Agustus 2004
R. Z. Leirissa
Abstrak
This article examines the theory of Collective Action of Charles Ti16. , since he studied
the vendee event and scene another "collective action" cases happened in France
during the 16 th century to the 20 th century. This theory is developed to analyze
revolution happened in Asia, Africa and Latin America regions since 1940s According
to the writer, this theory could he used to analyze Indonesian revolution as well,
both in macro and micro level
METODOLOGI
banyak terjadi di Asia, Amerika Latin dan Afrika, yaitu collective action
terhadap kckuasaan politik kaum kolonial. Hal ini perlu ditandaskan
karena collective action tidak sclalu hams bersifat politik seperti yang
terjadi di kalangan petani yang bertujuan sekadar untuk
mempertahank an hak-haknya.
Collective action, seperti dirumuskan Tiny, adalah suatu peristiwa
ketika "orang bersama-sama berjuang untuk mencapai kepentingan
bersama" (people acting together in pursuit of common interest). Jelas,
Tilly mcnekankan common interest sebagai unsur terpenting, bukan
ideologi seperti dalam pendekatan individual dan pcndekatan stniktural.
Orang bertindak bersama-sama, menurut Tilly, bisa terjadi karena
dua hal, yaitu (a) dorongan dari luar seperti dikemukakan dalam
pendekatan stmktural, dan (b) karena motivasi individu tertentu dalam
masyarakat seperti dikemukakan dalam pendekatan individualis.
(1978: 6) mcmilih untuk mengkombinasikan keduanya. Dengan
demikian teori yang dibangun Tilly dapat digolongkan dalam teori
strukturis yang digunakan dalam pendekatan (metodologi) strukturis.
Dalam hal ini dorongan eksternal atas struktur sosial tersebut (a)
berinteraksi dengan unsur individu atau kelompok sosial yang berasal
dan struktur sosial itu juga, (b) yang dalam pcndekatan strukturis
disebut sebagai agency.
Berdasarkan penclitiannya, Tilly (1978: 51) membedakan tiga
jenis collective action masing-masing dengan faktor penyebabnya
sendiri. Jcnis pertama adalah competitive collective action, yaitu adanya
dua pihak atau lebih yang bcrsaing untuk mercbut atau menegakkan
sesuatu. Dalam scjarah Eropa jenis collective action ini terutama
muncul dalam abad ke-15 dan abad kc-16 ketika lembaga negara belum
ada atau barn berdiri. Dalam hal ini faktor penycbabnya adalah
kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat (disposition). Di Indonesia
collective action jenis ini belum pernah diteliti dan mungkin secara
kronologis berbeda dengan yang terjadi di Eropa karena scjarah politik
di Indonesia juga berbeda dengan yang terjadi di Eropa seperti
mengenai timbul tenggelamnya kerajaan-kerajaan dan intervensi
kolonial.
Collective action jenis kcdua adalah reactive collective action,
yakni upaya kelompok masyarakat untuk mengembalikan hak-hak yang
mapan yang tclah digusur olch pihak tcrtentu, terutama negara dan
lembaga-lembaganya. Jenis collective action ini ditemukan terjadi di
Eropa selama abad ke-17 hingga abad ke-19. Faktor penyebab dalam
jenis ini adalah "tergusurnya hak-hak yang telah mapan dalam
masyarakat" Seperti dibuktikan dalam salah satu discrtasi, collective
action jenis ini juga terdapat di Indonesia dalam abad ke-18 (Leirissa
1996). Mungkin sekali penclitian selanjutnya akan bisa membuktikan
5 R.Z. Leirissa, Charles Tilly dan Revolusi
bahwa jenis ini terdapat juga di Indonessia sejak abad ke-17 hingga
abad kc-19.
Jenis collective action ketiga yang ditemukan Tilly adalah
proactive collective action, yaitu upaya kelompok masyarakat untuk
menciptakan suatu struktur sosial yang barn yang sebelumnya tidak ada.
Jenis ini terutama terdapat dalam abad ke-20. Salah satu variasinya
adalah "revolusi" yang terutama terdapat di Asia. Amcrika Latin, dan
Afrika dengan faktor penyebab bersifat politis.
TEORI "COLLECTIV E ACTION"
"REvoLtmorr.
Kedua model yang telah diuraikan – yakni model polity dan mobilisasi
dapat digunakan untuk meneliti ketiga jenis collective action yang telah
discbut yaitu kompetitif, reaktif, dan proaktif. Tetapi dalam studinya
Tilly secara khusus membahas teori untuk mempelajari revolusi yang
banyak terjadi dalam abad ke-20 di Asia. Afrika dan Amerika Latin.
Teori itu bisa juga digunakan untuk mempelajari gejala-gejala lain
dalam abad ke-20 seperti, misalnya, pemogokan, demonstrasi,
pemilihan umum, pemberontakan, dan revolusi (halaman 159-222).
Jurnal Sejarah Vol. 6, No. I, Agustus 2004 3
Hasil Revolusi
Hasil akhir suatu revolusi ditentukan oleh berbagai hal, seperti bentuk
koalisi revolusioner antara organisasi penantang dengan berbagai
pesaing lain dalam masvarakat untuk menghadapi pemerintah, dan
berhasilnya organisasi penantang itu untuk menguasai sebagian dari
ketentaraan. Makin efektif koalisi revolusioner itu makin menyeluruh
pula hasil revolusi, karena terjadi peralihan kekuasaan yan2
menyeluruh. Tetapi koalisi revolusioner juga bisa menyebabkan
terbaginya kekuasaan di antara pihak-pihak yang berkoalisi itu (halaman
211-16).
"REVOLUTIONARY SEQUENCE"
Dengan demikian dapat disimpuikan bahwa proses suatu revolusi adalah
sebagai berikut (hlm. 216-219): (1) mobilisasi para pesaing untuk
mengkl aim pem erint ahan; (2) ma kin banya k ora ng yang
mcnerimaimengakui klaim tersebut; (3) pemerintah tidak berhasil
menahan pesaing; (4) terjadi koalisi untuk mengendalikan bagian-
bagian dan pemerintahan, (5) koalisi berusaha memperluas
pengendaliannya atas pemerintahan; (6) pesaing menang dan
membentuk polity bare; dan (7) pelaksanaan pemerintahan secara rutin.
Secara umum dapat dikatakan terdapat dua model revolusi.
Pertama, model tention release atau pelepasan ketegangan politik.
Dalam model ini revolusi berlangsung tidak sempuma karena koalisi
revolusioner buyar sebelum tujuan revolusi tercapai sehingga revolusi
kehilangan momenturrinnya. Revolusi dengan demikian terjadi hanya
untuk mengatasi ketegangan politik yang terdapat dalam masyarakat.
Kedua, model pertarungan politik di antara pesaing (contenders). Dalam
model ini biasanya disertai kekerasan kolektif yang intensitasnya
sebanding dengan tingkat represif. Bahkan pertaningan itu dapat pula
meluas menjadi perang. Bila tujuan revolusi telah tercapai yakni
peralihan kekuasaan maka koalisi revolusioner bisa buyar karena tidak
mendapat dukungan massa lagi.
Hasil revolusi adalah peralihan kekuasaan, suatu bentuk
perubahan sosial. Namun suatu revolusi sangat jarang menghasilkan
perubahan besar, seperti perubahan dalam redistribusi sumber daya atau
peningkatan kualitas hidup, industrialisasi, atau urbanisasi, Sudah tentu
pihak yang menang dapat menggunakan kekuasaannya untuk
me lakukan hal-hal itu pada masa pascarevolusi (halaman 217-22).
KESIMPULAN
Jurnal Sejarah Vol. 6, No. .1, Agustus 2004 6
(nasional) rnaupun secara mikro (lokal). Selain itu teori tersebut dapat
digunakan untuk mempclajari berbagai perang antara kerajaan-kcrajaan
di Indonesia dengan Bclanda. Scmua variabel collective action dapat
digunakan scbagai patokan. Demikian pula variabel-variabel revolusi
danat diErimakan den van penvi-simirin seperlnya_ Penyesna;an
diperlukan, umpamanya, karena scrnua perang yang berlangsung sejak
abad ice-17 berakhir dengan kekalahan pihak kerajaan. Berbagai
pertarungan tersebut jelas tidak mengikuti model tension release, tetapi
kcicmahannya dapat dicari pada hal-hal lain yang menyangkut sumber
daya (teknologi persenjataan), tidak adanya koalisi, dan sebagainya.
Ke,,dart tanhi Afr,,at dii,”bangi dangan uraian. yang
mengenai variabel interes dari setiap pertarungan di antara pesaing itu.
DAFTARACUAN
Gcertz, Clifford (1980), Negara: The Theatre State in Nineteenth Century Bah.
Princeton: Princeton University Press.
La& rie, Emmanuel Le Roy (1979), Carnival in ROMattS (terj. dari bahasa Prancis). New
York: George Bmziler, Inc.
Leirissa. R. Z. (1990), Halmahera Tnrner dan Raja Jailolo: Pergolakan di Sekitar Laut
Seram. Jakarta! Balai Pustaka.
Lloyd, Christopher (1986), Explanation in Social History. London: Basil Blackwell
(1993), The Smictures ofHistory. London: Basil Blackwell.
McCullagh, C. Behan (1998), The Truth of History. London New York: Roulledge.
Tilly, Charles (1978), Prom Alobilizafion to Revolution. Reading (Mass.): Addison-
Wesley Publication Company.
(1981), As Sociology Meer.s. History. San Diego: Academic Press.