Anda di halaman 1dari 13

JURNAL SEJARAH Vol 6, No 1.

Agustus 2004

Charles Tilly dan Studi tentang Revolusi

R. Z. Leirissa

Abstrak

This article examines the theory of Collective Action of Charles Ti16. , since he studied
the vendee event and scene another "collective action" cases happened in France
during the 16 th century to the 20 th century. This theory is developed to analyze
revolution happened in Asia, Africa and Latin America regions since 1940s According
to the writer, this theory could he used to analyze Indonesian revolution as well,
both in macro and micro level

Ka ta Kunci : teori, metodologi, Charles Tilly, revolusi.

METODOLOGI

Tujuan setiap cabang ilmu adalah "berupaya mengungkapkan ciri-ciri


struktural dari fenomena dan mekanisme pcnycbabnya, yang bersifat
umum, dan mungkin yang terpendam_" Emu mcnggunakan konsep
kedalaman multilapisan. Lapisan yang tampak hams dapat dijelaskan
dengan cara menampakkan sifat-sifat umumnya. Oleh karena itu ". . .
ilmu dibangun atas dan melampaui deskripsi dan pcmahaman akal sehat
(common-sense) mengenai dunia ini untuk mencoba mengungkapkan
ciri-ciri dan struktur-struktur yang terpendam di bawah fenomena"
(Lloyd 1993: 132-45).
Seperi halnya cabang ilmu lain, ilmu sejarah mempelajari berbagai
struktur sosial yang tidak kasat math. Keadaan itu berbeda dengan
sejarah tradisional yang hanya mempelajari hal-hal yang kasat mata
(peristiwa) tanpa mengaitkannya dengan struktur sosial.
Upaya ke arah penegakan sejarah sebagai ilmu telah muncul sejak
abad ke-17 ketika filsuf politik dan sosial selalu mengaitkan masyarakat
dan scjarahnya, seperti halnya John Locke dan Thomas Hobbes disusul
oleh Montesquieu, Alexis de Tocqueville, Karl Marx, Max Weber dan
lain-lain. Namur dalam abad ke-19 sejarah dipisahkan dari masyarakat
dengan munculnya Leopold von Ranke dan aliran filsafat Neo-Kant
yang memunculkan epistemologi empiris dalam ilmu sejarah. Baru
dalam kinun 1960-an muncul kembali upaya menggabungkan teori-teori
yang abstrak mengenai masyarakat dan sejarah yang konkret, terutama
di kalangan Annales (Lloyd 1986: 1). Di kalangan masyarakat Anglo-
Saxon pcndekatan baru dalam ilmu sejarah itu dicanangkan, antara lain,
mclalui buku Edward Hallet Can yang berjudul What is History?
1 R.Z. Leirissa, Charles Tilly dan Revolusi

(1961). Kini pendekatan itu tclah muncul pada hampir semua


universitas di dunia.
Dalam upaya pembenahan scjarah sebagai ilmu, sejak 1960-an
muncul tiga metodologi yang berbeda, yaitu metodologi individual,
metodologi struktural, dan metodologi strukturis. Metodologi individual
mempelajari masyarakat sebagai kumpulan individu (agregat) untuk
mengungkapkan pola-pola perilaku dalam masyarakat yang dikatakan
dibentuk oleh individu tertentu dalam masyarakat itu. Metodologi
strukturis sama sekali tidak mempelajari individu sebagai agregat
karena beranggapan bahwa masyarakat sebagai keseluruhan, terutama
sistem nilainya, sama sckali bersifat determinan atas individu sehingga
yang harus dipelajari adalah struktur sosial saja. Metodologi strukturis
melihat adanya interaksi antara individu sebagai agregat dan masyarakat
sebagai keseluruhan sehingga yang perlu dipelajari adalah individu dan
struktur sosialnya (Lloyd 1986).
Tulisan ini bertolak dari metodologi strukturis. Berbeda dengan
pendekatan struktural (McCullagh 1999), maupun pendekatan
individualis, metodologi strukturis memfokus bail: pada struktur sosial
maupun individu dan kelompok (agency). Dalam metodologi strukturis,
struktur sosial dan agency tidak bersifat dikotomis (seperti dalam
pendekatan struktural), tetapi merupakan suatu simbolisme bagaikan
ikan dan air, yang sate tidak bisa ada tanpa yang lain walaupun masing-
masing memiliki wujudnya sendiri. Ikan tidak dapat hidup tanpa air.
tetapi ikan dan air adalah dua hal yang berbeda. Namun fokus penelitian
strukturis bukan semata-mata pada struktur sosial seperti pada
pendekatan struktural, tetapi justru pada agency yang sanggup memilih
altematif untuk menggantikan struktur sosial yang menjadi bagian dari
diri mereka sendiri.
Tujuan utama pendekatan strukturis adalah mencoba menentukan
mengapa (faktor penyebab) suatu struktur sosial bertahan lama atau
langgeng (reproduksi struktur sosial) atau terjadi perubahan sosial
(transformasi struktur sosial). Untuk menentukan faktor penycbab
(causal power, causal factor) dari reproduksi atau transformasi sosial
itulah metodologi strukturis—seperti halnya metodologi struktural-
memerlukan teori.
Teori adalah "konsep-konsep, model-model, pemyataan -
pernvataan yang bersifat umum mengenai mekanisme-mekanisme
struktural, kekuatan-kekuatan, dan hubungan kausal antara satuan-
satuan, tipe-tipe, jenis-jenis dan kelas-kelas dan peristiwa-peristiwa
serta proses-proses yang terdapat dalam suatu dominan" (Lloyd 1993:
30). Teori memungkinkan eksplanasi menjadi lebih jclas. Lebih dari itu
teori memungkinkan adanya gencralisasi dari kasus yang sedang diteliti
untuk dikaitkan dengan kasus-kasus lainnya sehingga hasil penelitian
Jurnal Sejarah Vol. 6, No. 1, Agustus 2004 2

tidak tcrisolasi pada pengetahuan mcngenai kasus yang diteliti saja


tetapi menjadi pengetahuan yang membuka cakrawala yang luas
terutama tentang struktur scjarah pada umumnya.
Metodologi strukturis yang menekankan analisisnva pada social
agency dan interaksinya dengan struktur sosial itu bertujuan
membuktikan bahwa struktur sosial dapat bertahan atau langgeng kalau
anggota masyarakatnya peduli untuk mempertahankannya—tcrjadi
reproduksi struktur sosial. Namun reproduksi struktur sosial kadang-
kadang membawa hasil yang tidak terduga (unintended results) berupa
transfonnasi sosial, seperti pemberontakan atau revolusi yang akan
dibahas dalam tulisan ini.
Reproduksi struktur sosial ataupun transformasi struktur sosial
sama dengan sejarah sosial atau sejarah masyarakat. Oleh karena itu
sejarah masyarakat, bahkan sejarah pada umumnya, hanya dapat
dipelajari dengan menggunakan mctodologi strukturis. Oleh karena
metodologi strukturis dapat digunakan baik untuk mempelajari
reproduksi sosial maupun transformasi sosial, maka keduanya juga
terdapat dalam historiogq-afi. Clifford Geertz dengan karvanva Negara:
The Theatre State in Nineteenth Century Bali (1980), misalnya,
mempelajari reproduksi sosial, sementara Emmanuel Le Roy Ladurie
dengan Carnival in Romans (1979) mempelajari transformasi sosial.
Sejarah sosial juga memrasyaratkan adanya konsep tentang
masyarakat. Tetapi mengenai hal ini juga terdapat dua pendapat yang
berbeda. Pada sate pihak ada yang berpendapat bahwa secara ontologis
masyarakat terdiri atas kumpulan individu (agregat). Pada pihak lain ada
pendapat ontologis yang menyatakan bahwa masyarakat lebih dari
sekadar kumpulan individu karena adanya aspek emergent (yang
mencuat) dari kumpulan individu tersebut, yang berupa peran-peran
(rules), interaksi antarperan (interaction), gambaran diri dan lingkungan
(mentalite), atau struktur sosial.
Aspek emergent dari kumpulan individu itu terbentuk karena
terjadinya interaksi antara individu-individu dalam jangka waktu yang
lama, karena itu aspek emergent tidak bisa terpisah dari individunya.
Aspek emergent tidak kasat mata dan hanya tampak bila dipelajari
interaksi antara individu dalam sebuah kelompok. Oleh karena itu aspek
emergent bukanlah suatu substansi tersendiri yang terlepas dari
individu-individu yang dipelajari. Individu-individu dalam kelompok
yang dipelajari itulah yang memiliki pola-pola tindakan dan ucapan
yang dapat dipilah-pilah menjadi peran tertentu, bentuk interaksi
antarperan itu, norma-norma yang mengatur interaksi, dan alam pikiran
atau mentalite yang mematok norma-norma tersebut (Lloyd 1986:
171-3).
Jurnal Sejarah Vol. 6, No. 1, Agustus 2004 3

Selain itu, metodologi strukturis secara ontologis juga berpendapat


bahwa ikatan masyarakat tidaklah ketat atau loosely structured. Ini
berbeda dengan pandangan para pcnganut pendekatan struktural scperti
Talcot Parsons yang bertolak dari pendapat bahwa masyarakat adalah
vane kesatuan van utuh (holistik) atau tightly structured.
Chistopher Lloyd dalam buku-bukunya mengenai pendekatan
strukturis (1986, 1993) hanya membicarakan perubahan struktur sosial.
budaya dan ekonomi. 1a tidak membicarakan secara panjang lebar
struktur politik, khususnya collective action, meskipun ia menyatakan
bahwa Charles Tilly termasuk salah seorang pelopor metodologi
strukturis bersama Geertz dan Ladurie. Oleh karena itu dalam tulisan ini
dikemukakan teori Tilly mengenai collective action, dan revolusi scperti
yang dikemukakannya dalam bukunya yang bcrjudul Mobilization and
Revolution (1978).
"COLLECTIVEACTION"
Sebelum Charles Tilly merumuskan teori mengenai collective action,
telah ada sarjana lain sebelumnya yang membcri ilham padanya.
Pertama-tama perlu disebut Karl Marx dan John Stuart Mill (Inggris),
kemudian Emile Durkheim (Prancis), dan Max Weber. Teori Marx
memang bisa digolongkan sebagai teori strukturis tetapi dalam teori itu
collective action lebih banyak ditempatkan sebagai konflik dari berbagai
kepentingan (interest) yang dilihat sebagai faktor penycbab perubahan
sosial atau sejarah sosial. Sebaliknya teori Mill termasuk dalam teori
individualis yang menempatkan collectove action yang bertolak dan
kepentingan individu yang kemudian berkembang menjadi individual
action. Durkheim yang menekankan pembagian kerja (division of labor)
sebagai causal mechanism perubahan (sejarah) sosial melihat collective
action sebagai suatu penyimpangan dari unsur-unsur yang tidak puas
dalam masyarakat akibat pembagian kerja tersebut. Weber menekankan
unsur shared believe (ideologi, agama, dan scbagainya) sebagai faktor
penyebab. Tetapi seperti halnya Durkheim, Weber juga membedakan
antara perubahan yang wajar dan yang menyimpang. Perubahan yang
wajar berakibat perkembangan organisasi scdangkan perubahan yang
tidak wajar menimbulk an collective action (Tilly 1978: 12-51).
Charles Tilly mulai mempclajari collective action sejak 1960-an.
berawal dari disertasinya mengenai peristiwa vendee di Prancis Selatan
yang masih tradisional dalam masa Revolusi Prancis. Setela,h itu ia
banvak meneliti kasus collective action di Prancis antara abad ke-16
hingga abad ke-20. Dalam bukunya yang diterbitkan tahun 1978 Tilly
menyusun sebuah teori collective action berdasarkan hasil temuannva
sekitar 15 tahun. Teori collective action yang dikcmukakan dalam buku
tersebut khusus disusun untuk mempclajari revolusi yang sejak 1940-an
4 R.Z. Leirissa, Charles Tilly dan Revolusi

banyak terjadi di Asia, Amerika Latin dan Afrika, yaitu collective action
terhadap kckuasaan politik kaum kolonial. Hal ini perlu ditandaskan
karena collective action tidak sclalu hams bersifat politik seperti yang
terjadi di kalangan petani yang bertujuan sekadar untuk
mempertahank an hak-haknya.
Collective action, seperti dirumuskan Tiny, adalah suatu peristiwa
ketika "orang bersama-sama berjuang untuk mencapai kepentingan
bersama" (people acting together in pursuit of common interest). Jelas,
Tilly mcnekankan common interest sebagai unsur terpenting, bukan
ideologi seperti dalam pendekatan individual dan pcndekatan stniktural.
Orang bertindak bersama-sama, menurut Tilly, bisa terjadi karena
dua hal, yaitu (a) dorongan dari luar seperti dikemukakan dalam
pendekatan stmktural, dan (b) karena motivasi individu tertentu dalam
masyarakat seperti dikemukakan dalam pendekatan individualis.
(1978: 6) mcmilih untuk mengkombinasikan keduanya. Dengan
demikian teori yang dibangun Tilly dapat digolongkan dalam teori
strukturis yang digunakan dalam pendekatan (metodologi) strukturis.
Dalam hal ini dorongan eksternal atas struktur sosial tersebut (a)
berinteraksi dengan unsur individu atau kelompok sosial yang berasal
dan struktur sosial itu juga, (b) yang dalam pcndekatan strukturis
disebut sebagai agency.
Berdasarkan penclitiannya, Tilly (1978: 51) membedakan tiga
jenis collective action masing-masing dengan faktor penyebabnya
sendiri. Jcnis pertama adalah competitive collective action, yaitu adanya
dua pihak atau lebih yang bcrsaing untuk mercbut atau menegakkan
sesuatu. Dalam scjarah Eropa jenis collective action ini terutama
muncul dalam abad ke-15 dan abad kc-16 ketika lembaga negara belum
ada atau barn berdiri. Dalam hal ini faktor penycbabnya adalah
kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat (disposition). Di Indonesia
collective action jenis ini belum pernah diteliti dan mungkin secara
kronologis berbeda dengan yang terjadi di Eropa karena scjarah politik
di Indonesia juga berbeda dengan yang terjadi di Eropa seperti
mengenai timbul tenggelamnya kerajaan-kerajaan dan intervensi
kolonial.
Collective action jenis kcdua adalah reactive collective action,
yakni upaya kelompok masyarakat untuk mengembalikan hak-hak yang
mapan yang tclah digusur olch pihak tcrtentu, terutama negara dan
lembaga-lembaganya. Jenis collective action ini ditemukan terjadi di
Eropa selama abad ke-17 hingga abad ke-19. Faktor penyebab dalam
jenis ini adalah "tergusurnya hak-hak yang telah mapan dalam
masyarakat" Seperti dibuktikan dalam salah satu discrtasi, collective
action jenis ini juga terdapat di Indonesia dalam abad ke-18 (Leirissa
1996). Mungkin sekali penclitian selanjutnya akan bisa membuktikan
5 R.Z. Leirissa, Charles Tilly dan Revolusi

bahwa jenis ini terdapat juga di Indonessia sejak abad ke-17 hingga
abad kc-19.
Jenis collective action ketiga yang ditemukan Tilly adalah
proactive collective action, yaitu upaya kelompok masyarakat untuk
menciptakan suatu struktur sosial yang barn yang sebelumnya tidak ada.
Jenis ini terutama terdapat dalam abad ke-20. Salah satu variasinya
adalah "revolusi" yang terutama terdapat di Asia. Amcrika Latin, dan
Afrika dengan faktor penyebab bersifat politis.
TEORI "COLLECTIV E ACTION"

Pada urnumnya penganut strukturis berpcndapat bahwa masyarakat


terbentuk dan berbagai lapisan (level), seperti ekonomi, politik, budaya,
termasuk di dalamnya ideologi, hukum dan agama. Model-model
tersebut tidak dimaksudkan untuk membuat deskripsi tetapi untuk
mengisolasi faktor penyebab. Selain itu kaum strukturis tidak memberi
penoritas pada salah satu level atau model tersebut, seperti umpamanya
Karl Marx yang memberi prioritas pada lapisan ekonomi atau Max
Weber pada lapisan budava. Dalam metodologi strukturis kedua level
tersebut (ekonomi dan budava) sama penting dan harus bisa ditampilkan
bersama-sama (Lloyd 1993: 185).
Karena tcori Tilly itu dimaksudkan untuk mempelajari perubahan
politik maka yang menjadi sorotan adalah struktur politik yang
mcrupakan sebagian dari struktur sosial. Struktur politik sebagai bagian
dari struktur sosial dengan sendirinya terdiri pula dari peran-peran
(roles), dalam hal ini peran-peran politik, interaksi antara peran-peran
itu (interaction), dan norma-norma (rules) yang mengatur interaksi itu,
scrta mentalite atau pcmikiran politik. Struktur politik juga bersifat
menghambat (constraining) atau memudahkan (enabling) dengan
agency (kelompok politik) yang aktif berinteraksi dengan struktur
tersebut untuk mengubahnya. Dalam tulisan ini tidak dibahas cara-cara
pengukuran setiap variabel yang ditampilkan Tilly dengan berbagai
grafik.
Karena Tilly juga menggunakan metodologi strukturis maka
momen-momen dasar dari proses sejarah seperti yang dikemukakan
dalam metodologi itu juga terkandung dalam teorinya, yaitu adanya
struktur sosial yang bersifat constraining dan enabling, adanya agency
yang memiliki kemampuan untuk structuring process, dan ada akibat
yang diduga maupun yang tidak diduga sebelumnya. Namun selain bisa
digunakan mempelajari kontinuitas sejarah, seperti pada umumnya
terdapat dalam contoh-contoh yang diberikan 016 Lloyd, metodologi
stnikturis dapat pula digunakan untuk mempelajari diskontinuitas
seperti yang dilakukan Tilly. Dengan kata lain, perubahan sosial yang
disebabkan oleh adanya ketidakcocokan antara struktur dan agency itu
Jumal Sejarah Vol. 6, No. 1, Agustus 2004 9

dapat menghasilkan perubahan yang gradual (berangsur-angsur)


sehingga seolah-olah ada kontinuitas struktural, namun perubahan sosial
dapat juga menghasilkan diskontinuitas struktural. Diskontinuitas
struktural biasanya terkandung dalam peristiwa-peristiwa seperti perang,
pemberontakan atau revolusi (Lloyd 1981).
Teori collective action, khususnya dari Tilly, bertujuan
menjelaskan terjadinya diskontinuitas itu. Namun karena yang dipelajari
adalah struktur politik maka diskontinuitas hanvalah tampak pada
struktur politik. Perang, pemberontakan dan revolusi pada umumnya-
tetapi tidak selalu—hanya menghasilkan perubahan politik. Aspck-
aspck lain dalam masyarakat, seperti ekonomi dan budaya, belum tentu
ikut berubah (Lloyd 1993: 193-5). Perubahan total yang berkaitan
dengan peristiwa-peristiwa kekerasan misalnya perang, revolusi atau
pemberontakan (Tilly 1981).
Dualisms struktur politik dan agency yang diprasyaratkan
metodologi strukturis dari Tilly terdapat dalam dua "model," yaitu
model polity yang mencakup struktur politik dan model mobilization
yang mencakup agency. Dalam suatu masyarakat terdapat berbagai
peran politik, seperti pemerintah dan sejumlah contenders 'pesaing'.
Polity (perpolitikan) adalah suatu bagian dari struktur politik yang
terdiri dari pemerintah sebagai organisasi "yang mengendalikan
pcmusatan terpenting dari sarana-sarana pemaksaan yang terdapat
dalam masyarakat," dan sejumlah peran sebagai pesaing yang menjadi
anggota dari polity tersebut dan karena itu memiliki "kemudahan untuk
memperoleh sumber daya yang dikendalikan pemerintah." Di luar polity
terdapat peran-peran pesaing lain yang merupakan challengers
'penantang', yang melalui collective action berupaya menjadi anggota
perpolitikan dan mendapat manfaat dari organisasi pcmcrintahan, atau
mengubah struktur pemerintah sama sekali atau revolusi (halaman 50—
4)
"MOBILIZATION"

Untuk membahas proses collective action, perhatian terutama ditujukan


pada model mobilisasi (agency dalam pcngcrtian strukturis) tersebut
yang memiliki unsur-unsur: (1) kepentingan (interest), (2) organisasi
(organization), (3) mobilisasi (mobilization), dan (4) kesempatan
(opportunity). Kepentingan, organisasi, dan mobilisasi merupakan
struktur intern dari collective action, sedangkan kesempatan mcngaitkan
model mobilisasi itu dengan model polity (struktur ekstem). Sctiap
kasus yang dipelajari mcmrasyaratkan data cmpiris masing-masing
untuk ciri-ciri dari model mobilisasi tersebut.
Collective action mcmerlukan kcterangan empiris mengcnai
kepentingan. Hal itu dapat dilakukan dengan (a) mengungkapkannya
1 R. Z. Leirissa. Charles Tilly dan Revolusi

dari tindakan-tindakan dan ucapan-ucapan para pelaku collective action


yang scdang diteliti, (b) membuat generalisasi (teoretis) mengenai
"interest" (kepentingan. yang diinginkan) yang dimaksud oleh para
pelaku tersebut.
Berkaitan dengan organisasi, Tilly menyatakan bahwa setiap
collective action bertolak dari organisasi yang telah ada dalam
masyarakat, dan jarang membentuk organisasi barn khusus untuk
collective action. Organisasi yang telah ada itu dimanfaatkan dan
dikembangkan melalui mob ilisasi agar dapat efektif melakukan
collective action (halaman. 54-67).
Dalam kenyataannya terdapat berbagai macam organisasi dan
tidak semuanva bennanfaat bagi collective action. Berbagai macam
organisasi itu dapat dibedakan sebagai kategori (category) yang
berbeda-beda, atau yang memiliki bentuk jaringan (network) yang
berbeda-beda. Untuk menentukan bentuk organisasi collective action,
Tilly inenggabungkan kedua ciri itu menjadi saw dengan istilah carnet
(category-network). Contoh yang dikemukakannya adalah kerumuman
(crowd) yang memiliki jaringan atau interaksi tatap muka yang rendah,
hanya sekejap. Sedangkan warga negara Indonesia, umpamanva,
mempakan suatu kategori yang mantap, identitasnya jelas, tetapi
sebagai suatu jaringan tidak mantap karena interaksi tatap muka sangat
rendah. Organisasi buruh merupakan suatu kategori yang jelas yakni
pekerjaan di pabrik dengan jaringan yang tinggi karena mereka saling
mengenal. Organisasi yang dapat melakukan collective action termasuk
dalam organisasi dengan catnet (bail; kategori maupun jaringan) yang
tinggi. Hal itu dapat dicapai apabila mobilisasi juga berhasil.
Dan ketiga ciri struktur intern collective action itu mobilisasi
merupakan yang paling penting karena melalui mobilisasi organisasi
yang dipilih itu menjadi aktif dalam kehidupan bermasvarakat (halaman
69-97). Apa yang dimobilisasi oleh organisasi yang telah dipilih untuk
melakukan collective action itu? Menurut Tilly ada tiga hal; pertama
hal-hal yang bersifat coercive (pemaksaan) seperti senjata, pasukan.
teknologi; kedua yang bersifat utilitarian seperti barang-barang, jasa,
dan uang; dan ketiga yang bersifat "normatif' yaitu kesetiaan anggota
(namun Tilly juga memberi catatan bahwa yang lebih penting adalah
kemampuan atau efektivitas anggota).
Collective action tidak selalu berhasil. Keberhasilannya ditentukan
oleh ada-tidaknya kesempatan. Oleh karena itu mengctahui aspek
"kesempatan." dan threat (sisi lain dari kesempatan) sangat penting pula,
karena melalui variabel itu mobilisasi terkait dengan polity. Selain itu
kesempatan dan threat 'anc.aman' dipantau melalui penilaian-penilaian
yang dilakukan oleh organisasi. Penilaian didasarkan pada beberapa
harga atau pengorbanannya (cost) serta berapa keuntungannya (benefit).
Jurnal Sejarah Vol. 6, No. I, Agustus 2004 2

Seolah-olah dalam mcnilai keadaan setiap organisasi


mcmpertimbangkan untung-rugi. Kalau keadaan menguntungkan maka
terbuka kesempatan untuk bertindak melakukan collective action,
sebaliknya kcadaan bisa juga merugikan karena ada ancaman alas
keberhasilan collective action. Keadaan dikatakan menguntungkan
apabila pcmerintah atau anggota polity mendukung perjuangan yang
bersangkutan; ancaman muncul apabila pemerintah berusaha untuk
mempersulit atau menghancurkan organisasi itu melalui pembredelan,
penyitaan aset, penangkapan para pcmimpin, pelarangan berkumpul dan
sebagainya (halaman 98-115).
Tetapi berhasil atau gagalnya suatu collective action bukan saja
bergantung pada pcnilaian organisasi mengenai kesempatan dan
ancaman tersebut. Hal itu juga bergantung pada kekuasaan (power) dari
organisasi itu. Dikatakan, suatu organisasi mempunyai kekuasaan
apabila kepentingannya lebih dominan dalam masyarakat dibandingkan
dengan kepentingan pemerintah atau para anggota polity.
Collective action yang bersifat politis merupakan suatu persaingan
untuk memperolch kekuasaan politik, dengan kata lain "aplikasi sumber
daya untuk mempengaruhi kelompok-kelompok pesaing lain . . ." agar
dapat mcmanfaatkan pula sumber daya yang dikendalikan pemerintah.
Atau dengan kata lain lagi, "mendapat pengakuan untuk menguasai
organisasi pemerintah dan mengembangkan cara-cara rutin untuk
mclaksanakan hak itu." Persaingan antara para pesaing tersebut--baik
anggota maupun penantang--merupakan pengujian atas keanggotaan
suatu kelompok dalam polity. Kelompok yang tidak berhasil
mempertahankan kekuasaannya akan tergusur keluar dari polity, dan
penantang yang berhasil bisa menjadi anggota polity, bahkan
membentuk polity barn_ Karena itu di antara anggota sering terjadi
koalisi untuk mcmpertahankan diri agar sama-sama tctap menjadi
anggota tetapi sering pula anggota berkoalisi dengan penantang karena
apa yang diperjuangkan anggota tersebut tidak diakui dalam polity
(halaman 125, 126).

"REvoLtmorr.
Kedua model yang telah diuraikan – yakni model polity dan mobilisasi
dapat digunakan untuk meneliti ketiga jenis collective action yang telah
discbut yaitu kompetitif, reaktif, dan proaktif. Tetapi dalam studinya
Tilly secara khusus membahas teori untuk mempelajari revolusi yang
banyak terjadi dalam abad ke-20 di Asia. Afrika dan Amerika Latin.
Teori itu bisa juga digunakan untuk mempelajari gejala-gejala lain
dalam abad ke-20 seperti, misalnya, pemogokan, demonstrasi,
pemilihan umum, pemberontakan, dan revolusi (halaman 159-222).
Jurnal Sejarah Vol. 6, No. I, Agustus 2004 3

Bcrbagai teori tentang revolusi tclah dikemukakan dalam ilinu


politik. Pendapat yang paling umum adalah bahwa revolusi merupakan
peralihan kekuasaan (transfer of power) dengan atau tanpa kekerasan.
Definisi itu dibenarkan Tilly, tetapi is menolak penjabaran sebab-akibat
yang umum dibcrikan oleh sementara ahli ilmu politik. Peter Calvert,
misalnya, mengemukakan empat komponen sebagai sebab-akibat
revolusi. yaitu (1) hilangnya kepercayaan alas negara yang makin
meningkat, (2) peralihan pemerintahan, (3) adanya program yang baik
dari pemerintahan barn, dan (4) adanya mitos politik bare. Menurut
Tilly, konsep Calvert itu tidak berlaku untuk semua revolusi yang secara
empiris terjadi dalam sejarah.
Konsep sebab-akibat yang diajukan Tilly sejalan dengan apa yang
disebut sebagai causal factors dalam metodologi strukturis karena
terjadinya suatu peristiwa adalah kondisi peristiwa itu, yaitu interaksi
antara kekuatan-kekuatan sosial (social forces) yang terkandung dalam
struktur sosial. Eksplanasi kausal tidak sama dengan penggunaan hukum
(law), karena eksplanasi kausal menelusuri suatu proses hinega sampai
pada dampaknya. sedangkan hukum menjelaskan tipe dampak tertentu.
Selain itu sebab-musabab di sini tidak harus mendahului peristiwa tetapi
bisa juga sejalan (coterminus) dengan peristiwa (Lloyd 1993: 145-6).
Dengan demikian menentukan sebab-musabab revolusi—dalam
arti peralihan kekuasaan—sama dengan menentukan kondisinya.
Kondisi itu, menurut Tilly, adalah situasi rev olusioner (revolutionary
situation) dan hasil revolusi (revolutionaty outcome). Interaksi
kekuatan-kekuatan sosial dalam situasi revolusioner maupun hasil
revolusi dapat diungkapkan melalui model-model collectove action
yakni polity dan mobilization.
Situasi Revolusioner
Setelah mempertimbangkan berbagai pendapat yang terdapat dalam
literatur ilmu politik, Tilly mengemukakan bahwa situasi revolusioner
timbul bila terdapat dua polity yang sama-sama menyatakan berdaulat di
suatu wilayah yang sama (multiple sovereignty).
Menurut Tilly, dalam sejarah dapat dibedakan empat jenis
peristiwa yang di dalamnya memunculkan multiple sovereignly, yaitu
(a) bila suatu polity tertentu sudah lapuk sehingga ada sejumlah anggota
yang berhasil membentuk polity Wm; (b) bila anggota dari suatu polity
bawahan, scperti pemerintah daerah, merebut kedaulatan negara; (c) bila
sejumlah pesaing yang tidak lagi menjadi anggota dari polity berhasil
merebut kekuasaan politik; (d) bila terjadi perpecahan dalam polity
sehingga muncul beberapa blok yang saline bersaing membentuk polity
barn (halaman 161-2).
Jurnal Sejarah Vol. 6, No. I, Agustus 2004 4

Tilly membantah pcndapat bahwa multiple sovereignty dapat


disebabkan oleh merajalelanya perbanditan, munculnya kelompok
fundamentalis, adanya kelompok minoritas, atau kelompok separatis
(internal). ataupun karena adanya ancaman dari ncgara lain (ekstcrnal)
yang lebih kuat.
Keadaan yang kondusif bagi timbulnya multiple sovereignty,
menurut Tilly, adalah karena kekecewaan pada sebagian masyarakat,
atau frustrasi akibat pemerintah tidak bisa lagi memenuhi kewajibannya.
Keadaan itulah yang sesungguhriya bisa menyebabkan pihak yang
menaruh klaim atas pemerintahan mendapat kesempatan untuk
merancang collective action. Kcscmpatan itu makin terbuka karena
berhasilnva mobilisasi, dalam anti adanya kesediaan dari sebagian
masyarakat untuk mematuhi seperti membavar pajak, menjadi tentara,
membcri makanan pada alat negara, menghormati simbol-simboinva,
dan sebagainya. Kalau kelompok tersebut berhasil menehalau
pemerintah yang tidak berjalan lagi itu maka berakhirlah revolusi.
Fak-tor kondusif itu, menurut Tilly, tidak saja terdapat pada
kelemahan peran pemerintah tempi terdapat pula dalam masyarakat
sendiri. Pada umumnya kemungkinan munculnya organisasi yang
menyaingi pemerintah selalu ada dalam masyarakat jadi bersifat
struktural. Hal itu terjadi karena pemerintah mana pun tidak selalu
sepenuhnya berkuasa atas warganya. Selain itu dalam setiap masyarakat
selalu ada gerakan-gerakan radikal yang mempertan,:akan keabsahan
pcmerintah. Tctapi dari berbagai gerakan yang later) dalam masyarakat
itu yang akan muncul sebagai penantang adalah pihak yang mampu
mengadakan mobilisasi (halaman 200-11).
Mobilisasi oleh para penantang tersebut dilakukan karma,
pertama, organisasi penantang itu memang muncul dengan niat untuk
menghancurkan pemerintah, seperti organisasi yang bersifat radikal,
reaksioncr, anarkis, dan teokratis. Tetapi organisasi yang dibentuk tidak
dengan tetrad untuk menghancurkan pemerintah pun pada suatu saat
dapat berubah menjadi organisasi yang berusaha mcnggantikan
pemerintah. Timbulnya ideologi barn yang dirumuskan oleh kaum
intelektual mempcngaruhi kedua perkembangan tersebut.
Dukungan masyarakat yang diberikan pada organisasi
penantang--dari salah satu jenis tersebut—selain disebabkan olch
organisasi yang bersangkutan mengadakan mobilisasi, bisa juga
disebabkan oleh beratnya berbagai tuntutan pemerintah atas mas-yarakat,
gaealnya pemerintah memcnuhi harapan masyarakat, ataupun karena
ambniknya pemerintah yang berkaitan dengan lemahnya alat-aIat
pcmaksaan (means of coercion), bahkan ragu-ragunya alat-alat
pemerintah tersebut.
5 R.Z. Leirissa, Charles Tilly dan Revolusi

Hasil Revolusi
Hasil akhir suatu revolusi ditentukan oleh berbagai hal, seperti bentuk
koalisi revolusioner antara organisasi penantang dengan berbagai
pesaing lain dalam masvarakat untuk menghadapi pemerintah, dan
berhasilnya organisasi penantang itu untuk menguasai sebagian dari
ketentaraan. Makin efektif koalisi revolusioner itu makin menyeluruh
pula hasil revolusi, karena terjadi peralihan kekuasaan yan2
menyeluruh. Tetapi koalisi revolusioner juga bisa menyebabkan
terbaginya kekuasaan di antara pihak-pihak yang berkoalisi itu (halaman
211-16).
"REVOLUTIONARY SEQUENCE"
Dengan demikian dapat disimpuikan bahwa proses suatu revolusi adalah
sebagai berikut (hlm. 216-219): (1) mobilisasi para pesaing untuk
mengkl aim pem erint ahan; (2) ma kin banya k ora ng yang
mcnerimaimengakui klaim tersebut; (3) pemerintah tidak berhasil
menahan pesaing; (4) terjadi koalisi untuk mengendalikan bagian-
bagian dan pemerintahan, (5) koalisi berusaha memperluas
pengendaliannya atas pemerintahan; (6) pesaing menang dan
membentuk polity bare; dan (7) pelaksanaan pemerintahan secara rutin.
Secara umum dapat dikatakan terdapat dua model revolusi.
Pertama, model tention release atau pelepasan ketegangan politik.
Dalam model ini revolusi berlangsung tidak sempuma karena koalisi
revolusioner buyar sebelum tujuan revolusi tercapai sehingga revolusi
kehilangan momenturrinnya. Revolusi dengan demikian terjadi hanya
untuk mengatasi ketegangan politik yang terdapat dalam masyarakat.
Kedua, model pertarungan politik di antara pesaing (contenders). Dalam
model ini biasanya disertai kekerasan kolektif yang intensitasnya
sebanding dengan tingkat represif. Bahkan pertaningan itu dapat pula
meluas menjadi perang. Bila tujuan revolusi telah tercapai yakni
peralihan kekuasaan maka koalisi revolusioner bisa buyar karena tidak
mendapat dukungan massa lagi.
Hasil revolusi adalah peralihan kekuasaan, suatu bentuk
perubahan sosial. Namun suatu revolusi sangat jarang menghasilkan
perubahan besar, seperti perubahan dalam redistribusi sumber daya atau
peningkatan kualitas hidup, industrialisasi, atau urbanisasi, Sudah tentu
pihak yang menang dapat menggunakan kekuasaannya untuk
me lakukan hal-hal itu pada masa pascarevolusi (halaman 217-22).
KESIMPULAN
Jurnal Sejarah Vol. 6, No. .1, Agustus 2004 6

(nasional) rnaupun secara mikro (lokal). Selain itu teori tersebut dapat
digunakan untuk mempclajari berbagai perang antara kerajaan-kcrajaan
di Indonesia dengan Bclanda. Scmua variabel collective action dapat
digunakan scbagai patokan. Demikian pula variabel-variabel revolusi
danat diErimakan den van penvi-simirin seperlnya_ Penyesna;an
diperlukan, umpamanya, karena scrnua perang yang berlangsung sejak
abad ice-17 berakhir dengan kekalahan pihak kerajaan. Berbagai
pertarungan tersebut jelas tidak mengikuti model tension release, tetapi
kcicmahannya dapat dicari pada hal-hal lain yang menyangkut sumber
daya (teknologi persenjataan), tidak adanya koalisi, dan sebagainya.
Ke,,dart tanhi Afr,,at dii,”bangi dangan uraian. yang
mengenai variabel interes dari setiap pertarungan di antara pesaing itu.
DAFTARACUAN
Gcertz, Clifford (1980), Negara: The Theatre State in Nineteenth Century Bah.
Princeton: Princeton University Press.
La& rie, Emmanuel Le Roy (1979), Carnival in ROMattS (terj. dari bahasa Prancis). New
York: George Bmziler, Inc.
Leirissa. R. Z. (1990), Halmahera Tnrner dan Raja Jailolo: Pergolakan di Sekitar Laut
Seram. Jakarta! Balai Pustaka.
Lloyd, Christopher (1986), Explanation in Social History. London: Basil Blackwell
(1993), The Smictures ofHistory. London: Basil Blackwell.
McCullagh, C. Behan (1998), The Truth of History. London New York: Roulledge.
Tilly, Charles (1978), Prom Alobilizafion to Revolution. Reading (Mass.): Addison-
Wesley Publication Company.
(1981), As Sociology Meer.s. History. San Diego: Academic Press.

Anda mungkin juga menyukai