Anda di halaman 1dari 11

MANUSIA DAN KEBUDAYAAN INDONESIA

PEREMPUAN DAN KEBUDAYAAN

Disusun oleh:

1. M. Gilang Prasetyo (195110200111033)

2. Gusti Nishfi Nirmala Sari (195110200111034)

3. Habrizal Bintang Pamungkas (195110200111035)

FAKULTAS ILMU BUDAYA

PROGRAM STUDI SASTRA JEPANG

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2020
Perempuan dan Kebudayaan

(Konsep Gender dalam Perspektif Sosial dan Budaya)

1. Pengertian Gender secara Leksikal (Menurut Kamus).

Kata gender dalam bahasa Indonesia dipinjam dari bahasa Inggris. Menurut kamus,

tidak secara jelas dibedakan pengertian seks dan gender. Echols dan Shadily (dalam Sutinah,

2004) misalnya menyebutkan bahwa gender berarti jenis kelamin. Gender adalah perbedaan

yang tampak pada laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai dan perilaku. Kendati

demikian, gender sebetulnya berbeda dari seks (jenis kelamin).

2. Perbedaan Gender dan Seks

Gender berbeda dengan jenis kelamin (seks). Margert Mead (1935) misalnya telah

menyatakan bahwa jenis kelamin (seks) adalah biologis dan perilaku gender adalah

konstruksi social. Seks adalah pembagian jenis kelamin yang ditentukan secara biologis dan

melekat pada jenis kelamin tertentu. Karenanya, konsep jenis kelamin digunakan untuk

membedakan laki-laki dan perempuan berdasarkan unsur biologis dan anatomi tubuh (Tuttle,

1986). Misalnya, laki-laki memiliki jakun, penis, memproduksi sperma, dan ciri-ciri biologis

lainnya yang berbeda dari perempuan. Perempuan misalnya memiliki alat reproduksi seperti

rahim, dan alat-alat reproduksi lainnya sehingga bisa haid, hamil, melahirkan, menyusui

(fungsi reproduksi). Perbedaan antara laki-laki dan perempuan secara seks, biologis dan

anatomis ini adalah bersifat bawaan (sejak lahir), permanen (tetap), tidak dapat

dipertukarkan, dan kodrati (ciptaan Tuhan).

Sedangkan gender adalah suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan

pembedaan antara laki-laki dan perempuan secara social. Gender adalah kelompok atribut,

perilaku, posisi, perilaku dan peran yang dibentuk secara social budaya kepada laki-laki dan
perempuan. Misalnya, perempuan dianggap lemah lembut, emosional, keibuan, dan lain

sebagainya. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, perkasa, dan sebagainya. Ternyata,

sifat-sifat tersebut bukan kodrati (ciptaan Tuhan), karena tidak bertahan selamanya, dan dapat

pula dipertukarkan. Artinya, laki-laki ada yang emosional, lemah lembut, sebaliknya

perempuan pun ada juga yang kuat, rasional, dan sebagainya. Berikut ini akan disajikan

bagan yang memuat perbedaan antara jenis kelamin (seks) dan gender beserta contohnya

(Meneg PP: Panduan Gender dalam Perencanaan Partisipatif, 2002)

Perbedaan Antara Jenis Kelamin dan Gender Beserta Contohnya

Jenis Kelamin (seks) (Gender)

1. Tidak dapat berubah 1. Dapat berubah

(Contoh: Alat kelamin laki-laki dan Contoh: Peran dalam kegiatan sehari-hari, seperti

perempuan) lebih banyak perempuan jadi juru masak jika di

rumah, tetapi jika di restoran lebih banyak laki-laki


2. Tidak dapat dipertukarkan
jadi juru masak
(Contoh: Jakun pada laki-laki dan payudara 2. Dapat dipertukarkan

pada perempuan) Contoh: Di Jawa misalnya, pada zaman penjajahan

Belanda kaum perempuan tidak memperoleh hak


3. Berlaku sepanjang masa
pendidikan. Setelah Indonesia merdeka, perempuan
(Contoh: Status sebagai laki-laki atau
memiliki kebebasan untuk mengikuti pendidikan.
perempuan)
3. Tergantung kebudayaan dan kebiasaan

4. Berlaku di mana saja Contoh: Pembatasan kesempatan di bidang pekerjaan

terhadap perempuan dikarenakan budaya setempat,


Contoh: Di rumah, di kantor, dan dimanapun
antara lain: diutamakan untuk menjadi perawat, guru
berada, seorang laki-laki atau perempuan tetap
TK, pengasuh anak.
laki-laki dan perempuan
4. Tergantung kebudayaan setempat
5. Merupakan kodrat Tuhan 5. Bukan merupakan kodrat Tuhan

Contoh: Laki-laki memiliki ciri-ciri utama Contoh: Pengaturan jumlah anak dalam suatu

yang berbeda dengan ciri-ciri utama keluarga.

perempuan. Misalnya: jakun


6. Buatan manusia

6. Ciptaan Tuhan
Contoh: Laki-laki dan perempuan berhak menjadi

Contoh: Perempuan bisa haid, hamil, calon ketua RT, RW, kepala desa, bahkan presiden.

melahirkan dan menyusui, sedangkan laki-laki

tidak bisa.

Gender juga dipahami sebagai sebuah konsep untuk mengidentifikasikan perbedaan

antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi social budaya (non-biologis). Pemahaman

dan pembedaan antara konsep jenis kelamin (seks) dan gender seperti tersebut di atas

sesungguhnya sangat diperlukan dalam melakukan kajian untuk memahami berbagai

persoalan ketidakadilan dan diskriminasi yang menimpa kaum perempuan selama ini. Karena

seperti dikatakan oleh Fakih (dalam Sutinah, 2004) bahwa, berbagai ketidakadilan social

yang menimpah kaum perempuan tersebut disebabkan karena adanya kaitan erat antara

perbedaan gender (gender differences) dan ketidakadilan gender (gender inequalities) dengan

struktur ketidakadilan masyarakat secara luas. Dengan kata lain, persoalan sosio-struktural

dalam bentuk kebijakan tetapi juga persoalan sosio cultural (budaya) adalah yang paling

banyak dianggap sebagai akar persoalan ketidakadilan dan diskriminasi terhadap kaum

perempuan. Pemahaman atas konsep gender sangat diperlukan dalam melakukan analisis dan

kajian gender nantinya.

3. Konsep Gender dan Budaya


Budaya adalah akal budi sebagai bagian yang memiliki peran dalam didasarkan pada

seksual dan sangat memberikan variasi dalam perannya, baik dalam satu budaya maupun

budaya lainnya atau bahkan sampai pada pengelompokan strata sosial. Pada bagian lain laki-

laki dan perempuan memberikan ruang dan peran tersendiri untuk saling melengkapi dalam

proses kehidupan. Kebudayaan berasal dari bahasa sanskerta yaitu buddhaya yang merupakan

bentuk jamak dari dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan

dengan budi dan akal. Ada pendapat lain mengatakan budaya berasal dari kata budi dan daya,

budi merupakan unsur rohani sedangkan daya merupakan unsur jasmani manusia. Dengan

demikian budaya merupakan hasil dan daya dari manusia. Secara umum dapat dikatakan

bahwa setiap kebudayaan mempunyai citra yang jelas tentang bagaimana laki-laki dan

perempuan seharusnya bertindak. Pada umumnya laki-laki adalah orang yang lebih kuat,

lebih aktif, serta ditandai dengan kebutuhan yang besar mencapai tujuan dominasi, otonomi,

dan agresi. Sebaliknya perempuan dipandang sebagai lebih lemah dan kurang aktif, lebih

menaruh perhatian, pada afiliasi, berkeinginan untuk mengasuh, serta mengalah. Pandangan

umum yang demikian akhirnya melahirkan citra diri baik tentang laki-laki maupun

perempuan. Citra diri yang demikian inilah yang kemudian disebut banyak orang sebagai

stereotip.

Sebagai sebuah konstruk budaya sosial, gender memang telah memberikan makna

terhadap peran laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Dengan makna yang diberikan

kepada laki-laki dan perempuan tersebut, masyarakat membuat pembagian kerja atau peran

antara laki-laki dan perempuan. Akan tetapi pebagian peran tersebut dalam kenyataannya

tidak didasarkan pada azas kesetaraan dan keadilan, bahwa laki-laki dan perempuan memiliki

hak dan tanggungjawab yang sama sebagai manusia. Realita yang terjadi dalam pembagian

peran tersebut lebih banyak didasarkan pada budaya patriarki.


4. Gender Sebagai Konstruksi Sosial Budaya

Ann Oakley (dalam Sutinah, 2004) mengatakan bahwa gender merupakan alat

analisis yang baik untuk memahami persoalan diskriminasi terhadap kaum perempuan secara

umum. Ditegaskan bahwa gender adalah pembagian laki-laki dan perempuan yang

dikonstruksi secara social dan budaya. Dan ternyata, perbedaan gender antara laki-laki dan

perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang, melalui proses sosialisasi, penguatan,

konstruksi social budaya bahkan melalui kekuasaan negara. Sedemikian panjang dan lamanya

proses “genderisasi” secara social budaya tersebut sehingga lambat laun perbedaan gender

antara laki-laki dan perempuan sebagai konstruksi social budaya menjadi seolah-olah

ketentuan dari Tuhan, atau bersifat kodrati dan biologis yang tidak dapat diubah lagi. Artinya,

ada anggapan sebagian besar masyarakat yang namanya kodrat wanita adalah hasil konstruksi

social dan budaya atau gender. Gender mempengaruhi keyakinan manusia serta budaya

masyarakat tentang bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berpikir dan bertindak

sesuai dengan ketentuan social tersebut. Pembedaan yang ditentukan oleh aturan masyarakat

dan bukan biologis itu dianggap sebagai ketentuan Tuhan.

Masyarakat sebagai suatu kelompok, menciptakan perilaku pembagian gender untuk

menentukan apa yang mereka anggap sebagai suatu keharusan, untuk membedakan antara

laki-laki dan perempuan. Misalnya, mendidik anak, mengelola dan merawat kebersihan dan

keindahan rumah tangga, atau urusan domestik seperti mencuci, memasak dan merawat anak

acapkali dianggap sebagai kodrat wanita. Padahal peran gender semacam itu adalah hasil

konstruksi social budaya dalam masyarakat. Peran-peran gender semacam itu bisa pula

dilakukan oleh laki-laki. Oleh karena itu, jenis pekerjaan bisa dipertukarkan dan tidak bersifat

universal.

5. Peran Perempuan
Pada umumnya masyarakat di Indonesia, pembagian kerja antara lelaki dan

perempuan menggambarkan peran perempuan. Basis awal dari pembagian kerja menurut

jenis kelamin ini tidak diragukan lagi terkait dengan kebedaan peran lelaki dan

perempuan dalam fungsi reproduksi. Dalam masyarakat mempresentasikan peran yang

ditampilkan oleh seorang perempuan. Analisis peran perempuan dapat dilakukan dari

perspektif posisi mereka dalam berurusan dengan pekerjaan produktif tidak langsung

(domestik) dan pekerjaan produktif langsung (publik), yaitu sebagai berikut;

1. Peran Tradisi menempatkan perempuan dalam fungsi reproduksi (mengurus

rumahtangga, melahirkan dan mengasuh anak, serta mengayomi suami). Hidupnya

100% untuk keluarga. Pembagian kerja sangat jelas, yaitu perempuan di rumah dan

lelaki di luar rumah.

2. Peran transisi mempolakan peran tradisi lebih utama dari peran yang lain. Pembagian

tugas mengikuti aspirasi gender, tetapi eksistensi mempertahankan keharmonisan dan

urusan rumahtangga tetap tanggungjawab perempuan

3. Dwiperan memposisikan perempuan dalam kehidupan dua dunia, yaitu menempatkan

peran domestik dan publik dalam posisi sama penting. Dukungan moral suami pemicu

ketegaran atau sebaliknya keengganan suami akan memicu keresahan atau bahkan

menimbulkan konflik terbuka atau terpendam

4. Peran egalitarian menyita waktu dan perhatian perempuan untuk kegiatan di luar.

Dukungan moral dan tingkat kepedulian lelaki sangat hakiki untuk menghindari

konflik kepentingan pemilahan dan pendistribusian peranan. Jika tidak, yang terjadi

adalah masing-masing akan saling berargumentasi untuk mencari pembenaran atau

menumbuhkan ketidaknyamanan suasana kehidupan berkeluarga.


5. Peran kontemporer adalah dampak pilihan perempuan untuk mandiri dalam

kesendirian. Jumlahnya belum banyak. Akan tetapi benturan demi benturan dari

dominasi lelaki atas perempuan yang belum terlalu peduli pada kepentingan

perempuan mungkin akan meningkatkan populasinya (Aida Vitalaya, 2010 :145).

Dalam perkembangan kajian peran perempuan, konsep peran seks (sex roles) memberi

makna tersendiri. Peran seks adalah seperangkat atribut dan ekspektasi yang diasosiasikan

dengan perbedaan gender, dengan hal ihwal menjadi laki-laki atau perempuan dalam

masyarakat. Menurut teori fungsionalisme (functionalism), peran seks (seperti peran yang

lain) merefleksikan norma-norma sosial yang bertahan dan merupakan pola-pola

sosialisasi (socialization). Norma yang cenderung terjadi dewasa ini adalah hubungan

antara laki-laki dan perempuan telah berubah seiring dengan perkembangan secara

bertahap perihal keluarga yang berkesetaraan (Nicholas Abercrombie, dkk. 2010: 501).

6. Hambatan Sosial Budaya yang Mempengaruhi Peran Gender Perempuan

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi peran gender perempuan baik di dalam

kegiatan rumah tangga maupun dalam masyarakat yang lebih luas. Beberapa faktor pembatas

menurut Licuanan (dalam Suradisastra,1998) adalah sebagai berikut:

1. Status Sosial

Status gender perempuan terutama yang berkaita dengan proses pendidikan,

kesehatan, dan posisi dalam proses pengambilan keputusan umumnya memberikan dampak

tertentu terhadap produktivitas mereka.

2. Hambatan Memperoleh Pekerjaan


Peluang gender tertentu guna memperoleh pekerjaan sering dihubungkan denga

norma tradisional. Pada umumnya pekerjaan gender perempuan dikaitkan dengan kegiatan

rumah tangga

3. Status Pekerjaan

Sering terjadi pembedaan posisi untuk gender yang berbeda. Perempuan sering

memperoleh posisi yang lebih rendah dari rekannya laki-laki

4. Beban Ganda

Kaum perempuan memiliki peran ganda yang jauh lebih banyak dibandingkan laki-

laki. Masalah mempersatukan keluarga dengan pekerjaan bagi perempuan jauh lebih rumit

dibandingkan dengan laki-laki, karena perempuan secara tradisional selalu diasumsikan untuk

selalu berada dekat dengan anak-anaknya sepanjang hari, sekaligus mengerjakan pekerjaan

rumah tangga.

7. Kesimpulan

Baik laki laki maupun perempuan memiliki porsi sendiri dalam kegiatan sehari hari,

tiap dari mereka memiliki kekhasan sendiri, namun di negara kita masih terdapat diskriminasi

terhadap perempuan, sehingga menyebabkan pemikiran bahwa kodrat perempuan masih

dibawah laki laki, mindset masyarakat perlu diubah untuk menciptakan keseimbangan gender

(terhadap perempuan maupun laki laki) sehingga tidak ada lagi penindasan terhadap kaum

perempuan.
Daftar Pustaka

1. https://www.jurnalperempuan.org/. (2015, 23 November). Seks, Gender, dan

Konstruksi Sosial. Diakses pada 10 Oktober 2020, dari

https://www.jurnalperempuan.org/wacana-feminis/seks-gender-dan-konstruksi-

sosial

2. http://sosiologis.com/. (2017, 6 November). Gender Sebagai Konstruksi Sosial.

Diakses pada 10 Oktober 2020, dari http://sosiologis.com/pengertian-gender


3. https://media.neliti.com/. (2018, Desember). Gender Dalam Persfektif Budaya dan

Bahasa. Diakses pada 10 Oktober 2020, dari

https://media.neliti.com/media/publications/285802-gender-dalam-persfektif-budaya-dan-

bahas-2a9d076d.pdf

4. https://media.neliti.com/ (Tanpa Tahun). Hambatan Sosial Budaya dalam

Pengarusutamaan Gender di Indonesia. Diakses pada 10 Oktober 2020, dari

https://media.neliti.com/media/publications/43930-ID-hambatan-sosial-budaya-

dalam-pengarusutamaan-gender-di-indonesia-socio-cultural.pdf

Anda mungkin juga menyukai