Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH GENDER DALAM PANDANGAN

AGAMA ISLAM

Disusun oleh :

HILMAN MAULANA FADLILLAH (P1337430319056)

JURUSAN TEKNIK RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI

PRODI D3 TEKNIK RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI PURWOKERTO

POLITEKNIK KESEHATAN SEMARANG

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan
rahmat serta hidayah-Nya sehingga penyusunan makalah ini dapat diselesaikan.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Pendidikan Agama Islam mata kuliah
dengan judul “Kesetaraan Gender dalam Pandangan Agama Islam”. Harapan saya adalah
semoga makalah yang disusun dengan judul tersebut dapat bermanfaat untuk semua pihak,
semoga saja dengan disusunnya makalah ini dapat mempermudah anda untuk mendapatkan
informasi atau pengetahuan dan menjadi referensi ilmu mengenai proses inseminasi buatan
pada manusia dan pandangan islam terhadap inseminasi buatan pada manusia.

Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para pembaca.
Namun terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun
demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.

Terima kasih kami ucapkan kepada semua rekan-rekan yang sudah membantu dalam
kelancaran penyusunan makalah ini, khususnya untuk dosen Pendidikan Agama Islam kami
yang senantiasa membimbing dan mengajari kami.
DAFTAR ISI

A. KATA PENGANTAR
B. DAFTAR ISI
C. BAB I PENDAHULUAN
1.1...........................................................................................................Latar
Belakang
1.2...........................................................................................................Rumu
san Masalah
1.3...........................................................................................................Tujua
n Penulisan
D. BAB II PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Gender
2.2. Teori-teori dalam gender
2.3. Konsep Kesetaraan Gender
2.4. Perbedaan Gender Melahirkan Ketidakadilan
2.5. Pandangan Islam Mengenai Kesetaraan Gender
E. BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang

Gender merupakan perbedaan jenis kelamin yang bukan disebabkan oleh


perbedaan biologis dan bukan kodrat Tuhan, proses sosial budaya yang panjang.
Perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan, selain disebabkan oleh faktor
biologis sebagian besar justru terbentuk melalu proses sosial dan kultural. Gender bisa
dikategorikan sebagai perangkat operasional dalam melakukan measure (pengukuran)
terhadap persoalan laki-laki dan perempuan terutama yang terkait dengan pembagian
peran dalam masyarakat yang dikonstruksi oleh masyarakat itu sendiri. Istilah gender
telah menjadi isu penting dan sering diperbincangkan akhir-akhir ini. Banyak orang
yang mempunyai persepsi bahwa gender selalu berkaitan dengan perempuan,
sehingga setiap kegiatan yang bersifat perjuangan menuju kesetaraan dan keadilan
gender hanya dilakukan dan diikuti oleh perempuan tanpa harus melibatkan laki-laki.
Manusia yang berjenis kelamin laki-laki adalah manusia yang bercirikan memiliki
penis, memiliki jakala (kala menjing), dan memproduksi sperma. Perempuan
memiliki alat reproduksi seperti rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi
telur, memiliki vagina, dan memiliki alat menyusui (Mansour Fakih, 2008: 8).
Pembedaan laki-laki dengan perempuan berdasarkan sex atau jenis kelamin
merupakan suatu kodrat atau ketentuan dari Tuhan. Ciri-ciri biologis yang melekat
pada masing-masing jenis kelamin tidak dapat dipertukarkan. Alat-alat yang dimiliki
laki-laki maupun perempuan tidak akan pernah berubah atau bersifat permanen.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan gender?
2. Bagaimana teori-teori dalam gender?
3. Bagaimana konsep kesetaraan gender?
4. Bagaimana perbedaan gender melahirkan ketidakadilan?
5. Bagaimana pandangan islam mengenai kesetaraan gender?
1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan gender
2. Untuk mengetahui teori-teori dalam gender
3. Untuk mengetahui konsep kesetaraan gender
4. Untuk mengetahui perbedaan gender melahirkan ketidakadilan
5. Untuk mengetahui pandangan islam mengenai kesetaraan gender
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Penge
rtian Gender
Gender adalah serangkaian karakteristik yang terikat kepada dan
membedakan maskulinitas dan femininitas. Karakeristik tersebut dapattmencakup jenis
kelamin (laki-laki, perempuan, atau interseks), hal yang ditentukan berdasarkan jenis
kelamin (struktur sosial sepeti peran gender), atau identitas gender. Orang-orang yang
tidak mengidentifikasi dirinya sebagai pria atau wanita umumnya dikelompokkan ke
dalam masyarakat nonbiner atau genderqueer. Beberapa kebudayaan memiliki peran
gender spesifik yang berbeda dari "pria" dan "wanita" yang secara kolektif disebut
sebagai gender ketiga seperti golongan Bissu di masyarakat Bugis di Sulawesi dan
orang hijra di Asia Selatan. Gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat
pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik
emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat mengacu
pada pendapat Mansour Faqih, Gender adalah suatu sifat yang melekat pada laki-laki
maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya bahwa
perempuan itu lemah lembut, cantik, emosional, dan sebagainya. Sementara laki-laki
dianggap kuat, rasional, jantan, perkasa, dan tidak boleh menangis. Ciri dan sifat itu
sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Perubahan ciri dan sifat tersebut
dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ketempat yang lain, juga perubahan
tersebut bisa terjadi dari kelas ke kelas masyarakat yang berbeda. Semua hal yang dapat
dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki yang bisa bisa berubah, baik itu waktu
maupun kelas (Mansour Faqih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007), h. 8-9)
2.2. Teori – Teori Gender
1. Teori Nurture
Menurut teori nurture adanya perbedaan perempuan dan laki-laki pada
hakekatnya adalah bentukan masyarakat melalui konstruksi sosial budaya, sehingga
menghasilkan peran dan tugas yang berbeda. Perbedaan itu menyebabkan perempuan
selalu tertinggal dan terabaikan peran dan kontribusinya dalam hidup berkeluarga,
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Konstruksi sosial menempatkan perempuan dan
laki-laki dalam perbedaan kelas. Laki-laki diidentikkan dengan kelas borjuis, dan
perempuan sebagai proletar.
Perjuangan untuk permasamaan hak ini dipelopori oleh kaum feminis internasional yang
cenderung mengejar kesamaan (sameness) dengan konsep 50:50 (fifty-fifty), konsep yang
kemudian dikenal dengan istilah perfect equality (kesamaan sempurna) secara kuantitas.
Perjuangan tersebut sulit dicapai karena berbagai hambatan baik dari nilai agama maupun
budaya. Berangkat dari kenyataan tersebut, para feminis berjuang dengan menggunakan
pendekatan sosial konflik, yaitu konsep yang diilhami Karl Marc (1818-
1883) dan Machiavvelli (1469-1527) dilanjutkan oleh David Lockwood (1957) dengan
tetap menerapkan konsep dialektika.
Karena itu aliran nurture melahirkan paham sosial konflik yang banyak dianut
masyarakat sosialis komunis yang menghilangkan strata penduduk (egalitarian). Paham
sosial konflik memperjuangkan kesamaan proporsional (perfect equality) dalam segala
aktivitas masyarakat seperti di DPR, Militer, Manajer, Menteri, Gubernur, Pilot, dan
pimpinan partai politik.
Menurut teori nature, adanya perbedaan perempuan dan laki-laki adalah kodrati, sehingga
harus diterima apa adanya. Perbedaan biologis itu memberikan indikasi dan implikasi
bahwa diantara kedua jenis tersebut memiliki peran dan tugas yang berbeda. Ada peran
dan tugas yang dapat dipertukarkan, tetapi ada tugas yang memang berbeda dan tidak
dapat dipertukarkan secara kodrat alamiahnya. Dalam proses pengembangannya banyak
kaum perempuan sadar terhadapa beberapa kelemahan teori nurture di atas. Lalu beralih
ke teori natura. Pendekatan nurture dirasa tidak menciptakan kedamaian dan
keharmonisan dalam hidup berkeluarga dan bermasyarakat.
Perbedaan biologis diyakini memiliki pengaruh pada peran yang bersifat naluri (instinct).
Perjuangan kelas tidak pernah mencapai hasil yang memuaskan karena manusia
memerlukan kemitraan dan kerjasama secara strukturaal dan fungsional . Manusia baik
perempuan maupun laki-laki memiliki perbedaan kodrat sesuai dengan fungsinya masing-
masing. Dalam kehidupan sosial ada pembagian tugas (division labor) begitupula dalam
kehidupan keluarga. Harus ada kesepakatan antara suami istri, siapa yang menjadi kepala
keluarga dan siapa yang menjadi ibu rumah tangga. Dalam organisasi sosial juga dikenal
ada pimpinan dan ada bawahan (anggota) yang masing-masing mempunyai tugas, fungsi
dan kewajiban yang berbeda dlam mencapai tugas, fungsi dan kewajiban yang berbeda
dalam mencapai tujuan.
Talcott Parson (1902-1979) dan Parson & Bales berpendapat bahwa keluarga adalah
sebagai unit sosial yang memberikan perbedaan peran suami dan istri untuk saling
melengkapi dan saling membantu satu sama lain. Karena itu peranan keluarga semakin
penting dalam masyarakat modern terutama dalam pengasuhan dan pendidikan anak.
Keharmonisan hidup hanya dapat diciptakan bila terjadi pembagian peran dan tugas yang
serasi antara perempuan dan laki-laki, dan hal ini dimulai sejak dini melalui Pola
Pendidikan dan pengsuhan anak dalam keluarga. Aliran ini melahirkan paham struktural
fungsional yang menerima perbedaan peran, asal dilakukan secara demokratis dan
dilandasi oleh kesempatan (komitmen) dalam kehidupan masyarakat.

2.Teori Equilibrium:

Teori keseimbangan (Equilibrium)menekankan pada konsep kemitraan dan


keharmonisan dalam hubungan antara perempuan dan laki-laki. Pandangan ini tidak
mempertentangkan antara kaum perempuan dan laki-laki, karena keduanya harus
bekerjasama dalam kemitraan dan keharmonisan dalam kehidupan keluarga,
masyarakat, bangsa dan negara. Untuk mewujudkan gagasan tersebut, maka dalam
setiap kebijakan dan strategi pembangunan agar diperhitungkan kepentingan dan
peran perempuan dan laki-laki secara seimbang. Hubungan diantara kedua elemen
tersebut bukan saling bertentangan tetapi hubungan komplementer guna saling
melengkapi satu sama lain.
R.H. Tawney menyebutkan bahwa keragaman peran apakah karena faktor biologis,
etnis, aspirasi, minat, pilihan, atau budaya pada hakekatnya adalah realita kehidupan
manusia. Hubungan laki-laki dan perempuan bukan dilandasi dikotomis, bukan pula
struktural fungsional, tetapi lebih dilandasi kebutuhan kebersamaan guna membangun
kemitraan yang harmonis, karena setiap pihak punya kelebihansekaligus kekurangan,
kekuatan sekaligus kelemahan yang perrlu diisi dan dilengkapi pihak lain dalam
kerjasama yang setara.

3.Teori Struktural-Fungsional.

Teori ini muncul di tahun 30-an sebagai kritik terhadap teori evolusi. Teori ini
mengemukakan tentang bagaimana memandang masyarakat sebagai sebuah sistim
yang saling berkaitan. Teori ini mengkui adanya keanekaragaman dalam kehidupan
sosial. Dalam kondisi seperti itu, dibuatlah suatu sistim yang dilandaskan pada
konsensus nilai-nilai agar terjasi adanya interrelasi yang demi sesuatu yang
dinamakan harmoni, stabilitas dan keseimbangan (equilibrium). Sistem ini
mensyaratkan aktor dalam jumlah memadai, sehingga fungsi dan struktur sesorang
dalam sistim menentukan tercapainya stabilitas atau harmoni tersebur. Ini berlaku
untuk sistim sosial: agama, pendidikan, struktur politik, sampai rumah tangga, dalam
hal ini termasuk mengenai gender. Sosialisasi fungsi struktur tersebut dilakukan
dengan institusionalisasi, melalui norma-norma yang disosialisasikan.

2.3. Konsep Kesetaraan Gender

Kesetaraan gender, dikenal juga sebagai keadilan gender, adalah pandangan bahwa semua
orang harus menerima perlakuan yang setara dan tidak didiskriminasi berdasarkan identitas
gender mereka, yang bersifat kodrati.[1] Ini adalah salah satu tujuan dari Deklarasi Universal
Hak asasi Manusia, PBB yang berusaha untuk menciptakan kesetaraan dalam bidang sosial
dan hukum, seperti dalam aktivitas demokrasi dan memastikan akses pekerjaan yang setara
dan upah yang sama. Dalam praktiknya, tujuan dari kesetaraan gender adalah agar tiap orang
memperoleh perlakuan yang sama dan adil dalam masyarakat, tidak hanya dalam bidang
politik, di tempat kerja, atau bidang yang terkait dengan kebijakan tertentu.
Kesetaraan Gender adalah kalimat yang seringkali kita dengar terucap dalam diskusi ataupun
tertulis dalam sejumlah referensi. Apa arti kesetaraan gender? Untuk menjelaskannya, berikut
ini kami ketengahkan sejumlah istilah yang erat kaitannya dengan problematika gender selain
istilah tersebut.

A. Pengarusutamaan Gender

Pengarusutamaan gender adalah strategi yang digunakan untuk mengurangi kesenjangan


antara penduduk laki-laki dan perempuan Indonesia dalam mengakses dan mendapatkan
manfaat pembangunan, serta meningkatkan partisipasi dan mengontrol proses pembangunan.

B. Kesenjangan Gender

Dikatakan terjadi kesenjangan gender apabila salah satu jenis kelamin berada dalam keadaan
tertinggal dibandingkan jenis kelamin lainnya (Laki-laki lebih banyak dari perempuan atau
sebaliknya)

C. Kesetaraan Gender

Kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh
kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi
dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan
keamanan nasional (hankamnas) serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan.
Terwujudnya kesetaraan gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan
dan laki-laki, dan dengan demikian mereka memiliki akses, kesempatan berpartisipasi,
kontrol atas pembangunan dan memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan.
Adapun indikator kesetaraan gender adalah sebagai berikut:

1.AKSES
Yang dimaksud dengan aspek akses adalah peluang atau kesempatan dalam
memperoleh atau menggunakan sumber daya tertentu. Mempertimbangkan bagaimana
memperoleh akses yang adil dan setara antara perempuan dan laki-laki, anak
perempuan dan laki-laki terhadap sumberdaya yang akan dibuat. Sebagai contoh
dalam hal pendidikan bagi anak didik adalah akses memperoleh beasiswa melanjutkan
pendidikan untuk anak didik perempuan dan laki-laki diberikan secara adil dan setara
atau tidak.
2.PARTISIPASI
Aspek partisipasi merupakan keikutsertaan atau partisipasi seseorang atau kelompok
dalam kegiatan dan atau dalam pengambilan keputusan. Dalam hal ini perempuan dan
laki-laki apakah memiliki peran yang sama dalam pengambilan keputusan di tempat
yang sama atau tidak.
3.KONTROL
Penguasaan atau wewenang atau kekuatan untuk mengambil keputusan. Dalam hal ini
apakah pemegang jabatan tertentu sebagai pengambil keputusan didominasi oleh
gender tertentu atau tidak.
4.MANFAAT
Kegunaan yang dapat dinikmati secara optimal. Keputusan yang diambil oleh sekolah
memberikan manfaat yang adil dan setara bagi perempuan dan laki-laki atau tidak.

D. Keadilan Gender

Keadilan gender adalah suatu proses dan perlakuan adil terhadap perempuan dan laki-
laki. Dengan keadilan gender berarti tidak ada pembakuan peran, beban ganda, subordinasi,
marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki.Ketidakadilan gender
(gender inequalities) merupakan sistem dan struktur di mana baik kaum laki-laki dan
perempuan menjadi korban dari sistem tersebut. Ketidakadilan gender menurut beberapa
pakar timbul dalam bentuk:

1. Stereotype

Pelabelan atau penandaan yang seringkali bersifat negatif secara umum dan melahirkan
ketidakadilan. Sebagai contoh, perempuan sering digambarkan emosional, lemah, cengeng,
tidak rasional, dan sebagainya. Stereotype tersebut yang kemudian menjadikan perempuan
selama ini ditempatkan pada posisi domestik, kerapkali perempuan di identikan dengan
urusan masak, mencuci, dan seks (dapur, sumur, dan kasur).
2. Kekerasan (violence)

Kekerasan berbasis gender, kekerasan tersebut terjadi akibat dari ketidak seimbangan posisi
tawar (bargaining position) atau kekuasaan antara perempuan dan laki-laki. Kekerasan terjadi
akibat konstruksi peran yang telah mendarah daging pada budaya patriarkal yang
menempatkan perempuan pada posisi lebih rendah. Cakupan kekerasan ini cukup luas,
diantaranya eksploitasi seksual, pengabaian hak-hak reproduksi, trafficking, perkosaan,
pornografi, dan sebagainya.

3. Marginalisasi

Peminggiran terhadap kaum perempuan terjadi secara multidimensional yang disebabkan


oleh banyak hal bisa berupa kebijakan pemerintah, tafsiran agama, keyakinan, tradisi dan
kebiasaan, atau pengetahuan (Mansour Faqih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h.14). Salah satu bentuk paling nyata dari marginalisasi
ini adalah lemahnya peluang perempuan terhadap sumber-sumber ekonomi. Proses tersebut
mengakibatkan perempuan menjadi kelompok miskin karena peminggiran terjadi secara
sistematis dalam masyarakat.

4. Subordinasi

Penomorduaan (subordinasi) ini pada dasarnya merupakan keyakinan bahwa jenis kelamin
tertentu dianggap lebih penting atau lebih utama dibanding jenis kelamin lainnya (Leli
Nurohmah dkk, Kesetaraan Kemajemukan dan Ham, Jakarta: Rahima, h. 13). Hal ini
berakibat pada kurang diakuinya potensi perempuan sehingga sulit mengakses posisi-posisi
strategis dalam komunitasnya terutama terkait dengan pengambilan kebijakan.

5. Beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (double burden)

Adanya anggapan bahwa perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin serta tidak cocok
untuk menjadi kepala keluarga berakibat bahwa semua pekerjaan domestik rumah tangga
menjadi tanggung jawab perempuan (Mansour Faqih, Analisis Gender dan Transformasi
Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007, h.21). Untuk keluarga miskin perempuan selain
bertanggung jawab terhadap pekerjaan domestik, mereka juga mencari nafkah sebagai
sumber mata pencarian tambahan keluarga, ini menjadikan perempuan harus bekerja ekstra
untuk mengerjakan kedua bebannya.

2.4. Perbedaan gender melahirkan ketidakadilan

Perbedaan gender sesungguhnya tidak menjadi masalah selama tidak melahirkan


kertidakadilan gender (gender inequalites). Perbedaan gender dengan pemilahan sifat, peran
dan posisi sebagaimana diuraikan di atas tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak
melahirkan ketidakadilan (Faqih, 1996: 12). Namun pada kenyataannya perbedaan gender ini
telah melahirkan berbagai ketidakadilan, bukan saja bagi kaum perempuan, tetapi juga kaum
laki-laki. Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur baik kaum laki-laki dan
perempuan menjadi korban dari sistem tersebut. Memahami perbedaan gender dapat
menyebabkan ketidakadilan gender. Hal ini dapat dilihat melalui berbagai manifestasi
ketidakadilan yang ada. Uraian berikut membahas secara ringkas masing-masing manifestasi
ketidakadilan gender:
a. Gender dan marginalisasi perempuan
Marginalisasi kaum perempuan atau peminggiran kaum perempuan dari peranan
tertentu di masyarakat sudah sering dijumpai. Hal ini bisa dilihat dari berbagai bidang
kehidupan terutama dalam hal lapangan pekerjaan. Ada pelabelan (stereotipe)
terhadap profesi tertentu, yang seakan mengharuskan masing-masing jenis kelamin
memilih profesi yang sudah disepakati. Pekerjaan rumah tangga untuk perempuan,
sedangkan profesi sopir yang gajinya lebih besar untuk laki-laki. Meski tidak jadi
jaminan, bahwa menyetir kendaraan lebih berat dibandingkan memasak, mencuci,
mengasuh anak dan sebagainya. (Sudrajat, 2008: 163).
Marginalisasi merupakan rendahnya status dan akses serta penguasaan seorang
perempuan terhadap sumber daya ekonomi, dan politik dalam pengertian kemiskinan
yang menyebabkan kemiskinan. Anggapan bahwa perempuan hanya diberi tugas
untuk menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, akan menyebabkan kondisi perempuan
terbelakang dan miskin. Marginalisasi perempuan muncul dan menunjukkan bahwa
perempuan kurang begitu diperhitungkan sehingga perempuan menjadi
dinomorduakan dan kurang diperhitungkan. Usaha ini telah menyebabkan terjadinya
proses produksi pertimbangan hubungan antara laki-laki dan perempuan.
Marginalisasi kaum perempuan tidak saja terjadi di tempat pekerjaan, tetapi terjadi
juga dalam rumah tangga, masyarakat atau kultur dan bahkan negara. Marginalisasi
terhadap perempuan sudah terjadi sejak di rumah tangga dalam bentuk diskriminasi
atas anggota keluarga yang laki-laki dan perempuan. Marginalisasi juga diperkuat
oleh adat istiadat maupun tafsir keagamaan, misalnya banyak di antara suku-suku di
Indonesia yang tidak memberi hak kepada kaum perempuan untuk mendapatkan waris
sama sekali. Sebagian tafsir keagamaan memberi hak waris setengah dari hak waris
laki-laki terhadap kaum perempuan.
b. Gender dan Subordinasi
Subordinasi merupakan pementingan peran laki-laki daripada perempuan.
Misalnya dalam pekerjaan biasanya perempuan selalu dinomorduakan yang
menyebabkan terjadi ketidakadilan gender dalam masyarakat. Pandangan gender
ternyata bisa menimbulkan subordinasi terhadap perempuan. Anggapan bahwa
perempuan itu irrasional atau emosional sehingga perempuan tidak bisa tampil
memimpin berakibat munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi
yang tidak penting. Subordinasi karena gender tersebut terjadi dalam segala macam
bentuk yang berbeda dari tempat ke tempat dan dari waktu ke waktu.Dalam rumah
tangga masih sering terdengar jika keuangan keluarga sangat terbatas dan harus
mengambil keputusan untuk menyekolahkan anak-anaknya maka anak laki-laki akan
mendapatkan prioritas utama. Praktik seperti ini sesungguhnya berangkat dari
kesadaran gender yang tidak adil.
c. Gender dan Stereoti
Stereotipe merupakan pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok
tertentu. Celakanya stereotipe selalu merugikan dan menimbulkan ketidakadilan.
Masyarakat memiliki anggapan bahwa tugas utama kaum perempuan adalah melayani
suami. Sterotipe ini berakibat wajar sekali jika pendidikan kaum perempuan
dinomorduakan. Stereotipe terhadap kaum perempuan ini terjadi dimana-mana.
Banyak peraturan pemerintah, aturan keagamaan, kultur, dan kebiasaan masyarakat
yang dikembangkan karena stereotipe tersebut. Misalnya penandaan yang berasal dari
asumsi masyarakat bahwa perempuan bersolek adalah dalam rangka memancing
perhatian lawan jenisnya, sehingga setiap ada kasus kekerasan atau pelecehan seksual
selalu dikaitkan dengan stereotipe ini. Bahkan jika ada pemerkosaan yang dialami
oleh perempuan, masyarakat berkecenderungan menyalahkan korbannya. Masyarakat
memiliki anggapan bahwa tugas utama kaum perempuan adalah melayani
suami. Stereotipe ini berakibat wajar sekali jika pendidikan kaum perempuan
dinomorduakan.
d.Gender dan kekerasan
Kekerasan (violence) adalah serangan atau invasi (assault) terhadap fisik
maupun integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan terhadap sesama manusia
pada dasarnya berasal dari berbagai sumber, namun salah satu kekerasan terhadap
satu jenis kelamin tertentu yang disebabkan oleh anggapan gender. Ini disebut gender-
related violence. Pada dasarnya, kekerasan gender disebabakan oleh ketidaksetaraan
kekuatan yang ada dalam masyarakat.
e.Gender dan beban kerja
Adanya anggapan bahwa kaum perempuan memiki sifat memelihara dan rajin
serta tidak cocok menjadi kepala rumah tangga berakibat bahwa semua pekerjaan
domestik rumah tangga menjadi tanggung jawab kaum perempuan. Konsekuensinya
banyak kaum perempuan yang harus bekerja keras dan lama untuk menjaga
kebersihan dan kerapian rumah tangganya, mulai dari membersihkan dan mengepel
lantai, memasak, mencuci, mencari air untuk mandi hingga memelihara anak. Di
kalangan keluarga miskin beban yang sangat berat ini harus ditanggung oleh
perempuan sendiri. Terlebih-lebih jika perempuan tersebut harus bekerja, maka ia
memikul beban ganda.
Manifestasi ketidakadilan gender dalam bentuk marginalisasi ekonomi, subordinasi,
kekerasan, stereotipe dan, beban kerja tersebut terjadi di berbagai tingkatan. Pertama,
manifestasi ketidakadilan gender tersebut terjadi di tingkat negara, yang
dimaksudkan di sini baik pada satu negara maupun organisasi antarnegara. Kedua,
manifestasi tersebut juga terjadi di tempat kerja, organisasi maupun dunia pendidikan.
Banyak aturan kerja, manajemen, kebijakan keorganisasian, serta kurikulum
pendidikan yang masih melanggengkan ketidakadilan gender tersebut. Ketiga,
manifestasi ketidakadilan gender juga terjadi dalam adat istiadat masyarakat di
banyak kelompok etnik, dalam kultur suku-suku atau dalam tafsiran keagamaan.
Bagaimanapun mekanisme interaksi dan pengambilan keputusan di masyarakat masih
banyak mencerminkan ketidakadilan gender tersebut. Keempat, manifestasi
ketidakadilan gender itu terjadi di lingkungan rumah tangga. Bagaimana proses
pengambilan keputusan, pembagian kerja dan interaksi antar anggota keluarga dalam
banyak rumah tangga sehari-hari dilaksanakan dengan menggunakan asumsi asumsi
bias gender. Oleh karena itu, rumah tangga juga menjadi tempat kritis dalam
menyosialisasikan ketidakadilan gender. Terakhir yang paling sulit diubah adalah
ketidakadilan gender tersebut telah mengakar di dalam keyakinan dan menjadi
ideologi kaum perempuan maupun kaum laki-laki. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa manifestasi ketidakadilan gender ini telah mengakar dalam
keyakinan masing-masing orang, keluarga hingga pada tingkat negara yang bersifat
global. (Faqih, 1996: 13-23).
2.5. Pandangan islam mengenai kesetaraan gender

Dalam Islam, Allah SWT. telah menciptakan segala sesuatunya secara adil dan sesuai dengan
kodratnya. Begitupun dengan manusia, Allah menciptakan manusia dengan kodratnya
berdasarkan keistimewaan dan kekurangan yang terdapat pada laki-laki dan perempuan.
Allah memang menciptakan laki-laki dan perempuan dengan perbedaan kodrat, namun
perbedaan kodrat tersebut seharusnya tidak lantas membuat kedudukan wanita dalam
Islam berada jauh dibawah laki-laki dan laki-laki tidak berhak berperilaku kasar, ataupun
senonok pada wanita.
Kodrat wanita seringkali dijadikan alasan untuk mengurangi ataupun merampas peran dan
bahkan hak wanita, itu seringkali terjadi dalam lingkungan masyarakat maupun keluarga.
Laki-laki seringkali dianggap sebagai yang paling dominan dan berhak untuk berkuasa atas
segala hal, karena mereka memiliki kekuatan yang lebih dari wanita. Dan perbedaan kodrat
tersebut seringkali membuat peran dan hak wanita jadi terbatasi dan pada akhirnya mayoritas
manusia berpikiran bahwa wanita hanya bisa mengambil andil urusan rumah tangga dan
harus tunduk dibawah perintah laki-laki.

Kodratnya wanita dalam islam memang memiliki fisik yang tidak sekuat laki-laki, namun hal
tersebut tidak berarti bahwa wanita tidak dapat melakukan hal lain selain kegiatan rumah
tangga. Dalam Islam wanita memiliki hak dan kedudukan yang sama dengan laki-laki
walaupun tidak dalam segala hal, maka dari itu kesetaraan gender atau emansipasi wanita
dalam Islam diperbolehkan, dengan syarat tidak melanggar kodrat mereka sebagai wanita dan
tidak membuat mereka melupakan kewajiban sebagai seorang wanita. Dalam sumber syariat
Islam seperti Al-Qur’an dan hadits pun Allah telah menjelaskan bahwa dalam Islam bukanlah
agama yang diskriminasi terhadap wanita, justru wanita dalam pandangan Islam memiliki
kemuliaan dan keistimewaan lebih dibanding kaum laki-laki. Dan dalam hadapan Allah
SWT, baik laki-laki maupun perempuan memiliki derajat yang sama, Allah tidak
membedakan derajat keduanya berdasarkan gender(jeni kelamin) yang ada pada diri mereka.
berikut adalah beberapa pandangan Islam mengenai kesetaraan gender :

1. Kesetaraan gender diperbolehkan dalam Islam


Didalam Islam tidak ada ayat ataupun dalil yang membahas ataupun melarang tentang
perkara kesetaraan gender. Keseteraan gender memang diperbolehkan namun dalam porsi
yang tidak berlebihan, tidak lantas membuat wanita menjadi pemimpin dalam segala hal.
Laki-laki tetaplah menjadi pemimpin dan pelindung bagi perempuan didalam kehidupan ini.

2. Laki-laki berkewajiban sebagai pemimpin atau kepala keluarga


Didalam kehidupan rumah tangga tetaplah menjadi peran laki-laki sebagai kepala rumah
tangga dan pemimpin didalamnya, dan wanita perlu taat terhadap laki-laki yang menjadi
pemimpin dan pelindungnya (suaminya). Sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah
SWT.

Dalam (QS. An-Nisa ayat 34), Allah berfirman :

“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan
sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-
laki) itu telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh,
adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada,
karena Allah telah menjaga (mereka). perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan
nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka `di tempat
tidur(pisah ranjang), dan (jika diperlukan) pukullah mereka. Tetapi jika meeka menaatimu,
maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Maha
Tinggi, Maha Besar.”

3. Wanita diperbolehkan menuntut ilmu setinggi-tingginya


Sebelum adanya kesetaraan gender, wanita tidak diperbolehkan untuk menuntut ilmu, dengan
dalih bahwa wanita pada akhirnya hanya akan mengerjakan tugas rumah tangga, jadi mereka
tidak perlu memiliki ilmu. Opini masyarakat yang seperti itu sebenarnya tidaklah benar dan
harus dihilangkan, dikarenakan menuntut ilmu itu adalah sebagian dari perbuatan baik. Dan
wanita pun juga membutuhkan ilmu untuk berkembang dalam kehidupan mereka dan untuk
diajarkan kepada anak-anak mereka. Dan sekarang wanita sudah dapat menuntut ilmu
setinggi-tingginya namun dengan catatan tidak melupakan kewajibannya sebagai seorang
wanita.

4. Ada batasan dalam kesetaraan gender


Wanita boleh saja sejajar dengan pria dalam banyk bidang, namun wanita tetaplah tidak boleh
berada di shaf yang sama ketika ibadah sholat, dan imam tetaplah peran pria. Kesetaraan
gender memang diperbolehkan dalam Islam, namun adda batasan-batasannya sesuai dengan
kodrat laki-laki dan wanita.

5. Allah memandang keddudukan laki-laki dan wanita sama


Allah memandang kedudukan wanita sama dengan pria baik dalam hak maupun
kewajibannya sebagai seorang muslim. Seperti firman Allah berikut ini.

Dalam (QS. An-Nahl ayat 97) Allah SWT. berfirman :

“Barang siapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan
beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri
balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”
6. Wanita berhak mendapatkan warisan
Dalam perkara warisaan, wanita juga berhak mendaopatkan warisan, namun bagiannya hanya
separuh dari bagian laki-laki. Hal tersebut dikarenakan wanita berhak mendapatkan mahar
dan nafkah, serta wanita tidka dapat berpartisipasi dalam pertahanan masyarakat, sebab itulah
bagian warisan wanita hanya separuh dari bagian laki-laki.

7. Wanita berhak terbebas dari perbudakan


Manusia pada hakikatnya dilahirkan dalam keadaan bebas atau merdeka, jadi sudah menjadi
hak wanita untuk mendapatkan kebebasan mereka dari perbudakan. Dan Islam pun melarang
umatnya untuk menjadikan wanita sebagai budak.

8. Kedudukan wanita lebih mulia dan istimewa


Di dalam Islam, kedudukan wanita lebih mulia dibandingkan kaum pria, hal tersebut pun
dikatakan dalam beberapa hadits.

Dari Abu Hurairah ra., ia berkata : “Ada seseorang datang menemui Rasulullah SAW. dan
bertanya, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku selayaknya berbuat baik?’ Beliau
menjawab, ‘Kepada ibumu!’ Orang tadi bertanya kembali, ‘Lalu kepada siapa lagi?
Rasulullah menjawab, ‘Ibumu.’ Kemudian ia mengulangi pertanyaannya, dan Rasulullah
tetap menjawab, ‘Kepada ibumu!’ Ia bertanya kembali, ‘Setelah itu kepada siapa lagi?’
Beliau menjawab, ‘Kepada bapakmu!’” (Bukhari: 5971, Muslim: 2548)
Dari beberapa pandangan Islam diatas mengenai kesetaraan gender, dapat kita ketahui,
bahwasannya Islam mendukung kesetaraan gender. Bahkan Islam sejak pertama kali lahir
telah memberikan perlindungan dan menjaga kehormatan wanita. Betapa indahnya Islam
sebagai agama, karena setiap aturan dan perintah yang ada selalu bermanfaat dan berdasarkan
untuk kebaikan umatnya.
BAB 3
PENUTUP
1.1. Kesimpulan
Gender merupakan perbedaan jenis kelamin yang bukan disebabkan oleh perbedaan
biologis dan bukan kodrat Tuhan, proses sosial budaya yang panjang. Perbedaan perilaku
antara laki-laki dan perempuan, selain disebabkan oleh faktor biologis sebagian besar justru
terbentuk melalu proses sosial dan kultural.
Diskriminasi gender merujuk kepada bentuk ketidakadilan terhadap individu tertentu,
dimana bentuknya seperti pelayanan (fasilitas) yang dibuat berdasarkan karakteristik yang
diwakili oleh individu tersebut.
a.Faktor-faktor penyebab diskiminasi gender terhadap perempuan antara lain nilai-
nilai dan budaya patriarkhi, rendahnya kapasitas perempuan, kebijakan hukum, peraturan dan
sistem yang diskriminatif, kebijakan-program yang diskriminatif.
b.Dampak dari diskriminasi gender terhadap perempuan antara lain traumatik dan
ketakutan yang berlebih, dendarm dan amarah yang tidak terkendali, rasa rendah din dan
kurang percaya diri herperilakmenyinpang serta luka fisik Dapunbatin
c.Cara memperjuagkan kesetaraan gender bagi parempuan yaitu bangun kesadaran din
membang un permalahan dan pendekatan baru bahwa mi juga menyangkut lak-laki
mengungkapkan hal-hal vang menimbulkan tekanan atau diskriminasi,
DAFTAR PUSTAKA

https://id.wikipedia.org/wiki/Gender
https://tipsserbaserbi.blogspot.com/2016/10/pengertian-gender-kesetaraan-gender-dan-
istilah-terkait.html
https://gendernews88.wordpress.com/2010/09/07/konsep-dan-teori-gender/
https://id.wikipedia.org/wiki/Kesetaraan_gender
https://tipsserbaserbi.blogspot.com/2016/10/pengertian-gender-kesetaraan-gender-dan-
istilah-terkait.html
http://toleceria.blogspot.com/2015/06/perbedaan-gender-melahirkan.html
https://dalamislam.com/info-islami/pandangan-islam-tentang-kesetaraan-gender

Anda mungkin juga menyukai