Diajukan untuk Melengkapi dan Memenuhi Syarat Awal untuk Mencapai Gelar Sarjana
Sosial Hubungan Internasional
Disusun Oleh :
Shabira Arsa Ghalda
1810412099
Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta
2022
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam era modern saat ini, isu terkait dengan studi hubungan internasional terus
berkembang mengikuti perkembangan zaman. Isu yang berkembang tidak hanya sebatas
membahas hubungan politik dan pertahanan suatu negara saja, namun meluas pada isu – isu
non-tradisional seperti isu lingkungan hidup, kesehatan, budaya, pendidikan dan isu – isu
sosial seperti halnya kesetaraan gender. Dewasa ini, persoalan gender menjadi sebuah isu
yang penting secara internasional. Kesetaraan gender menjadi isu yang memiliki pengaruh
besar dalam kehidupan masyarakat internasional. Secara moralitas, kesetaraan gender
menjadi hal yang utama karena hal ini termasuk ke dalam hak asasi yang harus didapatkan
oleh manusia. Kesetaraan gender penting demi menjunjung persamaan hak sebagai manusia
antara perempuan dan laki – laki, juga untuk menghilangkan segala bentuk diskriminasi,
kekerasan, serta pelecehan yang sering dialami oleh perempuan. Selain itu, ketidaksetaraan
gender juga muncul ketika adanya perempuan yang menerima pengecualian ataupun kerugian
dalam proses pengambilan keputusan dan akses ke sumber daya baik ekonomi maupun sosial
(UNFPA, 2005).
5.3 Menghapus semua praktik berbahaya, seperti perkawinan usia anak, perkawinan
dini dan paksa, serta sunat perempuan
5.4 Mengenali dan menghargai pekerjaan mengasuh dan pekerjaan rumah tangga
yang tidak dibayar melalui penyediaan pelayanan publik, infrastruktur dan
kebijakan perlindungan sosial, dan peningkatan tanggung jawab bersama dalam
rumah tangga dan keluarga yang tepat secara nasional
5.5 Menjamin partisipasi penuh dan efektif, dan kesempatan yang sama bagi
perempuan untuk memimpin di semua tingkat pengambilan keputusan dalam
kehidupan politik, ekonomi, dan masyarakat
5.6 Menjamin akses universal terhadap kesehatan seksual dan reproduksi, dan hak
reproduksi seperti yang telah disepakati sesuai dengan Programme of Action of
the International Conference on Population and Development and the Beijing
Platform serta dokumen-dokumen hasil review dari konferensi-konferensi
tersebut.
Indonesia menjadi salah satu negara dengan tingkat kesetaraan gender yang rendah.
Menurut data United Nations Development Programme (UNDP) yang dipublikasikan oleh
Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia memiliki indeks ketimpangan gender (Gender
Inequality Index/ GII) tertinggi di Kawasan ASEAN, yakni sebesar 0.48 poin. Hal ini
menunjukkan, Indonesia merupakan negara dengan pencapaian pembangunan gender yang
belum optimal dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Tidak hanya di wilayah
ASEAN, pencapaian pembangunan gender di Indonesia pun belum optimal jika dibandingkan
dengan negara – negara di dunia. Hal ini ditunjukkan oleh posisi Indonesia yang berada di
peringkat ke 121 dari 162 negara dengan ketimpangan gender terbesar pada tahun 2019
(Dihni, 2021).
Persamaan persepsi antara arti kata gender dan jenis kelamin seringkali menimbulkan
ketimpangan karena munculnya ketidakadilan gender dengan subjek yang terlibat.
Perempuan kerap memperoleh hak yang tidak sebanding dengan apa yang diperoleh oleh laki
– laki. Seorang laki – laki digambarkan identik sebagai seorang pemimpin dan selalu berada
di posisi atas, sementara perempuan selalu dinilai hanya mampu memberikan kontribusi
dalam kebutuhan rumah. Hal ini terkait dengan aktivitas laki – laki yang cenderung untuk
mencari nafkah bagi keluarganya dimana posisi mereka sebagai seorang kepala keluarga, dan
perempuan hanya berkontribusi dalam kebutuhan dasar sehari – hari, seperti mengurus rumah
dan mendidik anak (DTE, 2014).
Pola pikir seperti diatas sudah banyak tertanam pada mayoritas pikiran laki – laki
zaman dahulu hingga saat ini, seperti halnya dalam budaya patriarki. Salah satu penyebab
kesetaraan gender yang sulit diraih oleh bangsa Indonesia adalah karena kentalnya budaya
patriarki yang ada. Hal ini didukung oleh pernyataan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak RI (PPPA) pada tahun 2019, yang menyatakan bahwa rendahnya Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) perempuan (69.18) dibandingkan dengan IPM laki – laki
(75.96) berkaitan dengan konstruksi sosial patriarki yang menempatkan posisi perempuan
lebih rendah daripada laki – laki padahal perempuan adalah kekuatan bangsa. Dimana
berdasarkan sensus 2020, perempuan mengisi 49.42% dari populasi di Indonesia atau sekitar
133.54 juta jiwa. Selain itu berdasarkan McKinsey Global Institute Analysis, Indonesia dapat
meningkatkan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) sebesar USD 135 miliar per tahun di tahun
2025, dengan catatan partisipasi ekonomi perempuan terus ditingkatkan pula (KEMENPPPA,
2021).
Dalam budaya patriarki, peran perempuan difokuskan pada tugas domestik dalam
urusan rumah tangga dan mengasuh anak. Menurut Alfian Rokhmansyah (2016) di bukunya
yang berjudul Pengantar Gender dan Feminisme, patriarki berasal dari kata patriarkat yang
berarti sebuah struktur yang menempatkan peran laki-laki sebagai penguasa tunggal, sentral,
dan segala-galanya. Sistem patriarki yang mendominasi kebudayaan masyarakat
menyebabkan adanya kesenjangan dan ketidakadilan gender yang mempengaruhi hingga ke
berbagai aspek kegiatan manusia. Laki-laki memiliki peran sebagai kontrol utama di dalam
masyarakat, sedangkan perempuan hanya memiliki sedikit pengaruh atau bisa dikatakan tidak
memiliki hak pada wilayah-wilayah umum dalam masyarakat, baik secara ekonomi, sosial,
politik, dan psikologi, bahkan termasuk di dalamnya institusi pernikahan (Rokhmansyah,
2016).
Menurut jurnal Rahmi Fitrianti (2012) yang berjudul Ketidaksetaraan Gender dalam
Pendidikan, dikatakan bahwa akar dari ketidaksetaraan gender terletak pada sektor
pendidikan. Ketidaksetaraan pada sektor pendidikan telah menjadi faktor utama yang paling
berpengaruh terhadap ketidaksetaraan gender secara menyeluruh. Hal ini sesuai dengan
ungkapan Suryadi & Idris (2004) bahwa latar belakang pendidikan yang belum setara antara
laki – laki dan perempuan menjadi faktor utama penyebab ketidaksetaraan gender dalam
semua sektor seperti lapangan pekerjaan, jabatan, peran di masyarakat, sampai pada masalah
dalam menyuarakan pendapat.
Pendidikan yang rendah pada perempuan sangat berpengaruh terhadap akses pada sumber
– sumber produksi, di mana mereka akan lebih banyak terkonsentrasi pada pekerjaan –
pekerjaan informal yang memiliki upah rendah. Selain itu, pengaruh pendidikan juga
memperlihatkan kecenderungan bahwa semakin rendah tingkat pendidikan maka semakin
besar ketidaksetaraan gender dalam sistem pengupahan tersebut terjadi (Suryadi & Idris,
2004). Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) terkait laporan perekonomian tahun
2019 mencatat bahwa kesenjangan upah antara pekerja laki – laki dan perempuan semakin
lebar. Upah untuk pekerja laki – laki lebih tinggi daripada upah pekerja perempuan. Selama
periode 2015 hingga Februari 2019, selisihnya mencapai Rp. 492.2 ribu. BPS juga
menyebutkan bahwa kesenjangan upah ini merupakan isu lama karena adanya anggapan
perempuan kurang berkontribusi dalam pekerjaan. Selain itu, perempuan sendiri juga menjadi
cenderung ditempatkan pada posisi – posisi yang bernilai rendah.
Indonesia sendiri telah membuat kemajuan besar dalam mencapai kesetaraan gender pada
sektor pendidikan selama satu dekade terakhir ini. Hal ini dapat dilihat dari meningkatnya
tingkat literasi ataupun angka partisipasi sekolah, serta kebijakan yang mendorong
terwujudnya masyarakat yang berkeadilan gender. Selain itu, hal tersebut juga dapat dilihat
dari perbandingan Gender Parity Index (GPI) Indonesia pada tahun 1970-an hingga 2019.
Pada tahun 1970-an, GPI untuk angka partisipasi sekolah (rasio anak perempuan terhadap
anak laki – laki yang terdaftar di sekolah) pada anak usia 7-12 tahun adalah 0.89.
Kesenjangan ini juga bertambah lebar seiring dengan bertambahnya umur anak – anak.
Namun pada tahun 2019, Indonesia telah berhasil mencapai kesetaraan gender dalam hal
partisipasi sekolah di tingkat nasional dengan GPI 1.00 untuk angka partisipasi sekolah pada
anak – anak usia 7-12 tahun.
Namun, menurut laporan Worldbank 2020 tentang kesetaran gender di Indonesia, terdapat
beberapa hal menarik, salah satunya yaitu paradoks bahwa meskipun perempuan Indonesia
memiliki akses terhadap pendidikan (tingkat partisipasi pendidikan tinggi), hal itu tidak
berlanjut kepada tingginya tingkat partisipasi perempuan dalam kegiatan ekonomi. Artinya,
meskipun partisipasi gender dalam pendidikan tinggi, kesetaraan gender belum dapat dicapai
sepenuhnya (Noah & Rythia, 2020). Perempuan masih kurang terwakili, baik pada posisi
kepemimpinan di lingkungan sekolah hingga pemerintahan. Dalam laporan tersebut
disebutkan bahwa pada tingkat nasional, meskipun anak perempuan berprestasi jauh lebih
baik daripada dibandingkan dengan anak laki – laki di sekolah, namun jumlah perempuan
yang bekerja lebih sedikit, selain itu perempuan juga mendapatkan penghasilan lebih rendah,
dan lebih sedikit mendapatkan kesempatan untuk dipromosikan.
Laporan UNESCO dalam Education For All (EFA) Global Monitoring Report
2003/2004, menyatakan bahwa kesetaraan gender dalam pendidikan dapat dicapai melalui
tiga hak dasar, yaitu hak untuk mendapatkan pendidikan (rights to education), hak dalam
proses pendidikan di dalam lingkungan yang mendukung kesetaraan gender (rights within
education), dan hak akan hasil pendidikan yang mendukung pencapaian berkeadilan (rights
trough education) (UNESCO, 2004). Hak untuk mendapatkan pendidikan saat ini mungkin
sudah mulai tercapai dengan tinggi tingkat partisipasi pendidikan oleh perempuan. Namun
hak dalam memperoleh lingkungan yang mendukung kesetaraan gender dalam proses
pendidikan dapat dikatakan masih kurang baik. Hal ini dikarenakan bahwa hak tersebut tidak
hanya terhenti pada pemenuhan kebutuhan pendidikan formal kepada anak – anak perempuan
tersebut saja, namun juga membahas mengenai peran dan fungsi mereka di lingkungan
sekolah. Salah satu contohnya adalah dengan mereka dapat bersuara, berpendapat, beropini,
dan dapat menjadi seorang pemimpin di lingkungannya. Hal ini memiliki dampak besar pada
hak selanjutnya yang wajib mereka dapatkan, yaitu hak akan hasil dari pendidikan untuk
mendukung pencapaian kesetaraan gender. Hak ini akan tercipta ketika perempuan dan laki –
laki mendapatkan kesempatan yang sama dalam memperoleh karir, pendapatan upah, serta
kontribusi dalam kegiatan sosial dan ekonomi. Dalam mencapai hal tersebut, maka
diperlukan adanya peningkatan kapasitas di dalam diri perempuan – perempuan tersebut.
UNESCO menyebutkan bahwa perubahan sosial, yang dalam hal ini adalah kesetaraan
gender, memang bukan sesuatu yang mudah dan dapat terjadi secara instan, memerlukan
waktu yang panjang untuk pada akhirnya dapat terciptanya kesetaraan gender. Namun, hal itu
tidak akan dapat diraih jika tidak adanya pemberdayaan perempuan secara langsung.
Pemberdayaan sendiri merupakan suatu usaha yang dilakukan untuk membuat masyarakat
mampu memajukan diri sendiri dengan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan yang
dimiliki menuju kehidupan yang lebih baik. Pemberdayaan perempuan adalah suatu proses
kesadaran dan pembentukan kapasitas (capacity building) terhadap perempuan untuk
memperoleh akses dan kontrol pada segala sumber daya, baik ekonomi, politik, sosial,
maupun budaya. Hal ini dilakukan agar perempuan dapat mengatur diri dan meningkatkan
rasa percaya dirinya sehingga mereka mampu berperan dan berpartisipasi aktif dalam
memecahkan masalah, serta mampu membangun kemampuan dan konsep diri.
Kesetaraan gender dalam Pendidikan dapat diwujudkan dengan adanya sinergi antar
lembaga baik pada lembaga pemerintahan negara ataupun yayasan/organisasi nasional hingga
masyarakat sekalipun. NGO atau Non-Governmental Organization menjadi salah satu aktor
dalam hubungan internasional yang memiliki peranan penting dalam mewujudkan tujuan
sosial, seperti halnya kesetaraan gender. Dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang
kolaboratif dan turut memperjuangkan permasalahan yang ada di masyarakat, maka peran
Non-Governmental Organization (NGO) dapat menjadi kunci (Kristopel, 2019). Menurut
UNESCO, saat ini NGO memiliki peranan penting di banyak negara dalam upaya untuk
meningkatkan pencapaian dengan cara yang inovatif (UNESCO, 2004).
CARE memiliki visi untuk menciptakan dunia yang penuh harapan, inklusi, dan keadilan
sosial, dimana kemiskinan telah diatasi dan semua orang hidup dengan bermartabat dan
aman. Serta misi untuk bekerja diseluruh dunia untuk menyelamatkan nyawa, mengalahkan
kemiskinan dan mencapai keadilan sosial. Dalam mewujudkan visi dan misi tersebut, CARE
memiliki beberapa program dan salah satunya adalah Program Kemajuan Pribadi dan
Peningkatan Karir (Personal Advancement and Career Enhancement). Program ini memiliki
tujuan untuk meningkatkan kemampuan personal seorang anak perempuan untuk
pengembangan dirinya menuju peningkatan karir demi kehidupan yang lebih baik. Program
ini dilaksanakan dengan memberikan modul pengembangan pribadi kepada siswa sekolah
menengah pertama, usia 12 – 14 tahun, dengan tujuan agar siswa perempuan tersebut dapat
lebih percaya diri dan akan lebih siap untuk berkomunikasi dan membuat keputusan yang
matang dengan keluarga mereka tentang sekolah dan masa depan yang mereka miliki (CARE
Indonesia, 2020).
Sebagai salah satu negara anggota PBB, Indonesia telah menyepakati Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals tujuan 5 yaitu Gender
Equality, untuk mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan kaum perempuan. Dalam
mencapai tujuan tersebut, Indonesia dibantu oleh salah satu Non-Governmental Organization
yang berfokus pada isu keadilan gender & inklusi sosial, yaitu Yayasan CARE Peduli atau
yang lebih dikenal dengan CARE Indonesia. Untuk dapat mewujudkan kesetaraan gender,
CARE Indonesia memiliki program yang ditargetkan untuk anak – anak remaja perempuan,
yaitu program untuk meningkatkan kapasitas diri (capacity building) dengan nama Personal
Advancement and Career Enhancement (PACE). Program ini dilaksanakan dengan
melakukan kerjasama langsung antara Pemerintah Kabupaten Bandung dan NGO CARE
Indonesia. Dalam kesepakatan tersebut, kerjasama ini pada awalnya hanya dimaksudkan
untuk melakukan program peningkatan kapasitas diri, ketahanan pada lingkungan yang
kurang mendukung, pemberdayaan perempuan, perlindungan anak, dan kesetaraan gender di
sekolah – sekolah dan desa di Kabupaten Bandung. Namun, seiring berjalannya waktu,
program ini terus diperpanjang dan juga akan diadaptasi serta dikembangkan oleh pemerintah
daerah di bawah Dinas Pendidikan untuk diintegrasikan ke dalam kurikulum untuk
mengurangi jumlah kasus perkawinan anak, meningkatkan akses pendidikan bagi anak
perempuan, dan menghentikan kekerasan terhadap anak perempuan.
Bagaimana peran CARE Indonesia sebagai sebuah NGO pada kasus kesetaraan gender
di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, melalui program “Personal Advancement and
Career Enhancement” (PACE) periode 2019 – 2022?
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui, memaparkan, dan menjelaskan
peran CARE Indonesia sebagai sebuah Non-Governmental Organizations (NGO) dalam isu
kesetaraan gender yang dilakukan melalui program capacity building “Personal
Advancement and Career Enhancement (PACE)” di Kabupaten Bandung, Jawa Barat.
BAB I PENDAHULUAN
Bagian ini berisi uraian latar belakang masalah penelitian yang akan diteliti
beserta pemaparan terkait hasil pemikiran beberapa penelitian terdahulu
sebagai referensi penulis dalam melakukan penelitian ini. Lalu terdapat juga
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta sistematika
penelitian.
Dalam bagian ini, berisi uraian mengenai konsep dan teori yang digunakan
peneliti sebagai sarana untuk mencari jawaban terhadap masalah penelitian,
kerangka pemikiran, dan alur pemikiran.
TINJAUAN PUSTAKA
Salamon (1994), menuliskan tentang peran organisasi sektor ketiga (NGO) sebagai
revolusi asosiasi global. Hal ini dikarenakan, saat ini NGO telah terbentuk menjadi sebuah
arena penting bagi aktivitas sosial, ekonomi, hingga politik suatu negara disamping aktor
negara dan pasar. NGO telah meningkatkan perannya dalam sebuah kebijakan publik (Lewis,
2001).
Setiap NGO memiliki beberapa fungsi penting dalam hubungan internasional, seperti
berfungsi sebagai badan artikulasi dan agregasi dalam memandang sebuah permasalahan
dalam lingkup internasional (L. Bennett, 1995). Melalui fungsi ini, sebuah NGO dapat
mengangkat sebuah permasalahan dalam lingkup internasional untuk kemudian dilakukan
pencarian terhadap pemecahan masalah tersebut. Selain itu, saat ini NGO juga ikut
mempengaruhi nilai – nilai dan norma yang berkembang dalam lingkup hubungan
internasional. Jika dibandingkan dengan International Government Organization, NGO
merupakan sebuah organisasi yang tidak memiliki cukup banyak kekayaan, namun di sisi
lain, organisasi ini memiliki kemampuan dalam mengembangkan sistem sosialisasi kedalam
lingkup masyarakat. NGO biasanya memiliki kemampuan lebih untuk dapat mendekati
masyarakat agar masyarakat yang bersangkutan dapat menerima pemikiran yang organisasi
tersebut miliki (Auliarini, 2013).
Menurut The Global Development Research Centre (GDCR.org), jenis – jenis NGO
dapat dipahami melalui dua cara yaitu melalui orientasi dan level operasi mereka (C.
William, 1991). Jenis NGO berdasarkan orientasi, yaitu :
1. Charitable Orientation (orientasi amal) : mengacu pada upaya dari atas kebawah
dengan partisipasi yang sedikit dari penerima manfaat (bantuan), NGO ini
memiliki kegiatan yang diarahkan untuk memenuhi kebutuhan miskin dengan
mendistribusikan makanan, pakaian, maupun obat – obatan dan menyediakan
akomodasi, sekolah, dan sejenisnya. NGO juga dapat melakukan kegiatan bantuan
saat ada bencana alam maupun bencana akibat ulah manusia.
2. Service Orientation (orientasi layanan) : mencakup kegiatan seperti menyediakan
layanan kesehatan, keluarga berencana, atau pendidikan. Dengan adanya program
layanan yang dirancang oleh sebuah NGO ini, maka masyarakat diharapkan dapat
berpartisipasi dalam melaksanakan program dan menerima layanan tersebut.
3. Participatory Orientation (orientasi partisipasif) : dicirikan dengan adanya proyek
swadaya dimana penerima manfaat (bantuan) tersebut berada dan terlibat
langsung, terutama dalam melaksanakan program dengan cara menyumbangkan
uang tunai, peralatan, tanah, bahan, tenaga kerja, dan sebagainya. Dalam program
pengembangan masyarakat klasik, partisipasi dimulai dengan definisi kebutuhan
dan berlanjut ke tahap perencanaan dan implementasi bersama. Orientasi
partisipasif seringkali diidentifikasikan dengan adanya kerjasama yang kooperatif.
4. Empowering Orientation (orientasi pemberdayaan) : memiliki tujuan untuk
membantu orang dalam mengembangkan pemahaman yang lebih jelas tentang
faktor – faktor sosial, politik, dan ekonomi yang mempengaruhi kehidupan
mereka, dan untuk memperkuat kesadaran mereka akan potensi dan kekuatan
yang mereka sendiri miliki guna mengontrol kehidupan mereka. NGO berperan
sebagai sebuah fasilitator, dimana kelompok ini biasanya berkembang secara
spontan pada suatu masalah atau suatu isu, dan NGO memiliki peran dalam
memfasilitasi perkembangan mereka.
Konsep peran awalnya dikembang oleh seorang sosiolog, peran dikaitkan dengan
asumsi dan nilai – nilai yang dibawa individu pada interaksi yang mereka jalankan dengan
orang lain. Peran yang dijalankan bergantung terhadap dengan siapa mereka berinteraksi,
hubungan apa yang terjadi antara mereka, ataupun dalam konteks sosial spesifik seperti apa
interaksi tersebut dapat terjadi. Pada intinya, peran yang dijalankan oleh seseorang dapat
berbeda – beda. Dengan demikian, setiap individu sering dianggap telah memainkan peran
ganda (Turner, 2002).
Teori peran (Role Theory) mendefinisikan peran sebagai serangkaian pola perilaku
yang memiliki keterkaitan dengan seseorang yang berada dalam posisi tertentu dalam sebuah
unit sosial. Teori peran menganggap sebagian besar aktivitas diperankan oleh kategori yang
ditetapkan secara sosial. Maka dari itu, setiap peran sosial mengandung serangkaian hak,
kewajiban, norma, harapan, dan perilaku seseorang yang harus dihadapi maupun dipenuhi
(Robbins & Judge, 2008).
Biddle dan Thomas menjelaskan bahwa peran adalah perangkat patokan yang
membatasi perilaku apa yang diharapkan dari pemegang kedudukan. Selain itu, ada pula
istilah menyangkut aktor yang mengambil bagian dalam interaksi sosial, perilaku yang
muncul dalam interkasi tersebut, kedudukan orang – orang dalam perilaku, serta kaitan antara
orang dan perilaku. Menurutnya, peran diwujudkan dalam bentuk perilaku (performance) dari
aktor yang terlibat. Wujud perilaku ditunjukkan secara nyata dan bukan sekedar harapan atau
norma. Harapan (expectation) merupakan prasangka orang lain tentang suatu perilaku yang
pantas ditunjukkan oleh seseorang yang memiliki suatu peran tertentu, sedangkan norma
(norm) hanya merupakan salah satu perwujudan dari harapan (Biddle & Thomas, 1966).
Soerjono Soekanto mengatakan bahwa peran dapat diartikan sebagai aspek dinamis
kedudukan, dimana seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan
kedudukannya dalam suatu peranan (Soekanto, 1990). Selain itu, menurut Soejono Soekanto
teori peran atau Role Theory mencakup empat artian yaitu :
1. Peranan meliputi norma – norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat
seseorang dalam masyarakat
3. Peranan sebagai suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu
dalam masyarakat sebagai organisasi
4. Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang paling penting bagi
struktur sosial masyarakat.
Menurut Alvin LeRoy Bennett, peran dalam organisasi internasional dijelaskan untuk
menyediakan sarana kerjasama dalam berbagai bidang yang menguntungkan seluruh
anggotanya, selain itu peran juga membantu menyediakan jalur komunikasi antar negara agar
mempermudah akses jika muncul suatu masalah (A. L. Bennett, 1995).
Dari beberapa pengertian peran diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa peran
merupakan serangkaian pola perilaku yang dilakukan dengan berdasarkan kepada sebuah
ketetapan sosial. Peran mengandung serangkaian hak, kewajiban, norma, harapan, dan
perilaku yang harus dipenuhi. Dalam hubungan internasional, organisasi internasional
memiliki peran penting yaitu menyediakan sarana kerjasama dan jalur komunikasi antar
negara agar mempermudah akses apabila terdapat permasalahan. Selain itu, sebuah organisasi
internasional, khususnya organisasi non-pemerintah (NGO) juga memiliki peran besar dalam
pembangunan sebuah negara.
Teori peran ini digunakan oleh peneliti untuk membantu peneliti dalam memahami
bahwa setiap individu maupun kelompok memiliki peranannya masing – masing, termasuk
juga dengan organisasi internasional non-pemerintah (INGO) seperti CARE Indonesia.
Dalam penelitian ini, CARE Indonesia memiliki peran sebagai sebuah Non-Governmental
Organization (NGO) non-profit di bidang kesetaraan gender dan inklusi sosial ikut serta
dalam membantu negara mewujudkan tujuan untuk mempromosikan perubahan sosial demi
terciptanya kesetaraan gender. Peran telah mengambil bagian dalam interaksi sosial dengan
munculnya perilaku dari interaksi tersebut. Hal tersebut menjelaskan peran CARE Indonesia
yang selama ini telah berjalan dalam membantu Indonesia mewujudkan kesetaran gender
karena adanya interaksi diantara organisasi, pemerintah, dan masyarakat yang bersinergi
bersama dalam berkomitmen mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) no 5
yaitu Gender Equality. Dengan adanya teori peran, teori ini dapat penulis gunakan untuk
menganalisa kesesuaian peran CARE Indonesia dalam meningkatkan kesetaraan gender di
Indonesia melalui peningkatakan kapasitas diri (capacity building) pada program Personal
Advancement and Career Enhancement (PACE).
Istilah gender saat ini tentunya sudah tidak asing, gender sering kali diidentikkan
dengan jenis kelamin (sex), padahal gender berbeda dengan jenis kelamin. Dalam Webster’s
New World Dictionary edisi 1984, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara
laki – laki dan perempuan yang dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Secara terminologis,
Hilary M. Lips mendefinisikan gender sebagai harapan – harapan terhadap laki – laki dan
perempuan. H. T Wilson mengartikan gender sebagai suatu dasar untuk menentukan
perbedaan peran yang diberikan oleh laki – laki dan perempuan terhadap kebudayaan dan
kehidupan kolektif yang menjadikan mereka sebagai seorang laki – laki dan perempuan.
Sementara itu, Elaine Showalter mengartikan gender lebih dari sekedar pembedaan laki – laki
dan perempuan yang dilihat dari konstruksi sosial budaya. Ia lebih menekankan gender
sebagai konsep analisis yang dapat digunalan untuk menjelaskan sesuatu (Nasaruddin Umar,
1999).
Dari beberapa definisi diatas, dapat dipahami bahwa gender adalah suatu sifat yang
dijadikan dasar untuk mengidentifikasi perbedaan antara laki – laki dan perempuan yang
menekankan pada perkembangan aspek sosial, budaya, psikologis, dan aspek – aspek non
biologis lainnya. Sedangkan, jenis kelamin (sex) digunakan untuk mengidentifikasikan
perbedaan laki – laki dan perempuan dari segi anatomis biologis, komposisi kimia dan
hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi, serta karakteristik biologis lainnya dalam
tubuh seorang laki – laki dan perempuan.
Kesetaraan gender berarti kesamaan kondisi bagi laki – laki dan perempuan untuk
memperoleh kesempatan serta hak – haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan
berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan, pertahanan
dan keamanan nasional, serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut.
Kesetaraan gender juga meliputi penghapusan diskriminasi dan ketidakadilan struktural, baik
terhadap laki – laki maupun perempuan (Adriana, 2009). Pengertian kesetaraan gender
merujuk kepada suatu keadaan setara antara laki – laki dan perempuan dalam pemenuhan
hak dan kewajiban.
Kesetaraan gender akan memperkuat kemampuan sebuah negara untuk berkembang,
mengurangi kemiskinan, dan memerintah secara efektif. Dengan demikian mempromosikan
kesetaraan gender adalah bagian utama dari strategi pembangunan dalam rangka untuk
memberdayakan masyarakat (baik laki – laki maupun perempuan) untuk mengentaskan diri
dari kemiskinan dan meningkatkan taraf hidup mereka. Adanya hubungan erat antara
kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan dapat menjadi pondasi penting bagi
masyarakat yang inklusif dan kuat, dan hanya dapat dicapai jika perempuan dilibatkan secara
penuh dalam segala prosesnya.
Kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan telah menjadi salah satu tema utama
dalam berbagai perjanjian, kovenan, dan deklarasi global terutama karena pemahaman ini
adalah katalisator untuk strategi pembangunan yang jelas yang ditargetkan pada pengurangan
kemiskinan, peningkatan standar hidup, tata kelola yang baik dan investasi produktif yang
menguntungkan yang sangat penting untuk menciptakan kapasitas yang lebih besar yang
memberikan kesempatan yang sama bagi laki – laki dan perempuan dan akses tak terbatas ke
lembaga dan proses pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan (Tjiptaningsing,
2018).
Konsep ini digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini untuk memahami makna dari
kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan itu sendiri. Pada penelitian ini, CARE
Indonesia sebagai sebuah NGO memiliki memiliki fokus utama pada isu keadilan gender dan
inklusi sosial yang membuat sebuah program peningkatan kapasitas diri (capacity building)
yaitu Personal Advancement and Career Enhancement (PACE). Program ini merupakan
salah satu upaya dalam pemberdayaan perempuan sebagai proses kesadaran dan
pembentukan kapasitas untuk adanya partisipasi perempuan yang lebih besar terhadap
lingkungannya. Sasaran dalam program ini adalah anak remaja (terutama perempuan) pada
tingkat SMP berusia 12 – 14 tahun di Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Program PACE
bertujuan untuk meningkatkan harga diri dan kepercayaan diri murid perempuan,
kemampuan memecahkan masalah dan kepemimpinan, serta kemampuan mereka untuk
mengurus diri mereka sendiri. PACE dipercaya dapat menjadi sebuah landasan penting untuk
meningkatkan jumlah perempuan yang percaya diri dan tangguh di Indonesia untuk
mengembangkan potensi mereka dan memiliki masa depan yang lebih baik.
2.2 Kerangka Pemikiran
Dilansir dari websitenya, CARE Indonesia memiliki fokus pada isu kesetaraan gender
dan juga inklusi sosial, salah satu cara yang dilakukan oleh CARE Indonesia dalam
menghadapi isu kesetaraan gender adalah dengan melakukan upaya pemberdayaan
perempuan dengan tujuan untuk mengembangkan potensi mereka demi memiliki masa depan
yang lebih baik.
Program PACE ini ditargetkan untuk anak – anak remaja (khususnya perempuan)
pada tingkat SMP usia 12 – 14 tahun di Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Jika dilihat secara
geografis, Kabupaten Bandung berada di daerah Pulau Jawa dimana letaknya pun dekat
dengan Ibukota, Jakarta. Namun, CARE Indonesia menemukan dan melihat bahwa adanya
tantangan ketidaksetaraan gender yang tinggi dan berdampak pada kemiskinan yang
berkelanjutan pada anak perempuan dan remaja perempuan. Mereka lebih cenderung
melakukan pekerjaan informal yang dibayar rendah atau tidak dibayar dan rentan terhadap
perlakuan buruk, pelecehan seksual, dan kekerasan berbasis gender secara umum.
Pada akhirnya, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana peran CARE
Indonesia sebagai sebuah Non-Governmenntal Organization (NGO) dalam meningkatkan
kesetaraan gender melalui upaya pemberdayaan anak dan remaja perempuan di Kabupaten
Bandung dengan peningkatan kapasitas diri (capacity building) pada program Personal
Advancement and Career Enhancement (PACE).
BAB III
METODE PENELITIAN
CARE International yang saat ini menjadi jaringan luas mitra yang bekerja secara
global untuk mengatasi ketidakadilan sosial, bermula dengan paket bantuan sederhana yang
dikirimkan lebih dari tujuh dekade lalu. Paket bantuan CARE pertama dikirimkan ke Le
Havre, Prancis, untuk membantu jutaan orang yang membutuhkan makanan dan persediaan
bantuan pada saat akhir Perang Dunia II. Dengan adanya pemulihan pasca perang, CARE
semakin terlibat dengan banyak kegiatan di beberapa negara. Pada awal 1950-an, operasi
telah didirikan di sejumlah negara Amerika Latin, dan diikuti di Afrika pada awal 1960-an.
Saat itu, CARE juga mulai memberikan layanan medis serta bantuan kepada orang – orang di
daerah perang.
Sepanjang tahun 1960-an dan 1970-an, CARE memperluas jangkauannya dari
bantuan langsung dan jangka pendek menjadi bantuan jangka panjang dalam bentuk
pemulihan dan rehabilitasi. Bukan hanya merespon dengan distribusi makanan setelah
bencana dan keadaan darurat, tetepi juga memprakarsai proyek – proyek inovatif untuk
membantu masyarakat memenuhi kebutuhan mereka sendiri dengan lebih baik.
Selain bekerjasama dengan mitra untuk pendanaan, CARE juga bekerja dengan
berbagai aktor dari mitra proyek lokal, kelompok advokasi, hingga lembaga penelitian dan
teknis, serta para pemasok.
a. Mitra proyek, baik ditingkat lokal atau nasional, membantu CARE dalam
membawa pengetahuan dan pemahaman tentang kemiskinan dan ketidakadilan
pada komunitas dan negara mereka sendiri. Mitra ini menjadi sangat penting
karena mereka yang paling memahami masalah dari negara mereka sendiri. Dalam
hal ini, CARE berperan untuk mendukung dengan membagikan pembelajaran
keterampilan dan kapasitas diri dengan mitra untuk membantu masyarakat
mengeluarkan potensi penuh mereka.
b. Kelompok advokasi, membantu CARE dalam lebih menonjolkan isu dan suara
masyarakat yang terkena dampak kemiskinan dan ketidakadilan. CARE bermitra
dengan berbagai LSM kemanusiaan dan pembangunan, advokat terkemuka,
aliansi nasional dan regional, serta selebriti untuk memperkuat suara masyarakat
dan mendapatkan perubahan yang diperlukan untuk mengatasi solusi
permasalahan tersebut.
c. Lembaga penelitian dan teknis, membantu CARE dalam membawa pengetahuan
akademis dan kemajuan teknis kelas dunia untuk memerangi kemiskinan dan
ketidakadilan. Kemitraan ini sangat penting untuk menangkap dan menerapkan
ide, pengetahuan, dan praktik baru kedalam dunia internasional.
d. Para pemasok, membantu CARE dalam mengirimkan barang dan layanan penting
lainnya yang dibutuhkan untuk memajukan program darurat dan pengembangan
yang CARE jalankan.
CARE International telah beroperasi di Indonesia sejak tahun 1967, dengan berawal
dari bidang distribusi makanan, proyek infrastruktur kecil, kesehatan, lingkungan, serta air
dan juga sanitasi. Setelah adanya serangkaian krisis di akhir 1990-an yang mencakup krisis
keuangan pada tahun 1997 dan krisis kekeringan yang meluas, maka CARE Indonesia
mengalihkan fokusnya terhadap program tanggap darurat.
Sama halnya dengan CARE International, CARE Indonesia memiliki visi untuk
menciptakan dunia yang penuh harapan, inklusi, dan keadilan sosial, dimana kemiskinan
telah diatasi dan semua orang hidup dengan bermartabat dan aman. Serta misi untuk bekerja
diseluruh dunia untuk menyelamatkan nyawa, mengalahkan kemiskinan dan mencapai
keadilan sosial. CARE sendiri memiliki fokus untuk menempatkan perempuan dan anak
perempuan pada tujuan utama mereka karena mereka berpendapat bahwa kemiskinan tidak
akan dapat diatasi hingga semua orang (perempuan dan anak perempuan) memiliki hak dan
kesempatan yang sama.
Setiap penelitian tentu akan menggunakan metode – metode tertentu untuk mencari
data yang relevan sehingga data yang didapatkan mampu menjawab isu yang diidentifikasi.
Metode penelitian umumnya terdiri dari beberapa jenis metode, yaitu metode kualitatif,
metode kuantitatif dan metode campuran (Creswell, 2014).
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode kualitatif. Menurut Creswell,
penelitian kualitatif merupakan metode – metode untuk mengeksplorasi dan memahami
makna yang dianggap berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan oleh sejumlah individu
atau sekelompok orang (Creswell, 2014). Pendekatan kualitatif memiliki tujuan untuk
memahami (To Understand) dan menafsirkan (To Interpret) sebuah perilaku atau interaksi
sosial. Penelitian kualitatif berusaha untuk menemukan makna (meaning), proses dan konteks
sebuah perilaku sosial yang sedang diamati. Proses penelitian kualitatif ini melibatkan upaya
– upaya penting seperti mengajukan pertanyaan – pertanyaan dan prosedur – prosedur,
mengumpulkan data yang spesifik dari partisipan, dan menganalisis data secara induktif
mulai dari tema – tema yang khusus ke tema – tema umum, dan menafsirkan data.
Jenis penelitian ini penulis gunakan untuk menjelaskan dan menggambarkan secara
deskriptif peran CARE Indonesia dalam meningkatkan kesetaraan gender pada peningkatan
kapasitas diri melalui program Personal Advancement and Career Enhancement (PACE) di
Kabupaten Bandung pada periode 2019 – 2022.
Pada penelitian ini, penulis menggunakan dua jenis data, yakni data primer dan data
sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung oleh penulis
(Sugiyono, 2016). Data primer yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini berasal dari
data dan dokumen resmi mengenai laporan berupa annual report program Personal
Advancement and Career Enhancement (PACE) yang telah dilaksanakan oleh CARE
Indonesia selama 2 periode sejak tahun 2019 - 2022. Selain itu data primer juga didapatkan
dari hasil wawancara dengan beberapa narasumber yang relevan dengan topik penelitian.
Selain data primer, sumber data juga bisa didapatkan sebagai sumber data sekunder.
Data sekunder dapat menjadi tambahan data untuk mendukung penelitian penulis. Data
sekunder sendiri merupakan data yang biasanya sudah tersedia secara publik dan diperoleh
secara tidak langsung atau melalui orang lain. Data sekunder yang penulis gunakan dalam
penulisan ini diperoleh melalui buku – buku, jurnal ilmiah, artikel dalam media cetak atau
online, situs internet dan website resmi nasional maupun internasional, serta data lainnya
yang dapat mendukung penelitian.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan tiga dari empat macam tipe pengumpulan
data kualitatif yang dikemukakan oleh Creswell, yaitu tipe pengumpulan data wawancara,
tipe pengumpulan data dokumen, dan tipe pengumpulan data dengan rekaman audiovisual.
1. CARE Indonesia, untuk mempereoleh data terkait peran yang telah dilakukan oleh
CARE Indonesia dalam meningkatkan kesetaraan gender melalui program Personal
Advancement and Career Enhancement (PACE).
Tipe pengumpulan data terakhir yang digunakan oleh peneliti adalah data rekaman
audiovisual. Data ini bisa berupa foto, benda seni, kaset video, halaman utama situs web, e-
mail, pesan teks, teks media sosial, atau bentuk suara apapun. Teknik perekaman audiovisual
yang dijelaskan oleh Creswell ini dilakukan dengan cara merekam menggunakan alat
perekam suara, taperecorder, atau menggunakan ponsel dan kamera. Sedangkan sumber dari
teknik rekaman audio-visual yang akan digunakan oleh peneliti adalah teknik rekaman yang
akan dilakukan bersamaan dengan teknik wawancara.
Teknik analisis data merupakan proses akhir dalam penelitian kualitatif (Creswell,
2014). Proses analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan pada saat pengumpulan data
berlangsung. Miles dan Huberman (1984) mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis
data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus. Adapun
aktivitas yang dilakukan dalam menganalisis data yaitu, reduction, data display, dan
conclusion drawing/verification (Sugiyono, 2016).
Proses reduksi dimulai pada saat peneliti mengumpulkan semua data terkait
peran CARE Indonesia melalui program – program yang dilaksanakan dalam
meningkatkan kesetaraan gender di Indonesia. Pada akhirnya peneliti memilih fokus
penelitian terhadap peran CARE Indonesia dalam meningkatkan kesetaraan gender
melalui isu pendidikan pada program Personal Advancement and Career
Enhancement (PACE) untuk siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Kabupaten
Bandung, Jawa Barata. Kemudian peneliti mulai mereduksi data – data yang
dikumpulkan pada proses awal, mencari data yang sesuai dengan fokus penelitian,
dan menambahkan data primer yang berasal langsung dari sumber tarkait serta data
sekunder sebagai data penunjang penelitian. Data yang direduksi akan memberikan
gambaran yang lebih jelas dan mempermudah peneliti untuk mengumpulkan data
selanjutnya yang diperlukan.
Peneliti menyajikan data dengan bentuk uraian singkat sesuai dengan yang
dikatakan oleh Miles dan Huberman (1984) bahwa bentuk penyajian data dalam
penelitian kualitatif yang paling sering digunakan adalah teks naratif. Penyajian data
dengan dengan teks naratif akan menjelaskan dan menceritakan peran yang telah
dilakukan oleh CARE Indonesia pada peningkatkan kapasitas diri melalui program
Personal Advancement and Career Enhancement (PACE). Penjelasan mengenai data
dan informasi tersebut akan dijelaskan menggunakan rangkaian kalimat dan paragraf
yang disusun secara teratur dan sistematik di dalam penelitian ini. Dengan penyajian
data menggunakan narasi, maka akan memudahkan penulis ataupun orang lain dalam
memahami masalah yang diteliti.
Proses triangulasi sumber data yang dilakukan oleh peneliti yaitu dengan cara
membandingkan data primer yang diperoleh dari data laporan hasil kegiatan program
beasiswa Stuned serta hasil wawancara informan dengan data sekunder yang
diperoleh peneliti melalui portal berita, website, serta jurnal – jurnal yang berkaitan
dengan penelitian ini. Penggunaan triangulasi sumber data oleh peneliti dilakukan
untuk menghindari bias terhadap subjek penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Archer, C. (2001b). International Organizations (Third Edit). Routledge Taylor & Francis
Group.
Aspy, C. B., & Sandhu, D. S. (1999). Empowering women for equity: A counseling approach.
American Counseling Association.
https://www.ojp.gov/ncjrs/virtual-library/abstracts/empowering-women-equity-
counseling-approach
Biddle, B. J., & Thomas, E. J. (1966). Role Theory : Concept and Research. Wiley.
Lewis, D., & Mensah, P. O. (2006). “Moving Forward Research Agendas On International
NGOS: Theory, Agency and Context.” Journal of International Development, 18(10),
665.
McLellan, D. S. (1977). The Theory and Practice of International Relation. Prentice Hall.
Noah, Y., & Rythia, A. (2020). Inclusion in Indonesia’s Education Sector. In Policy Report
Working Paper.
https://openknowledge.worldbank.org/bitstream/handle/10986/33943/Inclusion-in-
Indonesias-Education-Sector-A-Subnational-Review-of-Gender-Gaps-and-Children-
with-Disabilities.pdf?sequence=1&isAllowed=y
Perkins, D. D., & Zimmerman, M. (1995). Empowerment theory, research, and application.
American Journal of Community Psychology, 23(5).
https://www.researchgate.net/publication/14354763_Empowerment_theory_research_an
d_application
Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2008). Perilaku Organisasi (Edisi ke-1). Salemba Empat.
Shiva, M. (2001). Health care in last 50 years and women’s empowerment. Empowering the
Indian Women.
Suryadi, A., & Idris, E. (2004). Kesetaraan Gender dalam Bidang Pendidikan. Ganesindo.
Tjiptaningsing, W. (2018). Pemberdayaan Perempuan Dalam Upaya Peningkatan Ekonomi
Keluarga (Studi Kasus Pada Kelompok Usaha Perempuan di Desa Sindangkempeng
Kecamatan Greged Kabupaten Cirebon). REFORMASI : Jurnal Ilmiah Administrasi,
2(1), 45–67.
UNESCO. (2004). Gender and Education for All THE LEAP TO EQUALITY.
https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000132550
UNFPA. (2005). Frequently asked questions about gender equality. United Nations
Population Fund. https://www.unfpa.org/resources/frequently-asked-questions-about-
gender-equality