Anda di halaman 1dari 8

RESUME

FUNGSIONALISME DAN NEO-FUNGSIONALISME


Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Teori Hubungan Internasional

DOSEN PEMBIMBING
Peggy Puspa Haffsari, M.Sc., M.Si.

DISUSUN OLEH
Nadia Wulandari (201810360311223)
Raihanah Nur Zhafirah (201810360311230)
Mariyam Abduh Bavana (201810360311234)
Mithayani Aulia Dini (201810360311248)
Naufal Rizqulloh D. (201810360311422)

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
2019
FUNGSIONALISME DAN NEO-FUNGSIONALISME

Definisi

Fungsionalisme merupakan turunan dari Liberalism, yang mana menyakini bahwa


kedamaian tidak adak tercapai dengan cara kekerasan (perang), akan tetapi dapat tercapai jika
memperhatikan aspek sosial dan ekonomi dengan terciptanya Integrasi guna mencapai
kepentingan negara. Integrasi merupakan suatu konsensus bersama, jadi pada integrasi regional
harus adanya konsensus atau kesepakatan bersama dan juga harus memiliki kesamaan
pandangan diantara negara-negara tersebut.
Neo-Fungsionalisme muncul pada tahun 1958, berdasar pada karya Ernst Haas dengan
judul “The Uniting of Europe : Political, Social, and Economical Forces”, merupakan
penyempuranaan dari teori fungsionalisme David Mitrany. Dalam neo-fungsionalis dijelaskan
bahwa integrasi pada suatu wilayah (regional) merupakan proses yang konfliktual yang
berlangsung lama, dan di dalamnya terdapat banyak pihak yang terhubung, baik aktor negara
maupun aktor non-negara.
Perbedaan antar fungsionalisme dan neo-fungsionalisme terlihat dari perbedaan fokus
keduanya terhadap kepentingan dan kebutuhan bersama. Fungsionalisme lebih fokus kepada
beberapa aktor yang tidak mengikat secara eksklusif terhadap state actors. Tujuannya pun
lebih menjurus kepada pendeskripsian terhadap perdamaian dengan membangun struktut-
struktur yang melayani kebutuhan aktor politik, bisa dikatakan juga fungsionalisme lebih
mengidentifikasikan masalah-masalah yang harus diselesaikan untuk mencapai perdamaian
dan juga mengatur institusi yang akan memenuhi kebutuhan fungsional ini. Dalam fungsionalis,
negara memiliki kapasitas berkuasa dalam sebuah perjanjian dan persetujuan.

Tokoh Fungsionalisme

Pencetus sosiologi modern berkebangsaan Prancis, Emile Durkheim, yang berpendapat


bahwa sistem dalam masyarakat dengan bagian-bagiannya yang sangat kompleks dapat
terhubung satu dengan yang lainnya dengan adanya saling ketergantungan dan saling pengaruh
memengaruhi satu sama lain dengan tujuan untuk memberikan kestabilan dalam masyarakat
(1893). [1] Kestabilan di dalam masyarakat dapat terwujud apabila dalam masyarakat tersebut
ada sejumlah nilai, norma, hukum, moral, agama, keyakinan, adat, dan ritual yang mampu
menjadi alat kontrol sosial di masyarakat itu sendiri. Tanpa adanya alat kontrol sosial tersebut,
masyarakat akan mengalami ketidakstabilan sebagai dampak dari tidak berfungsinya bagian-
bagian di dalam masyarakat. Durkheim berpendapat bahwa fungsioanalisme dalam suatu
sistem sosial yang bekerja sama dengan sistem organik.Terbentuknya masyarakat karena
adanya struktur-struktur atau aturan kebudayaan yaitu keyakinan dan praktek, para sosiolog
berpandangan bahwa setiap jalan berpikir dan bertindak yang sudah matang dalam masyarakat
yaitu dimana masyarakat disosialisasikan dan disebut di institusionalisasikan. Maksud dari
institusi-institusi dalam masyarakat yaitu bentuk tatanan keluarga, pendidikan, politik, tananan
keagamaan, dan lainnya adalah analogi dengan komponen organisme.
Tokoh lain seperti Alfred Radcliffe-Brown (1881-1955) mempunyai pendapat yang
hampir serupa. Ia berpendapat bahwa fungsionalisme adalah berbagai aktivitas masyarakat
yang dilakukan secara berulang-ulang dan terus menerus di dalam kehidupannya secara
keseluruhan (1951). Oleh karena itu keterlibatan aktivitas tersebut menimbulkan kestabilan di
dalam masyarakat dan hal tersebut terjadi secara berulang dan terus menerus.
Perkembangan fungsionalisme

Yang melatar belakangi lahirnya fungsionalisme adalah karena masih didapatkannya


kelemahan-kelemahan pada paradigma-paradigma sebelumnya (evolusi, difusi, dan sejarah
kebudayaan), meskipun sudah menggunakan metode dengan baik, dan bahkan mereka selalu
memperbaiki metode analisis dalam penelitiannya. Akan tetapi kesan yang muncul dari hasil
atau kesimpulan dari penelitian mereka seakan spekulatif. Kelemahan-kelemahan muncul
antara lain disebabkan karena, studi-studi yang mereka lakukan tidak membandingkan
kebudayaan-kebudayaan yang saling berdekatan, akan tetapi lebih kepada data yang telah
tersedia dalam budaya itu sendiri, dan tidak dilakukannya penelitian lapangan untuk
memperoleh data tersebut (Ahimsa dalam Andi, 2010). Meskipun ada beberapa ilmuwan yang
telah melakukan penelitian lapangan, sampai pada sejarah kebudayaan pun, seperti yang
dilakukan Boas dan dikembangkan murid-muridnya hingga abad ke 20, masih juga terdapat
kelemahan-kelemahan didalamnya. Terbukti dengan berbagai kritik yang dilontarkan pada
teori tersebut.
Bronis Law Malinowski adalah salah satu ilmuwan yang menolak pendekatan sejarah
(historical approach) dalam antropologi. Dari penelitian Malinowski ini, disadari bahwa,
adanya keterbatasan pendekatan sejarah ketika digunakan untuk mempelajari masyarakat
sederhana di luar Eropa, yang belum mengenal tulisan dan juga belum pernah ditulis orang lain
(Ahimsa dalam Andi, 2010). Sejarah yang dipahami oleh masyarakat di luar Eropa (termasuk
di Indonesia), adalah sejarah yang mereka yakini pernah ada di kehidupan sebelum mereka
dalam sebuah dongeng atau mitos, karena di jaman itu memang belum mengenal tulisan.
Misalnya, budaya slametan di jawa yang pernah di teliti oleh Clifford Gertz, dalam bukunya
“relegion of java” menerangkan bahwa slametan menjaga mereka dari gangguan makhluk
halus sehingga mereka tidak lagi merasa sakit, sedih, atau bingung. Slametan juga dapat
diadakan untuk memenuhi semua hajat orang sehubungan dengan suatu kejadian yang ingin
diperingati, ditebus atau dikuduskan. Kelahiran, perkawinan, sihir, kematian, pindah rumah,
mimpi buruk, panen, ganti nama, membuka pabrik, sakit, memohon kepada arwah penjaga desa,
khitanan, memulai suatu rapat politik dan mungkin masih banyak lagi peristiwa-peristiwa yang
bisa di slameti (dilakukan slametan), dan itu dilakukan sejak dulu oleh leluhur mereka yang
diyakini mempunyai kisah tersendiri (Clifford Gertz dalam Andi, 2010).
Dari situlah kemudian terlihat gejala-gejala paradigma fungsionalisme yang dibawa oleh
Bronis Law Malinowski, seorang tokoh dalam sejarah teori antropologi yang lahir di Cracow,
Polandia pada tahun 1884, seorang putera bangsawan dan guru besar sastrawan slavik di
Polandia. Teori ini diilhaminya dari teori belajar, atau learning theory, yang sangat menarik
perhatiannya, sehingga dipakainya untuk memberi dasar eksak bagi pemikirannya terhadap
hubungan-hubungan berfungsi dari unsur-unsur suatu kebudayaan (Koentjaraningrat
dalam Kaplan & Manners, 2002). Dari ketertarikannya tentang teori tersebut, kemudian ia
terapkan pada sebuah tulisan mengenai aspek-aspek pada masyarakat pada kepulauan Trobrian
yang berada di bagian utara kepulauan Masim, sebelah tenggara Papua Niugini, yang pernah
ia teliti pada tahun 1914 (Koentjaraningrat dalam Kaplan & Manners, 2002). Secara tidak
langsung ia telah mengintroduksikan sebuah paradigma baru dalam ilmu antropologi,
kemudian muncul reaksi dari kalangan keilmuan antropologi, yang memberikan dorongan
kepadanya untuk mengembangkan teori tersebut, dan terciptalah sebuah paradigma baru yang
tidak historis ini yakni Fungsionalisme.
Di lain hal Radcliffe-Brown, ilmuwan yang mendeskripsikan masyarakat di kepulauan
Andaman (penduduk Negrito) sebelah utara Pulau Sumatra antara tahun 1906 dan 1908,
sebagai desertasinya yang memang sifatnya lebih struktural, tapi itu merupakan contoh lain
dari suatu deskripsi terintegrasi secara fungsional. Kemudian buku itu diterbitkan bersamaan
dengan buku Malinowski pada tahun 1922. Berkat kiprah Malinowski dan Radcliffe-Brown
serta murid-murid mereka, peradigma fungsionalisme yang kemudian disebut fungsionalisme-
struktural, berhasil menjadi paradigma yang menguasai ilmu-ilmu social di Barat tahun 1940-
1960an. Berbagai teori fungsional-struktural mengenai gejala sosial-budaya bermunculan di
era tersebut, seperti teori fungsi kebudayaan, fungsi mitos, fungsi ritual, fungsi kekerabatan,
fungsi sistem politik, fungsi hukum dan sebagainya (Ahimsa dalam Andi, 2010).
Dalam salah satu bentuknya, fungsionalisme adalah penekanan dominan dalam studi
antropologi khususnya penelitian etnografis, selama beberapa dasawarsa silam. Artinya,
menonjolnya fungsionalisme dan kerja lapangan dalam antropologi secara bersamaan ini
bukanlah suatu hal yang kebetulan (Kaplan dan Manners, 2002:76). Fungsionalisme, menurut
para ilmuwan-ilmuwannya adalah sebuah paradigma kebudayaan yang meliputi, metodologi
untuk mengeksplorasi saling ketergantungan, dan fungsionalisme merupakan teori tentang
proses kultural. Selain berminat melacak cara saling pertautan yang sangat bermacam ragam
dan sering kali mengejutkan antara unsur-unsur suatu budaya, banyak fungsionalis
berpandangan dan mengklaim bahwa mereka telah menciptakan sosok teori yang menjelaskan
mengapa unsur-unsur itu berhubungan secara tertentu, dan mengapa terjadi pola budaya
tertentu atau setidak-tidaknya mengapa pola itu bertahan. Ketika Malinowski menjelaskan
magic Trobrian sehubungan dengan fungsinya untuk mengurangi kecemasan menghadapi hal-
hal yang tidak di pahami, dia seolah menjelaskan alasan kehadiran dan kelestarian magic itu
dalam budaya masyarakat Trobriand.

Tokoh Neofungsionalisme

Jeffrey Alexander dan Paul Colomy mendefenisikan neofungsionalisme sebagai


“rangkaian kritik-diri teori fungsional yang mencoba memperluas cakupan intelektual
fungsionalisme yang mempertahankan inti teorinya.
Beberapa orientasi dasar neofungsionalisme menurut alexander:
1. Neofungsionalisme bekerja dengan model masyarakat deskriptif.
2. Neofungsionalisme memusatkan perhatian yang sama besarnya terhadap tindakan dan
keteraturan.
3. Neofungsionalisme memusatkan perhatian pada perubahan sosial dalam proses
diferensiasi di dalam sistem sosial.

Perkembangan Teori Neofungsionalisme


Neo-fungsionalisme adalah teori dari integrasi regional yang berusaha menjelaskan
proses integrasi (Eropa). Neo-fungsionalisme muncul pada tahun 1958 dengan munculnya
publikasi oleh Ernst. B. Haas yang berjudul “The Uniting of Europe: Political, Social, and
Economic Forces”. Tujuan awal Ernst. B. Haas dalam menulis hal tersebut adalah untuk
menyediakan sebuah grand theory yang dapat menjelaskan kerja sama regional secara objektif
dan ilmiah dan dapat menjelaskan berbagai fenomena kerja sama regional lainnya di dunia.
Namun, pada perkembangannya teori ini cenderung diasosiasikan dengan EU/EC. Salah satu
alasannya adalah integrasi politik dan ekonomi terbaik terjadi di Eropa. Eropa dan integrasi
Eropa pun menjadi fokus utama para neo-fungsionalis pada masa 1960-an dan 1970-an.

Perkembangan neo-fungsionalisme kemudian mengalami penurunan dan bahkan


hampir hilang pada tahun 1970-an. Salah satu alasannya adalah kurangnya basis teoritis yang
kokoh untuk pengamatannya. Alasan lainnya adalah peningkatan tingkat integrasi yang
dipredikisi oleh para neo-fungsionalis tidak terjadi. Namun, pada akhir 1980-an dan selama
1990-an. Teori neo-fungsionalisme mengalami kebangkitan karena adanya dinamika baru di
EC/EU berupa single market programme.

Konsep inti dari neo-fungsionalisme adalah spillover. Spillover berfokus pada sebuah
proses dimana kooperasi politik dilaksanakan dengan tujuan spesifik dan membuat
terbentuknya tujuan-tujuan baru untuk memastikan tercapainya tujuan-tujuan lama. Sebagai
contoh, salah satu tujuan yang ingin dicapai EU adalah kebebasan bergerak bagi pekerja di
seluruh negara anggota EU.

Proses integrasi Eropa dalam kacamata neofungsionalisme, Rosamond mengajukan kembali


proposisi-proposisinya, yaitu:
a. Integrasi pada awalnya dimulai dari bidang-bidang low politics, tetapi megambil sektor yang
strategis, yaitu batubara dan baja
b. integrasi menciptakan otoritas tinggi (high authority) tanpa mengurangi kandungan dari
kepentingan nasional dan memberikan keleluasan negara-negara anggota untuk bertindak
sebagai pendorong integrasi
c. integrasi dalam sektor-sektor ekonomi utama antar negara akan menciptakan tekanan-
tekanan fungsional dalam sektor-sektor ekonomi lainnya. Momentum ini akan berlanjut
dengan panduan yang dimainkan oleh high authority
d. integrasi yang semakin kuat tidak hanya didorong oleh otoritas tinggi. Di sini secara bertahap,
berdasarkan kepentigan-kepetingan sosial yang mana loyalitas semula diarahkan pada otoritas nasional
perlahan bergeser pada otoritas yang lebih tinggi ketika kepentingan material mereka bisa
dipenuhi melalui integrasi. Kepentingan ini menjadi kepentingan tetap dalam sistem Eropa
seiring dengan kerangka supranasional baru yang mulai bekerja
e. semakin kuatnya integrasi dalam bidang ekonomi, maka diperlukan institusional lebih jauh seperti juga
integrasi yang semakin luas memerlukan kompleksitas dalam pengaturannya

Spillover mengacu pada situasi dimana kerja sama di suatu bidang mengharuskan terjadinya
kerja sama di bidang lainnya.

Kritik terhadap teori fungsionalisme dan neo-fungsionalisme

Fungsionalisme mempengaruhi pemikiran yang dikembangkan oleh organisasi kerja


sama regional. Dimana Negara mengalami bias atas batas-batas wilayah negaranya. Aliran
pemikiran fungsionalisme yang dikembangkan David Mitrany pada akhirnya memiliki
keterkaitan dengan ide Burton mengenai model masyarakat dunia. Titik temu keduanya
misalnya pada dunia perekonomian secara regional yang memusatkan pada globalisasi.

Fenomena fungsionalisme mendapatkan respon serius dari kaum realis. Dimana kaum
realis menolak asumsi aktor non-negara yang dijelaskan oleh fungsionalisme. Kaum realis
tetap berargumentasi bahwa aktor utama dalam hubungan internasional adalah Negara sebagai
aktor uniter. Karena menurut kaum realis, kepentingan Negara selalu menjadi hal utama dan
terdepan yang harus dicapai dan tidak mungkin tergadaikan atas kerja sama internasional,
meskipun mengatasnamakan organisasi kerja sama internasional.

Kaum realis berasumsi pula bahwa fungsi organisasi internasional dalam teori
fungsionalisme akan memperlemah posisi atau kedudukan dan kedaulatan sebuah Negara,
sehingga Negara akan kesulitan mencapai tujuannya. Hal ini terkait erat dengan poin penting
dalam fungsionalisme itu sendiri yaitu kolektifitas dan keamanan bersama yang tidak mungkin
mengesampingkan kepentingan masing-masing Negara.

Kegagalan lain dari fungsionalisme menurut kaum realis terletak pada proses
perjalanan instrument fungsionalisme itu sendiri. Hal ini berdasar pada fenomena yang terjadi
ketika fungsionalisme tidak dapat menjelaskan dan menangani isu yang bersifat politis. Karena
harus diakui bahwa ketika banyak aktor yang berperan dalam hubungan internasional, maka
akan terjadi ketidakseimbangan tupoksi dan kepentingan. Hal-hal yang bersifat politis seperti
yang ditawarkan realis justru menjadi senjata ampuh penyelesaian isu dibandingkan dengan
yang ditawarkan oleh fungsionalisme.

Neo-fungsionalisme mengharap pencapaian masyarakat surpranasional (Eropa) dengan


menekankan kerjasama di daerah yang secara politik kontroversial. Neo-fungsionalisme
memandang integrasi politik bukan suatu kondisi tapi proses perubahan yang mengarah pada
masyarakat politik.
Neo-fungsionalisme mendapatkan banyak kritik karena tujuan dari integrasi politik
dalam teori ini meninggalkan sesuatu yang tidak dapat dijelaskan, sehingga analisisnya perlu
diperbaiki dan diperluas (salah satunya, tidak ada pembeda antara high dan low politics
sebagaimana dibedakan oleh Stanley Hoffman). Neo-fungsionalisme juga ragu-ragu untuk
meniru model dari negara supranasional. Selain itu, kondisi wilayah yang berbeda yang
memiliki masalah integrasi berbeda akan memerlukan model analisis yang beda pula. Sesuatu
yang cocok di daerah satu, belum tentu cocok di daerah lain.
Jensen kemudian menulis bahwa teori neo-fungsionalisme mendapatkan kritik, baik
secara empiris maupun teoritis. Secara empiris, dikatakan bahwa teori neo-fungsionalisme
tidak relevan dengan kondisi Eropa pada tahun 1970-an karena tidak adanya (atau lambatnya)
proses integrasi politik di Eropa yang sebelumnya diprediksi akan terjadi oleh para neo-
fungsionalis.7 Godowska juga mengungkapkan bahwa kesalahan utama dari teori neo-
fungsionalis ini adalah asumsi bahwa proses integrasi akan berjalan terus-menerus dan
otomatis sebagai proses yang linear dan berkelanjutan, Padahal, dalam kenyataannya, proses
integrasi kadang berjalan dan kadang terhenti.8 Secara teoritis, konsep elite socialization dan
pergeseran kesetiaan dikritik oleh Paul Taylor. Menurutnya, adanya integrasi tidak lantas
membuat elit-elit tersebut menjadi lebih Eropa, melainkan adanya integrasi tersebut akan
membuat negara-negara anggota memiliki perwakilan ‘nasional’ di institusi regional misalnya
Komisi Eropa agar kepentingan negara tersebut dapat terwakili. 9 Sejalan dengan pendapat
Taylor, Godowska mengutip pernyataan Juliet Lodge juga berpendapat bahwa pergeseran
kesetiaan tidak serta merta terjadi, tetapi dipengaruhi oleh dimensi ideologis dan simbolik dari
komunitas politik.10
Studi kasus Neofungsionalisme dalam Uni Eropa
Uni Eropa merupakan sebuah organisasi antar pemerintahan yang membentuk badan supra-
nasional, yang anggotanya terdiri dari negara-negara eropa sendiri, dan sampai tahun 2007
telah memiliki 27 negara anggota.

Rumusan masalah :
Penulis ingin menganalisis bagaimana integrasi Uni Eropa dari kacamata neofungsionalisme
sebagai suatu pendekatan untuk menjelaskan fenomena integrasi kawasan. Tak hanya sampai
di situ, lebih lanjut penulis ingin melihat tantangan yang dihadapi dalam hubungan antar negara
anggota Uni Eropa, baik dari new members maupun strong members.
DAFTAR PUSTAKA

Aisy, A.S.R. Neofungsionalisme dalam Uni-Eropa. Tulisan pada


https://www.academia.edu/31988898/NEO-FUNGSIONALISME_DALAM_UNI_EROPA

Ambarwati. (2009). Aplikasi Teori Integritas dalam Hubungan Internasional: Eropa dan
Asia Timur. Dalam Asrudin, & M. J. Suryana, Refleksi Teori Hubungan Internasional: Dari
Tradisional ke Kontemporer (hal. 146). Yogyakarta: Graha Ilmu.
Dengo, F.R. (2011,03 Desember). Fungsionalisme dalam Hubungan Antar Negara.
Tulisan pada http://fiqhirizky.blogspot.com/2011/12/fungsionalisme-dalam-hi.html

Fakih, M. (2013). Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi.Yogyakarta:Pustaka


Pelajar.hal. 51

Jean Monet, Robert Schuman. (2008). Miami-Florida European Uninon Center for
Excellent, EU Commission, University of Miami, hal 4.

Jensen, C.S. (2003). Neo-functionalism. In European Union Politics, ed. by Michelle Cini. Oxford:
Oxford University Press, hal. 81.

Jensen, C.S. (2006). Neo-functionalism. In European Union Politics,edited by Michelle


Cini. Oxford: Oxford University Press. hal. 80-92.

Jones, P. (2010). Pengantar Teori-teori Sosial Dari Teori Fungsionalisme hingga Post
Modernisme.Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.hal. 53

Kumalasari, M.A. (2013,06 Oktober). Teori Fungsionalisme. Tulisan pada


http://maychan9.blogspot.com/2013/10/may-anjars-world-bagi-ilmu.html

Pinem, W. Teori Neo-fungsionalisme dalam Organisasi Internasional . Tulisan Pada


https://www.seniberpikir.com/teori-neo-fungsionalisme-dalam-organisasi-internasional/

Rosamond, B. (2000). Theories of European Integration. Palgrave Macmillan:


Hampshire.

Rosamond, B. (2005). "The uniting of Europe and the foundation of EU studies:


Revisiting the neofunctionalism of Ernst B. Haas". Journal of European Public Policy. 12 (2):
243. https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/13501760500043928

Soehada, M. (2014). Fakta Dan Tanda Agama : Suatu Tinjauan Sosio-


Antropologi.Yogyakarta:Diandra Pustaka Indonesia.hal. 49.

Wirawan, I.B, (2012). Teori-Teori Sosial Dalam Tiga Paradigma. Jakarta : Prenada
Media.

Anda mungkin juga menyukai