Dosen Pengampu :
Disusun Oleh :
Kelompok 5
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan karunia-Nya
serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah mengenai “Sosiologi
Gender”
Terimakasih kepada Bapak Fulia Aji Gustaman, S.Pd, M.A. Selaku dosen
pengampu mata kuliah Sosiologi Terapan program studi Pendidikan Sosiologi dan
Antropologi mahasiswa semester 2 yang telah berkenan membimbing dalam pengerjaan
makalah yang kami susun ini.
Saya berharap laporan ini dapat berguna untuk menambah wawasan serta
pengetahuan pembaca mengenai konsep dan isu mengenai gender.
Penyusun juga menyadari bahwa dalam tugas ini masih banyak kekurangan dan
jauh dari sempurna. Untuk itu penyusun berharap adanya kritik dan saran yang
membangun untuk kesempurnaan laporan ini.
Kelompok 5
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian
Secara mendasar gender berbeda dari jenis kelamin biologis. Jenis kelamin
digunakan untuk membedakan laki- laki dan perempuan berdasarkan unsur biologis dan
anatomi tubuh (Encyclopedia of Feminism, 1986). Misalnya laki- laki memiliki penis,
testis, dan dapat memproduksi sperma sedangkan perempuan mempunyai alat
reproduksi yang disebut ovum, ovarium, kelenjar susu sehingga bisa merasakan
menstruasi dan hamil. Selamanya alat- alat ini tidak bisa dipertukarkan,
SEKS GENDER
Biologis Kultural , Aday Istiadat
Pemberian Tuhan Bentukan setelah lahir
Diajarkan melalui sosialisasi internalisasi
Kodrat / alami Tergantung kebudayaan setempat
Tidak dapat diubah Dapat diubah (dinamis)
Peran seks: Peran :
Laki- laki : produksi Menjadi pemimpin, mendidik, merawat anak,
Perempuan : reproduksi bekerja di luar rumah, memasak, mengatur rumah
dll
Adapun yang dimaksud gender adalah kelompok atribut dan perilaku yang
dibentuk secara kultural yang ada pada laki- laki dan perempuan (Margert Mead, Sex
and Temperamenr in Three Primitive Societies,1935). Misalnya laki- laki dianggap
kuat, rasional dan perkasa sedangkan perempuan dianggap lemah lembut dan
emosional. Sifat- sifat ini tidak permanen dan bisa berubah, artinya bisa saja perempuan
kuat dan perkasa begitu pula sebaliknya. Gender melatarbelakangi konsekuensi
perbedaan status dan peranan yang menjadikan perbedaan hak dan kewajiban laki-laki
dan perempuan atas dasar budaya. Perbedaan status dan peran sering kali dinilai tidak
adil dan diterjemahkan sebagai diskriminasi bagi kaum perempuan.
Situasi kultural yang dibatasi oleh norma dan nilai- nilai sabagaimana
perempuan yang ideal. Hal ini menjadi batas perempuan atas persamaan haknya dengan
laki- laki. Sebagaimana dalam dunia pekerjaan, dengan berbagai alasan yang
mengharuskan perempuan tidak “menonjolkan diri” agar tidak dinilai agresif dan
berambisi yang berakibatkan perempuan terlalu focus menjadi wanita karir. Sehingga
perempuan tidak bisa mengembangkan diri walaupun dari latar belakang pendidikan
yang tinggi.
Teori gender merupakan teori yang membedakan peran antara perempuan dan laki-
laki dalam masyarakat. Menurut Lever, perbedaan ciri- ciri kepribadian perempuan dan
laki-laki terlihat sejak kanak- kanak, yaitu :
1. Anak laki- laki lebih berkesempatan bermain di luar rumah dan dengan waktu
yang lebih lama dibandingkan dengan anak perempuan
2. Permainan anak laki- laki bersifat kompetitif dan konstruktif karena anak laki-
laki dinilai lebih tekun dan efektif dibandingkan dengan anak perempuan
3. Permainan anak perempuan lebih banyak bersifat kooperatif dan di dalam
ruangan
persoalan gender di Indonesia dapat dilihat dari aspek ruang dan waktu atas
dasar kultur yang berlaku diberbagai waktu tertentu. Pada masa lalu, kultut budaya Jawa
menempatkan perempaun sebagai kaum yang memiliki hak-hak yang lebih sempit
dibandingkan kaum laki-laki. Seperti kaum perempuan sebagai kaum yang “dipingit”
didalam rumah, tidak boleh bekerja diluar rumah,dan tidak boleh mengenyam
pendidikan.
Pada masa di mana Raden Ajeng Kartini, perjuangan beliau akan kesetaraan
gender menjadi awal munculnya gerakan-gerakan emansipasi perempuan yang
menuntut kesetaraan. Lain halnya dengan masyarakat minangkabau yang menganut
garis keturunan ibu yang justru menempatkan kaum perempuan lebih superior
dibandingkan dengan kaum laki-laki
Istilah gender tidak jadi permasalahan jika perbedaan kelamin manusia di dalam
struktur social itu tidak menimbulkan ketidakadilan seksual. ketidakadilan yang muncul
dari gejala gender ini berfokus pada kaum perempuan yang oleh berbagai pihak
dikatakan menjadi korban ketidakadilan di dalam struktur tersebut.
Contoh kasus tentang masalah gender dan agama salah satunya yaitu adanya
pemimpin dari kalangan perempuan. contohnya yaitu pada masa kepemimpinan
Megawati. Isu tentang haramnya pemimpin dari kalangan perempuan menjadi persoalan
yang cukup hangat. Tampilnya Megawati sebgai salah satu calon presiden di negeri ini,
lepas latar belakang isu ini muncul apakah faktor agama atau politik. Akan tetapi yang
jelas dari pihak pihak parti politik yang bernuansa islam menolak atas dasar nilai nilai
dan norma islam dimana kaum perempuan dikatakan haram untuk memimpin sebuah
negeri. Akan tetapi, dari pihak islam sendiri juga tidak sepenuhya menolak isu
haramnya kepemimpinan seorang perempuan. Misalnya fatwa ulama NU yang
ikelurkan di pasuruan, Jawa Timur sebelumnya menetapkan haramnya kepemimpinan
kaum perempuan langsung mendapa reaksi dari K.H. Masdar Mas’udi salah satu
Pelaksana Harian Ketua Umum PBNU. Memang kita akui bahwa penganut islam
sendiri dalam menanggapi isu kepemimpinan perempuan masih dalam keadaan pro dan
kontra. Titik persoalan tentang haramnya kepemimpinan agama memicu anggapan
bahwa isu ini lebih banyak bermuatan kepentingan politik diandingkan kepentingan
agama secara murni.
Gejala pro dan kontra atas keberadaan wanita jika berkedudukan sebagai
pemimpin sebuah Negara tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa agama seringkali
dituding sebagai biang dari diskriminasi gender dan anti kesetaraan.
Permasalah gender hingga sampai saat ini masiih dalam proses yang tidak
berakhir. Ketidakadilan gender terjadi akibat perbedaan gender. Banyaknya wanita
bekerja di setor perbankan merupakan perwujudan dari kesetaraan gender. Namun
masih banyak kaum perempuan yang ketikabekerjja mendapatkan perlakuan kasar dan
mendapatkan upah yang lebih rendah ari pada laki-laki ketika bekerja di pabrik.
Berangkat dari pemahaman keadilan gender (merujuk tulisan J. Dwi Narwoko-
Bagong Suyatno ) terdapat dua teori besar dalam ilmu sosial yang melahirkan aliran
feminisme yaitu aliran status fungsionalisme dan aliran konflik.
http://ejournal.unp.ac.id/index.php/jd/article/viewFile/2542/2148
http://ejournal.balitbangham.go.id/index.php/ham/article/download/465/pdf_1