Anda di halaman 1dari 3

Nama : Siti Maesaroh

Asal Delegasi : PMII STAI HAS


GENDER DAN KE’ARIFAN LOKAL
Gender adalah sifat dan perilaku yang dilekatkan pada laki-laki dan perempuan yang
dibentuk secara sosial maupun budaya. Karena dibentuk oleh sosial dan budaya setempat,
maka gender tidak berlaku selamanya tergantung kepada waktu (tren) dan tempatnya. Peran
Gender adalah perilaku yang dipelajari di dalam suatu masyarakat/komunitas yang
dikondisikan bahwa kegiatan, tugas-tugas atau tanggung jawab patut diterima baik oleh laki-
laki maupun perempuan. Peran gender dapat berubah, dan dipengaruhi oleh umur, kelas, ras,
etnik, agama dan lingkungan geografi, ekonomi dan politik. Baik perempuan maupun laki-
laki memiliki peran ganda di dalam masyarakat. Perempuan kerap mempunyai peran dalam
mengatur reproduksi, produksi dan kemasyarakatan. Laki-laki lebih terfokus pada produksi
dan politik kemasyarakatan.
Permasalahan gender seakan tidak ada habisnya. Banyak isu-isu yang muncul kemudian
tertuju pada kesetaraan gender yang dialami antara laki-laki dan perempuan. Padahal
sebetulnya kesetaraan gender ini tidak melulu tentang perempuan dan laki-laki, kesetaraan
gender juga sebenarnya terjadi pada kelompok-kelompok rentan atau kelompok minoritas.
Kemunculan persoalan gender ini muncul pada abad ke-19 di Prancis, ketika upah yang
didapat oleh laki-laki dan perempuan saat bekerja sangat berbeda. Hal inilah yang kemudian
memunculkan ketidakadilan antara perempuan dan laki-laki. Faktor biologis juga dijadikan
sebagai titik tolak awal kemunculan gender.
Inti dari kesetaraan adalah tidak ada yang mendominasi dan tidak ada yang didominasi.
Keduanya harus saling memberi. Keadilan gender itu sesuai dengan kebutuhan yang dimiliki
oleh keduanya. Saat ini, masyarakat Indonesia perlu untuk mengetahui, mengerti dan mau
menjunjung kesetaraan agar dapat mewujudkan pembangunan nasional dalam hal
peningkatan kualitas sumber daya manusia serta mewujudkan kesejahteraan. Proses ini
memerlukan suatu strategi yang menempatkan laki-laki dan perempuan pada posisi aktif
sebagai aktor pembangunan
Menurut Mansour Fakih, persoalannya terletak pada belum banyaknya orang yang tahu
menahu serta dapat membedakan antara ‘Gender’ dan ‘Seks’. Kata Gender terdengar asing,
sementata kata Seks masih terlalu tabu di wilayah atau di lingkungan masyarakat kita. Dari
sini saya akan berikan penjelasan mengenai keduanya. Seks merupakan jenis kelamin atau
merupakan biologis dan kodrat dari Tuhan yang tidak dapat dirubah/permanen.
Sedangkan Gender berarti perbedaan yang bukan biologis dan bukan kodrat dari Tuhan.
Bisa dikatakan juga bahwa gender adalah perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan
yang telah di konstruksi secara sosial. Atau bisa disebut perbedaan yang bukan kodrat dan
bukan dari Tuhan. Melainkan diciptakan oleh manusia melalui proses sosial-kultural yang
sangat panjang. Gambaran mengenai perempuan yang lemah lembut, cantik, emosional,
keibuan, berperasaan, dll. Begitupun dengan laki-laki yang kuat, rasional, jantan, perkasa dll.
Semua itu merupakan bentuk konstruksi dan kultur yang telah dibuat sendiri oleh masyarakat.
Padahal kedua sifat yang katanya sudah menjadi kodrat laki-laki dan perempuan itu dapat
tertukar atau dapat ditukarkan. Perempuan juga ada yang kuat, perempuan juga rasional, atau
laki laki juga emosional, ada yang lemah lembut juga, nah itu yang dimaksudkan dalam
konsep gender. Konsep gender yang selama ini sudah timpang, namun tetap diterima begitu
saja oleh masyarakat. Padahal, lama-kelamaan konsep gender yang irasional ini perlahan
melahirkan ‘ketidakadilan‘ bagi kaum laki-laki dan perempuan, Oleh karena itu, untuk
menantang konsep gender yang timpang ini lahirlah antitesis yang mencoba mengembalikan
konsep gender yang makin kesini makin irasional itu. Antitesis tersebut yakni Feminisme.
Feminisme adalah sebuah teori atau gagasan yang dumulai sejak akhir abad ke-18 dan
berkembang pesat di abad ke-20 yang menyuarakan tentang kesetaraan, dan keadilan hak
dengan laki-laki. Kearifan lokal sendiri sebagai basis pendidikan yang berkarakter karena
pada dasarnya kearifan lokal merupakan kebenaran yang telah mentradisi dalam masyarakat
Indonesia. Kearifan lokal berisi nilai-nilai budaya lokal setempat namun nilai-nilai di
dalamnya dianggap sangat universal. Nilai-nilai kearifan lokal bisa menjadi sebuah pijakan
untuk pengembangan sebuah pembelajaran yang lebih berkarakter.
Selama ini isu gender menjadi pokok pembicaraan yang paling krusial, saat ini juga isu
gender seringkali di gembor-gemborkan terutama oleh mahasiswa Indonesia. Bersyukurlah
kita masyarakat dan penerus bangsa pada saat ini sangat memperhatikan lingkungan sekitar
dan peduli terhadap isu-isu yang ada di lingkungan masyarakat kita. Perjuangan kita bukan
hanya sampai disini saja, kita tetap perlu melakukan pemahaman-pemahaman terhadap
masyarakat mengenai kesetaraan gender, dengan dimulai dari hal kecil bisa membawa
Indonesia ke perbuahan yang sangat besar. Kita masih menghadapi banyak tantangan
untuk mencapai pengarusutamaan gender, antara lain pemahaman gender yang rendah dan
data yang terbatas tentang gender, masih banyak peraturan daerah yang bias gender, angka
kematian, dll. Ibu masih tinggi, angka kemiskinan tinggi, dan masalahnya adalah kerusakan
lingkungan, jadi sudah menjadi tugas kita bersama untuk menyadari di semua negara bahwa
pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak harus menjadi perhatian bersama, sebagai
implementasi kesetaraan gender dan hak anak di berbagai bidang pembangunan.
Bagi saya kesetaraan gender sangatlah penting, dengan adanya pengarusutamaan
gender kita dapat mewujudkan hal tersebut. Dengan masyarakatnya yang juga kooperatif
dalam melaksanakan pemberdayaan tersebut itu juga dapat menunjang kesuksesan dari
tujuan kesetaraan gender di Indonesia. Kita juga harus mendukung segala rupa program
yang di adakan oleh pemerintah dalam rangka mewujudkan pembangunan sumber daya
manusia yang cerdas dan bermartabat dalam hal pekerjaan agar tidak ada lagi
kesetimpangan yang akan merujuk pada pelanggaran-pelanggaran HAM dan kekerasan
seksual mau itu verbal atau non verbal
Sejarah menunjukkan bahwa perempuan pada masa awal islam mendapat penghargaan
tinggi. Islam mengangkat harkat dan martabat perempuan dari posisi yang kurang beruntung
pada zaman jahiliyah. Di dalam al-Qur’an persoalan kesetaraan laki-laki dan perempuan
ditegaskan secara eksplisit. Meskipun demikian, masyarakat muslim secara umum tidak
memandang laki-laki dan perempuan secara setara. Akar medalam yang mendasari penolakan
dalam masyarakat muslim adalah keyakinan bahwa perempuan adalah makhluk Allah SWT
yang lebih rendah karena diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok. Selain itu, perempuan
dianggap sebagai makhluk yang kurang akalnya sehingga harus selalu berada dalam
bimbingan laki-laki. Akibatnya, produk-produk pemikiran islam sering memposisikan
perempuan sebagai subordinat. Kenyataan ini tentu sangat memprihatinkan, karena islam
pada prinsipnya menjunjung tinggi kesetaraan dan tidak membedakan manusia berdasarkan
jenis kelamin. Oleh karena itu, doktrin maupun pandangan yang mengatasnamakan agama
yang sarat dengan praktik diskriminatif sudah selayaknya dikaji ulang, jika ingin islam tetap
menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Analisis gender lebih tepatnya adalah memilah kekuatan yang menciptakan atau
melanggengkan ketidakadilan dengan mempertanyakan siapa berbuat apa, siapa memiliki
apa, siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan, siapa yang memutuskan, laki-laki atau
perempuan? Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam sebuah keluarga, bukan berarti
memposisikan laki-laki dan perempuan harus diperlakukan sama. Memperlakukan laki-laki
dan perempuan secara sama dalam semua keadaan justru menimbulkan bias gender.
Memperlakukan sama antara laki-laki dan perempuan dalam kerja rumah tangga pada satu
keadaan, misalnya, suami juga berkewajiban mengurus anaknya, sama halnya isteri memiliki
kewajiban mengurus anaknya. Artinya, kewajiban mengurus anak tidak mutlak menjadi
kewajiban isteri semata, tetapi merupakan kewajiban bersama.

Anda mungkin juga menyukai