BAB 2
NEO-HEGELIANISME ITALIA
2.1.1 HEGELIANISME
2.1.3 NEO-HEGELIANISME
1
Stephen D. Crites, “Hegelianism” dalam Paul Edwards, The Encyclopedia of Philossphy, Vol.
3 and 4, pp. 451-459.
8
Neo-Hegelianisme berkembang subur sebagai pengembangan
lanjut pemikiran Hegel di Inggris (Bernard Bossanquet, F. H. Bradley)
yang mengembangkan System Logika dan Ethica Hegel. Neo-
Hegelianisme berkembang juga di Amerika dengan tokoh
prominentnya Josiah Royce dari Harvard dan Brand Blanshard dari
Yale yang mengembangkan System Metafisika Idealistik yang secara
khusus berupaya menghubungkan waktu dan keabadian, yang
banyak dan yang satu, yang individual dan yang kolektif.
2
Panlogisme (παν = seluruh, dan λογος = pikiran) adalah pandangan Hegel yang mengatakan
bahwa seluruh realitas adalah pikiran, kesadaran, budi, Roh, yang berkembang dan mencapai
puncaknya dalam Roh Absolut.
11
memiliki prinsip identitas universal dan individual dari intelek dan
intuisi.
2.2.1.2.2 Agama
Pada titik ini, terjadi kekeliruan mendasar dari Croce: Tidak ada
revelasi atau intervensi dari Tuhan dalam arti yang benar, tapi
kekristenan hanya menyangkut hal-hal yang semata-mata fakta besar
manusia, karena dengan semuanya itu roh merayakan dalam
keabadian dirinya sendiri, dan ini berarti objek yang diabstraksikan
oleh subjek ditempatkan pada tempat subjek sebagai pencipta abadi
dari barang-barang dan merupakan satu-satunya prinsip untuk
14
menjelaskan kejadian barang-barang itu. Di sini yang menjadi subjek
bukan lagi Allah Sang Pencipta tapi ciptaan. Agama Kristen
menemukan subjek dan menempatkannya pada tempat objek yakni
ciptaan dan memberinya peran pencipta, menjadikan ciptaan sebagai
Pencipta.
1. Oposisi logis dan moral antara Gereja Katolik dan dunia modern.
2. Sifat mythis Dogma dan Revelasi: Deus ex machine!
3. Relasi ganda dan berbeda antara filsafat dan agama, yang
seharusnya identik.
Singkatnya, tanpa orisinalitas Croce mengulang kembali jejak
argument secular illuministis melawan Agama Wahyu.
2.2.2.1 Aktualisme
BAB 3
21
METAFISIKA BARU: “MENJADI”
3
Cf. Nicola Abbagnano, “Positivism,” dalam Paul Edwards, The Encyclopedia of Philosophy,
Vol. 5 and 6, pp. 414-419; Antonio Livi, La Filosofia e la sua Storia, La filosofia contemporanea –
L’Ottocento, Vol. III/1, pp. 2002-237.
22
menyangkal hypothesis natralistik atas status a-sosial manusia
(Cf. Homo homini lupus), di mana sejarah tidak berkembang
secara linear tapi dalam alternative jaman organis, di mana
anarki social dan anarki teoretis berkembang secara
bersamaan. Dalam alternatif ini lahirlah progresi yang adalah
afirmasi dari kebenaran baru atas kehancuran prinsip-prinsip
yang secara historis berakhir.
3. Dalam „masyarakat organis“ atau masyarakat politik yang
didasari kerja dan didominasi ilmu pengetahuan, teknologi, riset
empiris dan aplikasi industri sebagai elemen fundamental, yang
menjadi „leaders sejati“ adalah para ilmuwan dan industriawan.
Yang diidamkan bukanlah „masyarakat tanpa kelas“ seperti
dikemukakan Marx tapi masyarakat di mana kebebasan
dirangkum seluruhnya dalam rationalitas sempurna dari
system.
4. Sosiologisme Humaniter: karena merasakan bahwa ratio ilmiah
tidak memadai, de Saint-Simon kembali kepada agama. Dari
kekristenan yang diperbaharui (menurutnya terjadi pada masa
Skolastik), ia menarik prinsip persaudaraan antar manusia
yang merangkum yang ilahi di dalam agama tetapi yang
dikembalikan kepada system moral social. Prinsip fundamental
agama baru ialah “perbaikan kondisi moral dan fisik kaum
miskin.” Dengan ini ia meretas jalan ke sosiologisme umaniter
yang didasarkan atas persaudaraan dalam kerja dan atas
penyelamatan produktivistik kaum Proletar.
Positivisme Sosiologis lalu diadopsi oleh Auguste Comte (1798-
1857) untuk menunjukkan gerakan filsafat besar yang dari
pertengahan abad 19 hingga awal abad 20 sungguh berpengaruh di
negara-negara Barat. Maksud awalnya ialah menghadirkan satu
filsafat sebagai teori ilmiah, di mana dirancang cerita tentang hidup
roh untuk sampai pada “tingkatan positif” berdasarkan hukum 3
tingkatan
23
Karya-karya Comte a.l.: Plan des travaux scientifiques
necessaries pour reorganizer la société, (Penjenjangan studi ilmiah yang
perlu untuk menata masyarakat, 1826-1827), Cours de philosophie
positive, (Kursus Filsafat Positive, 6 Vol., 1830-1842), Système de
politique positive ou Traité de socioligie instituant la religion de
l’Humanité, (System Politik Positive atau Traktat Sosiologi untuk
memantapkan agama manusia, 4 Vol., 1851-1854), Considération
philosophiques sur les sciences et le savant, (Refleksi filosofis atas ilmu
pengetahuan dan ilmuwan, 1825), Discours sur l’esprit positive,
(Risalah atas semangat Positive, 1844), Catéchisme positive, ou
Sommaire exposition de la religion universelle, (Katekismus Positivist,
atau Ikhtisar Exposisi atas Agama Universal, 1852), dan Synthèse
subjective ou Système universal des conceptions propes à l’état normal
de l’Humanité (Synthesis subjektif atau System Universal dari konsep-
konsep khusus bagi status normal Kemanusiaan, 1856). Dari karya-
karya ini dapatlah kita temukan beberapa pokok pemikiran Comte:
Tugas:
HENRI BERGSON
32
Hidup dan Karya Henri Bergson
Henri Bergson, si filsuf Yahudi, lahir di Paris tahun 1859 dan
meninggal di sana tahun 1941. Dia seorang sarjana Matematika dari
École Normale, di mana dia menjadi seorang mahasiswa Boutroux. Dia
kemudian menjadi Dosen di École Normale (1897) dan 1899 dipanggil
ke Collége de France. Seorang alumnus yang adalah Jacques Maritain
dan Étienne Gilson. Tahun 1914 dinominasi sebagai Akademisi
Perancis dan tahun 1928 menerima hadiah Nobel untuk bidang
Literatur. Berkat persahabatannya dengan Antonine-Dalmace
Sertilanges, ia menjadi sangat dekat (walau harus secara sembunyi-
sembunyi) dengan agama Katolik.
Evolusi Kreatif
Dalam karyanya Matiére et Mémoire, Bergson menekankan
affinitas antara dunia materi dan dunia rohani. Menurut Bergson,
universum tidak terjerumus menurut dualisme ekstreem pikiran dan
ekstensi (jiwa-badan) (cf. Descartes), tapi secara fundamental
merupakan satu kesatuan. Ekstensi murni adalah hasil dari abstraksi
dari roh manusia, dan untuk dapat bergiat, selalu terbebani dalam
corporeitas. Kesatuan universum ini digarisbawahi lagi dalam
karyanya L’évolution Créatrice, yang menguraikan konsep kosmologis.
Ada 2 type teori atas evolusi: Teori mekanistist dan finalistis.
Lain sekali sifat agama dinamis, yakni agama para mistik yang
bersifat terbuka. Saat jiwa kita disapa oleh gaung suara sang mistik,
kitapun sadar, bangkit. Misticisme ada pada agama statis seperti
38
intuisi ada adlam instinct. Muaranya adalah terjadinya suatu kontak,
suatu coincidentia partiale dengan daya cipta dari hidup.
NICOLAI HARTMANN
Nicolai Hartmann (1882-1950) adalah seorang pemikir dari
aliran Realisme Metafisis. Ia merupakan seorang guru dari Martin
Heidegger. Ada beberapa arus filsafat yang mempengaruhi Hartmann.
Pertama, Neo-Kritisisme dari Sekolah Marburg. Kedua, Fenomenologi
Husserl. Dalam hubungan dengan fenomenologi, Hartmann coba
mengatasi keterpencilan subjektif Husserl dengan mengemukakan
pandangan metafisis lebih seimbang, yang dia sebut Ontology Alam
dan Nilai-Nilai. Setelah melihat krisis yang melanda Idealisme dan
Positivisme, Hartmann mengemukakan Kritisches Realismus (Realisme
Kritis), yang ternyata adalah realisme dan pengertian umum.
BAB 4
4.1.1.2 Psikoanalisa
Formasi Filosofis
Dari begitu banyak karya filsafat yang dibacanya selama kuliah,
Freud tertarik secara khusus kepada pikiran materialisme dan
atheisme, Ludwig Feuerbach. Pengaruh terbesar Feuerbach atas
Freud: perang lawan agama, yang diproklamirkan sebagai
“penghancuran satu ilusi” ditegaskan kembali oleh Freud dalam
karyanya Die Zukunft einer Illusion (…).
4
Cf. juga Paolo Micoli, Storia della Filosofia Contemporenea, (Roma, PUU., 1992), pp. 260-
262.
50
Inti persoalan Psikoanalisa adalah individuasi alam bawah
sadar, yang sering dihadirkan sebagai penemuan satu realitas
tersembunyi, tapi sering pula sebagai hypothesis kerja type ilmiah.
Bagi Freud, bawah sadar adalah “hypothesis yang seharusnya dan
legitimate.” Di sini Freud menyamakan alam bawah sadar dengan jiwa
dan realitas esensialnya. Jadi alam bawah sadar begitu kuat
pengaruhnya, sampai-sampai mempengaruhi dan mengarahkan
seluruh kegiatan manusiawi kita.
ALFRED ADLER
Alfred Adler (1870-1937) adalah rekan kerja Freud. Keluarganya
adalah campuran Yahudi-Hungaria tapi Adler sendiri bertobat dan
menjadi Kristen. Tahun 1910 dia mendirikan Pusat Penelitian
Psikoanlisa untuk Pendidikan Anak-anak di Wina, Berlin dan
München, dan tahun 1911 dia memisahkan diri dari Freud. Dia
adalah pelopor Psikologi Individual. Dia menulis dan menerbitkan
banyak karya: Studie über Minderwertigkeit von Organen (Studi atas
inferioritas organ-organ, 1907), Über den nervösen Charakter
(Kontitusi Neurosis, 1912), Praxis und Theorie der
58
Individualpsychologie (Praksis dan Theori Psikologi Individual, 1918),
Menschenerkenntnis (Pengetahuan atas manusia, 1927), sejak 1922
hingga 1935 mempublikasikan majalah ilmiah berjudul
“Internationale Zeitschrift für Individual-Psychologie,” Der Sinn des
Lebens (1933).
BAB 5
60
LOGIKA DAN FILSAFAT BAHASA DI INGGRIS
CATATAN AWAL:
5
Hasil elaborasi kelompok mahasiswa Semester VII 2004/2005: Thobias Jalng, Kornelius
Sugianto, Didakus Sori Wutun, Paulus Pariman, Vinsen F. Sonbay, Sr. Isabel M. do Rego, SSpS, Roby
Nahak, Yoseph Nitsae, Gregorius Tae Mau, Damianus Garang, Robertus Ikun, Alfons Sari, Richard M.
Tegu, Gusti Bala Ledun, Edi Atolan, Gaudensius Geor, Aris Kolo, Agustinus Bau, David Ngongo Bili.
61
Alur kehidupan Francis Herbert Bradley (1846-1924) tidak
terlalu banyak diketahui. Tahun 1870 ia menjadi anggota Merto
College, Oxford, dan ia bertahan di tempat ini sampai meninggal
dunia pada tahun 1924. Ia tidak pernah memberi kuliah ataupun
seminar-seminar. Karya-karya filosofisnya juga secara substansial
tidak terlalu luar biasa. Namun demikian Bradley dikategorikan
sebagai seorang filsuf Idealist yang cemerlang dari Inggris. Hal itu
kerena ia mengkombinasikan satu kritisisme radikal atas kategori
pemikiran manusia. Menurut Bradley, ratio manusia adalah
instrument untuk memahami realitas akhir, eksistensi absolute yang
mengatasi segala kontradiksi dan antinomi-antinomi.
5.1.3.1 Etika
5.1.3.3 Metafisika
Namun pada saat yang sama, apa yang nampak tidak secara
nyata ada pada yang mutlak. Yang nampak tidak terdapat pada yang
mutlak dalam arti suatu jalan yang memberi kontradiksi-kontradiksi
dan antinomy-antinomi. Oleh kerena itu, pada yang mutlak ada yang
nampak harus ditransformasi dan diharmoniskan pada mana tidak
terdapat kontradiksi-kontradiksi yang tertinggal. Bagaimana hal itu
mungkin? Bradley menjawab bahwa itu harus menjadi tindakan
pengalaman infinitive terlebih pengalaman sentient. Sentient di sini
dimaksudkan yang mutlak dan realitas yang tidak dapat
dipertentangkan. Yang mutlak menjadi pengalaman sentient karena
menjadi yang singular, yang merangkum semua perbedaan partial
dalam keharmonisan. Pengalaman sentient akan yang mutlak itu
tidak dapat diidentifikasi dengan dunia visiabel karena yang mutlak
adalah roh (spirit). Pada titik ini, Bradley menyamakan realitas
dengan ke-roh-an: “kita harus secara terbuka menegaskan bahwa
realitas adalah roh… di luar dari roh yang ada ketiadaan, tidak ada
yang menjadi, tidak ada realitas. Segala sesuatu adalah spiritual dan
itu tak tersangkalkan”. Apa yang Bradley maksudkan dengan
mengatakan bahwa realitas adalah roh? Dan bagiamana pernyataan
itu memadai dengan menggambarkan realitas sebagai pengalaman
sentient? Untuk menjawab persoalan ini kita perlu melihat kembali
teorinya tentang pengalaman sentient, di mana perbedaan antara
subjek dan objek belumlah muncul. Misalnya realitas yang secara
eksternal ditampilkan pada subjek. Kita tak dapat menerimanya
sebagai satu kemungkinan bahwa pengalaman sentient primitive
dihadirkan sebagaimana adanya pada level yang lebih tinggi; satu
level di mana eksternitas term-term yang berhubungan sebagai subjek
66
dan objek berhenti total. Yang mutlak adalah pengalaman pada
tingkat tertinggi. Dengan kata lain, yang mutlak bukanlah suatu
pengalaman sentient yang terkontrol oleh ratio dan satu relasi level
rendah (infra-relational), tetapi sesuatu yang mengatasi pemikiran
dan supra-relational, yang mengatasi cara berpikir secara eksternis.
6
Hasil elaborasi kelompok Mahasiswa Semester VII 2004/2005: Agustinus Bastian, Stefanus
Mau, Yonatas Kaesnube, Yohanes Kiri, Alfonsus Nara Hokon, Marselus Dappa Wole, Yulius Nesi,
Emanuel Fkun, Marianus Knaofmone, Bernardus Bria, Firminus Bego, Markus Kedang (Alm.),
Siprianus Tes Mau, Yohanes Tateni, Marianus Halek
68
Salah satu problem filosofis yang paling tua dalam sejarah
filsafat adalah Problem Epistemologis yang bermula dari para filsuf
Yunani kuno hingga filsuf-filsuf modern. Aristoteles mengawali
metafisikanya dengan pernyataan: setiap manusia dari kodratnya
adalah ingin tahu. Dengan pernyataan ini, Artistoteles sangat yakin
bahwa dengan dorongan untuk tahu ini tidak hanya disadari tetapi
benar-benar diwujudkan di dalam karyanya sendiri. Dua generasi
sebelum Aristoteles, Socrates, membangun filsafatnya atas dasar
keyakinan bahwa tak seorang manusia pun mempunyai pengetahuan.
Hal ini diafirmasikan oleh nubuat Delphi bahwa tidak ada manusia
yang lebih bijaksana dari Socrates; Socrates sendiri yang tahu bahwa
ia tidak tahu.7
8
Bertrand Russell, the Problems of Philosophy, diterj. Ahmad Asnawi, (Yogyakarta: Ikon
Teralitera, 2002), hal. 1-2.
9
Diane Collinson, Lima Puluh Filosof Dunia yang Menggerakkan, diterj. Ilzamudin Ma’mur
dan Mufti Ali (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2001), hal. 198.
10
Ibid., hal. 203.
70
1. Dalam Bidang Matematika
11
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), hal. 803.
71
5.2.2.2Pengertian Menurut B. Russell
Dalam kerangka telaah filosofisnya, Russell membedakan
antara “pengetahuan karena pengenalan” dan “pengetahuan
berdasarkan deskripsi”.12 Pengetahuan karena pengenalan disebut
juga pengetahuan segera, yang terdiri atas dua jenis, particular dan
universial. Di antara particular-partikular, kita mengetahuan data
indera dan (kemungkinan) pengetahuan kita sendiri. Di antara
Universalia-universalia tampaknya tida ada prinsip yang dengannya
kita bisa memutuskan mana yang dapat diketahui dengan
pemahaman, tapi yang jelas bahwa yang dapat dikenal kualitas-
kualitas yang dapat diinderai, hubungan ruang dan waktu,
keserupaan, dan universalia-universalia logis dan abstrak tertentu.
a) Ingatan
73
Ingatan adalah endapan pengetahuan manusia akan suatu objek
yang telah terjadi pada masa lalu. Ingatan membentuk pikiran kita
untuk mengenal dengan pasti sebuah obyek. Ingatan selalu
berkenaan dengan masa lalu (masa lampau).
b) Introspeksi
Introspeksi adalah suatu upaya pengenalan akan suatu obyek
yang berpusat pada kesadaran diri. Misalkan; ketika saya melihat,
saya seringkali menyadari bahwa saya melihat matahari; karena
itu “saya melihat matahari” merupakan obyek yang saya kenal.
Jenis pengenalan ini merupakan kesadaran diri yakni sumber dari
segala pengetahuan kita tentang segala hal yang bersifat mental
(seadanya). Introspeksi ini dimungkinkan oleh adanya suatu
disposisi bathinia, kesadaran diri manusia untuk mengenal segala
sesuatu. Dalam kesadaran diri ini selalu bersifat particular.
Ketika kita menilai dua tambah dua sama dengan empat, kita
tidak membuat suatu penilaian tentang pemikiran-pemikiran kita,
melainkan tentang seluruh pasangan-pasangan actual dan mungkin.
Fakta bahwa pikiran kita begitu tinggi untuk meyakini bahwa dua
tambah dua sama dengan empat. Dan tidak ada fakta tentang
keadaan jasmani pikiran kita yang dapat membuat benar bahwa dua
tambah dua sama dengan empat. Karenanya maka pengetahuan a
priori kita jika tidak keliru bukan sekedar pengetahuan tentang
keadaan jasmani pikiran kita melainkan dapat diberlakukan pada apa
pun yang terdapat di dunia baik yang berupa mental maupun yang
berupa bukan mental.
76
Faktanya bahwa seluruh pengetahuan a priori berkaitan dengan
entitas, yang tempatnya tidak ada, baik dalam mental maupun di
dunia fisik. Entitas-entitas ini dapat diberi nama dengan bagian-
bagian ujaran yang tidak bersifat substantis, misalkan kualitas-
kualitas dan relasi-relasi.
17
Ibid., hal. 364-365.
18
Bertrand Russell, Op.Cit., hal. 131.
78
merupakan akibat dari pengetahuan intuitif merupakan juga salah
satu cara untuk menyalami berbagai persoalan filosofis. Karena itu
Russell memperkenalkan dia model penilaian yakni penilaian persepsi
dan penilaian ingatan untuk menguji kebenaran-kebenaran sensasi.
Dengan memperkenalkan kebenaran-kebenaran yang jelas dengan
sendirinya di atas, Russell nampak menunjukkan adanya gradasi
(tingkatan) mulai dari kebenaran yang paling jelas itu sampai pada
kebenaran yang nampak kabur. Baginya, kebenaran persepsi dan
sebagian dari prinsip-prinsip logika memiliki tingkat kejelasan yang
paling tinggi
19
Diane Collinson, Lima Puluh Filosof Dunia yang Menggerakkan, diterj. Ilzamudin M’mur
dan Mufti Ali, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2001), hal. 201.
79
Menurut Russell pengetahuan filosofis tidak hanya terbatas
pada dua pengetahuan di atas, karena karakteristik esensial filsafat
terletak pada sifat kritisnya. Hal inilah yang membedakan
pengetahuan filosofis dengan ilmu pengetahuan. Secara kritis filsafat
menguji prinsip-prinsip yang digunakan dalam ilmu pengetahuan dan
dalam kehidupan kita sehari-hari; filsafat mencari segala
ketidakkonsistenan yang mungkin ada dalam prinsip-prinsip ini dan
filsafat hanya menerima ketidakkonsistenan itu ketika sebagai hasil
dari penyelidikan kritis, sehingga tidak ada kemungkinan untuk
menolaknya.
5.2.5. Penutup
Daftar Pustaka
Hal seperti di atas mengundang reaksi para filsuf pada abad ini
terutama filsuf Anglosakson. Mereka menolak ungkapan filsafat
idealisme, karena ungkapan filsafat idealisme itu tidak saja sulit
20
Hasil elaborasi Kelompok Mahasiswa Semester VII 2004/2005: Adianto Ampolo,
Kristoforus B. Oki, Willibrodus C. Usboko, Yoseph Teme, Aloysius Tubani, Fidelis O. Sanbein,
Anselmus Y. Mones, Donatus Dappa Tadi, Fransiskus Kopong Mamu, Eduardus U. Sabatudung,
Konstantinus Nggajo, Apolinaris D. Ladjar, Benyamin Leti Gali, Servasius Balok.
84
dipahami, tetapi juga menyimpang jauh dari akal sehat. Oleh karena
itu muncul semacam reorientasi yang revolusioner tentang paradigma
filsafat yang dipelopori oleh G. Moore, yang kemudian disambut oleh
para eksponen dari Universitas Cambridge dan Oxford, seperti
Bertrand Russell, Ludwig Wittgenstein, Alfred Ayer, Gilber Ryle, dan
J.L. Austin. Mereka ini sangat bergiat dalam bahasa, dank arena
dikenal sebagai filsuf maka selanjutnya kegiatan mereka itu disebut
sebagai Filsafat Analytik atau Filsafat Bahasa.
21
Harry Hamersma, Tokoh-Tokoh Filsafat Modern, (Jakarta : Gramedia, 1992), hal. 137.
22
David Pears, Biographical Note, dalam Frank Kermode, (edit), Wittgenstein, (London:
Fontana Press, 1985), hal. 199.
86
Tetapi darinya dikembangkan Tractatus Logico – Philosophicus yang
dikirim ke Russell dari kamppenjara saat di Monto Cassino (Italia
Selatan) dimana Wittgenstein ditahan. Setelah dibebaskan dari
penjara ia kembali ke Wina, menyumbangkan warisan dari
orangtuannya kepada orang lain. Karena itu ia berpendapat bahwa ia
tidak dapa menyumbang apa-apa lagi kepada dunia ilmu
pengetahuan, maka ia menjadi guru SD di Austria 1926, dan menjadi
tukang kebun pada suatu biara. Ketika ia berkenalan dengan Maritzm
Schlick, professor filsafat di Wina, dan para filsuf lainnya serta para
ahli matematika, makanya ia kembali ke Cambridge sebagai
mahasiswa riset dan memasukkan Tarctatus sebagai tesis doktornya.
Russell dan Moore adalah penguji tesis tersebut dan Wittgenstein
diberi beasiswa riset di Trinity. Selama liburnya di Wina ia berkenalan
dengan filsafat positivisme yang sedang berkembang di bawah
pimpinan Matiz Schlick oleh kelompok yang dikenal dengan Lingkaran
Wina. Para anggota Lingkaran Wina tersebut memuji doktrin Tractatus
tetapi ia meskipun memiliki kaitan erat dengan pandangan-
pandangan lingkaran Wina, ia tidak tergabung dalam lingkaran Wina.
Ia mengembangkan gagasan-gagasan baru dalam filsafat
matematika.23 George Von Wright dalam penjelasan biografisnya,
menulis bahwa:
23
Diane Collins, Lima Puluh Filosof Dunia Yang Menggerakkan, (Jakarta: Raja Ratindo
Persada, 2001). Hal. 215.
87
Pada 1932 dan awal 1935 ia memperkenalkan dua buku dalam kelas
The Blue Book dan The Brown Book, dimana keduanya mengarah pada
pemikiran filosofis yakni filsafat pikiran, diskusi mengenai konseps-
konsepsi seperti sensasi, imanjinasi dan tindakan sengaja. Pada akhir
tahun 1935 ia pergi ke Unisoviet dan kemudian Norwegia di mana ia
tinggal di gubuk yang telah dibangun untuk dirinya ketika kunjungan
awalnya. Di sini ia menulis Philosophical Investigations yang menjadi
buku yang terkenal. Pada tahun 1939 ia menjadi guru besar di
Cambridge. Dan akhirnya pada tahun 1951 ia meninggal di
Cambridge.
5.3.1.3 Karya-Karya24
24
David Pears, Op. Cit., hal. 198.
25
Harry Hamersma, Op. Cit., hal. 129.
88
Empirisme Logis yang disebut “Positivisme logis” dan “Neo-
positivisme Inggris”, diinspirasikan oleh Russell, Wittgenstein (sebelum
1930), dan oleh lingkaran Wina. Wittgenstein adalah murid Russell,
tetapi dalam beberapa hal Russell juga memandang dirinya sebagai
murid dari Wittgenstein. Tulisan Tractatus Logico – Philosophicus
(1921) cukup mempengaruhi lingakran Wina. Namun ada anggota
lingkaran Wina yang melarikan diri ke Inggris dan Amerika Serikat
saat Nazi, lingkaran Wina mempengaruhi lagi empirisme logis di
Inggris. Analitika bahasa dalam lingkaran Wina menjadi aliran
penting dalam filsafat Anglosaxon. Analitika bahasa dipengaruhi oleh
pemikiran Wittgenstein setelah 1930, yang diungkapkan dalam
tulisannya Philosophical Investigations dan oleh G. Moore. Analitika
bahasa memandang tugas filsafat sebagai “terapi”.
26
Ibid., hal. 140.
89
Bagi Wittgenstein masalah bahasa pertama-tama adalah
masalah menggunakan bunyi tertentu. Dengan itu lantas ia
mengatakan bahwa di luar penggunaan, dalam kenyataan, sebuah
tanda menjadi mati. Sebuah tanda menjadi hidup, menjadi bermakna
justru dalam penggunaan. Penggunaan sebuah tanda merupakan
nafas kehidupan tanda bersangkutan.27
27
Wittgenstein, Ludwig, Philosopical Investigations, dalam G. E. M. Anscombe, (terj.),
(Blakwell: Oxford, 1953), hal. 40, 20, no. 40 terjemahan penulis.
28
Lorens Bagus, Wittgenstein Masalah Bahasa Dan Makna, dalam F.X. Mudji Sutrisno dan F.
Budi Hardiman, (edit.), Para Filsuf Penentu Gerak Zaman (yogyakarta: Kanisius, 1992), hal. 96.
90
yaitu bahsa sehari-hari, terdiri dari macam-macam gang dan jalan
yang disusun kurang teratur.29
29
Harry Hamersma, Op. Cit., hal. 139.
30
Istilah Language Games diterjemahkan dengan istilah Permainan-Permainan Bahasa.
31
Lorens Bagus, Op. Cit., hal. 97.
32
Ludwig Wittgenstein, Op. Cit., hal. 111-126.
33
Ibid., hal. 31-32.
34
Lorens Bagus, Loc. Cit.
91
2. Dalam aneka permainan bahasa terdapat kesamaan keluarga.
Dengan itu tidak mungkin menentukan dengan persis batas-batas
pemahaman mengenai permainan. Yang mungkin dilakukan ialah
melacak batas-batas untuk mengetahui apakah hal itu dapat
disebut suatu permainan atau tidak. Batas-batas permainan itu
sendiri kabur dan sulit dipahami.
3. Kendatipun orang tidak tahu persis permainan, tetapi ia tahu apa
yang dapat dibuat dengan sebuah permaian. Permainan memang
merupakan sebuah konsep yang sangat dan sulit didefinisikan.
Kita tak dapat menjelaskan dengan tuntas konsep permainan. Kita
hanya menyampaikan contoh-contoh permainan yang berbeda-
beda.
Jadi kita bisa katakana bahwa penerapan kata atau kalimat
yang sama dalam pelbagai cara yang berbeda tidak mengandung
makna yang sama melainkan mengandung dasar-dasar kemiripan
yang sifatnya universal. Dalam arti, penggunaan kata atau kalimat
yang sama dalam banyak cara yang berbeda, sekalipun mengandung
sesuatu yang bersifat universal, namun nampaknya tetap bergantung
cara bermain dan penggunaannya.
35
Harry Hamersma, Op. Cit., hal. 139.
36
Wittgenstein, Op. Cit., hal. 133.
93
justru munculnya Wittgenstein II merupakan suatu langkah maju.
Dengan karya Phylosophical Investigation (periode II) yang merupakan
karya lanjutan dari pemikirannya dalam periode pertama (Tractatus
Logico – Philosophicus), sebagai akibat dari ketidakmampuan teori
gambar dalam menjelaskan hubungan antara makna yang utuh dari
suatu realitas. Mungkin merupakan usaha paling terkenal dan
menarik untuk memecahkan masalah-masalah filosofis dengan
menekankan keunggulan “bahasa biasa”. Ia berkeyakinan bahwa
keistimewaan bahasa biasa terletak pada kenyataan bahwa arti dari
kata-kata dari bahasa harian.
5.3.5 Penutup
5.3.5.1 Kesimpulan
95
Berdasarkan uraian di atas bisa disimpulkan bahwa tuduhan
para filsuf bahasa termasuk Wittgenstein II (Philosophical
Investigation) terhadap penyakit proto philosophia tidak bisa
dipertahankan karena metafisika yang pada hakikatnya menyelami
ada sebagai ada sangat melampaui ada bahasa. Adanya sesuai sudah
terimplisit ada yang terlebih dahulu. Ada yang ada pada bahasa bisa
lenyap tetapi yang tidak bisa hilang dan tinggal tetap hanyalah ada
dalam arti yang essensial.
Daftar Pustaka
37
Hasil elaborasi kelompok Mahasiswa Semester VII 2004/2005: Yohanes Aristo Sikone,
Arkhadius Sifa, Selestinus Panggara, Joao Fernandes Soarez, Paulus Jeraman, Marselinus Kali,
Aleksius Sudarsi, Damianus Eko, Rafael de Lima Hale. Yohanes M. V. Finit, Eduardus Dosan,
Yohanes D. B. Boro Ama, Agustinus Jefry Banu.
97
Inggris sudah sejak abad pertengahan lebih condong ke hal-hal
empiris, di mana empirisme muncul.
Lalu apa itu konsep? Konsep itu bukan suatu abstraksi yang
dibuat dengan berbasiskan pada realitas material. Pun, ia bukan
suatu kontruksi mental manusia atas suatu realitas. Konsep itu lebih
sebagai suatu realitas objektif itu sendiri. Dengan itu Moore
menekankan bahwa dunia adalah bentuk lain dari konsep-konsep
tetapi ini bukan berarti dunia itu suatu yang spiritual. Dengan
mengatakan bahwa dunia terdiri dari konsep-konsep, Moore justru
ingin mengeliminasi pemisahan antara konsep dan realitas. Konsep
itu telah ada sebagai “sesuatu” sebelum berelasi dengan suatu subjek
rasional. Di sini, pengetahuan itu tidak menambah apa-apa pada
konsep. Konsep sama dengan objek. Jadi dengan mengetahui
sesuatum kita tidak membuat perubahan pada objek. Sebab dan
akibat dari sesuatu itu hanya ada pada subjek dan bukan pada objek.
Moore bahkan menegaskan bahwa tidak ada perbedaan antara
proposisi Saya ada dengan realitas eksistensiku atau keberadaanku.
5.4.3 Etika
5.4.3.1 Kebaikan
5.4.3.2 Kewajiban
105
Menurut Moore kewajiban selalu berhubungan dengan
kebaikan universal. Sesuatu hanya bersifat wajib:
Bagi dia, kewajiban itu bukan norma tetapi sesuatu yang riil.
Artinya yang wajib itu sejauh dia lebih baik dan bawa lebih banyak
kebaikan bagi dunia.
5.4.3.3 Analisis
5.4.4 Penutup
Kepustakaan:
Alfred Jules Ayer lahir 1910 adalah seorang filsuf Inggris. Ia-lah
yang membawa ide-ide para positivisme logis, anggota-anggota
Lingkaran Wina ke Inggris. Mulanya ia belajar filologi klasik dan
dilsafat di Oxford. Sesudah studinya selesai, ia berkunjung pada
Universitas di Wina dan sekembalinya di Inggris diangkat sebagai
dosen di Oxford. Waktu Perang Dunia II ia masuk tentara Inggris dan
ditugaskan terutama pada dinas intelijen militer. Seusai perang ia
diangkat sebagai profesor pada Universitas London (1946-1959) dan
akhirnya diundang menjadi professor logika di Universitas Oxford.
Beliau meninggal pada 1989.
5.5.2.1.2 Karya-Karyanya41
40
Lih. Bertens, K., Filsafat Barat Kontemporer, edisi Inggris-Jerman, Jakarta: Gramedia,
2002, hal. 33. Juga Woodhouse, Mark B., Berfilsafat Sebuah Langkah Awal, Ahmad Norma Permata at.
all penerj. Yogyakarta: Kanisius, 2000, hal. 218.
41
Bertens, K., Op. Cit., hal. 39.
111
Filsafat Hume yang cukup berpengaruh pada pemikrian Ayer
adalah pemikirannya tentang pengenalan. Demikianlah menurut
Hume, manusia tidak membawa pengtahuan bawaan ke dalam
hidupnya. Sumber pengetahuan adalah pengamatan. Pengamatan
memberikan dua hal, yakni: (impression) dan pengertian-pengeretian
atau idea-idea (ideas). Yang dimaksudkan dengan kesan-kesan adalah
pengamatan langsung yang diterima dari pengalaman, baik
pengalaman lahiriah maupun pengalaman bathiniah, yang
menampakkan diri dengan jelas, hidup dan kuat.42
44
Ibid.
45
Ibid.
113
berpatokan pada pendasaran akal sehat (bahasa sehari-hari)
sementara Russell menekankan pada analisis logis dengan membuat
perumusan-perumusan logis yang berlain-lainan.
46
Ibid. hal. 31.
47
Ibid. hal. 32.
114
Pengaruh Lingkungan Wina terhadap Ayer tidak diragukan.
Ayer pernah belajar secara langsung pada mereka setelah meraih
doktornya. Lingkungan Wina merupakan kumpulan ahli dan filsuf
yang mendukung empirisme sambil bersikap negative terhadap
metafisika. Salah satu tema yang sempat dibicarakan adalah tentang
perubahan cara penyajian logika yang berefek pula pada analisis
logika bahasa. Tentang logika terjadi penggunaan symbol-simbol
menurut analogi dengan matematika dan bertambahnya wilayah-
wilayah pembahasan yang sama sekali baru. Pembaharuan logika ini
dirintis oleh ahli-ahli matematika.
48
Ibid. hal. 189.
115
dapat diulangi di sini bahwa Ayer menekankan tentang: makna
tidaknya suatu ucapan. Untuk itu dicari suatu norma yang dapat
membedakan ucapan-ucapan yang bermakna dari ucapan-ucapan
yang tidak bermakna.49 Norma itu adalah prinsip verifikasi. Ayer
merumuskan prinsip verifikasi itu dalam bukunya, Language, Truth
and Logic, yang bunyinya demikian:
49
Ibid. hal. 35.
50
Ibid. hal. 36.
51
Ibid.
116
Hanya Ayer menambahkan, ada satu jenis ucapan bermakna
yang tidak berdasarkan suatu data empiris yakni ucapan-ucapan
matematika dan logika. Misalnya: “setengah dari 10 adalah 5”.
Ucapan ini tentu tidak dapat divarifikasi atas dasar pengalaman.
Makna ucapan-ucapan seperti ini hanya tergantung pada makna
symbol-simbol yang digunakan. Ucapan-ucapan seperti ini disebut
tautology. Yakni perulangan arti yang sama tetapi menggunakan kata-
kata yang lain (berbeda).52
52
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 2002, hal. 1079.
53
Bertens, K., Op. Cit., hal. 37.
117
bidang itu, kata Ayer, “itu barangkali secara emosional mempunyai
arti untuk orang bersangkutan, tetapi tidak memberikan pengenalan
tentang realitas. Dengan kata lain, “suatu pernyataan yang tidak
bertautan dengan pengalaman apa pun juga… tidak mempunyai isi
factual.” Seperti. Dengan ini Ayer bergerak ekstrim, proposisi-
proposisi metafisis tidak bermakna. Ia lebih radikal dari Russell,
karena filsafat Russell masih mengandung unsure-unsur metafisis.
Daftar Pustaka
BAB 6
1. INTRODUKSI
Tahun 1879 Paus Leo XIII mengeluarkan Enciclic Aeterni Patris.
Tentu saja Enciclic ini merupakan impetus yang berdaya untuk
menyemangati gerakan yang sudah ada. Dari satu pihak Enciclic ini
berusaha menekankan nilai tetap Thomisme dan dari pihak lain
berusaha memberi inspirasi kepada para Filsuf Katolik untuk
mengembangkan refleksi mereka sedemikian sehingga bisa bertemu
dengan kebutuhan intelektual modern. Desakan Paus ternyata
mempunyai beberapa akibat: Dari satu pihak, desakan Paus itu
meneguhkan seluruh proses formasi di lingkungan Gereja khususnya
di Seminari-Seminari dan Institusi Akademis lainnya yang
menekankan orthodoksi filsafat. Dengan kata lain, desakan ini
mengakibatkan dukungan terhadap subordinasi filsafat kepada
Theologi yang dianut beberapa pemikir berwawasan sempit yang
mencurigai beberapa pemikir Katolik yang lebih berpikiran bebas dan
luas, misalnya saja Maurice Blondel.
1. “PROBLEM KRITIK”
2. FILSAFAT “ESSENTIALIST”
54
Cf. Antonio Livi, La filosofia e la sua storia, La filosofia contemporanea – Il Novecento,
Vol. III, pp. 622-624.
124
suatu esensi tapi actus lewatnya esensi itu berada (exist). Actus
eksistensi itu dapat ditangkap hanya dalam dan lewat esensi dan
dapat diafirmasi dalam putusan eksistensial yang harus dibedakan
dari putusan deskriptif. Thomisme, dipandang dalam pandangannya
atas realitas yang berada, sesungguhnya merupakan “Existentialisme”
authentik. Paham “Existentialisme” Thomisme lain sekali dari
Eksistentialisme Modern yang menginterpretasi eksistensi secara
dangkal. Thomisme pertama-tama concern dengan realitas sebagai
yang berada dan dengan relasi antara eksistensi yang diterima
(received or participated) dan actus tak terbatas dalamnya esensi dan
eksistensi identik. Salah seorang “Essentialist” adalah Christian Wolff.
Sedangkan Thomas Aquinas adalah exponen terpenting dari Filsafat
Eksistensialisme yang paling autentik.
55
Untuk pokok ini, cf. Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. IX, (New York,
Image Books Doubleday), pp. 262-263.
56
Antonio Livi, Op. Cit., p. 625.
126
mengungkapkan Revelasi dalam term-term Aristoteles.” Gilson
mengatakan bahwa para teologi kristen adalah juga para filsuf besar,
dan filsafat yang berupaya mencari kesesuaiannya dengan iman tidak
pernah berkurang sebagai filsafat karena usaha itu. Kita bisa
memandang kepada Descartes, Lebiniz, Kant, Comte, dan semua filsuf
besar lain, dan harus menegaskan bahwa Thomas Aquinas dan
Johanes Duns Scotus adalah filsuf-filusf dan teolog besar sepanjang
sejarah.57
57
Ibid., pp. 627-629.
127
elemen-elemen rational filsafat Yunani tanpa mencaploknya ke dalam
dogma, dan lebih dari itu, bagaimana telah dilaharikan elemen-elemen
filsafat yang original. Di sini juga penting untuk diteliti lebih lanjut,
entahkah berfilsafat demi mengembangkan pandangan Kristen yang
lebih komprehensif atas dunia itu sesungguhnya filsafat yang asli
atau tidak. Jawaban lebih tepat mungkin diperoleh dengan meneliti
berbagai contoh atau kasus dalam sejarah.58
58
Frederick Copleston, Op. Cit., p. 263.
59
Cf. Antonio Livi, La Filosofia e la sua Storia, La filosofia contemporanea – Il Novecento,
(Italia, Società Editrice Dante Alighieri, 1997), pp. 606-607.
128
diperhatikan secara seimbang. Di sini harus kita perhatikan
kecenderungan pemikiran logis yang cenderung mengobjekkan segala
sesuatu di bawah forma konsep-konsep. Ketika dikatakan bahwa Esse
adalah sesuatu yang berada, kita mendefinisikannya menurut fungsi
“actus essendi,” “actus berada.” Tetapi apakah actus essendi ini,
menurut fungsi suatu barang (apanya? che cosa) dapat diberi definisi?
Paling kurang Esse ini dari satu pihak tidak bisa dimengerti hanya
sebagai satu modalitas, dan dari pihak lain perlu dimasukkan dalam
tataran pengertian, walau intelek kita mengalami kesulitan untuk
mengertinya secara tuntas.
3. JACQUES MARITAIN
130
Jacques Maritain lahir di Paris pada 1882 dan meninggal di
Tolosa, Perancis, pada 1973. Dia berasal dari keluarga dan
lingkungan Protestan. Ia belajar di Universitas Sorbonne dan
diinspirasi oleh banyak aliran pemikiran filsafat dan kultural saat itu,
antara lain Positivisme, Materialisme, Antiklerikalisme. Saat
mengikuti kuliah Henri Bergson di Sorbonne, ia berkenalan dengan
teman kelasnya Raïsa Umanzof, seorang penyair Rusia keturunan
Yahudi yang kemudian menjadi istrinya. Pada 1906 bersama Raïsa
bertobat ke dalam agama Katolik dengan Sakramen pembaptisan.
Dengan ini dia memulai suatu kehidupan iman yang sungguh
mendalam, bahkan yang membuatnya tiba pada pemikiran St.
Thomas Aquinas, di bawah bimbingan Réginald Garrigou-Lagrange.
Tahun 1912 mulai kuliahnya di Institut Catholique di Paris. Ia
bekerjasama dengan sebuah Majalah yang dikelola oleh Action
Française namun kemudian pada 1926 tidak diakui oleh Paus Pius XI
karena pandangan Teologi yang salah. Maritain menyadari kesalahan
Teologis yang membuatnya jatuh dan kembali melawan gerakan ini.
1. GNOSEOLOGI
Menurut Augusto Del Noce ada berbagai interpretasi dan cap
yang diberikan kepada Maritain. Namun harus dikatakan bahwa
maksud asli Maritain ialah untuk menjaminkan - dalam metode
khusus Filsafat Kristen - kondisi-kondisi yang perlu demi
perkembangan otonom dan penuh dalam ratio manusia bersama
dengan kondisi yang perlu untuk “philosopher dans la foi” (berfilsafat
dalam iman) yang otentik. Kritik yang timbul dalam perjumpaan
dengan Descartes dan Bergson dan kemudian Husserl dan Heidegger,
dan setiap penelaahan metafisik kristen yang tergopoh-gopoh dan
132
superficial dari beberapa teolog merupakan ekspresi yang koheren
dari satu proposal intelektual yang tetap aktual hingga sekarang:
“Allah tidak membutuhkan filsafat apapun untuk membuktikan, juga
tidak lewat filsafat khusus untuk sampai kepada jiwa-jiwa.
Manusialah yang dalam berfilsafat dan dalam regim penggunaan
kemampuan rational menjadi sadar atau kurang sadar akan
kehadiran misteri, dan yang membentuk kebiasaan berpikir dan
bersikap dalam berhadapan dengan misteri dan dengan Sabda.
Menyangkal hal ini merupakan tanda dan petunjuk dari fideisme dan
relativisme, berkecimpung antara yang pastoral dan doktrinal, yang
menuntut bahwa harus dibuat “reinterpretasi” iuxta nova principia
atas iman. Intellignesi iman sesungguhnya suatu tugas yang selalu
terbuka, progresif, perhatian yang terus-menerus dan setia; namun di
sini terjadi suatu pertumbuhan dalam suatu proyek yang kokoh
dasarnya, terfokus pada sikap yang terpusat pada kebenaran, dan
bukan pada keinginan untuk menjadi “enfants de son temps”.
60
J. Maritain, Alla ricerca di Dio, (Roma, Ed. Ave, 1968), p. 11.
61
Ibid., pp. 11-12.
135
Bagi Maritain filsafat adalah “pengetahuan sempurna” yakni
pengetahuan manusia dalam tingkatnya yang paling tinggi, sebagai
komprehensi metodis dan sistematis atas realitas pengalaman.
Filsafat digolongkan dalam lingkungan paling tinggi dari skala
pengetahuan ilmiah, yang bertolak selalu dari data-data dan dari
kepastian sensus communis untuk sampai pada suatu pengetahuan
terstruktur, refleksif, metodis, yakni “scientia” menurut aspek filosofis
dan ilmu-ilmu partikular.62 Dalam hubungan dengan scientia, sensus
communis berperan sebagai pendasar yakni menjadi dasar konstitutif
sekaligus pengontrol atas proses scientia itu, yakni suatu unitas
organis dan penyeimbang paling mendasar dari segala kepastiannya.
“Intelligentia-lah yang selalu mengenal secara spontan dengan sensus
communis dan mengenal secara ilmiah dengan cara metodis, dan
tidak pernah terjadi suatu dialektik negatif antara keduanya...” 63
66
Untuk pokok ini baca Per una filosofia della storia, (Brescia, Bari, 1968), p. 120; juga
Christianisme et philosophie, (Paris, Vrin, 1936), pp. 151-152.
139
sehingga terhindar dari kecenderungan menjadikan rahmat tidak
relevan dalam berfilsafat dan pengaminan terhadap naturalisme dan
ultranaturalisme type penuh muslihat (insidioso naturalismo).67
Refleksi filsafat Maritain atas dunia dapat diringkas dalam 3 tema
utama: Filsafat Esse, Filsafat Persona, Filsafat Kebebasan.
67
Antonio Livi, La filsosofia e la sua storia, vol. 4, pp. 616-617. Naturalisme dan
Ultranaturalisme type ini dipelopori oleh Descartes dan Luther.
140
berelevasi? Maritain menjawab bahwa degradasi waktu tidak
meresapi seluruh esse. Intelligensi dan kebebasan mengatasi waktu.
Intelek mentransendir waktu saat ia menangkap objek, ada dan
didasarkan pada kebenaran yang bersifat a temporal (Cf. St.
Augustinus). Kebebasan mengatasi waktu, yaitu mengisi kembali
gerak pemborosan, dengan memanggil kembali realitas baru untuk
bereksistensi.
68
J. Maritain, Théonas, Op. Cit., p. 163.
142
b). Univoc dan secara improprium Evolutif: prinsip-prinsip
terinkarnasi hanya dalam 1 cara dalam sejarah; ada “progress”
hanya jika kita kembali ke situasi ideal, yang terjadi di masa
silam; perkembangan sejarah menjadi autentik hanya bila kita
kembali ke masa silam.
69
Cf. V. Possenti, Una filosofia per la transizione (Metafisica, persona e politica in Jacques
Maritain), (Milano, Ed. Massimo, 1988), p. 123.
70
J. Maritain, Umanesimo integrale, (Torino, Borla, 1962), p. 121.
143
“Filsafat sejarah Maritain memiliki kekhasan karena
kesederhanaannya: tidak berpretensi mengetahui masa depan, tidak
sanggup membaca sejarah di bawah sudut pandang hanya 1 kategori
(progres teknis, progres ilmiah, hubungan produk-produk, dst.) di
bawah suatu interpretasi monisme, tetapi di bawah pluralitas hukum
yang perlu dipertimbangkan bersama-sama baru memberi suatu
kepastian intelligibilitas bagi sejarah.” 71 Maritain juga tidak tawarkan
Filsafat Sejarah yang bertendensi ekonomis (materialisme historis a la
Marx) tetapi selalu konstelasi nilai-nilai, konsep tentang Allah,
manusia dan masyarakat, singkatnya dinamisme causalitas ideal.
4. CORNELIO FABRO
71
Vittorio Possenti, Op. Cit., p. 125; lihat juga AA.VV., Storia e cristianesimo in Jacques
Maritain, (Milano, Ed. Massimo, 1979), p. 127.
72
Cf. J. Maritain, Raison et raisons, (Paris, Ed. Egloff, 1947), p. 184.
73
Cf. Antonio Livi, Op. Cit., p. 621.
144
Cornelio Fabro lahir dekat Udine, Italia Utara tahun 1991 dan
meninggal di Roma tahun 1995. Ia mendedikasikan banyak tahun
hidupnya untuk mengajar filsafat teoretis di Universitas Perugia. Dia
adalah seorang penafsir yang berkompeten antara lain atas
Kierkegaard, Hegel, Jaspers dan Heidegger. Dengan interpretasi yang
tajam dan tak kenal lelah atas Hegel, Jaspers dan Heidegger, Fabro
dapat mengajukan jawaban-jawaban yang tepat dari Metafisika
Thomisme atas pertanyaan-pertanyaan tak terhidnarkan yang telah
diajukan pemikir-pemikir itu, tentu juga disertai kritik atas tesis-tesis
yang tidak dapat diterima. Sambil mengevaluasi secara mendasar
valensi spekulatif immanentisme modern, dia mengadapatasikannya
dalam berbagai bentuk sebagai upaya mendamaikan dogma kristen
dengan berbagai arus pemikiran modern seperti cogito Descartes,
kritisisme Kantian, System Hegelian, Scientisisme Neopositivistik,
Vitalisme Irrationalistik, Aktualisme Gentiliano, Marxisme, Heidegger,
Filsafat Analytik, Filsafat Blondel, Anthroposentrisme Karl Rahner,
dan progressisme Teologis pada umumnya.
74
C. Fabro, San Tommaso davanti al pensiero moderno, dalam AA.VV., Le ragioni del
tomismo, (Milano, Ed. Ares, 1979), p. 89.
146
Fabro menegaskan bahwa konfrontasi yang terjadi bukan pada
ilmu pengetahuan modern dan filsafat klasik tapi antara filsafat klasik
dan filsafat modern, yakni antara 2 prospektif antitesis yang berkaitan
dengan prinsip immanen dan prinsip transenden. Prinsip imanen
otomatis menghantar pada atheisme positif karena “kebenaran ada
pada aktus kebebasan dari ego karena terhalaunya Allah.” Pada titik
kritis ini, pemikiran (=filsafat) kristen dari perspektif pemikiran
teoretis, lewatnya ratio meretas jalan pencaharian dengan bertitik
tolak dari diri/adanya sendiri hingga sampai pada Yang Absolut.
Pentingnya pemahaman atas persoalan ini dapat diringkas sbb:
pemahaman yang mendalam atas metafisika St. Thomas Aquinas
(problem teoretis) sesungguhnya essiil bagi upaya memahami ateisme
modern dan kontemporer (problem historis), demi mengatasi budaya
jaman modern ini yang didominasi oleh kultur ateisme, yang
mencemaskan bahkan membuat banyak orang kristen menderita.
Seperti yang dikatakan Del Noce: “Dunia Yunani dan Medieval
(Kristen, Arab, Ibrani) tidak mengenal filsafat yang sekian antiteistik
seperti halnya Rationalisme (Immanentisme) modern. St. Thomas
Aquinas yang mengalamatkan SCGnya bagi orang Ibrani dan Islam
dan STh. yang berisi antara lain bukti tentang ada-Nya Allah bagi
kepentingan orang-orang beriman, tentu tidak bisa memberikan
jawaban yang memadai atas persoalan-persoalan baru, karena ia
menulis dalam situasi hidup jaman itu.75
76
C. Fabro, Partecipazione e causalitä secondo S. Tommaso d’Aquino, (Torino, Sei, 1960), p.
20.
148
revolusi radikal, suatu fondasi baru dari pemikiran karena
menemukan possibilitasnya yang terakhir. Possibilitas ini ada bagi
pemikiran lewat mediasi causalitas.”77 Menurut Fabro, konsep causa
hilang dalam dunia Yunani. Juga Aristoteles tidak mengetahuinya.
Namun karena dalam jaman klasik itu causa itu menimba hanya
forma-forma (accidental dan substansial) dari ens dan bukan esse
sendiri, tereduksilah ia ke dalam artian fisik dan bukan metafisik.
Dkl. causa berguna untuk menjelaskan perubahan dengan dasar
esse dari realitas, lewatnya problem esse diidentikkan dengan problem
forma atau dengan problem esensi. Dengan itu, esse yang hadir
secara uniter bagi Parmenides dan Heraklitos, menjadi bervariasi
dalam Ide Plato dan Forma Aristoteles. Problem esse sebagai realitas
uniter lantas hilang. Namun walaupun filsafat modern menekankan
kembali prinsip “kreativitas” kesadaran, ia toh tidak dapat
menggantikan esse yang hilang itu. *****
BAB 7
77
Ibid., p. 22.
149
Apa itu Strukturalisme? Strukturalisme adalah paham yang
mengatakan bahwa kenyataan tertinggi dari realitas adalah struktur.
Sedangkan Struktur dimengerti sebagai hubungan mutual dari
konstituen, bagian-bagian atau unsur-unsur pembentuk
keseluruhan, sebagai penyusun sifat khas, atau karakter dan
koeksistensi dalam keseluruhan bagian-bagian yang berbeda. 78
Strukturalisme mengindikasikan heterogenitas filsuf dan sekolah
filsafat yang muncul di Perancis tahun 1960-an. 79 Beberapa tokoh
Strukturalisme antara lain: Ferdinand de Saussure, Noam Chomsky,
Roman Jacobson, Louis Althusser (Marxisme), Claude Lévy Strauss
(Anthropolog), dllsb., sementara tokoh Post-Strukturalisme antara lain
Jacques Lacan (Psychoanalist), Ronald Barthes (Literatur), Michel
Foucault. Tokoh-tokoh ini sangat kuat dipengaruhi oleh Karl Marx
dan Freud, tapi juga Nietzche. Karena priviledgenya atas ilmu-ilmu
kemanusiaan, mereka berupaya mengaplikasikan kategori
interpretative “struktur” dan „post-struktur“ yang digunakan dalam
Literatur pada ilmu-ilmu manusia.
78
Cf. Christopher Norris, Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida, (Yogyakarta,
Penerbit Ar-Ruzz, 2003), p. 9.
79
Selain buku referensi Antonio Livi, La Filosofia e la sua storia. La filosofia contemporanea
– Il Novecento, (Italia, Società Editrice Dante Alighieri, 1997), pp. 905-907 dan pp. 755-765, cf. juga
Alan D. Schrift, “Poststructuralism”, dalam Robert M. Borchert (Ed.), The Encyclopedia of Philosophy.
Supplement, pp. 452-453.
150
semua kharakter Eksistensialisme yang berorientasi Humanistis, yang
membentangkan tangan Marxisme untuk merangkul orang-orang
Kristen. Beberapa filsuf Katolik terpengaruh oleh Marxisme campuran
ini. E. Mounier mencanangkan “Personalisme.” Eksistensi, persona,
humanisme, seluruhnya terserap oleh derita dan memberontak
terhadap ketidakadilan yang ada dalam dunia kapitalistis yang sekian
meluas dan telah membentuk unversum gulag.
80
Claude Lévi-Strauss & Didier Eribon, De Prés et de Loin, (Paris, Editions Odile Jacob,
1988), p. 159; untuk keterangan atas pokok ini cf. Drs. Agus Cremers, Antara Alam dan Mithos,
Memperkenalkan Antropologi Struktural Claude Lévi-Strauss, (Ende, Penerbit Nusa Indah, 1997), pp.
145-147.
156
lewat symbol. Bahasa tidak hanya berhubungan dengan subjektivitas,
tapi juga dengan struktur intersubjektivitas kodrat manusia dan
kebudayaan.
81
Untuk memperjelas soal Nichilisme, cf. Seraphim Rose, Nichilismo, Le radici della
rivoluzione dell’età moderna, (Servitium Interlogos, 1998), khususnya hal. 69-93.
174
kehidupan yang terkait dengan trend „lemah“ ini: „Masyarakat
Lemah“, „Keluarga Lemah“, „Sekolah Lemah“, „Agama Lemah“, „Moral
Lemah“, „Politik Lemah“, „Komunikasi Lemah“.82
„Masyarakat Lemah“
„Keluarga Lemah“
82
Cf. Gianfranco Morra, Il quarto uomo. Postmodernità e crisí della modernità, (Roma,
Armando Editore, 1992); B. Mondin, Una Nuova Cultura per Una Nuova Società, (Milano, Editrice
Massimo, 1982); B. Mondin, Rifare L’Uomo, (Roma, Dino Editore, 1993).
175
dideinstitusionisasi, suatu dedikasi non-marital, sebab dibangun atas
dasar konsensus yang gampang dibatalkan karena dangkal relasinya.
Dengan demikian, pasangan bukan lagi istri/suami tapi hanya
sebatas teman hidup bersama, bukan lagi ikatan perkawinan tapi
sekedar relasi pasangan atau partnership, bukan lagi relasi
kepercayaan dan dedikasi diri tapi sekedar relasi kesenangan. Dalam
„keluarga lemah“ ini segala tradisi dan nilai fundamental perekat
kehidupan keluarga dirongrong secara mendasar: dari kekuatan
produktif-kreatif ke kekuatan reproduktif-rekreatif, dari kekuatan
pembentukan sikap sosial ke asistensial. Yang jadi korban tetap kaum
lemah tak berdaya yaitu anak-anak yang tidak bisa memperoleh
status legal atas hidup dan pengembangan dirinya misalnya dalam
pendidikan akibat kelahiran ilegal, perceraian atau pisah ranjang dan
para jompo karena sanak-keluarga tidak mau merepotkan diri
mengurusi mereka.
„Sekolah Lemah“
„Agama Lemah“
„Moral Lemah“
“Politik Lemah”
„Komunikasi Lemah“
“Konsumsi Lemah”
83
J. F. Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, (Paris, 1979), p. xxv.
187
Fondasionalisme dan Representasionalisme. Menurut
Heidegger, kharakteristik modernisme yang menonjol adalah dunia
menjadi semacam gambar (representasi) sekaligus manusia menjadi
subjek di antara lautan objek. Atau dalam istilah Merleau-Ponty,
manusia menjadi kosmotheoros, alias penonton murni dan pada saat
yang sama dunia menjadi le Grand Objet.