Anda di halaman 1dari 38

KEKUASAAN, WEWENANG, DAN KEPEMIMPINAN

MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
Sosio & Antropologi Pendidikan
yang dibina oleh Drs. H. Hadi Mustofa, M.Pd.

oleh:

1. Liana Putri Dhamara (160151601014)


2. Yeni Dwi Retnosari (160151601105)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
JURUSAN KSDP PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
Maret 2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya haturkan ke hadirat Allah SWT, yang telah

memberikan izin dan kekuatan kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan

makalah ini dengan judul “Kekuasaan, Wewenang,dan Kepemimpinan”.

Meskipun banyak hambatan yang kami alami dalam proses pengerjaannya, tapi

kami berhasil menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.

Tidak lupa kami juga berterima kasih kepada Bapak Drs. H.Hadi Mustofa

M.Pd selaku dosen pembimbing Sosio & Antropologi Pendidikan yang telah

memberikan bimbingan kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan

penulisan tugas makalah ini dengan sebaik mungkin.

Kami menyadari bahwa dalam menyusun makalah ini masih jauh dari

kesempurnaan, untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat

membangun guna sempurnanya makalah ini. Kami berharap semoga makalah ini

bisa bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

Blitar, 28 Maret 2018

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i

KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii

DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii

BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ................................................................................ 1

1.3 Tujuan Penulisan .................................................................................. 2

BAB II. PEMBAHASAN

2.1 Hakikat Kekuasaan dan Sumbernya .................................................... 3

2.2 Unsur-Unsur Saluran Kekuasaan dan Dimensinya ............................. 6

2.3 Cara-Cara Mempertahankan Kekuasaan ............................................ 10

2.4 Bentuk Lapisan Kekuasaan ................................................................. 11

2.5 Wewenang ........................................................................................... 15

2.6 Kepemimpinan .................................................................................... 24

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan .......................................................................................... 33

3.2 Saran ..................................................................................................... 34

DAFTAR RUJUKAN .......................................................................................... 35

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kekuasaan mempunyai peranan yang dapat menentukan nasib berjuta-juta


manusia. Oleh karena itu, kekuasaan (power) sangat menarik perhatian para ahli
ilmu pengetahuan kemasyarakatan.Sesuai dengan sifatnya sebagai ilmu
pengetahuan, sosiologi tidak memandang kekuasaan sebagai sesuatu yang baik
atau yang buruk. Sosiologi mengakui kekuasaan sebagai unsur yang sangat
penting dalam kehidupan suatu masyarakat. Adanya kekuasaan cenderung
tergantung dari hubungan antara pihak yang memiliki kemampuan untuk
melancarkan pengaruh dengan pihak lain yang menerima pengaruh itu, rela atau
karena terpaksa.

Apabila kekuasaan dijelmakan pada diri seseorang, biasanya orang itu


dinamakan pemimpin dan mereka yang menerima pengaruhnya adalah pengikut.
Beda antara kekuasaan dengan wewenang (authority atau legalized power) ialah
bahwa setiap kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain dapat dinamakan
kekuasaan. Sedangkan wewenang adalah kekuasaan yang ada pada diri seseorang
atau sekelompok orang, yang mempunyai dukungan atau mendapat pengakuan
dari masyarakat.

Adanya wewenang hanya dapat menjadi efektif apabila didukung dengan


kekuasaan yang nyata. Akan tetapi acapkali terjadi bahwa letaknya wewenang
yang diakui oleh mayarakat dan letaknya kekuasaan yang nyata, tidak di satu
tempat atau tidak berada di satu tangan.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana hakikat kekuasaan dan sumbernya?
2. Apa saja unsur-unsur saluran kekuasaan dan dimensinya?
3. Bagaimana cara-cara mempertahankan kekuasaan?
4. Apa saja bentuk lapisan kekuasaan?
5. Apa yang dimaksud dengan wewenang?
6. Apa yang dimaksud dengan kepemimpinan?

1
2

1.3 Tujuan Penulisan


1. Menjelaskan hakikat kekuasaan dan sumbernya.
2. Menjelaskan unsur-unsur saluran kekuasaan dan dimensinya.
3. Menjelaskan cara-cara mempertahankan kekuasaan.
4. Menjelaskan bentuk lapisan kekuasaan.
5. Menjelaskan tentang wewenang.
6. Menjelaskan tentang kepemimpinan.
BAB II

PENDAHULUAN

2.1 Hakikat Kekuasaan dan Sumbernya

Dalam setiap hubungan antar manusia maupun antar kelompok sosial


selalu tersimpul pengertian-pengertian kekuasaan dan wewenang. Menurut
Soekanto (2002:268) kekuasaan diartikan sebagai kemampuan untuk
mempengaruhi pihak lain menurut kehendak yang ada pada pemegang
kekuasaan tersebut. Kekuasaan terdapat di semua bidang kehidupan dan
dijalankan. Kekuasaan mencakup kemampuan untuk memerintah (agar yang
diperintah patuh) dan juga untuk memberi keputusan-keputusan yang secara
langsung maupun tidak langsung mempengaruhi tindakan-tindakan pihak-
pihak lainnya. Max Weber dalam Soekanto (2002:268) mengutarakan
kekuasaan adalah kesempatan seseorang atau sekelompok orang untuk
menyadarkan masyarakat akan kemauan-kemauannya sendiri, dengan
sekaligus menerapkannya terhadap tindakan-tindakan perlawanan dari orang-
orang atau golongan-golongan tertentu. Kekuasaan memiliki aneka macam
bentuk, dan bermacam-macam sumber. Hak milik kebendaan dan kedudukan
adalah sumber kekuasaan. Birokrasi juga merupakan salah satu sumber
kekuasaan, disamping kemampuan khusus dalam bidang ilmu-ilmu
pengetahuan yang tertentu ataupun atas dasar peraturan-peraturan hukum yang
tertentu.
Jadi, kekuasaan terdapat dimana-mana, dalam hubungan sosial maupun
di dalam organisasi-organisasi sosial. Akan tetapi pada umumnya kekuasaan
yang tertinggi berada pada organisasi yang dinamakan “negara”. Secara
formal negara mempunyai hak untuk melaksanakan kekuasaan tertinggi, kalau
perlu dengan paksaan. Juga negaralah yang membagi-bagikan kekuasaan yang
lebih rendah derajatnya. Itulah yang dinamakan kedaulatan (sovereiggnity).
Kedaulatan biasanya dijalankan oleh segolongan kecil masyarakat yang
menamakan diri the ruling class. Ini merupakan gejala yang umum dalam
setiap masyarakat. Dalam kenyataan, di antara orang-orang yang merupakan
warga the rulling class, pasti ada yang menjadi pemimpinnya. Meskipun

3
4

menurut hukum, dia tidak merupakan pemegang kekuasaan yang tertinggi.


Misalnya pada negara-negara yang berbentuk kerajaan, sering terlihat
kenyataan bahwa seorang Perdana Menteri mempunyai kekuasaan yang lebih
besar dari raja dalam menjalankan kedaulatan negara. Gejala lain yang tampak
juga ada perasaan tidak puas (yaitu mereka yang diperintah) mempunyai
pengaruh terhadap kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dijalankan oleh the
ruling clas. Golongan yang berkuasa tak mungkin bertahan terus tanpa
didukung oleh masyarakat. Karena itu golongan tersebut senantiasa berusaha
untuk membenarkan kekuasaannya terhadap masyarakat, dengan maksud agar
kekuasaanya dapat diterima masyarakat sebagai kekuasaan yang legal dan
baik untuk masyarakat yang bersangkutan. Usaha-usaha golongan yang
memegang kekuasaan seperti diterangkan Mosca, di dalam masyarakat-
masyarakat yang baru saja bebas dari penjajahan dan mendapatkan
kemerdekaan politik, mengalami kesulitan-kesulitan. Sebab pokok kesulitan-
kesulitan tersebut terletak pada perbedaan alam pikiran antar golongan yang
berkuasa (yang secara relatif maju) dan alam pikiran antara golongan yang
dikuasai yang masih tradisional dan kurang luas pengetahuannya. Oleh sebab
itu, golongan yang berkuasa harus berusaha untuk menanamkan kekuasaanya
dengan jalan menghubungkannya dengan kepercayaan dan perasaan-perasaan
yang kuat di dalam masyarakat bersangkutan, yang pada dasarnya terwujud
dalam nilai dan norma.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sifat hakikat kekuasaan dapat
terwujud dalam hubungan yang simetris dan asimetris. Masing-masing
hubungan terwujud dalam kehidupan sehari-hari, sehingga dapat diperoleh
gambaran sebagai berikut:
Simetris Asimetris

a. Hubungan persahabatan a. Popularitas

b. Hubungan sehari-hari b. Peniruan

c. Hubungan yang bersifat c. Mengikuti perintah


ambivalen
5

d. Pertentangan antara mereka d. Tunduk pada pemimpin formal


yang sejajar kedudukannya. atau informal

e. Tunduk pada seorang ahli

f. Pertentangan antara mereka yang


tidak sejajar kedudukannya

g. Hubungan sehari-hari

Kekuasaan dapat bersumber pada bermacam-macam faktor. Apabila


sumber-sumber kekuasaan tersebut dikaitkan dengan kegunaannya, maka
dapat diperoleh gambaran sebagai berikut:
No. Sumber Kegunaan

1. Militer Polisi Kriminal Pengedalian kekerasan

2. Ekonomi Mengendalikan tanah, buruh,


kekayaan material, produksi

3. Politik Pengambilan keputusan

4. Hukum Mempertahankan, mengubah,


melancarkan interaksi

5. Tradisi Sistem kepercayaan nilai-nilai

6. Ideology Pandangan hidup, integrasi

7. “Diversionary power” Kepentingan rekreatif


6

2.2 Unsur-Unsur Saluran Kekuasaan dan Dimensinya

Kekuasaan yang dapat dijumpai pada interaksi sosial antara manusia


maupun antar kelompok mempunyai beberapa unsur pokok yaitu:

1. Rasa Takut

Perasaan takut pada seseorang (yang merupakan penguasa, misalnya)


menimbulkan suatu kepatuhan terhadap segala kemauan dan tindakan orang
yang ditakuti tadi. Rasa takut merupakan perasaan negatif, karena seseorang
tunduk kepada orang lain dala keadaan terpaksa. Orang yang mempunyai rasa
takut akan berbuat segala sesuatu yang sesuai dengan keinginan orang yang
ditakutinya, agar terhindar dari kesukaran-kesukaran yang akan menimpa
dirinya, seandainya dia tidak patuh. Rasa takut juga menyebabkan orang yang
bersangkutan meniru tindakan-tindakan orang yang ditakutinya. Gejala ini
yang dinamakan matched dependent behavior. Gejala mana tak mempunyai
tujuan kongkrit bagi yang melakukannya. Rasa takut merupakan gejala
universal yang terdapat dimana-mana dan biasanya dipergunakan sebaik-
baiknya dalam masyarakat yang mempunyai pemerintah otoriter.

2. Rasa Cinta

Rasa cinta menghasilkan perbuatan-perbuatan yang pada umumnya


positif. Orang-orang lain bertindak sesuai dengan kehendak pihak yang
berkuasa, untuk menyenangkan semua pihak. Artinya ada titik-titik pertemuan
antara pihak-pihak yang bersangkutan. Rasa cinta biasanya telah mendarah
daging (internalized) dalam diri seseorang atau sekelompok orang. Rasa cinta
yang efisien seharusnya dimulai dari pihak penguasa. Apabila ada suatu reaksi
positif dari masyarakat yang dikuasai maka sistem kekuasaan akan dapat
berjalan dengan baik dan teratur.

3. Kepercyaan

Kepercayaan dapat timbul sebagai hasil hubungan langsung antara dua


orang atau lebih yang bersifat asosiatif. Misalnya, B sebagai orang
7

yang dikuasai mengadakan hubungan langsung dengan A sebagai pemegang


kekuasaan. B percaya sepenuhnya kepada A, kalau A akan selalu bertindak dan
berlaku baik. Dengan demikian maka setiap keinginan A akan selalu dilaksanakan
oleh B. Kemungkinan sekali bahwa B sama sekali tidak mengetahui kegunaan
tindakan-tindakannya itu. Akan tetapi, karena dia telah menaruh kepercayaan
kepada si A, maka dia akan berbuat hal-hal yang sesuai dengan kemauan A yang
merupakan penguasa, agar A tambah mempercayai B. Pada contoh tersebut,
hubungan yang terjadi bersifat pribadi, akan tetapi, mungkin saja bahwa hubungan
demikian akan berkembang di dalam suatu organisasi atau masyarakat secara luas.
Soal kepercayaan memang sangat penting demi kelanggengan suatu kekuasaan.

4. Pemujaan

Sistem kepercayaan mungkin masih dapat disangkal oleh orang-orang


lain. Akan tetapi di dalam sistem pemujaan, seseorang atau sekelompok orang-
orang yang memegang kekuasaan, mempunyai dasar pemujaan dari orang-
orang lain. Akibatnya adalah segala tindakan penguasa dibenarkan atau
setidak-tidaknya dianggap benar.

Keempat unsur tersebut merupakan sarana yang biasanya digunakan oleh


penguasa untuk dapat menjalankan kekuasaan yang ada di tangannya. Apabila
seseorang hendak menjalankan kekuasaan, biasanya dilakukan secara langsung
tanpa perantaraan. Keadaan semacam itu pada umumnya dapat dijumpai pada
masyarakat-masyarakat kecil dan bersahaja, dimana para warganya saling
mengenal dan belum dikenal adanya diferensiasi. Namun di dalam masyarakat
yang sudah rumit, hubungan antara penguasa dengan yang dikuasai, mungkin
terpaksa dilaksanakan secara tidak langsung. Misalnya di Indonesia, tak akan
mungkin Presiden setiap kali berhubungan langsung dengan rakyatnya yang
berjuta-juta itu dan tersebar tempat kediamannya.

Apabila dilihat dalam masyarakat, maka kekuasaan di dalam


pelaksanaannya dijalankan melalui saluran-saluran tertentu. Saluran-saluran
8

tersebut banyak sekali, akan tetapi kita hanya akan membatasi diri pada saluran-
saluran sebagai berikut:

1) Saluran Militer
Apabila saluran ini yang dipergunakan, maka penguasa akan lebih banyak
mempergunakan paksaan (coercion) serta kekuatan militer (military force)
di dalam melaksanakan kekuasaanya. Tujuan utama adalah untuk
mrnimbulkan rasa takut dalam diri masyarakat, sehingga media tunduk
kepada kemauan penguasa atau sekelompo orang-orang yang dianggap
sebagai penguasa. Untuk keperluan tersebut, seringkali dibentuk organisasi-
organisasi atau pasukan-pasukan khusus yang bertindak sebagai dinas
rahasia. Hal ini banyak dijumpai pada negara-negara totaliter.
2) Saluran Ekonomi
Dengan menggunakan saluran-saluran di bidang ekonomi, penguasa
berusaha untuk menguasai kehidupan masyarakat. Dengan jalan menguasai
ekonomi serta kehidupan rakyat tersebut, penguasa dapat melaksanakan
peraturan-peraturannya serta akan menyalurkan perintah-perintahnya denga
dikenakan saksi-saksi yang tertentu.
3) Saluran Politik
Melalui saluran politik, penguasa dan pemerintah berusaha untuk membuat
peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh masyarakat. Caranya adalah,
antara lain, dengan meyakinkan atau memaksa masyarakat untuk menaati
peraturan-peraturan yang telah dibuat oleh badan-badan yang berwenang
dan yang sah.
4) Saluran Tradisional
Saluran tradisional biasanya merupakan saluran yang paling disukai.
Dengan cara menyesuaikan tradisi pemegang kekuasaan dengan tradisi yang
dikenal di dalam sesuatu masyarakat, maka pelaksanaan kekuasaan dapat
berjalan dengan lebih lancar.
Caranya adalah dengan jalan menguji tradisi pemegang kekuasaan dengan
tradisi yang dkenal dalam masyarakat, yang sudah meresap di dalam jiwa
masyarakat yang bersangkutan. Dengan cara demikian, akan dapat
9

diketemukan suatu titik temu antara tradisi-tradisi tersebut. Sehingga


pemerintahan akan dapat berjalan dengan lancer, yang berarti mencegah
atau mengatasi reaksi negatif.
5) Saluran Ideologi
Penguasa-penguasa dalam masyarakat, biasanya mengemukakan
serangkaian ajaran-ajaran atau doktrin-doktrin, yang bertujuan untuk
menerangkan dan sekaligus memberi dasar pembenaran bagi pelaksanaan
kekuasaannya. Hal itu dilakukan supaya kekuasaan dapat menjelma menjadi
wewenang. Setiap penguasa akan berusaha untuk dapat menerangkan
ideologinya tersebut dengan sebaik-baiknya sehingga institutionalized dan
bahkan internalized dalam diri warga masyarakat.
6) Saluran-Saluran Lainnya
Saluran-saluran lain disamping yang telah disebutkan di atas, ada pula yang
dapat dipergunakan penguasa, misalnya alat-alat komunikasi massa, surat
kabar, radio, televise, dan lain-lainnya. Kecuali itu dapat pula dipergunakan
saluran rekreasi yang biasa digunakan masyarakat mengisi waktu
senggangnya, seperti sandiwara rakyat. Kemajuan yang sangat pesat di
bidang teknologi alat-alat komunikasi massa, menyebabkan bahwa saluran
tersebut pada akhir-akhir ini mendapatkan tempat yang penting sebagai
saluran pelaksanaan kekuasaan yang dipegang oleh seorang penguasa.
Biasanya penguasa tidak hanya menggunakan salah satu saluran. Akan
tetapi tergantung pada struktur masyarakat yang bersangkutan. Misalnya
pada masyarakat tradisional, saluran tradisi akan lebih berhasil dalam
meyakinkan masyarakat daripada misalnya saluran militer.
Apabila dimensi kekuasaan ditelaah, maka aka nada kemungkinan-
kemungkinan sebagai berikut:
a. Kekuasaan yang sah dengan kekerasan
b. Kekuasaan yang sah tanpa kekerasan
c. Kekuasaan tidak sah dengan kekerasan
d. Kekuasaan tidak sah tanpa kekerasan
10

2.3 Cara-Cara Mempertahankan Kekuasaan

Kekuasaan yang telah dilaksanakan melalui saluran-saluran sebagaimana


diterangkan di atas, memerlukan serangkaian cara atau usaha-usaha untuk
mempertahankannya. Setiap penguasa yang telah memegang kekuasaan di dalam
masyarakat, demi stabilnya masyarakat tersebut, akan berusaha untuk
mempertahankannya, cara-cara atau usaha-usaha yang dapat dilakukannya adalah
antara lain:

1. Dengan jalan menghilangkan segenap peraturan-peraturan lama, terutama


dalam bidan politik, yang merugikan kedudukan penguasa. Peraturan-peraruran
tersebut akan digantikan dengan peraturan-peraturan baru yang akan
menguntungkan penguasa. Keadaan tersebut biasanya terjadi pada waktu ada
pergantian kekuasaan dari seseorang penguasa kepada penguasa lain (yang
baru).
2. Mengadakan sistem-sistem kepercayaan (belief-systemsi) yang akan dapat
memperkokoh kedudukan penguasa atau golongannya. Sistem kepercayaan
meliputi agama, ideology dan seterusnya.
3. Pelaksanaan administrasi dan birokrasi yang baik.
4. Mengadakan konsolidasi horizontal dan vertikal.
Pada penguasa biasanya mempunyai keahlian di bidang-bidang tertentu,
misalnya bidang politik, ekonomi, militer, dan selanjutnya. Kekuasaan yang
dipegang oleh seorang ahli politik, hanya mencakup bidang politik saja.
Keadaan semacam demikian, yaitu apabila penguasa hanya menguasai bidang-
bidang kehidupan yang khusus, menyebabkan bahwa dia lebih mudah untuk
digulingkan. Oleh sebab itu seorang penguasa seharusnya dapat pula
menguasai bidang-bidang lain, disamping keahlian khususnya. Apabila dia
sendiri tidak sanggup, maka dia harus berusaha untuk mendekati pihak-pihak
lain yang ahli dan mengajak mereka untuk membentuk the ruling class
tersendiri. Melihat hal-hal tersebut di atas, akan terlihat suatu kecenderungan
bahwa kekuasaan yang bersifat kumulatif, artinya bertumpuk atau berkumpul
dalam satu tangan atau sekelompok orang, merupakan hal yang wajar dalam
berbagai masyarakat.
11

Apabila dalam salah satu bidang kehidupan terdapat orang kuat yang berkuasa,
maka timbul suatu pusat kekuasaan (power centre). Sudah tentu akan timbul
pusat-pusat kekuasaan lain yang mungkin merupakan oposisi. Sehat tidaknya
oposisi merupakan soal lain. Konkurensi terhadap kekuasaan akan selalu ada.
Apakah konkurensi dapat dilakukan secara bebas dan terbatas, semuanya
tergantung pada struktur masyarakat. Ciri-ciri masyarakat liberal dan
kapitalistis berbeda dengan masyarakat totaliter dan sosialistis. Dengan
demikian, penguasa mempunyai beberapa cara untuk memperkuat
kedudukannya (yang khusus), antara lain:

a. Dengan menguasai bidang-bidang kehidupan tertentu. Cara ini pada


umumnya dilakukan dengan damai atau persuasiv.
b. Dengan jalan menguasai bidang-bidang kehidupan masyarakat dengan
paksa atau kekerasan. Maksud dan tujuannya adalah untuk menghancurkan
atau menguasai pusat-pusat kekuasaan di bidang-bidang kehidupan
lainnya. Biasanya cara-cara demikian tak akan dapat bertahan lama, karena
pada suatu saat pasti timbul reaksi yang akan menghancurkan kekuasaan
yang telah ada itu. Lagi pula suatu kekuasaan yang bersandarkan pada
paksaan dan kekerasan tak akan tahan lama, karena penguasa juga
mempunyai batas-batas kemampuan akan kekuatannya. Cara-cara atau
usaha-usaha sebagaimana diuraikan di atas, tidaklah bersifat limitative.
Tetapi biasanya, itulah cara-cara yang lazim digunakan dan dikenal.

2.4 Beberapa Bentuk Lapisan Kekuasaan

Bentuk-bentuk kekuasaan pada masyarakat-masyarakat tertentu di dunia


ini beraneka macam dengan masing-masing polanya. Biasanya ada satu pola yang
berlaku umum pada setiap masyarakat, betapapun perubahan-perubahan yang
dialami masyarakat itu (yang akan menelorkan suatu pola baru). Namun pola
tersebut akan muncul atas dasar pola lama, yang berlaku sebelumnya. Kiranya
dapat dikatakan bahwa bentuk dan sistem kekuasaan selalu menyesuaikan diri
pada masyarakat dengan adat-istiadat dan pola-pola perilakunya. Mungkin dalam
keadaan-keadaan krisis, batas-batasnya mengalami perubahan sedikit, pada
12

umumnya garis tegas antara yang berkuasa dengan yang dikuasai selalu ada.
Gejala demikian menimbulkan lapisan kekuasaan atau piramida kekuasaan, yang
didasarkan pada rasa kekhawatiran masyarakat akan terjadinya disintegrasi, bila
tidak ada kekuasaan yang menguasainya. Karena integrasi masyarakat
dipertahankan oleh tata tertib sosial yang dijalankan oleh penguasa, maka
masyarakat mengakui adanya lapisan kekuasaan tersebut. Walupun kadang-
kadang kenyataan demikian merupakan beban. Adanya faktor pengikat antara
warga-warga masyarakat adalah atas dasar gejala, bahwa ada yang memerintah
dan ada yang diperintah dalam masyarakat yang bersangkutan. Lapisan-lapisan
tersebut selalu aka nada, walaupun setiap perubahan dalam masyarakat akan
berpengaruh terhadapnya. Mungkin sistem lapisan yang lama akan hancur sama
sekali, akan tetapi pasti akan timbul sistem lapisan kekuasaan baru, karena
masyarakat memerlukannya. Setiap tahap perkembangan dari suatu masyarakat
tertentu, mempunyai ciri-ciri sistem lapisan kekuasaan baru, karna masyarakat
memerlukannya. Setiap tahap perkembangan dari suatu masyarakat tertentu,
mempunyai ciri-ciri sistem lapisan kekuasaan yang khusus. Perlu pula
ditambahkan bahwa kekuasaan bukanlah semata-mata berarti bahwa banyak orang
tunduk di bawah penguasa. Kekuasaan selalu berarti suatu sistem lapisan
bertingkat (birarkis). Menurut Maclver dalam Soekanto (2002:277) menyatakan
ada tiga pola umum sistem lapisan kekuasaan atau piramida kekuasaan, yaitu:

1. Tipe pertama (tipe kasta) adalah sistem lapisan kekuasaan dengan garis
pemisah yang tegas dan kaku. Tipe semacam ini biasanya dijumpai pada
masyarakat berkasta, di mana hampir-hampir tak terjadi gerak sosial vertikal.
Garis pemisah antara masing-masing lapisan hampir tak mungkin ditembus.
Gambar piramida dari tipe ini dapat dilihat pada halaman berikut.
Pada puncak paramida paling atas, duduk penguasa tertinggi (misalnya
maharaja, raja, dsb) dengan lingkungannya, yang didukung oleh kaum
bangsawan, tentara, dan para pendeta. Lapisan kedua terdiri dari para petani
dan buruh tani yang kemudian diikuti dengan lapisan terendah dalam
masyarakat yang terdiri dari para budak.
13

Keterangan:
1. Raja atau penguasa
2. Bangsawan
3. Orang-orang yang bekerja di pemerintahan
4. Pegawai rendah
5. Tukang dan pelayan
6. Petani dan buruh tani
7. Budak-budak
Gambar 2.1 Tipe Kasta

2. Tipe yang kedua (tipe oligarkis) masih mempunyai garis pemisah yang tegas.
Akan tetapi dasar pembedaan kelas-kelas sosial ditentukan oleh kebudayaan
masyarakat, terutama pada kesempatan yang diberikan kepada para warga
untuk memperoleh kekuasaa-kekuasaan tertentu. Bedanya dengan tipe yang
pertama adalah, walupun kedudukan para warga pada tipe kedua masih
didasarkan pada kelahiran ascribed status tetapi individu masih diberi
kesempatan untuk naik lapisan yang lebih khusus lagi, sedangkan perbedaan
antara satu lapisan dengan lainnya tidak begitu mencolok. Gambaran tipe yang
kedua tersebut di atas adalah sebagai berikut:

Keterangan:
1. Raja (penguasa)
2. Bangsawan dari macam-macam tingkatan
3. Pegawai tinggi (militer dan sipil) orang-
orang kaya, pengusaha, dan sebagainya.
4. Pengacara, tukang, pedagang, petani,buruh
tani dan budak.
Gambar 2.2 Tipe Oligarkis
14

Kelas menengah lazimnya mempunyai warga yang paling banyak, kaum


industri, perdagangan dan keuangan memegang peranan penting. Ada
bermacam-macam cara di mana warga dari lapisan bawah naik tingkat lapisan
dan juga ada kesempatan bagi warga lapisan menengah untuk menjadi
penguasa. Tipe semacam di atas dijumpai pada masyarakat feodal yang telah
berkembang. Variasi tipe kedua tersebut di atas dijumpai pada negara-negara
yang didasarkan pada aliran fasisme dan juga pada negara-negara totaliter
(seperti misalnya Soviet Rusia). Bedanya adalah bahwa kekuasaan yang
sebenarnya, berada di tangan partai politik yang mempunyai kekuasaan
menentukan.
3. Tipe yang ketiga (tipe demokratis) menunjukkan kenyataan akan adanya garis
pemisah antara lapisan yang sifatnya mobil sekali. Kelahiran tidak menentukan
seseorang, yang tepenting adalah kemampuan dan kadang-kadang juga faktor
keberuntungan. Yang terakhir ini terbukti dari anggota-anggota partai politik
yang dalam suatu masyarakat demokratis dapat mencapai kedudukan-
kedudukan tertentu melalui partai. Gambaran tipe ketiga tersebut adalah
sebagai berikut:
Keterangan:
1. Pemimpin-pemimpin politik,
pemimpin partai, orang-orang kaya,
dan pemimpin organisasi besar.
2. Para pejabat administrator dan
kelas-kelas atas dasar keahlian
3. Para ahli teknik, petani, dan
pedagang
4. Para pekerja rendahan dan
petani rendahan

Gambar 2.3 Tipe Demokratis

Gambaran pola piramida kekuasaan di atas merupakan tipe-tipe ideal atau tipe-
tipe idaman. Di dalam kenyataan dan perwujudannya tidak jarang mengalami
penyimpangan-penyimpangan, terutama disebabkan pada setiap
15

masyarakat mengalami perubahan-perubahan sosial dan kebudayaan. Setiap


perubahan sosial dan kebudayaan memerlukan perubahan pula dalam pola-
pola piramida kekuasaan, agar kebutuhan-kebutuhan masyarakat terpenuhi
sesuai dengan perkembangan yang dialami. Adapun stratifikasi kekusaan
tersebut senantiasa ada dasar-dasarnya, sehingga dapat berproses.

2.5 Wewenang

Menurut Malayu (2001:64) dalam buku Manajemen Dasar, Pengertian,


Dan Masalah edisi revisi mengemukakan bahwa wewenang adalah kekuasaan
yang sah dan legal ynag dimiliki seseorang untuk memerintah orang lain, berbuat,
atau tidak berbuat sesuatu, wewenang merupakan dasar hukum yang sah dan legal
untuk dapat mengerjakan sesuatu pekerjaan.
Sebagaimana halnya dengan kekuasaan, maka wewenang juga dapat
dijumpai di mana-mana, walaupun tidak selamanya kekuasaan dan wewenang
berada di satu tangan. Dengan wewenang dimaksudkan sebagai suatu hak yang
telah ditetapkan dalam tata tertib sosail untuk menetapkan kebijaksanaan,
menentukan keputusan-keputusan mengenai masalah-masalah penting dan untuk
menyelesaikan pertentangan-pertentangan. Dengan lain perkataan, seseorang yang
mempunyai wewenang bertindak sebagai orang yang memimpin atau
membimbing orang banyak. Apabila orang membicarakan tentang wewenang,
maka yang dimaksud adalah hak yang dimiliki seseorang atau sekelompok orang.
Tekanannya adalah pada hak, dan bukan pada kekuasaan. Dipandang dari sudut
masyarakat, maka kekuasaan tanpa wewenang, merupakan kekuatan yang tidak
sah. Kekuasaan harus mendapatkan pengakuan dan pengesahan dari masyarakat
agar menjadi wewenang. Wewenang hanya mengalami perubahan dalam bentuk.
Menurut kenyataannya wewenang tadi tetap ada. Perkembangan suatu wewenang
terletak pada arah serta tujuannya untuk sebanyak mungkin memenuhi bentuk
yang diidam-idamkan masyarakat. Wewenang ada beberapa bentuk, sebagai
berikut:

1. Wewenang Kharismatis, Tradisional dan Rasional (Legal)


Perbedaan antara wewenang kharismatis, tradisional dan rasional
(legal) dikemukakan oleh Max Weber. Pembedaan terseut didasarkan pada
16

hubungan antara tindakan dengan dasar hukum yang berlaku. Di dalam


membicarakan ketiga bentuk wewenang tadi Max Weber memperhatikan
sifat dasar wewenang tersebut, karena itulah yang menentukan kedudukan
penguasa yang mempunyai wewenang tersebut.
Wewenang kharismatis merupakan wewenang yang didasarkan pada
kharisma, yaitu suatu kemampuan khusus (wahyu, pulung) yang ada pada
diri seseorang. Kemampuan khusus tadi melekat pada orang tersebut
karena naugerah dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Orang-orang di sekitarnya
mengakui akan adanya kemampuan tersebut atas dasar kepercayaan dan
pemujaan, karena mereka menganggap bahwa sumber kemampuan
tersebut adalah sesuatu yang berada di atas kekuasaan dan kemampuan
manusia umumnya. Sumber kepercayaan dan pemujaan karena
kemampuan khusus tadi pernah terbukti manfaat serta kegunaannya bagi
masyarakat. Wewenang kharismatis tersebut akan dapat tetap bertahan
selama dapat dibuktikan keampuhannya bagi seluruh masyarakat.
Contohnya Nabi, pada Rasul, Penguasa-penguasa terkemuka dalam
sejarah, dan seterusnya. Wewenang kharismatis berwujud suatu wewenang
untuk diri orang itu sendiri, dan dapat dilaksanakan terhadap segolongan
orang atau bahkan terhadap bagian terbesar masyarakat. Jadi, dasar
wewenang kharismatis bukanlah terletak pada suatu peraturan (hukum),
akan tetapi bersumber pada diri pribadi individu bersangkutan. Kharisma
semakin meningkat sesuai dengan kesanggupan individu yang
bersangkutan untuk membuktikan manfaatnya bagi masyarakat, dan
pengikut-pengikutnya akan menikmati. Wewenang kharismatik dapat
berkurang, bila ternyata individu yang memilikinya berbuat kesalahan-
kesalahan yag merugikan masyarakat, sehingga kepercayaan masyarakat
terhadapnya menjadi berkurang.
Wewenang kharismatik tidak diatur oleh kaidah-kaidah, baik yang
tradisional maupun rasional. Sifatnya adalah cenderung irasional.
Adakalanya kharisma dapat hilang, karena masyarakat sendiri yang
berubah dan mempunyai paham yang berbeda. Perubahan-perubahan mana
seringkali tak dapat diikuti oleh orang yang mempunyai wewenang
17

kharismatis tadi, sehingga dia tertinggal oleh kemajuan dan perkembangan


masyarakat.
Wewenang tradisional dapat dipunyai oleh seseorang maupun
sekelompok orang. Dengan kata lain, wewenang tersebut dimiliki oleh
orang-orang yang menjadi anggota kelompok. Kelompok mana sudah
lama sekali mempunyai kekuasaan di dalam suatu masyarakat. Wewenang
tadi dipunyai oleh seseorang atau sekelompok orang bukan karena mereka
mempunyai kemampuan-kemampuan khusus seperti wewenang pda
kharismatis. Akan tetapi karena kelompok tadi mempunyai kekuasaan dan
wewenang yang telah melembaga dan bahkan menjiwai masyarakat.
Demikian lamanya golongan tersebut memegang tampuk kekuasaan,
masyarakat percaya dan mengakui kekuasaannya. Ciri-ciri utama
wewenang tradisional adalah:
a. Adanya ketentuan-ketentuan tradisional yang mengikat penguasa yang
mempunyai wewenang, serta orang-orang lainnya dalam masyarakat.
b. Adanya wewenang yang lebih tinggi ketimbang kedudukan seseorang
yang hadir secara pribadi.
c. Selama taka da pertentangan dengan ketentuan-ketentuan tradisional,
orang-orang dapat bertindak secara bebas.

Pada masyarakat di mana penguasa mempunyai wewenang


tradisional, tidak ada pembatasan yang tegas antara wewenang dengan
kemampuan-kemampuan pribadi seseorang. Dalam hal ini seringkali
hubungan kekeluargaan memegang peranan penting di dalam pelaksanaan
wewenang. Kepercayaan serta kehormatan yang diberikan kepada mereka
yang mempunyai wewenang tradisional biasanya mempunyai fungsi
memberikan ketenangan pada masyarakat. Karenanya masyarakat selalu
mengikatkan diri pada tradisi. Wewenang tradisional dapat juga berkurang
dan bahkan hilang, antara lain karena pemegang wewenang tidak dapat
mengikuti perkembangan masyarakat. Memang, masyarakat yang
menyandarkan diri pada tradisi, harus juga menyesuaikan diri dengan
perubahan-perubahan kemasyarakatan.
18

Wewenang rasional atau legal adalah wewenang yang disandarkan


pada sistem hukum yang berlaku dalam masyarakat. Sistem hukum di sini
dipahamkan sebagai kaidah-kaidah yang telah diakui serta ditaati
masyarakat, dan bahkan yang telah diperkuat oleh negara. Pada wewenang
yang didasarkan pada sistem hukum harus dilihat juga apakah sistem
hukumnya bersandar pada tradisi, agama atau lain-lain factor. Kemudian
harus ditelaah pula hubungannya dengan sistem kekuasaan serta diuji pula
apakah sistem hukum tadi cocok atau tidak dengan sistem kebudayaan
masyarakat, supaya kehidupan dapat berjalan dengan tenang dan tenteram.

Di dalam masyarakat yang demokratis sesuai dengan sistem


hukumnya, maka orang yang memegang kekuasaan diberi kedudukan
menurut jangka waktu tertentu dan terbatas. Gunanya adalah supaya
orang-orang yang memegang kekuasaan tadi akan dapat
menyelenggarakannya sesuai dengan kepentingan masyarakat.
Kemungkinan orang-orang tertentu secara terus menerus memegang
kekuasaan dalam jangka waktu lama seperti halnya pada masyarakat
tradisional adalah kecil sekali. Karena kemungkinan semacam itu akan
menghambat keinginan dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan masyarakat.

Apabila ketiga bentuk wewenang tersebut ditelaah lebih mendalam,


akan terlihat bahwa ketiga-tiganya dapat dijumpai dalam masyarakat
walau mungkin hanya salah satu bentuk saja yang menonjol. Di dalam
suatu masyarakat yang hidup tenang dan stabil, umumnya wewenang
tradisional yang legal amat mengedepan. Dengan meluasnya sistem
demokrasi, maka wewenang tradisional yang diwujudkan dengan
kekuasaan turun menurun, kelihatannya semakin berkurang. Di dalam
masyarakat yang mengalami perubahan-perubahan cepat, mendalam dan
meluas, wewenang kharismatis, mendapat kesempatan untuk tampil ke
muka. Dalam keadaan demikian tradisi tidak mendapat penghargaan
selayaknya dari masyarakat. Lagi pula, kaidah-kaidah dan nilai-nilai sosial
tidak lagi dapat digunakan sebagai pedoman tegas bagi para warga. Karena
itu golongan-golongan masyarakat yang biasa dipimpin, dengan rela hati
19

mengikuti orang yang cakap. Barangsiapa pernah mengalami revolusi fisik


Indonesia pada 1945, akan mengetahui betapa besar daya tarik para
pemimpin masyarakat yang memiliki kharisma di dalam mengarahkan
masyarakat pada waktu itu.

Max Weber mengemukakan pendapat bahwa ada kecenderungan


dari wewenang kharismatis (yang berkurang kekuatannya bila keadaan
masyarakat berubah) untuk dijadikan kekuasaan tetap dengan
mengabdikan kepentingan serta cita-cita para pengikut pemimpin
kharismatis tadi kedalam kehidupan bersama kelompok, dan kepentingan
untuk mempererat hubungan satu dengan lainnya. Masalah akan timbul
bila yang memiliki charisma sudah tak ada lagi. Dalam hal ini ada
beberapa cara yang dapat ditempuh untuk mengatasi masalah tersebut,
yaitu antara lain:

a. Mencari seseorang yang mampu untuk memenuhi ukuran-ukuran atau


kriteria wewenang kharismatis sebagaimana ditentukan oleh
masyarakat.
b. Dengan mengadakan penyaringan atau seleksi
c. Seseorang yang mempunyai wewenang kharismatis, menunjuk
penggantinya serta mengakui kekuasaannya, dimana masyarakat luas
juga mengakuinya.
d. Penunjukkan oleh pembantu-pembantu penguasa terdahulu yang
dipercayai masyarakat
e. Menciptakan suatu sistem kepercayaan, bahwa charisma dapat
diwariskan kepada keturunan atau seseorang yang masih ada hubungan
keluarga dengan orang yang mempunyai charisma tersebut.
f. Menciptakan sistem kepercayaan, bahwa dengan upacara-upacara
tradisional tertentu, charisma dapat dialihkan kepada orang lain

Proses perubahan wewenang kharismatis menjadi kekuasaan dan


wewenang yang tetap, tidak mustahil menimbulkan pertikaian-pertikaian.
20

Bagi penganut wewenang kharismatis, kadang-kadang tidaklah mudah


untuk melupakan kenyataan bahwa wewenang tersebut pernah melekat
pada diri dan pribadinya. Akan tetapi, hal ini bukanlah merupakan
penghalang besar terutama pada masyarakat modern, karena warga
masyarakat umumnya rasional dan menghendaku suatu landasan hukum
yang kuat pada wewenang yang berlaku di dalam masyarakat. Kesulitan-
kesulitan mungkin akan dijumpai pada masyarakat-masyarakat bersahaja
yang masih memelihara sistem kepercayaan.

2. Wewenang Resmi dan Tidak Resmi

Di dalam setiap masyarakat akan dapat dijumpai aneka macam


bentuk kelompok. Dalam kehidupan kelompok-kelompok tadi seringkali
timbul masalah tentang derajat resmi suatu wewenang yang berlaku di
dalamnya. Seringkali wewenang yang berlaku dalam kelompok-kelompok
kecil disebut sebagai wewenang tidak resmi karena bersifat spontan,
situasional, dan didasarkan pada faktor saling mengenal. Wewenang
demikian tidak diterapkan secara sistematis. Keadaan semacam ini dapat
dijumpai misalnya, pada ciri seorang ayah dalam fungsinya sebagai kepala
rumah tangga atau pada diri seorang guru yang sedang mengajar di muka
kelas. Wewenang tidak resmi biasanya timbul dalam hubungan-hubungan
antar pribadi yang sifatnya situasional, dan sangat ditentukan oleh
kepribadian para pihak.

Wewenang resmi sifatnya sistematis, diperhitungkan dan rasional.


Biasanya wewenang tersebur dapat dijumpai pada kelompok-kelompok
besar yang memerlukan aturan-aturan tata tertib yang tegas dan bersifat
tetap. Di dalam kelompok tadi, karena banyaknya anggota, biasanya hak
serta kewajiban para anggotanya, kedudukan serta peranan, siapa-siapa
yang menetapkan kebijaksanaan dan siapa pelaksananya, dan seterusnya
ditentukan dengan tegas. Walau demikian, dalam kelompok-kelompok
besar dengan wewenang resmi tersebut, mungkin saja ada wewenang yang
tidak resmi. Tidak semuanya dijalankan atas dasar peraturan-peraturan
resmi yang sengaja dibentuk. Bahkan demi lancarnya suatu perusahaan
21

besar, misalnya, kadangkala prosesnya didasarkan pada kebiasaan atau


aturan-aturan yang tidak resmi. Contohnya dapat dilihat pada seorang
sekretaris direktur. Ia punya wewenang tidak resmi yang besar. Demikian
pula dapat di dalam suatu lembaga pemasyarakatan, seorang narapidana
tertentu lebih ditakuti oleh rekan-rekannya daripada pegawai lembaga
pemasyarakat yang mempunyai wewenang resmi. Sebaliknya di dalam
kelompok-kelompok kecil mungkin saja ada usaha-usaha untuk
menjadikan wewenang tidak resmi menjadi resmi, karena terlalu seringnya
terjadi pertikaian antar anggota.

3. Wewenang Pribadi dan Teritorial

Pembedaan antara wewenang pribadi dengan territorial sebenarnya


timbul dari sifat dan dasar kelompok-kelompok sosial tertentu. Kelompok-
kelompok tersebut mungkin timbul karena faktor ikatan darah, atau
mungkin juga karena faktor ikatan tempat tinggal, atau karena gabungan
kedua faktor tersebut. Di Indonesia dikenal kelompok-kelompok atas dasar
ikatan darah, misalnya marga, belah, dan seterusnya. Sebaliknya dikenal
pula nama desa, yang lebih didasarkan pada faktor teritorial.

Wewenang pribadi sangat tergantung pada solidaritas antara


anggota-anggota kelompok, dan di sini unsur kebersamaan sangat
menganggap peranan. Para individu dianggap lebih banyak memiliki
kewajiban ketimbang hak. Struktur wewenang bersifat konsentris, yaitu
dari satu titik pusat lalu meluas melalui lingkaran-lingkaran wewenang
tertentu. Setiap lingkaran wewenang dianggap mempunyai kekuasaan
penuh di wilayahnya masing-masing. Apabila bentuk wewennag ini
dihubungkan dengan ajaran Max Weber, maka wewenang pribadi lebih
didasarkan pada tradisi daripada peraturan-peraturan. Juga mungkin
didasarkan pada kharisma seseorang.

Pada wewenang territorial, wilayah tempat tinggal memegang


peranan yang sangat penting. Pada kelompok-kelompok territorial unsur
kebersamaan cenderung berkurang, karena desakan faktor-faktor
22

individualisme. Hal ini tidaklah berarti bahwa kepentingan perorangan


diakui dalam kerangka kepentingan bersama. Pada wewenang territorial
ada kecenderungan untuk mengadakan sentralisasi wewenang yang
memungkinkan hubungan langsung dengan para warga kelompok.
Walaupun di sini dikemukakan pembedaan antara wewenang pribadi
dengan territorial, namun di dalam kenyataannya kedua bentuk wewenang
tadi dapat saja hidup berdampingan. Pada desa-desa di Jawa, misalnya,
wewenang territorial lebih berperanan, di samping ada kecenderungan-
kecenderungan untuk mengakui wewenang dari golongan pemilik tanah
(kuli kenceng) dan sifatnya turun-temurun dan didasarkan pada ikatan atau
hubungan darah. Akan tetapi sebaliknya ada pula kenyataan-kenyataan
yang membuktikan bahwa terdapat wewenang-wewenang dan territorial
yang murni sifatnya.

4. Wewenang Terbatas dan Menyeluruh


Suatu dimensi lain dari wewenang adalah pembedaan antara
wewenang terbatas dengan wewenang menyeluruh. Apabila dibicarakan
tentang wewenang terbatas, maka maksudnya adalah wewenang tidak
mencakup semua sektor atau bidang kehidupan. Akan tetapi hanya terbatas
pada salah satu sektor atau bidang saja. Misalnya, seorang jaksa di
Indonesia, mempunyai wewenang untuk atas nama negara dan mewakili
masyarakat menurut seorang warga masyarakat yang melakukan tindak
pidana. Namun jaksa tidak berwenang mengadilinya. Contoh lain adalah
seorang menteri Dalam Negeri, tidak mempunyai wewenang untuk
mencampuri urusan-urusan yang menjadi wewenang menteri Luar Negeri.
Wewenang semacam ini sebenarnya lazim, terutama dalam masyarakat
yang sudah rumit susunan dan organisasinya. Namun demikian, wewenang
yang menyeluruh juga suatu ciri dari suatu negara.
Suatu wewenang menyeluruh berarti suatu wewenang yang tidak
dibatasi oleh bidang-bidang kehidupan tertentu. Suatu contoh adalah,
mislanya, bahwa setiap negara mempunyai wewenang yang menyeluruh
atau mutlak untuk mempertahankan kedaulatan wilayahnya. Jadi, apakah
suatu wewenang bersifat terbatas atau menyeluruh, tergantung dari sudut
23

penglihatan pihak-pihak yang ingin menyorotinya. Adalah suatu kenyataan


pula bahwa kedua bentuk wewenang tadi dapat berproses secara
berdampingan, di mana pada situasi-situasi tertentu salah satu bentuk lebih
berperan dari pada bentuk lainnya.

Sedangkan jenis-jenis wewenang menurut Wiludjen (2007:102) adalah sebagai


berikut:

a. Wewenang Lini / Line authority / relationship


Wewenang lini terjadi bila terdapat hubungan wewenang langsung antara
atasan-bawahan, yang berarti tiap manajer melaksanakan wewenang yang
utuh kepada seluruh bawahan nya.
b. Wewenang Staf/ Staff authority/relationship
Biasanya staff mempunyai hak untuk memberikan saran usulan dan pendapat
pada para manajer lini, dimana manajer lini adalah orang orang yang
bertanggung jawab atas keberhasilan atau kegagalan organisasi.
Dengan adanya wewenang staf ini, terdapat keuntungan maupaun kelemahan
yang ditimbulakan terhadap organisasi.
Adapun keuntunaga nya sebagai berikut :
1) Bisa mendapatkan saran-saran dari para ahli dalam berbagai area dalam
organisasi
2) Para ahli dalam fungsi staff mempunyai cukup waktu untuk berpikir,
mengumpulkan data dan menganalisa nya dimana manajer lininya tidak
dapat melalukan nyaa.
3) Dapat membantu manajer lini agar bias bekerja efektif.

Sedangkan kelemahannya adalah :


1) Mengabaikan wewenang lini dari manajer departemen.
2) Kurangnya tanggung jawab staff.
3) Kemungkinan adanya perbedaan pola pikir staf dengan realitanya, karena
mereka tidak benar-benar menerapkan apa yang mereka sarankan.
4) Dilanggar nya prinsip kesatuan perintah (unity of command)
24

5) Terlalu banyak aktivitas staf dapat menyulitkan control dari manajer lini.
c. Wewenang Fungsional/ Functional authority
Hak yang didelegasikan kepada seorang individu atau departemen
untukmengontrol aktivitas yang spesifik yang dilakukan oleh karyawan dimana
pun aktivitas itu berada dalam organisasi (dalam departemen lain).
d. Wewenang Kewibawaan / Personality authority
Wewenang kewibawaan seseorang adalah karena kecakapan, perilaku,
ketangkasan, dan kemampuan, sehingga ia disegani.

2.6 Kepemimpinan (Leadership)


1. Umum

Menurut Soekanto (2002:288) Kepemimpinan (leadership) adalah


kemampuan seseorang (yaitu pemimpin atau leader) untuk mempengaruhi orang
lain (yaitu yang dipimpin atau pengikut-pengikutnya). Sehingga orang lain
tersebut bertingkah-laku sebagaimana dikehendaki oleh pemimpin tersebut.
Kadangkala dibedakan anatra kepemimpinan sebagai kedudukan dengan
keoemimpinan sebagai suatu proses sosial (Koentjoroningrat, 1967:181). Sebagai
kedudukan, kepemimpinan merupakan suatu kompleks hak-hak dan kewajiban-
kewajiban yang dapat dimiliki oleh seseorang atau suatu badan. Sebagai suatu
proses sosial, kepemimpinan meliputi segala tindakna yang dilakukan seseorang
atau suatu badan yang menyebabkan gerak dari warga masyarakat.

Kepemimpinan ada yang bersifar resmi (formal leadership), yaitu


kepemimpinan yang tersimpul di dalam suatu jabatan. Ada pula kepemimpinan
karena pengakuan masyarakat akan kemampuan seseorang untuk menjalankan
kepemimpinan. Suatu perbedaan yang mencolok antara kepemimpinan yang resmi
dengan yang tidak resmi (informal leadership) adalah kepemimpinan yang resmi
di dalam pelaksanaannya selalu harus berada di atas landasan-landasan atau
peraturan-peraturan resmi. Sehingga dengan demikian cakupannya agak terbatas.
Kepemimpinan tidak resmi, mempunyai ruang lingkup tanpa batas-batas resmi,
karena kepemimpinan demikian didasarkan atas pengakuan dan kepercayaan
25

masyarakat. Ukuran benar tidaknya kepemimpinan tidak resmi terletak pada


tujuan dan hasil pelaksanaanan kepemimpinan tesebut, menguntungkan atau
merugikan masyarakat. Walaupun seorang pemimpin (yakni yang melaksanakan
kepemimpinan) yang resmi tidak boleh menyimpang dari peraturan-peraturan
resmi yang menjadi landasannya, akan tetapi dapat melakukan kebijaksanaan
yang dapat memncarkan kemampuan mereka sebagai pemimpin. Misalnya,
kebijaksanaan tesebut dapat diwujudkan du dalam memilih waktu untuk
melaksanakan peraturan-peraturan atau memilih orang-orang yang langsung
berhubungan dengan masyarakat untuk melaksanakan peraturan dan seterusnya.
Kepemimpinan yang tidak resmi dapat dilakukan pula dalam suatu jabatan resmi
dan tentu saja lebih leluasa di dalam masyarakat yang belum dipagut peraturan-
peraturan resmi. Dalam bidang yang terakhir tadi, seorang pemimpin dapat
menggerakkan kekuatan-kekuatan masyarakat untuk mencapai tujuan tertentu.

2. Perkembangan Kepemimpinan dan Sifat-Sifat Seorang Pemimpin

Kepemimpinan merupakan hasil organisasi sosial yang telah terbentuk


atau sebagai hasil dinamika interaksi sosial. Sejak mula terbentuknya suatu
kelompok sosial, sesorang atau beberapa orang di antara warga-warganya
melakukan peranan yang lebih aktif daripada rekan-rekanya, sehingga orang tadi
atau beberapa orang tampak lebih menonjol dari lain-lainnya. Itulah asal mula
timbulnya kepemimpinan (Krech dan Crutshfield, 1948:434), yang kebanyakan
timbul dan berkembang dalam struktur sosial yang kurang stabil. Munculnya
seseorang pemimpin sangat diperlukan dalam keadaan-keadaan di mana tujuan
kelompok sosial yang bersangkutan terhalang atau apabila kelompok tadi
mengalami ancaman dari luar. Dalam keadaan demikian, agak sulit bagi warga
kelompok menentukan langkah-langkah yang harus diambil untuk mengatasi
kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Mucullah seseorang yang mempunyai
kemampuan menonjol yang diharapkan akan menanggulangi segala kesulitan-
kesulitan yang ada.

Munculnya seorang pemimpin merupakan hasil dari suatu proses dinamis


yang sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan kelompok. Apabila pada saat tersebut
muncul seorang pemimpin, maka kemungkinan besar kelompok-kelompok
26

tersebut akan mengalami disintegrasi. Tidak munculnya pemimpin tadi adalah


mungkin karena seseorang individu yang diharapkan akan menjadi pimpinan,
ternyata tidak berhasil membuka jalan bagi kelompok unruk mencapai tujuannya
dan dengan begitu kebutuhan warga tidak terpenuhi.

Sifat-sifat yang diisyaratkan bagi seorang pemimpin tidaklah sama pada


setiap masyarakat. Walaupun tidak jarang ada persamaan-persamaan di sini. Di
kalangan masyarakat Indonesia, sifat-sifat yang harus dipenuhi oleh seorang
pemimpin, antara lain dapat dijumpai dalam apa yang merupakan warisan
tradisional Indonesia, misalnya dalam “Asta Brata” yang merupakan kumpulan
seloka dalam Ramayana, yang memuat ajaran Sri Rama kepada Bharata, yaitu
adiknya dari lain ibu. Secara singkat dapat diceritakan bahwa seloka tersebut
berkisar pada cerita tentang kerajaan Ayodhya yang diperintah oleh raja
Dacaratha berputrakan raja antara lain Sri Rama, Laksamana, dan Bharata. Yang
terakhir adalah putra seorang selir bernama dewi Kekayi. Yang berhak menjadi
pengganti raja Dacaratha sebetulnya adalah Sri Rama, akan tetapi waktu sang raja
menikahi dewi Kekayi, beliau pernah berjanji bahwa kelak putranya akan
dijadikan raja. Dewi Kekayi yang tidak lupa pada janji tersebut kahirnya
menuntut agar anaknya Bharata dinobatkan menjadi raja, sedangkan Sri Rama
dibuang ke hutan. Sri Rama yang mengetahui betapa putus asa ayahnya dalam
menghadapi keadaan itu, dengan sukarela menyerahkan mahkota kerajaan kepada
adiknya Bharata. Dia sendiri bersama istrinya, Shinta dan adinya Laksamana
masuk hutan. Bharata yang sangat menghormati kakaknya, tidak mau menjadi
raja, dan kemudian menyusul kakaknya. Akan tetapi, Sri Rama tetap pada
pendiriannya dan memberikan nasihta-nasihat kepada adiknya Bharta tentang
bagaimana dia harus berlaku sebagai pemimpin yang baik. Nasihat-nasihat
tersebut dinamakan Asta-Brata (artinya delapan jalan). (Wirjosuparto, 1964).

Menurut Asta Brata, pada diri seorang raja terkumpul sifat-sifat dari
delapan dewa yang masing-masing mempunyai kepribadian sendiri. Kedelapan
sifat dan kepribadian itulah yang harus dijalankan oleh seseorang raja (pemimpin)
yang baik. Asta Brata dalam kakawin Ramayana, terdiri
27

dari sepuluh seloka, di mana seloka pertama dan kedua, pada pokoknya berisikan
hal-hal sebagai berikut:

a. Bahwa Asta Brata merupakan suatu keseluruhan yang tidak dapat dipisah-
pisahkan.
b. Asta Brata memberikan kepastian bahwa seorang pemimpin yang
menjalankannya akan mempunyai kekuasaan dan kewibawaan sehingga
akan dapat menggerakkan bawahannya. Keadaan demikian dapat
menghindari terjadinya krisis kepemimpinan. Krisis kepemimpinan akan
terjadi oleh karena pemimpin tidak berani mengambil keputusan, bertindak
dan tidak jujur.

Menurut Asta Brata tersebut, kepemimpinan yang akan berhasil, harus


memenuhi syarat-syarat sebagai berikut.

a. Indra-brata, yang memberi kesenangan dalam jasmani.


b. Yama-brata, yang menunjuk pada keahlian dan kepastian hukum.
c. Surya-brata, yang menggerakkan bawahan dengan mengajak mereka untuk
bekerja persuasion.
d. Caci-brata, yang memberi kesenangan rohaniah.
e. Bayu-brata, yang menunjukkan keteguhan pendidikan dan rasa tidak segan-
segan untuk turut merasakan kesukaran-kesukaran pengikut-pengikutnya.
f. Dhana-brata, menunjukkan pada suatu sikap yang patut dihormati.
g. Paca-brata, yang menunjukkan kelebihan di dalam ilmu pengetahuan,
kepandaian dan keterampilan.
h. Agni-brata, yaitu sifat memberikan semangat kepada anak buah.

Demikianlah beberapa sifat atau syarat yang harus dimiliki oleh sesorang
pemimpin yang baik menurut mitologi Indonesia. Sifat-sifat tersebut dengan
perubahan di sana-sini dapat diterapkan pula dalam kepemimpinan yang modern.
28

3. Kepemimpinan Menurut Ajaran Tradisional


Ajaran-ajaran tradisional seperti misalnya di Jawa, menggambarkan tugas
seorang pemimpin melalui pepatah sebagai berikut:
Ing ngarsa asung tuladha
Ing madya mangun karsa
Tut wuri handayani

Pepatah tersebut sering dipergunakan oleh Ki Hajar Dewantara, yang apabila


diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia kurang lebih adalah sebagai berikut:

Di muka memberi tauladan


Di tengah-tengah membangun semangat
Di belakang memberikan pengaruh
Seorang pemimpin di muka, harus memiliki idealisme kuat, serta
kedudukan tersebut. Akan tetapi, menurut watak dan kecakapannya, seorang
pemimpin dapat dikatakan pemimpin di muka, di tengah, dan di belakang (front
leader, social leader, dan rear leader).
Seorang pemimpin di muka, harus memiliki idealisme kuat, serta dia harus
dapat menjelaskan cita-citanya kepada masyarakat dengan cara-cara sejelas
mungkin. Karena dia harus mampu menentukan suatu tujuan bagi masyarakat
yang dipimpinnya, serta merintis ke arah tujuan tersebut dengan menghilangkan
segala hambatan, antara lain dengan menghapuskan lembaga-lembaga
kemasyarakatan yang telah using. Bahayanya bagi pemimpin muka adalah,
kemungkinan berjalannya terlalu cepat, sehingga masyarakat yang dipimpinnya
tertinggal jauh.
Seorang pemimpin di tengah-tengah, mengikuti kehendak yang dibentuk
masyarakat. Ia selalu dapat mengamati jalannya masyarakat, serta dapat
merasakan suka dukanya. Dari dia diharapakan dapat merumuskan perasaan-
perasaan serta keinginan-keinginan masyarakat dan juga menimbulkan keinginan
masyarakat untuk memperbaiki keadaan yang kurang menguntungkan.
29

Pemimpin dibelakang diharapkan mempunyai kemampuan untuk


mengikuti perkembangan masyarakat. Dia berkewajiban untuk menjaga
agar perkembangan masyarakat tidak menyimpang dari norma-norma dan
nilai-nilai yang pada suatu masa dihargai oleh masyarakat. Sendi-sendi
kepemimpinannya adalah keutuhan dan harmoni. Pemimpin yang demikian
berkecenderungan untuk menjadi formalistis, bahkan tradisionalis.
Kepemimpinan di belakang masih jelas tergambar dari istilah-istilah seperti
“Pamong Praja”, “Pamong Desa”, dan seterusnya, yang menggambarkan
bahwa fungsi pemimpin adalah untuk membimbing masyarakat.
Sifat kepemimpinan di belakang tersebut dengan jelas tersirat dalam
pepatah adat asal Minangkabau yang diterjemahkan sebagai berikut:
Sebatang kayu yang besar di tengah lapang,
Tempat berlindung di waktu hujan,
Tempat bernaung di waktu panas,
Urat-uratnya tempat bersandar.
Memang kepemimpinan tardisional di Indonesia, pada umumnya bersifat
sebagai kepemimpinan di belakang, yang hingga dewasa ini masih tetap
dipertahankan terutama pada masyarakat-masyarakat tradisional, yaitu
masyarakat-masyarakat hukum adat.
4. Sandaran-sandaran Kepemimpinan dan Kepemimpinan yang Dianggap
Efektif
Kepemimpinan seseorang (pemimpin) harus mempunyai sandaran-
sandaran kemasyarakatan atau social basis. Pertama-tama, kepemimpinan erat
hubungannya dengan susunan msyarakat. Masyarakat-masyarakat yang agraris di
mana belum ada spesialisasi, biasanya kepemimpinnan meliputi seluruh bidang
kehidupan masyarakat.
Kekuatan kepemimpinan juga ditentukan oleh suatu lapangan kehidupan
masyarakat yang pada suatu saat mendapat perhatian khusus dari masyarakat yang
disebut cultural focus. Cultural focus dapat berpindah-pindah, misalnya pada
suatu waktu pada lapangan politik, lain waktu pada lapangan hukum, kemudian
lapangan ekonomi dan seterusnya. Apabila pada suatu saat cultural focus beralih,
maka si pemimpin pun harus mampu
30

mengalihkan titik berat kepemimpinnanya pada cultural focus yang baru. Setiap
kepemimpinan yang efektif harus memperhitungkan social basis apabila tidak
menghendaki timbulnya ketegangan-ketegangan atau setidak-tidaknya terhindar
dari pemerintahan boneka belaka.
Kepemimpinan di dalam masyarakat-masyarakat hukum adat yang
tradisional dan homogen, perlu disesuaikan dengan susunan masyarakat tersebut
yang masih tegas-tegas dan memperlihatkan ciri-ciri paguyuban. Hubungan
pribadi antara pemimpin dengan yang dipimpin sangat dihargai. Hal ini
disebabkan pemimpin-pemimpin pada masyarakat tersebut adalah pemimpin yang
tidak resmi (informal leaders) yang mendapatakan dukungan tradisi atau karena
sifat-sifat pribadinya yang menonjol. Dengan sendirinya, masyarakat lebih
menaruh kepercayaan terhadap pemimpin-pemimpin tersebut, beserta peraturan-
peraturan yang dikeluarkannya.
Perlu juga dicatat, bahwa kepemimpinan dalam masyarakat-masyarakat
tradisional, pada umumnya dilaksanakan secara kelogial (bersama-sama). Seorang
penyumbang marga sebagai kepala adat di daerah Lampung misalnya, tidak akan
bertindak sendiri sebelum dirundingkan dalam suatu rapat yang dinamakan
proatin. Sifat kolegial dari daerah Minangkabau tercermin dari pepatah adatanya
yang berbunyi (terjemahan):
Air memancar dengan bulat karena pembuluh,
Dan putusan menjadi bulat karena mufakat.
Dengan demikian, maka putusan para pemimpin tersebut sekaligus
merupakan pula rasa keadilan masyarakat yang bersangkutan. Pada umumnya
para pemimpin masyarakat tradisional adalah pemimpin-pemimpin di belakang
atau di tengah. Jarang sekali ada pemimpin di muka. Sebaliknya, apabila ditinjau
dan ditelaah keadaan di kota-kota besar, maka susunan masyarakat kota tersebut
menghendaki kepemimpinan yang lain dan kepemimpinan pada masyarakat
tradisional. Untuk memenuhi kebutuhan setiap golongan masyarakat kota, tak lagi
dapat dilaksanakan melalui hubunagn-hubungan pribadi. Kebijaksanaan-
kebijaksanaan rasionallah yang lebih diperlukan.
31

5. Tugas dan Metode


Secara sosiologis, tugas-tugas pokok seorang pemimpin adalah:
a. Memberikan suatu kerangka pokok yang jelas yang dapat dijadikan
pegangan bagi pengikut-pengikutnya. Dengan adanya kerangka pokok
tersebut, maka dapat disusun suatu skala prioritas mengenai keputusan-
keputusan yang perlu diambil untuk menanggulangi masalah-masalah
yang dihadapi (yang sifatnya potensial atau nyata). Apabila timbul
pertentangan, maka kerangka pokok tersebut dapat digunakan sebagai
pedoman untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi.
b. Mengawasi, mengendalikan serta menyalurkan perilaku masyarakat yang
dipimpinnya.
c. Bertindak sebagai wakil kelompok dunia di luar kelompok yang
dipimpin.
Suatu kepemimpinan (leadership) dapat dilaksanakan atau diterapkan
dengan berbagai cara (metode). Cara-cara tersebut lazimnya dikelompokkan ke
dalam kategori-kategori, sebagai berikut:
a. Cara-cara otoriter, yang ciri-ciri pokoknya adalah sebagai berikut.
1) Pemimpin menentukan segala kegiatan kelompok secara sepihak.
2) Pengikut sama sekali tiak diajak untuk ikut serta merumuskan tujuan
kelompok dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut.
3) Pemimpin terpisah dari kelompok seakan-akan tidak ikut dalam
proses interaksi di dalam kelompok tersebut.
b. Cara-cara demokratis dengan ciri-ciri umum sebagai berikut:
1) Secara musyawarah dan mufakat pemimpin menagjak warga atau
anggota kelompok untuk ikut serta merumuskan tujuan-tujuan yang
harus dicapai kelompok, serta cara-cara untuk mencapai tujuan-
tujuan tersebut.
2) Pemimpin secara aktif memberikan saran dan petunjuk-petunjuk.
3) Ada kritik positif, baik dari pemimpin maupun dari pengikut-
pengikut.
4) Pemimpin secara aktif ikut berpasrtisipasi di dalam kegiatan-kegiatan
kelompok.
32

c. Cara-cara bebas dengan ciri-ciri pokok sebagai berikut:


1) Pemimpin menajalankan perannya secara pasif.
2) Penentuan tujuan yang akan dicapai kelompok sepenuhnya
diserahkan kepada kelompok.
3) Pemimpin hanya menyediakan sarana yang diperlukan kelompok.
4) Pemimpin berada di tengah-tengah kelompok, namun dia hanya
berperan sebagai penonton.
Sebenarnya ketiga kategori di atas dapat berlangsung bersamaan, karena
metode mana yang terbaik senantiasa tergantung pada situasi yang dihadapi. Cara-
cara demokratis, umpamanya, mungkin hanya dapat diterapkan di dalam
masyarakat yang warganya mempunyai taraf pendidikan cukup. Cara-cara otoriter
mungkin lebih tepat untuk diterapkan di dalam masyarakat yang sangat heterogen,
sedangkan cara-cara bebas lebih cocok diterapkan bagi masyarakat yang relatif
homogen.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain menurut
kehendak yang ada pada pemegang kekuasaan tersebut. Kekuasaan terdapat di
semua bidang kehidupan dan dijalankan. Kekuasaan mencakup kemampuan untuk
memerintah (agar yang diperintah patuh) dan juga untuk memberi keputusan-
keputusan yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi tindakan-
tindakan pihak-pihak lainnya.
Unsur-unsur saluran kekuasaan dan dimensinya meliputi rasa takut, rasa
cinta, kepercayaan, dan pemujaan. Sedangkan cara untuk mempertahankan
kekuasaan yaitu dengan jalan menghilangkan segenap peraturan-peraturan lama,
terutama dalam bidan politik, yang merugikan kedudukan penguasa, mengadakan
sistem-sistem kepercayaan (belief-systemsi) yang akan dapat memperkokoh
kedudukan penguasa atau golongannya, pelaksanaan administrasi dan birokrasi
yang baik serta mengadakan konsolidasi horizontal dan vertikal.Bentuk lapisan
kekuasaan ada 3 yaitu: tipe kata, tipe oligarkis, serta tipe demokratis.

Wewenang adalah kekuasaan yang sah dan legal ynag dimiliki seseorang
untuk memerintah orang lain, berbuat, atau tidak berbuat sesuatu, wewenang
merupakan dasar hukum yang sah dan legal untuk dapat mengerjakan sesuatu
pekerjaan.Sebagaimana halnya dengan kekuasaan, maka wewenang juga dapat
dijumpai di mana-mana, walaupun tidak selamanya kekuasaan dan wewenang
berada di satu tangan.

Wewenang ada beberapa bentuk, yaitu Wewenang Kharismatis,


Tradisional dan Rasional (Legal), wewenang resmi dan tidak resmi, wewenang
pribadi dan territorial, serta wewenag terbatas dan menyeluruh.

Kepemimpinan (leadership) adalah kemampuan seseorang (yaitu


pemimpin atau leader) untuk mempengaruhi orang lain (yaitu yang dipimpin atau
pengikut-pengikutnya). Sehingga orang lain tersebut bertingkah-laku sebagaimana
dikehendaki oleh pemimpin tersebut.

33
34

Kepemimpinan ada yang bersifar resmi (formal leadership), yaitu


kepemimpinan yang tersimpul di dalam suatu jabatan. Ada pula kepemimpinan
karena pengakuan masyarakat akan kemampuan seseorang untuk menjalankan
kepemimpinan. Suatu perbedaan yang mencolok antara kepemimpinan yang resmi
dengan yang tidak resmi (informal leadership) adalah kepemimpinan yang resmi
di dalam pelaksanaannya selalu harus berada di atas landasan-landasan atau
peraturan-peraturan resmi.

3.2 Saran
Dengan adanya makalah ini, diharapkan para pembaca dapat memahami
mengenai kekuasaan, wewenang, dan kepemimpinan dalam hidup di dalam
masyarakat. Selain dari itu penulis mengharapkan kritikan dan saran yang dapat
membangun atau untuk menyempurnakan pembuatan makalah yang selanjutnya.
DAFTAR RUJUKAN

Hasibuan, Malayu S.P. 2001. Manajemen : Dasar, Pengertian, Dan Masalah.


Jakarta : Penerbit PT. Bumi Aksara.
Soekanto, Soerjono. 2002. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.

Wiludjen, Sri. 2007. Pengantar Manajemen. Yogyakarta : Penerbit Graha Ilmu.

35

Anda mungkin juga menyukai