Anda di halaman 1dari 25

RESUME

KOMUNIKASI GENDER

(Resume di susun untuk memenuhi tugas harian mata kuliah Komunikasi Gender
yang di ampu oleh Dosen Rahmawati Latief, M.Soc.Sc)
Penyusun:
Andi Mulkhairi/50500120052

JURUSAN JURNALISTIK

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

TAHUN 2023
Kata Pengantar

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya,
penulis dapat menyelesaikan tugas resume materi mata kuliah “Komunikasi Gender”.

Resume ini disusun untuk memenuhi tugas harian. Selain itu, makalah ini
bertujuan menambah wawasan tentang komunikasi gender bagi para pembaca dan
juga bagi penulis.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Rahmawati Latif selaku Dosen
pengampu mata kuliah komunikasi gender. Ucapan terima kasih juga disampaikan
kepada semua pihak yang telah membantu diselesaikannya resume ini.

Penulis menyadari resume ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran
dan kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Makassar, 5 Juni 2023

Penulis
MATERI KOMUNIKASI GENDER

A. Materi Pertama: Perbedaan Seks dan Gender

Perbedaan antara seks dan gender adalah sebagai berikut:

Seks: Seks merujuk pada karakteristik biologis dan fisiologis seseorang yang
ditentukan oleh kromosom seks mereka, organ reproduksi, dan hormon seks. Secara
umum, ada dua jenis kelamin biologis, yaitu pria dan wanita. Seseorang yang lahir
dengan kromosom XX dianggap sebagai perempuan, sedangkan seseorang yang lahir
dengan kromosom XY dianggap sebagai laki-laki. Namun, penting untuk dicatat
bahwa ada variasi alamiah dalam kelamin biologis, seperti kondisi interseks, di mana
individu memiliki kombinasi kromosom atau karakteristik seks yang tidak
konvensional.

Gender: Gender merujuk pada konstruksi sosial, peran, perilaku, dan identitas yang
diatributkan kepada individu berdasarkan norma-norma sosial yang ada dalam suatu
masyarakat. Gender melibatkan peran-peran dan ekspektasi yang ditempatkan pada
individu sebagai pria atau wanita. Kebanyakan masyarakat membagi jenis kelamin
menjadi dua gender, yaitu laki-laki dan perempuan, dan mengasosiasikan atribut
tertentu dengan masing-masing gender. Namun, penting untuk diingat bahwa gender
bukanlah sesuatu yang inheren atau ditentukan secara biologis, tetapi lebih
merupakan konstruksi sosial yang dapat bervariasi dari budaya ke budaya.

Dalam beberapa kasus, ada ketidaksesuaian antara jenis kelamin biologis dan
identitas gender seseorang. Seseorang yang merasa bahwa identitas gender mereka
tidak sesuai dengan jenis kelamin yang ditetapkan saat lahir dapat mengidentifikasi
diri mereka sebagai transgender. Ini menunjukkan bahwa identitas gender bukanlah
sesuatu yang sepenuhnya ditentukan oleh jenis kelamin biologis.

Disinilah letak perbadaan Seks dan gender, di mana Seks bersifat universal
sementara gender tidak. Hal ini disebabkan oleh gender bervariasi dari masyarakat
yang satu ke masyarakat yang lain dan dari waktu ke waktu. Sekalipun demikian, ada
dua elemen gender yang bersifat universal: 1) Gender tidak identik dengan jenis
kelamin; 2) Gender merupakan dasar dari pembagian kerja di semua masyarakat
(Gallery dalam Simon, 2012).1

Pemahaman tentang perbedaan antara seks dan gender penting untuk menghormati
dan mengakui keragaman individu serta menghindari diskriminasi berdasarkan
identitas gender.

Aliran-aliran Feminisme

Ada beberapa aliran feminisme yang telah berkembang seiring waktu. Berikut adalah
beberapa aliran feminisme yang signifikan:

1. Feminisme Liberal: Aliran feminisme liberal berfokus pada kesetaraan hak


dan kesempatan bagi perempuan melalui perubahan dalam kerangka hukum
dan lembaga sosial. Mereka memperjuangkan kesempatan yang sama dalam
bidang pendidikan, pekerjaan, dan partisipasi politik. Feminisme liberal
mendorong penghapusan hambatan hukum dan mendukung gagasan
perempuan sebagai individu yang bebas memilih jalan hidupnya sendiri.
2. Feminisme Radikal: Aliran feminisme radikal menempatkan penekanan pada
sifat sistemik patriarki dan melihat perubahan struktural dalam masyarakat
sebagai solusi untuk membebaskan perempuan dari penindasan. Mereka
mengkritik institusi-institusi yang menekan perempuan, seperti pernikahan
dan keluarga tradisional, dan mengadvokasi transformasi fundamental dalam
masyarakat untuk menciptakan kesetaraan gender.
3. Feminisme Marxis: Feminisme Marxis menerapkan kerangka pemikiran
Marxis dalam menganalisis ketidaksetaraan gender. Aliran ini melihat gender

1
Riyadi, Gusmia Arianti, Fadzriani Nur, Meylin Azizah, Perbedaan Seks Dan Gender, IPB 2014.
sebagai hasil dari sistem ekonomi kapitalis dan mengidentifikasi perempuan
sebagai bagian dari kelas pekerja yang dieksploitasi. Mereka berjuang untuk
perubahan sosial dan ekonomi yang akan menghilangkan ketidakadilan
gender dan kelas.
4. Feminisme Black: Feminisme Black muncul sebagai gerakan yang menyoroti
pengalaman perempuan kulit hitam dan upaya untuk memerangi rasisme,
seksisme, dan ketidakadilan yang dialami oleh perempuan kulit hitam.
Gerakan ini memperjuangkan keterwakilan yang lebih besar, kesetaraan hak,
dan penghapusan stereotip negatif yang terkait dengan perempuan kulit hitam.
5. Feminisme Interseksional: Feminisme interseksional mengakui bahwa
ketidaksetaraan gender tidak hanya dipengaruhi oleh gender itu sendiri, tetapi
juga oleh faktor-faktor lain seperti ras, kelas sosial, orientasi seksual,
disabilitas, dan lain sebagainya. Aliran ini memperjuangkan pemahaman yang
lebih mendalam tentang kompleksitas dan saling terkaitnya berbagai bentuk
penindasan.

Perlu diingat bahwa feminisme adalah gerakan yang luas dan beragam, dan aliran-
aliran ini sering kali saling tumpang tindih dan berinteraksi satu sama lain. Selain itu,
terdapat juga aliran feminisme lainnya yang tidak tercakup dalam penjelasan ini.
B. Materi Ke 2 : Perbedaan Gender dan Sex

(Sumber: Materi ke 2 Kom Gen) Berikut secara jelas perbedaan jenis kelamin dan
gender.

Jenis Kelamin (Sex) Gender


Merupakan perbedaan biologis antara Merupakan perbedaan peran, hak, dan
laki-laki dan perempuan. kewajiban, kuasa dan kesempatan
antara laki-laki dan perempuan dalam
kehidupan masyarakat.
Perbedaan sex sama diseluruh dunia Gender tidak sama di seluruh dunia,
bahwa perempuan bisa hamil sementara tergantung dari budaya dan
laki-laki tidak, sifatnya Universal. perkembangan masyarakat di satu
wilayah, sifatnya lokal.
Perbedaan sex tidak berubah dari waktu Gender berubah dari waktu ke waktu.
ke waktu. Dari dulu hingga sekarang dan Setiap peristiwa dapat merubah
masa datang , laki-laki tidak mengalami hubungan antara laki-laki dan
menstruasi dan tidak dapat hamil. perempuan dalam masyarakat.

Perbedaan diantara keduanya dapat di lihat pada tabel berikut ini:


Jenis Kelamin Contoh Gender Contoh
Tidak dapat di Alat kelamin Dapat di Peran dalam kegiatan sehari-
ubah ubah hari
Tidak dapat di Jakun pada laki- Dapat di Suami bisa menggantikan
pertukarkan laki dan payudara pertukarkan peran istri dalam mengasuh
pada perempuan anak ataupun memasak di saat
istri berhalangan
Berlaku Status sebagai Tergantung Pada Zaman penjajahan
sepanjang laki-laki dan kepada Belanda kaum perempuan
masa perempuan tidak kebudayaan tidak mendapatkan hak
pernah berubah pendidikan. Tapi setelah kita
sampai kita mati merdeka, perempuan memiliki
kebebasan mengikuti
pendidikan
Berlaku Dirumah, di Tergantung Pembatasan kesempatan di
dimanapun kampus ataupun pada budaya bidang pekerjaan terhadap
berada di mana sorang setempat prempuan di karenakan
laki-laki tetap budaya setempat, contohnya
laki-laki dan perempuan lebih diutamakan
perempuan tetap untuk menjadi perawat, guru
perempuan TK dan mengasuh anak
Merupakan Ciri utama laki- Bukan Sifat atau mentalitas antara
kodrat Tuhan laki berbeda merupakan lelaki dengan perempuan bisa
dengan kodrat saja sama
perempuan Tuhan
Ciptaan Tuhan Perempuan bisa Buatan Laki-laki danperempuan
haid, hamil, Manusia berhak menjadi calon ketua
melahirkan dan RT, RW, kepala desa bahkan
menyusui presiden.
sedangkan laki-
laki tidak bisa

C. Materi Ke-3 Feminisme Dan Media Massa


Feminisme adalah gerakan sosial dan politik yang bertujuan untuk mencapai
kesetaraan gender dalam segala aspek kehidupan. Media massa, di sisi lain, merujuk
pada sarana komunikasi massa yang digunakan untuk menyebarkan informasi dan
pesan kepada khalayak yang luas. Kaitan antara feminisme dan media massa adalah
hal yang kompleks dan bervariasi.

Sejarah feminisme menunjukkan bahwa media massa dapat memiliki peran


yang signifikan dalam mempengaruhi opini publik tentang isu-isu yang berkaitan
dengan kesetaraan gender. Pada beberapa momen dalam sejarah, media massa telah
menjadi alat penting bagi gerakan feminis untuk meningkatkan kesadaran,
memobilisasi dukungan, dan memperjuangkan perubahan sosial. Misalnya, melalui
pemberitaan, artikel, dan kampanye sosial, media massa dapat membantu
mengangkat isu-isu seperti hak pilih perempuan, kekerasan gender, ketimpangan
upah, dan representasi perempuan dalam media.

Namun, media massa juga dapat menjadi sumber reproduksi dan


pemertahanan stereotip gender yang merugikan perempuan. Beberapa kritik terhadap
media massa adalah bahwa mereka sering kali mewakili perempuan secara dangkal,
memperkuat norma-norma gender yang membatasi, dan memperluas citra dan
ekspektasi yang tidak realistis terhadap tubuh dan penampilan perempuan. Selain itu,
dalam beberapa kasus, media massa juga dapat mempromosikan objektifikasi seksual
terhadap perempuan dan menciptakan lingkungan yang tidak aman bagi perempuan.

Dalam beberapa tahun terakhir, perkembangan media sosial telah memberikan


platform yang memungkinkan perempuan untuk menyuarakan pengalaman mereka
secara langsung dan mengorganisir gerakan feminis secara online. Media sosial telah
memainkan peran yang signifikan dalam memperluas aksesibilitas informasi,
memobilisasi dukungan, dan memberikan ruang bagi narasi alternatif yang tidak
sering muncul di media massa tradisional.
Penting untuk diingat bahwa media massa tidak monolitik dan terdiri dari
berbagai jenis platform, publikasi, dan konten yang berbeda. Ada upaya yang
dilakukan untuk memperbaiki representasi perempuan dalam media dan menyajikan
narasi yang lebih inklusif dan beragam. Namun, masih banyak pekerjaan yang harus
dilakukan untuk memastikan bahwa media massa berperan dalam mempromosikan
kesetaraan gender dan mengatasi ketimpangan yang masih ada.

Sebagai konsumen media, penting bagi kita untuk melihat secara kritis konten
yang kita konsumsi, memperjuangkan representasi yang adil, dan mendukung media
yang menghargai dan mempromosikan kesetaraan gender. Begitu pula, dalam era
media sosial, kita dapat berpartisipasi secara aktif dalam memperkuat pesan feminis,
menyebarkan informasi yang akurat, dan mendukung gerakan kesetaraan gender
melalui dukungan online dan offline.

Kehadiran berbagai stasiun televisi swasta di Indonesia telah mempermudah


terjadinya penyebaran informasi kepada masyarakat.

Stasiun swasta dengan logika ekonominya menempatkan penonton dan


pemasang iklan sebagai pasar mereka, sehingga program acara yang merupakan
produk pemasarananya mereka sajikan dengan kemasan semenarik sesuai keinginan
pasar.

Perempuan dengan berbagai aspek kodratnya selalu diposisikan dalam ruang


privat atau domestik. Manakala laki-laki diposisikan dalam ruang publik. Perbedaan
posisi semacam ini telah menyebabkan tumbuhnya nilai di masyarakat bahwa kodrat
yang berperan dalam ruang awam (public sphere) statusnya adalah sebagai warga
negara kelas satu, manakala yang berperanan dalam ruang privat (domestic) berstatus
warga negara kelas dua. Ini adalah praktek dari ketidakadilan gender.Stereotipe
gender dalam iklan telah lama menjadi topik perdebatan, terutama di kalangan
cendekiawan media. Kasus ini menjadi masalah serius, karena bias gender iklan akan
mempengaruhi cara berpikir kita tentang peran dan cara berfungsinya gender dalam
masyarakat. Masyarakat telah diarahkan untuk beradaptasi dengan seperangkat cita-
cita, melalui gambar yang ditimbulkan dari media massa yang mengelilingi kita
seolah-olah setting yang idealnya terepresentasi dari karakteristik yang ditampilkan
dalam iklan.2

Untuk keberhasilan sosialisasi gender dalam meningkatkan partisipasi


perempuan dalam pembangunan, kiranya perlu dilakukan sebuah usaha yang
menyeluruh agar dapat meminimalisir gambaran keliru tentang peranan perempuan
dalam penyiaran iklan di televisi swasta. Maka hal ini menjadi penting dikaji lebih
lanjut untuk melihat cara individu menerima pesan tentang norma- norma gender.
Penelitian ini ingin memaparkan bagaimana iklan televisi telah memberikan
stereotipe peran gender terhadap perempuan. Dimulai dengan membedah mengenai
makna konsep gender. Kemudian membahas pula wacana tentang perempuan dalam
iklan di media massa. Selanjutnya menelaah citra perempuan yang muncul melalui
iklan yang hadir di televisi dan di akhiri dengan saran serta kesimpulan dari
pembahasan.

D. Materi ke-4 Kekerasan terhadap perempuan

Kekerasan terhadap perempuan adalah suatu masalah serius yang terjadi di seluruh
dunia. Ini mencakup berbagai tindakan kekerasan seperti kekerasan dalam rumah
tangga, pelecehan seksual, pemerkosaan, mutilasi genital perempuan, perdagangan
manusia, pelecehan verbal, dan kekerasan berbasis gender lainnya.

Kekerasan terhadap perempuan memiliki dampak yang merusak pada korban


secara fisik, emosional, dan psikologis. Hal ini juga melanggar hak asasi manusia
dan melanggengkan ketidaksetaraan gender dalam masyarakat. Banyak perempuan

2
Yanti Dwi Astuti, Studi Deskriptif Representasi Stereotipe Perempuan dalam Iklan di Televisi
Swasta, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2016
menghadapi tantangan dalam melaporkan kekerasan yang mereka alami karena
tekanan sosial, ketakutan, dan kurangnya dukungan.

Organisasi internasional, pemerintah, dan kelompok advokasi bekerja keras untuk


mengatasi kekerasan terhadap perempuan. Beberapa langkah yang telah diambil
termasuk:

1. Penegakan hukum: Meningkatkan penegakan hukum terhadap pelaku


kekerasan terhadap perempuan dan memastikan korban mendapatkan
perlindungan yang memadai.

2. Kesadaran dan pendidikan: Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang


kekerasan terhadap perempuan melalui kampanye, program pendidikan, dan
pelatihan untuk mengubah sikap dan perilaku yang merugikan perempuan.

3. Pendanaan dan dukungan: Meningkatkan pendanaan untuk layanan dan


program yang membantu korban kekerasan, termasuk tempat perlindungan,
konseling, dan bantuan hukum.

4. Penghapusan diskriminasi: Mendorong penghapusan segala bentuk


diskriminasi terhadap perempuan dan mendorong kesetaraan gender dalam
semua bidang kehidupan.

5. Pengembangan kebijakan: Membuat kebijakan dan undang-undang yang


kuat untuk melindungi perempuan dan menghukum pelaku kekerasan.

Setiap individu juga dapat berperan dalam mengatasi kekerasan terhadap


perempuan dengan tidak membiarkan tindakan kekerasan terjadi di sekitar mereka,
mendukung korban, dan melaporkan kekerasan yang mereka saksikan atau alami.

Penting untuk mengakui bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah


masalah yang kompleks, dan penanganannya membutuhkan kerjasama dari seluruh
masyarakat untuk menciptakan perubahan positif dan mencapai keadilan gender.

E. Materi Ke-5 Perbedaan Gender dalam Komunikasi

Perbedaan gender dalam komunikasi mengacu pada perbedaan cara pria dan wanita
berkomunikasi, termasuk gaya komunikasi, preferensi komunikasi, dan
penggunaan bahasa. Meskipun tidak semua pria dan wanita memperlihatkan
perbedaan ini, ada beberapa tren umum yang dapat diamati. Berikut adalah
beberapa perbedaan yang sering diidentifikasi dalam komunikasi gender:

1. Gaya Komunikasi: Pria dan wanita cenderung memiliki gaya komunikasi


yang berbeda. Pria cenderung menggunakan komunikasi yang lebih
langsung dan langsung ke inti permasalahan, seringkali fokus pada solusi
dan mencari status atau dominasi. Wanita cenderung menggunakan
komunikasi yang lebih berorientasi pada hubungan, fokus pada interaksi
sosial, dan menekankan pemahaman dan empati.

2. Tujuan Komunikasi: Pria seringkali berkomunikasi dengan tujuan mencapai


tujuan atau menyelesaikan masalah. Mereka cenderung menggunakan
bahasa yang lebih tegas dan langsung. Di sisi lain, wanita cenderung
menggunakan komunikasi untuk membangun dan memelihara hubungan.
Mereka mungkin lebih cenderung untuk menyampaikan pendekatan yang
lebih kooperatif, menjaga harmoni, dan mencari dukungan emosional.

3. Bahasa dan Vokal: Penelitian menunjukkan bahwa pria dan wanita mungkin
memiliki perbedaan dalam penggunaan bahasa dan vokal. Misalnya, pria
mungkin lebih cenderung menggunakan bahasa yang lebih dominan,
menggunakan kalimat pendek dan langsung. Wanita cenderung
menggunakan bahasa yang lebih detail dan menggunakan lebih banyak
vokalisasi seperti nada yang berbeda dan ekspresi wajah untuk
menyampaikan pesan mereka.

4. Nonverbal: Pria dan wanita juga mungkin menunjukkan perbedaan dalam


bahasa tubuh dan ekspresi nonverbal. Misalnya, pria mungkin lebih
cenderung menggunakan gerakan tubuh yang lebih besar dan menonjolkan
diri, sementara wanita mungkin lebih cenderung menggunakan gerakan
yang lebih halus dan ekspresi wajah yang lebih beragam.

Namun perlu di ketahui bahwa perbedaan-perbedaan tersebut di atas adalah


generalisasi dan tidak berlaku untuk setiap individu. Setiap orang unik dan cara
seseorang berkomunikasi dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti budaya,
latar belakang pribadi, dan pengalaman hidup. Penting untuk tidak menggeneralisasi
atau membuat asumsi berdasarkan perbedaan gender dalam komunikasi, dan selalu
penting untuk memperlakukan setiap individu sebagai entitas yang unik.

Ada perbedaan yang dilaporkan Komunikasi Feminin dan Maskulin.3

Feminin saat berbicara

1. Gunakan percakapan untuk membangun dan mempertahankan hubungan


dengan orang lain.

2. Terbukalah pada diri Anda dan pelajari tentang orang lain melalui
pengungkapan

3
Pratiwi Esti Lestari, 2017, Reported Differences Between Feminine and Masculine Communication,
tugas Komunikasi Gender, Jurnalistik, UIN Alauddin Makassar.
3. Gunakan pembicaraan untuk menciptakan keseimbanga atau persamaan di
antara orang-orang.

4. Menyesuaikan pengalaman dengan orang lain, menunjukkan pemahaman dan


empati (mis., Saya tahu bagaimana perasaan Anda).

5. Untuk mendukung orang lain, ungkapkan pemahaman tentang perasaan


mereka.

6. Libatkan orang lain dalam percakapan dengan meminta pendapat mereka dan
mendorong mereka untuk menjelaskan. Tunggu giliran Anda untuk berbicara
sehingga orang lain dapat berpartisipasi.

7. Pertahankan pembicaraan dengan mengajukan pertanyaan dan menunjukkan


minat pada ide orang lain.

8. Bersikap responsif. Biarkan orang lain tahu Anda mendengar dan peduli
tentang apa yang mereka katakan.

9. Bersikap tentative (masih dapat berubah/belum pasti) sehingga orang lain


merasa bebas untuk menambahkan ide-ide mereka.

Berbicara adalah hubungan manusiawi di mana detail dan komentar samping


yang menarik meningkatkan kedalaman koneksi

Sedangkan Maskulin ketika bebicara:

1. Gunakan percakapan untuk menegaskan diri Anda dan ide-ide Anda.

2. Pengungkapan pribadi dapat membuat Anda rentan.

3. Gunakan percakapan untuk menetapkan status dan kekuatan Anda.


4. Mencocokkan pengalaman adalah strategi kompetitif untuk menarik perhatian
(mis., Saya bisa mengatasinya).

5. Untuk mendukung orang lain, lakukan sesuatu yang bermanfaat, berikan saran
atau pecahkan masalah bagi mereka.

6. Jangan berbagi panggung pembicaraan dengan orang lain: rebutlah dari


mereka dengan komunikasi. Ganggu orang lain untuk membuat poin Anda
sendiri

7. Setiap orang adalah miliknya sendiri; bukan tugasmu untuk membantu orang
lain bergabung.

8. Gunakan tanggapan untuk membuat poin Anda sendiri dan untuk


mengungguli orang lain

9. Bersikaplah asertif sehingga orang lain menganggap Anda percaya diri dan
aman.

10. Berbicara adalah urutan linear yang harus menyampaikan informasi dan
mencapai tujuan. Detail yang asing menghalangi dan tidak menghasilkan apa-
apa.

1. Materi Ke 6-7 Gender dan Media

1. Gender dan Seksualitas dalam Konstruksi Media Massa

Gender dan media massa adalah bidang studi yang menyelidiki bagaimana
gender tercermin dalam konten, representasi, dan produksi media massa.

Media massa dianggap faktor yang mempengaruhi terbentuknya ideologi yang


kemudian dipahami oleh masyarakat sebagai suatu hal yang lumrah. Memang media
massa bukan satu- satunya faktor yang berpengaruh, tetapi media massa telah
berkembang menjadi agen sosialisasi yang semakin menentukan karena intensitas
masyarakat mengkonsumsinya. Hal ini dapat dilihat melalui kepemilikan modal dan
produksi media yang selalu berorientasi pada pasar. Bukan saja yang berorientasi
pada faktor ekonomi saja namun juga telah menyentuh ranah ideologi, politik, dan
kekuasaan yang akhirnya berujung pada penaklukan akan publik.4

Media massa saat ini lebih menonjolkan kepentingan pasar dari pada aspek
intelektual-profesional media, dimana produksi-produksi media seperti film, sinetron,
kuis, iklan, talkshow dan berita lebih memperalat perempuan dan menjadikan
perempuan sebagai objek dalam produksinya. Perempuan dalam media dapat dilihat
dari penggambaran perempuan oleh media, akses perempuan yang terbatas pada
media, dan keterlibatan perempuan dalam media baik di dunia kerja maupun
pengambilan keputusan. Media massa juga sering dianggap sebagai dunia laki-laki
yang patriarkis karena sebahagian besar pekerja media diisi oleh kaum laki-laki
sehingga perempuan merasa tidak diberi ruang untuk menempati posisi di media
massa.

Marxis dalam teorinya mengatakan bahwa posisi media dalam sistem


kapitalisme modern adalah media massa yang ‘mengatur’. Media massa tidak hanya
sebagai media perjalanan pesan antara unsur-unsur sosial dalam masyarakat namun
juga berfungsi sebagai alat pemaksaan konsensus kelompok tertentu yang secara
ekonomi dan politik sangat dominan. Media merupakan alat produksi yang
disesuaikan dengan tipe umum industri kapitalis beserta faktor produksi dan
hubungan produksinya.

4
Christiany Juditha, Gender dan Seksualitas dalam Konstruksi Media Massa, Balai Besar Pengkajian
dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika (BBPPKI) Makassar Kementerian Komunikasi dan
Informatika RI
Media massa juga dianggap belum mampu melepaskan diri dari perannya
sebagai medium ekonomi kekuasaan, baik yang datang dari penguasa, otoritas
intelektual, ideologi politik ataupun pemilik modal. Teori media politik ekonomi
mengemukakan bahwa institusi media harus dinilai sebagai bagian dari sistem
ekonomi yang juga bertalian erat dengan sistem politik. Kualitas pengetahuan
tentang masyarakat yang diproduksi oleh media untuk masyarakat sebagian besar
dapat ditentukan oleh nilai tukar berbagai ragam isi dalam kondisi yang
memaksakan perluasan pasar dan juga ditentukan oleh kepentingan ekonomi para
pemilik penentu kebijakan (Garnham, 1979). Media massa yang seharusnya menjadi
penjaga bagi kekuasaan, justru terjerumus menjadi pelestari kekuasaan hanya media
massa yang mengakibatkan perempuan menjadi korban dari aroganisme
pelanggengan kekuasaan kapitalis.

Kaum perempuan juga memasuki masa anomali di mana eksistensinya sedang


tertantang. Di satu sisi perempuan mulai menikmati pendidikan, mendapatkan
informasi, dan mulai berkembang, namun pada saat yang sama citra tentang dirinya
belum berubah. Perempuan masih lebih dilihat sebagai objek seks. Sehingga
sekalipun mereka kian bebas ke luar rumah, tetapi di kantor tetap saja dilecehkan
oleh pimpinan pria, di jalan juga tetap digoda dan lain-lain. Hal inilah yang
kemudian direduksi oleh media massa sebagai sesuatu kenyataan yang pahit bagi
perempuan tetapi menjadi hal yang biasa oleh media.

Ada tiga sumber kehidupan bagi media, yaitu isi (content), pemilik modal
(capital), dan audiens (audiences). Content terkait dengan isi dari sajian media,
capital menyangkut sumber dana untuk menghidupi media sedangkan audience
terkait dengan masalah segmen yang dituju. Dengan demikian, dapat dipahami
mengapa media banyak digunakan untuk kepentingan komersial. Karena untuk
dapat mempertahankan hidup dengan memenangkan persaingan media
membutuhkan sumber hidupnya baik capital, content, maupun audience. Ketiga
sumber hidup media tersebut saling berhubungan.

Berikut adalah beberapa aspek penting yang terkait dengan hubungan antara gender
dan media massa:

1. Representasi Gender: Media massa memainkan peran penting dalam


membentuk dan memperkuat persepsi tentang peran gender di masyarakat.
Representasi gender dalam media bisa mencakup cara pria dan wanita
digambarkan, stereotipe yang digunakan, dan peran sosial yang ditugaskan
kepada mereka. Misalnya, wanita seringkali digambarkan dalam peran yang
terkait dengan kecantikan, seksualitas, atau peran domestik, sementara pria
sering digambarkan dalam peran yang terkait dengan kekuasaan, kesuksesan,
atau agresivitas. Representasi yang tidak seimbang dan stereotipik ini dapat
mempengaruhi persepsi dan ekspektasi sosial terhadap pria dan wanita di
dunia nyata.

2. Pencitraan Tubuh: Media massa seringkali memiliki pengaruh kuat terhadap


citra tubuh yang diinginkan dan ideal. Terutama dalam industri hiburan,
terdapat tekanan pada wanita untuk memenuhi standar kecantikan yang tidak
realistis, seperti tubuh yang sangat kurus atau sempurna. Citra tubuh yang
tidak realistis ini dapat berdampak negatif pada harga diri dan citra diri
perempuan. Pada saat yang sama, ada peningkatan kesadaran terhadap isu-
isu pencitraan tubuh yang merugikan di media massa dan gerakan yang
mendukung citra tubuh yang sehat dan inklusif.

3. Partisipasi dan Perwakilan: Gender juga berperan dalam partisipasi dan


representasi di balik layar media massa. Terdapat perbedaan yang signifikan
antara pria dan wanita dalam hal posisi kepemimpinan, penulis, sutradara,
dan produser di industri media. Ketidakseimbangan ini dapat memengaruhi
jenis cerita yang diceritakan, perspektif yang diwakili, dan siapa yang
memiliki kendali dalam produksi media. Peningkatan kesadaran tentang
kesetaraan gender telah mendorong panggilan untuk lebih banyak
kesempatan dan representasi bagi perempuan di industri media.

4. Pengaruh Media terhadap Identitas Gender: Media massa dapat


mempengaruhi cara individu memahami dan membentuk identitas gender
mereka. Pemirsa muda, terutama, dapat dipengaruhi oleh peran model dan
norma sosial yang digambarkan dalam media. Identitas gender seseorang
dapat terbentuk melalui persepsi, peniruan, dan internalisasi peran gender
yang diportrayalkan dalam media. Oleh karena itu, penting untuk menyajikan
representasi yang beragam dan positif yang mencerminkan spektrum luas
identitas gender dan mempromosikan penerimaan diri yang sehat.

5. Perlawanan dan Pengaruh Aktivisme: Media massa juga menjadi ruang di


mana gerakan feminis dan gerakan LGBTQ+ dapat menyuarakan isu-isu
kesetaraan gender, mendorong perubahan sosial, dan mempengaruhi opini
publik. Melalui kampanye, gerakan sosial, dan media alternatif, aktivis
gender telah menggunakan media massa sebagai alat untuk mengangkat isu-
isu penting, menggugah kesadaran, dan mempromosikan perubahan sosial
yang lebih inklusif dan setara.

2. Kesetaraan Dan Keadilan Gender di Media Massa


Media massa memang bukan satu-satunya faktor yang berpengaruh dalam hal keadilan
gender, tetapi media massa telah berkembang menjadi agen sosialisasi yang semakin
menentukan karena intensitas masyarakat mengkonsumsinya. Efek media juga akan semakin
kuat mengingat sosok perempuan yang ditampilkannya adalah cara yang memperkokoh
stereotip yang sudah terbangun di tengah masyarakat. Oleh karena itu, media massa memang
bukan yang melahirkan ketidaksetaraan gender. Namun, media massa jelas memperkokoh,
melestarikan, bahkan memperburuk segenap ketidakadilan terhadap perempuan dalam
masyarakat.5

Ketika media massa menyajikan sebuah anggapan tentang perempuan secara konsisten,
orang menjadi menyangka bahwa pilihan yang paling logis adalah mengikuti apa yang
tampak sebagai kecenderungan umum itu, sebagaimana yang disajikan media. Contoh,
seorang wanita yang cerdas, memiliki kecakapan, yang sangat percaya diri, bisa saja akhirnya
merasa harus tampil dengan rok ketat dan minim di kantor karena menganggap bahwa
penampilan seperti itu adalah pilihan yang paling ideal dalam kehidupan bermasyarakat. Ia tak
sadar bahwa dengan tampil seperti itu, ia sebenarnya sedang mendukung stereotip bahwa seks
adalah kekuatan utama seorang perempuan. Bahkan, perlahan-lahan, ditemukan rangkaian
justifikasi untukmeneguhkan stereotip tersebut.

Budaya patriarki yang amat kuat dan mewarnai berbagai sektor kehidupan
di Indonesia menyebabkan hampir seluruh aktivitas hidup diwarnai ketimpangan
gender. Hampir seluruh bidang atau sektor yang diterjuni perempuan tidak
terlepas dari kontrol laki-laki. Kontrol laki-laki dan sistem patriarki tersebut bisa
berupa daya produktif atau tenaga kerja perempuan, reproduksi perempuan,
kontrol atas seksualitas perempuan, gerak perempuan, harta milik dan sumber
daya ekonomi lainnya (Basin, 1996).6

Budaya patriarki yang kuat tersebut tercermin pula dalam pemberitaan


media massa. Hal ini terjadi karena pada dasarnya media massa adalah cermin
dan refleksi dari kondisi sosial budaya masyarakat. Pandangan yang bias dari
seorang wartawan dan media terhadap patriarki, akhirnya menghasilkan pula
pemberitaan yang bias terhadap perempuan. Pemberitaan yang bias terhadap
perempuan dalam media massa secara sadar atau tidak turut memberikan andil

5
Hariyanto (Magister Hukum UGM dan Magister Pendidikan UII Yogyakarta, dosen STAI Darut
Taqwa Gresik Jawa Timur), Gender Dalam Konstruksi Media

6
Ilyas, PEREMPUAN DALAM PENGELOLAAN SURAT KABAR DI SULAWESI TENGAH (Studi Posisi dan
Peran Perempuan dalam Media Cetak)
melanggengkan keyakinan budaya patriarki yang tidak adil itu, sehingga peran
publik yang dimainkan perempuan sulit ditemukan dalam pemberitaan media
(Atmonobudi, 2004) .7

Penyajian informasi pada media massa tidak terlepas dari wartawan


sebagai pencari dan penulis berita. Wartawan sebagai unsur penting dalam media
massa harus terbuka dan tahu terhadap isu gender yang sedang berkembang
sehingga penulisan berita yang bias gender dapat dihindari (Subono, 2003).
Selain wartawan, kebijakan pemberitaan yang disampaikan sebuah media cetak
kepada khalayak terdapat beberapa posisi penting dalam pengelolaan
pemberitaan media. Di antaranya adalah editor yang bertanggungjawab dalam
penyuntingan dan pengeditan sebuah naskah berita sebelum diterbitkan. Seorang
editor memiliki peran besar dalam mengkonstruksi realitas dalam bentuk berita
yang siap dipublikasikan. Ia sangat menentukan penampilan sebuah media cetak,
karena ditangannya terdapat tanggungjawab besar dalam menentukan layak
tidaknya sebuah berita dimuat, tentu dari tinjauan estetika dan etika berbahasa.
Posisi menentukan lainnya adalah redaktur. Seorang redaktur memiliki
wewenang untuk menentukan mana peristiwa yang layak diangkat menjadi
berita sehingga apapun bentuk dan isi media tidak lepas dari bagaimana seorang
redaktur menetapkan agenda media dalam operasionalnya.8

Dalam upaya meminimalkan bias gender dalam pemberitaan media massa


maka usaha untuk menciptakan jurnalisme berperspektif gender harus terus
digalakkan. Menurut Subono (2003), jurnalisme yang berperspektif gender
diartikan sebagai kegiatan atau praktik jurnalistik yang selalu menginformasikan
atau mempermasalahkan dan menggugat secara terus-menerus, baik dalam media
cetak, maupun elektronik adanya hubungan tidak setara atau ketimpangan relasi
7
Ilyas, PEREMPUAN DALAM PENGELOLAAN SURAT KABAR DI SULAWESI TENGAH (Studi Posisi dan Peran
Perempuan dalam Media Cetak)
8
Ilyas, PEREMPUAN DALAM PENGELOLAAN SURAT KABAR DI SULAWESI TENGAH (Studi Posisi dan Peran
Perempuan dalam Media Cetak)
antara laki-laki dan perempuan.

Bentuk Sensorisasi Konstruksi Jender dalam Pertarungan Simbolik di Media


Massa

Dalam konteks pertarungan simbolik, diksi dipandang sebagai media


pelestarian semua bentuk nilai yang dianggap moral kehormatan. Dengan
menggunakan diksi sensorisasi, pelaku konstruksi jender menginternalisasikan nilai-
nilai moral yang berlaku dalam struktur sosial dan mengeksternalisasikan
habitusnya menjadi struktur sosial yang berlaku di masyarakat. Diksi sensorisasi di
media massa digunakan untuk melestarikan nilai kesantunan pelaku konstruksi
jender. Melalui diksi sensorisasi tersebut, pelaku konstruksi jender meningkatkan
kehormatan budayanya sehingga dapat menignkatkan legitmasi kelompok yang
berbudaya patriarki.9

F. Jurnalisme Perspektif Gender


Jurnalisme Perspektif Gender adalah pendekatan dalam praktik jurnalisme
yang mengintegrasikan pemahaman akan gender dalam setiap tahap produksi berita,
mulai dari pengumpulan informasi hingga penulisan dan penyebaran pemberitaan.
Pendekatan ini mengakui bahwa gender merupakan faktor penting yang
memengaruhi cara berpikir, tindakan, dan pengalaman individu dalam masyarakat.
Jurnalisme Perspektif Gender berupaya untuk menganalisis dan mengatasi
bias gender yang mungkin muncul dalam pemberitaan, serta memperhatikan
representasi yang adil dan akurat tentang laki-laki, perempuan, dan identitas gender
lainnya. Pendekatan ini juga memperhatikan isu-isu gender yang terkait dengan
keadilan sosial, kesetaraan gender, dan hak asasi manusia.
Beberapa prinsip penting dalam jurnalisme Perspektif Gender meliputi:
1. Kesadaran Gender: Jurnalisme Perspektif Gender mendorong kesadaran
9
Itsna Syahadatud Dinurriyah, MA, Analisa Tentang Konstruksi Gender Dalam Pertarungan
Simbolik, Di Media Massa
terhadap peran gender dalam konstruksi sosial dan kehidupan sehari-hari.
Hal ini melibatkan pemahaman tentang stereotip gender, peran gender yang
terdapat dalam masyarakat, serta isu-isu yang berkaitan dengan kesetaraan
gender.
2. Analisis Berita: Pendekatan ini menganalisis bagaimana berita dikonstruksi,
termasuk pemilihan topik, sumber berita, dan penggunaan bahasa. Analisis
ini bertujuan untuk mengidentifikasi bias gender yang mungkin muncul
dalam pemberitaan dan memperhatikan cara representasi gender
memengaruhi pemahaman masyarakat.
3. Inklusivitas dan Keanekaragaman: Jurnalisme Perspektif Gender
mengedepankan inklusivitas dan keanekaragaman dalam pemberitaan. Ini
melibatkan pencarian sumber berita yang beragam, termasuk laki-laki,
perempuan, dan identitas gender lainnya, serta memperhatikan keberagaman
pengalaman dan perspektif gender dalam liputan.
4. Sensitivitas Bahasa: Pendekatan ini mengajarkan penggunaan bahasa yang
sensitif gender dalam penulisan berita. Hal ini mencakup penghindaran
penggunaan kata-kata yang menggambarkan stereotip gender atau
mengungkapkan prasangka, serta menggunakan istilah yang inklusif untuk
merujuk pada individu-individu dengan berbagai identitas gender.
5. Pemberitaan Isu-isu Gender: Jurnalisme Perspektif Gender memberikan
perhatian khusus pada isu-isu gender yang sering kali terabaikan atau minim
pemberitaannya. Ini termasuk isu-isu seperti kekerasan terhadap perempuan,
kesetaraan gender, hak reproduksi, pekerjaan dan karir, serta partisipasi
politik perempuan.
Melalui penerapan jurnalisme Perspektif Gender, diharapkan media dapat
memberikan pemberitaan yang lebih adil, akurat, dan berdampak dalam mendorong
kesadaran dan perubahan terkait dengan isu-isu gender dalam masyarakat.

Menurut Siregar, dalam kajian tentang media massa diperlukan suatu


pendekatan holistik tentang kesadaran bahwa dalam pemberitaan lewat media harus
mengusung prinsip bahwa dalam realitas sosial pada dasarnya terdapat interaksi
sosial yang syarat potensi lahirnya korban. Jurnalisme harus memegang prinsip-
prinsip humanitarian yang berangkat dari sensitivitas pertanyaan etis, tentang
kemanfaatan dan kerugian pihak-pihak yang diberitakan, khususnya perempuan.10

Realitas media massa lainnya menunjukkan bahwa pemberitaan terkait


perempuan masih direpresentasikan sebagai objek pemberitaan yang bersifat
diskriminatif. Iklan dan pesan-pesan komersil, sinetron, serta program hiburan
lainnya kerap menampilkan perempuan sebagai ikon untuk meningkatkan daya jual.
Selain itu, dalam kasus-kasus kriminal perempuan seringkali diberitakan sebagai
korban yang tidak berdaya dan disudutkan.

Hal ini menjadi gambaran realitas adanya subordinasi dan marginalisasi yang
masih dirasakan oleh kalangan perempuan di media massa. Beberapa persoalan
media massa yang tidak sensitif gender diantaranya adalah

1. media massa masih memberi tempat bagi proses legitimasi bias gender,

2. dalam aktivitas jurnalisme sangat sedikit kaum perempuan yang terlibat


menjadi pekerja media,

3. kepentingan ekonomi politik menuntun para pemilik media tunduk kepada


industri atau pasar yang memang lebih permisif terhadap jurnalisme yang
sensitif gender,

4. regulasi media yang ada saat ini tidak sensitif gender, kode etik jurnalistik
dan UU pers kurang memperhatikan masalah-masalah perempuan dan
media3 ,

10
Masduki dan Muzayin Nazaruddin, ed., Media, Jurnalisme dan Budaya Populer (Cet. I; Yogyakarta:
Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia & UII Press, 2018), h. 168.
5. penggunaan bahasa di media massa yang masih sangat seksis dimana masih
banyak sekali istilah yang mensubordinasikan perempuan4 , dan

6. persoalan sejauh mana para pengambil keputusan dalam media massa


memiliki sensitivitas gender dalam menentukan isu perempuan5 .

Anda mungkin juga menyukai