Anda di halaman 1dari 23

POLA PENANGANAN KONFLIK JUNTA MILITER MYANMAR DALAM

KONFLIK NEGARA DENGAN KELOMPOK SEPARATIS ETNIK


PERIODE 1962 -2011

MAKALAH
MATA KULIAH KONFLIK DAN KONSENSUS POLITIK

Disusun Oleh:
Hilwan Givari (1406617950)

DEPARTEMEN ILMU POLITIK


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
April, 2017

1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam studi-studi politik yang mengangkat topik mengenai konflik separatisme
bersenjata di sebuah negara, klaim teoritik keilmuan yang dibangun biasanya di dasari atas
logika menang-kalah diantara kelompok-kelompok yang saling berperang satu sama lain
guna memperebutkan kekuasaan yang hendak di capainya. Sepertinya memang tidak ada
yang salah dengan cara berfikir teoritik – yang biasanya menyertakan pula di dalamnya
analisa-analisa mengenai dua kemungkinan buruk seperti “ethnic cleansing” atau
“federalisasi” (Synder 2000 dalam Holliday, 2008) tersebut,1 akan tetapi, ketika melihat
penjelasan Staniland (2012) mengenai sebuah konsep atau teori mengenai apa yang
disebutnya sebagai : “Wartime political orders” yang menempatkan dua hal seperti: (1)
Distribution of territorial control dan (2) “Level of cooperation’ between states and
insurgents” sebagai variabel penjelas2, pemahaman kita mengenai konflik separatisme yang
terjadi dalam sebuah negara – seperti halnya yang terjadi di Myanmar antara Negara Junta
Militer Myanmar (1962-2011) dengan berbagai kelompok separatis etnik ysng brlum
terselesaikan hingga 70 tahun – sebagai sebuah contoh kasus, rasa-rasanya akan bisa menjadi
lebih luas. Mengingat, selain akan mendapatkan cara pandang yang lebih mendalam
mengenai pemetaan konflik separatisme di sebuah negara berdasarkan kacamata berfikir ilmu
politik; dengan menggunakan konsep atau teori yang pertama kali dimuat dalam jurnal
“Perspectives on Politics “ Volume 10 tahun 201 itu, kita juga akan dapat memahami secara
lebih kritis mengenai pola penanganan konflik macam apa yang sebenarnya dijalankan oleh
Negara Junta Militer Myanmar selama berkuasa sampai dengan 2011 ketika secara resmi
Pemerintahan Mliter bernama State Peace and Development Council dibubarkan untuk
kemudian digantikan oleh Pemerintahan hasil pemilu yang berlangsung pada tahun 2010?3
Jika memperhatikan beragam literatur yang menyoal wacana mengenai konflik yang
sejatinya amat terkait erat dengan proses nation-state building Myanmar tersebut, sepertinya
kita akan lantas memahami bahwa secanggih apapun penjelasan teori konflik “Wartime
political orders” bisa memetakan secara jeli relasi dan pola penanganan konflik yang
dilakukan oleh negara yang di wakili oleh kelompok militer Myanmar (Tatmadaw) dengan

1
Synder J. Callahan dalam Holliday, Ian (2008) Voting and Violence in Myanmar: Nation Building for a
Transition to Democracy. Asian Survey, Vol. 48, No. 6 (November/December 2008). Hlm.1039
2
Staniland, Paul (2012) States, Insurgents, and Wartime Political Orders. Perspectives on Politics / Volume 10 /
Issue 02 / June 2012. Hlm.243-244
3
Oo, Shwe Yinn Mar, Lynn, Soe Than (2011) Mission accomplished as SPDC 'dissolved'. Dalam
http://www.mmtimes.com/2011/news/569/news56902.html Diakses pada 15 April 2017
2
kelompok milisi etnik bersenjata, penjelasan yang di bangun darinya tentu saja tidak dapat
melihat secara lebih mendalam terkait dengan akar persoalan konflik yang tampak
mengikutsertakan faktor-faktor historis penting terkait dengan kegagalan asimilasi politik
Myanmar sebagai Bangsa hingga kemudian menjadi diperkeruh dengan kemunculan formula
nation-state building ala militer yang diberi nama oleh Newin ‘Burmese Way to Socialism’
sebagai ideologi negara paska kudeta 1962.4 Sehingga, dengan tanpa tentu saja meragukan
kejelian klaim teoritik Staniland (Opcit.) mengenai “Wartime political orders” yang di
bangun berdasarkan analisis investigasi-nya dengan cara terjun ke lapangan secara langsung
ke beberapa negara yang mengalami konflik separatis, 5 penjelasan pemalakah mengenai
contoh kasus konflik yang diangkat – alih-alih melemahkan – dengan melengkapi terori-nya
tersebut dengan penjelasan teoritik Yangwhe (2001) mengenai dampak pemberlakuan
ideology ‘Burmese Way to Socialism’ terhadap disfungsionalitas hubungan negara dan
masyarakat – secara vertical melalui menciptakan rezim authoritarianism yang mengekang
kebebasan warga negara, maupun secara horizontal dengan menciptakan pensegmentasian
masyarakat secara territory, resources, dan nationality (etnik) berdasarkan identitas
primordial dengan mengikuti pengelompokan etnik yang sudah ada di seluruh wilayah
Myanmar sejak zaman pre-kolonial inggris6 – malah justru memperkuat klaim teoritik
Staniland yang menganggap Negara Junta Militer Myanmar terlihat sebagai seorang aktor
yang lebih berkepentingan mempertahankan konflik ketimbang menyelesaikannya guna
menjaga ‘wartime political orders’ yang memang menguntungkan dirinya dengan merujuk
pada variabel “kerjasama” (level of cooperation) dan pembagian kedaulatan masing-masing
kelompok (shared soverignity).7
Agar penjelasan pemakalah mengenai detil contoh kasus menjadi lebih dalam dan
mengena terhadap tujuannya utama makalah ini yaitu untu menguji kekokohan teori
Staniland dalam menjelaskan fenomena konflik separatism bersenjata di Myanmar – dalam
bagian pembahasan nanti – penulis akan mengikutsertakan penjelasan yang di peroleh dari

4
Melalui deklarasi sosialis yang ditulisnya dalam “The System of Correlation of Man and His Environment’ ,
Ne Win selaku elit penguasa militer kala itu menggariskan dasar kebijakan pemerintahan junta sosialis yang
dipimpinnya adalah didasari atas kombinasi nilai Marxisme, Budhisme, dan Humanitarian. Hanya saja menurut
Human Right Wacth (2009) dasar ideologi kebijakan tersebut tidak direpresentasikan secara konsisten
melainkan hanya dijadikan pembenaran untuk menjalankan kekuasaan junta militer secara diktator. Dalam
Human Right Watch (2009) The Resistance of the Monks Buddhism and Activism in Burma, NewYork: Human
Right Watch press. Hlm. 38
5
Staniland, Paul (2012) States, Insurgents, and Wartime Political Orders. Perspectives on Politics / Volume 10 /
Issue 02 / June 2012. Hlm. 243
6
Yanghwe, Chao Tzang (2001) Burma and National Reconciliation: Ethnic Conflict and State-Society
Dysfunction. Legal Issues On Burma Journal. No.10 (Desember 2001) Hlm. 3
7
Staniland, Paul (2012) Opcit.
3
beberapa literatur sebagai sumber analisis utama penjelas persoalan yang diangkat seperti
halnya: Pertama, hasil penelitian historis Smith mengenai sejarah pembentukan Bangsa
Myanmar dari sudut pandang etnik yang menekankan pada politik pecah belah Inggris
sebagai bangsa koloni selama berkuasa di Myanmar pada tahun 1886 hingga 1948 sebagai
tolok ukur terpenting dari akar persoalan konflik sipil yang belum berkesudahan sampai
sekarang.8
Kedua, hasil penelitian International Crisis Group (2013) yang mengatakan bahwa
meski berbagai kesepakatan gencatan senjata antara Pihak Junta Militer Myanmar dan 11
kelompok gerakan nasionalisme etnik bersenjata telah terjadi (Kesepakatan antara Junta
Militer dan KIO /Kachin Independence Organitation adalah yang terjadi paling terakhir pada
2011), akan tetapi gencatan tersebut hanya bisa dilihat sebagai solusi tentative yang tidak
sama sekali menyentuh problem mendasar. Dimana dengan adanya solusi yang sifatnya
tentatif ini, tidak aneh kemudian bilamana dalam kurun waktu tiga tahun kebelakang kita
masih melihat terjadinya konflik-konflik menyangkut etnisitas terjadi di Myanmar, seperti
yang dilakukan oleh KIO di daerah Kachin State pada akhir 2012 dalam skala yang relative
kecil hingga yang berskala besar seperti yang ditunjukan oleh kekerasan terhadap ribuan
hingga ratusan ribu orang-orang Rohingya di daerah Arakan State.9
Ketiga, Analisis dari South (2004) yang mencermati alasan-alasan terciptanya
deathlock dalam berbagai proses perundingan tripartite dalam kegiatan National
Recontiliation - yang bertujuan menuntaskan persoalan konflik di Myanmar antara Pihak
Rezim Junta Myanmar, Kelompok Partai NLD pimpinan Su-Kyi, dan kelompok-kelompok
Nasionalis Etnik yang tergabung dalam United Nationalities Alliance (UNA) sejak 1994 -
sekarang adalah karena selain pihak militer masih bersikeras untuk tetap mempertahankan
sistem negara kesatuan dibandingkan dengan sistem negara federal berdasarkan kesepakatan
Panglong Accord tahun 1947 yang diinginkan oleh kelompok insurgensi etnik, mereka juga
tidak ingin memenuhi permintaan dari kedua kelompok tersebut untuk menghentikan dan
memberikan transparansi atas pemberian anggaran negara tak terbatas selama ini kepada
pihak militer;10 Terakhir, keempat, hasil penelitian Irewati (2007) dan Gutter (2001) yang
masing-masing melihat adanya hubungan saling menguntungkan antara pihak elit militer

8
Smith Maurice, (1994) Ethnic Groups in Burma: Development, Democracy and Human Rights. London: Anti-
Slavery International
9
International Crisis Group (2013) A Tentative Peace in Myanmar’s Kachin Conflict. Yangon/Jakarta/Brussels:
International Crisis Group. Hlm.1-2
10
South, Alice (2004) Political Transition in Myanmar: A New Model for Democratization. Contemporary
Southeast Asia, Vol. 26, No. 2 (August 2004). Hlm. 233-237
4
(Tatmadaw) dengan para kelompok milisi bersenjata etnik yang tinggal di daerah perbatasan
selama konflik berlangsung dalam berbagai proses bisnis perdagangan opium, pencucian
uang dan lain sebagainya; kita akan dapat memahani bahwasanya berbagai kebuntuan yang
terjadi dalam berbagai upaya penyelesaian konflik di tingkat elitis adalah karena masih
bersikerasnya Tatmadaw untuk terus menjaga keberlangsungan konflik mengingat
kepentingan ekonomi politik mereka terkait anggaran belanja negara yang tidak terbatas, dan
berbagai bisnis gelap terkait penyelundupan dan opium antara pihak mereka dan kelompok
milisi bersenjata etnik, turut hadir dan sangat menentukan “course of event” konflik itu
sendiri.11

1.2 Permasalahan
Dengan mengacu pada berbagai uraian pemakalah diatas, adapaun klaim utama yang
hendak disampaikan dalam makalah ini adalah sebagai berikut: Pada dasarnya konflik
separatisme etnik yang terjadi di Mynamar sampai dengan saat ini merupakan dampak
dari pemberlakuan nation building Junta militer Myanmar pada 1962 yang memang
ditujukannya sebagai ideologi untuk mengelola “wartime political orders” dengan jalan
menciptakan disfungsionaliltas hubungan antara masyarakat dan negara (secara
vertical dan horizontal) serta membangun hubungan dengan kelompok-kelompok milisi
nasionalisme etnik demi untuk mempertahankan kekuasaan yang dimilikinya.
Dengan menyesuaikan pada fokus kajian serta klain teoritik diatas, maka berbagai
pertanyaan permasalahan untuk dijawab dalam makalah yang bertujuan menganalisa lebih
dalam mengenai pola pananganan konflik separatism etnik di Myanmar dalam kerangka teori
“Wartime political orders” dan konsep ‘‘State-Society Dysfungtion’ yang disampaikan oleh
Staniland dan Yanghwe (Opcit.) ini adalah sebagai berikut: Pertama, apa latar belakang
historis penyebab konflik separatisme etnik di Myanmar pada masa kolonialisme yang
menyebabkan pemerintah Junta Militer Myanmar mengeluarkan ideologi nation-building
bertajuk ‘Burmese Way to Socialism’ paska kudeta militer 1962? Kedua, bagaimana bentuk
implementasi ‘Burmese Way to Socialism’ yang dilakukan oleh negara junta militer Myanmar
paska kudeta 1962 dalam rangka menangani konflik separatisme etnik secara vertical
(berdasarkan autoritarianisme) maupun horizontal (melalui carannya mengelompokan
masyarakat berdasarkan territory, resources, dan nationalitas (etnik)? Ketiga, bagaimana

11
Irewati, Ani (2007) Myanmar dan matinya penegakan demokrasi. Jurnal Penelitian Politik. Demokrasi Mati
Suri, Yayasan Obor: Jakarta. Hal.14 dan Gutter, Allan (2001) Law and Money Laundering in Burma, Legal
Issues On Burma Journal. Hlm. 23-24
5
pula bentuk keterhubungan antara negara dengan kelompok separatisme dalam rangka
memaintain “wartime political order” yang ada selama konflik separatisme pada periode
tersebut berlangsung?

1.3 Kerangka Teori


 Pengaruh Implementasi “Nation Building Formula” terhadap
“State-Society Disfunction” di Myanmar Yangwhe (2001).
Ketika Yangwhe (2001) menjelaskan mengenai konsep disfungsionalitas (State-
Society Dysfungtion) yang muncul dalam sistem keterhubungan negara-masyarakat
Myanmar secara vertical maupun horizontal pada era rezim Junta Militer berkuasa secara
vertikal – melalui authoritarianism – dan horizontal melalui pensegmentasian
masyarakat secara territory, resources, dan nationalitas (etnik) berdasarkan
primordialitas etnik dengan mengikuti pengelompokan yang sudah ada di seluruh
wilayah Myanmar sejak zaman pre-kolonial inggris,12 kita akan paham bahwasanya
dengan meng-kambing hitamkan formula nation-building militer racikan Ne Win –
Presiden Myanmar dari 1962-1988 – bernama “Burmese Way to Socialism” sebagai
sebuah ideologi pengelola konflik, Yangwhe (Opcit.) menganggap bahwa sejatinya
sebagai kelompok yang hadir menguasai negara melalui kudeta 1962, pihak militer sudah
tampak sedari awal tidak memiliki keinginan untuk menyelesaikan berbagai bentuk
konflik pemberontakan bersenjata etnik yang sudah hadir ketika Myanmar baru merdeka.
Semisal dengan mengikuti ide dasar dalam kalimat yang disampaikan oleh
Yangwhe (Opcit.) berikut, bahwa: “It is maintained that Burma’s ‘ethnic conflict’ is not
per se ethnic, nor that of the kind faced by indigenous peoples of, for example, North
America, but a conflict rooted in politics…” 13, kita akan tahu bahwa selain karena untuk
mendapatkan dukungan besar dari kelompok etnik mayoritas Bamar (69% total
populasi)14, alasan pihak militer mengimplementasikan “Burmese Way to Socialism”
sebagai ideologi – atau yang dapat di term-kan dengan definisi Kennedy (1979) sebagai:

“a certain ethical set of ideals, principles, doctrines, myths, or symbols of a


social movement, institution, class, or large group that explains how society
should work, and offers some political and cultural blueprint for a certain social

12
Yanghwe, Chao Tzang (2001) Opcit. Hlm. 1 -2
13
Yanghwe, Chao Tzang (2001) Burma and National Reconciliation: Ethnic Conflict and State-Society
Dysfunction. Legal Issues On Burma Journal. No.10 (Desember 2001) Hlm. 4
14
Yanghwe, Chao Tzang (2001) Ibid. Hlm. 5
6
order which have two dimensions like goals (how society should work) and
methods (the most appropriate ways to achieve the ideal arrangement)”15

itu – adalah demi untuk tetap menjaga konflik separatisme di Myanmar terus menerus
terjadi tanpa pernah bisa berkesudahan secara tuntas. Mengingat, selain karena memiliki
modus kepentingan ekonomi politik, sebagai aktor yang sebenarnya memiliki kekuatan
riil berupa 406.000 Tentara aktif (Peringkat 2 terbesar di Asia Tenggara dan 9 di dunia),
ribuan kendaraan bersenjata, serta anggaran 2,4 Milliar/tahun (4% dari GDP)16, peng-
implementasian “Burmese Way to Socialism” yang dilakukan Tatmadaw selama lebih 49
tahun berkuasa memang secara jelas ditujukan untuk menciptakan disfungsionalitas
keterhubungan negara-masyarakat secara vertikal dan horizontal agar mereka semakin
mudah mengatur berbagai hal terkait pengkondisian masyarakat serta bisa menciptakan
garis demarkasi yang tegas di dalam masyarakat Myanmar akan mana kawan dan lawan
yang saat itu sedang berkonflik..

 “Wartime Political Orders” Staniland


Dengan mengatakan: “While scholars have studied civil war, their fundamental
assumption are locked in a straightforward struggle for a monopoly of violence”,
Staniland (Opcit.) lantas mengangap bahwa pendekatan yang selama ini digunakan para
ilmuwan politik dalam melihat fenomena perang saudara, seringkali abai dalam melihat
keberadaan interaksi non-militer yang didasari oleh tawar menawar politik diantara pihak
yang bertikai. Sehingga melalui cetusannya atas teori wartime political orders yang
secara umum dapat kita klasifikasi di makalah ini sebagai sebuah “political order” yang
hadir di sebuah negara yang sedang mengalami “civil war”/perang sipil,17 Staniland
(2012) lantas mengajukan dua buah variabel turunan seperti: “the distribution of
territorial control”dan “the level of state-insurgent cooperation” sebagai objek kajian
penjelas yang mesti di sasar oleh seorang peneliti bilamana hendak menganalisisnya.
Sehingga, jika dilihat dari alasan dan cara pandang yang diberikan, teori “Wartime
Political Orders” Staniland (Ibid. ) jelas tidak mengarahkan analisis seorang peneliti
guna menjawab pertanyaan seputar alasan di balik kemenangan atau kekalahan aktor-

15
Kennedy. Emmet (1979) Ideology" from Destutt De Tracy to Marx. Journal of the History of Ideas Vol. 40,
No. 3 (July-September, 1979). pp. 353-368. Hlm. 354
16
Grevatt, Jon (2014) Myanmar declares USD2.4 billion defence budget for 2014 dalam
https://web.archive.org/web/20141028154639/http://www.janes.com/article/32436/myanmar-declares-usd2-4-
billion-defence-budget-for-2014 Diakses pada 16 April 2017 pukul 08:46 WIB
17
Staniland, Paul (2012) Opcit. Hlm. 245
7
aktor yang bertikai dalam perang sipil, melainkan lebih kepada gejala yang sifatnya lebih
struktural seperti halnya stabilitas politik atau “political orders” di sebuah negara yang
sedang mengalami perang sipil dengan menjadikan relasi antara pihak-pihak yang
bertikai sebagai unit analisis utama.18
Jka diperhatikan secara lebih seksama, selain tentu saja akan menghasilkan
analisa yang lebih politis, penggunaan teori yang di landasi oleh klaimnya (Staniland,
Opcit.): “States and insurgents are not simple-minded maximizers of monopoly but
instead are optimizers of authority in complex, often counterintuitive, interaction with
other armed actors”19 itu, tentu saja akan dapat menyikapi sebuah fenomena penanganan
konflik separatisme yang dimunculkan oleh negara secara lebih kritis dengan
memperhatikan kepentingan-kepentingan politik yang mendasari terbangunnya bentuk-
bentuk interaksi antara dua pihak yang berseteru selain daripada pertempuran senjata
yang mereka lakukan. Mengingat, seperti halnya yang tersaji dalam contoh kasus perang
sipil di Myanmar, beragam interaksi yang terjadi diantara Negara junta dengan kalangan
milisi separatis etnik baik dalam hal: “the distribution of territorial control” dan “State-
Insurgent Cooperation.” tampak jelas memperlihatkan keberadaan negara junta militer
hasil kudeta 1962 sebagai aktor utama yang berkepentingan memelihara konflik
ketimbang menjadi pihak yang menyudahinya.

18
Staniland, Paul (2012) States, Insurgents, and Wartime Political Orders. Perspectives on Politics / Volume 10
/ Issue 02 / June 2012. Hlm. 244
19
Staniland, Paul (2012) Ibid.
8
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Latar Belakang Historis Konflik Separatisme Etnik Myanmar


Seperti telah diketahui bersama, bahwa jauh sebelum pemerintah Inggris datang untuk
mengkolonialisasi, seluruh wilayah Myanmar seperti yang terdapat di peta dunia seperti
sekarang ini merupakan sekumpulan daerah yang merepresentasikan wilayah kerajaan-
kerajaan seperti Burma atau Bamar yang berada di wilayah tengah Myanmar dan kerajaan-
kerajaan lain yang berada di pinggirannya dengan teritori yang relative lebih kecil seperti:
Mon, Shan, Rakhine, Arakan, Khmer, dan lain sebagainya yang menurut para ahli sejarah
masing-masingnya memiliki kelompok-kelompok etnik sendiri yang tidak jarang berkonflik
satu sama lain.20 Hanya saja ketika pemerintah kolonialisme Inggris datang dengan
menciptakan sistem pembagian wilayah kolonial menjadi “Ministerial Burma” yang berada
di bagian tengah bekas daerah kekuasaan kerajaan Burma dan “Frontier Area”, kondisi
pensegmentasian primordialitas berbasis teritorialitas yang sudah hadir sejak zaman pre
colonial seperti itu tidak dirubahnya, mengingat yang dilakukannya justru memperparahnya.
Dengan alasan untuk lebih dapat efisien mengelola berbagai sumber daya ekonomi
dan angkatan perang untuk kebutuhan kolonialisasi, Pemerintah kolonial Inggris yang mulai
berkuasa aktif di seluruh Myanmar sejak tahun 1886 hingga 1948 itu menciptakan sistem
diskriminatif. Dengan adanya sistem pemisahan territorial yang sangat diskriminatif ini, alih-
alih menciptakan kebersatuan yang utuh antara orang-orang bamar dengan etnis minoritas
yang tinggal di “Frontier Area”, yang terjadi justru malah sebaliknya, dimana pada era
kolonialisme inggris, sentimen primordialitas antara kedua pihak malah menjadi semakin
kuat. Mengingat bagi orang yang tinggal di “Frontier Area”, mereka seperti diperlakukan
tidak adil sementara sebaliknya bagi orang balmas yang tinggal di “Ministerial Burma”,
mereka menganggap status social budaya mereka berada jauh lebih tinggi daripada orang-
orang yang berasal dari etnik minoritas. Jika di “Ministerial Burma” yang notabene memiliki
merupakan wilayah DAS Irawadi yang kaya akan sumber daya ekonomi seperti minyak dan
kayu-kayuan, Inggris mengelolanya dengan relative baik dengan membangun sejumlah
prasarana penting terkait kemajuan masyarakat seperti halnya infrastruktur ekonomi dan
pendidikan, maka bila di “Frontier Area”, yang notabene merupakan daerah perbukitan yang
minim sumber daya ekonomi perlakuan Inggris justru sebaliknya. Mereka tampak tidak
begitu peduli untuk membangun sejumlah infrastruktur demi pertumbuhan ekonomi dan

20
Smith Maurice, (1994) Opcit. Hlm. 23
9
tingkat pendidikan masyarakat yang tinggal di “Frontier area” mengingat tidak ada yang
mereka bisa ambil dari sana secara umum selain orang-orang local yang mereka didik
menjadi tentara dan penanam opium untuk kebutuhan perang mereka.21
Dengan kondisi tersebut, tak ayal jika kemudian hanya berselang satu tahun sejak
diproklamirkannya kemerdekaan Myanmar pada 4 Januari 1948, dengan memanfaatkan
dinamika politik pusat yang sedang bergejolak akibat pemberontakan yang dilakukan Partai
Komunis Burma atau Communist Party of Burma (CPB) pada bulan Maret 1848 serta
pengelompokan masing-masing kelompok tentara etnik dalam perang dunia ke-2 (Etnik
Mayoritas Burma pertama-tama memihak Jepang lalu kemudian berpaling ke Inggris,
sementara itu hampir semua etnik minoritas yang pada masa kolonialisasi menerima
pendidikan militer Inggris seperti Karen, Kachin, dan orang-orang Muslim di Arakan),
serangkaian gerakan-gerakan milisi bersenjata dari kalangan etnik yang tinggal di berbagai
wilayah bekas “Frontier Area” Dimulai dari Etnis Karen dengan Karen National Union
(KNU) pada Bulan Januari 194922 untuk diikuti kemudian dalam kurun periode 1950-60an
dengan berbagai etnis lain seperti missal Karenni, Mon, Kachin, dengan berturut turut
kelompok-kelompok milisinya adalah Karenni Army (KA) pada 1957, Mon United Front
(MUF) pada tahun 1958,23 dan The Kachin Independence Organisation (KIO) pada tahun
1961.24
Dengan mengikuti hasil penelusuran Smith (2004) kita akan paham bahwasanya jika
disimak dari konteks kepentingan politik elit yang terjadi seputar masa kemerdekaan,
beberapa alasan utama kelompok-kelompok mereka melakukan pemberontakan adalah:
Pertama, suku-suku monoritas seperti Karen, Mon, Rakhine, dan lain sebagainya merasa
tidak diikutsertakan sama sekali dalam berbagai proses penentuan terkait pembagian negara
secara territorial seperti yang terjadi dalam peristiwa Panglong accord (kesepakatan orang-
orang dari masing-masing etnik Myanmar pada tahun 1947 untuk secara territorial
mengelompok tinggal di satu kesatuan wilayah di bawah naungan negara Burma) yang
nantinya akan menjadi landasan konstitusi pemisahan teritori negara secara territorial dengan
bentuk federal. Kedua, Perbedaan sikap elit-elit politik Myanmar Pusat yang tergabung
21
Lihat mengenai bagaimana pemerintah Inggris menjadikan wilayah kolonialnya di Myanmar, khususnya di
daerah-daerah “Frontier Area” seperti Arakan dan Tenasserim sebagai basis industry opium dan melegalkan
perdagagangannya di beberapa daerah sejak 1826 sampai hingga 1948 ketika mereka melepaskan diri. dalam
Wright, Allan (2008) Opium in British Burma, 1826-1881. Contemporary Drug Problems , Vol. 35, No. 4 ,
Winter 2008. Hlm. 1
22
South, Allice (2011) Opcit. Hlm. 15
23
South, Allice (2007) Mon Nationalist Movements: insurgency, ceasefires and political struggle Bangkok:Mon
Unity League. Hlm. 8
24
International Crisis Group (2013) Opcit.. Hlm. 4
10
dalam Anti-Fascist People's Freedom League (AFPFL) - Yang menjadi kelompok elit yang
dipercaya Inggris mengetuai proses penyusunan sistem pemerintahan Myanmar Merdeka –
terhadap berbagai kelompok etnik-etnik yang ada dalam proses penyusunan konstitusi 1947.
Hal ini ditunjukan dengan adanya ketentuan di dalam konstitusi 1947 yang membuat orang-
orang dari suku Shan dan Karenni memiliki hak untuk memilih untuk tetap bergabung
dengan negara Burma atau tidak. Sementara bagi yang lain tidak, Malah bahkan, Orang-
orang Anti-Fascist People's Freedom League (AFPFL) membuat orang-orang dari suku Mon
dan Rakhin menjadi tidak memiliki negara bagian sendiri untuk diatur berdasarkan konstitusi
1947 ini. Ketiga, Dualisme dalam sistem kultur politik dalam Institusi tingkat pusat dan
daerah. Hal ini ditujukan dengan adanya aturan yang membuat orang-orang yang berasal dari
suku minoritas seperti Karenni dan Shan yang selama ini mempergunakan sistem feodal di
daerahnya hanya diperbolehkan menjalankan cara-cara kekuasaan tersebut terbatas di
daerahnya masing-masing, tapi tidak untuk tingkat pusat. Dengan adanya aturan ini,, orang-
orang Bamar yang relative lebih paham dengan pendidikan politik barat, memiliki
kerberhakan lebih untuk menguasai berbagai posisi jabatan penting di pemerintahan pusat
seperti halnya kursi parlemen dibandingkan dengan orang-orang dari suku minoritas.25

2.2 Formula Nation Building Junta Militer Myanmar Sebagai Ideologi Pengelola Konflik
Dengan adanya latar belakang gejolak konflik yang membahayakan keberadaan
negara yang ditandai oleh gerakan pemberontakan dari kalangan Communist Party of Burma
(CPB) dan Gerakan Nasionalisme Etnik seperti KNU, MUF, dan KIO, maka tak ayal
bilamana kemudian kita melihat Militer dapat naik menguasai panggung politik pada tahun
1962.26 Dengan tujuan untuk menghadirkan stabilitas di negara yang sedang dilanda berbagai
konflik, Newin, sang pimpinan kala itu, memperkenalkan slogan “ Burmese Way to
Socialism” sebagai formula nation-building ala Junta militer yang menurutnya diurunkan dari
nilai-nilai Sosialisme, Budhisme, dan humanitarian guna menciptakan negara Bangsa
Myanmar yang berkeadilan, welas asih, dan cinta perdamaian dengan tiga tujuan utamanya
yaitu: “to reorient the Burmese economy to a socialist economy, to develop the Burmese
military, and to construct a national identity among many disparate ethnic minorities and the
majority Burma”27 nyatanya, sebagaimana dicatat oleh Holmes (1967) bahwa:

25
Smith Maurice, (1994) Ethnic Groups in Burma: Development, Democracy and Human Rights. London: Anti-
Slavery International. Hlm. 24
26
Smith Maurice, (1994) Ibid..
27
Holmes, Robert A. (1967). Burmese Domestic Policy: The Politics of Burmanization". Asian Survey.
University of California Press. 7 (3): 188–197. Hlm. 193
11
“The Burmese Way to Socialism has largely been described by scholars as being
xenophobic, superstitious and an "abject failure, However, it may have served to
increase domestic stability.Turning one of the most prosperous countries in Asia into
one of the world's poorest”28

malah menjadi sebuah alat yang dipergunakan oleh tatmadaw sebagai ideologi pencipta
disfungsionalitas sistem (State-Society Dysfungtion) keterhubungan antara masyarakat
dengan negara. Baik secara vertical dengan mengedepankan sifat birokratis militer yang
authoritarian, maupun secara horizontal dengan menciptakan segregasi atau pengelompokan
masyarakat Myanmar berdasarkan etnis-etnis yang sedang berkonflik secara territory,
resources, dan nationalitas (etnik).29 Mengingat, selain dapat lebih menguatkan keberadaan
mereka diri kelompok mereka, dengan pemberlakukan sistem keterhubungan masyarakat
seperti itulah mereka akan semakin mudah mengatur berbagai hal terkait pengkondisian
masyarakat serta bisa menciptakan garis demarkasi yang tegas di dalam masyarakat
Myanmar akan mana kawan mana lawan yang saat itu sedang berkonflik.
Walhasil, jika kita melihat perbandingan gejala konflik separatisme yang muncul
sebelum dan setelah kudeta militer 1962 berlangsung, keberadaan pemerintahan Junta Militer
Myanmar bukan justru melemahkan melainkan malah memperkeruhnya. Sebagaimana
diketahui bahwa jika sebelum kudeta 1962 dilaksanakan kelompok etnik yang mengangkat
senjata untuk melakukan pemberontakan hanyalah Karen, Mon, dan Kachin. Akan tetapi
setelah kudeta 1962 terlaksana – seperti halnya ledakan - berbagai suku atau sekelompok
orang yang tinggal di wilayah tertentu seperti Shan Utara (1971), Chin (1988), Wa (1989),
Shan Timur (1989), Taang/Palaung (1992), Shan Selatan (1996), Rakhine (2009), dan
mungkin terakhir Karen Budhist (2010) memunculkan kelompok-kelompok separatis
bersenjata dengan rata-rata personil tentara berjumlah 200 – 25.000 orang. 30 Meski kita dapat
memahami bahwa tiap-tiap kelompok memiliki alasan atau latar belakang gerakan yang
berbeda-beda, akan tetapi jika dilihat dari sudut pandang ideologi nation building yang
dimunculkan oleh negara Junta Militer, kita akan memahami kemudian bahwasanya
keseluruhan konflik separatisme yang sampai saat ini hanya dakhiri dengan gencatan senjata
dan beberapa kali perundingan yang belum menemukan kesepakatan itu, sebagaimana dapat
dilihat dalam tabel 2.1 di bawah, akan dapat kita kerucutkan secara sistematis menjadi sebuah
28
Yanghwe, Chao Tzang (2001) Opcit. Hlm. 1-2
29
Yanghwe, Chao Tzang (2001) Burma and National Reconciliation: Ethnic Conflict and State-Society
Dysfunction. Legal Issues On Burma Journal. No.10 (Desember 2001) Hlm. 6
30
Burma Center for Ethnic Studies (2012) Briefing Paper No. 1 dalam
http://www.burmalibrary.org/docs13/BCES-BP-01-ceasefires(en).pdf Diakses pada 15 April 2017 Pukul 20:00
WIB
12
gejala dampak dari formula nation-building yang memang sengaja di implementasikan
Tatmadaw menjadi ideologi pengelola konflik yang di satu sisi membuat posisi Tatmadaw
selalu berada di atas masyarakat secara vertikal yang dapat memudahkannya mengatur
stabilitas konflik separatis secara authoritarian. Sementara di sisi lain – secara horizontal –
juga dapat membuat keterhubungan antar masyarakat akan selalu berada dalam kondisi ter-
polarisasi berdasarkan identitas milisi etnik bersenjata yang muncul berbasiskan territory,
resources, dan nationalitas (etnik) tanpa mau mengabulkan permintaan kelompok milisi yang
menghendaki diciptakannya sistem negara federal.
Tabel 2.1
Daftar Kelompok Separatisme Etnik dan Upaya Gencatan Senjata31
kekuatan Gencatan
No Kelompok Separatis Lokasi
personil Bersenjata
1 Karen National Liberation Army Provinsi Kayah dan Kayin 5,000–7,000 2012, 2015
2 Karenni Army Provinsi Kayah 500–1,500 2005, 2012
3 Mon National Liberation Army Provinsi Mon 2,000–5,000 1995, 2012
1976, 2004,
4 Kachin Independence Army Provinsi Kachin 8,000
2012
5 Arakan Liberation Army Provinsi Kayin dan Rakhine 60–100 2012, 2015
6 Shan provinsi Army - North Shan Provinsi Shan -Utara 8000 1989, 2012
7 Chin National Army Provinsi Chin 200 2012, 2015
8 United Wa Army Provinsi Shan 20,000–25,000 1989, 2011
9 National Democratic Alliance Army Provinsi Shan 3,000–4,000 1989, 2011
Ta'ang (Palaung) National Liberation Palaung Self
10 1,500–3,500 1991,2005
Army Administration Zone
11 Shan provinsi Army - South Provinsi Shan - Selatan 6,000–8,000 2012, 2015
Democratic Karen Buddhist Army - Kota Myawaddy Provinsi
12 1.500 2011
Brigade 5 Kayin

 Dalam hal penciptaan keterhubungan vertical masyarakat dan negara.


Seperti diketahui bersama, pemberlakukan sistem keterhubungan masyarakat
secara vertical dengan gaya birokratik militer yang dimunculkan Tatmadaw melalui
ideologi “Burmese way to socialism’ secara jelas memiliki konsekwensi logis terhadap
kedudukan dirinya sebagai satu-satu nya aktor dalam negara yang memegang kuasa
pemerintahan authoritarian dengan dukungan senjata dan aturan hukum tanpa control
dari masyarakat. Sehingga, seperti halnya yang dicatat oleh Human Right Watch (2011),
bahwa selama mereka berkuasa, kita bisa melihat bahwa dalam pola penanganan koersif
militeristik yang biasanya diselipkan oleh gencatan bersenjata sesekali waktu itu, tampak
benar mengabaikan proses hukum melalui pengadilan militer bilamana ada oknum

31
Burma Center for Ethnic Studies (2012) Ibid
13
anggota mereka yang dilaporkan melakukan berbagai tindak kejahatan seperti : “sexual
violence against women and girls, torture, use of child soldiers, attacks on populations'
livelihood and food supplies, forced displacement of populations, and use of anti-
personnel landmines.”32 Sehingga, alih-alih mendamaikan, tindakan penanganan
militeristik tak ber-pengawasan itu tentu saja malah semakin memperkeruh suasana
konflik separatisme yang terjadi. Separatis etnik seperti halnya yang dapat dicontohkan
oleh makin banyak bermunculannya kelompok-kelompok baru, akibat pemberlakukan
sistem keterhubungan authoritarian yang berbasiskan senjata ini, muncul gerakan-
gerakan separatis Masyarakat Myanmar yang berbasis bukan etnik seperti halnya dari
kalangan mahasiswa All Burma Students' Democratic Front (1988) yang memiliki
markas di daerah-daerah perbatasan Thailand, India, dan China dan National Democratic
Alliance Army (1989) di daerah Provinsi Shan serta berafiliasi dengan beberapa
kelompok separatis etnik bersenjata seperti KIA dan KNU. Jika ditelusuri historisnya
lebih lanjut, keberdaaan dua kelompok milisi yang memiliki kekuatan sekitar 600-1.000
tentara dan memiliki tujuan utama menggulingkan kekuasaan Tatmadaw dengan jalan
militer ini, dikomandoi oleh para mantan aktivis pro-demokrasi Myanmar yang ikut
berdemenostrasi dalam tragedi berdarah 8-8-88 pada 8 Agustus 1988 dengan korban
tewas sebanyak 350 orang di sekitar Universitas Rangoon akibat cara-cara koersif yang
diterapkan.33
Selain daripada itu, hal penting lain yang tentu saja perlu di simak dari sisi
disfungsi vertikal ideologi nation pengelolaan ini adalah pada keberadaan hak militer
untuk menggunakan anggaran negara secara tidak terbatas hingga melakukan
nasionalisasi atas sejumlah perusahaan di myanmar seperti halnya Myanmar Oil and Gas
Enterprise (MOGE) dan lain sebagainya. Dengan adanya pemberlakukan sistem yang
ditopang dalam konstitusi 1974 ini34, sesungguhnya kita dapat melihat bahwasanya
kepemiliikan hak anggaran tidak terbatas yang menyebabkan tatmadaw kemudian bisa di
kriteria sebagai Military-run state corporations dengan penguasannya atas berbagai
sumber daya ekonomi negara ini, selalu dapat dikembalikan pada pembenarannya atas
kewenangannya yang dimiliki sebagai negara yang memerlukan sumber daya yang besar
32
Human Right Watch.org. (2011) Burma: Q & A on an International Commission of Inquiry. dalam
http://www.hrw.org/en/news/2011/03/24/burma-q-international-commission-inquiry diakses pada 4 Juni 2015
pukul 08:28 WIB
33
Burma Watcher. (1989). Burma in 1988: There Came a Whirlwind. Asian Survey, 29(2). A Survey of Asia in
1988: Part II pp. 174–180. Hlm. 176
34
Mydans, Seth (2007) Myanmar Constitution Guidelines Ensure Military Power. Dalam
http://www.nytimes.com/2007/09/04/world/asia/04myanmar.html diakses pada 4 Juni 2015 pukul 09:00 WIB
14
guna menciptakan stabilitas politik dalam situasi konflik. Hanya saja jika dilihat dalam
pelaksanannya, kita bisa melihat bahwa peng-implementasian ideology ini tampak
dengan nyata dipergunakan oleh Tatmadaw sebagai sebuah landasan prinsip
pengakumulasian kapital yang ditujukan tidak hanya untuk kebutuhan perang semata,
tetapi juga pemenuhan motif ekonomi mereka. Ditambah dengan pengelolaan atas sistem
perekonomian negara yang buruk, maka tak heran bilamana kemudian kita melihat selain
ketimpangan kehidupan ekonomi antara pejabat elit militer dan masyarakat sipil yang
besar, berbagai dampak buruk daripadanya seperti krisis ekonomi, kekurangan bahan
pangan, inflasi, pengangguran, rendahnya taraf hidup dan lain sebagainya juga muncul
sebagai dampak dari pemberlakukan formula nation-building ini. .35

 Dalam hal penciptaan keterhubungan horizontal antar masyarakat


Dalam rangka kepentingan mereka menciptakan wartime political orders di
Myannmar, maka selain didasari oleh kebutuhan objektif mereka - sebagai kekuatan
negara - untuk berkemampuan secara maksimal dalam mengatasi berbagai kekacauan
yang muncul dalam skala nasional akibat terjadinya pemberontakan yang dilakukan
berbagai kelompok insurgensi yang ada, maka pengaplikasian dari formula nation
building yang menciptakan segmentasi masyarakat berdasarkan territory, resources, dan
nationalitas (etnik) ini juga didasari atas kebutuhan mereka akan strategi teritorialitas
dan garis demarkasi yang tegas di masyarakat untuk menentukan siapa kawan dan siapa
pula lawan. Dimana jika berkaca pada sejumlah kebijakan besar yang mereka hasilkan
selama kurun 53 tahun penguasaan mereka atas negara, berbagai berbagai bentuk
aplikasi tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, Polarisasi Masyarakat berdasarkan
etnisitas. Dengan melihat peta konflik separatis etnik (Gambar 2.2), kita akan melihat
bahwa irisan antara wilayah provinsi dan daerah konflik etnik memang mencerminkan
polarisasi pembagian wilayah Myanmar ke dalam menjadi wilayah suku Bamar
(mayoritas) yang tinggal di wilayah tidak berkonflik – dan Non-Bamar (minoritas) yang
tinggal di wilayah-wilayah konflik.
Gambar 2.1
Peta Konflik Separatisme Etnik dan Pembagian Provinsi di Myanmar36

35
Gutter, Paul ( 2001) Opcit. Hlm..23-24
36
Dalam Lintner, Bertil (1990) The rise and fall of the Communist Party of Burma (CPB) New York: Southeast
Asia Program, Cornell University. Hlm. 14
15
Sehingga, selain hal tersebut memperlihatkan kepentingan Tatmadaw selaku
penguasa negara untuk menciptakan dukungan yang sebesar-besarnya dari kalangan
mayoritas suku Bamar serta menciptakan segmentasi etnisitas yang tegas antara
mayoritas dan minoritas, kita akan paham bahwasanya mengapa kemudian berbagai nilai
yang mereka anut terkait identitas kebudayaan nasional seperti halnya bahasa, tradisi,
budaya dan sebagainya37 memiliki muatan-muatan untuk meninggikan keberadaan
37
Lihat pemberlakuan nilai-nlilai chauvinistic ini di dalam formula nation-building Junta dalam ide dasar
kalimat yang tertera dalam pidato Jendral Tan Shwe pada perayaan Union day pada 12 Februari 1993 seperti
yang dikutip oleh Smith (1994); “In the Union of Myanmar where national races are residing, the culture,
traditions and customs, language and social systems may appear to be different, but in essence they are all
based on the common blood of Union Kinship and Union Spirit like a hundred fruits from a common stem...
There can be no doubt whatsoever of the fact that our national races have lived together unitedly in the Union
of Myanmar since time immemorial.’ Dalam Smith, Allan (1994) Opcit. Hlm. 18
16
identitas suku minoritas Bamar di satu sisi dan merendahkan identitas suku-suku
minoritas di sisi lain. Karena dengan menciptakan formula nation building yang
mempolarisasi wilayah sama persis dengan kerajaan orang-orang Bamar abad 11 ini 38,
Tatmadaw tidak hanya dapat melakukan trade-off” sistem kediktatoran yang mereka
jalankan dengan sentiment sentiment revivalistik SARA agar mereka dapat sesekali
muncul dalam penilaian orang-orang dari Suku Bamar sebagai tokoh protagonist, tetapi
juga terus memunculkan konflik laten di masyarakat agar mereka dapat menjustifikasi
keberadaan mereka sebagai satu-satunya actor politik yang mampu mengatasi berbagai
gerakan bersenjata kelompok insurgensi etnik yang muncul dengan kekuatan militer
yang mereka miliki.
Kedua, Penolakan rezim Junta untuk menggunakan sistem federal. Seperti juga
telah disinggung melalui uraian South (2004) yang mengurai mengenai salah satu alasan
kebuntuan dalam proses rekonsilasi nasional (NR) di Myanmar sejak tahun 1994 adalah
karena Militer enggan untuk menyetujui usulan kalangan NLD pimpinan Aung San Su
Kyi dan kelompok insurgensi etnik yang tergabung dalam United Nationalities Alliance
(UNA) untuk merubah sistem negara kesatuan dengan federal.39 Maka, jika ditarik dari
kebutuhan mereka untuk tetap mempertahanan wartime political orders, penolakan
mereka akan sangat beralasan sekali, mengingat dengan diberlakukannya sistem federal,
posisi mereka sebagai pengontrol negara sudah pasti akan melemah akibat
terdistribusinya kekuasaan negara ke berbagai daerah yang ada ketika berbagai proses
terkait pengaturan administrasi kenegaraan di daerah menjadi tidak sejalan dengan
sistem komando kemiliteran terpusat yang dijalankan Tatmadaw. Selain itu, jika
diberlakuan, sistem federal juga akan mampu berpeluang bagi meningkatnya kekuatan
kelompok insurgensi di berbagai wilayahnya masing-masing ketika misalkan mereka
dapat lebih leluasa mempengaruhi berbagai proses-proses politik di daerah yang ada
serta menguasai berbagai aset ekonomi di daerah dan sebagainya secara lebih tak
terkontrol.

2.3 Keterhubungan Tatmadaw dengan kelompok Nasionalisme Etnik


Dengan menikuti analisa Irawadi (2007) mengenai keberadaan bisnis gelap kelompok
militer dan berbagai bentuk pencucian yang terjadi di Myanmar 40, kita akan memahami

38
Yanghwe, Chao Tzang (2001) Opcit. Hlm. 8
39
South, A., 2004, opcit. Hal. 233-237
40
Irewati, Ani (2007) Opcit. Hlm. 14
17
bahwa sebenarnya ada berbagai bentuk simbiosis mutualisme diantara Tatmadaw dengan
para kelompok bersenjata insurgensi. Dimana melalui penelusuran Irawadi (2007) kita akan
mengetahui bahwa pada dasarnya secara ekonomi politik, keberadaan kelompok insurgensi
etnik bersenjata tampak dijadikan oleh militer sebagai kepanjangan tangan dari bisnis
narkotik mereka, ketika secara resmi misalkan mereka tidak bisa hadir secara langsung -
selaku institusi resmi negara - dalam mengelola bisnis-bisnis yang tergolong gelap ini.
Seperti misalnya dalam bisnis penanaman dan perdagangan opium oleh kelompok insurgensi
etnik dari suku minoritas Wa, Kokang, dan Kachin. Dimana dengan perjanjian yang pada
intinya dilakukan dengan sistem “setoran” ini, Tatmadaw dapat mengeruk keuntungan
financial dalam jumlah besar dari keberadaan hubungan klientalisme macam ini. Dan bahkan
seperti apa yang terlihat dari perlindungan yang diberikan Tatmadaw kepada salah satu
panglima perang kelompok insurgensi dari daerah Shan, yakni Khun Sa, yang menjadi target
penangkapan Pemerintah Amerika Serikat sejak tahun 1995 karena sindikasi bisnis heroinnya
yang mampu menyuplai duapertiga heroin dunia, Tatmadaw bahkan terlihat rela
mengorbankan diberlakukannya sanksi ekonomi dari negara-negara besar seperti Amerika
Serikat dan Eropa demi hanya untuk menjaga keterhubungannya dengan Khun Sa dan
sindikasinya yang memang memberi keuntungan besar buat mereka melalui kepemilikan
sahamnya dalam bisnis perhotelan dan transportasi publik di wilayah ibukota.41 Selain itu
perlu disadari juga bahwa dari keuntungan yang didapat dari bisnis heroin ini, Tatmadaw
biasanya mencuci uang kotor mereka ke dalam Bank-Bank yang ada di Myanmar maupun
mereka investasikan ke perusahaan-perusahaan negara yang mereka kuasai. Bahkan karena
uang yang berputar dari bisnis ini sangat besar hingga milyaran dollar AS, Gutter (2001)
dengan mengutip laporan yang disampaikan oleh Kedutaan Besar Amerika di Myanmar dan
IMF, menyatakan bahwa:
“According to the United States Embassy in Rangoon, at least 50% of Burma’s
economy is unaccounted for and extralegal: the earnings from heroin now exceed
those from all of Burma’s legal exports and criminalize Burma’s economy. The
International Monetary Fund cited large expenditures unaccounted for by the
Burmesejunta In the 1990s, the junta purchased arms valued at billions of dollars.”42

Meski memang semua kelompok insurgensi tidak dijadikan Tatmadaw sebagai kepanjangan
tangannya melakukan "bisnis “haram” ini, seperti misalnya yang ditunjukan oleh kelompok
Kachin Independence Organization (KIO), dan Karen National Union (KNU) yang justru

41
Irewati, Ani (2007) Myanmar dan matinya penegakan demokrasi. Jurnal Penelitian Politik. Demokrasi Mati
Suri, Yayasan Obor: Jakarta.. Hlm. 14-15
42
Gutter, Paul (2001) Opcit. Hlm. 24
18
melakukan perlawanan keras terhadap praktek-praktek bisnis tersebut, akan tetapi paling
tidak kita bisa melihat adanya keterhubungan yang jelas antara mereka dengan kelompok
insurgensi.43
Selain itu, dengan mengamati keberadaan gencatan senjata yang dilakukan oleh
Tatmadaw sebagai sebuah bentuk resolusi konflik yang tentative sifatnya, semisal dengan
menelaah uraian yang disampaikan oleh International Crisis Group (2013) - yang
menjelaskan bahwa meski berbagai kesepakatan gencatan senjata antara Pihak Junta Militer
Myanmar dan 11 kelompok gerakan nasionalisme etnik bersenjata telah terjadi (Kesepakatan
antara Junta Militer dan KIO /Kachin Independence Organitation adalah yang terjadi paling
terakhir pada 2011), namun kemudian hanya dalam kurun waktu hanya berselang setahun,
KIO telah melakukan gerakan lagi44- dan temuan Steinberg (2011 dalam Staniland 2012)
yang meneliti mengenai pola-pola gencatan senjata yang dilakukan oleh tatmadaw dari kurun
waktu tahun 80-an hingga saat ini bahwa: “the cease-fires allowed minority group armed
forces to hold their weapons as long as they did not attack the tatmadaw.”45 Maka kemudian
kita akan paham bahwa sebenarnya bentuk-bentuk gencatan senjata yang dilakukan oleh
Tatmadaw dengan kelompok Insurgensi memang tampak disengaja untuk tidak
menghentikan konflik melainkan hanya untuk menarik-ulur konflik bersenjata demi
kepentingan mereka memaintain Wartime Political Orders selama mungkin demi
kepentingan mereka.
Selain itu kita juga bisa melihat keterhubungan antara Tatmadaw dengan kelompok
insurgensi bersenjata di Myamnar dalam bentuk lain. Seperti halnya yang ditemukan
Steinberg (dalam Staniland, 2015) yang menemukan berbagai perilaku “aneh” yang
dilakukan oleh Tatmadaw dan kelompok-kelompok Insurgensi di lapangan seperti halnya:
Pertama, cara keluar masuk anggota Tatmadaw ke daerah-daerah yang dikuasai kelompok
insurgensi etnik, dimana bila mereka ingin masuk ke daerah yang dikuasai, senjata anggota
Tatmadaw dilucuti oleh kelompok milisi insurgensi, tetapi begitu mereka keluar senjata
mereka diberikan lagi; Kedua, bahwa ternyata keberadaan sejumlah 35.000 tentara kelompok
insurgensi etnik yang berasal dari suku Kachin dan Wa yang teritorinya berbatasan langsung
masing-masing China adalah merupakan juga tentara pengamanan perbatasan negara atau
Border Guard Forces (BGF) yang dipimpin langsung oleh Junta Militer. Maka dengan ini

43
Irewati, Ani (2007) Opcit. Hlm. 14-15
44
Dalam oleh International Crisis Group (2013) Opcit. Hlm. 4-5
45
Steinberg, David (2011) Myanmar’s Perpetual Dilemma:Ethnicity in a ‘Discipline-Flourishing Democracy.’
Honolulu:East-West Center. Hlm. 249
19
kemudian, tampak bahwa kita bisa yakin benar dengan apa yang dikatakan Staniland (2012)
bahwasanya bentuk keterhubungan antara Tatmadaw dengan kelompok-kelompok insurgensi
alih-alih tertutup melainkan sangat besifat terbuka. Dimana dengan term konsep “shared
sovereignty”, masing-masing kelompok tampak dengan jelas dapat memiliki sifat simbiosis
mutualisme agar bisa mengambil keuntungan-keuntungan yang memang mereka perlukan
demi kelompok mereka melalui pengakuan mereka terhadap kedaulatan teritori masing-
masing.46 Akan tetapi perlu disimak, bahwa dalam hubugan ini, keberadaan pihak Tatmadaw
tampak berposisi lebih kuat dibandingkan dengan kelompok insurgensi, sehingga jika dilihat
dalam kerangka hubungan klientalisme, seperti halnya yang ditunjukan maka dalam
hubungan yang sifatnya shared sovereignty ini seperti dijelaskan oleh Staniland, posisi
tatmadaw sebagai kelompok yang merepresentasikan Negara yang berkepentingan untuk
menjaga Wartime Political Orders di Myanmar, jelas mesti dilihat sebagai patron dari
Tatmadaw.

BAB 3
KESIMPULAN

Dengan mengacu pada berbagai uraian pemakalah diatas kita akan dapat memahami
bahwa pada dasarnya konflik separatisme etnik yang terjadi di Mynamar sampai dengan saat
ini merupakan dampak dari pemberlakuan nation building Junta militer Myanmar pada 1962
yang memang ditujukannya sebagai ideologi untuk mengelola “wartime political orders”
dengan jalan menciptakan disfungsionaliltas hubungan antara masyarakat dan negara (secara
46
Staniland, Paul (2012) Opcit. Hlm. 248
20
vertical dan horizontal) serta membangun hubungan dengan kelompok-kelompok milisi
nasionalisme etnik demi untuk mempertahankan kekuasaan yang dimilikinya. Sehingga
dengan melihat berbagai dinamika yang terjadi seperti halnya yang telah disampaikan
pemakalah diatas, rasanya akan sulit untuk menghentikan berbagai konflik terkait
nasionalitas itu apabila pihak militer masih terus menerus menjadi satu-satunya aktor yang
dominan di dalam kancah perpolitikan Myanmar sampai dengan 2011 ketika secara resmi
dibubarkan untuk kemudian digantikan oleh Pemerintahan hasil pemilu yang berlangsung
pada tahun 2010.
Meski memang disadari bahwa pemerintahan baru sejak 2011 telah tercipta dan
kekuasaan militer telah sedikit terkikis dengan masih menyisakan 110 kursi di parlemen saat
ini, akan tetapi, dengan meilihat gejala konflik dan dampak kerusakan struktural akibat
disfungsionalitas keterhubungan vertical dan horizontal di dalam masyarakat Myanmar
selama 53 tahun akibat pemberlakuan nation building Junta yang memilah-milah mereka
berdasarkan territory, resources, dan nationalitas (etnik); kiranya jelas upaya penyelesaian
total konflik separatism etnik di Myanmar akan jauh lebih rumit dari sekedar menciptakan
sistem federal dan memerlukan bantuan lembaga-lembaga asing seperti PBB dan lain
sebagainya mengingat akar persoalan konflik yang menyejarah dan mengaitkan pula faktor
kultural.

Daftar Pustaka

Burma Center for Ethnic Studies (2012) Briefing Paper No. 1 dalam
http://www.burmalibrary.org/docs13/BCES-BP-01-ceasefires(en).pdf Diakses pada 15
April 2017 Pukul 20:00 WIB

Burma Watcher (1989). Burma in 1988: There Came a Whirlwind. Asian Survey, 29(2). A
Survey of Asia in 1988: Part II pp. 174–180.

Grevatt, Jon (2014) Myanmar declares USD2.4 billion defence budget for 2014 dalam
21
https://web.archive.org/web/20141028154639/http://www.janes.com/article/32436/
myanmar-declares-usd2-4-billion-defence-budget-for-2014 Diakses pada 16 April
2017 pukul 08:46 WIB

Gutter, Allan (2001) Law and Money Laundering in Burma, Legal Issues On Burma Journal

Holliday, Ian (2008) Voting and Violence in Myanmar: Nation Building for a Transition to
Democracy. Asian Survey, Vol. 48, No. 6 (November/December 2008)

Holmes, Robert A. (1967). Burmese Domestic Policy: The Politics of Burmanization". Asian
Survey. University of California Press. 7 (3): 188–197.

Human Right Watch (2009) The Resistance of the Monks Buddhism and Activism in Burma,
NewYork: Human Right Watch press.

Human Right Watch.org (2011) Burma: Q & A on an International Commission of Inquiry.


dalam http://www.hrw.org/en/news/2011/03/24/burma-q-international-commission-
inquiry diakses pada 4 Juni 2015 pukul 08:28 WIB

International Crisis Group (2013) A Tentative Peace in Myanmar’s Kachin Conflict.


Yangon/Jakarta/Brussels: International Crisis Group.

Irewati, Ani (2007) Myanmar dan matinya penegakan demokrasi. Jurnal Penelitian Politik.
Demokrasi Mati Suri, Yayasan Obor: Jakarta.

Irewati, Ani (2007) Myanmar dan matinya penegakan demokrasi. Jurnal Penelitian Politik.
Demokrasi Mati Suri, Yayasan Obor: Jakarta. Hal.14 dan Gutter, Allan (2001) Law
and Money Laundering in Burma, Legal Issues On Burma Journal.

Kennedy. Emmet (1979) Ideology" from Destutt De Tracy to Marx. Journal of the History of
Ideas Vol. 40, No. 3 (July-September, 1979). pp. 353-368.

Lintner, Bertil (1990) The rise and fall of the Communist Party of Burma (CPB) New York:
Southeast Asia Program, Cornell University

Mydans, Seth (2007) Myanmar Constitution Guidelines Ensure Military Power. Dalam
http://www.nytimes.com/2007/09/04/world/asia/04myanmar.html diakses pada 4 Juni
2015 pukul 09:00 WIB
Oo, Shwe Yinn Mar, Lynn, Soe Than (2011) Mission accomplished as SPDC 'dissolved'.
Dalam http://www.mmtimes.com/2011/news/569/news56902.html Diakses pada 15
April 2017

Smith Maurice, (1994) Ethnic Groups in Burma: Development, Democracy and Human
Rights. London: Anti-Slavery International

South, Alice (2004) Political Transition in Myanmar: A New Model for Democratization.
Contemporary Southeast Asia, Vol. 26, No. 2 (August 2004)

South, Allice (2007) Mon Nationalist Movements: insurgency, ceasefires and political

22
struggle Bangkok:Mon Unity League

Staniland, Paul (2012) States, Insurgents, and Wartime Political Orders. Perspectives on
Politics / Volume 10 / Issue 02 / June 2012
Steinberg, David (2011) Myanmar’s Perpetual Dilemma:Ethnicity in a ‘Discipline-
Flourishing Democracy.’ Honolulu:East-West Center

Wright, Allan (2008) Opium in British Burma, 1826-1881. Contemporary Drug Problems ,
Vol. 35, No. 4 , Winter 2008

Yanghwe, Chao Tzang (2001) Burma and National Reconciliation: Ethnic Conflict and
State-Society Dysfunction. Legal Issues On Burma Journal. No.10 (Desember 2001)

23

Anda mungkin juga menyukai