Disusun oleh:
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2020
Perempuan dan Kebudayaan
Kata gender dalam bahasa Indonesia dipinjam dari bahasa Inggris. Menurut kamus,
tidak secara jelas dibedakan pengertian seks dan gender. Echols dan Shadily (dalam Sutinah,
2004) misalnya menyebutkan bahwa gender berarti jenis kelamin. Gender adalah perbedaan
yang tampak pada laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai dan perilaku. Kendati
Gender berbeda dengan jenis kelamin (seks). Margert Mead (1935) misalnya telah
menyatakan bahwa jenis kelamin (seks) adalah biologis dan perilaku gender adalah
konstruksi social. Seks adalah pembagian jenis kelamin yang ditentukan secara biologis dan
melekat pada jenis kelamin tertentu. Karenanya, konsep jenis kelamin digunakan untuk
membedakan laki-laki dan perempuan berdasarkan unsur biologis dan anatomi tubuh (Tuttle,
1986). Misalnya, laki-laki memiliki jakun, penis, memproduksi sperma, dan ciri-ciri biologis
lainnya yang berbeda dari perempuan. Perempuan misalnya memiliki alat reproduksi seperti
rahim, dan alat-alat reproduksi lainnya sehingga bisa haid, hamil, melahirkan, menyusui
(fungsi reproduksi). Perbedaan antara laki-laki dan perempuan secara seks, biologis dan
anatomis ini adalah bersifat bawaan (sejak lahir), permanen (tetap), tidak dapat
pembedaan antara laki-laki dan perempuan secara social. Gender adalah kelompok atribut,
perilaku, posisi, perilaku dan peran yang dibentuk secara social budaya kepada laki-laki dan
perempuan. Misalnya, perempuan dianggap lemah lembut, emosional, keibuan, dan lain
sebagainya. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, perkasa, dan sebagainya. Ternyata,
sifat-sifat tersebut bukan kodrati (ciptaan Tuhan), karena tidak bertahan selamanya, dan dapat
pula dipertukarkan. Artinya, laki-laki ada yang emosional, lemah lembut, sebaliknya
perempuan pun ada juga yang kuat, rasional, dan sebagainya. Berikut ini akan disajikan
bagan yang memuat perbedaan antara jenis kelamin (seks) dan gender beserta contohnya
(Contoh: Alat kelamin laki-laki dan Contoh: Peran dalam kegiatan sehari-hari, seperti
Contoh: Laki-laki memiliki ciri-ciri utama Contoh: Pengaturan jumlah anak dalam suatu
6. Ciptaan Tuhan
Contoh: Laki-laki dan perempuan berhak menjadi
Contoh: Perempuan bisa haid, hamil, calon ketua RT, RW, kepala desa, bahkan presiden.
tidak bisa.
antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi social budaya (non-biologis). Pemahaman
dan pembedaan antara konsep jenis kelamin (seks) dan gender seperti tersebut di atas
persoalan ketidakadilan dan diskriminasi yang menimpa kaum perempuan selama ini. Karena
seperti dikatakan oleh Fakih (dalam Sutinah, 2004) bahwa, berbagai ketidakadilan social
yang menimpah kaum perempuan tersebut disebabkan karena adanya kaitan erat antara
struktur ketidakadilan masyarakat secara luas. Dengan kata lain, persoalan sosio-struktural
dalam bentuk kebijakan tetapi juga persoalan sosio cultural (budaya) adalah yang paling
banyak dianggap sebagai akar persoalan ketidakadilan dan diskriminasi terhadap kaum
perempuan. Pemahaman atas konsep gender sangat diperlukan dalam melakukan analisis dan
seksual dan sangat memberikan variasi dalam perannya, baik dalam satu budaya maupun
budaya lainnya atau bahkan sampai pada pengelompokan strata sosial. Pada bagian lain laki-
laki dan perempuan memberikan ruang dan peran tersendiri untuk saling melengkapi dalam
proses kehidupan. Kebudayaan berasal dari bahasa sanskerta yaitu buddhaya yang merupakan
bentuk jamak dari dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan
dengan budi dan akal. Ada pendapat lain mengatakan budaya berasal dari kata budi dan daya,
budi merupakan unsur rohani sedangkan daya merupakan unsur jasmani manusia. Dengan
demikian budaya merupakan hasil dan daya dari manusia. Secara umum dapat dikatakan
bahwa setiap kebudayaan mempunyai citra yang jelas tentang bagaimana laki-laki dan
perempuan seharusnya bertindak. Pada umumnya laki-laki adalah orang yang lebih kuat,
lebih aktif, serta ditandai dengan kebutuhan yang besar mencapai tujuan dominasi, otonomi,
dan agresi. Sebaliknya perempuan dipandang sebagai lebih lemah dan kurang aktif, lebih
menaruh perhatian, pada afiliasi, berkeinginan untuk mengasuh, serta mengalah. Pandangan
umum yang demikian akhirnya melahirkan citra diri baik tentang laki-laki maupun
perempuan. Citra diri yang demikian inilah yang kemudian disebut banyak orang sebagai
stereotip.
Sebagai sebuah konstruk budaya sosial, gender memang telah memberikan makna
terhadap peran laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Dengan makna yang diberikan
kepada laki-laki dan perempuan tersebut, masyarakat membuat pembagian kerja atau peran
antara laki-laki dan perempuan. Akan tetapi pebagian peran tersebut dalam kenyataannya
tidak didasarkan pada azas kesetaraan dan keadilan, bahwa laki-laki dan perempuan memiliki
hak dan tanggungjawab yang sama sebagai manusia. Realita yang terjadi dalam pembagian
Ann Oakley (dalam Sutinah, 2004) mengatakan bahwa gender merupakan alat
analisis yang baik untuk memahami persoalan diskriminasi terhadap kaum perempuan secara
dikonstruksi secara social dan budaya. Dan ternyata, perbedaan gender antara laki-laki dan
perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang, melalui proses sosialisasi, penguatan,
konstruksi social budaya bahkan melalui kekuasaan negara. Sedemikian panjang dan lamanya
proses “genderisasi” secara social budaya tersebut sehingga lambat laun perbedaan gender
antara laki-laki dan perempuan sebagai konstruksi social budaya menjadi seolah-olah
ketentuan dari Tuhan, atau bersifat kodrati dan biologis yang tidak dapat diubah lagi. Artinya,
ada anggapan sebagian besar masyarakat yang namanya kodrat wanita adalah hasil konstruksi
social dan budaya atau gender. Gender mempengaruhi keyakinan manusia serta budaya
masyarakat tentang bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berpikir dan bertindak
sesuai dengan ketentuan social tersebut. Pembedaan yang ditentukan oleh aturan masyarakat
menentukan apa yang mereka anggap sebagai suatu keharusan, untuk membedakan antara
laki-laki dan perempuan. Misalnya, mendidik anak, mengelola dan merawat kebersihan dan
keindahan rumah tangga, atau urusan domestik seperti mencuci, memasak dan merawat anak
acapkali dianggap sebagai kodrat wanita. Padahal peran gender semacam itu adalah hasil
konstruksi social budaya dalam masyarakat. Peran-peran gender semacam itu bisa pula
dilakukan oleh laki-laki. Oleh karena itu, jenis pekerjaan bisa dipertukarkan dan tidak bersifat
universal.
5. Peran Perempuan
Pada umumnya masyarakat di Indonesia, pembagian kerja antara lelaki dan
perempuan menggambarkan peran perempuan. Basis awal dari pembagian kerja menurut
jenis kelamin ini tidak diragukan lagi terkait dengan kebedaan peran lelaki dan
ditampilkan oleh seorang perempuan. Analisis peran perempuan dapat dilakukan dari
perspektif posisi mereka dalam berurusan dengan pekerjaan produktif tidak langsung
100% untuk keluarga. Pembagian kerja sangat jelas, yaitu perempuan di rumah dan
2. Peran transisi mempolakan peran tradisi lebih utama dari peran yang lain. Pembagian
peran domestik dan publik dalam posisi sama penting. Dukungan moral suami pemicu
ketegaran atau sebaliknya keengganan suami akan memicu keresahan atau bahkan
4. Peran egalitarian menyita waktu dan perhatian perempuan untuk kegiatan di luar.
Dukungan moral dan tingkat kepedulian lelaki sangat hakiki untuk menghindari
konflik kepentingan pemilahan dan pendistribusian peranan. Jika tidak, yang terjadi
kesendirian. Jumlahnya belum banyak. Akan tetapi benturan demi benturan dari
dominasi lelaki atas perempuan yang belum terlalu peduli pada kepentingan
Dalam perkembangan kajian peran perempuan, konsep peran seks (sex roles) memberi
makna tersendiri. Peran seks adalah seperangkat atribut dan ekspektasi yang diasosiasikan
dengan perbedaan gender, dengan hal ihwal menjadi laki-laki atau perempuan dalam
masyarakat. Menurut teori fungsionalisme (functionalism), peran seks (seperti peran yang
sosialisasi (socialization). Norma yang cenderung terjadi dewasa ini adalah hubungan
antara laki-laki dan perempuan telah berubah seiring dengan perkembangan secara
bertahap perihal keluarga yang berkesetaraan (Nicholas Abercrombie, dkk. 2010: 501).
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi peran gender perempuan baik di dalam
kegiatan rumah tangga maupun dalam masyarakat yang lebih luas. Beberapa faktor pembatas
1. Status Sosial
kesehatan, dan posisi dalam proses pengambilan keputusan umumnya memberikan dampak
norma tradisional. Pada umumnya pekerjaan gender perempuan dikaitkan dengan kegiatan
rumah tangga
3. Status Pekerjaan
Sering terjadi pembedaan posisi untuk gender yang berbeda. Perempuan sering
4. Beban Ganda
Kaum perempuan memiliki peran ganda yang jauh lebih banyak dibandingkan laki-
laki. Masalah mempersatukan keluarga dengan pekerjaan bagi perempuan jauh lebih rumit
dibandingkan dengan laki-laki, karena perempuan secara tradisional selalu diasumsikan untuk
selalu berada dekat dengan anak-anaknya sepanjang hari, sekaligus mengerjakan pekerjaan
rumah tangga.
7. Kesimpulan
Baik laki laki maupun perempuan memiliki porsi sendiri dalam kegiatan sehari hari,
tiap dari mereka memiliki kekhasan sendiri, namun di negara kita masih terdapat diskriminasi
dibawah laki laki, mindset masyarakat perlu diubah untuk menciptakan keseimbangan gender
(terhadap perempuan maupun laki laki) sehingga tidak ada lagi penindasan terhadap kaum
perempuan.
Daftar Pustaka
https://www.jurnalperempuan.org/wacana-feminis/seks-gender-dan-konstruksi-
sosial
https://media.neliti.com/media/publications/285802-gender-dalam-persfektif-budaya-dan-
bahas-2a9d076d.pdf
https://media.neliti.com/media/publications/43930-ID-hambatan-sosial-budaya-
dalam-pengarusutamaan-gender-di-indonesia-socio-cultural.pdf