atas metode
umum ilmu pengetahuan yang tidak mungkin dilakukan oleh
satu cabang disiplin partial. Filsafat adalah refleksi atas
kebijaksanaan yang lahir secara spontan dari jiwa manusia
dalam hidup kolektifnya. Filsafat adalah bentuk tertinggi
kebijaksanaan, ilmu dari disiplin yang paling umum. Filsafat
positive adalah bentuk dari ratio publik, dan karena itu selalu
mampu tampil untuk mengatasi segala kesulitan bila terjadi
krisis. Dari sini akan tampil 3 cara berbeda/ tingkatan
berfilsafat: Theologis, Metafisis, Positiv. Di mata Comte, Subjek
Moral bukanlah Pribadi (Diri Utuh) manusia, tapi Kita sebagai le
Grand Étre, Pribadi Besar. Kemanusiaan adalah tujuan ultimo
sejarah yang tercapai dalam tahap Positive. Bila sudah tercapai,
otomatis dalam l’Humanité berperanlah Divinité. Manusia
adalah Masyarakat dan inilah yang Sacral.

PENGARUH FILSAFAT COMTE:

Di Inggris: John Stuart Mill (Utilitarisme sebagai “Positivisme


Ethis”), Herbert Spencer, Georg H. Lewis, Henriette Martineau,
Richard Congrave.

Di USA: John Stuart Mill, William James.

Di Italia: Ada analogi dengan Positivisme Eropa karena berakar


pada Positivisme tapi juga pada Naturalitsme Renaissance
(Pomponazzi, Machiavelli, Telesio, Campanella, Galileo-Galilei),
dalam Historicisme Kritis (Giambattista Vico) dan dalam
Ekonomisme Juridis (Romagnosi). Yang khas pada filsuf-filsuf
26
„Positive“ Italia (Carlo Cattaneo, Giuseppe Ferrari, dan Roberto
Ardigò adalah “Positivisme Paedagogis”.

Di Perancis: “Postivisme Sociologis” dengan tokohnya a.l.:


Maximilien-Paul-Émile Littré, Pierre Laffitte, Hippolyte Taine,
Joseph-Ernest Renan, Émile Durkheim.

Di Jerman dan Swiss: „Positivisme Gnoseologis“ dengan tokoh-


tokohnya seperti Ludwig Feuerbach, Franz Brentano, Eugen
Düring, Ernst Mach, Hans Vaihinger (cf. Die Philosophie des Als-
Ob..., The Philosophy of Either-Or), Laas dan Richard Avenarius.

Positivisme juga berkembang dan merambah bidang-bidang


Ilmu yang mengalami pengembangan secara cepat dan mendasar
seperti Psikologi Experimental (Fechnet, Wundt), Biologi dan
Evolusionisme (Herbert Spencer, Charles Darwin) dan Ilmu Bahasa
dan Logika (Frege).

PERUBAHAN / MENJADI DALAM FILSAFAT KONTEMPORER


Dalam refleksi filosofis Klasik, Abad Pertengahan dan dalam
beberapa kekecualian Filsafat Modern, Ada selalu diunggulkan,
ditempatkan pada posisi pertama. Parmenides mengemukakan Ada.
Plato mengklaim Idea sebagai realitas sejati. Aristoteles
menyimpulkan Tuhan sebagai Substansi paling sempurna. Plotinus
menampilkan Yang Satu sebagai realitas sejati. Inilah pikiran para
filsuf yang berusaha mendasarkan refleksi mereka atas unsur statis
atau permanent realitas yang jadi tolok ukur kebenaran. Inilah
pemikiran filsuf-filsuf pendukung Metafisika serius, yang
berpandangan bahwa Ada selalu merupakan yang pertama dan
utama, menduduki posisi pertama, sedangkan Perubahan/Menjadi
hanyalah menempati posisi kedua. Bagi mereka Perubahan/Menjadi
selalu disubordinasikan di bawah Ada.
27
Sebaliknya dalam lingkungan fenomenal, perubahan atau
proses menjadi selalu merupakan sesuatu yang real, dialami, tak
tersangkalkan. Herakleitos begitu terbuai dengan perubahan yang
terus-menerus berlangsung. Dia mengatakan bahwa segalanya
mengalir dan pergi, sehingga kita sulit bertemu dengan aliran air yang
sama untuk kedua kalinya di sungai yang sama. Dengan doktrin
Panta-rhei-nya dia menyangkal Ada, yaitu unsur permanent yang
bersifat tetap. Hidup berlangsung lalu lewat, tidak ada sesuatupun
yang bersifat tetap. Yang tetap itulah perubahan itu sendiri.

Bagaimana perkembangan Doktrin Ada dan Menjadi ini digeluti


dalam refleksi filosofis Jaman Kontemporer? Persoalannya sungguh
rumit dan kompleks. Kita focus pada beberapa soal khusus yang
berkembang di Jerman dan Perancis. Georg Simmel (1858-1918)
berpendapat bahwa Diri (Selbst, das Ich, Ego) dalam doktrin filosofis
Kant merupakan satu entitas abstrak, sementara kesadaran manusia
terlebur dalam arus kehidupan, yang merupakan satu keseluruhan
materi dan roh, idividu dan sosialitas, masa kini dan masa lampau.
Symbolnya ialah mata uang, sebagaimana diuraikannya dalam karya
Philosophie des Geldes, (terbit tahun 1900).

Hidup sepatutnya dilihat dan dipahami dalam terang kematian,


sebagaimana halnya forma adalah limit dan akhir dari setiap realitas.
Hidup cenderung untuk meluas, terangkat, dan akhirnya mengatasi
kematiannya. Dalam proses ini hidup itu merupakan konfrontasi aktif
terhadap lingkungannya yang memberinya ruang dan batas.
Eksistensi menghasilkan bentuk-bentuk sosio-kultural yang
menariknya ke proses kreatif hidup, tetapi yang lalu menjauh darinya
sambil merealisasi hukum dan dinamikanya yang sudah tidak
ditemukan lagi dalam originalitasnya. Hanya lewat partisipasi dalam
„budaya objektif“ (ilmu pengetahuan, hukum dan agama), individu
menemukan “budaya subjektif”nya. Namun ini mencipta suatu konflik
tetap dan destruktif, dalam arti bentuk-bentuk objektif meredupkan
28
perkembangan kreatif eksistensi dengan memberinya suatu hukum
eksternal dan mendorongnya menuju ekstraneitas ini. Tragedi dalam
kebudayaan terdapat dalam fakta bahwa kekuatan-kekuatan
destruktif membelenggu individu persis dari stratanya yang paling
dalam, yaitu ada-nya sendiri. Tindakan manusia tidak tergantung dari
norma-norma universal tetapi dari keharusan individual, yang
mendasari eksistensi pribadi. Tidak mungkin mempertahankan
keharusan tak terbatas dari hukum berkarakter universal dan
keunikan historisitas individu yang berkarakter individual dalam
kewajiban moral.

Kant yang berpandangan bahwa jangkauan ilmu pengetahuan


harus dibatasi, menghantar kepada Agnosticisme di bidang ilmu
pengetahuan sendiri. Konsekuensinya untuk dunia filsafat ialah
bahwa filsafat bertugas untuk mengambil serius ketidakmampuannya
menjadikan dirinya Metafisika, yaitu Ilmu tentang Totalitas (cf.
Ketidakmungkinan Metafisika dan bukti atas Ada-Nya Tuhan). Di
bawah perkembangan dan pengaruh Positivisme yang begitu kuat
merambah dunia ilmu pengetahuan, terkenallah motto para Positivist
Jerman, Inggris dan Italia: „Keine Metaphysik mehr!“ Namun kita
perlu camkan, bila mereka bicara tentang „Metafisika“ yang
sesungguhnya dimaksudkan adalah „Ilmu Logika“ Hegel, tepatnya
„Idealisme“ Hegel, dan dengan ini Positivisme meretas jalan ke
„Immanentisme Sistematis.“

KRITIK ILMU PASTI DI PERANCIS DAN CONTINGENTISME ÉMI


BOUTROUX

Positivisme yang berkembang pesat sebagai akibat dari


perkembangan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi, sebenarnya
merupakan reaksi terhadap Idealisme. Para filsuf Positivisme
mengabsolutkan pengetahuan ilmiah sebagai sesuatu yang tidak
dapat diganggu-gugat. Tetapi dikalangan para ilmuwan dan filsuf, ada
29
juga yang secara kritis mempelajari kharakter dan keterbatasan
pengetahuan ilmiah positif. Salah satu di antaranya adalah Étienne
Émile Boutroux (1845-1921).

Dari Profesornya Jule Lachelier Boutroux memperoleh


bimbingan untuk mempelajari pemikiran Kant secara mendalam.
Pada periode sesudah Kant, persoalan Kebebasan dan Determinisme,
yang terkenal sebagai konflik antara ilmu dan kesadaran merupakan
persoalan dalam filsafat Perancis. Persoalan ini terus hidup juga di
abad 20. Dalam mempelajari prinsip-prinsip ilmu pengetahuan,
Boutroux yakin bahwa sebab-sebab mekanistis tidak pernah cukup
untuk menjelaskan seluruh realitas.

Dalam karyanya yang utama De la Contingence de lois de la


nature, (Paris, 1874, diterjemahkan oleh F. Rothwell The Contingency
of the Laws of Nature, Chicago, 1916, yang kemudian dikembangkan
dalam kuliah di Sorbone dan dipublikasikan tahun 1895 dengan judul
De l’Idée de loi naturelle dans la sience et dans la philosophie
contemporaine, atau Natural Lawin Science and Philosophy, London,
1914) Boutroux menegaskan bahwa ada suatu diskontinuitas dasar
yang memisahkan berbagai level-level pada ada, yakni materi,
instinct, pikiran, dan setiap level ini tidak bisa direduksi kepada
prinsip sebelumnya. Konsekuensinya, tidak mungkin mereduksikan
pengetahuan dari setiap level kepada pengetahuan atas level lainnya.
Misalnya, forma hidup yang lebih tinggi, walau memiliki
kharakteristik fisis-khemis, tidak dapat diungkapkan sepenuhnya
dalam term-term dari hukum mekanis dunia materi. Sebagai bukti
gagasannya, Boutroux menunjuk konsentrasi energi raksasa dalam
alam semesta hanya bisa dimengerti atas dasar kemungkinan dari
kontingensi dan tindakan penciptaan pada awal mula. Proses evolusi
biologis menghasilkan sesuatu yang baru. Ini berarti, hukum alam
bukanlah satu dari permanensi dan identitas, tapi satu dari
perubahan.
30
Boutroux menganalisis prinsip perubahan ini dengan pertama-
tama menganalisis konsep tentang necessitas (keharusan), lalu
menunjukkan perbedaan konsep ini dengan determinisme. Necessitas
murni adalah identitas: A=A. Tapi equivalensi empiris, seperti
A=a+b+c bukanlah suatu tautology, dan kerena itu, segala sesuatu
yang berhubungan dengan realitas empiris, adalah synthesis.
Boutroux menerima putusan synthesis a priori dari Kant, misalnya
“Setiap perubahan mempunyai sebab.” Bahkan synthesis empiris a
posteriori menentukan semacam “necessitas” dalamnya synthesis ini
memperlihatkan hubungan yang tetap. Thus, Boutroux yakin bahwa
walaupun pernyataan-pernyataan ini dalam arti tertentu necessarium,
namun semua tautology adalah continges. Jalan argumentasinya:

1. Realitas yang kita alami bukanlah necessarium, karena data


konstituennya tidak dapat direduksi dari suatu di luar dirinya
sendiri.
2. Walau kita dapat menemukan identitas kuantitatif tertentu di
dalam perubahan fisis, tapi kita tidak dapat menyangkal fenomen
baru yang kasat mata dari pengamatan awal. Restriksi ini bahkan
lebih jelas di dalam perubahan biologis di mana perubahan
kuantitatif lebih berarti.
Dapat disimpulkan, system filsafat Boutroux beralih dari riset
atas identitas substansial ke pengkajian histories atas barang-barang.

Boutroux menghadapi dilemma: Apakah sungguh ada


necessarium tanpa determinisme, atau determinisme tanpa
necessarium? Atau bagaimana kita mempertimbangkan
diskontinuitas yang nampak dalam fenomen dan pikiran kita atas
fenomen itu?

Jawaban atas pertanyaan kedua ternyata lebih berpengaruh


terhadap perkembangan filsafat Perancis. Dia berpendirian bahwa
pikiran kita sendiri pluralistic, dan pluralisme ini ternyata ditentukan
31
secara fundamental oleh pertimbangan pragmatis. Hukum ilmiah kita
perpegang pada “Kekurangan yang paling kurang cacatnya” (cf. minus
mallum) yang memungkinkan kita berhubungan dengan realitas yang
berubah.

Sebagai solusi atas persoalan diskontinuitas realitas material


dengannya pikiran kita berhubungan, Boutroux tawarkan sesuatu
dari system metafisik. Prioritas pikiran adalah sedemikian rupa
sehingga realitas dilihat sebagai persebaran dalam hirarki
kesempurnaan dari kesempurnaan spiritual dalam Allah yang makin
menurun hingga materi murni. Manusia dilengkapi spontanitas murni
dan kebebasan, yang dapat dilahirkan dalam habitus atau semata-
mata dalam mengulangi pola tingkah laku. Pada titik ini Boutroux
bertanya, apakah tidak mungkin bahwa hukum alam memancarkan
degradasi mental ini? Oleh pikiran atas invasi seluruh realitas yang
bervariasi dalam beragam dalam gradasi mental, Boutroux disebut
sebagai Pragmatist murni, atau subjective idealist. Bagaimanapun
Boutroux berpendirian, tidak ada perbedaan esensial antara makluk
hidup dan benda mati; objek-objek material sudah memiliki suatu
cirri umum seperti kita, semacam tendensi kepada spiritualitas, yang
sudah terkandung dalam materi, yang lebih berkembang dan bebas
dalam bentuk-bentuk hidup yang lebih tinggi. Ini berarti bahwa dalam
causalitas mekanistis sudah terkandung causa teleologis.

Tugas:

1) Pelajari dari berbagai sumber pandangan Contingentisme


dalam Filsafat.
2) Buktikan pandangan Contingentisme dalam system filsafat
Boutroux dan kaitannya dengan persoalan “Menjadi.”

HENRI BERGSON
32
Hidup dan Karya Henri Bergson
Henri Bergson, si filsuf Yahudi, lahir di Paris tahun 1859 dan
meninggal di sana tahun 1941. Dia seorang sarjana Matematika dari
École Normale, di mana dia menjadi seorang mahasiswa Boutroux. Dia
kemudian menjadi Dosen di École Normale (1897) dan 1899 dipanggil
ke Collége de France. Seorang alumnus yang adalah Jacques Maritain
dan Étienne Gilson. Tahun 1914 dinominasi sebagai Akademisi
Perancis dan tahun 1928 menerima hadiah Nobel untuk bidang
Literatur. Berkat persahabatannya dengan Antonine-Dalmace
Sertilanges, ia menjadi sangat dekat (walau harus secara sembunyi-
sembunyi) dengan agama Katolik.

Karya-karya Bergson: Essai sur donneés immediates de la


conscience (1889); Matière et Mémoire (1896); Le Rire (1901);
Introduction á la Métaphysique (1903); L’èvolution créatrice (1907);
L’intuition philosophique yang terkenal dengan judul La Pensée et le
Mouvant (1911); L’énergie spirituelle (1919); Durée et Simultanéite
(1922); Les deux Sources de la Morale et de la Réligion (1932).

Pandangan Bergson Atas Problem Metafisis “Menjadi”


Intuisi Vs Scienticisme
Dari para pemikir Perancis abad 18 Bergson mendapatkan motif
untuk mengeritik scienticisme, khususnya psikologisme Maine de
Biran, atas filsafat kebebasan Jean – Gaspar Ravaissoen – Mollien
(1813-1900), atas Neocriticisme Charles Renouvier (1815 – 1903) dan
atas Contingentisme Boutroux.

Pandangan Bergson yang lebih bercorak spiritual sebetulnya


mempresentasikan pungutan anti-rasionalisme Perancis, perlawanan
terhadap tradisi Descartes, melawan rasionalisme yang
mengabsolutkan matematika. Usaha spekulatif Bergson secara
khusus diarahkan untuk membebaskan biologisme dan evolusionisme
33
dan menyelaraskannya dengan arus berlangsungnya (durée) hidup,
dan memberikan kepada hidup suatu makna yang tidak semata-mata
biologis dan materialistis, tapi yang secara fundamental bersifat
spiritual berdasarkan prinsip intuisi, prinsip kejadian dan hasrat vital
(élan vital) sebagai ekspresi metafisik dari realitas. Singkatnya,
pungutan conscience vs raison. Pandangannya disebut Intuitionisme,
tapi bukan irrationalisme. Karena intuisi tidak mengeksklusifkan
rasionalitas. Bergson terutama menantang metode pengetahuan yang
diperoleh lewat konsep-konsep (analisis dan synthesis, induksi dan
deduksi) yang merupakan kekhasan intelektualisme ilmiah-filosofis.
Pengetahuan intelektualisme selalu simbolis, ekstrinsik, abstrak,
relative. Filsafat dan ilmu pengetahuan bagaikan 2 jembatan, yang
tidak berhubungan dengan aliran sungai kehidupan. Sebaliknya
Bergson mempertahankan metode intuisi langsung (intuition
immediate), yakni pengetahuan yang bersifat intrinsic, konkrit,
absolute. Hanya intuisi yang mengalir bersama sungai kehidupan,
merupakan pengetahuan atas realitas pengalaman langsung atas
kehidupan.

Dia menulis sbb: “Realitas adalah satu proses penciptaan abadi


tanpa awal dan akhir, yang tidak memiliki 2 raut wajah yang sama,
tapi yang menanggungkan dalam setiap kejadiannya satu aspek
original dan tak terbayangkan lebih dahulu. Ia adalah satu aliran
tanpa henti, dalamnya tidak ada sesuatupun yang terus bertahan,
satu kontinuitas yang hidup dan bergerak, tanpa terbagi-bagi atas
bagian-bagiannya.”

Intuisi berarti menghidupi sesuatu dari dalam, dan karenanya


merupakan satu cara absolute mengetahui, berbeda dari cara relative
yang ada dalam analisis; Intuisi adalah sejenis simpathia intelektual
yang menangkap esensi suatu objek, yang jauh lebih dalam dan kaya
dari setiap ekspresi simbolis yang ada dalam pengetahuan ilmiah yang
hanya membuat foto atas objek-objek secara ekstrinsik.
34
Lewat intuisi, kita juga mengetahui diri kita. Esensi diri kita
adalah suatu kelangsungan real, aliran abadi, di mana setiap
statusnya saling menembus sebagai kesatuan. Introspeksi
menunjukkan bahwa hidup rohani kita tidak lain dari pengalaman
mendalam dari sesuatu yang terjadi, yang bersifat superficial ada diri
kita yang satu, permanent dan selalu baru.

Sumber dari segala sesuatu yang terus mengalir adalah élan


vital, satu hasrat vital, impuls yang bukan merupakan suatu
substansi tapi kekuatan, penghasil segala bentuk yang selalu baru
dan lebih baik. Élan vital ini merupakan sumber hidup vegetatif dan
sensible, di mana terdapat kekuatan naluriah (instinct) dan intelek.
Pada manusia, élan vital ini terangkat hingga kesadaran dan
kebebasan, namun perkembangan intelek riskan untuk tidak
mengetahui barang-barang real, (intelek mengetahui hanya hubungan
konsep-konsep, dan bukan objek real). Naluri dan intelek bersatu
dalam intuisi, yang merupakan kekuatan pengetahuan dan metafisis.
Pengetahuan atas hidup sebagai ritme dinamis dan sumber yang tidak
pernah kering hanya mungkin tercapai setelah kita sadar akan
kekeliruan dari hypothesis mekanistis dan finalistis.

Berdasarkan schema ini, Bergson juga membagi moral atas


moral statis dan moral dinamis. Demikianpun agama, dibaginya atas
agama statis dan agama dinamis.

Sebenarnya Bergson menghadirkan Kontraposisi yang sudah


ada dalam pikiran Kant yakni Intuisi yang bersifat Begriff (konsep).
Bagi Bergson, intuisi adalah alat yang cocok untuk mengetahui
realitas hidup. Inilah kharakteristik manusia sebagai “homo sapiens.”
Sedangkan konsep adalah alat untuk pengetahuan yang terarah
kepada aksi, yakni pengetahuan praktis dan teknis, khususnya untuk
manusia sebagai “homo faber.” Konsekuensinya, intuisi adalah
pengetahuan absolute, sedangkan konsep adalah pengetahuan
35
relative. Bergson membahasakan pandangan ini selanjutnya,
sebagaimana ditegaskannya pada tahun 1903: “Para filsuf sepakat
mengenai caranya kita mengetahui suatu objek: Pertama, subjek
hanya keliling objek itu, karena ia memakai segala symbol untuk
mengungkapkan barang itu. Inilah pengetahuan relative. Kedua,
subjek masuk ke inti objek itu. Itulah yang absolute. Intuisi
didefinisikan Bergson sebagai “type simpathia intelektual melalui
mana subjek mentransformasikan dirinya dalam objek dan
mengidentifikasikan dirinya dengan objek itu. Intuisi ini unik dan
tidak dapat diungkapkan secara tuntas.

Evolusi Kreatif
Dalam karyanya Matiére et Mémoire, Bergson menekankan
affinitas antara dunia materi dan dunia rohani. Menurut Bergson,
universum tidak terjerumus menurut dualisme ekstreem pikiran dan
ekstensi (jiwa-badan) (cf. Descartes), tapi secara fundamental
merupakan satu kesatuan. Ekstensi murni adalah hasil dari abstraksi
dari roh manusia, dan untuk dapat bergiat, selalu terbebani dalam
corporeitas. Kesatuan universum ini digarisbawahi lagi dalam
karyanya L’évolution Créatrice, yang menguraikan konsep kosmologis.
Ada 2 type teori atas evolusi: Teori mekanistist dan finalistis.

Teori Mekanistis yang dikemukakan Charles Darwin, mengerti


evolusi species sebagai necessarium, seharusnya bagi fakta-fakta
kasual. Dalam perjuangan untuk hidup, terjadi satu kejadian kasual
pada satu organisme, dan kejadian ini menjadikannya kuat dan
bertahan hidup. Makluk ini akan menurunkan kharakter ini sebagai
suatu seleksi alamiah, dengan akibat bahwa makluk yang paling kuat
saja yang bisa bertahan hidup. Transformasi species ini tidak
berhubungan sama sekali dengan satu aturan yang ditetapkan lebih
dahulu, tapi mengikuti suatu proses yang seharusnya. Karena fakta
tertentu, perubahan tertentu, evolusi akan berlangsung menurut garis
36
tertentu, tanpa kemungkinan terjadinya hal-hal diprediksi lebih
dahulu.

Sebaliknya, dalam Teori Finalistis, evolusi berlangsung menurut


satu ketentuan dari luar, yakni dari Tuhan, Pencipta dan
Penyelenggara Alam.

Kedua pandangan di atas, yang ternyata sangat dekat dengan


pandangan finalistis atas evolusi, melihat realitas sebagai sesuatu
yang statis. Realitas hanya berlangsung menurut garis ketetapan yang
telah ditentukan itu, tidak bisa lebih! Pada titik ini, Bergson menolak
pandangan Mekanistist dan Finalistis, dan ia menegaskan bahwa
evolusi itu Kreatif, mencipta bentuk-bentuk baru. Evolusi adalah hasil
dari Élan Vital, yang adalah satu kekuatan imanen dalam materi.
Hasrat hidup ini tidak mengikuti garis peredaran tunggal, tetapi
bercabang, mengikuti jalan berbeda, satu dari antaranya berakhir
dalam tumbuh-tumbuhan, yang lainnya pada insekt, yang
menampakkan penyempurnaan maksimum dari instinct, yang lainnya
pada manusia (homo faber). Cirikhas manusia adalah intelek, yakni
fungsi abstraktif dan konseptualisasi yang membantu dalam kegiatan
hidup. Berkat Hasrat Hidup ini, universum jadi dinamis. Dengan
pandangan ini, Bergson menyumbang pemikiran tentang adanya
datum pertama dari hanya sekedar sensus communis, yang terdapat
dalam kejadian dan waktu.

Dua Sumber Moral dan Agama


Dalam karyannya Le deux Sources de la Morale et de la Réligion,
Bergson menegaskan bahwa fakta agama dan moral tidak bisa
bersumber hanya pada satu prinsip. Menurut Positivisme, khususnya
pandangan Lévy-Bruhl, satu-satunya sumber moralitas adalah
tekanan social, yakni keharusan atas apa yang mutlak perlu demi
konservasi social. Bergson menegaskan bahwa ini hanya salah satu
dari moralitas. Tekanan social memang perlu agar masyarakat bisa
37
bertahan hidup. Setiap individu memang berhubungan erat dengan
dan menjadi bagian integral masyarakat. Tapi ia tetap seorang pribadi
original, tidak terukru secara kuantitatif, tidak terungkapkan. Hidup
masyarakat selalu merupakan msayarakat yang tertutup (société
fermée), tapi kemanusiaan selalu merupakan sosialitas terbuka
(sociéte ouverte), yang merangkum bukan hanya semua orang yang
menjadi anggota masyarakat, tapi juga dan terlebih manusia sebagai
manusia yang selalu terbuka kepada infinitas. Moralitas Kreatif
didasarkan atas pribadi dan bermuara pada kemanusiaan. Ia
didasarkan atas satu emosi, sentiment, yang tidak lain dari partisipasi
dalam hasrat hidup mengatasi materi dan selalu berkembang.
Cirikhasnya adalah kasih kepada sesame. Sumbernya selalu misterius
dan mistik. Moralitas ini tidak mengajar dan tidak memiliki hukum,
tapi mengikuti inspirasi, panggilan kea rah kesempurnaan.

Demikian juga ada 2 type agama. Yang pertama, type agama


statis, yakni agama yang tercipta oleh “fungsi fabolatrix” (cerita
dongeng, hikayat) dari roh manusia, yakni aktivitas lewatnya
diciptakan dongeng-dongeng, hal-hal fantastis (seperti mithologi,
dsb.), untuk menjelaskan hal-hal alamiah dan manusiawi. Fungsi
fabolatrix ini ialah untuk merem impulsi egoistis dalam diri manusia
dan menghantarnya pada intelek, sambil menciptakan mithos dan
dewa/I yang menghukum kejahatan dan mengganjari yang baik.
Kebaikan dan kejahatan selalu turut bermain dalam kehidupan
social. Dan agama statis berfungsi untuk menjadikan masyarakat itu
bertahan. Agama statis juga memiliki fungsi peneguhan melawan
pessimisme dan membuat orang berpikir lebih rational. Hanya pada
hal-hal alamiah yang tidak bisa dikuasai dengan teknik, kita berharap
bahwa alam sendiri akan menjaga equilibrium.

Lain sekali sifat agama dinamis, yakni agama para mistik yang
bersifat terbuka. Saat jiwa kita disapa oleh gaung suara sang mistik,
kitapun sadar, bangkit. Misticisme ada pada agama statis seperti
38
intuisi ada adlam instinct. Muaranya adalah terjadinya suatu kontak,
suatu coincidentia partiale dengan daya cipta dari hidup.

Dengan pandangan ini, Bergson menekankan hal-hal metafisis


dan realistis dalam pengetahuan atas Allah dan hidup religius.

NICOLAI HARTMANN
Nicolai Hartmann (1882-1950) adalah seorang pemikir dari
aliran Realisme Metafisis. Ia merupakan seorang guru dari Martin
Heidegger. Ada beberapa arus filsafat yang mempengaruhi Hartmann.
Pertama, Neo-Kritisisme dari Sekolah Marburg. Kedua, Fenomenologi
Husserl. Dalam hubungan dengan fenomenologi, Hartmann coba
mengatasi keterpencilan subjektif Husserl dengan mengemukakan
pandangan metafisis lebih seimbang, yang dia sebut Ontology Alam
dan Nilai-Nilai. Setelah melihat krisis yang melanda Idealisme dan
Positivisme, Hartmann mengemukakan Kritisches Realismus (Realisme
Kritis), yang ternyata adalah realisme dan pengertian umum.

Karya-karya: Grundzüge einer Metaphysik der Erkenntnis,


(Prinsip metafisis pengetahuan, 1921); Die Philosophie der deutschen
Idealismus (1923-1929); Ethik (1926); Systematische Philosophie in
eigener Darstellung (Filsafat Sistematis: Satu Proyek, 1931); Zur
Grundlegung der Ontologie (Pendasaran Ontologi, 1935).

Lewat yistemnya, Hartmann ingin mendasarkan satu metafisika


atas Ada. Secara fundamental dia mengambill jarak terhadap tradisi
subjektivitas idealisme, dan menekankan bahwa di dalam mengetahui
terkandung satu penciptaan baru dan khusus. Kegiatan mengetahui
bukan hanya activitas imanen tapi juga transenden, dalam arti
menunjuk ke suatu objek di luar pengetahuan itu sendiri. Juga
Gnoseologi dikaitkan dengan Ontologi, yang diaplikasikan Hartmann
sebagai analisis atas kategori objektif. Dalam arti ini, pengetahuan
dimengerti sebagai identitas dari kategori kognitif dan kategori Ada
39
yang objektif, namun yang terealisir hanya secara partial. Dalam
realitas, selalu tinggal satu “kelebihan” yang dapat diketahui.

Menynakgut Kategori, Hartman mengemukakan berbagai


kelompok Kategori sbb:

1. Kategori Moral: Modus dari realitas, possibilitas dan necessitas,


memungkinkan subdivisi dalam berbagai lingkungan esse (ada),
misalnya ada yang real (temporal), ada yang ideal (supertemporal).
Ada yang real dibagi lagi atas: ada inorganic, ada psikologis, ada
rohaniah. Pada lingkungan real dari ada, Hartmann
mempertahankan koinsidensi yang possible, real dan necessarium.
2. Kategori Fundamental: Kategori ini berlaku juga untuk seluruh
ada. Hartmann mengurutkan semuanya menurut urutan berikut:
1). Principium dan concretum; 2). Structura dan Modus; 3). Forma
dan Materia.
3. Kategori Partikular: adalah kategori dari fisika, biologi,
matematika, dst. Sebagai ilmu-ilmu sektoral.
Berdasarkan inspirasi Max Scheller, Hartmann mengeritik
Formalisme Etik Kant, dan dia sebaliknya bicara tentang Materiale
Werethik (Etika material nilai-nilai).

ALFRED NORTH WHITEHEAD


A.N. Whitehead (1861-1947) yang sejak 1924 menjadi Dosen di
U.S.A., mewakili tingkat vitalistis dari dunia Anglosaxon. Dengan
karya utamanya Process and Reality (1929), dia berusaha
mengemukakan pandangan spekulatifnya atas dunia. Dia mengkritik
beberapa pandangan equivok dalam dunia barat: pengertian
bercabang roh-materi, pembagian klasik atas substansi dan accidens,
atau konsep klasik atas waktu. Singkatnya, dia ingin mengatasi
kekeliruan yang lahir dari kebingungan (kesenjangan) antara yang
abstrak dan konkrit. Lalu diolahnya satu system kategori yang
ternyata sangat rumit, dengan maksud untuk merangkum seluruh
40
yang real. Real berarti “Prinsip Ontologis,” selalu merupakan kejadian
tunggal yang konkrit.

Seluruh realitas adalah satu kejadian berproses, di mana


realitas itu mengikuti “immortalitas objektif.” Setiap kejadian ditandai
banyak determinasi, yang berasal dari masa lampau objek ybs. Dan
yang terarah ke masa depan. Barang-barang real yang mewakili
kejadian-kejadian memilih secara bebas satu kemungkinan dan
mencapai status realisasi saat kemungkinan itu jadi konkrit (real).
Proses ini berpolarisasi: kutub fisis dan kutub mental (sensasi
subjektif). Dalam prose situ, barang-barang berhenti dengan
menerima isi baru tapi juga sambil membatasi yang lain. Mereka lalu
jadi isi bersama sebagaimana dimaksudkan dalam forma setiap
barang yang real. Realisasi dari kejadian-kejadian, misalnya
kontemporaneitas disebut oleh Whitehead nexus (ikatan, sambungan).
Menurut tingakt kompleksitasnya dan kegiatan timbal-balik antara
kejadian-kejadian itu, mereka juga dapat merupakan kesatuan yang
menjamin kelangsungan.

Satu molekul cellular (sel), misalnya, merupakan bagian dari


kesatuan “terstruktur” sebab dalam kesatuan itu dia memiliki
qualitas, yang tidak mungkin dimiliki di luar struktur itu. Semua
kemungkinan dibatasi bersama oleh objek-objek atemporal. Barang-
barang menjadi real, hanya kalau terealisir dalam satu kejadian di
mana ada satu tujuan.

Hubungan kejadian-kejadian itu tergantung dari kegiatan


penyelenggaraan Ilahi, prinsip dari segala sesuatu yang konkrit. Ini
berarti Tuhan disatukan pada setiap ciptaan, sebagaimana
diungkapkan dalam imaginasi atau symbol. Dunia dan setiap
elemennya dimengerti Whitehead sebagai satu organisme, di mana
untuk setiap elemen berlaku satu arti khusus untuk dirinya sendiri
41
dan untuk keseluruhan. Organisme ini ditentukan oleh satu
creativitas sempurna.

JOSÉ ORTEGA Y GASSET


Riwayat Hidup
Dipengaruhi oleh “Sekolah Madrid” Ortega (1883-1955) adalah
seorang filsuf yang lahir dari keluarga yang sungguh merasa
terpanggil untuk hal-hal politik (cf. “Problem Spanyol”) dan
intelektual. Ia belajar di College Yesuit di Madrid, pindah ke Jerman
(pelarian) karena pemberontakan orang Basque, dan tahun 1910
menjadi Profesor di Universitas Madrid hingga tahun 1936. Ortega
selalu bersikap kritis terhadap Spanyol tradisional yang terinstalasi
dengan menekankan sikap “intelektual bijak” yang berusaha
menjembatani dunia literature dan teori murni. Karena perlawanan
sipil Spanyol, ia pindah ke Perancis dan Argentina, lalu kembali ke
Spanyol (Madrid) dan tetap konsisten dengan pemikiran filsafatnya. Ia
memiliki banyak murid yang terkenal, antara lain Julián Marias,
Garcia Morente, Xavier Zubiri, José Luis, López Aranguren.

Selama PD I, ia mendirikan Liga de educación politica. Menurut


analisisnya atas “persoalan Spanyol”, persoalan besar yang sedang
dihadapi ialah dekadensi secular yang mengakibatkan pertumbuhan
jumlah “manusia-massa” (“hombre-masa”) dengan cirikhas sbb:
“ekspansi liberal dari keinginan vitalnya;” “tidak peduli terhadap
instansi superior manapun.” Dalam ungkapan singkat: “seňorito
satisfecho” (“kenikmatan yang dipertemukan”). Untuk mengatasi
dekadensi ini, ia menekankan kesadaran kembali akan misi massa ini
untuk meneladan mereka yang terbaik dalam mengusahakan
kebajikan.

Beberapa Pokok Pikiran Filosofis Ortega


“Ratio-Vitalisme”
42
Moment kedua refleksinya diarahkan pada pengembangan
pemikiran filosofis menyangkut jawaban atas berbagai stimulus dan
situasi luar. Ia menegaskan doktrinnya tentang ketergantungan yang
tak terhindarkan dari situasi: “Yo soy yo y mi circunstancia” (Saya
adalah saya dan suasana saya). Dalam hubungan dengan kalimat ini,
ia melukiskan “perspektivisme” dengan menekankan bahwa perpektif
merupakan satu komponen tak terhindarkan dalam realitas. Realitas
yang saya alami selalu merupakan data bagi subjek yang sudah
terinstalasi dalam satu situasi local, temporal dan social tertentu.
Kebenaran absolute seharusnya adalah integrasi hirarkhis dari
totalitas segala perpektif yang mungkin, tapi integrasi ini tidak
mungkin bagi manusia yang sudah selalu berpikir menurut situasi
tertentu, yakni situasinya. Dari sini, dapat dikemukakan bahwa
relativisme membesar-besarkan fenomen. Realitas bukanlah realitas
tanpa aku, tapi realitas itulah yang berada. Di hadapan idealisme
(aku tanpa barang-barang) dan di hadapan relativisme (barang-barang
tanpa aku, aku bagaikan salah satu dari barang-barang itu) problem
pengetahuan mendapatkan solusinya hanya dalam formula: yo con las
cosas (saya ada bersama barang-barang). Karena itu, hidup dalam arti
biografis (hidup personal, histories dan bertanggungjawab)
membentuk “la realidad radical” (realitas radikal), yakni realitas
pertama dan primordial, dalamnya segala yang lain itu
disubordinasikan.

Pikiran Ortega ini sebenarnya mendapatkan lingkungan


historiesnya dalam sekolah Marburg. Dalam karyanya El tema de
nuestro tiempo (1923) Ortega merumuskan teori “Raciovitalismo”
(Vitalisme Rationale) sebagai lawan atas aliran filsafat yang
mengagungkan irasionalitas (Bergson, Freud, Klages). Hidup di sini
dimengerti bukan hanya sebagai pengalaman konkrit (hidup dalam
arti biografis) tapi terlebih strata biologis, yang disakralkan sebagai
“nilai otonom.” Di hadapan Rationalisme sebagai unsure dominant
43
dalam kebudayaan Barat dan di hadapan Vitalisme Irrationalistis
(Primitivisme, seperti dikemukaan Rousseau), Ortega mencanangkan
Vitalisme Rasional, di mana ratio menjadi alat dari hidup, yang tanpa
henti menjadi dirinya sendiri, sekaligus hidup. (razón vital).

Dalam karyanya Historia como sistema (1941) dapat


dikemukakan doktrin umumnya tentang sejarah: El hombre no tiene
naturaleza, sino historia (manusia tidak mempunyai kodrat, tapi
mempunyai sejarah). Sejarah adalah system pengalaman manusia
yang membentuk satu matarantai tak bersisik dan unik. Untuk
mengerti sejarah, perlu menggunakan ratio secara baik, sehingga dia
menjadi razón histórica.

Hidup itu rahasia


Sejak 1929 Ortega mengadakan kuliah dalam bentuk teater
yang menyimak “profanitas sebuah teater” (bukan di Universitas
karena demonstrasi para mahasiswa), dengan judul Qué es filosofia?
(Postumum 1958). Dalam kuliah ini, Ortega menyamakan massa
dengan mereka yang terbaik, seperti fisika pada metafisika. Menurut
Armando Savignano, kursus ini merupakan manifestasi dari “ratio-
vitalisme.” Tujuan kursus ini bukan untuk memberikan introduksi
dasar filsafat, tapi untuk mengevaluasi keseluruhan filsafat, yang
adalah berfilsafat itu sendiri, dengan menempatkannya di bawah
analisis yang tajam dan ketat. Dengan kata lain, ia ingin menjawab
pertanyaan lama, “Mengapa manusia terpanggil untuk berfilsafat?
Mengapa manusia normal terarah kepada filsafat? Sebab secara
spiritual dan spikologis, manusia rasa terdesak untuk memiliki
pengetahuan integral atas dunia atau universum. Dalam diri setiap
orang terdapat satu status “trans-ilmiah” atas dunia yang dapat
memimpin eksistensi kita secara lebih untuk menyimak rahasia dunia
dan hidup, lebih dari sekedar mengetahuinya sebagai kebenaran
ilmiah.
44
Ortega sebenarnya mengundang kita untuk melihat seluruh
kedalaman rahasia realitas dan barang-barang yang ada di seputar
kita. Kita perlu pergi untuk menyentuh rahasia hidup setiap orang,
untuk mengalami dan menyimak kedalaman rahasia itu. Supaya roh
kita dapat hidup, perlu membunuh masa lampau, tapi ini tidak
mungkin terlaksana, kalau pada saat yang sama, tidak menghidupi
masa lampau itu dalam keintimannya, Ini berarti mengatasi
(mematikan) sekaligus menghidupi masa lampau dengan
merefleksikannya secara baru. Kita terpaksa harus memikirkan
kembali Descartes, seperti Descartes terpaksa memikirkan kembali
Aristoteles. Tanpa pemikiran kembali, tak mungkin ada refleksi. *****

BAB 4

NEOPOSITIVISME DAN LAHIRNYA PSIKOANALISA

4.1 SIGMUND FREUD

4.1.1 Riwayat Hidup, Karya dan Formasi Ilmiah-Filosofis

4.1.1.1 Bidang Ilmu Pengetahuan, Medicine dan Terapi Hipnotis

Sigmund Freud (Freiburg, Moravia, 1856-London, 1939) adalah


pendiri dan pemimpin kharismatis psikoanalisa. Sebagai seorang
ilmuwan (Hibrani-Austria), ia menjadi peletak dasar suatu orientasi
baru yang kurang popular dan kurang dikenal, Psikoanalisa. Di Wina
ia masuk Fakultas Ilmu Pengetahuan, sambil melibatkan diri dalam
penelitian murni. Pembimbingnya adalah psikolog terkenal John
Brücke, yang adalah seorang ilmuwan sejati dan banyak berjasa
dalam penelitan ilmiah di Universitas Wina. Sikap ilmiah inilah yang
sungguh mempengaruhi Freud. Karena kesulitan keuangan, ia lalu
pindah ke Farmasi, dan tahun 1881 ia bergelar Sarjana Farmasi. 4
tahun sesudahnya ia menjadi Dosen Privat dalam Neuropathologi dan
memperoleh beasiswa untuk studi lanjut. Di Paris, ia berkesempatan
45
berguru juga pada Neurolog kesohor saat itu, Jean-Paul Charcot. Dari
penelitan atas kasus-kasus Histeria, ia sampai pada kesimpulan
bahwa histeria dan neurosis yang tidak lain dari afeksi-afeksi
fungsional, tersebab oleh gangguan organis. Freud menerima konsep
ini, yang baginya adalah hasil lokalisasi fisis dari histeria.

Dalam menangani para penderita hysteria, Freud sungguh


terpengaruh oleh metode Hipnotis dari Charcot, yang juga
dikembankan di Nancy oleh Bernheim dkk. dan dikenal dengan
hipno-sugestif. Juga ia dibantu oleh praktek hypnosis dari Joseph
Breuer di Wina. Dalam menangani kasus Anna O., Breuer coba
hadirkan kembali pengaruh-pengaruh masa silam dari symptom-
symptom dan emosi yang menganggu. Inilah yang dia definisikan
sebagai “penyembuhan/terapi katarsis”. Dari diskusi bersama Freud,
Breuer dipacu untuk memperdalam dan menerbitkan hasil-hasik
pengobatan tersebut. Freud dihantar pada kegunaan terapeutis
“penyaluran” atas beban tekanan emosional dan membawa orang
untuk menyadarinya kembali. Dalam karya bersama Breuer Studien
über Hyteria (1895), Freud mengungkapkan keyakinannya bahwa
“penderita hysteria menderita beban ingatan dari masa lampau.”
Dalam karya ini sudah nampak jelas perbedaan sikap dan pandangan
dari keduannya, yang menghantar Freud pada Psikoanalisa.

4.1.1.2 Psikoanalisa

Freud menggantikan cara hipno-sugestif (“terapi katarsis”)


dengan “asosiasi bebas”. Asosiasi ini menempuh 2 jalan (aplikasi
pandangan Leonardo da Vinci), “jalan pengungkitan” agar pengalaman
yang mendatangkan hysteria itu di bawa kea lam sadar, dan “jalan
pelepasan/pembebasan” dengan mengungkapkannya (dalam bentuk
gambar) berdasarkan symptom untuk sampai pada sebabnya. Tahun
1895-1898 Freud merintis jalan penelitian autoanalisa. Dari perpektif
personal, dia merasa terganggu oleh rasa bersalah dalam hubungan
46
keluarga, sahabat-kenalan, pasien-pasien dan rekan kerja. Mimpi-
mimpinya mengungkapkan satu komflik internal, pengalaman ambigu
antara benci dan kasih dalam relasi dengan ayah. Dia rasakan
“kembalinya endapan perasaan yang ditekan ke bawah sadar” dan
“ambivalensi affektif” yang sangat tergantung pada cara berpikirnya.
Dari metode autoanalisa ini dia temukan alam bawah sadar dan
mekanisme sensor, libido (hasrat seksual) dan Oudipus Complex.

Tahun 1899 ia tulis buku Die Träumdeutung, di mana ia


tegaskan penemuannya bahwa Neurosis berbeda dari orang normal
hanya berdasarkan tingkatan, bukan jenis. Mimpi adalah satu
manifestasi dari material yang mengendap kea lam bawah sadar, yang
benar juga untuk “kasus-kasus symptomatic” dari individu normal:
mimpi, lapsus, amnesis, distraksi, hasrat jiwa, parossisme, paralysis,
kehilangan (lupa) barang-barang. Lahir lagi karyanya yang lain
Psychopothologie des Alltagslebens (1901), dan Drei Abhandlungen zur
Sexualtheorie (1905), di mana diulas persoalan menyangkut
penyimpangan sexual, pentingnya sexualitas masa kecil, instinct
sexual. Sumber dari pandangan Freud dalam hal ini adalah
pandangan para Positivistis: Otto Weininger (1880-1904) yang menulis
buku Geschlecht und Charakter (1903) dan Karl Friedrich Hermann
yang menulis buku Libido und Manie.

Masa antara 1895 hingga 1905 disebutnya “isolasi gemilang”


karena kehilangan persahabatan dengan Breuer dan belum
mendapatkan pengikut, namun menjadi Dosen luar biasa di
Universitas Wina (1902) dan mulai 1920 jadi Dosen Tetap di sana,
yang merupakan moment penting untuk perkembangan Psikoanalisa.
Saat itu, Psikoanalisa belum diketahui, dimengerti salah, bahkan
dianggap skandal. Dia merasa bahagia karena kerja secara terisolasi,
tanpa beban untuk pertanggungjawaban ilmiah sebagaimana
lazimnya, tanpa beban publisitas, dst.
47
Ada 4 moment penting bagi perkembangan sekolah Freud
(Psikoanalisa):

1. Tahun 1902, dibentuk satu kelompok di Wina. Sekretarisnya


adalah Otto Rank.
2. Tahun 1907, dirintis kerjasama dengan Klinik Psikiatris di Zurück,
di mana ada beberapa orang asisten ternama, seperti Carl Gustav
Jung, yang memungkinkan juga publikasi dalam majalah
“Jahrbuch für Psychologie und Psychopathologie”.
3. Tahun 1909 Feud dan Jung diundang oleh Stanley Hall ke
Universitas Worcester di Boston untuk menghadiri Konferensi, di
mana lewat diskusi-diskusi, Psikoanalisa di Amerika.
4. Tahun 1910 dilangsungkan Kongress di Norimberg, di mana
dibentuk organisasi Psikoanalisa I, yang dipimpin Carl Gustav
Jung. Berkat Kongress di Weimar (1911) dan di Monaco (1913),
Psikoanalisa makin luas tersebar dan diterima secara umum.
Freud terus saja melanjutkan kegiatan menulis, termasuk
ulasan di bidang Sosiologi dan Antropologi. Karya di bidang ini: Totem
und Tabu: einige Übereinstimmungen in Seelenleben der Wilden und der
Neurotiker (1913), di mana dia tunjukkan bahwa proces s bawah
sadar berhubungan erat dengan lingkungan masayarakat sekitar, dan
bahwa ada konflik dasar yang sangat umum dalam seluruh
kehidupan manusia masyarakat manusia. Dalam karnya Volesungen
zur Einführung in die Psychoanalyse, Freud coba membangun suatu
synthesis dari ilmu pengetahuan dan Psikoanalisa. Dalam Jenseits
des Lustprinzips (1920) Freud kemukakan konsep “instinct kematian”
sebagai antithesis dari instinct libido. Kemudian dalam Das Ich und
das Es (1923) ia menetapkan tripartisi jiwa yakni das Es (Id), das Ich
(Ego), dan das Überich (Superego).

Freud memiliki banyak sahabat, pemerhati, dan pengikut dari


seluruh dunia. Ernest Jones, Anna Freud, Albert Einstein, Thomas
Mann, Carl Gustav Jung, Alfred Adler, Otto Rank, Sandor Ferenczi,
48
Karl Abraham, dll. Tahun 1930 ia menerima “Hadiah Goethe” di kota
Frankfurt.

Pebruari 1923 ia menderita karena kanker rahang. Tahun 1933


Nazi berkuasa di Jerman. Freud sebenarnya tidak rela meninggalkan
Wina, tapi tahun 1938 mereka terpaksa mengungsi ke London karena
Nazi menganeksasi Austria, dan sebagai keluarga Yahudi mereka
sungguh terancam, buku-bukunya dibakar. Di London, ia masih terus
melakukan analisis hingga minggu terakhir hidupnya, menulis
berbagai artikel dan membuat Kompendium Psikoanalisa. 23
September 1939 ia meninggal karena kanker.

Formasi Filosofis
Dari begitu banyak karya filsafat yang dibacanya selama kuliah,
Freud tertarik secara khusus kepada pikiran materialisme dan
atheisme, Ludwig Feuerbach. Pengaruh terbesar Feuerbach atas
Freud: perang lawan agama, yang diproklamirkan sebagai
“penghancuran satu ilusi” ditegaskan kembali oleh Freud dalam
karyanya Die Zukunft einer Illusion (…).

Filsuf lain yang mempengaruhi Freud adalah Franz Brentano,


khususnya konsep “intensionalitas” dalam Psikologi.

Selama di Inggris, Freud juga mendalami Empirisme dan


Positivisme, khususnya Tyndall, Huxley, Darwin, Thomson.

Freud juga sangat dipengaruhi oleh filsuf abad 18, Arthur


Schopenhauer, khususnya konsep Unbewute, Alam bawah sadar,
yang merupakan konsep sentral dalam Psikoanalisa, yang oleh Freud
diungkapkan dengan nama das Es (Id), yakni satu kekuatan
inpersonal yang berlawanan dengan das Ich (Ego). Pikiran
Schopenhauer tentang “kehendak” tak sadar disejajarkan dengan
impulse psikis dalam Psikoanalisa. Juga aspirasi sexual yang tidak
49
hanya tak disadari, tapi lebih dari itu, mengharuskan individu untuk
mengambil posisi di hadapan persoalan-persoalan. Ada 2 teori
Schopenhauer di sini: 1). Dorongan kehendak yang tidak sadar yang
didasarkan pada pandangan dualistis atas dunia sebagai kehendak
dan representasi, dan 2). Primat sexualitas yang didefinisikan
Schopenhauer sebagai “tujuan akhir hampir semua kekuatan
manusiawi.” Bedanya, Schopenhauer mengundang untuk
menggunakan Voluntas agar menghilangkan permainan topeng yang
terpusat pada representasi, Freud memilih tinggal dalam dunia
representasi sebagai tindakan penyelamatan bagi impulse psikis.
Dalam karyanya Totem und Tabu, Freud menekankan perkembangan
peradaban yang melebihi kodrat berkat Ego yang masuk dan
mengarahkan Id.

Freud dan Psikoanalisa


Freud menulis. “Psikoanalisa adalah ciptaanku.” Apa itu
Psikoanalisa? Ada beberapa rumusan pengertian sbb:

1. Cara penyembuhan dengan menguji proses psikis. Di sini


Psikoanalisa tidak lain dari Metode terapeutis atas gangguan
neurosis4 berdasarkan analisa atas impulsi psikis.
2. Seri pengetahuan psikologis yang diperoleh lewat jalan pengujian
dan secara gradual bermuara pada satu disiplin ilmiah yang baru.
Di sini Psikoanalisa berarti teori tentang struktur global kehidupan
psikis seseorang.
3. Suatu pandangan filosofis tertentu atas manusia. Psikoanalisa
adalah satu Weltanschauung.
Unsur utama dalam rumusan-rumusan di atas ialah analisa
tingkahlaku subjek berdasarkan impulse psikis, di mana manusia
direduksi kepada perversi psikologis (neurosis) yang diakibatkan oleh
dorongan alam bawah sadar.

4
Cf. juga Paolo Micoli, Storia della Filosofia Contemporenea, (Roma, PUU., 1992), pp. 260-
262.
50
Inti persoalan Psikoanalisa adalah individuasi alam bawah
sadar, yang sering dihadirkan sebagai penemuan satu realitas
tersembunyi, tapi sering pula sebagai hypothesis kerja type ilmiah.
Bagi Freud, bawah sadar adalah “hypothesis yang seharusnya dan
legitimate.” Di sini Freud menyamakan alam bawah sadar dengan jiwa
dan realitas esensialnya. Jadi alam bawah sadar begitu kuat
pengaruhnya, sampai-sampai mempengaruhi dan mengarahkan
seluruh kegiatan manusiawi kita.

Struktur psikhis manusia terdiri dari 3 lapisan: Id, Ego,


Superego. Id adalah lapisan bawah sadar yang diperlawankan dengan
Kesadaran Descartes. Id ini merupakan daya kekuatan tersembunyi
dari jiwa, yang secara esensial ditandai oleh libido, yakni gratifikasi
hasrat/keinginan sexual yang ditekan kea lam bawah sadar, dan
disensur oleh Ego (diri-pribadi yang sadar, sumber keseimbangan,
yang bergiat atas dasar “prinsip realitas”) atas dasar konvensi social
atau nilai-nilai moral (Superego) yang mengatur hidup menuju
peradaban manusia. Superego adalah struktur diri yang mengambil
segala nilai dan norma sosio-kultural yang bertindak sebagai sensor
dan hakim, yang menghukum segala impulse yang secara moral tidak
pantas, dengan bantuan rasa bersalah. Pemuasan libido bisa lewat
bentuk-bentuk yang diterima masyarakat (perkawinan), bisa lewat
mimpi, atau sublimasi dalam bentuk estetis, atau lewat represi yang
menimbulkan gangguan pathologis, atau berdasarkan profesi, instinct
agresif.

Gangguan Panthologis terjadi bila Ego tidak mengintegrasikan


diri dengan Superego, lalu ditekan (dipress) kea lam bawah sadar
lewat suatu mekanisme pemindahan (Verdrängung, repression,
rimozione) dan tidak mengizinkan impuls-impuls ini menampakkan
diri dalam alam sadar dan secara represif memblockir atau melarang
terealisirnya satu instinct sexual atau sifat agresif. Atas kasus-kasus
yang ditangani, Freud sampai pada kesimpulan bahwa impuls sexual
51
tahun-tahun pertama adalah elemen karakteristik dan decisive bagi
perkembangan kepribadian manusia menuju kedewasaan. Di sini
Freud tekankan 3 fase perkembangan: oral, anal, genital. Dia juga
mendalami persoalan Complexitas frustrasi, Complex Castrasi,
Complex Oedipus, Narcisme, dll.

Dari parallelisme perkembangan infantile individu menuju


kedewasaan dan perkembangan sejarah dari primordial (natural)
menuju kedewasaan peradaban manusia yang didorong oleh prinsip
kenikmatan, lahirlah kecenderungan untuk melihat manusia hanya
sebatas pemenuhan kebutuhan libidinalnya, dengan mengganti
ontogenesis dengan filogenesi. Inilah yang lazim dikenal sebagai
Pansexualisme.

Freud dan Moral


Kepada Domine Pfister Freud menulis: “Saya tidak mau buat
pusing kepala dengan memasuki problem baik dan jahat” dan kepada
Neurolog Amerika Putman dia mengaku: “Aku tidak merasakan
dorongan khusus menyangkut kodrat etika.”

Ungkapan-ungkapan tadi menunjukkan bahwa baik ilmu-ilmu


maupun filsafat tidak sanggup memberikan dasar-dasar fundamental
bagi etika. Dasar yang dicanangkan Freud adalah analisa atas
terjadinya dan atas fungsi adapt-istiadat dari perpektif individu dan
kebahagiaannya. Menurut Freud, moral didasarkan atas represi dan
sublimasi impuls-impuls. Bagi Freud, peradaban bermula dari satu
penyangkalan, yang perlu untuk bertahan hidup, yang didasarkan
atas impuls sexual dan tendensi agresif, yang sesungguhnya
antisocial. Dengan larangan ini, manusia beradab mengatasi kondisi
binatang. Moral didasarkan juga atas kebutuhan ekonomis, yang
meliputi juga penggunaan instrument-instrumen yang
memungkinkan penguasaan atas realitas ekstern, yakni “Kerajaan
Anánke” (“Kerajaan Kebutuhan”) dan institusi-institusi yang mengatur
52
hubungan antara manusia dan segala barang yang dihasilkan dalam
masyarakat. Juga di sini peradaban dibangun atas dasar pemaksaan
dan represi impulsive, baik yang bersifat libido maupun agresif.
Norma-norma yang mengatur kehidupan setiap hari, membentuk satu
imperative moral yang tidak dapat dipraktekkan. Dengan ini Freud
bekeyakinan bisa menjelaskan dasar dari ketidakbahagiaan manusia
dan cara-cara mengatasinya.

Jadi Freud, moralitas adalah hasil represi social, tapi bernilai


besar untuk penyadaran akan “tendensi moral” umat manusia.
Manusia pada dasarnya brutal (jahat, malvagio), yang ditunjuk
dengan impulse agresivitas. Bersama Hobbes dia tekankan manusia
sebagai Homo homini lupus. Dalam dirinya bergiat segala kekuatan
antisocial yang cenderung mengarah ke pemuasannya yang penuh,
sehingga manusia selalu melawan tatanan social. Pikiran ini
kemudian dikembangkan oleh Wilhelm Reich dan Herbert Marcuse
dengan penegasan bahwa kebahagiaan akan tercapai dalam relasi
seksual.

Freud sebaliknya menekankan bahwa manusia perlu sadar


akan dirinya, menemukan alam bawah sadarnya, agar mengatasi
segala ilusi, sehingga berkembang kea rah kedewasaan, kebebasan
dan emansipasi.

Teori Psikoanalisa Freud banyak menimbulkan persoalan


epistemologis, moral dan ilmiah, tapi Adolf Grünbaum menegaskan
bahwa Freud menyumbang 3 prinsip penting: Teori tentang Neurosis,
teori tentang alasan kita bermimpi dan teori tentang lapsus.

CARL GUSTAV JUNG


Dari Austria, Psikoanalisa berkembang dan menyebar ke Negara
lain, berkat usaha beberapa Psikoanalist, misalnya Carl Gustav Jung
dan Karl Jaspers. Berdasarkan “Psikologi analitisnya” Jung mengatasi
pandangan Freud.
53
Riwayat Hidup dan Karya Carl Gustav Jung
Carl Gustav Jung (1875-1961) adalah putera seorang Pendeta
Protestan adalah dosen di bidang Psikiater di Universitas Zurück, di
mana dia kenal Freud pada 1907. Tahun 1909 dia tinggalkan tugas
mengajar dan mendedikasikan diri semata pada penelitian dan
praktek terapeutik. Karyanya yang pertama berjudul Wandlungen und
Symbole der Libido (Transformasi dan Symbol Libido, Terbit (1912),
saat ia masih sangat dekat dengan posisi Freud. Tapi segera ia
kembangkan satu teori psikologis yang sungguh mandiri, dengan
bertitik-tolak dari segala kekeliruan interpretasi Freud atas Psikosis.
Dari sini terbitlah karya-karya yang lain: Die Psychologie der
unbewuβten Prozesse (1917), Psychologische Typen (1920),
Seelenprobleme der Gegenwart (1931), Psychologie und Religion (1940),
Psychologie und Erziehung (Psikologi dan Pendidikan, 1946),
Gegenwart und Zukunft (1957), Bewuβtes und Unbewuβten (1957),
Über psychische Energetik und dan Wesen der Träume, (1965).

Pandangan lebih disebut “Psikologi analitis” atau Psikologi


Kompleks sebagaimana dia sendiri mendefinisikannya sebagai metode
introspeksi jiwa manusia, agar dibedakan dari Psikiatria. Psikologi
Analitis lebih sibuk dengan fenomen total kehidupan jiwa seperti
adanya yang natural. Metodenya dan laboratorium adalah dunia,
pengalaman.

Metode Psikologi Analitis Jung


Psikologi Analitis Jung tidak memiliki karakter experimental
tapi karakter empiris. Jung bertolak dari fakta-fakta yang sudah
diobservasi agar bisa ditetapkan hipotesis ilmiah yang didasarkan
atas deskripsi tentang realitas kejiwaan.

Berangkat dari fakta yang terobservasi Jung merumuskan


hypothesis untuk dibuktikan, disempurnakan dan dikoreksi terus-
menerus. Juga tidak menyangkal saling ketergantungan antara jiwa
54
dan badan, tapi menegaskan bahwa bisa absurd untuk menganggap
jiwa berasal dari badan atau sebagai satu epifenomeno, tapi harus
dilihat sebagai sui generic. Apa itu jiwa memang sangat sulit diketahui
dan dikatakan. Yang bisa kita ketahui tentang jiwa ialah bahwa ia
menentukan kesadaran manusia, yakni posibilitas khusus manusia
untuk berhubungan dengan situasinya, barang-barang dan orang-
orang. Karena itu, jiwa berhubungan erat dengan ego (diri-pribadi)
manusia dan sungguh real, baik secara personal maupun secara
komunal. Secara komunal, ditemukan pada setiap jaman suatu wakil
Allah. Maka idea Allah merupakan suatu realitas psikologis, tidak
dapat dikembalikan kepada realitas fisik. Di sini Jung melawan
pandangan materialisme saat itu yang mentransformasi realitas
rohani kepada fisis-material dalam hubungan dengan Ego dan alam
bawah sadar. Bagi Jung, alam bawah sadar bukanlah seluruh elemen
kejiwaan yang ditekan dan karena itu selalu bersifat personal, tapi
merupakan akar dari kesadaran, yang forma a priorinya selalu
teraktualisir. Hipothesis Jung tentang “Ketidaksadaran Kollektif”
(kollektive Unbewuβte) yang tidak tergantung pada ego, mengharuskan
Jung untuk mempostulatkan satu instansi superior sebagai synthesis
Ego dan Id, dan Jung sebut Selbst (diri). Inilah seluruh kepribadian,
yang secara real hadir, namun tidak dapat dipahami seluruhnya, dan
inilah yang merupakan objek par eccellence bagi Psikologi Analitis.
Metodenya adalah observasi empiris, yang membimbing dalam
merumuskan hypothesis. Objeknya adalah keseluruhan jiwa manusia
(Selbst). Inilah yang lazim dikenal sebagai Tiefenpsychologie (Psikologi
dalam).

Konsep Jung Atas Libido dan Kritiknya Atas


Panseksualisme Freud
Mulai 1906 Jung mengkritik pandangan Freud atas
Panseksualisme dengan menegaskan bahwa dia menerima
mekanisme-mekanisme kompleks dalam mimpi dan hysteria, namun
55
tidak bisa mengatribusikan pada traumatisme seksual dari masa
kecil. Bersamaan dengan itu, Jung tidak menempatkan seksualitas
pada tempat pertama. Tahun 1913 timbul perbedaan pendapat yang
definitive tentang Libido. Bagi Freud, libido memiliki satu karakter
seksual yang dipandang unilateral, dengan akibat bahwa baik Etika,
Seni dan Agama merupakan ekspresi dari Libido, dan memiliki
karakter seksual. Bagi Jung, Libido adalah energi jiwa yang tidak
terkontrol, muatan intensitas seluruh isi jiwa tak terdifferensiasi, yang
bersifat dinamis, dan dapat diperluas hingga meliputi semua tendensi
dan mendorong kita untuk berkomunikasi dengan segala situasi dan
kegiatan.

Berdasarkan pandangan ini, Jug bisa mengerti lebih baik segala


persoalan neurosis. Neurosis seharusnya tersebab oleh satu
kehilangan/kekurangan terhadap adaptasi yang perlu dalam dunia
orang dewasa. Jika terjadi halangan sehingga energi jiwa tidak
mengikuti perkembangannya yang normal, terjadilah gangguan
perkembangan jiwa. Yakni, energi itu terkumpul pada tempatnya; lalu
dengan bertambahnya tekanan, energi itu cari jalan keluar. Bila jalan
normal itu terblockir, dia tempuh jalan kembali, menempuh jalan
keengganan/ragu/takut, dan mengaktifkan kembali segala status
sebelumnya di masa infantile. Gerak kembali (regresi) ini sering
berupa imaginasi orang tua, atau keinginan untuk berjalan lebih
lanjut. Regresi ini memiliki aspek ganda: Satu
kejatuhan/ketidakmampuan di hadapan realitas, yakni
ketidakmampuan mengadaptasikan diri pada dunia orang dewasa,
dan pada saat yang sama, suatu pencarian solusi. Neurosis terdiri
dari tegangan antara sikap dewasa yang dikehendaki tapi tidak
sanggup direalisir, dan satu sikap infantile yang direalisir tapi tidak
dikehendaki. Jadi penyembuhan Neurosis harus sampai pada
penyadaran fase infantile dengan melepaskan blockade atas Libido,
dan membantu untuk menempuh suatu jalan baru. Fungsi kejiwaan
56
yang bisa membantu dalam hal ini ialah Symbol. Symbol ini
merupakan jembatan, lewat mana Libido meninggalkan level inferior
menuju level superior, di mana dia merealisir satu situasi autentik.

“Imago,” Symbol dan Archetype


Bagi Jung, equilibrium jiwa dapat dicapai dengan Symbol.
Symbol ini merupakan titik sentral dalam Psikologi Analitis. Kita
menelitinya dengan bertitik-tolak dari terminus tecnicus “Imago.”
Imago bukanlah impresi simple dari objek eksterior dalam otak, tapi
merupakan proyeksi subjektivitas kita atas objek. Imago seorang anak
atas orangtuanya adalah wakil (=representasi) orang tua bukan
seperti adanya mereka dalam realitas, tapi sebagaimana
dilihat/diharapkan anak itu, sejauh dia kenal, sejauh dia hayati.
Karena itu, Imago di sini tidak lain dari proyeksi anak atas orang
tuanya. Projeksi ini tidak disadari, yang menyebabkan anak berpikir
bahwa orang tua memang seperti yang dia lihat/harapkan. Jadi di
sini ada 2 realitas berbeda.

Perlu dicatat bahwa sejauh Imago ini merupakan transfer dari


satu proses subjektif pada satu objek, ia merupakan unsure
integrative dari mekanisme tak sadar, Singgah tidak ada hidup
kejiwaan yang tanpa projeksi. Ini membuktikan, bahwa realitas yang
kita alami dalam mimpi sebetulnya merupakan proyeksi dari isi
ketidaksadaran subjektif yang tidak mengekspresikan realitas nyata,
tapi imago yang dimiliki orang bermimpi atas realitas itu. Dengan ini,
mimpi bisa menghantar kita untuk mengetahui isi lapisan tak sadar,
yang memang belum diketahui.

Apa yang terkandung dalam sumber-asal dari Symbol? Jung


menjawab bahwa di sana ada aktivitas Archetype, yakni struktur tak
sadar Ego yang umum bagi semua orang, yang mengarahkan segala
energi spontan dari jiwa, yang tidak terorientasi dan ditata oleh
kesadaran. Dalam kenyataannya, tidak hanya ada ketidaksadaran
57
individual tapi juga ketidaksadaran kolektif. Archetype pertama ialah
Archetype Bayangan (Kegelapan), yaitu sisi gelap dan negative atau
qualitas inferior dari kepribadian, yang tidak disadari dan
ditempatkan di kedalaman ketidaksadaran personal. Sisi gelap ini
sering mengganggu Ego dengan kefanaan, ambisi dan presumsi, dan
yang mengganggu pribadi yang sadar (cf. Pribadi = Topeng). Hanya
kalau orang menghadapi “Bayangan” diri sendiri, topeng itu bisa
terbuka/jatuh, lalu dikenallah diri yang sebenarnya.

Archetype kedua adalah animal/animus. Archetype tak sadar


memproyeksikan anima untuk laki-laki dan animus untuk wanita.
Anima adalah keseluruhan sedimentasi dari seluruh pengalaman yang
dibuat laki-laki untuk wanita. Dengan kata lain Dimensi kewanitaan
yang terkandung dalam diri laki-laki. Dan sebaliknya Animus adalah
keseluruhan sedimentasi yang telah dibuat perempuan terhadap laki-
laki, atau dimensi kepriaan yang terdapat pada wanita. Anima itu
secara esensial adalah Eros dan Animus adalah Logos, sehingga Anima
berkorespondensi dengan Eros materno dan Animus dengan Logos
paterno. Kesempurnaan wanita terealisir sepenuhnya bila
kewanitaannya diperkaya dengan dimensi kepriaan dan sebaliknya,
pria merealisir dirinya sebagai pria dengan pengayaan unsure
kewanitaan.

ALFRED ADLER
Alfred Adler (1870-1937) adalah rekan kerja Freud. Keluarganya
adalah campuran Yahudi-Hungaria tapi Adler sendiri bertobat dan
menjadi Kristen. Tahun 1910 dia mendirikan Pusat Penelitian
Psikoanlisa untuk Pendidikan Anak-anak di Wina, Berlin dan
München, dan tahun 1911 dia memisahkan diri dari Freud. Dia
adalah pelopor Psikologi Individual. Dia menulis dan menerbitkan
banyak karya: Studie über Minderwertigkeit von Organen (Studi atas
inferioritas organ-organ, 1907), Über den nervösen Charakter
(Kontitusi Neurosis, 1912), Praxis und Theorie der
58
Individualpsychologie (Praksis dan Theori Psikologi Individual, 1918),
Menschenerkenntnis (Pengetahuan atas manusia, 1927), sejak 1922
hingga 1935 mempublikasikan majalah ilmiah berjudul
“Internationale Zeitschrift für Individual-Psychologie,” Der Sinn des
Lebens (1933).

Dalam karyanya Studie über Minderwertigkeit von Organen,


Alder menegaskan bahwa overkompensasi atas inferioritas melahirkan
bukan hanya para genius seperti si tuli Bethoven yang menggubah
lagu-lagu bermutu brilian, tapi juga tanggapan-tanggapan reurosis
dan psikosis misalnya hysteria dan paranoia.

Dalam Über den nervösen Charakter, Adler secara tegas


menolak represi psikologis dan determinisme causal. Dia melihat
kompleks inferioritas sebagai pengalaman umum bagi setiap anak.
Berhadapan dengan realitas hidup, seetiap anak akan bereaksi
sebagai individu yang secara keseluruhan berjuang keras demi
mencapai superioritas, terarah ke satu tujuan fiktif yakni dominasi
dan kuasa maskulinitas, yang diupayakan lewat “fiksi” yang
membimbing (guiding fiction) atau rancangan hidup, yang
dimodifikasi oleh “anti-fiksi” dari tuntutan social/masyarakat. Bagi
Alder, tujuan dan fiksi adalah ciptaan subjektif yang tidak realistis,
type-neurosis yang menyertai setiap kompleks inferioritas, kemanjaan
atau kelalaian di masa kecil, atau urutan umur anak dalam keluarga.
Bagi Alder, konsep Nietzsche tentang kehendak untuk berkuasa
adalah type neurosis model ini.

Adler tidak menerima Panseksualisme Freud dan menegaskan


bahwa lapisan bawah sadar bekerja dalam wilayah lebih luas, karena
setiap individu selalu didorong oleh suatu “kehendak untuk berkuasa”
type Nietzsche. Subjek selalu terdorong untuk mencapai afirmasi diri,
tapi justru karena dorongan afirmasi diri ini, maka timbullah
kemungkinan kecemasan, rasa tak aman karena harus menghadapi
59
tuntutan masyarakat. Karena itu, neourosis tidak disebabkan oleh
karena menekan segala keinginan, tapi karena suatu frustrasi
objektif, yakn rasa bersalah dari subjek-subjek yang lemah dan
kruang berbakat. Inilah yang disebut kompleks interioritas, rasa
rendah diri. Kompleks interioritas ini mendorong orang-orang yang
lebih tekun untuk menggunakan seluruh kekuatannya untuk
menyeimbangkan kekurangan-kekurangan sejak masa kecil demi
mencapai kekuatan superior. Inilah yang disebutnya “Kompleks
superioritas.” Dari pihak lain, kompleks superiotitas bisa menghantar
orang-orang lemah untuk menutup diri, melarikan diri dari realitas,
hingga bisa menderita berbagai jenis penyakit neourosis. Fiksi
bimbingan dalam mencapai kekuatan lebih tinggi pola hidup yang
biasanya tidak disadari, tidak dimengerti, yang dalam analisis Adler
diupayakan untuk menjelaskan wawasan yang mendalam.

Walau merupakan suatu situasi awal dan bervariasi dari orang


ke orang, tapi Adler menekankan bahwa di dalam pendidikan ada
factor-faktor penentu yang melahirkan berbagai problem psikologis.
Karena itu pedagogi dan Psikologi harus membantu manusia terlebih
dalam pertumbuhan dan perkembangannya selama 5 tahun pertama.

Bagi Adler, anti-fiksi dan “kebutuhan affeksi” menyebar dalam


konsep-konsep penting masyarakat. Bila Freud menegaskan naluri
kebinatangan yang dihumanisasi lewat proses represi, maka Adler
menegaskan kecenderungan lahir-di dalam, - interese social dan
perjuangan demi superioritas – yang perkembangan keseluruhannya
menyempurnakan kepribadian manusia. Singkatnya, factor
keturunan hanya membantu individu dengan kemampuan tertentu.
Lingkungan memberi dia cuma beberapa kesan. *****

BAB 5
60
LOGIKA DAN FILSAFAT BAHASA DI INGGRIS

CATATAN AWAL:

Bahan dalam Bab 5 ini merupakan hasil elaborasi kelompok-


kelompok dari tahun kuliah 2004/2005 yang lalu. Bahan-bahan itu
dihadirkan kembali tanpa banyak koreksi dan perubahan, dengan
maksud untuk membantu kita dalam proses pembelajaran. Secara
perorangan atau kelompok kita dalami pikiran masing-masing Filsuf
sebagaimana dihasilkan kelompok-kelompok terdahulu. Kita diminta
untuk membuat koreksi dan penyempurnaan dengan menambah
wawasan dari referensi lain. Caranya:

1. Hasil kerja kelompok ini dipelajari secara mendalam, kritis, lalu


point-pointnya diringkaskan dalam 1 – 2 halaman kertas kerja
ukuran A4.
2. Bahan dilengkapi dan disempurnakan dengan mengacu
referensi lain yang ada, dengan menambahkan aspek-aspek
atau pokok-pokok penting yang belum ada dalam hasil kerja
kelompok ini.
3. Pendalaman kita perlu didukung referensi (Metode Kerja Ilmiah
Penelitian Pustaka) yang memadai dan meyakinkan, dilengkapi
catatan kritis pribadi/kelompok atas pandangan filsuf yang
dipilih.
4. Selamat mengarungi khazanah ilmu pengetahuan, semoga
semakin bertambah dalam hikmat dan pengetahuan.*****

5.1 IDEALISME ABSOLUT : FRANCIS HERBERT BRADLEY 5

5.1.1 Hidup dan Karya F.H. Bradley

5
Hasil elaborasi kelompok mahasiswa Semester VII 2004/2005: Thobias Jalng, Kornelius
Sugianto, Didakus Sori Wutun, Paulus Pariman, Vinsen F. Sonbay, Sr. Isabel M. do Rego, SSpS, Roby
Nahak, Yoseph Nitsae, Gregorius Tae Mau, Damianus Garang, Robertus Ikun, Alfons Sari, Richard M.
Tegu, Gusti Bala Ledun, Edi Atolan, Gaudensius Geor, Aris Kolo, Agustinus Bau, David Ngongo Bili.
61
Alur kehidupan Francis Herbert Bradley (1846-1924) tidak
terlalu banyak diketahui. Tahun 1870 ia menjadi anggota Merto
College, Oxford, dan ia bertahan di tempat ini sampai meninggal
dunia pada tahun 1924. Ia tidak pernah memberi kuliah ataupun
seminar-seminar. Karya-karya filosofisnya juga secara substansial
tidak terlalu luar biasa. Namun demikian Bradley dikategorikan
sebagai seorang filsuf Idealist yang cemerlang dari Inggris. Hal itu
kerena ia mengkombinasikan satu kritisisme radikal atas kategori
pemikiran manusia. Menurut Bradley, ratio manusia adalah
instrument untuk memahami realitas akhir, eksistensi absolute yang
mengatasi segala kontradiksi dan antinomi-antinomi.

Karya pertama Bradley dipublikasikan tahun 1874 dengan


judul The Presuppositions of Critical History, yang menjadi referensi
untuk karya berikutnya. Kemudia di tahun 1874 ia menulis Ethical
Studies dan tahun 1883 the Principles of Logic. Kemudian, pada tahun
1893 ia menulis Appearance and Reality dan tahun 1914 ia menulis
Essays on Truth and Reality. Tahun 1930 ia menulis artikel berjudul
“Aphorisms.” Sedangkan semua essay dan artikel yang telah
dikumpulkan dan pernah dipublikasikan dibundel dalam dua volume
di bawah judul Collected Essays, di tahun 1935.

5.1.2 Latar Belakang Konsep Filsafat Bradley

Dalam membangun konsep filsafat, Bradley sangat dipengaruhi


oleh filsafat Hegel, terutama tentang realitas yang absolute. Seperti
diketahui, Hegel mencoba memahami secara sintesis identitas antara
subjek dan objek di dalam idea yang dipertentangkan oleh Fichte dan
Schelling. Menurut Hegel sintesis mutlak subjek dan objek bukanlah
sintesis antara hal yang terbatas dan yang tidak terbatas di seberang
sana, yaitu di seberang hidup ini, melainkan satu “keberadaan” di
dalam “ketiadaan”, suatu “menjadi” di dalam “yang mutlak”. Refleksi
akal budi yang mengiakan keterbatasan, dan membangkitkan
62
perlawanan-perlawanan. Akan tetapi refleksi akali sekaligus memiliki
pengharapan kepada “yang mutlak”. Dengan demikian refleksi itu
meniadakan diri sendiri dan meniadakan segala keterbatasan. Oleh
karena itu, “yang mutlak” adalah suatu totalitas, di mana tiap hal
dalam asasnya telah tercakup, di mana tiap bagian sekaligus
mewujudkan keseluruhan.

Bradley secara kritis-dialektis melanjutkan pemikiran ini. Bagi


dia, ratio manusia tidak mampu memahami realitas absolute, realitas
ultim secara komprehensif dan benar-benar riil. Tentangnya ratio
manusia hanya mampu mengungkapkannya dalam refleksi yang
penuh kontradiksi dan penuh antinomy-antinomi.

Selain Hegel, Bradley juga dipengaruhi oleh pemikiran Herbart,


seorang filsuf Jerman. Menurut Herbart, kontradiksi-kontradiksi tidak
mempengaruhi realitas dalam dirinya tetapi hanya melalui cara yang
inadekuat untuk memahami realitas. Namun di sini tak dapat
disimpulkan bahwa Bradley adalah seorang Herbatian[isme].
Pemikiran Herbart diadopsinya hanya untuk menunjukkan bahwa
pikiran Hegel perlu dipertajam dan bila perlu dikoreksi kembali.

5.1.3 Pokok Pemikiran Filosofis Bradley

Karena filsafat Bradley sebagian besar bersifat kritik, maka


hampir seluruh tulisannya bernuansa kritik. Pokok pikirannya
tentang Etika dan Metafisika akan dibahas di dalam point-point
beraikut:

5.1.3.1 Etika

Dalam Ethical Studies, Bradley mengkritik secara “vulgar” teori


dan praktek moral mazhab-mazhab sebelumnya. Misalnya Hedonisme
dinilai sebagai satu aliran yang berat sebelah dan tidak bermakna
sama sekali. Bagi Bradley moral haruslah mengedepankan tindakan
yang rational karena hanya tindakan itu yang dapat
63
dipertanggungjawabkan. Tindakan moral itu adalah tindakan
individual, tindakan personal tapi serentak ia tidak terlepas dari
tindakan moral social atau kehendak universal. Hanya dalam koridor
kebenaran diri (pribadi) dan kehendak universal seseorang dapat
merealisasikan dirinya. Realisasi diri adalah tujuan utama moral.

Dua Asumsi Yang Salah

Bradley memulai tinjauan moralnya dengan menguji


pemahaman umum tentang tanggungjawab dan imputabilitas. Untuk
itu ia tampilkan dua teori tentang tindakan manusia yang dinilainya
bertentangan dengan syarat-syarat tanggungjawab moral:

1. Ada asumsi umum bahwa tidak ada legitimasi tanggungjawab


secara moral terhadap satu tindakan, kecuali seseorang melalukan
kesalahan yang sama atas satu perbuatan. Menurut Bradley,
presuposisi ini pada dasarnya mengabaikan hukum asosiasi
(dalam psikologi) dan itu mengandaikan semua tindakan dari satu
tindakan tidak berada dalam diri individu yang permanent, semua
tindakan jauh dari identitas diri yang permanent. Bagi Bradley
mengabaikan tanggungjawab sebagai identitas personal adalah
sesuatu yang non-sense, dan secara prikologis identitas pribadi
tidak bermakna sama sekali.
2. Orang tidak bertanggungjawab secara moral terhadap satu
tindakan kecuali dia adalah aktornya dan kecuali dia adalah akibat
dari sebab. Menurut Bradley, teori ini mengabaikan indeterminasi
yang berimplikasi pada tindakan manusia, bahwa tindakan itu
tidak disebabkan karena relasi manusia atau oleh diri sendiri
karena agen yang digerakkan oleh teori ini adalah orang yang tidak
mampu bertanggungjawab, seorang idiot.

5.1.3.2 Realisasi Diri


64
Menurut Bradley tujuan akhir dari tindakan moral adalah
realisasi diri. Tujuan itu tercapai jika semua isi tindakan
dilaksanakan menurut idea-idea perealisasian dan untuk
mewujudkan kerinduan itu haruslah berkehendak baik yang seiring
dengan kehendak universal, kehendak dari suatu organisme social.
Untuk maksud demikian Bradley menganjurkan adanya spesifikasi
tugas dalam satu organisme social sehingga secara moral tiap orang
bertanggungjawab menurut porsinya.

Kehendak universal tidak terlepas dari individu-individu. Ia ada


dan melalui kebenaran-kebenaran yang iheren dalam diri individu-
individu. Demikianpun sebaliknya, individu ada karena kebajikan
komunitas social. Oleh karena itu, untuk mengidentifikasikan
kehendak seseorang dengan kehendak universal perlu direalisasikan
dengan kebenaran dalam dirinya. Kehendak universal di sini berarti
kehendak masyarakt. Maka dapat dikatakan, tujuan realisasi diri
terealisir jika bertindak sesuai dengan moralitas social yaitu bertindak
menurut undang-undang, opini social, sensus communis, dan lain
sebagainya.

Namun apakah standar moral universal itu harus diindoktrinasi


tanpa ada kualifikasi? Menurut Bradley semua tatanan social dari
masyarakat sebelumnya yang dianggap benar perlu dire-evaluasi. Jika
moral itu dapat direalisir tapi tak diikuti perealisasian diri secara
adekuat dengan kategori-kategori social yang ada, maka moral itu
kontradiksi. Untuk itu Bradley menganjurkan satu moral sempurna
yaitu moral yang terjadi lewat transformasi diri dengan yang absolute.

5.1.3.3 Metafisika

Uraian Metafisika Bradley berawal dari pengertiannya tentang


realitas. Baginya realitas adalah satu. Adanya bagian-bagian dari
realitas itu tidak terlepas dari relasi dengan apa yang tampak. Yang
tampak adalah sudah pasti ada: tidak ada kemungkinan untuk
65
melepaskan adanya. Yang ada itu tercakup dalam realitas yang
sungguh-sungguh nampak. Seperti Hegel, Bradley tandaskan pula
bahwa yang mutlak adalah totalitas yang tampak, bukan sebuah
entitas yang ditempatkan di belakang.

Namun pada saat yang sama, apa yang nampak tidak secara
nyata ada pada yang mutlak. Yang nampak tidak terdapat pada yang
mutlak dalam arti suatu jalan yang memberi kontradiksi-kontradiksi
dan antinomy-antinomi. Oleh kerena itu, pada yang mutlak ada yang
nampak harus ditransformasi dan diharmoniskan pada mana tidak
terdapat kontradiksi-kontradiksi yang tertinggal. Bagaimana hal itu
mungkin? Bradley menjawab bahwa itu harus menjadi tindakan
pengalaman infinitive terlebih pengalaman sentient. Sentient di sini
dimaksudkan yang mutlak dan realitas yang tidak dapat
dipertentangkan. Yang mutlak menjadi pengalaman sentient karena
menjadi yang singular, yang merangkum semua perbedaan partial
dalam keharmonisan. Pengalaman sentient akan yang mutlak itu
tidak dapat diidentifikasi dengan dunia visiabel karena yang mutlak
adalah roh (spirit). Pada titik ini, Bradley menyamakan realitas
dengan ke-roh-an: “kita harus secara terbuka menegaskan bahwa
realitas adalah roh… di luar dari roh yang ada ketiadaan, tidak ada
yang menjadi, tidak ada realitas. Segala sesuatu adalah spiritual dan
itu tak tersangkalkan”. Apa yang Bradley maksudkan dengan
mengatakan bahwa realitas adalah roh? Dan bagiamana pernyataan
itu memadai dengan menggambarkan realitas sebagai pengalaman
sentient? Untuk menjawab persoalan ini kita perlu melihat kembali
teorinya tentang pengalaman sentient, di mana perbedaan antara
subjek dan objek belumlah muncul. Misalnya realitas yang secara
eksternal ditampilkan pada subjek. Kita tak dapat menerimanya
sebagai satu kemungkinan bahwa pengalaman sentient primitive
dihadirkan sebagaimana adanya pada level yang lebih tinggi; satu
level di mana eksternitas term-term yang berhubungan sebagai subjek
66
dan objek berhenti total. Yang mutlak adalah pengalaman pada
tingkat tertinggi. Dengan kata lain, yang mutlak bukanlah suatu
pengalaman sentient yang terkontrol oleh ratio dan satu relasi level
rendah (infra-relational), tetapi sesuatu yang mengatasi pemikiran
dan supra-relational, yang mengatasi cara berpikir secara eksternis.

Term yang mutlak sebagai pengalaman sentient di sini harus


dipahami secara analog. Dan yang terpenting untuk diketahui bahwa
ketika Bradley menggambarkan yang mutlak secara spiritual dia tidak
bermaksud untuk mengafirmasikan bahwa yang mutlak itu adalah
roh yang mempribadi. Sebab yang mutlak ditransformasi
penampakkannya dan di dalam dirinya semua elemen dari dunia,
sensasi, perasaan, pikiran dan kehendak terangkum sebagi satu
sentient yang komprehensif. Yang mutlak adalah supra-personal, tak
dapat dilukiskan sebagai satu person. Atau dengan rumusan lain,
yang mutlak bukanlah satu hidup sentient di bawah kesadaran, Ia
mentransendensikan kesadaran.

5.1.4 Kritik Atas Filsafat Bradley

Etika Bradley telah memberikan kontribusi yang baik terhadap


tujuan moral, bahwa moral seharusnya menghantar orang kepada
perealisasian diri. Juga penekanannya pada tanggungjawab sebagai
aktualisasi kehendak baik, telah memberi makna kepada hukum
moral.

Hal yang patut dipertimbangkan dari tinjauan etika Bradley di


sini adalah tentang persesuaian kehendak pribadi dan kehendak
social demi mencapai tujuan aktualisasi diri itu. Sebenarnya di sana
moral telah direlativisir, karena setiap tingkatan moral adalah benar
dalam dirinya dan tuntutan untuk mewujudkan satu kehendak
universal, dalam dirinya adalah satu tujuan yang mustahil terjadi.
Tambahan pula, satu tata aturan (undang-undang) tidak memiliki
67
relasi mutlak dengan semua historisitas dan semua socialitas
manusia.

Di pihak lain, Bradley telah memberikan penguraian yang baik


tentang relasi antara kegiatan dan tanggungjawab manusia. Tak
dapat disangkal bahwa di antara keduanya sering timbul kontradiksi-
kontradiksi dan antinomy-antinomy. Konflik antar keduannya itu tak
dapat diselesaikan dengan Etika murni semata, tapi perlu bantuan
Metafisika karena dengan Metafisika segala kontradiksi
ditransformasikan dan diharmoniskan kepada yang absolute.

Dari metafisika, Bradley menggariskan pula apa yang nampak


akan ditransformasi dalam yang absolute. Kontradiksi-kontradiksi
dan antinomy-antinomi yang ada pada yang nampak itu juga tetap
ada hic et nunc dalam yang absolute, bukan sesuatu yang mengada
untuk yang akan datang. Namun Bradley tidak menjelaskan terdiri
dari apa saja kontradiksi-kontradiksi itu? Apakah dapat disamakan
dengan perubahan dari potensi menuju actus? Kita hanya dapat tahu
pasti bahwa transformasi adalah mungkin jika kita bisa menyaksikan
bagaimana transformasi itu bisa terjadi.

Bradley pun yakin bahwa antara realitas sebagai self-coherent


yang tak terbatas dan realitas riil yang nampak bukanlah suatu ilusi.
Namun ini nampaknya hanya satu konklusi Bradley atas satu
presuposisi atau satu hipotesa tentang realitas. Lagi pula realitas
yang secara total self-coherent dan pengalaman kita atasnya
merupakan satu analogi atas yang absolute.

5.2KONSEP PENGETAHUAN BERTRAND RUSSELL6


5.2.1 Pendahuluan
5.2.1.1 Latar Belakang Pemikiran

6
Hasil elaborasi kelompok Mahasiswa Semester VII 2004/2005: Agustinus Bastian, Stefanus
Mau, Yonatas Kaesnube, Yohanes Kiri, Alfonsus Nara Hokon, Marselus Dappa Wole, Yulius Nesi,
Emanuel Fkun, Marianus Knaofmone, Bernardus Bria, Firminus Bego, Markus Kedang (Alm.),
Siprianus Tes Mau, Yohanes Tateni, Marianus Halek
68
Salah satu problem filosofis yang paling tua dalam sejarah
filsafat adalah Problem Epistemologis yang bermula dari para filsuf
Yunani kuno hingga filsuf-filsuf modern. Aristoteles mengawali
metafisikanya dengan pernyataan: setiap manusia dari kodratnya
adalah ingin tahu. Dengan pernyataan ini, Artistoteles sangat yakin
bahwa dengan dorongan untuk tahu ini tidak hanya disadari tetapi
benar-benar diwujudkan di dalam karyanya sendiri. Dua generasi
sebelum Aristoteles, Socrates, membangun filsafatnya atas dasar
keyakinan bahwa tak seorang manusia pun mempunyai pengetahuan.
Hal ini diafirmasikan oleh nubuat Delphi bahwa tidak ada manusia
yang lebih bijaksana dari Socrates; Socrates sendiri yang tahu bahwa
ia tidak tahu.7

Sepintas tampak ada dua pandangan yang bersifat paradoks


mengenai keadaan manusia: di satu pihak ada afirmasi atas
keinginan umum untuk tahu dan keinginan itu dapat diwujudkan. Di
lain pihak, suatu pernyataan menegaskan mengenai ketidaktahuan
umum sebagai kenyataan kodrat manusia. Namun keluhan ini
dijawab oleh Plato dengan mengatakan bahwa pengetahuan filosofis
dimulai dengan rasa kagum. Rasa kagum bukan kepanikan orang
yang ingin melihat sesuatu, bukan pula karena sesuatu yang canggih
dan rumit tetapi terdapat hal-hal yang sederhana yang tampaknya
jelas dalam pengalaman harian. Dan justru itulah, hal yang paling
sederhana yang paling sulit dilukiskan.

Menurut Russel pengetahuan kita selalu bertolak dari


pengalaman, dan dalam hal ini tidak diragukan lagi. Tetapi
pernyataan apapun, tentang apa yang kita ketahui dari pengalaman-
pengalaman dekat kita kemungkinan besar dapat keliru. Misalkan;
sebuah meja. Dalam penglihatan kita, meja itu membujur
memantulkan cahaya, kulit kita merasakannya mulus, dingin-keras.
Semua menyetujui deskripsi ini. Tetapi jika dilihat secara saksama,
7
Kenneth Y. Gallagher, The Philosophy of Knowledge, disadur oleh Dr. Hadana Hadi, dalam
Epistemologi, Filsafat Pengetahuan, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hl. 5.
69
maka persoalan lain mulai muncul. Jika dua-tiga orang yang melihat
meja itu secara bersama-sama, maka di antara dua orang tidak akan
ada yang secara tepat melihat sebaran warna yang sama. Dengan
demikian, apakah benar bahwa ada “meja sejati”?, jika memang benar
objek macam apakah meja?8

Hal ini akan secara definitive akan dibahas dalam Judul:


KONSEP PENGETAHUAN PERSPEKTIF BERTRAND RUSSEL

5.2.1.2 Riwayat Hidup9

Russell dilahirkan pada tanggal 18 Mei 1872 setahun sebelum


kematian John Stuart Mill, wali sekulernya. Ibunya adalah anak Lord
Stanley dari Aderly dan ayahnya Viscount Amberley, Putera tertua
Lord John Russell, politisi Whig yang mengeluarkan Reform Bill pada
tahun 1832. Kedua orang tuanya meninggal sebelum Russell berusia
4 tahun dan setelah itu ia dididik oleh neneknya yang hebat dan
dididik secara privat sampai ia masuk Trinity College Cambridge,
dengan beasiswa dalam bidang matematika.

Kemajuan intelektualnya mulai berkembang pesat. Pada bulan


Juli 1900, dalam kongres filsafat di Paris, ia bertemu Peano, ahli
logika Italia dan melalui pertukaran gagasan dengannya ia
mengembangkan pemikirannya mengenai identitas yang mungkin dari
matematika dan logika. Hasil akhir dari ini adalah kolaborasinya
dengan Alfred North Whitehead, yang mengujinya pada ujian doctoral
di Trinity untuk disertasinya yang berjudul Principia Mathematica
yang kemudian diterbitkan menjadi buku.

5.2.1.3 Karya-Karya Russell10

8
Bertrand Russell, the Problems of Philosophy, diterj. Ahmad Asnawi, (Yogyakarta: Ikon
Teralitera, 2002), hal. 1-2.
9
Diane Collinson, Lima Puluh Filosof Dunia yang Menggerakkan, diterj. Ilzamudin Ma’mur
dan Mufti Ali (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2001), hal. 198.
10
Ibid., hal. 203.
70
1. Dalam Bidang Matematika

a. De principles of Mathematics (1903)


b. Principia mathematica, dengan A.N Whitehead III Volume
(1910, 1912, 1913).
2. Dalam Bidang Filsafat

a. A Critical Exposition Of Philosophy Of Leibniz (1900)


b. The Problems Of Philosophy (1912)
c. Our Knowledge Of External World as a Field for Sedentific
Method In Philosophy (1914)
d. An Inquiry Into Meaning And Truth (1940)
e. Analysis Of Mind (1921)
f. History Of Western Philosophy (1945)
g. Human Knowledge: It’s Scope and Limits (1948)
h. Logic and Knowledge (1956)
i. Autobiography III Vol. (1967, 1968, 1969).

5.2.2 Konsep Pengetahuan Bertrand Russell


5.2.2.1Pengetahuan Secara Umum
Beberapa deskripsi tentang pengetahuan:

1. Pengenalan atas sesuatu


2. Persepsi jelas tentang apa yang dipandang sebagai fakta,
kebenaran atau kewajiban.
3. Hal-hal yang berada dalam kesadaran seperti: keyakinan, gagasan,
fakta, bayangan, konsep, paham, pendapat, yagn dibenarkan
dengan cara tertentu dan dengan demikian dipandang sebagai
yang benar.
4. Proses kehidupan yang diketahui manusia secara langsung dari
kesadarannya sendiri.11

11
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), hal. 803.
71
5.2.2.2Pengertian Menurut B. Russell
Dalam kerangka telaah filosofisnya, Russell membedakan
antara “pengetahuan karena pengenalan” dan “pengetahuan
berdasarkan deskripsi”.12 Pengetahuan karena pengenalan disebut
juga pengetahuan segera, yang terdiri atas dua jenis, particular dan
universial. Di antara particular-partikular, kita mengetahuan data
indera dan (kemungkinan) pengetahuan kita sendiri. Di antara
Universalia-universalia tampaknya tida ada prinsip yang dengannya
kita bisa memutuskan mana yang dapat diketahui dengan
pemahaman, tapi yang jelas bahwa yang dapat dikenal kualitas-
kualitas yang dapat diinderai, hubungan ruang dan waktu,
keserupaan, dan universalia-universalia logis dan abstrak tertentu.

Sedangkan pengetahuan berdasarkan deskripsi, disebut dengan


pengetahuan derivative, karena melibatkan pemahaman terhadap
sesuatu dan pengetahuan tentang kebenaran. Pengetahuan segera
tentang kebenaran bisa disebut sebagai pengetahuan intuitif dan
kebenaran-kebenaran yang dikenal dengan cara itu, bisa disebut
kebenaran yang jelas dengan sendirinya.

Pengetahuan derivative tentang kebenaran terdiri atas segala


yang dapat dideduksi dari kebenaran yang jelas dengan sendirinya,
dengan mempergunakan prinsip-prinsip deduksi yang jelas dengan
sendirinya.13

5.2.2.3Pengetahuan Melalui Pengenalan dan Deskripsi 14


Keseluruhan alur dan ritme pengetahuan manusia menurut
Russell tertata melalui dua jenis (komponen) yakni pengenalan dan
deskripsi. Russell meyakini dua tatanan ini. Realitas pertama dan
utama sebelum manusia mengerti dan mendeskripsikan sesuatu
dalam tatanan pengetahuan adalah pengenalan.
12
Ibid, hal. 804.
13
Bertrand Russell, The Problems Of Philosophy, diterj. Oleh Ahmad Asanawi, (Yogyakarta:
Ikon Teralitera, 2002), hal. 162.
14
Ibid., hal. 51-56.
72
Pengenalan menurutnya, merupakan suatu realitas yang
memungkinkan manusia mengetahui segala sesuatu (benda-benda
dan aneka fenomenalitas lainnya). Pengenalan inipun serta-merta
membawa data indera yang membentuk tampakan suatu benda
sehingga kita dapat menangkap suatu benda. Pengenalan ini sifatnya
langsung yakni bahwa kita mengetahui, mengenal benda yang kita
sadari secara langsung, tanpa perantara dari segala proses
penyimpulan. Misalnya: pengetahuan tentang meja. Tentang adanya
meja, saya mengenal data-indra yang membentuk tampaknya meja
itu; warnanya, bentuknya dan lain sebagainya. Semuanya ini saya
sadari pada saat smelihat dan menyentuhnya. Syarat pertama yang
memungkinkan pengenalan adalah suatu pandangan umum atau
pengetahuan mengenai prinsip-prinsip umum atas segala sesuatu
(benda-benda).

Sedangkan deskripsi menurut Russell merupakan suatu


kenyataan lanjut dari pengenalan di mana manusia membuat
pencirian, pengklasifikasian terhadap benda-benda yang
memungkinkan adanya distingsi dan distansi di antara segala yang
ada. Pengetahuan melalui deskripsi selalu melibatkan pengetahuan
tentang kebenaran sebagai sumber dan dasar hidup. Agar bisa
mengetahui segala sesuatu tentang meja, kita harus mengetahui
kebenaran yang menghubungkannya dengan segala hal yang sudah
kita kenal. Tidak ada kondisi pikiran di mana secara langsung kita
mengetahui bahwa ini atau itu, atau yang di sama adalah meja.
Seluruh pengetahuan kita, baik pengetahuan tentang benda-benda
dan kebenarannya berlandaskan pada pengenalan. Kita hanya
mengenal apa yang ditangkap oleh indra kita sekarang ini.

Ada beberapa perluasan dari pengenalan dan deskripsi di luar


data-indra yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:

a) Ingatan
73
Ingatan adalah endapan pengetahuan manusia akan suatu objek
yang telah terjadi pada masa lalu. Ingatan membentuk pikiran kita
untuk mengenal dengan pasti sebuah obyek. Ingatan selalu
berkenaan dengan masa lalu (masa lampau).

b) Introspeksi
Introspeksi adalah suatu upaya pengenalan akan suatu obyek
yang berpusat pada kesadaran diri. Misalkan; ketika saya melihat,
saya seringkali menyadari bahwa saya melihat matahari; karena
itu “saya melihat matahari” merupakan obyek yang saya kenal.
Jenis pengenalan ini merupakan kesadaran diri yakni sumber dari
segala pengetahuan kita tentang segala hal yang bersifat mental
(seadanya). Introspeksi ini dimungkinkan oleh adanya suatu
disposisi bathinia, kesadaran diri manusia untuk mengenal segala
sesuatu. Dalam kesadaran diri ini selalu bersifat particular.

Prasyarat untuk sebuah deskripsi yang pasti adalah symbol


ketunggalan (singularitas) dari sebuah obyek, sebab bila bersifat
umum akan mengakibatkan sebuah deskripsi yang ambigu. Misalnya,
ketika kita mengetahui bahwa si A ini manusia sejauh ada
perbedaannya dengan yang lain (si B, si C, dll.) yang bukan manusia.
Pengetahuan melalui deskripsi menjadikan kita mampu melakukan
batas-batas pengalaman pribadi.

5.2.2.4Bagaimana Pengetahuan A priori Dimungkinkan15


Pengetahuan kita tentang sesuatu adalah suatu yang bersifat
umum, sedangkan seluruh pengalaman adalah suatu yang bersifat
khusus. Tampaknya suatu yang aneh bahwa kita sebelumnya harus
dapat mengetahui beberapa kebenaran tentang hal-hal khusus yang
tentangnya kita tidak memiliki pengalaman, tapi hal ini adalah suatu
yang tak dapat diragukan. Kita memang tidak tahu siapa penghuni
suatu kota seratus tahun yang akan datang, tetapi kita tahu bahwa
dua dari mereka dan setiap dua lainnya membentuk empat dari
15
Ibid., hal. 93-103.
74
mereka. Solusi Kant dalam persoalan ini bagi Russell adalah suatu
hal yang menarik, meskipun itu tidak cukup valid.

Suatu hal yang dipertahankan Kant adalah bahwa segala


pengalaman kita, terdapat dua elemen yang harus dibedakan, yang
berkenaan dengan objek (yaitu yang kita sebut “objek fisik), dan yang
lainnya berkaitan dengan hakikat diri kita. Kita memahami dalam
mendiskusikan tentang materi dan data-indra bahwa objek fisik
berbeda dari data-indra yang diasosiasikan, dan data-indra dianggap
hasil dari sebuh interaksi antara objek fisik dengan diri kita sendiri.
Dalam membagi masing-masing bagian diri kita dan objek fisik, Kant
berpendapat bahwa materi-materi mentah yang diberikan dalam
sensasi disebabkan oleh objek, dan segala relasi antara data-indra
yang dihasilkan dari perbandingan atau dari mempertimbangkan
suatu penyebab yang lain atau dalam cara lain. Alasannya adalah
bahwa kita mempunyai pengetahuan a priori mengenai ruang dan
waktu, sebab-akibat dan perbandingan, tetapi bukan tentang materi
kasar actual tentang sensasi.

Objek fisik bagi Kant secara esensial tidak dapat diketahui.


Yang dapat diketahui hanyalah fenomena yang kita alam dalam
pengalama. Fenomena ini adalah produk gabungan dari diri kita
dengan sesuatu dalam dirinya sendiri, sehingga ia berkaitan dengan
diri kita dan sesuai dengan pengetahuan a priori kita. Maka
pengetahuan itu tak dapat dilepaskan dari pengalaman. Dengan
demikian meskipun terdapat eksistensi pengetahuan a priori, kita
tidak dapat mengetahui sesuatu dalam dirinya sendiri atau tentang
apa yang bukan merupakan objek pengalaman actual dan mungkin.
Bertolak dari hal ini, Russell mengajukan suatu keberatan atas
masalah pengetahuan a priori Kant ini.

Menurut Russell, satu hal yang harus dijelaskan adalah


menyangkut keyakinan kita bahwa fakta-fakta selalu harus sesuai
75
dengan logika dan aritmatika. Mengatakan bahwa logika dan
aritmatika diberikan oleh kita tidak menjelaskan personalan ini. Alam
kita merupakan fakta tentang dunia yang ada sebagaimana dengan
sesuatu lainnya, dan tidak ada kepastian bahwa hal ini bersifat
konstan. Jika Kant benar, bisa saja terjadi bahwa pada waktu yang
akan datang alam kita akan banyak sekali berubah sehingga dua
tambah dua sama dengan lima.

Yang menjadi substansi argument Russell dalam hal ini adalah


bahwa tatanan-waktu dari fenomen ditentukan oleh karakteristik-
karakteristik apa yang ada di belakang fenomena. Dan ini semakin
jelas oleh refleksi bahwa jika terdapat kebenaran dari leyakinan
aritmatis kita, itu pastilah berlaku untuk segalanya secara sama
apakah kita memikirkannya atau tidak. Penegasan tentang hal ini
sudah pasti ada dalam kenyataan yang kita maksudkan ketika
menyatakan dua tambah dua sama dengan empat. Kebenarannya
sama pastinya dengan kebenaran penegasan bahwa dua fenomen dan
dua fenomen lainnya membentuk empat fenomen. Dengan demikian
di sini, Russell melihat bahwa solusi Kant terlalu membatasi lingkup
proposisi-proposisi a priori, di samping gagal dalam menjelaskannya.

Ketika kita menilai dua tambah dua sama dengan empat, kita
tidak membuat suatu penilaian tentang pemikiran-pemikiran kita,
melainkan tentang seluruh pasangan-pasangan actual dan mungkin.
Fakta bahwa pikiran kita begitu tinggi untuk meyakini bahwa dua
tambah dua sama dengan empat. Dan tidak ada fakta tentang
keadaan jasmani pikiran kita yang dapat membuat benar bahwa dua
tambah dua sama dengan empat. Karenanya maka pengetahuan a
priori kita jika tidak keliru bukan sekedar pengetahuan tentang
keadaan jasmani pikiran kita melainkan dapat diberlakukan pada apa
pun yang terdapat di dunia baik yang berupa mental maupun yang
berupa bukan mental.
76
Faktanya bahwa seluruh pengetahuan a priori berkaitan dengan
entitas, yang tempatnya tidak ada, baik dalam mental maupun di
dunia fisik. Entitas-entitas ini dapat diberi nama dengan bagian-
bagian ujaran yang tidak bersifat substantis, misalkan kualitas-
kualitas dan relasi-relasi.

5.2.3 Pengetahuan Intuitif


5.2.3.1Pengertian16
Kata intuisi berasal dari bahasa Latin intuire yang berarti
memandang, melihat, menonton. Dalam pengertian luas, intuisi
adalah:

- Pengenalan atau pemahaman terhadap sesuatu secara langsung dan


bukan melalui penyimpulan.

- Daya (kemampuan) untuk memiliki pengetahuan segera dan


langsung tentang sesuatu tanpa menggunakan ratio.

- Pengetahuan atau pemahaman bawaan, naluriah tanpa


menggunakan pancaindra, pengalaman biasa atau akal budi kita.
Intuisi perpangkal pada ide konsep bawaan.

Singkatnya, pengetahuan intuitif menunjuk pada pengetahuan


yang langsung tanpa melalui pencerapan indrawi atas objek-objek
material dan analisis budi atas objek-objek tertentu.

5.2.3.2Pengetahuan Intuitif Menurut Russell


Umumnya dikenal dua bentuk intuisi yaitu intuisi inderawi dan
intuisi intelektual. Intuisi inderawi ditemukan dalam binatang dan
secara lebih sempurna pada manusia karena terjalin dengan organ-
organ tubuh (indera-indera), intuisi terbatas pada penampakan dunai
benda-benda. Intuisi ini timbul dari indera pengetahuan manusia
namun indera-indera lain juga memiliki intuisi dengan caranya
16
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), hal. 363-364.
77
sendiri. Dalam arti penuh, hanya persepsi langsung dapat dicirikan
sebagai intuisi. Sebab persepsi langsung sendiri turut menyajikan
eksistensi dalam penampakan-penampakan inderawi.

Sedangkan intuisi intelektual sungguh hanya dimiliki secara


sempurna oleh roh murni. Tetapi secara particular, intuisi intelektual
ditata untuk berada (berbeda dengan penampakan) dan karenanya
dalam hal-hal bendawi intuisi ini ditujukan kepada inti hakiki benda
itu. Dan berdasarkan itu, intuisi intelektual bukan hanya
penangkapan kabur terhadap hal yang ada secara actual tetapi secara
niscaya merupakan penangkapan mental terhadap hal yang ada
berdasarkan landasan dalam ada.17

Pada Russell nampak juga kedua macam intuisi di atas. Melalui


intuisi atau pengetahuan inderawi kita dapat sampai kepada hakekat
yang menjadi prinsip umum dari sesuatu. Ia mempertanyakan apakah
di dunia ini ada pengetahuan yang begitu pasti yang tidak dapat
diragukan oleh seorangpun. Dalam urainnya, nampak bahwa Russell
menjamin adanya suatu pengetahuan yang pasti. Untuk menjelaskan
berbagai persoalan, ia menguji bagaimana cara kita memahami dunia
yaitu dengan prinsip logika dan aritmatika yang sederhana seperti
“dua tambah dua sama dengan empat”. Ini adalah benar secara logis
dan matematis (pasti). Ia juga memperkenalkan prinsip etika yang
jelas dengan sendirinya seperti “kita seharusnya mengikuti
yangbaik”.18

Selain kebenaran-kebenaran dari prinsip-prinsip di atas,


Russell menunjukkan pula kebenaran lain yang jelas dengan
sendirinya yaitu kebenaran yang berasal dari sensasi atau yang
disebutnya dengan kebenaran persepsi. Russell memperkenalkan
istilah ‘data indera’ yang pada gilirannya mengundang kesadaran kita
akan data indera tersebut (sense-datum a sensation). Semuanya ini

17
Ibid., hal. 364-365.
18
Bertrand Russell, Op.Cit., hal. 131.
78
merupakan akibat dari pengetahuan intuitif merupakan juga salah
satu cara untuk menyalami berbagai persoalan filosofis. Karena itu
Russell memperkenalkan dia model penilaian yakni penilaian persepsi
dan penilaian ingatan untuk menguji kebenaran-kebenaran sensasi.
Dengan memperkenalkan kebenaran-kebenaran yang jelas dengan
sendirinya di atas, Russell nampak menunjukkan adanya gradasi
(tingkatan) mulai dari kebenaran yang paling jelas itu sampai pada
kebenaran yang nampak kabur. Baginya, kebenaran persepsi dan
sebagian dari prinsip-prinsip logika memiliki tingkat kejelasan yang
paling tinggi

5.2.4 Apa Itu Pengetahuan Filosofis


5.2.4.1Pemahaman Pengetahuan Filosofis Menurut Russell
Dalam bukunya The Problems Of Philosophy, Russell mengawali
dengan sebuah pertanyaan

“Is there any knowledge in the world which is so certain that no


reasonable man could be doubt about it?

(Apakah ada pengetahuan di dunia yang begitu pasti sehingga


tak ada satu pun manusia yang rasional, yang dapat
meragukannya?)19

Untuk menjawab pertanyaan ini Russell lalu mengkategorikan


pengetahuan tentang kebenaran dalam dua macam yakni
pengetahuan empiris murni (deskripsi) dan a priori (pengenalan)
murni. Pengetahuan empiris murni adalah pengetahuan tentang
eksistensi dan sebagian sifat benda-benda particular yang kita
pahami. Sedangkan pengetahuan a priori murni adalah pengetahuan
tentang hubungan antara universalia-universalia, sehingga kita dapat
menarik kesimpulan dari fakta-fakta particular yang diterima dari
empiris murni.

19
Diane Collinson, Lima Puluh Filosof Dunia yang Menggerakkan, diterj. Ilzamudin M’mur
dan Mufti Ali, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2001), hal. 201.
79
Menurut Russell pengetahuan filosofis tidak hanya terbatas
pada dua pengetahuan di atas, karena karakteristik esensial filsafat
terletak pada sifat kritisnya. Hal inilah yang membedakan
pengetahuan filosofis dengan ilmu pengetahuan. Secara kritis filsafat
menguji prinsip-prinsip yang digunakan dalam ilmu pengetahuan dan
dalam kehidupan kita sehari-hari; filsafat mencari segala
ketidakkonsistenan yang mungkin ada dalam prinsip-prinsip ini dan
filsafat hanya menerima ketidakkonsistenan itu ketika sebagai hasil
dari penyelidikan kritis, sehingga tidak ada kemungkinan untuk
menolaknya.

5.2.4.2Kritik Filsafat Atas Ilmu Pengetahuan


Ketika kita berbicara tentang filsafat sebagai suatu kritik
pengetahuan, maka filsafat memiliki batas-batas tertentu. Jika kita
menggunakan sikap skeptic dengan menempatkan diri kita secara
keseluruhan di luar segala pengetahuan, dan minta dari posisi di luar
ini, kita sedang menuntut apa yang mustahil dan skeptisisme kita tak
pernah dapat disangkal; karena seluruh penyangkalan ini harus
dimulai dengan pengetahuan yang dimiliki. Oleh karena itu kritik
pengetahuan yang dipergunakan filsafat bukan dari jenis destruktif
ini.

Terhadap skeptisisme absolute, tak ada argument logis yang


dapat diajukan. Tetapi, tidak sulit untuk melihat bahwa skeptisisme
dari jenis ini tidak masuk akal. Keraguan metodis Descartes, yang
dengannya filsafat modern dinilai bukanlah jenis ini, melainkan jenis
kritik yang kita nyatakan sebagai esensi dari filsafat itu. Jenis kritik
“keraguan metodis Descartes” inilah yang membentuk filsafat.

Pengetahuan tentang eksistensi data-indra kita tampaknya


sudah bersifat pasti, betapapun dalam dan menyeluruhnya kita
merenungkannya. Dalam kaitannya dengan pengetahuan semacam
itu, kritik filsafat tidak menghendaki agar kita menjauhkan diri dari
80
keyakinan. Tetapi ada keyakinan-keyakinan misalnya, keyakinan
bahwa objek fisik menggambarkan secara tepat data-indra kita yang
dimiliki samapai kita mulai merenungkan, tapi terbukti menghilang
ketika dijadikan sasaran bagi suatu penelitian yang cermat.
Keyakinan-keyakinan filsafat semacam itu akan menjadikan kita
menolak, kecuali suatu argument baru ditemukan untuk
mendukungnya.

Secara singkat kritik yang ditujukan bukanlah kritik yang tanpa


alasan ingin menolak, melainkan kritik yang mempertimbangkan
manfaat setiap pengetahuan, dan mempertahankan apa pun yang
masih merupakan pengetahuan ketika pertimbangan itu sudah
lengkap. Filsafat bisa mengklaim bahwa ia bisa menghilangkan resiko
kekeliruan, dan bahwa dalam beberapa kasus filsafat menjadikan
resiko ini begitu kecil, sehingga praktis dapat diabaikan. Untuk
melakukan lebih dari ini, tidaklah mungkin dalam suatu dunia
tempat kesalahan-kesalahan pasti terjadi; dan tak ada pendukung
filsafat yang bijaksana akan mengklaim telah melakukan lebih dari
ini.

5.2.5. Penutup

5.2.5.1 Catatan Kritis

Dalam pemikiran Russell dikatakan babhwa pengetahuan


bertolak dari pengalaman, hal ini tidak dapat diragukan. Hanya saja
bahwa pengalaman kita bisa keliru karena persepsi kita terhadap satu
barang yang sama bisa saja berbeda dengan persepsi orang lain,
karena setiap orang memiliki persepsinya tersendiri. Hal ini terjadi
karena ada perbedaan antara tampakan dan realitas, antara apa yang
nampak dan apa yang sebenarnya. Jadi kita menyimpulkan segala
sesuatu berdasarkan apa yang disuguhkan oleh indera. Hal inilah
yang menyebabkan suatu benda bergantung pada sensasi kita. Akan
tetapi kita bisa meragukan eksistensi fisik tetapi kita tidak bisa
81
meragukan eksistensi data indera yang membuat kita berpkir bahwa
ada sebuah benda.

Russell mengatakan bahwa pengetahuan manusia terjadi


melalui dua komponen yaitu pengenalan dan deskripsi. Pengenalan
adalah realitas pertama sebelun manusia mengerti, sedangkan
deskripsi adalah suatu kenyataan lanjutan dari pengenalan. Akan
tetapi pengetahuan kita tentang suatu kebenaran tidak membuat kita
serta merta mengetahui sesuatu lebih baik dari apa yang sebelumnya
kita ketahui, karena data indera membentuk tampakan suatu benda
yang merupakan hal-hal yang sudah kita kenal dan inilah yang
membuat kita mengetahui persis tentang sesuatu seperti apa adanya.
Melalui deskripsi kita mampu untuk melampaui batas-batas
pengalaman pribadi kita, tetapi tak dapat disangkal bahwa untuk
mengetahui suatu kebenaran secara keseluruhan kita masih memiliki
pengetahuan melalui deskripsi tentang hal-hal yang sebelumnya tidak
pernah kita lihat karena kesempitan wilayah pengalaman kita.

Russell mengatakan bahwa tatanan-tatanan waktu dari


fenomen ditentukan oleh karakteristik-karakteristik yang ada di
belakang fundamen. Hal ini berlaku untuk segalanya secara sama
apakah kita memikirkannya atau tidak. Dua objek fisik dan dua objek
fisik lainnya membentuk empat objek fisik sekalipun objek-objek fisik
tidak dialami. Pengetahuan a priori jika tidak keliru bukan sekedar
pengetahuan tentang keadaan jasmani kita. Faktanya bahwa seluruh
pengetahuan a priori kita berkaitan dengan entias yang tepatnya tidak
ada baik dalam mental maupun di dunia fisik. Entias itu adalah
kualitas-kualitas dan relasi-relasi. Misalnya, andaikan saya berada di
ruangan saya, saya ada dan ruangan saya juga ada. Tapi apakah “ di
dalam” juga ada? Jelas bahwa dalam kata ada, ada relasi antara saya
dan ruangan saya. Relasi “di dalam” dapat kita pikirkan dan kita
pahami karena jika tidak memahaminya kita tidak dapat memahami
kalimat “saya berada dalam ruangan”.
82
Menurut Russell ada dua bentuk pengetahuan intuitif yaitu
intuisi inderawi dan intelektual. Intuisi inderawi ada pada binatang
dan bentuk kesempurnaannya ada pada manusia. Sedangkan intuisi
intelektual hanya dimiliki oleh roh murni. Selain itu ada penilaian lain
terhadap intuisi yaitu sesuatu yang analog dengan penilaian indera
dan yang berikut adalah penilaian ingatan atau memori yang
berhubungan dengan masa lalu. Tetapi memori bisa saja keliru dan
jawaban atas kekeliruan memori adalah, ingatan memiliki derajat
kejelasan dan ini cocok dengan tingaktan-tingkatan hingga mencapai
titik kesempurnaan dalam ingatan kita tentang peristiwa yang ada
sekarang.

Pengetahuan filosofis adalah pengetahuan yang menguji


prinsip-prinsip yang digunakan dalam ilmu pengetahuan dan
kehidupan sehari-hari. Pengetahuan filosofis hanya bisa dikatakan
sebagai suatu kritik pengetahuan jika kita telah menetapkan batasan-
batasannya misalnya sikap skeprisisme. Singkatnya bahwa, kritik
yang disampaikan bukanlah kritik tanpa alasan, ingin menolak,
melainkan kritik yang mempertimbangkan manfaat setiap
pengetahuan dan mempertahankan apa yang merupakan
pengetahuan ketika pertimbangan itu sudah lengkap.

5.2.5.2 Usul Saran

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari


kesempurnaan pemikiran Russell yang sekomprehensif mungkin,
itulah sebabnya segala saran dan kritikan yang membangun diterima
dengan ikhlas hati.

Daftar Pustaka

Bertrand Russell, The Problems of Philosophy, terj. Ahmad Asnawi,


Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2002.
83
Kenneth. Y. Gallagher, The Philosophy Of Knowledge, disadur oleh Dr.
Hadana Hadi, dalam Epistemologi, Filsafat Pengetahuan,
Yogyakarta: Kanisius, 1994.

Diane Colinson, Lima Puluh Filosof Dunia Yang Menggerakkan, diterj.


Ilzamudin Ma’mur dan Mufti Ali, Jakarta: PT. Rajagrafindo
Persada, 2001

Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,


2002.

5.3LUDWIG J. WITTGENSTEIN: PERMAINAN BAHASA DAN MAKNA


BAHASA20
5.3.1 Pendahuluan

5.3.1.1 Latar Belakang

Permenungan filosofis mengenai bahasa bukan merupakan


tema baru dalam filsafat. Kegiatan ini sudah dibuat sejak zaman
Yunani Kuno, namun permenungan seperti ini menjadi luas dan
mendalam pada abad 20, dalam hal ini permenungan pada filsafat
mengenai ada dalam filsafat klasik. Perhatian para filsuf bahasa pada
abad 20 ini, terutama pada bahasa yang mereka pergunakan untuk
mengungkapkan realitas. Problem keterbatasan sarana bahasa untuk
menyampaikan maksud-maksud filosofis sudah lama dialami. Namun
kenyataan ini tidak pernah dihiraukan para filsuf terdahulu. Mereka
terlalu asyik berfilsafat, mereka sibuk memahami realitas secara luas
dan mendalam sampai lupa memikirkan sarana pengungkapan yang
sungguh penting dan bermakna.

Hal seperti di atas mengundang reaksi para filsuf pada abad ini
terutama filsuf Anglosakson. Mereka menolak ungkapan filsafat
idealisme, karena ungkapan filsafat idealisme itu tidak saja sulit
20
Hasil elaborasi Kelompok Mahasiswa Semester VII 2004/2005: Adianto Ampolo,
Kristoforus B. Oki, Willibrodus C. Usboko, Yoseph Teme, Aloysius Tubani, Fidelis O. Sanbein,
Anselmus Y. Mones, Donatus Dappa Tadi, Fransiskus Kopong Mamu, Eduardus U. Sabatudung,
Konstantinus Nggajo, Apolinaris D. Ladjar, Benyamin Leti Gali, Servasius Balok.
84
dipahami, tetapi juga menyimpang jauh dari akal sehat. Oleh karena
itu muncul semacam reorientasi yang revolusioner tentang paradigma
filsafat yang dipelopori oleh G. Moore, yang kemudian disambut oleh
para eksponen dari Universitas Cambridge dan Oxford, seperti
Bertrand Russell, Ludwig Wittgenstein, Alfred Ayer, Gilber Ryle, dan
J.L. Austin. Mereka ini sangat bergiat dalam bahasa, dank arena
dikenal sebagai filsuf maka selanjutnya kegiatan mereka itu disebut
sebagai Filsafat Analytik atau Filsafat Bahasa.

Perhatian besar para filsuf bahasa terhadap bahasa filsafat


tidak bisa menyingkirkan peran sentral Wittgenstein dalam aliran ini.
Posisi Wittgenstein cukup menentukan sejarah filsafat pada
umumnya dan sejarah filsafat analitik pada khususnya. Dengan
pelbagai tulisan Wittgenstein memperluas ruang lingkup
perkembangan pemikiran filsafat analitik. Popularitas Wittgenstein
mencuat melalui dua karya filosofisnya, yaitu Tractatus Logico-
Philosophicus dan Philosophical Investigations. Dasar pemikiran
Wittgenstein yang termuat dalam periode Tractatus dikenal dengan
nama picture theory atau teori gambar. Maksud teori ini berorientasi
pada hubungan mutlak antara struktur bahasa dan struktur realitas.
Suatu pernyataan bisa dikatakan bermakna atau tidak bermakna,
sejauh pernyataan itu mengungkapkan suatu keadaan factual.
Sedangkan pada periode philosophical, ia beralih pada penggunaan
bahasa sehari-hari, sebagaimana yang diuraikan dalam teori
permainan bahasa.

Berdasarkan dua periode itu, para penulis sesungguhnya


berusaha untuk menyelami konsep permainan bahasa sambil
menjawab pertanyaan; bagaimana posisi dan peranan terapi bahasa
filsafat Wittgenstein kedua dalam sejarah filsafat pada umumnya dan
filsafat analitik pada khususnya. Untuk itu para penulis menyelami
persoalan ini yang dikemas dalam tema: Ludwig .J.J. Wittgenstein:
Permainan Bahasa Dan Makna Bahasa
85
5.3.1.2 Riwayat Hidup Ludwig Wittgenstein

Ia lahir di Wina (Austria) pada tahun 1889, dengan nama


lengkap; Ludwig Josef Johann Wittgenstein. Ia adalah anak bungsu
dari delapan bersaudara/i. Ayahnya seorang Yahudi yang telah
menjadi Protestan, ibunya Katholik Roma. Ia mempunyai 4 orang
saudara laki-laki dan 3 saudara perempuan, yang semuanya
berbakat, khususnya dalam musik. Keluarganya kaya dan
berpengaruh terhadap pusat kehidupan intelektual kota Wina. Hal ini
sangat menentukan dalam perkembangan pribadinya. Ia mulai
mengeyam pendidikan pada usia enam tahun; ia sangat brillian
inteleknya. Wittgenstein sangat tertarik dan berminat pada
permesinan.21

Masa muda dan petualangannya

Menanjak dewasa Wittgenstein berpisah dengan orang tua dan


saudara-saudaranya demi belajar teknik mesin di Berlin. Pada tahun
1908, masuk sebagai mahasiswa riset di Manchester di mana ia
mendesain mesin-mesin reaksi-jet dan baling-baling. Ketika ia di
Machester dia membaca The Principles of Mathematics karya Bertrand
Russell, setelah bertemu dengan ahli matematika; Frage. Tahun 1911
memutuskan untuk belajar kepada Russell yang ketika itu di Trinity
College, Cambridge (mengenai masalah matematika dan filsafat). Ia
diterima di Trinity pada tahun 1912 dan menghabiskan lima semester
di sana terlibat secara intens dalam sejumlah diskusi dengan
Bertrand Russell, G.E. Moore dan J.M. Keynes. 22 Selama perang dunia
pertama Wittgenstein menjadi sukarelawan dalam tentara Austria –
Hongaria. Pada masa-masa ini ia selalu menyimpan buku-buku
filsafat, banyak dari buku-buku itu hancur setelah kematiannya.

21
Harry Hamersma, Tokoh-Tokoh Filsafat Modern, (Jakarta : Gramedia, 1992), hal. 137.
22
David Pears, Biographical Note, dalam Frank Kermode, (edit), Wittgenstein, (London:
Fontana Press, 1985), hal. 199.
86
Tetapi darinya dikembangkan Tractatus Logico – Philosophicus yang
dikirim ke Russell dari kamppenjara saat di Monto Cassino (Italia
Selatan) dimana Wittgenstein ditahan. Setelah dibebaskan dari
penjara ia kembali ke Wina, menyumbangkan warisan dari
orangtuannya kepada orang lain. Karena itu ia berpendapat bahwa ia
tidak dapa menyumbang apa-apa lagi kepada dunia ilmu
pengetahuan, maka ia menjadi guru SD di Austria 1926, dan menjadi
tukang kebun pada suatu biara. Ketika ia berkenalan dengan Maritzm
Schlick, professor filsafat di Wina, dan para filsuf lainnya serta para
ahli matematika, makanya ia kembali ke Cambridge sebagai
mahasiswa riset dan memasukkan Tarctatus sebagai tesis doktornya.
Russell dan Moore adalah penguji tesis tersebut dan Wittgenstein
diberi beasiswa riset di Trinity. Selama liburnya di Wina ia berkenalan
dengan filsafat positivisme yang sedang berkembang di bawah
pimpinan Matiz Schlick oleh kelompok yang dikenal dengan Lingkaran
Wina. Para anggota Lingkaran Wina tersebut memuji doktrin Tractatus
tetapi ia meskipun memiliki kaitan erat dengan pandangan-
pandangan lingkaran Wina, ia tidak tergabung dalam lingkaran Wina.
Ia mengembangkan gagasan-gagasan baru dalam filsafat
matematika.23 George Von Wright dalam penjelasan biografisnya,
menulis bahwa:

Ia tidak memiliki tulisan atau catatan. Ia berpikir sebelum masuk


kelas. Kesannya berkonsentrasi tinggi. Penjelasannya biasanya
mengandung pertanyaan yang kepadanya hadirin diharapkan
memberi jawaban. Jawaban-jawaban tersebut pada gilirannya
menjadi titik tolak untuk pemikiran baru yang mengarah pada
persoalan-persoalan baru.

23
Diane Collins, Lima Puluh Filosof Dunia Yang Menggerakkan, (Jakarta: Raja Ratindo
Persada, 2001). Hal. 215.
87
Pada 1932 dan awal 1935 ia memperkenalkan dua buku dalam kelas
The Blue Book dan The Brown Book, dimana keduanya mengarah pada
pemikiran filosofis yakni filsafat pikiran, diskusi mengenai konseps-
konsepsi seperti sensasi, imanjinasi dan tindakan sengaja. Pada akhir
tahun 1935 ia pergi ke Unisoviet dan kemudian Norwegia di mana ia
tinggal di gubuk yang telah dibangun untuk dirinya ketika kunjungan
awalnya. Di sini ia menulis Philosophical Investigations yang menjadi
buku yang terkenal. Pada tahun 1939 ia menjadi guru besar di
Cambridge. Dan akhirnya pada tahun 1951 ia meninggal di
Cambridge.

5.3.1.3 Karya-Karya24

 Note Book, 1914-1916


 Tractatus Logico – Philosophicus, 1921
 Philosophical Investigations, 1953
 Remark on the Foundations of Mathematics, 1956
 The Blue and Brown Books, 1958
 Zettel, 1967
 On Certainty, 1969
5.3.2 Permainan dan Makna Bahasa

5.3.2.1 Perkembangan Konsep Pemikiran Wittgenstein

Seluruh filsafat Anglosaxon setelah Neo-idealisme kadang-


kadang disebut “Filsafat Analitis”. Nama ini cocok untuk kebanyakan
aliran, tetapi juga terlalu kabur. Di dalam filsafat analitis masih harus
dibedakan beberapa tendensi yang merupakan sekaligus tahap-tahap
perkembangan yang berturut-turut, yaitu sebelum perang dunia
kedua “analitika bahasa”.25

24
David Pears, Op. Cit., hal. 198.
25
Harry Hamersma, Op. Cit., hal. 129.
88
Empirisme Logis yang disebut “Positivisme logis” dan “Neo-
positivisme Inggris”, diinspirasikan oleh Russell, Wittgenstein (sebelum
1930), dan oleh lingkaran Wina. Wittgenstein adalah murid Russell,
tetapi dalam beberapa hal Russell juga memandang dirinya sebagai
murid dari Wittgenstein. Tulisan Tractatus Logico – Philosophicus
(1921) cukup mempengaruhi lingakran Wina. Namun ada anggota
lingkaran Wina yang melarikan diri ke Inggris dan Amerika Serikat
saat Nazi, lingkaran Wina mempengaruhi lagi empirisme logis di
Inggris. Analitika bahasa dalam lingkaran Wina menjadi aliran
penting dalam filsafat Anglosaxon. Analitika bahasa dipengaruhi oleh
pemikiran Wittgenstein setelah 1930, yang diungkapkan dalam
tulisannya Philosophical Investigations dan oleh G. Moore. Analitika
bahasa memandang tugas filsafat sebagai “terapi”.

Pada Wittgenstein dapat diterapkan perkataan Kierkegaard,


“filsafat terus-menerus memperbaharui kulitnya. Pada setiap langkah
baru, kulit yang lama menjadi pakaian untuk pengikut-
pengikutnya……”. Wittgenstein boleh dianggap sebagai perintis dua
aliran filsafat yang penting, tetapi ia sendiri tidak mau digolongkan
dalam aliran-aliran ini. Ia menjauhkan diri baik dari neopotivisme
maupun dari analitika bahasa.26 Menurut penjelasan dalam buku
Wittgenstein, filsafat itu bukan ajaran, melainkan suatu kegiatan.
Filsafat harus bertanya terus-menerus. Dan justru ini mendorong
banyak orang berpikir.

5.3.2.2 Beberapa Pokok Pemikiran Wittgenstein

5.3.2.2.1 Meaning is use

26
Ibid., hal. 140.
89
Bagi Wittgenstein masalah bahasa pertama-tama adalah
masalah menggunakan bunyi tertentu. Dengan itu lantas ia
mengatakan bahwa di luar penggunaan, dalam kenyataan, sebuah
tanda menjadi mati. Sebuah tanda menjadi hidup, menjadi bermakna
justru dalam penggunaan. Penggunaan sebuah tanda merupakan
nafas kehidupan tanda bersangkutan.27

Peralihan dari persoalan makna kepada makna penggunaan


didasarkan pada pengertian umum bahwa makna sebuah kata adalah
obyek yang dilambangkannya. Kata menunjukkan sesuatu yang dapat
diindrai keberadaannya. Misalnya, kambing, kuda, kursi dan lain-lain.
Kata-kata ini bermakna karena menamakan sesuatu. Tetapi terdapat
banyak kata yang tidak menunjukkan benda, misalnya sudah, maka,
boleh, dan seterusnya. Karena itu jangan tanyakan apa arti sebuah
kata tetapi bagaimana sebuah kata digunakan. 28

Ada banyak jenis pemakaian bahasa yang semuanya


mempunyai kebenaran dan logika tersendiri, suatu jenis bahasa
tertentu, yang terdiri dari kata-kata dan aturan pakainya (yaitu tata
bahasa), disebut language game. Arti kata-kata hanya bisa dipahami
dalam kerangka language game yang dipakai. Satu kata tertentu
mempunyai arti yang terus-menerus dapat berubah. Bahasa
laboratorium, bahasa Koran, bahasa pasar, bahasa doa, bahasa cinta,
bahasa olahraga: semuanya itu merupakan language game khas di
mana juga kata-kata mendapat arti yang khas. Bahasa dibandingkan
dengan suatu kota yang tua. Bagian-bagian baru kota itu, yaitu
bahasa logika, matematika, dan ilmu pengetahuan yang dibangun
menurut pencernaan yang jelas dan logis. Tetapi bagian-bagian tua,

27
Wittgenstein, Ludwig, Philosopical Investigations, dalam G. E. M. Anscombe, (terj.),
(Blakwell: Oxford, 1953), hal. 40, 20, no. 40 terjemahan penulis.
28
Lorens Bagus, Wittgenstein Masalah Bahasa Dan Makna, dalam F.X. Mudji Sutrisno dan F.
Budi Hardiman, (edit.), Para Filsuf Penentu Gerak Zaman (yogyakarta: Kanisius, 1992), hal. 96.
90
yaitu bahsa sehari-hari, terdiri dari macam-macam gang dan jalan
yang disusun kurang teratur.29

5.3.2.2.2 Language Game30

Wittgenstein dalam periode kedua menekankan bahwa


berbicara tentang bahasa termasuk aktivitas atau bentuk suatu
kehidupan. Bahasa bukanlah sebuah fenomen sederhana melainkan
merupakan sebuah fenomen yang sangat kompleks. Di dalamnya
terdapat sejumlah permainan bahasa yang tak terhitung. Dengan
bahasa yang sama kita dapat memaparkan sesuatu, memberi
perintah, berterima kasih, berdoa, bernyanyi, dan seterusnya. Bahasa
bagaikan alat pertukangan dalam tas seorang tukang. Sebagaimana
tidak ada penggunaan pasti dan sangat terbatas pada suatu alat,
demikian pun bahasa tidak ada penggunaan pasti dan ketat pada
tiap-tiap kata.31 Anggaplah kalimat sebagai alat dan makna kalimat
sebagai penggunaannya.32 Wittgenstein mengambil suatu bentuk
permainan tertentu dalam kehidupan sehari-hari, sebagai contoh:
“permainan-permainan yang memakai papan catur”. Dan seterusnya.33

Setiap permainan memiliki aturannya sendiri untuk


menentukan menang atau kalahnya. Norma yang berlaku untuk
sebuah permainan tertentu menjadi esensial dalam permainan
tersebut. Dalam permainan bahasa beberapa pikiran pokok ini perlu
diperhatikan:34

1. Adanya banyak permainan bahasa tetapi tidak ada hakikat yang


sama diantara permainan-permainan itu. Esensi setiap permainan
berbeda. Setiap permainan ini hanya dikenal kesamaan keluarga.

29
Harry Hamersma, Op. Cit., hal. 139.
30
Istilah Language Games diterjemahkan dengan istilah Permainan-Permainan Bahasa.
31
Lorens Bagus, Op. Cit., hal. 97.
32
Ludwig Wittgenstein, Op. Cit., hal. 111-126.
33
Ibid., hal. 31-32.
34
Lorens Bagus, Loc. Cit.
91
2. Dalam aneka permainan bahasa terdapat kesamaan keluarga.
Dengan itu tidak mungkin menentukan dengan persis batas-batas
pemahaman mengenai permainan. Yang mungkin dilakukan ialah
melacak batas-batas untuk mengetahui apakah hal itu dapat
disebut suatu permainan atau tidak. Batas-batas permainan itu
sendiri kabur dan sulit dipahami.
3. Kendatipun orang tidak tahu persis permainan, tetapi ia tahu apa
yang dapat dibuat dengan sebuah permaian. Permainan memang
merupakan sebuah konsep yang sangat dan sulit didefinisikan.
Kita tak dapat menjelaskan dengan tuntas konsep permainan. Kita
hanya menyampaikan contoh-contoh permainan yang berbeda-
beda.
Jadi kita bisa katakana bahwa penerapan kata atau kalimat
yang sama dalam pelbagai cara yang berbeda tidak mengandung
makna yang sama melainkan mengandung dasar-dasar kemiripan
yang sifatnya universal. Dalam arti, penggunaan kata atau kalimat
yang sama dalam banyak cara yang berbeda, sekalipun mengandung
sesuatu yang bersifat universal, namun nampaknya tetap bergantung
cara bermain dan penggunaannya.

5.3.2.2.3 Terapi Terhadap Bahasa Filsafat

Munculnya teori Permainan Bahasa yang termuat dalam


Philosophical Investigation, lebih disebabkan oleh penyakit bahasa
filsafat dan ketidakmampuan teori gambar untuk membuat terapi
bahasa filsafat. Oleh karena itu, menurut Wittgenstein, penyakit
bahasa filsafat perlu diatasi dengan analisa bahasa. Dalam hal ini
filsafat sebaiknya tidak menerangkan apa-apa, cukuplah kalau hanya
dibuat deskripsi-deskripsi dengan cara sesederhana mungkin. Karena
dengan demikian filsafat dapat berfungsi sebagai terapi. Banyak
masalah diciptakan oleh suatu cara berpikir yang kurang sehat.
Filsafat sebaiknya tidak bermain dengan menciptakan “simpul-simpul”
dan teka-teki yang memusingkan pemikiran kita dengan gerakan-
92
gerakan yang merumitkan kebenaran tetapi berusaha sebaliknya
berfungsi menghapuskan berbagai kekacauan.35

Berdasarkan teori permainan bahasa, Wittgenstein berhasil


menentukan tugas filsafat melalui aktivitas metodisnya yang termuat
dalam pemikirannya yang baru. Dia melihat bahwa bahasa dapat
menipu manusia. Kita dapat mengira bahwa kata-kata tertentu dan
slogan-slogan tertentu merupakan nama-nama untuk hal-hal yang
sungguh ada. Melalui analisa bahasa dapat diselidiki apakah
kenyataan yang dimaksud sungguh-sungguh ada. Wittgenstein sendiri
menggunakan metode analisis bahasa terutama dalam menyelidiki
pemikiran manusia. Tetapi yang tetap tinggal adalah persoalan makna
pemakaian bahasa filsafat yang mengandung teka-teki dan
membingungkan itu. Banyak istilah dalam bahasa filsafat dipakai
secara aneh, tidak mengikuti aturan mainnya. Para filsuf memakai
banyak istilah yang tidak lazim bagi banyak orang. Ketika para filsuf
memakai pengertian yang terselubung dengan mengajukan istilah
yang tak terpahami, seperti keberadaan, ketiadaan dan sebagainya.
Maka pertanyaan apakah makna dari istilah yang tak terpahami itu?
Tentang istilah ini Wittgenstein menganjurkan supaya kita
menghindari penyamaran dari sesuatu yang tak terpahami itu dengan
menunjukkan bahwa hal itu sebenarnya omong kosong saja.36

5.3.3 Catatan Kritis

Analytika telah dipelopori oleh G. Moore yang disambut baik


oleh filsuf lain yang pada prinsipnya skeptis terhadap bahasa filsafat.
Manakala para filsuf berkutak dengan istilah ada, essensi, eksistensi,
substansi pengetahuan dan lain-lain, yang sering membingungkan,
maka mereka mencoba mengungkapkan hakekat dari segala sesuatu.
Mereka juga mempertanyakan bahasa filsafat dalam keseragaman
makna dalam penggunaan makna dan permainan bahasa itu sendiri

35
Harry Hamersma, Op. Cit., hal. 139.
36
Wittgenstein, Op. Cit., hal. 133.
93
justru munculnya Wittgenstein II merupakan suatu langkah maju.
Dengan karya Phylosophical Investigation (periode II) yang merupakan
karya lanjutan dari pemikirannya dalam periode pertama (Tractatus
Logico – Philosophicus), sebagai akibat dari ketidakmampuan teori
gambar dalam menjelaskan hubungan antara makna yang utuh dari
suatu realitas. Mungkin merupakan usaha paling terkenal dan
menarik untuk memecahkan masalah-masalah filosofis dengan
menekankan keunggulan “bahasa biasa”. Ia berkeyakinan bahwa
keistimewaan bahasa biasa terletak pada kenyataan bahwa arti dari
kata-kata dari bahasa harian.

Pandangan Wittgenstein II ini mempunyai relevansinya bagi


masalah persepsi, sebab persoalan ini dapat dianggap muncul dari
kegagalan kata. Anggapan yang menyatakan bahwa kata-kata “bahasa
harian” dan “bahasa sains” menunjukkan atau mempunyai arti yang
sama, akan menghadapi masalah besar dalam menentukan mana
yang benar-benar menunjuk kepada objek “real”. Tetapi kalau kita
menyadari bahwa permainan bahasa sains dan bahasa harian
merupakan hal yang berbeda, kita tidak akan merasa bahwa kita
harus menentukan mana yang dipilih. Dengan caranya Gilbert Ryle
menyangkal manusia saintis untuk meremehkan kenyataan dari
kualitas-kualitas sekunder dan primer yang mengatakan bahwa
kenyataan dapat dilukiskan hanya dengan kualitas-kualitas primer
yang dianggap berguna. Sebab kenyataannya adalah bahwa kata-kata
santifitik tidaklah berfungsi dengan cara yang sama seperti kata-kata
dalam bahasa harian. Kata-kata sains tidak memberi lukisan.

Lewat pemikrian-pemikirannya itu dapat dinilai bahwa:

 Wittgenstein mampu memberikan pemikiran tentang peran


lambang atau symbol bagi manusia untuk mengungkapkan
realitas factual. Meskipun dalam teori gambarnya, peran ini belum
mengungkapkan secara utuh makna seluruh realitas. Akibat dari
94
ketidakmampuan teori gambar, muncul philosophical Investigation.
Dalam bukunya ini ia mencoba menjelaskan seluruh makna dari
realitas.
 Dalam awal Tractatus ia menolak peran metafisika. Baginya
metafisika tidak berperan dalam bahasa. Tetapi selanjutnya
diakhir Tractatus, ia mengakui peran metafisika dalam bahasa. Di
sini ia mengakui bahwa ada hal-hal yang tidak dapat diungkapkan
dalam bahasa yang merupakan bagian dari metafisika.
 Dalam Tractatus, ia hanya melihat peran bahasa untuk
mengungkapkan satu keadaan factual saja, namun dalam periode
II ia mengakui bahwa bahasa mempunyai banyak makna dalam
mengungkapkan hakikat berbagai keadaan factual.
Dengan melihat perkembangan pemikirannya, latar belakang
pemikiran dan tokoh-tokoh yang ada dalam kehidupan pemikirannya,
maka dapat diketahui bahwa konsep pemikirannya juga dapat
dipengaruhi oleh Neo-positivisme dan lingkaran Wina. Namun ia
sendiri tidak mau menyebut dirinya sebagai tokoh neo-positivisme
dan lingkaran Wina.

5.3.4 Refleksi Pribadi

Berdasarkan ungkapannya : bahasaku adalah duniaku, dapat


dikatakan bahwa Wittgenstein hanya mereduksi bahasa pada dunia
yang dapat diketahui saja. Dengan demikian ia sangat membatasi
peran bahasa. Benarlah apa yang diakui Wittgenstein bahwa bahasa
kita tidak mampu mengungkap seluruh realitas. Dia berkata dengan
yakin: “Tentang hal yang tidak bisa kita katakan, seharusnya kita
diam”.

5.3.5 Penutup

5.3.5.1 Kesimpulan
95
Berdasarkan uraian di atas bisa disimpulkan bahwa tuduhan
para filsuf bahasa termasuk Wittgenstein II (Philosophical
Investigation) terhadap penyakit proto philosophia tidak bisa
dipertahankan karena metafisika yang pada hakikatnya menyelami
ada sebagai ada sangat melampaui ada bahasa. Adanya sesuai sudah
terimplisit ada yang terlebih dahulu. Ada yang ada pada bahasa bisa
lenyap tetapi yang tidak bisa hilang dan tinggal tetap hanyalah ada
dalam arti yang essensial.

Walaupun penggunaan makna bahasa rumit tetapi Wittgenstein


memberikan suatu analisa terhadap bahasa sebagai ada bahasa
melalui tanda yang merupakan nafas kehidupan tanda yang
bersangkutan. Di sini justru permainan bahasa menuntun kita
berpikir secara lurus dan tepat. Dan dari pemakaian bahasa sehari-
hari para filsuf bahasa telah melihat dan menunjukkan keabsahan
dalam norma kebahasaan yang tepat dan relevan bagi kehidupan
sehari-hari. Wittgenstein sebagai filsuf analitika melihat nafas
kehidupan bahasa justru dalam penggunaan makna dan permainan
bahasa.

Dengan demikian sebagai insane yang berbahasa dalam


kehidupan sehari-hari perlu memperhatikan system atau norma yang
mengatakan penggunaan makna dan permaianan bahasa itu sendiri.
Sehingga kita tidak terjebak dalam kebingungan. Walaupun dalam
bahasa Wittgenstein ia mengakui bahwa bahasa itu ada
keragamannya dan misterius, karena manusia itu sendiri adalah
misterius.

Daftar Pustaka

Collins, Diane, Lima Puluh Filosof Dunia Yang Menggerakkan, Jakarta:


Raja Ratindo Persada, 2001.
96
Hamersma, Harry, Tokoh-Tokoh Filsafat Modern, Jakarta : Gramedia,
1992.

Pears, David, Biographical Note, dalam Frank Kermode, (edit),


Wittgenstein, London: Fontana Press, 1985

Sutrisno, F.X., Mudji dan Hardiman, F. Budi, (edit.), Para Filsuf


Penentu Gerak Zaman Yogyakarta: Kanisius, 1992.

Wittgenstein, Ludwig, Philosopical Investigations, dalam G. E. M.


Anscombe, (terj.), Blackwell: Oxford, 1953.

5.4FILSAFAT GEORGE MOORE37


5.4.1 Pendahuluan

5.4.1.1 Latar Belakang

George Moore adalah seorang filsuf Inggris yang menentang


Idealisme di zamannya. Ia menanggapi keadaan filsafat dibangsanya
yang sangat didominasi oleh idealisme. Karena itu perlu diketahui
latar belakang/situasi filsafat idealisme di Inggris.

Pada awal abad XX aliran filsafat yang dominant di Inggris


adalah idealisme. Kadang-kadang juga disebut Neo-Hegelisme Inggris.
Karena filsafat Hegel jelas sekali merupakan sumber inspirasi yang
utama bagi para penganut idealisme Inggris. Tetapi hal ini tidak
berarti filsuf yang bersangkutan hanya dipengaruhi Hegel saja, sebab
filsafat Kant misalnya, sering digunakan juga, dan adri filsuf-filsuf
Yunani mereka menaruh perhatian khusus pada Plato.

Sebenarnya bila diteliti, maka dapat dikatakan bahwa aliran


idealisme tidaklah cocok dengan tradisi pemikiran Inggris. Filsafat

37
Hasil elaborasi kelompok Mahasiswa Semester VII 2004/2005: Yohanes Aristo Sikone,
Arkhadius Sifa, Selestinus Panggara, Joao Fernandes Soarez, Paulus Jeraman, Marselinus Kali,
Aleksius Sudarsi, Damianus Eko, Rafael de Lima Hale. Yohanes M. V. Finit, Eduardus Dosan,
Yohanes D. B. Boro Ama, Agustinus Jefry Banu.
97
Inggris sudah sejak abad pertengahan lebih condong ke hal-hal
empiris, di mana empirisme muncul.

Idealisme Inggris dapat sebagai reaksi atas materialisme dan


positivisme yang merajalela di Eropa waktu itu, khususnya filsafat
John Stuart Mill yang menguasai generasi filsuf-filsuf Inggris sebelum
timbulnya idealisme. Filsuf-filsuf Inggris yang menganut idealisme
adalah: T.H Green (1836-1882), Eduard Chaid (1835-1908) dan
kakaknya John Chaid (1848-1923), juga J.E. McTaggart (1866-1925).

Dari keadaan inilah George Moore hadir sebagai lawan dari


idealisme. Pandangan-pandangan George Moore akan diuraikan
dalam terang latar belakang ini.

5.4.1.2 Riwayat Hidup

George Moore lahir di Upper Norwood, dekat London kira-kira 8


mil jauhnya dari pusat London. Ia adalah anak kelima dari delapan
bersaudara yakni empat laki-laki dan empat perempuan. Sejak kecil
mereka telah dididik oleh ayahnya. Mereka diajar membaca, menulis,
aritmatika dasar, geografi dan sejarah Inggris. Selain itu, sejak
mereka berumur tiga tahun, mereka juga telah diajarkan bermain
piano dan bagi yang berbakat diizinkan untuk bermain piano di luar
waktu latihan.

Ia masuk ke Trinity College di Cambridge pada bulan September


1892. Di sana mula-mula ia belajar Teologi klasik. Dia tidak pernah
memangku izin belajar filsafat. Bahkan sampai saat itu ia tidak
pernah tahu apa-apa tentang filsafat. Tetapi pertemuannya dengan
tokoh filsafat Bernard Russelll-lah yang telah membuat dia untuk
mulai belajar filsafat. Bernard Russell adalah kakak senior Moore di
Trinity College di Cambidge. Ia dua tahun di atas Moore. Russell telah
98
berada di tahun keempat ketika Moore baru berada ditahun kedua.
Russell cukup mempengaruhi dia. Russell memperkenalkan Moore
pada McTaggart dan kelompok murid-muridnya. Jadi, pada waktu itu
mereka berdua sama sekali diresapi oleh suasana idealisme yang
menjadi mode filosofis pada waktu itu.

Moore adalah orang pertama yang mulai mengkritik idealisme.


Dan ia meyakinkan Russell, sahabatnya yang berusia satu tahun
lebih tua, untuk meninggalkan idealisme secara definitive. Moore
banyak membaca tulisan-tulisan Russell, seperti mind karya filosofis
pertama Russell, The Essay on the Fondation of Geometry, Philosophy
of Leibniz, Principles of mathematics dan masih banyak karya lain.
Dengan itu, ia lebih dipengaruhi oleh Russell dari pada filsuf-filsuf
lain.

Moore juga belajar banyak tentang moral dengan menghadirkan


kuliah-kuliah dari Hendry Sidqwick, James Ward, G. F. Stouk, dan
J.E. McTaggart. Dari tokoh-tokoh ini lebih dekat dengan Sidqwick,
yang darinya ia memahami Common Sense yang kemudian ia
kembangkan dalam karyanya. Karya Sidqwick yang sangat
mempengaruhi dia dalam hal ini adalah “Methods of ethics”. Dari
McTaggart ia banyak belajar tentang Hegel. Dari Stouk ia belajar
tentang sejarah filsafat modern. Moore juga mempelajari Kant dan
karena itu dia belajar tiga Critiques, Prolegomena dan menulis tentang
sebagai karya akhirnya di perkuliahan, di mana ia menulis tentang
Grund Legung Zum Metaphysik der Sitten dari Kant. Dalam karyanya
itu juga Moore bicara tentang filsafat Bradley.

Moore dari tahun 1921-1947 bertugas sebagai pemimpin


redaksi Mind, suatu majalah yang sangat penting untuk mengikuti
perkembangan pemikiran filsafat di Inggris dalam abad XX. Ia
mengajar di beberapa tempat di Inggris, paling lama di Trinity College
99
di Cambridge. Antara tahun 1940-1944 ia mengajar di berbagai
universitas di Amerika Serikat. Ia meninggal dunia pada tahun 1958.

5.4.1.3 Karya-Karya George Moore

 Tahun 1903, Principia Ethica


 Tahun 1912, Ethics
 Tahun 1922, Philosophical Studies
 Tahun 1953, Somen Mind problems Of Philosopy
 Tahun 1959, Philosophycal Papers
 The Refutation of idealism
 A Defence Of Common Sence
 Proof of an Estern world
 The Nature and Reality of Objects of Perception
 The Statute of Sense Data
5.4.2 PANDANGAN GEORGE MOORE

5.4.2.1 Penolakan Terhadap Idealisme: Common Sense Realisme

Idealisme berkembang dengan suatu pandangan bahwa


kebenaran itu ada dalam idea-idea. Lebih lagi idealisme menegaskan
bahwa segala sesuatu bersifat spiritual. Tidak ada apa-apa yang
berada di luar diri kita. Idealisme juga sampai pada kesimpulan
bahwa kebenaran adalah keseluruhan. Benda-benda fakta-fakta
individu hanya mendapat maknanya karena kehadirannya dalam
suatu keseluruhan. Yang individu hanya dapat dimengerti dalam
hubungan dengan yang absolute. Inilah yang ditantang oleh Moore.

Moore dalam sebuah artikel yang dimuat dalam Mind, tahun


1899, mendasarkan pandangannya pada pernyataan Bradley bahwa
kebenaran dan kepalsuan bergantung pada relasi antara ide-ide
dengan realitas. Dan Moore melihat bahwa apa yang dipikirkan oleh
Bradley tentang ide-ide bukanlah dalam arti suatu bagian mental
tetapi lebih dalam arti universal. Dan Moore menggantikan “konsep”
100
untuk “idea” dan “proposisi” untuk “keputusan”. Dan bagi dia, apa
yang ada dalam proposisi adalah relasi khusus antar konsep-konsep.
Jadi kebenaran dan kepalsuan proposisi tidak terletak pada
kesesuaian proposisi dengan realitas, melainkan pada hubungan
antar konsep-konsep yang membangunnya. Tidak ada relasi antara
proposisi dengan suatu diluar darinya. Di sini, Moore dengan
mengatakan bahwa konsep-konsep hanya objek pengetahuan dan
kebenaran proposisi tergantung pada relasi konsep-konsep,
membalikkan apa yang dibicarakan dalam realisme. Ia membuat
pemisahan yang tak terjembatani antara dunia proposisi yang adalah
bidang benar dan salah dengan realitas non-proposisi atau kenyataan.

Lalu apa itu konsep? Konsep itu bukan suatu abstraksi yang
dibuat dengan berbasiskan pada realitas material. Pun, ia bukan
suatu kontruksi mental manusia atas suatu realitas. Konsep itu lebih
sebagai suatu realitas objektif itu sendiri. Dengan itu Moore
menekankan bahwa dunia adalah bentuk lain dari konsep-konsep
tetapi ini bukan berarti dunia itu suatu yang spiritual. Dengan
mengatakan bahwa dunia terdiri dari konsep-konsep, Moore justru
ingin mengeliminasi pemisahan antara konsep dan realitas. Konsep
itu telah ada sebagai “sesuatu” sebelum berelasi dengan suatu subjek
rasional. Di sini, pengetahuan itu tidak menambah apa-apa pada
konsep. Konsep sama dengan objek. Jadi dengan mengetahui
sesuatum kita tidak membuat perubahan pada objek. Sebab dan
akibat dari sesuatu itu hanya ada pada subjek dan bukan pada objek.
Moore bahkan menegaskan bahwa tidak ada perbedaan antara
proposisi Saya ada dengan realitas eksistensiku atau keberadaanku.

Lebih lanjut Moore membicarakan tentang Esse est percepii dari


realisme Berkley. Tetapi bagi Moore, Percepii bukan hanya ada pada
Berkley tetapi juga bisa dihubungkan dengan Hegel dan Bradley,
karena bagi dia percipii juga sama seperti “pikiran”. Moore dengan
tegas membuktikan bahwa pandangan esse est percipii adalah suatu
101
pandangan yang salah. Karena di dalam esse est percipii tidak dapat
dibedakan antara objek yang diinderai dengan sensasi atas objek
tersebut. Dalam sebuah contoh, Moore mengemukakan tentang
sensasi terhadap warna biru. Dia mengatakan bahwa sensasi
terhadap warna biru berbeda dari sensasi terhadap warna hijau.
Dalam kedua sensasi itu ada sesuatu yang umum yakni “Kesadaran”.
Namun tetap berbeda satu sama lain. Juga, tidak dapat dikatakan
bahwa kesadaran akan warna biru sama dengan warna biru itu
sendiri. Menurut dia sensasi terhadap warna biru sungguh berbeda
dari warna biru itu sendiri. Warna biru itu bisa ada tanpa kesadaran.
Di sini ia menekankan bahwa sesuatu tetap ada walau tidak disadari.

Juga dia menguraikan bahwa sesuatu yang berwarna biru


dalam sensasi adalah kwalitas sedangkan dalam realitas biru adalah
seharusnya, sesuatu yang melekat erat, miliknya, “property”, sehingga
keduanya mesti berbeda. Dan menurut dia warna biru tidak pernah
diketahui tanpa melekat pada sesuatu yang berwarna biru. Di sini
konsep “universal” ditolaknya. Bagi dia semua “sense-data” selalu
melekat pada sesuatu. Contohnya, bila kita melihat dasi biru dan
setelah itu kita menutup mata kita tetap tahu tentang biru pada
sebuah dasi. Tidak mungkin terlepas. Dengan itu, Moore menolak
abstraksi. Sensasi kita tentang biru berbeda dari biru itu sendiri.
Sensasi kita tentang biru adalah kesadaran kita tentang biru sebagai
suatu objek. Dan kesadaran tentang biru itu bukan suatu gambaran
representative yang hadir dalam pikiran karena suatu tangkapan atau
abstraksi melainkan hanya karena suatu kesadaran langsung atau
objek “biru”.

Moore dalam hubungannya dengan sensasi dan persepsi,


menggunakan analisis fenomenologi tetapi ia lebih berdasarkan pada
realisme akal sehat (Common sense realism). Bagi dia, ada banyak
proposisi yang benar secara pasti. Sejauh proposisi-proposisi itu
mengikuti pandangan akal sehat dunia maka proposisi-proposisi itu
102
benar. Proposisi itu benar karena alasan-alasan yang mendasarinya
itu benar, dan bukan karena pendapat para filsuf.

Moore dengan tegas mengkritik idealisme dalam artikelnya yang


berjudul The Refutation of Idealism. Bagi dia, dengan membuat semua
pernyataan secara umum tentang universum, maka idealisme
menyatakan bahwa dunia itu spiritual. Idealisme menegaskan bahwa
waktu itu tidak real. Pun tidak ada dunia material di luar kita.
Mendengar pernyataan-pernyataan itu tentu orang-orang biasa akan
merasa heran, karena sama sekali bertentangan dengan akal sehat.
Dan Moore lebih berpihak pada akal sehat. Sehingga realismenya
adalah realisme akal sehat.

5.4.3 Etika

5.4.3.1 Kebaikan

Yang menjadi persoalan mendasar bagi Moore adalah Baik dan


Salah. Dia tidak menaruh perhatian pada apa yang baik atau apa
yang buruk dari tingkah laku manusia, seperti yang dilakukan
banyak filsuf. Dia lebih menaruh perhatian pada persoalan
“Bagaimana baik itu didefinisikan?”, dan “Apa itu kebaikan dalam
dirinya sendiri?”. Namun, Moore menegaskan bahwa pertanyaan
Bagaimana baik didefinisikan tidak berarti bahwa suatu definisi
verbal, di mana kita merangkai kata-kata untuk mendefinisikan “yang
baik”. Yang diperhatikan adalah idea atau objek dari yang baik dan
yang buruk yang secara umum digunakan. Moore lebih berurusan
dengan fenomenologi dari pada analisa linguistic.

Bagi dia baik itu tidak dapat didefinisikan. Tidak dapat


didefinisikan bukan karena baik itu sesuatu yang misterius, gaib dan
tidak dapat dikenal tetapi karena baik itu sesuatu yang sederhana,
seperti kuning,. Kita hanya mengetahui “kuning” tanpa pernah
mendefinisikannya, karena kuning seperti baik, adalah hal yang
103
sederhana. Definisi hanya dapat dilakukan terhadap objek yang
kompleks. Ketika suatu objek sederhana, maka tidak dapat
didefinisikan.

Dari pemikiran ini maka Moore menolak segala upaya untuk


mendefinisikan kebaikan dengan hal-hal natural. Sebagai contoh dia
mengambil definisi kebaikan sebagai hal yang menyenangkan. Definisi
ini menyiratkan bahwa yang baik itu sama dengan meyenangkan. Hal
ini adalah suatu kesalahan bagi Moore. Dia menolak hal ini dengan
dua alasan:

 Kalau seandainya baik dan menyenangkan sama artinya, maka


mustahillah untuk mengatakan bahwa sesuatu itu baik tetapi
tidak menyenangkan atau sesuatu adalah menyenangkan tetapi
tidak baik. Padalah dalam kenyataan kita bisa menemukan hal ini.
 Kalau seandainya baik sama artinya dengan menyenangkan, maka
pertanyaan “Apakah yang menyenangkan itu baik?” haruslah sama
artinya dengan pertanyaan “apakah yang baik itu baik?” Namun
demikian kita yakin bahwa pertanyaan pertama betul-betul
mempunyai arti dan tidak boleh disamakan dengan pertanyaan
kedua yang sepele itu.
Dengan demikian jelas bahwa Moore menolak upaya
mendefinisikan karena baik itu bukan kualitas natural melainkan
suatu kualitas non-natural. Dan di sini Moore membagi dua kelompok
filsuf yang jatuh dalam kesalaha naturalistis.

 Kelompok pertama adalah para filsuf yang mendefinisikan


kebaikan dengan hal-hal natural. Dia sebut para filsuf itu
menganut etika naturalis. Para filsuf ini mendefinisikan kebaikan
dengan hal-hal natural yang ada dalam waktu. Contohnya
hedonisme yang menyamakan kebaikan dengan kenikmatan atau
kesenangan.
104
 Kelompok kedua adalah para filsuf yang mendasarkan etika
mereka pada metafisika dan mendefinisikan kebaikan dalam term
metafisis. Term-term itu merujuk pada suatu realitas meta-
empirik, transcenden, dan tidak ada dalam waktu. Sebagai contoh,
Moore menyebut Spinoza yang mengatakan bahwa kita menjadi
sempurna dalam kesatuan dengan substansi absolute, yang dia
sebut dengan “intellectual love” dari Allah. Atau yang lai, dia
menyebut para filsuf yang menyatakan bahwa tujuan akhir hidup
kita, kebaikan tertinggi adalah realisasi diri kita yang sebenarnya.
Diri yang benar tidak ada di sini.
Moore tidak bermaksud untuk menyangkal bahwa kebaikan
tidak bisa menjadi milik hal-hal natural. Tetapi kebaikan bukan suatu
hal natural. Dia menjelaskan bahwa hal-hal natural dapat ada dalam
diri mereka sendiri dalam waktu, tetapi kebaikan tidak dapat. Kita
tidak dapat menimaginasi kehadiaran baik tanpa kehadiran suatu
objek tertentu.

Moore yakin bahwa kita dapat mengenal hal-hal yang


memenuhi kualitas baik walaupun kita tidak dapat mendefinisikan
kualitas itu. Dan di sinilah salah satu tugas filsafat moral yakni
menentukan nilai-nilai, yang menentukan objek-objek apa yang
memiliki kualitas baik dan derajat-derajat kebaikan yang dimiliki
setiap objek.

Dalam etikanya, Moore menolak relativisme dan


subjektivisme. Menurut dia, sesuatu itu baik maka dia baik secara
intrinsic, baik dalam dirinya sendiri. Baik itu tidak bersifat relative, di
mana bisa berbeda-beda. Ia tidak bersifat subjektif, di mana ia
bergantung pada atau berhubungan dengan subjek yang menilai. Ia
katakana bahwa, baik itu ada dalam dirinya sendiri, baik selalu, dan
tidak tergantung atau berhubungan dengan pribadi yang menilainya.

5.4.3.2 Kewajiban
105
Menurut Moore kewajiban selalu berhubungan dengan
kebaikan universal. Sesuatu hanya bersifat wajib:

 Jika dan hanya jika akibat-akibat darinya secara intrinsic lebih


baik dari pada kegiatan yang lain yang ada di depan saya.
 Jika dan hanya jika dunia sebagai keseluruhan akan menjadi lebih
baik bila saya lakukan itu daripada kegiatan-kegiatan lain yang
terbuka di depan saya.
“Saya wajib secara moral” identik dengan pernyataan “Kegiatan
ini akan memproduksi kemungkinan terbesar kebaikan dalam
totalitas”. Kewajiban baginya adalah produksi kebaikan.

Bagi dia, kewajiban itu bukan norma tetapi sesuatu yang riil.
Artinya yang wajib itu sejauh dia lebih baik dan bawa lebih banyak
kebaikan bagi dunia.

Karena itu Moore menolak egoisme dan etika altruisme.


Kewajiban tidak berarti berbuat baik hanya untuk diri sendiri atau
hanya untuk orang lain.

Dalam putusan moral atau suatu tindakan moral, ada benar


dan salah. Hal ini tidak menunjuk pada realitas, melainkan pada
subjektivitas. Putusan-putusan moral itu lebih berdasarkan emosi
subjektif bukan realitas. Sebagai contoh, dia menampilkan fakta.
“Brutus membunuh Julius Caesar”. Dan fakta ini ada yang bilang
tindakan ini benar dan ada yang bilang salah. Dan putusan-putusan
ini tidak menunjuk pada fakta melainkan suatu sikap subjektif.
Kesalahan dan kebenaran dalam hal ini adalah proposisi-proposisi
moral. Menurut dia, orang mengatakan bahwa Brutus menikam
Julius adalah benar dan orang yang mengatakan bahwa Brutus
menikam Julius adalah salah, sama dengan orang yang bilang “Mari
kita main kartu” dan yang lain bilang “Tidak, mari kita dengar tape”.
Putusan-putusan ini hanya dari sikap orang-orang tertentu.
Perbedaan itu sama dengan perbedaan dalam kesukaan atau
106
tindakan. Di antaranya tidak ada putusan yang tidak cocok.
Keduanya membuat putusan yang tidak bertentangan. Tetapi
putusan-putusan ini tidak menyentuh fakta Brutus membunuh
Julius Caesar.

5.4.3.3 Analisis

Filsafat Moorre sebagian besar terdiri dari analisis-analisis. Dan


ia mempraktekkan metode analisis ini dengan ketelitian yang
mengagumkan. Hal ini menampilkan kesan bahwa filsafat tidak lain
dari penjelasan. Dengan ini Moore menjadi printis bagi filsuf analitis.

Namun Moore menegaskan bahwa analisa filosofis ada


hubungan dengan proposisi-proposisi umum yang semua orang tahu,
termasuk kita, sehingga benar. Jika kita tahu bahwa itu benar, maka
absurd bila seorang filsuf mencoba untuk membuktikan bahwa itu
benar. Tugas filsafat adalah menganalisa proposisi-proposisi yang
telah diterima sebagai benar. Tetapi filsafat tidak menambah stok
alasan-alasan untuk proposisi-proposisi itu.

Analisis bukanlah berarti pemberian arti karena jika saya tahu


bahwa suatu proposisi benar maka saya harus tahu artinya. Analisis
bukanlah suatu terjemahan seperti memberi arti kata bahasa Inggris
dalam bahasa Indonesia.

Dalam analisa dibedakan antara analysandum (yang dianalisis)


dan analisans (analisa). Dan bagi dia, analysandum bukanlah suatu
ekspresi verdal melainkan idea atau konsep atau proposisi dalam
suatu ekspresi verbal. Sebagai contoh: “x is small y”. Bila kalimat ini
dianalisa maka harus dianalisa “x” lalu “is” lalu “small”, lalu “y”.
Inilah analisa ekspresi verbal.

Analisa dapat dilakukan dengan syarat:

 Analysandum dan analisans haruslah lengkap.


107
 Ekspresi yang digunakan dalam analysandum haruslah berbeda
dari ekspresi yang digunakan dalam analysans.
 Analysans haruslah hal eksplisit dalam analysandum, yang tidak
dieksplisitasi.
Sebagai contoh: “x adalah saudara” dan “x adalah saudara
kandung laki-laki”. “Ada sebagai saudara” adalah identik dengan “ada
sebagai saudara kandung laki-laki”. Inilah sebuah analisa. Ekspresi
keduannya berbeda tetapi keduanya adalah konsep. Dalam kalimat
analisans, saudara kandung dan laki-laki mengeksplisitkan hal yang
tidak nampak dalam konsep “saudara”.

5.4.4 Penutup

5.4.4.1 Tinjauan Kritis

Moore telah memberikan banyak sumbangan dalam filsafat. Ia


dengan metode analisisnya telah mendasari perkembangan filsafat di
Inggris, khususnya filsafat analitis. Dengan metode analitisnya, ia
memberikan suatu koreksi kepada filsafat. Bahwa pada dasarnya,
banyak persoalan filsafat ternyata tidak lain dari pada persoalan semu
dan menghilang bergitu saja, kalau diselidiki dengan cermat apakah
sebenarnya yang mau ditanyakan dengannya. Karena itu tugas filsafat
adalah membuat pertanyaan yang jelas.

Moore juga mendobrak paham idealisme yang menekankan idea


sebagai dasar adanya kenyataan. Namun dalam penolakan terhadap
idealisme ini, Moore sampai menolak konsep universal. Persis di sini
Moore tidak bisa membedakan aktivitas ratio dan aktivitas sensus.
Saat kita melihat Petrus, simon, dan lain-lain, kita mengerti dengan
individualitasnya, tetapi ratio melangkah lebih jauh dan sampai pada
konsep “manusia” yang tidak lagi menunjuk pada individu-individu
tertentu. Moore justru berpendapat bahwa konsep selalu individual
dan yang universal menghantar kita pada suatu spiritualisme.
108
Dalam hubungan dengan etika, Moore memberi banyak
sumbangan dengan menjernihkan konsep “baik”. Moore menyebut
bahwa baik itu sesuatu yang non natural yang bisa ada dalam diri
sendiri. Di sini Moore tidak bisa melihat bahwa “yang baik” tidak
pernah bisa ada tanpa sesuatu yang baik. Dan persis di sini kita
kehilangan criteria kebaikan. Kalau kebaikan itu tidak dapat
didefinisikan, lalu bagaimana kita bisa berkata bahwa ini baik atau
itu baik.

Dan satu kelemahan Moore yang menjadi kesulitan bagi


pembaca adalah ketidakjelasan pendirian Moore. Ia mulai
merumuskan sesuatu, dan begitu ada kritikan, ia mulai memutar
arah pendiriannya. Lalu kita tidak tahu apa sebenarnya pendapat
Moore. Dan Moore hanya menjadikan filsafatnya sebagai filsafat atas
filsafat. Di mana dia hanya bergulat dengan pendapat-pendapat para
filsuf sebelumnya.

Selain itu, Moore kelihatan kurang menaruh perhatian pada


metafisika, yang akan berakibat pada kematian metafisika pada
zaman kontemporer. Pada hal metafisika tidak bisa begitu saja
dilupakan.

Kepustakaan:

Bertens, K. Filsafat Barat Kontemporer, Inggris-Jerman, Jakarta,


Gramedia Pustaka Utama, 2002.

Copleston, Frederick, A History os Philosophy, vol. VIII, Tunbridge


wells, Burns dan Oates, 1966.

Schilpp, Paul Arthur (ed), The Phylosophy of George E. Moore, La sale,


Illiois, Open Court, 1887.
109
5.5POSITIVISME LOGIS : ALFRED JULES AYER 38
5.5.1 Pendahuluan

5.5.1.1 Latar Belakang

Secara linguistic, bahasa dipahami sebagai alat komunikasi


antar anggota masyarakat berupa symbol bunyi yang dihasilkan oleh
alat ucap manusia.39 Yang secara fungsional bermanfaat untuk:
menyatakan ekspresi diri, alat komunikasi, sarana integrasi, adaptasi
dan control social.

Dari definisi dan terutama penjelasan di atas, dapat kita lihat


bahwa bahasa begitu penting bagi manusia. Bahkan kaum
eksistensialis dan kebanyakan ahli filsafat modern ini menganggap
bahasa sebagai salah satu kekhasan manusia dari makluk lainnya.

Berhubungan dengan urgensi bahasa ini banyak filsuf yang


coba menggeluti problem bahasa dalam hubungannya sebagai sarana
simbolisasi realitas. Apakah benar bahwa pernyataan kita mengacu
kepada realitas? Sehingga pernyataan itu layak disebut pernayataan?
Atau dengan kata lain pernyataan itu dinilai bermakna?

Menurut beberapa filsuf bahasa, ada banyak ucapan yang tidak


bermakna dan karenanya perlu dibersihkan dari khasana bahasa.
Salah satu filsuf yang getol menyuarakan perihal bahasa filsafat ini
adalah Ayer. Dan inilah yang mau diulas dalam paper mini ini. Karena
itu penulis memberi judul tulisan: “Positivisme Logis Ayer”.

5.5.1.2 Tujuan Tulisan

Sekurang-kurangnya ada dua tujuan tulisan ini. Pertama,


untuk menambah khazanah pengetahuan penulis. Kedua, untuk
memenuhi salah satu tugas mata kuliah Filsafat Kontemporer, yakni
tugas Mid-Semester.
38
Hasil elaborasi Kelompok Mahasiswa Semester VII 2004/2005: Anianus Markus Adam,
Gabriel Yohanes Wajhong L’Ona.
39
Keraf, Gorys, Komposisi, Ende: Nusa Indah, 1997. hal.1.
110
5.5.2 Positivisme Logis Alfred Jules Ayer

5.5.2.1 Berkenalan dengan Alfred Jules Ayer

5.5.2.1.1 Riwayat Hidup40

Alfred Jules Ayer lahir 1910 adalah seorang filsuf Inggris. Ia-lah
yang membawa ide-ide para positivisme logis, anggota-anggota
Lingkaran Wina ke Inggris. Mulanya ia belajar filologi klasik dan
dilsafat di Oxford. Sesudah studinya selesai, ia berkunjung pada
Universitas di Wina dan sekembalinya di Inggris diangkat sebagai
dosen di Oxford. Waktu Perang Dunia II ia masuk tentara Inggris dan
ditugaskan terutama pada dinas intelijen militer. Seusai perang ia
diangkat sebagai profesor pada Universitas London (1946-1959) dan
akhirnya diundang menjadi professor logika di Universitas Oxford.
Beliau meninggal pada 1989.

5.5.2.1.2 Karya-Karyanya41

Karya-karya Ayer diantaranya:

1. Language, Truth and Logic.


2. The Foundations of Empirical Knowledge.
3. The Origins of Pragmatism.
4. Russell and Moore, The Analytical Heritage.
5. Russell.
6. Probability and Evidence.
7. The Central Problems of Philosophy.
8. Philosophy in the 20th Century.

5.5.2.2 Filsuf-Filsuf Yang Mempengaruhi Pikiran Ayer

5.5.2.2.1 David Hume

40
Lih. Bertens, K., Filsafat Barat Kontemporer, edisi Inggris-Jerman, Jakarta: Gramedia,
2002, hal. 33. Juga Woodhouse, Mark B., Berfilsafat Sebuah Langkah Awal, Ahmad Norma Permata at.
all penerj. Yogyakarta: Kanisius, 2000, hal. 218.
41
Bertens, K., Op. Cit., hal. 39.
111
Filsafat Hume yang cukup berpengaruh pada pemikrian Ayer
adalah pemikirannya tentang pengenalan. Demikianlah menurut
Hume, manusia tidak membawa pengtahuan bawaan ke dalam
hidupnya. Sumber pengetahuan adalah pengamatan. Pengamatan
memberikan dua hal, yakni: (impression) dan pengertian-pengeretian
atau idea-idea (ideas). Yang dimaksudkan dengan kesan-kesan adalah
pengamatan langsung yang diterima dari pengalaman, baik
pengalaman lahiriah maupun pengalaman bathiniah, yang
menampakkan diri dengan jelas, hidup dan kuat.42

Sedangkan yang dimaksudkan dengan pengertian atau idea


adalah gambaran tentang pengamatan yang redup, samara-samar,
yagn dihasilkan dengan merenungkan kembali atau merefleksikan
dalam kesadaran kesan-kesan yang telah diterima dari pengalaman.
Idea atau pengertian adalah tembusan (copy) dari kesan-kesan. Jadi
isi kesan dan idea sama.

Yang mau ditegaskan Hume, adalah sebgaimana dikatakan di


atas bahwa pengetahuan manusia tidak dibawa sejak lahir.
Pengetahuan semata-mata diperoleh melalui indra.

5.5.2.2.2 George Eduard Moore

Moore adalah sahabat baik Russell, yang adalah dua serangkai


pelopor perkembangan baru dalam filsafat Inggris dengan berbalik
dari idealisme yang pada zamannya sedang meraja lela. Banyak yang
dibicarakan Moore, tetapi kebanyakan merupakan kritikan atas
pendapat para filsuf. Itulah sebabnya ia dijuluki filsuf para filsuf. Hal-
hal dikritiknya antara lain: analisis tentang etika normative terutama
kata “baik”, pula analisis tentang metafisika. Walaupun ia tidak
menolak metafisika, tetapi secara tidak langsung ia menyumbangkan
kepada timbulnya sikap skeptis terhadap metafisika yang menandai
filsafat Inggris di kemudian hari.43
42
Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 1980, hal. 53.
43
Bertens, K., Op. Cit., hal. 24.
112
Sebagaimana telah dikatakan, cara Moore berfilsafat adalah
dengan menganalisis. Dengan analisis dimaksud di sini tidak lain
daripada menjelaskan suatu pikiran, mengeksplisitasikan semua hal
yang tersimpul di dalamnya, merumuskan dengan kata lain,
memecahkan suatu persoalan ke dalam detail-detail kecil. 44 Suatu
pekerjaan yang kelihatan kecil tetapi sebenarnya berat karena rumit.
Dengan metode ini ia pun mengkritik idealisme. Menurutnya, tidak
dapat disangsikan bahwa idealisme mengemukakan pendapat-
pendapat yang menyimpang dari akal sehat, seperti misalnya “segala
sesuatu bersifat spiritual”. Orang biasa yang tidak berpendidikan
akan merasa heran, jika ia mendengar pendapat serupa itu, karena
sama sekali bertentangan dengan keyakinan akal sehat. Jadi Moore
memihak pada akal sehat (common sense). Maksudnya adalah
memperlihatkan bukan bahwa anggapan-anggapan akal sehat selalu
benar, melainkan bahwa sering kali akal sehat mempunyai anggapan
yang lebih mudah masuk akal daripada pendapat berbelit-belit yang
dikemukakan para filsuf.45

Dengan analisisnya, Moore menampilkan kesan bahwa filsafat


tidak lain dari pada penjelasan. Dengan demikian mau tidak mau
Moore menjadi perintis bagi suatu gerakan yang baru dalam
pemikiran Inggris, yaitu “filsafat analitis” (philosophical analysis,
linguistic analysis). Filsafat yang tidak begitu mempedulikan
kebenaran, melainkan pada makna ucapan-ucapan kita. Buat mereka
pertanyaan pokok bukannya ‘is it true’?, melainkan ’what is the
meaning’?.

5.5.2.2.3 Bertrand Russell

Sebagaimana dikatakan di atas, Russell adalah dua pelopor


gerakan perlawanan idealisme di Inggris. Metodenya kurang lebih
sama dengan Moore, yakni analisis. Perbedaannya adalah Moore tetap

44
Ibid.
45
Ibid.
113
berpatokan pada pendasaran akal sehat (bahasa sehari-hari)
sementara Russell menekankan pada analisis logis dengan membuat
perumusan-perumusan logis yang berlain-lainan.

Selain itu Russell menekankan norma utama filsafatnya dengan


menekankan hubungan erat dengan ilmu pengetahuan. Di sini dia
mulai bergulat dengan atomisme logis. Tujuan teori ini ialah
menelanjangi struktur hakiki bahasa dan dunia. Russell mulai
menganalisis, tetapi tidak tentang pendapat-pendapat seperti dibuat
Moore, melainkan menganalisis fakta-fakta. Filsafat harus melukiskan
jenis-jenis fakta yang ada. Dengan fakta dimaksudkan cirri-ciri atau
relasi-relasi yang dimilii oleh benda-benda. Sudah kiranya bahwa
fakta-fakta tidak dapat bersifat benar atau salah. Yang dapat bersifat
benar atau salah adalah proposisi-proposisi yang mengungkapkan
fakta-fakta. Suatu proposisi terdiri dari kata-kata, yang menunjuk
kepada data indrawi (sense-data) dan universalia (universals), yaitu
cirri-ciri atau relasi-relasi.46 Namun pada akhirnya analisis atas
atomisme logis ini mengalami kesulitan tersendiri.

Namun satu hal yang penting bahwa atomisme logis


mengandung suatu metafisika. Alasannya ialah bahwa teori ini mau
menjelaskan struktur hakiki dari bahasa dan dunia. Atau dengan lain
perkataan, dari teori ini mau mengatakan bagaimana akhirnya halnya
dengan realitas seluruhnya. Mengatakan bahwa dunia dapat
diasalkan kepada fakta-fakta atomis, jelas sekali merupakan suatu
pendapat metafisi. Dan ini jelas tidak berdasarkan data-data empiris,
melainkan berasal dari suatu analisis mengenai bahasa. Pula menjadi
jelas bahwa metafisika yang terdapat dalam teori Russell merupakan
suatu pluralisme radikal, sama sekali bertentangan dengan monisme
yang menandai idealisme, khususnya idealisme Bradley. 47

5.5.2.2.4 Lingkungan Wina

46
Ibid. hal. 31.
47
Ibid. hal. 32.
114
Pengaruh Lingkungan Wina terhadap Ayer tidak diragukan.
Ayer pernah belajar secara langsung pada mereka setelah meraih
doktornya. Lingkungan Wina merupakan kumpulan ahli dan filsuf
yang mendukung empirisme sambil bersikap negative terhadap
metafisika. Salah satu tema yang sempat dibicarakan adalah tentang
perubahan cara penyajian logika yang berefek pula pada analisis
logika bahasa. Tentang logika terjadi penggunaan symbol-simbol
menurut analogi dengan matematika dan bertambahnya wilayah-
wilayah pembahasan yang sama sekali baru. Pembaharuan logika ini
dirintis oleh ahli-ahli matematika.

Dalam hubungan dengan logika bahasa, bagi mereka tugas


filsafat adalah menjalankan analisis logis terhadap pengetahuan
ilmiah. Karena itu mereka mulai menyoroti bermakna tidaknya
ucapan-ucapan kita. Yang dimaksudkan dengan ucapan di sini ialai
ucapan yang menyangkut suatu keadaan factual, sebab tentang
ucapan-ucapan matematika dan logika tidak ada masalah, melihat
statusnya sebagai tautology. Usaha untuk menentukan bermakna
tidaknya suatu ucapan disebut “verivikasi”. Yang menentukan dalam
hal ini bukannya pelaksanaan verivikasi itu, melainkan
kemungkinannya saja.

Dengan prinsip verifikasi ini menjadi jelas banyak ucapan


metafisis, teologis menjadi tak bermakna. Walau beberapa anggota
lingkungan Wina mengakui bahwa metafisika (dalam arti
pengetahuan yang tidak berdasarkan fakta-fakta) tidak dapat
disingkirkan begitu saja.48

5.5.2.3 Positivisme Logis Alfred Ayer

Sebagaimana telah dikatakan, Ayer adalah filsuf yang


memperkenalkan pemikiran Lingkungan wina di Inggris. Karena itu
pikiran Ayer tidak jauh berbeda dengan sumber utamanya ini. Jadi

48
Ibid. hal. 189.
115
dapat diulangi di sini bahwa Ayer menekankan tentang: makna
tidaknya suatu ucapan. Untuk itu dicari suatu norma yang dapat
membedakan ucapan-ucapan yang bermakna dari ucapan-ucapan
yang tidak bermakna.49 Norma itu adalah prinsip verifikasi. Ayer
merumuskan prinsip verifikasi itu dalam bukunya, Language, Truth
and Logic, yang bunyinya demikian:

“Kami mengatakan bahwa suatu kalimat pada kenyataannya


bermakna bagi seorang tertentu, kalau, dan hanya kalau, ia tahu
observasi-observasi mana akan membuat dia-dengan syarat-
syarat tertentu-menerima suatu proposisi sebagai benar atau
menolaknya sebagai salah. Sebaliknya, kalau apa yang dianggap
sebagai proposisi bersifat demikian rupa sehingga menerima
kebenaran dan ketidakbenarannya dapat dicocokan dengan
pengandaian apa pun juga mengenai pengalamannya di
kemudian hari, maka bagi orang yang bersangkutan apa yang
disebut proposisi tidak lain (kecuali kalau merupakan suatu
tautology) dari pada proposisi semua saja. Barangkali kalimat
yang mengungkapkan proposisi itu mempunyai makna emosional
bagi dia, tetapi pasti tidak ada makna harafiah.50

Untuk memudahkan definisi yang panjang dan berbelit-belit ini,


Bertens menjelaskan bahwa, “prinsip verifikasi bernaksud
menentukan makna suatu ucapan, bukan kebenarannya. Suatu
ucapan yang bermakna bisa benar atau salah”. Bermakna tidaknya
suatu ucapan tergantung dari titik tolaknya. Ucapan yang bermakna
kalau bertolak dari realitas. Jelasnya realitas indrawi; dengan kata
lain, suatu ucapan yang dilakukan berdasarkan observasi, atau
sekurang-kurangnya berhubungan dengan observasi. 51 Jadi perlu
data empiris.

49
Ibid. hal. 35.
50
Ibid. hal. 36.
51
Ibid.
116
Hanya Ayer menambahkan, ada satu jenis ucapan bermakna
yang tidak berdasarkan suatu data empiris yakni ucapan-ucapan
matematika dan logika. Misalnya: “setengah dari 10 adalah 5”.
Ucapan ini tentu tidak dapat divarifikasi atas dasar pengalaman.
Makna ucapan-ucapan seperti ini hanya tergantung pada makna
symbol-simbol yang digunakan. Ucapan-ucapan seperti ini disebut
tautology. Yakni perulangan arti yang sama tetapi menggunakan kata-
kata yang lain (berbeda).52

Ayer juga memberikan batas-batas yagn berlaku untuk prinsip-


prinsip verifikasi53, yakni:

1. Suatu ucapan dapat diverifikasi secara langsung dan tidak


langsung.
Secara langsung misalnya dengan berkata, “ini adalah kapur”
sambil melihat atau menunjuk langsung kapur yang dimaksudkan.
Sementara secara tidak langsung, misalnya “melalui kesaksian
orang yang dapat dipercaya.” Contohnya “Nabi Muhammad pernah
ada di dunia ini”. Pernyataan ini benar walaupun kita tidak
melihatnya langsung.

2. Suatu upacan bermakna walau diverifikasi secara prinsipial saja.


Misalnya ucapan, “Planet Pluto itu ada”. Ucapan ini tentu sulit
diverifikasi, tetapi kita tahu itu benar. Karena kita tahu apa yang
harus dibuat untuk memverifikasinya, biarpun barangkali kita
tidak mampu melaksanakannya.
3. Suatu ucapan juga bermakna kalau diverifikasi secara tidak
lengkap. Kalau tidak, maka suatu hukum umum sepereti “Logam
yang dipanaskan akan memuai” tidak akan bermakna.
Prinsip verifikasi ini mempunyai konsekuensi-konsekuensi tidak
sedikit. Dengan prinsip ini maka ucapan-ucapan metafisika, teologi,
etika dan estetika tidak bermakna. Untuk ucapan-ucapan bidang-

52
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 2002, hal. 1079.
53
Bertens, K., Op. Cit., hal. 37.
117
bidang itu, kata Ayer, “itu barangkali secara emosional mempunyai
arti untuk orang bersangkutan, tetapi tidak memberikan pengenalan
tentang realitas. Dengan kata lain, “suatu pernyataan yang tidak
bertautan dengan pengalaman apa pun juga… tidak mempunyai isi
factual.” Seperti. Dengan ini Ayer bergerak ekstrim, proposisi-
proposisi metafisis tidak bermakna. Ia lebih radikal dari Russell,
karena filsafat Russell masih mengandung unsure-unsur metafisis.

5.5.2.4 Refleksi Kritis

Usaha Ayer yang dimulai oleh Moore dan Russell serta


Lingkungan Wina ini baik. Terutama agar kita memahami benar kata-
kata yang kita ucapkan. Kata-kata itu harus bertolak dari dasar yang
benar. Namun yang patut disayangkan adalah bahwa Ayer membatasi
dasar itu pada fakta pengalaman yang dapat diindrai saja.

Di samping itu Ayer juga bisa dikritik dari sudut pandang


verifikasi partialnya. Bagaimana dapat dipastikan bahwa apa yang
diverifikasikan oleh saya berlaku juga untuk orang lain dan
sebaliknya, misalnya dalam proposisi-proposisi sepereti “saya merasa
panas?”

Daftar Pustaka

Bagus, Lorens, Kamus Filsfat, Jakarta: Gramedia, 2002.

Bertens, K., Filsafat Barat Kontemporer, edisi Inggris-Jerman, Jakarta:


Gramedia, 2002.

Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta:


Kanisius, 1980.

Keraf, Gorys, Komposisi, Ende: Nusa Indah, 1997.

Woodhouse, Mark B., Berfilsafat Sebuah Langkah Awal, Ahmad


Norma Permata et al., Penerj., Yogyakarta: Kanisius, 2000.
118

BAB 6

NEOTOMISME DI PERANCIS DAN ITALIA

1. INTRODUKSI
Tahun 1879 Paus Leo XIII mengeluarkan Enciclic Aeterni Patris.
Tentu saja Enciclic ini merupakan impetus yang berdaya untuk
menyemangati gerakan yang sudah ada. Dari satu pihak Enciclic ini
berusaha menekankan nilai tetap Thomisme dan dari pihak lain
berusaha memberi inspirasi kepada para Filsuf Katolik untuk
mengembangkan refleksi mereka sedemikian sehingga bisa bertemu
dengan kebutuhan intelektual modern. Desakan Paus ternyata
mempunyai beberapa akibat: Dari satu pihak, desakan Paus itu
meneguhkan seluruh proses formasi di lingkungan Gereja khususnya
di Seminari-Seminari dan Institusi Akademis lainnya yang
menekankan orthodoksi filsafat. Dengan kata lain, desakan ini
mengakibatkan dukungan terhadap subordinasi filsafat kepada
Theologi yang dianut beberapa pemikir berwawasan sempit yang
mencurigai beberapa pemikir Katolik yang lebih berpikiran bebas dan
luas, misalnya saja Maurice Blondel.

Dari pihak lain, panggilan untuk mengambil kembali pemikiran


beberapa pemikir besar Abad Pertengahan dan untuk
mengaplikasikan pemikiran mereka dalam menghadapi beberapa
persoalan yang timbul dari situasi kebudayaan modern, dan desakan
ini sungguh menggerakkan banyak refleksi filosofis yang serius dan
mendalam. Dengan ini bisa dirasakan panggilan untuk “back to
Aquinas.” Ada beberapa filsuf besar yang mengikuti desakan ini
bukan karena mereka diindoktrinasi untuk melakukan itu, tapi
karena mereka sungguh yakin akan validitas prinsip-prinsip dasar
filsafat yang digeluti St. Thomas Aquinas dan berusaha
119
mengaplikasikannya dalam suatu cara konstruktif untuk menjawabi
berbagai persoalan modern.

Di Perancis ada beberapa tokoh besar Neo-Thomisme. Yang


terkenal antara lain Désiré Joseph Mercier (1851-1926) dan koleganya
di Louvain. Mercier adalah pendiri Katedra Filsafat Tomista di
Universitas Katolik Leuven dan Majalan “Revue Néo-Scolastique de
Philosophie” yang kemudian menjadi “Revue Philosophique de
Louvain.” Katedra Filsafat ini kemudian menjadi suatu Institut
khusus bernama l’Institut supérior de philosophie dengan suatu Brevis
Paus Leo XIII pada 7 Juli 1888 di mana Mercier dibantu para ahli
Filsafat Tomista yang lain seperti Léon Noël, Maurice de Wulf dan
Louis de Raeymaeker. Selain itu ada juga Joseph Maréchal (...),
Réginald Garrigou-Lagrange (1877-1964), Antonin-Dalmace
Sertilanges (1863-1948), Etienne Henri Gilson (1884-1978) dan
Jacques Maritain (...), Pierre Rousselot (1878-1915), Aimé Forest (b.
1898).

Di Italia ada beberapa moment penting lahir dan


berkembangnya Neo-Tomisme, antara lain lahirnya “Rivista di filosofia
neo-scolastica” (1909) dan pembukaan Universitas Katolik Sacro
Cuore di Milan (1920). Tokoh-tokoh Neo-Thomisme Italia yang penting
antara lain ialah Francesco Olgiati yang mendedikasikan seluruh
hidupnya untuk mengembangkan penyelidikan Historiografis dalam
refleksi filsafat. Tokoh lainnya ialah Amato Masnovo yang menjangkau
juga studi Augustinian. Di Universitas Sacro Cuore di Milano kita
dapati tokoh-tokoh seperti Gaetano Chiavacci, Emilio Giuseppe
Chiocchetti, Umberto Antonio Padovani, dan para filsuf Neo-tomistis
lain generasi berikutnya seperti Gustavo Bontadini (1903-1990),
Cornelio Fabro, dan Teolog-Filsuf Neo-tomista Perancis yang
mendedikasikan diri dalam dunia pengajaran di Italia, Réginald
Garrigou-Lagrange.
120
Di Jerman desakan Paus Leo XIII untuk kembali ke Thomisme
direspons oleh beberapa pemikir besar antara lain Kleutgen, Franz
Ehrle, Martin Grabmann, Josef Pieper, Johannes Baptist Lotz (salah
satu karyanya yang penting adalah Vom Sein zum Heiligen).

Karakter Umum Filsafat Neotomisme:

1. Neotomisme dari hakekatnya adalah pembelaan terhadap


Realisme dalam konfrontasinya dengan Idealisme, untuk
berangkat dari diskusi atas “Cogito” Descartes dan
“Kritisisme” Kant.
2. Pembelaan atas Metafisika dalam perlawanan terhadap
Positivisme.
3. Justifikasi Filosofis atas kebenaran sensus communis atas
dasar realisme dan Metafisica. Sensus Communis ini adalah
juga “Preambulum Fidei” yakni suatu dunia yang dianugerahi
rationalitas dan ordo, di mana manusia hidup sebagai
“spirito incarnato” (incarnate spirit) yang dianugerahi
kebebasan, dan karena itu, eksistensi Alah yang transenden
dan personal, Causa Prima dari dunia, Pemberi HK, Tujuan
Terakhir hidup manusia.
4. Kritik atas setiap bentuk politik yang mengabsolutkan
Negara dan tidak tahu-menahu tentang nilai persona dan isi
setiap kandungan bonum commune.
5. Refleksi Filosofis untuk mengembangkan Filsafat Kristen
dengan perhatian seimbang atas kedua unsurnya yaitu
“Filsafat” dan “Kristiani” setelah hubungan ketat filsafat dan
Teologi dirusakkan oleh filsafat William Ockham, Martin
Luther dan René Descartes.

2. ÉTIENNE HENRI GILSON


121
Étienne Henri Gilson (1884-1978) menyelesaikan studi
filsafatnya di Universitas Sorbonne. Setelah PD I ia ditunjuk sebagai
Professor Filsafat di Strasbourg. Tahun 1921 ia menerima tugas
untuk mengajar Sejarah Filsafat Abad Pertengahan di Sorbonne dan
pada 1932 ia terima tugas yang sama di Collège de France. Dia
mendirikan dan memimpin Archives d’histoire doctrinale et littériare du
moyen áge dan juga seri Études de philosophie médiévale. Pada 1929
dia juga bekerjasama dalam membangun Institute of Medieval Studies
di Toronto dan sesudah PD II dia menjadi Direktur di sana. Pada 1947
ia dipilih menjadi anggota French Academy.

Seperti Maritain, Tomisme bagi Gilson juga merupakan suatu


pilihan manis intelektual dan sungguh-sungguh otonom, bila diingat
pengaruh budaya luar yang sering memusuhi filsafat kristen.
Perjalanan filsofisnya dikisahkan dalam karya Biografisnya Le
philosophe et la théologie (Filsuf dan Theologia). Di Sorbonne, hampir
semua dosen adalah penganut Neo-positivisme. Namun keinginannya
akan spekulasi Metafisika tidak berkurang. Dia sungguh mengalami,
polemik antimetafisika didasarkan atas dekrit “Kematian Metafisika”
yang sudah diturunkan dari Kant, tetapi yang sudah dimulai dari
Descartes, dan kemudian dikembangkan atas cara tertentu oleh
Spinoza, Leibniz, Hegel.

Atas saran Lévy-Bruhl ia mempelajari hubungan antara


Descartes dan Scholasticisme. Terdorong untuk mempelajari
Metafisika, dia menemukan apa yang disebut “Sumber-sumber
Mediaeval dari Descartes.” Thesis Utama Doktoralnya adalah studi
atas Kebebasan dalam Filsafat Descartes (La liberté chez Descartes et
la théologie, 1913) sedangkan Thesis Minornya berjudul Index
scolastico-cartésien (1913). Tetapi hasil utama risetnya di bawah
asuhan Lévy-Bruhl adalah Études sur le rôle de la pensée médiévale
dans la formation du système cartésien (Studi atas peranan pikiran
Abad Pertengahan dalam Pembentukan System Cartesian, 1930).
122
Pada 1919 ia menerbitkan edisi perdana Le thomisme. Introduction à
l’étude de Saint Thomas d’Aquin. Edisi perdana La philosophie au
moyen âge dipublikasikan tahun 1922 yang lalu disusul karya lainnya
tentang St. Bonaventura, St. Augustinus, St. Bernardus, Dante dan
Yohanes Duns Scotus lewat karya-karya seperti La philosophie de
saint Bonaventure (1924), Introduction à l’ètude de saint Augustin
(1929), Études sur le rôle de la pensée médiévale dans la formation du
systéme cartésien (1930) dan L’esprit de la philosophie médiévale
(1932), Christianisme et philosophie (1936), Le réalisme méthodique
(1935), Réalisme thomiste et critique de la connaissance (1939), The
Unity of Philosophical Experience (1937), L’être et l’essence (1948),
Being and Some Philosophers (1949), La théologie mystique de saint
Bernard (1934), Jean Duns Scot: introduction à ses positions
fondamentales (1952), Reasons and Revelation in the Middle Age
(1938), God and Philosophy (1941), Le philosophie et la théologie
(1960), Elements of Christian Philosophy (1960) dan Introduction à la
philosophie chrétienne (1960). Gilson juga membina kerja sama dalam
menerbitkan banyak karya menyangkut Filsafat Modern. Karya-karya
dalam hal ini antara lain: La société de masse et sa culture (1967), Le
tribulations de Sophie (1967, yang mendalami soal hubungan antara
Marxisme dan Kristianisme, dan atas Teilhard de Chardin),
Linguistique et philosophie (1969), D’Aristote à Darwin...et retour (1971,
yang mendalami soal saling hubungan filsafat alam dan biologi
modern).

Ternyata studi atas Descartes menghantar Gilson kepada


kontak dengan St. Bonaventura, St. Thomas Aquinas, dengan
Johanes Duns Scotus yang sekarang banyak dilupakan penulis-
penulis kultur official Perancis dan Eropa (Historiografi sejak
Illuminisme dst. menjadikan filsafat melakukan loncatan dari
123
Neoplatonisme menuju Renaissance, dan di antaranya terbentang
abad-abad gelap dari obscurantisme teologis).54

BEBERAPA POKOK KAJIAN FILSAFAT GILSON

1. “PROBLEM KRITIK”

Selain karya-karya menyangkut Sejarah Filsafat sebagaimana


disebutkan di atas, Gilson juga menghasilkan banyak karya yang
menghadirkan pandangan/posisi pribadi, walaupun dikembangkan
dalam konteks historis. Salah satu pandangannya yang terkenal
dalam hal ini ialah penolakannya atas “Problem Kritik.” Jika kita
menghapus semua pengetahuan aktual kita dan mencoba
memutuskan secara a priori entahkah pengetahuan kita mungkin,
kita mencipta pseudo-problem bagi diri kita sendiri. Karena kita tidak
lagi bisa membangun pertanyaan sebab kita tidak tahu apa itu
pengetahuan. Dan kita mengetahui hal ini melalui pengetahuan kita
yang aktual atas sesuatu. Dengan kata lain, dalam dan lewat
pengetahuan kita atas sesuatu itu barulah budi kita sadar akan
kemampuannya untuk mengenal. Menurut Gilson, sikap St. Thomas
Aquinas atas hal ini jauh melampaui sikap para filsuf modern yang
percaya bahwa cara khas untuk mulai berfilsafat ialah dengan
menggumuli persoalan, entahkah kita dapat mengetahui sesuatu yang
sesungguhnya ada di luar isi subjektif ratio kita.

2. FILSAFAT “ESSENTIALIST”

Evidensi Realisme Gilson terungkap juga dari kritiknya atas apa


yang ia sebut Filsafat “Essentialist.” Jika kita ingin mereduksi realitas
ke dalam konsep-konsep yang jelas dan distinct, yang dari kodratnya
universal, kita melalaikan actus eksistensi yang merupakan aktus
dari barang singular atau individual. Menurut Gilson, actus eksistensi
ini tidak dapat dikonseptualisasikan, seperti eksistensi bukanlah

54
Cf. Antonio Livi, La filosofia e la sua storia, La filosofia contemporanea – Il Novecento,
Vol. III, pp. 622-624.
124
suatu esensi tapi actus lewatnya esensi itu berada (exist). Actus
eksistensi itu dapat ditangkap hanya dalam dan lewat esensi dan
dapat diafirmasi dalam putusan eksistensial yang harus dibedakan
dari putusan deskriptif. Thomisme, dipandang dalam pandangannya
atas realitas yang berada, sesungguhnya merupakan “Existentialisme”
authentik. Paham “Existentialisme” Thomisme lain sekali dari
Eksistentialisme Modern yang menginterpretasi eksistensi secara
dangkal. Thomisme pertama-tama concern dengan realitas sebagai
yang berada dan dengan relasi antara eksistensi yang diterima
(received or participated) dan actus tak terbatas dalamnya esensi dan
eksistensi identik. Salah seorang “Essentialist” adalah Christian Wolff.
Sedangkan Thomas Aquinas adalah exponen terpenting dari Filsafat
Eksistensialisme yang paling autentik.

3. PERSOALAN “FILSAFAT KRISTEN”

Sisi lain dari pemikiran Gilson ialah penolakannya untuk


menyadap saripati Filsafat Tomist semata dari St. Thomas Aquinas.
Dia tidak menyangkal bahwa validitas distingsi yang dilakukan St.
Thomas atas Filsafat dan Teologi. Tetapi dia bertahan atas
artificialitas yang menyebabkan filsafat tersobek dari setting teologis,
di mana pilihan dan arah tema-tema filsafat ditentukan oleh maksud
atau konteks teologis. Juga iman teologis seperti Penciptaan yang
berdasarkan kebebasan Ilahi, sangat mempengaruhi spekulasi filsafat
dengan akibat bahwa penalaran filsafat bisa invalid atau terpaksa
beralih ke premis teologis. Dengan kata lain Gilson ingin mengatakan
bahwa bisa ada filsafat kristen yang secara original filosofis. Karakter
Kristen dari filsafat ini tentu saja tidak dapat diketahui hanya dengan
memeriksa argumen logisnya. Sebab jika demikian ia akan lebih
bercorak Teologis daripada Filosofis. Namun dengan membandingkan
berbagai corak filsafat, bisa dikatakan bahwa dapat ada filsafat yang
125
asli filsafat dan tidak kekurangan nilainya karena bantuan cahaya
Revelasi.55

Gilson sangat yakin, St. Thomas tidak pernah berteologi


semata-mata hanya sebagai teologi. Sebab saat ia berfilsafat, ia juga
berteologi. St. Thomas sungguh sadar, kendaraan yang digunakan
untuk berteologi adalah filsafat. Dan bila ada kesimpulan yang tidak
bisa didasarkan atas kebenaran iman, St. Thomas merasakan
desakan untuk menggunakan autoritas filsafat, berdialog dengan para
filsuf dan berbicara seperti mereka. Di sini ada bahaya untuk jatuh
dalam “Filsafat Kristen” yang seringkali tidak cukup dimengerti oleh
banyak orang. Persoalan ini digeluti Gilson dalam karyanya
Introduction à la philosophie chrétienne, Elements of Christian
Philosophy dan Le thomisme. Di sana diuraikan konsep Tuhan
sebagaimana digeluti St. Thomas lewat Quinque Viae, impossibilitas
pemahaman kita yang tuntas akan Hakaket Allah karena sebagai
Ipsum Esse Subsistens, Tuhan mengatasi segala pemahaman, dan
pada saat yang sama Ia menjadi sumber segala intelligibilitas. 56

Ternyata pokok “Filsafat Kristen” ini menimbulkan banyak


diskusi dan controversi, antara lain yang diutarakan kaum
Historiografi Rationalist seperti Émile Bréhier (1879-1952). Menurut
dia, berbicara tentang Filsafat Kristen jadinya tidak sejelas berbicara
tentang Matematika Kristen. Juga dari Neoscholastik seperti Fernand
Van Steenberghen. Tahun 1919 Gilson berusaha membuktikan
konsistensi dan validitas Filsafat Kristen lewat tulisannya Le
thomisme. Dia menampik anggapan bahwa “orang-orang kristen
selama berabad-abad tidak menghasilkan apapun selain ‘teologi’ dan
sebagai konsekuensinya, ‘dari Plato hingga Bacon dan Descartes
pikiran filsafat dirugikan oleh pikiran teologis yang seluruhnya steril’,
yakni teologi yang terobsesi oleh sylogisme-sylogisme yang sibuk

55
Untuk pokok ini, cf. Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. IX, (New York,
Image Books Doubleday), pp. 262-263.
56
Antonio Livi, Op. Cit., p. 625.
126
mengungkapkan Revelasi dalam term-term Aristoteles.” Gilson
mengatakan bahwa para teologi kristen adalah juga para filsuf besar,
dan filsafat yang berupaya mencari kesesuaiannya dengan iman tidak
pernah berkurang sebagai filsafat karena usaha itu. Kita bisa
memandang kepada Descartes, Lebiniz, Kant, Comte, dan semua filsuf
besar lain, dan harus menegaskan bahwa Thomas Aquinas dan
Johanes Duns Scotus adalah filsuf-filusf dan teolog besar sepanjang
sejarah.57

Sebagai orang yang sangat mahir dalam sejarah dan yang


melihat bagaimana pengaruh konsep-konsep iman Kristiani yang
berasal dari alam pikiran Yunani, Gilson sadar bagaimana suatu
konsep sering diberi makna dan karakter baru, dan dari sana tema-
tema yang lebih segar ditampilkan dan dikembangkan, dan filsafat
yang diikuti oleh hampir semua Teolog, digunakan untuk
mengembangkan pandangan Kristen atas dunia secara lebih luas dan
mendalam. Memang benar bahwa filsafat dapat menjadi matang dan
otonom bila dipisahkan dari Teologi Kristen, tetapi Gilson berpendapat
bahwa tetap ada ruang untuk mencapai originalitas filsafat tidak
hanya oleh orang-orang Kristen tapi oleh para filsuf sebagai orang-
orang Kristen (as Christians).

Menyangkut pokok di atas tetap ada soal sebagaimana


dikemukakan banyak pemikir meyangkut kasus para Apologet:
mereka tidak mengupayakan filsafat yang original. Bila harus dijawab
dengan pedas maka otonomi filsafat bisa terdapat dalam Mythos dan
bila itu bukan hasil dari Teologi, filsafat itu harus merupakan hasil
dari sesuatu yang lain yang selalu “parasit.” Secara historis tetap ada
2 soal: Pertama, entahkah valid secara filosofis dalam sistem doktrinal
Medieval hanya suatu residue dari filsafat Pra-kristen (Plato,
Aristoteles, Plotinos) ataukah memang ada suatu elaborasi original.
Kedua, entahkah dalam teologi kristen sendiri tetap terpelihara

57
Ibid., pp. 627-629.
127
elemen-elemen rational filsafat Yunani tanpa mencaploknya ke dalam
dogma, dan lebih dari itu, bagaimana telah dilaharikan elemen-elemen
filsafat yang original. Di sini juga penting untuk diteliti lebih lanjut,
entahkah berfilsafat demi mengembangkan pandangan Kristen yang
lebih komprehensif atas dunia itu sesungguhnya filsafat yang asli
atau tidak. Jawaban lebih tepat mungkin diperoleh dengan meneliti
berbagai contoh atau kasus dalam sejarah.58

Latarbelakang pemikiran Gilson ialah pandangan Maurice de


Wulf bahwa bisa ada satu filsafat Scholastik uniter yang independen
dari iman yang disokong oleh logika Aristoteles. Gilson merespons
pandangan ini dengan menekankan suatu “filsafat kristen”, suatu
“filsafat-teologi”, yang terkenal dalam Metafisika Tomista, yang sangat
mendalam dan valid, yang juga terkandung dalam Metafisika
Bonaventura dan Duns Scotus.59

KONSEP ESSE ST. THOMAS AQUINAS

Equilibrium yang kompleks antara “Theologia Negativa” dan


kepastian absolut tentang Adanya Allah (kepastian sensus communis,
kepastian filosofis dan kepastian iman) juga digeluti Gilson dalam
karyanya L’athéisme difficile (1979). Terlebih dalam karyanya L’être et
l’essence (1962), Gilson menegaskan bahwa sejarah filsafat dari
Parmenides hingga Heiddeger, tanpa kecuali arbitraria Filsafat
Kristen, dari Patristik hingga Scholastik memberi kesaksian bahwa
persoalan pokok pemikiran adalah persoalan Esse, ada, dalam
keseluruhan formalisasi rationalnya.

Dalam L’être et l’essence Gilson menegaskan bahwa pengalaman


memanifestasikan diri kepada intelek lewat konsep esensi dan “actus
essendi.” Maka upaya metafisika ialah menangkap/mengerti esse
dengan cara sedemikian rupa sehingga kedua dimensi ini tetap

58
Frederick Copleston, Op. Cit., p. 263.
59
Cf. Antonio Livi, La Filosofia e la sua Storia, La filosofia contemporanea – Il Novecento,
(Italia, Società Editrice Dante Alighieri, 1997), pp. 606-607.
128
diperhatikan secara seimbang. Di sini harus kita perhatikan
kecenderungan pemikiran logis yang cenderung mengobjekkan segala
sesuatu di bawah forma konsep-konsep. Ketika dikatakan bahwa Esse
adalah sesuatu yang berada, kita mendefinisikannya menurut fungsi
“actus essendi,” “actus berada.” Tetapi apakah actus essendi ini,
menurut fungsi suatu barang (apanya? che cosa) dapat diberi definisi?
Paling kurang Esse ini dari satu pihak tidak bisa dimengerti hanya
sebagai satu modalitas, dan dari pihak lain perlu dimasukkan dalam
tataran pengertian, walau intelek kita mengalami kesulitan untuk
mengertinya secara tuntas.

Dengan ini jelas, persoalan yang dihadapi ialah untuk


mengetahui, entahkah ratio kita mampu menempatkan dalam inti
realitas satu elemen yang dipandang dalam totalitas real itu sendiri,
yaitu realitas dilihat dalam totalitas semua elemen yang
membentuknya. Inilah posisi dari Realisme Metafisik yang menerima
realitas integral yang hadir bagi pengetahuan tanpa mengeksklusifkan
aspek-aspek esensial yang ditangkap lewat abstraksi. Namun
Realisme sejati ini jarang sekali dianuti dalam sejarah filsafat. Sebab
Scholastik formalisme dan esentialisme, dari akhir Abad Pertengahan
hingga Suárez dan selanjutnya hingga sekarang, sesungguhnya dari
satu sisi merupakan suatu bentuk rationalisme yang berfilsafat
dengan mengeliminasi aspek-aspek non-konseptual dari yang real,
dan dari sisi lain bukanlah Realisme yang sesungguhnya sebab walau
melawan Idealisme dan Eksistenstialisme, toh jatuh dalam
Irrationalisme karena mengabaikan ratio cognoscendi dari yang real
itu sendiri.

Di sinilah pentingnya mengambil kembali pemikiran Metafisika


St. Thomas Aquinas yang lebih bercorak eksistential (tapi buka
eksistentialistik) karena didasarkan atas pokok fundamental actus
essendi yang secara metafisis mendasari seluruh realitas. Inilah
prinsip dasar yang sekali dimengerti, tidak lagi mengenal batas waktu.
129
Ada 3 hal fundamental yang ditemukan Gilson:

1. Filsafat Patristik dan Scholastik bukanlah suatu kristianisasi


ekstrinsik atas Filsafat Yunani, tetapi sungguh memiliki
originalitas yang tak terbantahkan, yang berakar pada konsep
creationisme, yakni partisipasi dan analogia.
2. Metafisika yang dibangun atas konsep Esse merupakan forma
unik dan valid dari Realisme Filosofis dan metode konstruktif
satu-satunya dari pikiran, juga dalam hubungan dengan
kemungkinan untuk mengetahui eksistensi Allah dan
keterbukaan untuk mengetahui Revelasi yang datang dari Allah.
Filsafat Rationalistik yang diperkenalkan Descartes otomatis
menghantar pada atheisme dan pada kematian filsafat itu
sendiri.
3. Metafisika yang berfondasikan Esse secara historis lahir dalam
lingkungan Teologi, dan menjadi kuat dalam hubungan
intrinsik iman kristen baik sebagai sumber inspirasi maupun
sebagai medan tematis.

Mengikuti jejak Maritain, Gilson juga menulis dalam bidang


Estetika. Secara umum pandangannya atas Estetika juga bercorak
Thomistis. Seni baginya adalah kegiatan menghasilkan objek-objek
yang indah yang menyebabkan kenikmatan kontemplatif atau
kesenangan. Dari sini dia menarik kesimpulan yang ternyata salah
secara mendasar bahwa imitasi dari sendirinya sudah termasuk atau
merupakan esensi atau sifat kesenian. Kesenian abstrak tidak
membutuhkan justifikasi khusus. Jika seni itu kreatif, tidak
seharusnya disimpulkan bahwa karya-karya non-representational itu
kurang [bernilai] atau harus didiskualifikasi sebagai seni.

3. JACQUES MARITAIN
130
Jacques Maritain lahir di Paris pada 1882 dan meninggal di
Tolosa, Perancis, pada 1973. Dia berasal dari keluarga dan
lingkungan Protestan. Ia belajar di Universitas Sorbonne dan
diinspirasi oleh banyak aliran pemikiran filsafat dan kultural saat itu,
antara lain Positivisme, Materialisme, Antiklerikalisme. Saat
mengikuti kuliah Henri Bergson di Sorbonne, ia berkenalan dengan
teman kelasnya Raïsa Umanzof, seorang penyair Rusia keturunan
Yahudi yang kemudian menjadi istrinya. Pada 1906 bersama Raïsa
bertobat ke dalam agama Katolik dengan Sakramen pembaptisan.
Dengan ini dia memulai suatu kehidupan iman yang sungguh
mendalam, bahkan yang membuatnya tiba pada pemikiran St.
Thomas Aquinas, di bawah bimbingan Réginald Garrigou-Lagrange.
Tahun 1912 mulai kuliahnya di Institut Catholique di Paris. Ia
bekerjasama dengan sebuah Majalah yang dikelola oleh Action
Française namun kemudian pada 1926 tidak diakui oleh Paus Pius XI
karena pandangan Teologi yang salah. Maritain menyadari kesalahan
Teologis yang membuatnya jatuh dan kembali melawan gerakan ini.

Karya Maritain dalam berbagai Bidang:

Karya Polemik: Antimoderne (1922); Humanisme intégral (...?)


yang berisi suatu proyek kristianitas baru. Keikutsertaannya dalam
persoalan “Filsafat Kristen” sejak 1931 tertuang dalam karyanya De la
philosophie chrétienne (1933).

Karya di bidang Gneseologi: Distinguer pour unir, ou Les degrés


du savoir (1932) yang mengkaji secara kritis pengetahuan fisika,
metafisik dan mystik, sambil menggeluti persoalan Realisme dan
mempertahankan “kriticitas” Realisme Thomist (cq. Maritain tidak
sepaham dengan Gilson).

Karya di Bidang Metafisika: Dalam karyanya De Bergson à


Thomas d’Aquin (1947) ia menggarisbawahi karakter eksistensial
Metafisika Thomisme. Karya ini ditulis saat ia bertugas di Roma
131
(1940-1960, khususnya saat ia menjadi Dubes Perancis untuk Tachta
Suci di Vatikan, 1944-1948). Persoalan Metafisika yang lain
digelutinya dalam Sept leçons sur l’être (1934), dilanjutkan kemudian
dalam Court traité l’exsistence et de l’existant (1947).

Karya di Bidang Pedagogi: Education at the Crossroads (1943).

Karya di Bidang Politik: La personne et le bien commun (1947),


Man and the State (1951).

Karya di Bidang Estetika: Creative Intuition in Art and Poetry


(1953).

Karya di Bidang Filsafat Moral: Neuf leçons sur les notions


premières de la philosophie morale (1951) dan La philosophie morale,
Vol. I: Examen historique et critique des grandes systèmes (1960).

Komentar dan Kritik: Le paysan de la Garonne (1966) yang


berisi komentar dan kritik yang hidup atas Husserl dan bentuk-
bentuk Idealisme yang lainnya, juga bentuk-bentuk modernisme
lainnya yang digeluti dalam Konsili Vatican II.

TEMA-TEMA FILOSOFIS MARITAIN

1. GNOSEOLOGI
Menurut Augusto Del Noce ada berbagai interpretasi dan cap
yang diberikan kepada Maritain. Namun harus dikatakan bahwa
maksud asli Maritain ialah untuk menjaminkan - dalam metode
khusus Filsafat Kristen - kondisi-kondisi yang perlu demi
perkembangan otonom dan penuh dalam ratio manusia bersama
dengan kondisi yang perlu untuk “philosopher dans la foi” (berfilsafat
dalam iman) yang otentik. Kritik yang timbul dalam perjumpaan
dengan Descartes dan Bergson dan kemudian Husserl dan Heidegger,
dan setiap penelaahan metafisik kristen yang tergopoh-gopoh dan
132
superficial dari beberapa teolog merupakan ekspresi yang koheren
dari satu proposal intelektual yang tetap aktual hingga sekarang:
“Allah tidak membutuhkan filsafat apapun untuk membuktikan, juga
tidak lewat filsafat khusus untuk sampai kepada jiwa-jiwa.
Manusialah yang dalam berfilsafat dan dalam regim penggunaan
kemampuan rational menjadi sadar atau kurang sadar akan
kehadiran misteri, dan yang membentuk kebiasaan berpikir dan
bersikap dalam berhadapan dengan misteri dan dengan Sabda.
Menyangkal hal ini merupakan tanda dan petunjuk dari fideisme dan
relativisme, berkecimpung antara yang pastoral dan doktrinal, yang
menuntut bahwa harus dibuat “reinterpretasi” iuxta nova principia
atas iman. Intellignesi iman sesungguhnya suatu tugas yang selalu
terbuka, progresif, perhatian yang terus-menerus dan setia; namun di
sini terjadi suatu pertumbuhan dalam suatu proyek yang kokoh
dasarnya, terfokus pada sikap yang terpusat pada kebenaran, dan
bukan pada keinginan untuk menjadi “enfants de son temps”.

Perlawanan radikal terhadap pandangan rationalistik yang


berasal dari Descartes, upaya untuk secara definitif mengatasi logika
immanentistik, pandangan dari sukses atheistik aliran filsafat yang
mengabsolutkan fenomenologi yang memang harus dibayar demi
metafisika merupakan tema-tema polemik yang kita temukan kembali
dalam Maritain dan Fabro. Khususnya polemik Maritain melawan
kritisisme dan fenomenologi eksistensial bukanlah suatu penutup
yang tumpul atau karena motivasi kontingen. Justru sebaliknya:
Pertanyaan yang dihadapi sungguh bermakna fundamental dalam
jaman ini lengkap dengan pendekatannya atas kebenaran. Apa
persisnya pertanyaan yang diajukan Maritain dalam polemik Husserl
dan Heidegger? Persisnya penemuan kembali makna ada dalam
kaitannya dengan problem essensi dan metode filsafat berhadapan
dengan bentuk-bentuk modern rationalitas, yakni pengetahuan
empiriologis dan empiriomatematis, dan juga iman religius.
133
Singkatnya, upaya fana Idealisme Transendental untuk menemukan
kembali ada dan maknanya dengan bertolak dari reduksi
immanentistik. Itulah upaya yang sesudah Positivisme dan
Pragmatisme, diambil kembali oleh Husserl, Jaspers dan Heidegger.
Menurut Melchior Virgilio, kritik gnoseologi modern yang menghantar
para Scientisme, Pragmatisme dan Teknologi, ditemukan dalam karya
Husserl Krisis der europäischen Wissenschaften: proses matematisasi
pengetahuan modern mengakibatkan penguasaan atas dunia
manusia, tapi juga menyebabkan “kekosongan makna” dalam intuitus
original. Inilah proses yang menghantar pada kehilangan “ada sejati”
dan merupakan suatu jenis pencederaan manusia. Maritain
membahas persoalan ini dalam karyanya antara lain Réflexions sur la
nature blessée et sur l’intuition de l’être (1970), Degrés du savoir, Sept
leçons sur l’être, dan Court traité de l’existence et de l’existant.

Pokok-pokok refleksi Maritain atas makna ada: Pertama,


doktrin Maritain tentang kapasitas ratio manusia untuk secara
langsung (immediately, anterior dari setiap pembicaraan analitis)
mencapai ada dari setiap ens, dimengerti sebagai evidensi dari makna
(intelligibilitas) dan pada saat yang sama sebagai inesaurabilitas
makna (problematicitas). Dengan kata lain, pendasaran realistis dari
pikiran yang mengimplikasikan konsep realitas sebagai misteri dari
mana diretas jalan penyelidikan dan penemuan atas Allah. Penekanan
karakter eksistensial ini didorong oleh 2 motivasi: 1) karena
mengimplikasikan asumsi aktualitas (eksistensi, sejarah, faktualitas)
sebagai titik start refleksi rational yang disatukan dengan konsep-
konsep abstrak dan unviersal (logika atas esensi). 2) karena dalam
kepastian primordial ratio intuitif manusia mendapatkan makna
eksistensinya sendiri sebagai ada-di-dunia dan ada-untuk-kematian.
Dari kedua aspek ini mengalirlah nilai teologis intuisi atas ada,
karena hanya dari intuisi ini dapat naik kembali dengan ratio
134
diskursif dari level sensus communis dan level refleksi filosofis
menuju fundamen eksistensi dan makna terakhir ada, yaitu Allah.

Maritain menegaskan karakter intuitif pengetahuan akan ada


dalam karyanya yang tersohor Approches de Dieu (1950). Pengetahuan
akan ada ini natural “bukan hanya dalam arti bahwa pengetahuan ini
ada dalam tataran rational dan bukan dalam tataran supranatural
iman, tetapi juga dalam arti pra-filosofis dan berlangsung menurut
cara natural, atau bisa dikatakan instinctive dari appersepsi pertama
intelek, mendahului setiap elaborasi filosofis atau yang dirationalisasi
secara ilmiah. Sebelum masuk ke pengetahuan metafisis, roh
manusia memiliki suatu pengetahuan pra-filosofis yang secara virtual
metafisis. Inilah langkah/jalan pertama, primordial, yang menghantar
kepada kesadaran akan adaNya Allah.

Bagaimana pengetahuan ini diartikulasikan? Secara synthesis


Maritain menjawab: “Saat manusia sadar akan eksistensi realitas dan
eksistensinya sendiri, saat ia menangkap secara real fakta yang
sekian hebat, kadang ia terbius, kadang ia menderita dan diliputi
kecemasan: saya ada, lalu ia dibebani intuisi akan ada dan segala
implikasi ada itu. Intuisi ini sekaligus intuisi atas eksistensiku dan
eksistensi barang-barang, tetapi pertama-tama eksistensi barang-
barang.”60 Ditambahkannya bahwa barang-barang yang ada
memiliki adanya sendiri, independen secara total dari adaku, afirmatif
secara total atas dirinya sendiri dan secara total tak dapat
dipengaruhi. Dan saya juga sadar bahwa saya ada, tetapi memang di
hadapan yang ada ini saya sungguh sendirian dan rapuh, dan dalam
relasiku dengannya saya sesungguhnya tiada. Di hadapan yang lain
saya merasa sungguh terbatas, terancam, ditakdirkan untuk hancur
dan mati.61

60
J. Maritain, Alla ricerca di Dio, (Roma, Ed. Ave, 1968), p. 11.
61
Ibid., pp. 11-12.
135
Bagi Maritain filsafat adalah “pengetahuan sempurna” yakni
pengetahuan manusia dalam tingkatnya yang paling tinggi, sebagai
komprehensi metodis dan sistematis atas realitas pengalaman.
Filsafat digolongkan dalam lingkungan paling tinggi dari skala
pengetahuan ilmiah, yang bertolak selalu dari data-data dan dari
kepastian sensus communis untuk sampai pada suatu pengetahuan
terstruktur, refleksif, metodis, yakni “scientia” menurut aspek filosofis
dan ilmu-ilmu partikular.62 Dalam hubungan dengan scientia, sensus
communis berperan sebagai pendasar yakni menjadi dasar konstitutif
sekaligus pengontrol atas proses scientia itu, yakni suatu unitas
organis dan penyeimbang paling mendasar dari segala kepastiannya.
“Intelligentia-lah yang selalu mengenal secara spontan dengan sensus
communis dan mengenal secara ilmiah dengan cara metodis, dan
tidak pernah terjadi suatu dialektik negatif antara keduanya...” 63

Interese teologis doktrin Maritain atas intuisi intelektual tidak


ditemukan hanya dalam pendasaran rational atas kepastian adaNya
Allah tapi juga dalam kemungkinan menawarkan jalan untuk
mengatasi problem hermeneutis, misalnya dalam Teologi Biblis.
Contohnya, Wahyu Ilahi yang ditujukan kepada semua orang dan
dapat dikomuikasikan atas cara tertentu kepada semua orang. Dalam
komunikasi Wahyu ini, selain konsep dasar semisal genus letterer,
diperlukan juga suatu aplikasi intelligentia. Dari satu pihak ada type-
type ekspektasi mental (dari “imaginasi prospektif” jika kita ingin
sebut demikian), yang memang cocok dengan instinct hati dan ratio,
karena ditemukan sepanjang sejarah hidup manusia. Dari pihak lain,
ada bahasa yang mengungkapkan kejadian-kejadian seperti kata-
kata, dan jelas bahwa untuk mengerti seseorang perlu diketahui
bahasanya. Demikianpun Allah selalu berkomunikasi dengan
menggunakan vocabulary manusiawi.64 Di sini ditekankan kriteria
62
J.Maritain, Distinguere per unire, pp. xv-xvi.
63
J. Maritain, La filosofia bergsoniana, pp. 456-457.
64
J. Maritain, Della grazia e dell’umanità di Gesù, Brescia, Ed. Morcelliana, 1971), pp. 102-
103.
136
untuk membangkitkan elemen kepastian radikal dan absolut dalam
kesadaran manusia dalam hubungan dengan totalitas pengalaman
langsung, jika dikehendaki mungkinnya Allah dan manusia.
Kepastian radikal dan absolut ini ditemukan dalam level sensus
communis dan inilah yang merupakan presuppositum logis dari iman.

Bagaiamana masa depan Filsafat Kristen? Para Filsuf sangat


bertanggungjawab dalam hal ini karena menyangkut pembicaraan
tentang filsafat kristen yang sangat kompleks yang tidak akan
mentolerir setiap improvisasi dan superficialitas, sementara itu sedikit
sekali teolog yang mendedikasikan diri untuk bekerjasama dalam
proyek raksasa membangun kultur dan mentalitas modern yang
memberi tempat kepada refleksi serius dan mendalam. Dalam
karyanya Le Paysan de la Garonne yang diinterpretasi dan
dikomentari oleh sahabatnya Charles Journet65, ditekankan perlunya
menginterpretasi filosofis atas kebenaran iman dalam setiap jaman
yang membuat kita lebih mengerti kebenaran teologis itu. Sayangnya,
ancilla telah menjadi padrona! Tujuan teologi bukan lagi kebenaran,
tetapi kegunaan/efektivitas sebagaimana dapat kita saksikan dalam
Fideisme. Jika manusia dicipta untuk kebenaran, perlu suatu doktrin
yang secara esensial didasarkan sedapat mungkin atas kebenaran.
Karena itu doktrin ini tidak cukup hanya karya satu orang, tetapi
hasil karya dari roh/semangat manusia sepanjang sejarah. Inilah nilai
filsafat kristen, pewaris tradisi klasik yang setia pada sensus
communis yang menghormati semua ekspresi kultural yang
bersumberkan pada kebenarannya yang paling original dan otentik.
Memang ada jaman-jaman kecintaan. Kebudayaan Barat yang lahir
dari “Keajaiban Greco” dan dihidupkan dalam tradisi Judeocristiana
sangat mengagumkan. Banyak kearifan dari budaya Timur dan dari
belahan dunia lain yang terungkap lewat “kategori bahasa”
diharapkan bersama-sama membentuk peradaban modern. Namun di
hadapan begitu banyak penyangkalan atas kebenaran, bisa
65
Cf. Charles Jornet, “Studi Cattolici”, no. 71 (1967), p. 117.
137
ditegaskan bahwa memang hanya segelintir orang yang bertahan
menggali kebenaran iman kristen dan kebijaksanaan rational yang
telah menghidupkannya.

2. FILSAFAT SEJARAH DAN FILSAFAT POLITIK


Dalam ulasan yang berjudul Pur une philosophie de l’histoire
(Suatu ulasan filsafat sejarah, 1948), Maritain memperkenalkan
beberapa distingsi konseptual yang merupakan analysisis lebih lanjut
atas pemikiran dari Humanisme integral. Ditegaskan bahwa dunia
kristen dan kekristenan bukanlah hal yang sama. Dunia kristen
menunjuk area peradaban yang didenominasi kristen, yang belum
tentu berarti bahwa orang di dunia ini bertindak menurut nasehat-
nasehat Injil. Dkl., dunia yang secara anagrafis kristen. Di sini ingin
diungkapkan suatu kehadiran kristianisme yang kurang-lebih
eksterior dan kurang efektif. Contoh yang diberikan Maritain:
Pangeran Louis XIV dan Raja Confessional Frederik II dari Prusia,
masyarakat yang tidak pernah kehilangan pengaruh Kerajaan Allah,
tetapi yang terpisah karena tingkah laku mereka yang tidak bermoral,
di mana juga kekudusan kristen sungguh dilawan dan banyak martyr
kristen mengalami penyiksaan kejam. Di daerah ini kekristenan
direduksi hanya sebagai urusan privat dan kekristenan kehilangan
kekuatan paling hakiki, yang membuat banyak orang hanya
berurusan dengan tujuan-tujuan yang semata duniawi.

Kekristenan (=kristianitas) memang berbeda dari dunia kristen,


Gereja dan kristianisme. Kristianitas menunjuk suatu cara
pengahayatan hidup atau peradaban yang berinspirasi kristen, yang
tidak pernah sama dengan dunia kristen dekoratif, tetapi peradaban
yang sesungguhnya dan sehidup-hidupnya berazas kristen.
Kristianitas lebih berkonotasi kehaidran dan pengahayatan semangat
kristen yang lebih aktif, real dan mendasar.
138
Dunia kristen dan kristianitas memang berada di bawah hukum
temporal, hukum perubahan dan kejadian. Namun kristianitas tidak
tertutup dalam diri sendiri tapi terbuka kepada dimensi suprantural.
Kristianitas yang lebih merupakan suatu eksistensi dari situasi
kekristenan, mengambil point kepentingan crucial dalam sejarah
dunia: bilamana suatu peradaban kristen berkembang secara
autentik, dunia berkembang lebih cepat menuju tujuan-tujuannya
dan menuju Kerajaan Metahistoris di dalam Allah, karena Injil secara
mengagumkan menginkarnasi dan rahmat membantu alam kodrati
mencapai kepenuhannya yang khas dan paripurna.

Di sini ditekankan tugas dan tanggungjawab setiap orang


kristen, khususnya filsafat kristen untuk kemajuan peradaban dunia.
Maritain menawarkan refleksi-refleksi filosofis atas sejarah yang
memperlihat segala problem praktis dari kondisi orang-orang kristen
di dalam perjuangan di dunia, dari kesulitan dan tanggungjawab
mereka atas masyarakat kontemporer dan berusaha mendorong
pencaharian dan pengelolaan elemen-elemen intelektual yang secara
mendasar bisa memberi jawaban kepada persoalan-persoalan itu.
Refleksinya atas tujuan natural dunia membangun suatu fondasi
yang dengan sangat tajam memperlihatkan kecenderungan laicitas
(baca: autonomia relatif) dari tatanan dunia ciptaan, ratio tujuan-
tujuannya yang cenderung ke luar batas karena yang temporal tidak
mengacu pada titik referensi yang lebih permanen. Dukungan terakhir
dan radikal yang ditawarkan ialah dalam Ontologi: Barang-barang
adalah ens-ens yang memang memiliki nilai dalam dirinya, tetapi nilai
itu selalu berupa qualitas yang diterima dari Tuhan. Bersama Gilson,
Maritain juga menekankan Restorasi Alam ciptaan dalam Kristus yang
dikemas dalam premis-premis yang berisikan metafisika Esse dan
kebenaran ciptaan.66 Kegemaran filsafat Maritain dalam hal ini ialah
kecintaan akan dunia yang terbuka kepada alam supranatural,

66
Untuk pokok ini baca Per una filosofia della storia, (Brescia, Bari, 1968), p. 120; juga
Christianisme et philosophie, (Paris, Vrin, 1936), pp. 151-152.
139
sehingga terhindar dari kecenderungan menjadikan rahmat tidak
relevan dalam berfilsafat dan pengaminan terhadap naturalisme dan
ultranaturalisme type penuh muslihat (insidioso naturalismo).67
Refleksi filsafat Maritain atas dunia dapat diringkas dalam 3 tema
utama: Filsafat Esse, Filsafat Persona, Filsafat Kebebasan.

Filsafat sejarah memasukkan sepenuhnya filsafat waktu dalam


hubungan dengan nilai. Sambil mendiskusikan dan mengkritik posisi
Bergson dan Einstein, Maritain berusaha mengambil kembali konsep
Aristoteles tentang waktu. Waktu yang merupakan ukuran gerak dari
awal hingga akhir (misura del movimento secondo il prima e il dopo),
sesungguhnya objektif dan memiliki ukuran ontologisnya, yang
dibedakan dari ukuran subjektif, yang terjadi dalam hubungan
dengan suatu system acuan tertentu. Esensi metafisik waktu terdapat
dalam konstitusi realitas ciptaan dalam aktus dan potensi, atau dkl.,
dalam ketidaksanggupan ciptaan untuk berada bersama-sama
sebagai kesatuan dan karena itu harus berada dalam necessitas
korelatif yang terbentang dalam waktu, untuk menguraikan
potensialitasnya. Karena itu waktu adalah kondisi eksistensi kita,
realitas konstitutif adanya kita.

Dalam situasi predominansi kematian (corruzione) atas


kelahiran (generazione), waktu adalah kebesaran murni dan
sederhana penghentian ada yang tetap, dari disgregasi
berkesinambungan yang ditempatkan oleh gerak-perubahan
(mobilitas) kepada ada, perkembangan niscaya dari perubahan ke
non-esse. Ini berarti tempat untuk waktu adalah materia, yang
merupakan tempat oposisi, tempat kejatuhan potensi-potensi, tempat
entropi.

Dalam hubungan dengan actus-potentia, bagaimana memahami


energi historis yang lebih cenderung berdegradasi daripada

67
Antonio Livi, La filsosofia e la sua storia, vol. 4, pp. 616-617. Naturalisme dan
Ultranaturalisme type ini dipelopori oleh Descartes dan Luther.
140
berelevasi? Maritain menjawab bahwa degradasi waktu tidak
meresapi seluruh esse. Intelligensi dan kebebasan mengatasi waktu.
Intelek mentransendir waktu saat ia menangkap objek, ada dan
didasarkan pada kebenaran yang bersifat a temporal (Cf. St.
Augustinus). Kebebasan mengatasi waktu, yaitu mengisi kembali
gerak pemborosan, dengan memanggil kembali realitas baru untuk
bereksistensi.

Ada di atas waktu, intelek dan kebebasan ditarik ke hukum


perkembangan entropik khusus waktu, ke oposisi dan berhentinya
ada, yang memiliki tempatnya dalam kesinambungan materia-waktu.
Di sini terjadi perkembangan ontologis khusus untuk manusia, tapi
belum terjadi perkembangan moral.

Filsafat sejarah Maritain bukanlah filsafat progresif. Maritain


bahkan sangat ironis terhadap mithos Iluminisme tentang progresi
(perkembangan/kemajuan). Waktu bukanlah suatu penghasil
otomatis nilai-nilai. Kemajuan tidak pernah tercapai otomatis karena
peredaran waktu tapi karena penggunaan maksimal energi
inteligentia, kebebasan, cinta. Progresi ini lebih merupakan suatu
usaha ekspansif, perjuangan dan konstruksi menuju kepenuhan
waktu, yang makna sejatinya dibangun oleh qualitas forma yang
sanggup mencetak pembaharuan dalam materi. Maritain
menegaskan: “Saya tidak menyangkal bahwa manusia sanggup
berkembang, bahkan dia tercipta untuk berkembang, tetapi akan
absurd untuk berpikir bahwa perkembangan direalisir secara
necessarium, berkat suatu molla (pegas) ilahi atau hukum metafisika
dari sejarah manusia; hal ini sungguh absurd karena memang
manusia adalah makluk yang dapat menjadi sempurna (perfettibile),
dan karena itu corruptibile. Dari bidang moral harus ditegaskan
bahwa progresso bukanlah suatu necessitas untuk kita manusia
141
dalam arti bahwa kita wajib, untuk tidak jatuh, berkembang terus-
menerus.”68

Filsafat Sejarah Maritian sungguh dialektis, dalam arti menolak


secara kategoris setiap ajaran type dialektis ala Hegel dan Marx atas
dialektika sejarah. Negasi dan segala negasi itu positif, dan hanya
lewat negasi yang makin radikal atas hakekat manusia, hanya lewat
kontradiksi yang selalu lebih eksplosif, dapatlah dicapai kota
keselamatan. Sejarah Filsafat Maritain itu lebih evolutif, dijiwai oleh
suatu makna yang lebih dalam dari kekuatan sejarah kebebasan
keyakinan bahwa kodrat manusia adalah pusat energi, operasi dan
kreativitas. Instrumen utamanya bukanlah dialektika tapi analogia.
Kebenaran-kebenaran (relatif-historis), sebagaimana kebebaran abadi,
tidak dapat terinkarnasi dalam sejarah, dan berikutnya dalam iklim-
iklim historis dan dalam jaman peradaban yang berbeda-beda, jika
tidak dalam cara analogis.

Maritain juga menolak setiap type filsafat sejarah adialektis


dalam arti Restorasi (semata univocitas) dan annulamento dalam
novum tetapi progresi dan perjalanan ke depan, yang ternyata lebih
autentik dan lebih mendalam. Sejarah berarti juga pembaharuan,
lebih positif dalam arti bergerak menuju kepenuhan esse yang lebih
besar: bukan menjadi (fieri, divenire) tapi arah dan nilai, esse, yang
lebih berarti di sini.

Vittorio Possenti coba mengklasifikasi Filsafat Sejarah untuk


melihat tempat Maritain:

1. Filsafat Sejarah Dialektis.


2. Filsafat Sejarah Adialektis:
a). Analogis-Evolutif: - implikasi analogis prinsip-prinsip
berbagai tahap sejarah dan suatu konsep evolutif-progresif
dari peredaran sejarah.

68
J. Maritain, Théonas, Op. Cit., p. 163.
142
b). Univoc dan secara improprium Evolutif: prinsip-prinsip
terinkarnasi hanya dalam 1 cara dalam sejarah; ada “progress”
hanya jika kita kembali ke situasi ideal, yang terjadi di masa
silam; perkembangan sejarah menjadi autentik hanya bila kita
kembali ke masa silam.

c). Circular – Fatalistik atau Kembalinya segala sesuatu secar


abadi: sejarah tidak mencipta apapun yang baru, tapi beredar
menurut siklus-siklus, dan akhirnya setiap hal kembali lagi
dari awal, mengikuti garis peredaran yang sama, lalu berulang
lagi terus-menerus tanpa henti.69

Menurut Maritain, Filsafat sejarah tidak cocok dengan


objeknya kalau dilihat dari perspektif pertentangan progresif otonomi
dan independensi dari pihak manusia. Maritain mengingatkan bahwa
hubungan antara kebebasan makluk ciptaan dan kebebasan Allah
sungguh esential demi suatu filsafat otentik sejarah. Di sini ingin
diketahui, entahkah manusia tetap bebas di bawah tindakan
misterius rahmat Allah dan bagaimana kejahatan timbul dalam
sejarah.

Maritain berpendapat, - mengikuti jejak Augustinisme modern


yang di Italia diwakili antara lain oleh Luigi Pareyson, Michele
Federico Sciacca, Teodorico Moretti-Costanzi dan Augusto Del Noce, -
bahwa untuk filsuf kristen perlu menempatkan persoalan
rahmat/kebebasan/kejahatan sebagai pusat refleksi. Bahkan dia
mendorong agar “sebagaimana teologi Calvin dan Molina menguasai
jaman modern, perlu dipikirkan bahwa teologi St. Thomas Aquinas
akan mewanai kristianitas yang baru.”70

Melawan Filsafat Sejarah model teknokratis, atau


sebagaimana diyakini Marx dan Marcuse, atau “Rationalisme Kritis,”

69
Cf. V. Possenti, Una filosofia per la transizione (Metafisica, persona e politica in Jacques
Maritain), (Milano, Ed. Massimo, 1988), p. 123.
70
J. Maritain, Umanesimo integrale, (Torino, Borla, 1962), p. 121.
143
“Filsafat sejarah Maritain memiliki kekhasan karena
kesederhanaannya: tidak berpretensi mengetahui masa depan, tidak
sanggup membaca sejarah di bawah sudut pandang hanya 1 kategori
(progres teknis, progres ilmiah, hubungan produk-produk, dst.) di
bawah suatu interpretasi monisme, tetapi di bawah pluralitas hukum
yang perlu dipertimbangkan bersama-sama baru memberi suatu
kepastian intelligibilitas bagi sejarah.” 71 Maritain juga tidak tawarkan
Filsafat Sejarah yang bertendensi ekonomis (materialisme historis a la
Marx) tetapi selalu konstelasi nilai-nilai, konsep tentang Allah,
manusia dan masyarakat, singkatnya dinamisme causalitas ideal.

Maritain percaya, kita perlu berpikir dan bertindak dalam


memandang sejarah tanpa utopia apapun, tetapi menempatkan jaman
humanistik-teosentrik yang ditandai peradaban kristiani sejati. Di
sini, hal-ihwal ilahi yang memelihara, melindungi dan mengarahkan
hal-ihwal manusiawi, yang dalam perjuangan melawan setiap bentuk
dualisme, rationalisme dan Borghese, bergerak menuju
kesatuan/integrasi iman dan hidup. Di sini orang kristen dipanggil
untuk kesetiaan rangkap, kepada Allah dan kepada dunia, karena
respek dan pemahaman yang mendalam atas ciptaan, di bawah
perhatian penuh untuk menemukan jejak dan gambar Allah di dalam
ciptaan.72

Titik konklusif: Refleksi Filsafat sejarah Maritain sungguh etis,


dengan titik final dan sentralnya pada transformasi dunia yang
harmonis dengan tujuan natural dunia. Tetapi dinamisme natural ini
harus bercermin terus-menerus dalam dinamisme fundamental yang
turun dari “titik assiomatiknya” yaitu Allah yang menjelma menjadi
manusia, Kristus.73

4. CORNELIO FABRO
71
Vittorio Possenti, Op. Cit., p. 125; lihat juga AA.VV., Storia e cristianesimo in Jacques
Maritain, (Milano, Ed. Massimo, 1979), p. 127.
72
Cf. J. Maritain, Raison et raisons, (Paris, Ed. Egloff, 1947), p. 184.
73
Cf. Antonio Livi, Op. Cit., p. 621.
144
Cornelio Fabro lahir dekat Udine, Italia Utara tahun 1991 dan
meninggal di Roma tahun 1995. Ia mendedikasikan banyak tahun
hidupnya untuk mengajar filsafat teoretis di Universitas Perugia. Dia
adalah seorang penafsir yang berkompeten antara lain atas
Kierkegaard, Hegel, Jaspers dan Heidegger. Dengan interpretasi yang
tajam dan tak kenal lelah atas Hegel, Jaspers dan Heidegger, Fabro
dapat mengajukan jawaban-jawaban yang tepat dari Metafisika
Thomisme atas pertanyaan-pertanyaan tak terhidnarkan yang telah
diajukan pemikir-pemikir itu, tentu juga disertai kritik atas tesis-tesis
yang tidak dapat diterima. Sambil mengevaluasi secara mendasar
valensi spekulatif immanentisme modern, dia mengadapatasikannya
dalam berbagai bentuk sebagai upaya mendamaikan dogma kristen
dengan berbagai arus pemikiran modern seperti cogito Descartes,
kritisisme Kantian, System Hegelian, Scientisisme Neopositivistik,
Vitalisme Irrationalistik, Aktualisme Gentiliano, Marxisme, Heidegger,
Filsafat Analytik, Filsafat Blondel, Anthroposentrisme Karl Rahner,
dan progressisme Teologis pada umumnya.

Karya dan jangkauan pemikiran Fabro:

Diario, dalam 12 Volume, (Brescia, Morcelliana, 1980 ff), berupa


terjemahan dan komentar magisterial Fabro atas Kiekegaard.

Dall’essere all’esistente, (Brescia, Ed. Morclliana, 1965), khususnya


satu bagian yang berupa eksposisi pemikiran Hegel dengan
judul La verità dell’essere e l’inizio del pensiero; Hegel: la
dialectica, (Brescia, Ed. La Scuola, 1962).

Ludwig Feuerbach: L’essenza del cristianesimo, (L’Aquila, Japadre,


1979).

Ragione e fede nella dialettica di Jaspers, (Brescia, Morcelliana, 1965).

Ontologia e metafisica nell’ultimo Heidegger, (Brescia, Morcelliana,


1965).
145
Introduzione all-ateismo moderno, (Brescia, Morcelliana, 1965).

L’uomo e il rischio di Dio (Brescia, Morcelliana, 1967).

La svolta antropologica di Karl Rahner, (Milano, Ed. Rusconi Libri,


1974).

L’avventura della teologia progressista, (Milano, Ed. Rusconi Libri,


1974).

Introduzione a san Tommaso, (....?)

Karya-karya Fabro membantu untuk memahami bagaimana


Thomisme sesungguhnya merupakan filsafat yang secara eksistensial
benar karena mengungkapkan secara tepat esensi kebenaran, dan
tidak mengimplikasikan sama sekali “kembalinya” (“ritorno”) sesuatu
yang tidak mungkin dan tidak dapat dipikirkan. Fabro menekankan
konsep “Thomisme Essential” dalam artian Thomisme yang
menawarkan berbagai prinsip valid, yang mampu mendorong
pemikiran untuk pendalaman yang selalu baru dan lebih baik. Fabro
juga menekankan secara tegas bahwa metafisika Thomista tidak
terikat secara substantial dengan ilmu pengetahuan alam Abad
Pertengahan, dan lebih lagi tidak merupakan antitesis atas ilmu alam
dunia modern dan kontemporer. “Problem fundamental kesadaran
umat manusia tidak menyangkut ilmu pengetahuan tapi determinasi
konsep kebenaran di atasnya dibangun dan diterangi esensi dan
hukum kebebasan yang ada di dasar ilmu pengetahuan itu. Konsep
kebenaran St. Thomas sungguh valid, walau fisika dan biologi di
jaman itu tidak mencukupi dan tidak lagi tergolong dalam ilmu
pengetahuan.”74

BEBERAPA POKOK REFLEKSI FABRO

1. Interpretasi atas Ateisme

74
C. Fabro, San Tommaso davanti al pensiero moderno, dalam AA.VV., Le ragioni del
tomismo, (Milano, Ed. Ares, 1979), p. 89.
146
Fabro menegaskan bahwa konfrontasi yang terjadi bukan pada
ilmu pengetahuan modern dan filsafat klasik tapi antara filsafat klasik
dan filsafat modern, yakni antara 2 prospektif antitesis yang berkaitan
dengan prinsip immanen dan prinsip transenden. Prinsip imanen
otomatis menghantar pada atheisme positif karena “kebenaran ada
pada aktus kebebasan dari ego karena terhalaunya Allah.” Pada titik
kritis ini, pemikiran (=filsafat) kristen dari perspektif pemikiran
teoretis, lewatnya ratio meretas jalan pencaharian dengan bertitik
tolak dari diri/adanya sendiri hingga sampai pada Yang Absolut.
Pentingnya pemahaman atas persoalan ini dapat diringkas sbb:
pemahaman yang mendalam atas metafisika St. Thomas Aquinas
(problem teoretis) sesungguhnya essiil bagi upaya memahami ateisme
modern dan kontemporer (problem historis), demi mengatasi budaya
jaman modern ini yang didominasi oleh kultur ateisme, yang
mencemaskan bahkan membuat banyak orang kristen menderita.
Seperti yang dikatakan Del Noce: “Dunia Yunani dan Medieval
(Kristen, Arab, Ibrani) tidak mengenal filsafat yang sekian antiteistik
seperti halnya Rationalisme (Immanentisme) modern. St. Thomas
Aquinas yang mengalamatkan SCGnya bagi orang Ibrani dan Islam
dan STh. yang berisi antara lain bukti tentang ada-Nya Allah bagi
kepentingan orang-orang beriman, tentu tidak bisa memberikan
jawaban yang memadai atas persoalan-persoalan baru, karena ia
menulis dalam situasi hidup jaman itu.75

2. Reinterpretasi atas Sejarah Filsafat


Heidegger telah mengutuk filsafat barat karena telah
“melupakan ada.” Cornelio Fabro sungguh yakin bahwa kutukan
Heidegger sangat mendasar, tetapi pemikiran St. Thomas Aquinas
tidak termasuk dalam “lupa ada” ini. Parmenides sendiri telah
menegaskan bahwa Esse itu satu, tidak bergerak dan tidak dapat
hancur. Sedangkan doxa (penampakan) yang merupakan fundamen
perubahan dan multiplicitas sejajar dengan kepastian sensus
75
Auguste Del Noce, Il problema dell’ateismo, p. 532.
147
communis. Dkl. Parmenides menetapkan suatu prinsip yang tidak
berguna untuk “mempertimbangkan” realitas karena tidak
memuaskan persoalan esensiil filsafat, tetapi yang tidak bisa masa
bodoh terhadap realitas dan dengan itu terdorong untuk menemukan
suatu “ratio” (logos) yang menjadikan realitas itu intelligibile. Bagi
Fabro, Parmenides telah menyangkal dalam Esse itu sendiri, sebab
yang prospektif adalah formula dari pikiran murni formal. Yang hilang
pada Parmenides dan seluruh dunia klasik adalah esse dan nulla
dalam artinya yang radikal, dengan akibat bahwa esse Parmenides
“walaupun berdiri pada antipodi dari esse-nya Hegel, ternyata
berkorespondensi dengannya, sebab esse yang dianggap Hegel
abstrak, kosong, tidak terbatas secara absolut, sesungguhnya selalu
merupakan esse yang diprospekkan Parmenides.”76

Seperti seluruh filsafat Yunani, Parmenides tidak menyadari


bahwa problem esse dan ens-ens merupakan hasil partisipasi, yang
menyangkut dependensi ens-ens pada Esse yang terjadi lewat
penciptaan. Ini merupakan konsep biblis yang mengimplikasikan
partisipasi dan causalitas. Menurut Fabro, hanya lewat prospektif
inilah mungkin untuk secara radikal/absolut membangun suatu teori
tentang esse sebagai actus dari ens (teoria dell’essere come atto
dell’ente). Persisnya inilah originalitas metafisika Thomista dalam
perbandingan dengan metafisika Aristoteles atas ens qua ens, yang
akan menjadi objek kritik dalam jaman modern, terutama dari
Heidegger. Adalah konsep penciptaan yang memungkinkan
pemahaman atas kebenaran atas esse dan non-esse, karena esse
tidak identik begitu saja dengan aktualitas esensi dan non-esse tidak
direduksi kepada negasi sebagaimana dipertahankan Parmenides dan
kemudian ditekankan Hegel. “Esse semata merupakan ekspresi
kosong sebagaimana non-esse. Maka dapatlah dikatakan bahwa
konsep biblis atas penciptaan dari ketiadaan merupakan suatu

76
C. Fabro, Partecipazione e causalitä secondo S. Tommaso d’Aquino, (Torino, Sei, 1960), p.
20.
148
revolusi radikal, suatu fondasi baru dari pemikiran karena
menemukan possibilitasnya yang terakhir. Possibilitas ini ada bagi
pemikiran lewat mediasi causalitas.”77 Menurut Fabro, konsep causa
hilang dalam dunia Yunani. Juga Aristoteles tidak mengetahuinya.
Namun karena dalam jaman klasik itu causa itu menimba hanya
forma-forma (accidental dan substansial) dari ens dan bukan esse
sendiri, tereduksilah ia ke dalam artian fisik dan bukan metafisik.
Dkl. causa berguna untuk menjelaskan perubahan dengan dasar
esse dari realitas, lewatnya problem esse diidentikkan dengan problem
forma atau dengan problem esensi. Dengan itu, esse yang hadir
secara uniter bagi Parmenides dan Heraklitos, menjadi bervariasi
dalam Ide Plato dan Forma Aristoteles. Problem esse sebagai realitas
uniter lantas hilang. Namun walaupun filsafat modern menekankan
kembali prinsip “kreativitas” kesadaran, ia toh tidak dapat
menggantikan esse yang hilang itu. *****

BAB 7

BENTUK-BENTUK IRRATIONALISME KONTEMPORER

Dalam bab ini kita akan fokus pada beberapa bentuk


Irrationalisme Filsafat Jaman Kontemporer. Dari Strukturalisme, akan
kita pilih untuk membahas beberapa tokoh dari aliran pemikiran
Marxisme, dari Anthropologi, Literatur dan Psikoanalysis. Selanjutnya
kita akan dalami pokok Hermeneutika sebagaimana dikembangkan
para pemikir Hermeneutika, lalu menyoroti persoalan „Pikiran Lemah“
dan coba melihat kemungkinan implikasinya dalam berbagai bidang
kehidupan, dan akhirnya akan mencoba merangkum beberapa pokok
besar dalam Postmodernisme atau Purnamodernisme atau yang lazim
dikenal sebagai Kontemporeanitas.

7.1 STRUKTURALISME: ANTARA MARX DAN FREUD

77
Ibid., p. 22.
149
Apa itu Strukturalisme? Strukturalisme adalah paham yang
mengatakan bahwa kenyataan tertinggi dari realitas adalah struktur.
Sedangkan Struktur dimengerti sebagai hubungan mutual dari
konstituen, bagian-bagian atau unsur-unsur pembentuk
keseluruhan, sebagai penyusun sifat khas, atau karakter dan
koeksistensi dalam keseluruhan bagian-bagian yang berbeda. 78
Strukturalisme mengindikasikan heterogenitas filsuf dan sekolah
filsafat yang muncul di Perancis tahun 1960-an. 79 Beberapa tokoh
Strukturalisme antara lain: Ferdinand de Saussure, Noam Chomsky,
Roman Jacobson, Louis Althusser (Marxisme), Claude Lévy Strauss
(Anthropolog), dllsb., sementara tokoh Post-Strukturalisme antara lain
Jacques Lacan (Psychoanalist), Ronald Barthes (Literatur), Michel
Foucault. Tokoh-tokoh ini sangat kuat dipengaruhi oleh Karl Marx
dan Freud, tapi juga Nietzche. Karena priviledgenya atas ilmu-ilmu
kemanusiaan, mereka berupaya mengaplikasikan kategori
interpretative “struktur” dan „post-struktur“ yang digunakan dalam
Literatur pada ilmu-ilmu manusia.

Sejak 1945 hingga 1985 hampir seluruh lingkungan intelektual


Perancis (Universitas, Sekolah, Percetakan, Penerbitan), dipengaruhi
oleh hegemoni “budaya” Marxisme. Jean Paul Sartre sendiri
menegaskan hal ini: „Marxisme adalah filsafat yang tak tertandingi
masa kini“.

Pada periode yang sama (tahun 1940-an) Eksistensialisme


dengan non-sensenya dan kepahitan pandangannya menjadi mode
dan merupakan pemikiran yang sangat diminati dunia. Atas usulan
Roger Garaudy, lahirlah satu type Marxisme yang tercampur dengan

78
Cf. Christopher Norris, Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida, (Yogyakarta,
Penerbit Ar-Ruzz, 2003), p. 9.
79
Selain buku referensi Antonio Livi, La Filosofia e la sua storia. La filosofia contemporanea
– Il Novecento, (Italia, Società Editrice Dante Alighieri, 1997), pp. 905-907 dan pp. 755-765, cf. juga
Alan D. Schrift, “Poststructuralism”, dalam Robert M. Borchert (Ed.), The Encyclopedia of Philosophy.
Supplement, pp. 452-453.
150
semua kharakter Eksistensialisme yang berorientasi Humanistis, yang
membentangkan tangan Marxisme untuk merangkul orang-orang
Kristen. Beberapa filsuf Katolik terpengaruh oleh Marxisme campuran
ini. E. Mounier mencanangkan “Personalisme.” Eksistensi, persona,
humanisme, seluruhnya terserap oleh derita dan memberontak
terhadap ketidakadilan yang ada dalam dunia kapitalistis yang sekian
meluas dan telah membentuk unversum gulag.

7.1.1 Louis Althusser (1918-1990)


Louis Althusser merupakan eksponen yang cukup terasuk oleh
fanatisme pencerahan karena membaca dan menginterpretasi Marx.
Tahun 1948 dia meninggalkan agama Katolik dan menjadi penganut
Komunis karena pengaruh istrinya Hélèna. Setelah istrinya terbunuh
pada 1980 ia terisolasi dalam sebuah poliklinik prikiatri tapi tidak
berhenti berkontak dengan publiknya dalam pertentangan budaya di
Prancis. Tahun 1992 terbit Autobiografinya L’avenir dure longtemps
suivi de les Faits, Autobiographies (Peristiwa yang berlangsung lama,
diikuti fakta-fakta: sebuah Autobiografi). Bagi Althusser, Marxisme
adalah “pengetahuan definitive dan absolute” (“scienza definitiva e
assoluta”). Althusser mencanangkan cara baru membaca Marx,
khususnya karya Marx yang menjadi sumber inspirasi, Das Kapital,
(1967). Dalam karyanya Pour Marx (1965) Althusser melakukan suatu
interpretasi humanistic atas Marxisme, dan menggabungkannya
dengan posisi kritis yang kemudian diadopsi oleh partai Komunis atas
motif taktis, yakni upaya untuk berdialog dengan orang-orang Kristen.
Interpretasi Althusser ternyata tidak merupakan satu doktrin atas
nilai-nilai kemanusiaan (pembebasan dari alienasi, penciptaan
masyarakat yang lebih berciri manusiawi) tapi satu teori umum atas
pengetahuan yang dapat dijadikan dasar untuk praksis ilmu dan
politik yang benar. Yang paling menarik bagi Althusser adalah fungsi
kritis materialisme yang dia samakan dengan pengetahuan ilmiah
karena kritik nasional dan ketelitiannya, untuk melawan segala
151
mystifikasi pengetahuan ideologis dan segala ajaran moral yang
memalukan karena didasarkan hanya pada mythos. Interpretasi ini
memang anti metafisika dan antiagama, dan mengagungkan politik
Marxisme-Leninisme sebagai instansi yang harus memutuskan segala
sesuatu.

Menurut Althusser, Marx telah mendasarkan suatu ilmu baru,


di mana ilmu dan filsafat (Marxisme) tidak bisa dipisahkan. Karena
hubungan antara keduanya sungguh nyata: Hasil dari ilmu-ilmu
modern (matematika dan fisika) telah menciptakan cara-cara baru
untuk mengerti filsafat dan hasil dari Filsafat Marx yakni Sejarah
{tanpa kelas}, telah menciptakan juga cara baru mengerti realitas,
yakni materialisme dialektis. Ilmu dan Filsafat baru ini hanya
mungkin diperjuangkan oleh kaum proletar yang berjuang demi
Revolusi, dan bukan oleh kaum intelektualis. Marx perlu dibaca
kembali secara kritis. Das Kapital adalah awal absolute sejarah ilmu
pengetahuan revolusioner. Hanya sesudah membaca Freud, kita ingin
mencurigai dunia ketaksadaran yang membuat kita semua diam, tapi
sekarang, dalam terang inspirasi Marx, harus kembali dikatakan.

Di sini Althusser mempertentangkan Realisme Klasik yakni


Realisme type intelektual yang disebutnya “Ideologi idealis” yang
mengacu pada Hegel. Kebenaran sejarah tidak bisa disampaikan oleh
buku yang menghadirkan Logos sebagai pembicaranya (= Kitab Suci),
tapi jejak-jejak tak terdengar-tak terlihat dari efek suatu struktur.
Mithos religius agama harus dipatahkan.

Sebagai konsep “membaca,” Althusser sampai pada kesimpulan


bahwa Marx telah mampu membaca para ekonom klasik dan karena
kritiknya atas mereka, ia telah mampu membangun ilmu dan sejarah
yang baru. Karena itu, konsep membaca tidak lain dari upaya
membangun ilmu praktis, yakni produksi barang-barang yang
berguna. Membaca berarti mampu mengetahui realitas dan
152
mentransformasikannya dalam bentuk objek-objek yang berguna, dan
ini berarti Revolusi. Marx mengajarkan hal baru karena berhasil
“membaca” apa yang dalam struktur ilmu ekonomi klasik ada tapi
tidak disadari.

Ilmu atau pengetahuan selalu menempatkan persoalan horizon


dari struktur teoretis definitive. Struktur ini adalah kondisi dari
kemungkinan bentuk atau posisi setiap problem. Struktur material
masyarakat histories membatasi problematika ilmiah dan horizon di
mana ia ditutup. Dalam arti ini, ilmu adalah satu praksis masyarakat
untuk menciptakan objek yang berguna. Karena itu Das Kapital
adalah karya yang valid selalu, karena berisi analisis Marx dan
penemuannya yang sungguh cemerlang. Das Kapital merupakan kritk
atas Ekonomi Politik. Karena itu, Althusser menolak Idealisme Hegel
dan Empirisme.

Interpretasi ini ternyata hanya merupakan satu interpretasi


postulatoria, kehilangan penilaian kritis, dan menjadi hanya satu
“Utopia Epistemologis.”

7.1.2 Claude Lévy –Strauss (1908-1995)


Sebagai Anthropolog, Lévy-Strauss menganut analogi dalam
metode dan objek antara linguistic dan anthropologi. Lévy-Strauss
melihat masyarakat sebagai himpunan individu-individu yang saling
berkomunikasi lewat berbagai aspek konstitutif kebudayaan seperti
halnya struktur bahasa.

Karya-karyanya yang penting untuk topic kita: Anthropologie


Structurale (1958), La pensée Sauvage (1962), Mithologie, (1964-1971).

Bertolak dari pandangan Ferdinand de Saussure (1857-1913)


dalam karyanya Course de linguistique générale (1913), Lévy-Strauss
mengaplikasikan teori ini pada penduduk, sambil memberi tempat
bagi “Anthropologie Struktural.” Dia membicarakan satu “Roh tak-
153
sadar” yang mengingatkan kembali a priori Kant, dalam arti roh itu
terkandung dalam schema-schema formal umum semua kebudayaan,
baik yang primitive maupun yang lebih maju. Schema-schema ini
dapat dilacak lewat mythos-mythos, sebagaimana telah dikatakan
Carl Gustav Jung. Menurut Lévy-Strauss, dalam setiap budaya yang
berbeda, selalu ada satu “sensus communis,” yang terbentuk dari
“struktur rational pikiran” yang mendahului kesadaran refleksif dan
interpretasi atas pengalaman.

Secara umum,struktur atau susunan, bangunan, kerangka


merupakan system dari unsur-unsur dan relasi-relasi yang saling
berhubungan dan yang merupakan satu keseluruhan yang
terorganisasi. Dengan adanya relasi timbal-balik dalam system itu
maka unsur-unsur dan relasi-relasi dapat saling ditransformasi satu
ke dalam yang lain menurut aturan-aturan fungsionalnya, di mana
proses autoregulasi memainkan peranan yang besar. Setiap struktur
harus dimengerti sebagai suatu bentuk keseimbangan khas yang agak
mantap dalam ruangnya yang terbatas dan menjadi kurang stabil
pada batas-batasnya. Sering Struktur dimengerti sebagai organisasi,
system, bentuk, koordinasi, dsb.

Menurut Claude Lévy-Strauss „Struktur“ mempunyai arti tetap


yaitu model-model yang dengan daya akal abstrak disusun
berdasarkan kenyataan empiris yang diobservasi anthropolog budaya
dan diuraikan etnografi. Struktur tidak berada terpisah atau
tersendiri, tetapi selalu berada demi unsur-unsur yang
dipersatukannya.

Konsep „Struktur“ selalu mencakup 3 aspek, yaitu:

1. Struktur memiliki ciri system, yakni terdiri dari unsur-unsur


sehingga perubahan yang terjadi pada 1 unsur membawa
perubahan pada semua unsur yang lainnya. Jadi, seluruh
organisasi intern dan koherensinya berubah.
154
2. Tiap model tercakup dalam seperangkat transformasi yang
seluruhnya bersesuaian dengan 1 model yang memungkinkan
kita dapat meramalkan bagaimana model itu akan bereaksi bila
terjadi perubahan dalam salah satu unsurnya.
3. Model harus disusun sedemikian sehingga cara berfungsinya
dapat mempertanggungjawabkan semua fakta yang diobservasi.
Namun Struktur tidak boleh dipandang sebagai keseluruhan
berkas dan jaringan hubungan antara unsur-unsur secara
statis, tetapi secara agak dinamis berdasarkan seluruh aturan
transformasi. Struktur tidak bisa diredusir pada system, yaitu
keseluruhan yang disusun dari unsur-unsur dan relasi-relasi
yang menggabungkan semua unsur itu. Supaya kita dapat
menganggapnya sebagai Struktur maka harus timbul hubungan
tetap di antara berbagai unsur dan relasi dari jumlah
keseluruhan sedemikian sehingga kita dapat beralih dari 1
keseluruhan ke keseluruhan lain, melalui dan berdasarkan
suatu transformasi.
Menurut pandangan Strukturalisme Modern, fokus perhatian
tidak bisa lagi diberikan kepada subjek, eksistensi, pertemuan
eksistensial, tetapi pada struktur, system, relasi fungsional,
aturan-aturan dan teori. Objek analysis Strukturalisme ialah
struktur-struktur yang pada hakekatnya bersifat tak sadar yang
diperoleh lewat metode deduksi, yang dapat diperlihatkan
berdasarkan data-data empiris (seperti dalam Anthropologi Lévy-
Strauss: aturan kekerabatan, mythologi, ritus, kesenian, ideologi
politis, cara menyiapkan makanan, klasifikasi dalam ilmu tumbuh-
tumbuhan, dlsb). Seorang Strukturalis berpendapat bahwa ia tidak
hanya berhadapan dengan struktur-struktur, tetapi terutama
dengan struktur-struktur yang tersembunyi yang mendasari dan
menghasilkan gejala-gejala yang dapat diamati.
155
Secara filosofis, Subjek atau Manusia tidak lagi dianggap
sebagai norma dan ukuran dari segala hal dan tidak menciptakan
makna realitas, tetapi sebagai hasil dan media struktur-struktur
yang dianggap otonom (inilah sikap anti-humanistik). Makna
terjadi sebagai hasil dari struktur-struktur produktif dan
kenyataan dianggap sebagai suatu lapangan perwujudan struktur-
struktur. Seorang Strukturalis mencari suatu model syruktural
yang unsur-unsur dan transformasi-transformasinya dapat
dirumuskan dalam term-term matematika formal. Tradisi teori
struktural sangat erat dikaitkan dengan Lévy-Strauss yang
berusaha menemukan struktur pikiran (mind) di belakang fenomen
budaya, khususnya logika oposisi – yang diungkapkannya. 80

7.1.3 Jacques Lacan (1901-1981)


Jacques Lacan adalah seorang psikiater yang juga mengajar di
École Pratique des Haute Études. Dia berasal dari keluarga katolik
yang saleh, tapi segera merasakan kebutuhan untuk mengkritik nilai-
nilai tradisional dari para pendahulunya dan dari para penjaga
legitimitas Psikoanalisa.

Tahun 1963 ia mendirikan École Freudienne bersama beberapa


muridnya untuk membaca dan mempelajari karya-karya Freud dan
mengembangkan Psikoanalisa. Mengambil kembali distingsi antara
“yang diartikan” dan “yang memaksudkan” dari Ferdinand de
Saussure, Jacques Lacan merancang suatu metodologi baru dalam
Psikoanalisa, yang didasarkan atas penelitian terhadap arti
tersembunyi dari bahasa, yang dapat dilacak bukan lewat apa yang
dikatakan dan cara mengatakannya. Dalam bahasa yang disadari
termanifestasikanlah jejak-jejak ketidaksadaran, yang dari sendirinya
berlari pada rationalitas tapi yang dapat ditangkap sebagian-sebagian

80
Claude Lévi-Strauss & Didier Eribon, De Prés et de Loin, (Paris, Editions Odile Jacob,
1988), p. 159; untuk keterangan atas pokok ini cf. Drs. Agus Cremers, Antara Alam dan Mithos,
Memperkenalkan Antropologi Struktural Claude Lévi-Strauss, (Ende, Penerbit Nusa Indah, 1997), pp.
145-147.
156
lewat symbol. Bahasa tidak hanya berhubungan dengan subjektivitas,
tapi juga dengan struktur intersubjektivitas kodrat manusia dan
kebudayaan.

Tahun 1968 terjadilah kericuhan “Mei Perancis” yang anarkis


dan sejak saat itu Strukturalisme pun kebagian kritik pedas. Para
pemimpin anarkis yang umumnya komunis secara tajam dan
sarkastik mengkritik Komunisme Sovjet. Pemikiran yang sedang
trendy berubah menjadi “Dekonstruksionisme” yakni karya sistematis
dari filologi kritis dan logis setiap “konstitusi” teoretis dengan maksud
menggapai kebenaran. Dengan Metodologi baru yang disambut
dengan kritik letterer Maurice Blanchot (1920-1996) dan dilanjutkan
dengan Jacques Derrida dihadirkan lagi polemic Nietzche melawan
Metafisika dan Moral.

7.1.4 Jacques Derrida: Dari Strukturalisme ke


Dekonstruksionisme
Jacques Derrida lahir di Aljazair pada 1930. Ia dibesarkan
dalam tradisi pemikiran filosofis era 1950-an hingga 1970-an. Era itu
dimeriahkan oleh pergeseran besar-besaran dari pemikiran
modernitas ke post-modernitas, dari Strukturalisme ke Post-
Strukturalisme atau Dekonstruksionisme. Strukturalis-modernis
diwakili oleh tokoh-tokoh seperti Ferdinand de Saussure, Noam
Chomsky, Roman Jakobson, Lèvy-Strauss, sementara Post-
Strukturalis-Post-modernis bisa dikatakan diwakili oleh Jacques
Lacan, Jacques Derrida, Michel Foucault, Ronald Barthes,
Baudrillard, dsb.

Derrida terkenal karena usahanya untuk menantang seluruh


tradisi dan pemahaman disiplin filsafat. Dia menolak memberikan
status istimewa apapun kepada filsafat yang selama ini danggap
sebagai „penjaga“, „pengatur“ ratio yang paling berkuasa. Dia
mengklaim bahwa para filsuf selama ini mengabaikan dan merepresi
157
dampak-dampak bahasa yang dirasa mengganggu. Untuk itu dia
menawarkan usaha membaca secara kritis untuk memahami dan
sedapat mungkin menggali elemen-elemen metafor dan hal-hal
figuratif di dalam teks-teks filosofis. Di sinilah terletak Dekonstruksi.
Tugas dekonstruksi ialah untuk menghilangkan ide-ide ilusif yang
selama ini menguasai Metafisika Barat, yaitu ide yang mengatakan
bahwa ratio bisa lepas dari bahasa dan sampai kepada kebenaran,
atau metode murni dan otentik dalam dirinya sendiri tanpa bantuan
yang lain. Dengan ini filsafat mencoba menyingkirkan karakter
„tekstual“ atau „tertulis“ dari wacana filosofis, tapi tanda-tanda (signs)
dari penyingkiran itu masih tetap jelas terpampang dalam berbagai
kelemahan metafor dan strategi rhetorika filosofis lainnya.

Tulisan-tulisan Derrida terasa lebih dekat ke kritik sastra


ketimbang kritik filsafat. Asumsi Derrida, pola-pola analysis rhetorikal
yang awalnya diterapkan dalam dunia sastra, pada prinsipnya tidak
bisa lagi dihindari dalam wacana apapun, termasuk filsafat.
Hubungan sastra dan filsafat sesungguhnya mutlak karena keduanya
sama-sama memuat tema-tema „imaginary“ yang selama ini
menyuarakan dan menentukan kewibawaan dan kebenaran filsafat.
Filsafat Barat ternyata penuh dengan penyingkiran filosofis atas
sastra. Plato menyingkirkan para penyair dari Republik idealnya. Dia
menekankan ratio, idea, sebagai satu-satunya penjaga manusia dari
debat kusir, dan memicu terjadinya „pembelaan-pembelaan“ dalam
apologi-apologi kritis. F.R. Leavis (....) mengemukakan kritik sastra
„praktis“ (pembacaan tertutup) dalam menginterpretasi imperatif-
imperatif moral agar bisa ditemukan garis batas yang jelas antara
bahasa sastra dan persoalan-persoalan filsafat. Kritiknya lebih
mengarah pada disiplin yang ditentukan oleh kualitas-kualitas
responsif dan intuitif ketimbang persoalan-persoalan mendasar dalam
filsafat. Dalam ketersimaan para kritikus Baru Amereika, Alen Tate
mengatakan bahwa kritik sastra adalah aktivitas mengambang,
158
terperangkap di antara 2 kubu yang bertentangan, imajinasi dan ratio
filosofis. Jalan keluar untuk mengatasi ketegangan ini: menemukan
bentuk-bentuk rhetorika dan paradoks yang bisa mengurung puisi
dalam batas-batas formalnya sendiri, karena puisi dan karya fiksi
lainnya memiliki status keotentikan dalam dirinya sendiri dan bisa
dibahas melalui beragam dogma kritik sastra.

Kritikus Baru ini coba mendikte filsafat dengan menerjemahkan


pertanyaan-pertanyaan filosofis ke dalam bahasa paradoks dan
ketegangan estetis yang tidak dapat direduksi dan dikutak-katik.
Tujuannya: menyingkap penyembunyian rhetoris dalam filsafat. Di
sinilah relevansi karya-karya Derrida. Dia tidak mau menempatkan
rhetorika di bawah „dagu“ para filsuf tapi juga membangun hubungan
(pertentangan) yang kompleks dengan filsafat. Menurut gambaran
Paul de Mann: terjadi perubahan pemikiran yang mengubah sastra
menjadi topik utama filsafat, konkritnya agar disadari hakekat
rhetorikal dalam argumen filosofis yang memungkinkan para kritikus
memiliki posisi kuat untuk membongkar pandangan lama yang
mengatakan bahwa sastra dan rhetorika sama sekali tidak punya
dasar dan omong kosong. Akibatnya, di tangan sastra, filsafat akan
menjadi refleksi yang tak akan selesai karena sifat destruksi yang
melekat pada dirinya.

Namun Derrida tidak sanggup membangun demarkasi yang


jelas antara bahasa sastrawi dan filsafat sebagai wacana kritik. Dia
lebih berniat untuk membuktikan bahwa jenis paradoks tertentu
terjadi di dalam berbagai macam wacana yang dipicu berbagai impuls.
Kritik sastra, filsafat, linguistik, anthropologi dan segala jenis „sains
tentang manusia“ harus berhadapan dengan kritik Derrida. Inilah
masalah terpenting dalam pembahasan tentang Dekonstruksi.

Dalam karyanya Blindness and Insight (1971), Paul de Mann


coba menerapkan ide Derridean atas rhetorika puisi modern.
159
Membaca Kritik Baru hanya metafor saja berarti mencoba
menemukan „kebutaan“ atau „kegelapan“ (blindness) yang tidak dapat
dipisahkan dari „cahaya terang benderang“ (insight) mereka. Puisi
merupakan „ikon verbal“, struktur makna yang nir-waktu dan penuh
dalam dirinya sendiri, terbukti bisa mendekonstruksi klaim mereka
sendiri yang akan melahirkan implikasi-implikasi rumit dan tak
terduga. Metafor organis yang melahirkan obsesi formal Dekonstruksi
bisa disebabkan oleh „ambiguitas“ dan „ketegangan“ yang dapat
membawa berkah ketenaran. Kritik sastra unitarian ini akhirnya
menjadi kritik tentang ambiguitas, refleksi ironis tentang ketiadaan
kesatuan yang justru dipostulatkan. „Bentuk“ di sini lebih merupakan
khayalan operatif, hasil kejengkelan penafsir atas keteraturan, dan
sama sekali bukan interese lain atas karya sastra itu sendiri. Inilah
interaksi dialektis antara teks dan penafsir. Karena segenap perhatian
tercurah pada pembacaan bentuk, kritikus secara pragmatis
memasuki lingkaran hermeneutik interpretasi.

Dekonstruksi tidak mencari hubungan antara pembacaan


tertutup yang pas untuk teks „sastrawi“ dengan strategi yang memang
dibutuhkan untuk mengetahui implikasi-implikasi tak terduga bahasa
kritik. De Mann menerima saja prinsip Derridean bahwa „tulisan“
dengan dialektika „kegelapan“ dan „cahayanya“ mendahului segala
kategori yang coba dilekatkan kebijaksanaan konvensional terhadap
tulisan. Ini berarti menolak system prioritas filsafat tentang bahasa
„kritis“ dan „kreatif.“ Pebedaan antara kedua kata ini terdapat dalam
pandangan bahwa dalam teks-teks sastra telah terkandung sekian
banyak makna yang otentik dalam dirinya sendiri, yang hanya bisa
dikenal kritik sastra lewat strategi pembacaannya. Menurut Derrida,
prejudicies sudah begitu kuat mengakar di Barat yang ingin
mereduksi tulisan („permainan bebas”) bahasa menjadi makna stabil
yang harus sama dengan karakter tuturan. Implikasinya dalam
bahasa tulisan: makna hadir kepada pendengar dengan melalui
160
mekanisme kehati-hatian internal yang selalu inginkan „kecocokan“
sempurna dan intuitif antara maksud (intention) dan tuturan
(utterance). Hal ini dapat dilawan dengan menghancurkan batas-batas
imaginer wacana dengan berbagai macam imperatif territorialnya yang
menentukan mana tempat „sastra“ dan mana tempat „kritik sastra“
atau mana tempat „filsafat“ dan tempat „segala yang bukan filsafat.“

Inilah taktik „adu domba“ Derrida yang dimaksudkan untuk


menimbulkan kebingungan yang lebih rumit dan radikal dalam tradisi
konservatif yaitu „Kritik Baru Amerika.“

Untuk mendapatkan gambaran global pemikiran Derrida


tentang pergeseran dari Strukturalisme menuju Dekonstruksionisme,
kita fokus pada pokok Bahasa, tulisan dan difference. Menurut de
Saussure, bahasa merupakan jejaring differensial dari makna. Tidak
kaitan satu-satu antara „penanda“ dan „petanda,“ antara „kata“
(tulisan atau lisan) dan „konsep“ yang ingin diungkapkan. Kita
membedakan makna kata bat dan cat dengan membedakan konsonan
awalnya, bag dan big karena vokal tengahnya, dsb. Dalam arti ini,
bahasa bersifat diakritis, yaitu tergantung pada perbedaan-perbedaan
terstruktur yang memungkinkan wilayah elemen-elemen linguistik
yang terbatas, untuk menandai makna-makna yang berlimpah.

Atas dasar pemahaman ini, de Saussure mengemukakan 2


program utama untuk linguistik modern:

1. Lingustik Modern bisa mengadopsi Pendekatan Sinkronik,


yaitu bahasa dikaji sebagai jejaring relasi struktural yang ada
pada suatu waktu tertentu. Untuk sementara perlu
menghindari pendekatan Diakronik yang diterapkan riset dan
spekulasi historis selama ini hingga abad 19.
2. Distingsi antara aktus wicara atau tuturan (parole) individual
dan system umum hubungan artikulasi tempat tuturan itu
berasal (la langue) sebagai dasar dan awal ranah tuturan
161
apapun karena makna selalu dihasilkan berdasarkan aturan-
aturan baku bahasa.
Strukturalisme berawal dari pogram di atas. Strukturalisme
adalah pandangan yang mengatakan bahwa setiap system budaya,
jadi bukan hanya bahasa, bisa dikaji dari sudut pandang synkronik
yang memperlihatkan keanekaragaman relasi dari tingkat aktivitas
penandaan yang terdapat dalam system tsb. Bahasa merupakan satu
kode dari sekian banyak kode Roland Barthes, seorang Strukturalis
yang amat fleksibel, menggunakan jenis analogi linguistik, yang
memperlihatkan ciri-ciri Strukturalisme. Pada titik ini Derrida masuk
dengan upaya merenggut Strukturalisme dari apa yang dipandangnya
sebagai keterikatan residual kepada metafisika makna dan kehadiran
dalam pemikiran Barat. Yang dipertanyakan Derrida adalah peran
yang dimainkan linguistik ketika mendikte prioritas metodologi dalam
pemikiran kaum Strukturalis. Kritik Derrida terhadap de Saussure
sebagaimana terdapat dalam esseynya Linguistics and Gammatology
(dalam Derrida, 1977, pp. 27-73) merupakan titik temu paling krusial
antara Strukturalisme dan Dekonstruksionisme. Kritik Derrida
terutama karena de Saussure cenderung mengutamakan bahasa lisan
daripada bahasa tulisan. Inilah dualisme yang terdapat di jantung
tradisi filsafat Barat. De Saussure mengatakan bahwa tulisan selalu
tergantung dari realitas primer yang dimiliki tuturan (parole) dan rasa
(sense) yang terdapat dalam “kehadiran” penutur di balik kata-
katanya. “Bahasa tidak pernah akan eksis kecuali di dalam “massa
yang bertutur kata”; orang tidak bisa menghandle tuturan kecuali
dengan mengungkapkannya ke dalam bahasa. Sebaliknya bahasa
hanya bisa mulai dari tuturan; secara historis, fenomena tuturan
selalu mndahului fenomena bahasa (tuturanlah yang menyebabkan
bahasa ada), secara generis, bahasa dibentuk di dalam diri seorang
individu karena bahasa adalah pelajaran yang diambil dari
lingkungan yang bertutur-kata.” (Roland Barthes, 1967, p. 16).
162
Dengan ini hubungan antara bahasa dan tuturan bersifat
“Dialektis.” Hubungan dialektis inilah yang menyebabkan satu proses
pemikiran bisa berpindah dari satu titik pandang ke titik pandang
yang lain.

Di sini Derrida menemukan ketegangan atau paradoks yang


salah tempat. Derrida tidak mau menerima paradoks itu sebagai
bagian dari proyek yang lebih besar yaitu Semiologi karena akan
melahirkan kontradiksi yang lebih besar lagi. Bagi Derrida, ada
semacam “kegelapan” yang menyelimuti teks-teks Saussurian, yaitu
kesalahan berpikir yang timbul dari persoalan yang berasal dari
wacananya sendiri. Di mata Derrida, tuturan Barthesian terlalu
berada di atas angin. Barthes mengikuti de Saussure yang secara
metaforis merujuk pada “massa yang bertuturkata” dalam konteks
yang seolah melibatkan totalitas bahasa, tetapi pada saat yang sama
menyatakan bahwa penutur aktual dan tuturan mereka merupakan
sumber totalitas bahasa itu. Mungkin yang dimaksudkan Barthes
ialah bahwa bahasa sekaligus merupakan “produk dan instrumen”
tuturan, di mana hubungan keduanya selalu dialektis dan tidak bisa
direduksi atau dipilih mana yang lebih utama.

Sasaran empuk Dekonstruksionisme ialah pandangan De


Saussure dan para pendahulunya yang memposisikan tulisan pada
status sekunder, yang dipandang Derrida sebagai semacam
mekanisme represi terhadap teks. Di sini Derrida memperlihatkan
beberapa hal berikut: 1) Tulisan secara systematis tergradasi dan
tereduksi dalam linguistik Saussurian; 2) Strategi Saussurian
otomatis mengandung kontradiksi yang kasat mata; 3) dengan
mengikuti kontradiksi ini orang akan melangkah melewati linguistik
menuju Grammatologi.

Derrida dapat melihat bangunan metafisika yang ada di balik


status istimewa yang diberikan de Saussure kepada tuturan. Suara
163
menjadi metafor kebenaran dan otentisitas, sumber dari tuturan yang
langsung dan hadir pada dirinya sendiri vs limpahan sumber tsb.
yang tak hidup dan sekunder yaitu tulisan. Dalam berbicara orang
lebih merasakan keterkaitan erat antara suara dan rasa, suatu
kesadaran yang muncul dari dalam dan langsung atas makna yang
mengejawantahkan diri tanpa harus terikat dengan pemahaman yang
jelas dan sempurna. Tulisan, sebaliknya, cenderung merusak
kemurnian kehadiran – diri yang ideal. Tulisan seolah menjadi orang
asing, tak memiliki rupa dan sosok (depersonalized), sebuah
bayangan seram yang jatuh di antara maksud dan makna, tuturan
dan pemahaman. Dalam tulisan, kepengarangan (authority) telah
dikorbankan demi penyebaran tekstual (textual dissemination).
Singkatnya, tulisan adalah ancaman bagi tututran, kehadiran diri.

Dalam konteks pertentangan dan kontinuitas Strukturalisme


dan Dekonstruksionisme, Dekonstruksionisme dipahami sebagai
aktivitas pembacaan yang terikat erat dengan teks yang sedang
dihadapi dan yang tidak bisa berdiri sendiri sebagai system operasi
konsep-konsep yang tertutup. Sebagaimana Struktur, konsep bisa
dipergunakan untuk mengingkari dan menekan petunjuk-petunjuk
yang justru melekat pada dirinya sendiri.

Untuk mengantisipasi kemungkinan ini, Derrida mengemukakan


istilah-istilah taktis, satu di antaranya adalah differance. Arti
differance (kata Perancis yang bila dilafal persis sama dengan kata
Inggris difference) berada pada posisi menggantung antara kata
“differer” yaitu “berbeda” dan sekaligus “menangguhkan.”
Keistimewaan kata Differance: tulisan lebih unggul dari tuturan. Maka
Differance adalah permainan perbedaan-perbedaan, jejak-jejak dari
perbedaan, penjarakan (spacing) lewatnya unsur-unsur dikaitkan satu
sama lain. Dalam kaitan dengan persoalan Linguistik-Struktural
Saussurean, Differance adalah penolakan terhadap adanya petanda
absolut atau “makna absolut,” makna transendental, makna
164
universal, yang oleh de Saussure dan oleh pemikiran modern
umumnya diklaim adanya. Penolakan ini harus dilakukan karena
dengan proses penjarakan dan proses differance tadi, apa yang
dianggap sebagai petanda absolut akan selalu berupa jejak di
belakang jejak. De Saussure telah membuktikan bahwa bahasa
sangat bergantung pada „perbedaan” karena struktur bahasa berisi
oposisi-oposisi yang menjadi dasar bagi kandungan bahasa itu.
Sedangkan Derrida membuka celah baru bagi ilmu grammatologi.
Selalu saja ada celah antara penanda dan petanda, antara teks dan
maknanya. Celah baru ini merupakan wilayah yang membentang
antara “differ” (berbeda) menuju “defer” (ditangguhkan). Celah inilah
yang menyebabkan pencarian makna absolut itu mustahil dilakukan.
Setelah kebenaran ditemukan, ternyata masih ada lagi jejak
kebenaran lain yang ada di belakangnya. Dengan ini sudah jelas
bahwa apa yang dicari dan diburu manusia modern selama ini, yaitu
kepastian tunggal yang ada di depan sebenarnya tidak ada, tidak
satupun yang bisa dijadikan pegangan, karena satu-satunya yang
bisa dikatakan pasti, ternyata adalah ketidakpastian, permainan.
Makna atau ide yang terkandung di sini ialah bahwa makna selalu
harus ditangguhkan (deffered), sambil kita bermain bebas dengan
perbedaan (to differ), mungkin untuk waktu yang tidak ditentukan,
akibat adanya permainan pertandaan. Differance merujuk pada
gagasan ini, tetapi dalam ketidakpastian maknanya sendiri, dia
menyuguhkan bagaimana proses grammatologi diterapkan secara
grafis. Istilah lain yang dipakai Derrida: “supplement” (pelengkap,
tambahan) yang terikat dengan permainan tambahan makna yang
akan melawan pereduksian semantikal. Cara kerja supplement ini
terlihat antara lain dalam Essey Derrida tentang J. Rosseau dan Lévi-
Strauss di mana dia menjelaskan tulisan dalam konteks Anthropologi
dan “Ilmu-ilmu Kultural tentang Manusia.” Differance inilah yang
ditawarkan Derrida, dan postmodernitas tampil sebagai permainan
dengan ketidakpastian.
165
7.2 HERMENEUTIKA
7.2.1 Hans-Georg Gadamer (1900-…)
Di sekolah-sekolah hermeneutis dan filsafat interpretasi
terdapat banyak pemikir dari matriks Heidegger yang berkecimpung di
bidang filologi, sejarah kebudayaan, agama dan hukum, seperti Emilio
Betti (1890-1968), H.G. Gadamer, Paul Ricoeur, dst.

Gadamer mengenyam banyak khazanah pemikiran dari tokoh-


tokoh pemikir besar antara lain Husserl, Natorp, Bultmann, Heidegger
dan juga Hegel. Karya interpretatifnya yang terkenal ialah Wahreit und
Methode: Grundzüge einer philosophischen Hermeneutik (Tübingen,
Mohn Verlag, 1960). Prospektif yang ditampilkannya adalah “Produk
dari hasil pengalaman artistic, sejarah dan filologi” yang menjadikan
karya itu bagaikan sebuah ensiklopedi. Pada Gadamer, Hermeneutik
tampil lebih radikal, yaitu berupa suatu transmisi linguistic dari
suatu pesan dan mengesampingkan ajektif “Ontologis” untuk
menunjukkan peran fundamental dalam pemahaman atas dunia dan
manusia. Ada beberapa hal fundamental dalam Hermeneutika
Gadamer:

7.2.1.1 Lingkaran Hermeneutis


Menurut Gadamer, pemahaman atas manusia terjadi lewat satu
gerak melingkar dari totalitas ke particular dan sebaliknya. Kita selalu
mengacu pada totalitas dengan mengantisipasi artinya dan dapat
memahaminya karena bagian singular yang terkandung di dalamnya
pada gilirannya membatasi totalitas itu. Misalnya untuk mengerti
bagian-bagian sebuah teks, kita terlebih dahulu perlu mengetahuinya
secara keseluruhan (global): Mengerti satu kalimat secara
keseluruhan, menganalisis bagian-bagian (Subjek, Verb, Keterangan),
lalu berlangkah lebih lanjut ke terjemahan bagian per bagian, berkat
visi dari keseluruhan teks itu, sehingga keraguan atas makna kata
166
bisa teratasi dan makna teks itu menjadi lebih jelas karena
konteksnya.

Mengapa “Lingkaran” dan Hermeneutis”? Dalam


menginterpretasi sebuah teks, ada hubungan tak-terpisahkan bagian
dan keseluruhan, dan yang secara tak terhindarkan merangkum
penafsir sendiri. Kita bicara tentang “lingkaran” karena dalam suatu
bulatan, titik start dan titik finis tidak seharusnya dan saling
bertukar-tempat tapi tergantung dari prospektif yang ada. Manusia
lebih dari segala yang lain, ada dalam lingkaran, terangkum dalam
sejarah, dan tidak bisa berpikir tentang sejarah itu seakan
memandangnya dari luar. Nampaknya, gerak pemahaman harus
berlangsung secara konstan dari totalitas menuju bagian dan kembali
ke totalitas. Tugas terletak dalam memperluas dalam lingkaran itu
yang terkonsentrasi pada kesatuan arti pemahaman. Kesesuaian
antara bagian dengan keseluruhan merupakan criteria untuk
memberi batas atas ketepatan pemahaman, dan ketidaksesuaian ini
berarti kekilafan dalam pemahaman.”

Dengan ini Gadamer tidak bermaksud mengajarkan teknik


interpretasi untuk dituruti, tapi ingin menunjukkan “Makna
Ontologisme Positive” atau kondisi esensial pemahaman.

7.2.1.2 “Sejarah Efek” dan Distansi Temporal”


Tujuan setiap penafsiran adalah untuk mencapai pengertian
atas realitas/barang, dengan membiarkannya menampakkan artinya
yang autentik. Penafsir harus membiarkan diri dituntun oleh teks dan
berlangkah dengan circularitas itu, ke revisi berikutnya atas
antisipasi pengertian sendiri, sampai proyeknya mendapatkan
konfirmasi dalam realitas itu sendiri. Bisa terjadi, bahwa dalam
menghadapi suatu teks, kita bisa saja terpengaruh oleh keyakinan-
keyakinan dan pemikiran kita sendiri. Kita boleh menggunakan
167
pandangan-pandangan kita, tapi harus dibuktikan legitimasinya
untuk memperoleh maksud yang asli.

Tentang teks dari masa silam, kita selalu mempergunakan


tradisi di mana realitas itu mengalami perubahan/perkembangan
menurut perkembangan sejarah. Karena itu, selalu ada satu distansi
temporal, yang bukan satu kekosongan untuk didiamkan atau suatu
hambatan yang harus diatasi, tapi suatu tempat di mana gerak
pemahaman direalisir. Tradisi literer dan cultural yang ada telah
menghantar kita untuk mencapainya dan mengimplikasikan dirinya
sendiri.

Tugas hermeneutis berlangsung dalam satu polaritas yang tak


pernah teratasi dari affinitas/ekstranitas dan barang yang hendak
ditafsirkan menuntut pengujian atas Wirkungsgeschichte (sejarah
efeknya) atau atas aliran perjalanan historisnya yang tida pada masa
kini dan diproyeksikan ke masa depan. Penafsir berada dalam
kontinuitas tradisi, tapi untuk sampai pada pemahaman atas teks,
haruslah dilakukan aplikasi, yakni harus mengambil efeknya untuk
masa kini, sambil mengaplikasikan artinya untuk situasi konkrit
masa kini. Peneliti sejarah atau pembaca sederhana, haruslah
mengantarai teks itu dengan realitas hidupnya sendiri di masa kini,
atas dasar kesadaran bahwa para pembaca masa depan akan
membacanya atas cara yang berbeda.

Dalam Wirkungsgeschichtliches Bewutsein (kesadaran atas


determinasi histories diri sendiri), penafsir harus menyadari
Verurteilen (prasangka) yang menuntun pemahamannya. Tidak hanya
perlu membuktikan pemahaman awal tapi juga harus memiliki
kesadaran. Kadar kesadaran atas partisipasi dalam transmisi
histories meneguhkan pula lingkaran hermeneutis: jika ingin tiba
pada pemahaman, haruslah menyadari penyelipan kita dalam
lingkaran tak terputuskan masa lampau dan masa kini.
168
Yang menjadi kharakteristik pemahaman adalah
keterputusannya. Lingkaran bagian dan keseluruhan tidak
berlangsung sambil melebur dalam pemahaman yang dicapai, tapi
persisnya justru dalam pemahaman itu, terjadilah realisasi lebih
penuh. Lingkaran itu tidak memiliki karakter formal, bukan pula
berkarakter subjektif ataupun objektif, tapi sebagai interaksi gerak
dari transmisi histories dan situasi/keterlibatan penasir. Kitalah yang
membangun jika memahami, jika kita berpartisipasi secara aktif
dalam subsistensi dan dalam kelangsungan tradisi, dan dalam cara
itu kita membawa diri kita ke depan. Lingkaran Hermeneutis ini
bukan suatu lingkaran “metode” tapi satu Struktur Ontologis
pemahaman.

7.2.1.3 Linguisticitas Komprehensi (Pemahaman)


Juga dalam Hermeneutik Gadamer, alasan pemahaman atas
sesuatu diidentifikasi sebagai Dialog. Hubungan resiprok kita dengan
tradisi, juga dikonfigurasi sebagai dialog. Di sana, tradisilah yang
pertama-tama berbicara kepada kita. Tradisi yang berbicara inilah
yang membentuk objek pengalaman pertemuan seperti itu. Tradisi
bukan semata-mata yang perlu diketahui dalam pengalaman, tetapi
bahasa, yakni yang berbicara kepada kita sebagai engkau. Inilah
bagian II dan III dari Wahrheit und Methode, yang tersusun dari
dialektik, atau logika bertanya dan menjawab, yakni dialektika Plato
dan Hegel. “Fenomen hermeneutis mengimplikasikan dalam dirinya
originalitas dialog dan struktur pertanyaan dan jawaban. Barangsiapa
menginterpretasi, harus merasa terdesak oleh sesuatu yang
dikatakan, merasa terpanggil oleh peralihan sejarah untuk
mendengarkan, yang terjadi secara prinsipiil dan esensial dalam
bentuk linguistic. Peralihan bahasa adalah tradisi dalam arti autentik,
jadi bukan semata-mata teks, tetapi sesuatu yang diturun-
temurunkan dan diserahkan, sesuatu yang diaktakan kepada kita,
169
entah secara langsung, seperti mythos, sage, kebiasaan-kebiasaan,
ataupun dalam bentuk tulisan.

Kejadian Hermeneutis itu mungkin karena kata yang berasal


dari masa lampau menyentuh kita, ditujukan kepada kita, menanyai
kita, menurut logika bertanya dan menjawab. Dalam komunikasi
linguistic antara masa kini dan tradisi, terjadilah
pemahaman/komprehensi. Di sini bahasa dilihat sebagai sarana
universal yang memungkinkan interpretasi. Dalam coloqui dengan
satu interlocutor atau teks, kita selalu mencari maksudnya, dan ini
mungkin berkat adanya Horizontverschmelzung (fusi horizon), di mana
horizon kultur kita adalah horizon dari yang lain atau dari masa
lampau saling menyerap. Setiap dialog selalu mengandaikan dan
membentuk bahasa umum, di mana pihak yang terlibat dalam dialog
selalu menjadi bagian integral, seolah ikut dalam kepemilikan
(Zugehörigkeit) dan permainan bersama. Meminjam istilah Heidegger
“in-der-Welt-sein” di mana manusia berada dalam posisi berpartisipasi
dalam permainan bahasa, sehingga dengan bermain dia dipermainkan
dan sebaliknya, karena objeknya adalah aktivitas permainan itu
sendiri.

Bagi Gadamer, bahasa bukan pertama-tama alat, tapi


fundamen dan lingkungan dalam hubungan kita dengan dunia.
Agaknya, dari satu pihak, dunia ada bagi manusia hanya karena
bahasa, dan dari pihak lain, manusia berada di dunia menurut
caranya memahami dunia itu lewat bahasa. Maka kata-kata bukan
semata-mata kendaraan pemahaman atas dunia, tapi sebaliknya yang
melembagakan makna. Ini diambil dari konsep “speculum” (yang
merefleksikan objek) atau spekulatif. Bahasa adalah pengantara, di
mana saya dan dunia saling berintegrasi, atau saling mewakili dalam
keistimewaannya yang original. Di sini manusia berelasi dalam
totalitas dan arus sejarah. Dunia ada bagi manusia hanya karena
dibahasakan dan telah diberi makna oleh seseorang.
170
7.2.2 Paul Ricoeur (1913-
Paul Ricoeur lahir di Valence, Perancis tahun 1913. Ia melewati
masa muda dan studi filsafat di Rennes, yang kemudian dilanjutkan
di Paris, hingga memperoleh Aggregation tahun 1935. Ia juga menjadi
anggota Partai Sosial Perancis. Selama perang, ia dipenjarahkan dan
ia gunakan untuk mempelajari Jaspers dan Husser, dan ia
menterjemahkan karya Husserl Ideen ke dalam bahasa Perancis.
Ricoeur adalah salah seorang pencinta dan pengemban filsafat
Fenomenologi dan Filsafat Bahasa.

Tahun 1956 ia mengajar Filsafat Umum di Sorbone, dan selama


tahun 1960-an, menjalin kerja sama dengan majalah “Esprit” dari
Emmanuel Mounier, di mana dia mewarisi jalan pikiran Maurice
blondel tentang filsafat aksi. Juga terlibat banyak sebagai protagonist
dalam diskusi-diskusi ilmiah menyangkut Strukturalisme dan
Psikoanalisa. Tahun 1970-an, ia mengajar juga di Universitas
Chicago, di mana ia berkontak dengan filsafat analitis. Sejak tahun
1974 memimpin majalah “Revue de métaphysique et de morale.” Juga
membina hubungan tetap dengan Italia karena berpartisipasi dalam
Konferensi-konferensi Internasional yang diorganisir Enrico Castelli
dalam Filsafat Agama, dan bersama Gadamer, bekerjasama juga dalan
Institut Italia untuk Studi Filsafat di Napoli. Ia sungguh seorang
peneliti yang tekun dan gigih, rendah hati, human dan sungguh
menghayati tata sopan-santun.

Persoalan pokok yang dihadapinya ialah “Cogito blessé” (pikiran


cacad), yaitu pertanyaan mengenai subjek, yakni kapasitas subjek
untuk bertanya dan menghadapkan diri pada pertanyaan. Subjek
yang bertanya dan diliputi pertanyaan (cf. St. Augustinus quaestio
mihi factus sum) bukanlah subjek autosufficient Ego yang diagungkan
filsafat modern, yang jadi pusat dirinya sendiri dan pusat dunia.
171
Dalam karyanya Soi-même un autre (Diri sebagai yang lain,
1990), Ricoeur dengan cara yang khas dan menarik, menunjukkan
bagaimana kita secara tetap menghadapkan diri pada bukti identitas
kita yang lemah sebagai pribadi dalam moralitas usaha kita untuk
“hidup baik” dan dalam moralitas dari satu system yang
diartikulasikan dan secara histories dideterminasi oleh norma-norma.
Kebijaksanaan praktis sebagai satu-satunya mediasi tidak sempurna
yang cocok dengan kodrat kita sebagai makluk-makluk terbatas,
sesungguhnya yang secara histories dapat mendasari tindakan kita.

Karya ini juga merupakan refleksi atas modalitas epistemologis


dari filsafat tanpa yang absolute, yang menemukan bahwa soi-même
(diri-sendiri) adalah ens yang secara fenomenologis ada bersama
makluk-makluk human lainnya yang hidup dan menderita.

Dalam kesimpulan refleksinya, Ricoeur mengambil kembali


“Ironi Sokrates” untuk menekankan pandangan bahwa kita dikirim
dari langit (=surga) ke bumi, dan dalam mengikuti intrik dari
multiplicitas sebagai satu0satunya penuntun tinggal kesaksian untuk
menjadi diri sendiri yang bertanya dan berjumpa dalam aporia
ketidakmungkinan jawaban konklusif dan resolutif. Inilah situasi
“delusi” yang mendorong untuk “mencari dan mencari lagi.” Inilah
kesadaran akan diri sendiri yang hadir sebagai tantangan. Saat
segalanya tampak kehilangan makna, timbul dorongan untuk
memulai baru. Maka pertanyaan “Siapakah aku?” selalu disertai
pertanyaan “Siapakah yang lain dalam aku?.” Tugas filsafat adalah
untuk menjaga keterbukaan makna dari peretanyaan ini, yang secara
fundamental merupakan persoalan metafisika, yakni persoalan
tentang Tuhan.

Untuk itu diperlukan refleksi filosofis dan iman Kristiani, di


mana dihargai autonomi dari ratio. Ricoeur menekankan Kel 3,14:
172
“Ego sum qui sum” dan “Allah adalah kasih” dalam Yoh. Disimpulkan,
cinta sendiri yang memanifestasikan diri di dalam Allah.

Kita berhadapan dengan konsep yang secara radikal


Hermeneutis, yang berlangsung dalam suatu gerak dari teks,
paradigma dari kondisi jasmani dan terbatas manusia, menuju Dia
yang mengatasi teks itu: aksi, eksistensi, Ipseitas. Sesudah
Kierkegaard, berfilsafat tidak lain dari hidup dalam dialektik antara
filsafat dan non-filsafat, di mana tidak ada lagi tegangan antara
eksistensialisme dan rationalisme, karena berfilsafat berarti
mempersatukan keduanya.

Inilah “jalan panjang” yang dicetuskan Ricoeur untuk mengatasi


“jalan pintas” Heidegger, untuk menekankan bahwa untuk sampai
pada Ontologi, perlu ditempuh jalan refleksi atas bahasa.
Hermeneutika Ricoeur adalah hermeneutika fenomenologis yang
berprofil etis dan eksistensia. “Hidup subjek menjadi perjalanan
hidup, yang dengan berbagai cara dimanifestasikan Diri dan Yang lain
dari diri itu. seperti

7.3 “PIKIRAN LEMAH” DAN IMPLIKASINYA


Istilah “Pikiran Lemah” dipakai untuk menyebut satu kelompok
pemikir Italia dari garis pemikiran Nietzsche dan Heidegger
(Eksistensialisme dan Fenomenologi), dengan pemimpinnya Gianni
Vattimo.

Gianni Vattimo, lahir di Turin tahun 1936. Ia mengikuti


pendidikan di sekolah Luigi Pareyson, dan telah mengikuti telaah-
telaah Hermeneutis Gadamer. Bersama Pier Aldo Rovatti Vattimo
menulis buku dengan judul Il pensiero debole (1970). Iapun telah
mempublikasikan beberapa karya: Etica dell’interpretazione (1989), La
societa trasparente (1989), Oltre l’interpretazione: il significato
dell‘ermeneutica per la filosofia (1994) dan Credere di credere (1996).
173
Aksentuasi “Pikiran Lemah” terletak dalam polemiknya melawan
setiap bentuk Dogmatisme yang disebut Vattimo sebagai “Pikiran
Kuat.” Ditegaskan, tugas filsafat haruslah berusaha menggali harta
kekayaan sejarah pemikiran sesudah Nietzsche. Untuk itu, tidak perlu
lagi harus mencari dasar dari pengalaman. Dalam usaha mendukung
dasar-dasar histories “pikiran lemah”, dia mengambil kembali
pemikiran Heidegger melawan metafisika, terlebih Der Satz des
Grundes (Prinsip Dasar). Menurut Vattimo, perlu mengatasi metafisika
dunia barat yang melupakan perbedaan antara Esse dan Ens. Tugas
utama filsafat ialah mengambil kembali perbedaan ontologis sebagai
tema yang khas yang terjadi bersama sejarah. Dia menulis, “Sejarah
ada, karena esse selalu masih akan terjadi. Tahap-tahap sejarah
sungguh mungkin hanya karena tahapan esse.”

Konsekuensinya, esse berlangsung dalam sejarah sebagai


moment kejadian ens-ens, yang sekaligus menyingkapkan dan
menyembuyikan esse. Pada tempat esse yang secara konstitutif
berfungsi sebagai dasar, suatu esse yang lemah dan kehilangan daya-
kekuatan.

Pikiran lemah dari Vattimo berhubungan dengan


hilangnya/lenyapnya fundamen, tidak hanya dalam hubungan
dengan visi atas dunia tapi juga atas nilai-nilai dan etika dengan
segala konsekuensinya. Karena itu, “Pikiran Lemah” berkaitan erat
dengan Irrationalisme Kontemporer yang bisa mengambil bentuk anti-
intelektualisme etis, atau juga bentuk Nichilisme, yang juga
menghapus segala kepastian moral. Dan dalam hubungan dengan
iman dan revelasi, memberi bentuk kepada Fideisme.81

„Pikiran Lemah“ berimplikasi pada beberapa fenomen „lemah“


lainnya dalam dunia postmodern yang sebetulnya sudah berlangsung
sejak jaman modern. Secara panoramik kita telusuri beberapa bidang

81
Untuk memperjelas soal Nichilisme, cf. Seraphim Rose, Nichilismo, Le radici della
rivoluzione dell’età moderna, (Servitium Interlogos, 1998), khususnya hal. 69-93.
174
kehidupan yang terkait dengan trend „lemah“ ini: „Masyarakat
Lemah“, „Keluarga Lemah“, „Sekolah Lemah“, „Agama Lemah“, „Moral
Lemah“, „Politik Lemah“, „Komunikasi Lemah“.82

„Masyarakat Lemah“

„Masyarakat Lemah“ adalah masyarakat disorganik, yang


ditandai oleh differensiasi sosial dan pluralisasi symbolis yang sangat
dikenal, di mana solidaritas mengambil bentuk kontrak sosial dan
lembaga-lembaga ada lebih sebagai instrumen kehendak dan
kepentingan individual. Dalam masyarakat lemah ini akan berlakulah
individualisme dan narcisisme. Orang yang bervisi kepentingan umum
diganti oleh orang dengan visi intimista yang tidak memiliki
tanggungjawab moral untuk terlibat dalam kehidupan sosial yang
menyangkut kepentingan orang banyak, tetapi lebih tertarik dengan
kepentingan pribadi yang hanya memperhatikan „ego minimum“
dalam arti orang yang tidak memiliki kreativitas dalam urusan-urusan
menyangkut kepentingan dan kebaikan bersama karena peduli hanya
dengan kepentingan dirinya sendiri dan kelompok yang loyal dengan
tendensi kooptasi yang sangat kuat untuk membentuk vested interrest
group demi melanggengkan cengkeraman kekuasaan.

„Keluarga Lemah“

„Keluarga Lemah“ memiliki indikasi antara lain: tidak lagi


terikat dengan komitment dan konsensus perkawinan sebagai dasar
persekutuan hidup keluarga tetapi lebih longgar terhadap trend
perceraian, pisah, anak-anak illegal, aborsi, dll. „Keluarga Lemah“
berkorelasi dengan „Masyarakat Lemah,“ di mana keluarga inti tidak
lagi dianggap lembaga (institusi) dan persekutuan cinta tetapi semata
kumpul kebo arbitrer (suka sama suka tanpa komitmen untuk
sebuah persekutuan hidup yang langgeng) yang sudah

82
Cf. Gianfranco Morra, Il quarto uomo. Postmodernità e crisí della modernità, (Roma,
Armando Editore, 1992); B. Mondin, Una Nuova Cultura per Una Nuova Società, (Milano, Editrice
Massimo, 1982); B. Mondin, Rifare L’Uomo, (Roma, Dino Editore, 1993).
175
dideinstitusionisasi, suatu dedikasi non-marital, sebab dibangun atas
dasar konsensus yang gampang dibatalkan karena dangkal relasinya.
Dengan demikian, pasangan bukan lagi istri/suami tapi hanya
sebatas teman hidup bersama, bukan lagi ikatan perkawinan tapi
sekedar relasi pasangan atau partnership, bukan lagi relasi
kepercayaan dan dedikasi diri tapi sekedar relasi kesenangan. Dalam
„keluarga lemah“ ini segala tradisi dan nilai fundamental perekat
kehidupan keluarga dirongrong secara mendasar: dari kekuatan
produktif-kreatif ke kekuatan reproduktif-rekreatif, dari kekuatan
pembentukan sikap sosial ke asistensial. Yang jadi korban tetap kaum
lemah tak berdaya yaitu anak-anak yang tidak bisa memperoleh
status legal atas hidup dan pengembangan dirinya misalnya dalam
pendidikan akibat kelahiran ilegal, perceraian atau pisah ranjang dan
para jompo karena sanak-keluarga tidak mau merepotkan diri
mengurusi mereka.

Para sosiolog memperlihatkan bahwa tempat keluarga sekarang


diganti dengan „eros binatang buas“ di mana seksualitas sebagai
instrumen regenerasi dan ungkapan cinta kasih suami-istri telah
direduksi nilainya dengan intervensi manipulatif manusia lewat alat-
alat kontrasepsi dan manipulasi genetik. Seksualitas yang diasingkan
dari fungsi naturalnya (walau tidak eksklusif), lalu dilecehkan menjadi
permainan hina yang sangat teknis, kehilangan ledakan emosi dalam
tindakan khas penyerahan diri yang utuh suami-istri. Hal ini terjadi
dalam masyarakat yang sangat erotis akibat hilangnya makna sejati
seksualitas manusia.

„Sekolah Lemah“

Keluarga sebagai institusi sosial primer sudah sedemikian


lemah sehingga tidak dapat menjalankan peran edukatifnya. Tetapi
sebaliknya berkembanglah institusi yang lain yaitu sekolah. Namun
perlu diperhatikan paradox sekolah yakni heterogenesis tujuan:
176
perjalanan dari demokrasi elite menuju suatu massa yang tidak
memiliki ekstensi instruksi obligatiorio dan fasilitas yang memadai
demi akses seluruh kelas sosial karena orang lebih gandrung dengan
diploma dan gelar sarjana formal. Akibatnya sekolah menengah
mengalami peningkatan jumlah siswa/i secara kuantitatif tapi
serentak terjadi penurunan kualitatif finalitas formatif dan
prefessional. Akibat situasi persaingan, sekolah sebagai institusi
edukatif riskan jadi lembaga dengan finalitas non-edukatif yang
menyuburkan praktek kekerasan dan ketidakadilan, berkolusi dengan
kepentingan politik praktis, kurang memperhatikan relasi manusiawi
dalam proses pendidikan, kurang mampu melakukan kontrol
terhadap segala tindak kriminalitas yang a-sosial dan a-moral
(sekolah berubah dari institusi nilai dan kebaikan menjadi institusi
yang menyuburkan teppisme = kejahatan dan difusi segala hal yang
meninabobokan orang). Inilah proses degradasi kehidupan yang
melanda institusi pendidikan di segala tingkatan, jenjang dan
kategori.

Perkembangan ini memiliki point fokusnya pada Revolusi


Marxisme yang sesungguhnya adalah revolusi individualistis dan
hedonistis. Degradasi di atas dapat dikembalikan kepada politik yang
lemah dan rusak karena tidak pernah berusaha untuk memecahkan
segala persoalan tapi sebaliknya memberatkan kehidupan dengan
produk hukum yang tidak rasional, tidak adil, diskriminatif, di
antaranya: reformasi test kedewasaan dan kepribadian, kursus-
kursus yang bersifat disintegratif, pembukaan fakultas yang
menyediakan diploma untuk jenis sekolah apapun, liberalisasi
tingkatan studi, penghapusan ujian perbaikan, dst. Satu kesalahan
paling berat: penerimaan automatis peran dosen tanpa prasyarat
apapun sekian banyak dosen di sekolah menengah dan universitas
yang dinilai sangat negatif dan dapat dibandingkan dengan „invasi
177
barbar dari dalam“ yang menurut A. Toynbee menghasilkan disgregasi
peradaban.

Dari Jerman ada catatan merah tentang situasi sekolah dan


pendidikan pada umumnya: disinteresse dan superficialitas,
kehilangan perhatian dan konsentrasi, terkikisnya moralitas dan
sosialitas, meluasnya tindak kekerasan dan anarkisme.

Dengan ini sekolah menjadi sangat lemah, tidak mempu


mengemban tugas, fungsi dan peran edukatifnya yang dibungkus rapi
dalam tema „problematicitas“ yang dibangun atas dasar relativisme
moral dan dogmatisme atas kehampaan, atas penolakan terhadap
setiap nilai permanen dan fundamental, atas „quotidianitas“ sebagai
metode destruktif atas tradisi. Sekolah menjadi lemah, tanpa sejarah
dan tanpa referensi yang kokoh.

„Agama Lemah“

„Agama Lemah“ memanifestasikan diri dalam sikap hidup orang


beragama yang inkoheren dan inkonsisten. Mereka percaya dan
menerima isi iman mereka, tapi bersikap tidak konsisten dengan iman
yang diakuinya. Mereka percaya akan Allah sekaligus menerima
praktek aborsi dan perceraian, hubungan sex pranikah, perzinahan
dan infertilisasi buatan. Banyak yang memberi derma besar, meminta
pendidikan agama bagi putera-puteri mereka di sekolah, tapi lalai
melaksanakan agamanya dan hidup tidak koheren dengan doktrin
kristen yang mereka imani.

Mungkin „Agama Lemah“ dapat diungkapkan dalam term


„seolah-olah“ yaitu suatu kontradiksi di mana yang tampak selalu
bertolakbelakang dengan realitas yang ditampakkannya: seolah-olah
percaya padahal tidak percaya dengan kontradiksinya seolah tidak
percaya padahal sangat percaya, seolah ber-Tuhan padahal sangat
178
tidak ber-Tuhan dengan sisi kontrasnya hidup seolah tidan ber-Tuhan
padahal de facto ber-Tuhan, dlls.

Dalam „Agama Kuat“ agama itu sesungguhnya menjadi


fundamen dan penuntun kehidupan. Sebaliknya yang lebih
dipentingkan dalam „Agama Lemah“ adalah spektakuler folkloristik
yang tanpa perhatian, kehidupan utopis yang sering hanya berupa
rancangan di atas kertas, terapi psikologis demi ketenangan dan
relaxasi. Tidak lagi ada kemungkinan untuk afirmasi ataupun negasi
yang konsekuen seperti misalnya penegasan „Tuhan itu ada“ atau
sebaliknya penolakan radikal „Tuhan tidak ada“. Orang lebih suka
memilih jalan indifferentisme di hadapan soal-soal fundamental dan
eksistensial. Di sini kita tidak berhadapan dengan masyarakat atau
individu tanpa agama tapi dengan agama yang sudah sekian
dilemahkan sehingga agama itu sendiri kehilangan daya pengaruhnya
terhadap pengembangan diri penganutnya.

„Moral Lemah“

„Moral Lemah“ dapat dianggap sebagai synthetisasi dari


kelemahan yang melanda institusi keluarga, sekolah dan agama.
Dalam masyarakat yang kuat berlaku moralitas represif yang dalam
batas tertentu mengekang dan membatasi kebebasan individu,
sekaligus memberi orientasi tentang hidup yang seharusnya dan tidak
terbatas pada hidup yang seadanya saja. Dalam masyarakat lemah
berlaku moralitas permisif yang tidak cukup menghormati norma dan
nilai-nilai yang berlaku demi kemajuan pribadi dan sosial. Akibatnya
masyarakat berubah jadi gulag atau khaos, yaitu sangat
individualistik, anarkis, dan narcistik.

„Moralitas Lemah“ terjadi di masyarakat bukan pertama dan


terutama berupa negasi atas moralitas, tetapi reduksi moralitas ke
penilaian subjektif karena dibangun atas dasar negasi terhadap
objektivitas nilai-nilai. „Moralitas Lemah“ berkutat hanya dengan
179
Etika Situasi (=Relativisme Moral) yang menggunakan topeng
kebebasan dan respekt terhadap yang lain. Kategori-kategori
tradisional seperti dosa, salah, sesal, tobat, kemurnian/kesucian,
hukuman, dll.) kehilangan makna dan direduksi kepada mekanisme
psikopatologis semata. Tindakan etis nampaknya lebih dikaitkan
dengan syarat-syarat biologis, psikologis, dan sosiologis yang makin
menampakkan kondisi dis-human karena dibangun atas dasar negasi
terhadap spiritualitas, libertas dan responsabilitas.

Keutamaan-keutamaan tradisional seperti ketekunan dan


kerajinan dalam pekerjaan dan dalam perjuangan hidup, sikap
ugahari, kebijaksanaan, kemurnian batin, kesamaan, moderasi,
kejujuran, kesetiaan, dst., dianggap oleh para optionals sebagai
penyakit jiwa. Konsep fundamental Moral „Kebaikan“ sejak Sokrates
hingga Kant dianggap vana dan tak berguna diganti dengan kontrak,
sehingga moralitas kehilangan dasar objektifnya. Inilah Moralitas yang
oleh McIntyre disebut Moralitas „Di belakang Keutamaan“ (Dopo la
virtù). Ungkapan ini bisa dipahami sebagai “bertolak-belakang”,
“kontradiktoris”, atau “lari lewat” segala keutamaan.

“Politik Lemah”

Politik sebenarnya merupakan Moral Sosial. „Politik Lemah“


terdapat dalam karakter lemah interese yang dicari. Ideologi-ideologi
besar seperti Sosialisme, Facisme, Komunisme, dll., yang biasanya
digunakan untuk memperjuangkan dan mempertahankan
keuntungan partial tapi yang dihadirkan seolah absolut, memang
sedang runtuh. Namun pengaruhnya sangat kuat dalam bentuk
Liberalisme (Ultra Liberalisme), Quasi Demokrasi yang berkarakter
anarkis, sering tidak prihatin dengan persoalan bagaimana
mengusahakan Bonum Commune, tapi bagaimana memperoleh
kemungkinan pragmatis untuk meng-goal-kan kepentingan pribadi
dengan mengeliminir yang lainnya.
180
Liberalisme dan Demokrasi yang lahir dari tradisi Kristen
Reformasi, kini dilemahkan dan telah kehilangan pesan etika-
religiusnya karena tidak mampu mentransformasi diri dalam
kehadirannya di tengah masyarakat pluralistik yang sangat diwarnai
konflik kepentingan, lalu tercaplok relativisme akibat ketiadaan
dominasi asiologis yang kuat dan meyakinkan. Christopher Lasch
memperlihatkan bahwa erosi yang melemahkan politik itu datang dari
alam Demokrasi itu sendiri karena demokrasi kehilangan basis
psikologis, kultural dan spiritualnya.

Kecenderungan privatisasi legitimitas dan autoritas menghantar


kepada manipulasi politik demi tujuan dominio kekuasan politik.
Dengan ini muncul satu bentuk totalitarisme moral: Kelompok politik
yang kuat dan berkuasa mengontrol bukan hanya corporasi eksternal,
lembaga dan badan-badan sosial, usaha pribadi, dll., tapi juga badan
dan jiwa individu, termasuk mencampuri terlalu jauh hak-hak privat
mereka untuk merealisir kehidupannya secara bebas dan
bertanggungjawab di alam demokrasi. Bahkan masyarakat sering
terlalu mencampuri urusan keluarga dengan tindakan-tindakan
represif yang mencengkeram kebebasan dan inisiatif pribadi dan
membuat banyak orang hidup dalam ketidaknyamanan. Sungguh
demokrasi telah berubah menjadi totalitarian yang menindas atau
barbar yang anarkis.

„Komunikasi Lemah“

Bidang privelege di mana homo debilis menemukan nilai-nilai


yang amat sangat dilemahkan adalah komunikasi dan konsumsi.
Menurut McLuhan, TV dan TM adalah media „lemah“ dan „dingin“
karena, menurut Benyamin, diterima dan ditonton dengan „persepsi
kebingungan“ dan tidak mengimplikasikan perhatian yang serius.
Singkatnya, media yang membuat orang terombang-ambing lalu
181
hanyut dalam rangkaian tawaran instant yang tinggal dipilih tanpa
perlu bersusah-payah.

Di mana kelemahan TV? Dari satu sisi, McLuhan membalikkan


Evolusionisme Mystik Teilhard de Chardin: media komunikasi
merupakan instrumen Apokalypsis dari titik Omega di mana akan ada
perkampungan global, synthesis maximum intelligentia dan sosialitas.
Dari sisi lain, dilemahkan oleh Sekolah Frankfurt: media sekaligus
ekspresi dan faktor dalam proses alienasi masyarakat kapitalistik
yang maju, di mana komunikasi yang buruk telah mengganti
rasionalitas diskursif dan menyumbang bagi kematian manusia.
Media sebetulnya hanya merupakan konservator dan inventator
kelemahan yang tercipta dan terpeliharan dalam masyarakat. Atau
sebagaimana diungkapkan secara padat oleh McLuhan: Media adalah
messagio sekaligus massaggio. Antara forma dan isi selalu ada
homogenitas. Politik berlangsung dari persaingan sehat dan heroik
menuju duel televisi; agama dari keharuman mysteri ukup ke
khayalan murahan; cinta dari dedikasi diri altruistik ke coitus virtual;
pendidikan dari dialog interpersonal ke pembicaraan satu arah
telematik; cita rasa dari tulisan tangan yang dingin dan ke telepon
yang beku; perdagangan dari pertemuan yang saling menopang
menuju politik cari kawan dan mitra dagang.

Ternyata media telah banyak berubah fungsi dari media


komunikasi antar manusia menjadi hanya sekedar media manipulatif
yang menggoda dengan berbagai tawaran instant serba menggiurkan.

“Konsumsi Lemah”

Sebagaimana komunikasi yang sungguh lemah, demikian pun


sarana lain dari kesucian dan keselamatan, yaitu konsumsi.
Konsumsi normal masyarakat kuat adalah barang-barang materiil
atau jasmaniah. Sedangkan konsumsi masyarakat lemah adalah
orangnya sendiri, konsumennya, karena dia tidak mengkonsumsi
182
karena kebutuhannya tapi karena keinginannya. Masyarakat lemah
sekaligus adalah masyarakat konsumeristik yang mengkonsumsi
bukan barang-barang yang dibutuhkan tapi khayalan dan symbol.
Konsumerisme adalah suatu pemaksaan asketik dematerialisasi, satu
hedonisme demokratis dan ekumenis yang tahu mengganti perang
antar bangsa dan pertikaian antar kelompok dengan kenikmatan
konsumsi: eskatologi revolusioner dilihat dari revolusi permanen
konsumsi. Konsumsi adalah suatu ideologi lemah, anak dari
masyarakat dan ideologi lemah yaitu ekumenisme dan filantropi,
antirasisme dan feminisme, permisivisme dan revolusi sexual,
pasivisme, ekologi dan animalisme. Konsumsinya adalah symbol-
symbol immaterial yang dihubungkan dengan objek-objek
dematerialisasi.

Inilah konsumsi yang dibangun atas dasar kepuasan imaginer


dan symbolis, dengan polesan artificial yang dalam lingkungan
turisme dimanipulasi dengan istilah „meliputi semuanya“
(pertunjukan kuat yang meliputi juga hiburan dan transaksi sexual
seperti acara pertunjukan dan hiburan di pantai laut Selatan, mentari
tengah malam, gunung es abadi, safari sepanjang pantai Afrika,
nativisme Polinesia, dsb). Inilah konsumsi polesan yang oleh Kant
merupakan karakter daya pertimbangan selera, perburuan
kenikmatan tanpa interese (Wohlgefallen ohne Interesse) dan finalitas
tanpa maksud (Zweckmassigkeit ohne Zweck). Manusia Lemah tidak
sanggup atas apa yang oleh Göthe disebut das Schaudern (getaran,
sentakan), atau yang oleh R. Otto disebut die Gänsenhaut (remang)
yaitu pemiskinan keseharian sekian sehingga degradasi egoisme
(bentuk kuat cinta diri) menjelma menjadi narcisisme (bentuk lemah
cinta diri). Dengan ini terjadilah estetisasi konsumsi lemah dengan
indifferentisme dalam komunikasi sehingga membentuk impossibilitas
dari tragedi masyarakat aktual. Hanya masyarakat kuat yang
memiliki tragedy yang oleh Max Scheler didefinisikan sebagai konflik
183
antara nilai-nilai otentik, di mana manusia dipaksa memilih satu di
antaranya dan untuk itu ia harus mengorbankan dirinya sebagai
penopang nilai pilihan itu. Tragedi selalu berakhir pada pengorbanan,
penyerahan diri demi nilai protagonis, misalnya Antigone atau
Kekejaman (Antogone o Bruto), Hypis atau Oedypus, Midea atau
Corilano. Masyarakat kuat memiliki Tragedy sebagai jenis literer,
tetapi masyarakat lemah telah menggantinya dengan bentuk teatral
anti-tragedy, misalnya „topeng telanjang“ dari Pirandello, kabaret
sosial dari Brecht, drama absurd dari Jonesco dan Beckett.

7.4 POST-MODERNISME (PURNAMODERNISME)


7.4.1 Sekilas Sejarah dan Kompleksitas Persoalan Seputar
Postmodernisme
Postmodernisme merupakan akibat langsung dari krisis yang
tercipta oleh Modernisme. Postmodernisme (Posmo) sebetulnya
merupakan kategori deskriptif atas siklus sejarah baru yang dimulai
sejak 1875 dengan berakhirnya dominasi Barat, surutnya
individualisme, kapitalisme dan kristianitas akibat bangkitnya budaya
non-Barat. Dalam perspektif ini, Posmo menyangkut juga soal
pluralisme dan budaya dunia. Posmo muncul pertama kalinya dalam
ranah seni. Frederico de Onis menggunakan istilah Postmodernisme
pada tahun 1930-an untuk mengungkapkan reaksi yang timbul dari
dalam modernisme. Istilah Posmo juga lalu dipakai oleh A. Toynbee
dalam bidang Historiografi dalam karyanya A Study of History (1947).

Benih penggunaan positif awalan "post" sudah ada dalam


tulisan Leslie Fiedler tahun 1965 ketika ia menggunakan istilah "post-
humanist", "post-male", "post-white", dst. Kecenderungan-
kecenderungan anarkis namun kreatif yang melepaskan diri dari
ortodoksi dan represi puritan sesungguhnya sudah menunjukkan ciri
kebudayaan postmodern, sebagaimana ditunjuk oleh Andreas
Huyssen ("Mapping the Postmodern").
184
Pertengahan tahun 1970-an Ihab Hassan memproklamirkan diri
sebagai pembicara utama Postmodernisme yang dikenakannya pada
eksperimentalisme seni dan kecenderungan ultra-teknologi dalam
arsitektur ("The Question of Postmodernism").

Postmodernisme menjadi lebih populer lewat para seniman,


penulis dan kritikus seperti Rauschenberg dan Cage, Burroughs dan
Sontag untuk menunjukkan gerakan yang menolak modernisme yang
mandeg dalam kekakuan birokrasi museum dan akademi. Di bidang
arsitektur, Postmodernisme digunakan lebih luas dengan tokoh
utamanya Charles Jencks, yang juga berkembang selama era 1980-an
dalam seni visual, seni pertunjukan, musik, dsb.

Kecenderungan khas yang diasosiasikan dengan


Postmodernisme di bidang seni: hilangnya batas antara seni dan
kehidupan sehari-hari, hilangnya batas antara budaya tinggi dan
budaya pop, percampuradukan gaya yang bersifat eklektik, parodi,
pastiche, ironi, kebermainan dan keberanian merayakan budaya
"permukaan" tanpa peduli pada "kedalaman," hilangnya orisinalitas
dan kejeniusan, dan asumsi bahwa kini seni hanya bisa mengulang-
ulang masa lalu.

Awal 1970-an, Daniel Bell metnperkenalkan istilah "Post-


modernisme" dalam bidang sosial-ekonomis, khususnya dalam
hubungan dengan Masyarakat Post-industrial. Bell mengartikan
Postmodernisme sebagai kian berkembangnya kecenderungan-
kecenderungan yang saling bertolak-belakang, yang bersama dengan
makin terbebasnya daya instingtif dan kian membubungnya
kesenangan dan keinginan, yang membawa modernisme ke kutub
terjauh, yakni melalui intensifikasi ketegangan-ketegangan struktural
masyarakat.

Frederic Jameson menggunakan istilah ini di -bidang


Kebudayaan. Postmodernisme adalah logika kultural yang membawa
185
trasnformasi dalam suasana kebudayaan pada umumnya.
Postmodernisme terkait dengan Kapitalisme Pasca PD II, yang muncul
sebagai akibat dominasi teknologi reproduksi dalam jaringan
kapitalisme multinasional ("Postmodernism or the Cultural logic of
Late Capitalism").

Menurut Jean Baudrillard, modernitas ditandai oleh Eksplosi


komodifikasi, mekanisasi, teknologi dan pasar, sedangkan Post-
modernisme ditandai oleh implosi (ledakan ke dalam) alias peleburan
segala batas, wilayah dan perbedaan antara budaya tinggi dan budaya
rendah, penampilan dan kenyataan, Ini berarti berakhirnya segala
bentuk kepositifan, referensi-referensi besar dan bentuk-bentuk
finalitas dari teori-teori sosial sebelumnya: kenyataan, makna,
sejarah, kekuasaan, revolusi, dst., maka Postmodernisme dapat
ditafsirkan sebagai de-diferensiasi dan implosi peleburan segala
bidang.

Sebelumnya, dalam bidang Filsafat, Jacques Derrida


memperkenalkan teori "Perbedaan" ("Differance") pada 1967 dan
memproklamirkan berakhirnya Filsafat dan tugas untuk berpikir.
Sudah tiba saatnya untuk berpikir secara semiotis, pragmatis,
fragmentaris, banyak dan bervariasi, dekonstruktif, feministis.

Menurut Derrida, Posmodernisme berarti menuju ke perbedaan,


varietas, baik dalam teori maupun formulasi-formulasi, identitas.
Karena itu, dia tolak cara berpikir hirarkis dan genealogis, kontinuitas
dan perkembangan, resolusi dan keunggulan berdasarkan struktur
hirarkis.

Menurut Jean Francois Lyotard: Postmodernisme dapat


dirumuskan sebagai periode di mana segala sesuatu di-
delegitimasikan. Ini menyangkut posisi pengetahuan di abad ilmiah
kita, khususnya tentang caranya ilmu dilegitimasi melalaui "narasi
besar" (metanarasi) seperti Kebebasan, Kemajuan, Emansipasi, Kaum
186
Proletar, dsb. Kini narasi-narasi besar ini telah mengalami nasib yang
sama dengan nasib narasi-narasi besar sebelumnya seperti religi,
negara-kebangsaan, kepercayaan tentang keunggulan barat, yang kini
sulit dipercaya karena telah berubah. Karena Postmodernisme
didefinisikan juga sebagai "Pramodern" maka timbul di sini
ambiguitas.

Karena sifat ambiguitas ini maka Postmodernisme dimengerti


lebih sebagai intensifikasi dinamisme, upaya terus-menerus untuk
mencari kebaruan, eksperimentasi dan revolusi kehidupan terus-
menerus. Postmodernisme diartikan sebagai "ketidakpercayaan
terhadap segala bentuk narasi besar; penolakan filsafat metafisis,
filsafat sejarah dan segala bentuk pemikiran yang men-totalisasi,
seperti Hegelianisine, Liberalisme, Marxisme, atau apapun." Dan
Postmodernisme ini "menghaluskan kepekaan kita terhadap
perbedaan dan memperkuat kemampuan toleransi kita terhadap
kenyataan yang tak terukur. Prinsipnya bukanlah Homologi para ahli,
melainkan paralogi para pencipta." 83

Modernisme selalu berusaha mencari dasar segala pengetahuan


(episteme) tentang "apa"nya (ta onta) realitas, dengan cara kembali ke
subjek yang mengetahui itu sendiri (entah secara psikologis atau
transendental). Kepastian pengetahuan kita tentang realitas terdapat
dalam hukum logika. Jadi kalau kita mampu mengorganisasi
gagasan-gagasan kita secara logis-tepat, maka langsung kita
dapatkan "representasi" yang benar atau keserupaan "objektif" dengan
kenyataan. Sebutan yang berkembang hingga abad 20 untuk paham
ini ialah

83
J. F. Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, (Paris, 1979), p. xxv.
187
Fondasionalisme dan Representasionalisme. Menurut
Heidegger, kharakteristik modernisme yang menonjol adalah dunia
menjadi semacam gambar (representasi) sekaligus manusia menjadi
subjek di antara lautan objek. Atau dalam istilah Merleau-Ponty,
manusia menjadi kosmotheoros, alias penonton murni dan pada saat
yang sama dunia menjadi le Grand Objet.

Dichotomy S-O tetah memaksa filsafat untuk mencari fondasi


segala pengetahuan (Fondasionalisme), dan tugas pokok subjek
adalah mempresentasikan kenyataan objektif (Representasionalisme)-
Maka klaim Postmodernisme tentang "berakhirnya modernisme"
biasanya dimaksudkan untuk menunjukkan berakhirnya anggapan
modern tentang "subjek" dan "dunia objektif tadi, dunia yang seolah
mandiri dan menanti subjek membuat representasi mental atasnya
saja.

Dari banyak versi tentang awal Postmodernisme, dapatlah


ditegaskan bahwa awal Postmodernisme yang meyakinkan ialah
pandangan Husserl yang mencoba mengatasi persoalan S-O dengan
membongkar secara efektif paham tentang "subjek epistemologis" dan
"dunia objektif." Di sini sumbangan Husserl bagi Postmodernisme
ialah usahanya untuk mencari fondasi absolut, suatu fundamentum
inconcussum yang murni. Namun penemuannya atas gagasan tentang
Lebenswelt akhirnya menggugat gagasan dasarnya tentang
keilmiahan itu sendiri. Lebenswelt adalah aliran kehidupan langsung
sebelum direfieksikan, lapisan dasar yang kemudian memunculkan
tematisasi dan teorisasi ilmiah. Inilah dunia yang kita hayati sehari-
hari secara konkrit, dunia yang mendahului pemilahan Galilean
menjadi subjektif dan objektif. Dengan kata lain, inilah dunia pra-
ilmiah yang dihayati sehari-hari, yang mendasari segala konstruski
ilmiah. Segala bentuk konstruksi ilmiah hanyalah idealisasi, abstraksi
dan dan penafsiran tentang dunia prarefleksif langsung tadi.
188
Gagasan Lebenswelt akhirnya menggerogoti klaim dari pihak
ilmu yang menganggap dirinya bebas praduga dan memiliki fondasi
tak tergoyahkan. Konsekuensi radikal dari upaya Husserl untuk
menjadikan filsafat sebagai ilmu keras (strenge Wissenschaft, rigorous
science) telah dirumuskan oleh Gadamer; "Pemikiran filosofis
bukanlah ilmu sama sekali... Tak ada klaim tentang pengetahuan
definitif kecuali satu: pengakuan atas keterbatasan manusia itu
sendiri."84

Bila segala teoretisasi ilmiah hanyalah soal idealisasi dan


penafsiran pengalaman pra-ilmiah, bagaimanakah nasib upaya-upaya
ilmiah-filosofis yang berusaha mengungkapkan "kebenaran objektif
barang-barang?" Apakah Epistemologi yang hendak menjamin
kebenaran objektif setiap ilmu dan setiap wacana (discourse),
haruskah didiskreditkan? Apakah segala ilmu lalu menjadi soal
penafsiran belaka? Pada titik inilah terbuka jalan, di satu pihak ke
arah Pluralisme Ekstreem yang menghantar pada Relativisme dan
Nihilisme (Derrida, Lyotard) dan di lain pihak ke arah pentingnya
Hermeneutika yang membawa segala persoalan pada wilayah dialog.

Menurut J. Derrida, pada akhirnya bahasa dan kata-kata


adalah kosong belaka, dalam arti tidak menunjuk pada sesuatu
apapun selain "maknanya" sendiri. Dan makna inipun hanyalah
permainan pembedaan (differance): pembedaan arti yan
dimungkinkan oleh system lawan kata. Makna tidak lain hanyalah
permainan semiologis, permainan tanda-tanda. Dengan cara ini maka
yang biasa disebut "kenyataan", "Ada," "kebenaran" lenyap. Raib
pulalah dasar bagi segala jenis filsafat. Bagi dia, Hermeneutik
hanyalah suatu peluang terbuka untuk men-demystifikasi-kan setiap
pretensi filsafat yang menganggap diri memiliki dasar tak tergugat. 85
84
H. G. Gadamer, "The Science of the lifeworld", dalam Analecta Husserliana. (Tymieniecka,
t.t.,), pp. 183-184.
85
Cf. J. Derrida, Writing and Difference, p. 164.
189
J. F. Lyotard juga menyiratkan "hilangnya makna " Baginya
yang tinggal hanyalah beragam permainan bahasa yang fragmentaris
dalam suatu lingkungan ketegangan yang ditandai oleh menajamnya
perbedaan, konilik dan sulitnya (bahkan ketidakmungkinan)
mencapai konsensus yang adil.

Jalur kedua adalah Hermeneutika Heideggerian. Cf. Konsepnya


tentang Das Sein dan Dasein. Lebenswelt Husserl ditransformasi ke
dalam "Eksistensi", yaitu keberadaan dalam kerangka temporalitas, alias
dalam sejarah dan dunia.

7.4.2 Hakekat dan Karakteristik Postmodernisme


7.4.2.1 Posmo = Revisi Kemodernan

Dalam bidang filsafat, istilah Postmodernisme memayungi


segala bentuk kritik terhadap modernisme. la menunjuk pada segala
bentuk refieksi kritis atas paradigma-paradigma modern dan atas
metafisika pada umumnya.

Sebagai gerakan filosofis, Postmodernisme dapat digolongkan ke


dalam 3 kategori sebagaimana dapat kita uraikan di bawah ini.

Pertama, pemikiran yang dalam rangka merevisi kemodernan


cenderung kembali ke pola pikir pramodern. Misalnya Metafisika New
Age, Mystico-mytis dari kelompok Fisika Baru yang bersemboyankan
Holisme dengan tokoh seperti F. Capra, J. Lovelock, Carry Zukav,
Prigogine, dll.

Kedua, pemikiran-pemikiran yang terkait erat dengan dunia


sastra dan banyak berurusan dengan persoalan linguistik. Kata
kuncinya adalah Dekonstruksi. Mereka berusaha membongkar segala
unsur penting dalam sebuah pandangan-dunia semisal diri, Tuhan,
tujuan, makna, dunia nyata, dst. Mulanya gerakan ini bermaksud
mencegah kecenderungan totaliterisme dalam segala system, tetapi
akhirnya cenderung jatuh ke dalam relativisme dan nihilisme- Karena
190
itu mereka lebih cocok disebut "Ultramodern". Beberapa tokohnya:
Derida, Foucault, Vattimo, Lyotard, dll.

Ketiga, segala pemikiran yang hendak merevisi modernisme


dengan membaharui premis-premis modernisme di sana-sini. Posmo
lebih merupakan kritik imanen terhadap modernisme untuk
mengatasi segala konsekuensi negatifnya. Misalnya mereka ideologi
Sains dalam bentuk scientisme. Tokoh-tokohnya antara lain David
Ray Griffin, J Cobb, David Bohm, Frederick Ferre, dll.

7.4.2.2 Posmo = Membuang Yang Modern


“Posmo” menunjuk pada kecenderungan untuk menolak atau
membuang Modernisme sebagaimana dicetuskan Renè Descartes.
Unsur-unsur Modernisme:

1. Teori pengetahuan dijadikan prioritas dan primadona, atau


“Filsafat Pertama” untuk segala kegiatan intelektual lainnya.
Sentralisasi manusia atas “Rationalitas.”
2. Perlambangan manusia sebagai “aku” atau “subjektivitas”.
3. Konsep “interioritas”, manusia mengandung ide-idenya sendiri.
4. Upaya menemukan kepastian mengganti upaya untuk menemukan
kebenaran.
Postmodernisme menolak unsur-unsur modern di atas dan
menekankan bahwa pengetahuan tergantung dari kerangka
konseptual yang sesuai; ini berarti segala bentuk pengetahuan
tertanam dalam “paradigma” tertentu, yang tidak dapat dibuktikan
sebagai paradigma absolute, yang akan diganti oleh paradigma lain.

Menyangkut identitas manusia tidak jelas dan dapat “diisi”


menurut tafsiran yang dirasa berguna; identitas manusia dapat
dilambangkan dengan banyak cara: material-forma, Id-Ego-Superego,
Selbst, Gestalt, dll. Manusia tidak mempunyai identitas yang “stabil”,
jadi selalu harus dibangun.
191
Metafor “interioritas” menyebabkan pikiran dualistis; untuk itu,
tidak ada apa-apa yang lain di luar bahasa.

Kepastian berhubungan dengan obsesi skeptisisme.


“Kecemasan Kartesian” berhubungan dengan diri kita sebagai
manusia kecil, makluk terbatas, dan kecemasan itu dapat membantu
kita menemukan hal-hal yang tak terduga.

Kaum Postmodernist lebih menekankan logika, dan karena itu,


kebenaran selalu bersifat “relative”, kontingen, tergantung dari sifat
atau karakter pernyataan yang diajukan.

7.4.2.3 Ironi dan Liberalisme


Richard Rorty dalam bukunya Contingency, Irony and Solidarity
(1989) mengemukakan 3 kata kunci: irony, liberalism, contingency.
Sepanjang sejarah, kodrat manusia dilihat sebagai dasar dan prinsip
sosialitas dan individualitas.

Rorty menegaskan, sekarang kita cukup berusaha


memperdamaikan kesempurnaan social (dalam liberalisme) dan
kesempurnaan individual (dalam ironisme). Tidak perlu
“fundamentalisme” yang didasarkan pada kodrat suprahistoris, tidak
perlu juga mengundurkan diri dari bidang social dengan “privatisasi”
absolut terhadap kebutuhan individual. Contoh Liberalisme:
Habermas.

Tujuan liberalisme ialah untuk mencegah adanya penderitaan


manusia yang disebabkan oleh manusia lain. Tujuan ironisme (cf.
Jean Paul Sartre) ialah agar jangan sampai penderitaan itu tertanam
dalam struktur kenegaraan.

7.4.2.4 “Anti-Humanisme” dan Liberalisme

Tahun 1945 J. P. Sartre mengumumkan suatu humanisme


baru, yang memandang manusia sebagai sumber kemerdekaan, bebas
192
untuk memilih apa saja yang dikehendaki, tanpa batasan apapun
tetapi yang sekaligus menganggap sesama manusia sebagai “neraka.”

Antihumanisme dicetuskan Martin Heidegger karena menurut


pandangannya humanisme itu bercorak ideologis dan rasionalistis.
Humanisme yang ideologis “berpusat pada subjek” yang dianggap
bebas melampaui segala keterbatasan yang realistis dan memandang
ratio sebagai yang menentukan kodrat manusia. Humanisme ditolak
karena memandang segala macam “absolutisme” konseptual dan
dapat menjadi absolutisme dalam system-sistem social.

Liberalisme memiliki sifat-sifat sebagai berikut: pemerintah


yang terbatas kekuasaannya; pemilu multipartai; pemerintahan
berlandaskan hukum; pelayanan public oleh pejabat yang bebas dari
pengaruh eksekutif, kontrol sipil atas AB; media bebas sensor,
kebebasan agama, kebebasan mimbar dalam pendidikan universiter,
dsb.

Antihumanisme membela liberalisme politik dengan alasan


bahwa orang swasta sering diancam kebebasannya oleh system
public, terlebih system “Republikanisme”.

Antihumanisme lama-lama berkembang menjadi “ironisme,”


yang berarti juga “kematian manusia” yang berbarengan dengan
analogi “kematian Tuhan.” Oleh Postmodernisme, manusia dipandang
secara non-ideologis, dalam keterbatasan-keterbatasannya, dalam
kelemahan-kelemahannya, dan dalam konteks pengaruh hidup
masyarakat terhadap autonomi pribadi. Singkatnya, manusia
kontingen! Kematian manusia tidak lain dari kematian Absolutisme
Ideologis. Dengan ini lahirlah juga Utopianisme.

7.4.2.5 Membangun Masyarakat Pluralistik


Masyarakat Pluralistis adalah masyarakat politis yang
didasarkan atas pemerintahan nasional sedemikian rupa sehingga
193
keyakinan religius, filosofis, moral dan politik dijaminkan
kebebasannya dan syarat keyakinan tersebut tidak dipaksakan pada
warga lain di dalam masyarakat. Jadi masyarakat yang menjaminkan,
atas dasar organisasi politik dan perundang-undangan nasional,
yakni de jure-nya kebebasan tadi. Di sinilah nasionalis dan
nasionalisme dipersoalkan. *****

Anda mungkin juga menyukai