NIM : 210510013
KELAS :IB
MATA KULIAH : MANUSIA DAN KEBUDAYAAN INDONESIA
DOSEN : Dr. YUSTINUS SLAMET ANTONO
BAB 1
Dengan percaya pada Max Weber, bahwa manusia adalah seekor binatang yang
bergantung pada jaringan- jaringan makna yang ditenunnya sendiri, Geertz menganggap
kebudayaan sebagai jaringan- jaringan itu, dan analisisnya lantas tidak merupakan sebuah
ilmu eksperimental untuk mencari hukum, melainkan sebuah ilmu yang bersifat interpretatif
untuk mencari makna.
Dalam antropologi, atau bagaimanapun antropologi sosial, apa yang dikerjakan oleh
praktisi di tengah lapangan adalah etnografi. Untuk mengerjakan etnografi, perlu menetapkan
hubungan, menyeleksi informan- informan, mentranskripsi teks- teks, mengambil silsilah-
silsilah, memetakan sawah, dan seterusnya. Namun, yang mendefinisikannya adalah usaha
intelektual.
Hal yang membawa kita pada akhirnya ke teori adalah bahwa semua itu cenderung
mempertahankan, artikulasi konseptual, dan dengan demikian dapat luput dari penafsiran
sistematis. Ada sejumlah ciri penafsiran kebudayaan yang membuat perkembangan
teoritisnya lebih sulit daripada biasanya. Yang pertama adalah kebutuhan akan teori untuk
berada agak lebih dekat lagi pada dasarnya dari pada cenderung menjadi kasus dalam ilmu-
ilmu pengetahuan yang lebih dapat memberi dirinya melampaui abstraksi imajinatif. Makin
jauh perkembangan teoritis makin dalamlah ketegangan yang diperoleh. Karena itu, teori tak
dapat dipisahkan dari sifat- sifat langsung yang disajikan lukisan mendalam, kebebasannya
untuk membentuk dirinya sendiri dalam istilah- istilah logika internalnya agak terbatas. Dan
dari ini muncullah sebuah kekhasan cara, sebagai soal fakta empiris belaka. Lebih dari pada
mengikuti sebuah kurva, analisis kebudayaan pecah menjadi sebuah rangkaian yang tak
berhubungan namun koheren dari serangan- serangan mendadak yang makin lama makin
berani.
Melihat dimensi- dimensi simbolis dari Tindakan sosial sini agama, ideologi, ilmu
pengetahuan, hukum moralitas, akal sehat, bukanlah berpaling dari dilema- dilema kehidupan
yang bersifat eksistensial ke bidang kelembagaan tertentu dari bentuk- bentuk yang
dikosongkan dari emosi, melainkan turun ke tengah- tengah mereka. Panggilan mendasar
antropologi interpretatif adalah menyediakan bagi kita jawaban- jawaban yang telah
diberikan orang- orang lain, yang menggembalakan domba- domba lain di padang yang lain,
dan lalu mencakup jawaban- jawaban itu di dalam rekaman yang dapat dikonsultasikan
tentang apa yang telah dikatakan orang.
BAB 2
Kemajuan ilmiah biasanya merupakan sebuah komplikasi progresif dari apa yang
sekilas tampaknya merupakan seperangkat pandangan- pandangan yang sederhana dan indah
namun kini tampaknya merupakan seperangkat pandangan yang mau tak mau bersifat
implisit. Setelah terjadi kekecewaan macam ilmiah, sifat dapat dipahami dan kemudian
kekuatan eksplanatoris, sampai meletakkan kemampuan mengganti hal yang tercakup namun
tak dapat dipahami seperti yang diacu Levi-Strauss.
Usaha- usaha untuk menempatkan manusia di tengah- tengah susunan adat- kbiasaan
mempunyai suatu taktik, konsep “stratigrafis” tentang hubungan- hubungan antara faktor-
faktor biologis, psikologis, sosial, dan kultural dalam kehidupan manusia. Dalam konsep ini,
manusia adalah susunan “taraf- taraf’. Ketika orang menganalisis manusia, orang mengupas
lapisan dami lapisan, masing-masing lapisan itu sempurna dan tak dapat direduksikan pada
dirinya, menyingkapkan lapisan lain yang sangat berbeda di sebelah bawahnya. Dengan
mengupas faktor- faktor psikologis, orang mendapatkan pondasi- pondasi biologis yang
bersifat anatomis, psikologis, neurologis, dari seluruh bangunan raksasa kehidupan manusia.
Alasan utama mengapa para antropolog mengelak dari kekhasan kultural bila sampai
pada sebuah persoalan mengenai pendefinisian manusia dan malahan melarikan diri ke unsur-
unsur universal yang tak berdarah adalah bahwa mereka dihadapkan dengan amat banyak
variasi tingkah laku manusia, bahwa mereka dibayang- bayangi sebuah ketakutan akan
historisme, bahwa mereka akan lenyap ke dalam sebuah pusaran relativisme kultural yang
sama menentukannya dengan mencabut mereka sama sekali dari tempat- tempat mereka yang
mapan.
Kita perlu mencari hubungan- hubungan sistematis di antara berbagai fenomena, tidak
untuk identitas- identitas substantif di antara identitas- identitas yang sama. Untuk itu, kita
perlu melakukan konsep “stratigrafis” tentang kaitan- kaitan antara berbagai segi eksistensi
manusia dengan sebuah konsep yang sintetis, di mana faktor- faktor biologis, psikologis, dan
kultural dapat diperlakukan sebagai variable- variable di dalam sistem- sistem analisis yang
terpadu.
Manusia itu begitu membutuhkan sumber- sumber simbolis yang berurat berakar
secara konstitutif dalam tubuhnya memancarkan seberkas sinar yang menyebar. Sumber-
sumber genetis informasi mengatur Tindakan- Tindakan mereka dalam banyak cakupan
variasi yang lebih sempit, semakin sempit dan semakin ketat cakupan itu, semakin rendahlah
hewan itu.
Manusia hidup antara apa yang dikatakan tubuh dan apa yang harus diketahui supaya
berfungsi, ada suatu ruang kosong yang harus diisi sendiri, dan kita mengisinya dengan
informasi yang disediakan oleh kebudayaan kita. Perbatasan antara apa yang dikontrol secara
bawaan dan apa yang dikontrol secara kultural dalam tingkah laku manusia merupakan
perbatasan yang tidak tegas dan samar- samar. Tindakan- Tindakan kita, bahkan emosi-
emosi kita merupakan hasil kebudayaan, yaitu hasil yang diciptakan.
Menjadi manusia adalah menjadi individu, dan kita menjadi individu di bawah
pengarahan pola- pola kebudayaan, sistem- sistem makna yang tercipta secara historis yang
dengannya kita memberi bentuk, susunan, pokok dan arah bagi kehidupan kita. Dan pola-
pola kebudayaan yang tercakup bersifat khusus. Menjadi manusia tidak menjadi setiap orang,
menjadi manusia adalah menjadi orang tertentu, dan tentu orang- orang berbeda- beda. Kita
harus turun ke dalam detail, lewat label- label yang keliru, lewat kesamaan- kesamaan kosong
untuk erat- erat menggapai ciri hakiki dari berbagai macam individu di dalam setiap
kebudayaan.
BAB 3
Dalam sejarah intelektual ilmu- ilmu mengenai tingkah laku, konsep pikiran telah
memainkan sebuah peran ganda yang menarik. Mereka yang telah menganggap
perkembangan ilmu- ilmu itu meliputi perluasan linear dari metode- metode fisika ke dalam
bidang organis telah memakai konsep pikiran itu sebagai kata- kata iblis. Acuan konsep itu
adalah metode- metode dan teori- teori yang tak berhasil mencapai cita- cita yang agak heroik
tentang objektivisme dalam kenyataan, dengan beberapa kekecualian, istilah pikiran belum
berfungsi sebagai sebuah konsep ilmiah sama sekali melainkan sebagai sebuah peralatan
retoris, bahkan Ketika pemakaiannya dilarang.
Sebuah pandangan yang luar biasa bermanfaat dan pandangan yang tidak ada
tandingan baginya, yang barang kali menyelamatkan “psyche” arkhaisme ini, beralih menjadi
sebuah selogan. Salah satu metode yang sering diusulkan untuk merehabilitasi pikiran
sebagai sebuah konsep ilmiah yang berguna adalah mengubahnya menjadi sebuah kata kerja,
pikiran adalah berpikir. Pikiran adalah reaksi suatu organisme sebagai suatu keseluruhan unit
yang koheren membebaskan kita dari perbudakan kata- kata suatu metafisika yang steril dan
melumpuhkan, serta membebaskan kita menabur dan memetik di dalam sebuah ladang yang
akan menghasilkan buah.
Dari sudut pandang ilmiah, menyamakan pikiran dengan tingkah laku, “reaksi
organisme sebagai suatu keseluruhan,” adalah membuatnya sama dan sia- sia seperti
menyamakannya dengan suatu entitas. Pandangan bahwa adalah lebih dapat dipertahankan
mengubah sebuah kenyataan lain daripada mengubahnya menjadi suatu kenyataan lain
tidaklah betul.
Kita perlu dapat menyangkal hubungan penting apa pun di masa kini, maupun
meneguhkan hubungan macam itu di masa lalu. Cara yang digunakan adalah, pilihlah salah
satu sekala waktu yang dikelas- kelaskan secara lebih rapi dalam arti membedakan tahap-
tahap perubahan evolusioner yang telah menghasilkan Homo Sapiens keluar dari suatu
protohomionid zaman Eosin.
Sistem syaraf manusia tidak hanya memungkinkan mempelajari kebudayaan. Hal itu
secara positif menandaskan bahwa manusia melakukan itu jika akan berfungsi sepenuhnya,
kebudayaan kiranya menjadi bahan dasar bagi kemampuan- kemampuan itu sendiri. Seorang
manusia yang tidak berbudaya barang kali tidak akan menjadi seekor kera yang secara
intriksik berbakat meskipun tak pernah puas, melainkan menjadi barang aneh yang sama
sekali tak berpikir, dan akibatnya tak dapat bekerja.
Dalam kenyataan sejauh manusia dipelajari, salah satu dari ciri- ciri yang paling
mencolok dari sistem syaraf pusatnya adalah ketidaklengkapan relatifnya. Dengan
ketidaklengkapan itu ia bertindak dalam batas- batas parameter- parameter otogen saja.
Sebuah definisi sepenuhnya terspesifikasi, dan secara cukup memadai dari proses- proses
syaraf yang mengatur menurut parameter- parameter intrinsik yang mustahil, otak manusia
sama sekali tergantung pada sumber- sumber itu akibatnya, tidak menambahkan pada
kegiatan mental, melainkan merupakan unsur- unsur pokok dari kegiatan itu.
Intelek manusia tergantung pada manipulasi atas macam- macam sumber kultural
tertentu untuk menghasilkan rangsangan- rangsangan lingkungan yang dibutuhkan oleh
organisme. Ini adalah sebuah pencarian informasi. Dan pencarian informasi ini adalah
pencarian yang lebih mendesak karena taraf keumuman yang tinggi dari informasi yang
secara intrinsik tersedia bagi organisme dari sumber- sumber genetis. Semakin rendah
binatang, binatang itu semaikin kurang butuh menemukan detail dari lingkungan itu yang
mendahului penampilan tingkah lakunya.
Kurangnya kekhususan afeksi intrinsik dalam diri manusia, pencapaian sebuah arus
perangsangan optimal pada sistem sarafnya jauh lebih rumit daripada kontrol yang bijaksana
di antara ekstrem. Pencapaian itu terlebih merupakan pengaturan kualitatif yang sangat halus
dari apa yang melalui peralatan sensoris. Pencapaian itu lebih merupakan soal pencarian aktif
rangsangan- rangsangan yang diperlukan daripada suatu sikap menunggu rangsangan-
rangsangan itu dengan siaga penuh.
Pikiran manusia terutama adalah sebuah Tindakan yang dinyatakan dan diarahkan
menurut bahan- bahan objektif dari kebudayaan Bersama, dan baru setelahnya, pikiran
merupakan soal privat. Dalam arti baik penalaran direktif maupun perumusan sentimen, dan
juga untegrasi semua ini ke dalam motif- motif, proses- proses mental manusia terjadi di
mana saja. Para penganut isolasionisme mengklaim isi kebudayaan, organisasi sosial, tingkah
laku individu, atau fisiologi syaraf sebagai sistem tertutup, meskipun sebaliknya, ada
kemajuan dalam analisis ilmiah tentang pikiran manusia yang sebenarnya memerlukan kerja
sama dari ilmu- ilmu tingkah laku.
BAB 4
Dalam kasus Claude Levi-Strauss, ia Menyusun unsur- unsur spiritual dari pemaparan
yang luar biasa sulitnya, di lain pihak, tidak seorang antropolog pun yang lebih
mempertahankan fakta bahwa peraktek profesinya merupakan suatu penyelidikan pribadi,
yang didorong oleh sebuah visi pribadi, dan diarahkan menuju suatu keselamatan pribadi. Di
lain pihak, tak seorang antropolog pun yang telah membuat klaim- klaim yang lebih besar
untuk etnologi sebagai sebuah ilmu positif.
Antropologi berwajah ganda yaitu: sebagai sebuah jalan untuk berpijak ke dunia dan
sebagai metode untuk menyingkapakan hubungan- hubungan tetap antara fakta- fakta impiris.
Dalam karya Levi-Strauss, kedua wajah antropologi itu saling mempengaruhi, sehingga
memaksa sebuah konfrontasi langsung di antara keduanya lebih dari pada saling
menyingkirkan, sehingga mencegah konfrontasi semacam itu dan tekanan- tekanan batin
yang terjadi bersamaan dengannya.
Dalam totemisme, suatu kesejajaran logis dialihkan antara dua seri, satu alamiah dan
satu kultural. Dengan memperhatikan pengertian demi pengertian, kepercayaan totemis
bersifat arbiter begitu saja. Akan tetapi, dilihat sebagai sebuah susunan yang teratur,
kepercayaan totemis menjadi koheren karena kepercayaan itu lantas dapat menggambarkan
secara simbolis seperangkat susunan susunan lain yang serupa.
Studi linguistis mendefinisikan unit- unit oposisi- oposisi berpasangan, yakni:
perbedaan dialektis antara plus dan minus yang telah disumbangkan teknologi komputer
untuk ilmu pengetahuan modern, membentuk basis pikiran biadab sebagaimana dilakukannya
untuk Bahasa, dan inilah yang membuatnya menjadi sistem komunikasi- komunikasi.
Suatu prestasi yang baik dari Levi-Strauss adalah dengan diubahnya Hasrat romantik
dari Tristes Tropiques menjadi intelektualisme hypermodern. Ilmu pengetahuan tinggi La
Pensee dan penelitian Herois Tristes Tropiques, pada dasarnya, adalah “transformasi-
transformasi yang sangat sederhana”. Keduanya adalah ekspresi- ekspresi yang berbeda dari
struktur mendalam yang sama yang mendasarinya, yaitu rasionalisme universal Pencerahan
Prancis.
Tristos Tropiques merupakan sebuah kombinasi otobiografi, kisah petualang, traktat
filosofis, laporan etnografis, sejarah kolonial, dan mitos profetis. Buku ini mengisahkan jalan
ke dalam dunia yang lain yang lebih kelam, suatu dunia magis yang penuh dengan ujian-
ujian dan pewahyuan- pewahyuan dengan sebuah pengetahuan yang diperdalam tentang
kenyataan dan kewajiban untuk mengkomunikasikan apa yang telah dipelajarinya kepada
mereka yang kurang berani, telah tertinggal di belakang.
La Pensee Sauvage berkenaan dengan Caduveo dan talo- talo sosiologinya, yaitu
bahwa keseluruhan dari adat- adat suatu bangsa senantiasa membentuk keseluruhan yang
teratur, sebuah sistem. Jumlah dari sistem- sistem ini terbatas.