DISUSUN OLEH:
MUTIA ANJARIAH
(1810112120010)
BANJARMASIN
2021
I. Judul Tentatif: Peran pemuda dalam pelestarian tradisi tanglong
sebagai akulturasi nilai-nilai gotong royong di kelurahan guntung
manggis kecamatan landasan ulin.
II. Latar Belakang
Peran diartikan sebagai pola tingkah-laku yang diharapkan oleh
masyarakat dari seorang individu yang memiliki status atau menempati
posisi tertentu di dalam masyarakat. Menurut Ralph Linton (Bernard
Raho, SVD, 2014:) mengartikan peran sebagai ekspresi dinamis dari
status. Seorang individu menduduki status tetapi melaksanakan peran.
Norma-norma budaya kita mengajarkan bahwa orang yang menduduki
status tertentu harus bertindak sesuai harapan masyarakat dari status itu.
Pemuda merupakan pewaris generasi yang seharusnya memiliki
nilai-nilai luhur, bertingkah laku baik, berjiwa membangun, cinta tanah
air, memiliki visi dan tujuan positif. Pemuda harus bisa mempertahankan
tradisi dan kearifan lokal sebagai identitas bangsa. Pendidikan formal yang
dilakukan juga harus menjadi bekal untuk bergaul dalam masyarakat.
Wahab dan Sapriya (2011, hlm. 311) mengidentifikasikan bahwa warga
negara yang baik yaitu: Warga negara yang memahami dan mampu
melaksanakan dengan baik hak dan kewajibannya sebagai individu, peka
dan memiliki tanggung jawab sosial, mampu memecahkan masalahnya
sendiri dan masalah kemasyarakatan sesuai fungsi dan perannya (socially
sensitive, socially responsible, dan socially intelligence), agar dicapai
kualitas pribadi dan perilaku warga masyarakat yang baik (socio civic
behavior dan desirable personal qualities).
Peran pemuda yang disebutkan dalam UndangUndang Negara
Republik Indonesia Nomor 40 tahun 2009 tentang Kepemudaan pasal 16
tentang peran pemuda yaitu: “Pemuda berperan aktif sebagai kekuatan
moral, kontrol sosial, dan agen perubahan dalam segala aspek
pembangunan nasional.”
Di dalam masyarakat, pemuda merupakan penerus cita-cita
perjuangan bangsa dan sumber bagi pembangunan bangsa karena pemuda
sebagai harapan bangsa dapat diartikan bahwa siapa yang menguasai
pemuda akan menguasai masa depan. Seperti yang diungkapkan oleh
Mangunhardjana (1986, hlm. 17) bahwa: Kaum muda yang ada dalam
proses pertumbuhan dan perkembangan serta dalam situasi yang berbeda
yang tidak selalu mudah, merupakan bagian dari keseluruhan bangsa. Oleh
karena itu mereka tidak dapat dipisahkan dari masalah-masalah yang
dihadapi oleh bangsa.
Pemuda dengan berbagai masalahnya, harus diarahkan pada
sesuatu yang bernilai positif. Hal itu tidak adakan mengubah
pandangannya terhadap Tradisi Tanglong sebagai civic culture yang perlu
dilestarikan. Abdullah (1994, hlm. 1) menyatakan bahwa: “Pemuda adalah
konsep yang sering diberati oleh nilai. Hal ini karena keduanya bukanlah
semata-mata istilah ilmiah tetapi pengertian ideologis atau kultural.
Pemuda sebagai harapan bangsa, pemuda harus dibina. Semua itu
memperlihatkan saratnya nilai-nilai yang melekat pada kata pemuda.”
Karakter pemuda saat ini yang diharapkan yaitu sesuai dengan
dasar negara kita yaitu Pancasila. Sebagaimana disebutkan di atas bahwa
Pancasila bisa diambil intinya yaitu gotong royong, maka dapat
disimpulkan bahwa pemuda hendaknya memiliki jiwa semangat gotong
royong. Soekanto (1990, hlm. 193) bahwa: Pada umumnya generasi muda
dianggap sebagai individu yang cepat menerima unsur-unsur kebudayaan
asing yang masuk melalui proses akulturasi. Sebaliknya, generasi tua
dianggap sebagai orang-orang yang sukar menerima unsur baru. Hal ini
disebabkan oleh norma-norma tradisional yang sudah mendarah daging
dan menjiwai (sudah internalized). Sebaliknya belum menetapnya unsur-
unsur tradisional dalam jiwa generasi muda, menyebabkan mereka lebih
mudah menerima unsur baru yang kemungkinan besar dapat mengubah
kehidupan mereka.
Berdasarkan beberapa hal di atas, maka sangat penting pelestarian
tradisi gotong royong bagi pemuda melalui tradisi “tanglong” yang
dilakukan di Kelurahan Guntung Manggis Kecamatan Landasan Ulin,
untuk pelaksanaannya biasanya berpusat di Lapangan Murjani berada di
Kota Banjarbaru. Untuk melestarikan budaya bangsa yang dijadikan
pondasi kebersamaan dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Terutama pemuda sebagai penerus bangsa seharusnya mempunyai
keterampilan berwarganegara yang kreatif dan aktif dalam
mempertahankan tradisi maupun budaya agar tidak hilang. Seperti tradisi
tanglong ini sebagai contoh dalam bergotong royong merupakan wujud
keterampilan berwarga negara yang baik.
V. Tujuan Penelitian
Sesuai permasalahan yang telah dirumuskan, maka tujuan yang
hendak dicapai dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui peran pemuda dalam pelestarian tradisi tanglong sebagai
akulturasi nilai-nilai gotong royong di Kelurahan Guntung Manggis
Kecamatan Landasan Ulin.
2. Mengetahui bentuk kegiatan tradisi tanglong di Kelurahan Guntung
Manggis Kecamatan Landasan Ulin.
B. Pelestarian
Pelestarian berasal dari kata dasar lestari, yang artinya adalah
tetap selama-lamanya tidak berubah. Pengunaan awalan ke- dan akhiran
-an artinya digunakan untuk menggambarkan sebuah proses atau upaya
(kata kerja). Jadi berdasarkan kata kunci lestari ditambah awalan ke-
dan akhiran –an, maka yang dimaksud pelestarian adalah upaya untuk
membuat sesuatu tetap selama- lamanya tidak berubah. Bisa pula
didefinisikan sebagai upaya untuk mempertahankan sesuatu supaya
tetap sebagaimana adanya (Pratama, 2006).
Mengartikan pelestarian sebagai kegiatan atau yang dilakukan
secara terus menerus, terarah dan terpadu guna mewujudkan tujuan
tertentu yang mencerminkan adanya sesuatu yang tetap dan abadi,
bersifat dinamis, luwes, dan selektif. Mengenai pelestarian budaya lokal
adalah mempertahankan nilai-nilai seni budaya, nilai tradisional dengan
mengembangkan perwujudan yang bersifat dinamis, luwes dan selektif,
serta menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang selalu berubah dan
berkembang (Widjaja, 1986, p. 134).
C. Tradisi
Menurut khanazah bahasa Indonsia, tradisi berarti segala sesuatu
seperti adat, kebiasaan, ajaran, dan sebagainnya, yang turun menurun
dari nenek moyang.
Tradisi dalam kamus antropologi sama dengan adat istiadat,
yakni kebiasaan-kebiasaan yang bersifat magsi-religius dari kehidupan
suatu penduduk asli yang meliputi mengenai nilai-nilai budaya, norma-
norma, hukum dan aturanaturan yang saling berkaitan, dan kemudian
menjadi suatu sistem atau peraturan yang sudah mantap serta
mencakup segala konsepsi sistem budaya dari suatu kebudayaan untuk
mengatur tindakan sosial. Sedangkan dalam kamus sosiologi, diartikan
sebagai adat istiadat dan kepercayaan yang secara turun temurun dapat
dipelihara.
Tradisi adalah kesamaan benda material dan gagasan yang
berasal dari masa lalu namun masih ada hingga kini dan belum
dihancurkan atau dirusak. Tradisi dapat di artikan sebagai warisan
yang benar atau warisan masa lalu. Namun demikian tradisi yang
terjadi berulang-ulang bukanlah dilakukan secara kebetulan atau
disengaja.
D. Tanglong
Festival tanglong merupakan suatu perayaan untuk
memperingati malam ke-21 Ramadan dengan berbagai macam
kegiatan seperti atraksi kembang api, pameran dan parade keliling
kendaraan hias yang menggunakan lampu kertas aneka motif, hingga
penyalaan lampion berbagai bentuk.
Atraksi kembang api biasanya mewarnai pembukaan festival
tanglong. Sementara kendaraan hias yang diarak keliling kota
tersebutlah dinamai sebagai tanglong. Bentuk Tanglong bisa
menyerupai berbagai macam, tetapi umumnya masih belum lepas dari
nuansa keislaman. Tanglong biasanya sering dijumpai dalam bentuk
masjid, kereta, burung buraq hingga unta.
Sementara bagi grup yang tanglongnya paling unik dan menarik
akan mendapat apresiasi berupa uang tunai sebagai hadiah.
Bukan hanya orang-orang dari suku Banjar yang turut
merayakan festival ini. Orang-orang suku Jawa bahkan turis dari
mancanegara yang tinggal di sekitaran kota pun biasanya juga ikut
merayakan kemeriahan tanglong.
Namun sayangnya, eksistensi tradisi yang biasanya berpusat di
Lapangan Murjani ini, mulai ditiadakan. Khususnya di daerah
sekitaran kota Banjarbaru. Sejak bulan Ramadan tahun 1435 Hijriah,
tepatnya pada tahun 2014 Masehi lalu, Pemerintah Kota Banjarbaru
telah membuat keputusan untuk meniadakan festival tanglong. Padahal
tradisi tanglong sendiri telah cukup lama menjadi ikon pariwisata
Ramadan kota Banjarbaru.
Peniadaan festival tanglong berkaitan dengan pernyataan tokoh
agama sekitar serta Pengurus Majelis Ulama Indonesia yang
beranggapan bahwa tanglong mengganggu kesucian dan kekhsuyuan
bulan suci Ramadan.
Festival yang dilaksanakan pada malam "Salikur" atau 21 itu
lebih banyak membawa kemudharatan ketimbang manfaatnya. Setiap
pelaksaan tanglong, situasi seringnya jadi tidak terkontrol hingga
cukup merugikan masyarakat serta pemkot setempat. Misalnya saja
penggunaan petasan dan mercon secara barbar. Hingga suara mau pun
ledakannya mengganggu orang lain.
Hal serupa juga terjadi di kota Martapura. Pemkot setempat
telah membuat sebuah kebijakan untuk meniadakan tanglong dan
menggantinya dengan pekan maulid, atau festival maulid dalam rangka
menyambut malam Lailatul Qadar di Kabupaten Banjar.
Tanpa bermaksud menutup mata akan sisi negafif dari festival
tanglong, pemerintah kota setempat seharusnya juga memerhatikan sisi
postif dari kegiatan tersebut. Tanglong telah menjadi hal identic yang
tergambar dibenak orang-orang ketika mendengar kata "Ramadan dan
Banjar". Karena tradisi ini telah berlangsung selama belasan atau
bahkan puluhan tahun.
Kebijakan untuk memberhentikan atau meniadakan tanglong
menurut saya kurang tepat. Behubung masih ada alternatif berupa
musyawarah bersama untuk mencapai suatu kesepakatan yang
mungkin bisa menjadi titik tengah demi mempertahankan tradisi ini.
Langkah lain yang juga mungkin untuk ditempuh, misalnya
dengan membentuk panitia seksi keamanan khusus, penyediaan
perlengakapan keamanan yang memadai hingga edaran tegas berupa
imbauan untuk tetap menjaga kenyamanan dan ketertiban selama
festival tanglong berlangsung.
Tapi, meski pun begitu, keberadaan festival tanglong ini masih
bisa dijumpai di daerah perkotaan seperti Banjarmasin, Hulu Sungai,
bahkan mungkin di tempat-tempat lain yang belum saya sebutkan di
atas karena keterbatasan informasi yang saya dapatkan.
E. Gotong Royong
Sejarah tolong menolong di Indonesia sangat akrab disebut
gotong royong, sebagaimana Kaelan (2013, hlm. 59) bahwa:
“Semangat gotong royong mengungkapkan cita-cita kerakyatan,
kebersamaan dan solidaritas sosial. Berdasarkan semangat gotong
royong dan asas kekeluargaan, negara mempersatukan diri dengan
seluruh lapisan masyarakat.”
Dalam hal ini Collette (1987:3) misalnya menyatakan bahwa
“gotong royong telah berurat berakar dalam kehidupan masyarakat
Indonesia dan merupakan pranata asli paling penting dalam
pembangunan masyarakat”
Koentjaraningrat (1998:155) menegaskan bahwa dalam
kehidupan modern tolong menolong tidak akan pernah hilang karena
setiap manusia pasti memiliki sahabat-sahabat karib, kerabat dekat dan
teman-teman yang merupakan kelompok primernya. Jiwa gotong
royong tidak terbatas pada kelompok primer saja dan karena itu bisa
dipertahankan dalam kehidupan modern.
B. Tempat Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di kampung Sei Sumba di
Kelurahan Guntung Manggis Kota Banjarbaru Provinsi Kalimantan
Selatan. Informasi yang akan diminta keterangannya dalam penelitian
ini terdiri dari Ketua RT, Ketua RW, Karang Taruna dan masyarakat di
Kelurahan Guntung Manggis Kota Banjarbaru. Alasan peneliti
memilih melakukan penelitian ini di Kelurahan Guntung Manggis
karena peran pemuda sangat berpengaruh dalam segala kegiatan
dengan begitu peneliti bisa mengetahui, memahami, atas apa yang
terjadi di masyarakat serta memiliki waktu untuk memberikan
informasi secara benar. Karena di Kelurahan Guntung Manggis dilihat
lingkungan masyarakatnya yang orang tuanya bercerai berpengaruh
dan berdampak terhadap moral anak yang mencerminkan sikap dan
perilaku baik ataupun buruk.
C. Instrument Penelitian
Instrumen utama dalam penelitian ini adalah peneliti itu sendiri,
karena penelitilah yang menentukan dan menetapkan fokus penelitian,
mengumpulkan sumber data, memilih sumber data serta membuat
kesimpulan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sugiyono (2015:222)
yang mengatakan bahwa “penelitian kualitatif yang menjadi instrumen
atau alat penelitian adalah peneliti itu sendiri”. Peneliti sebagai
instrumen penelitian maksudnya adalah peneliti sendiri yang
menetapkan pada fokus masalah dan rumusan masalah yang mengenai
peran pemuda dalam pelestarian tradisi tanglong sebagai akulturasi
nilai-nilai gotong royong di Kelurahan Guntung Manggis Kecamatan
Landasan Ulin Kota Banjarbaru.
D. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari, manusia, situasi
atau peristiwa, dan dokumentasi.Sumber data manusia berbentuk
perkataan maupun tindakan orang yang bisa memberikan data melalui
wawancara. Sumber data suasana/peristiwa berupa susana yang
bergerak (peristiwa) ataupun diam (suasana), meliputi ruang, suasana,
dan proses. Sumber data dokumenter atauberbagai referensi yang
menjadi bahan rujukan dan berkaitan langsung dengan masalah yang
diteliti. Sumber data yang di gunakan dalam penelitian ini terbagi
menjadi dua yaitu:
1. Sumber Data Primer
Sumber data primer adalah data yang diperoleh lagsung di
lapangan oleh peneliti sebagai obyek penulisan (Umar, 2003: 56).
Dalam penelitian ini data primernya orang tua.
2. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder adalah sumber data yang tidak langsung
memberikan data kepada kepada peneliti (Sugiyono, 2005:52).
Sumber data lain yang digunakan penulis dalam peneliti ini berupa
buku-buku yang berhubungan dengan permasalahan yang menjadi
pokok bahasan peneliti ini.
No Kegiatan 2020-2021
September Oktober November Desember
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 Penyusunan
proposal
2 Konsultasi
(bimbingan)
3 Memasuki
lapangan
4 Analisis data
5 Membuat draf
laporan penelitian
6 Diskusi draf
laporan
7 Penyempurnaan
laporan
8 Ujian hasil
penelitian
9 Perbaikan hasil
penelitian
10 Penggandaan hasil
penelitian
11 Penyerahan hasil
penelitian
DAFTAR PUSTAKA