PARADIGMA STRUKTURALIS
Oleh
2. Pembahasan
Paradigma Strukturalis dapat diterangkan dengan melihat kembali berbagai pendapat para
pemikir besar seperti Karl Marx, Louis Althusser, Antonio Gramsci, Ferdinand Saussure, Ernest
Laclau, Chantal Mouffe dan Jacques Lacan (Krolokke dan Sorensen, 2006:26). Pemikiran Karl
Marx yang membuat dikotomi atas pelapisan masyarakat borjuis yang terdiri dari pemilikan
pribadi dan pembagian kerja. Masyarakat terbagi menjadi dua unsur utama yaitu pemilik modal
(kapitalis) dan para pekerja yang menjual tenaganya. Marx mengembangakan pemikiran bahwa
terdapat dua jenis pekerjaan yaitu produksi dan reproduksi sebagaimana terdapat dua jenis
kelamin yaitu laki-laki dan perempuan. Marx telah mendukung gagasan feodalisme yang
menjadikan laki-laki adalah “sang tuan” sedangkan perempuan dan anak-anak menjadi
“budaknya”.
Selanjutnya Louis Althusser mengembangkan konsep overdetermination yaitu adanya
dialektika basis dan superstruktur, dimana superstruktur mendominasi basis. Menurut Antonio
Gramsci yang mengembangkan konsep hegemoni yaitu superstruktur menguasai kaum yang
lebih lemah secara materi, sosial dan ideologi. Konsep hegemoni ini lebih lanjut dikembangkan
oleh Chantal Mouffe dan Ernesto Laclan dengan melakukan berbagai analisis terhadap
keterkaitan antara struktur material dan sosial praktis yang menghasilkan wacana (discourses).
Mouffe kemudian konsep ini pada teori gender yang menekankan pada penciptaan struktur dan
mempengaruhi gender.
Menurut Sobur (2004) penanda adalah gabungan antara hutuf dan bunyi “wanita” dan
gambaran berbagai atribut tubuh sebagai pertanda. Makna kata wanita adalah mengikuti
kedudukan relatif dengan laki-laki, anak perempuan, anak laki-laki dan yang lainnya. Makna
wanita berarti tidak sama dengan laki-laki tetapi relatif sederet dengan itu. Namun makna wanita
lebih dekat dengan kategori hewan daripada laki-laki ( Krolokke & Sorensen, 2006). Sejalan
dengan teori tersebut, struktur bahasa disusun mengikuti dikotomi pengertian manusia dan
hewan, laki-laki dan wanita, putih dan hitam, anak-anak, dewasa dan lainnya. Karena susuna
tersebut memberikan makna bahwa wanita lebih dekat pada pengertian hewan atau sesuatu yang
bersifat alam/benda/tubuh. Saussare menemukan bahwa prinsip bahasa berlaku universal
walaupun dia mengakui bahwa sistem ini ditemukan pada budaya barat.
Wacana memiliki empat unsur: subyek, acuan pada dunia atau wahana, ditujukan kepada
seseorang/kelompok, dan temporalitas. Wacana menuntut adanya subyek yang menunjukkan
siapa pembicara. Acuan pada suatu dunia atau wahana maksudnya ialah dunia yang ingin
digambarkan atau direpresentasikan. Jadi situasi yang diacu oleh pembicara dan lawan bicara.
Wacana ditujukan kepada seseorang atau suatu kelompok. Ini merupakan dasar komunikasi.
Tetapi memang berbeda antara wacana yang ditujukan kepada lawan bicara yang hadir dalam
situasi penyampaian dan pembaca wacana yang sudah tertulis. Ciri universalitas lebih mewarnai
pada pembaca wacana tertulis. Sedangkan temporalitas menjadi ciri sebuah wacana karena
wacana selalu dinyatakan dalam waktu tertentu dan mempunyai kesejarahannya.
Penindasan melalui wacana itu nampak jelas dari pengalaman lingkup publik bahwa
subyek pembicara didominasi oleh laki-laki. Kalau laki-laki mendominasi wacana, maka acuan
pada dunia yang ingin digambarkan atau direpresentasikan tentu sesuai dengan keinginan,
kepentingan dan nilai-nilai laki-laki. Dalam konteks ini orang berbicara mengenai ideologi
phallocentrisme, laki-laki menjadi pusat dan kriteria segala sesuatu. Karl Mannheim dalam
Ideology and Utopia (1936) memberikan definisi ideologi dalam arti sempit, yaitu pandangan
dan sistem pemikiran yang selalu ditafsirkan dari sisi kehidupan yang mengungkapkannya.
Dari definisi itu menjadi jelas apa yang terjadi kalau laki-laki mendominasi model
pemahaman akan keyakinan-keyakinan moral dan kognitif tentang manusia, masyarakat dan
dunia serta hubungan antara ketiga hal itu. Ideologisasi merupakan proses yang melekat pada
semua bentuk pemikiran yang melibatkan diri si pembicara untuk memihak. Maka
kecenderungan phallocentrisme seperti halnya ideologi lainnya yaitu tidak transparan sehingga
menyebabkan kelambanan. Maksudnya sesuatu yang baru tidak bisa diterima atau diintegrasikan
oleh ideologi bila tidak sesuai dengan tipe-tipe yang sudah ditentukan olehnya, yang diyakini
sebagai endapan pengalaman sosial. Tuntutan kesetaraan gender akan dianggap sebagai
penyimpangan karena tidak sesuai dengan peran perempuan seperti sudah digariskan adat,
kebiasaan, tradisi atau agama.
Dalam konteks itu, phallocentrisme memiliki ciri yang sama dengan ideologi yaitu
disimulasi: menyembunyikan kenyataan-kenyataan yang benar-benar dihayati oleh kelompok
perempuan, yaitu ketidakadilan dan aspirasi akan kesetaraan gender. Aspirasi dan kenyataan
baru itu tidak bisa diintegrasikan oleh skema penuntun ideologi lelaki. Jawaban dari mereka yang
tidak setuju terhadap tuntutan pentahbisan pastor perempuan merupakan contoh menarik dari
fungsi disimulasi ideologi: tuntutan itu hanya akan membawa perpecahan di dalam Gereja
Katholik; umat belum siap menerima perubahan seperti itu; harus dibedakan antara wacana pada
tataran sosiologis dan tataran teologis; tuntutan itu menyimpang dari tradisi yang sudah berabad-
abad. Setiap kelompok memiliki ciri-ciri orthodoksi dan tidak toleran bila tersingkir. Tuntutan
kesetaraan gender dari perempuan mengancam peran dan dominasi laki-laki dengan segala
nikmat sosialnya. Bukan hanya itu, kebaharuan bisa dianggap sebagai ancaman karena bisa
mengakibatkan laki-laki tidak bisa mengenali dirinya kembali, yang sebelumnya dianggap ciri
khas. Ciri disimulasi dari phallocentrisme itu lebih terasa dalam hubungannya dengan peran
dominasi yang terkait dengan hirarki suatu organisasi sosial. Biasanya apa yang ditafsirkan dan
mendapat pembenaran dari ideologi adalah hubungan kekuasaan. Maka tidak mengherankan
masalah pastor perempuan, pemuka agama perempuan dan pemimpin politik perempuan,
menjadi isu yang hangat dan mengundang reaksi keras terutama dari laki-laki.
Untuk keluar dari penindasan dan ketidakadilan yang diakibatkan oleh wacana laki-laki,
cara yang mungkin ialah melakukan penafsiran kembali wacana tersebut. Ini berarti menafsir
ulang pemikiran-pemikiran filsafat, teologi, produk-produk hukum, norma-norma moral dan
agama, dsb. Model penafsiran yang bagaimana? Penafsiran itu pertama-tama harus
memperhitungkan unsur temporalitas dari wacana atau sifat kesejarahan dari pemahaman; kedua,
melakukan kritik ideologi; ketiga mengadakan dekonstruksi atau pembongkaran wacana laki-
laki.
Kritik ideologi dimaksudkan sebagai kritik atas prasangka-prasangka dan ilusi-ilusi yang
menjadi bagian dari wacana laki-laki. Wacana laki-laki yang berupa pemikiran filsafat, teologi,
produk-produk hukum, norma-norma moral atau agama, dsb., memuat prasangka-prasangka
yang sarat nilai-nilai kelakian dan mempertahankan status quo dominasi laki-laki. Ilusi bahwa
superioritas nyata laki-laki cukup untuk memberikan pembenaran atas segala tindakannya -
membuat hukum dan memberlakukannya - harus diuji melalui kritik ideologi. Sedangkan dengan
dekonstruksi, perempuan diajak untuk membongkar motivasi-motivasi yang disadari dan yang
terselubung, serta kepentingan-kepentingan laki-laki yang melekat pada wacana politik, filosofis,
teologis, dsb. Dengan ketiga jalan itu, kekerasan simbolis melalui wacana dibongkar. Wacana
baru dan cara melihat baru yang peduli akan nasib perempuan harus dibangun. Dengan demikian
perempuan bisa menilai apa pun dengan cara pandang mereka sendiri seperti yang diidamkan
oleh Annie Leclerc.
4. Ferdinand de Saussure
Untuk mengenal lebih lanjut tentang strukturalisme maka ada baiknya untuk menyimak
pemikiran Ferdinand de Saussure yang banyak disebut orang sebagai bapak strukturalisme,
walaupun bukan orang pertama yang mengungkapkan strukturalisme. Banyak hal yang
menunjukkan Ferdinand de Saussure adalah bapak strukturalisme. Selain ia sebagai bapak
strukturalisme ia juga sebagai bapak linguistik yang ditunjukkan dengan mengadakan perubahan
besar-besaran di bidang lingustik. Ia yang pertama kali merumuskan secara sistematis cara
menganalisa bahasa, yang juga dapat dipergunakan untuk menganalisa sistem tanda atau simbol
dalam kehidupan masyarakat, dengan menggunakan analisis struktural. Ia mengatakan bahwa
linguistik adalah ilmu yang mandiri, karena bahan penelitiannya, yaitu bahasa, juga bersifat
otonom. Bahasa adalah sistem tanda yang paling lengkap. Menurutnya ada kemiskinan dalam
sistem tanda lainnya, sehingga untuk masuk ke dalam analisis semiotik, sering digunakan pola
ilmu bahasa. De Saussure mengatakan bahwa bahasa adalah sistem tanda yang mengungkapkan
gagasan, dengan demikian dapat dibandingkan dengan tulisan, abjad orang-orang bisu tuli,
upacara simbolik, bentuk sopan santun, tanda-tanda kemiliteran dan lain sebagainya. Bahasa
hanyalah yang paling penting dari sistem-sistem ini. Jadi kita dapat menanamkan benih suatu
ilmu yang mempelajari tanda-tanda di tengah-tengah kehidupan kemasyarakatan; ia akan
menjadi bagian dari psikologi umum, yang nantinya dinamakan oleh de saussure sebagai
semiologi. Ilmu ini akan mengajarkan kepada kita, terdiri dari apa saja tanda-tanda itu, kaidah
mana yang mengaturnya. Karena ilmu ini belum ada, maka kita belum dapat mengatakan
bagaimana ilmu ini, tetapi ia berhak hadir, tempatnya telah ditentukan lebih dahulu. Linguistik
hanyalah sebahagian dari ilmu umum itu, kaidah-kaidah yang digunakan dalam semiologi akan
dapat digunakan dalam linguistik dan dengan demikian linguistik akan terikat pada suatu bidang
tertentu dalam keseluruhan fakta manusia.
Dalam memahami kebudayaan kita tidak bisa terlepas dari prinsip-prinsip dasarnya. de
Saussure merumuskan setidaknya ada tiga prinsip dasar yang penting dalammemahami
kebudayaan, yaitu:
1. Tanda (dalam bahasa) terdiri atas yang menandai (signifiant, signifier, penanda) dan yang
ditandai (signifié, signified, petanda). Penanda adalah citra bunyi sedangkan petanda
adalah gagasan atau konsep. Hal ini menunjukkan bahwa setidaknya konsep bunyi terdiri
atas tiga komponen (1) artikulasi kedua bibir, (2) pelepasan udara yang keluar secara
mendadak, dan (3) pita suara yang tidak bergetar.
2. Gagasan penting yang berhubungan dengan tanda menurut Saussure adalah tidak adanya
acuan ke realitas obyektif. Tanda tidak mempunyai nomenclature. Untuk memahami
makna maka terdapat dua cara, yaitu, pertama, makna tanda ditentukan oleh pertalian
antara satu tanda dengan semua tanda lainnya yang digunakan dan cara kedua karena
merupakan unsur dari batin manusia, atau terekam sebagai kode dalam ingatan manusia,
menentukan bagaimana unsur-unsur realitas obyektif diberikan signifikasi atau
kebermaknaan sesuai dengan konsep yang terekam.
3. Permasalahan yang selalu kembali dalam mengkaji masyarakat dan kebudayaan adalah
hubungan antara individu dan masyarakat. Untuk bahasa, menurut Saussure ada langue
dan parole (bahasa dan tuturan). Langue adalah pengetahuan dan kemampuan bahasa
yang bersifat kolektif, yang dihayati bersama oleh semua warga masyarakat; parole
adalah perwujudan langue pada individu. Melalui individu direalisasi tuturan yang
mengikuti kaidah-kaidah yang berlaku secara kolektif, karena kalau tidak, komunikasi
tidak akan berlangsung secara lancar.
Gagasan kebudayaan, baik sebagai sistem kognitif maupun sebagai sistem struktural,
bertolak dari anggapan bahwa kebudayaan adalah sistem mental yang mengandung semua hal
yang harus diketahui individu agar dapat berperilaku dan bertindakj sedemikian rupa sehingga
dapat diterima dan dianggap wajar oleh sesama warga masyarakatnya.
5.Pierre Bourdieu
Bourdieu melihat field sebagai sebuah arena pertarungan. Struktur Field lah yang
menyiapkan dan membimbing strategi yang digunakan penghuni posisi tertentu yang mencoba
melindungi atau meningkatkan posisi mereka untuk memaksakan prinsip penjenjangan sosial
yang paling menguntungkan bagi produk mereka sendiri. Field adalah sejenis pasar kompetisi
dimana berbagai jenis modal (ekonomi, kultur, sosial, simbolik) digunakan dan disebarkan.
Lingkungan adalah lingkungan politik (kekuasaan) yang sangat penting; hirarki hubungan
kekuasaan di dalam lingkungan politik membantu menata semua lingkungan yang lain.
Dengan kata lain, Field adalah wilayah kehidupan sosial, seperti seni, industri, hukum,
pengobatan, politik dan lain sebagainya, dimana para pelakunya berusaha untuk memperoleh
kekuasaan dan status. Bourdieu menganggap bahwa modal memainkan peranan yang penting,
karena modallah yang memungkinkan orang untuk mengendalikan orang untuk mengendalikan
nasibnya sendiri maupun nasib orang lain.
Terdapat empat modal yang berperan dalam masyarakat yang menentukan kekuasaan sosial
dan ketidaksetaraan sosial, pertama modal ekonomis yang menunjukkan sumber ekonomi.
Kedua, modal sosial yang berupa hubungan-hubungan sosial yang memungkinkan seseorang
bermobilisasi demi kepentingan sendiri. Ketiga, modal simbolik yang berasal dari kehormatan
dan prestise seseorang. Keempat adalah modal budaya yang memiliki beberapa dimensi, yaitu:
Pengetahuan obyektif tentang seni dan budaya
Cita rasa budaya (cultural taste) dan preferensi
Kualifikasi-kualifikasi formal (seperti gelas-gelar universitas)
Kemampuan-kemampuan budayawi dan pengetahuan praktis.
Kemampuan untuk dibedakan dan untuk membuat oerbedaan antara yang baik dan buruk.
Modal budaya ini terbentuk selama bertahun-tahun hingga terbatinkan dalam diri seseorang.
Setelah dibahas tentang ketiga konsep diatas maka akan dijelaskan hubungan ketiga konsep
tersebut.
Habitus dan ranah merupakan perangkat konseptual utama yang krusial bagi karya Bourdieu
yang ditopang oleh sejumlah ide lain seperti kekuasaan simbolik, strategi dan perbuatan beserta
beragan jenis modal. Seperti telah diungkapkan diatas bahwa habitus adalah struktur kognitif
yang menghubungkan individu dan realitas sosial. Habitus merupakan struktur subyektif yang
terbentuk dari pengalaman individu berhubungan dengan individu lain dalam jaringan struktur
obyektif yang ada dalam ruang sosial. Habitus adalah produk sejarah yang terbentuk setelah
manusia lahir dan berinteraksi dengan masyarakat dalam ruang dan waktu tertentu, dengan kata
lain habitus adalah hasil pembelajaran lewat pengasuhan, aktivitas bermain, dan juga pendidikan
masyarakat. Pembelajaran ini berjalan secara halus sehingga individu tidak menyadari hal ini
terjadi pada dirinya, jadi habitus bukan pengetahuan bawaan. Habitus mendasari field yang
merupakan jaringan relasi antar posisi-posisi obyektif dalam suatu tatanan sosial yang hadir
terpisah dari kesadaran individu. Field semacam hubungan yang terstruktur dan tanpa disadari
mengatur posisi-posisi individu dan kelompok dalam tatanan masyarakatyang terbentuk secara
spontan. Habitus memungkinkan manusia hidup dalam keseharian mereka secara spontan dan
melakukan hubungan dengan pihak-pihak diluar dirinya. Dalam proses interaksi dengan pihak
luar tersebut terbentuklah Field.
Dalam suatu Field ada pertarungan kekuatan-kekuatan antara individu yang memiliki banyak
modal dengan individu yang tidak memiliki modal. Diatas sudah di singgung bahwa modal
merupakan sebuah konsentrasi kekuatan, suatu kekuatan spesifik yang beroperasi di dalam field
dimana di dalam setiap field menuntut untuk setiap individu untuk memiliki modal gara dapat
hidup secara baik dan bertahan di dalamnya.
Secara ringkas Bourdieu menyatakan rumusan generatif yang menerangkan praktis sosial dengan
rumus setiap relasi sederhana antara individu dan struktur dengan relasi antara habitus dan ranah
yang melibatkan modal.
6.Penutup
Secara umum aplikasi teori struktural jika dikaitkan dengan komunikasi gender adalah
adanya perbedaan antara pria dan wanita dalam berkomunikasi. Dalam mengajukan pertanyaan,
wanita lebih halus daripada laki-laki. Laki-laki lebih tegas, ingin selalu mendominasi, bersifat
lansung dan bernada memerintah.
Menurut Deborah Tannen (dalam Gamble and Gamble, 2005) menunjukan bahwa dalam
perccakapan laki-laki cenderung berkomunikasi untuk menunjukan status, sementara wanita
cenderung menjadi pendengar yang baik bila berbicara dengan laki-laki, karena wanita berusaha
untuk menjaga hubungan. Selain itu laki-laki cenderung berkomunikasi dengan type report
sedangkan wanita bertype rapport.
Terdapat juga Genderlect style (Tanneen, 2005 )yaitu perbedaan gaya dalam percakapan antara
laki-laki dan perempuan seperti :
Laki-laki berbicara atas persoalan yang ada di luar dirinya sedangkan wanita berbicara
atas persoalan pribadinya
Dalam bercerita, laki-laki cenderung lebih banyak daripada wanita dan pada umumnya
merupakan hal-hal yang lucu karena merupakan cara untuk melakukan negosiasi atas
status. Sedangkan wanita cenderungf bercerita pada hal-hal yang menyedihkan dan
ketidakberdayaan
Dalam percakapan, wanita cenderung menjadi pendengar yag baik dan laki-laki enggan
mendengar hal-hal yang tidak penting dan tidak mau membiarkan dirinya menjadi
sekedar pendengar karena hal itu menurunkan status
Dalam mengajukan pertanyaan wanita melakukannya dengan kalimat yang mengundang
tanggapan lainnya untuk menunjukan adanya keinginan untuk membuka komunikasi
yang lebih akrab. Bertanya kepada laki-laki, wanita cenderung lemah lembut.
Laki-laki tidak menghindari konflik dengan komunikasi, karena konflik adalah salah satu
cara dalam menunjukkan eksistensi, sementara wanita menghindari konflik karena hal itu
dapat merusak hubungan yang telah dibina dengan biaya mahal
Topik yang dibicarakan wanita pada hal-hal bersifat gosip, sedangkan laki-laki
profesinalisme
Gender Voices
Dalam percakapan, warna suara juga menjadi perhatian penting karena warna suara akan
memberi efek komunikasi. Suara wanita dan laki-laki berbeda baik warna, intonasi dan
vokalnya. Sering ditemui bahwa suara wanitta cenderung diabaikan oleh audiens. Dalam
suara laki-laki terbersit adanya kekuasaan dan suara wanita terbersit rasa kasih sayang
(Krolokke &Sorensen, 2006).
Graddol dan Swann ( dalam Krolokke &Sorensen, 2006) tertarik untuk mengetahui adanya
perbedaan jenis suara wanita dan laki-laki. Mereka menemukan adanya perbedaan sebagai berikut :
Perbedaan Wanita Laki-laki
Perbedaan antara suara wanita dan laki-laki ditemui dalam semua budaya dan baru muncul sejak
mereka beranjak dewasa.
Bahan Bacaan
Bagus, L. 1996. ”Kamus Filsafat”. Pustaka Gramedia. Jakarta.
Harker, R, C. Mahar, and C. Wilkes. 2005. (Habitus x Modal) + Praktik: Pengantar Paling
Komprehensif kepada Pemikiran Pierre Bourdieu”. Jalasutra. Yogyakarta.
Krolokke, C. and A.S. Sorensen. 2006. Gender Communication Theoris and Analyses: From
Silence to Performance. SAGE Publication. Thousand Oaks, London, New Delhi.
Lechte, J. 2001. ”50 Filsuf Kontmporer: Dari Strukturalisme sampai Postmodernitas”. Kanisius.
Yogyakarta.
Tanen, Deborah. 2006. “A Firs Look Communication Theory”. Sixth Edition, E.M.Griffin, Mc
Graw Hill International Edition, Boston.