Anda di halaman 1dari 17

SOSIOLOGI GENDER

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sosiologi Terapan

Dosen Pengampu :

Fulia Aji Gustaman, S.Pd, M.A.

Disusun Oleh :

Kelompok 5

1. Fatfa Permata Ambya Sari (3401419103)

2. Dela Noviana (3401419104)

3. Bagus Purnomo (3401419105)

4. Adelia Nur Indriyani (3401419106)

5. Rosmila Yanuar Tirana (3401419107)

6. Puteri Nabila Anggraeni (3401419108)

7. Luvita Dewi (3401419109)

JURUSAN SOSIOLOGI DAN ANTROPOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan karunia-Nya
serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah mengenai “Sosiologi
Gender”
Terimakasih kepada Bapak Fulia Aji Gustaman, S.Pd, M.A. Selaku dosen
pengampu mata kuliah Sosiologi Terapan program studi Pendidikan Sosiologi dan
Antropologi mahasiswa semester 2 yang telah berkenan membimbing dalam pengerjaan
makalah yang kami susun ini.

Saya berharap laporan ini dapat berguna untuk menambah wawasan serta
pengetahuan pembaca mengenai konsep dan isu mengenai gender.
Penyusun juga menyadari bahwa dalam tugas ini masih banyak kekurangan dan
jauh dari sempurna. Untuk itu penyusun berharap adanya kritik dan saran yang
membangun untuk kesempurnaan laporan ini.

Sukoharjo , 28 Mei 2020

Kelompok 5
BAB I

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Fenomena gender sangat ramai dibicarakan dalam berbagai waktu dan


kesempatan. Gender adalah perbedaan jenis kelamin berdasarkan budaya, dimana laki-
laki dan perempuan dibedakan sesuai perannya masing-masing yang dikonstruksikan
oleh kultur setempat yang berkaitan dengan peran, sifat, kedudukan, dan posisi dalam
masyarakat tersebut. Perilaku yang menjadi identitas laki-laki maupun perempuan
dibentuk melalui proses sosial dan budaya yang telah diperkenalkan sejak lahir.
Masyarakat menentukan dan membentuk sifat-sifat individu, yang mencakup
penampilan, pakaian, sikap, dan kepribadian. Jika ia seorang laki-laki maka ia harus
terlihat maskulin, dan apabila ia perempuan maka ia harus feminim. Maskulinitas
seorang laki-laki ditunjukkan dengan karakter yang gagah berani, kuat, tangguh,
pantang menyerah, egois, dan berpikir rasional. Sedangan feminimitas seorang
perempuan ditunjukkan dengan karakter yang lembut, rendah hati, anggun, suka
mengalah, keibuan, lemah, dan dapat memahami kondisi orang lain.
Sesungguhnya perbedaan gender tidak akan menjadi masalah selama
tidak melahirkan ketidakadilan gender, namun yang menjadi persoalan ternyata
perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki
dan terutama terhadap kaum perempuan (Mansour Fakhi, 2008:12).
Ketidaksetaraan gender juga disebabkan oleh adanya sikap bias gender yang
didasarkan pengetahuan-pengetahuan masyarakat yang memiliki kecenderungan
bersifat tidak adil gender. Kultur sosial budaya yang ada menempatkan perempuan
pada kelas kedua, perempuan lebih banyak didominasi oleh kaum laki-laki. Budaya
hegemoni patriarkhi menempatkan laki-laki sebagai pemimpin dalam keluarga,
organisasi, maupun politik, sehingga partisipasi perempuan dalam mengambil
keputusan relatif rendah.
Adapun maksud dan tujuan penulis dalam menyusun makalah ini tiada lain
adalah sebagai tugas mata kuliah sosiologi terapan yang diberikan oleh dosen
pengajar sebagai tugas perkuliahan fakultas ilmu sosial universitas negeri semarang.
Selain itu, untuk menambah wawasan tentang sosiologi gender
RUMUSAN MASALAH

1. Apa yang dimaksud dengan gender?


2. Bagaimana masalah gender di Indonesia?
3. Apa yang dimaksud kelainan seksual ?
4. Apa yang dimaksud kesetaraan gender ?
5. Bagaimana konsep gender dalam realitas kehidupan manusia?
6. Apa saja masalah gender jika dihubungkan dengan politik seksual, agama dan
keadilan?
7. Bagaimana perspektif gender di masyarakat?
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian

Secara mendasar gender berbeda dari jenis kelamin biologis. Jenis kelamin
digunakan untuk membedakan laki- laki dan perempuan berdasarkan unsur biologis dan
anatomi tubuh (Encyclopedia of Feminism, 1986). Misalnya laki- laki memiliki penis,
testis, dan dapat memproduksi sperma sedangkan perempuan mempunyai alat
reproduksi yang disebut ovum, ovarium, kelenjar susu sehingga bisa merasakan
menstruasi dan hamil. Selamanya alat- alat ini tidak bisa dipertukarkan,

Perbedaan seks dan gender

SEKS GENDER
Biologis Kultural , Aday Istiadat
Pemberian Tuhan Bentukan setelah lahir
Diajarkan melalui sosialisasi internalisasi
Kodrat / alami Tergantung kebudayaan setempat
Tidak dapat diubah Dapat diubah (dinamis)
Peran seks: Peran :
Laki- laki : produksi Menjadi pemimpin, mendidik, merawat anak,
Perempuan : reproduksi bekerja di luar rumah, memasak, mengatur rumah
dll

Adapun yang dimaksud gender adalah kelompok atribut dan perilaku yang
dibentuk secara kultural yang ada pada laki- laki dan perempuan (Margert Mead, Sex
and Temperamenr in Three Primitive Societies,1935). Misalnya laki- laki dianggap
kuat, rasional dan perkasa sedangkan perempuan dianggap lemah lembut dan
emosional. Sifat- sifat ini tidak permanen dan bisa berubah, artinya bisa saja perempuan
kuat dan perkasa begitu pula sebaliknya. Gender melatarbelakangi konsekuensi
perbedaan status dan peranan yang menjadikan perbedaan hak dan kewajiban laki-laki
dan perempuan atas dasar budaya. Perbedaan status dan peran sering kali dinilai tidak
adil dan diterjemahkan sebagai diskriminasi bagi kaum perempuan.

Situasi kultural yang dibatasi oleh norma dan nilai- nilai sabagaimana
perempuan yang ideal. Hal ini menjadi batas perempuan atas persamaan haknya dengan
laki- laki. Sebagaimana dalam dunia pekerjaan, dengan berbagai alasan yang
mengharuskan perempuan tidak “menonjolkan diri” agar tidak dinilai agresif dan
berambisi yang berakibatkan perempuan terlalu focus menjadi wanita karir. Sehingga
perempuan tidak bisa mengembangkan diri walaupun dari latar belakang pendidikan
yang tinggi.

Teori gender merupakan teori yang membedakan peran antara perempuan dan laki-
laki dalam masyarakat. Menurut Lever, perbedaan ciri- ciri kepribadian perempuan dan
laki-laki terlihat sejak kanak- kanak, yaitu :

1. Anak laki- laki lebih berkesempatan bermain di luar rumah dan dengan waktu
yang lebih lama dibandingkan dengan anak perempuan
2. Permainan anak laki- laki bersifat kompetitif dan konstruktif karena anak laki-
laki dinilai lebih tekun dan efektif dibandingkan dengan anak perempuan
3. Permainan anak perempuan lebih banyak bersifat kooperatif dan di dalam
ruangan

Selain faktor biologis, bentuk tatanan masyarakat patriarki juga melatarbelakangi


laki-laki lebih dominan dalam sistem keluarga dan masyarakt sehingga menimbulkan
deskriminasi terhadap perempuan

2.2 Masalah gender dI Indonesia

persoalan gender di Indonesia dapat dilihat dari aspek ruang dan waktu atas
dasar kultur yang berlaku diberbagai waktu tertentu. Pada masa lalu, kultut budaya Jawa
menempatkan perempaun sebagai kaum yang memiliki hak-hak yang lebih sempit
dibandingkan kaum laki-laki. Seperti kaum perempuan sebagai kaum yang “dipingit”
didalam rumah, tidak boleh bekerja diluar rumah,dan tidak boleh mengenyam
pendidikan.

Pada masa di mana Raden Ajeng Kartini, perjuangan beliau akan kesetaraan
gender menjadi awal munculnya gerakan-gerakan emansipasi perempuan yang
menuntut kesetaraan. Lain halnya dengan masyarakat minangkabau yang menganut
garis keturunan ibu yang justru menempatkan kaum perempuan lebih superior
dibandingkan dengan kaum laki-laki

2.3 Kelainan seksual

Kelainan dipahami sebagai kelompok orang yang memiliki orientasi seksual


kepada sesama jenis. Dalam berbagai ajaran agama tidak menjustifikasi perilaku
kelainan seksual,sehingga keberadaannya dianggap sebagai suatu penyimpangan sosial.
Selain itu,norma dan nilai dalam masyarakat Indonesia pada umumnya tidak
membenarkan tindakan ini. Titik permasalahan dari kelainan seksual adalah perasaan
ketidaknyamanan orang-orang yang memiliki naluri seksual menyimpang ini ketika
mereka berinteraksi di masyarakat karena selalu dikelompokkan sebagai orang yang
menyimpang dan dimarginalkan. Dalam dunia pekerjaan dan interaksi kepada
masyarakat misalnya,kelompok ini seperti tidak mendapatkan tempat di dalam
masyarakat. Karena mereka merasa terpojokkan dan dikecualikan,seringkali memicu
tuntutan kelompok ini untuk diakui sebagai kelompok yang setara dengan orang-orang
yang “normal”. Selain dianggap sebagai sekelompok orang yang tidak normal,banyak
dari masyarakat menganggap kelainan seksual merupakan penyakit sosial. Maka
kenyataan ini memicu kaum homoseksual untuk melakukan aksi protes dalam menuntut
persamaan dan kesetaraan dengan orang-orang yang memiliki orientasi seks normal.
Kelompok homoseksual selalu terpinggirkan dalam segala peran di
masyarakat.terlebih lagi disaat kelompok agama menempatkan kaum homoseksual
sebagai kelompok menyimpang dan dianggap sebagai dosa besar. Sedangkan di sisi
lain,kaum homoseksual tidak menghendaki perasaan yang demikian. Artinya mereka
menderita tekanan batin sebagai akibat dirinya yang menjadi homoseks,sering kali
mereka mendapat cemooh,gunjingan dari masyarakat normal dengan sebutan
banci,waria dan tomboy. Secara cultural Indonesia belum memiliki aturan yang jelas
mengenai homoseksual, dalam agama dan biologis pun hanya mengakui dua jenis
kelamin yaitu laki-laki dan perempuan. Akan tetapi secara naluri,tidak mudah
mengklasifikasikannya,sebab ada kenyataan yang tidak bisa kita elak adalah adanya
komunitas yang memilki naluri seksual “menyimpang”. Titik permasalahan yang
muncul yaitu adanya tuntutan kesetaraan komunitas ini untuk mendapatkan pengakuan
secara legal formal dan politis,dalam arti mereka menginginkan kesetaraan dengan
kelompok norma lainnya dengan jaminan hukum dan hak-hak politis.
2.4 Kesetaraan Gender
Menurut Utami (2001),mewujudkan kesetaraan gender adalah salah satu upaya
mewujudkan demokratisasi,karena dengan adanya kesetaraan gender akan membuka
peluang akses bagi seluruh masyarakat dari segala lapisan untuk ikut serta melakukan
proses demokratisasi itu sendiri. Upaya mewujudkan kesetaraan gender sudah cukup
banyak dilakukan oleh berbagai pihak,namun realita dalam masyarakat masih banyak
terjadi ketidakadilan gender dalam berbagai aspek kehidupan dan hal tersebut banyak
dialami oleh perempuan. Di samping itu,masih banyak terdengar komentar dan argumen
orang yang keliru karena mengidentikkan gender dengan perempuan,dari kesalah
pahaman tersebut menyebabkan kebanyakan laki-laki kurang peduli dengan persoalan
gender,yang akhirnya menyebabkan posisi perempuan kian terpojokkan. Dampak buruk
akan muncul karena sekelompok orang yang tidak memamahi dan menyadari
pentingnya kesetaraan gender dalam kehidupan.
Pembagian atau pembedaan dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara
biologis,melekat pada jenis kelamin tertentu. Bersifat permanen,tidak dapat
dipertukarkan dengan jenis kelamin lain karena bersifat kodrati. Sedangkan pemahaman
gender merupakan pembedaan laki-laki dan perempuan yang dikontruksi secara sosial
maupun budaya. Karena hal tersebut dipelajari dan disosialisasikan,maka perbedaan
tersebut tidak permanen dan dapat dipertukarkan dari jenis kelamin yang satu kepada
jenis kelamin yang lain. Peranan gender timbul karena persepsi masyarakat terhadap
laki-laki dan perempuan,dalam kehidupan bersosial manusia tidak hanya dipandang
berdasarkan biologisnya saja,namun juga dari peranannya,dimana peranan tersebut di
buat,di tentukan oleh masyarakat yang diwarnai budaya,norma,dan tata nilai yang
berlaku di masyarakat tersebut. Dengan demikian,dapat disimpulkan bahwa status dan
peranan laki-laki dan perempuan bila ditinjau dari perspektif gender dapat berubah dari
satu masyarakat ke masyarakat lain,dan dari satu waktu ke waktu yang lain.
Upaya pemerintah Indonesia dalam mewujudkan kesetaraan gender dituangkan
kedalam Rancangan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender dimana dalam
Rancangan Undang-Undang tersebut memiliki dua landasan legal yang telah disepakati
bersama terkait dengan persoalan Pengarustamaan Gender (PUG) untuk kemajuan
Indonesia. (1) “Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945
Pasal 31 Ayat 1: Setiap warga negara baik perempuan maupun laki-laki mendapatkan
kesempatan setara untuk mengecap pendidikan. (2) Inpres Nomor 9 tahun 2000 tentang
Pengarustamaan Gender dalam pembangunan nasional merupakan landasan hukum
yang kuat untuk melaksanakan PUG khususnya bagi jajaran pemerintah. Undang –
Undang mengenai Kesetaraan dan Keadilan Gender (UU KKG) sama sekali tidak
bermaksud untuk memberikan keistimewaan kepada perempuan dan
mendiskriminasikan pihak laki-laki. Keberadaan Undang-Undang tersebut justru
memiliki utilitas untuk memperkuat peraturan perundang-undangan yang telah ada yang
mengatur hak dan kewajiban yang setara bagi setiap warga negara (dari sudut pandang
laki-laki dan perempuan) dan juga secara implisit membantu peraturan perundang-
undangan agar tidak bias gender.

2.5 Konsep gender dalam realitas kehidupan

Perbedaan perlakuan antara perempuan dan laki-laki mempengaruhi kehidupan


perempuan dan laki-laki, baik secara langsung maupun tidak langsung di masyarakat.
Hal ini dapat kita lihat pada realitas kehidupan di lingkungan keluarga. Menurut teori
gender, kedudukan yang terpenting bagi perempuan dalam keluarga adalah sebagai istri
dan ibu yang mengatur jalannya rumah tangga serta memelihara anak. Untuk
menjalankan tugas sebagai istri dan ibu, perempuan diharapkan dapat memasak,
menjahit, memelihara rumah, serta melahirkan. Sehubungan dengan tugas ini idealnya
tempat istri adalah rumah. Sebaliknya, menurut ideologi ini kedudukan laki-laki yang
terpentinng dalam suatu keluarga adalah sebahgai suami yang bertanggung jawab
sebagai pencari nafkah utama. Karena tugasnya sebagai pencari nafkah sering seorang
suami tidak peduli dan tidak mau tau dengan urusan rumah tangga, sebab dia merasa
sudah memberi uang untuk jalannya roda rumah tangga. Bila melihat kondisi
masyarakat pada saat ini, tampak konsep-konsep di atas sudah agak bergeser. Banyak
istri mencari nafkah di luar rumah dan penghasilan istri juga berfungsi untuk membantu
meringankan ekonomi keluarga. Di samping istri bekerja mencari nafkah di luar rumah,
tanggung jawab urusan rumah tangga tetap ada di pihak istri sehingga dapat
dibayangkan beratnya beban yang ditanggung oleh seorang istri jika ia bekerja di luar
rumah.
Setelah itu adalah di lingkungan pendidikan. Di bidang pendidikan tampak
bahwa konsep gender juga dominan. Sejak zaman kanak-kanak ada orang tua yang
memberlakukan pendidikan yang berbeda berdasarkan konsep gender; sebagai contoh
kepada anak perempuan diberi permainan boneka sementara anak laki-laki memperoleh
mobil-mobilan dan senjata sebagai permainannya. Pada zaman Kartini berlaku
perbedaan pendidikan bagi anak perempuan dan laki-laki, tampaknya sampai saat ini
juga demikian. Sebagai contoh, masyarakat kita masih menganggap bahwa anak
perempuan lebih sesuai memilih jurusan bahasa, tata boga, tata rias, sebaliknya anak
laki-laki lebih sesuai untuk jurusan teknik. Pada keluarga yang kondisi ekonominya
terbatas banyak dijumpai pendidikan lebih diutamakan bagi anak laki-laki meskipun
anak perempuannya jauh lebih pandai, keadaan ini menyebabkan lebih sedikitnya
jumlah perempuan yang berpendidkan.
Selanjutnya yaitu gender dalam lingkungan pekerjaan. Sejak kaum perempuan
dapat memperoleh pendidikan dengan baik jumlah perempuan yang mempunyai karir
atau bekerja di luar rumah menjadi lebih banyak. Kaum perempuan umumnya lebih
banyak bekerja di bidang pelayanan jasa atau pekerjaan yang membutuhkan sedikit
keterampilan seperti di bidang administrasi, perawat, atau pelayan toko dan hanya
sedikit yang menduduki jabatan manager atau pengambil keputusan. Dari segi upah
masih banyak dijumpai bahwa kaum perempuan menerima upah lebih rendah dari kaum
laki-laki untuk jenis pekerjaan yang sama juga perbedaan kesempatan yang diebrikan
antara karyawan perempuan dan laki-laki, dimana laki-laki lebih diprioritaskan. Dari
perbedaan perlakuan ini banyak yang kemudian menyimpulkan, menggolongkan, dan
kemudian menganggap perempuan sebagai orang yang lemah, pasif, serta dependen dan
menganggap laki-laki lebih berharga. Merasa bahwa perempuan diberlakukan tidak adil
di masyarakat karena adanya konsep gender membuat sebagian feminis ahli psikologi
sadar dan menganalisis kesalahan teori gender. Mereka mengajak seluruh masyarakat
terutama kaum perempuan untuk sadar bahwa selama ini mereka diberlakukan secara
tidak adil oleh konsep gender dan mengembangkan konsep baru yang mengikis
perbedaan perlakuan bagi perempuan dan laki-laki. Konsep baru ini diharapkan dapat
memberi kesempatan dan kedudukan yang sejajar bagi perempuan maupun laki-laki
untuk membuat keputusan bagi dirinya sendiri tanpa harus berorientasi pada konsep
gender.
Kemudian gender di dalam struktur politik. Dewasa ini memang kita akui bahwa
transformasi sosiokultural yang menempatkan kaum perempuan sebagai pemimpin
negara pernah terjadi di negeri ini. Akan tetapi, realitas perjalanan sejarah bangsa ini
bukan berarti perjuangan kesetaraan gender dianggap selesai, sebab perjalanan politisi
perempuan yang hendak menempatkan diri sebagai kepala negara ini masih
mendapatkan berbagai ganjalan dari pihak-pihak tertentu terlepas dari alasan normatif
yang dijadikan sebagai landasan penolakan, baik alasan kultural maupun ajaran agama
tertentu. Memang kita akui bahwa di Indonesia, di lingkungan pemerintah maupun
swasta, perempuan yang telah berhasil menduduki jabatan tinggi. Akan tetapi, secara
proporsional kuantitas dari kaum perempuan yang menduduki jabatan-jabatan strategis
masih dapat dikatakan sedikit atau tak sebanding dengan kaum laki-lakinya. Walaupun
bangsa ini pernah memiliki presiden wanita akan tetapi, kaum wanita yang merupakan
penduduk terbesar negeri ini masih saja ‘tidak terlihat’. Masih banyak wanita yang buta
huruf dan menjadi buruh. Kesempatan yang diberikan di bidang pendidikan dan peluang
untuk menduduki jabatan eksekutif pada umumnya baru dinikmati oleh segelintir
perempuan saja.

2.6 Masalah gender dan politik seksual

Keterwakilan kaum perempuan di Negara Republik Indonesia telah ditetapkan


sebuah kebijakan afirmasi (affirmative action), dimana dalam aktivitas politik dan
kebikajan publik di Negara Republik Indonesia wajib ada kaum perempuan minimal 30
%, hal tersebut dicantumkan dalam undang-undang partai politik, undangn - undang
pemilihan umum ataupun undang-undang pilkada yang berlaku diseluruh negara
republik indonesia. Walaupun kebijakan afirmasi sebagai legalitas politik, namun
keterwakilan perempuan belum memenuhi kuota tersebut, bahkan secara nasional belum
mampu meningkatkan keterwakilan kaum perempuan diruang politik secara signifikan.
Hal-hal yang memuat minimnya kaum perempuan dalam politik diantaranya terdapat
tiga pendapat yaitu : pertama, pendapat konservatif dimana kaum perempuan tidak
dibenarkan melibatkan diri dalam bidang politik, karena politik itu merupakan dunianya
kaum laki-laki, pendapat ini adalah mendukung budaya patriarkhi di dalam masyarakat.
Kedua. Pendapat Liberal Progresif, pendapat ini menyatakan bahwa kaum perempuan
diperbolehkan melibatkan dirinya dalam berbagai aktivitas politik. Sedangkan ketiga,
pendapat apologetis, pendapat ini memandang ada wilayah yang diperbolehkan
melibatkan perempuan di dalamnya, dan ada wilayah yang tidak boleh melibatkan kaum
perempuan di dalamnya hanya khusus bagi laki laki.
Keterlibatan atau keterwakilan perempuan dalam kehidupan publik memang
telah mengalami peningkatan namun partisipasi yang diharapkan seperti keterwakilan
perempuan di lembaga lembaga pemerintahan tingkat lokal, maupun nasional masih
terhitung rendah. Sebutlah tingkat kabupaten yang merupakan lapisan pemerintah paling
dekat dengan masyarakat dan bertanggungjawab terhadap pembangunan di daerah serta
pelayanan sosial bagi masyarakat. Terbatasnya keterwakilan perempuan di pemerintah
kabupaten dapat berujung pada tidak terpenuhinya kebutuhan, tidak teratasinya
kekhawatiran perempuan, dan prioritas-prioritas pembangunan dalam rencana
pembangunan daerah dan mungkin akan mempertegas marjinalisasi terhadap
perempuan dalam mendapatkan pelayanan sosial pada tingkatan lokal. Merupakan
sebuah pemberian kesempatan dan kedudukan yang sama bagi wanita untuk
melaksanakan peranannya dalam bidang eksekutif, yudikatif, legislatif, kepartaian, dan
pemilihan umum menuju keadilan dan kesetaraan gender.
Demikianlah yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor : 39 Tahun 1999
mengenai apa itu keterwakilan perempuan di dalam ruang lingkup politik. Pada
hakekatnya sesuai dengan penjelasan sebelumnya mengenai affirmative action, dimana
perempuan mendapatkan kuota 30 persen dalam aktivitas politik, termasuk didalamnya
pencalonan dari partai politik dalam mendapatkan kedudukan pada kursi di parlemen,
akan tetapi pada kenyataannya keterwakilan perempuan dalam politik hanyalah sebagai
pengisi dan pemenuhan syarat agar partai politik tidak di diskualifikasikan dari proses
pemilihan umum saja. Padahal secara tidak langsung telah ditegaskan bahwasannya
dengan pemberian kuota tersebut para laki-laki tidak dapat secara menyeluruh
mendominasi komposisi kepengurusan atau dalam kedudukan di lembaga legislatif,
yudikatif, maupun eksekutif. Untuk menunjang keterwakilan perempuan dalam
panggung politik tentunya banyak cara dan hambatan dalam penerapannya. Perempuan
seharusnya mendapatkan pendidikan politik dari partai tempatnya bernaung dalam
rangka meningkatkan kecerdasan hingga memajukan para perempuan agar mampu
tampil seimbang dengan para elite politik dari kaum laki-laki yang sudah mendominasi
secaraberkelanjutan. Sehingga para perempuan juga sadar akan hakekatnya dalam
berpolitik adalah kemudian untuk menyalurkan aspirasi masyarakat melalui
kewenangan yang dimilikinya.
Kuota 30 persen yang dimiliki oleh perempuan harus turut diimbangi dengan
peningkatan kualitas sumber saya manusianya hingga dapat bersaing dengan laki-laki.
Jadi tidak ada gunanya jika kemampuan SDM dalam memahami politik rendah dengan
adanya pemberian kuota tersebut. Disampaikan dalam Astrid Anugrah (2009) jangan
karena telah ditentukannya sistem kuota perempuan lalu kaum perempuan telah merasa
puas dengan kesempatan luas tersebut, sementara kualitas SDM yang melekat pada
dirinya sendiri adalah rendah. Kaum perempuan hendaknya menyadari sistem kuota
pada sejatinya adalah suatu media pencerdasan politik kaum perempuan. Sistem
keterwakilan perempuan menjadi proses pembelajaran dalam kerangka partisipasi
politik masyarakat dalam mengembangkan kehidupan demokrasi, mengerti hak dan
kewajibannya sebagai warganegara suatu bangsa. Jika telah memutuskan untuk terjun
dalam panggung politik, para perempuan harus menyadari bahwa keterwakilannya
dalam aktivitas politik dengan tuntutan penyetaraan gender secara alamiah tidak bisa
dituntut kembali. Seperti contohnya perempuan yang tidak dapat mewakili atasannya
melakukan lobi politik di malam hari karena alasan berjenis kelamin perempuan yang
dilarang pulang larut malam. Lantas untuk apa tuntutan penyetaraan gender jika hal
demikian masih belum mampu diatasi dan berakhir pada perssembunyian dibalik isu
gender. Jika hal tersebut masih terjadi, maka sudah sepatutnya mosi tidak percaya
terhadap keterwakilan perempuan dalam panggung politik akan terus ada hingga
kedepannya.
Kurangnya keterwakilan perempuan dalam politik tanah air, juga disebabkan
turun-temurunnya budaya dan pola pikir patriarki yang mengatakan bawha politik
adalah ranah dan ruang lingkupnya laki-laki, serta masih banyaknya perempuan yang
kurang tertarik dalam bidang politik akibat doktrin bahwa politik itu kotor. Untuk
memperbaiki keadaan dan paradigma tersebut sudah seharusnya kembali lagi kepada
pendidikan politik yang lagi-lagi harus diberikan kepada para perempuan dengan
penjelasan bahwa perempuan juga memiliki hak dan kewajiban dalam menyuarakan
aspirasinya yang kemudian dapat membentuk kebijakan-kebijakan menguntungkan bagi
para perempuan.
Sejarah Indonesia mencatat salah satu Presiden Republik Indonesia adalah
seorang perempuan, Megawati Soekarno Putri dibalik berbagai macam keraguan dari
segala pihak membutikan penerapan affirmative action yang hanya jadi slogan dari
hampir semua partai politik dalam peningkatan partisipasi politik perempuan menjadi
sesuatu yang secara tidak jelas strategi penerapannya. Gagasan peningkatan kuota dan
affirmative action yang diharapkan dapat mengurangi hambatan perempuan masuk di
dunia perpolitikan tidak ditanggapi secara tegas oleh berbagai partai politik. Saat
Megawati melakukan pencalonan menjadi seorang Presiden, lantas dikemukakan oleh
berbagai macam kalangan mengenai kualitas dan standar-standar yang sama sekali tidak
berkaitan dengan perspektif gender. Sehingga lagi-lagi jika ditelisik lebih lanjut
affirmative action banyak menghadapi pro-kontra dalam penerapannya. Hambatan
perempuan terjun ke dunia politik memang sudah adanya lebih berat daripada laki-laki,
dengan tuntutan standar dan kualitas yang sama merupakan ketidakadilan bagi para
politisi perempuan ditengah budaya patriarki yang masih sangat kental di Indonesia.
Pada kenyataannya hingga saat ini Affirmative Action yang merupakan sebuah
harapan agar perempuan mendapatkan setidaknya sesuai dengan ketentuan minimum 30
persen keikutsertaan pada setiap aktivitas publik dan politik, tampaknya belum mampu
dipenuhi. Berbagai hambatan baik dari perspektif agama, budaya, sosial, bahkan
pendidikan menjadi alasan tidak terpenuhinya kuota untuk para perempuan dapat aktif
menyetarakan dan menyuarakan hak nya dengan kaum laki-laki baik dalam ranah lokal,
nasional, hingga internasional.
Jadi dapat disimpulkan dalam memenuhi kuota 30% perempuan dalam politik
baik di badan legilatif,Eksekutif dan yudikatif secara empirik dan faktual masih terdapat
kendala, sehingga keterwakilan prempuan di Dewan Perwakilan Rakyat baik di tingkat
Kabupaten/Kota, Provinsi maupun di tingkatn Nasional masih tergolong rendah. Karena
masih ada anggapan bahwa dunia politik itu adalah dunia laki-laki, hal teerjadi karena
sistem dan struktur sosial patriarkhi telah menempakan perempuan pada posisi yang
diskriminatif. Disamping itu rendahnya pendidikan politik bagi kaum perempuan,
dukungan partai politik juga belum maksimal diberikan kepada kaum perempuan.
Dengan adanya kebijakan afirmasi (Affirmative Action) yang tertuang dalam berbagai
undang-undang negara Republik Indonesia seperti undang-undang Pemilihan Umum,
undang-undang partai politik dan lain seumpamanya belum menjamim keterwakilan
perempuan di aktivitas politik meningkat. Dengan kata lain afirmasi hanya digunakan
untuk merekrut dan mecalonkan jenis kelamin perempuan saja.

2.7 Masalah gender dan agama

Istilah gender tidak jadi permasalahan jika perbedaan kelamin manusia di dalam
struktur social itu tidak menimbulkan ketidakadilan seksual. ketidakadilan yang muncul
dari gejala gender ini berfokus pada kaum perempuan yang oleh berbagai pihak
dikatakan menjadi korban ketidakadilan di dalam struktur tersebut.

Contoh kasus tentang masalah gender dan agama salah satunya yaitu adanya
pemimpin dari kalangan perempuan. contohnya yaitu pada masa kepemimpinan
Megawati. Isu tentang haramnya pemimpin dari kalangan perempuan menjadi persoalan
yang cukup hangat. Tampilnya Megawati sebgai salah satu calon presiden di negeri ini,
lepas latar belakang isu ini muncul apakah faktor agama atau politik. Akan tetapi yang
jelas dari pihak pihak parti politik yang bernuansa islam menolak atas dasar nilai nilai
dan norma islam dimana kaum perempuan dikatakan haram untuk memimpin sebuah
negeri. Akan tetapi, dari pihak islam sendiri juga tidak sepenuhya menolak isu
haramnya kepemimpinan seorang perempuan. Misalnya fatwa ulama NU yang
ikelurkan di pasuruan, Jawa Timur sebelumnya menetapkan haramnya kepemimpinan
kaum perempuan langsung mendapa reaksi dari K.H. Masdar Mas’udi salah satu
Pelaksana Harian Ketua Umum PBNU. Memang kita akui bahwa penganut islam
sendiri dalam menanggapi isu kepemimpinan perempuan masih dalam keadaan pro dan
kontra. Titik persoalan tentang haramnya kepemimpinan agama memicu anggapan
bahwa isu ini lebih banyak bermuatan kepentingan politik diandingkan kepentingan
agama secara murni.

Gejala pro dan kontra atas keberadaan wanita jika berkedudukan sebagai
pemimpin sebuah Negara tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa agama seringkali
dituding sebagai biang dari diskriminasi gender dan anti kesetaraan.

2.8 Masalah gender dan Lahirnya Ketidakadilan


Perbedaan gender adalah perbedaan simbolis atau sosial yang berpangkal pada
gender. Setiap masyarakat mengembangkan identitas gender yang berbeda, tetapi
kebanyakan masyarakat membedakan laki-laki dan perempuan dengan maskulin dan
feminim. Maskulin identik dengan keperkasaan, bergelut disektor publik, jantan dan
agresif. Sedangan feminim identik dengan lemah lembut, berkutan disektor
dometic(rumah),persolek,pasif dan lain-lain. Paras laki-laki dan perempuan ditentukan
dari suku, tempat,umur,pendidikan dan perkembangkan zaman.
Karena memang sudah ada dari zaman dahulu kalau wanita memang selalu ada
dibawah laki-laki. Kaum wanita tidak bisa melakukan apa-apa, tapi dizaman sekarang
sudah adanya istilah kesetaraan gender yang maksudnya wanita sudah bisa melakukan
apa yang dilakukan laki-laki meskipun hanya berkerja untuk menambahkan penghasilan
keluarga. Agar kaum pria tidak menganggap kaum wanita lemah,rendah,dipandang
sebelah mata. dan kaum pria tidak semena-mena melakukan kaum wanita, dan dengan
adanya kesetaraan dalam gender kaum wanita pun dapat membela dirinya karena bisa
juga melakukan apa yang dilakukan oleh kaum pria. Agar tidak adanya lagi dikriminasi
dalam wanita dan kaum pria tidak akan memperlakukan kaum wanita dengan semena-
mena, dan kaum wanita bisa berjaga-jaga ketika suatu saat para pria banyak macam
dengan adanya kesetara jadi kaum wanita bisa melakukan apa yang dilakukan pria kan,
mereka juga bisa kerja mencari uang dengan sendirinya,
Keadilan gender tidaklah diartikan secara sempit bahwa adanya persamaan
antara laki-laki dan perempuan pada berbagai bidang. Perbedaan secara biologis
memang sangat kentara dan menimbulkan perbedaan peran tertentu yang secara sosial
telah dibakukan. Persamaan perolehan pendidikan dari spirit emansipasi telah
menjadikan kondisi sosial yang mau tidak mau mengalami perubahan. Pendidikan dan
kesempatan yang diberikan kepada kaum perempuan setidaknya membawa pencerahan-
pencerahan pada pemikiran individu (perempuan). Kalau selama ini norma sosial sangat
baku terhadap nilai patriarkhi di mana banyak kondisi-kondisi peran sosial perempuan
di dalam rumah dan di dalam masyarakat sebagai “harga mati”, maka penyimpangan
dari kacamata normatif dahulu mulai mewarnai atmosfer sosial peran, fungsi dan
tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan. Ada usaha dekonstruksi dengan diskusi
yang menghadirkan wacana terhadap kondisi apa benar memang perempuan bisa
memperoleh keluasan untuk mengekspresikan keinginan, minat atau kariernya secara
maksimal tanpa mendapat sanksi sosial berupa kecaman dan ejekan.
Perjuangan kesetaraan masih sangat panjang maka ada beberapa alternatif
pemecahan dan cara menegakkan keadilan gender.yaitu
1. Melakukan sosialisasi di dalam keluarga yang seimbang.
2. Melakukan dekonstruksi bias gender di bidang pendidikan.
3. Melakukan dekonstruksi pada nilai-nilai patriarkhi dalam konteks negara.
4. Melakukan reinterpretasi terhadap kitab suci.
5.Mendukung visi Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan yaitu
terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender.
6. Mendukung misi Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan yaitu: a.
Peningkatan kualitas hidup perempuan b. Penggalakan sosialisasi kesetaraan gender c.
Penghapusan segala bentuk tindak kekerasan terhadap perempuan d. Penegakan hak
asasi manusia (HAM) bagi perempuan e. Peningkatan kesejahteraan dan perlindungan
anak.

2.9 Perpektif gender

Permasalah gender hingga sampai saat ini masiih dalam proses yang tidak
berakhir. Ketidakadilan gender terjadi akibat perbedaan gender. Banyaknya wanita
bekerja di setor perbankan merupakan perwujudan dari kesetaraan gender. Namun
masih banyak kaum perempuan yang ketikabekerjja mendapatkan perlakuan kasar dan
mendapatkan upah yang lebih rendah ari pada laki-laki ketika bekerja di pabrik.
Berangkat dari pemahaman keadilan gender (merujuk tulisan J. Dwi Narwoko-
Bagong Suyatno ) terdapat dua teori besar dalam ilmu sosial yang melahirkan aliran
feminisme yaitu aliran status fungsionalisme dan aliran konflik.

a. Paradigma fungsionalisma dalam feminisme


Robert K. Merton dan Talcort Parsons memelopori pendekatan teori ini. Teori
memaparkan bahwa masyarakat merupakan sistem yang terdiri atas bagian dan saling
berkaitan yang didalamnya terdapat agama, pendidikan, struktural, politik sampai
keluarga. Perbedaan fungsi tidak menjadikan perpecahan antar elemen melainkansaling
melengkapi sehingga terjadi keseimbangan. Atas dasar tersebut maka pembagian peran
dan fungsi masing-masing gender agar terjadi keharmonisan antar perempuan dan laki-
laki.
Dalam aliran ini muncul pemikiran feminisme liberal , asumsi dasar feminisme
liberal yaitu bahwa kebebasan (freedom) dan kesamaan (equality) berakar dari
rasionalitas dan pemisahan antar dunia prifat dan publik. Kerangka kerja feminis liberal
bertujuan agar mendapatkan kesempatan dan hak yang sama bagi setiap individu.
Menurut teori ini apabila ada perempuan yang terbelakang itu dikarenakan karena
individu itu sendiri atau pertemuan itu sendiri.
b. Paradigma konflik dalam feminisme
Munculnya teori ini merupakan reaksi akan adanya teori struktural
fungsionalisme.teori ini memandang bahwa setiap kolompok memiliki kepentingan dan
kekuasaan yang merupakan sentral dari setiap hubungan sosial termasuk hubungan laki-
laki dan perempuan. Bagi penganut teori ini, gagasan dan ide diggunakan sebagai alat
untuk alat untuk menguasai dan melegitimasi kekuasaan, tidak terkecuali hubungan
antara laki-laki dan perempuan.
Muncul 3 (tiga) aliran yang hadir, pertama feminisme radikal. Mereka
menyebutkan ada dua sistem kelas sosial: 1) sistem kelas ekonomi yang didasarkan
pada hubungan produksi, 2) sistem kelas seks, kelas ini yang menyebabkan penindasan
terhadap perempuan. Berdasarkan pemahaman ini, aliran feminsime menganggap
bahwa pengusaan fisik perempuan oleh laki-laki, seperti hubungan seksual adalah
bentuk penindasan terhadap perempuan.
Kelompok kedua yaitu feminisme Marxis, kelompok ini menolak keyakinan
kaum feminisme radikal yang menyatakan biologi sebagai sumber perbedaan gender.
Kelompok ini menggagap bahwa penindasan perempuan merupakan bagian dari
penindasan kelas perempuan dalam hubungan prooduksi. Menurut Engles menjelaskan
bahwa penindasan perempuan bukan dikarenakan perkembangan teknologi, melainkan
karena perubahan organisasi. Karena sejak awal laki-laki yang mendominasi produksi
perdaganngan. Pada zaman kapitalisme contohnya terjadi eksploitasi laki-laki untuk
bekerja di pabrik, peremppuan dianggap sebagai mereproduksi buruh yang murah, dan
masuknya perempuan di pabrik sebagai buruh mendapatkan upah yang rendah juga.
Oleh karena itu penindasan perempuan merupakan kelanjutann dari aliran
fungsionalism. Aliran ini tidak beranggapan bahwa laki-laki sebagai permasalahnya,
melainkan sistem kapitalisme sebagai penyebabnya.
Kelompok ketiga yaitu feminisme sosialis. Kelompok ini dikenal pada tahun
1970-an. Menurut Mitcel dalam bukunya Women’s Estate bahwa penindasan
merupakan konsekuensi baik penindasan kelas ataupun patriakis atau biologi. Bagi
feminis sosialis penindasan terhadap perempuan terjadi dikelas manapun, revolusi
sosialis tidak serta merta menaikan posisi perempuan. Mereka berasumsi bahwa
penyebab keterbelakangan perempuan bukan hanya karena sistem kapitalis.
Selain aliran-aliran diatas ada satu aliran feminis yang dikenal dengan feminis
post-modern yaitu yaitu aliran yang ingin monalak pendekatan-pendejatan terdahulu
dengan melakukan konstruksi total, bukan terhadap relasi dan definisi gender, tetapi
utamanya yitu definisi perempuan. Menurut aliran ini tidak ada gagasan yang berdiri
sendiri. Pendekatan feminis post-modern dapat membantu usaha merekontruksi proses
pembentukan identitas gender dan pelembagaan identitas gender dalam lingkup
internasional, namun kelemahan pendekatan ini menurut Whitworth yaitu relativitas
menjadi inti pendekatan ini menjadi pemersulit upaya untuk mencari jalan keluar guna
meningkatkan posisi perempuan.
DAFTAR PUSTAKA

Setiadi, Elly M. Usman Kolip. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Kencana. 2013


Narwoko, J. Dwi. Bagong Suyanto. Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta:
Prenamedia Group. 2015
https://eprints.uny.ac.id/18091/3/BAB 1 09.10.002 Ris A.pdf

http://ejournal.unp.ac.id/index.php/jd/article/viewFile/2542/2148
http://ejournal.balitbangham.go.id/index.php/ham/article/download/465/pdf_1

Anda mungkin juga menyukai