Anda di halaman 1dari 91

Teori Strukturalisme – Levi Stauss

A. Pendahuluan

Teori Sosiologi dapat dibagi sesuai dengan periode ditemukannya, yaitu,


teori Sosiologi Klasik dan teori-teori Sosiologi Modern dan Post Modern. Teori
Strukturalisme termasuk teori Sosiologi Modern dan juga Post Modern, karena
dalam perkembangannya, teori ini terus dikembangkan dan menjadi teori Post
Strukturalisme. Paper ini ditulis dalam rangka ingin menjelaskan mengenai teori
Strukturalisme Levi-Strauss, yang termasuk teori Sosiologi Modern, namun untuk
memperjelas pembahasannya akan ditambah juga dengan pembahasan teori
Strukturalisme Post Modern. Walaupun teori ini jelas memusatkan perhatiannya
pada struktur, tetapi tidak sepenuhnya sama dengan struktur yang menjadi sasaran
perhatian teoritisi Fungsionalisme Struktural (salah satu teori Sosiologi klasik).
Perbedaanya pada tekanannya, yaitu Fungsionalisme Struktural memusatkan
perhatiannya pada struktur sosial, sedangkan Teori Strukturalisme Levi-Strauss
memusatkan pada struktur linguistik (Ritzer, 2004 : 603).

Teori ini sebenarnya lebih terkenal sebagai teori Antropologi, tetapi dalam
perkembangannya juga dimasukkan dalam teori Sosiologi. Strukturalisme
memberikan perspektif baru dalam memandang fenomena budaya. Hal-hal yang
tadinya dianggap sederhana dan tidak penting, justru memiliki peran yang sangat
penting dalam menemukan dan memahami gejala sosial budaya, misalnya adalah
bagaimana kita mungkin bisa memahami suatu fenomena sosial dengan
menggunakan analisis sebagaimana para ahli Linguistik memahami bahasa.

Bahasa memiliki tempat yang istimewa dalam ilmu sosial. Sebagai alat
berkomunikasi, bahasa merupakan unsur yang sangat penting dalam kebudayaan
manusia. Oleh karena itu wajar jika untuk mengungkap persoalan budaya dapat
dilakukan melalui atau mencontoh metode bahasa (ilmu bahasa). Marcel Mauss
(dalam Allen Lane, 1968) menuliskan bahwa:

1
“Sociology would certainly have progressed much further if it had
everywhere followed the lead of the linguists……”.
Maksudya Sosiologi akan semakin berkembang jika diinspirasi oleh para
ahli bahasa dalam memahami gejala sosial. Salah satu ilmuwan sosial yang
menggunakan cara bagaimana memahami bahasa dalam menjelaskan fenomena
sosial adalah Levi-Strauss.

Levi-Strauss melakukan konseptualisasi ulang di bidang Antropologi


dengan sebutan "tiga nyonya" yaitu geologi, psikoanalisis, dan Marxisme untuk
membantu membentuk tren dalam ilmu-ilmu sosial dan teori sastra, dan
dipengaruhi oleh intelektualisme seperti Michel Foucault dan Jacques Derrida.
Lahir di Belgia, Levi-Strauss belajar filsafat di universitas Sorbonne, Paris dan
mengajar Sosiologi di Brasilia pada 1930-an. Teori-teorinya didasarkan hasil
penelitannya di belantara Amazone di Brasilia. Sebagian besar teorinya dibangun
selama 3 tahun ketika menghabiskan waktu bersama suku Indian di pedalaman
Brasil.

Pergumulan antara ilmu sosial dan ilmu bahasa telah melahirkan


perspektif baru yang membuka jalan bagi perkembangan kedua bidang ilmu
tersebut. Ilmu bahasa semakin berkembang berkat penemuan-penemuan dalam
bidang Antropologi, demikian juga yang terjadi pada ilmu sosial atau Antropologi
yang perkembangannya banyak dipengaruhi oleh para ahli bidang linguistik.
Proses inilah yang kemudian melahirkan teori Strukturalisme Levi-Strauss itu.

N. Troubetzkoy (dalam Alan Lane, 1968) menyatakan bahwa pikiran dasar


dari teori Struktural adalah: Pertama, linguistik struktural mengalami lompatan
dari studi fenomena kesadaran linguistik pada infra-struktur nir-sadar. Kedua,
Strukturalisme tidak menganggap istilah-istilah itu independen, tetapi
menganalisis hubungan antar istilah-istilah yang saling terikat. Ketiga,
Strukturalisme mengenalkan sistem konsep. Dan yang terakhir, linguistik
struktural ditujukan untuk menemukan hukum umum (general laws) baik secara
induksi maupun dengan cara deduksi.

2
Lahirnya teori strukturalisme dalam bidang Antropologi/Sosiologi telah
melahirkan berbagai perspektif dalam memandang fenomena budaya. Dengan
teori ini, persoalan-persoalan tanda (simbol dalam bahasa) semakin mudah
dipahami. Hal ini dikarenakan setiap persoalan bisa diidentifikasi melalui struktur
dari persoalan tersebut. Karena dalam konsep ini segala sesuatu yang berbentuk
diyakini memiliki struktur. Susunan unsur-unsur dapat dianalisis sehingga dapat
diketahui asal-usul konsep itu dan juga gejalanya. Dengan demikian penjelasanya
akan semakin mudah.

Strukturalisme begitu berpengaruh pada pemikiran di kalangan ilmuwan


ssosial di tahun 1960-an, terutama di Perancis. Era strukturalisme ini muncul
setelah era eksistensialisme yang marak setelah Perang Dunia II. Strukturalisme
melakukan beberapa kritik terhadap eksistensialisme dan juga pemikiran
fenomenologi. Strukturalisme dianggap menghancurkan posisi manusia sebagai
peran utama dalam memandang dan membentuk dunia.

Strukturalisme berkembang pesat di Perancis dengan tokoh-tokoh utama


selain Claude Levi-Strauss, yaitu Micheal Foucault, J. Lacan, dan R. Barthes.
Aliran ini muncul ketika filsafat eksistensialisme mulai pudar. Masyarakat yang
semakin kaya dan dikendalikan oleh berbagai bentuk struktur ilmiah-tekno-
ekonomis mapan dan terkomputerisasi memudarkan aliran humanisme romantis
eksistensialis yang berkisar pada subyek otonom, daya cipta peorangan,
penciptaan makna, dan pilihan proyek masa depan serta dunia bersama sebagai
tempat tinggal yang manusiawi. Usaha eksistensialisme untuk mengubah dan
memperbaiki keadaan tersebut tidak berdaya dihadapan kenyataan-kenyataan
struktur yang makin kuat yang mengutamakan kemantapan dan keseimbangan
struktural daripada dinamika kreatif dari si subyek. Dengan diilhami oleh Marx
dan Freud, para strukturalis menyangsikan istilah-istilah kaya kunci eksistensialis
seperti ,"manusia", "kesadaran intensional", "subyek", "kebebasan", "otonomi"
dan menggantinya dengan istilah-istilah mereka, yaitu: "ketidaksadaran",
"struktur","diskursus","penanda" dan "petanda".

3
Meskipun banyak pertentangan antara eksistensialisme dan strukturalisme
tapi ada juga yang saling melengkapi. Dalam pandangan strukturalis manusia
terjebak dalam suatu struktur budaya yang dijalinnya sendiri. Ketika manusia lahir
ia sudah ada dalam suatu struktur, ia memiliki peran, meskipun kemudian ia
mampu memilih atau membuat sendiri sebuah struktur, tapi ia kembali akan
terjebak di dalamnya. Pandangan ini mirip dengan faktisitasnya Heidegger
dimana manusia terlempar ke dunia tanpa bisa dirundingkan lebih dulu.
Perbedaannya faktisitas mengandaikan adanya kebebasan yang menegaskan
eksistensialitas manusia. Sedangkan keterjebakkan manusia dalam jaring-jaring
struktur mengandaikan hilangnya unsur subyek dan obyek, semua hanyalah
bagian dari tenunan struktur.

Dengan menggunakan teori linguistik dari Saussure (Semiologi), Levi-


Strauss melakukan analisis terhadap masalah kekerabatan. Sistem kekerabatan
terdiri dari relasi-relasi dan oposisi-oposisi, seperti misalnya suami-istri, anak-
bapak, saudara lelaki - saudara perempuan, paman-keponakan. Hubungan ini
sama seperti bahasa, kekerabatan pun merupakan sistem komunikasi. Bahasa
adalah sistem komunikasi, karena informasi atau pesan-pesan yang disampaikan
oleh satu individu pada individu lain. Kekerabatan adalah suatu sistem
komunikasi, karena klen-klen atau famili-famili lain tukar-menukar wanita-wanita
mereka. Sebagaimana halnya bahasa, kekerabatan pun dikuasai oleh aturan-aturan
yang tidak disadari. Ketidaksadaran menjadi sebuah unsur pokok yang menandai
keberadaan manusia, hubungan antar manusia berada dalam sistem yang tidak
disadarinya.

Berbeda dengan pandangan Heidegger bahwa seseorang harus memiliki


tanggung jawab pribadi untuk membentuk hidupnya sendiri, manusia mempunyai
putusan sendiri, ia bukan manusia "massal" atau diombang-ambingkan arus mode
dan kecenderungan sosial. Supaya tidak menjadi manusia "massal" tentu dituntut
kesadaran penuh tentang lingkungannya yang menurut strukturalis mustahil untuk
disadari secara penuh. Perbedaan lain yang cukup mendasar, terutama dengan
pemikiran fenomenologi, adalah pencapaian makna atau kebenaran atas yang ada.

4
Bagi Heidegger, Ada itu sendiri tampak sebagai tidak tersembunyi (aletheia). Ini
didapat dari Husserl, seorang fenomenolog, yang mengatakan bahwa obyek
kesadaran adalah fenomen dalam arti: ”apa yang menampakkan diri”. Ada sendiri
menampakkan diri dan terbuka.

Sedangkan Levi-Strauss dengan mengacu pada Kant (P. Ricoeur menjuluki


Levi-Strauss sebagai "kantianisme tanpa transendental") bahwa akal budi manusia
memiliki sejumlah paksaan, ketentuan dan aturan (bentuk mental apriori, kategori,
ide regulatif dan sebagainya) yang dikenakan pada kenyataan empiris. Namun
kenyataan itu tidak pernah dimengerti seluruhnya, sebab tiap usaha
merepresentasikannya pada dasarnya kurang memadai, kendatipun kenyataan
konkret tidak bisa dipahami secara lain, kecuali lewat paksaan mental tersebut.
Menurut Levi-Strauss, "Pemahaman" berarti memahami keberadaan sesuatu yang
spontan dan tampak bagi kita itu kepada suatu taraf yang lebih dalam, sambil
menyadari bahwa realitas yang sebenarnya tidak pernah tampak sendiri dan
langsung kelihatan, tetapi justru suka menyembunyikan diri. Dan sisa-sisa
penyembunyian diri itulah yang merupakan bekas-bekas yang hendak "dibaca"
sebagai tanda penyingkapan diri yang tak langsung dari kenyataan dan kebenaran
yang sesungguhnya. Makna yang dicari tersembunyi dalam benda-benda yang
tampak. Tugas strukturalis lah untuk mengorek makna yang laten tersebut. Seperti
sudah diuraikan sebelumnya bahwa Levi-Strauss enggan menggunakan nama
"strukturalisme" yang terlalu ideologis, ia memang menolak beberapa pandangan
umum mengenai strukturalisme bahwa aliran ini anti humanisme, mengabaikan
manusia dan melarutkannya dalam struktur yang berkuasa. Melalui kajian
Antropologi budaya, Levi-Strauss membentuk strukturalisme sebagai
"humanisme integral baru" yang mengkritik dan mengatasi humanisme klasik
Barat. Humanisme klasik dianggap mangancam kehidupan manusia, karena
menciptakan pemisahan dan pertentangan antara manusia dan alam, antara budaya
Barat dan budaya lain ( non Barat) yang dianggap inferior (merasa rendah dari
Budaya Barat). Sebaliknya "humanisme baru" dengan pola

5
strukturalisme ini tidak mengadakan garis pemisah dan penggusuran yang fatal,
tetapi justru menekankan sifat saling terkait dan mencakup segala sesuatu.

Hal ini jelas terdapat persamaan dengan pemikiran Heidegger yang juga
mengkritik metafisika Barat yang memisahkan subyek (manusia) dan obyek
(alam). Penguasaan subyek atas obyek ini dibenahi dengan istilah
menggembalakan ada, artinya tidak menguasai keadaan. Persamaan lain adalah
keduanya sama-sama menentang bentuk teknik (kemajuan teknologi di Barat)
yang jika tidak diwaspadai akan menjadi subyek baru dan menindas keberadaan
manusia. Levi-Strauss menyatakannya dengan keprihatinan terhadap nasib
masyarakat primitif yang dilenyapkan oleh kekuasaan kolonial Barat demi
keuntungan ekonomis (penjajahan yang menggunakan penemuan-penemuan
alat /teknik modern).

Kebudayaan primitif menurut Levi-Strauss memiliki keaslian dalam


menciptakan patokan keselarasan manusia dengan alam dan sesamanya. Rasa
kagumnya terhadap budaya primitif tertuang dalam bukunya Mythologica III.

Dia mengammbarkan kebudayaan primitif sebagai berikut:

"Suatu humanisme yang seimbang, tidak bermula dengan hidup


manusia sendiri, tetapi mengutamakan dunia dan alam semesta atas
hidup, mengutamakan hidup atas manusia sendiri dan mengutamakan
rasa hormat terhadap mahluk-mahluk lain melampaui rasa cinta diri
sendiri".

Kedua pemikir memiliki beberapa perbedaan dan kesamaan. Perbedaan-


perbedaan yang ada tidak dilihat sebagai bertentangan, tetapi justru saling
melengkapi. Ketika Levi-Strauss dengan strukturalismenya berusaha
menghilangkan dualisme subyek dan obyek yang dianggap mengancam
kehidupan manusia maka ia meleburkannya dalam kesatuan struktur yang tak
terpilah. Bahaya baru dapat saja muncul dengan tidak ditekankannya pribadi
kreatif manusia dan bisa terjebak menjadi manusia "massal". Kekurangan ini
dapat dilengkapi dengan pemikiran Heidegger yang meski mengkritik dualisme

6
tersebut, ia tetap menekankan sosok manusia yang autentik. Meski tidak mungkin
juga manusia menghindari sepenuhnya arus massa tapi dengan bantuan kesadaran
dengan hati nurani manusia yang tidak mudah hanyut.

Strukturalisme adalah sebuah aliran pemikiran yang sangat menonjol


dalam khazanah pemikiran di Dunia Barat, terutama Eropa Barat, pada dekade
1960-an. Sebuah periode yang ditandai dengan pergolakan intelektual dan juga
ditandai dengan berkembang pesatnya strukturalisme, eksistensialisme dan juga
yang tidak dapat dilupakan adalah perkembangan Frankfurt School (teori Kritik).
Pergolakan intelektual ini juga diwarnai dengan pergolakan mahasiswa yang
hidup dalam affluent society, sebagaimana yang terjadi dalam revolusi mahasiswa
di bulan Mei 1967 di Paris di Perancis yang menuntut perluasan demokrasi serta
penghentian praktek kolonialisme Perancis serta juga gerakan New Left yang
menjadikan Herbert Marcuse sebagai “nabi” yang menginspirasi gerakan mereka.

Di tengah kapitalisme yang melahirkan masyarakat serba melimpah di


Eropa Barat dan Amerika Serikat serta komunisme di Uni Sovyet yang
mengundang decak kagum banyak orang dengan keberhasilannya menjangkau
bulan, ilmu sosial di Perancis melahirkan strukturalisme, sebuah genre pemikiran
yang melampaui Marxisme yang sedang menjadi trend pemikiran pada saat itu.
Adalah Ferdinand de Saussure yang mengawali kajian strukturalisme dalam
bahasa, walaupun sebenarnya istilah strukturalisme diperkenalkan pertama kali
bukan oleh Saussure, namun oleh Roman Jakobson, seorang ahli linguistik dari
Rusia (Payne, 1996:513). Saussure secara brilian melepaskan kajian tentang tanda
bahasa dari suatu kajian yang merupakan kajian yang bersifat linguistik semata.

Kata “struktur” yang menjadi dasar dari pemikiran strukturalisme dapat


kita lacak dengan memahami Semiotika (Semiotics) atau Semiologi (Semiology)
yang dikembangkan secara brilian oleh Saussure untuk mengkaji tanda bahasa.
Saussure memproklamirkan bahwa tanda bahasa dibangun melalui struktur relasi
antar tanda bahasa yang menunjukan adanya perbedaaan (Payne, 1996:513).
Perbedaan inilah yang kemudian dikenal sebagai oposisi biner (binary opposition)

7
yang dapat diterapkan hampir ke semua tanda bahasa. Semiotika sendiri secara
etimologi berasal dari bahasa Yunani yaitu semieon, yang artinya adalah ”tanda”.
Berdasarkan pendapatnya mengenai oposisi biner, Saussure mengembangkan
semiotika ke dalam beberapa aturan pokok yang mengatur sistem tanda bahasa,
sehingga dari sinilah kemudian lahir strukturalisme. Pertama, dalam pendapat
Saussure, sebuah tanda khususnya tanda kebahasaan, merupakan entitas
psikologis yang bersisi dua atau berdwimuka, terdiri dari unsur ”penanda”
(signifier) dan ”petanda” (signified). Kedua, elemen tanda-tanda itu menyatu dan
saling tergantung satu sama lain. Kombinasi dari keduanya inilah yang kemudian
menghasilkan ”tanda” (sign). Penanda adalah aspek fisik dari tanda bahasa,
sedangkan petanda adalah aspek
mental dari tanda bahasa. Relasi antara penanda dengan petanda terjadi begitu
saja dan arbitrer. Karena itu kita perlu mengetahui kode-kode yang menyatakan
kepada kata apa yang dimaknakan oleh tanda-tanda. Kode (code) adalah satu
sistem dari konvensi-konvensi yang memungkinkan kepada seseorang untuk
mendeteksi arti dalam tanda-tanda karena hubungan (Berger, 2000 : 219 ). Kedua
adalah langue dan parole. Langue dimaksudkan sebagai penggunaan tanda bahasa
secara umum atau oleh publik yang menyepakatinya, sedangkan parole adalah
pemakaian tanda bahasa di tangan individu. Inilah yang membedakan kajian
strukturalisme yang dikembangkan oleh Saussure dengan pendekatan linguistik
yang lain, di mana pendekatan linguistik yang lain hanya berhenti pada tataran
langue (Bertens, 2001 : 182).

Agar lebih jelas, kita dapat mengikuti contoh yang dikemukakan oleh
Saussure berikut ini. Dalam permainan catur, para pemain harus mengikuti
struktur aturan yang telah ada dan tidak mungkin permainan ini dimainkan jika
para pemainnya keluar dari aturan permainan. Sebagai ilustrasi adalah bidak kuda
dalam permainan catur memiliki gerak berbentuk huruf “L”. Ini dapat dianggap
sebagai parole dari sebuah sistem struktur. Individu yang bermain catur bebas
untuk menggerakkan kuda dalam bentuk huruf “L” baik ke kiri, ke kanan, ke

8
depan atau ke belakang. Yang penting masih dalam bentuk huruf “L”. Ini dapat
dianggap sebagai parole. Satu hal yang harus diingat kebebasan menggerakkan
kuda ini terstruktur dalam huruf “L” dan tidak boleh keluar dari aturan ini, karena
jika bergerak selain gerak “L”, maka hancurlah struktur permainan catur itu.

Paper ini juga mencoba untuk menjelaskan teori Strukturalisme Levi


Strauss, dengan menjabarkan keadaan sosial yang terjadi pada saat teori ini
dibangun, teori lain yang mempengaruhi, riwayat hidup penemunya, penjelasan
tentang teorinya dan juga kritik terhadap teori tersebut.

B.

C.

B. Sejarah Hidup Claude Levi-Strauss

Sebelum membicarakan teori strukturalisme Levi-Strauss, akan lebih baik


jika kita membicarakan sejarah hidup Levi-Strauss secara singkat. Hal ini penting,
mengingat perjalanan hidup penggagas teori Antropologi struktural ini sangat
dinamis. Latar belakang pendidikan, pengalaman kerja dan tentunya pola pikirnya
sangat menentukan dalam mencetuskan teori strukturalnya.

Lahir dari orang tua berkebangsaan Prancis dengan darah Yahudi, Levi-
Strauss diberi gelar doktor dari sejumlah institusi pendidikan terkemuka, seperti
universitas Harvard, Yale, dan Oxford di Amerika. Selain itu juga dari universitas
di Swedia, Kanada dan Meksiko. Sejak lama dia juga menjadi anggota Academie
Francaise, badan pembelajaran terkemuka mengenai hal-hal yang bersingungan
dengan Bahasa Prancis. Selain itu, yang juga sangat menentukan dalam
pandangan-pandangan Levi-Strauss adalah hubungannya dengan para pakar
berbagai bidang di Brasilia, Perancis maupun saat ia berada di New York.
Pertemuannya dengan para pakar dari berbagai bidang ilmu itu telah melahirkan
berbagai konsep yang sangat penting dalam membentuk teori budaya yang sangat

9
unik itu. Dikatakan sangat unik karena memang belum terpikirkan oleh para pakar
di bidang Antropolgi periode sebelumnya.

Levi-Strauss dilahirkan pada 28 November 1905 di Brussles, Belgia. Ia


adalah keturunan Yahudi. Ayahnya bernama Raymond Levi-Strauss seorang artis
dan juga anggota keluarga intelektual Yahudi Perancis (Intelectual French Jewish
family). Sedangkan ibunya bernama Emma Levy. Minat utama Levi-Strauss
sebenarnya adalah ilmu hukum. Ia mempelajari hukum di fakultas hukum pada
suatu universitas di Paris pada tahun 1927. Di tahun yang sama ia juga
mempelajari filsafat di universitas Sorbonne. Ia pernah sukses dalam bidang
hukum ketika ia telah mendapatkan licence dalam bidang hukum. Penguasaan
dalam bidang hukum mengenai aliran-aliran filsafat materialisme historis ini turut
mendorong kesuksesannya dalam bidang Antropologi.

Hal yang paling penting dan sangat berpengaruh terhadap loyalitasnya di


bidang Antropologi adalah ketika ia membaca buku Primitive Society yang ditulis
oleh Robert Lowie. Buku itu cukup mengesankan bagi Levi-Strauss dan
mendorongnya untuk mengadakan beberapa studi mengenai masyarakat primitif.
Bahkan ia menjadi bosan mengajar di Mont de-Marsan Lycee dan berkeinginan
untuk mengadakan perjalanan keliling dunia.

Apa yang diharapkan oleh Levi-Strauss ini akhirnya terkabulkan setelah ia


berkesempatan menjadi pengajar di Universtias Sao Paulo, Brazil. Di universitas
ini ia memiliki kesempatan untuk keliling ke daerah-daerah pedalaman Brazil,
serta mengunjungi berbagai suku Indian yang selama itu boleh dikatakan belum
terjamah oleh peradaban Barat. Dari ekpedisi yang di dukung oleh Musee de
1’Hummed dan museum di kota Sao Paulo ini, memberi kesempatan kepadanya
untuk mempelajari orang-orang Indian Caduveo dan Bororo.

Pengalaman perjalanannya menjelajah daerah-daerah terpencil itu


ditulisnya dalam sebuah buku yang berjudul Tristes Tropique. Buku ini bercerita
tentang penderitaan orang-orang Indian di belantara Amazone. Berawal dari buku
inilah yang menjadikan Levi-Strauss terkenal sampai ke negara asalnya yakni

10
Prancis. Ia bahkan telah menghasilkan suatu karya yang sangat penting di bidang
Antropologi yang sesungguhnya sangat jauh dari studi formal yang dimilikinya.

Karir Levi-Strauss sempat mengalami halangan saat ia diwajibkan


menjalani wajib militer. Ia ditugaskan dibagian pos telekomunikasi di bidang
sensor telegram. Sampai akhirnya ia diangkat menjadi liaison officer, yaitu
petugas penghubung. Namun dalam situasi yang seperti itu tetap tidak
menghalangi dirinya untuk menjadikannya seorang professor. Ia pun akhirnya
dibebaskan dari kewajiban militer setelah menjadi seorang professor. Halangan
tidak hanya sampai disitu, ia juga mengalami diskriminasi ras. Ia dipecat dari
jabatannya karena ia adalah seorang Yahudi. Akhirnya Levi-Strauss diselamatkan
oleh program Yayasan Rockefeller, yang memiliki program menyelamatkan
ilmuwan dan pemikir-pemikir Eropa berdarah Yahudi di Amerika Serikat. Dari
program ini Levi-Strauss berhasil datang ke New York dan selamat dari
pembantaian tentara Nazi yang anti terhadap orang-orang Yahudi.

Di daerah Greenwich Village, New York, Levi-Strauss tinggal. Di kota


New York inilah Levi-Strauss semakin banyak memiliki peluang mengembangkan
keilmuannya. Ia banyak berkomunikasi dengan para ilmuan buangan dari Prancis,
seperti Maz Ernst, Franz Boas, Ruth Benedict, A.L. Kroever dan Ralph Linton. Ia
pun berkesempatan mengajar mata kuliah Etnologi di New York Ecole Libre des
Hautes Etudes, yang didirikan oleh para intelektual pelarian dari Prancis.

Kita sangat menghargai perjuangan Levi-Strauss dalam menemukan teori


(konsep) strukturalisme ini. Dengan ketekunan, kesabaran, dan ketelitian yang
luar biasa Levi-Strausss mampu melahirkan karya yang sangat bermanfaat. Berkat
jasanya, ribuan bahkan jutaan mitos kini memiliki arti yang sangat penting bagi
kehidupan kita. Mitos-mitos itu sebelumnya tak seorang pun yang
memperhatikan, bahkan masih sangat sedikit orang yang mendokumentasikan
mitos-mitos tersebut.

11
Selama hidupnya Levi-Strauss pernah menduduki jabatan-jabatan strategis
terutama di bidang pendidikan. Pada tahun 1935 sampai 1939 ia diangkat sebagai
seorang Professor di Universitas Sao Paolo yang kemudian melakukan beberapa
ekspedisi ke Brazil. Pada tahun 1942 sampai 1945 ia diangkat sebagai professor di
New School for Social Research. Pada tahun 1959 ia menjadi direktur The Ecole
Practique des Hautes Etude, yang bersamaan pula dengan kedudukannya sebagai
pimpinan Social Antropology pada College de France.

Beberapa penghargaan yang pernah diterimanya diantaranya adalah: the


wenner-Gren Foundation’s Viking Fund Medal dan Erasmus Prize pada tahun
1975. Ia juga dianugrahi empat gelar kehormatan oleh Oxford, Yale, Harvard dan
Columbia University di Amerika Serikat. Dalam wawancara dengan National
Public Radio, Levi-Strauss menyatakan bahwa prospek manusia sangat suram.
"Pada hari ini hilangnya spesies hidup yang sangat mengerikan, baik itu tanaman
atau hewan. Dan itu jelas bahwa kepadatan manusia telah menjadi begitu besar,
mereka telah mulai meracuni diri mereka sendiri. Dan dunia di mana saya
menyelesaikan keberadaan saya, tidak lagi dunia yang aku suka," kata Levi-
Strauss.

Académie française adalah institusi yang bergengsi milik Levi-Strauss,


berencana untuk menghormatinya, setelah dia meninggal. Penulis Jean
d'Ormesson, menjulukinya "ilmuwan terbesar Perancis." Hélène Carrère
d'Encausse, sekretaris abadi Académie française, memuji Levi-Strauss memiliki
"semangat keterbukaan yang luar biasa". Berbicara pada radio Perancis, ia
berkata, "Dia adalah seorang pemikir, seorang filsuf. ... Kami tidak akan
menemukan lagi seperti dia." Levi Strauss meninggalkan dua putra, salah satu di
antaranya adalah kepala bagian Museum dan benda-benda budaya UNESCO di
Paris.

Claude Levi-Strauss adalah pencetus Antropologi Struktural dengan


strukturalisme sebagai perspektifnya.Pada zaqmannya, lahir pula Antropologi
Kognitif, dikembangkan Ward H. Goodenough (1950-an). Aliran ini membawa

12
definisi budaya dari yg fisik menuju pengertian bahwa budaya sebagai sistem
pengetahuan. Aliran Antropologi Simbolik- Interpretatif yg dipelopori oleh
Clifford Geertz melihat sistem simbol sebagai media pemahaman manusia atas
sistem nilai dan sistem koginitifnya. Levi-Strauss disebut sebagai bapak
Antropologi modern berkat karya-karyanya. Beberapa di antaranya adalah teori
tentang persamaan komponen antara masyarakat industri dan sukuterasing. Karya-
karya pemikir abad 20 ini, dalam rentang enam dekade, antara lain "Tristes
Tropiques" (1955), "The Savage Mind" (1963), dan "The Raw and the Cooked"
(1964).

Seperti dikutip dari siaran stasiun televisi BBC, Levi-Strauss juga


memperkenalkan strukturalisme, konsep mengenai pola umum pikiran dan
tingkah laku, terutama mitos, dalam jangkauan luas masyarakat. Dia juga seorang
pecinta musik sejati. Presiden Prancis Nicolas Sarkozy menyebut Levi-Strauss
sebagai salah satu etnolog besar sepanjang waktu.

Akhirnya Claude Lévi-Strauss, seorang tokoh di dunia Antropologi abad


ke-20, meninggal di Paris pada 31 Oktober, 2009 dengan usia 101 tahun. Levi-
Strauss memperkenalkan "strukturalisme" untuk Antropologi, konsep bahwa
semua masyarakat universal mengikuti pola pikir dan perilaku, sebagaimana
dicontohkan dalam mitos-mitos yang berkembang.

C.Konsep Strukturalisme Levi-Strauss

Sebagaimana diketahui bahwa cakupan ilmu sosial itu sangat luas. Hal ini
disebabkan banyaknya persoalan yang timbul dalam aktivitas manusia baik secara
individu maupun dalam kaitannya dengan masyarakat. Oleh karena begitu
kompleknya persolan itu, sangat tidak mungkin bisa memahami fenomena sosial
tanpa mengaitkan dengan fenomena-fenomena lain. Inilah yang menjadikan salah
satu alasan kenapa dalam ilmu sosial kita harus meniru metode ilmu-ilmu di luar
ilmu sosial; seperti ilmu eksakta dan pengetahuan alam (exact and natural
Sciences). Dari rangkaian persoalan manusia itu terdapat beberapa kesamaan yang
13
bisa dijadikan model dalam sebuah penelitian. Allen Lane (1968;8) menyatakan
sebagai berikut:
”On the other hand, studies in social structure have to do with the formal
aspects of social phenomena; they are therefore difficult to define, and still
more difficult to discuss, without overlapping other fields pertaining to the
exact and natural sciences, where problems are similarly set in formal
terms or, rather, where the formal expression of different problems admits
of the same kind of treatment”.

Pendapat Allen ini menunjukkan adanya struktur dalam setiap persoalan.


Adanya struktur ini memungkinkan juga adanya persamaan-persamaan. Oleh
karena itu pula pemahaman dasar dari teori strukturalisme adalah mengacu pada
model penelitian linguistik. Langkah ini dilakukan karena dalam strukturalisme
dipahami bahwa setiap benda yang berbentuk pasti memiliki struktur. Kroeber
dalam buku edisi kedua Anthropology menyebutkan bahwa:

“Structure” appears to be just a yielding to a word that has perfectly good


meaning but suddenly becomes fashionably attractive for a decade or so –like
“streamlining”- and during its vogue tends to be applied indiscriminately because
of the pleasurable connotations of its sound. Of course a typical personality can be
viewed as having a structure. But so can a physiology, any organism, all societies
and all cultures, crystals, machines- machines- in fact everything that is not
wholly amorphous has a structure. So what “structure” adds to the meaning of our
phrase seems to be nothing, except to provoke a degree of pleasant puzzlement’.

Dalam konsep Strukturalisme Levi-Strauss, struktur adalah model-model


yang dibuat oleh ahli Antropologi untuk memahami atau menjelaskan gejala
kebudayaan yang dianalisisnya, yang tidak ada kaitannya dengan fenomena
empiris kebudayaan itu sendiri (Ahimsa, 2006; 60). Meskipun bertolak pada
linguistik, fokus strukturalisme Levi-Strauss sebenarnya bukan pada makna kata,
tetapi lebih menekankan pada bentuk (pattern) dari kata itu. Bentuk-bentuk kata
ini menurut Levi-Strauss berkaitan erat dengan bentuk atau susunan sosial
masyarakat. Oleh sebab itu Sarah Schmitt (1999) menyatakan, “Levi-Strauss
derived structuralism from school of linguistics whose focus was not on the
meaning of the word, but the patterns that the words form.”

14
Strukturalisme Levi-Strauss juga bertolak dari konsep oposisi biner
(binary opposition). Konsep ini dianggap sama dengan organisasi pemikiran
manusia dan juga kebudayaannya. Seperti kata-kata hitam dan putih. Hitam sering
dikaitkan dengan kegelapan, keburukan, kejahatan, sedangkan putih dihubungkan
dengan kesucian, kebersihan, ketulusan dan lain-lain. Contoh lain adalah kata
rasional dan emosional. Rasional dianggap lebih istimewa dan diasosiasikan
dengan laki-laki. Sementara emosional dianggap inferior yang diasosiasikan
dengan perempuan.

Semua konsep mengenai struktur bahasa tersebut di atas, dikaitkan dengan


persoalan-persoalan yang ada dalam kehidupan sosial. Untuk membuktikan
adanya keterkaitan atau beberapa kesamaan antara bahasa dan budaya, Levi-
Strauss mengembangkan teorinya dalam analisis mitos. Levi-Strauss sangat
tertarik pada logika mitologi. Itu sebabnya ia mulai dengan mitos,
menggabungkan fungsi-fungsi hanya secara vertikal, dan mencoba menerangkan
paradigmatik mereka yang tumpah-tindih dengan varian-varian mitos. Model
strukturalnya tidak linier (Meletinskij, 1969 dalam Fokkema, 1978). Untuk
mengetahui makna struktur dalam bidang Antropologi Levi-Strauss, perlu
diketahui terlebih dahulu prinsip dasar dari struktur itu sendiri. Prinsip dasar
struktur yang dimaksud disini adalah bahwa struktur sosial tidak berkaitan dengan
realitas empiris, melainkan dengan model-model yang dibangun menurut realitas
empiris tersebut (Levi-Strauss, 1958; 378). Bangunan dari model-model itu yang
akan membentuk struktur sosial.

Menurut Levi-Strauss (1958) ada empat syarat model agar terbentuk


struktur sosial;

1. Sebuah struktur menawarkan sebuah karakter sistem. Struktur terdiri atas


elemen-elemen seperti sebuah modifikasi apa saja, yang salah satunya
akan menyeret modifikasi seluruh elemen lainnya.

15
2. Seluruh model termasuk dalam sebuah kelompok transformasi, di mana
masing-masing berhubungan dengan sebuah model dari keluarga yang
sama, sehingga seluruh transformasi ini membentuk sekelompok model.
3. Sifat-sifat yang telah ditunjukan sebelumnya tadi memungkinkan kita
untuk memperkirakan dengan cara apa model akan beraksi menyangkut
modifikasi salah satu dari sekian elemennya.
4. Model itu harus dibangun dengan cara sedemikian rupa sehingga
kegunaannya bisa bertanggung jawab atas semua kejadian yang
diobservasi.

Lahirnya konsep Strukturalisme Levi-Strauss merupakan akibat dari


ketidakpuasan Levi-Strauss terhadap fenomenologi dan eksistensialisme
(Fokkema, 1978). Masalahnya para ahli Antropologi pada saat ini tidak pernah
mempertimbangkan peranan bahasa yang sesungguhnya sangat dekat dengan
kebudayaan manusia itu sendiri. Dalam bukunya yang berjudul ”Trites Tropique”
(1955) ia menyatakan bahwa penelaahan budaya perlu dilakukan dengan model
linguistik seperti yang dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure, bukan seperti
yang dikembangkan oleh Bergson. Karena bagi Bergson tanda linguistik dianggap
sebagai hambatan, yaitu sesuatu yang merusak impressi kesadaran individual
yang halus, cepat berlalu, dan mudah rusak (Fokkema, 1978). Bagi Levi-Strauss
telaah Antropologi harus meniru apa yang dilakukan oleh para ahli linguistik.
Levi-Strauss memandang bahwa apa yang ada di dalam kebudayaan atau perilaku
manusia tidak pernah lepas dari apa yang terefleksikan dalam bahasa yang
digunakan. Oleh karena itu akan terdapat kesamaan konsep antara bahasa dan
budaya manusia. Singkatnya Levi-Strauss berkeyakinan bahwa untuk
mempelajari kebudayaan atau perilaku suatu masyarakat dapat dilakukan melalui
bahasa. Istilah kekerabatan, seperti halnya fonem, merupakan unsur makna; dan
seperti fonem, kekerabatan memperoleh maknanya hanya dari posisi yang mereka
tempati dalam suatu sistem. Kesimpulannya adalah bahwa “meskipun mereka
berasal dari tatanan relitas yang lain, fenomena kekerabatan merupakan tipe yang
sama dengan fenomena linguistik (Levi-Strauss, 1972 dalam Fokkema, 1978).

16
Ahimsa (2006: 24-25) menyebutkan bahwa ada beberapa pemahaman
mengenai keterkaitan bahasa dan budaya menurut Levi-Strauss. Pertama, bahasa
yang digunakan oleh suatu masyarakat merupakan refleksi dari keseluruhan
kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Kedua, menyadari bahwa bahasa
merupakan salah satu unsur dari kebudayaan. Karena bahasa merupakan unsur
dari kebudayaan, maka bahasa adalah bagian dari kebudayaan itu sendiri. Hal ini
dapat kita lihat juga pendapat para pakar kebudayaan yang selalu menyertakan
bahasa sebagai unsur budaya yang sangat penting dalam kehidupan manusia.
Untuk itu jika kita membahas mengenai kebudayaan, kita tidak pernah bisa lepas
dari pembahasan bahasa (lihat, Koentjaraningrat, 1987). Ketiga, menyatakan
bahwa bahasa merupakan kondisi bagi kebudayaan. Dengan kata lain melalui
bahasa manusia mengetahui kebudayaan suatu masyarakat yang sering disebut
dengan kebudayaan dalam arti diakronis. Dengan bahasa manusia menjadi
makhluk sosial yang berbudaya. Berikutnya, bahasa merupakan kondisi bagi
kebudayaan karena material yang digunakan untuk membangun bahasa pada
dasarnya memiliki kesamaan jenis atau tipe dengan apa yang ada pada
kebudayaan itu sendiri. Hubungan atau korelasi bahasa dan budaya terjadi pada
tingkat struktur (mathematical models) dan bukan pada statistical models
(Ahimsa, 2006). Model-model matematis pada bahasa dapat berbeda pada
tingkatan dengan model matematis yang ada pada kebudayaan. Seperti yang
disebutkan oleh Levi-Strauss (1963), korelasi sistem kekerabatan orang-orang
Indian di Amerika Utara dengan mitos-mitos mereka, dan dalam cara orang Indian
mengekspresikan konsep waktu mereka. Korelasi semacam ini sangat mungkin
terdapat pada kebudayaan lain.

Antropologi mengalami perkembangan pesat setelah dikembangkan


dengan model linguistik, terutama setelah diakuinya bidang Fonologi atau ilmu
tentang bunyi dalam bahasa (Fokkema, 1978). Namun demikian, perlu juga
diperhatikan beberapa perbedaan mendasar antara sifat keilmuan Fonologi dengan
apa yang ada dalam Antropologi/Sosiologi. Levi-strauss mengakui bahwa analisis
yang benar-benar ilmiah harus nyata, sederhana, dan bersifat menjelaskan (Levi-

17
Strauss, 1972, dalam Fokkema, 1978).Tetapi hal itu agak berbeda dengan apa
yang ada dalam Antropologi. Antropologi/Sosiologi bukan bergerak dari hal-hal
yang kongkret, analisis Antropolgi justru maju ke arah yang berlawanan,
manjauhi yang kongkret, sistemnya lebih rumit daripada data observasi dan
akhirnya hipotesisnya tidak menawarkan penjelasan bagi fenomena maupun asal-
usul sistem itu sendiri. Antropologi/Sosiologi berurusan dengan sistem
kekerabatan pada titik persilangan dua tatanan realitas yang berbeda, sistem
“terminologi” dan sistem “sikap”. Fonologi bisa diterangkan secara ekskulsif
dalam sistem persitilahan; ia tidak perlu memperhitungkan segala “sikap” sumber
sosial atau sumber psikologis, tetapi bagaimana manusia mengucapkan vokal.
Asumsi dasar nalar manusia (human mind) adalah sistem relasi (system of
relation). Kebudayaan dan bahasa berposisi sejajar karena keduanya merupakan
hasil dari nalar manusia. Antropolog Levi-Strauss bertujuan menemukan model
bahasa dan budaya melalui strukturnya. Pemahaman terhadap pikiran dan perilaku
kehidupan manusia, serta relasi manusia dengan tradisi sangat penting.
Kebudayaan adalah produk atau hasil aktifitas nalar manusia yang memiliki
kesejajaran dengan bahasa dan tradisi. Tradisi adalah sebuah jalan bagi
masyarakat untuk memformulasikan dan memperlakukan fakta-fakta dasar dari
eksistensi kehidupan manusia. Tradisi adalah tatanan transendental sebagai
pengabsah tindakan dan juga sesuatu yg imanen dalam situasi aktual dan
bersesuaian dengan konteks bersifat dinamis (J.C. Hastermann). sebagai contoh:
Konsensus manusia tentang persoalan kehidupan dan kematian merupakan suatu
tradisi yang penuh dengan simbul dan tradisi, oleh karena itu selalu dengan
upacara yang berbeda menurut pemahaman suatu suku atau pemeluk agama
tertentu. Di Bali, misalnya ketika persiapan menguburkan mayat, selalu daiadakan
pesta dan upacara kematiannya penuh dengan kegembiraan, apalagi ketika
upacara pembakaran mayat, sedangkan upacara kemaian pada pemeluk Islam,
dipenuhi dengan kesedian dan bahkan dilarang sama sekali memasak makanan
pada komunitas Islam tertentu.

18
Dalam hal ini pengaruh pemikiran tokoh-tokoh terhadap strukturalisme
Levi-Strauss cukup besar. Levi-Strauss Strauss belajar metode komparasi tentang
geologi masyarakat (Marx) untuk menemukan geologi psikis (Freud) dan
bagaimana pola umum objek dalam menjelaskan gejala yang tersembunyi.
Kajiannya berupa relasi antara keilmuan yang inderawi dan yang linguistik
rasional yang dilakukan oleh Fredinand de Saussure (1857-1913), ahli bahasa
Swiss yang membangun Strukturalisme dari sudut ilmu bahasa struktural yg
akhirnya menjadi teori Strukturalisme itu. Bahasa adalah sistem tanda (sign).
Suara dapat dikatakan sebagai bahasa jika dapat mengekspresikan, menyatakan
atau menyampaikan ide atau pengertian tertentu. Elemen dasarnya adalah kata-
kata. Jadi ide tidak ada sebelum adanya kata-kata. Suara yang muncul dari sebuah
kata adalah ”penanda” (signifier), konsep suara tersebut adalah ”tinanda”
(signified). Contoh: Jaran, kuda, horse adalah ”penanda”. Sedangkan ”binatang
berkaki 4 (empat) & berlari kencang adalah ”tinanda”. Hubungan antara penanda
& tinanda disebut ”arbiter”. Tinanda dari sebuah penanda dapat berupa apa saja,
tergantung dari relasinya. Menurut Fredinand de Saussure konsep bentuk (form)
dan isi (content) penanda dan tinanda selalu memiliki bentuk dan isi. Isi bisa
berubah, namun bentuknya tidak. Untuk dapat mengetahui kekhasan bentuk
(distinctive form) ialah dengan mengenali perbedaan satu kata dengan kata yang
lain (differensiasi sistematis). Sebagai contoh: babu, tabu, sabu, jelas sekali
walaupun fonemnya hampir sama, tetapi artinya sangat berbeda, karena perbedaan
sistimatis tersebut. Saussure juga membedakan antara konsep “langue” &
“parole”. Langue adalah sistem tata bahasa formal; sistem elemen phonic yg
hubungannya ditentukan oleh hukum yg tetap. Sedangkan parole adalah
percakapan sebenarnya, yaitu cara pembicara mengungkapkan bahasa untuk
dirinya sendiri dalam rangka berkomunikasi dengan orang lain. Adanya langue
menyebabkan adanya parole.

Kehidupan manusia dibentuk oleh struktur bahasa. Studi tentang struktur


bahasa melalui “tanda” melahirkan Semiotics, yaitu suatu ilmu yang lebih luas
kajiannya dari pada Strukturalisme, karena juga menganalisa sistem simbol,

19
bahasa tubuh, naskah sastra, ekspresi, dan bentuk komunikasi. Tokoh Semiotics
adalah Roland Barthes dan Fredinand de Saussure yang melakukan studi sinkronis
(fakta bahasa sebagai sistem) bukan diakronik (historis bahasa & perubahan
evolutifnya), serta berusaha untuk membedakan sintagmatis dan paradigmatis.
Sintagmatis adalah hubungan yg dimiliki sebuah kata dengan kata sebelumnya.
Contoh: kata menggigit akan berhubungan dg anjing, kedinginan, kegeraman, dan
lain sebagainya. Sedangkan paradigmatis atau asosiatif adalah relasi antara suku
kata dengan kata lain diluar hubungan sintagmatis. Sebagai contoh: kata
menggigit juga ada relasinya dengan mencaplok, mengerogoti, memakan, dan lain
sebagainya.

Selanjutnya menurut Saussure, text/bunyi *jeruk* punya arti/makna


karena ada text bunyi lain macam *kelapa*, *pergi*, *bangku*, dan lain-lain.
Saussure menyebutnya sebagai “oposisi biner”. Oposisi biner adalah sebuah
sistem yang membagi dunia dalam dua kategori yang berhubungan secara
struktural. Teori oposisi biner ini jadi terkenal setelah Levi Strauss menggunakan
teori ini untuk menganalisa proses kultural seperti cara memasak, cara berpakaian,
sampai mitos dalam masyarakat. Bahwa lahirnya bahasa dari segi arti/makna yang
muncul dalam otak itu berasal dari komunikasi genital. Namun dari segi 'actual
speech' atau omongan ('parole'), adalah bagaimana manusia itu merepresentasikan
pikirannya lewat omongan, dan memproduksi suara, mungkin lewat “gerengan”
atau “raungan” sebagaimana ketika seekor harimau makan binatang buruan
bersama itu. Dalam sebuah struktur oposisi biner yang ideal, segala sesuatu
arti/makna dapat dimasukkan dalam dua kategori. Kategori X ataupun kategori Y.
Suatu kategori X tidak ada dengan sendirinya tanpa berhubungan secara struktural
dengan kategori Y. Dalam sistem biner, hanya ada dua sign (tanda) yang hanya
memiliki makna bila masing-masing beroposisi dengan yang lain. Suatu kategori
jadi exist atau bermakna, karena ditentukan oleh ketidak
existan/ketidakbermaknaan kategori yang lain. Contoh yang jelas dalam sistem
biner adalah : laki-laki <--> perempuan. Seseorang disebut laki-laki karena dia
bukan perempuan. Contoh lain adalah gunung <--> lembah. Disebut gunung,

20
karena dia bukan lembah dan begitulah seterusnya, seperti: . publik <--> privat,
daratan <--> lautan, positip <--> negatip.

Sistem oposisi biner tidaklah lahir secara natural. Dia adalah berbentuk
produk atau reproduksi budaya. Dia lahir karena manusia punya sistem penandaan
dalam otaknya (genital-communication), dan sistem penandaan ini digunakan
untuk menstrukturkan persepsi serta pemahaman manusia pada dunia di luar
mereka, baik terhadap alam natural atau pun dunia sosial melalui penggolongan-
penggolongan. Sistem oposisi biner ini oleh manusia tidak saja digunakan untuk
mengkategorikan sesuatu yang hanya ada di dunia alamiah, tetapi dia juga
digunakan untuk untuk memahami/menjelaskan kategori-kategori makna yang
abstrak. Contoh sederhana adalah oposisi biner alamiah seperti batu <--> air
diparalelkan dengan keras <-> lunak, diabstrakkan jadi pemerintah yang kejam <-
> pemerintah yang ramah. Oposisi biner ini juga dapat menjelaskan dan
digunakan untuk menganalisa perkara GAM/OPM lawan NKRI, separatis lawan
NKRI, militer-sipil, Islam moderat dan Islam radikal serta hubungan struktural
antara keduanya yang timpang dan bagaimana memperbaikinya. Kalau melihat
struktur oposisi biner ini dapat disimpulkan bahwa suatu struktur (baik abstrak
atau konkrit) selalu ada, karena adanya sistem oposisi biner yang mendukung
struktur tersebut. Kalau Indonesia disebut sebagai struktur yang terbentuk dari
bermacam-macam oposisi biner, maka penghilangan salah satu bagian dari oposisi
biner pasti akan meruntuhkan struktur Indonesia itu. Terjadinya berbagai masalah
di Indonesia mungkin disebabkan hilangnya salah satu bagian struktur oposisi
biner tersebut. Inilah pentingnya pengetrapan teori Strukturalisme pada fenomena
aktual sekarang ini.

Konsep oposisi biner mula-mula diteorisikan oleh ahli bahasa Ferdinand


de Saussure, tetapi Claude Levi-Strauss-lah yang membuatnya menjadi sangat
berpengaruh. Strauss merupakan Antropolog strukturalis yang banyak
menggunakan teori-teori bahasa. Bagi Strauss, oposisi biner adalah 'the essence of
sense making', yaitu struktur yang mengatur sistem pemaknaan kita terhadap
budaya dan dunia tempat kita hidup. Oposisi biner adalah sebuah sistem yang
21
membagi dunia dalam dua kategori yang berhubungan. Dalam struktur oposisi
biner yang sempurna, segala sesuatu dimasukkan dalam kategori A maupun
kategori B, dan dengan memakai pengkategorian itulah, kita mengatur
pemahaman dunia di luar kita. Suatu kategori A tidak dapat eksis dengan
sendirinya tanpa berhubungan secara struktural dengan kategori B. Kategori A
masuk akal hanya karena ia bukan kategori B. Tanpa kategori B, tidak akan ada
ikatan dengan kategori A, dan bahkan tidak akan ada kategori A. Dalam sistem
biner, hanya ada dua tanda atau kata yang hanya punya arti jika masing-masing
beroposisi dengan yang lain. Keberadaan mereka ditentukan oleh ketidakberadaan
yang lain. Misalnya dalam sistem biner laki-laki dan perempuan dan laki-laki,
daratan dan lautan, atau antara anak-anak dan orang dewasa. Seseorang disebut
laki-laki karena ia bukan perempuan, sesuatu itu disebut daratan karena ia bukan
lautan, begitu seterusnya.

Oposisi biner adalah produk dari 'budaya', ia bukan bersifat 'alamiah'. Ia


adalah produk dari sistem penandaan, dan berfungsi untuk menstrukturkan
persepsi kita terhadap alam natural dan dunia sosial melalui penggolongan-
penggolongan dan makna. Strauss juga menyebutkan konsep dasar dari oposisi
biner yaitu 'the second stage of the sense-making process': penggunaan kategori-
kategori sesuatu yang hanya eksis di dunia alamiah (sesuatu yang kongkret) untuk
menjelaskan kategori-kategori konsep kultural yang abstrak. Contoh sederhana
dari konsep ini misalnya diberikan oleh John Fiske (1994): konsep oposisi biner
angin badai dan angin tenang (kongkret) misalnya, bisa disejajarkan dengan
oposisi biner alam yang kejam dan alam yang tenang (abstrak). Proses transisi
metafor dari sesuatu yang abstrak dalam sesuatu yang kongkret ini dinamakan
Strauss sebagai 'the logic of concrete'. Secara struktur oposisi biner berhubungan
satu dengan yang lain, dan bisa ditransfor-masikan dalam sistem-sistem oposisi
biner yang lain. Oposisi biner menimbulkan posisi-posisi ambigu yang tidak bisa
dimasukkan dalam kategori A atau kategori B, yang bisa disebut dengan atau
‘kategori ambigu’ atau 'kategori skandal' (Strauss lebih senang menyebutnya
dengan 'anomalous category‘.‘Kategori anomali’ ini muncul dan mengganggu

22
sistem oposisi biner. Ia mengotori kejernihan batas-batas oposisi biner. Antara
anak-anak dan orang dewasa, ada posisi remaja. Antara daratan dan lautan, ada
pantai. Antara orang hidup dan orang mati ada sesuatu yang disebut vampir,
hantu, zombi. Antara laki-laki dan perempuan ada gay/lesbian/banci. Pantai,
remaja, vampir/hantu/zombi, atau gay/lesbian/banci adalah 'kategori anomali'.

Kata tidak lagi dapat dianggap sebagai satuan linguistik paling dasar
karena yang terkecil adalah fonem (satuan) bunyi yang terkecil dan berbeda,
sebagai contoh: kutuk dan kuthuk (Jawa). Perbedaan “t” dan “th” inilah yang
disebut fonem (Nikolai Troubetzkoi). Fonem adalah konsep linguistik bukan
konsep psikologis. Struktur terbagi dua, yaitu: Struktur permukaan/luar (surface
structure): adalah relasi-relasi antar unsur yg dapat dibuat atau dibangun
berdasarkan ciri-ciri empiris dari relasi tersebut. Sedangkan struktur batin/dalam
(deep structure): adalah susunan tertentu yg dibangun atas struktur lahir yg telah
berhasil dibuat. Transformasi adalah perubahan bahasa pada struktur luar, tapi
pada struktur dalam tetap sama.

Pemahaman kita akan adanya struktur dalam setiap benda atau aktivitas
manusia memudahkan identivikasi benda atau aktivitas tersebut. Hal yang perlu
diperhatikan dalam Strukturalisme adalah adanya perubahan pada struktur
tersebut. Perubahan yang terjadi dalam suatu struktur disebut dengan transformasi
(transformation). Transformasi harus dibedakan dari kata perubahan yang berarti
change. Karena dalam proses transformasi tidak sepenuhnya berubah. Hanya
bagian-bagian tertentu saja dari suatu struktur yang mengalami perubahan
sedangkan elemen-elemen yang lama masih ada.

Sebagaimana sudah disebutkan di atas bahwa terbentuknya struktur


merupakan akibat dari adanya relasi-relasi dari beberapa elemen. Oleh karena itu
struktur juga oleh Levi-Strauss diartikan sebagai relations of relations atau system
of relation (sistim relasi). Agar pemahaman mengenai teori strukturalisme Levi-
Strauss lebih baik, perlu disampaikan konsep bahasa menurut para ahli linguistik
yang mempengaruhi lahirnya teori ini. Diantara mereka yang sangat berpengaruh

23
terhadap pandangan Levi-Strauss adalah; Ferdinan de Saussure, Roman Jakobson
dan Nikolay Trobetzkoy. Dari ketiga pemikir linguistik ini, Levi-Strauss memiliki
keyakinan bahwa studi sosial bisa dilakukan dengan model linguistik yaitu yang
bersifat struktural. (Levi-Strauss, 1978 dalam Ahimsa 2006).

C. Para Ahli bahasa yang berpengaruh pada pemikiran Levi Strauss

Berikut ini adalah para pakar bahasa yang mempengaruhi Levi Strauss
dalam proses pengembangan teori Struktulaisme.

a. Ferdinand de Saussure

Ferdinand de Saussure (1857-1913) merupakan penemu linguistik modern


(Modern Linguistics). Gagasan terbesar de Saussure adalah pada teori
umum sistem tanda (general theory of sign system) yang disebutnya
dengan ilmu Semiologi (Semiology) (Winfried Noth, 1995; 56). Sebagai
penemu konsep linguistik modern, wajar jika de Saussure dianggap
sebagai orang yang paling berpengaruh terhadap teori Strukturalisme.

Terobosan pemikiran de Saussure dimulai pada pemikirannya mengenai


hakekat gejala bahasa. Pemikiran ini kemudian melahirkan konsep
struktural dalam bahasa dan juga semiologi atau yang sekarang disebut
dengan semiotik (Ahimsa, 2006). Ada lima pandangan de Saussure yang
mempengaruhi Levi-Strauss dalam memandang bahasa. Yaitu;

1. Signifier dan signified.

Signified (tinanda) dan signifier (penanda); Bahasa adalah suatu sistem


tanda (sign). De Saussure berpendapat bahwa elemen dasar bahasa
adalah tanda-tanda linguistik atau tanda kebahasaan (linguistic sign),
yang wujudnya tidak lain adalah kata-kata.

Bagi Saussure ide-ide tidak ada sebelum kata-kata, dan menurut dia
secara psikologis pikiran kita terlepas dari perwudjudannya dalam
kata-kata sebenarnya hanyalah “Shapeless and indistinct mass”,

24
sesuatu yang tak berbentuk dan tak mengenal perbedaan-perbedaan
atau tak bisa dibeda-bedakan.

Tanda adalah juga kesatuan dari suatu bentuk penanda yang disebut
signifier, dengan sebuah ide atau tinanda yang disebut signified,
walaupun penanda dan tinanda tampak sebagai entitas yang terpisah-
pisah namun keduanya hanya ada sebagai komponen dari tanda.
Tandalah yang merupakan fakta dasar dari bahasa (Culler; 1976, 19
dalam Ahimsya, 2006 h. 35).

Setiap tanda kebahasaan pada dasarnya menyatukan sebuah konsep


(concept) dan suatu citra suara (sound image), bukan menyatukan
sesuatu dengan sebuah nama. Suara yang muncul dari sebuah kata
yang diucapkan merupakan penanda (signifier), sedang konsepnya
adalah tinanda (signified).

2. Form (bentuk) dan content (isi).

Wadah atau form adalah sesuatu yang tidak berubah. Dalam konsep
ini, isi boleh saja berganti tetapi makna dari wadah masih tetap
berfungsi. Untuk menjelaskan konsep ini memang agak sulit. Kiasan
yang sering digunakan untuk menggambarkan kedudukan wadah
(form) dan isi adalah pergantian salah satu fungsi dari komponen
permainan catur. Meskipun komponen “kuda” hilang seumpamanya.
Fungsi “kuda” ini masih bisa digantukan dengan benda lain yang mirip
atau tidak sama sekali dengan bentuk asli “kuda” yang digantikan.
Suatu benda yang ditempatkan pada posisi “kuda”, akan tetap
memiliki fungsi dan kedudukan yang sama dengan “kuda” yang hilang
itu. Jadi benda apapun selama kita tempatkan dam posisi “kuda”,
meskipun dengan bentuk yang lain dari kuda itu tetap bisa
menggantikan fungsi kuda yang digantikan tersebut.

3. Langue (bahasa) dan parole (ujaran, tuturan).

25
Pembahasan de Saussure bukan hanya fokus pada aspek bahasa semata
tetapi juga aspek sosial dari bahasa. Komsep langue merupakan aspek
yang memungkinan manusia berkomunikasi dengan sesama. Inilah
kenapa langue membicarakan juga aspek sosial dalam linguistik.
Dalam langue terdapat norma-norma, aturan-aturan antarperson yang
tidak disadari tetapi ada pada setiap pemakai bahasa.

Disisi lain parole merupakan tuturan yang bersifat individu, ia bisa


mencerminkan kebebasan pribadi seseorang. Tuturan ini marupakan
apa yang terwujud ketika kita mengucapkan kata-kata dalam bahasa
yang kita pergunakan. Dengan kata lain tuturan yang membedakan kita
dengan orang lain melalui gaya bahasa.

4. Sinkronis dan diakronis

De Saussure meyakini akan adanya proses perubahan bahasa. Oleh


karena itu keadaan ini menuntut adanya perbedaan yang jelas antara
fakta-fakta kebahasasan sebagai sebuah sistem, dan fakta-fakta
kebahsaan yang mengalami evolosi (Culler, 1976, via Ahimsa, 2006;
46). Karena sifatnya yang evolutif maka tanda kebahasaan sepenuhnya
tunduk pada proses sejarah.

Namun demikian, de Saussure masih saja menekankan bahasa pada


proses sinkronis. Karena tida semua fakta-fakta kebahasaan itu
memiliki sejarah. Hal ini dikarenakan tanda itu sebagi suatu entitas
yang bersifat relasional atau dalam relasi-relasi dengan tanda-tanda
lain. kesimpulannya bahasa diartikan sebagai “a system of pure values
whcih are determined by nothing except the momentary arrangement
of its terms” (Ferdinand de Saussure, 1966, via Ahimsa, 2006; 47).

Dari pengertian inilah akhirnya dapat dipahami bahwa untuk


mempelalajari bahasa diperlukan pemahaman terhadap relasi-relasi
atas elemen-elemen yang bersifat sinkronis.

26
5. Sintagmatik dan Paradigmatik.

Dalam kontek ini de Saussure menyatakan bahwa manusia


menggunakan kata-kata dalam komunikasi bukan begitu saja terjadi.
Tetapi menggunakan pertimbangan-pertimbangan akan kata yang akan
digunakan. Kita memiliki kata yang mau kita gunakan sebagaimana
penguasaan bahasa yang kita miliki. Disinilah hubungan sintagmatik
dan paradigmatik itu berperan.

Hubungan sintagmatik dan paradigmatik terdapat dalam kata-kata


sebagai rangkaian bunyi-bunyi maupun kata-kata sebagai konsep
(Ahimsa, 2006; 47). Hubungan sintagmatik adalah hubungan yang
dimiliki sebuah kata dengan kata-kata yang dapat berada di depannya
atau di belakangnya dalam sebuah kalimat. Sepeti kata yang terdapat
dalam kata “saya”, “memetik” dan “bunga”. Ketiga kata ini bisa
digabung menjadi kalimat “saya memetik bunga”. Gabungan kata yang
sesuai itu memiliki makna. Penggabungan kata ini tidak terjadi begitu
saja, tetapi dipertimbangkan konvensi bahasa yang sudah ada. Karena
seperti kata “memetik” tentu tidak bisa digabungkan dengan kata
“mengalir”. Atau gabungan kata “bunga mengalir” gabungan ini tidak
memiliki makna karena tidak sesuai tata bahasa yang umum atau
standar.

b. Roman Jakobson

Meskipun Jakobson terlahir setelah de Saussure, ia dikenal sebagai


pengembang Semiotika Klasik. Konsep yang ditawarkan oleh Roman
Jakobson (1896-1982) lebih condong pada para ahli bahasa dari Rusia
(Rusian Linguist). Koch (1981; via Noth, 1995; 74) membedakan empat
periode perkembangan penelitian mengenai karya-karya Jakobson;

Pertama, periode formalist, yaitu antara tahun 1914 sampai 1920.


Pada periode ini Jakobson dikenal sebagai pendiri Moscow Linguistic
Circle dan juga sebagai anggota kelompok Opoyaz yang sangat
27
berpengaruh. Kedua, periode stucturalist, yaitu antara tahun 1920 sampai
1939. Jakobson merupakan figur yang paling mendominasi dalam Prague
School of Linguistics and Aesthetics. Ketiga, periode Semiotic, antara
tahun 1939 sampai 1949.. Pada periode ini Jakobson bergabung dalam
Copenhagen Linguistic Circle (Brondal, Hjelmslev) dan aktif dalam
Linguistic Circle of New York. Keempat, periode interdisciplinary yang
dimulai pada 1949 yaitu saat ia mulai bekerja di Harvard dan juga MIT
mengenai teori informasi dan komunikasi (Informatioan and
Comunicatioan Theory), matematika dan juga fisika (1982).

Pemikiran Jakobson berpengaruh besar pada diri Levi-Strauss pada


konsepnya mengenai fenomena budaya. Jakobson memberikan pandangan
kepada Levi-Strauss tentang bagaimana memahami atau menangkap
tatanan yang ada di balik fenomena budaya yang sangat variatif tersebut
(Ahimsa, 2006; 52). Pengaruh yang besar Romand Jakobson
disampaikannya sendiri oleh Levi-Strauss sebagaimana dikutib oleh
Ahimsa (2006; 52) berikut ini:

“...His (Jacobson’s) lectures, however, gave me something very


different and, need I add, a great deal more than I had bargained
for. This was the revelation of structural linguistics, which
provided me with a body of coherent ideas where I could
crystallize my reveries about the wild flowers I had gazed at
somewhere along the Luxembourg border early in May 1940..”
(1985:139).
Dalam pemikiran Jakobson unsur terkecil dari bahasa adalah
bunyi. Dengan demikian kata diartikan sebagai satuan bunyi yang terkecil
dan berbeda. Fonem sebagai unsur bahasa terkecil yang membedakan
makna, meskipun fonem itu sendiri tidak bermakna. Contoh kasus yang
menujukan peranan penting fonem dapat kita lihat dalam dua kata antara
“kutuk” dan “kuthuk” (basa Jawa). Perbedaan tulisan antar /t/ dan /th/
mengakibatkan sedikit perbedaan pengucapan tetapi memiliki makna yang
jauh berbeda. “Kutuk” mengacu pada nama sejenis ikan gabus sedangkan
“kuthuk” adalah anak ayam (Ahimsa; 2006).

28
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa fonem terbentuk
karena adanya relasi-relasi, dan realsi-relasi ini muncul karean adanya
oposisi. Jadi sebenarnya fonem tidak akan bermakna atau tidak memiliki
isi. yang hakiki dari sebuah fonem adalah relasi karena dengan begitu
sebuah fonem baru memiliki fungsi yang jelas. Jakobson yakin bahwa
fungsi utama dari suara dalam bahasa adalah untuk memungkinkan
manusia membedakan unit-unit semantis, unit-unit yang bermakna, dan ini
dilakukan dengan mengetahui ciri-ciri pembeda (distinctive features) dari
suatu suara yang memisahkannya dengan ciri-ciri suara yang lain.

Langkah-langkah struktural terhadap fonem yang dilakukan oleh Jakobson


adalah;

a. Mencari distinctive feature (ciri pembeda) yang membedakan tanda-


tanda kebahasaan satu dengan yang lain. Tanda-tanda ini harus berbeda
seiring dengan ada tidaknya ciri pembeda dalam tanda-tanda tersebut;

b. Memberikan suatu ciri menurut features tersebut pada masing-masing


istilah, sehingga tanda-tanda ini cukup berbeda satu dengan yang lian;

c. Merumuskan dalil-dalil sintagmatis mengenai istilah-istilah


kebahasaan mana dengan distinctive features yang mana yang dapat
berkombinasi dengan tanda-tanda kebahasaan tertentu lainya;

d. Menentukan perbedaan- perbedaan antartanda yang penting secara


paradigmatis, yakni perbedaan-perbedaan antartanda yang masih dapat
saling menggantikan(Pettit, 1977, 11; Ahimsya; h. 55).

Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa Jakobson


mempengaruhi Levi-Strauss pada tataran tatanan (susunan/order) yang
ada di balik fenomena budaya (Ahimsa, 2006).

c. Nikolai Troubetzkoy
29
Nikolai mempengaruhi Levi-Strauss dalam hal strategi kajian
bahasa yang berawal dari konsepsi mengenai fonem. Nikolai berpendapat
bahwa fonem adalah sebuah konsep linguistik, bukan konsep psikologis.
Artinya, fonem sebagai sebuah konsep atau ide berasal dari para ahli
bahasa, dan bukan ide yang diambil dari pengatahuan pemakai bahasa
tertentu yang diteliti. Jadi fonem tidak dikenal oleh pengguna suatu
bahasa, kecuali ahli fonologi dari kalangan mereka atau mereka yang
pernah belajar lingusitik. (Ahimsa, 2006).

Toubetzkoy menyarankan agar perhatian pada fenomena fonem


sebagai sebuah konsep linguistik. Karena itu sebaiknya para peneliti
memperhatikan distinctive feature, ciri-ciri pembeda, yang memiliki
fungsi atau operasional dalam satu bahasa. Dengan kata lain, strategi
analisis dalam fonogi haruslah struktural, karena relasi-relasi antar ciri-ciri
pembeda dalam fonemlah yang menjadi pusat perhatian (Ahimsa, 2006;
59).

Langkah analisis struktural dalam fonologi;

1. Beralih dari tataran yang disadari ke tataran nirsadar. Pada tataran ini
seorang ahli fonologi tidak lagi memperlakukan istilah-istilah (terms)
atau fonem-fonem sebagai entitas yang berdiri sendiri, tetapi dia harus;
2. Memperhatikan relasi-relasi antar istilah atau antar fonem tersebut, dan
menjadikannya sebagai dasar analisisnya. Selanjutnya dia perlu;
3. Memperlihatkan sistem-sisitem fonemis, dan menampilkan struktur
dari sistem tersebut.
4. Harus berupaya merumuskan hukum-hukum tentang gejala
kebahasaan yang mereka teliti.
d. Asumsi Dasar Strukturalisme
Dari pemahaman kita di atas, strukturalisme merupakan aliran baru
bagi studi antropologi. Strukturalisme bertolak dari studi linguistik (ilmu
bahasa), berbeda dengan pendekatan yang ada dalam fungsionalisme,

30
Marxisme dan lain-lain. Ahimsa (2006; 66-71) menyebutkan bahwa
strukturalisme memiliki beberapa asumsi dasar yang berbeda dengan
konsep pendekatan lain. Beberapa asumsi dasar tersebut adalah sebagai
berikut;
1. Dalam Strukturalisme ada angapan bahwa upacara-upacara, sistem-
sistem kekerabatan dan perkawinan, pola tempat tinggal, pakaian dan
sebagianya, secara formal semuanya dapat dikatakan sebagai bahasa-
bahasa (Lane; 1970; 13-14 Ahimsya; 66).
2. Para penganut Strukturalisme beranggapan bahwa dalam diri manusia
terdapat kemampuan dasar yang diwariskan secara genetis sehingga
kemampuan ini ada pada semua manusia yang normal. Yaitu
kemampuan untuk structuring, untuk menstruktur, menyususun suatu
struktur, atau menempelkan suatu struktur tertentu pada gejala-gejala
yang dihadapinya.
Dalam kehidupan sehari-hari apa yang kita dengar dan saksikan adalah
perwujudan dari adanya struktur dalam tadi, akan tetapi perwujudan
ini tidak pernah kompolit. Suatu struktur hanya mewujud secara
parsial (partial) pada suatu gejala, seperti halnya suatu kalimat dalam
bahasa Indonesia hanyalah wujud dari secuil struktur bahasa
Indonesia. (Ahimsa, 2006; 68).
3. Mengikuti pandangan dari de Saussure yang berpendapat bahwa suatu
istilah ditentukan maknanya oleh relasi-relasinya pada suatu titik
waktu tertentu, yaitu secara sinkronis, dengan istilah-istilah yang lain,
para penganut strukturalisme berpendapat bahwa relasi-relasi suatu
fenomena budaya dengan fenomena-fenomena yang lain pada titik
waktu tertentu inilah yang menentukan makna fenomena tersebut.
Hukum transformasi adalah keterulangan-keterulangan (regularities)
yang tampak, melalui mana suatu konfigurasi struktural berganti
menjadi konfigurasi struktural yang lain.
4. Relasi-relasi yang ada pada struktur dalam dapat diperas atau
disederhanakan lagi menjadi oposisi berpasangan (binary opposition).

31
Sebagai serangkaian tanda-tanda dan simbol-simbol, fenomena budaya
pada dasarnya juga dapat ditanggapi dengan cara seperti di atas.
Dengan metode analisis struktural makna-makna yang ditampilkan
dari berbagai fenomena budaya diharapakan akan dapat menjadi lebih
utuh.
Keempat asumsi dasar ini merupakan ciri utama dalam pendekatan
strukturalisme. Dengan demikian dapat kita pahami juga bahwa
strukturalisme Levi-Strauss menekankan pada aspek bahasa. Struktur
bahasa mencerminkan struktur sosial masyarakat. Disamping itu juga
Kebudayaan diyakini memiliki struktur sebagaimana yang terdapat dalam
bahasa yang digunakan dalam suatu masyarakat. Strukturalisme
merupakan gerakan pemikiran yang kembali ke bahasa yang dirintis oleh
Ferdinand de Saussure (1857-1913). Dalam wacana ilmu-ilmu sosial,
Strukturalisme merupakan penerapan analisis bahasa ke wilayah sosial.
Realitas sosial adalah “teks” atau bahasa, dan bahasa selalu memiliki dua
sisi: bahasa sebagai parole (tuturan percakapan lisan sebagai sisi eksekutif
bahasa) dan sebagai langue (sistem tanda atau tata bahasa), dan sebagai
“tanda” (sign), dalam bahasa ada dua aspek: “penanda” (signifier) dan
“petanda” (signified). Semenjak strukturalisme inilah muncul pendapat
bahwa bahwa bahasa sebagai sistem tanda bersifat arbiter (arbitrary).
Sebagai contoh mengapa SBY disebut sebagai ”presiden”,
bukannya sebagai seorang “pesinden”. Menurut perspektif Strukturalis
itulah cara tutur kita yang sama sekali tidak menjelaskan apapun. Kata
presiden ada bukan karena kaitan logis internal dengan orang yang
menjadi kepala pemerintahan presidensial, melainkan karena kaitan dan
perbedaannya dengan kata sultan, gubernur, camat dan sebagainya. Semua
bisa dipahami secara otonom di tataran langue (logika-internal penunjuk),
dan tidak terkait dengan objek yang ditunjuk.
Ketika diterapkan ke dalam ilmu-ilmu sosial, juga jika hanya
secara analogis, implikasinya cukup jauh. Apa yang utama dalam analisis
sosial adalah menemukan “kode tersembunyi” yang ada dibalik gejala

32
kasat mata, sebagaimana langue menjadi kunci otonom di balik parole.
“Kode tersembunyi” itulah struktur. Tindakan individual dalam ruang dan
waktu tertentu hanyalah suatu kebetulan. Kalau mau mengerti masyarakat
kapitalis, misalnya, bidiklah logika-internal kinerja ‘modal’. Ada paralel
antara perspektif strukturalis dan fungsionalis, yaitu pengebawahan pelaku
dan tindakan pelaku, waktu, ruang, dan proses adalah soal kebetulan.
Dalam kritik Giddens, perspektif ini merupakan “penolakan yang penuh
skandal terhadap subjek”.
Gejala penyingkiran pelaku tindakan atau subjek (decentering)
dalam strukturalisme ini dibawa ke implikasi terjauhnya oleh para
penggagas post-strukturalisme. Seperti telah dicontohkan di atas, kata
‘presiden’ terbentuk bukan karena kaitannya dengan seseorang yang
menjadi kepala sebuah negara pada waktu-tempat tertentu, melainkan
karena perbedaannya dengan kata ‘raja’, ‘gubernur’, ‘camat’ dan
sebagainya. Ada dua unsur sentral di situ: sifat sewenang-wenang
(arbitrary) dan perbedaan (difference).

e. Jacques Derrida.

Derrida melihat ‘perbedaan’ bukan hanya sebagai cara menunjuk,


melainkan sebagai pembentuk identitas yang bersifat konstitutif. Artinya,
perbedaan kata ‘presiden’ dan ‘camat’ bukan sekedar bahwa ‘presiden’ ialah
apa yang ‘bukan camat’, melainkan bahwa ‘bukan camat’ itu sendiri
merupakan pokok eksistensi. Berbeda adalah menang-guhkan serta
melawan; berbeda merupakan identitas itu sendiri.

Sejumlah ahli Antropologi menggunakan cara-cara yang berbeda


dalam melihat struktur sosial dalam kaitannya dengan agama dan upacara.
Penekanan yang telah diberikan adalah pada hubungan-hubungannya yang
dilihat secara konseptual, sehingga model-model mengenai hubungan-
hubungan tersebut nampak berbeda-beda di antara ahli-ahli yang berbeda;
yang mempunyai implikasi pada tingkat pembahasan yang mereka lakukan

33
serta pada tingkat pengertian yang mereka peroleh dengan menggunakan
model-model tersebut, dan yang mewujudkan adanya perbedaan antara yang
satu dengan yang lainnya.

Dengan demikian maka juga nampak bahwa masing-masing model


tersebut mempunyai relevansi dan validitas yang terbatas sesuai dengan
tujuan penggunaannya dalam hal mengkaji hubungan antara struktur sosial
di satu pihak dengan agama dan upacara di pihak lainnya. Secara umum
dapatlah dikatakan, bahwa masing-masing model yang telah dibahas
tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Model-model dari Geertz yang berdasarkan pada model bagi dan


model dari, yang berlandaskan pada konsep-konsepnya mengenai
sistem-sistem simbol dan ide yang memberi informasi; yang walaupun
berbelit-belit tetapi memberikan suatu ketegasan penjelasan mengenai
arti kebudayaan dalam kaitannya dengan struktur dan dengan
lingkungan yang dihadapi oleh manusia. Geertz menyatakan bahwa
studi mengenai agama, mitos dan upacara adalah sebagai jalan untuk
memahami bagaimana manusia memahami dan menerima hakekat dari
kedudukan dan peranannya dalam kehidupan sosial di masyarakatnya;
struktur sosial yang merupakan bagian yang terorganisasi dalam
kehidupan mereka menjadi dapat dipahami serta masuk akal secara
sewajarnya bagi mereka.
2. Analogi yang berlandaskan pada sistem penggolongan yang dilakukan
oleh Hertz dan Cunningham; yang walaupun masing-masing berbeda
dalam hal kedalaman dan luasnya cakupan dari model klasifikasi yang
digunakan, tetapi pada prinsipnya berlandaskan pada model-model
yang sama. Hertz melihat bahwa agama berperan terhadap adanya
semacam polarisasi dalam kehidupan sosial dari individu maupun bagi
seluruh warga masyarakat yang bersangkutan; yaitu dengan
berlandaskan pada sistem klasifikasi yang menjadi dasar dan yang ada
dalam agama. Sedangkan Cunningham memperlihatkan adanya suatu
34
keteraturan (order), yaitu suatu sistem yang menjadi pegangan bagi
manusia pada waktu mereka mengklasifikasi dunia yang mereka
hadapi. Pada waktu pegangan yang berisikan aturan-aturan itu
diikuti/ditaati oleh manusia, maka sesungguhnya ide-ide yang terletak
dibalik aturan-aturan tersebut secara simbolik telah juga diterima.
Upacara adalah tempat bagi perwujudan ketaatan atas aturan-aturan
yang diikuti tersebut dalam bentuk berbagai tindakan yang dapat
dilihat sebagai simbol dan metafor.

3. Model-model hubungan yang dibuat berdasarkan atas prinsip- prinsip


kesadaran kolektif dan primordial yang dilakukan oleh Levi-Strauss
dan Victor Turner; yang walaupun mempunyai landasan model-model
sendiri yang sesuai dengan perhatian yang dipunyai masing-masing
maka juga telah menghasilkan pengertian-pengertian yang berbeda-
beda antara yang satu dengan yang lainnya. Turner melihat bahwa
upacara berperan untuk membuat individu dapat menjadi cocok
dengan masyarakatnya dan membuatnya dapat menerima aturan-aturan
yang berlaku. Levi-Strauss melihat struktur sosial bukan sebagai
kenyataan yang dapat diamati, tetapi sebagai model bagi kenyataan.
Model ini adalah suatu sistem yang mempunyai kesanggupan untuk
memprediksi atau meramalkan dan membuat kenyataan dapat menjadi
masuk akal dan dipahami. Menurut Levi-Strauss, sebagaimana juga
dengan pendahulu-pendahulunya yaitu Durkheim dan Radcliffe-
Brown, agama adalah suatu bagian dari struktur sosial. Levi-Strauss
percaya bahwa dengan melalui studi mengenai agama dan mitos akan
dapat diperoleh suatu pemahaman mengenai pengertian struktur sosial
yang ada dalam masyarakat yang bersangkutan. Dalam perhatiannya
mengenai mitos, Levi-Strauss menyatakan bahwa mitos sebagai agama
atau sebagai bagian dari agama, dapat membantu usaha-usaha
mengenai struktur sosial karena mitos selalu berhubungan dengan
masyarakat dan berbicara mengenai masyarakat tersebut baik

35
mengenai masa yang lampau, sekarang, maupun masa yang akan
datang.

Yang sebenarnya patut diperhatikan dalam pengkajian mengenai


hubungan antara struktur sosial dengan agama dan upacara adalah dalam hal
kaitannya dengan kenyataan-kenyataan sosial dan ekonomi yang ada dalam
lingkungan hidup yang dihadapi oleh para pelakunya dalam masyarakat.
Sehingga pertanyaan-pertanyaan yang berkenaan dengan relevansi dari
sesuatu keyakinan keagamaan dan upacara yang dilihat sebagai struktur
sosial ataupun sebagai corak hubungan yang terwujud antara struktur sosial
dengan agama dan upacara, bukanlah harus dilihat dalam konteks struktur
itu sendiri tetapi dalam suatu konteks yang lebih luas dan berlandaskan pada
kehidupan yang nyata yang dihadapi oleh para pelaku yang bersangkutan.
Karena, agama mempunyai berbagai fungsi penting yang terwujud dalam
berbagai cara yang berbeda dalam kehidupan sosial manusia. Fungsi-fungsi
tersebut antara lain adalah:

1. Membentuk dan mendukung berlakunya nilai-nilai yang ada dan


mendasar dari kebudayaan suatu masyarakat, yaitu etos dan pandangan
hidup, yang antara lain terwujud dalam penekanannya pada bentuk-
bentuk kelakuan yang wajar dan tepat menurut bidang atau arena
sosial yang ada.
2. Agama menyajikan berbagai penjelasan mengenai hakekat kehidupan
manusia dan lingkungan serta ruang dan waktu yang dihadapi manusia
dan yang dirinya sendiri adalah sebagian dari padanya; sehingga
kedudukan dan peranannya menjadi jelas dan penerimaannya atas
berbagai tahap dan keadaan kondisi kehidupan yang dihadapi dan
dialaminya dapat diterima secara masuk akal baginya. Salah satu dari
peranannya yang jelas terlihat adalah bahwa dalam keadaan kekacauan
dan kesukaran, kebingungan dan jiwa tertekan, agama memainkan
peranan yang besar bagi individu-individu yang bersangkutan karena
agama menyajikan penjelasan dan bertindak sebagai kerangka
36
sandaran bagi ketentraman dan penghiburan hati dalam keadaan
kesukaran dan kekacauan yang dihadapi tersebut.

3. Agama mempunyai peranan untuk menyatukan berbagai faktor dan


bidang kehidupan ke dalam suatu pengorganisasian yang menyeluruh,
yaitu dalam rangkuman struktur sosial, yang dimungkinkan oleh
adanya peranan dari mitos dan upacara. Keduanya mempunyai peranan
yang penting dalam mengko-ordinasi titik temu antara struktur sosial
dengan agama dan antara agama dengan kehidupan yang nyata.

Sebagai akhir kata, dapatlah dikatakan bahwa untuk dapat


memperoleh pemahaman mengenai hakekat dan corak dari struktur sosial;
kita dapat mempelajari dan mengkaji agama, mitos dan upacara sehingga
dapat menemukan dan kemudian menentukan apa yang seharusnya
dijelaskan, dibenarkan, dan didukung dalam suatu masyarakat. Begitu juga
sebaliknya kalau kita ingin memahami hakekat dan corak dari agama yang
diyakini oleh warga suatu masyarakat. Model-model yang telah dibahas
tersebut di atas dapat digunakan secara terseleksi, yaitu tergantung pada
masalah yang hendak dikaji dan kenyataan kehidupan sosial dan ekonomi
dalam masyarakat dimana pengkajian itu hendak dilakukan.

D. Kelemahan dan kelebihan Strukturalisme Levi-Strauss

Seberapapun sempurnanya suatu teori, pasti akan terdapat celah-celah


kekurangan dan kelemahanya. Demikian halnya dengan teori Strukturalisme Levi-
Strauss ini. Strukturalisme ini mendapat kritik terutama dari para ahli antroplogi itu
sendiri. Kritik yang berkenaan dengan teori Strukturalisme Levi-Strauss dapat dilihat
pada persoalan perangkat dan metode analisis, data etnografi dan interpretasi, serta
hasil analisis dan kesimpulan dari hasil analisis teori tersebut.

a. Perangkat dan Metode Analisis

Ahimsa (2006; ) menyebutkan bahwa kritik terhadap perangkat


dan metode analisis dapat dibedakan menjadi tiga; a). Cara menggunakan
37
konsep-konsep analisis. b). Konsistensi prosedur analisis dan c). Reduksi
dalam proses analisis. Marry Douglas mengkritik mengenai cara
penggunaan konsep-konsep analisis. menurutnya Levi-Strauss tidak selalu
menggunakan konsep analisisnya dengan tepat. Karena ketidaktepatan itu,
Levi-Strauss sering membuat kesimpulan-kesimpulan yang dianggap
terlalu jauh. Douglas menyebutkan bahwa Levi-Strauss sering
memaksakan datanya agar sesuai dengan apa yang ada dalam pikirannya
(Ahimsa, 2006; 162).

Kedua, Levi-Strauss sering tidak konsisten dengan analisis yang


dikembangkan. Levi-Strauss pernah mengatakan bahwa untuk memahami
sebuah mitos lebih penting memahami struktur daripada isi cerita. Namun
dalam prakteknya ia tidak melakukan analisis seperti yang digambarkan.
Dalam beberapa analisisnya ia tidak hanya menlaah pada tataran sintaksis,
tetapi juga pada tataran semantis yang berarti isinya juga. Disisi lain ia
juga berpendapat bahwa dalam mitos isi dan bentuk tidak bisa dipisahkan
(Yalman, 1967 dalam Ahimsa, 2006).

Ketiga, Levi-Strauss menggunakan cara analisis reductionist


(reduksionis). Cara ini sangat kurang tepat untuk menganalisis mitos
sebagai produk budaya manusia yang sangat kompolek. Cara analisis
menggunakan sistem ini akan mengurangi kesempurnaan analisis karena
akan mengalami kelemahan makna (a lesser meaning). Douglas menyebut
dua reduksionisme yang dilakukan oleh Levi-Strauss yaitu pada model
komputer yang dipakainya dan adanya dua tujuan dalam analisis wacana
(Ahimsa, 2006; 164).

b. Interpretasi Data Etnografi

Data etnografi sangat penting dalam menelaah mitos. Hal ini


dikarenakan mitos tidak pernah lepas dari kontek budaya masyarakat
setempat dimana lahirnya mitos tersebut. Dalam persoalan ini,
Strukturalisme Levi-Strauss memiliki beberapa kelemahan. Menurut para

38
antropolog, seperti Alice Kassakoff dan John W. Adam keakuratan data
etnografi yang disampaikan Levi-Strauss belum seutuhnya mendukung
dari apa yang disampaikan. Alice Kassakoff (1974) ahli antropologi ini
melakukan penelitian suku Indian Tsimshian yang telah dianalisis oleh
teori Strukturalisme Levi-Strauss ini. Ia menyatakan bahwa analisis
Strauss justru menutupi realistas kekerabatan yang ada pada suku Indian
tersebut. (Ahimsa, 2006; 168).

Lain lagi dengan pendapat Alice, Adam (1974) mengkritik


mengenai hasil analisis Strukturalisme Levi-Strauss terhadap suku
Asdiwal. Menurut Adam gagasan Levi-Strauss terhadap suku ini terlalu
diada-adakan. Persoalan terhadap suku ini yang sebenarnya sederhana dan
bahkan tidak ada, oleh Strauss dipaksakan sesuai apa yang menjadi
konsepsinya. Justru dengan tindakan seperti inilah teori ini kridibilitasnya
masih perlu untuk disangsikan. Pendapat ini juga didukung oleh tiga ahli
antropologi lain yakni; L.L. Thomas, JZ. Kronenfeld dan DB. Kronenfeld.
Ketiganya menyimpulkan bahwa analisis Strukturalisme Levi-Strauss
dianggap penuh dengan generalisasi-generalisasi etnografi yang sangat
diragukan kebenarannya. Bahkan analsisnya dianggap mengalami ke-
salahrepresentasi-an. (misrepresentasions of story).

c. Hasil Analisis.

Bukan sekedar metode dan data etnogarfi yang nampaknya


dipersoalkan dalam Strukturalisme Levi-Strauss. Hasil analisisnya pun
masih banyak mendapat kritikan dari berbagai kalangan terutama para ahli
antropologi. Ahimsa (2006) menyatakan bahwa hasil analisis kritik dapat
dibedakan dalam beberapa hal; a). Kemampuan analisis struktural
menuntaskan tafsir yang diberikan, b). Kebenaran struktur mitos yang
dikemukakan.

Pengertian mitos yang cenderung dianggap negatif oleh Levi-


Strauss ditolak oleh Douglas. Douglas beranggapan bahwa masih ada

39
aspek-aspek positif mengenai makna mitos. Tema-tema mitos yang
terdapat dalam suatu masyarakat masih banyak yang mengungkap realitas
sosial yang positif. Selanjutnya Douglas menyatakan bahwa makna
mengenai mitos yang dikemukakan oleh Levi-Strauss dianggap biasa-
biasa saja dengan istilah lain tidak begitu penting.

Metode analisis yang dilakukan oleh Levi-Strauss dalam analisis


mitos menggunakan model analisis puisi denganggap tidak tepat. Metoda ini
justru dianggap mengalami kebocoran seperti yang diistilahkan Ahimsa dalam
tulisannya. Hal yang demikian ini terjadi karena Levi-Strauss terlalu banyak
mencontoh model yang diterapkan dalam ilmu bahasa (linguistik) yang
menurut Douglas tidak cocok jika diterapkan dalam analisis mitos.

“Instead of more and richer depths of understanding, we get a


surprise, a totally new theme, and often a paltry one at that”. ( Douglas,
1967 dalam Ahimsa, 20006; 170).

d. Beberapa Tanggapan

Betapapun banyaknya kekurangan dan kelemahan yang terdapat


dalam Strukturalisme Levi-Strauss, tentunya banyak hal yang dapat
menjadi kelebihan dari teori ini. karena kita menyadari juga bahwa teori
ini masih baru dalam bidang antropologi, sehingga tentunya masih banyak
penyesuaian dan pendalaman (penyempurnaan). Maka wajar kiranya
banyak yang menghujat sekaligus memuja teori ini.

Banyak manfaat yang kita dapatkan dari teori Strukturalisme Levi-


Strauss ini. Maybury-Lewis (1970) menyatakan bahwa banyak hal yang
berhasil membuka perspektif-perspektif baru dalam analisis mitos yang
telah dilakukan oleh Levi-Strauss. Douglas yang sebelumnya banyak
melakukan kritik, ternyata masih mengakui beberapa kemanfaatan dari
40
Strukturalisme Levi-Strauss ini. Ia menyatakan teori ini telah mampu
mengungkapkan acuan-acuan tertentu, makna-makna yang sangat dalam,
yang tidak terduga dan menarik, dari serangkaian mitos-mitos tertentu (via
Ahmisa; 2006; 176).

Yalman (1967) menyebutkan bahwa berkat jasa yang dilakukan


oleh Levi-Strauss kita mengetahui keterkaitan antara mitos yang satu
dengan yang lain. Ada susunan, struktur dan koherensi logis dalam mitos.
Dan inilah yang menunjukan pada kita akan keterkaitan mitos dan budaya
masyarakat yang terdapat dalam mitos tersebut.

Secara umum dapat disimpulkan bahwa meskipun para ahli


antropologi melakukan kritik terhadap teori Strukturalisme Levi-Strauss
mereka masih mengakui beberapa keunggulan atau manfaat dari jerih
payah Levi-Strauss. Bahkan apa yang digagas oleh Levi-Strauss melalui
metode struktural ini dapat dikatakan banyak benarnya. Masuk akal,
menarik dan mampu memberikan wawasan atau wacana tentang mitos
yang sangat penting itu.

E. Penutup

Dari uraian diatas terbukti bahwa Strukturalisme Levi-Strauss berasal dari


teori Antropologi yang analisisnya oleh bagaimana ahli bahasa memahami
struktur dalam komponen bahasa. Teori muncul sebagai kritik atas kegagalan
filsafat Eksistensialisme yang gagal dalam memahami realitas sosial pada
kehidupan kelompok manusia. Terpengaruh oleh ahli-ahli bahasa yang
sebelumnya sangat marak dalam kehidupan ilmiah di Prancis, Stauss ketika
berkesempatan melakukan penelitian tearhadap suku-suku terasing di lembah
Amazon Brazil, berhasil menemukan Teori Stukturalisme yang akhirnya sangat
mempengaruhi perkembangan ilmu-ilmu sosial termansuk Sosiologi baik di Eropa
maupun di Amerika dan bahkan di negara-negara lain termansuk Indonesia.

Strauss yang meninggal pada akhir tahun 2009 di akui sebagai


Antropolog/Sosiolog yang sangat terkemuka, karena teorinya selalu dirujuk oleh
41
para pakar pakar ilmu-ilmu sosial dan analisisnya diakui sebagai analisis yang
cemerlang, sehingga para intelektual berhasil memahami kehidupan sosial, baik
yang berupa realitas maupun yang tersembunyi. Dengan analisis ini pemahaman
tentang struktur, relasi sosial dan peran struktur dalam mewarnai prilaku individu
dalam kehidupan sosial menjadi lebih jelas. Teori Strukturalisme masih terus
relevan sampai berumur satu abad walaupun penemunya Levi-Strauss sudah tiada.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, T. 2005. Analisis Struktural Lévi-Strauss Terhadap Tiga Lakon Karya


Arthur S. Nalan : Kajian Transformasi Tokoh dalam Rajah Air,
Kawin Bedil dan Sobrat. Tesis Pascasarjana Antropologi.
Universitas Gadjah Mada.

Ahimsa-Putra, Shri, H., 2006, Strukturalisme Levi-Strauss Mitos dan Karya


Sastra, kepel Press, Yogyakarta.

Ahimsa-Putra, H.S. 1984. “Strukturalisme Lévi-Strauss : Sebuah Tanggapan”.


Basis XXXIII (4) : 122-135.

___________. 1994. Semiotik Rituil Belian di Kalimantan. Makalah seminar.

___________. 1995, “Lévi-Strauss di Kalangan Orang Bajo : Analisis Struktural


dan Makna Ceritera Orang Bajo”. Kalam 6 : 124-143.

___________. 1997. “Claude Lévi-Strauss : Butir-butir Pemikiran Antropologi”


dalam Lévi-Strauss : Empu Antropologi Struktural, O. Paz. Di
Indonesiakan oleh Landung Simatupang. Yogyakarta : LKIS.

___________. 1998a. Strukturalisme Lévi-Strauss Untuk Arkeologi Semiotik.


Makalah seminar Arkeologi.

___________. 1998b. Seni : Budaya :: Keindahan : Kebenaran :: Rasa : Nalar ::


Estetika dan Etika, dan Krisis 1997-1998 di Indonesia. Makalah
seminar.

___________. 1998c. “Lévi-Strauss, Orang-Orang PKI, Nalar Jawa, dan Sosok


Umar Kayam : Telaah Struktural-Hermeneutik Atas Dongeng-

42
Dongeng Etnografis Dari Umar Kayam” dalam Umar Kayam dan
Jaring Semiotik, A. Salam (ed). Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

___________. 1999a. Struktur Simbolisme Budaya Jawa Kuno : Yang Meneng


dan Yang Malih. Makalah Sarasehan.

___________. 1999b. “Ekonomi Manusia Jawa : Agama dan Perilaku Ekonomi


Dalam Perspektif Antropologi Struktural”. Gerbang 5 (2) : 88 – 97.

___________. 1999c. “Arca Ganesya dan Strukturalisme : Sebuah Analisis Awal”


dalam Cerlang Budaya, Rahayu S. (ed). Jakarta : UI Press.

___________. 2000a. “Strukturalisme Lévi-Strauss Untuk Arkeologi Semiotik”.


Humaniora 12 : 1 – 13, September – Desember.

___________. 2000b. “Islam Jawa dan Sinkretisasi Agama di Jawa”.


Tembi 1 Thn.I : 10 –

___________. 2001. Strukturalisme Lévi-Strauss, Mitos dan Karya Sastra.


Yogyakarta : Galang Press.

___________. 2002a. Roland Barthes : dari Strukturalisme ke Post-


Strukturalisme. Makalah dalam bedah buku.

___________. 2002b. Strukturalisme Lévi-Strauss dan Sastra. Makalah Pelatihan.

___________. 2002c. Tari “Srimpi” dan Struktur Simbolisme Jawa. Makalah


seminar.

___________. 2002d. Tiga Dasawarsa, Dua Paradigma, Satu Model. Makalah


seminar.

___________. 2002e. Satwa, Totem, Mitos dan Nalar Primitif. Makalah diskusi.

___________. 2003. “Structural Anthropology in America and France : A


Comparison”. Humaniora XV (3) : 239 – 264.

___________. 2005. Tanda : Simbol :: Semiotika : Hermeneutika. Makalah bedah


buku.

___________. 2006a. “Strukturalisme Lévi-Strauss : Positivistis dan


Fungsionalistis ? Beberapa Catatan Kritis” dalam Lévi-Strauss :
Strukturalisme dan Teori Sosiologi, C. Badcock. Terj. Robby H.
Abror. Yogyakarta : Insight Reference.

43
___________. 2006b. “Dari Mytheme ke Ceriteme : Pengembangan Konsep dan
Metode Analisis Struktural” dalam Esei-esei Antropologi : Teori,
Metodologi dan Etnografi, H.S. Ahimsa-Putra (ed.). Kepel Press :
Yogyakarta.

___________. 2006c. “Antropologi Sosial-Budaya di Indonesia : Tingkat


Perkembangan dengan Perspektif Epistemologi” dalam Ilmu Sosial
dan Tantangan Zaman, T. Abdullah (ed.). Jakarta : Rajagrafindo
Persada.

___________. 2006d. Sawerigading, To-manurung dan Nilai-nilai Budaya Bugis-


Makassar : Status Sosial dan Resiprositas dalam Budaya Bugis-
Makassar. Makalah seminar nasional.

___________. 2006e. Strukturalisme Lévi-Strauss, Mitos dan Karya Sastra.


Yogyakarta : Kepel Press. Edisi Baru.

___________. 2007a. Tanaman : Hama : Laki-laki : Relasi-relasi


Simbolik Dalam Mitos “Dewi . Makalah seminar.

___________. 2007b. Strukturalisme Lévi-Strauss : Paradigma dan Epistemologi


Baru. Makalah bedah buku.

___________. 2008a. “Ritus Kematian : Ritus Peralihan, Ritus Penandaan, Ritus


Pertukaran”. Jurnal Penelitian Walisongo XVI (2) : 59-76.

___________. 2008b. Budi : Roh Pertukaran dalam Budaya Melayu. Makalah


workshop “Pemikiran Melayu Jawa”.

Daiches, David, 1981, Critical Approaches to Literature, Longman, New York.


Fokkema, D.W., 1998, Teori Sastra Abad Kedua Puluh (Theories of
Literature in the Twentieth Century), Gramedia, Jakarta. Kaplan,
David, dkk., 1999, The Theory of Culture (Teori Budaya), Pustaka
Pelajar, Yogyakarta. Lane, Allen, 1968, Structural Anthropology, The
Penguin Press. Noth, Winfried, 1995, Hand Book of Semiotics,
Indiana university Press, Bloomington and Indianapolis. Selden,
Raman, 1985, A Reader Guide to Contemporary Literary
Work, The Harvester Press Limited, Sussex.
Strauss, Levi, Claude, 1958, Anthropologie Structurale (Terj.
Antropologi Struktural, 2007), Kreasi Wacana, Yogyakarta.

Nasrulah. 2008. Ngaju, Ngawa, Ngambu, Liwa : Analisis Strukturalisme Lévi-


Strauss Terhadap Konsep Ruang dalam Pemikiran Orang Dayak
Bakumpai di Sungai Barito. Tesis Pascasarjana Antropologi.
Universitas Gadjah Mada.

44
Strauss, Levi, Claude, 1958, Anthropologie Structurale (Terj. Antropologi
Struktural, 2007), Kreasi Wacana, Yogyakarta.

Sperber, D. 1979. “Claude Lévi-Strauss” dalam Structuralism and Since : From


Lévi-Strauss to Derrida, J. Sturrock (ed.). Oxford : Oxford
University Press.

Sturrock, J. 1979. “Introduction” dalam Structuralism and Since : From Lévi-


Strauss to Derrida, J. Sturrock (ed.). Oxford : Oxford University
Press.

Berkenalan dengan
Post-strukturalisme
oleh : easternwriter
Pengarang : Jacques Derrida, Roland Barthes, Erdward Said, Ferdinand
de Saussure
· Summary rating: 3 stars (15 Tinjauan)
· Kunjungan : 2286

· kata:600

You searched for: "strukturalisme". For the best results, click here!

· Daftarkan diri
· Apakah Shvoong itu?

· Masuk

· Write & earn

Buat rangkuman pengetahuan manusia di Shvoong.

Pengantar singkat wacana post strukturalisme dalam


kesusasteraanStrukturalisme
dibangun atas prinsip Saussure* bahwa bahasa sebagai sebuah sistem

45
tanda harus dilihat ke dalam tahapan tunggal sementara (single
temporal plane).
Aspek diakronis bahasa, yakni bagaimana bahasa berkembang dan berubah

dari masa ke masa, dilihat sebagai bagian yang kurang penting. Dalam

pemikiran post strukturalis, berpikir sementara menjadi hal yang utama.Tokoh

utama yang paling berpengaruh pada era kritik sastra post-strukturalis adalah
seorang filsuf perancis Jacques Derrida. Selain itu, buah karya pemikiran
psikoanalis Jacques Lacan dan ahli teori kebudayaan Michael

Foucault juga berperan penting dalam kemunculan post strukturalisme tersebut.


Derrida menekankan “logosentrime” (berpusat pada logos) pemikiran barat
bahwa makna dipahami sebagai independensi bahasa yang

dikomunikasikan dan tidak tunduk pada permainan bahasa. Derrida sepakat

dengan Saussure bahwa bahasa merupakan produk yang berbeda antar

penanda, tapi dia berpikir melampaui Saussure dalam menegaskan bahwa

dimensi sesaat (temporal dimension) tak dapat ditinggalkan. Derrida menilai


bahwa Saussure tak dapat membebaskan dirinya dari pandangan

logosentris, sejak ia mengunggulkan bahasa di atas tulisan. Derrida percaya


bahwa penanda (signs) dan petanda (signified) dapat digabung ke dalam
tahapan yang sama dalam praktek tindak tutur (act
of speaking). Derrida
menyerang pandangan logosentrisme dan menilai bahwa tulisan merupakan

model yang lebih baik untuk memahami bagaimana bahasa berfungsi. Dalam

tulisan, penanda selalu produktif, mengenalkan aspek sesaat ke dalam


penandaan yang menentukan berbagai penggabungan antara sign dan

signified.Perumusan dasar “differance” Derrida disusun dengan mempermainkan


pada kata perancis ‘difference’, yang dapat berarti ‘pertentangan’ dan
“penundaan”, merusak logonsentrisme dengan menyatakan bahwa makna tak
pernah dapat mewakili seluruhnya karena

makna tersebut selalu ditangguhkan. Praktik “dekonstruksi ”**-nya ini berdasar


pada teks yang dia teliti yang berpengaruh besar pada kritik

46
sastra, misalnya pada New Criticsm.Essainya yang berjudul “Structure, Sign, and
Play in the Discourse of the Human Sciences” , pertama kali disampaikan di John
Hopkins University pada tahun 1966, sangat berpengaruh dalam teori kritik
sastra.Essay Roland Barthes, “The Death of the Author” pertama kali
dipublikasikan pada tahun 1968, mengadopsi sebuah pandangan tekstual
bahasa dan makna

secara radikal dan dengan jelas menunjukkan perannya dalam post strukturalis.
Pemikiran post strukturalis juga berkembang di di Amerika pada tahun 1970-an,
khususnya di kalangan kritikus yang tinggal di Yale, atau disebut para
dekonstrusionis Yale. Teoritikus terkemuka Yale adalah Paul de Man yang
berpendapat bahwa teks sastra

telah tergabung dengan “pertentangan” Derrida. De Man berpendapat bahwa


ada devisi radikal dalam teks sastra antara gramatikal atau struktur logika
bahasa dan aspek retorisnya. Hal ini menciptakan sebuah signifikansi
(penandaan) dalam teks sastra yang pada

akhirnya tak dapat ditentukan. De Man berpendapat bahwa sastra digabungkan


oleh permainan (play) yang tak dapat ditentukan secara gramatikal dan retoris
dalam teks dan tidak dengan pertimbangan
estetis. Edward
W Said menerima pandangan post strukturalis tapi menolak pada apa yang

dia lihatnya sebagai pendekatan tekstual sempit ala Derrida. Dia berpendapaat
bahwa karya Foucault memungkinkan kritik sastra melampaui

dimensi sosial dan politis teks.


Diterbitkan di: Januari 04, 2008

23
45Moho
n
ringkasa
n ini
dinilai :

ilai
: 1

Link yang relevan :

· http://sulhanudin.info/2006/01/berkenalan-dengan-post-
strukturali ...

47
You searched for: "strukturalisme". For the best results, click here!
· Kutipan
· Dan,

· Sastra,

· Bahasa,

· Dapat,

· Bahwa,

· Dengan,

· Dalam,

· Derrida,

· Pada,

· Post

Buat kutipan untuk ringkasan ini


Tambahkan komentar Anda Terjemahkan Kirim Link Cetak Share

Orang yang membaca ringkasan ini juga membaca:

· PERS NASIONAL, TIDAK CUKUP DENGAN MITOS


· http://helaby-boys.blogspot.com/

· Mengolah Kemelayuan di Asia Tenggara

· Mari Membaca Isi (Ratusan) Novel Sastra Indonesia!

· Kritik Sastra Indonesia dari Australia

· Dua “Kiblat” dalam Sastra Indonesia

Lainnya tentang Ilmu Sosial

· PRRI, Perjuangan Koreksi


· Keakbaran Penyair Tongkat-Baudelaire

· Bagaimana Kita Menilai PRRI? Renungan 61 Tahun Republik


Proklamasi
· Intelektual Minang

· Provinsi Minangkabau

· Sajak "Malaikat" Saeful Badar Yang Tetap Hadir

48
Paling populer

Ringkasan lain oleh easternwriter

· Menulis adalah Jalan Hidupku


· Petualangan Celana Dalam: Tren awam menulis sastra

· Opera Zaman: Perlukah Faktualitas dalam Cerpen

· Tetralogi Laskar Pelangi: Andrea Tak Melawan Pasar

· Pengakuan Korban NII (1)

More
Berikut

Yang paling banyak dicari


· tips
· bisnis

· kesehatan

· uang

· wanita

· cinta

· trik

· jantung

· pria

· 2012

· berita

· blog

· Seks

· dunia

· kiamat

Tulis dan dapatkan bayaran

49
.

Strukturalisme dan Implikasinya


8Oct2008 Filed under: Epistemology, Paradigm and Perspective,
Philosophers, Philosophy, Postmodern Author: Arif

Pengantar

Strukturalisme merupakan suatu gerakan pemikiran filsafat yang


mempunyai pokok pikiran bahwa semua masyarakat dan kebudayaan mempunyai
suatu struktur yang sama dan tetap.

Ciri khas strukturalisme ialah pemusatan pada deskripsi keadaan aktual


obyek melalui penyelidikan, penyingkapan sifat-sifat instrinsiknya yang tidak
terikat oleh waktu dan penetapan hubungan antara fakta atau unsur-unsur sistem
tersebut melalui pendidikan. Strukturalisme menyingkapkan dan melukiskan
struktur inti dari suatu obyek (hirarkinya, kaitan timbal balik antara unsur-unsur
pada setiap tingkat) (Bagus, 1996: 1040)

Gagasan-gagasan strukturalisme juga mempunyai metodologi tertentu


dalam memajukan studi interdisipliner tentang gejala-gejala budaya, dan dalam
mendekatkan ilmu-ilmu kemanusiaan dengan ilmu-ilmu alam. Akan tetapi
introduksi metode struktural dalam bermacam bidang pengetahuan menimbulkan
upaya yang sia-sia untuk mengangkat strukturalisme pada status sistem filosofis.
(Bagus, 1996: 1040)

Ferdinand de Saussure

Untuk mengenal lebih lanjut tentang strukturalisme maka ada baiknya


untuk menyimak pemikiran Ferdinand de Saussure yang banyak disebut orang
sebagai bapak strukturalisme, walaupun bukan orang pertama yang
mengungkapkan strukturalisme.

Banyak hal yang menunjukkan Ferdinand de Saussure adalah bapak


strukturalisme. Selain ia sebagai bapak strukturalisme ia juga sebagai bapak
linguistik yang ditunjukkan dengan mengadakan perubahan besar-besaran di
bidang lingustik. Ia yang pertama kali merumuskan secara sistematis cara
menganalisa bahasa, yang juga dapat dipergunakan untuk menganalisa sistem
tanda atau simbol dalam kehidupan masyarakat, dengan menggunakan analisis
struktural. Ia mengatakan bahwa linguistik adalah ilmu yang mandiri, karena
bahan penelitiannya, yaitu bahasa, juga bersifat otonom. Bahasa adalah sistem
tanda yang paling lengkap. Menurutnya ada kemiskinan dalam sistem tanda
lainnya, sehingga untuk masuk ke dalam analisis semiotik, sering digunakan pola
ilmu bahasa. De Saussure mengatakan bahwa bahasa adalah sistem tanda yang
mengungkapkan gagasan, dengan demikian dapat dibandingkan dengan tulisan,
50
abjad orang-orang bisu tuli, upacara simbolik, bentuk sopan santun, tanda-tanda
kemiliteran dan lain sebagainya. Bahasa hanyalah yang paling penting dari
sistem-sistem ini. Jadi kita dapat menanamkan benih suatu ilmu yang mempelajari
tanda-tanda di tengah-tengah kehidupan kemasyarakatan; ia akan menjadi bagian
dari psikologi umum, yang nantinya dinamakan oleh de saussure sebagai
semiologi. Ilmu ini akan mengajarkan kepada kita, terdiri dari apa saja tanda-
tanda itu, kaidah mana yang mengaturnya. Karena ilmu ini belum ada, maka kita
belum dapat mengatakan bagaimana ilmu ini, tetapi ia berhak hadir, tempatnya
telah ditentukan lebih dahulu. Linguistik hanyalah sebahagian dari ilmu umum
itu, kaidah-kaidah yang digunakan dalam semiologi akan dapat digunakan dalam
linguistik dan dengan demikian linguistik akan terikat pada suatu bidang tertentu
dalam keseluruhan fakta manusia.

Gagasan yang paling mendasar dari de Saussure adalah sebagai berikut:

1. Diakronis dan sinkronis: penelitian suatu bidang ilmu tidak hanya dapat
dilakukan secara diakronis (menurut perkembangannya) melainkan juga
secara sinkronis (penelitian dilakukan terhadap unsur-unsur struktur
yang sezaman)
2. Langue dan parole: langue adalah penelitian bahasa yang mengandung
kaidah-kaidah, telah menjadi milik masyarakat, dan telah menjadi
konvensi. Sementara parole adalah penelitian terhadap ujaran yang
dihasilkan secara individual.

3. Sintagmatik dan Paradikmatik (asosiatif): sintagmatik adalah hubungan


antara unsur yang berurutan (struktur) dan paradikmatik adalah
hubungan antara unsur yang hadir dan yang tidak hadir, dan dapat saling
menggantikan, bersifat asosiatif (sistem).

4. Penanda dan Petanda: Saussure menampilkan tiga istilah dalam teoi


ini, yaitu tanda bahasa (sign), penanda (signifier) dan petanda
(signified). Menurutnya setiap tanda bahasa mempunyai dua sisi yang
tidak terpisahkan yaitu penanda (imaji bunyi) dan petanda (konsep).
Sebagai contoh kalau kita mendengan kata rumah langsung tergambar
dalam pikiran kita konsep rumah.

Strukturalisme termasuk dalam teori kebudayaan yang idealistik karena


strukturalisme mengkaji pikiran-pikiran yang terjadi dalam diri manusia.
Strukturalisme menganalisa proses berfikir manusia dari mulai konsep hingga
munculnya simbol-simbol atau tanda-tanda (termasuk didalmnya upacara-
upacara, tanda- tanda kemiliteran dan sebagainya) sehingga membentuk sistem
bahasa. Bahasa yang diungkapkan dalam percakapan sehari-hari juga mengenai
proses kehidupan yang ada dalam kehidupan manusia, dianalisa berdasarkan
strukturnya melalui petanda dan penanda, langue dan parole, sintagmatik dan
paradikmatik serta diakronis dan sinkronis. Semua relaitas sosial dapat dianalisa
berdasarkan analisa struktural yang tidak terlepas dari kebahasaan.

51
Dalam memahami kebudayaan kita tidak bisa terlepas dari prinsip-prinsip
dasarnya. de Saussure merumuskan setidaknya ada tiga prinsip dasar yang penting
dalammemahami kebudayaan, yaitu:

1. Tanda (dalam bahasa) terdiri atas yang menandai (signifiant, signifier,


penanda) dan yang ditandai (signifié, signified, petanda). Penanda adalah
citra bunyi sedangkan petanda adalah gagasan atau konsep. Hal ini
menunjukkan bahwa setidaknya konsep bunyi terdiri atas tiga komponen
(1) artikulasi kedua bibir, (2) pelepasan udara yang keluar secara
mendadak, dan (3) pita suara yang tidak bergetar.
2. Gagasan penting yang berhubungan dengan tanda menurut Saussure adalah
tidak adanya acuan ke realitas obyektif. Tanda tidak mempunyai
nomenclature. Untuk memahami makna maka terdapat dua cara, yaitu,
pertama, makna tanda ditentukan oleh pertalian antara satu tanda dengan
semua tanda lainnya yang digunakan dan cara kedua karena merupakan
unsur dari batin manusia, atau terekam sebagai kode dalam ingatan
manusia, menentukan bagaimana unsur-unsur realitas obyektif diberikan
signifikasi atau kebermaknaan sesuai dengan konsep yang terekam.

3. Permasalahan yang selalu kembali dalam mengkaji masyarakat dan


kebudayaan adalah hubungan antara individu dan masyarakat. Untuk
bahasa, menurut Saussure ada langue dan parole (bahasa dan tuturan).
Langue adalah pengetahuan dan kemampuan bahasa yang bersifat kolektif,
yang dihayati bersama oleh semua warga masyarakat; parole adalah
perwujudan langue pada individu. Melalui individu direalisasi tuturan
yang mengikuti kaidah-kaidah yang berlaku secara kolektif, karena kalau
tidak, komunikasi tidak akan berlangsung secara lancar.

Gagasan kebudayaan, baik sebagai sistem kognitif maupun sebagai sistem


struktural, bertolak dari anggapan bahwa kebudayaan adalah sistem mental yang
mengandung semua hal yang harus diketahui individu agar dapat berperilaku dan
bertindakj sedemikian rupa sehingga dapat diterima dan dianggap wajar oleh
sesama warga masyarakatnya.

Pierre Bourdieu

Bourdieu pada awalnya menghasilkan karya-karya yang memaparkan


sejumlah pengaruh teoritis, termasuk fungsionalisme, strukturalisme dan
eksistensialisme, terutama pengaruh Jean Paul Sartre dan Louis Althusser.

Pada tahun 60an ia mulai mengolah pandangan-pandangan tersebut dan


membangun suatu teori tentang model masyarakat. Gabungan antara pendekatan
teori obyektivis dan teori subyektivis sosial yang dituangkan dalam buku yang
berjudul ”outline of a theory of practice” dimana didalamnya ia memiliki posisi
yang unik karena berusaha mensintesakan kedua pendekatan metodologi dan
epistemologi tersebut.

52
Dalam karyanya ini ia menyerang pemahaman kaum strukturalis yang
menciptakan obyektivisme yang menyimpang dengan memposisikan ilmuwan
sosial sebagai pengamat. Menurutnya pemahaman ini mengabaikan peran pelaku
dan tindakan-tindakan praktis dalam kehidupan sosial.

Kelebihan Bourdieu adalah menghasilkan cara pandang dan metode baru


yang mengatasi berbegai pertentangan di antara penjelasan-penjelasan
sebelumnya. Pemikirannya bukan hanya menjawab pertanyaan tentang asal usul
dan seluk beluk masyarakat tetapi lebih pada menjawab persoalan-persoalan baru
yang diturunkan dari pemikiran-pemikiran terdahulu.

Terdapat 3 konsep penting dalam pemikiran Bourdieu yaitu Habitus, Field


dan Modal. Berikut ini akan dibahas ketiga konsep tersebut dan akan dijelaskan
interaksi ketiga konsep ini dalam masyarakat. Habitus adalah “struktur mental
atau kognitif” yang digunakan aktor untuk menghadapi kehidupan sosial. Setiap
aktor dibekali serangkaian skema atau pola yang diinternalisasikan yang mereka
gunakan untuk merasakan, memahami, menyadari, dan menilai dunia sosial.
Melalui pola-pola itulah aktor memproduksi tindakan mereka dan juga
menilainya. Secara dialektis habitus adalah ”produk internalisasi struktur” dunia
sosial. Atau dengan kata lain habitus dilihat sebagai ”struktur sosial yang
diinternalisasikan yang diwujudkan”.

Habitus mencerminkan pembagian obyektif dalam struktur kelas seperti


umur, jenis kelamin, kelompok dan kelas sosial. Habitus diperoleh sebagai akibat
dari lamanya posisi dalam kehidupan sosial diduduki. Habitus berbeda-beda pada
setiap orang tergantung pada wujud posisi seseorang dalam kehidupan sosial;
tidak setiap orang sama kebiasaannya; orang yang menduduki posisi yang sama
dalam kehidupan sosial, cenderung mempunyai kebiasaan yang sama.

Habitus lebih didasarkan pada keputusan impulsif, dimana seorang


individu bereaksi secara efisien dalam semua aspek kehidupan. Habitus
menghasilkan dan dihasilkan oleh kehidupan sosial. Disatu pihak habitus adalah
struktur yang menstruktur artinya habitus adalah sebuah struktur yang
menstruktur kehidupan sosial. Dilain pihak habitus adalah struktur yang
terstruktur, yaitu habitus adalah struktur yang distruktur oleh dunia sosial.

Habitus menjadi konsep penting baginya dalam mendamaikan ide tentang


struktur dengan ide tentang praktek. Ia berusaha mengkonsepkan kebiasaan dalam
berbagai cara, yaitu:

· Sebagai kecenderungan-kecenderungan empiris untuk bertindak dalam


cara-cara yang khusus (gaya hidup)
· Sebagai motivasi, preferensi, cita rasa atau perasaan (emosi)

· Sebagai perilaku yang mendarah daging

53
· Sebagai suatu pandangan tentang dunia (kosmologi)

· Sebagai keterampilan dan kemampuan sosial praktis

· Sebagai aspirasi dan harapan berkaitan dengan perubahan hidup


dan jenjang karier.

Habitus membekali seseorang dengan hasrta. Motivasi, pengetahuan,


keterampilan, rutinitas dan strategi untuk memproduksi status yang lebih rendah.
Bagi Bourdieu keluarga dan sekolah merupakan lembaga penting dalam
membentuk kebiasaan yang berbeda.

Field bagi Bourdieu lebih bersifat relasional ketimbang struktural. Field


adalah jaringan hubungan antar posisi obyektif di dalamnya. Keberadaan
hubungan ini terlepas dari kesadaran dan kemauan individu. Field bukanlah
interaksi atau ikatan lingkungan bukanlah intersubyektif antara individu.
Penghubi posisi mungkin agen individual atau lembaga, dan penghubi posisi ini
dikendalikan oleh struktur lingkungan.

Bourdieu melihat field sebagai sebuah arena pertarungan. Struktur Field lah
yang menyiapkan dan membimbing strategi yang digunakan penghuni posisi tertentu
yang mencoba melindungi atau meningkatkan posisi mereka untuk memaksakan
prinsip penjenjangan sosial yang paling menguntungkan bagi produk mereka sendiri.
Field adalah sejenis pasar kompetisi dimana berbagai jenis modal (ekonomi, kultur,
sosial, simbolik) digunakan dan disebarkan. Lingkungan adalah lingkungan politik
(kekuasaan) yang sangat penting; hirarki hubungan kekuasaan di dalam lingkungan
politik membantu menata semua lingkungan yang lain.

Bourdieu menyusun 3 langkah proses untuk menganalisa lingkungan,


pertama, menggambarkan keutamaan lingkungan kekuasaan (politik). Langkah
kedua, menggambarkan struktur obyektif hubungan antar berbagai posisi di dalam
lingkungan tertentu, ketiga, analis harus mencoba menetukan ciri-ciri kebiasaan
agen yang menempati berbagai tipe posisi di dalam lingkungan.

Dengan kata lain, Field adalah wilayah kehidupan sosial, seperti seni,
industri, hukum, pengobatan, politik dan lain sebagainya, dimana para pelakunya
berusaha untuk memperoleh kekuasaan dan status.

Bourdieu menganggap bahwa modal memainkan peranan yang penting,


karena modallah yang memungkinkan orang untuk mengendalikan orang untuk
mengendalikan nasibnya sendiri maupun nasib orang lain.

Ada 4 modal yang berperan dalam masyarakat yang menentukan


kekuasaan sosial dan ketidaksetaraan sosial, pertama modal ekonomis yang
menunjukkan sumber ekonomi. Kedua, modal sosial yang berupa hubungan-
hubungan sosial yang memungkinkan seseorang bermobilisasi demi kepentingan

54
sendiri. Ketiga, modal simbolik yang berasal dari kehormatan dan prestise
seseorang. Dan keempat adalah modal budaya yang memiliki beberapa dimensi,
yaitu:

· Pengetahuan obyektif tentang seni dan budaya


· Cita rasa budaya (cultural taste) dan preferensi

· Kualifikasi-kualifikasi formal (seperti gelas-gelar universitas)

· Kemampuan-kemampuan budayawi dan pengetahuan praktis.

· Kemampuan untuk dibedakan dan untuk membuat oerbedaan antara yang


baik dan buruk.

Modal kultural ini terbentuk selama bertahun-tahun hingga terbatinkan


dalam diri seseorang. Setelah dibahas tentang ketiga konsep diatas maka akan
dijelaskan hubungan ketiga konsep tersebut.

Habitus dan ranah merupakan perangkat konseptual utama yang krusial


bagi karya Bourdieu yang ditopang oleh sejumlah ide lain seperti kekuasaan
simbolik, strategi dan perbuatan beserta beragan jenis modal.

Seperti telah diungkapkan diatas bahwa habitus adalah struktur kognitif


yang menghubungkan individu dan realitas sosial. Habitus merupakan struktur
subyektif yang terbentuk dari pengalaman individu berhubungan dengan individu
lain dalam jaringan struktur obyektif yang ada dalam ruang sosial. Habitus adalah
produk sejarah yang terbentuk setelah manusia lahir dan berinteraksi dengan
masyarakat dalam ruang dan waktu tertentu, dengan kata lain habitus adalah hasil
pembelajaran lewat pengasuhan, aktivitas bermain, dan juga pendidikan
masyarakat. Pembelajaran ini berjalan secara halus sehingga individu tidak
menyadari hal ini terjadi pada dirinya, jadi habitus bukan pengetahuan bawaan.

Habitus mendasari field yang merupakan jaringan relasi antar posisi-posisi


obyektif dalam suatu tatanan sosial yang hadir terpisah dari kesadaran individu.
Field semacam hubungan yang terstruktur dan tanpa disadari mengatur posisi-
posisi individu dan kelompok dalam tatanan masyarakatyang terbentuk secara
spontan.

Habitus memungkinkan manusia hidup dalam keseharian mereka secara


spontan dan melakukan hubungan dengan pihak-pihak diluar dirinya. Dalam
proses interaksi dengan pihak luar tersebut terbentuklah Field.

Dalam suatu Field ada pertarungan kekuatan-kekuatan antara individu


yang memiliki banyak modal dengan individu yang tidak memiliki modal. Diatas
sudah di singgung bahwa modal merupakan sebuah konsentrasi kekuatan, suatu
kekuatan spesifik yang beroperasi di dalam field dimana di dalam setiap field

55
menuntut untuk setiap individu untuk memiliki modal gara dapat hidup secara
baik dan bertahan di dalamnya.

Secara ringkas Bourdieu menyatakan rumusan generatif yang


menerangkan praktis sosial dengan rumus setiap relasi sederhana antara individu
dan struktur dengan relasi antara habitus dan ranah yang melibatkan modal.

Daftar Acuan

Bagus, Loren. 1996.”Kamus Filsafat”. Jakarta: Pustakan Gramedia Harker,


Richard, Cheelen Mahar, Chris Wilkes. 2005.”(Habitus x Modal) + Praktik:
Pengantar Paling Komprehensif kepada Pemikiran Pierre Bourdieu”.
Yogyakarta: Jalasutra
Lechte, John. 2001.”50 Filusuf Kontmporer: Dari Strukturalisme sampai
Postmodernitas”. Yogyakarta: Kanisius
Sutrisno, Mudji, Hendar Putranto. 2006.” Teori-teori Kebudayaan”. Yogyakarta:
Kanisius
You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed.
You can leave a response, or trackback from your own site.

. Pengantar Adakah pengaruh strukturalisme Lévi-Strauss di Indonesia?


Kalau ada, seperti apa? Di kalangan yang mana? Kalau tidak ada atau kurang
terlihat, mengapa?

Itulah beberapa pertanyaan yang berusaha dijawab dalam makalah ini.


Jawaban-jawaban ini lebih didasarkan pada hasil pengalaman pribadi daripada
hasil sebuah penelitian yang serius dan teliti mengenai pengaruh strukturalisme
Prancis di kalangan ilmuwan sosial-budaya Indonesia. Namun sebelum menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut ada baiknya saya paparkan terlebih dulu seperti
apa strukturalisme Prancis itu, terutama yang diusung oleh Lévi-Strauss, dan
mengapa saya memilih menampilkan strukturalisme Lévi-Strauss di sini.

Pada musim semi tahun 1981, setahun setelah meninggalnya ahli filsafat
Jean Paul Sartre, majalah Prancis Lire mengadakan sebuah jajak pendapat di
kalangan intelektual, mahasiswa dan politisi Prancis, dengan pertanyaan, “siapa
tiga pemikir berbahasa Perancis yang masih hidup, yang pandangannya – menurut
anda – paling berpengaruh terhadap evolusi (perkembangan) pemikiran sastra dan
ilmu pengetahuan dan sebagainya ?”. Dari kira-kira 448 jawaban yang masuk, 101
orang menyebut nama Lévi-Strauss, 84 orang menyebut Raymond Aron, 83 orang
menyebut Michel Foucault. Nama-nama lain yang juga disebut antara lain adalah
Jaques Lacan (51), Simone de Beauvoir (46), dan masih ada lagi beberapa yang
lain (Pace, 1986 : 1).

Hasil jajak pendapat tersebut mungkin agak mengherankan juga, karena


antropologi bukanlah sebuah cabang ilmu yang populer di Prancis, dibandingkan

56
dengan di Inggris dan Amerika Serikat. Apa ini artinya ? Tidak lain adalah bahwa
pemikiran-pemikiran Lévi-Strauss ternyata dipandang begitu berpengaruh oleh
kaum intelektual Prancis, dan sedikit banyak hal itu juga menunjukkan bahwa
Lévi-Strauss tidak hanya dipandang sebagai ahli antropologi, tetapi juga ahli
filsafat, walaupun Lévi-Strauss sendiri sudah tidak lagi begitu menyukai filsafat
sebagaimana yang dia kenal, setelah dia berkenalan dengan antropologi.

Kedua, sebuah karikatur yang banyak direproduksi muncul dalam


majalah-majalah Prancis tentang para strukturalis. Di situ digambarkan empat
orang tengah duduk melingkar di bawah pohon tropis dengan mengenakan
pakaian suku-suku bangsa yang masih primitif, yaitu rok yang terbuat dari daun
ilalang. Empat orang tersebut adalah Jacques Lacan, Rolanda Barthes, Michel
Foucault dan tentu saja Claude Lévi-Strauss. Judul karikatur ini adalah “Le
déjeuner des structuralistes”, atau “makan siang para strukturalis” (Sturrock, 1979
: 1). Karikatur ini setidak-tidaknya menunjukkan bahwa di kalangan intelektual
Prancis ketika itu, empat orang itulah yang dikenal sebagai tokoh-tokoh
strukturalisme. Namun, beberapa tahun kemudian, satu persatu dari mereka
meninggalkan strukturalisme, dan akhirnya tinggal Lévi-Strauss yang tetap setia
menjadi perawat dan pengembang paradigma tersebut. Apa ini artinya ? Tidak lain
adalah bahwa Lévi-Strausslah yang paling yakin dengan manfaat dan kemampuan
paradigma struktural untuk digunakan menganalisis gejala-gejala sosial-budaya.
Dengan kata lain, dialah seorang penganut strukturalisme tulen.

Ketiga, hasil survei sebuah lembaga Amerika atas kutipan-kutipan


(citations) antropologi dari tahun 1969-1977, menunjukkan bahwa tulisan-tulisan
Lévi-Strauss adalah tulisan yang paling banyak dikutip orang, dibanding tulisan
ahli-ahli antropologi yang lain (Pace, 1986 : 7). Dengan kata lain, strukturalisme
Lévi-Strausslah yang paling banyak dikenal dan berpengaruh dibandingkan
dengan paradigma antropologi yang lain.

Keempat, strukturalisme Lévi-Strauss juga bukan hanya merupakan


sebuah teori baru, tetapi – sebagaimana dikatakan oleh Lévi-Strauss sendiri –
adalah juga sebuah epistemologi baru dalam ilmu- ilmu sosial-budaya. Oleh
karena itu strukturalisme Lévi-Strauss tidak hanya penting bagi dan dalam
antropologi, tetapi juga penting bagi ilmu-ilmu sosial-budaya lain. Tidak
mengherankan, setelah kemunculan strukturalisme ini pandangan-pandangan
antropologi kemudian mempengaruhi cabang-cabang ilmu sosial-budaya yang
lain seperti sosiologi, sastra, dan filsafat.

Kelima, aliran pemikiran baru yang muncul setelah strukturalisme, seperti


post-modernisme atau post-strukturalisme – ini nama-nama yang sebenarnya kurang
tepat untuk menyebut sebuah aliran pemikiran – atau semiotika yang kini populer di
Barat, tidak dapat dipahami dengan baik tanpa memahami strukturalisme.
Bagaimanapun juga, kelahiran paradigma-paradigma baru ini tidak dapat dilepaskan
dari munculnya strukturalisme itu sendiri. Tanpa memahami strukturalisme akan sulit
memahami post-strukturalisme atau post-modernisme.

57
Itulah lima alasan utama mengapa dalam perbincangan tentang
strukturalisme ini strukturalisme yang dirintis dan dikembangkan oleh Lévi-
Strausslah yang akan ditampilkan di sini. Claude Lévi-Strauss adalah seorang ahli
antropologi yang tetap konsisten menekuni dan mengembangkan paradigma
struktural. Ditangannyalah strukturalisme kemudian dikenal oleh lebih banyak
orang, oleh lebih banyak ilmuwan. Dengan memperbincangkan tentang
strukturalisme ini diharapkan akan muncul ilmuwan-ilmuwan muda Indonesia
yang akan bersedia mengembangkan lebih lanjut kerangka pemikiran tersebut.

Sebelumnya saya perlu minta maaf kepada publik jika dalam tulisan ini
sosok saya terasa begitu menonjol dalam proses penyebaran strukturalisme Lévi-
Strauss di Indonesia, karena saya tidak tahu orang lain di Indonesia yang telah
membahas pemikiran Lévi-Strauss dengan cukup mendalam sebagaimana yang
telah saya lakukan. Saya ingat, ketika saya masih kuliah antropologi di
Universitas Indonesia di akhir tahun 1970an, teman-teman saya umumnya tidak
menyukai teori-teori dari Lévi-Strauss, karena selalu sulit dan tidak biasa, sedang
saya lumayan menyukai teori-teori tersebut karena terasa begitu menantang untuk
memahaminya.

Sementara itu, dosen-dosen antropologi yang mengajar kami ketika itu


juga tidak banyak yang paham dan menaruh minat pada strukturalisme Lévi-
Strauss. Prof. Koetjaraningrat misalnya, yang mengajar kami teori-teori
antropologi, tidak terlihat menyukai strukturalisme Lévi- Strauss, karena aliran ini
kurang sejalan dengan kecenderungan teoritis beliau yang lebih positivistik.
Dalam Sejarah Teori Antropologi II, Prof. Koentjaraningrat melontarkan kritik
terhadap strukturalisme Lévi-Strauss, yang menurut saya kritik tersebut
sebenarnya kurang tepat. Lebih dair itu, dosen-dosen antropologi yang lain – yang
ketika itu belum Professor – seperti Dr. Parsudi Suparlan, Dr. Budi Santoso, Dr.
Nico Kalangie, Dr. J. Danandjaja, terasa begitu dipengaruhi oleh ahli-ahli
antropologi Amerika, seperti Clifford Geertz, Ward H. Goodenough, James P.
Spradley, dan sebagainya, karena mereka melanjutkan pendidikan pascasarjana
mereka di Amerika, walaupun mereka itu kemudian tidak mengembangkan aliran
pemikiran antropologi tertentu di Indonesia. Antropologi Eropa (Inggris, Belanda,
Prancis) sama sekali tidak terasa pengaruhnya dalam pemikiran-pemikiran dan
analisis mereka tentang gejala sosial-budaya di Indonesia. Oleh karena itu, sangat
dapat dimengerti apabila dari kalangan ahli antropologi tidak ada yang berupaya
untuk memperkenalkan secara serius strukturalisme Lévi-Strauss.

2. Ilmu Sosial-Budaya Indonesia 1970-1990an : Mengapa Tidak


Struktural?
Beberapa tahun setelah saya meninggalkan Indonesia untuk mengikuti pendidikan
S-3, pada tahun 1994 saya kembali. Saya berharap ketika itu berbagai pemikiran
yang saya kenal dari perkuliahan saya di jurusan Antropologi di Universitas
Columbia akan dapat saya temukan di Indonesia, sehingga saya dapat segera
membangun wacana tentang pemikiran-pemikiran tersebut di negeri sendiri.
Namun, akhirnya saya harus kecewa, karena situasi dan kondisi pemikiran dalam

58
ilmu sosial-budaya Indonesia ketika itu ternyata tidak seperti yang saya duga dan
harapkan. Padahal, tokoh-tokoh ilmu sosial-budaya yang saya kagumi dan
sebagian pernah menjadi guru saya ketika itu masih ada, dan masih aktif, seperti
misalnya Fuad Hasan, Koentjaraningrat, Masri Singarimbun, Sartono Kartodirdjo,
Parsudi Suparlan, James Danandjaja, Selo Soemardjan dan sebagainya. Saya
bertanya-tanya dalam hati : Mengapa mereka tidak menulis mengenai aliran-aliran
baru dalam antropologi atau bidang ilmu yang mereka tekuni ?

Dalam antropologi di Indonesia ketika itu, tidak telihat arus pemikiran


strukturalisme dari Prancis, tidak ada aliran Etnosains dari Amerika Serikat, tidak
terlihat Tafsir Kebudayaan seperti yang dikembangkan Clifford Geertz. Post-
modernisme mulai terdengar, dan sempat populer dalam dua-tiga tahun, tetapi
setelah itu seperti hilang ditelan bumi. Saya cukup heran dengan situasi dan
kondisi seperti itu. Akan tetapi setelah beberapa tahun berada di Indonesia,
akhirnya saya dapat memaklumi keadaan yang seperti itu, walaupun itu tidak
berarti bahwa saya menyetujui dan menyukai keadaan tersebut.

Ketika saya datang pada awal tahun 1990an, strukturalisme Lévi-Strauss


tidak terdengar gaungnya di kalangan ilmuwan sosial-budaya Indonesia. Bagi
saya ini adalah sebuah keanehan, karena kalau kita membaca jurnal dan buku-
buku ilmu sosial-budaya di Barat di tahun 1970an, bahkan sampai tahun 1980an,
strukturalisme masih tetap merupakan paradigma yang populer dan terasa kuat
pengaruhnya. Saya mencoba untuk mengetahui apa kira-kira penyebab hal
tersebut, karena biasanya ilmuwan Indonesia sangat mudah dan cepat menanggapi
dan berusaha segera mempopulerkan paradigma-paradigma baru di Barat yang
baru saja mereka kenal.

Beberapa tahun saya mencoba mengetahui hal ini. Ada beberapa faktor
yang tampaknya telah membuat strukturalisme Prancis kurang begitu dikenal di
Indonesia. Pertama, strukturalisme tersebut tumbuh dan berkembang di Prancis,
sebuah negeri yang relatif kurang begitu dikenal oleh banyak orang Indonesia,
karena bahasanya juga kurang populer di Indonesia, dibandingkan misalnya
dengan bahasa Inggris dan Belanda. Tidak banyak ilmuwan sosial-budaya
Indonesia di masa itu yang memperoleh pendidikan di Prancis, bahkan hampir
tidak ada. Orientasi pendidikan ilmuwan sosial-budaya Indonesia di masa itu
adalah Amerika Serikat, karena di tahun 1950an dan 1960an Indonesia adalah
salah satu negeri yang banyak diteliti dan dibahas oleh ilmuwan sosial Amerika
Serikat. Nama-nama beken sebagian ilmuwan sosial-budaya Amerika Serikat
ketika adalah nama-nama mereka yang banyak meneliti masyarakat Indonesia.
Nama ilmuwan Prancis yang meneliti Indonesia namun namanya hampir tidak
terdengar di Indonesia adalah Christian Pelras (meneliti sejarah Indonesia). Nama
Lévi-Strauss sebagai seorang teoritisi hampir tak dikenal. Hanya mahasiswa
antropologi saja yang mengenal tokoh tersebut lewah kuliah dari Prof.
Koentjaraningrat almarhum di tahun 1970-1980an. Lévi-Strauss yang kita kenal
ketika itu adalah merk sebuah celana jeans.

59
Aliran pemikiran yang sangat mempengaruhi ilmuwan sosial-budaya
Indonesia di masa itu adalah aliran fungsionalisme-struktural yang berasal dari
Talcott Parsons, ahli sosiologi Amerika Serikat. Fungsionalisme-Struktural yang
diwariskan oleh A.R. Radcliffe-Brown dan Bronislaw Malinowski di tahun
1940an dikembangkan lebih lanjut oleh Parsons dan berhasil menjadi sebuah
aliran yang mendominasi pemikiran ilmuwan sosial-budaya Amerika Serikat di
tahun 1960-1970an. Ilmuwan sosial-budaya Indonesia yang belajar di Amerika
Serikat di masa itu otomatis sangat dipengaruhi oleh aliran pemikiran ini – bahkan
sampai sekarang – . Aalagi ilmuwan sosial-budaya Amerika Serikat yang
mempelajari Indonesia juga menggunakan paradigma tersebut. Lengkaplah sarana
paradigma Fungsionalisme – Struktural untuk menyebar dan dikenal di Indonesia.

Kedua, strukturalisme Lévi-Strauss dalam antropologi, sebuah cabang


ilmu yang kurang begitu populer di Indonesia. Memang, di tahun 1970an dan
1980an antropologi sebagai sebuah cabang ilmu pengetahuan masih belum begitu
dikenal di Indonesia. Orang masih sering mengacaukannya dengan arkeologi,
yang di Amerika Serikat memang merupakan salah satu spesialisasi dalam
antropologi. Kalau antropologi sebagai ilmu sudah tidak begitu dikenal, apalagi
teori-teori yang ada di dalamnya. Kalau di kalangan ahli antropologi Indonesia
saja strukturalisme di Lévi-Strauss sudah tidak begitu dikenal, apalagi oleh
kalangan yang lebih luas.

Ketiga, strukturalisme banyak mendapat inspirasi dari ilmu bahasa dan


mengambil ilmu tersebut sebagai modelnya. Sementara itu, ilmu bahasa atau
linguistik bukanlah sebuah ilmu yang populer di Indonesia, dan teori-teorinya
juga tidak begitu dikenal. Para ilmuwan sosial-budaya umumnya juga tidak
mengenal linguistik, sehingga mereka tentunya mengalami kesulitan ketika
berusaha memahami analisis- analisis strukturalisme Lévi-Strauss yang sangat
banyak mendapat inspirasi dari linguistik.

Keempat, strukturalisme Lévi-Strauss adalah sebuah epistemologi baru,


yang saya kira cukup besar perbedaannya dengan epistemologi yang dianut oleh
sebagian besar ilmuwan sosial-budaya Indonesia, yakni epistemologi yang
positivistik dan epistemologi yang historis. Sebagai epistemologi strukturalisme
sangat berseberangan dengan epistemologi historisme, dan cukup besar
perbedaannya dengan epistemologi positivisme. Untuk mereka yang terbiasa
berfikir dengan menggunakan sebuah paradigma, atau yang didasarkan pada
sebuah epistemologi saja, seperti halnya kebanyakan ilmuwan sosial-budaya
Indonesia, munculnya sebuah paradigma atau epistemologi baru tidak akan
memicu munculnya tanggapan yang positif. Sebaliknya, reaksi yang muncul
biasanya adalah : menolak secara sembunyi-sembunyi, acuh tak acuh, atau
menolak secara terang-terangan.

Kelima, analisis struktural dan bahasa yang digunakan oleh Lévi-Strauss


dalam tulisan-tulisannya termasuk yang tidak mudah dipahami. Analisis struktural
Lévi-Strauss banyak memanfaatkan data etnografi dan analisis serta interpretasi

60
dilakukan atas informasi etnografis mengenai berbagai hal yang begitu kecil dan
njlimet. Oleh karena itu pula analisis struktural yang dikerjakan Lévi-Strauss
termasuk yang tidak mudah dipahami oleh orang-orang antropologi. Kesulitan
memahami ini bertambah besar lagi di kalangan ketika Lévi-Strauss
menggunakan bahasa yang juga relatif sulit dipahami. Lévi-Strauss termasuk ahli
antropologi yang mampu menggunakan daya retorika yang bagus tetapi tidak
mudah dipahami. Bahasa tulisannya memang belum nyastra sekali seperti Geertz,
tetapi sudah termasuk nyastra atau sastrawi. Itulah beberapa faktor yang menurut
saya telah membuat strukturalisme Lévi-Strauss kurang begitu dikenal di
Indonesia, walaupun aliran ini sangat kuat pengaruhnya dalam dunia pemikiran di
Barat. Mengingat pentingnya strukturalisme Lévi-Strauss dalam perkembangan
pemikiran di Barat, begitu tidak dikenalnya aliran pemikiran itu di Indonesia,
serta sulitnya memahami paradigma itu sendiri, maka saya kemudian
memberanikan diri untuk mengusung strukturalisme Lévi-Strauss ke Indonesia
setelah saya menyiapkan diri dengan lebih baik di Amerika Serikat, dengan
mengumpulkan artikel dan buku-buku yang relevan.

3. Mengusung Strukturalisme Lévi-Strauss : 1980an dan 1990an


Generasi saya adalah generasi baru pelajar ilmu sosial-budaya yang mulai
mengenal pemikiran dari Eropa Daratan, karena saya mendapat pendidikan
lanjutan di Belanda. Di sinilah saya berkenalan lebih dekat dengan strukturalisme
Prancis, karena antropologi di Belanda di masa lampau sudah lebih dulu
mengenal strukturalisme, dan kemudian mendapat pengaruh kuat dari
strukturalisme Prancis. Meskipun demikian, saya tidak serta-merta tertarik pada
strukturalisme Prancis, walaupun saya terus-terang tertarik pada kecanggihan
pemikiran Lévi-Strauss. Ketika itu teman sayalah yang kemudian menggunakan
paradigma struktural – yang merupakan campuran strukturalisme Prancis dan
Belanda – untuk menulis tesis S-2 nya, yakni P.M. Laksono. Kami berdua adalah
mahasiswa Indonesia yang dipengaruhi oleh pemikiran struktural ketika itu. Yang
lain tidak tertarik, bahkan cenderung bersikap negatif dan sinis terhadap aliran
strukturalisme yang ketika itu diajarkan oleh P.E. de Josselin de Jong kepada
kami. Saya tidak tahu mengapa demikian, tetapi seingat saya karena mereka
umumnya menganggap pendekatan tersebut “statis”, tidak dapat digunakan untuk
memahami dan menganalisis perubahan.

a. Periode 1980an Laksono menerapkan analisis struktural lebih awal


daripada saya. Tesis pascasarjananya, yang kemudian diterbitkan menjadi buku,
adalah mengenai struktur yang ada dalam Tradisi Ageng dan Tradisi Alit
masyarakat Jawa. Dengan menggunakan analisis struktural Laksono (1986)
mencoba menunjukkan bahwa Tradisi Ageng Jawa di Kraton adalah transformasi
dari Tradisi Alit Jawa di daerah pedesaan. Dalam hal ini Laksono membandingkan
struktur budaya pada masyarakat Jawa di Bagelen dengan struktur budaya Jawa di
Kraton Mataram. Buku ini memang tidak mendapat banyak perhatian dari
ilmuwan sosial-budaya Indonesia. Mungkin, karena pendekatannya terasa tidak
lazim; mungkin juga sulit

61
dimengerti oleh mereka yang belum mengenal strukturalisme; mungkin pula
karena kurang promosi. Yang jelas buku ini setahu saya merupakan analisis
kebudayaan secara struktural yang pertama dilakukan oleh ahli antropologi
Indonesia. Oleh karena penulisan buku tersebut berada di bawah bimbingan P.E.
de Josselin de Jong, ahli antropologi struktural dari Universitas Leiden, Belanda,
maka tidak terlalu mengherankan apabila pengaruh strukturalisme Belanda lebih
terlihat di situ daripada pengaruh strukturalisme Prancis.

Setelah selesai kuliah di Universitas Leiden, Belanda, saya mengajar di


jurusan antropologi, dan kesempatan itu saya gunakan untuk menebar paradigma
strukturalisme di kalangan mahasiswa antropologi UGM. Satu-dua orang
mahasiswa mulai tertarik dengan pendekatan ini dan mulai menerapkannya untuk
penulisan skripsi. Walaupun masih dalam taraf yang sangat sederhana namun
minta mereka untuk menggunakan sebuah paradigma yang belum lazim diterima
dan cukup sulit, patut dihargai. Para mahasiswa antropologi UGM ketika itu mulai
mengenal nama Lévi-Strauss serta teori-teorinya dengan cukup baik. Bukan hanya
karena kuliahnya lebih terfokus, tetapi juga karena buku-buku dan artikel-artikel
antropologi struktural dapat mereka peroleh secara langsung, yaitu dengan
memfotocopy buku-buku dan artikel-artikel yang saya bawa dari luar.

Secara kebetulan waktu itu di majalah Basis muncul sebuah artikel


mengenai Lévi-Strauss dan strukturalismenya, yang ditulis oleh Radrianarisoa.
Setelah membaca artikel itu saya berpendapat bahwa apa yang ada dalam artikel
tersebut tidak seluruhnya tepat atau seperti yang saya ketahui. Oleh karena itu
sayapun menulis sebuah artikel yang isinya merupakan tanggapan, tambahan dan
“pelurusan” beberapa pendapat dalam artikel tersebut (Ahimsa-Putra, 1984).
Semenjak itu, saya merasa bahwa nama saya hampir selalu dihubungkan dengan
strukturalisme atau antropologi struktural.

Pengetahuan mengenai strukturalisme tidak dapat saya tebar lebih lama di


UGM, karena setelah dua tahun saya mengajar saya memperoleh kesempatan
melanjutkan studi S-3 antropologi ke Universitas Columbia di New York,
Amerika Serikat. Ketika itu pengajaran teori antropologi, termasuk di dalamnya
strukturalisme Lévi-Strauss, dilanjutkan oleh dosen kami yang paling senior di
UGM, Pak Kodiran, yang saat itu masih belum guru besar. Laksono tidak dapat
menggantikan, karena dia sudah lebih dulu pergi ke Amerika Serikat untuk
melanjutkan studi. Untuk beberapa tahun, saya tidak mengetahui perkembangan
strukturalisme di kalangan mahasiswa antropologi UGM, sampai ketika saya
pulang kembali ke UGM setelah menyelesaikan S-3 saya.

b. Periode 1990an Pengaruh strukturalisme Lévi-Strauss yang sudah mulai


terlihat di tahun 1980an di Indonesia mulai terasa menguat setelah saya
memberikan kuliah mengenai strukturalisme lagi selama beberapa tahun di
jurusan Antropologi UGM, dan menulis beberapa artikel dengan menggunakan
paradigma tersebut. Setelah saya kembali ke UGM, saya kebetulan diminta Prof.
Baroroh Baried – yang ketika itu

62
menjadi ketua program pascasarjana sastra – untuk mengampu matakuliah
mitologi. Permintaan tersebut saya terima dan secara kebetulan saya mendapat
dana penelitian, yang saya gunakan untuk melakukan penelitian atas mitos orang
Bajo. Laporan penelitiannya kemudian saya tulis kembali menjadi artikel yang
kemudian diterbitkan oleh majalah Kalam (Ahimsa Putra, 1995).

Artikel ini rupanya semakin menguatkan citra saya sebagai orang yang
tahu strukturalisme Lévi-Strauss lebih dari yang lain, karena – sebagaimana kita
ketahui – majalah Kalam adalah majalah yang banyak dibaca oleh mereka yang
berminat pada sastra, seni dan filsafat, dan diluar lingkaran antropologi setahu
saya belum ada orang lain yang berbicara mengenai aliran pemikiran tersebut.
Analisis struktural ala Lévi-Strauss atas mitos sama sekali belum dikenal di
Indonesia ketika itu. Nama Lévi-Strauss dan strukturalisme tetap belum akrab di
kalangan terpelajar di Indonesia.

Pendapat bahwa saya adalah orang yang tahu tentang strukturalisme Lévi-
Strauss itu rupanya telah mendorong pihak penerbit LKIS meminta saya menulis
kata pengantar untuk buku yang akan mereka terbitkan, yang berasal dari buku
Octavio Paz mengenai strukturalisme Lévi-Strauss. Sayapun menyanggupi
permintaan tersebut. Dalam kata pengantar itu saya kembali menyampaikan
berbagai hal mengenai strukturalisme Lévi-Strauss yang belum banyak diketahui,
serta memberikan tanggapan terhadap pendapat-pendapat Paz yang menurut saya
kurang tepat, atau perlu dijelaskan lagi agar tidak menimbulkan salah pengertian
(Ahimsa-Putra, 1997). Ketika itu saya merasa bahwa strukturalisme mulai
menarik perhatian kalangan intelektual muda, terutama di Yogyakarta, karena
kalau tidak ada ketertarikan tersebut, tentu buku Paz tidak akan diterjemahkan dan
diterbitkan.

Sementara itu, melalui perkuliahan di S-1 dan S-2 antropologi serta S-2
sastra, saya terus menyebarkan strukturalisme ke kalangan mahasiswa. Beberapa
mahasiswa kemudian tertarik untuk menulis tesis dengan menggunakan
pendekatan struktural. Oleh karena tidak ada dosen lain yang dipandang lebih
memahami strukturalisme, maka pembimbingan penulisan skripsi atau tesis
semacam ini boleh dikatakan selalu diserahkan kepada saya. Ketika satu-dua tesis
struktural mulai dapat ditulis dan diujikan dengan hasil yang baik (banyak yang
mendapat nilai A), semakin banyak mahasiswa yang tertarik untuk menyusun tesis
atau skripsi struktural. Gaung strukturalisme sebagai sebuah paradigma semakin
luas terdengar di kalangan mahasiswa, terutama jurusan antropologi di UGM,
tetapi saya tidak tahu bagaimana gaung tersebut di luar UGM. Mudah-mudahan
ada yang bersedia memberikan informasi mengenai bagaimana strukturalisme
(Lévi-Strauss) dipandang dan dipahami oleh para mahasiswa – antropologi
maupun bukan – di luar UGM.

Selain melalui perkuliahan, saya juga menulis makalah-makalah untuk


seminar dengan tema struktural, baik itu yang analitis maupun teoritis. Melalui
forum seperti inilah saya dapat menyebarkan strukturalisme. Saya menawarkan

63
pendekatan struktural untuk menganalisis fenomena arkeologis (Ahimsa – Putra,
1998a; 1999c; 2000a). Saya juga menawarkan pendekatan tersebut untuk
menganalisis karya-karya sastra kontemporer yang mungkin tidak pernah
terpikirkan untuk dianalisis secara struktural, seperti karya-karya Umar Kayam
(Ahimsa – Putra, 2002c), sedang kepada para peneliti fenomena keagamaan saya
juga menunjukkan bahwa strukturalisme dapat digunakan untuk memahami
fenomena keagamaan seperti sinkretisme (Ahimsa – Putra, 2000b).

Paradigma strukturalisme Lévi-Strauss menjadi lebih dikenal lagi setelah


terbitnya buku Strukturalisme Lévi- Strauss, Mitos dan Karya Sastra (Ahimsa –
Putra, 2001). Buku ini saya kira telah membuat peneliti dan pelajar sastra
menengok para strukturalisme Lévi-Strauss, yang berbeda dengan strukturalisme
yang selama ini mereka kenal dalam analisis sastra. Buku ini pula yang membuat
banyak orang mulai menyadari bahwa sekat-sekat keilmuan sebenarnya sudah
tidak dapat dipertahankan lagi. Strukturalisme Lévi-Strauss yang muncul dan
berkembang dengan baik dalam antropologi ternyata sangat dapat digunakan
untuk menganalisis karya sastra, dan analisis semacam ini dapat mengungkapkan
dimensi tertentu dari karya sastra yang tidak dapat diungkapkan melalui
pendekatan yang lain. Dengan demikian, para peneliti sastra sebaiknya juga
menengok dan mempelajari paradigma- paradigma yang berkembang di luar
kajian sastra. Dengan terbitnya buku tersebut, strukturalisme Lévi-Strauss mulai
dikenal di luar lingkaran antropologi.

Langkah yang saya tempuh untuk memperkenalkan paradigma antropologi


struktural di Indonesia dengan menulis artikel dan menerbikan buku didasarkan
pada pandangan bahwa orang tidak akan tertarik pada suatu pendekatan atau
paradigma bilamana dia belum mengetahui tentang paradigma tersebut, tentang
cara menggunakannya, dan manfaat apa yang akan diperoleh dari penggunaan
tersebut. Lewat berbagai makalah dan artikel itulah saya berupaya menunjukkan
bahwa strukturalisme adalah sebuah cara baru untuk memandang gejala sosial-
budaya. Melalui paradigma tesebut ada aspek-aspek lain dari gejala sosial-budaya.
Melalui paradigma tersebut ada aspek-aspek lain dari gejala sosial-budaya yang
dapat diungkapkan, yang tidak akan dapat diungkap melalui paradigma yang lain.
Dari makalah dan artikel tersebut orang dapat menilai keampuhan paradigma
struktural untuk memahami gejala sosial-budaya lewat sudut pandang yang
berbeda. Sejak itu, strukturalisme Lévi-Strauss semakin dikenal di Indonesia, dan
tidak terbatas di kalangan pelajar antropologi saja.

4. Strukturalisme Lévi-Strauss di Indonesia : 2009 Bagaimana


strukturalisme di Indonesia sekarang, setelah saya menganalisis mitos Bajo secara
struktural dan mulai memberi kuliah strukturalisme 15 tahun yang lalu?
Strukturalisme Lévi-Strauss kini sudah lebih dikenal di Indonesia, dan semakin
banyak mahasiswa antropologi yang menggunakan pendekatan ini untuk
memahami berbagai gejala sosial-budaya dalam masyarakat Indonesia. Meskipun
demikian saya tetap tidak mengetahui bagaimana perkembangan paradigma
strukturalisme Lévi-Strauss atapun strukturalisme pada umumnya di luar UGM.

64
Memang, saya sering mendengar nama-nama Barthes dan Foucault disebut-sebut
dalam beberapa diskusi, namun belum pernah saya mendengar orang membahas
pemikiran-pemikiran Barthes dan Foucault secara serius, baik itu secara formal
lewat seminar, ataupun dalam diskusi-diskusi informal. Oleh karena itu, di sini
saya hanya akan memaparkan pengaruh-pengaruh strukturalisme, terutama
strukturalisme Lévi-Strauss sebagaimana yang saya ketahui dari karya-karya
ilmiah yang bisa saya peroleh.

a. Metode Analisis Pengaruh strukturalisme terlihat terutama pada metode


analisis, dan di sinilah memang terletak kekuatan strukturalisme Lévi-Strauss
sebagai sebuah paradigma. Kalau paradigma antropologi sebelumnya jarang
sekali menampilkan metode analisisnya, strukturalisme Lévi-Strauss justru
terlihat membedakan dirinya dari yang lain melalui metode analisis ini.
Strukturalisme Lévi-Strauss mulai terlihat digunakan untuk menganalisis berbagai
gejala kebudayaan yang belum pernah dianalisis secara struktural. Ini terlihat pada
tesis dan disertasi di jurusan antropologi UGM.

Analisis struktural telah digunakan untuk mengungkap struktur yang ada


pada rumah Limas Palembang (Purnama, 2000), rumah tradisional Sumba
(Purwadi, 2002). Kalau Dadang H. Purnama mengungkapkan struktur rumah
Limas Palembang dan mengaitkannya dengan struktur pemikiran orang
Palembang, Purwadi lebih tertarik untuk mengungkap prinsip-prinsip struktural
yang ada di balik rumah tradisional Suma di Umaluhu. Oleh karena itu, analisis
Purnama kemudian menuntut digunakannya konsep transformasi, dan dengan
konsep ini pula dia dapat menyajikan rangkaian transformasi yang ada dalam
budaya masyarakat Palembang.

Pendekatan struktural juga digunakan oleh Nasrullah (2008), yang berasal


dari suku Dayak Bakumpai di Sungai Barito, Kalimantan, untuk menganalisis
konsepsi orang Bakumpai tentang ruang. Orang Dayak Bakumpai mengenal
istilah-istilah ngaju, ngawa, ngambu dan liwa untuk menunjuk arah, dan konsepsi
arah yang terkait dengan ruang ini juga terkait erat dengan sungai, karena sungai
merupakan ruang yang sangat penting dalam kehidupan orang Dayak Bakumpai.

Struktur ruang juga dianalisis oleh Gerda Numbery (2008) yang


melakukan penelitian di kalangan orang Dani di Papua. Dalam hal ini Numbery
telah berhasil menunjukkan keterkaitan struktural yang erat antara struktur ruang
yang dikenal oleh orang Dani dengan organisasi sosial mereka. Sepengetahuan
saya, analisis struktural yang dikerjakan oleh Numbery merupakan analisis
struktural ala Lévi-Strauss yang pertama kali dimanfaatkan oleh ilmuwan sosial
Indonesia untuk memahami struktur organisasi sosial orang Dani dan pandangan
mereka tentang ruang beserta strukturnya.

Analisis struktural juga telah diterapkan pada budaya material, yakni


patung (Ahimsa-Putra, 1999c; Subiantoro, 2009) dan makanan tradisional orang

65
Minang (Maryetti, 2007). Ahimsa-Putra misalnya menerapkan analisis struktural
pada arca ganesya, yang sebelumnya telah diteliti secara seksama oleh Edi
Sedyawati, ahli arkeologi UI. Walaupun analisisnya belum sepenuhnya tuntas,
namun analisis tersebut telah memberi inspirasi pada sejumlah ahli arkeologi lain
untuk mencoba menerapkannya pada artefak-artefak atau benda arkeologis
lainnya. Selain arca ganesya, analisis patung secara struktural juga telah dilakukan
oleh Slamet Subiantoro, yang menempatkan patung loro-blonyo dalam konteks
kebudayaan yang lebih luas, yakni kosmologi Jawa. Sementara itu, Maryetti lebih
tertarik untuk menganalisis dan mengungkapkan struktur yang ada di balik
berbagai macam makanan tradisional yang disajikan dalam ritual-ritual
(Subiantoro, 2009).

Lebih dari itu, ternyata pendekatan struktural juga dapat menjelaskan


fenomena sosial yang terjadi di Indonesia tidak lama setelah meletusnya peristiwa
G-30-S, yakni banyaknya orang Tionghoa Indonesia yang masuk agama Katholik
dan bagaimana perilaku mereka setelah mereka memeluk agama tersebut
(Radjabana, 2000). Beberapa contoh kajian ini menunjukkan bahwa
strukturalisme sebagai sebuah paradigma ternyata dapat digunakan untuk
menganalisis beraneka- macam gejala sosial-budaya. Dalam hal ini para
mahasiswa pascasarjana antropologi UGM (S-2) merupakan orang-orang yang
cukup besar sumbangannya, karena dengan adanya tesis-tesis tersebut maka
paradigma Strukturalisme dari Lévi-Strauss menjadi lebih dikenal dan jelas-jelas
dapat digunakan dalam berbagai penelitian.

b. Pemahaman tentang “Struktur” (Structure) Meskipun strukturalisme


memberikan penekanan utama pada struktur, namun ternyata pemahaman tentang
struktur ini tidak selalu dapat ditangkap. Dari pengalaman berdiskusi,
memberikan kuliah dan membimbing penulisan karya ilmiah saya merasa ide
Lévi-Strauss mengenai struktur termasuk yang tidak mudah dimengerti dan
diketahui adanya dalam gejala sosial-budaya yang dianalisis. Pengertian struktur
sebagai sebuah model yang dibuat oleh ahli antropologi untuk memahami gejala
yang dipelajari, namun tidak ada hubungan empirisnya dengan gejala sosial-
budaya tersebut, dan pengertian struktur sebagai sistem relasi, ternyata tidak
selalu mudah dipahami. Meskipun demikian, dengan adanya kuliah mengenai
strukturalisme Lévi-Strauss secara khusus, pengertian struktur tersebut kini mulai
dapat dimengerti.

Diskusi yang lebih teoritis dan konseptual tentang strukturalisme belum


dapat diharapkan dapat muncul dari kalangan ilmuwan sosial-budaya Indonesia,
karena tradisi membahas secara kritis pemikiran-pemikiran yang berasal dari
Barat masih belum tumbuh dan berkembang di kalangan mereka. Kita masih jauh
dari suasana akademik dan intelektual yang seperti itu. Masih sangat sedikitnya
buku dan artikel jurnal ilmiah yang membahas strukturalisme secara kritis di
Indonesia merupakan bukti yang paling jelas masih belum berkembangnya tradisi
tersebut.

66
Konsep turunan yang berasal dari “struktur”, yakni “struktur sosial”
menurut padangan Lévi-Strauss (yang berbeda dengan “struktur sosial” menurut
Radcliffe-Brown), juga belum dapat dimengerti dengan baik. Bahwa ternyata
struktur sosial adalah juga sebuah model dari seorang ahli antropologi mengenai
suatu masyarakat atau suku bangsa juga masih sulit diterima, karena para
ilmuwan dan pelajar Indonesia masih lebih mudah memahami konsep-konsep
yang lebih jelas acuannya, yang lebih mudah dilihat dan mudah ditemukan dalam
kehidupan masyarakat sehari-hari. Bahkan, konsep-konsep penting tidak selalu
dapat dipahami fungsinya dalam analisis.

c. Stukturalisme : Cara Pandang Transformasional, A-historis Konsep


yang sangat penting dalam analisis struktural adalah transformasi. Konsep ini
tampaknya lebih mudah dipahami oleh para mahasiswa daripada konsep struktur
atau struktur sosial, dan kebanyakan telah dapat menerapkan konsep ini dengan
baik dalam analisis, walaupun implikasi teoritisnya tidak selalu mudah dipahami.
Sebagaimana kita tahu konsep transformasi berasal dari ilmu bahasa juga, namun
banyak contoh yang dapat diberikan untuk menjelaskan makna transformasi
sebagaimana digunakan dalam analisis struktural. Hal ini tampaknya telah
membuat konsep transformasi menjadi lebih mudah dipahami dan digunakan
dalam analisis.

Lebih sulit dari itu adalah membedakan makna transformasi dengan


change (perubahan), karena ini menuntut kemampuan memandang gejala sosial-
budaya dengan cara yang berbeda, yang a-historis. Kita umumnya memiliki pola
pikir yang linier, yang historis, diakronis. Segala sesuatu selalu kita pandang
dalam hubungan sebab-akibat sehingga penjelasan tentang sesuatu tersebut selalu
mengacu pada sebab-sebabnya, dan itu berarti kepada masa lampaunya.
Kebiasaan ini membuat kita mengalami kesulitan jika harus memandang dan
menjelaskan gejala sosial-budaya tidak melalui sudut pandang kausalitas.

Kesulitan tersebut juga menambah orang semakin kurang berminat


memandang gejala sosial-budaya dari perspektif strukturalisme, ketika dikatakan
bahwa strukturalisme tidak dapat digunakan untuk menjelaskan gejala-gejala
perubahan sosial dan kebudayaan, bahwa strukturalisme tidak menyejarah (a-
historis). Mereka yang menerima begitu saja kritik ini sebenarnya telah
melupakan faktor-faktor yang mendorong munculnya pendekatan struktural, yakni
keterbatasan pendekatan sejarah ketika digunakan untuk memahami dan
menganalisis gejala-gejala sosial-budaya yang memang tidak ada data sejarahnya.
Seperti halnya pada konsep struktur dan struktur sosial, diskusi teoritis dan
filosofis mengenai konsep transformasi ini juga masih belum ada. Sulit rasanya
mengharapkan munculnya pembahasan seperti itu di kalangan ilmuwan sosial-
budaya yang memang tidak ada data sejarahnya.

Seperti halnya pada konsep struktur dan struktur sosial, diskusi teoritis dan
filosofis mengenai konsep transformasi ini juga masih belum ada. Sulit rasanya

67
mengharapkan munculnya pembahasan seperti itu di kalangan ilmuwan sosial-
budaya Indonesia dalam waktu yang relatif dekat ini.

5. Penutup Apa yang saya paparkan di sini adalah apa yang saya ketahui
mengenai strukturalisme di Indonesia di masa kini, yang setahu saya sudah mulai
banyak dikenal dan digungakan sebagai paradigma dalam penelitian. Pengaruh ini
terlihat terutama di jurusan Antropologi di Universitas Gadjah Mada. Saya tidak
tahu apakah di jurusan-jurusan antropologi lain di Indonesia paradigma ini telah
diajarkan. Yang jelas saya belum pernah mendengar sama sekali bahwa paradigma
ini telah diajarkan di UGM (dulu). Mungkin karena di jurusan-jurusan antropologi
yang lain tidak ada orang yang merasa menguasai dan dapat mengajarkan dengan
baik strukturalisme sebagai sebuah paradigma; mungkin juga karena paradigma
ini dianggap terlalu banyak kelemahannya, terutama karena tidak dapat digunakan
untuk memahami dinamika dan perubahan kebudayaan.

Di UGM pengaruh strukturalisme Lévi- Strauss terasa terutama di


kalangan mahasiswa antropologi, tingkat pascasarjana. Di luar UGM pengaruh
tersebut tetap masih belum terasa, atau mungkin ada tetapi saya tidak
mengetahuinya. Tidak sebagaimana halnya post-modernisme dan cultural studies,
wacana serius tentang strukturalisme (Lévi-Strauss) setahu saya tidak pernah
muncul di Indonesia. Kalau pada awal kemunculan post-modernisme dan cultural
studies saya sempat diundang dalam diskusi dan seminar di Indonesia tentang dua
trend keilmuan tersebut, tidak demikian halnya dengan strukturalisme. Belum
pernah saya diundang dalam seminar, diskusi atau lokakarya yang secara khusus
membahas strukturalisme (Lévi-Strauss) sebagai sebuah trend pendekatan baru
dalam ilmu sosial-budaya. Hal ini tentu sangat mengherankan, jika tidak
memprihatinkan.

Mengapa demikian? Mungkin beberapa faktor yang telah saya sebutkan di


atas adalah diantaranya. Faktor-faktor yang lain mungkin sekali juga menjadi
penyebabnya seperti misalnya : langkanya buku mengenai strukturalisme itu
sendiri, tidak adanya kuliah khusus mengenai strukturalisme di universitas-
universitas di Indonesia, tidak adanya ilmuwan sosial-budaya yang khusus
menekuni strukturalisme dan kemudian memperkenalkannya kepada publik
Indonesia.

Kalau dalam antropologi saja strukturalisme (Lévi-Strauss) sampai saat ini


masih belum sangat dikenal, maka aspek filosofis dari aliran pemikiran ini tentu
lebih belum dikenal lagi. Walaupun Lévi-Strauss tidak pernah menganggap
strukturalisme yang dikembangkannya sebagai sebuah filsafat, namun sebenarnya
sebagai sebuah epistemologi strukturalisme adalah sebuah aliran pemikiran
filsafati, dan ini sebenarnya sudah terlihat sejak awal. Sisi filosofis inilah yang
belum diserap oleh kalangan intelektual atau ilmuwan Indonesia. Mungkin karena
sisi ini lebih sulit untuk ditangkap dan dipahami oleh ahli filsafat Indonesia,
mungkin pula karena ahli filsafat Indonesia tidak ada yang tertarik untuk

68
membahasnya. Namun, itulah tantangan dari strukturalisme yang hingga kini di
Indonesia masih belum ada yang bersedia menghadapi dan dapat
menakhlukannya.

Dari paparan di atas kita dapat mengatakan bahwa (a) strukturalisme yang
dikenal di Indonesia adalah strukturalisme yang dikembangkan oleh Lévi-Strauss,
sementara strukturalisme yang berasal dari Foucault dan Barthes tidak begitu
terlihat pengaruhnya di kalangan kaum terpelajar Indonesia; (b) strukturalisme
Lévi-Strauss masih terbatas dikenal di kalangan pelajar antropologi, terutama di
UGM, karena di jurusan antropologi UGM strukturalisme Lévi- Strauss diajarkan
secara khusus selama satu semester, di tingkat pascasarjana; (c) beberapa konsep
penting dalam strukturalisme yang mulai dikenal dan dimengerti adalah konsep
struktur, struktur sosial, dan transformasi, di samping konsep-konsep seperti
nirsadar, oposisi biner, sintagmatik- para digmatik, sign, signified, signifier, dan
sebagainya; (d) pembahasan kritis atas pemikiran- pemikiran antropologis dan
filosofis belum terlihat, dan tampaknya belum akan muncul dalam waktu dekat,
karena hal semacam ini menuntut pemahaman yang mendalam atas berbagai
paradigma dan pandangan filosofis yang berkembang dalam antropologi dan
filsafat. Oleh karena itu pula, pengaruh strukturalisme Lévi-Strauss terhadap
pemikiran-pemikiran ilmuwan sosial-budaya Indonesia masih memerlukan waktu
yang cukup lama untuk dapat meninggalkan bekas yang cukup dalam serta mudah
dikenali dalam karya-karya ilmiah mereka.

*Penulis adalah Pengajar Antropologi Budaya, Fakultas Ilmu Budaya,


Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

**Makalah ini disampaikan dalam diskusi publik bertema:


Perkembangan Strukturalisme Prancis di Indonesia pada hari Rabu, 1 April 2009
sebagai mata rangkai Public Culture Series bertajuk: Pemikiran Kritis Prancis
dan Implikasinya di Indonesia Sekarang ini

Daftar Pustaka
Abdullah, T. 2005. Analisis Struktural Lévi-Strauss Terhadap Tiga Lakon Karya
Arthur S. Nalan : Kajian Transformasi Tokoh dalam Rajah Air, Kawin Bedil dan
Sobrat.
Tesis Pascasarjana Antropologi. Universitas Gadjah Mada.

Ahimsa-Putra, H.S. 1984. “Strukturalisme Lévi-Strauss : Sebuah


Tanggapan”. Basis XXXIII (4) : 122-135.

___________. 1994. Semiotik Rituil Belian di Kalimantan. Makalah


seminar.

___________. 1995, “Lévi-Strauss di Kalangan Orang Bajo : Analisis


Struktural dan Makna Ceritera Orang Bajo”. Kalam 6 : 124-143.

69
___________. 1997. “Claude Lévi-Strauss : Butir-butir Pemikiran
Antropologi” dalam Lévi-Strauss : Empu Antropologi Struktural, O. Paz. Di
Indonesiakan oleh Landung Simatupang. Yogyakarta : LKIS.

___________. 1998a. Strukturalisme Lévi-Strauss Untuk Arkeologi


Semiotik. Makalah seminar Arkeologi.

___________. 1998b. Seni : Budaya :: Keindahan : Kebenaran :: Rasa :


Nalar :: Estetika dan Etika, dan Krisis 1997-1998 di Indonesia. Makalah seminar.

___________. 1998c. “Lévi-Strauss, Orang-Orang PKI, Nalar Jawa, dan


Sosok Umar Kayam : Telaah Struktural-Hermeneutik Atas Dongeng-Dongeng
Etnografis Dari Umar Kayam” dalam Umar Kayam dan Jaring Semiotik, A.
Salam (ed). Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

___________. 1999a. Struktur Simbolisme Budaya Jawa Kuno : Yang


Meneng dan Yang Malih. Makalah Sarasehan.

___________. 1999b. “Ekonomi Manusia Jawa : Agama dan Perilaku


Ekonomi Dalam Perspektif Antropologi Struktural”. Gerbang 5 (2) : 88 – 97.

___________. 1999c. “Arca Ganesya dan Strukturalisme : Sebuah


Analisis Awal” dalam Cerlang Budaya, Rahayu S. (ed). Jakarta : UI Press.

___________. 2000a. “Strukturalisme Lévi-Strauss Untuk Arkeologi


Semiotik”. Humaniora 12 : 1 – 13, September – Desember.

___________. 2000b. “Islam Jawa dan Jawa Islam : Sinkretisasi Agama di


Jawa”. Tembi 1 Thn.I : 10 – 19.

___________. 2001. Strukturalisme Lévi-Strauss, Mitos dan Karya Sastra.


Yogyakarta : Galang Press.

___________. 2002a. Roland Barthes : dari Strukturalisme ke Post-


Strukturalisme. Makalah dalam bedah buku.

___________. 2002b. Strukturalisme Lévi-Strauss dan Sastra. Makalah


Pelatihan.

___________. 2002c. Tari “Srimpi” dan Struktur Simbolisme Jawa.


Makalah seminar.

___________. 2002d. Tiga Dasawarsa, Dua Paradigma, Satu Model.


Makalah seminar.

70
___________. 2002e. Satwa, Totem, Mitos dan Nalar Primitif. Makalah
diskusi.

___________. 2003. “Structural Anthropology in America and France : A


Comparison”. Humaniora XV (3) : 239 – 264.

___________. 2005. Tanda : Simbol :: Semiotika : Hermeneutika.


Makalah bedah buku.

___________. 2006a. “Strukturalisme Lévi-Strauss : Positivistis dan


Fungsionalistis ? Beberapa Catatan Kritis” dalam Lévi-Strauss : Strukturalisme
dan Teori Sosiologi, C. Badcock. Terj. Robby H. Abror. Yogyakarta : Insight
Reference.

___________. 2006b. “Dari Mytheme ke Ceriteme : Pengembangan


Konsep dan Metode Analisis Struktural” dalam Esei-esei Antropologi : Teori,
Metodologi dan Etnografi, H.S. Ahimsa-Putra (ed.). Kepel Press : Yogyakarta.

___________. 2006c. “Antropologi Sosial-Budaya di Indonesia : Tingkat


Perkembangan dengan Perspektif Epistemologi” dalam Ilmu Sosial dan Tantangan
Zaman, T. Abdullah (ed.). Jakarta : Rajagrafindo Persada.

___________. 2006d. Sawerigading, To-manurung dan Nilai-nilai Budaya


Bugis-Makassar : Status Sosial dan Resiprositas dalam Budaya Bugis-Makassar.
Makalah seminar nasional.

___________. 2006e. Strukturalisme Lévi-Strauss, Mitos dan Karya


Sastra. Yogyakarta : Kepel Press. Edisi Baru.

___________. 2007a. Tanaman : Hama :: Perempuan : Laki-laki : Relasi-


relasi Simbolik Dalam Mitos “Dewi Sri”. Makalah seminar.

___________. 2007b. Strukturalisme Lévi-Strauss : Paradigma dan


Epistemologi Baru. Makalah bedah buku.

___________. 2008a. “Ritus Kematian : Ritus Peralihan, Ritus Penandaan,


Ritus Pertukaran”. Jurnal Penelitian Walisongo XVI (2) : 59-76.

___________. 2008b. Budi : Roh Pertukaran dalam Budaya Melayu.


Makalah workshop “Pemikiran Melayu Jawa”.

Leni, N. 2004. Analisis Struktural Lévi-Strauss dan Mitos Tasawuf. Tesis


Pascasarjana Antropologi. Universitas Gadjah Mada.

71
Listia. 2005. Posisi Wahyu dalam Agama Kristiani dan Islam : Studi Atas
Perbedaan Agama Kristiani dan Islam Menurut Strukturalisme Lévi-Strauss. Tesis
Pascasarjana Antropologi. Universitas Gadjah Mada.

Maryetti. 2007. Makanan dan Struktur Budaya Minangkabau. Tesis


Pascasarjana Antropologi, Universitas Gadjah Mada.

Nasrulah. 2008. Ngaju, Ngawa, Ngambu, Liwa : Analisis Strukturalisme


Lévi-Strauss Terhadap Konsep Ruang dalam Pemikiran Orang Dayak Bakumpai
di Sungai Barito. Tesis Pascasarjana Antropologi. Universitas Gadjah Mada.

Numbery, G.K.I. 2007. Struktur Budaya Orang Dani di Desa Jiwika,


Distrik Kurulu, Kabupaten Jayawijaya : Suatu Kajian Strukturalisme Lévi-
Strauss. Tesis Pascasarjana Antropologi. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Pace, D. 1986. Claude Lévi-Strauss : The Bearer of Ashes. London : Ark


Paperbacks.

Purnama, D.H. 2000. Rumah Limas dan Struktur Pemikiran Orang


Palembang. Tesis Pascasarjana Antropologi. Universitas Gadjah Mada.

Purwadi. 2002. Prinsip-prinsip Struktural dalam Rumah Tradisional


Sumba di Umaluhu. Tesis Pascasarjana Antropologi. Universitas Gadjah Mada.

Radjabana, A. 2003. Menjadi Katolik Bagi Keturunan Cina di Jawa :


Pertukaran Sosial Antara Keturunan Cina dan Gereja Katolik di Jawa. Tesis
Pascasarjana Antropologi. Universitas Gadjah Mada.

Sperber, D. 1979. “Claude Lévi-Strauss” dalam Structuralism and Since :


From Lévi-Strauss to Derrida, J. Sturrock (ed.). Oxford : Oxford University Press.

Sturrock, J. 1979. “Introduction” dalam Structuralism and Since : From


Lévi-Strauss to Derrida, J. Sturrock (ed.). Oxford : Oxford University Press.

Subiantoro, S. 2009. Loro Blonyo Dalam Rumah Tradisional Jawa : Studi


Tentang Kosmologi Jawa. Disertasi Antropologi. Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.

Sumintarsih. 1998. Pertukaran Dalam Hubungan Subkontrak di Kalangan


Perajin Agel, Kulon Progo. Tesis Pascasarjana Antropologi. Universitas Gadjah
Mada.

Xiao Lixian. 2004. Budaya dan Struktur Masyarakat Tiongkok pada


Dinasti Qing dalam Novel “Hong Lou Meng”. Analisis Struktural Lévi-Strauss.
Tesis Pascasarjana Antropologi.

72
11 readers like this article.

Audio Archive : FGD Meteor Garden

On 2002, KUNCI Cultural Studies conducted a research on the popularity


of Taiwan’s TV series, Meteor Garden, in Indonesia. During the research, KUNCI
asked Meteor Garden’s fans reception to the show through forum group
discussion. …
More articles »

Buku »

Koleksi Terbaru Perpustakaan KUNCI September-November 2009

Perpustakaan Kajian Budaya KUNCI mengoleksi buku teks, jurnal,


makalah, laporan penelitian, kertas kerja tentang kajian budaya. Selain itu
perpustakaan juga memiliki koleksi media alternatif (zine) dan transkrip hasil
diskusi. Tema-tema khusus yang menjadi fokus utama …
More articles »

General »

Tiga Usia Jacques Derrida

Derrida berbicara tentang arti biografi, tuhan, filsuf perempuan, kematian,


dan usia manusia dalam sebuah perbincangan dengan Kristine McKenna dari LA
Weekly.
More articles »

Kertas Kerja »

Demam K-Drama dan Cerita Fans di Yogya oleh YULI ANDARI M

Yuli Andari menuliskan pengamatannya tentang demam drama Korea dan


para fans di Yogyakarta. Laporan ini dibuat pada tahun 2006.

73
More articles »

Kolom »

Putih oleh YULI ANDARI M

Sejak kecil saya telah menyukai pantai. Bila ada kesempatan di akhir
pekan, saya menyempatkan diri ke pantai bersama teman-teman atau kerabat.
Saya bisa menghabiskan waktu seharian di pantai dengan berbagai aktivitas:
mandi, merebahkan badan …
More articles »

Magazine »

Seminar “Purloined Letter” oleh JACQUES LACAN

Ini adalah kumpulan Seminar “Purloined Letter” oleh JACQUES LACAN,


lengkap dari bagian I sampai bagian IV.
More articles »

PDF »

VIDEOCHRONIC

[scroll down for English version]


Beberapa dekade belakangan Indonesia mengalami perubahan yang cukup drastis
dalam penggunaan video sebagai alat perubahan sosial baik di ranah komunitas,
kampanye isu tertentu, maupun organisasi aktivis. Alat memproduksi video
semakin terdemokratisasi …
More articles »

Public Culture Series »

Strukturalisme Levi-Strauss di Indonesia 2009 oleh HEDDY SHRI


AHIMSA-PUTRA

74
Adakah pengaruh strukturalisme Lévi-Strauss di Indonesia? Kalau ada,
seperti apa? Di kalangan yang mana ia menunjukkan pengaruh? Kalau tidak ada
atau kurang terlihat, mengapa? Hedy-Shri Ahimsa Putra mencoba menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut.
More articles »

Review »

“Kalaupun punk mati…” oleh FERDIANSYAH THAJIB

Sebagai salah satu tampilan subkultur yang kini sering diutak-atik dalam
beragam laporan ”tampak muka” rubrik gaya hidup di media massa sehari-hari,
punk dibaca secara nostalgis dalam hubungannya yang selalu serba salah di
hadapan tradisi (lokal) …

Comments
· Avatar Play « ŚĨβĔŔРŔŐÚŚŤ ŤĔŔĂ on Avatar: “Visualizes yourself!”
(Estetika Populer dan Identitas dalam Technoculture) Oleh ARIE
SETYANINGRUM
· Umberto Eco: Di era fotokopi dan rimba informasi internet, praktikkan
gaya membaca “penyusutan” | Indonesia Buku on Newsletter KUNCI
#15

Space/Scape Project
· Warung Kidul di Alun-alun Selatan 27/11/2009 nuning
· Monumen Cinta 24/11/2009 nuning

ANONYMOUS WRITERS CLUB


· aku ingin hidup aku

ingin hidup […]

Archives
· December 2009
· November 2009

· October 2009

· September 2009

· August 2009

· July 2009

· June 2009

75
Networks
· Arts Network Asia
· Ford Foundation

· Indonesian Visual Art Archives

· Yes No Wave Music

Twitter
‘New article, Tiga Usia Jacques Derrida. Sebuah Wawancara dengan
Bapak Dekonstruksi - http://tinyurl.com/ybecqvt 02:53:47 AM December 03, 2009
from WordTwit

KUNCI-List
· Fw: CfP arte-polis3 IntlConf Bandung - Abstracts due 22 FEB 2010
11/01/2010

... From: primanto danu Subject: Fw: CfP arte-polis3 IntlConf


Bandung - Abstracts due 22 FEB 2010 To: danuprimanto@...
Date: […]

KAJIAN STRUKTURALISME-
SIMBOLIK MITOS JAWA PADA MOTIF
BATIK BERUNSUR ALAM
Robby Hidajat
Abstract: Batik is a product of Javanese culture, with a great variety of
sizes, forms, motifs, and functions. Pujianto writes a book on batik
semen, sawat, and alas-alasan and their relationship with Javanese
mythology, arguing for the myths underlying those different motifs. In
his study he employs a symbolic approach, which, according to the
present writer, still needs to be completed with a structural approach
proposed and developed by the French anthropologist Levi-Stauss. The
latter approach may lead not only to analyzing symbolizations but also
to placing symbols in a given structure. The structural approach
produces research results different from those produced by the
symbolic approach. Therefore, the writer suggests using the structural
approach as a complement for the symbolic approach.
Key words: batik, Javanese mythology, symbolic approach,
structural approach.
Mencermati artikel Pujianto berjudul Mitologi Jawa dalam Motif Batik
Unsur Alam (Jurnal Bahasa & Seni, Tahun 31, Nomor 1, Februari 2003).
Pokok pikiran seperti pada judul artikel tersebut dan mencermati
uraiannya. Pujianto tampaknya menggunakan kajian simbolik. Pola
diskripsi kajian simbolik seperti pada paparan dan analisisnya
menunjukan sebuah pola linier , yaitu berbagai entitas yang dikaji
seolah-olah memiliki relasi yang segaris (Line Relation).
Robby Hidayat adalah dosen Jurusan Seni dan Desain, Fakultas Sastra,
Universitas Negeri Malang.

76
Hidayat, Kajian Strukturalisme-Simbolik 287
Kajian simbolik yang digunakan oleh Pujianto dalam mencermati
Motif Batik unsur Alam adalah pola pemikiran yang khas dari
para peneliti sebelum generasi Roland Barthes; salah seorang
tokoh strukturalisme Prancis, professor di College de France.
Dasar utama pemikiran yang digunakan oleh Pujianto secara
mendasar mengacu pada filsafat makna, yaitu seperti model analisis yang
dikembangkan oleh Ernst Cassire (studi budaya) dan Sussan K. Lenger
(studi seni), M. Mauss, di samping tokoh yang lain, dua tokoh tersebut
sangat berpengaruh pada pada pemikir tentang simbol . Heddy Shri
Ahimsa-Putra seorang antropolog dari Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta mengomentari kelemahan kajian simbolik. Perspektif
simbolik, suatu usaha menafsir terhadap simbol-simbol. Langkah ini tidak
akan lengkap dan mantap tanpa memperhatikan pandangan pemilik
budaya. Kadang pelacakkan simbol umumnya hanya mencermati tata
bentuk visual, artinya wujud objek dicermati sebagai susunan unsur-unsur
yang telah memiliki relasi tertentu. Simbol yang ditafsirkan atas dasar
wujud fisik dari sesuatu yang terindra sebagai tanda bermakna. Sementara
simbol di balik yang disimbolkan kadang sulit atau seringkali tak
terjangkau, sehingga pembahasan tentang simbol menjadi sekenanya
(2000K:4a0ji3a-n40S8i)m. bolik menjadi pola pencermatan yang sangat popular di
lingkungan pengkaji seni, setidaknya telah dilakukan oleh Pujianto.
Pemikirannya menjadi sangat lancer karena terdukung oleh tata makna yang
bersifat konvensional, referensinya telah tersedia. Pada kaitan ini, Pujianto
sangat terbantu oleh paham filosifis Jawa. Hanya saja bagaimana pola
relasional filosofis Jawa itu terkait dengan motif batik berunsur alam
? Pujianto telah memaparkan panjang lebar, tetapi tidak menunjukan
sistematika analisisnya. Hal ini dapat disimak pada table 1 [Mitologi
Jawa dalam Motif Batik] (hal. 137), terutama menyimak relasi lambang
dan arti . Entitas ini muncul secara tiba-tiba. Seakan-akan unsur ornament
, lambang dan arti seoleh-oleh membuat pembenaran adanya relasi
tentang konsep hindusitis yang disebut triloka . Pemahaman Pujianto
menjadi semakin anakronistik ketika menyimak skematis pada halaman
138. Skema yang dipaparkan tentang adanya relasi antara sifat orang Jawa
, Falsafah orang Jawa , Unsur Alam Kehidupan dan Unsur
Batik . Paparan Pujianto seolah-oleh seperti bentuk analisis realasional.
Ini yang dimaksudkan oleh Heddy Shri Ahimasa-Putra, bahwa kajian
288 BAHASA DAN SENI, Tahun 32, Nomor 2, Agustus 2004
simbol tidak melakukan kajian struktur, yaitu terbatas pada
aspek permukaan (2000:402).
Bertolak dari artikel Pujianto, artikel ini bermaksud melakukan
reinterpertasi ulang dengan model strukturalisme-simbolik. Sebuah
kajian berpijak pada paradigma Strukturalisme. Salah satu kajian yang
dikembangkan oleh Levi-Strauss, di samping bersandar juga pada
pemikiran Emile Durkheim, yaitu strukturalisme fungsional. Teori
Durkheim menjadi dasar pembenaraan adanya relaisi-realasi dalam
struktur kebudayaan manusia yang seolah-oleh seperti Organisme biologi
(Abdullah & Leeden, 1986).
Berdasarkan pemikiran Emil Durkheim, dapat meletakan posisi
batik sebagai benda yang bersifat funsional di lingkungan budaya Jawa.
Pujianto telah mengemukakan bahwa Batik , misalnya sebagai contoh

77
uraian tentang fungsi batik alas-alasan, sebagai berikut:
Motif Semen dalam penerapannya di dalam keraton
diperuntukkan bagi Pangeran, Adipati, dan untuk pengantin pria
pada waktu ijab Kabul (Semen Rama). (halaman 130)
Motif alas-alasan tidak tampil pada semua jenis kain batik, tetapi
(hanya tempil) pada kain baik sebagi (untuk) Dodot bangun-tulak
(pola busana) dengan kombinasi prada emas. Jenis batik ini sering
digunakan oleh Raja untuk upacara-uparada agung, dan tari
Bedhaya (halaman 133).
Motif Sawat secara etimologis dipahami semi , fungsinya sebagai busana
seorang raja Jawa (Kasunanan Surakarta) ketika bertahta, utamanya
ketika sedang bertitah. Pujianto mengemukakan batik bermotif Sawat
merupakan busana yang melambangkan kebijakan raja, titahnya
merupakan keputusan yang terbagik bagi dirinya, keluarganya, maupun
Abdi Dalem, dan rakyatnya. (Pujianto, 2003: 131). Batik Sawat
merupakan salah satu batik yang menjadi milik raja. Bahkan Sunan Paku
Buwana III pada tahun 1769 mengluarkan larangan menggunakan batik
tertentu, seperti yang disampaikan oleh Soedjoko yang dikutip oleh Amri
Yahya, sebagai berikut:
Ana dene kang arupa jejarit kang kalebu ing laranganingsung:
Batik Sawat lan batik parang rusak, batik cumangkiri kang calacep,
modang, bangun-tulak, lenga-teleng, daragam lan tumpal. Anadene
Hidayat, Kajian Strukturalisme-Simbolik 289
batik cumangkirang ingkan acalacap lung-lungan utawa
kekembangan, ingkang ingsun kawenangaken anganggona pepatih
ingsun lan sentaningsun, kawulaningsun Wedana. (Yahya, 1985: 16)
Adapun barang berupa kain panjang (jarit) yang termasuk larangan
saya (raja): Batik Sawat, dan batik parang rusak, batik cumangkiri
yang calacep, modang, bangun tulak, lenga-teleng, daragam, dan
tumpal. Adapun batik Cumangkirang yang acalecep berupa
lunglungan (sulur) atau kekembangan (bunga-bungaan), yang saya
perbolehkan dipakai Patih, dan abdidalem, Wedana.
Pernyataan Pujianto dan Amri Yahya jelas, bahwa Batik
merupakan benda fungsional. Konsep dari fungsi adalah memiliki
kaitan relasional dengan unsur yang memungsikan suatu benda. Relasi
dari benda dan orang yang memfungsikan didasarkan oleh sebuah
konsep . Konsep-konsep dari fungsi menunjukan adanya sebuah
struktur. Pemikiran ini yang mengarahkan pada kajian structural, baik
pemikiran Emile Durkheim atau Levi-Strauss. Walaupun kedua teori
tersebut berpijak pada konsep yang berbeda, tetapi untuk mencermati
sebuah simbolisasi dari benda-benda fungsional menjadi lebih kredibel.
Mengingat strukturalisme model Levi- Strauss memandang struktur
sebagai model dari pola pikir manusia dalam memahami dunianya
(Kaplan & Manners, terj. Landung Simatupang, 2000: 237).
Strukturalisme lebih menekankan pada sebuah cara berpikir dari
masyarakat sederhana yang menganggap bahwa sistem sosial hanyalah
refleksi dari sistem dunianya atau dengan kata lain mikro-kosmos
merupakan refleksi dari makro-kosmos (Randrianarisoa, 1983:213).
Mengetengahkan paradigma strukturalisme sebagai model telaah batik
berunsur alam bukan cara pandang yang berbeda dengan pemikiran
Pujianto. Tetapi sebuah analisis yang lebih sistematis.
BATIK BERUNSUR MOTIF ALAM

78
Pujianto memilik topik penulisan artikel tentang batik berunsur motif
alam dengan objek batik yang berkembang di keraton (?) [tidak dijelaskan
lebih sepesifik keraton yang mana] dengan sample analisis batik bermotif
Semen, Sawat, dan Alas- alasan. Ketiga mofif batik tersebut diasumsikan
bersumber pada fenomena alam sebagai lambang kesuburan dan
kekuasaan
290 BAHASA DAN SENI, Tahun 32, Nomor 2, Agustus 2004
ran dan kekuasaan
Apabila benar, tiga motif batik yang terdiri dari motif Semen, Sawat, dan
Alas -alasan memiliki realisi dengan mitos kesuburan dan kekuasaan.
Langkah awal yang akan dilakukan adalah menghubungkan ketiga motif
tersebut, seperti Levi-Strauss menganalisis tentang makanan. Levi-
Strauss menempatkan makanan dengan pola analisis segitiga kuliner
(Cremers, 1997: 80), sebagai berikut:
Gambar 1. Skema segitiga kuliner model strukturalisme Levi-Strauss
Dasar pemempatan sample tiga motif batik tersebut bersifat abitrer
(sekenanya), dengan tujuan menguji adanya keterkaitan dengan paham
filosofis Hindu tentang Triloka [tri = tiga dan loka = dunia], yaitu yang
memahami bahwa secara kosmologis dunia dibagi menjadi tiga.
Pemilihan relasi paham triloka didasarkan atas kesamaan relasi tiga ,
sehingga simbolisasi tentang kesuburan tidak dikemukakan secara jelas
oleh Pujianto. Analisisnya lebih pada pemahaman tentang adanya persepsi
bentuk, yaitu dipahami dari adanya berdasarkan analogi, yaitu ada
kesamaan bentuk dengan pengertian konvensional tentang makna
kesuburan . Misalnya, urairan tentang bentuk Semen. Bentuk Semen
merupakan tanda penyebaran benih, agar benih tersebut dapat bersemi.
Penyebara benih, seperti yang digambarkan berupa tanaman menjalar
(sulur) sebagai penggambaran alat kelamin pria (halaman 130).
Selanjutnya relasi tentang kesuburan tidak dibahas secara mendalam,
demikian juga tentang kekuasaan , dalam kaitan ini adalah Raja Jawa .
Berdasarkan konsep Triloka, yang dijelaskan oleh Pujianto, yaitu
Semen
Sawat Alas-alasan
Hidayat, Kajian Strukturalisme-Simbolik 291
dipahami sebagai kenyataan tentang kosmologis Jawa. Bahawa dunia
dibagi menjadi tiga tataran yang bersifat hirarkis, yaitu: Alam atas, alam
tengah, dan alam bawah. Pemahaman tersebut dapat disekematiskan
sebagai berikut
Gambar 2. Skema relasional antara konsep Triloka dan motif batik berunsur alam
Keterangan:
Batik seolah-oleh memiliki kaitan dengan konsep triloko, pemikiran
Pujianto tampaknya seperti skema tersebut di atas. Batik Semen memiliki
hubungan kesamaan motif dengan dua batik yang lain (Sawat & Alasalasan),
dan demikian pula dengan batik Sawat & Alas-alasan yang memiliki kaitan
dengan batik Semen. Batik Semen memiliki kaitan yang bersifat vertical
alam atas, sementara batik Sawat memiliki kaitan dengan
alam tengah, dan batik Alas- alasan memiliki kaitan dengan alam bawah.
Berdasarkan skema tersebut di atas, selanjutnya dicermati lebih lanjut
dengan menyusun table realasi dari ketiga entitas tersebut di atas,
sebagai berikut.
Semen

79
Sawat Alas-alasan
Alam bawah
Alam atas
Alam tengah
292 BAHASA DAN SENI, Tahun 32, Nomor 2, Agustus 2004
Tabel 1. Analisa Taksonomi Relasi antara Konsep Triloka dan Motif Batik
Berunsur Alam
SEMEN SAWAT
(GURDO) ALAS-ALASAN
INTERPERTASI
MAKNA
ALAM
ATAS
Gunung
Semeru/
Brahma
Lingga
(Siwa)
Tirta
Marta
Raja
Burung,
Lar
(sayap)
bersulur
bangunan,
kapal
Udara,
Garuda,
Matahari
Burung
Garuda,
burung
merak,
Lar
(sayap),
gunung,
Awan,
angkasa,
Awan,
kupukupu,
kumbang,
Kekuasaan,
kejayaan,
kesaktian,
wahyu,
suci, roh
ALAM
TENGAH
Manusia,
Tanah
Brahma
Tumbuhan,
Kalpataru,
(pohon
hayat)
Ayam
jantan,
kuda,
harimau,
tumbuhtumbuhan
Kehidupan,
kakyaan,
kemakmuran,
pengavoman,
kegembiraa,
hidup,
ALAM

80
BAWAH
Laut,
Wisnu,
Betari Sri
Laut,
Ular
(naga)
Kesuburan
Roh-roh jahat,
sacral,
kedukaan,
sengsara,
kematian
Tabel di atas merupakan dasar analisis yang dilakukan oleh Susanto (1983:
235-237), dan Veldhuisen (1988: 28) yang dicuplik oleh Pujianto ( halaman
134-135). Tabel 1 menunjukan sebuah sistem analisis makan, yang
dimungkinkan mendapatkan sebuah gambaran yang jelas tentang lambang-
lambang dan ditafsir. Sementara Pujianto hanya menyitir dari hasil
pemikiran peneliti lain yang telah berupa pernyataan. Paparan Pujianto
dalam menguraikan makna-makna seolah-oleh benar. Kalau diperhatikan,
ternyata segi tiga kuliner tersebut tidak cocok, atau tidak terbukti.
Maka dimungkinkan, bahwa ketiga batik tersebut memiliki pormasi
struktural yang lain.
Berdasarkan hasil pencermatan melalui table 1, ternyata tidak semua
motif batik berunsur alam memiliki realisi dengan konsep triloka,
buktiHidayat, Kajian Strukturalisme-Simbolik 293
nya unsur-sunsur alam tampak mengelompok pada kolom alam atas ,
dan sebagian kecil berrelasi dengan kolom alam tangah . Sedangkan
untuk kolom alam bawah tidak menunjukan adanya relasi. Analisis ini
menunjukan, bahwa konsep triloka dimungkinkan tidak tepat, atau kurang
dapat memberikan pemahaman secara komperhensif.
Analisis pada tabel 1 menunjukan, bahwa sistem analisis terhadap
motif batik berunsur alam kurang menunjukan akurasinya, sungguhpun
tidak seluruhnya salah. Akan tetapi menjadi kurang mampu memberikan
pemahaman yang lengkap dan jelas. Model pemahaman yang dilakukan
oleh Pujianto adalah analisis analogi, simbol dibaca dari materi yang seolah
oleh menyimbolkan dari sesuatu. Sebagai contoh garuda dipahami
berdasarkan makna sifat dari binatang yang mampu terbang, dan memiliki
relasi dengan mitos tentang burung dewata . Salah satu burung yang
diyakini sebagai kendaraaan dewa Wisnu, atau ular yang berrelasi dengan
air, sungai, laut, sebagai lawan garuda, sehingga ular berrelasi dengan
dunia bawah (Pujianto, 2003:134).
Apabila diubah relasinya, yuitu tidak dengan paham triloka yang
dianggam memberikan makna pada motif batik berunsur alam. Tetapi
menekankan relasi batik berunsur alam dengan fenomena kekuasaan
Jawa , yaitu menempatkan raja dengan kode (+) dan rakyat dengan
kode (- ). Ditemukan relasi kearah paham monisme dualitik, yaitu
memandang kosmis tercipta serba dua (Sutarno, 2002: 24, Zoetmulder,
2000: 127). Jika dicermati lebih lanjut paham monisme dualitik memandang
dunia ini terbentuk berdasarkan relasi yang bersifat oposisional (bertentangan
dalam kesatuan), yaitu sesuatu menjadi ada karena memiliki realsi dengan
keberadaannya. Matahari yang berbentuk bulat, berrelasi dengan bulat yang
disebut Matahari , tidak berelasi dengan bulat
yang disebut dengan rembulan . Pemikiran ini ditunjukan oleh Levi-

81
Strausss berdasarkan konsep Ferdinad de Saussure tentang bahasa;
Bahasa memiliki aspek Langue dan parole parole adalah bahasa sebagaimana
dia diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari sebagai
sarana berkomunikasi. Parole adalah aspek statistikal dari bahasa
yang muncul dari adanya penggunaan bahasa secara kongkrit, sedangkan
aspek langue dari sebuah bahasa adalah aspek strukturalnya. Bahasa dalam
pengertian ini merupakan struktur-struktur yang membentuk suatu sistem
atau merupakan suatu sistem struktur, yang relative
tetap, yang tidak terpengaruh oleh individu-individu yang meng294
BAHASA DAN SENI, Tahun 32, Nomor 2, Agustus 2004
gunakannya. Struktur inilah yang membedakan suatu bahasa dengan
bahasa yang lain. Bahasa sebagai suatu lengue berada dalam waktu
yang bisa berbalik (reversibele time), karena dia terlepas dari
perangkap waktu yang diakronis, tetapi bahasa sebagai parole tidak
dapat terlepas dari perangkap waktu itu sehingga parole dianggap oleh
Lovi-Strauss berada dalam waktu yang tidak dapat berbalik (non-
revarsible time).
Mitos, kata Levi Strauss, juga berada dalam dua waktu sekaligus,
yaitu waktu yang bisa berbalik, dan waktu yang tidak bisa
berbalik. (Ahimsa-Putra, 2001: 80-81).
Pemahaman di atas menunjukan, bahwa motif batik berunsur alam dapat
dipahami sebagaimana langue dan parole [simak John Strorey, 2003:105-
142], perwujudan yang terlukis pada kain (jarid) yang berfungsi sebagai
busana para priyayi Jawa. Motif yang terlukis selain menunjukan pola
gambar yang dapat ditangkap dengan indra penglihatan, seperti katakata
(bahasa) yang sebagai alat komunikasi sehari-hari, yaitu diucapkan.
Akan tetapi wujud gambar itu menunjukan adanya pola realisonal yang
bersifat permanen, yaitru disebut struktur atau sebagai grammer pada
bahasa. Aspek visual yang ditangkap menjadi perhatian utama untuk dipahami
relasi-relasinya, yaitu sesuatu yang tidak tampak pada gambar itu
sendiri.
Tabel analisis berikut secara keseluruhan memanfaatkan data yang ditulis
oleh Pujianto berdasarkan cuplikan dari berbagai sumber. (simak
halaman 134-138). Pertimbangannya adalah cuplikan tersebut
merupakan data yang telah teranalisis.
Tabel yang dibuat oleh Pujianto, tabel 1 Mitologi Jawa dalam Motif Batik
(lihat halaman 137) tidak jelas. (antara ornamen, lambang dan arti tidak
menunjukkan sumber data, dan relasi konstan). Tetapi tabel 2 di atas
cukup jelas, yaitu menempatkan unsur-unsur yang saling berkait dan
saling menjelaskan, bahkan mengetengahkan kemungkinan strukturnya.
Analisis motif batik berunsur alam yang terdiri dari motif Semen,
motif Sawat, dan motif Alas-alasan dapat lebih mendalam. Analisis ditujukan
untuk mencari strukltur (Pujianto mengartikan dengan Mitologi, walaupun
langkah pencermatannya tidak secara mendalam membicara Skematis antara
wujud, realasi, dan simbol dapat dikemukakan sebagai berikut.
Hidayat, Kajian Strukturalisme-Simbolik 295
Tabel 2. Analisis Relasi dan Simbol Motif Batik Berunsur Alam
Wujud Motif Relasi Simbol
Burung, Mitos tentang burung Garuda
(burung dewata), cerita Ramayana,
cerita Garudia
Kejayaan, kebesaran, kekuasaan,
keluhuran, kebijakan, kesetiaan

82
Lar (sayap) Unggas bersayap, belencong
(lampu/sinar)
Kekuatan, kebijakan, pencerahan,
kebebasan
Sulur Tanaman menjalar Kesuburan, kecerdirkan, ikatan
kekerabatan, kesetiaan, pikiran
Bangunan, Rumah, Istana, Sorga Ketentraman, kedamaian,
perlindungan, kekuasaan
Kapal, Mitos kematinan, bentuk wayang
rampokan
Kebebasan, kebesaran, pelepasan,
kepergiaan, harapan, tujuan
Motif
Semen
Tumbuhtumbuhan
Mitos kesuburan, mitos Sri-
Sadana
Kemakmuran, kekayaan, ketentraman
Burung Garuda,
Mitos tentang burung Garuda
(burung dewata)
Kejayaan, kebesaran, kekuasaan,
keluhuran, kebijakan, kesetiaan
Burung
merak,
Wanita (femimimitas) Kasih saying, kecantikan
Lar (sayap) Unggas bersayap, belencong
(lampu/sinar)
Kekuatan, kebijakan, pencerahan,
kebebasan
Gunung Mitos tentang sorga, puncak
meru, kayon
Puncak, keabadian, ketenangan,
ketentraman, kesucian
Tumbuhtumbuhan
Mitos kesuburan, mitos Sri Sadana.
Kemakmuran, kekayaan, ketentraman
Motif
Sawat
Pohon hayat Pohon beringin, ringin kurung,
pundhen desa, kalpataru,
gunungan wayang kulit
(Kayon)
Perlindungan, kekuasaan, kelestarian,
perdamaian
Awan, Sorga, langit, angkasa (langit) Maskulinitas (bapa), kekuasaan,
keinginan, harapan,
Kupu-kupu, Mitos tentang kesejodohan Kecantikan, kasih sayang, kesetiaan
Kumbang, Kejantanan Keperkasaan
Ayam jantan, Kejantanan (maskulinitas) Keperkasaan,
Kuda, Kejantanan Kekuatan, keperkasan,
Harimau, Kejantangan Kekuatan, keperkasaan
Tumbuhtumbuhan
Mitos kesuburan, Mitos Sri
Sardono
Kemakmuran, kekayaan, ketentraman
Laut, Mitos Laut selatan, Kebebasan, pikiran, kekuasaan,
kekuatan penakluk
Motif
Alasalasan
Ular (naga) Dewa Siwa, alam kegelapa,
tanah
Kejahatan, pembasmi, kekuatan
perusak, penghancur, rintangan,
kegelapan
296 BAHASA DAN SENI, Tahun 32, Nomor 2, Agustus 2004
tentang mitologi Jawa. Tetapi mengarah pada kajian simbolik) pemikiran
masyarakat pemilik simbol. Dalam hal ini diarahkan pada masyarakat
keraton Jawa dari dinasti raja-raja Mataram, atau pandangan para priyayi

83
(maksud dari Pujianto adalah keraton Kasunanan Surakarta) . Melalui
pendekatan Strukturalisme dapat mencermati motif (wujud material visual
sebagai tanda) pada Batik, kaitanya dengan mitologimitologi tertentu yang
menghadirkan motif- motif pada kain batik. Pujianto
lebih menitik beratkan pemahamannya tentang mitologi Jawa yang tampak
pada motif-motif batik berunsur alam, seperti motif Sulur-suluran,
tanaman, unggas (burung garuda, merak), pohon hayat, lidah api, awan,
naga, kupu-kupu, dan lain sebagainya. Fenomena alam yang berwujud
motif alam pada kain batik, secara linier dicari keterkaitannya dengan
mitos Jawa (salah satunya digali dari paham filosis Jawa), yaitu tentang
paham monisme dualistik.
Paparan pada artikel Pujianto tampaknya rasional, logis, dan referentif,
sehingga tidak menyadari adanya ambiguitas, antara judul yang diajukan
dengan pokok pikiran yang dipaparkan. Kondisi ini dikarenakan oleh
sifat diskriptif yang tidak analitis, seolah-olah referensi dari berbagai
sumber benar-benar memberikan dukungan pada asumsi judul.
Pendekatan strukturalisme mengarahkan kajian pada mitos. Unsur
mitos, salah satunya ada pada motif batik. Motif-motif pada batik yang
memvisualisasikan fenomena alam diangkat sebagai morfem (unsur
terkecil dari unit kata), kemudian motif-motif dianalisis keterkaitannya
dengan motif-motif lain untuk menentukan sebuah struktur, yaitu yang
terrangkum dalam salah satu bentuk, seperti bentuk batik Semen, Sawat,
atau Alas-alasan. Artinya selembar kain batik yang disebut Semen, dipahami
sebagai sebuah struktur. Struktur Batik Semen didiskripsikan
sedemikian rupa, meliputi warna dasar, ukuran, garis-garis, gambar, posisi
motif, dan berbagai perujudan lain termasuk jumlah dan pengulangan bentuknya.
Kemudian dilanjutkan menelaah makna dengan alat analisis, salah
satunya adalah menggunakan teori semiotika, atau Hermeneutik. Metode
ini yang dimaksud oleh Heddy Shri Ahimsa-Putra sebagai kajian
tekstual (2000: 404).
Pendekatan Strukturalis tidak hanya berhenti memahami teks (wujud kain
batik, dan motif-motifnya), akan tetapi lebih mendalam. Kajian yang
menjadi sasaran adalah kesadaran dari ketidaksasaran tindakan, ucapan,
Hidayat, Kajian Strukturalisme-Simbolik 297
dan keputusan sesorang. Struktur sebagai bagian dari sistem mental manusia
adalah sesuatu yang berada di luar kesadaran manusia dan merupakan
kebudayaan itu sendiri (Masinambaw & Hidajat, 2001:31) Fenomena ini
seperti kita berbicara; kata demi kata yang terlontar sangat disadari
maknanya, tetapi bersamaan dengan itu, sebenarnnya semua orang tidak
dengan amat menyadari tata bahasa (grammer) yang sedang digunakan.
Mitos adalah grammer yang membimbing sebuah komunitas memahami
realitas kehiduannya, sehingga tercipta berbagai bentuk mitos tentang asal
usul sebuah komunitas, mitos kesuburan, mitos perjodohan, mitos
kekuasaan, dan lain-lain.
Pujianto mengemukakan opininya tentang mitologi Jawa pada subbab
Pandangan Hidup Orang Jawa (halaman 137-140). Maksudnya
adalah mencari makna dari tanda . Akan tetapi perlu disadari, makna tidaklah
dicari pada dunia eksteral, melainkan diperoleh atas dasar pertalian tanda-tana
(artinya antar tanda) itu sendiri. Maka, analisis kebudayaan berdasarkan
perspektif strukturaliseme adalah analisis unit mental (Masinambaw & Hidajat,
2001:31). Paparan tersebut merupakan interpertasi
84
untuk menemukan makna, yaitu makna yang tersimpan pada struktur dalam
(deef stracture). Agar uraian Pujianto menjadi lebih lengkap, paparan
berikut ini menganalisis deef stracture berdasarkan realsi antar
tanda pada motif batik yang dimaksud.
ANALISIS STRUKTUR
Relasi isor (bawah) [ - ] dan duwur (atas) [ + ], salah satu klasifikasi
simbolis dalam budaya Jawa (Koentjaraningrat,1994 :228) yang terwujud
dalam mitos-mitos kekuasaan,. Kekuasaan tidak dapat berdiri sendiri,
tetapi harus diwujudkan sedikitnya dua relasi, yaitu . Tuhan (Gusti) memiliki
kuasa atas makluk (kawula) yang dikuasai . Agar dapat memahami
eksistensi Gusti dan kawula dan analoginya gusti (raja) dan
kawula (rakyat) maka tercipta sebuah konstruk pikiran Kawula -
Gusti , yaitu sebuah paham kemanunggalan (kesatuan) yang berikutnya
menjadi paham monisme dualitik, yaitu Loro-loroning Atunggal,
Curiga manjing warangka.
Konsep tersebut dimungkinan dapat ditafsirkan dari bentuk struktur batik
Sawat, sebuah batik yang digunakan oleh Susuhunan Pakubuwana
(Surakarta) ketika duduk di dapar kencana. Hakekatnya adalah sebuah
298 BAHASA DAN SENI, Tahun 32, Nomor 2, Agustus 2004
presentasi idealistik raja Jawa yang menganggap dirinya adalah menivestasi
Dewa . Pandangan ini telah dikonstruk sejak jaman kerajaan Singasari. Ken
Arok melegitimasi dirinya sebagai putra Betara Brahma. Konsep
raja sebagai manivestasi dewa ini ternyata berlanjut hingga dinasti
raja-raja Mataram, bahwa raja Jawa dipahami sebagai Gusti (bahasa
Jawa gusti juga dipahami sebagai kekuasaana gaib dari realitas
transendental), dan rakyat dipandang sebagai kawula . Paham ini dikenal
dengan konsep dewa raja . Woro Ariyandini S., seorang peneliti dari
Universitas Indonesia menjelaskan paham tersebut sebagai berikut:
Dalam pikiran orang Jawa, bahwa lapisan bawah yang biasa disebut rakyat
juga mendapat perhatian. Penguasa dan rakyat ada hubungan timba-balik.
Bila dengan ungkapan manunggaling kawula-Gusti (dengan G besar)
dimaksudkan sebagai persatuan antara manusia dengan penguasa gaib
(Tuhan), maka juga ada persatuan antara manusia dengan penguasa
masyarakat. Penguasa masyarakat adalah raja
yang dianggap mewakili kekuasan Tuhan di dunia. Persatuan ini diibaratkan
sebagai manunggaling kawula gusti (dengan g kecil). Raja
yang bersifat Saraita, Danaita, Darmaita ( ahli stragegi perang,
siap memberi bantuan pada siapapun yang membutuhkan, dan
bersikap adil), berfungsi (raja) sebagai pusering bumi lan langit
(pusat bumi dan langit sekaligus) (2002: 101).
Mitos tentang relasi atas-bawah juga hadir pada konsep-konsep tentang
kesuburan, yaitu memahami angkasa sebagai bapa (eksistensi maskulin)
dan bumi sebagai ibu (eksistensi feminim). Anthony Reid
mengemukakan perihal esensi pria-wanita yang bersifat saling melengkapi,
sebagai berikut:
Kepriaan biasanya dikaitakan dengan warna putih 9air mani),
kehangatan, langit, bentuk, pengendalian, dan kreativitas yang dikarsai.
Wanita dikaitkan dengan warna merah (darah), kesejukan, bumi, subtansi,
spontanitas, dan kreativitas alami kedua-duanya dipandang
perlu pemaduan, sebuah citra yang kuat. (1992:186)
Menyatunya dua eskistensi tersebut menurunkan yang disebut wiji ,
bibit , atau tunas yang harus di semai kan, istilah ini berrelasi dengan

85
motif batik Semen , yang artinya semi. Semi memberikan petunjuk adanya
kaitan dengan mitologi tentang padi , yaitu Betari Sri dan Raden Sedana
(Danandjaya,1989: 635). Ayah ibarat pohon, yang tumbuh di bumi
Hidayat, Kajian Strukturalisme-Simbolik 299
(tanah), eksistensinya sebagai pengayom, pelindung istri dan anakanaknya.
Ketika laki-laki (ayah) hadir sebagai penguasa menunjukan sikap berbudi
bawa leksanan , kebijakan atas dirinya, keluarga, anak buah, dan seluruh
rakyat. Maka raja Jawa yang dilegitimasi dengan mitos Raja-Dewa
menunjukan, bahwa titah (perintah) raja selalu dipandang sebagai
bijaksana; sabda pandita ratu, ora kena wula-wali. Ini tampak pada
struktur batik Alas-Alasan.
Relasi gunung laut , gunung adalah sorgaloka; sorga tempat
bersemayamnya para dewa, sedangkan dunia ada percapada. Gunung
laut berrelasi horizontal, menunjuk pada struktur tengen (kanan)[+]-
kiwa (kiri)[-]. Konsep kesuburan menempatkan kedudukan suami
(tengen/ kanan) dan istri (kiwa/kiri). Kedudukan relasi ini bermakna
Loroloroning Atunggal dalam posisi horizontal. Kenyataan ini hingga
kini dapat disimak pada posisi simpingan (jajaran) figure wayang kulit,
yang menunjukan kelompok kanan (bala tengen) dan kelompok kiri
(bala kiwa).
Gunung laut juga berkaitan dengan kiblat (arah mata angin). Gunung
(merapi) berada di Utara, dan laut berada di selatan (pantai parangtritis),
kaitannya dengan posisi kekuasaan, raja berada di timur (gegong kuning
keraton Kasultanan Yogyakarta menghadap ke Timur), berrelasi dengan emas
, kebesaran, keagungan, dan kejayaan. Barat menunjukan
arah marabahaya, ancaman Batari Durga, sering ditunjukan pada fenomena
candikala (mega merah tembaga ketika sore hari) . Tempat arwah yang tidak
beruntung, siksaan, dan bermukimnya jin, setan, dan roh- roh pengganggu
manusia. Selatan menunjukan arah laut, bersemayamnya ratu pantai selatan,
ratu pelindung raja-raja Jawa (sejak jaman
Mataram).
Gunung laut menunjukan posisi horizontal, menampakan hubungan
yang bersifat duniawi, tempat makluk hidup bertebaran. Hutan-hutan yang
lebat merupakan tempat yang aman, sebuah areal tempat berlindungnya
semua satwa, tumbuhan, dan juga manusia. Hutan lebih bersifat magis,
keramat, atau sakral. Eksistensial hutan ditampakkan perwujudan kalpataru
(pohon hayat), simbol keseimbangan ekologi. Di sini menempatkan posisi
Gunung sebagai sumber mataair, dan laut sebagai muara. Gunung laut
diwujudkan secara struktural pada bentuk motif Alas-alasan, yang da 300
BAHASA DAN SENI, Tahun 32, Nomor 2, Agustus 2004
pat dipahami sebagai hutan . Hutan merupakan gagasan utama
adanya kayon atau kayun yang berarti hidup. Kayon dalam konsep
wayang Jawa adalah gunungan , atau meru , atau pohon sorga (Sri
Mulyana, 1982:33).
Paparan relasional dari motif batik Semen, Sawat, dan Alas-alasan
merefleksikan sebuah deef structure sebagaimana skema garis bersilang,
horizontal dan vertikal.
Gambar 3. Skema oposisional berdasarkan monisme dualitik. Sebuah pola
pikir orang Jawa disebut loro-loroning a tunggal
Tengen
(kanan)

86
Kiwa
(kiri)
Isor (bawah)
Duwur (atas)
(-)
(+)
Batik
Batik Alas-
Batik Semen
(+
)
(-)
Gusti
Kawula
Gunun
Laut
Hidayat, Kajian Strukturalisme-Simbolik 301
Telaah dengan perspektif strukturalisme tidak hanya mendiskripsikan
makna mitologis, tetapi dapat menunjukan kedudukan objek. Temuan ini
menunjukan, bahwa fungsional suatu benda selalu terkait dengan
kedudukan atau posisi di antara benda yang lain. Kenyataan ini yang
dimaksudkan oleh Emil Durkheim sebagai organisme; di mana suatu benda
memiliki posisi dan fungsi tertentu. Kapasitas benda pada posisi dan
fungsinya semata-mata terkait dengan benda lain secara struktural.
PENUTUP
Analisis mitos kaitanya dengan perwujudan benda budaya, seperti
topeng, makanan tradisional, perdukunan, ilmu sihir, dan juga dimungkinkan
adalah motif batik. Pujianto telah berusaha untuk memaparkan gagasanya
tentang mitologi Jawa kaitannya dengan motif batik berunsur
alam.
Pijianto mempunyai sudut pandang, dan memilik model pemaparan dengan
menekankan aspek simbolisasi. Sungguhpun analisis simbolis terpaku pada
teks , akibatnya aspek struktur terabaikan. Terlebih, berbagai asumsi dari
para peneliti lain atau tulisan-tulisan lain yang bertebaran dengan gampang
mempengarui. Sebagai contoh asumsi Pujianto, bahwa motif bagik Semen,
Sawat, dan Alas-alasan berkati dengan paham Hindu tentang triloko ,
hubungannya dengan mitos kesuburan dan kekuasan. Asumsi Pujianto perlu
diuji, setidaknya meminjam model segitiga kuliner yang digunakan oleh
Lovi-Strauss untuk menganalisa makanan. Inspirasinya menggunakan
segitiga kuliner berasal dari segi tiga
vocal: gagasan dari seorang lingguis Roman Jakobson (Cremer, 1997:790.
Ternyata tidak mempu menjawab gagasan Pujianto yang mengkaitkan
konsep triloko dengan bentuk motif batik.
Pujianto tidak mengkaitkan tiga motif batik Semen, Sawat, dan Alasalasan.
Akibatnya sulit untuk mengetahui hubungan strukturalnya, kaitanya dengan
mitologi Jawa tentang kekuasaan dan kesuburan. Setelah dilakukan analisis
unsur motif, relasi, dan simbol di temukan sejumlah kecendrungan makna.
Temuan tersebut merupakan modal untuk menyusun
struktur.
Struktur yang berupa persilangan yang dibentuk antara garis vertical;

87
duwur (atas) bernilai (+) yaitu bermakna transkendental, berkait
dengan kedudukan raja , yaitu adanya konsep Dewa-raja . isor
302 BAHASA DAN SENI, Tahun 32, Nomor 2, Agustus 2004
(bawah) bernilai (-) yaitu bermakna profane, berkait dengan kedudukan
rakyat kawula . Garis ini mengubungkan antara struktur motif batik
Semen dan Alas-alasan. Garis horizontal menunjukan antara rentang
Tengen (kanan) bernilai (+) gunung , swargaloka, tempat arwah
bersemayam. Kiwo (kiri) bernilai (-) berrelasi dengan laut , tempat roh-
roh jahat, naga, dan kekuatan penghancur.
Struktur silang (crossing model) menjelaskan tentang makna kawula-
Gusti atau raja-rakyat yaitu sebuah falsafah kekuasaan rajaraja Jawa.
Niels Mulder menjelaskan,
gagasan mencapai persatuan antara hamba dan Tuhan secara mistik
( manunggaling kawula-Gusti). Untuk mencapai tujuan ini orang harus
mengatasi kekangan-kekangan yang membelenggu dirinya kepada
eksitensi gejalan seperti misalnya hawa nafsu dan rasionalitas duniwi
yang hanya menuju kearah persepsi kebenaran yang bersifa kehayali
(1996:31).
Pemikiran itu juga berkait dengan konsep sangkan paraning dumadi ,
yaitu tentang asal usul manusia dan kepasrahannya terhadap sifat gaib
transendental (Tanpoaran,1988: 56-57). Kepasrahan ini seperti sifat
Garuda yang dengan rela sebagai kendaan dewa Wisnu, yang berposisi
dengan ular naga pada cerita tentang Garudia , sebuah relief yang
dipahat di candi Kidal. Sebuah kisah Garuda yang membebaskan ibunya
dari tawanan bangsa naga, ini sebuah kerelaan, ketulusan, dan juga
kesetiaan. Struktur silang tersebut juga dapat menjelaskan kedudukan
wanita dan laki-laki dalam pengertian vertical, tetapi juga sekaligus
menjelaskan Lanang dan Wadhon secara horizontal. Di sini terjadi sebuah
pemahaman tentang pesejodohan, dan sekaligus kepasrahan, yaitu ngabekti.
Pujianto mengkaitkan dengan sikap wanita sebagai pembatik yang rela,
narima, temen, sabar, dan budi luhur. (2003: 139). Gambaran wanita
sebagai pembatik itu adalah sebuah metafora, yaitu mendudukan wanita
pada sumbu vertikal dengan laki-laki. Fenomena tersebut dapat disimak
pada sebuah tembang dhandhanggula dalam Serat Niti-Praja. Kedudukan
wanita Jawa dimata laki-laki sebagai berikut:
Lamun sira rineka pawestri,
Kinarya gedhong dening sang
nata, Semunira den asumeh,
Hidayat, Kajian Strukturalisme-Simbolik 303
Mang salokanira kepanggih,
Kadi garwa kawitan,
Setyanireng kakung, Angrasa
yen sinatyan,
Ing raga nuta saosa kersing
laki, Boga busana mukya
Kalau engkau dijadikan istri, Buat
simpanan oleh sang raja, Hendaknya
wajahmu berseri manis, Pasrahlah
dalam segala kehendaknya, Dan
pelayananmu bila ketemu, Seperti
istri pertama,

88
Kesetiaanmu pada suami
Merasalah jika dicintai
Jiwa raga serahkan sepenuhnya pada pria
Makan minum kegemarannya. (Purwadi, 2001:8-9)
DAFTAR RUJUKAN
Tanpoaran. 1988. Sangkan paraning Dumadi. Surabaya: Yayasan Djojo Bojo &
Paguyuban Sosrokertanan Surabaya.
Abdullah, Faufik & Leeden, A.C. van Der. 1986. Durkheim dan Pengantar
Sosiologi Moralitas. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Ahimsa-Putra, Shri Heddy (ed.). 2000. Ketika Orang Jawa Nyeni. Yogyakarta:
Galang press.
Aryandini S, Woro. 2002. Wayang dan Lingkungan. Jakarta: Universitas Indonesia
Press.
Ciptaprawiro, Abdullah.1986. Falsafah Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Cremers, Agus. 1997. Antara Alam dan Mitos. Flores: Nusa Indah.
Danandjaya, James. 1989. Kebudayaan Petani Desa Trunyan di Bali. Jakarta:
Universitas Indonesia Press.
Herusatoto, Budiono. 2001. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Hanindita.
Holt, Claire. 1967. Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia. Diterj.
Soedarsono.2000. Bandung: Masyarakat Seni Indonesia.
Kaplan, David & Monners, Albert A.2000. Teori Budaya, diterjemahkan: Landung
Simatupang.Yogyakrta: Pustaka Pelajar.
304 BAHASA DAN SENI, Tahun 32, Nomor 2, Agustus 2004
Koentjaraningrat, 1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Kurniawan, 2001. Semilogi Roland Barthes. [tanpa kota terbit], Yayasan Indonesiatera.
Masinambow, E.K.M. & Hidajat, Rahayu S. 2001. Semiotik; Mengkaji Tanda
dalam Artifak. Jakarta: Balai Pustaka.
Mulder, Niels, 1974. Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional.Yogyakrta:
Gadjah Mada Universitas Press.
Mulder, Niels. 1996. Pribadi dan Masyarakat di Jawa. Jakarta: Sinar Harapan
Mulyana, Sri. 1982. Wayang; Asal-usul, Filsafat dan Masa depannya. Jakarta:
Gunungagung.
Pujianto, 2003. Mitologi Jawa dalam Motif Batik Unsur Alam , artikel pada
Jurnal Bahasa dan Seni, tahun 31, nomor 1, Februari 2003. Malang: Fakultas
Sastra, Universitas Negeri Malang.
Pujianto. 2003. Mitologi Jawa Dalam Motif Batik Unsur Alam . Artikel pada
Jurnal Bahasa & Seni, tahun 31, nomor 1, Februari 2003. Malang: Fak.
Sastra, Universitas Negeri Malang.
Purwadi, 2001, Memutar Taman Sri Wedari. Yogyakarta: media Pressindo.
Randrianarisoa, Olga. 1983. Totemisme di Madagasikara artikel pada majalah
budaya Basis, Juni 1983 XXXII 6. Yogyakarta : Yayasan P.B. Basis.
Storey, John. 2003. Teori Budaya dan Budaya Pop. Yogyakarta: Qalam.
Sutarno, 2002. Pewayangan Dalam Budaya Jawa artikel dalam jurnal
Dewa Ruci, vol. 1, no. 1, April 2002. Surakarta: Program Pascasarjana
Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta.
Zoetmulder, P.J. 2000. Manunggaling Kawula Gusti; pantheisme dan Monisme
dalam Sastra Suluk Jawa. Diterj. Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia.
Reid, Anthony [1988]. Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680. diterj.
Mochtar Pabotinggi. 1992. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Yahya, Amri. 1985. Sejarah perkembangan Seni Lukis Batik Indonesia .
Yogyakarta: Makalah disajikan pada seminar Javanologi. Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, Direktorat jendral Kebudayaan, Proyek Penelitian
dan Pe

89
ngkajian, KebuKajian strukturalisme dan nilai edukatif dalam cerita
rakyat kabupaten Klaten
L.G. Sarmadi
ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan jenis-jenis cerita
rakyat Kabupaten Klaten; (2)
mendeskripsikan struktur cerita rakyat Kabupaten Klaten; dan (3)
mendeskripsikan nilai edukatif yang
terkandung dalam cerita rakyat Kabupaten Klaten. Pendeskripsian struktur
cerita rakyat meliputi isi cerita,
tema, alur, tokoh, latar, dan amanat. Pendeskripsian nilai edukatif (pendidikan )
dalam cerita rakyat meliputi
nilai pendidikan moral, nilai pendidikan adat, nilai pendidikan agama (religi),
nilai pendidikan sejarah
(historis), dan nilai pendidikan kepahlawanan. Penelitian ini merupakan penelitian
kualitatif deskriptif.
Informasi dari penelitian ini dideskripsikan secara analitis dan teliti. Strategi
yang digunakan adalah studi
kasus tunggal yang dilakukan pada satu sasaran (subjek) dan satu
karakteristik, yaitu cerita rakyat
Kabupaten Klaten. Data penelitian dikumpulkan melalui beberapa sumber yaitu
informan, observasi
benda-benda fisik dan dokumen. Teknik pengumpulan data yang digunakan
melalui observasi langsung,
perekaman, wawancara, pencatatan, dan analisis dokumen. Teknik cuplikan
(sampling) yang digunakan
adalah purposive sampling. Teknik validasi data yang digunakan adalah
triangulasi data/sumber, metode,
dan teori. Teknik validasi data lain yang digunakan adalah informant review.
Teknik analisis data yang
digunakan adalah analisis struktural dan analisis model interaktif
(interactive model of analysis) Dalam
penelitian ini ada lima cerita rakyat Kabupaten Klaten yang dihimpun dan
dianalisis. Lima cerita rakyat
tersebut, yaitu: (1) “Ki Ageng Padang Aran”, (2) “Petilasan Sunan Kalijaga”, (3)
“Raden Ngabehi Ronggo
Warsito”, (4) “Reyog Brijo Lor”, dan (5) “Kyai Ageng Gribig”. Cerita rakyat
Kabupaten Klaten tersebut
diklasifikasikan ke dalam legenda dan lebih spesifik dapat diklasifikasikan
ke dalam kelompok legenda
setempat, legenda perseorangan , dan legenda keagamaan. Isi dan tema
cerita rakyat Kabupaten Klaten
adalah syiar agama, perjuangan seorang tokoh, dan terjadinya suatu
tempat. Alur cerita yang digunakan
adalah alur maju atau lurus. Tokoh yang dominan dalam cerita rakyat Kabupaten
Klaten adalah manusia
yang digambarkan sebagai manusia yang memiliki kasaktian dan
berkarakter baik. Latar yang paling
dominan adalah latar tempat. Amanat yang terkandung dalam cerita rakyat
Kabupaten Klaten cukup

90
bervariasi. Nilai pendidikan yang terdapat dalam cerita rakyat Kabupaten
Klaten, adalah Nilai pendidikan
moral , nilai pendidikan adat (tradisi), nilai pendidikan agama (religi),
nilai pendidikan sejarah (historis), dan
nilai Kepahlawanan
1/1dayaan Nusantara (Javanologi).

91

Anda mungkin juga menyukai