A. Pendahuluan
Teori ini sebenarnya lebih terkenal sebagai teori Antropologi, tetapi dalam
perkembangannya juga dimasukkan dalam teori Sosiologi. Strukturalisme
memberikan perspektif baru dalam memandang fenomena budaya. Hal-hal yang
tadinya dianggap sederhana dan tidak penting, justru memiliki peran yang sangat
penting dalam menemukan dan memahami gejala sosial budaya, misalnya adalah
bagaimana kita mungkin bisa memahami suatu fenomena sosial dengan
menggunakan analisis sebagaimana para ahli Linguistik memahami bahasa.
Bahasa memiliki tempat yang istimewa dalam ilmu sosial. Sebagai alat
berkomunikasi, bahasa merupakan unsur yang sangat penting dalam kebudayaan
manusia. Oleh karena itu wajar jika untuk mengungkap persoalan budaya dapat
dilakukan melalui atau mencontoh metode bahasa (ilmu bahasa). Marcel Mauss
(dalam Allen Lane, 1968) menuliskan bahwa:
1
“Sociology would certainly have progressed much further if it had
everywhere followed the lead of the linguists……”.
Maksudya Sosiologi akan semakin berkembang jika diinspirasi oleh para
ahli bahasa dalam memahami gejala sosial. Salah satu ilmuwan sosial yang
menggunakan cara bagaimana memahami bahasa dalam menjelaskan fenomena
sosial adalah Levi-Strauss.
2
Lahirnya teori strukturalisme dalam bidang Antropologi/Sosiologi telah
melahirkan berbagai perspektif dalam memandang fenomena budaya. Dengan
teori ini, persoalan-persoalan tanda (simbol dalam bahasa) semakin mudah
dipahami. Hal ini dikarenakan setiap persoalan bisa diidentifikasi melalui struktur
dari persoalan tersebut. Karena dalam konsep ini segala sesuatu yang berbentuk
diyakini memiliki struktur. Susunan unsur-unsur dapat dianalisis sehingga dapat
diketahui asal-usul konsep itu dan juga gejalanya. Dengan demikian penjelasanya
akan semakin mudah.
3
Meskipun banyak pertentangan antara eksistensialisme dan strukturalisme
tapi ada juga yang saling melengkapi. Dalam pandangan strukturalis manusia
terjebak dalam suatu struktur budaya yang dijalinnya sendiri. Ketika manusia lahir
ia sudah ada dalam suatu struktur, ia memiliki peran, meskipun kemudian ia
mampu memilih atau membuat sendiri sebuah struktur, tapi ia kembali akan
terjebak di dalamnya. Pandangan ini mirip dengan faktisitasnya Heidegger
dimana manusia terlempar ke dunia tanpa bisa dirundingkan lebih dulu.
Perbedaannya faktisitas mengandaikan adanya kebebasan yang menegaskan
eksistensialitas manusia. Sedangkan keterjebakkan manusia dalam jaring-jaring
struktur mengandaikan hilangnya unsur subyek dan obyek, semua hanyalah
bagian dari tenunan struktur.
4
Bagi Heidegger, Ada itu sendiri tampak sebagai tidak tersembunyi (aletheia). Ini
didapat dari Husserl, seorang fenomenolog, yang mengatakan bahwa obyek
kesadaran adalah fenomen dalam arti: ”apa yang menampakkan diri”. Ada sendiri
menampakkan diri dan terbuka.
5
strukturalisme ini tidak mengadakan garis pemisah dan penggusuran yang fatal,
tetapi justru menekankan sifat saling terkait dan mencakup segala sesuatu.
Hal ini jelas terdapat persamaan dengan pemikiran Heidegger yang juga
mengkritik metafisika Barat yang memisahkan subyek (manusia) dan obyek
(alam). Penguasaan subyek atas obyek ini dibenahi dengan istilah
menggembalakan ada, artinya tidak menguasai keadaan. Persamaan lain adalah
keduanya sama-sama menentang bentuk teknik (kemajuan teknologi di Barat)
yang jika tidak diwaspadai akan menjadi subyek baru dan menindas keberadaan
manusia. Levi-Strauss menyatakannya dengan keprihatinan terhadap nasib
masyarakat primitif yang dilenyapkan oleh kekuasaan kolonial Barat demi
keuntungan ekonomis (penjajahan yang menggunakan penemuan-penemuan
alat /teknik modern).
6
tersebut, ia tetap menekankan sosok manusia yang autentik. Meski tidak mungkin
juga manusia menghindari sepenuhnya arus massa tapi dengan bantuan kesadaran
dengan hati nurani manusia yang tidak mudah hanyut.
7
yang dapat diterapkan hampir ke semua tanda bahasa. Semiotika sendiri secara
etimologi berasal dari bahasa Yunani yaitu semieon, yang artinya adalah ”tanda”.
Berdasarkan pendapatnya mengenai oposisi biner, Saussure mengembangkan
semiotika ke dalam beberapa aturan pokok yang mengatur sistem tanda bahasa,
sehingga dari sinilah kemudian lahir strukturalisme. Pertama, dalam pendapat
Saussure, sebuah tanda khususnya tanda kebahasaan, merupakan entitas
psikologis yang bersisi dua atau berdwimuka, terdiri dari unsur ”penanda”
(signifier) dan ”petanda” (signified). Kedua, elemen tanda-tanda itu menyatu dan
saling tergantung satu sama lain. Kombinasi dari keduanya inilah yang kemudian
menghasilkan ”tanda” (sign). Penanda adalah aspek fisik dari tanda bahasa,
sedangkan petanda adalah aspek
mental dari tanda bahasa. Relasi antara penanda dengan petanda terjadi begitu
saja dan arbitrer. Karena itu kita perlu mengetahui kode-kode yang menyatakan
kepada kata apa yang dimaknakan oleh tanda-tanda. Kode (code) adalah satu
sistem dari konvensi-konvensi yang memungkinkan kepada seseorang untuk
mendeteksi arti dalam tanda-tanda karena hubungan (Berger, 2000 : 219 ). Kedua
adalah langue dan parole. Langue dimaksudkan sebagai penggunaan tanda bahasa
secara umum atau oleh publik yang menyepakatinya, sedangkan parole adalah
pemakaian tanda bahasa di tangan individu. Inilah yang membedakan kajian
strukturalisme yang dikembangkan oleh Saussure dengan pendekatan linguistik
yang lain, di mana pendekatan linguistik yang lain hanya berhenti pada tataran
langue (Bertens, 2001 : 182).
Agar lebih jelas, kita dapat mengikuti contoh yang dikemukakan oleh
Saussure berikut ini. Dalam permainan catur, para pemain harus mengikuti
struktur aturan yang telah ada dan tidak mungkin permainan ini dimainkan jika
para pemainnya keluar dari aturan permainan. Sebagai ilustrasi adalah bidak kuda
dalam permainan catur memiliki gerak berbentuk huruf “L”. Ini dapat dianggap
sebagai parole dari sebuah sistem struktur. Individu yang bermain catur bebas
untuk menggerakkan kuda dalam bentuk huruf “L” baik ke kiri, ke kanan, ke
8
depan atau ke belakang. Yang penting masih dalam bentuk huruf “L”. Ini dapat
dianggap sebagai parole. Satu hal yang harus diingat kebebasan menggerakkan
kuda ini terstruktur dalam huruf “L” dan tidak boleh keluar dari aturan ini, karena
jika bergerak selain gerak “L”, maka hancurlah struktur permainan catur itu.
B.
C.
Lahir dari orang tua berkebangsaan Prancis dengan darah Yahudi, Levi-
Strauss diberi gelar doktor dari sejumlah institusi pendidikan terkemuka, seperti
universitas Harvard, Yale, dan Oxford di Amerika. Selain itu juga dari universitas
di Swedia, Kanada dan Meksiko. Sejak lama dia juga menjadi anggota Academie
Francaise, badan pembelajaran terkemuka mengenai hal-hal yang bersingungan
dengan Bahasa Prancis. Selain itu, yang juga sangat menentukan dalam
pandangan-pandangan Levi-Strauss adalah hubungannya dengan para pakar
berbagai bidang di Brasilia, Perancis maupun saat ia berada di New York.
Pertemuannya dengan para pakar dari berbagai bidang ilmu itu telah melahirkan
berbagai konsep yang sangat penting dalam membentuk teori budaya yang sangat
9
unik itu. Dikatakan sangat unik karena memang belum terpikirkan oleh para pakar
di bidang Antropolgi periode sebelumnya.
10
Prancis. Ia bahkan telah menghasilkan suatu karya yang sangat penting di bidang
Antropologi yang sesungguhnya sangat jauh dari studi formal yang dimilikinya.
11
Selama hidupnya Levi-Strauss pernah menduduki jabatan-jabatan strategis
terutama di bidang pendidikan. Pada tahun 1935 sampai 1939 ia diangkat sebagai
seorang Professor di Universitas Sao Paolo yang kemudian melakukan beberapa
ekspedisi ke Brazil. Pada tahun 1942 sampai 1945 ia diangkat sebagai professor di
New School for Social Research. Pada tahun 1959 ia menjadi direktur The Ecole
Practique des Hautes Etude, yang bersamaan pula dengan kedudukannya sebagai
pimpinan Social Antropology pada College de France.
12
definisi budaya dari yg fisik menuju pengertian bahwa budaya sebagai sistem
pengetahuan. Aliran Antropologi Simbolik- Interpretatif yg dipelopori oleh
Clifford Geertz melihat sistem simbol sebagai media pemahaman manusia atas
sistem nilai dan sistem koginitifnya. Levi-Strauss disebut sebagai bapak
Antropologi modern berkat karya-karyanya. Beberapa di antaranya adalah teori
tentang persamaan komponen antara masyarakat industri dan sukuterasing. Karya-
karya pemikir abad 20 ini, dalam rentang enam dekade, antara lain "Tristes
Tropiques" (1955), "The Savage Mind" (1963), dan "The Raw and the Cooked"
(1964).
Sebagaimana diketahui bahwa cakupan ilmu sosial itu sangat luas. Hal ini
disebabkan banyaknya persoalan yang timbul dalam aktivitas manusia baik secara
individu maupun dalam kaitannya dengan masyarakat. Oleh karena begitu
kompleknya persolan itu, sangat tidak mungkin bisa memahami fenomena sosial
tanpa mengaitkan dengan fenomena-fenomena lain. Inilah yang menjadikan salah
satu alasan kenapa dalam ilmu sosial kita harus meniru metode ilmu-ilmu di luar
ilmu sosial; seperti ilmu eksakta dan pengetahuan alam (exact and natural
Sciences). Dari rangkaian persoalan manusia itu terdapat beberapa kesamaan yang
13
bisa dijadikan model dalam sebuah penelitian. Allen Lane (1968;8) menyatakan
sebagai berikut:
”On the other hand, studies in social structure have to do with the formal
aspects of social phenomena; they are therefore difficult to define, and still
more difficult to discuss, without overlapping other fields pertaining to the
exact and natural sciences, where problems are similarly set in formal
terms or, rather, where the formal expression of different problems admits
of the same kind of treatment”.
14
Strukturalisme Levi-Strauss juga bertolak dari konsep oposisi biner
(binary opposition). Konsep ini dianggap sama dengan organisasi pemikiran
manusia dan juga kebudayaannya. Seperti kata-kata hitam dan putih. Hitam sering
dikaitkan dengan kegelapan, keburukan, kejahatan, sedangkan putih dihubungkan
dengan kesucian, kebersihan, ketulusan dan lain-lain. Contoh lain adalah kata
rasional dan emosional. Rasional dianggap lebih istimewa dan diasosiasikan
dengan laki-laki. Sementara emosional dianggap inferior yang diasosiasikan
dengan perempuan.
15
2. Seluruh model termasuk dalam sebuah kelompok transformasi, di mana
masing-masing berhubungan dengan sebuah model dari keluarga yang
sama, sehingga seluruh transformasi ini membentuk sekelompok model.
3. Sifat-sifat yang telah ditunjukan sebelumnya tadi memungkinkan kita
untuk memperkirakan dengan cara apa model akan beraksi menyangkut
modifikasi salah satu dari sekian elemennya.
4. Model itu harus dibangun dengan cara sedemikian rupa sehingga
kegunaannya bisa bertanggung jawab atas semua kejadian yang
diobservasi.
16
Ahimsa (2006: 24-25) menyebutkan bahwa ada beberapa pemahaman
mengenai keterkaitan bahasa dan budaya menurut Levi-Strauss. Pertama, bahasa
yang digunakan oleh suatu masyarakat merupakan refleksi dari keseluruhan
kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Kedua, menyadari bahwa bahasa
merupakan salah satu unsur dari kebudayaan. Karena bahasa merupakan unsur
dari kebudayaan, maka bahasa adalah bagian dari kebudayaan itu sendiri. Hal ini
dapat kita lihat juga pendapat para pakar kebudayaan yang selalu menyertakan
bahasa sebagai unsur budaya yang sangat penting dalam kehidupan manusia.
Untuk itu jika kita membahas mengenai kebudayaan, kita tidak pernah bisa lepas
dari pembahasan bahasa (lihat, Koentjaraningrat, 1987). Ketiga, menyatakan
bahwa bahasa merupakan kondisi bagi kebudayaan. Dengan kata lain melalui
bahasa manusia mengetahui kebudayaan suatu masyarakat yang sering disebut
dengan kebudayaan dalam arti diakronis. Dengan bahasa manusia menjadi
makhluk sosial yang berbudaya. Berikutnya, bahasa merupakan kondisi bagi
kebudayaan karena material yang digunakan untuk membangun bahasa pada
dasarnya memiliki kesamaan jenis atau tipe dengan apa yang ada pada
kebudayaan itu sendiri. Hubungan atau korelasi bahasa dan budaya terjadi pada
tingkat struktur (mathematical models) dan bukan pada statistical models
(Ahimsa, 2006). Model-model matematis pada bahasa dapat berbeda pada
tingkatan dengan model matematis yang ada pada kebudayaan. Seperti yang
disebutkan oleh Levi-Strauss (1963), korelasi sistem kekerabatan orang-orang
Indian di Amerika Utara dengan mitos-mitos mereka, dan dalam cara orang Indian
mengekspresikan konsep waktu mereka. Korelasi semacam ini sangat mungkin
terdapat pada kebudayaan lain.
17
Strauss, 1972, dalam Fokkema, 1978).Tetapi hal itu agak berbeda dengan apa
yang ada dalam Antropologi. Antropologi/Sosiologi bukan bergerak dari hal-hal
yang kongkret, analisis Antropolgi justru maju ke arah yang berlawanan,
manjauhi yang kongkret, sistemnya lebih rumit daripada data observasi dan
akhirnya hipotesisnya tidak menawarkan penjelasan bagi fenomena maupun asal-
usul sistem itu sendiri. Antropologi/Sosiologi berurusan dengan sistem
kekerabatan pada titik persilangan dua tatanan realitas yang berbeda, sistem
“terminologi” dan sistem “sikap”. Fonologi bisa diterangkan secara ekskulsif
dalam sistem persitilahan; ia tidak perlu memperhitungkan segala “sikap” sumber
sosial atau sumber psikologis, tetapi bagaimana manusia mengucapkan vokal.
Asumsi dasar nalar manusia (human mind) adalah sistem relasi (system of
relation). Kebudayaan dan bahasa berposisi sejajar karena keduanya merupakan
hasil dari nalar manusia. Antropolog Levi-Strauss bertujuan menemukan model
bahasa dan budaya melalui strukturnya. Pemahaman terhadap pikiran dan perilaku
kehidupan manusia, serta relasi manusia dengan tradisi sangat penting.
Kebudayaan adalah produk atau hasil aktifitas nalar manusia yang memiliki
kesejajaran dengan bahasa dan tradisi. Tradisi adalah sebuah jalan bagi
masyarakat untuk memformulasikan dan memperlakukan fakta-fakta dasar dari
eksistensi kehidupan manusia. Tradisi adalah tatanan transendental sebagai
pengabsah tindakan dan juga sesuatu yg imanen dalam situasi aktual dan
bersesuaian dengan konteks bersifat dinamis (J.C. Hastermann). sebagai contoh:
Konsensus manusia tentang persoalan kehidupan dan kematian merupakan suatu
tradisi yang penuh dengan simbul dan tradisi, oleh karena itu selalu dengan
upacara yang berbeda menurut pemahaman suatu suku atau pemeluk agama
tertentu. Di Bali, misalnya ketika persiapan menguburkan mayat, selalu daiadakan
pesta dan upacara kematiannya penuh dengan kegembiraan, apalagi ketika
upacara pembakaran mayat, sedangkan upacara kemaian pada pemeluk Islam,
dipenuhi dengan kesedian dan bahkan dilarang sama sekali memasak makanan
pada komunitas Islam tertentu.
18
Dalam hal ini pengaruh pemikiran tokoh-tokoh terhadap strukturalisme
Levi-Strauss cukup besar. Levi-Strauss Strauss belajar metode komparasi tentang
geologi masyarakat (Marx) untuk menemukan geologi psikis (Freud) dan
bagaimana pola umum objek dalam menjelaskan gejala yang tersembunyi.
Kajiannya berupa relasi antara keilmuan yang inderawi dan yang linguistik
rasional yang dilakukan oleh Fredinand de Saussure (1857-1913), ahli bahasa
Swiss yang membangun Strukturalisme dari sudut ilmu bahasa struktural yg
akhirnya menjadi teori Strukturalisme itu. Bahasa adalah sistem tanda (sign).
Suara dapat dikatakan sebagai bahasa jika dapat mengekspresikan, menyatakan
atau menyampaikan ide atau pengertian tertentu. Elemen dasarnya adalah kata-
kata. Jadi ide tidak ada sebelum adanya kata-kata. Suara yang muncul dari sebuah
kata adalah ”penanda” (signifier), konsep suara tersebut adalah ”tinanda”
(signified). Contoh: Jaran, kuda, horse adalah ”penanda”. Sedangkan ”binatang
berkaki 4 (empat) & berlari kencang adalah ”tinanda”. Hubungan antara penanda
& tinanda disebut ”arbiter”. Tinanda dari sebuah penanda dapat berupa apa saja,
tergantung dari relasinya. Menurut Fredinand de Saussure konsep bentuk (form)
dan isi (content) penanda dan tinanda selalu memiliki bentuk dan isi. Isi bisa
berubah, namun bentuknya tidak. Untuk dapat mengetahui kekhasan bentuk
(distinctive form) ialah dengan mengenali perbedaan satu kata dengan kata yang
lain (differensiasi sistematis). Sebagai contoh: babu, tabu, sabu, jelas sekali
walaupun fonemnya hampir sama, tetapi artinya sangat berbeda, karena perbedaan
sistimatis tersebut. Saussure juga membedakan antara konsep “langue” &
“parole”. Langue adalah sistem tata bahasa formal; sistem elemen phonic yg
hubungannya ditentukan oleh hukum yg tetap. Sedangkan parole adalah
percakapan sebenarnya, yaitu cara pembicara mengungkapkan bahasa untuk
dirinya sendiri dalam rangka berkomunikasi dengan orang lain. Adanya langue
menyebabkan adanya parole.
19
bahasa tubuh, naskah sastra, ekspresi, dan bentuk komunikasi. Tokoh Semiotics
adalah Roland Barthes dan Fredinand de Saussure yang melakukan studi sinkronis
(fakta bahasa sebagai sistem) bukan diakronik (historis bahasa & perubahan
evolutifnya), serta berusaha untuk membedakan sintagmatis dan paradigmatis.
Sintagmatis adalah hubungan yg dimiliki sebuah kata dengan kata sebelumnya.
Contoh: kata menggigit akan berhubungan dg anjing, kedinginan, kegeraman, dan
lain sebagainya. Sedangkan paradigmatis atau asosiatif adalah relasi antara suku
kata dengan kata lain diluar hubungan sintagmatis. Sebagai contoh: kata
menggigit juga ada relasinya dengan mencaplok, mengerogoti, memakan, dan lain
sebagainya.
20
karena dia bukan lembah dan begitulah seterusnya, seperti: . publik <--> privat,
daratan <--> lautan, positip <--> negatip.
Sistem oposisi biner tidaklah lahir secara natural. Dia adalah berbentuk
produk atau reproduksi budaya. Dia lahir karena manusia punya sistem penandaan
dalam otaknya (genital-communication), dan sistem penandaan ini digunakan
untuk menstrukturkan persepsi serta pemahaman manusia pada dunia di luar
mereka, baik terhadap alam natural atau pun dunia sosial melalui penggolongan-
penggolongan. Sistem oposisi biner ini oleh manusia tidak saja digunakan untuk
mengkategorikan sesuatu yang hanya ada di dunia alamiah, tetapi dia juga
digunakan untuk untuk memahami/menjelaskan kategori-kategori makna yang
abstrak. Contoh sederhana adalah oposisi biner alamiah seperti batu <--> air
diparalelkan dengan keras <-> lunak, diabstrakkan jadi pemerintah yang kejam <-
> pemerintah yang ramah. Oposisi biner ini juga dapat menjelaskan dan
digunakan untuk menganalisa perkara GAM/OPM lawan NKRI, separatis lawan
NKRI, militer-sipil, Islam moderat dan Islam radikal serta hubungan struktural
antara keduanya yang timpang dan bagaimana memperbaikinya. Kalau melihat
struktur oposisi biner ini dapat disimpulkan bahwa suatu struktur (baik abstrak
atau konkrit) selalu ada, karena adanya sistem oposisi biner yang mendukung
struktur tersebut. Kalau Indonesia disebut sebagai struktur yang terbentuk dari
bermacam-macam oposisi biner, maka penghilangan salah satu bagian dari oposisi
biner pasti akan meruntuhkan struktur Indonesia itu. Terjadinya berbagai masalah
di Indonesia mungkin disebabkan hilangnya salah satu bagian struktur oposisi
biner tersebut. Inilah pentingnya pengetrapan teori Strukturalisme pada fenomena
aktual sekarang ini.
22
sistem oposisi biner. Ia mengotori kejernihan batas-batas oposisi biner. Antara
anak-anak dan orang dewasa, ada posisi remaja. Antara daratan dan lautan, ada
pantai. Antara orang hidup dan orang mati ada sesuatu yang disebut vampir,
hantu, zombi. Antara laki-laki dan perempuan ada gay/lesbian/banci. Pantai,
remaja, vampir/hantu/zombi, atau gay/lesbian/banci adalah 'kategori anomali'.
Kata tidak lagi dapat dianggap sebagai satuan linguistik paling dasar
karena yang terkecil adalah fonem (satuan) bunyi yang terkecil dan berbeda,
sebagai contoh: kutuk dan kuthuk (Jawa). Perbedaan “t” dan “th” inilah yang
disebut fonem (Nikolai Troubetzkoi). Fonem adalah konsep linguistik bukan
konsep psikologis. Struktur terbagi dua, yaitu: Struktur permukaan/luar (surface
structure): adalah relasi-relasi antar unsur yg dapat dibuat atau dibangun
berdasarkan ciri-ciri empiris dari relasi tersebut. Sedangkan struktur batin/dalam
(deep structure): adalah susunan tertentu yg dibangun atas struktur lahir yg telah
berhasil dibuat. Transformasi adalah perubahan bahasa pada struktur luar, tapi
pada struktur dalam tetap sama.
Pemahaman kita akan adanya struktur dalam setiap benda atau aktivitas
manusia memudahkan identivikasi benda atau aktivitas tersebut. Hal yang perlu
diperhatikan dalam Strukturalisme adalah adanya perubahan pada struktur
tersebut. Perubahan yang terjadi dalam suatu struktur disebut dengan transformasi
(transformation). Transformasi harus dibedakan dari kata perubahan yang berarti
change. Karena dalam proses transformasi tidak sepenuhnya berubah. Hanya
bagian-bagian tertentu saja dari suatu struktur yang mengalami perubahan
sedangkan elemen-elemen yang lama masih ada.
23
terhadap pandangan Levi-Strauss adalah; Ferdinan de Saussure, Roman Jakobson
dan Nikolay Trobetzkoy. Dari ketiga pemikir linguistik ini, Levi-Strauss memiliki
keyakinan bahwa studi sosial bisa dilakukan dengan model linguistik yaitu yang
bersifat struktural. (Levi-Strauss, 1978 dalam Ahimsa 2006).
Berikut ini adalah para pakar bahasa yang mempengaruhi Levi Strauss
dalam proses pengembangan teori Struktulaisme.
a. Ferdinand de Saussure
Bagi Saussure ide-ide tidak ada sebelum kata-kata, dan menurut dia
secara psikologis pikiran kita terlepas dari perwudjudannya dalam
kata-kata sebenarnya hanyalah “Shapeless and indistinct mass”,
24
sesuatu yang tak berbentuk dan tak mengenal perbedaan-perbedaan
atau tak bisa dibeda-bedakan.
Tanda adalah juga kesatuan dari suatu bentuk penanda yang disebut
signifier, dengan sebuah ide atau tinanda yang disebut signified,
walaupun penanda dan tinanda tampak sebagai entitas yang terpisah-
pisah namun keduanya hanya ada sebagai komponen dari tanda.
Tandalah yang merupakan fakta dasar dari bahasa (Culler; 1976, 19
dalam Ahimsya, 2006 h. 35).
Wadah atau form adalah sesuatu yang tidak berubah. Dalam konsep
ini, isi boleh saja berganti tetapi makna dari wadah masih tetap
berfungsi. Untuk menjelaskan konsep ini memang agak sulit. Kiasan
yang sering digunakan untuk menggambarkan kedudukan wadah
(form) dan isi adalah pergantian salah satu fungsi dari komponen
permainan catur. Meskipun komponen “kuda” hilang seumpamanya.
Fungsi “kuda” ini masih bisa digantukan dengan benda lain yang mirip
atau tidak sama sekali dengan bentuk asli “kuda” yang digantikan.
Suatu benda yang ditempatkan pada posisi “kuda”, akan tetap
memiliki fungsi dan kedudukan yang sama dengan “kuda” yang hilang
itu. Jadi benda apapun selama kita tempatkan dam posisi “kuda”,
meskipun dengan bentuk yang lain dari kuda itu tetap bisa
menggantikan fungsi kuda yang digantikan tersebut.
25
Pembahasan de Saussure bukan hanya fokus pada aspek bahasa semata
tetapi juga aspek sosial dari bahasa. Komsep langue merupakan aspek
yang memungkinan manusia berkomunikasi dengan sesama. Inilah
kenapa langue membicarakan juga aspek sosial dalam linguistik.
Dalam langue terdapat norma-norma, aturan-aturan antarperson yang
tidak disadari tetapi ada pada setiap pemakai bahasa.
26
5. Sintagmatik dan Paradigmatik.
b. Roman Jakobson
28
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa fonem terbentuk
karena adanya relasi-relasi, dan realsi-relasi ini muncul karean adanya
oposisi. Jadi sebenarnya fonem tidak akan bermakna atau tidak memiliki
isi. yang hakiki dari sebuah fonem adalah relasi karena dengan begitu
sebuah fonem baru memiliki fungsi yang jelas. Jakobson yakin bahwa
fungsi utama dari suara dalam bahasa adalah untuk memungkinkan
manusia membedakan unit-unit semantis, unit-unit yang bermakna, dan ini
dilakukan dengan mengetahui ciri-ciri pembeda (distinctive features) dari
suatu suara yang memisahkannya dengan ciri-ciri suara yang lain.
c. Nikolai Troubetzkoy
29
Nikolai mempengaruhi Levi-Strauss dalam hal strategi kajian
bahasa yang berawal dari konsepsi mengenai fonem. Nikolai berpendapat
bahwa fonem adalah sebuah konsep linguistik, bukan konsep psikologis.
Artinya, fonem sebagai sebuah konsep atau ide berasal dari para ahli
bahasa, dan bukan ide yang diambil dari pengatahuan pemakai bahasa
tertentu yang diteliti. Jadi fonem tidak dikenal oleh pengguna suatu
bahasa, kecuali ahli fonologi dari kalangan mereka atau mereka yang
pernah belajar lingusitik. (Ahimsa, 2006).
1. Beralih dari tataran yang disadari ke tataran nirsadar. Pada tataran ini
seorang ahli fonologi tidak lagi memperlakukan istilah-istilah (terms)
atau fonem-fonem sebagai entitas yang berdiri sendiri, tetapi dia harus;
2. Memperhatikan relasi-relasi antar istilah atau antar fonem tersebut, dan
menjadikannya sebagai dasar analisisnya. Selanjutnya dia perlu;
3. Memperlihatkan sistem-sisitem fonemis, dan menampilkan struktur
dari sistem tersebut.
4. Harus berupaya merumuskan hukum-hukum tentang gejala
kebahasaan yang mereka teliti.
d. Asumsi Dasar Strukturalisme
Dari pemahaman kita di atas, strukturalisme merupakan aliran baru
bagi studi antropologi. Strukturalisme bertolak dari studi linguistik (ilmu
bahasa), berbeda dengan pendekatan yang ada dalam fungsionalisme,
30
Marxisme dan lain-lain. Ahimsa (2006; 66-71) menyebutkan bahwa
strukturalisme memiliki beberapa asumsi dasar yang berbeda dengan
konsep pendekatan lain. Beberapa asumsi dasar tersebut adalah sebagai
berikut;
1. Dalam Strukturalisme ada angapan bahwa upacara-upacara, sistem-
sistem kekerabatan dan perkawinan, pola tempat tinggal, pakaian dan
sebagianya, secara formal semuanya dapat dikatakan sebagai bahasa-
bahasa (Lane; 1970; 13-14 Ahimsya; 66).
2. Para penganut Strukturalisme beranggapan bahwa dalam diri manusia
terdapat kemampuan dasar yang diwariskan secara genetis sehingga
kemampuan ini ada pada semua manusia yang normal. Yaitu
kemampuan untuk structuring, untuk menstruktur, menyususun suatu
struktur, atau menempelkan suatu struktur tertentu pada gejala-gejala
yang dihadapinya.
Dalam kehidupan sehari-hari apa yang kita dengar dan saksikan adalah
perwujudan dari adanya struktur dalam tadi, akan tetapi perwujudan
ini tidak pernah kompolit. Suatu struktur hanya mewujud secara
parsial (partial) pada suatu gejala, seperti halnya suatu kalimat dalam
bahasa Indonesia hanyalah wujud dari secuil struktur bahasa
Indonesia. (Ahimsa, 2006; 68).
3. Mengikuti pandangan dari de Saussure yang berpendapat bahwa suatu
istilah ditentukan maknanya oleh relasi-relasinya pada suatu titik
waktu tertentu, yaitu secara sinkronis, dengan istilah-istilah yang lain,
para penganut strukturalisme berpendapat bahwa relasi-relasi suatu
fenomena budaya dengan fenomena-fenomena yang lain pada titik
waktu tertentu inilah yang menentukan makna fenomena tersebut.
Hukum transformasi adalah keterulangan-keterulangan (regularities)
yang tampak, melalui mana suatu konfigurasi struktural berganti
menjadi konfigurasi struktural yang lain.
4. Relasi-relasi yang ada pada struktur dalam dapat diperas atau
disederhanakan lagi menjadi oposisi berpasangan (binary opposition).
31
Sebagai serangkaian tanda-tanda dan simbol-simbol, fenomena budaya
pada dasarnya juga dapat ditanggapi dengan cara seperti di atas.
Dengan metode analisis struktural makna-makna yang ditampilkan
dari berbagai fenomena budaya diharapakan akan dapat menjadi lebih
utuh.
Keempat asumsi dasar ini merupakan ciri utama dalam pendekatan
strukturalisme. Dengan demikian dapat kita pahami juga bahwa
strukturalisme Levi-Strauss menekankan pada aspek bahasa. Struktur
bahasa mencerminkan struktur sosial masyarakat. Disamping itu juga
Kebudayaan diyakini memiliki struktur sebagaimana yang terdapat dalam
bahasa yang digunakan dalam suatu masyarakat. Strukturalisme
merupakan gerakan pemikiran yang kembali ke bahasa yang dirintis oleh
Ferdinand de Saussure (1857-1913). Dalam wacana ilmu-ilmu sosial,
Strukturalisme merupakan penerapan analisis bahasa ke wilayah sosial.
Realitas sosial adalah “teks” atau bahasa, dan bahasa selalu memiliki dua
sisi: bahasa sebagai parole (tuturan percakapan lisan sebagai sisi eksekutif
bahasa) dan sebagai langue (sistem tanda atau tata bahasa), dan sebagai
“tanda” (sign), dalam bahasa ada dua aspek: “penanda” (signifier) dan
“petanda” (signified). Semenjak strukturalisme inilah muncul pendapat
bahwa bahwa bahasa sebagai sistem tanda bersifat arbiter (arbitrary).
Sebagai contoh mengapa SBY disebut sebagai ”presiden”,
bukannya sebagai seorang “pesinden”. Menurut perspektif Strukturalis
itulah cara tutur kita yang sama sekali tidak menjelaskan apapun. Kata
presiden ada bukan karena kaitan logis internal dengan orang yang
menjadi kepala pemerintahan presidensial, melainkan karena kaitan dan
perbedaannya dengan kata sultan, gubernur, camat dan sebagainya. Semua
bisa dipahami secara otonom di tataran langue (logika-internal penunjuk),
dan tidak terkait dengan objek yang ditunjuk.
Ketika diterapkan ke dalam ilmu-ilmu sosial, juga jika hanya
secara analogis, implikasinya cukup jauh. Apa yang utama dalam analisis
sosial adalah menemukan “kode tersembunyi” yang ada dibalik gejala
32
kasat mata, sebagaimana langue menjadi kunci otonom di balik parole.
“Kode tersembunyi” itulah struktur. Tindakan individual dalam ruang dan
waktu tertentu hanyalah suatu kebetulan. Kalau mau mengerti masyarakat
kapitalis, misalnya, bidiklah logika-internal kinerja ‘modal’. Ada paralel
antara perspektif strukturalis dan fungsionalis, yaitu pengebawahan pelaku
dan tindakan pelaku, waktu, ruang, dan proses adalah soal kebetulan.
Dalam kritik Giddens, perspektif ini merupakan “penolakan yang penuh
skandal terhadap subjek”.
Gejala penyingkiran pelaku tindakan atau subjek (decentering)
dalam strukturalisme ini dibawa ke implikasi terjauhnya oleh para
penggagas post-strukturalisme. Seperti telah dicontohkan di atas, kata
‘presiden’ terbentuk bukan karena kaitannya dengan seseorang yang
menjadi kepala sebuah negara pada waktu-tempat tertentu, melainkan
karena perbedaannya dengan kata ‘raja’, ‘gubernur’, ‘camat’ dan
sebagainya. Ada dua unsur sentral di situ: sifat sewenang-wenang
(arbitrary) dan perbedaan (difference).
e. Jacques Derrida.
33
serta pada tingkat pengertian yang mereka peroleh dengan menggunakan
model-model tersebut, dan yang mewujudkan adanya perbedaan antara yang
satu dengan yang lainnya.
35
mengenai masa yang lampau, sekarang, maupun masa yang akan
datang.
38
antropolog, seperti Alice Kassakoff dan John W. Adam keakuratan data
etnografi yang disampaikan Levi-Strauss belum seutuhnya mendukung
dari apa yang disampaikan. Alice Kassakoff (1974) ahli antropologi ini
melakukan penelitian suku Indian Tsimshian yang telah dianalisis oleh
teori Strukturalisme Levi-Strauss ini. Ia menyatakan bahwa analisis
Strauss justru menutupi realistas kekerabatan yang ada pada suku Indian
tersebut. (Ahimsa, 2006; 168).
c. Hasil Analisis.
39
aspek-aspek positif mengenai makna mitos. Tema-tema mitos yang
terdapat dalam suatu masyarakat masih banyak yang mengungkap realitas
sosial yang positif. Selanjutnya Douglas menyatakan bahwa makna
mengenai mitos yang dikemukakan oleh Levi-Strauss dianggap biasa-
biasa saja dengan istilah lain tidak begitu penting.
d. Beberapa Tanggapan
E. Penutup
DAFTAR PUSTAKA
42
Dongeng Etnografis Dari Umar Kayam” dalam Umar Kayam dan
Jaring Semiotik, A. Salam (ed). Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
___________. 2002e. Satwa, Totem, Mitos dan Nalar Primitif. Makalah diskusi.
43
___________. 2006b. “Dari Mytheme ke Ceriteme : Pengembangan Konsep dan
Metode Analisis Struktural” dalam Esei-esei Antropologi : Teori,
Metodologi dan Etnografi, H.S. Ahimsa-Putra (ed.). Kepel Press :
Yogyakarta.
44
Strauss, Levi, Claude, 1958, Anthropologie Structurale (Terj. Antropologi
Struktural, 2007), Kreasi Wacana, Yogyakarta.
Berkenalan dengan
Post-strukturalisme
oleh : easternwriter
Pengarang : Jacques Derrida, Roland Barthes, Erdward Said, Ferdinand
de Saussure
· Summary rating: 3 stars (15 Tinjauan)
· Kunjungan : 2286
· kata:600
You searched for: "strukturalisme". For the best results, click here!
· Daftarkan diri
· Apakah Shvoong itu?
· Masuk
45
tanda harus dilihat ke dalam tahapan tunggal sementara (single
temporal plane).
Aspek diakronis bahasa, yakni bagaimana bahasa berkembang dan berubah
dari masa ke masa, dilihat sebagai bagian yang kurang penting. Dalam
utama yang paling berpengaruh pada era kritik sastra post-strukturalis adalah
seorang filsuf perancis Jacques Derrida. Selain itu, buah karya pemikiran
psikoanalis Jacques Lacan dan ahli teori kebudayaan Michael
model yang lebih baik untuk memahami bagaimana bahasa berfungsi. Dalam
46
sastra, misalnya pada New Criticsm.Essainya yang berjudul “Structure, Sign, and
Play in the Discourse of the Human Sciences” , pertama kali disampaikan di John
Hopkins University pada tahun 1966, sangat berpengaruh dalam teori kritik
sastra.Essay Roland Barthes, “The Death of the Author” pertama kali
dipublikasikan pada tahun 1968, mengadopsi sebuah pandangan tekstual
bahasa dan makna
secara radikal dan dengan jelas menunjukkan perannya dalam post strukturalis.
Pemikiran post strukturalis juga berkembang di di Amerika pada tahun 1970-an,
khususnya di kalangan kritikus yang tinggal di Yale, atau disebut para
dekonstrusionis Yale. Teoritikus terkemuka Yale adalah Paul de Man yang
berpendapat bahwa teks sastra
dia lihatnya sebagai pendekatan tekstual sempit ala Derrida. Dia berpendapaat
bahwa karya Foucault memungkinkan kritik sastra melampaui
23
45Moho
n
ringkasa
n ini
dinilai :
ilai
: 1
· http://sulhanudin.info/2006/01/berkenalan-dengan-post-
strukturali ...
47
You searched for: "strukturalisme". For the best results, click here!
· Kutipan
· Dan,
· Sastra,
· Bahasa,
· Dapat,
· Bahwa,
· Dengan,
· Dalam,
· Derrida,
· Pada,
· Post
· Provinsi Minangkabau
48
Paling populer
More
Berikut
· kesehatan
· uang
· wanita
· cinta
· trik
· jantung
· pria
· 2012
· berita
· blog
· Seks
· dunia
· kiamat
49
.
Pengantar
Ferdinand de Saussure
1. Diakronis dan sinkronis: penelitian suatu bidang ilmu tidak hanya dapat
dilakukan secara diakronis (menurut perkembangannya) melainkan juga
secara sinkronis (penelitian dilakukan terhadap unsur-unsur struktur
yang sezaman)
2. Langue dan parole: langue adalah penelitian bahasa yang mengandung
kaidah-kaidah, telah menjadi milik masyarakat, dan telah menjadi
konvensi. Sementara parole adalah penelitian terhadap ujaran yang
dihasilkan secara individual.
51
Dalam memahami kebudayaan kita tidak bisa terlepas dari prinsip-prinsip
dasarnya. de Saussure merumuskan setidaknya ada tiga prinsip dasar yang penting
dalammemahami kebudayaan, yaitu:
Pierre Bourdieu
52
Dalam karyanya ini ia menyerang pemahaman kaum strukturalis yang
menciptakan obyektivisme yang menyimpang dengan memposisikan ilmuwan
sosial sebagai pengamat. Menurutnya pemahaman ini mengabaikan peran pelaku
dan tindakan-tindakan praktis dalam kehidupan sosial.
53
· Sebagai suatu pandangan tentang dunia (kosmologi)
Bourdieu melihat field sebagai sebuah arena pertarungan. Struktur Field lah
yang menyiapkan dan membimbing strategi yang digunakan penghuni posisi tertentu
yang mencoba melindungi atau meningkatkan posisi mereka untuk memaksakan
prinsip penjenjangan sosial yang paling menguntungkan bagi produk mereka sendiri.
Field adalah sejenis pasar kompetisi dimana berbagai jenis modal (ekonomi, kultur,
sosial, simbolik) digunakan dan disebarkan. Lingkungan adalah lingkungan politik
(kekuasaan) yang sangat penting; hirarki hubungan kekuasaan di dalam lingkungan
politik membantu menata semua lingkungan yang lain.
Dengan kata lain, Field adalah wilayah kehidupan sosial, seperti seni,
industri, hukum, pengobatan, politik dan lain sebagainya, dimana para pelakunya
berusaha untuk memperoleh kekuasaan dan status.
54
sendiri. Ketiga, modal simbolik yang berasal dari kehormatan dan prestise
seseorang. Dan keempat adalah modal budaya yang memiliki beberapa dimensi,
yaitu:
55
menuntut untuk setiap individu untuk memiliki modal gara dapat hidup secara
baik dan bertahan di dalamnya.
Daftar Acuan
Pada musim semi tahun 1981, setahun setelah meninggalnya ahli filsafat
Jean Paul Sartre, majalah Prancis Lire mengadakan sebuah jajak pendapat di
kalangan intelektual, mahasiswa dan politisi Prancis, dengan pertanyaan, “siapa
tiga pemikir berbahasa Perancis yang masih hidup, yang pandangannya – menurut
anda – paling berpengaruh terhadap evolusi (perkembangan) pemikiran sastra dan
ilmu pengetahuan dan sebagainya ?”. Dari kira-kira 448 jawaban yang masuk, 101
orang menyebut nama Lévi-Strauss, 84 orang menyebut Raymond Aron, 83 orang
menyebut Michel Foucault. Nama-nama lain yang juga disebut antara lain adalah
Jaques Lacan (51), Simone de Beauvoir (46), dan masih ada lagi beberapa yang
lain (Pace, 1986 : 1).
56
dengan di Inggris dan Amerika Serikat. Apa ini artinya ? Tidak lain adalah bahwa
pemikiran-pemikiran Lévi-Strauss ternyata dipandang begitu berpengaruh oleh
kaum intelektual Prancis, dan sedikit banyak hal itu juga menunjukkan bahwa
Lévi-Strauss tidak hanya dipandang sebagai ahli antropologi, tetapi juga ahli
filsafat, walaupun Lévi-Strauss sendiri sudah tidak lagi begitu menyukai filsafat
sebagaimana yang dia kenal, setelah dia berkenalan dengan antropologi.
57
Itulah lima alasan utama mengapa dalam perbincangan tentang
strukturalisme ini strukturalisme yang dirintis dan dikembangkan oleh Lévi-
Strausslah yang akan ditampilkan di sini. Claude Lévi-Strauss adalah seorang ahli
antropologi yang tetap konsisten menekuni dan mengembangkan paradigma
struktural. Ditangannyalah strukturalisme kemudian dikenal oleh lebih banyak
orang, oleh lebih banyak ilmuwan. Dengan memperbincangkan tentang
strukturalisme ini diharapkan akan muncul ilmuwan-ilmuwan muda Indonesia
yang akan bersedia mengembangkan lebih lanjut kerangka pemikiran tersebut.
Sebelumnya saya perlu minta maaf kepada publik jika dalam tulisan ini
sosok saya terasa begitu menonjol dalam proses penyebaran strukturalisme Lévi-
Strauss di Indonesia, karena saya tidak tahu orang lain di Indonesia yang telah
membahas pemikiran Lévi-Strauss dengan cukup mendalam sebagaimana yang
telah saya lakukan. Saya ingat, ketika saya masih kuliah antropologi di
Universitas Indonesia di akhir tahun 1970an, teman-teman saya umumnya tidak
menyukai teori-teori dari Lévi-Strauss, karena selalu sulit dan tidak biasa, sedang
saya lumayan menyukai teori-teori tersebut karena terasa begitu menantang untuk
memahaminya.
58
ilmu sosial-budaya Indonesia ketika itu ternyata tidak seperti yang saya duga dan
harapkan. Padahal, tokoh-tokoh ilmu sosial-budaya yang saya kagumi dan
sebagian pernah menjadi guru saya ketika itu masih ada, dan masih aktif, seperti
misalnya Fuad Hasan, Koentjaraningrat, Masri Singarimbun, Sartono Kartodirdjo,
Parsudi Suparlan, James Danandjaja, Selo Soemardjan dan sebagainya. Saya
bertanya-tanya dalam hati : Mengapa mereka tidak menulis mengenai aliran-aliran
baru dalam antropologi atau bidang ilmu yang mereka tekuni ?
Beberapa tahun saya mencoba mengetahui hal ini. Ada beberapa faktor
yang tampaknya telah membuat strukturalisme Prancis kurang begitu dikenal di
Indonesia. Pertama, strukturalisme tersebut tumbuh dan berkembang di Prancis,
sebuah negeri yang relatif kurang begitu dikenal oleh banyak orang Indonesia,
karena bahasanya juga kurang populer di Indonesia, dibandingkan misalnya
dengan bahasa Inggris dan Belanda. Tidak banyak ilmuwan sosial-budaya
Indonesia di masa itu yang memperoleh pendidikan di Prancis, bahkan hampir
tidak ada. Orientasi pendidikan ilmuwan sosial-budaya Indonesia di masa itu
adalah Amerika Serikat, karena di tahun 1950an dan 1960an Indonesia adalah
salah satu negeri yang banyak diteliti dan dibahas oleh ilmuwan sosial Amerika
Serikat. Nama-nama beken sebagian ilmuwan sosial-budaya Amerika Serikat
ketika adalah nama-nama mereka yang banyak meneliti masyarakat Indonesia.
Nama ilmuwan Prancis yang meneliti Indonesia namun namanya hampir tidak
terdengar di Indonesia adalah Christian Pelras (meneliti sejarah Indonesia). Nama
Lévi-Strauss sebagai seorang teoritisi hampir tak dikenal. Hanya mahasiswa
antropologi saja yang mengenal tokoh tersebut lewah kuliah dari Prof.
Koentjaraningrat almarhum di tahun 1970-1980an. Lévi-Strauss yang kita kenal
ketika itu adalah merk sebuah celana jeans.
59
Aliran pemikiran yang sangat mempengaruhi ilmuwan sosial-budaya
Indonesia di masa itu adalah aliran fungsionalisme-struktural yang berasal dari
Talcott Parsons, ahli sosiologi Amerika Serikat. Fungsionalisme-Struktural yang
diwariskan oleh A.R. Radcliffe-Brown dan Bronislaw Malinowski di tahun
1940an dikembangkan lebih lanjut oleh Parsons dan berhasil menjadi sebuah
aliran yang mendominasi pemikiran ilmuwan sosial-budaya Amerika Serikat di
tahun 1960-1970an. Ilmuwan sosial-budaya Indonesia yang belajar di Amerika
Serikat di masa itu otomatis sangat dipengaruhi oleh aliran pemikiran ini – bahkan
sampai sekarang – . Aalagi ilmuwan sosial-budaya Amerika Serikat yang
mempelajari Indonesia juga menggunakan paradigma tersebut. Lengkaplah sarana
paradigma Fungsionalisme – Struktural untuk menyebar dan dikenal di Indonesia.
60
dilakukan atas informasi etnografis mengenai berbagai hal yang begitu kecil dan
njlimet. Oleh karena itu pula analisis struktural yang dikerjakan Lévi-Strauss
termasuk yang tidak mudah dipahami oleh orang-orang antropologi. Kesulitan
memahami ini bertambah besar lagi di kalangan ketika Lévi-Strauss
menggunakan bahasa yang juga relatif sulit dipahami. Lévi-Strauss termasuk ahli
antropologi yang mampu menggunakan daya retorika yang bagus tetapi tidak
mudah dipahami. Bahasa tulisannya memang belum nyastra sekali seperti Geertz,
tetapi sudah termasuk nyastra atau sastrawi. Itulah beberapa faktor yang menurut
saya telah membuat strukturalisme Lévi-Strauss kurang begitu dikenal di
Indonesia, walaupun aliran ini sangat kuat pengaruhnya dalam dunia pemikiran di
Barat. Mengingat pentingnya strukturalisme Lévi-Strauss dalam perkembangan
pemikiran di Barat, begitu tidak dikenalnya aliran pemikiran itu di Indonesia,
serta sulitnya memahami paradigma itu sendiri, maka saya kemudian
memberanikan diri untuk mengusung strukturalisme Lévi-Strauss ke Indonesia
setelah saya menyiapkan diri dengan lebih baik di Amerika Serikat, dengan
mengumpulkan artikel dan buku-buku yang relevan.
61
dimengerti oleh mereka yang belum mengenal strukturalisme; mungkin pula
karena kurang promosi. Yang jelas buku ini setahu saya merupakan analisis
kebudayaan secara struktural yang pertama dilakukan oleh ahli antropologi
Indonesia. Oleh karena penulisan buku tersebut berada di bawah bimbingan P.E.
de Josselin de Jong, ahli antropologi struktural dari Universitas Leiden, Belanda,
maka tidak terlalu mengherankan apabila pengaruh strukturalisme Belanda lebih
terlihat di situ daripada pengaruh strukturalisme Prancis.
62
menjadi ketua program pascasarjana sastra – untuk mengampu matakuliah
mitologi. Permintaan tersebut saya terima dan secara kebetulan saya mendapat
dana penelitian, yang saya gunakan untuk melakukan penelitian atas mitos orang
Bajo. Laporan penelitiannya kemudian saya tulis kembali menjadi artikel yang
kemudian diterbitkan oleh majalah Kalam (Ahimsa Putra, 1995).
Artikel ini rupanya semakin menguatkan citra saya sebagai orang yang
tahu strukturalisme Lévi-Strauss lebih dari yang lain, karena – sebagaimana kita
ketahui – majalah Kalam adalah majalah yang banyak dibaca oleh mereka yang
berminat pada sastra, seni dan filsafat, dan diluar lingkaran antropologi setahu
saya belum ada orang lain yang berbicara mengenai aliran pemikiran tersebut.
Analisis struktural ala Lévi-Strauss atas mitos sama sekali belum dikenal di
Indonesia ketika itu. Nama Lévi-Strauss dan strukturalisme tetap belum akrab di
kalangan terpelajar di Indonesia.
Pendapat bahwa saya adalah orang yang tahu tentang strukturalisme Lévi-
Strauss itu rupanya telah mendorong pihak penerbit LKIS meminta saya menulis
kata pengantar untuk buku yang akan mereka terbitkan, yang berasal dari buku
Octavio Paz mengenai strukturalisme Lévi-Strauss. Sayapun menyanggupi
permintaan tersebut. Dalam kata pengantar itu saya kembali menyampaikan
berbagai hal mengenai strukturalisme Lévi-Strauss yang belum banyak diketahui,
serta memberikan tanggapan terhadap pendapat-pendapat Paz yang menurut saya
kurang tepat, atau perlu dijelaskan lagi agar tidak menimbulkan salah pengertian
(Ahimsa-Putra, 1997). Ketika itu saya merasa bahwa strukturalisme mulai
menarik perhatian kalangan intelektual muda, terutama di Yogyakarta, karena
kalau tidak ada ketertarikan tersebut, tentu buku Paz tidak akan diterjemahkan dan
diterbitkan.
Sementara itu, melalui perkuliahan di S-1 dan S-2 antropologi serta S-2
sastra, saya terus menyebarkan strukturalisme ke kalangan mahasiswa. Beberapa
mahasiswa kemudian tertarik untuk menulis tesis dengan menggunakan
pendekatan struktural. Oleh karena tidak ada dosen lain yang dipandang lebih
memahami strukturalisme, maka pembimbingan penulisan skripsi atau tesis
semacam ini boleh dikatakan selalu diserahkan kepada saya. Ketika satu-dua tesis
struktural mulai dapat ditulis dan diujikan dengan hasil yang baik (banyak yang
mendapat nilai A), semakin banyak mahasiswa yang tertarik untuk menyusun tesis
atau skripsi struktural. Gaung strukturalisme sebagai sebuah paradigma semakin
luas terdengar di kalangan mahasiswa, terutama jurusan antropologi di UGM,
tetapi saya tidak tahu bagaimana gaung tersebut di luar UGM. Mudah-mudahan
ada yang bersedia memberikan informasi mengenai bagaimana strukturalisme
(Lévi-Strauss) dipandang dan dipahami oleh para mahasiswa – antropologi
maupun bukan – di luar UGM.
63
pendekatan struktural untuk menganalisis fenomena arkeologis (Ahimsa – Putra,
1998a; 1999c; 2000a). Saya juga menawarkan pendekatan tersebut untuk
menganalisis karya-karya sastra kontemporer yang mungkin tidak pernah
terpikirkan untuk dianalisis secara struktural, seperti karya-karya Umar Kayam
(Ahimsa – Putra, 2002c), sedang kepada para peneliti fenomena keagamaan saya
juga menunjukkan bahwa strukturalisme dapat digunakan untuk memahami
fenomena keagamaan seperti sinkretisme (Ahimsa – Putra, 2000b).
64
Memang, saya sering mendengar nama-nama Barthes dan Foucault disebut-sebut
dalam beberapa diskusi, namun belum pernah saya mendengar orang membahas
pemikiran-pemikiran Barthes dan Foucault secara serius, baik itu secara formal
lewat seminar, ataupun dalam diskusi-diskusi informal. Oleh karena itu, di sini
saya hanya akan memaparkan pengaruh-pengaruh strukturalisme, terutama
strukturalisme Lévi-Strauss sebagaimana yang saya ketahui dari karya-karya
ilmiah yang bisa saya peroleh.
65
Minang (Maryetti, 2007). Ahimsa-Putra misalnya menerapkan analisis struktural
pada arca ganesya, yang sebelumnya telah diteliti secara seksama oleh Edi
Sedyawati, ahli arkeologi UI. Walaupun analisisnya belum sepenuhnya tuntas,
namun analisis tersebut telah memberi inspirasi pada sejumlah ahli arkeologi lain
untuk mencoba menerapkannya pada artefak-artefak atau benda arkeologis
lainnya. Selain arca ganesya, analisis patung secara struktural juga telah dilakukan
oleh Slamet Subiantoro, yang menempatkan patung loro-blonyo dalam konteks
kebudayaan yang lebih luas, yakni kosmologi Jawa. Sementara itu, Maryetti lebih
tertarik untuk menganalisis dan mengungkapkan struktur yang ada di balik
berbagai macam makanan tradisional yang disajikan dalam ritual-ritual
(Subiantoro, 2009).
66
Konsep turunan yang berasal dari “struktur”, yakni “struktur sosial”
menurut padangan Lévi-Strauss (yang berbeda dengan “struktur sosial” menurut
Radcliffe-Brown), juga belum dapat dimengerti dengan baik. Bahwa ternyata
struktur sosial adalah juga sebuah model dari seorang ahli antropologi mengenai
suatu masyarakat atau suku bangsa juga masih sulit diterima, karena para
ilmuwan dan pelajar Indonesia masih lebih mudah memahami konsep-konsep
yang lebih jelas acuannya, yang lebih mudah dilihat dan mudah ditemukan dalam
kehidupan masyarakat sehari-hari. Bahkan, konsep-konsep penting tidak selalu
dapat dipahami fungsinya dalam analisis.
Seperti halnya pada konsep struktur dan struktur sosial, diskusi teoritis dan
filosofis mengenai konsep transformasi ini juga masih belum ada. Sulit rasanya
67
mengharapkan munculnya pembahasan seperti itu di kalangan ilmuwan sosial-
budaya Indonesia dalam waktu yang relatif dekat ini.
5. Penutup Apa yang saya paparkan di sini adalah apa yang saya ketahui
mengenai strukturalisme di Indonesia di masa kini, yang setahu saya sudah mulai
banyak dikenal dan digungakan sebagai paradigma dalam penelitian. Pengaruh ini
terlihat terutama di jurusan Antropologi di Universitas Gadjah Mada. Saya tidak
tahu apakah di jurusan-jurusan antropologi lain di Indonesia paradigma ini telah
diajarkan. Yang jelas saya belum pernah mendengar sama sekali bahwa paradigma
ini telah diajarkan di UGM (dulu). Mungkin karena di jurusan-jurusan antropologi
yang lain tidak ada orang yang merasa menguasai dan dapat mengajarkan dengan
baik strukturalisme sebagai sebuah paradigma; mungkin juga karena paradigma
ini dianggap terlalu banyak kelemahannya, terutama karena tidak dapat digunakan
untuk memahami dinamika dan perubahan kebudayaan.
68
membahasnya. Namun, itulah tantangan dari strukturalisme yang hingga kini di
Indonesia masih belum ada yang bersedia menghadapi dan dapat
menakhlukannya.
Dari paparan di atas kita dapat mengatakan bahwa (a) strukturalisme yang
dikenal di Indonesia adalah strukturalisme yang dikembangkan oleh Lévi-Strauss,
sementara strukturalisme yang berasal dari Foucault dan Barthes tidak begitu
terlihat pengaruhnya di kalangan kaum terpelajar Indonesia; (b) strukturalisme
Lévi-Strauss masih terbatas dikenal di kalangan pelajar antropologi, terutama di
UGM, karena di jurusan antropologi UGM strukturalisme Lévi- Strauss diajarkan
secara khusus selama satu semester, di tingkat pascasarjana; (c) beberapa konsep
penting dalam strukturalisme yang mulai dikenal dan dimengerti adalah konsep
struktur, struktur sosial, dan transformasi, di samping konsep-konsep seperti
nirsadar, oposisi biner, sintagmatik- para digmatik, sign, signified, signifier, dan
sebagainya; (d) pembahasan kritis atas pemikiran- pemikiran antropologis dan
filosofis belum terlihat, dan tampaknya belum akan muncul dalam waktu dekat,
karena hal semacam ini menuntut pemahaman yang mendalam atas berbagai
paradigma dan pandangan filosofis yang berkembang dalam antropologi dan
filsafat. Oleh karena itu pula, pengaruh strukturalisme Lévi-Strauss terhadap
pemikiran-pemikiran ilmuwan sosial-budaya Indonesia masih memerlukan waktu
yang cukup lama untuk dapat meninggalkan bekas yang cukup dalam serta mudah
dikenali dalam karya-karya ilmiah mereka.
Daftar Pustaka
Abdullah, T. 2005. Analisis Struktural Lévi-Strauss Terhadap Tiga Lakon Karya
Arthur S. Nalan : Kajian Transformasi Tokoh dalam Rajah Air, Kawin Bedil dan
Sobrat.
Tesis Pascasarjana Antropologi. Universitas Gadjah Mada.
69
___________. 1997. “Claude Lévi-Strauss : Butir-butir Pemikiran
Antropologi” dalam Lévi-Strauss : Empu Antropologi Struktural, O. Paz. Di
Indonesiakan oleh Landung Simatupang. Yogyakarta : LKIS.
70
___________. 2002e. Satwa, Totem, Mitos dan Nalar Primitif. Makalah
diskusi.
71
Listia. 2005. Posisi Wahyu dalam Agama Kristiani dan Islam : Studi Atas
Perbedaan Agama Kristiani dan Islam Menurut Strukturalisme Lévi-Strauss. Tesis
Pascasarjana Antropologi. Universitas Gadjah Mada.
72
11 readers like this article.
Buku »
General »
Kertas Kerja »
73
More articles »
Kolom »
Sejak kecil saya telah menyukai pantai. Bila ada kesempatan di akhir
pekan, saya menyempatkan diri ke pantai bersama teman-teman atau kerabat.
Saya bisa menghabiskan waktu seharian di pantai dengan berbagai aktivitas:
mandi, merebahkan badan …
More articles »
Magazine »
PDF »
VIDEOCHRONIC
74
Adakah pengaruh strukturalisme Lévi-Strauss di Indonesia? Kalau ada,
seperti apa? Di kalangan yang mana ia menunjukkan pengaruh? Kalau tidak ada
atau kurang terlihat, mengapa? Hedy-Shri Ahimsa Putra mencoba menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut.
More articles »
Review »
Sebagai salah satu tampilan subkultur yang kini sering diutak-atik dalam
beragam laporan ”tampak muka” rubrik gaya hidup di media massa sehari-hari,
punk dibaca secara nostalgis dalam hubungannya yang selalu serba salah di
hadapan tradisi (lokal) …
Comments
· Avatar Play « ŚĨβĔŔРŔŐÚŚŤ ŤĔŔĂ on Avatar: “Visualizes yourself!”
(Estetika Populer dan Identitas dalam Technoculture) Oleh ARIE
SETYANINGRUM
· Umberto Eco: Di era fotokopi dan rimba informasi internet, praktikkan
gaya membaca “penyusutan” | Indonesia Buku on Newsletter KUNCI
#15
Space/Scape Project
· Warung Kidul di Alun-alun Selatan 27/11/2009 nuning
· Monumen Cinta 24/11/2009 nuning
Archives
· December 2009
· November 2009
· October 2009
· September 2009
· August 2009
· July 2009
· June 2009
75
Networks
· Arts Network Asia
· Ford Foundation
Twitter
‘New article, Tiga Usia Jacques Derrida. Sebuah Wawancara dengan
Bapak Dekonstruksi - http://tinyurl.com/ybecqvt 02:53:47 AM December 03, 2009
from WordTwit
KUNCI-List
· Fw: CfP arte-polis3 IntlConf Bandung - Abstracts due 22 FEB 2010
11/01/2010
KAJIAN STRUKTURALISME-
SIMBOLIK MITOS JAWA PADA MOTIF
BATIK BERUNSUR ALAM
Robby Hidajat
Abstract: Batik is a product of Javanese culture, with a great variety of
sizes, forms, motifs, and functions. Pujianto writes a book on batik
semen, sawat, and alas-alasan and their relationship with Javanese
mythology, arguing for the myths underlying those different motifs. In
his study he employs a symbolic approach, which, according to the
present writer, still needs to be completed with a structural approach
proposed and developed by the French anthropologist Levi-Stauss. The
latter approach may lead not only to analyzing symbolizations but also
to placing symbols in a given structure. The structural approach
produces research results different from those produced by the
symbolic approach. Therefore, the writer suggests using the structural
approach as a complement for the symbolic approach.
Key words: batik, Javanese mythology, symbolic approach,
structural approach.
Mencermati artikel Pujianto berjudul Mitologi Jawa dalam Motif Batik
Unsur Alam (Jurnal Bahasa & Seni, Tahun 31, Nomor 1, Februari 2003).
Pokok pikiran seperti pada judul artikel tersebut dan mencermati
uraiannya. Pujianto tampaknya menggunakan kajian simbolik. Pola
diskripsi kajian simbolik seperti pada paparan dan analisisnya
menunjukan sebuah pola linier , yaitu berbagai entitas yang dikaji
seolah-olah memiliki relasi yang segaris (Line Relation).
Robby Hidayat adalah dosen Jurusan Seni dan Desain, Fakultas Sastra,
Universitas Negeri Malang.
76
Hidayat, Kajian Strukturalisme-Simbolik 287
Kajian simbolik yang digunakan oleh Pujianto dalam mencermati
Motif Batik unsur Alam adalah pola pemikiran yang khas dari
para peneliti sebelum generasi Roland Barthes; salah seorang
tokoh strukturalisme Prancis, professor di College de France.
Dasar utama pemikiran yang digunakan oleh Pujianto secara
mendasar mengacu pada filsafat makna, yaitu seperti model analisis yang
dikembangkan oleh Ernst Cassire (studi budaya) dan Sussan K. Lenger
(studi seni), M. Mauss, di samping tokoh yang lain, dua tokoh tersebut
sangat berpengaruh pada pada pemikir tentang simbol . Heddy Shri
Ahimsa-Putra seorang antropolog dari Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta mengomentari kelemahan kajian simbolik. Perspektif
simbolik, suatu usaha menafsir terhadap simbol-simbol. Langkah ini tidak
akan lengkap dan mantap tanpa memperhatikan pandangan pemilik
budaya. Kadang pelacakkan simbol umumnya hanya mencermati tata
bentuk visual, artinya wujud objek dicermati sebagai susunan unsur-unsur
yang telah memiliki relasi tertentu. Simbol yang ditafsirkan atas dasar
wujud fisik dari sesuatu yang terindra sebagai tanda bermakna. Sementara
simbol di balik yang disimbolkan kadang sulit atau seringkali tak
terjangkau, sehingga pembahasan tentang simbol menjadi sekenanya
(2000K:4a0ji3a-n40S8i)m. bolik menjadi pola pencermatan yang sangat popular di
lingkungan pengkaji seni, setidaknya telah dilakukan oleh Pujianto.
Pemikirannya menjadi sangat lancer karena terdukung oleh tata makna yang
bersifat konvensional, referensinya telah tersedia. Pada kaitan ini, Pujianto
sangat terbantu oleh paham filosifis Jawa. Hanya saja bagaimana pola
relasional filosofis Jawa itu terkait dengan motif batik berunsur alam
? Pujianto telah memaparkan panjang lebar, tetapi tidak menunjukan
sistematika analisisnya. Hal ini dapat disimak pada table 1 [Mitologi
Jawa dalam Motif Batik] (hal. 137), terutama menyimak relasi lambang
dan arti . Entitas ini muncul secara tiba-tiba. Seakan-akan unsur ornament
, lambang dan arti seoleh-oleh membuat pembenaran adanya relasi
tentang konsep hindusitis yang disebut triloka . Pemahaman Pujianto
menjadi semakin anakronistik ketika menyimak skematis pada halaman
138. Skema yang dipaparkan tentang adanya relasi antara sifat orang Jawa
, Falsafah orang Jawa , Unsur Alam Kehidupan dan Unsur
Batik . Paparan Pujianto seolah-oleh seperti bentuk analisis realasional.
Ini yang dimaksudkan oleh Heddy Shri Ahimasa-Putra, bahwa kajian
288 BAHASA DAN SENI, Tahun 32, Nomor 2, Agustus 2004
simbol tidak melakukan kajian struktur, yaitu terbatas pada
aspek permukaan (2000:402).
Bertolak dari artikel Pujianto, artikel ini bermaksud melakukan
reinterpertasi ulang dengan model strukturalisme-simbolik. Sebuah
kajian berpijak pada paradigma Strukturalisme. Salah satu kajian yang
dikembangkan oleh Levi-Strauss, di samping bersandar juga pada
pemikiran Emile Durkheim, yaitu strukturalisme fungsional. Teori
Durkheim menjadi dasar pembenaraan adanya relaisi-realasi dalam
struktur kebudayaan manusia yang seolah-oleh seperti Organisme biologi
(Abdullah & Leeden, 1986).
Berdasarkan pemikiran Emil Durkheim, dapat meletakan posisi
batik sebagai benda yang bersifat funsional di lingkungan budaya Jawa.
Pujianto telah mengemukakan bahwa Batik , misalnya sebagai contoh
77
uraian tentang fungsi batik alas-alasan, sebagai berikut:
Motif Semen dalam penerapannya di dalam keraton
diperuntukkan bagi Pangeran, Adipati, dan untuk pengantin pria
pada waktu ijab Kabul (Semen Rama). (halaman 130)
Motif alas-alasan tidak tampil pada semua jenis kain batik, tetapi
(hanya tempil) pada kain baik sebagi (untuk) Dodot bangun-tulak
(pola busana) dengan kombinasi prada emas. Jenis batik ini sering
digunakan oleh Raja untuk upacara-uparada agung, dan tari
Bedhaya (halaman 133).
Motif Sawat secara etimologis dipahami semi , fungsinya sebagai busana
seorang raja Jawa (Kasunanan Surakarta) ketika bertahta, utamanya
ketika sedang bertitah. Pujianto mengemukakan batik bermotif Sawat
merupakan busana yang melambangkan kebijakan raja, titahnya
merupakan keputusan yang terbagik bagi dirinya, keluarganya, maupun
Abdi Dalem, dan rakyatnya. (Pujianto, 2003: 131). Batik Sawat
merupakan salah satu batik yang menjadi milik raja. Bahkan Sunan Paku
Buwana III pada tahun 1769 mengluarkan larangan menggunakan batik
tertentu, seperti yang disampaikan oleh Soedjoko yang dikutip oleh Amri
Yahya, sebagai berikut:
Ana dene kang arupa jejarit kang kalebu ing laranganingsung:
Batik Sawat lan batik parang rusak, batik cumangkiri kang calacep,
modang, bangun-tulak, lenga-teleng, daragam lan tumpal. Anadene
Hidayat, Kajian Strukturalisme-Simbolik 289
batik cumangkirang ingkan acalacap lung-lungan utawa
kekembangan, ingkang ingsun kawenangaken anganggona pepatih
ingsun lan sentaningsun, kawulaningsun Wedana. (Yahya, 1985: 16)
Adapun barang berupa kain panjang (jarit) yang termasuk larangan
saya (raja): Batik Sawat, dan batik parang rusak, batik cumangkiri
yang calacep, modang, bangun tulak, lenga-teleng, daragam, dan
tumpal. Adapun batik Cumangkirang yang acalecep berupa
lunglungan (sulur) atau kekembangan (bunga-bungaan), yang saya
perbolehkan dipakai Patih, dan abdidalem, Wedana.
Pernyataan Pujianto dan Amri Yahya jelas, bahwa Batik
merupakan benda fungsional. Konsep dari fungsi adalah memiliki
kaitan relasional dengan unsur yang memungsikan suatu benda. Relasi
dari benda dan orang yang memfungsikan didasarkan oleh sebuah
konsep . Konsep-konsep dari fungsi menunjukan adanya sebuah
struktur. Pemikiran ini yang mengarahkan pada kajian structural, baik
pemikiran Emile Durkheim atau Levi-Strauss. Walaupun kedua teori
tersebut berpijak pada konsep yang berbeda, tetapi untuk mencermati
sebuah simbolisasi dari benda-benda fungsional menjadi lebih kredibel.
Mengingat strukturalisme model Levi- Strauss memandang struktur
sebagai model dari pola pikir manusia dalam memahami dunianya
(Kaplan & Manners, terj. Landung Simatupang, 2000: 237).
Strukturalisme lebih menekankan pada sebuah cara berpikir dari
masyarakat sederhana yang menganggap bahwa sistem sosial hanyalah
refleksi dari sistem dunianya atau dengan kata lain mikro-kosmos
merupakan refleksi dari makro-kosmos (Randrianarisoa, 1983:213).
Mengetengahkan paradigma strukturalisme sebagai model telaah batik
berunsur alam bukan cara pandang yang berbeda dengan pemikiran
Pujianto. Tetapi sebuah analisis yang lebih sistematis.
BATIK BERUNSUR MOTIF ALAM
78
Pujianto memilik topik penulisan artikel tentang batik berunsur motif
alam dengan objek batik yang berkembang di keraton (?) [tidak dijelaskan
lebih sepesifik keraton yang mana] dengan sample analisis batik bermotif
Semen, Sawat, dan Alas- alasan. Ketiga mofif batik tersebut diasumsikan
bersumber pada fenomena alam sebagai lambang kesuburan dan
kekuasaan
290 BAHASA DAN SENI, Tahun 32, Nomor 2, Agustus 2004
ran dan kekuasaan
Apabila benar, tiga motif batik yang terdiri dari motif Semen, Sawat, dan
Alas -alasan memiliki realisi dengan mitos kesuburan dan kekuasaan.
Langkah awal yang akan dilakukan adalah menghubungkan ketiga motif
tersebut, seperti Levi-Strauss menganalisis tentang makanan. Levi-
Strauss menempatkan makanan dengan pola analisis segitiga kuliner
(Cremers, 1997: 80), sebagai berikut:
Gambar 1. Skema segitiga kuliner model strukturalisme Levi-Strauss
Dasar pemempatan sample tiga motif batik tersebut bersifat abitrer
(sekenanya), dengan tujuan menguji adanya keterkaitan dengan paham
filosofis Hindu tentang Triloka [tri = tiga dan loka = dunia], yaitu yang
memahami bahwa secara kosmologis dunia dibagi menjadi tiga.
Pemilihan relasi paham triloka didasarkan atas kesamaan relasi tiga ,
sehingga simbolisasi tentang kesuburan tidak dikemukakan secara jelas
oleh Pujianto. Analisisnya lebih pada pemahaman tentang adanya persepsi
bentuk, yaitu dipahami dari adanya berdasarkan analogi, yaitu ada
kesamaan bentuk dengan pengertian konvensional tentang makna
kesuburan . Misalnya, urairan tentang bentuk Semen. Bentuk Semen
merupakan tanda penyebaran benih, agar benih tersebut dapat bersemi.
Penyebara benih, seperti yang digambarkan berupa tanaman menjalar
(sulur) sebagai penggambaran alat kelamin pria (halaman 130).
Selanjutnya relasi tentang kesuburan tidak dibahas secara mendalam,
demikian juga tentang kekuasaan , dalam kaitan ini adalah Raja Jawa .
Berdasarkan konsep Triloka, yang dijelaskan oleh Pujianto, yaitu
Semen
Sawat Alas-alasan
Hidayat, Kajian Strukturalisme-Simbolik 291
dipahami sebagai kenyataan tentang kosmologis Jawa. Bahawa dunia
dibagi menjadi tiga tataran yang bersifat hirarkis, yaitu: Alam atas, alam
tengah, dan alam bawah. Pemahaman tersebut dapat disekematiskan
sebagai berikut
Gambar 2. Skema relasional antara konsep Triloka dan motif batik berunsur alam
Keterangan:
Batik seolah-oleh memiliki kaitan dengan konsep triloko, pemikiran
Pujianto tampaknya seperti skema tersebut di atas. Batik Semen memiliki
hubungan kesamaan motif dengan dua batik yang lain (Sawat & Alasalasan),
dan demikian pula dengan batik Sawat & Alas-alasan yang memiliki kaitan
dengan batik Semen. Batik Semen memiliki kaitan yang bersifat vertical
alam atas, sementara batik Sawat memiliki kaitan dengan
alam tengah, dan batik Alas- alasan memiliki kaitan dengan alam bawah.
Berdasarkan skema tersebut di atas, selanjutnya dicermati lebih lanjut
dengan menyusun table realasi dari ketiga entitas tersebut di atas,
sebagai berikut.
Semen
79
Sawat Alas-alasan
Alam bawah
Alam atas
Alam tengah
292 BAHASA DAN SENI, Tahun 32, Nomor 2, Agustus 2004
Tabel 1. Analisa Taksonomi Relasi antara Konsep Triloka dan Motif Batik
Berunsur Alam
SEMEN SAWAT
(GURDO) ALAS-ALASAN
INTERPERTASI
MAKNA
ALAM
ATAS
Gunung
Semeru/
Brahma
Lingga
(Siwa)
Tirta
Marta
Raja
Burung,
Lar
(sayap)
bersulur
bangunan,
kapal
Udara,
Garuda,
Matahari
Burung
Garuda,
burung
merak,
Lar
(sayap),
gunung,
Awan,
angkasa,
Awan,
kupukupu,
kumbang,
Kekuasaan,
kejayaan,
kesaktian,
wahyu,
suci, roh
ALAM
TENGAH
Manusia,
Tanah
Brahma
Tumbuhan,
Kalpataru,
(pohon
hayat)
Ayam
jantan,
kuda,
harimau,
tumbuhtumbuhan
Kehidupan,
kakyaan,
kemakmuran,
pengavoman,
kegembiraa,
hidup,
ALAM
80
BAWAH
Laut,
Wisnu,
Betari Sri
Laut,
Ular
(naga)
Kesuburan
Roh-roh jahat,
sacral,
kedukaan,
sengsara,
kematian
Tabel di atas merupakan dasar analisis yang dilakukan oleh Susanto (1983:
235-237), dan Veldhuisen (1988: 28) yang dicuplik oleh Pujianto ( halaman
134-135). Tabel 1 menunjukan sebuah sistem analisis makan, yang
dimungkinkan mendapatkan sebuah gambaran yang jelas tentang lambang-
lambang dan ditafsir. Sementara Pujianto hanya menyitir dari hasil
pemikiran peneliti lain yang telah berupa pernyataan. Paparan Pujianto
dalam menguraikan makna-makna seolah-oleh benar. Kalau diperhatikan,
ternyata segi tiga kuliner tersebut tidak cocok, atau tidak terbukti.
Maka dimungkinkan, bahwa ketiga batik tersebut memiliki pormasi
struktural yang lain.
Berdasarkan hasil pencermatan melalui table 1, ternyata tidak semua
motif batik berunsur alam memiliki realisi dengan konsep triloka,
buktiHidayat, Kajian Strukturalisme-Simbolik 293
nya unsur-sunsur alam tampak mengelompok pada kolom alam atas ,
dan sebagian kecil berrelasi dengan kolom alam tangah . Sedangkan
untuk kolom alam bawah tidak menunjukan adanya relasi. Analisis ini
menunjukan, bahwa konsep triloka dimungkinkan tidak tepat, atau kurang
dapat memberikan pemahaman secara komperhensif.
Analisis pada tabel 1 menunjukan, bahwa sistem analisis terhadap
motif batik berunsur alam kurang menunjukan akurasinya, sungguhpun
tidak seluruhnya salah. Akan tetapi menjadi kurang mampu memberikan
pemahaman yang lengkap dan jelas. Model pemahaman yang dilakukan
oleh Pujianto adalah analisis analogi, simbol dibaca dari materi yang seolah
oleh menyimbolkan dari sesuatu. Sebagai contoh garuda dipahami
berdasarkan makna sifat dari binatang yang mampu terbang, dan memiliki
relasi dengan mitos tentang burung dewata . Salah satu burung yang
diyakini sebagai kendaraaan dewa Wisnu, atau ular yang berrelasi dengan
air, sungai, laut, sebagai lawan garuda, sehingga ular berrelasi dengan
dunia bawah (Pujianto, 2003:134).
Apabila diubah relasinya, yuitu tidak dengan paham triloka yang
dianggam memberikan makna pada motif batik berunsur alam. Tetapi
menekankan relasi batik berunsur alam dengan fenomena kekuasaan
Jawa , yaitu menempatkan raja dengan kode (+) dan rakyat dengan
kode (- ). Ditemukan relasi kearah paham monisme dualitik, yaitu
memandang kosmis tercipta serba dua (Sutarno, 2002: 24, Zoetmulder,
2000: 127). Jika dicermati lebih lanjut paham monisme dualitik memandang
dunia ini terbentuk berdasarkan relasi yang bersifat oposisional (bertentangan
dalam kesatuan), yaitu sesuatu menjadi ada karena memiliki realsi dengan
keberadaannya. Matahari yang berbentuk bulat, berrelasi dengan bulat yang
disebut Matahari , tidak berelasi dengan bulat
yang disebut dengan rembulan . Pemikiran ini ditunjukan oleh Levi-
81
Strausss berdasarkan konsep Ferdinad de Saussure tentang bahasa;
Bahasa memiliki aspek Langue dan parole parole adalah bahasa sebagaimana
dia diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari sebagai
sarana berkomunikasi. Parole adalah aspek statistikal dari bahasa
yang muncul dari adanya penggunaan bahasa secara kongkrit, sedangkan
aspek langue dari sebuah bahasa adalah aspek strukturalnya. Bahasa dalam
pengertian ini merupakan struktur-struktur yang membentuk suatu sistem
atau merupakan suatu sistem struktur, yang relative
tetap, yang tidak terpengaruh oleh individu-individu yang meng294
BAHASA DAN SENI, Tahun 32, Nomor 2, Agustus 2004
gunakannya. Struktur inilah yang membedakan suatu bahasa dengan
bahasa yang lain. Bahasa sebagai suatu lengue berada dalam waktu
yang bisa berbalik (reversibele time), karena dia terlepas dari
perangkap waktu yang diakronis, tetapi bahasa sebagai parole tidak
dapat terlepas dari perangkap waktu itu sehingga parole dianggap oleh
Lovi-Strauss berada dalam waktu yang tidak dapat berbalik (non-
revarsible time).
Mitos, kata Levi Strauss, juga berada dalam dua waktu sekaligus,
yaitu waktu yang bisa berbalik, dan waktu yang tidak bisa
berbalik. (Ahimsa-Putra, 2001: 80-81).
Pemahaman di atas menunjukan, bahwa motif batik berunsur alam dapat
dipahami sebagaimana langue dan parole [simak John Strorey, 2003:105-
142], perwujudan yang terlukis pada kain (jarid) yang berfungsi sebagai
busana para priyayi Jawa. Motif yang terlukis selain menunjukan pola
gambar yang dapat ditangkap dengan indra penglihatan, seperti katakata
(bahasa) yang sebagai alat komunikasi sehari-hari, yaitu diucapkan.
Akan tetapi wujud gambar itu menunjukan adanya pola realisonal yang
bersifat permanen, yaitru disebut struktur atau sebagai grammer pada
bahasa. Aspek visual yang ditangkap menjadi perhatian utama untuk dipahami
relasi-relasinya, yaitu sesuatu yang tidak tampak pada gambar itu
sendiri.
Tabel analisis berikut secara keseluruhan memanfaatkan data yang ditulis
oleh Pujianto berdasarkan cuplikan dari berbagai sumber. (simak
halaman 134-138). Pertimbangannya adalah cuplikan tersebut
merupakan data yang telah teranalisis.
Tabel yang dibuat oleh Pujianto, tabel 1 Mitologi Jawa dalam Motif Batik
(lihat halaman 137) tidak jelas. (antara ornamen, lambang dan arti tidak
menunjukkan sumber data, dan relasi konstan). Tetapi tabel 2 di atas
cukup jelas, yaitu menempatkan unsur-unsur yang saling berkait dan
saling menjelaskan, bahkan mengetengahkan kemungkinan strukturnya.
Analisis motif batik berunsur alam yang terdiri dari motif Semen,
motif Sawat, dan motif Alas-alasan dapat lebih mendalam. Analisis ditujukan
untuk mencari strukltur (Pujianto mengartikan dengan Mitologi, walaupun
langkah pencermatannya tidak secara mendalam membicara Skematis antara
wujud, realasi, dan simbol dapat dikemukakan sebagai berikut.
Hidayat, Kajian Strukturalisme-Simbolik 295
Tabel 2. Analisis Relasi dan Simbol Motif Batik Berunsur Alam
Wujud Motif Relasi Simbol
Burung, Mitos tentang burung Garuda
(burung dewata), cerita Ramayana,
cerita Garudia
Kejayaan, kebesaran, kekuasaan,
keluhuran, kebijakan, kesetiaan
82
Lar (sayap) Unggas bersayap, belencong
(lampu/sinar)
Kekuatan, kebijakan, pencerahan,
kebebasan
Sulur Tanaman menjalar Kesuburan, kecerdirkan, ikatan
kekerabatan, kesetiaan, pikiran
Bangunan, Rumah, Istana, Sorga Ketentraman, kedamaian,
perlindungan, kekuasaan
Kapal, Mitos kematinan, bentuk wayang
rampokan
Kebebasan, kebesaran, pelepasan,
kepergiaan, harapan, tujuan
Motif
Semen
Tumbuhtumbuhan
Mitos kesuburan, mitos Sri-
Sadana
Kemakmuran, kekayaan, ketentraman
Burung Garuda,
Mitos tentang burung Garuda
(burung dewata)
Kejayaan, kebesaran, kekuasaan,
keluhuran, kebijakan, kesetiaan
Burung
merak,
Wanita (femimimitas) Kasih saying, kecantikan
Lar (sayap) Unggas bersayap, belencong
(lampu/sinar)
Kekuatan, kebijakan, pencerahan,
kebebasan
Gunung Mitos tentang sorga, puncak
meru, kayon
Puncak, keabadian, ketenangan,
ketentraman, kesucian
Tumbuhtumbuhan
Mitos kesuburan, mitos Sri Sadana.
Kemakmuran, kekayaan, ketentraman
Motif
Sawat
Pohon hayat Pohon beringin, ringin kurung,
pundhen desa, kalpataru,
gunungan wayang kulit
(Kayon)
Perlindungan, kekuasaan, kelestarian,
perdamaian
Awan, Sorga, langit, angkasa (langit) Maskulinitas (bapa), kekuasaan,
keinginan, harapan,
Kupu-kupu, Mitos tentang kesejodohan Kecantikan, kasih sayang, kesetiaan
Kumbang, Kejantanan Keperkasaan
Ayam jantan, Kejantanan (maskulinitas) Keperkasaan,
Kuda, Kejantanan Kekuatan, keperkasan,
Harimau, Kejantangan Kekuatan, keperkasaan
Tumbuhtumbuhan
Mitos kesuburan, Mitos Sri
Sardono
Kemakmuran, kekayaan, ketentraman
Laut, Mitos Laut selatan, Kebebasan, pikiran, kekuasaan,
kekuatan penakluk
Motif
Alasalasan
Ular (naga) Dewa Siwa, alam kegelapa,
tanah
Kejahatan, pembasmi, kekuatan
perusak, penghancur, rintangan,
kegelapan
296 BAHASA DAN SENI, Tahun 32, Nomor 2, Agustus 2004
tentang mitologi Jawa. Tetapi mengarah pada kajian simbolik) pemikiran
masyarakat pemilik simbol. Dalam hal ini diarahkan pada masyarakat
keraton Jawa dari dinasti raja-raja Mataram, atau pandangan para priyayi
83
(maksud dari Pujianto adalah keraton Kasunanan Surakarta) . Melalui
pendekatan Strukturalisme dapat mencermati motif (wujud material visual
sebagai tanda) pada Batik, kaitanya dengan mitologimitologi tertentu yang
menghadirkan motif- motif pada kain batik. Pujianto
lebih menitik beratkan pemahamannya tentang mitologi Jawa yang tampak
pada motif-motif batik berunsur alam, seperti motif Sulur-suluran,
tanaman, unggas (burung garuda, merak), pohon hayat, lidah api, awan,
naga, kupu-kupu, dan lain sebagainya. Fenomena alam yang berwujud
motif alam pada kain batik, secara linier dicari keterkaitannya dengan
mitos Jawa (salah satunya digali dari paham filosis Jawa), yaitu tentang
paham monisme dualistik.
Paparan pada artikel Pujianto tampaknya rasional, logis, dan referentif,
sehingga tidak menyadari adanya ambiguitas, antara judul yang diajukan
dengan pokok pikiran yang dipaparkan. Kondisi ini dikarenakan oleh
sifat diskriptif yang tidak analitis, seolah-olah referensi dari berbagai
sumber benar-benar memberikan dukungan pada asumsi judul.
Pendekatan strukturalisme mengarahkan kajian pada mitos. Unsur
mitos, salah satunya ada pada motif batik. Motif-motif pada batik yang
memvisualisasikan fenomena alam diangkat sebagai morfem (unsur
terkecil dari unit kata), kemudian motif-motif dianalisis keterkaitannya
dengan motif-motif lain untuk menentukan sebuah struktur, yaitu yang
terrangkum dalam salah satu bentuk, seperti bentuk batik Semen, Sawat,
atau Alas-alasan. Artinya selembar kain batik yang disebut Semen, dipahami
sebagai sebuah struktur. Struktur Batik Semen didiskripsikan
sedemikian rupa, meliputi warna dasar, ukuran, garis-garis, gambar, posisi
motif, dan berbagai perujudan lain termasuk jumlah dan pengulangan bentuknya.
Kemudian dilanjutkan menelaah makna dengan alat analisis, salah
satunya adalah menggunakan teori semiotika, atau Hermeneutik. Metode
ini yang dimaksud oleh Heddy Shri Ahimsa-Putra sebagai kajian
tekstual (2000: 404).
Pendekatan Strukturalis tidak hanya berhenti memahami teks (wujud kain
batik, dan motif-motifnya), akan tetapi lebih mendalam. Kajian yang
menjadi sasaran adalah kesadaran dari ketidaksasaran tindakan, ucapan,
Hidayat, Kajian Strukturalisme-Simbolik 297
dan keputusan sesorang. Struktur sebagai bagian dari sistem mental manusia
adalah sesuatu yang berada di luar kesadaran manusia dan merupakan
kebudayaan itu sendiri (Masinambaw & Hidajat, 2001:31) Fenomena ini
seperti kita berbicara; kata demi kata yang terlontar sangat disadari
maknanya, tetapi bersamaan dengan itu, sebenarnnya semua orang tidak
dengan amat menyadari tata bahasa (grammer) yang sedang digunakan.
Mitos adalah grammer yang membimbing sebuah komunitas memahami
realitas kehiduannya, sehingga tercipta berbagai bentuk mitos tentang asal
usul sebuah komunitas, mitos kesuburan, mitos perjodohan, mitos
kekuasaan, dan lain-lain.
Pujianto mengemukakan opininya tentang mitologi Jawa pada subbab
Pandangan Hidup Orang Jawa (halaman 137-140). Maksudnya
adalah mencari makna dari tanda . Akan tetapi perlu disadari, makna tidaklah
dicari pada dunia eksteral, melainkan diperoleh atas dasar pertalian tanda-tana
(artinya antar tanda) itu sendiri. Maka, analisis kebudayaan berdasarkan
perspektif strukturaliseme adalah analisis unit mental (Masinambaw & Hidajat,
2001:31). Paparan tersebut merupakan interpertasi
84
untuk menemukan makna, yaitu makna yang tersimpan pada struktur dalam
(deef stracture). Agar uraian Pujianto menjadi lebih lengkap, paparan
berikut ini menganalisis deef stracture berdasarkan realsi antar
tanda pada motif batik yang dimaksud.
ANALISIS STRUKTUR
Relasi isor (bawah) [ - ] dan duwur (atas) [ + ], salah satu klasifikasi
simbolis dalam budaya Jawa (Koentjaraningrat,1994 :228) yang terwujud
dalam mitos-mitos kekuasaan,. Kekuasaan tidak dapat berdiri sendiri,
tetapi harus diwujudkan sedikitnya dua relasi, yaitu . Tuhan (Gusti) memiliki
kuasa atas makluk (kawula) yang dikuasai . Agar dapat memahami
eksistensi Gusti dan kawula dan analoginya gusti (raja) dan
kawula (rakyat) maka tercipta sebuah konstruk pikiran Kawula -
Gusti , yaitu sebuah paham kemanunggalan (kesatuan) yang berikutnya
menjadi paham monisme dualitik, yaitu Loro-loroning Atunggal,
Curiga manjing warangka.
Konsep tersebut dimungkinan dapat ditafsirkan dari bentuk struktur batik
Sawat, sebuah batik yang digunakan oleh Susuhunan Pakubuwana
(Surakarta) ketika duduk di dapar kencana. Hakekatnya adalah sebuah
298 BAHASA DAN SENI, Tahun 32, Nomor 2, Agustus 2004
presentasi idealistik raja Jawa yang menganggap dirinya adalah menivestasi
Dewa . Pandangan ini telah dikonstruk sejak jaman kerajaan Singasari. Ken
Arok melegitimasi dirinya sebagai putra Betara Brahma. Konsep
raja sebagai manivestasi dewa ini ternyata berlanjut hingga dinasti
raja-raja Mataram, bahwa raja Jawa dipahami sebagai Gusti (bahasa
Jawa gusti juga dipahami sebagai kekuasaana gaib dari realitas
transendental), dan rakyat dipandang sebagai kawula . Paham ini dikenal
dengan konsep dewa raja . Woro Ariyandini S., seorang peneliti dari
Universitas Indonesia menjelaskan paham tersebut sebagai berikut:
Dalam pikiran orang Jawa, bahwa lapisan bawah yang biasa disebut rakyat
juga mendapat perhatian. Penguasa dan rakyat ada hubungan timba-balik.
Bila dengan ungkapan manunggaling kawula-Gusti (dengan G besar)
dimaksudkan sebagai persatuan antara manusia dengan penguasa gaib
(Tuhan), maka juga ada persatuan antara manusia dengan penguasa
masyarakat. Penguasa masyarakat adalah raja
yang dianggap mewakili kekuasan Tuhan di dunia. Persatuan ini diibaratkan
sebagai manunggaling kawula gusti (dengan g kecil). Raja
yang bersifat Saraita, Danaita, Darmaita ( ahli stragegi perang,
siap memberi bantuan pada siapapun yang membutuhkan, dan
bersikap adil), berfungsi (raja) sebagai pusering bumi lan langit
(pusat bumi dan langit sekaligus) (2002: 101).
Mitos tentang relasi atas-bawah juga hadir pada konsep-konsep tentang
kesuburan, yaitu memahami angkasa sebagai bapa (eksistensi maskulin)
dan bumi sebagai ibu (eksistensi feminim). Anthony Reid
mengemukakan perihal esensi pria-wanita yang bersifat saling melengkapi,
sebagai berikut:
Kepriaan biasanya dikaitakan dengan warna putih 9air mani),
kehangatan, langit, bentuk, pengendalian, dan kreativitas yang dikarsai.
Wanita dikaitkan dengan warna merah (darah), kesejukan, bumi, subtansi,
spontanitas, dan kreativitas alami kedua-duanya dipandang
perlu pemaduan, sebuah citra yang kuat. (1992:186)
Menyatunya dua eskistensi tersebut menurunkan yang disebut wiji ,
bibit , atau tunas yang harus di semai kan, istilah ini berrelasi dengan
85
motif batik Semen , yang artinya semi. Semi memberikan petunjuk adanya
kaitan dengan mitologi tentang padi , yaitu Betari Sri dan Raden Sedana
(Danandjaya,1989: 635). Ayah ibarat pohon, yang tumbuh di bumi
Hidayat, Kajian Strukturalisme-Simbolik 299
(tanah), eksistensinya sebagai pengayom, pelindung istri dan anakanaknya.
Ketika laki-laki (ayah) hadir sebagai penguasa menunjukan sikap berbudi
bawa leksanan , kebijakan atas dirinya, keluarga, anak buah, dan seluruh
rakyat. Maka raja Jawa yang dilegitimasi dengan mitos Raja-Dewa
menunjukan, bahwa titah (perintah) raja selalu dipandang sebagai
bijaksana; sabda pandita ratu, ora kena wula-wali. Ini tampak pada
struktur batik Alas-Alasan.
Relasi gunung laut , gunung adalah sorgaloka; sorga tempat
bersemayamnya para dewa, sedangkan dunia ada percapada. Gunung
laut berrelasi horizontal, menunjuk pada struktur tengen (kanan)[+]-
kiwa (kiri)[-]. Konsep kesuburan menempatkan kedudukan suami
(tengen/ kanan) dan istri (kiwa/kiri). Kedudukan relasi ini bermakna
Loroloroning Atunggal dalam posisi horizontal. Kenyataan ini hingga
kini dapat disimak pada posisi simpingan (jajaran) figure wayang kulit,
yang menunjukan kelompok kanan (bala tengen) dan kelompok kiri
(bala kiwa).
Gunung laut juga berkaitan dengan kiblat (arah mata angin). Gunung
(merapi) berada di Utara, dan laut berada di selatan (pantai parangtritis),
kaitannya dengan posisi kekuasaan, raja berada di timur (gegong kuning
keraton Kasultanan Yogyakarta menghadap ke Timur), berrelasi dengan emas
, kebesaran, keagungan, dan kejayaan. Barat menunjukan
arah marabahaya, ancaman Batari Durga, sering ditunjukan pada fenomena
candikala (mega merah tembaga ketika sore hari) . Tempat arwah yang tidak
beruntung, siksaan, dan bermukimnya jin, setan, dan roh- roh pengganggu
manusia. Selatan menunjukan arah laut, bersemayamnya ratu pantai selatan,
ratu pelindung raja-raja Jawa (sejak jaman
Mataram).
Gunung laut menunjukan posisi horizontal, menampakan hubungan
yang bersifat duniawi, tempat makluk hidup bertebaran. Hutan-hutan yang
lebat merupakan tempat yang aman, sebuah areal tempat berlindungnya
semua satwa, tumbuhan, dan juga manusia. Hutan lebih bersifat magis,
keramat, atau sakral. Eksistensial hutan ditampakkan perwujudan kalpataru
(pohon hayat), simbol keseimbangan ekologi. Di sini menempatkan posisi
Gunung sebagai sumber mataair, dan laut sebagai muara. Gunung laut
diwujudkan secara struktural pada bentuk motif Alas-alasan, yang da 300
BAHASA DAN SENI, Tahun 32, Nomor 2, Agustus 2004
pat dipahami sebagai hutan . Hutan merupakan gagasan utama
adanya kayon atau kayun yang berarti hidup. Kayon dalam konsep
wayang Jawa adalah gunungan , atau meru , atau pohon sorga (Sri
Mulyana, 1982:33).
Paparan relasional dari motif batik Semen, Sawat, dan Alas-alasan
merefleksikan sebuah deef structure sebagaimana skema garis bersilang,
horizontal dan vertikal.
Gambar 3. Skema oposisional berdasarkan monisme dualitik. Sebuah pola
pikir orang Jawa disebut loro-loroning a tunggal
Tengen
(kanan)
86
Kiwa
(kiri)
Isor (bawah)
Duwur (atas)
(-)
(+)
Batik
Batik Alas-
Batik Semen
(+
)
(-)
Gusti
Kawula
Gunun
Laut
Hidayat, Kajian Strukturalisme-Simbolik 301
Telaah dengan perspektif strukturalisme tidak hanya mendiskripsikan
makna mitologis, tetapi dapat menunjukan kedudukan objek. Temuan ini
menunjukan, bahwa fungsional suatu benda selalu terkait dengan
kedudukan atau posisi di antara benda yang lain. Kenyataan ini yang
dimaksudkan oleh Emil Durkheim sebagai organisme; di mana suatu benda
memiliki posisi dan fungsi tertentu. Kapasitas benda pada posisi dan
fungsinya semata-mata terkait dengan benda lain secara struktural.
PENUTUP
Analisis mitos kaitanya dengan perwujudan benda budaya, seperti
topeng, makanan tradisional, perdukunan, ilmu sihir, dan juga dimungkinkan
adalah motif batik. Pujianto telah berusaha untuk memaparkan gagasanya
tentang mitologi Jawa kaitannya dengan motif batik berunsur
alam.
Pijianto mempunyai sudut pandang, dan memilik model pemaparan dengan
menekankan aspek simbolisasi. Sungguhpun analisis simbolis terpaku pada
teks , akibatnya aspek struktur terabaikan. Terlebih, berbagai asumsi dari
para peneliti lain atau tulisan-tulisan lain yang bertebaran dengan gampang
mempengarui. Sebagai contoh asumsi Pujianto, bahwa motif bagik Semen,
Sawat, dan Alas-alasan berkati dengan paham Hindu tentang triloko ,
hubungannya dengan mitos kesuburan dan kekuasan. Asumsi Pujianto perlu
diuji, setidaknya meminjam model segitiga kuliner yang digunakan oleh
Lovi-Strauss untuk menganalisa makanan. Inspirasinya menggunakan
segitiga kuliner berasal dari segi tiga
vocal: gagasan dari seorang lingguis Roman Jakobson (Cremer, 1997:790.
Ternyata tidak mempu menjawab gagasan Pujianto yang mengkaitkan
konsep triloko dengan bentuk motif batik.
Pujianto tidak mengkaitkan tiga motif batik Semen, Sawat, dan Alasalasan.
Akibatnya sulit untuk mengetahui hubungan strukturalnya, kaitanya dengan
mitologi Jawa tentang kekuasaan dan kesuburan. Setelah dilakukan analisis
unsur motif, relasi, dan simbol di temukan sejumlah kecendrungan makna.
Temuan tersebut merupakan modal untuk menyusun
struktur.
Struktur yang berupa persilangan yang dibentuk antara garis vertical;
87
duwur (atas) bernilai (+) yaitu bermakna transkendental, berkait
dengan kedudukan raja , yaitu adanya konsep Dewa-raja . isor
302 BAHASA DAN SENI, Tahun 32, Nomor 2, Agustus 2004
(bawah) bernilai (-) yaitu bermakna profane, berkait dengan kedudukan
rakyat kawula . Garis ini mengubungkan antara struktur motif batik
Semen dan Alas-alasan. Garis horizontal menunjukan antara rentang
Tengen (kanan) bernilai (+) gunung , swargaloka, tempat arwah
bersemayam. Kiwo (kiri) bernilai (-) berrelasi dengan laut , tempat roh-
roh jahat, naga, dan kekuatan penghancur.
Struktur silang (crossing model) menjelaskan tentang makna kawula-
Gusti atau raja-rakyat yaitu sebuah falsafah kekuasaan rajaraja Jawa.
Niels Mulder menjelaskan,
gagasan mencapai persatuan antara hamba dan Tuhan secara mistik
( manunggaling kawula-Gusti). Untuk mencapai tujuan ini orang harus
mengatasi kekangan-kekangan yang membelenggu dirinya kepada
eksitensi gejalan seperti misalnya hawa nafsu dan rasionalitas duniwi
yang hanya menuju kearah persepsi kebenaran yang bersifa kehayali
(1996:31).
Pemikiran itu juga berkait dengan konsep sangkan paraning dumadi ,
yaitu tentang asal usul manusia dan kepasrahannya terhadap sifat gaib
transendental (Tanpoaran,1988: 56-57). Kepasrahan ini seperti sifat
Garuda yang dengan rela sebagai kendaan dewa Wisnu, yang berposisi
dengan ular naga pada cerita tentang Garudia , sebuah relief yang
dipahat di candi Kidal. Sebuah kisah Garuda yang membebaskan ibunya
dari tawanan bangsa naga, ini sebuah kerelaan, ketulusan, dan juga
kesetiaan. Struktur silang tersebut juga dapat menjelaskan kedudukan
wanita dan laki-laki dalam pengertian vertical, tetapi juga sekaligus
menjelaskan Lanang dan Wadhon secara horizontal. Di sini terjadi sebuah
pemahaman tentang pesejodohan, dan sekaligus kepasrahan, yaitu ngabekti.
Pujianto mengkaitkan dengan sikap wanita sebagai pembatik yang rela,
narima, temen, sabar, dan budi luhur. (2003: 139). Gambaran wanita
sebagai pembatik itu adalah sebuah metafora, yaitu mendudukan wanita
pada sumbu vertikal dengan laki-laki. Fenomena tersebut dapat disimak
pada sebuah tembang dhandhanggula dalam Serat Niti-Praja. Kedudukan
wanita Jawa dimata laki-laki sebagai berikut:
Lamun sira rineka pawestri,
Kinarya gedhong dening sang
nata, Semunira den asumeh,
Hidayat, Kajian Strukturalisme-Simbolik 303
Mang salokanira kepanggih,
Kadi garwa kawitan,
Setyanireng kakung, Angrasa
yen sinatyan,
Ing raga nuta saosa kersing
laki, Boga busana mukya
Kalau engkau dijadikan istri, Buat
simpanan oleh sang raja, Hendaknya
wajahmu berseri manis, Pasrahlah
dalam segala kehendaknya, Dan
pelayananmu bila ketemu, Seperti
istri pertama,
88
Kesetiaanmu pada suami
Merasalah jika dicintai
Jiwa raga serahkan sepenuhnya pada pria
Makan minum kegemarannya. (Purwadi, 2001:8-9)
DAFTAR RUJUKAN
Tanpoaran. 1988. Sangkan paraning Dumadi. Surabaya: Yayasan Djojo Bojo &
Paguyuban Sosrokertanan Surabaya.
Abdullah, Faufik & Leeden, A.C. van Der. 1986. Durkheim dan Pengantar
Sosiologi Moralitas. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Ahimsa-Putra, Shri Heddy (ed.). 2000. Ketika Orang Jawa Nyeni. Yogyakarta:
Galang press.
Aryandini S, Woro. 2002. Wayang dan Lingkungan. Jakarta: Universitas Indonesia
Press.
Ciptaprawiro, Abdullah.1986. Falsafah Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Cremers, Agus. 1997. Antara Alam dan Mitos. Flores: Nusa Indah.
Danandjaya, James. 1989. Kebudayaan Petani Desa Trunyan di Bali. Jakarta:
Universitas Indonesia Press.
Herusatoto, Budiono. 2001. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Hanindita.
Holt, Claire. 1967. Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia. Diterj.
Soedarsono.2000. Bandung: Masyarakat Seni Indonesia.
Kaplan, David & Monners, Albert A.2000. Teori Budaya, diterjemahkan: Landung
Simatupang.Yogyakrta: Pustaka Pelajar.
304 BAHASA DAN SENI, Tahun 32, Nomor 2, Agustus 2004
Koentjaraningrat, 1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Kurniawan, 2001. Semilogi Roland Barthes. [tanpa kota terbit], Yayasan Indonesiatera.
Masinambow, E.K.M. & Hidajat, Rahayu S. 2001. Semiotik; Mengkaji Tanda
dalam Artifak. Jakarta: Balai Pustaka.
Mulder, Niels, 1974. Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional.Yogyakrta:
Gadjah Mada Universitas Press.
Mulder, Niels. 1996. Pribadi dan Masyarakat di Jawa. Jakarta: Sinar Harapan
Mulyana, Sri. 1982. Wayang; Asal-usul, Filsafat dan Masa depannya. Jakarta:
Gunungagung.
Pujianto, 2003. Mitologi Jawa dalam Motif Batik Unsur Alam , artikel pada
Jurnal Bahasa dan Seni, tahun 31, nomor 1, Februari 2003. Malang: Fakultas
Sastra, Universitas Negeri Malang.
Pujianto. 2003. Mitologi Jawa Dalam Motif Batik Unsur Alam . Artikel pada
Jurnal Bahasa & Seni, tahun 31, nomor 1, Februari 2003. Malang: Fak.
Sastra, Universitas Negeri Malang.
Purwadi, 2001, Memutar Taman Sri Wedari. Yogyakarta: media Pressindo.
Randrianarisoa, Olga. 1983. Totemisme di Madagasikara artikel pada majalah
budaya Basis, Juni 1983 XXXII 6. Yogyakarta : Yayasan P.B. Basis.
Storey, John. 2003. Teori Budaya dan Budaya Pop. Yogyakarta: Qalam.
Sutarno, 2002. Pewayangan Dalam Budaya Jawa artikel dalam jurnal
Dewa Ruci, vol. 1, no. 1, April 2002. Surakarta: Program Pascasarjana
Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta.
Zoetmulder, P.J. 2000. Manunggaling Kawula Gusti; pantheisme dan Monisme
dalam Sastra Suluk Jawa. Diterj. Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia.
Reid, Anthony [1988]. Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680. diterj.
Mochtar Pabotinggi. 1992. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Yahya, Amri. 1985. Sejarah perkembangan Seni Lukis Batik Indonesia .
Yogyakarta: Makalah disajikan pada seminar Javanologi. Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, Direktorat jendral Kebudayaan, Proyek Penelitian
dan Pe
89
ngkajian, KebuKajian strukturalisme dan nilai edukatif dalam cerita
rakyat kabupaten Klaten
L.G. Sarmadi
ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan jenis-jenis cerita
rakyat Kabupaten Klaten; (2)
mendeskripsikan struktur cerita rakyat Kabupaten Klaten; dan (3)
mendeskripsikan nilai edukatif yang
terkandung dalam cerita rakyat Kabupaten Klaten. Pendeskripsian struktur
cerita rakyat meliputi isi cerita,
tema, alur, tokoh, latar, dan amanat. Pendeskripsian nilai edukatif (pendidikan )
dalam cerita rakyat meliputi
nilai pendidikan moral, nilai pendidikan adat, nilai pendidikan agama (religi),
nilai pendidikan sejarah
(historis), dan nilai pendidikan kepahlawanan. Penelitian ini merupakan penelitian
kualitatif deskriptif.
Informasi dari penelitian ini dideskripsikan secara analitis dan teliti. Strategi
yang digunakan adalah studi
kasus tunggal yang dilakukan pada satu sasaran (subjek) dan satu
karakteristik, yaitu cerita rakyat
Kabupaten Klaten. Data penelitian dikumpulkan melalui beberapa sumber yaitu
informan, observasi
benda-benda fisik dan dokumen. Teknik pengumpulan data yang digunakan
melalui observasi langsung,
perekaman, wawancara, pencatatan, dan analisis dokumen. Teknik cuplikan
(sampling) yang digunakan
adalah purposive sampling. Teknik validasi data yang digunakan adalah
triangulasi data/sumber, metode,
dan teori. Teknik validasi data lain yang digunakan adalah informant review.
Teknik analisis data yang
digunakan adalah analisis struktural dan analisis model interaktif
(interactive model of analysis) Dalam
penelitian ini ada lima cerita rakyat Kabupaten Klaten yang dihimpun dan
dianalisis. Lima cerita rakyat
tersebut, yaitu: (1) “Ki Ageng Padang Aran”, (2) “Petilasan Sunan Kalijaga”, (3)
“Raden Ngabehi Ronggo
Warsito”, (4) “Reyog Brijo Lor”, dan (5) “Kyai Ageng Gribig”. Cerita rakyat
Kabupaten Klaten tersebut
diklasifikasikan ke dalam legenda dan lebih spesifik dapat diklasifikasikan
ke dalam kelompok legenda
setempat, legenda perseorangan , dan legenda keagamaan. Isi dan tema
cerita rakyat Kabupaten Klaten
adalah syiar agama, perjuangan seorang tokoh, dan terjadinya suatu
tempat. Alur cerita yang digunakan
adalah alur maju atau lurus. Tokoh yang dominan dalam cerita rakyat Kabupaten
Klaten adalah manusia
yang digambarkan sebagai manusia yang memiliki kasaktian dan
berkarakter baik. Latar yang paling
dominan adalah latar tempat. Amanat yang terkandung dalam cerita rakyat
Kabupaten Klaten cukup
90
bervariasi. Nilai pendidikan yang terdapat dalam cerita rakyat Kabupaten
Klaten, adalah Nilai pendidikan
moral , nilai pendidikan adat (tradisi), nilai pendidikan agama (religi),
nilai pendidikan sejarah (historis), dan
nilai Kepahlawanan
1/1dayaan Nusantara (Javanologi).
91