Anda di halaman 1dari 14

KONSEP GENDER DALAM BUDAYA

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sosiologi Pedesaan

T01

Oleh :

Brefian Agusti Putra (155080301111040)


Rachma Hayyu Ann Naafi (155080301111042)
Raja Dolly Tampubolon (155080301111044)
Affrizal Surya Utama Putra (155080301111053)
Bryantaro Putra Binsar Saragih (155080301111063)
Ayuningtias Budi Ramadhani (155080301111064)

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN


JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua sehingga saya dapat menyelesaikan
makalah ini dengan sebaik-baiknya. Tak lupa shalawat serta salam selalu
tercurahkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW, yang telah
membimbing kita menuju jalan yang terang benderang yaitu Adinul Islam.

Harapan yang paling besar dari penyusunan makalah ini ialah semoga
apa yang saya susun ini penuh manfaat, baik untuk pribadi, teman-teman serta
orang lain yang ingin menyempurnkan kembali atau mengambil hikmah dari judul
ini “Gender Dalam Perspektif Budaya” sebagai tambahan dalam menambah
referensi yang telah ada.

Malang, 3 Desember 2018

Penyusun

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................i
DAFTAR ISI........................................................................................................... ii

BAB I.................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
1.1 Latar Belakang............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah......................................................................................2
1.3 Tujuan......................................................................................................... 2

BAB II................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN.....................................................................................................3
2.1 Pengertian Gender......................................................................................3
2.2 Pengertian Budaya......................................................................................5
2.3 Perspektif Gender Dalam Budaya...............................................................5

BAB III.................................................................................................................. 9
PENUTUP............................................................................................................ 9
3.1 Kesimpulan.................................................................................................9
3.2 Saran.......................................................................................................... 9

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................10

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gender sudah menjadi pembicaraan yang diperbincangkan baik di dunia

pendidikan, perpolitikan, ekonomi, bahkan menjadi wacana dalam pembahasan

serius maupun perbincangan ringan di tengah-tengah masyarakat. Sebagaimana

diketahui wacana gender muncul sebagai dekonstruksi terhadap budaya patriarki

yang telah menghegemoni paradigma masyarakat sekurang-kurangnya tiga ribu

tahun lamanya (Rahmawati, 2016).

Bahkan Fritjof Capra mengatakan, selama tiga ribu tahun terakhir

Peradaban Barat dan pendahulu-pendahulunya, dan kebudayaan-kebudayaan

lainnya, telah didasarkan atas sistem filsafat, sosial, dan politik di mana ”laki-laki

dengan kekuatan, tekanan langsung, atau melalui ritual, tradisi, hukum dan

bahasa, adat kebiasaan, etiket, pendidikan, dan pembagian kerja menentukan

peran apa yang boleh dan tidak dimainkan oleh perempuan di mana perempuan

dianggap lebih rendah dari pada laki-laki”.

Status dan kedudukan perempuan menjadi isu sentral dalam kehidupan

sosial masyarakat modern. Hal ini disebabkan kecenderungan masih adanya

kesenjangan peran antara laki-laki dan perempuan yang lebih didasarkan pada

aspek biologis dan fisiologis. Dikotomi peran itu mendapatkan tempat dalam

budaya patriarkhi yang menjadi salah satu penyebab terjadinya perlakuan

diskriminatif dan kurang menguntungkan bagi kaum perempuan (Suacana dan

Rukmawati, 2013).

1
Bentuk-bentuk ketidakadilan gender itu tidak sesuai dengan hak asasi

manusia, sehingga Pemerintah Indonesia mengusahakan terwujudnya

kesetaraan dan keadilan gender melalui berbagai kebijakan, seperti dinyatakan

melalui Inpres Nomor 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (Gender

Mainstreaming) dalam Pembangunan Nasional. Kesetaraan dan Keadilan

Gender (KKG) adalah suatu bentukan kata yang mengandung dua konsep, yaitu

kesetaraan gender dan keadilan gender. Keseteraan gender berarti kesamaan

kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-

haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam

kegiatan politik, ekonomi, sosial, budaya, keamanan nasional, dan kesamaan

dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Sedangkan keadilan gender

adalah suatu proses untuk menjadi adil terhadap laki-laki dan perempuan

(Pemprov Bali dan PSW Unud, 2005:10-11).

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan gender?


2. Apa yang dimaksud dengan budaya?
3. Bagaimana gender dalam perspektif budaya?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan gender


2. Untuk mngetahui apa yang dimaksud dengan budaya
3. Untuk mengetahui bagaimana gender dalam perspektif budaya

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Gender

Kata gender, jika dilihat dari segi struktur bahasa (gramatikal) berasal dari

bahasa Inggris, yang berarti jenis kelamin (Echols dan Shadiliy, 1996: 265) atau

disebut dengan al-jins dalam bahasa Arab (Wehr, 1980: 141), sehingga jika

seseorang menyebut tentang gender, maka yang dimaksud adalah jenis kelamin

dengan menggunakan pendekatan bahasa. Sementara itu, di dalam Women’s

Studies Encyclopedia sebagaimana dikemukakan oleh Umar (1999: 33)

dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat

pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik

emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat

(Rahmawaty, 2015).

Konsep gender dirumuskan oleh Rahmawaty (2015) sebagai suatu sifat

yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara

sosial dan kultural. Sifat gender yang melekat pada perempuan, misalnya

perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional atau keibuan atau sering

disebut dengan istilah ”feminim”, sementara laki-laki dianggap kuat, rasional,

jantan dan perkasa atau sering disebut dengan istilah ”maskulin”. Ciri dari sifat-

sifat tersebut merupakan sifat yang dapat dipertukarkan antara kaum laki-laki dan

perempuan. Dengan kata lain, ada laki-laki yang emosional, lemah-lembut,

keibuan, sementara juga ada perempuan yang kuat, rasional dan perkasa.

3
Definisi gender di atas juga termasuk membicarakan relasi antara

perempuan dan laki-laki serta cara bagaimana relasi itu dibangun dan didukung

oleh masyarakat. Sebagaimana konsep kelas, ras dan suku, gender juga

merupakan alat analisis untuk memahami relasi-relasi sosial antara perempuan

dan laki-laki. Hambatan bagi terwujudnya kesetaraan antara perempuan dan laki-

laki lebih banyak disebabkan oleh kesenjangan perempuan dan laki-laki yang

dikonstruksi oleh masyarakat. Kesenjangan relasi tersebut dipengaruhi oleh

faktor-faktor sejarah, budaya, ekonomi dan agama yang mengakar sangat kuat

secara turun-temurun di kalangan masyarakat. Kenyataan seperti inilah yang

berdampak pada kehidupan perempuan dan laki-laki dalam kehidupan sehari-

hari, baik di ranah domestik (rumah tangga) maupun di ranah publik (masyarakat,

dunia kerja, dunia pendidikan)(Rahawaty, 2015).

Untuk mewujudkan keseteraan seperti di atas, lebih lanjut Fadilah (2018)

menjelaskan bahwa banyak para feminis sampai sekarang masih percaya bahwa

perbedaan peran berdasarkan gender adalah kerana produk budaya, bukan

karena adanya perbedaan biologis atau perbedaan sifat dasar (nature) atau

genetis. Kemudian, para feminis begitu yakin dapat mewujudkan melalui

perubahan budaya, legislatif maupun praktik-praktik pengasuhan anak, maka

berkembanglah teori-teori feminisme, termasuk teori “praksisnya” yaitu

bagaimana mengubah semua “image” wanita yang berkaitan dengan sifat-sifat

feminim yaitu pengasuh, keibuan, lembut dan sebagainya, walaupun sekarang

banyak para wanita yang berkiprah di sektor-sektor yang didominasi oleh kaum

pria. Karena figur dominan wanita inilah yang selama ini dianggap sebagai

kendala besar untuk mewujudkan upaya kesetaraan gender.

4
2.2 Pengertian Budaya

Kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta budahaya, jamak dari buddhi.

Yang berarti budi/ akal. Sehingga kebudayaan diartikan sebagai hal-hal yang

bersangkutan dengan akal/penggunaan rasio. Bentuknya dapat berupa cipta,

rasa karsa. Dalam bahasa Inggris kita mengenal culture yang artinya sama

dengan kebudayaan yang berasal daribagasa latin colere; mengerjakan,

terutama mengolah tanah, atua berarti alam.

Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama

oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya

terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama, politik, adat

istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan dan karya seni. Alasan mengapa

orang mengalami kesulitan ketika berkomunikasi dengan orang dari budaya

yang berbeda, ya kembali lagi pada pengertian budaya, sesuatu hal yang rumit.

2.3 Perspektif Gender Dalam Budaya

Salah satu bentuk contoh gender dalam perspektif budaya yaitu adanya

budaya patriarki yang masih berlaku di masyarakat Indonesia, salah satunya di

Bali berdasarkan penelitian dari Rahmawati (2016).

Sebagaimana yang disampaikan oleh Holleman dan Koentharaningrat

dalam Sudarta, bahwa Kebudayaan Bali identik dengan sistem kekerabatan

patrilineal. Hal ini tentunya sangat kontradiktif dengan pandangan Agama Hindu

sebagai ajaran yang diyakini kebenarannya secara dominan oleh Masyarakat

5
Bali, yang dalam ajarannya sangat memuliakan perempuan, bahkan perempuan

dianggap sebagai “sakti” (memiliki kekuatan mistis) bagi laki-laki.

Masyarakat Bali memiliki pandangan hidup yang sangat dipengaruhi dan

dijiwai oleh Kebudayaan Bali dan Agama Hindu. Pandangan hidup tersebut

mengandung konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan dan pikiran-

pikiran mendalam mengenai wujud kehidupan yang lebih baik dalam masyarakat.

Namun dalam kenyataannya, khususnya dalam penerapan hukum adat di Bali

masih sangat kontras dengan adanya ketidaksetaraan gender. Hukum adat di

Bali sangat kental dipengaruhi oleh budaya partriarki, di mana di dalam Hukum

Adat Bali kedudukan laki-laki dianggap lebih tinggi dari perempuan. Budaya

patriarki masih memandang perempuan lebih rendah dari laki-laki.

Terutama dalam hal perkawinan adanya konsep purusa predana yang

dianut oleh Masyarakat Bali sebagai refleksi dari ajaran Agama Hindu tentang

jiwa (purusa) yang identik dengan laki-laki dan material (predana) yang identik

dengan perempuan. Di mana dalam Konsep Hindu jiwa melambangkan

keabadian, materi sebagai sesuatu yag tidak kekal.

Kekeliruan dalam merefleksikan pemahaman akan konsep purusa dan

pradana dalam wujud laki-laki dan perempuan telah menimbulkan adanya

ketimpangan dan ketidakadilan terhadap perempuan di Bali, terutama dalam

adat perkawinan di mana perempuan (predana) dianggap lebih rendah

kedudukannya dari pada laki-laki (purusa), sehingga Perempuan Hindu di Bali

sering dikatakan sebagai “Pewaris tanpa warisan”. Hal ini tentunya sangat terkait

dengan pemberlakuan adat istiadat yang mengatur kehidupan Masyarakat Bali

yang masih belum mencerminkan kesetaraan gender. Di mana Perempuan Bali

6
jika sudah menikah dia sepenuhnya menjadi hak milik laki-laki yang menikahinya

dan keluarga pihak laki-laki, tanpa adanya banyak perdebatan.

Bahkan semasih kecil Perempuan Bali sudah dibentuk dan dipersiapkan

untuk menjadi milik keluarga lain. Begitu juga dalam hal pembagian waris bagi

siperempuan yang sudah menikah keluar dari keluarga, tentunya namanya pun

dihapuskan dari calon penerima warisan di rumahnya sendiri. Dan dalam

bayangan akan mendapatkan warisan dari pihak keluarga laki-laki sesuai hak

yang dimiliki suaminya.

Tapi dalam kenyataan warisan dari pihak laki-laki adalah sepenuhnya

menjadi miliki suami yang nantinya akan diwariskan kembali kepada anak laki-

laki dalam keluarga itu. Ketimpangan atau diskriminasi antara laki-laki dan

perempuan di Bali juga tercermin dari kata-kata yang dipakai pada saat seorang

laki-laki meminang si perempuan yaitu dengan mengunakan kata “ngayahin”

yang diartikan sebagai “melayani”. Akan beda artinya jika laki-laki pada saat

meminang perempuan dengan menggunakan kata-kata “mendampingi” yang

mencerminkan kedudukan yang setara antara suami dan istri.

Tidak hanya sampai di situ dalam perkembangan zaman yang semakin

modern ternyata belum mampu mengubah paradigma berpikir Masyarakat Bali

secara signifikan, sehingga saat ini banyak keluarga yang hanya memiliki anak

perempuan terancam putung (tidak memiliki penerus keturunan), hal ini terjadi

karena sulitnya bagi laki-laki baik dari dirinya maupun dukungan keluarga yang

mau nyentana/ nyeburin (laki-laki setelah menikah menjadi milik keluarga

perempuan).

Karena dalam pandangan Masyarakat Bali yang merupakan bagian dari

budaya partriarki dengan menikah nyeburin (nyentana) laki-laki kehilangan

7
haknya menjadi kepala keluarga (kedudukannya dalam keluarga dianggap lebih

rendah dari perempuan). Budaya Patrilineal khususnya yang memengaruhi

Hukum Adat Bali menjadi faktor terjadinya diskriminasi terhadap kaum

perempuan di Bali, di mana tidak semua orang tua mau memberikan kesempatan

kepada anak perempuannya untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi

dengan argumen bahwa nantinya anak perempuannya akan menjadi milik orang

lain. Hal ini tentunya memicu terjadinya kesenjangan dalam kehidupan sosial di

masyarakat, di mana perempuan selalu menjadi sosok yang didominasi oleh

pihak laki-laki. Keadaan ini sangat kontradiktif dengan semangat kesetaraan

gender yang menginginkan kebersamaan dan kesederajatan antara laki-laki dan

perempuan.

Dengan adanya ketidak adilan dengan adanya budaya patriaki, saat ini

banyak digalakkan seruan kesetaraan gender laki-lai dan perempuan, khususnya

pada daerah-daerah yang masih menjalankan budaya patriaki seperti di Bali.

8
9
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kesetaraan gender sangatlah penting dalam hubungan sosial.

Kebudayaan seharusnya dapat menyongsong kesetaraan gender sehingga tidak

ada praktik-praktik diskriminatif yang dilakukan berazazkan kebudayaan. Budaya

dapat menjadi landasan terbentuknya dan berjalannya kesetaraan gender

sehingga kehidupan sosial laki-laki maupun wanita dapat berjalan beriringan.

3.2 Saran

Semoga tidak ada tindakan diskriminatif terhadap wanita dengan alasan

budaya yang sudah terlanjur melekat pada masyarakat. Budaya dapat dirubah

untuk mendapatkan hasil yang lebih baik.

10
DAFTAR PUSTAKA

Fadilah. S. 2018. Kesetaraan Gender: Fenomena Pergeseran Peran Ekonomi

Wanita Dari Tulang Rusuk Menjadi Tulang Punggung. 1 (1) : 18-26.

Rahmawati. N. N. 2016. Perempuan Bali dalam Pergulatan Gender (Kajian

Budaya, Tradisi, dan Agama Hindu). Jurnal Studi Kultural. 1 (1) : 58-65.

Rahmawaty. A. 2015. Harmoni dalam Keluarga Perempuan karir: Upaya

Mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Keluarga.

Palastren. 8 (1) : 1-34.

Suacana. I. W dan D. Rukmawati. 2013. Kesetaraan Dan Keadilan Gender

Perempuan Bali Dalam Kehidupan Adat Di Bali. Ketua Pusat Kajian

Governance dan Kearifan Lokal Universitas Warmadewa.

11

Anda mungkin juga menyukai