Suwarno Magister Akuntansi Universitas Airlangga Surabaya
Pendahuluan Pemerintah telah pula berkomitmen untuk melaksanakan pengarusutamaan gender sebagai salah satu strategi menuju tercapainya kesetaraan dan keadilan gender. Komitmen itu tertuang dalam Inpres No 9/2000 yang telah pula diturunkan dalam Kepmendagri No 132 tahun 2003 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Daerah. Dalam peraturan itu disebutkan pentingnya mengintegrasikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan, dan permasalahan perempuan dan laki-laki ke dalam perencanaan dan penganggarannya. Perencanaan yang responsif gender harus ditindaklanjuti dengan anggaran yang responsif gender. Makalah ini membahas tentang kesenjangan gender dan penyebabnya, proses perencanaan dan penganggaran yang responsif gender dengan berbagai masalah yang dihadapi. Tujuannya adalah mengidentifikasi permasalahan tersebut agar dapat dicari solusi demi terlaksananya pembangunan yang berkeadilan gender. Latar belakang Dunia ini diciptakan secara berpasang-pasangan. Ada siang ada malam, ada gelap ada terang, serta ada laki-laki dan perempuan. Untuk itu keduanya harus bisa berjalan seimbang agar kehidupan berjalan dengan baik. Namun keseimbangan kehidupan manusia berbeda dengan keadaan alam. Manusia itu dinamis dan penuh perubahan, sehingga keseimbangan tersebut dapat bergeser karena pergeseran waktu dan situasi serta kondisi. Keseimbangan antara laki-laki dan perempuan tidak hanya dipandang dari sudut jumlah dan kedudukan. Keseimbangan ini harus dilihat dari semua aspek yang mendukung terbentuknya keseimbangan tersebut. Misal dilihat dari sudut pandang pendidikan, pekerjaan, kesehatan, kesejahteraan, hak berpolitik dan lain sebagainya. Selama ini di Indonesia yang menganut paham pathernalistik, banyak masyarakat yang berpandangan bahwa perempuan adalah makhluk nomor dua setelah laki-laki. Pendidikan perempuan dikesampingkan, pekerjaan dengan upah yang lebih rendah, kesehatan dan kesejahteraan yang diabaikan, hak politik yang dikebiri dan sebagainya. Secara kodrat, keadaan fisik laki-laki dan perempuan memang berbeda. Laki-laki mempunyai kumis, testis, dan sperma. Sedangkan perempuan mempunyai rahim untuk mengandung bayi, payudara yang menghasilkan ASI. Namun hal itu tidak lantas menjadikan keduanya dibedakan pula perannya dalam kehidupan bermasyarakat dan sosial.
2
Ketimpangan Gender Potensi perempuan usia produktif sebenarnya sangat besar. Sesuai hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2011, persentase jumlah perempuan usia produktif (14-64 tahun) lebih banyak dibanding laki-laki (PPPA, 2012). Namun penyandang buta huruf usia 15 tahun ke atas terbanyak adalah perempuan (9,93 % dari penduduk perempuan) lebih tinggi daripada laki-laki sebanyak 4,41 %. Terutama di pedesaan buta aksara perempuan mencapai 13,70 jauh dari prosentase laki-laki buta aksara yang hanya 6,52%. Dari hasil tersebut dapat dilihat masih terdapat kesenjangan antara laki-laki dan perempuan. Perempuan yang tidak berpendidikan cenderung menjadi beban secara ekonomi dalam keluarga karena mereka tidak bisa bekerja di luar rumah. Ketertinggalan pendidikan yang dialami oleh perempuan berdampak pervasiv. Dengan pendidikan yang rendah menyebabkan perempuan tidak bisa memberdayakan dirinya, takut untuk menyatakan pendapat, pemikiran tidak bisa berkembang dan akhirnya banyak yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Kalaupun terjadi tindak kekerasan, perempuan tersebut cenderung untuk mengalah dan tidak melakukan langkah hukum karena alasan keutuhan rumah tangga dan adanya ketergantungan ekonomi pada suami. Apabila dibandikan dengan negara berkembang lainnya, kondisi di Indonesia hampir sama. Hasil survei yang dilakukan oleh korporat Intel di negera berkembang yaitu Mesir, India, Urganda dan Meksiko yang dirilis Januari 2013 dengan melibatkan responden sebanyak 2.200 orang perempuan dan anak menyatakan ada masalah ketidakadilan dalam penggunaan teknologi di tengah masyarakat. Perempuan cenderung terbatas dan tertinggal dalam berteknologi. Rata- rata 25 persen perempuan yang less online tertinggal akses internet dibanding kaum laki-laki. (nationalgeographic.co.id). Dilaporkan oleh pers India bahwa pada tahun 2012 ada 8.233 wanita tewas akibat sengketa mahar perkawinan. Padahal hukum di India menyatakan melarang atau menerima mahar, tetapi kebiasaan sosial selama berabab-abad itu terus berlanjut. Apabila wanita yang telah menikah belum bisa membayar mahar kepada laki-laki pada saat pernikahan, mahar tersebut bisa dicicil. Selama wanita tersebut belum melunasi maharnya, maka pihak keluarga laki- laki cenderung melakukan kekerasan terhadap wanita tersebut. Kekerasan itu mulai dalam bentuk sindiran, makian, tamparan sampai dengan pembunuhan. Penyebab ketimpangan Penyebab utama dari ketimpangan gender menurut Masdar F. Masudi adalah pelabelan sifat-sifat tertentu (stereotype) pada perempuan bahwa mereka adalah makhluk yang lemah, cengeng, lebih mementingkan perasaan dari pada logika, tidak berdaya dan layak tinggal di rumah saja. Akibatnya perempuan mendapat empat persoalan yaitu : subordinasi, marginalisasi, posisi lemah dan beban ganda. Subordinasi merupakan sebuah pandangan bahwa perempuan berada di bawah supremasi laki-laki. Laki-laki adalah imam dan perempuan adalah makmum. Semua keputusan laki-laki harus ditaati oleh perempuan. Perempuan hanya boleh menjadi pemimpin terhadap kaum perempuan saja. 3
Persoalan kedua berupa marginalisasi yaitu perempuan dianggap tidak penting. Perempuan dianggap sebagai konco wingking. Pekerjaannya hanya Macak, Manak, Masak (berhias, melahirkan dan memasak) sehingga tidak perlu pendidikan yang tinggi. Permasalahan selanjutnya adalah posisi lemah sehingga perempuan sering menjadi korban kekerasan baik fisik, psikis maupun seksual. Kita sering mendengar berita perempuan menjadi korban KDRT, perkosaan, pelecehan, perdagangan orang (trafficking), sampai pembunuhan. Posisi lemah seringkali membuat perempuan tidak berdaya ketika menerima kekerasan. Dan yang keempat adalah masalah beban ganda yang dialami oleh perempuan. Beban ganda ini dalam artian bahwa selain perempuan berperan sebagi istri, ibu dari anak juga membantu suami untuk mencari nafkah. Sebagai istri berkewajiban untuk melayani kebutuhan suami, mulai dari makan, mencuci pakaian sampai di tempat tidur. Sebagai ibu mulai mengandung dengan beban yang demikian berat, melahirkan dengan taruhan nyawa. Ketika anak telah terlahir kewajiban ibu menjadi semakin banyak. Ibu harus memberi ASI, merawat dan mendidiknya. Pekerjaan seorang ibu seakan tiada habisnya. Beban seorang ibu tidak hanya berhenti dalam lingkup keluarga. Kita sering melihat ibu- ibu yang membonceng anaknya naik sepeda untuk diantarkan ke Tempat Penitipan Anak (TPA) atau Pendidikan Usia Dini (PAUD) sebelum berangkan bekerja. Jarang sekali itu dilakukan laki-laki. Laki-laki seakan tugasnya adalah hanya mencari nafkah untuk keluarga, sedangkan apabila perempuan bekerja itu hanya sebagai tambahan saja.
Konsep Gender, Pengarusutamaan Gender, Tujuan PPRG dan Kategori ARG Banyak orang beranggapan bahwa istilah gender sama dengan jenis kelamin. Konsep gender dan jenis kelamin (sex) merupakan dua konsep yang berbeda namun sama-sama menjelaskan perbedaan antara perempuan dan laki-laki. Pengertian jenis kelamin (sex) merujuk pada perbedaan atribut sik laki-laki dan perempuan seperti perbedaan kromosom, alat kelamin, dan reproduksi, hamil, melahirkan, menyusui, menstruasi serta perbedaan karakteristik sik sekunder seperti rambut, pertumbuhan buah dada, perubahan suara, dan seterusnya. Konsep jenis kelamin menjelaskan mengenai kodrat Tuhan yang telah memberikan ciri sik yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Kodrat sik tersebut tidak dapat dipertukarkan dan dimiliki sama oleh laki-laki dan perempuan di seluruh tempat dan budaya, serta dimiliki sejak lahir hingga meninggal dunia. Perbedaan jenis kelamin (sex) dalam masyarakat memberikan konsekwensi makna sosial yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Sedangkan konsep gender merupakan hasil konstruksi sosial yang diciptakan oleh manusia, yang sifatnya tidak tetap, berubah-ubah, serta dapat dialihkan dan dipertukarkan dari satu jenis kelamin ke jenis kelamin lainnya menurut waktu, tempat dan budaya setempat. Konsep gender diciptakan oleh keluarga dan atau masyarakat, yang dipengaruhi oleh budaya, interpretasi pemuka agama, dan diturunkan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Perbedaan peran yang dijalankan oleh laki-laki dan perempuan menghasilkan perbedaan gender. Peran 4
gender mempengaruhi pola relasi antara perempuan dan laki-laki yang disebut sebagai relasi gender. Dari sini dapat disimpulkan bahwa jenis kelamin (sex) berbeda dengan gender. Jenis kelamin merupakan kodrat pemberian Tuhan sebagai peran reproduksi yang tidak dapat dipertukarkan. Sedangkan gender merupakan hasil dari kultur sosial mengenai peran, fungsi dan tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan. Pengarusutamaan Gender (PUG) adalah sebuah strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional. PUG ditujukan untuk mencapai keadilan dan kesetaraan gender. Keadilan dan kesetaraan gender merupakan upaya untuk menegakkan hak-hak perempuan dan laki-laki atas kesempatan yang sama, pengakuan yang sama dan penghargaan yang sama dalam bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat. Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender dalam pembangunan merupakan strategi yang dibangun untuk memastikan perempuan dan laki-laki mempunyai akses yang sama terhadap sumber daya, dapat berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan, memiliki kesempatan dan peluang yang sama dalam melakukan kontrol, serta memperoleh manfaat yang sama terhadap pembangunan. Pemberian akses, kesempatan berpartisipasi, kontrol dan manfaat pembangunan kepada laki-laki dan perempuan harus secara adil dan merata, termasuk didalamnya adalah anak-anak (usia dibawah 18 tahun) dan orang yang menyandang kecacatan (disabilitas). Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender (PPRG) adalah serangkaian cara dan pendekatan untuk mengintegrasikan perspektif gender di dalam proses perencanaan dan penganggaran. Perencanaan yang responsif gender adalah perencanaan untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender, yang dilakukan melalui pengintegrasian pengalaman, aspirasi, kebutuhan, potensi, dan penyelesaian permasalahan perempuan dan laki-laki. Tujuan dari penyusunan PPRG antara lain meningkatkan kesadaran dan pemahaman para pengambil keputusan tentang pentingnya isu gender dalam kebijakan pembangunan dan mempercepat terwujudnya keadilan dan kesetaran gender. Selain itu juga memberikan manfaat yang adil bagi kesejahteraan laki-laki dan perempuan, termasuk anak laki-laki dan anak perempuan dari penggunaan belanja/pengeluaran pembangunan dan meningkatkan esiensi dan efektivitas penggunaan anggaran, serta membangun transparansi anggaran dan akuntabilitas pemerintah daerah. Efisiensi, efektivitas dan transparansi serta akuntabilitas pemerintah daerah merupakan tonggak pencapaian good governance. Anggaran Responsif Gender (ARG) terbagi dalam 3 macam, yaitu : a. Anggaran khusus target gender, yaitu alokasi anggaran yang diperuntukan guna memenuhi kebutuhan dasar khusus perempuan atau kebutuhan dasar khusus laki-laki berdasarkan hasil analisis gender. Misalkan pembangunan tempat laktasi (menyusui) di tempat-tempat pelayanan umum. Hal ini mencerminkan anggaran target khusus gender perempuan. Sedangkan anggaran dengan target khusus gender laki-laki antara lain penyediaan ruang 5
merokok (smoking area) di tempat pelayanan umum yang terdapat larangan merokok misalkan di rumah sakit dll. b. Anggaran kesetaraan gender, adalah alokasi anggaran untuk mengatasi masalah kesenjangan gender. Berdasarkan analisis gender dapat diketahui adanya kesenjangan (gap) dalam relasi antara laki-laki dan perempuan dalam akses terhadap sumber daya, partisipasi, dan kontrol dalam pengambilan keputusan, serta manfaat dari hasil pembangunan. c. Anggaran pelembagaan kesetaraan gender, adalah alokasi anggaran untuk penguatan kelembagaan PUG, baik dalam hal pendataan maupun capacity building.
Data Terpilah dan Indikator Responsif Gender Data Terpilah Nuzulla Agustina mendefinisikan data adalah keterangan mengenai sesuai hal yang sudah sering terjadi dan berupa himpunan fakta, angka, gambar, lambang, kata, huruf-uruf yang menyatakan sesuatu pemikiran, objek serta kondisi dan situasi. Data merupakan bahan yang harus diolah dulu untuk menghasilkan informasi yang dibutuhkan. Secara sederhana data merupakan kumpulan fakta atau angka atau segala sesuatu yang dapat dipercaya kebenarannya, sehingga dapat dijadikan dasar untuk membuat kesimpulan. Dalam rangka penerapan PPRG di daerah, data terpilah menurut jenis kelamin dan gender statistik sangat diperlukan untuk memformulasikan kebijakan pembangunan. Pengertian data terpilah menurut jenis kelamin adalah data yang dipilah menurut kelompok laki-laki dan perempuan, sedangkan gender statistik adalah data terpilah menurut jenis kelamin yang menunjukkan isu gender. Bentuk data terpilah bisa kuantitatif dan bisa pula kualitatif. Dengan menjadikannya dasar data terpilah dalam penyusunan perencanaan program dan kegiatan dapat diketahui posisi, kondisi, dan kebutuhan masyarakat perempuan dan laki-laki dalam berbagai bidang pembangunan, serta permasalahan yang dihadapi dalam upaya mengurangi kesenjangan gender. Manfaat data dalam konteks pelaksanaan PUG dalam pembangunan adalah sebagai prasyarat bagi pembuat keputusan untuk perumusan kebijakan, program, dan kegiatan, selain itu data dijadikan dasar untuk melakukan evaluasi kinerja. Dengan data yang dikumpulkan setiap SKPD, dapat diketahui kinerja daerah atau membandingkan hasil capaian kinerja dari pelaksanaan PUG. Adapun manfaat dari data terpilah adalah : 1. Mengetahui kondisi dan situasi perempuan dan laki-laki di berbagai bidang pembangunan atas pelaksanaan PUG. 2. Menjelaskan perbedaan dari nilai-nilai, peranan, situasi, kondisi, aspirasi, dan kebutuhan perempuan dan laki-laki menurut potensi yang dimiliki. 3. Sebagai alat melakukan analisis gender, untuk mengetahui permasalahan isu gender dan mengukur ada tidaknya kesenjangan gender.
Indikator Responsif Gender 6
Indikator responsif gender atau Gender-sensitive indicator mempunyai fungsi yang khusus untuk menunjukkan perubahan-perubahan yang terkait dengan gender dalam pembangunan. Indikator-indikator ini harus mampu menunjukkan perubahan-perubahan status dan peranan perempuan dan laki-laki. Dengan menggunakan indikator responsif gender dalam suatu program akan membantu membuat perencanaan yang lebih efektif, sehingga dapat menciptakan pelayanan yang semakin baik. Indikator responsif gender atau indikator sensitif gender mampu menangkap perubahan yang terkait dengan gender sepanjang waktu tertentu. Indikator responsif gender ini menyajikan suatu keadaan yang memisahkan antara laki-laki dan perempuan dan menunjukkan hubungan gender yang tidak setara. Indikator responsif gender tidak berarti membuat indikator yang baru, tetapi hanya menjelaskan lebih rinci siapa penerima manfaat program dan kegiatan bagi laki-laki maupun perempuan. Sinkronisasi Perencanaan dan Penganggaran Perencanaan dan penganggaran pembangunan di daerah harus sinkron dengan perencanaan pembangunan nasional. Hal ini didasari oleh Undang-undang nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. RPJP daerah harus mengacu pada RPJP Nasional. Begitu pula RPJM Daerah juga berpedoman pada RMJM Nasional. Apabila diilustrasikan sebagaiman gambar berikut :
Sumber : Petunjuk Pelaksanaan PPRG di daerah, 2012 RPJP Nasional Renstra K/L Renja K/L RKA K/L Rincian APBN RPJM Nasional RKP RAPBN APBN RPJP Daerah RPJM Daerah RKPD RAPBD APBD Renstra SKPD Renja SKPD RKA SKPD Penjabaran APBD KUA PPAS Diperhatikan Diacu Diserasikan melalui Musrenbangda Pedoman Pedoman Pedoman Pedoman Pedoman Dijabarkan Pedoman Pedoman Dijabarkan Pedoman Diacu Pedoman Pedoman P e m e r i n t a h
P u s a t
P e m e r i n t a h
D a e r a h
Penganggaran Perencanaan 7
Perencanaan pembangunan Nasional dan Daerah disusun dengan menggunakan pendekatan politik, teknokratik, partisipatif, bottom up dan top-down. Pendekatan politik mengandung maksud bahwa perencanaan merupakan penjabaran dari visi misi kepala negara/ daerah terpilih. Teknokratik berarti perencanaan dibuat oleh satuan kerja atau lembaga yang mempunyai kompetensi dengan menggunakan metode dan kerangka berpikir ilmiah. Partisipatif merupakan pelibatan semua pihak yang terkait dengan pembangunan (stakeholders). sedangkan bottom up dan top down, yaitu perencanaan berdasarkan kebijakan dari atas (pusat) dan usulan dari bawah yang diserasikan.
Kerangka PPRG dalam Siklus Anggaran Kinerja Kerangka perencanaan dan penganggaran responsif gender merupakan bagian subsistem dari pendekatan manajemen berbasis kinerja. Kerangka kerja PPRG dalam siklus anggaran kinerja diilustrasikan berikut.
Kerangka kerja PPRG dalam siklus anggaran berbasis kinerja meliputi 4 tahapan: 1. Penilaian masalah. Hal pertama yang dilakukan yaitu mengidentikasi permasalahan dan isu-isu yang dihadapi masyarakat dan pemerintah (isu-isu strategis), melakukan analisis untuk mengetahui kekuatan, kelemahan, tantangan, dan hambatan eksternal (analisa SWOT) serta membuat skala prioritas. 2. Penyusunan strategi. Setelah permasalahan dapat teridentifikasi, selanjutnya adalah pengembangan strategi, yaitu menyusun program dan kegiatan untuk mengatasi permasalahan berdasarkan hasil analisis. Penilaian Masalah Penyusunan Strategi Penganggaran Pengukuran Kinerja PPRG 8
3. Penganggaran. Guna pelaksanaan program yang telah direncanakan, diperlukan alokasi sumber daya baik berupa uang (anggaran), SDM dan peralatan dengan mempertimbangkan prinsip anggaran kinerja, menyusun rincian anggaran atau sumber daya yang dibutuhkan setiap jenis program dan kegiatan. 4. Pengukuran kinerja. Guna melihat efektivitas kegiatan dan kemajuan pencapaian tujuan yang telah ditetapkan perlu didentikasi ukuran kinerja untuk mengukurnya. Dari hasil pengukuran tersebut dilakukan analisis, apakah program dan kegiatan telah memenuhi tuntutan masyarakat atau tidak, sebagai bahan evaluasi pelaksanaan program di masa mendatang.
Langkah-langkah Penyusunan PPRG di Daerah Rancangan APBD merupakan kumpulan dari Rencana Kerja dan Anggaran SKPD. Sebelum menyusun RKA SKPD yang mengintegrasikan isu gender di dalamnya, maka ada beberapa langkah yang harus ditempuh yaitu membuat gender analisis path way, pembuatan GBS dan TOR. Gender Analysis Pathway (GAP) merupakan salah satu alat analisis gender. Sebenarnya ada banyak metode analisis gender, antara lain Model Harvard, Model Moser, SWOT (Strengthen, Weakness, Opportunity, Treath), Proba (Problem Base Analysis) dan Gender Analysis Pathway (GAP) sendiri. Namun yang sering disarankan dalam forum penyusunan ARG adalah menggunakan GAP. GAP didasarkan pada sebuah kebijakan/program/kegiatan yang sudah ada, atau dokumen kebijakan/program/kegiatan yang akan disusun. GAP tidak harus membuat program/kegiatan baru. Program yang sudah ada dianalisi tentang isu gender apakah masih terdapat kesenjangan gender di dalamnya. Metode GAP meliputi 9 (sembilan) langkah yaitu : 1. Pilih Kebijakan/ Program/Kegiatan yang akan Dianalisis dan tujuan dari program / kegiatan tersebut 2. Menyajikan Data Pembuka Wawasan. Data pembuka wawasan merupakan data terpilah laki-laki dan perempuan yang nantinya menjadi sasara program/kegiatan. Data tersebut dapat bersifat kualitatif maupun kuantitatif. 3. Mengenali Faktor Kesenjangan Gender. Langkah ini untuk menemukenali apakah terdapat faktor penyebab kesenjangan gender yaitu yaitu Akses, Partisipasi, Kontrol, dan Manfaat (APKM). 4. Menemukenali Sebab Kesenjangan Internal. Identifikasi yang dilakukan yaitu apakah terdapat penyebab kesenjangan gender dari dalam organisasi (pemerintah) antara lain kebijakan, peraturan perundang-undangan, hukum, pengambil keputusan yang belum memahami tentang gender. 5. Menemukenali Sebab Kesenjangan Eksternal. Identifikasi penyebab kesenjangan gender di luar organisasi yang bisa berbentuk faktor budaya patriarkhi, gender stereotype, dll. 6. Reformulasi Tujuan. Program/kegiatan yang sudah ada tidak usah dirubah. Namun tujuan dari program/kegiatan tersebut perlu direformulasi agar responsif gender. 9
7. Rencana Aksi. Rencana aksi yang dibuat diharapkan dapat mengatasi masalah faktor penyebab kesenjangan gender baik dari dalam maupun luar organisasi. 8. Data Dasar. Menetapkan data dasar yang dipilih untuk mengukur kemajuan (progress) Data yang dimaksud diambil dari data pembuka wawasan yang telah diungkapkan pada langkah ke 2 yang terkait dengan tujuan kegiatan dan ouput kegiatan. 9. Indikator Gender. Menetapkan indikator gender sebagai pengukuran hasil melalui ukuran kuantitatif maupun kualitatif. Setelah menganalisis program/kegiatan dan isu gender memakai GAP, selanjutnya adalah dengan menyusun Gender Budget Statement (GBS) yaitu dokumen pertanggungjawaban spesifik gender yang disusun Pemerintah yang menunjukkan kesediaan instansi untuk melakukan kegiatan berdasarkan kesetaraan gender dan mengalokasikan anggaran untuk kegiatan tersebut. GBS disusun berdasarkan RKA SKPD dan hasil analisis GAP. Komponen dalam GBS terdiri dari Program/kegiatan (dari RKA SKPD), indikator kinerja, analisis situasi yaitu gambaran keadaan nyata masyarakat terkait kesenjangan gender, rencana aksi berupa kegiatan dan sub kegiatan, pengalokasian sumberdaya baik dana maupun SDM dan dampak/outcome yang ingin dicapai dari program / kegiatan. Kemudian langkah selanjutnya adalah penyusunan Term Of Referrence (TOR) atau kerangka acuan kegiatan (KAK) yaitu suatu dokumen yang berisi tentang penjelasan/keterangan mengenai kegiatan yang diusulkan untuk dianggarkan dan perkiraan biayanya. TOR/KAK merupakan dokumen yang menerangkan segala sesuatu tentang rencana pelaksanaan suatu kegiatan. Komponen dalam TOR antara lain latar belakang, siapa yang menjadi sasaran/penerima manfaat, strategi pencapaian, waktu pencapaian dan anggaran yang dibutuhkan. Hasil GAP dan GBS selanjutnya menjadi dokumen yang dijadikan acuan dalam penyusunan RKA SKPD. Kelompok sasaran dalam RKA ditentukan berdasarkan hasil analisis GAP dan GBS atau yang ada dalam TOR. Kegiatan dalam RKA harus sesuai dengan GBS (sesuai Renja SKPD). Rumusan output dalam RKA dapat mengambil dari output kegiatan pada GBS. Rumusan outcome dalam RKA dapat mengambil rumusan indikator gender pada GAP atau indikator hasil pada GBS.
Permasalahan dalam Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender Bentuk-bentuk kebijakan dan peraturan perundang-undangan telah banyak diterbitkan baik oleh pemerintah pusat maupun daerah. Mulai dengan meratifikasi isi dari Millenium Development Goals (MDGs) sampai dengan pembentukan focal point PUG di masing-masing SKPD. Hal ini menunjukkan dari segi regulasi telah banyak sekali yang menaungi terselenggaranya Pengarusutamaan Gender di segala bidang. Namun hal tersebut tidak secara otomatis menjadikan Indonesia menjadi negara yang maju dalam hal PUG. Ada dua faktor utama yang mempengaruhi hal tersebut, yaitu : 1. Faktor dari dalam organisasi Pemerintah 10
Meskipun pemerintah telah membuat berbagai aturan perundang-undangan yang mengatur masalah pengarusutamaan gender, namun dari segi implementasi dari perencanaan dan penyusunan anggaran masih belum banyak sensitif dengan isu gender. Hal ini bisa diakibatkan karena : Banyak para pemimpin yang memegang peran dalam pengambilan keputusan perencanaan dan penganggaran belum memahami tentang isu gender. Hal tersebut disebabkan karena pemimpin belum tersentuh tentang PUG, ataupun karena adanya mutasi jabatan (terutama di daerah) yang jarang sekali mempertimbangkan faktor pengetahuan dan ketrampilan. Mutasi lebih ditendensikan karena kepentingan politik kepala daerah dan berdasarkan Daftar Urut Kepangkatan (DUK) yang menjadi referensi Baperjakat. Kapabilitas SDM Perencanaan Perencanaan dan penyusunan anggaran (APBD) melibatkan banyak unsur. Beberapa pihak yang terlibat antara lain Bagian Penyusunan Program di SKPD, Tim Anggaran Pemda dan Legislatif. Tidak semuanya memahami tentang isu gender. Lebih sulit lagi untuk menyentuh pada pihak legislatif (DPRD) dengan masa kerja 5 tahun yang relatif singkat namun mempunyai kewenangan yang besar dalam perencanaan dan penganggaran. Data terpilah yang valid Pemerintah juga belum mempunyai data yang valid yang menjadi dasar dari analisis GAP. Di daerah, data dari masing-masing SKPD dengan sasaran yang sama adakalanya datanya berbeda. Misal jumlah penduduk yang dirilis oleh Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil berbeda dengan yang dimiliki oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana dan berbeda pula dengan yang dimiliki oleh Badan Pusat Statistik. 2. Faktor budaya masyarakat Budaya patriarkhi yang telah menjadi budaya hidup masyarakat Indonesia sejak dahulu sulit untuk melakukan perubahan. Sendi-sendi kehidupan telah terisi dengan dogma tersebut. Budaya patriarkhi menyebabkan sosio kehidupan berbasyarakat terstruktur bahwa laki-laki adalah yang terutama dan terdepan. Hal tesebut menyebabkan berbagai kesenjangan dalam isu gender. Ketertinggalan perempuan berimplikasi luas terhadap kehidupannya. Pendidikan yang rendah, ketergantungan ekonomi membuat perempuan sulit untuk mengaktualisasikan diri sendiri. Perempuan tidak mempunyai kemampuan untuk menyatakan pendapat dan berpartisipasi dalam pembangunan. Walaupun sekarang sudah banyak perempuan yang mempunyai pendidikan tinggi, namun hal itu bukan mencerminkan keadaan sesungguhnya. Para pemerhati perempuan telah berbuat banyak untuk memberdayakan dan meningkatkan kualitas hidup perempuan. Hal ini cukup berarti namun sementara ini hasilnya juga belum maksimal.
Solusi dan pemecahan masalah 11
Berdasarkan identifikasi masalah yang menjadi penyebab timbulnya kesenjangan gender tersebut, ada beberapa hal yang dapat dijadikan pertimbangan dalam pemecahan masalah tersebut antara lain : 1. Advokasi kepada SKPD terutama kepada Bidang Perencanaan dan Penyusunan Program harus dilaksanakan. Hal ini dimaksudkan apabila bidang tersebut paham dan menguasai perencanaan dan penganggaran yang responsif gender mampu membuat perencanaan yang baik dan dapat memberi masukan kepada pemimpin/kepala SKPD. 2. Pembuatan juknis tentang PUG dan penganggaran responsif gender yang disebarkan ke seluruh SKPD, Kecamatan hingga desa/kelurahan. 3. Perbaikan sistem pengumpulan data sehingga diperoleh data yang dihasilkan merupakan data yang dapat dipercaya dan bisa menjadi dasar pengambilan keputusan. 4. Peningkatan peran serta pemerintah dan masyarakat untuk terus mendorong kaum perempuan turut aktif dalam perencanaan pembangunan. 5. Pemberdayaan organisasi pemerhati perempuan untuk memfasilitasi peningkatan kesejahteraan dan perlindungan perempuan.
Kesimpulan Kesenjangan gender masih terjadi walaupun pemerintah telah berupaya dengan membuat regulasi dalam Pengarusutamaan Gender. Tata cara Perencanaan dan pengganggaran telah diatur sedemikian rinci. Namun berbagai faktor masih menghambat hal tersebut. Faktor dari dalam organisasi pemerintah maupun dari budaya masyarakat serta perempuan itu sendiri. Dengan komitmen yang kuat dari pemerintah, masyarakat dan stakeholder yang terlibat diharapkan bisa mengurangi kesenjangan tersebut. Hal tersebut akan mencerminkan kinerja pemerintah untuk mewujudkan good governance. Peningkatan kesejahteraan masyarakat adalah tolok ukur kinerja pemerintah.