Anda di halaman 1dari 65

BAB IV

PEMIKIRAN MUHAMMAD YAMIN DALAM PROSES


TERBENTUKNYA NEGARA INDONESIA MERDEKA

Pada Bab IV ini mengupas bagaimana pemikiran Muhammad Yamin dalam

proses terbentuknya Negara Indonesia merdeka. Banyak julukan yang melekat

dibalik namanya, pemikir, sastrawan, sejarawan, budayawan, ahli hokum, pakar

pendidikan, profesor yang multi-kompleks, cendekiawan yang cemerlang,

budayawan yang sukar dicari tandingannya, tokoh pejuang militan penuh

prakarsa, memiliki nasionalisme dan patriotisme yang tinggi, serta politikus;

bahkan sosok negatif yang dikenal tokoh berpenampilan urakan dan jarang

menyisir rambut yang rapi.

Menurut Ben Anderson,1 selama hidupnya, Yamin dikenal sebagai politikus

nyentrik; sementara kritikus A. Teeuw,2 menyebutnya sebagai salah seorang

pelopor puisi modern, pra-Pujangga Baru. Dalam sejarah pergerakan kebangsaan

Yamin tercatat sebagai salah seorang tokoh pergerakan. Namanya dikenal

sebagai seorang aktivis gerakan kepemudaan, yang memainkan peranan penting

dalam Kongres Pemuda, 28 Oktober 1928, yang merumuskan Sumpah Pemuda,

tokoh partai politik yang radikal, dan tetapi kemudian bersedia duduk sebagai

wakil Minangkabau dalam Volksraad. Dalam bagian lain, Yamin tercatat sebagai

1
Anderson, Revoloesi Pemoeda,… hal. 318.
2
A. Teeuw, Sastra Baru Indonesia I, (Ende: Nusa Indah, 1978).

89
tokoh “the founding father” atau “Bapak Pendiri Bangsa”, yakni duduk sebagai

anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia

(BPUPKI), anggota “Panitia Sembilan”, yang merumuskan “Pembukaan UUD

1945”.

A. Menuju Indonesia Merdeka

Pendudukan Jepang di Indonesia kemudian membuka lembaran baru

dalam sejarah Indonesia, termasuk di dalamnya menyangkut strategi perjuangan.

Ketika mendarat di Indonesia, penguasa Jepang secara tegas menyatakan bahwa

dalam melaksanakan tugas-tugasnya di Indonesia membutuhka bantuan dari

sejumlah tokoh pemimpin pergerakan, seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan lain-

lain.

Atas dasar pemahaman bahwa penguasa Jepang berbeda jauh dengan

pemerintah kolonial Belanda, alternatif strategi perjuangan bagi pemimpin

Indonesia terdapat dua pilihan: bekerjasama dengan pemerintah Jepang (non-

cooperation) atau melawan penguasa Jepang (non-cooperation) dan melakukan

perjuangan di bawah tanah atau secara diam-diam. Soekarno dan Hatta akan

berjuang melalui resmi dan menjalin kontak dengan Jepang, sementara Sjahrir

akan mengorganisasi perlawanan bawah tanah sambil tetap berhubungan dengan

Soekarno dan Hatta.3


3
George McTurnan Kahin, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia (terjemanan), Jakarta:
Komunitas Bambu, 2013, hal. 148-149. Menurut Kahin, organisasi bawah tanah anti-Jepang yang
paling besar adalah yang diketuai oleh Amir Sjarifuddin. Organisasi ini dibentuk beberapa
minggu sebelum Jepang mendarat di Indonesia di bawah perlindungan pemerintah Hindia
Belanda, dan mendapat bantuan sebesar 25.000 gulden yang diserahkan oleh Dr. Charles van der
Plas kepada Amir Sjarifuddin. Organisasi ini kemudian menarik sejumlah anggota dari berbagai
orang yang sangat anti-fasis, mayoritas berasal dari anggota partai Komunis bawah tanah (atau

90
Seperti halnya pemimpin terkemuka lainnya, seperti Soekarno, Hatta, Ki

Hadjar Dewantara, dan K.H. Mas Masyur – kemudian dikenal dengan “Empat

Serangkai” dalam organisasi Poetera (Pusat Tenaga Rakyat) -- Muhammad

Yamin juga memilih strategi perjuangan bekerjasama dengan Jepang. Dalam

organisasi yang dipimpin oleh “Empat Serangkai”di atas Muhammad Yamin

duduk sebagai anggota Dewan Penasehat. Selain itu, Yamin juga menjadi

pegawai tinggi pada Sendenbu, semacam Jawatan Penerangan dan Propaganda

Pemerintah Jepang. Aktivitas dilakukan Yamin adalah memberikan ceramah-

ceramah dan kuliah-kuliah pada berbagai lembaga pengetahuan umum bagi

kalangan pemuda.4

Akibat semakin terdesaknya posisi Jepang dari Sekutu dalam perang Asia

Timur Raya, Perdana Menteri Kaiso akhirnya mengumumkan pendirian

pemerintah Jepang menyangkut pemberian hadiah kemerdekaan bagi Indonesia,

kelak kemudian hari dalam Sidang Istimewa ke-85 Teikoku Ginkai (Perlemen

Jepang) pada tanggal 7 September 1944 di Tokyo.5 Sekalipun janji kemerdekaan

PKI Ilegal) karena Sjarifuddin suad mempunyai hubungan dengan mereka. Kelompok bawah
tanah kedua, yang kemudian berkembang menjadi kekuatan terbesar adalah kelompok yang
dipimpin oleh Sutan Sjahrir. Kelompok ini membangun cabang-cabang, seperti di Jakarta,
Cirebon, Garut, Semarang, dan Surabaya, serta menarik dukungan besar dari kaum terpelajar di
kota-kota tersebut. Kelompok ketiga, berasal dari Persatuan Mahasiswa, yang terdiri atas
kalangan mahasiswa di Jakarta (terutama Fakultas Kedokteran). Kelompok keempat, skalanya
lebih kecil yang diketuai oleh Sukarni. Di antara pemimpinnya adalag Adam Malik, Pandu
Wiguna, Chaerul Saleh, dan Maruto Nitimihardjo.
Tujuan utama keempat organisasi bawah tanah tersebut adalah menyusup ke dalam peta dan
organisasi-organisasi pemuda yang disponsori oleh Jepang. Penyusupan itu mempunyai dua
tujuan: pertama, memegang kendali sebesar mungkin di dalam unit-unit organisasiorganisasi
bentukan Jepang melalui para pemegang posisi kunci yang dapat dipercaya; kedua, menggiring
anggota organisasi-organisasi tersebut kea rah anti-Jepang dan pro-Sekutu, terutama menyiapkan
mereka untuk bangkit melawan Jepang betu invasi Sekutu yang diharapkan akhirnya tiba di
Indonesia. Lengkapnya lihat Kahin, hal. hal. 158-161.
4
Sutrisno Kutoyo, Prof. Muhammad Yamin S.H., Jakarta: Proyek Pembinaan Sekolah Dasar
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, 1985. hal. 70.
5
R.P. Soejono dan R.Z. Leirissa (Editor Edisi Pemutakhiran), Sejarah Nasional Indonesia VI:

91
tersebut masih samar-samar, kaum pergerakan menyambut baik perubahan sikap

politik Jepang itu. Memang dipahami bahwa kemerdekaan itu sudah pasti terjadi,

sekalipun tanpa janji Jepang, namun dengan pernyataan janji itu, penguasa

Jepang di daerah pendudukan mulai bersikap lunak dan memberikan sedikit

ruang gerak bagi para pemimpin. Realitas obyektif ini terlihat dari kebijakan

Jepang yang sebelumnya sempat melarang dinaikkannya bendera Merah Putih,

kini diperbolehkan kembali berkibar. Begitu pula lagu Indonesia Raya ciptaan

W.R. Soepratman boleh dikumandangkan. Kegembiraan ini tampak pula dengan

diperbolehkannya para pemimpin mengadakan rapat-rapat umum dan pawai-

pawai besar di Jakarta.6

Dari sekian banyak pihak memandang positif dan optimis mengenai “janji

kemerdekaan” tersebut, tidak sedikit pula kelompok yang memandangnya

skeptis. Aboe Bakar Loebis, salah seorang aktivis pergerakan di lingkaran

mahasiswa kedokteran zaman Jepang, memberikan kesaksiannya sebagai

berikut:

Pernyataan Koiso itu disambut hangat oleh pemimpin-pemimpin


Indonesia umumnya, walaupun janji kemerdekaan di kelak kemudian
hari itu sangat samar-samar, tanpa suatu ketentuan yang lebih pasti.
Dengan pernyataan itu bendera Merah Putih boleh berkibar lagi dan lagu
Indonesia Raya boleh dinyanyikan lagi. Lebih penting lagi, kita boleh
berbicara tentang kemerdekaan secara terbuka, sehingga cita-cita
kemerdekaan tersebar luas di semua pelosok Indonesia.7

Jaman Jepang dan Jaman Republik Indonesia (± 1942-1998), Jakarta: Balai Pustaka, 2011, hal.
120-12.
6
Susanto Zuhdi dan Mohammad Iskandar, “’Janji Kemerdekaan’ Jepang dan Perecanaan
Negara-Bangsa,” dalam Indonesia Dalam Arus Sejarah (Editor Umum: Taufik Abdullah dan R.Z.
Leirissa), hal.. 92.
7
Aboe Bakar Loebis, Kilas Batik Revolusi: Kenangan, Pelaku dan Saksi (Jakarta: UI Press,
1992), hal. 70-71.

92
Langkah nyata yang ditempuh pemerintah Jepang untuk memenuhi janji

akan memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia adalah dengan

membentuk Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia

(Dokuritsu Zyumbi Tyoosakai) pada tanggal 29 April 1945.8 Maksud dan tujuan

dari pembentukan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan

Indonesia (BPUPKI) adalah untuk mempelajari dan menyelidiki hal-hal penting

yang berhubungan dengan berbagai hal yang menyangkut pembentukan

Indonesia merdeka.

Seperti yang disampaikan oleh Gunseikan dalam makloemat Gunseikan

No. 23, tujuan dibentuknya BPUPK adalah: “untuk menyelidiki hal-hal yang

penting mengenai kemerdekaan Indonesia serta menyusun berbagai rencana

yang penting mengenai kemerdekaan itu.” Upacara peresmian baru dimulai

sekitar pukul 15.30 (14.00 WIB) yang dilakukan oleh tokoh Saikoo Sikikan.

Dalam pidato sambutan saat upacara peresmian badan tersebut, tokoh Saikoo

Sikikan mengatakan:

Akan tetapi usaha untuk mendirikan Negara Merdeka yang baru


bukanlah usaha yang mudah, lebih-lebih lagi jika tidak dengan jalan
mempelajari, menyelidiki, dan merencanakan dengan seksama dan tetiti
segala usaha untuk meneguhkan kekuatan pembelaan, dan soal-soal yang
menjadi dasar Negara, maka sudah barang tentulah bahwa pekerjaan

8
Anggota BPUPKI inni kemudian dilantik secara resmi pada tanggal 28 Mei 1945. Menurut
Susanto Zuhdi dan Mohammad Iskandar, pada waktu itu dibentuklah dua BPUPKI sesuai dengan
struktur komando peperangan Jepang, masing-masing untuk Pulau Jawa dan Sumatera. BPUPKI
untuk Pulau Jawa dipimpin oleh dr. Radjiman Wedyodiningrat, dibentuk dan bertanggung jawab
kepada Saikoo Sikikan Tentara XVI. Sementara, BPUPKI untuk Pulau Sumatera dipimpin oleh
Muhammad Sjafei, dibentuk dan bertanggung jawab kepada Saikoo Sikikan Tentara XXV yang
berkedudukan di Bukittinggi. Untuk Kalimantan dan wilayah kepulauan Indonesia bagian timur
lainnya yang berada di bawah kekuasaan Angkatan Laut dan tidak dibentuk BPUPKI. Lihat
Susanto Zuhdi dan Mohammad Iskandar, “’Janji Kemerdekaan’ Jepang dan Perecanaan Negara-
Bangsa,” dalam Indonesia Dalam Arus Sejarah (Editor Umum: Taufik Abdullah dan R.Z.
Leirissa), hal.. 93.

93
mulia dalam pembentukan Negara Merdeka di kemudian hari, tak akan
mempunyai pokok dasar yang kukuh dan teguh. 9

Upacara peresmian BPUPKI dilaksanakan pada tanggal 28 Mei 1945 di

kantor Chuo Sangi In atau bekas Gedung Volksraad.10 Sidang pertama BPUPKI

diselenggarakan pada 29 Mei 1945 hingga 1 Juni 1945. Dalam pidato

pembukaannya, Ketua BPUPKI, dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat, memberi

pengarahan dan pandangan agar para anggota peserta sidang mencurahkan

perhatian khusus pada soal dasar negara Indonesia merdeka yang akan dibentuk.

Permintaan tersebut langsung mendapat respons dari para anggota dan tampil

menyampaikan pandangannya mengenai dasar negara, yaitu Mr. Muhammad

Yamin, Ki Bagus Hadikusumo, Prof. Dr. Mr. Supomo, dan Ir. Soekarno.

Susunan keanggotaan dan pimpinan Badan Penyelidik Usaha-usaha

Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) terdiri dari: Ketua (1 orang), Wakil

Ketua (2 orang ketua muda [1 orang dari Indonesia dan 1 orang dari Jepang],

serta 60 orang anggota. (Daftar Nama-nama anggota BPUPKI, terlampir).

Sidang BPUPKI dilaksanakan dua kali: Sidang pertama berlangsung berlangsung

selama empat hari, yakni dari tanggal 29 Mei 1945 hingga 1 Juni 1945;

sementara sidang kedua berlangsung selama delapan hari, yakni dari tanggal 10-

17 Juli 1945.

Dalam pidato pembukaan sidang, Ketua BPUPKI, dr. Radjiman

Wedyodiningrat, antara lain memberikan pengarahan dan pandangan agar para

9
Susanto Zuhdi dan Mohammad Iskandar, “’Janji Kemerdekaan’ Jepang …..hal. 94.
10
Gedung tersebut sekarang terletak di Jalan Pejambon, yakni Gedung BP7 Pusat pada masa
Orde Baru.

94
anggota mencurahkan perhatian khusus pada soal dasar negara Indonesia

merdeka yang akan dibentuk. Ada tiga pembicara yang menonjol tampil

menyampaikan pandangannya mengenai dasar negara, yaitu: Mr. Muhammad

Yamin, Prof. Dr. Mr. Supomo, dan Ir. Soekarno.

Muhammad Yamin tampil sebagai pembicara pada sidang pertama. Dalam

mengawali pidatonya, Yamin mengemukakan sebagai berikut:

“Angkat bitjara dalam rapat Panitia Penjelidikan Indonesia Merdeka ini


memberi ingatan kepada kita, bahwa kewadjiban jang terpikul di atas
kepala dan kedua belah bahu kita, ialah suatu kewadjiban jang sangat
teristimewa. Kewadjiban untuk ikut menjelidiki bahan-bahan jang akan
mendjadi dasar dan susunan negara jang akan terbentuk dalam suasana
kemerdekaan, jang telah diakui dan telah dibela oleh rakjat Indonesia
dengan kurban dan darah daging sedjak beratus-ratus tahun…..dalam
menjelidiki bahan-bahan untuk Negara Indonesia, maka kita haruslah
bertindak sebagai orang Indonesia, jaitu dengan memperhatikan masalah-
masalah, soal-soal dan keadaan istimewa di Pulau Borneo, Selebes,
Maluku, Sunda Kecil, Malaya dan Sumatra…. Sebaliknja Negara
Indonesia tak dapatlah didudukkan di atas hasil penjelidikan bahan-bahan
jang didapat di Pulau Jawa sadja, karena keadaan itu boleh djadi
menjesatkan pemandangan dan sedikit-dikit mungkin melanggar
pendirian kita. Sedjak dari sekarang hendaklah meliputi seluruh keadaan-
keadaan di segala pulau Indonesia dengan pikiran jang sudah meminum
air persatuan Indonesia. Kita mendirikan Negara Indonesia atas keinsafan
akan pengetahuan jang luas dan lebar tentang seluruh Indonesia. Besar
kejakinan saja, bahwa kita semuanja djangan memutuskan harapan
masjarakat Indonesia ini.11

Selanjutnya Yamin mengemukakan bahwa apabila sumbangan rohani

dari para anggota BPUPKI berhasil dan memberi akibat yang sempurna, maka

zaman kegemilangan bagi rakyat Indonesia akan menjadi kenyataan.

11
Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-undang Dasar 1945, [Cetakan kedua],
Jakarta: Penerbit Siguntang, 1971, hal. 88-89. Dalam buku ini pidato Yamin diletakkan pada
urutan kedua (hal. 87-141), setelah naskah pidato Soekarno, sekalipun Yamin berbicara pada hari
pertama siding BPUPKI pada tanggal 29 Mei 1945. Sementara, dalam buku Saafroedin Bahar,
Ananda Kusuma, Nannie Hudawati, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)-Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei
1945-22 Agustus 1945, Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995, hal. 8-29.

95
Berdasarkan keyakinan seperti itulah maka Muhammad Yamin mengajukan

saran tentang dasar negara yang terdiri dari butir-butir berikut.

I. Peri-Kebangsaan
Indonesia Merdeka, sekarang—Nationalisme lama dan baru Dasar
Negara Sriwijaya dan Majapahit—Perubahan zamanDasar Peradaban
Indonesia—Tradisi tata negara yang putus Etat national—etats
patrimoines, etats puissances—kesukaran mencari dasar asli—Cita-cita
yang hancur di medan peijuangan. Kebangsaan Indonesia mengharuskan
dasar sendiri.
II. Peri-Kemanusiaan
Kemajuan kemerdekaan—Kemerdekaan akan menghidupkan kedaulatan
negara—Anggota keluarga—dunia—Status politik yang sempurna—
Menolak dominion status, protectoraat, mandat, Atlantic Charter pasal 3
—Status internasional yang 'berisi kemanusiaan dan kedaulatan sempurna.
III. Peri-ke-Tuhanan
Peradaban luhur—Ber-Tuhan—Dasar negara yang berasal dari peradaban
dan agama.
IV. Peri-Kerakyatan
Permusyawaratan: Surat Asysyura ayat 38—Kebaikan musyawarat—
Musyawarat dalam masyarakat dalam semasa

Pada tanggal 31 Mei 1945 yang berpidato mengemukakan pandangannya

tentang dasar Indonesia merdeka ialah Prof. Dr. Mr. Soepomo, menyampaikan

tentang teori negara juridis, politis dan sosiologis, syarat-syarat berdirinya

negara, bentuk negara dan bentuk pemerintahan serta hubungan antara negara

dengan agama. Diantara pokok-pokok pikiran Soepomo adalah mengenai syarat

mutlak dan adanya suatu negara terutama adanya faktor konstitutif, baik dari

sudut hukum maupun dari sudut formal. Menurut Soepomo, adanya suatu negara

harus ada suatu daerah (territority), rakyat dan pemerintah yang berdaulat

(souvereign) sebagaimana syarat-syatat yang dikeluarkan oleh hukum

96
internasional. Dalam paparannya, Soepomo tampaknya lebih cenderung memilih

konsep negara berdasarkan teori integralistik yang diajarkan oleh Sinoza, Adam

Muller, dan Hegel. Menurut pandangan ini, negara ialah tidak untuk menjamin

kepentingan seseorang atau golongan, akan tetapi menjamin kepentingan

masyarakat seluruhnya sebagai persatuan.

Lebih lanjut Supomo mengatakan:


Maka teranglah Tuan-tuan yang terhormat, bahwa jika kita hendak
mendirikan Negara Indonesia yang sesuai dengan keistimewaan sifat dan
corak masyarakat Indonesia, maka negara kita harus berdasar atas aliran
pikiran (Staatsidee) negara yang integralistik, negara yang bersatu
dengan seluruh rakyatnya, mengatasi seluruh golongan-golongannya
dalam lapangan apapun. 12

Kemudian, pada tanggal 1 Juni 1945 pandangan mengenai dasar negara

disampaikan oleh Ir. Soekarno. Menurut pandangan Soekarno, yang sekaligus

merupakan usulannya, ada lima prinsip dasar yang dapat dijadikan dasar negara

Indonesia merdeka: Kebangsaan, Internasionalisme, Permusyawaratan,

Perwakilan, serta Kesejahteraan dan Ketuhanan.

Sebelum memasuki masa reses, BPUPKI membentuk satu panitia yang

kemudian disebut Panitia Kecil, yang diberi tugas untuk membahas lebih lanjut

gagasa-gagasan tentang dasar negara (hukum dasar negara). 13 Sesuai dengan

tugasnya, BPUPKI menugaskan pula kepada Panitia ini untuk menampung

saran-saran, usul-usul, dan konsepsi-konsepsi dari para anggota BPUPKI, yang

sebelumnya telah diminta oleh ketua sidang. Saran-saran dan usul-usul itu

12
Saafroedin Bahar, Ananda Kusuma, Nannie Hudawati, Risalah Sidang, 1995, hal. 11.
13
Panitia Kecil ini berjumalah delapan orang yang diketuai oleh Ir. Soekarno, dengan anggota
Drs. Mohammad Hatta, Soetardjo Kartohadikoesoemo, Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo,
Otto Iskandar Dinata, Mr. Muhammad Yamin, dan Mr. A.A. Maramis.

97
diserahkan kepada Sekretariat yang selanjutnya diserahkan kembali kepada

Panitia Kecil.

Dengan demikian, dalam masa reses yang relatif panjang, sebagian dari

para anggota BPUPKI masih tetap melanjutkan kegiatannya, sedangkan sebagian

lagi ada yang pulang dulu ke daerahnya masing-masing, baik untuk memberi

penerangan kepada masyarakat atau untuk mencari masukan dari masyarakat

mengenai rencana Indonesia merdeka yang telah dijanjikan Jepang. Di samping

itu, beberapa anggota yang tetap tinggal di Jakarta beristirahat sambil menunggu

masa persidangan berikutnya.

Pada tanggal 22 Juni 1945 Panitia Kecil mengambil satu prakarsa dengan

mengundang 38 anggota BPUPKI yang waktu itu sebagian di antaranya sedang

menghadiri sidang Chuo Sangi In. Pertemuan itu oleh Bung Karno ditegaskan

merupakan rapat pertemuan antara Panitia Kecil dan anggota-anggota BPUPKI.

Dari pertemuan itu telah ditampung saran-saran atau usul-usul, baik secara lisan

maupun tertulis, menyangkut masalah dasar negara. Selain menampung saran-

saran dan usul-usul para anggota BPUPKI, dalam pertemuan itu juga diambil

pula kesepakatan membentuk sebuah panitia kecil lain yang anggotanya

berjumlah sembilan orang, yang kemudian dikenal dengan sebutan Panitia

Sembilan. Adapun yang menjadi anggota panitia ini adalah Ir. Soekarno, Drs.

Mohammad Hatta, Mr. Muhammad Yamin, Mr. Ahmad Subardjo, Mr. A.A.

Maramis, Abdul. Kahar Moezakir, Wahid Hasyim, H Agus Salim, dan Abikusno

Tjokrosujoso. Pembentukan Panitia Sembilan dianggap penting mengingat

adanya kebutuhan untuk mencari modus antara apa yang disebut oleh Soekarno

98
sebagai “golongan Islam” dan “golongan kebangsaan”, terutama berkaitan

dengan soal agama dan negara. Perbedaan faham mengenai masalah itu

sebenarnya sudah mulai muncul selama berlangsungnya sidang pertama, atau

bahkan memang sudah ada sebelumnya.14

Selain itu panitia 9 juga berhasil merumuskan preambule hukum dasar

dasar negara Indonesia yang berbunyi: (a) ketuhanan, dengan kewajiban

menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya-pemeluknya; (b) (menurut) dasar

kemanusiaan yang adil dan beradab; (c) persatuan Indonesia; (d) dan kerakyatan

yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan;

(e) serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat

Indonesia.15

Rumusan Panitia Sembilan inilah yang kemudian dijadikan bahan untuk

penyusunan Rancangan Undang-Undang Dasar bagi negara Indonesia merdeka

yang diselenggarakan pada sidang kedua BPUPKI, tanggal 11 Juli 1945. Jika

disimak dalam risalah persidangan, salah satu kesan bahwa Muhamamd Yamin

memperlihatkan sebagai anggota yang paling awal mempersiapkan diri tampil

sebagai seorang perancang UUD. Hal ini sudah barang tentu wajar mengingat

dirinya sebagai seorang ahli hukum yang mempelajari perbandingan konstitusi

dan sejarawan yang romantik dan visioner, serta tampil dengan visi tentang

negara Indonesia. Ternyata, meskipun Yamin adalah anggota yang paling siap,
14
Nugroho Notosusanto, Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara (Jakarta: PN Balai
Pustaka, 1982), hal. 22.
15
Rumusan panitia sembilan ini diberi nama Jakarta Charter atau Piagam Jakarta. Menurut
Nugroho Notosusanto yang memberi nama tersebut adalah Muhammad Yamin. Lihat Nugroho
Notosusanto, Naskah Proklamasi Yang Otentik dan Rumusan Pancasila Yang Otentik, Jakarta:
Balai Pustaka), hlm. 17.

99
namun Ketua Sidang, Dr. Radjiman, akhirnya memutuskan untuk membentuk

tiga panitia khusus, masing-masing untuk merancang UUD (diketuai Soekarno),

masalah “pembelaan tanah air” (diketuai Abikusno Tjokrosujoso), dan masalah

keuangan (yang dipimpin Hatta); dan Yamin dimasukkan ke dalam panitia yang

membahasa masalah keuangan.16

B. Mengharungi Gelombang Revolusi Indonesia

REVOLUSI yang menjadi alat tercapainya kemerdekaan bukan hanya

merupakan kisah sentral dalam sejarah Indonesia. Dengan proklamasi

kemerdekaan, 17 Agustus 1945, semua usaha untuk mencari identitas-identitas

baru, untuk persatuan dalam menghadapi kekuasaan asing, dan untuk tatanan

sosial yang lebih adil tampaknya menjadi kenyataan sebagaimana yang

diidamkan selama ini. Dan, untuk pertama kalinya di dalam kehidupan seluruh

rakyat Indonesia, belenggu penjajahan dan penindasan dari kekuasaan asing

hilang dari bumi nusantara. Tugas berikutnya bagaimana mempertahankan

kemerdekaan itu sendiri, yang sudah dapat dipastikan bahwa Belanda ingin

menguasai kembali Indonesia setelah masa pendudukan Jepang.

Baik pihak Belanda maupun kaum revolusioner Indonesia menganggap

Revolusi Indonesia sebagai suatu zaman yang merupakan kelanjutan dari masa

16
Menurut Taufik Abdullah, salah satu penyebab Radjiman sangat keberatan dengan
keikutsertaan Yamin dalam panitia UUD bias dimungkinkan dengan alasan pribadi(?) hal ini
disebabkan karena Yamin sejak awal terlalu banyak bicara dan bicaranya pun panjang-panjang.
Penyebab lain, bias juga disebabkan karena gagasan awalnya tentang UUD yang telah
disampaikannya tidak sesuai dengan pemikiran sang Ketua. “Apapun alasannya,” menurut
Taufik Abdullah, “keputusan ini telah memberi kesempatan kepada Soepomo, yang memulai
ancang-ancang berpikirnya dari idealisasi dari hukum adat yang serba harmonis. Tentang ini
simak Taufik Abdullah, “BPUPKI: Sebuah Episode di Panggung Sejarah”, dalam 1000 Tahun
Nusantara (ed.) J.B. Kristanto, Jakarta: Penerbit Kompas (2000), hal. 69-70.

100
lampau. Bagi Belanda, tujuannya adalah menghancurkan sebuah negara yang

dipimpin oleh orang-orang yang bekerja sama dengan Jepang dan memulihkan

suatu rezim kolonial yang, menurut keyakinan mereka, telah mereka bangun

selama 350 tahun. Bagi para pemimpin Revolusi Indonesia, tujuannya adalah

melengkapi dan menyempurnakan proses penyatuan dan kebangkitan nasional

yang telah dimulai empat dasawarsa sebelumnya. Masing-masing merasa yakin

bahwa takdir dan kebenaran berada di pihaknya. Kedua pandangan tersebut

mempunyai dasar kebenaran, tetapi keduanya juga menyesatkan.17

Walaupun sebagian besar rakyat Indonesia, terutama kalangan pemuda,

kemerdekaan merupakan perwujudan dari cita-cita indah yang sejak lama

didambakan, namun dalam mengisi kemerdekaan itu sendiri hanya sebagian

kecil dari mereka yang memiliki kemampuan dan mahir dalam menjalankan

revolusi. Perosalan revolusi dan kemerdekaan adalah menyangkut soal taktik dan

strategi harus diperhitungkan dengan hati-hati. Sejak zaman penjajahan Belanda,

kemudian dilanjutkan dengan pendudukan Jepang, sejumlah pemikir atau kaum

elit politik Indonesia berupaya memahami secara mendalam makna

kemerdekaan, termasuk ke arah mana tujuan kemerdekaan itu diarahkan. Dan,

tak dapat disangkal, bahwa begitu kemedekaan itu diproklamasikan pada tanggal

17 Agustus 1945 sudah dicapai, banyak diantara kaum elit memberikan persepsi

yang berbeda menurut seleranya masing-masing. Ibarat membangun atau

menghiasi sebuah rumah, semua berebut turut ambil bagian dalam berpartisipasi

17
Soe Hok Gie, Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan, Yogyakarta: Bentang Budaya,
1997, hal. 65.; Anthony J. S. Reid, Revolusi Nasional Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
1996, hal.104.

101
atau menghias dekorasi negara Indonesia yang baru merdeka dengan pandangan

dan ideology yang berbeda

Di antara tokoh politik Indonesia yang memiliki kemampuan dan mahir

dalam menjalankan revolusi itu adalah Sutan Sjahrir dan Tan Malaka. Sekalipun

kedua tokoh ini berasal dari daerah yang sama, yakni Minangkabau; namun

keduanya memiliki visi dan corak yang sangat berbeda. Selain memiliki ideologi

yang berbeda, keduanya memiliki banyak para pengikut dan dari merekalah

kelak dikemudian hari yang menentukan gerak dan dinamika revolusi.

Dalam buklet tersebut—barangkali merupakan salah satu buku yang paling

berpengaruh terhadap pemikiran politik di Indonesia pada zamannya—Sjahrir

membeberkan pendiriannya terutama di kalangan pemuda terpelajar dan buruh

yang ikut dalam gerakan bawah tanah. Buku itu juga menjadi salah satu faktor

yang membawa Sjahrir ke tampuk kekuasaan. Isi pokok tulisannya, yang telah

dibahas dengan sangat mendalam oleh Ben Anderson,18 pada dasarnya

memaparkan suatu inventarisasi yang serba pahit dari ciri-ciri pendudukan

Jepang yang paling mencekam, yaitu kerja paksa, penyerahan padi secara paksa,

pelanggaran hukum, korupsi, dan kekejaman. Akan tetapi tulisan itu

menggarisbawahi apa yang oleh Sjahrir tetap dirasakan sebagai konsekuensi

paling berbahaya dari tahun-tahun pascaperang berikutnya. Sjahrir menulis,

“Revolusi kita harus dipimpin oleh kelompok-kelompok demokratis yang


revolusioner, dan bukan oleh kelompok-kelompok nasionalis yang
pernah menjadi antek fasis, fasis kolonial Belanda, atau fasis militer
Jepang. Perjuangan demokrasi revolusioner haruslah dimulai dengan
membersih-kan diri dari noda-noda fasis Jepang, mengungkung
18
Anderson, Revolusi Pemoeda, hal. 219-230.

102
pandangan orang-orang yang jiwanya masih termakan oleh pengaruh
propaganda Jepang dan didikan Jepang. Orang-orang yang sudah menjual
jiwa dan kehormatannya kepada fasis Jepang harus disingkirkan dari
kepemimpinan revotusi kita, yaitu orang-orang yang pernah bekerja
datam organisasi propaganda Jepang, polisi rahasia Jepang, umumnya
dalam usaha pasukan ke lima Jepang. Semua orang ini harus dianggap
sebagai pengkhianat perjuangan dan harus dibedakan dari kaum buruh
biasa yang bekerja hanya untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup
mereka. Jadi, semua kolaborator politik dengan fasis Jepang harus
dianggap sebagai fasis sendiri atau gat dan kaki tangannya Jepang, yang
sudah tentu berdosa dan berkhianat kepada perjuangan revolusi rakyat.”19

Tuntutan Sjahrir akan perlunya secara mutlak melakukan “pembersihan”

dalam tubuh pemerintah disebabkan oleh karena prinsip hidupnya yang sangat

antifasis dan kecurigaannya terhadap anasir itu dalam tubuh pejuang serta

pemahamannya tentang sikap Sekutu yang menurutnya lebih suka berunding

dengan pemerintah Indonesia yang bersih dari kolaborator Jepang dibandingkan

dengan pemerintahan yang ada. Akan tetapi halyang jauh lebih berbahaya

daripada itu menurutnya ialah jika perjuangan revolusioner dinodai oleh anasir

fasime dan sebaliknya mengabaikan prinsip-prinsip demokratis. Karena itu,

dalam bukunya itu Sjahrir menyerukan kepada pemuda agar bertindak dengan

penuh tanggung jawab, berjuang dengan segenap jiwa revolusionernya, terutama

menghindari kekerasan antiasing dan anti-indo, serta meminta agar mengerahkan

segenap kekuatan mereka ke arah pembentukan suatu pemerintah yang

demokratis, antifasis dan antifeodalistis. Ia juga memperingatkan agar Indonesia

menyesuaikan did dengan kenyataan bahwa negeri ini terletak di dalam

19
Dalam edisi pertama buku ini, Sjahrir memilih menggunakan istilah-istitah yang lebih
keras, “andjing-andjing” dan “kaki tangan fasis” dan bukan “antek” fasis Jepang. Ditambahkan
pula bahwa seekor anjing adalah haram bagi seorang muslim. Akibat penggunaan kata-kata yang
“kasar” ini dalam bukletnya itu, Sjahrir menjadi sasaran kemarahan lawan-lawannya, termasuk di
antaranya kalangan pemuda PETA yang merasa amat tersinggung dengan kata-kata itu, sehingga
dalam edisi-edisi berikutnya, kedua istilah itu diganti dengan kata “antek”.

103
lingkungan daerah pengaruh Inggris-Amerika dan mau tak mau harus hidup di

bawah pengaruh kapitalisme dan imperialisme kedua negara itu. Akhirnya,

Sjahrir menyerukan agar rakyat Indonesia menolak semua pimpinan yang pernah

aktif berkolaborasi dengan Jepang atau Belanda dan memercayakan

kepemimpinan revolusi hanya kepada mereka yang tidak ternoda oleh suatu

hubungan semacam itu dan yang tujuan akhirnya adalah demokrasi.

Ada beberapa alasan mengapa Sjahrir menentang kabinet yang didominasi

kaum kolaborator itu. Pertama, kecemasannya terhadap sistem partai tunggal

model yang sekarang diterapkan Soekarno. Sjahrir mengusulkannya agar diubah

menjadi sistem multipartai. Kedua, bahaya sistem pemerintahan presidensial

yang monolitik merengkuh kekuasaan terpusat pada satu tangan presiden. Untuk

itu ia menyarankan agar diganti dengan sistem presidensial-partementer,

sehingga kekuasaan dapat lebih tersebar. Ketiga, Sjahrir juga amat mencemaskan

perkembangan suatu pemerintah Indonesia yang totaliter karena masih kuatnya

warisan otoriter feodatistis yang masih tetap hidup dan diperkuat oleh periode

pemerintah kotonial Belanda yang panjang.

Selama beberapa minggu sesudah diterbitkan Perdjuangan Kita,

pengaruh brosur antikolaborator Sjahrir itu mulai tampak. Dukungan besar dari

banyak unsur revolusioner yang paling dinamis—para pemuda militan dan kaum

terpelajar umumnya—terhadap pendirian Sjahrir ini dengan sendirinya memberi

jalan bagi Sjahrir untuk menduduki kursi pemerintahan. Lagi pula, dengan

adanya penolakan terus-menerus dari pihak resmi pemerintah Belanda terhadap

keberadaan RI, yakni alasan bahwa pemerintah Soekarno bersifat totaliter,

104
warisan Jepang, dan pemimpin RI kolaborator yang pro-Jepang, maka di

kalangan pemimpin RI lambat laun mulai terjadi sedikit upaya penyesuaian.

Demi mengakomodasikan tuntutan dari dalam maupun penyesuaian dengan

Belanda, pemerintah RI akhirnya bersedia menghadirkan citra yang lebih

demokratis dengan cara merombak susunan kabinet presidensial pimpinan

Soekarno dan menggantinya dengan kabinet parlementer yang lebih demokratis.

Tidak ada pilihan lain kecuati jatuh ke tangan Sjahrir.

Menurut pemahaman Sjahrir, bahaya terbesar yang akan menimpa bangsa

Indonesia dalam perjuangan kemerdekaan, pada dasarnya tidak berasal dari

dalam dan bukan pula dari luar. Secara tegas Sjahrir mengingatkan agar orang

Indonesia dalam mencapai cita-cita kemerdekaannya harus mampu membedakan

mana aspek bagian luar dari revolusi Indonesia di satu pihak, dan mana pula

aspek sosial sebagai bagian dalamnya di pihak lain.

Adapun aspek bagian luar dari revolusi Indonesia dalam pemahaman

Syahrir adalah “revolusi nasional”, yakni berjuang membela Proklamasi dari

ancaman musuh bersama, yaitu Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia.

Sementara, aspek bagian dalam, revolusi Indonesia merupakan “revolusi

kerakyatan”, yaitu mengubah sikap dan mentalitas masyarakat dengan

membersihkan diri dari anasir-anasir fasisme Jepang dan feodalisme. Sehingga,

dengan pemahaman ini yang harus lebih ditekankan dan menjadi tujuan utama

revolusi Indonesia, menurut Sjahrir, bukanlah nasionalisme melainkan

demokrasi. Jika pemahaman dan permasalahan ini diabaikan maka bahaya

terbesar yang kelak menimpa bangsa Indonesia ialah terjebak ke dalam

105
nasionalisme antikolonial yang sempit, picik, semacam jingoisme, yang akan

menyulut tindakan kekerasan yang membabi buta.

Peringatan yang dikemukakan Sjahrir di atas pada bulan-bulan pertama

pasca-Proklamasi, akhirnya menjadi kenyataan. Ia tergugah melihat kenyataan

kekacauan-kekacauan yang timbul setelah proklamasi tercetuskan, di mana

tindakan-tindakan kejam, seperti perammpokan, pembunuhan bangsa asig,

kebancian terhadap orang Cina, Indo, Ambon, Menado, dan lain-lain; di mana

dalam pengamatan Sjahrir sebagai usaha Jepang dalam mengalihkan perasaan

benci rakyat terhadap mereka.20 Akibatnya sejumlah tindak kekerasan dalam

suasana kemelut, panik, kacau, dan ambisi makin sulit dikendalikan pemerintah.

Terutama sekali di kalangan para pemuda revolusioner di mana terdapat

semacam altruisme, yang menyatakan bahwa memerangi Belanda tidak perlu

menunggu instruksi dari atasan karena memang sudah merupakan kewajiban.

Aksi-aksi kekerasan dan pertempuran meledak di mana-mana di hampir semua

kota besar di Jawa dan Sumatera. Tidak peduli sasaran mereka, Sekutu, Belanda,

atau orang Indonesia dengan mudah dituduh “kaki-tangan” Belanda.

Realitas sosial demikian lebih berbahaya lagi di mana pada saat bersamaan

konflik dan pertempuran sesama anak bangsa juga tak terhindarkan. Konflik ini

lebih gawat, brutal, dan merebak sampai ke pedalaman yang dikenal dengan

revolusi sosial, yakni semacam “revolusi dalam revolusi” atau “revolusi sosial”

dalam “revolusi nasional”. Sekalipun keduanya saling berkaitan satu sama lain,

tetapi sifat dan tujuan masing-masing berbeda. Sehingga dapat dikemukakan


20
Soe Hok Gie, Orang-orang di Pesimpangan Kiri Jalan, Yokyakarta: Bentang Budaya,
1977, hal. 66.

106
bahwa dinamika internal perjuangan kemerdekaan yang berlangsung pada tahun-

tahun pertama menyisakan persoalan-persoalan yang sangat rumit. Revolusi

nasional Indonesia juga menyulut rangkaian perseteruan antara sesama elite

politik di pusat dan daerah yang disebabkan pertentangan keras tentang metode,

yakni jalan yang harus ditempuh dalam menyelesaikan urusan bersama dengan

musuh bersama, yakni Belanda. Metode itu melalui jalan perundingan, jalan

peperangan, ataukah revolusi. Di lain pihak revolusi Indonesia juga

“menyediakan jerami kering di musim panas”, artinya konflik-konflik lama di

tingkat lokal memicu terjadinya rangkaian revolusi sosial. Serangkaian aksi-aksi

kekerasan atas nama “kedaulatan rakyat” (from below) menuntut turunnya

pejabat Republik atau raja-raja lokal karena mereka diasosiasikan sebagai bagian

dari musuh revolusi.21

Kekuatan revolusi berikutnya setelah Sutan Sjahrir adalah Tan Malaka.

Sekalipun keduanya sama-sama berasal dari Minangkabau (Sumatera Barat) dan

menimba pendidikan Barat, termasuk melanjutkan ke Negeri Belanda, antara

Sjahrir dan Tan Malaka memiliki sifat dan karakter kepribadian yang berbeda;

termasuk dalam memahami revolusi. Persamaan dari pemikiran mereka hanya

dalam satu soal, yakni sama-sama tidak percaya kepada Soekarno untuk

memimpin revolusi Indonesia.

Hingga tiga minggu pertama setelah proklamasi, Sjahrir dan kelompoknya

tetap bersikukuh menolak kepemimpinan Soekarno, termasuk menolak tawaran

untuk memegang jabatan penting dalam kabinet. Langkah berikutnya, Sjahrir


21
Anthony Reid, “Revolusi Sosial-Revolusi Nasional,” Prisma, No. 8, Agustus 1981, hal.
35-36.

107
megadakan perjalanan keliling Jawa selama dua minggu untuk memastikan sikap

rakyat terhadap kemerdekaan.22

Kenyataan yang terjadi sungguh mencengangkan. Di luar dugaan Sjahrir,

Republik yang baru saja diproklamasikan rupanya memperoleh dukungan yang

sangat besar dan penuh antusiasme. Seluruh rakyat berjuang untuk

mempertahankan kemerdekaan, dan dalam perjuangan itu semua memandang

bahwa Soekarno-Hatta adalah pemimpin mereka. Melihat kenyataan tersebut

akhirnya Sjahrir merasa tidak mampu menyangkal revolusi yang dipimpin

Soekarno dan menerima permintaan Soekarno-Hatta bergabung dalam

memimpin revolusi.

Sebaliknya, sikap yang ditempuh Tan Malaka juga tidak jauh berbeda.

Melihat Sjahrir menolak mendukung Soekarno, Tan Malaka mengajak Sjahir

bergabung dan menyusun kekuatan demi menggulingkan Soekarno. “Jika

berhasil, Tan Malaka akan menjadi presiden, sementara Sjahrir akan memimpin

kabinet dan memegang Kementerian Pertahanan, Kemakmuran, Dalam Negeri

dan Luar Negeri, sementara Soebardjo akan berbagi kekauatan dalam kabinet.”23

Sjahrir menolak dan tidak mau ikut dengan rencana Tan Malaka. Sjahrir

kemudian mengusulkan, jika Tan Malaka membayangkan dirinya jauh lebih

poluler dibandingkan Soekarno, hendaknya Tan Malaka pergi berkeliling ke

daerah-daeah terpencil sebagaimana yang baru saja dilakukan Sjahrir. Akhirnya,

Tan Malaka menuruti saran Sjahrir mengadakan perjalanan keliling sepanjang

22
George McTurnan Kahin, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia (terjemanan), Jakarta:
Komunitas Bambu, 2013, hal. 213.
23
George Kahin, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, hal. 215.

108
pulau Jawa, dan pulang dengan perasaan kecewa dan mengakui bahwa

popularitas Soekarno hebat daripada dirinya.

Gagal membujuk Sjahrir, Tan Malaka kemudian menjalankan strategi baru

berikutnya. Atas bantuan jasa Ahmad Subardjo, Tan Malaka menemui Soekarno,

dan memahamkan perihal bahaya yang akan mengancam apabila Soekarno dan

Hatta memimpin revolusi dan tetap berada di ibukota Jakarta. Mengenai

pertemuan Tan Malaka dengan Seokarno itu, Ahmad Subardjo kemudian dalam

antobiografinya menulis:

“Karena ia ingin bertemu dengan beberapa orang terkemuka, maka saya


mempersilahkan beberapa orang seperjuangan datan di tempat saya untuk
diperkenalkan dengan Tan Malaka. Demikianlah berturut-turut dating
Gatot Tarunomihardjo, Iwa Kusuma Sumantri, Sayuti Melik, bahkan
Bung Karno.
Pada suatu hari Tan Malaka memberitahukan kepada saya bahwa dia
diajak Sajuti Melik ke tempat kediaman Dr. Suharto di Kramat Raya. Di
sana ia bertemu dengan Ir. Sukarno.
Dalam pertemuan itu Bung Karno mengatakan kepada Tan Malaka
bahwa dia dalam perjuangannya mengambil banyak petunjuk-petunjuk
yang Tan Malaka tulis dalam bukunya mengenai “Massa-aksi”.
“Bung Tan,” kata Sukarno, “kita sekarang menghadapi kedatangan
Sekutu yang akan melucuti Angkatan Perang Jepang. Saya tidak
mengetahui apa yang akan terjadi dengan diri saya. Saya bisa ditangkap,
dibuang atau dibunuh. Berhubung dengan kemungkinan itu saya minta
kepada Saudara, berikanlah petunjuk-petunjuk kepada para pemimpin
kami dalam hal taktik dan strategi perjuangan rakyat ita untuk
mempertahankan kemerdekaan kita.”
Tan Malaka lalu berkata: “Saya tidak dikenal oleh pemimpin-pemimpin
yang Saudara singgung. Saya sanggup menunaikan tugas saya itu
apabila Bung Karno memberi surat kepada saya sebagai tanda
pengenalan”.
“Baik,” kata Sukarno, “nanti saya sampaikan kepada Bung Tan, surat
yang dimaksud itu.”24
24
Ahmad Subardjo, Kesadaran Nasional, Sebuah Otobiografi, Jakarta: PT Gunung Agung,
1978, hal. 362-363. Kisah pertemuan bersejarah antara Ahmad Subardjo dengan Tan Malaka
berawal dari suatu hari, tanggal 29 Agustus 1945, pembantu rumah tangga mengatakan ada

109
Walaupun menyetujui akan perlunya menetapkan pewaris kepemimpinan

revolusi, Soekarno tidak ingin menjadikan Tan Malaka sebagai pewaris tunggal.

Tan Malaka kemudian mengubungi Subardjo yang menyetujui rencananya.

Lebih lanjut, Kahin mengemukakan:

“Subardjo lalu mengundang Sukarno, Hatta, dan Tan Malaka ke


rumahnya. Di sana, pada 1 Oktober 1945, Subardjo berargumen perihal
pentingnya membuat testamen politik. Sukarno dan Hatta setuju
membuat testamen semacam itu, tetapi mereka berpendapat bahwa Tan
Malaka hanya meawakili kelompok minoritas pendukung revolusi. Oleh
karena itu, keduanya memutuskan untuk membentuk empat-sekawan ahli
waris yang terdiri atas para pemimpin yang mewakili kelompok utama
pendukung revolusi, yaitu: (1) Tan Malaka yang mewakili kelompok
Marxis Kiri yang ekstrim; (2) Sjahrir yang mewakili kelompok sosialis
moderat; (3) Iwa Koesumasoemantri yang mewakili organisasi-organisasi
Muslim; dan (4) Wongsonegoro yang mewakili pegawai negeri lama dari
golongan ningrat.”25

Surat wasiat yang kemudian dikenal dengan “Testamen Politik”

ditandatangani pada tanggal 1 Oktober 1945, yang pada intinya menegaskan: jika

kepemimpinan Republik berhalangan atau terbunuh dalam perjuangan revolusi,

seorang tamu yang ingin berjumpa dengan Subardjo, dan ia menunggu di ruang depan rumah.
Ketika ditemui, Subardjo melihat sepintas lalu wajah tamu yang duduk di pojok ruangan itu
mirip Mr. Iskaq Tjokrohadisuryo, bekas anggota Perhipunan Indonesia di Negeri Belanda.
Mengenai awal pertemuan bersejarah ini, Subardjo menulis: “Ketika saya mendekatinya, saya
kaget. “Wah, kau Tan Malaka”, kata saya. “Saya kira kau sudah mati, sebab saya baca di
suratkabar bahwa kau disebut menjadi korban dalam kerusuhan di Birma, ada lagi kabar bahwa
kau berada di Yerusalem, dan dikatakan mati dalam kerusuhan Israel”.
25
George Kahin, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia,.. 2013, hal. 217. Menurut catatan
Ben Anderson, sewaktu membicarakan “surat wasiat” itu tidak satu orang pun nama tokoh
pengemban yang hadir, kecuali Tan Malaka. Dan, semula, surat wasiat itu bukan diberikan
kepada Iwa Kusuma Sumantri (mewakili golongan organisasi-organisasi Muslim), tetapi kepada
dr. Sukiman (pemimpin terkemuka sebelum perang dari partai Islam modernis PII. Selama
pembahasan timbul masalah bahwa Sukiman bermukim di Yogyakarta dan tidak dapat ditemukan
dengan segera. Kemudian, sewaktu pertemuan, entah secara kebetulan atau tudak, muncul Iwa
Kusuma Sumatri, dan Subardo mengusulkan nama Iwa untuk menggantikan Sukiman. Lebih
jelasnya, lihat Ben Anderson Revoloesi Pemoeda, Pendudukan Jepang dan Perlawanan Jawa
1944-1946, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1988, hal. 308-309.

110
maka diputuskan pimpinan perjuangan diteruskan di bawah kepemimpinan: Tan

Malaka, Iwa Kusuma Sumatri, Sjahrir, dan Wongsonegoro.

Terlepas dari berbagai kontroversi serta kritikan keras atas lahirnya

“Testamen Politik” yang berhasil dikantongi Tan Malaka, dan kemudian dicap

melakukan perebutan kekuasaan dari Soekarno-Hatta, yang terpenting dari itu

semua banyak di antara saran dan pemikiran Tan Malaka kemudian hari

dilaksanakan oleh pucuk pimpinan republik, seperti keputusan Soekarno-Hatta

meninggal ibukota dan pindah ke Yogyakarta.

Lantas, di mana tempat dan posisi Muhammad Yamin setelah proklamasi

kemerdekaan? Bagaimana peranan Yamin dalam perjuangan revolusi Indonesia?

Pertanyaan semacam ini memang mungkin tidak berlebihan. Setelah

banyak berperan aktif dalam BPUPKI guna menyiapkan segala kelengkapan

organisasi yang kelak dibutuhkan oleh sebuah negara merdeka, kemudian

menjadi anggota PPKI; namun setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus

1945, nama Muhammad Yamin seakan sirna ditelan gelombang revolusi. Dan,

ketika Soekarno-Hatta selaku Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia

mengumumkan cabinet pada tanggal 31 Agustus 1945, nama Muhammad Yamin

sama sekali tidak tercatat.

Menurut Bakri Siregar, Mahaputera Prof. Muhammad Yamin, S.H., adalah

manusia yang hebat. Sulit mencari tandingan sekaliber dengan Yamin, sehingga

untuk menilai prestasinya diperlukan sejumlah ahli menurut spesialisasinya.

111
Lengkapnya tentang sosok dan gambaran Muhammad Yamin, Bakri Serigar

menulis:

“Dia guru besar dalam bidang hukum seperti dinyatakan dalam oleh gelar
kesarjanaannya dengan keahlian hukum pidana, hokum tatanegara,
hukum konstitusi, hokum perdata, hukum adat dan hokum internasional.
Di samping itu dia politikus, budayawan, sastrawan, penyair, ahli bahasa,
sejarawan. Dia berjasa pula untuk Republik ini dengan mendapat
anugerah Bintang Mahaputera dari pemerintah Soekarno, dan dinyatakan
sebagai pahlawan nasional oleh Pemerintahan Soeharto.” 26

Menurut Adam Malik, seorang akivis perjuangan yang dikenal sebagai

pengagum dan pengikut Tan Malaka (demikian juga Muhammad Yamin), dalam

otobiobrafi-nya menggambarkan sosok Yamin sebagai berikut:

“Dia terkenal sebab dia memang diakui sebagai seorang sejarawan dan
budayawan Indonesia yang jarang dicari tandingannya. Semenjak
mudanya dia suduah terangsang untuk memperdalam dan menyelami
sejarah dan kebudayaan Indonesia. Dalam hal ini saya bisa pastikan
bahwa dia sangat merindukan akan kembalinya kekuasaan dan
kemegahan Mojopahit di kawasan Nusantara pada abad duapuluh ini.
Patih Gadjahmada merupakan sumber inspirasinya selama dia hidup dan
dia sangat dipengaruhi oleh watak Patih Gadjahmana yang keras itu.
Sebagai sejarawan dan budayawan dia menunjukkah kebolehannya yang
ia abadikan di dalam deretan karya kreatif yang sudah diterbitkan.
Lagipula, keahliannya di bidang sejarah dan kebudayaan telah
menempatkan dia lebih jauh maju daripada yang lain, sehingga semua
tunduk dan mengiyakan setiap kali dia mengeluakan kata-kata atau istilah
baru yang diaambil dari perbendaharaan Sansekerta atau Jawa Kno untuk
memberi nama bagi sesuatu penemuan atau kejadian baru. Kata-kata
seperti Bhinneka Tunggal Ika, Pancasila, Irian Barat dan banyak lagi
adalah sebutan-sebutan yang dia ciptakan untuk mengidentifisir suatu
ide, suatu karya atau suatu nusa yang diterima langsung oleh khalayak
ramai tanpa dibarengi suatu kritik atau perbedaan.”27

26
Bakri Siregar, “Muhammad Yamin Sang Pujangga”, Prisma, No. 3, Maret 1982., hal. 71.
27
Adam Malik, Mengabdi Republik, Jilid II: Angkatan 45, Jakarta: PT Gunung Agung, 1978,
hal. 165.

112
Di antara sekian banyak tokoh terkenal yang berasal dari Minangkabau,

barangkali dia satu-satunya yang dengan sadar mendasatkan tatalaksana

hidupnya atas pemikiran bahwa kebesaran Negara dan bangsa Indonesia kelak

akan ditentukan antara lain dengan percampuran darah dari sekian banyak suku

untuk mengikat hati putri bangsawan Solo untuk dijadikan istri dan teman

hidupnya. Kesadaran itu dia terapkan pula secara konsekwen dengan memilih

putri Mangkunegaraan di Solo untuk dijadikan anak tunggalnya, Rahadian.

Lebih lanjut Adam Malik menulis:

“Tetapi sebagai tokoh politik dia menampakkan pembawaan yang terlalu


emosional, artistic, kurang sabar, cepat marah, berkeras suara, dan
berkeras hati sehingga dia menjadi mudah tersinggung dan dapat cepat
digoyahkan dari keseimbangannya. Sekalipun demikian Muhammad
Yamin berhasil mempertahankan diri dari dalam liku-liku dan pasang
surutnya geombang politik semenjak saya berhadapan dengan dia untuk
pertama kali di Medan pada tahun 1931 hingga wafatnya pada permulaan
tahun 1964. Batasan waktu yang sekian panjang itu dia penuhi dengan
segala macam kegiatan politik yang mudah menguntungkan juga bisa
cepat merugikan dirinya sendiri.”28

Sementara itu, Ben Anderson menyebut Yamin sebagai politikus nyentrik

yang paling terkenal selama hidupnya. Mengenai gambaran lengkap tentang

Yamin, Anderson (samasekali bukan untuk menghina) memberikan personifikasi

seperti seekor kuda: “jika Anda berada dihadapannya mungkin Anda digigit; jika

di belakangnya, disepak; dan jika di bawahnya, dinjak-injak terus. Tetapi jika

Anda berada di atasnya, dengan tali-tali kekang di tangan Anda, ia akan

membawa Anda dengan cepat dan tahan lama”.29

28
Adam Malik, Mengabdi Republik, hal. 166.
29
Anderson Revoloesi Pemoeda,… hal. 318.

113
C. Tergilas Gelora Revolusi: Peristiwa 3 Juli 1945

Naiknya Sjahrir ke tampuk kekuasaan pada pertengahan November 1945

menandai terjadinya perubahan penting dalam kebijakan Republik dalam

menghadapi Belanda. Pada sisi lain perubahan formasi politik ini berdampak

pada konflik internal dalam tubuh Republik. Perubahan pertama adalah

terjadinya pergeseran dari kabinet presidensiil ke kabinet parlementer; dan

sekaligus menandai awal kebijakan politik perundingan yang dinakhodai oleh .

Perdana Menteri (PM) Sutan Sjahrir.

Menurut Mestika Zed, dalam kabinet presidensil di bawah Presiden

Soekarno, sebenarnya sejak awal siap melakukan perundingan, baik dengan

Sekutu maupun Belanda.30 Namun, Soekarno terkendala akibat persepsi awal dan

tuduhan sepihak dari Belanda atas peranannya sebagai “kaki tangan” Jepang. Hal

ini diperkuat lagi dengan anggota kabinet saat itu adalah pejabat Indonesia

mantan pegawai Jepang, yang oleh Ben Anderson, dijuluki dengan Kabinet

Bucho,31 istilah Jepang untuk menyebut pejabat dari jawatan Jepang yang masih

berkuasa. Sehingga Belanda menolak segala macam alas an berunding dengan

Soekarno dengan alasan pemerintahannya adalah “kolaborator” Jepang.

30
Ini misalnya dibuktikan melalui pidatonya pada konferensi pangreh praja se-Jawa dan
Madura di Jakarta pada 2 September 1945. Soekarno antara lain menyatakan, “….politik jang
diambil oleh Repoeblik Indonesia heroes dihadapkan kepada doenia internasional. Sekarang jang
pertama moetlak perloe ialah diplomasi! Tetapi poela, dalam mendjalankan diplomasi jang
mendjadi toelang poenggoeng ialah kekoeatan batin serta materieel dari segenap bangsa. Tidak
ada satoe negara bisa masoek ke dalam gelanggang internasional hanjalah dengan diplomasi
sadja, tetapi dibelakangnja -- bahkan jang mesti mendjadi dasar -- ialah adanja soeatoe tenaga
kekoeatan. Oleh sebab itoe, kita menyoesoen satoe collectieue opgehoopte volkswil, satoe
kemaoean rakjat ....” Soeara Asia, 6 September, 1945, mengutip Ben Anderson, Revolusi
Pemoeda… hal. 134.
31
Anderson, hal. 134-135.

114
Kebijakan politik perundingan yang ditempuh PM Sjahrir mendapat

perlawanan sengit dari para penantangnya, terutama dari kelompok pemuda

radikal di bawah pimpinan Tan Malaka yang terhimpun Persatuan Perjuangan

(PP). Bagi kelompok pemuda revolusioner yang turut berjuang sehingga lahirnya

Republik di pusat dan di daerah, Proklamasi merupakan suatu obat penawar yang

mengakhiri penghinaan rasial dari pemerintah kolonial terhadap bangsa

Indonesia. Artinya, perjuangan dalam mempertahakan proklamasi kemerdekaan

tersebt adalah harga diri dan menolak segala bentuk belas kasihan atau

bekerjasama dengan pemerintah Belanda.

Menurut Tan Malaka, bangsa Indonesia tidak keberatan dengan politik

perundingan, tetapi perundingan baru biaa dilakukan atas dasar pengakuan

kemerdekaan seratus persen terlebih dulu, setanjutnya baru berunding. Guna

mengingangi strategi dan konsep perjuangan, sebagaimana yang ditulis Sjahrir

dalam Perjuangan Kita, Tan Malaka menulis brosur Moeslihat (1945), di mana

menurutnya:

“Pertikaian di kalangan kita sendiri akan memperlemah perjuangan kita.


Kita tidak ingin berunding dengan siapa saja sebelum kita mencapai
kemerdekaan 100%, dan sebelum musuh meninggalkan pantai dan laut-
laut kita secara damai. Kita tidak ingin berunding dengan seorang maling
di rumah kita sendiri. Jangan menganggap rakyat tidak paham akan
diptomasi. Kita tidak ingin mengadakan perundingan selama musuh masih
bercokol di bumi kita. Kalau kita masih tetap ingin mengadakan
perundingan, berarti kita melawan kehendak masyarakat banyak. Oleh
karena itu, selama masih ada satu musuh di dalam negeri kita, selama
masih ada sebuah kapal musuh yang berlabuh di pantai kita, perjuangan
harus dilanjutkan terus ...”32
32
Tan Malaka, Menuju Merdeka 100%, Secarai Karya Penting Tan Malaka s, Jakarta: PT
Buku Seru, 2017, hal.193.

115
Dalam kongres di Surakarta (Solo) dapat dihasilkan beberapa jeputusan

penting, antara lain terbentuknya kepengurusan organisasi Persatuan Perjuangan

(PP) sebagai koalisi dari semua golongan dan kelompok yang menentang

kebijakan diplomasi Republik, sebagimana yang digagas dalam kongres

Purwakarta sebelumnya. Selain itu dicetuskannya manifesto politik berupa

“Program Minimum” yang harus dijalankan pemerintah. Ada tujuh inti pokok isi

Program Minimum, yang kemudian menjadi bahan propaganda PP dan sekaligus

menjadi isu perdebatan sengit selama beberapa bulan dalam KNIP:33

1. Beruding atas pengakuan kemerdekaan seratus persen;


2. Pemerintahan rakyat, yakni sesuainya haluan pemerintah dengan
kemauan rakyat.
3. Tentera rakyat, yang sesuai dengan hatuan 'tentara' kemauan rakyat.
4. Melucuti 'tentara' Jepang.
5. Mengurus tawanan bangsa Eropa.
6. Menyita perkebunan dan menyelenggarakan pertanian rakyat
7. Menyita dan mengurus perindustrian (pabrik, bengkel, tambang,
dan lain-Lain).

Ketegangan antara Kabinet Sjahrir dengan kelompok oposisi semakin

meruncing setelah mendengar adanya rencana kudeta yang diduga dilancarkan

oleh kelompok Persatuan Perjuangan dengan cara menculik anggota-anggota

Kabinet Sjahrir. Karena diketahui oleh pemerintah, maka pada tnggal 23 Maret

1946 sejumlah tokoh-tokoh Persatuan Perjuangan, antara lain Tan Malaka, Mr.

Subardjo, Sukarni, dan beberapa tokoh lainnya ditangkap. Kejadian tersebut

33
Anderson, Revoloesi Pemoeda, hal. 320-321.

116
dibalas pula dengan peristiwa penculikan terhadap PM Sjahrir dan Menteri

Kemakmuran Darmawan Mangunkusumo, dan beberapa tokoh kabinet lainnya.

Selanjutnya, pada tanggal 3 Juli 1946, pelaku utama kudeta, Mayor

Jenderal Sudarsono, yang bersimapati dengan kelompok Persatuan perjuangan

datang menghadap Presiden Soekarno di Istana Kepresidenan, Yogyakarta. Ia

beseta rekan-rekannya menyodorkan empat naskah maklumat kepada presiden

untuk ditandatangani, yang isinya menyebutkan agar: (1) Presiden

memberhentikan Kabinet Sjahrir; (2) Presiden menyerahkan pimpinan politik,

social, dan ekonomi kepada Dewan Pimpinan Politik; (3) Presiden mengangjat

10 anggota Dewan Pimpinan Politik (yang nama-namanya tercantum dalam

naskah); (4) Presiden mengangkat 13 menteri Negara (yang nama-namanya

tercantum dalam naskah).34

Sebenarya, hakikat dari maklumat di atas adalah agar pimpinan

pemerintahan diserahkan kepada para pengikut kelompok Persatuan Perjuangan

yang dipimpin oleh Tan Malaka. Akan tetapi Presiden Soekarno menolak

maklumat tersebut, dan pada saat itu juga Mayor Jenderal Sudarsono beserta

rekannya ditangkap.

Peranan Muhammad Yamin dalam peristiwa penculikan PM Sutan Sjahrir

sangat menarik. Pada tanggal 1 Juli 1946, Yamin mendatangi Rumah Penjara

Wirogunan, Yogyakarta dan berhasil membuka pintu sel-sel tahanan politik dan

melepaskan para tawanan. Kemudian, keesokan harinya, Yamin membuat empat

34
Ensiklopedia Nasional Indonesia [Jilid 13], Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka, 1990, hal. 76-
77. Mengenai Peristiwa 3 Juli 1946 ini lihat juga Ben Anderson, Revolusi Pemoeda: Pendudukan
Jepang dan Perlawaan di Jawa 1944-1946 (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1988), hal. 134.;

117
naskah yang berisi usul agar PM Sjahrir diberhentikan dan digantidengan kabinet

lain. Selanjutnya, Yamin bersama-sama tawanan politik berangkat menghadap

Presiden Soekarno guna mengajukan empat usul tersebut.

Maklumat No 2

Atas desakan Rakjat dan Tentara dalam tingkatan kedua revolusi


Indonesia, jang berdjuang untuk membela seluruh Rakjat dan seluruh
kepulauan dibawah kedaulatan Negara Republik Indonesia atas
Kemerdekaan seratus prosen, maka kami Presiden Republik Indonesia
pada hari ini memberhentikan seluruh Kementerian Negara Sutan
Sjahrir dan Amir Sjarifuddin.

Jogjakarta, 3 Djuli 1946.


Presiden Republik Indonesia.

Maklumat No. 3

Atas desakan Rakjat dan Tentara dalam tingkatan kedua Revolusi


Indonesia jang berdjoang untuk membela Rakjat dan seluruh kepulauan
Indonesia dibawah lingkungan kedaulatan Negara Republik Indonesia
atas kemerdekaan seratus prosen dan berhubung seluruh rakjat dan seluruh
kepulauan dalam bahaja perang kami Presiden Republik Indonesia
menjerahkan kekuasaan rakjat jang ditangan kami jang berkenaan
dengan pembelaan dan Pengawasan Negara kepada Panglima Besar
Angkatan Darat, Laut,35 Udara bersama2 dengan markasnja, dan jang
berkenaan dengan pimpinan politik, sosial dan ekonomi kepada Dewan
Pimpinan Politik dan kementerian jang baru dengan segera akan
dibentuk.

Jogjakarta, 3 Djuli 1946.


Presiden Republik Indonesia.

Maklumat No. 4.

Untuk memenuhi maklumat kami No. 3 tanggal 3 Djuli 1946 maka kami,
Presiden Republik Indonesia, mengangkat bersama ini sepuluh orang
anggota Dewan Pimpinan Politik Saudara2:

35
Reid, hal. 35.

118
1. Buntaran Martoatmodjo 6. Muhammad Yamin
2. Budhiarto Martoatmodjo 7. Subardjo
3. Chairul Saleh 8. Sunarjo
4. Gatot 9. Malaka
5. Iwa Kusumasumantri 10. Wahid Hasyim

Jakarta, 3 Djuli 1946.

President Republik Indonesia

Maktumat No. 5:
Untuk memenuhi maklumat kami No. 2 dan 3, tanggal 3 Djuli 1946,
maka kami Presiden Republik maka kami, Presiden Republik Indonesia

119
mengangkat bersama ini anggota2 Kementerian Negara Menteri Dalam
Negera:36
Menteri Luar Negeri : Budhiarto
Menteri Luar Negeri : Subardjo
Menteri Pertahanan : akan disiarkan
Menteri Kehakiman : Supomo
Menteri Kemakmuran : Tan Malaka
Menteri Agama : Wahid Hasyim
Menteri Sosial : Iwa Kusuma Sumantri
Menteri Bangunan Umum : Abikusno Tjokrosujoso
Menteri Keuangan : A.A. Maramis
Menteri Kesehatan : Buntaran Martoatmodjo
Menteri Penerangan dan
Penjiaran : Muhammad Yamin
Menteri Pengadjaran : Ki Hadjar Dewantoro
Meneteri Perhubungan : Ruseno

Menteri Negara :
1. Chairul Saleh 6. Sukiman
2. Faturrachman 7. Sunarjo
3. Gatot 8. Sartono
4. Kartono 9. Samsu H. Udaya
5. Patty 10. Moh. Saleh

Jogjakarta, 3 Djuli 1946.


President Republik Indonesia.

Sebenarya, hakikat dari maklumat di atas adalah agar pimpinan

pemerintahan diserahkan kepada para pengikut kelompok Persatuan Perjuangan

yang dipimpin oleh Tan Malaka. Akan tetapi Presiden Soekarno menolak

maklumat tersebut, dan pada saat itu juga Mayor Jenderal Sudarsono beserta

rekannya ditangkap.

Ketidakhadiran Panglima Soedirman saat itu menjadi pertanyaan tentang

keterlibatannya dalam upaya kudeta di bawah pimpinan Mayor Jenderal

Soedarsono. Pada sore harinya presiden mengadakan rapat raksasa di Yogyakarta


36
Kahin, Nasionalisme dan Revolusi. cit., hal. 434.

120
yang di hadiri para pemimpin kabinet, wakil partai-partai dan organisasi-

organisasi politik yang besar serta Panglima Besar Soedirman pun hadir dalam

acara tersebut. Pada rapat tersebut Soedirman menyetujui dan menandatangani

suatu perintah pemberhentian Soedarsono dari semua fungsi militernya. Selain

itu secara diam-diam ia menyetujui pula penahanan sejumlah besar pemimpin

sipil dan sejumlah kecil pemimpin militer. Menurut laporan, selain pembersihan

besar-besaran dilakukan pula penahanan politik terhadap 96 orang yang terdiri

dari 75 orang sipil dan 21 orang.

Adapun orang-orang yang ditangkap di istana ditahan setama seminggu di

Yogyakarta dan kemudian dipindahkan ke penjara di Mojokerto. Sebaliknya,

kelompok oposisi yang hadir dalam rapat itu menyetujui pemberhentian Kabinet

Sjahrir dan diambil alih Presiden Soekarno sebagai pimpinan pemerintahan

untuk sementara waktu, yang dibantu Dewan Pertahanan Negara. Adapun

Soedirman tetap menduciuki jabatannya sebagai Panglima Besar TKR. Rapat

tersebut memutuskan pula tidak bertakunya sanksi bagi pimpinan-pimpinan

partai yang peranannya hanya “sambil lalu” saja dalam peristiwa 3 Juli itu.

Selanjutnya KNIP akan diperluas untuk menampung kepentingan-kepentingan

yang lebih besar.

Pada akhirnya perkara percobaan kudeta 3 Juli 1946 yang disidangkan

dalam Mahkamah Tentara Agung telah menghasilkan keputusan hakim terhadap

perkara tersebut yang diumumkan pada 27 Mei 1948, yaitu:

1. Mayjend. Soedarsono mendapat hukuman 4 tahun penjara disertai


pemecatan dari jabatan.

121
2. Mr. Subardjo mendapat hukuman 3 tahun penjara.
3. Mr. Iwa Kusumasumantri mendapat hukuman 3 tahun penjara.
4. Mr. Budhiarto mendapat hukuman 2,5 tahun penjara.
5. Mr. Buntaran mendapat hukuman 2 tahun penjara.
6. Mohammad Saleh mendapat hukuroan 2,5 tahun penjara.

Penjagaan Sidang Istimewa hari itu diperketat dengan melakukan

pemeriksaan terhadap kartu identitas peserta sidang serta senjata-senjata yang

dibawa oleh para peninjau sidang. Dalam menyikapi hasil keputusan sidang

terdapat polarisasi pandangan, di antaranya keluarga Abikusno yang hadir dalam

sidang tersebut, Mr. Subardjo yang menyatakan ketidakpuasan di muka umum

bahwa perbuatan tersebut belum terjadi dan masih dalam tingkatan percobaan.

Adapun masyarakat umum dari kalangan peninjau di jalanan berpendapat bahwa

keputusan hakim tersebut dinilai “bijaksana” sesuai keadaan revolusi. Bahkan

seorang di kalangan peninjau yang tidak dikenal namanya berkomentar,

“hukuman yang pantas sekali, kita masih dalam revolusi.”

Kemungkinan pecahnya konflik terbuka antara angkatan-angkatan

bersenjata yang bersaing di jantung wilayah Republik memberikan nilai tambah

pada kemampuannya untuk menampung tekanan-tekanan yang bertentangan.

Kekuatan yang masih tersisa dalam revolusi demokratis, “antifasis”, yang

didambakan kaum sosialis dan kelompok pemuda radikal yang berada di bawah

pengaruh Tan Malaka dan PP yang mencetuskan citra revolusioner dalam

pencapaian kemerdekaan, tetap mencerminkan arus utama dinamika politik

internal Republik.

122
D. Pemikiran Muhammad Yamin Dalam Proses Terbentuknya Negara
IndonesiaMerdeka

1. Menggagas “Bahasa Melayu” Menjadi Bahasa Persatuan

Sebagaimana yang dikemukakan sebelumnya, tujuan utama berdirinya

Jong Sumatranen Bond (JSB) adalah untuk mempersatukan semua mahasiswa

asal Sumatera, menyebarluaskan bahasa-bahasa Sumatera dan kebudayaan-

nya, serta “untuk menampilkan sikap terhadap tuntutan yang tak bisa

diingkari kepada semua anggota, agar ia sadar sebagai orang Sumatera”.

Organisasi ini tidak mengklaim, seperti banyak kaum nasionalis Jawa, bahwa

Sumatera sudah menjadi satu bangsa atau bahwa kepentingan-kepentingan

mereka bertabrakan dengan nasionalisme Hindia. Slogan utama organisasi ini

sederhana, yaitu persatuan adalah kekuatan: “Hanya Sumatera yang bersatu

dapat menjadi kebesaran Sumatera”.

Mewujudkan identitas sejarah Sumatera bukanlah hal gampang.

Meskipun orang Minangkabau sangat dominan di JSB, seperti orang Jawa di

Jong Java, mereka tidak bisa menganggap remeh adanya perbedaan besar

dalam hal: bahasa, agama, dan adat yang ada di Sumatera. Di antara tokoh

pemuda yang demikian cerdas dan gemilang mengurangi jurang perbedaan

tersebut secara akademis lewat tulisan-tulisan mereka dalam majalah Jong

Sumatera, adalah Mohammad Amir, Muhammad Yamin, dan Bander Djohan.

Muhammad Yamin merupakan salah seorang anggota JSB yang

demikian getol mengusung tujuan tersebut dan dengan penuh gairah serta

keyakinannya bahwa bahasa Melayu merupakan simbol dan sarana bagi

123
persatuan Sumatera (dan akhirnya juga Indonesia). Walaupun lahir di daerah

Minangkabau (Talawi), hampir seumur hidup pemuda Yamin tinggal menetap

di Jawa, dan sangat mengagumi sejarah dan kebudayaan Jawa. Mungkin

inilah yang mengubah sikapnya terhadap “tanah air”nya. Pada mulanya ia

mengaku Andalas (Sumatera) sebagai “tanah air”nya, yang ia puja pada tahun

1920.37 Delapan tahun sesudahnya, rasa-rasa kenasionalannya meluas ke

seluruh nusa, sebagaimana terungkap dalam sajaknya Indonesia, Tumpah

Darahku.38

Hari-hari di masa mudanya Yamin terkenal karena hasil-hasil sastra

Melayu, yang menjadi basis bahasa Indonesia. Baginya bahasa ini adalah

bahasa nasional. Malahan sejak waktu ia masih duduk di sekolah lanjutan ia

mendesak sahabat-sahabatnya dan juga orang-orang Indonesia lainnya yang

berpendidikan Belanda, yang dalam lingkungan ini bahasa Belanda sering

dipakai untuk berkomunikasi, agar mereka meninggalkan bahasa Belanda dan

memilih Melayu sebagai bahasa mereka sendiri. Di tahun 1920 ia

memperingatkan para sahabatnya bahwa “kita sudah tidak mampu lagi

menyatakan perasaan kita dalam bahasa sendiri”, dan bahwa “bahasa kita

sendiri makin lama makin kita tinggalkan” lagi bahwa “ada di antara mereka

37
Lihat sajak Tanah Airku dalam A. Teeuw, Pokok dan Tokoh dalam Kesusasteraan Indonesia
Baru (Jakarta, Pembangunan, 1959 (cetakan ke-5), Jilid 1, hlm. 75.
38
Mengingat temanya mengusung tentang “persatuan”, sajak ini diterbitkan ulang pada
pelaksanaan Kongres Pemuda II Oktober 1928. Mengenai ini simak lebih lanjut Deliar Noer,
“Yamin dan Hamka, Dua Jalan Menuju Identitas Indonesia”, dalam Anthony Reid & Davis Marr
(ed.), Dari Raja Ali Haji Hingga Hamka, Indonesia dan Masa Lalunya, Jakarta: Grafiti Pers,
1983, hal. 41.

124
yang tidak lagi prihatin kepada bahasa sendiri.” Dan, Yamin mengingatkan

kembali bahwa, “tiada bahasa, hilanglah bangsa”.39

Dalam memandang masa depan Yamin membayangkan rasa syukur dari

para anak cucu generasinya atas segala jerih payah nenek-moyang mereka

jikalau mereka berhasil mengembangkan bahasa ini. Karya-karya sastra yang

bermutu tinggi, ujar Yamin, akan menjadikan bangsanya termasyhur serta

menjadikan bangsa itu jaya. Yamin mengembangkan suatu pertimbangan

yang lebih terperinci demi pengakuan terhadap bahasa nasional. Ia

menyuguhkan tema, khususnya dalam pidato utamanya di depan Kongres

Pemuda tahun 1928, bahwa bahasa memiliki pengaruh yang penting terhadap

persatuan nasional. Ia mengakui bahwa persatuan Negara Swiss tidak

membutuhkan bahasa yang sama, tetapi dengan jumlah “ratusan bahasa” yang

terdapat di seluruh Kepulauan Indonesia, bahasa persatuan amat esensial.

Bahasa Melayu telah meningkatkan dirinya dalam posisi sebagai bahasa

nasional — bahasa Indonesia. Yamin berpendapat, bahasa Indonesia telah

menjadi salah satu pencerminan kesatuan bangsa Indonesia. Dengan penuh

keyakinan ia menggambarkannya sebagai lumbung bagi peradaban bare di

masa depan, peradaban Indonesia.

Yamin juga mengungkapkan rasa kenasionalannya Indonesia dalam

lakon, Ken Arok dan Ken Dedes, yang ditulis pada saat upacara Kongres

Pemuda kedua, tahun 1928.40 Naskah ini menggambarkan keberhasilan Ken

39
Deliar Noer, “Yamin dan Hamka, ….hal. 42.
40
Teeuw, hlm. 80.

125
Arok dalam menyatukan dua kerajaan pada abad ketiga belas yaitu Janggala

dan Kediri menjadi satu negara, sehingga terbuka jalan bagi Majapahit yang

jaya. Yamin menegaskan asal-usul Ken Arok sebagai tokoh dari kalangan

bawah. Apakah hal ini dapat dinilai sebagai bukti dari sikapnya yang simpatik

terhadap kaum murba, rakyat jelata, yang kelak di masa revolusi diperlihatkan

dalam hubungannya yang erat dengan Tan Malaka, tidak bisa disebutkan

dengan pasti. Bagi Yamin yang lebih penting adalah kesatuan seluruh

Nusantara, tanpa peduli tentang cara-cara yang digunakan untuk

mencapainya. Ia mengukur setiap tokoh sejarah Indonesia dengan tolok ukur

ini, mengelu-elukan Gajah Mada, patih Majapahit, sebagai tokoh pemersatu

Nusantara yang paling cakap, dan Dipanegara bukan hanya sebagai pahlawan

yang melawan ambisi kolonial Belanda tetapi juga seorang pemersatu

Indonesia yang potensial.41

Kebanyakan karya Yamin tentang Gajah Mada dan Dipanegara dikerja-

kannya selama pendudukan Jepang, tetapi minatnya pada pahlawan-pahlawan

masa lalu sudah dimulai jauh lebih awal, sebagaimana dapat dilihat dalam

lakonnya tentang Ken Arok dan Ken Dedes. Sebagaimana akan diungkapkan

di bawah, Yamin telah menyebut para pahlawan ini dalam pidatonya tahun

1928. Masa pendudukan Jepang barangkali telah memberikan kesempatan

lebih banyak untuk menulis dibanding ketika ia pada tahun tiga puluhan aktif

sebagai pemuka partai (Gerindo dan kemudian Partindo), anggota Dewan

Rakyat, dan sebagai ahli hukum. Pelarangan terhadap buku-buku sejarah


41
M. Yamin, Gadjah Mada: Pahlawan Persatuan Nusantara (Jakarta, 1953); idetn, Sedjarah
Peperangan Dipanegara, 1950)

126
Belanda pada masa Jepang telah menumbuhkan kebutuhan lebih lanjut serta

kesempatan bagi bakat sejarah Yamin.

Perhatian Yamin terhadap kesatuan Indonesia pada masa lampau dan

masa datang khususnya terungkap dalam pidatonya di Kongres Pemuda tahun

1928. Dapat dikatakan, seluruh karyanya yang kemudian, termasuk naskah-

naskah yang diterbitkan sesudah kemerdekaan, merupakan pembenaran

terhadap sikapnya di tahun 1928, meskipun dengan pengaruh Jawa yang

semakin meningkat. Pidato tersebut merupakan pidato utama dalam kongres.

Yamin berpendapat bahwa “persatuan Indonesia bukanlah omong-kosong,

tetapi seperti sebuah rumah yang dibangun di atas tiang-tiang kukuh”.

Kesatuan ini berdasar kepada beberapa faktor, termasuk sejarah, bahasa, dan

hukum adat. Menurutnya, memandang sejarah Indonesia pada umumnya

sebagai “satu pertumbuhan yang tunggal”, dari status merdeka sebelum

kedatangan bangsabangsa Barat, kepada status kolonialisme dan kembali

kepada kemerdekaan.

Merujuk pada teori Ernest Renan tentang kebangsaan, Yamin

berpendapat bahwa “kesatuan sejarah” memang menjalankan suatu pengaruh

pada pembentukan suatu bangsa. Suatu bangsa “lebih seperti roh daripada

tubuh”. Aspek pertama dari roh ini dapat ditelusuri pada masa lalu, sebagai

ingatan yang dikenang, sementara aspek yang kedua dihubungkan dengan

keadaan sekarang. Masalahnya kemudian adalah apakah sekelompok orang

yang disebut “bangsa” mau hidup bersama dan ingin terus hidup bersama

sebagai satu bangsa. Bagi Indonesia, pendapat Yamin lebih lanjut, masa

127
lampau berciri heroisme, kejayaan, dan kebudayaan tinggi. Tetapi, masa

lampau, juga penuh dengan kepiluan dan pengorbanan yang diakibatkan oleh

kolonialisme. Meskipun demikian, menurut Yamin, hal ini telah memperkuat

ikatan bangsa, dan juga telah mengurangi kelemahan-kelemahan yang ada

pada masa Sriwijaya dan Majapahit. Kesatuan pada periode dua kerajaan

Indonesia, kata Yamin, didasarkan kepada keprabuan (prabu berarti raja atau

pangeran), sistem dinasti yang ada, yang juga memintakan kesetiaan

keagamaan untuk memainkan peran. Kesatuan dalam periode modern tidak

hanya bercirikan faktor-faktor kesamaan yang mempersatukan, misalnya

bahasa, adat, dan sejarah, melainkan khususnya oleh kehendak rakyat untuk

hidup sebagai satu bangsa.42

2. Konseptor dan Perumus Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928

Penyelenggaraan Kongres Pemuda II yang berlangsung pada 26-28

Oktober 1928 hampir usai. Pembicara sesi terakhir adalah Sunario, tokoh

pemimpin Perhimpunan Indonesia (PI) yang saat itu bertindak selaku

penasehat kongres, sedang berpidato dengan judul “Pergerakan Pemuda

Indonesia dan Pemuda di luar Indonesia”. Hari-hari terkahir pelangsanaan

kongres samasekali belum terbayang bagaimana hasil keputusan kongres bagi

kemajuan bangsa dan dunia pergerakan. Para pemuda dari berbagai organisasi

masih tetap bersikukuh dengan perbedaan serta sikap primordialnya masing-

masing.
42
Teori Ernest Renan mengenai kebangsaan telah mempengaruhi banyak pemimpin Indonesia
didikan Barat. Lihat, umpamanya, pidato Sukarno mengenai Pancasila dalam M. Yamin, Naskah
Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 (Jakarta, Penerbit Siguntang, 1971) Jilid I, hlm. 69.

128
Sejumlah kubu, termasuk Yamin sendiri, telah menginginkan

penggunaan bahasa Melayu – tepatnya Melayu Riau -- sebagai bahasa

nasional (persatuan), sebagaimana yang juga diperdebatkan dalam Kongres

Pemuda I, dua tahun sebelumnya. Sementara, kubu lain menginginkan adanya

bahasa Indonesia, sebagaimana yang diutarakan oleh Mohammad Tabrani,

dari Jong Java, dengan alasan untuk menyamakan “bahasa” dengan “nusa”

dan “bangsa”, yakni Indonesia. Adapun keberatan kubu Yamin, ketika itu,

adalah karena waktu itu belum ada dikenal Bahasa Indonesia.43

Berkat usaha yang gigih Soegondo Dojopoepito dan rekan-rekannya,

akhirnya diselenggarakanlah Kongres Pemuda II, 26-28 Oktober 1928 dengan

susunan kepaniatiaan sebagai berikut :44


Ketua : Soegondo Djojopuspito (wakil dari PPPI)
Wakil ketua : Joko Marsaid (wakil dari Jong Java)
Sekretaris : Moh. Yamin (wakil dari Jong Sumatranen Bond)
Bendahara : Amir Syarifudin (wakil dari Jong Bataks Bond)
Pembantu I : Johan Moh. Tjai (wakil dari Islamitien Bond)
Pembantu II : Kocosungkono (wakil dari Pemuda Indonesia)
Pembantu III : Senduk (wakil dari Jong Celebes)
Pembantu IV : J. Leimena (wakil dari Jong Ambon)
Pembantu V : Rohyani (wakil dari Pemuda Kaum Betawi).

Berbeda dengan sebelumnya, Kongres Pemuda II diselenggarakan

sedikit istimewa dibanding kongres sebelumnya. Bukti keistimewaannya

adalah penggunaan bahasa sendiri (Bahasa Melayu) sebagai bahasa pengantar

43
Kupasan panjang lebar tentang ini, lihat Majalah Tempo, Edisi Khusus Hari Kemerdekaan,
Muhammad Yamin (1903-1962), 18-24 Agustus 2014. Kemudian diterbitkan dalam bentuk buku
berjudul Muhammad Yamin - Penggagas Indonesia Yang Dihujat Dan Dipuji, Jakarta: KPG,
2015.
44
Dalam kepanitiaan Kongres Pemuda II ini juga mendapatkan bantan nasehat-nasehat dari
tokoh yang lebih tua, seperti: Sunario, Sartono, Muh. Nazif, Arnold Mononutu. Lihat
buku 45 Tahun Sumpah Pemuda, Jakarta: Yayasan Gedung-Gedung Bersejarah Jakarta,
1974, hal. 61.

129
dalam kongres, khususnya ceramah. Penggunaan Bahasa Melayu sebagai

bahasa pengantar menunjukan adanya keberanian dari para pemuda untuk

tidak menggunakan Bahasa Belanda lagi. Persiapan-persiapan menjelang

kongres terus diupayakan, baik tempat, materi, dan tokoh dalam kongres.

Tokoh-tokoh dalam kongres sudah menyepakati empat ceramah yang akan

dimusywarahkan dengan tema-tema sebagai berikut :

a. Persatuan dan Kebangsaan Indonesia oleh Moh. Yamin


b. Pendidikan dan Kebangsaan Indonesia oleh Nona Purnomowulan,
S. Mangunsarkoro, Jokosarwono, dan Ki Hajar Dewantara.
c. Pergerakan Pandu Indonesia oleh T. Ramelan
d. Pergerakan Pemuda Indonesia dan Pergerakan Pemuda di luar
Indonesia oleh Sunario (yang kemudian diubah menjadi Pergerakan
Pemuda dan Persatuan Indonesia).

Demikianlah, ketika Sunario menyampaikan pidato pada sesi akhir

kongres, dengan judul Pergerakan Pemuda Indonesia dan Pemuda di luar

Indonesia”, pemuda Yamin menyodorkan secaraik kertas kepada Ketua

Kongres, Sugondo Djojopoespito seraya berbisik “Ik he been eleganter

formulering voor de resolutie” (saya punya rumusan resolusi yang elegant,

luwes),” Soegondo Djojopoepito yang berasal dari Jong Java itu tersenyum

mengangguk dan menliskan parafnya; kemudian berpindah ke Amir

Sjarifuddin (dari Jong Batak), dan memberikan tanda persetujuannya. Setelah

Yamin memberikan penjelasan dan memimpin pembacaan ikrar, seluruh

peserta kongres menyatakan persetujuannya dan diiringi dengan tepuk tangan

seraya memekikkan, “Hidup Persatuan!”

Adapun lengkapnya ikrar Sumpah Pemuda tersebut adalah sebagai

berikut:

130
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang
satoe, tanah Indonesia;
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe,
bangsa Indonesia;
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa
persatoean, bahasa Indonesia.45

Secara geneologis, teks Sumpah Pemuda di atas dapat ditelusuri asal-

muasalnya pada puisi Muhammad Yamin yang berjudul “Tanah Air” yang

dimat dalam majalah Jong Sumatra (9 Desember 1920), “Bahasa, Bangsa”

(Februari 1921), dan “Tanah Air”, puisi yang lebih panjang dari sebeumnya (9

Desember 1922”. Menurut Maman S. Mahayana, hampir semua pengamat

sastra Indonesia sependapat menempatkan puisi Yamin tersebut erat kaitannya

dengan semangat kebangsaan. Namun, tidak ada pengamat sastra yang

menghubungkannya dengan isi teks Sumpah Pemuda itu sendiri.46


Menurut Maman, pada mulanya puisi-puisi Yamin mengangkat tema

kedaerahan sebagai ekspresi kekagumannya terhadap alam Minangkabau.

Bukit Barisan, alam Sumatera, dan Nusantara, membuat Yamin kagum dan

mencintai tanah leluhur. Akan tetapi, dalam pemikiran Yamin berguncang,

“apa yang akan diwariskan leluhurnya, jika alam Nusantara dikuasai oleh

45
Mengenai hasil Keputusan Kongres Pemuda ini lihat buku 45 Tahun Sumpah Pemuda,
Jakarta: Yayasan Gedung-Gedung Bersejarah Jakarta, 1974, hal. 69.; Keith Foulcher, Sumpah
Pemuda, Makna & Proses Penciptaan Simbol Kebangsaan Indonesia, Jakarta: Komunitas
Bambu, 2008, hal. 7-27. Menurut Foulcher, cikal bakal Sumpah Pemuda terletak pada pertemuan
antara organisasi pemuda lokal berkebudayaan nasional masa sebelum 1930-an dengan yang
radikal. Hal ini kemudian mewujud dalam sebuah kesatuan politis nasional yang berasal dari
Perhipunan Indonesi (PI), organisasi pemuda di Negeri Belanda. Dalam ukuran zamannya, Yamin
aktif mendorong pergerakan pemuda menuju pemuda Indonesia yang ideal. Dan, ia pula yang
menyusun komposisi dariresolusi yang dihasilkan kongres, yang beberapa tahun berikutnya
peristiwa itu dipandang sebagai langkah pembuka bagi sebuah peristiwa yang lebih bermakna,
yaitu terbentuknya Indonesia Muda pada tahun 1930-an
46
Maman S. Mahayana , Hal, 49.

131
asing (Belanda)? Dari kesadaran itulah pemikiran Yamin bergerak (ber-

evolusi) menuju tema “kebangsaan”.47


Menurut kritikus sastra, A. Teeuw, Muhammad Yamin digolongkan

sebagai sastrawan angkatan “Pujangga Baru”. Yamin disebutnya sebagai

perintis puisi Indonesia modern, karena Yamin merupakan penyair

(sastrawan) pertama yang menulis dalam bahasa Melayu, cikal bakal Bahasa

Indonesia. Puisi pertamanya berjudul “Tanah Air”, ditulis pada tahun 1920,

saat Yamin masih berusia 17 tahun. Munculnya puisi Yamin berbentuk sonata

ini telah menjadi tonggak pertama lahirnya kesusasteraan Indonesia modern.

Kriteria utama menganggap tahun 1920 sebagai titik permulaan, menurut A.

Teeuw, karena pada saat itulah awal mula karya-kara sastra yang

mengungkapkan ide atau gagasan baru tentang konsep “kebangsaan”, yakni:

Indonesia.48
Tanah Air

Pada batasan, bukit barisan


Memandang aku, ke bawah memandang;
Tampaklah hutan rimba dan ngarai;
Lagi pun sawah sungai yang permai;
Serta gerangan, lihatlah pula,
Langit yang hijau bertukar warna
Oleh pucuk, daun kelapa;
Itulah tanah, tanah airku
Sumatera namanya, tumpah darahku

Pada batasan, bukit barisan


47
Berdasarkan analisis Maman S. Mahayana, apa yang ditempuh Muhammad Yamin, telah
menempatkan puisi tidak sekedar alat untuk mengekspresikan perasaan pribadinya, tetapi juga
ekspresi gagasannya selaku warga bangsa. Yamin menempatkan alam kedaerahan (Minangkabau-
Sumatera) dalam hubungannya dengan Tanah Air Indonesia. Lebih lanjut lihat Maman S.
Mahayana, “Muhammad Yamin, Indonesia dalam Imajinasi”, dalam Jamal D. Rahman, dkk., 33
Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh, Jakarta: Kepustakaan Popuer Gramedia, 2014, hal.
49-50.
48
A. Teeuw, Sastra Baru Indonesia [Jilid I], Ende-Flores: Nusa Indah, 1980, hal.15-30. Lihat
juga Majalah Tempo Edisi Khusus Hari Kemerdekaan, Muhammad Yamin 1903-1962., 18-24
Agustus 2014.

132
Memandang ke pantai, teluk permai;
Tampaklah air, air segala
Itulah laut, samudera hindia
Tampaklah ombak, gelombang berbagai
Memecah ke pasir, lalu berderai
Ia memekik, berandai-andai
“Wahai Andalas, Pulau Sumatera, harumkan nama Selatan Sumatera”
(Jong Sumatera Th III. No. 4, 1920)

Dalam pikiran Yamin, sajak-sajak kebangsaan yang bersikap tegas

menentang penjajahan Belanda secara jelas tidak mungkin dapat diumumkan.

Dengan demikian, tentunya, meratapi tanah air serta nasib yang malang

merupakan saluran yang umum bagi perasaan kebangsaan, serta merupakan

protes yang tidak langsung terhadap penjajahan.


Dalam konteks ini, peranan Yamin dalam konsep pembentukan dan

pengembangan bahasa Indonesia tergolong cukup penting. Sudah dalam

Kongres Pemuda I tahun 1926 dia bicara tentang Bahasa Persatuan, yang

kemudian diikrarkan dalam Sumpah Pemuda 1928. Dalam prasarannya De

teokomstmogelijkheden van onze Indonesische talen en letterkunde

(“Kemungkinan-kemungkinan masa datang bahasa-bahasa dan sastera

Indonesia kita”), Yamin mengemukakan :


“Dalam ekonomi perdagangan dan dalam dunia politik bahasa Melayu
itu telah mendapat kedudukan pertama. Haruslah kita hendak
membangunkan sesuatu atas yang telah ada. Bagi saya sendiri, saya
mempunyai keyakinan bahwa bahasa Melayu lambat laun akan
tertunjuk menjadi bahasa pergaulan umum atau pun bahasa persatuan
bagi bangsa Indonesia, dan bahwa kebudayaan Indonesia di masa
yang akan datang, terjelma dalam bahasa itu.”49

3. Pemikiran tentang Dasar dan Bentuk Negara

49
Bakri Siregar, “Muhamad Yamin, Sang Pujangga”, Prisma, No. 3, Maret 1982, hal. 74.

133
Pemikiran Yamin tentang dasar dan bentuk negara Indonesia merdeka

akan didirikan adalah suatu negara kebangsaan Indonesia atau suatu nationale

staat atau suatu etat national yang sesuai dengan peradaban Indonesia dengan

susunan kekeluargaan atas dasar kebangsaan dan ketuhanan. Negara

Indonesia merupakan pelaksanaan keinginan rakyat Indonesia sekarang dan

yang diperjuangankan sejak beratus tahun lamanya, yang sumbernya dalam

nasionalisme atau dalam dasar kebangsaan yang mengikat kita seturunan dan

sesama kemauan. Negara yang dibentuk bukan menurut nasionalisme lama,

melainkan menurut nasionalisme baru, yang berisi faham hendak

mempersatu-kan rakyat dalam ikatan sejarahnya.

Dalam pandangan Yamin, negara baru yang dibentuk merupakan

kelanjutan dari Negara Nasional I (Syailendra-Sriwijaya, 600-1400) dan

Negara Nasional II (Kerajaan Majapahit, 1293-1525). Perbedaannya adalah

negara Indonesia pertama dibentuk dan dijunjung oleh rakyat keturunan yang

memakai dasar kedatuan yang selaras dengan kepercayaan purbakala

(kesaktian-magie) dan agama Buddha Mahayana, negara Indonesia kedua

disusun alas faham keperabuan, dan bersandar kepada paduan agama Syiwa

dan Buddha, menjadi agama Tantrayana; sementara negara Indonesia ketiga

yang segera akan datang adalah pula negara kebangsaan dan berke-Tuhanan.

Kemudian, yang terpenting menurut Yamin, negara Indonesia disusun

tidak dengan meminjam atau meniru negeri lain, dan bukan pula suatu salinan

daripada jiwa atau peradaban bangsa lain, melainkan semata-mata suatu

kelengkapan yang menyempumakan kehidupan bangsa yang hidup berjiwa di

134
tengah-tengah rakyat dan tumpah-darah yang menjadi ruangan hidup kita

sejak purbakala; kelengkapan itu hendaklah sesuai dengan sifat keinginan

rakyat Indonesia sekarang. Mendirikan suatu negara baru yang kuat dan

dapat bertahan dengan abadi dalam waktu damai dan perang, tentunya negara

itu meliputi seluruh bangsa Indonesia daerah tumpah-darah yang batasnya

mengingatkan kita dengan susunan seperti dalam persekutuan desa, negeri,

marga, dusun, dan lain-lain dan mengingat cita-cita negara yang

berkedauatan.

Menurut Yamin, Negara Rakyat Indonesia menolak sifat-sifat sebagai

berikut:

a. Negara Rakyat Indonesia menolak segala tata negara atau bagian-

bagiannya yang melanggar dasar permusyawaratan, perwakilan dan

pikiran.

b. Negara Rakyat Indonesia menolak segala faham: (a) federalisme

(persekutuan), (b) feodalisme (susunan lama), (c) monarkhi (kepala

negara berturunan), (d) liberalisme, (e) autokrasi dan birokrasi, (f)

demokrasi Barat.

c. Negara Rakyat Indonesia menolak segala dasar penjajahan dan segala

sisa-sisa yang berasal dari zaman penjajahan Portugis, lnggris, Amerika

dan Belanda yang semata-mata dihentuk untuk menguatkan penjajahan

kerajaan Belanda atau peradaban Barat.

d. Negara Rakyat Indonesia menolak faham pemerintahan istibdadi seperti

pemerintahan Firaun dan Namrud; menolak faham pemerintahan

135
Chila’ah, kekuasaan kerakyatan atas golongan yang berilmu dan

berhikmat; menolak faham pemerintahan filsafatiyah, yaitu

pemerintahan kekuasaan cerdik pandai atas rakyat jelata.

e. Negara Rakyat Indonesia menolak segala dasar penjajahan kolonialisme

sebagai dasar pembentukan negara.

f. Negara Rakyat Indonesia menolak segala tindakan yang akan

mengecewakan kedaulatan negara dengan menjalankan kebonekaan.50

Dengan menolak keenam faham di atas, maka Negara Rakyat Indonesia

dengan segala kesuciannya, menurut Yamin, akan mewujudkan faham-faham

seperti di bawah ini :

a. Negara Rakyat Indonesia ialah suatu negara persatuan yang tidak

terpecah-pecah, dibentuk di atas dan di dalam badan bangsa Indonesia

yang tidak terbagi-bagi;


b. Negara Rakyat Indonesia ialah Negara Kesatuan atas faham unitarisme.
c. Negara Rakyat Indonesia mempunyai sate kedaulatan yang dijunjung

oleh Kepala Negara, dan oleh daerah dan rakyat Indonesia;


d. Permusyawaratan, pemilihan dan pembaruan pikiran menjadi dasar

pengangkatan dan segala pemutusan urusan negara;


e. Negeri, desa dan segala persekutuan hokum adat yang dibarui dengan

jalan rasionalisme dan pembaru an zaman, dijadikan kaki susunan negara

sebagai hagian bawah;


f. Pemerintah Pusat dibentuk di sekeliling Kepala Negara, terbagi atas: (1)

Wakil Kepala Negara; (2) Satu Kementerian sekeliling seorang Pemimpin

Kementerian; (3) Pusat Parlemen Balai Perwakilan, yang terbagi atas

50
Muhammad Yamin, Naskah Persiapan…..hal, 162.

136
Majelis dan Balai Perwakilan Rakyat.51

Selanjutnya, Muhammad Yamin, mengatakan bahwa apabila sumbangan

rohani dari para anggota BPUPKI berhasil dan memberi akibat yang

sempurna, maka zaman kegemilangan bagi rakyat Indonesia akan menjadi

kenyataan. Mengenai bentuk negara yang akan dibentuk secara tegas

Muhammad Yamin menyebutnya dengan Negara Republik. Yamin secara

tegas mengajukan keberatan atas usulan bentuk negara federasi, monarchie,

kerajaan, dan malah ada juga berpendapat Negara yang tidak berbentuk.

Mengenai cita-cita untuk mengadakan Negara Indonesia yang tidak berbentuk

(bukan monarchi dan bukan republik), Yamin mengajukan empat keberatan,

yakni:

Pertama, kalau negara kita tidak berbentuk, maka buat kita sendiri akan
bersifat sesuatu negara jang diperintah oleh Pemerintah jang sementara.
Ini barangkali tidak diingini oleh rakjat. Rakjat pasti mau bernegara
jang ada bentuknja dan tiap-tiap langkah jang akan mengadakan negara
jang tidak berbentuk, dianggap oleh rakjat melambatkan. datangnja
Indonesia Merdeka jang sempurna.
Kedua, kalau negara kita tidak berbentuk, maka ada satu pihak jang
tidak puas, jaitu rakjat Indonesia sendiri; oleh sebab itu saja
berkejakinan, bahwa mengingat pembagian kekuasaan dalam negara
jang akan datang itu, perlulah rakjat menjetudjui sepenuhnja bentuknja,
jalah bentuk jang djelas.
Ketiga, djikalau sekiranja negara kita dibentuk dengan pelantikan di
tengah-tengah rakjat dan di tengah perdjuangan internasional sekarang
ini, maka njatalah, bahwa negara jang tidak berbentuk tentu akan
mempunjai status jang tidak terang, jang tidak memuaskan. Dan kita
mengerti, bahwa kemauan kita adalah merebut status internasional jang
sepenuhnja dan status internasional tidak tertjapai dengan negara jang
tidak berbentuk.

51
Muhammad Yamin, Naskah Persiapan…..hal, 165.

137
Keempat, siapa atau golongan apapun jang hendak mendirikan negara
jang tidak berbentuk, akan mendjalankan struisvogelpolitik, artinja
menunda penjelesaian segala kesulitan di dalam negara jang akan
dibangunkan, sedangkan hal itu dapat diputuskan pada hari ini djuga.52

Mengenai bentuk negara berbentuk monarchic, Yamin samasekali tidak

menimbang baik atau jeleknja bentuk negara tersebut ke depan bagi

Indonesia. Sekalipun demikian, Yamin mengajukan lima keberatan terhadap

bentuk monarchic untuk Indonesia, jika dipandang menurut kepentingan

rakjat, yakni:

Pertama-tama, dipandang secara umum, maka tidaklah memberi

kepastian, bahwa keturunan dalam monarchie akan kuat memerintah negara

kita dan keturunan yang tertentu tidak pula memberi jaminan akan melahirkan

kepada negara pirnpinan yang kuat dan sempurna untuk berkuasa sebagai

Kepala Negara, padahal kita bermaksud mendirikan negara jang makmur dan

abadi.

Kedua, monarchic tentulah mendatangkan dynastic, baik dynastic jang

baru atau yang dipilih dari pada dynastic-dynastic yang ada di tanah kita ini.

Pemandangan itu hanya berarti pemandangan teori sadja, oleh karena dalam

keadaan yang hebat seperti sekarang ini, mentjari dynastie baru adalah suatu

usaha yang semata-mata menolak datangnya Indonesia Merdeka, dan keadaan

itu bertentangan pula dengan kemauan rakyat umumnya, yang tidak mau

diperintah lagi oleh kerajaan yang turun-temurun.

52
Muhammad Yamin, Naskah Persiapan…..hal, 169.

138
Ketiga, berhubungan dengan pembagian kekuasaan dalam negara

monarchic, yang acapkali mendapat sifat sistim oligarchie, jalah suatu

pemerintahan kekeluargaan. Saja yakin, bahwa monarchic dapat dibatasi

dengan jalan konstitusi, tetapi bentuk monarchie itu sendiri tidak diingini oleh

rakjat, oleh karena mengenai kekuasaan rakjat yang akan kita atur. Kekuasaan

rakyat tidak dapatlah diatur didalam suatu monarchic, melainkan hanja dapat

dalam bentuk republik.

Keempat, saja jakin -- seperti saja utjapkan dalam pidato saja dalain

rapat Dokuritu Zyunbi Tyoosakai jang pertama bahwa tradisi Negara

Indonesia jang berdjalan dalam waktu selama 350 tahun yang lampau sudah

berakhir sama sekali. Kenangan kepada monarchie memang ada, tetapi bangsa

Indonesia pada waktu ini tidak dapat dihubungkan dengan tradisi monarchie

dahulu, sehingga dengan sendirinya kita dalam membentuk negara ini, perlu

mengikuti kemauan kita sendiri; jaitu bukan monarchie, melainkan suatu

pembagian kekuasaan rakjat dalam bentuk republik.

Kelima, dalam pergerakan selama 40 tahun jang achir, ialah pergerakan

kemerdekaan mendekatkan kita kepada pintu gerbang kemerdekaan, dan kita

tidak pernah terdengar suara untuk membentuk negara jang tidak berbentuk,

atau untuk mengadakan suatu monarchic, tetapi dengan langsung ataupun

tidak dengan langsung terbajanglah dalam tjita-tjita kemerdekaan itu suatu

Negara Indonesia yang didalamnya akan ada pembagian kekuasaan rakyat

seluruhnya dan pembagian kekuasaan rakyat itu, sebagai tjita-tjita pergerakan

kemerdekaan, tidak lain dan tidak bukan terbayang dalam suatu republik.

139
Menurut Saldi Isra,53 salah satu tema sentral dan menjadi perdebatan

sengit dalam sidang BPUPKI, adalah menyangkut soal bentuk pemerintahan

dan susunan negara Indonesia merdeka. Dalam perdebatan tersebut,

Muhammad Yamin merupakan tokoh yang secara eksplisit menyatakan

keberatannya dengan bentuk pemerintahan monarki, karena menurutnya,

bentuk pemerintahan monarki tidak memberikan kepastian yang kuat untuk

memerintah negara. Bahkan, Yamin secara tegas menyatakan bahwa “memilih

monarki sama saja dengan menolak datangnya Indonesia merdeka”.

Kemudian, karena proklamasi merupakan pernyataan kehendak rakyat,

menurut Yamin, bentuk pemerintahan pun harus pula mampu mencerminkan

kehendak rakyat dan bukan kehendak monarki. Karena itu, menurut Yamin,

bentuk pemerintahan yang cocok untuk Indonesia adalah pemerintahan

berbentuk republik.

Penjelasan Yamin ternyata tidak saja mengenai bentuk pemerintahan.

Yamin juga menghendaki Republik berada dalam bingkai negara kesatuan dan

secara tegas menolak pola hubungan pemerintah pusat dan daerah berbentuk

negara serikat, sebagaimana yang pernah disarankan oleh Hatta. Adapun

alasan utamanya adalah: “kita tidak mempunyai kekuatan untuk membentuk

beberapa negara”. Lagipula, jika merunjuk pada kekayaan dan persebaran

penduduk Indonesia yang tidak merata secara nyata akan berpotensi

muncunya konflik dan kekacaraan. Apalagi, gagasan negara kesatuan itu

53
Saldi Isra, “Gagasan Bernegara Yamin,” Majalah Tempo Edisi Khusus Hari Kemerdekaan,
Muhammad Yamin 1903-1962., 18-24 Agustus 2014.

140
sudah menjadi ide dasar mewujudkan persatuan Indonesia selama hampir 40

tahun menuju Indonesia merdeka.

4. Gagasan tentang Batas dan Wilayah RI

Masalah batas negara rupanya juga bukan masalah yang dapat

diputuskan begitu saja. Seperti halnya dalam membicarakan masalah dasar

negara dan bentuk negara, persoatan menentukan batas negara atau wilayah

negara juga mengundang perdebatan antaranggota BPUPKI. Satah satu faktor

yang mendorong munculnya perdebatan adalah karena pemerintahan militer

Jepang di kepulauan Indonesia bukanlah pemerintahan yang terpusat,

melainkan terpecah tiga. Akibatnya, dari pihak Jepang sendiri tidak ada

ketentuan yang jelas, wilayah-wilayah mana saja yang akan masuk negara

Indonesia yang akan diberi kemerdekaan itu.

Masalah batas negara sebenarnya sudah mulai disinggung dalam

sidang-sidang pertama yang membicarakan masalah dasar negara. Dalam

sidang tanggal 31 Mei 1945, misalnya, Muhammad Yamin mengemukakan

bahwa daerah negara berkaitan erat dengan tanah tumpah darah bangsa

Indonesia. Yang dikemukakan oleh Yamin sebagai tanah tumpah darah

bangsa Indonesia itu tiada lain adalah daerah-daerah bekas jajahan

Belanda (Hindia Belanda), yang kemudian dikurangi oleh beberapa wilayah

yang masih berkecamuk perang. Selengkapnya adalah sebagai berikut. 54

54
Muhammad Yamin, Naskah Persiapan…..hal, 169.

141
a. Daerah bekas jajahan Hindia Belanda yang terbagi atas Pulau
Sumatera, sebagian
b. Borneo, Jawa, Celebes, Sunda Kecil, dan Maluku bersama-sama
dengan pulau-pulau di sekelilingnya, dengan dikurangi daerah
peperangan di bawah ini.
c. Daerah peperangan istimewa, yaitu Tarakan, Morotai, Papua, dan
Halmahera.
d. Daerah Timor-Portugis dan Borneo Utara.
e. Semenanjung Malaya (Malaka) dengan pulau-wilau sekelilingnya,
setain dari daerah yang empat.
f. Daerah Malaya yang empat: Terengganu, Kelantan, Kedah, dan Perlis.

Dalam uraiannya, Muh. Yamin menyampaikan argumennya tentang

pengelompokan wilayah seperti di atas. Misalnya, daerah istimewa

peperangan, yaitu Tarakan, Morotai, Papua, dan Halmahera, termasuk daerah

bekas Hindia Belanda. Akan tetapi, pada saat itu wilayah tersebut berada di

bawah kekuasaan Amerika Serikat (Sekutu). Oleh karenanya, mengaitkan

daerah peperangan dengan daerah negara baru, secara de jure, akan

bertabrakan dengan kedudukan de facto. Akan tetapi, Yamin mempunyai

keyakinan bahwa daerah itu akan kembali dikuasai oleh bala tentara Jepang

(Dai Nippon) sehingga kedudukan de jure nanti tidak lagi bertentangan

dengan status de facto wilayah-wilayah yang dimasukan ke dalam daerah II

(daerah peperangan istimewa).

Demikian pula dengan daerah-daerah III dan IV, menurut Yamin, pada

hakikatnya daerah-daerah tersebut semuanya berada di bawah kekuasaan

pemerintah militerJepang. Kalau ditarik lebih jauh ke belakang, semua daerah

itu merupakan daerah kekuasaan kerajaan-kerajaan Nusantara, khususnya

142
wilayah Semenanjung Malaya yang merupakan batang leher kepulauan

Indonesia daerah yang delapan (I). Menceraikan Malaya dari Indonesia berarti

dengan sengaja dari mulanya melemahkan kedudukan negara rakyat

Indonesia dalam perhubungan internasional. Sebaliknya, mengggabungkan

Malaya dengan Indonesia mengandung arti menguatkan kedudukan itu.

Apalagi kenyataannya waktu itu, rakyat Malaya pun berkeinginan untuk

merdeka bersama-sama bangsa Indonesia.

Muhammad Yamin mengecualikan empat daerah Malaya, yaitu

Terengganu, Kelantan, Kedah, dan Perlis, karena daerah tersebut telah

diberikan oleh Jepang kepada Kerajaan Muangthai. Secara de jure dan de

facto keempat wilayah itu kedudukannya berada di bawah kekuasaan

Muangthai. Akan tetapi, nasib rakyat di daerah-daerah tersebut tetap

menderita karena pada dasarnya mereka tidak mau berada di bawah

kekuasaan raja Siam.

Sidang-sidang yang membahas tentang wilayah atau batas-batas negara

secara resmi dimulai tanggal 10 Juni 1945. Umumnya peserta sidang sepakat

bahwa yang masuk ke dalam wilayah negara Indonesia merdeka nantinya

sekurang-kurangnya adalah wilayah bekas Hindia Belanda. Permasalahan

muncul karena situasi perang yang masih berkecamuk; beberapa wilayah

bekas Hindia Belanda itu tidak lagi di bawah bala tentara Jepang, melainkan

di bawah kekuasaan Amerika Serikat. Hal ini, antara lain, dipertanyakan oleh

K.R.M.T. Ario Woerjaningrat. Jadi, menurut usulnya, sebaiknya batas negara

143
Indonesia itu ditentukan berdasarkan daerah yang sudah dapat dihubungi dan

dimerdekakan saja.

Usul Woerjaningrat secara tidak langsung mendapat tanggapan dari

Abdul Kahar Moezakir, tokoh Muhammadiyah. Menurutnya, dalam

menetukan batas negara sebaiknya tidak didasarkan kepada dapat atau

tidaknya dihubungi dan tidak pula menunggununggu tenaga bala tentara Dai

Nippon. Jika bangsa Indonesia menghendaki kemerdekaan, bangsa Indonesia

harus pula dapat memagari, menjaga halaman rumahnya, yang sudah barang

tentu disesuaikan dengan kekuatan yang sebaik-baiknya.

Mohammad Hatta sendiri berpendapat bahwa pada dasarnya ia tidak

minta lebih untuk wilayah Indonesia, yaitu daerah yang dahulu dijajah oleh

Belanda. Ia sendiri lebih suka Malaka (Malaya) merdeka sendiri di

lingkungan Asia Timur Raya. Akan tetapi, ia tidak akan menolak seandainya

rakyat Malaka lebih suka bergabung dengan bangsa Indonesia. Adapun

mengenai Papua, Hatta cenderung melepaskan wilayah itu sehingga wilayah

Indonesia merdeka adalah Hindia Belanda minus Papua. Sementara, H

Ahmad Sanoesi meminta agar batas negara ditunda sampai dengan

selesainya perang. Hal itu pernah dicontohkan oteh Nabi Besar Muhammad

SAW yang meminta agar para sahabat mengurungkan niatnya untuk

menetapkan batas negara Arab sampai dengan Suriah. Akhirnya, penentuan

batas wilayah ditentukan berdasarkan voting. Hasilnya, daerah yang masuk

wilayah Indonesia merdeka adalah Hindia Belanda dahulu, ditambah dengan

144
Malaya, Borneo Utara, Papua, serta Timor-Portugis dan pulau-putau di

sekelilingnya.

5. Menggagas “Filsafat Sejarah Nasional”

Salah satu konstribusi Yamin dalam perkembangan sejarah Indonesia

adalah meggagas suatu “Filsafat Sejarah Nasional” ketika menjadi pembicara

dalam Seminar Sejarah Nasional I yang diselenggarakan di Kampus

Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, 14-18 Desember 1957.

Seminar sejarah yang pertama ini boleh dikatakan sebagai upaya menggagas

visi baru ihwal filsafat sejarah setelah Indonesia merdeka.

Berbagai pandangan tentang makna kebangsaan, beragam visi

kesejarahan dan bahkan kecenderungan ideologis disampaikan para peserta

yang terdiri atas ilmuwan, cendekiawan, pendidik, bahkan juga politisi dari

berbagai partai politik, di samping para guru dan dosen sejarah dan ahli

arkeologi. Makna terpenting yang dapat disaksikan dari suasana keriuhan

wacana dalam seminar tersebut adalah begitu besarnya antusiasme tentang

kesadaran akan pentingnya sejarah nasional dengan visi kesejarahan nasional.

Menurut Taufik Abdullah, dalam suasana perdebatan mengenai landasan

pemahaman sejarah Indonesia seakan-akan telah sepaham saja untuk

menggunakan landasan normatif yang nasionalistis dalam menguraikan

peristiwa dan tokoh sejarah—“jelek” kata Belanda, “bagus” kata kita atau

145
sebaliknya. Hubungan dengan tokoh Muhammad Yamin, lebih lanjut Taufik

Abdullah mengemukakan:

“Dalam suasana penulisan sejarah yang nasionalistis inilah pula


Mohammad Yamin (1903-1962), yang sejak muda telah
mendendangkan cinta Tanah Air (mula-mula Sumatra, kemudian
Indonesia), memperkenalkan “lima periode sejarah Indonesia”—mulai
dari “zaman prasejarah” dan mencapai puncaknya dengan “Abad
Proklamasi”. Seperti halnya dengan Bung Karno, bagi Yamin sejarah
Tanah Air bukanlah sekadar rangkaian kisah yang memantulkan
kejayaan yang pernah dialami bangsa tetapi adalah pula petunjuk
menuju masa depan yang penuh harapan.”55

Menurut Yamin, Konsepsi Filsafat Sejarah Nasional bukanlah benda

mati tanpa suatu akibat, melainkan adalah semata-mata hanya dapat diperas

dari pikiran-pikiran ahli pemikir, yang benar jalan pikirannya dan jujur

hidupnya, seperti yang diajarkannya. Suatu konsepsi sejarah nasional

dibentuk untuk dilaksanakan sehingga konsepsi itu memberi petunjuk kepada

pengajar dan cara mengajarkan atau penulis jang menuliskan sejarah-

kebangsaan. Oleh sebab itu maka filsafah sejarah sebagai filsafah jang

menyelidiki sejarah dalam hubungan-umum sampai kepada kesungguhan

terakhir.

Dalam menyusun filsafat sejarah nasional, Yamin banyak dipengaruhi

oleh pemikiran ahli filsuf, seperti Herodotus, Ibn Khaldun, Prapanca,

Giovanni Battista Vico, Kant, Hegel, Karl Marx, Karl Jaspers, Durant, dan

juga Arnold Toynbee. Dari hasil peramuan itu maka terbentuklah filsafah-

sejarah nasional yang mempunyai empat tiang atau empat sila yang

55
Taufik Abdullah, “Historiografi Indonesia dalam Perspektif Sejarah” Ceramah yang
disampaikan di Teater Salihara, Selasa, 26 Januari 2016; kemudian dimuat dalam jurnal Kalam,
No. 28/2016, hal. 1-28. Dengan judul “Historiografi Indonesia dalam Denyut Sejarah Bangsa”

146
mendukung filsafahsejarah nasional itu. Adapun sila yang empat itu ialah

berikut ini. (1) Kebenaran. (2) Sejarah Indonesia. (3) Tafsiran synthese. (4)

Nasionalisme Indonesia, sila demi sila akan dijelaskan lebih lanjut sebagai

berikut ini.

1. Sila pertama: Kebenaran

Menurut Ymin, tujuan akhir yang menjadi tugas bagi tiap-tiap ilmu

filsafah ialah mencari kebenaran yang sesungguhnya. Di sini Yamin dengan

sengaja menyebut “mencari kebenaran”, dan tidak disebutkan “mendapat”

kebenaran yang juga dapat dikatakan mempunyai atau memiliki kebenaran.

Pemilik utama dan yang hakiki ialah hanya Tuhan Yang Maha Esa, namun

mencari kebenaran ialah tugas ahli pemikir filsafah apapun jua. Jadi filsafah-

sejarah adalah mempunyai dinamika yang aktif, sedang si filsuf-sejarah

adalah seorang musafir yang merantau mendekati tujuan menuju kebenaran,

yang belum jatuh ke dalam genggaman tangannya, melainkan selalu kian

waktu kian dekat dirasakan oleh pemikir yang sedang menjalankan usaha

dengan menggerakkan alah-hikmahnya yang bernama pikiran.

2. Sila kedua; Sejarah Indonesia

Yang menjadi objek filsafah sejarah atau yang ditafsirkannya ialah

sejarah Indonesia. Dalam hal ini maka sejarah ialah ilmupengetahuan yang

dipahamkan dan telah dirumuskan secara ilmiah dengan bernama demikian.

Karena objek itulah filsafah itu menjadi filsafah-sejarah, sehingga kejadian-

kejadian sebagai kelahiran masyarakat di zaman yang lampau membatasi

147
filsafah itu menjadi filsafah khusus, sedangkan cara menafsirkan dan

hubungan kejadian itu adalah dalam taraf yang umum dan universeel.

3. Sila ketiga: synthese

Tafsiran sejarah yang synthetis, menurut Yamin, menjamin timbulnya

sejarah Indonesia yang umum dengan menghindarkan berat sebelah, sehingga

lepas dari gambaran terhadap masyarakat pada zaman lampau, melainkan

menjamin timbulnya cabang filsafah bagi sejarah dalam zaman Pembangunan

(sekarang di masa datang). Ilmu sejarah mendapat warna atau corak oleh

tafsiran yang dilaksanakan. Akibatnya, maka interpretasi atau terjemahan

kejadian menjadi faktor yang menentukan sejarah manakah atau sejarah corak

manakah yang terbentuk sebagai hasil penyelidikan yang telah dilakukan.

Sejarah ekonomi ialah sejarah yang ditimbulkan oleh tafsiran yang

berdasarkan ilmu ekonomi; begitu pula kita mengenal misalnya sejarah

kesenian, sejarah hukum, sejarah pendidikan, sejarah nasional dan sejarah

diplomasi, yang satu per satu ialah sejenis yang dihasilkan oleh cara

penafsiran tertentu terhadap gejala dan kejadian yang telah berlaku.

Dalam mempekuat argumennya, Yamin sengaja mengutip pendapat

pemikir Amerika Will Durant The Meaning of Philosophy, setidaknya terdapat

enam buah cara tafsiran sejarah, yakni: (i) tafsiran theologis, (ii) tafsiran

ekonomis, (iii) tafsiran geografis, (iv) tafsiran rasial, (v) tafsiran rohani, dan

(vi) tafsiran syntetis

148
Dalam tafsiran theologis; golongan pengarang sejarah melaksanakan

tafsiran theologis karena berdasarkan kepercayaan, bahwa sejarah itu ialah

kelahiran yang ditakdirkan Tuhan. Masuk golongan itu di antaranya Voltaire

dan Bossuet. Golongan tafsiran theologis mengalami perbantahan, karena

tidaklah benar pendirian mereka bahwa: “sejarah itu ialah Kemauan Tuhan”,

yang kemudian dijadikan dasarpenyelidikan langsung. Melainkan sejarah

pada kenyataannya dijelaskan dengan memakai sebab kedua, yang

menyebabkan turun naiknya peradaban tenaga-otak dalam penyelidikan

sejarah, maka penyelidikan secara itu menimbulkan akibat yang sukar

diterima dengan hikmah biasa, misalnya: Kejadian-kejadian menurut Bybel

dapat diberi bertarikh, seperti kapal nabi Nuh, kisah nabi Adam dan Sitti

Hawa yang meninggalkan sorga, terbentuknya bumi menurut kitab Kejadian,

dan lain-lain.

Walaupun demikian, harus juga diakui, bahwa kepercayaan banyak

menimbulkan ilmu pengetahuan, serta agama memberi tenaga inspirasi Ilahi

kepada manusia. Sebagai mata-rantai perantaraan dari golongan theologis

menuju tiga-serangkai Voltaire-Monstesquieu-Rousseau berdiri pengarang

Italia seperti Giovanni Battista Vico, yang dianggap oleh dunia kerajaan

Eropah sebagai pembentuk filosofi-sejarah. Istilahnya berasal dari Voltaire.

Apabila kelima-lima tafsiran di atas kita laksanakan satu per satu

dengan terpisah satu dari yang lain kepada masyarakat pada zaman yang

lampau, maka kita mendapat sejarah menurut irisan panjang. Sejarah yang

dihasilkan ialah sejarah terpecah-pecah dan tidak dapat memberi lukisan

149
sejarah dalam keseluruhannya. Tafsiran yang dilakukan sebenarnya ialah

masyarakat. Oleh sebab itu kita harus mendapat lukisan sejarah menurut irisan

bujur.

Bahaya perpecahan menurut irisan-panjang itu dapat kita majukan

sebagai contoh, apabila kita ambil misalnya sejarah Indonesia. Hasil tafsiran

ekonomis menghasilkan sejarah ekonomis dan tafsiran theologis

menghasilkan sejarah Indonesia di lapangan agama yang bermacam dan

turun-naik menurut perkembangan. Demikianlah seterusnya apabila

dilaksanakan penafsiran yang lain. Tidaklah kita mendapat kesatuan gambaran

masyarakat Indonesia dalam perjalanan sejarah. Lain halnya apabila tafsiran

di atas dilakukan dengan serentak dan dalam perhubungan keseluruhan, maka

dapatlah kita pengertian yang sempurna tentang segala peristiwa sejarah yang

sudah berlaku. Kita tidak mendapat beberapa benang yang kusut lagi,

melainkan dapat melihat suatu tenunan kain yang melukiskan perjalanan

sejarah menurut kenyataan yang sesungguhnya. Ilmu-sejarah menyusun

segala peristiwa di zaman yang lampau, dan filsafah-sejarah memusatkan

tinjauan dalam hubungan keseluruhan.

Tafsiran yang meliputi segala tafsiran di atas di dalam suatu kumpulan

tafsiran, dinamai tafsiran synthetis. Penyelidikan dengan tafsiran synthetis ini

jauh lebih berat daripada tafsiran yang terpisahpisah, tetapi tafsiran itu

menjamin dapatnya suatu sejarah yang menunjukkan suatu keseluruhan yang

sempurna, dan dapat dipertanggungjawabkan sccara ilmiah dan filsafah,

karena memenuhi syarat kedua pengetahuan tersebut. Hasil tafsiran synthetis

150
itu dalam suatu hal, misalnya sejarah Indonesia, menurut pemandangan

tafsiranrasial sesudah abad ke-14 karena akan memberi bukti-bukti bahwa

sikap penjajah Eropah adalah berdiri di atas kespmbongan bangsa Eropah,

yang pada akhirnya bersumber kepada kedustaan, bahwa darah-kulit putihlah

yang sebaik-baiknya.

Tafsiran synthetis menjamin penulisan sejarah yang sempurna dan

historiografi yang sedemikian memang jauh lebih sulit dari penulis'an sejarah

yang berdasarkan suatu macam tafsiran saja. Uraian dan penyelidikan tentang

penafsiran sejarah memberi hasil kepada kita, supaya tafsiran synthetislah

yang harus dilakukan untuk mendapat historiografi Indonesia yang baik dan

yang dapat dipertanggungjawabkan bagi menulis buku sejarah yang berisi

uraian panjang apalagi sebagai buku-pelajaran di sekolah dan untuk dibaca

oleh rakyat di luar dinding gedung perguruan.

Filsafah Pancasila membangun negara Republik Indonesia, dan filsafah

sejarah membentuk kerangka dan menyusun isi sejarah Indonesia. Filosofi

synthetis bagi seluruh kehidupan bangsa Indonesia kini dan nanti belum

dirumuskan. Bahan-bahan untuk itu memang sudah sedia, dan dapat dipakai oleh

segala tenaga yang hendak berusaha ke jurusan itu. Tafsiran synthetis juga dapat

dipakai bagi meninjau sejarah Indonesia dalam suatu babakan, zaman atau

waktu.

4. Sila keempat: nasionalisme Indonesia.

151
Nasionalisme Indonesia memberi tiga corak kepada filsafah sejarah seperti

yang diuraikan di atas. Pertama: yang menjadi objek tafsiran ialah sejarah

nasional Indonesia, yang berbeda cara menulis daripada sejarah Indonesia

sebelum Proklamasi, karena yang menjadi dasar kepada penulisan sejarah

Indonesia sesudah tahun 1945 ialah adanya Kemerdekaan Bangsa Indonesia

yang menjadi syarat mutlak bagi segala ilmu pengetahuan yang dikembangkan

oleh hikmah manusia bebas. Corak kedua: cara menafsirkan kejadian sejarah

adalah sesuai dengan jalan pikiran masyarakat atau bangsa Indonesia yang telah

bebas-merdeka, dan yang tidak terikat oleh rasa-rendah atau berpeman dangan

sempit di dalam ruangan pikiran yang terbatas. Corak ketiga: uraian dengan lisan

atau menuliskan sejarah Indonesia memenuhi syarat isnad (sandaran) pada

pengarang supaya secara subyektif sesuai dengan susila perjuangan kemerdekaan

yaitu memenuhi syarat susila pada karangan penulisan sejarah dan memenuhi

syarat ilmu jiwa dan pendidikan pada si pembaca dan si pendengar, supaya rasa

nasionalisme Indonesia merdeka menjadi kebanggaan bangsa yang jangan

tersinggung, malahan supaya menjadikan sejarah Indonesia sumber inspirasi dan

ilmu pengetahuan untuk kehidupan bangsa yang ingin berohani besar dan luas.

Konsepsi yang dijelaskan nanti akan menjadi sebatang kayu di tengah-

tengah padang pasir, jikalau tidak untuk dilaksanakan atau dipergunakan.

Filsafah bukan barang yang tidak berguna, melainkan mengandung nilai untuk

dijadikan pedoman-kesusilaan dan kerrndihidup. Dalam hal ini, juga harus

dipikirkan bagaimana konsepsi itu akan dijalankan. Filsafah negara yang

bernama Pancasila dipergunakan untuk menjadi dasar negara yang di atasnya

152
dilaksanakan sebagai kelahiran dari tinjauan hidup itu dalarn pembentukan

negara kesatuan Republik Indonesia. Filsafah dipergunakan bagi pemikir,

pengajar dan pengarang.

Bagi pengarang sejarah Indonesia dan pengajar sejarah Indonesia adalah

suatu keharusan kesusilaan, bahwa pengarang dan pengajar masyarakat

Indonesia yang hendak mengarang atau mengajarkan sejarah Indonesia sebagai

sejarah nasional, hendaklah memeriksa diri sebelum mengerjakan pekerjaan itu.

Memeriksa diri, berhubungan dengan sejarah-nasional itu adalah kelahiran

daripada perjuangan kemerdekaan, sehingga penulis buku pelajaran sejarah

nasional Indonesia yang pernah dalam hiduphidayatnya menyeberang ke pihak

Belanda, atau bimbang-bimbang kepada tercapainya kemerdekaan hendaklah

menghindarkan diri daripada pekerjaan nasional itu. Penulis yang bersangkutan

hendaklah tahu diri dan jangan melanggar dasar kesusilaan, bahwa penulis

sejarah Indonesia hendaklah mencakup syarat percaya kepada atau jangan pernah

bimbang-bimbang kepada tercapainya perjuangan kemerdekaan.

153

Anda mungkin juga menyukai