Anda di halaman 1dari 45

Draft Seminar Usulan Proposal

Peran CARE dalam Meningkatkan Kesetaraan Gender melalui Program


Personal Advancement and Career Enhancement (PACE) di Indonesia
Periode 2019 – 2022

Diajukan untuk Melengkapi dan Memenuhi Syarat Awal untuk Mencapai Gelar Sarjana
Sosial Hubungan Internasional

Disusun Oleh :
Shabira Arsa Ghalda
1810412099

Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta
2022
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam era modern saat ini, isu terkait dengan studi hubungan internasional terus
berkembang mengikuti perkembangan zaman. Isu yang berkembang tidak hanya sebatas
membahas hubungan politik dan pertahanan suatu negara saja, namun meluas pada isu – isu
non-tradisional seperti isu lingkungan hidup, kesehatan, budaya, pendidikan dan isu – isu
sosial seperti halnya kesetaraan gender. Dewasa ini, persoalan gender menjadi sebuah isu
yang penting secara internasional. Kesetaraan gender menjadi isu yang memiliki pengaruh
besar dalam kehidupan masyarakat internasional. Secara moralitas, kesetaraan gender
menjadi hal yang utama karena hal ini termasuk ke dalam hak asasi yang harus didapatkan
oleh manusia. Kesetaraan gender penting demi menjunjung persamaan hak sebagai manusia
antara perempuan dan laki – laki, juga untuk menghilangkan segala bentuk diskriminasi,
kekerasan, serta pelecehan yang sering dialami oleh perempuan. Selain itu, ketidaksetaraan
gender juga muncul ketika adanya perempuan yang menerima pengecualian ataupun kerugian
dalam proses pengambilan keputusan dan akses ke sumber daya baik ekonomi maupun sosial
(UNFPA, 2005).

Pentingnya menciptakan kesetaraan gender juga termasuk ke dalam 17 agenda tujuan


pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals / SDGs) yang telah disepakati
oleh negara – negara di dunia. Pada tujuan ke-5 dari SDGs dituliskan tentang Gender
Equality. Poin ini memiliki tujuan untuk mencapai kesetaraan pada gender dan adanya
pemberdayaan baik terhadap perempuan dewasa, maupun anak perempuan. Hal ini
dikarenakan perempuan dan anak perempuan saat ini mewakili setengah dari populasi dunia,
dan karena itulah setengah dari itu memiliki potensi. Tetapi sayangnya, ketidaksetaraan
gender terjadi dimana – mana dan menghambat kemajuan sosial (United Nations, 2015).
Padahal, kesetaraan gender dapat memperkuat kemampuan negara untuk berkembang,
mengurangi kemiskinan, dan memerintah secara efektif (Bappenas, 2015).

Dalam rangka mewujudkan Sustainable Development Goals (SDGs) tujuan 5 yang


telah disebutkan diatas, maka Indonesia telah berkomitmen untuk mendukung adanya
kesetaraan gender melalui target dalam agenda tujuan pembangunan berkelanjutan. Target –
target tersebut tertuang dalam beberapa poin dibawah ini, yaitu :
5.1 Mengakhiri segala bentuk diskriminasi terhadap kaum perempuan dimanapun.

5.2 Menghapuskan segala bentuk kekerasan terhadap kaum perempuan di ruang


publik dan pribadi, termasuk perdagangan orang dan eksploitasi seksual, serta
berbagai jenis eksploitasi lainnya.

5.3 Menghapus semua praktik berbahaya, seperti perkawinan usia anak, perkawinan
dini dan paksa, serta sunat perempuan

5.4 Mengenali dan menghargai pekerjaan mengasuh dan pekerjaan rumah tangga
yang tidak dibayar melalui penyediaan pelayanan publik, infrastruktur dan
kebijakan perlindungan sosial, dan peningkatan tanggung jawab bersama dalam
rumah tangga dan keluarga yang tepat secara nasional

5.5 Menjamin partisipasi penuh dan efektif, dan kesempatan yang sama bagi
perempuan untuk memimpin di semua tingkat pengambilan keputusan dalam
kehidupan politik, ekonomi, dan masyarakat

5.6 Menjamin akses universal terhadap kesehatan seksual dan reproduksi, dan hak
reproduksi seperti yang telah disepakati sesuai dengan Programme of Action of
the International Conference on Population and Development and the Beijing
Platform serta dokumen-dokumen hasil review dari konferensi-konferensi
tersebut.

Indonesia menjadi salah satu negara dengan tingkat kesetaraan gender yang rendah.
Menurut data United Nations Development Programme (UNDP) yang dipublikasikan oleh
Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia memiliki indeks ketimpangan gender (Gender
Inequality Index/ GII) tertinggi di Kawasan ASEAN, yakni sebesar 0.48 poin. Hal ini
menunjukkan, Indonesia merupakan negara dengan pencapaian pembangunan gender yang
belum optimal dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Tidak hanya di wilayah
ASEAN, pencapaian pembangunan gender di Indonesia pun belum optimal jika dibandingkan
dengan negara – negara di dunia. Hal ini ditunjukkan oleh posisi Indonesia yang berada di
peringkat ke 121 dari 162 negara dengan ketimpangan gender terbesar pada tahun 2019
(Dihni, 2021).

Gambar 1. Grafik Indeks Ketidaksetaraan Gender Negara ASEAN


Menurut Bappenas, kata gender sendiri dapat diartikan sebagai peran yang dibentuk
oleh masyarakat serta perilaku yang tertanam lewat proses sosialisasi yang berhubungan
dengan jenis kelamin perempuan dan laki – laki. Antara gender dan jenis kelamin (seks),
keduanya memiliki pengertian yang jauh berbeda. Walaupun keduanya tentu memiliki
keterkaitan yang erat antara satu dengan yang lainnya. Namun saat ini, mayoritas masyarakat
banyak menilai bahwa gender dan jenis kelamin (seks) adalah dua hal yang sama. Jenis
kelamin (seks) merupakan kodrat yang secara alamiah ada pada fisik manusia. Sementara
gender adalah pembedaan peran, atribut, sifat, sikap, dan perilaku yang tumbuh dan
berkembang di masyarakat (D. William, 2006).

Persamaan persepsi antara arti kata gender dan jenis kelamin seringkali menimbulkan
ketimpangan karena munculnya ketidakadilan gender dengan subjek yang terlibat.
Perempuan kerap memperoleh hak yang tidak sebanding dengan apa yang diperoleh oleh laki
– laki. Seorang laki – laki digambarkan identik sebagai seorang pemimpin dan selalu berada
di posisi atas, sementara perempuan selalu dinilai hanya mampu memberikan kontribusi
dalam kebutuhan rumah. Hal ini terkait dengan aktivitas laki – laki yang cenderung untuk
mencari nafkah bagi keluarganya dimana posisi mereka sebagai seorang kepala keluarga, dan
perempuan hanya berkontribusi dalam kebutuhan dasar sehari – hari, seperti mengurus rumah
dan mendidik anak (DTE, 2014).

Pola pikir seperti diatas sudah banyak tertanam pada mayoritas pikiran laki – laki
zaman dahulu hingga saat ini, seperti halnya dalam budaya patriarki. Salah satu penyebab
kesetaraan gender yang sulit diraih oleh bangsa Indonesia adalah karena kentalnya budaya
patriarki yang ada. Hal ini didukung oleh pernyataan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak RI (PPPA) pada tahun 2019, yang menyatakan bahwa rendahnya Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) perempuan (69.18) dibandingkan dengan IPM laki – laki
(75.96) berkaitan dengan konstruksi sosial patriarki yang menempatkan posisi perempuan
lebih rendah daripada laki – laki padahal perempuan adalah kekuatan bangsa. Dimana
berdasarkan sensus 2020, perempuan mengisi 49.42% dari populasi di Indonesia atau sekitar
133.54 juta jiwa. Selain itu berdasarkan McKinsey Global Institute Analysis, Indonesia dapat
meningkatkan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) sebesar USD 135 miliar per tahun di tahun
2025, dengan catatan partisipasi ekonomi perempuan terus ditingkatkan pula (KEMENPPPA,
2021).

Dalam budaya patriarki, peran perempuan difokuskan pada tugas domestik dalam
urusan rumah tangga dan mengasuh anak. Menurut Alfian Rokhmansyah (2016) di bukunya
yang berjudul Pengantar Gender dan Feminisme, patriarki berasal dari kata patriarkat yang
berarti sebuah struktur yang menempatkan peran laki-laki sebagai penguasa tunggal, sentral,
dan segala-galanya. Sistem patriarki yang mendominasi kebudayaan masyarakat
menyebabkan adanya kesenjangan dan ketidakadilan gender yang mempengaruhi hingga ke
berbagai aspek kegiatan manusia. Laki-laki memiliki peran sebagai kontrol utama di dalam
masyarakat, sedangkan perempuan hanya memiliki sedikit pengaruh atau bisa dikatakan tidak
memiliki hak pada wilayah-wilayah umum dalam masyarakat, baik secara ekonomi, sosial,
politik, dan psikologi, bahkan termasuk di dalamnya institusi pernikahan (Rokhmansyah,
2016).

Budaya patriarki yang ada tersebut dapat menimbulkan banyaknya permasalahan


ketimpangan, seperti:

 Marginalisasi kaum perempuan yang mengakibatkan kemiskinan secara ekonomi. Hal


ini dikarenakan adanya anggapan tentang posisi dalam pekerjaan perempuan yang
dianggap lebih rendah dari pada laki – laki.
 Subordinasi atau penomorduaan keyakinan terhadap salah satu jenis kelamin yang
dianggap lebih penting, lebih utama, dan lebih pokok dibandingkan dengan jenis
kelamin lainnya.
 Stereotipe yang merupakan citra baku mengenai individu atau kelompok yang tidak
sesuai dengan kenyataan empiris yang ada, sehingga hal ini mengakibatkan terjadinya
diskriminasi dan ketidakadilan yang dapat merugikan kaum perempuan.
 Kekerasan yang merupakan sebuah serangan terhadap fisik maupun psikis atau
integritas mental psikologis seseorang. Dalam hal ini, kekerasan tersebut mencakup
hal – hal fisik seperti pemerkosaan dan pemukulan, serta kekerasan dalam bentuk
non-verbal seperti pelecehan (sexual harassment).
 Peran ganda yang muncul menjadi beban yang harus ditanggung oleh perempuan
secara berlebihan. Terdapat beberapa observasi yang menunjukkan bahwa perempuan
mengerjakan hampir 90% dari pekerjaan di rumah tangga sehingga bagi mereka yang
bekerja, selain bekerja di tempat kerja, juga masih harus mengerjakan pekerjaan di
rumah tangga atau domestik. Adanya sudut pandang dan anggapan peran gender
seperti ini dapat menimbulkan rasa bersalah kepada perempuan jika mereka tidak
melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga atau pekerjaan yang berada di sektor
domestik. Bagi kaum laki- laki hal ini dianggap sebagai bukan taggung jawabnya dan
bahkan di sebagian besar tradisi, laki-laki justru dilarang untuk terlibat dalam
pekerjaan domestik (Fakih, 2008).

Menurut jurnal Rahmi Fitrianti (2012) yang berjudul Ketidaksetaraan Gender dalam
Pendidikan, dikatakan bahwa akar dari ketidaksetaraan gender terletak pada sektor
pendidikan. Ketidaksetaraan pada sektor pendidikan telah menjadi faktor utama yang paling
berpengaruh terhadap ketidaksetaraan gender secara menyeluruh. Hal ini sesuai dengan
ungkapan Suryadi & Idris (2004) bahwa latar belakang pendidikan yang belum setara antara
laki – laki dan perempuan menjadi faktor utama penyebab ketidaksetaraan gender dalam
semua sektor seperti lapangan pekerjaan, jabatan, peran di masyarakat, sampai pada masalah
dalam menyuarakan pendapat.

Pendidikan yang rendah pada perempuan sangat berpengaruh terhadap akses pada sumber
– sumber produksi, di mana mereka akan lebih banyak terkonsentrasi pada pekerjaan –
pekerjaan informal yang memiliki upah rendah. Selain itu, pengaruh pendidikan juga
memperlihatkan kecenderungan bahwa semakin rendah tingkat pendidikan maka semakin
besar ketidaksetaraan gender dalam sistem pengupahan tersebut terjadi (Suryadi & Idris,
2004). Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) terkait laporan perekonomian tahun
2019 mencatat bahwa kesenjangan upah antara pekerja laki – laki dan perempuan semakin
lebar. Upah untuk pekerja laki – laki lebih tinggi daripada upah pekerja perempuan. Selama
periode 2015 hingga Februari 2019, selisihnya mencapai Rp. 492.2 ribu. BPS juga
menyebutkan bahwa kesenjangan upah ini merupakan isu lama karena adanya anggapan
perempuan kurang berkontribusi dalam pekerjaan. Selain itu, perempuan sendiri juga menjadi
cenderung ditempatkan pada posisi – posisi yang bernilai rendah.

Gambar 2. Statistik Upah Pekerja berdasarkan Gender

Indonesia sendiri telah membuat kemajuan besar dalam mencapai kesetaraan gender pada
sektor pendidikan selama satu dekade terakhir ini. Hal ini dapat dilihat dari meningkatnya
tingkat literasi ataupun angka partisipasi sekolah, serta kebijakan yang mendorong
terwujudnya masyarakat yang berkeadilan gender. Selain itu, hal tersebut juga dapat dilihat
dari perbandingan Gender Parity Index (GPI) Indonesia pada tahun 1970-an hingga 2019.
Pada tahun 1970-an, GPI untuk angka partisipasi sekolah (rasio anak perempuan terhadap
anak laki – laki yang terdaftar di sekolah) pada anak usia 7-12 tahun adalah 0.89.
Kesenjangan ini juga bertambah lebar seiring dengan bertambahnya umur anak – anak.
Namun pada tahun 2019, Indonesia telah berhasil mencapai kesetaraan gender dalam hal
partisipasi sekolah di tingkat nasional dengan GPI 1.00 untuk angka partisipasi sekolah pada
anak – anak usia 7-12 tahun.

Namun, menurut laporan Worldbank 2020 tentang kesetaran gender di Indonesia, terdapat
beberapa hal menarik, salah satunya yaitu paradoks bahwa meskipun perempuan Indonesia
memiliki akses terhadap pendidikan (tingkat partisipasi pendidikan tinggi), hal itu tidak
berlanjut kepada tingginya tingkat partisipasi perempuan dalam kegiatan ekonomi. Artinya,
meskipun partisipasi gender dalam pendidikan tinggi, kesetaraan gender belum dapat dicapai
sepenuhnya (Noah & Rythia, 2020). Perempuan masih kurang terwakili, baik pada posisi
kepemimpinan di lingkungan sekolah hingga pemerintahan. Dalam laporan tersebut
disebutkan bahwa pada tingkat nasional, meskipun anak perempuan berprestasi jauh lebih
baik daripada dibandingkan dengan anak laki – laki di sekolah, namun jumlah perempuan
yang bekerja lebih sedikit, selain itu perempuan juga mendapatkan penghasilan lebih rendah,
dan lebih sedikit mendapatkan kesempatan untuk dipromosikan.

Laporan UNESCO dalam Education For All (EFA) Global Monitoring Report
2003/2004, menyatakan bahwa kesetaraan gender dalam pendidikan dapat dicapai melalui
tiga hak dasar, yaitu hak untuk mendapatkan pendidikan (rights to education), hak dalam
proses pendidikan di dalam lingkungan yang mendukung kesetaraan gender (rights within
education), dan hak akan hasil pendidikan yang mendukung pencapaian berkeadilan (rights
trough education) (UNESCO, 2004). Hak untuk mendapatkan pendidikan saat ini mungkin
sudah mulai tercapai dengan tinggi tingkat partisipasi pendidikan oleh perempuan. Namun
hak dalam memperoleh lingkungan yang mendukung kesetaraan gender dalam proses
pendidikan dapat dikatakan masih kurang baik. Hal ini dikarenakan bahwa hak tersebut tidak
hanya terhenti pada pemenuhan kebutuhan pendidikan formal kepada anak – anak perempuan
tersebut saja, namun juga membahas mengenai peran dan fungsi mereka di lingkungan
sekolah. Salah satu contohnya adalah dengan mereka dapat bersuara, berpendapat, beropini,
dan dapat menjadi seorang pemimpin di lingkungannya. Hal ini memiliki dampak besar pada
hak selanjutnya yang wajib mereka dapatkan, yaitu hak akan hasil dari pendidikan untuk
mendukung pencapaian kesetaraan gender. Hak ini akan tercipta ketika perempuan dan laki –
laki mendapatkan kesempatan yang sama dalam memperoleh karir, pendapatan upah, serta
kontribusi dalam kegiatan sosial dan ekonomi. Dalam mencapai hal tersebut, maka
diperlukan adanya peningkatan kapasitas di dalam diri perempuan – perempuan tersebut.
UNESCO menyebutkan bahwa perubahan sosial, yang dalam hal ini adalah kesetaraan
gender, memang bukan sesuatu yang mudah dan dapat terjadi secara instan, memerlukan
waktu yang panjang untuk pada akhirnya dapat terciptanya kesetaraan gender. Namun, hal itu
tidak akan dapat diraih jika tidak adanya pemberdayaan perempuan secara langsung.
Pemberdayaan sendiri merupakan suatu usaha yang dilakukan untuk membuat masyarakat
mampu memajukan diri sendiri dengan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan yang
dimiliki menuju kehidupan yang lebih baik. Pemberdayaan perempuan adalah suatu proses
kesadaran dan pembentukan kapasitas (capacity building) terhadap perempuan untuk
memperoleh akses dan kontrol pada segala sumber daya, baik ekonomi, politik, sosial,
maupun budaya. Hal ini dilakukan agar perempuan dapat mengatur diri dan meningkatkan
rasa percaya dirinya sehingga mereka mampu berperan dan berpartisipasi aktif dalam
memecahkan masalah, serta mampu membangun kemampuan dan konsep diri. 

Kesetaraan gender dalam Pendidikan dapat diwujudkan dengan adanya sinergi antar
lembaga baik pada lembaga pemerintahan negara ataupun yayasan/organisasi nasional hingga
masyarakat sekalipun. NGO atau Non-Governmental Organization menjadi salah satu aktor
dalam hubungan internasional yang memiliki peranan penting dalam mewujudkan tujuan
sosial, seperti halnya kesetaraan gender. Dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang
kolaboratif dan turut memperjuangkan permasalahan yang ada di masyarakat, maka peran
Non-Governmental Organization (NGO) dapat menjadi kunci (Kristopel, 2019). Menurut
UNESCO, saat ini NGO memiliki peranan penting di banyak negara dalam upaya untuk
meningkatkan pencapaian dengan cara yang inovatif (UNESCO, 2004).

CARE Indonesia menjadi salah satu Non-Governmental Organization (NGO) yang


berfokus pada isu keadilan gender & inklusi sosial. Yayasan CARE Peduli (YCP) atau yang
lebih dikenal dengan CARE Indonesia merupakan salah satu organisasi non-pemerintah yang
bergerak dibidang perlindungan manusia untuk mengentaskan kemiskinan dan mewujudkan
keadilan sosial. CARE Indonesia merupakan bagian dari CARE Internasional yang berkantor
pusat di Ottawa, Canada. Sebagai sebuah Non-Governmetal Organization (NGO), CARE
berfokus untuk menempatkan perempuan dan anak perempuan pada tujuan utama mereka.
Mereka percaya bahwa kemiskinan tidak akan dapat diatasi jika semua orang (perempuan dan
anak perempuan) tidak memiliki hak dan kesempatan yang sama.

CARE memiliki visi untuk menciptakan dunia yang penuh harapan, inklusi, dan keadilan
sosial, dimana kemiskinan telah diatasi dan semua orang hidup dengan bermartabat dan
aman. Serta misi untuk bekerja diseluruh dunia untuk menyelamatkan nyawa, mengalahkan
kemiskinan dan mencapai keadilan sosial. Dalam mewujudkan visi dan misi tersebut, CARE
memiliki beberapa program dan salah satunya adalah Program Kemajuan Pribadi dan
Peningkatan Karir (Personal Advancement and Career Enhancement). Program ini memiliki
tujuan untuk meningkatkan kemampuan personal seorang anak perempuan untuk
pengembangan dirinya menuju peningkatan karir demi kehidupan yang lebih baik. Program
ini dilaksanakan dengan memberikan modul pengembangan pribadi kepada siswa sekolah
menengah pertama, usia 12 – 14 tahun, dengan tujuan agar siswa perempuan tersebut dapat
lebih percaya diri dan akan lebih siap untuk berkomunikasi dan membuat keputusan yang
matang dengan keluarga mereka tentang sekolah dan masa depan yang mereka miliki (CARE
Indonesia, 2020).

Kabupaten Bandung menjadi target utama dalam pelaksanaan Program Personal


Advancement and Career Enhancement (PACE). Sebagai daerah yang memiliki tata letak
dekat dengan ibukota Indonesia, yaitu DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat diharapkan dapat
menjadi contoh bagi daerah lainnya di Indonesia, termasuk dalam hal kesetaraan gender.
Namun, terbukti bahwa dalam Indeks Pembangunan Gender (IPG) oleh Badan Pusat Statistik
(BPS) tahun 2020, Provinsi Jawa Barat tidak termasuk kedalam daftar 10 Provinsi dengan
Indeks Pembangunan Gender tertinggi di Indonesia. Provinsi dengan capaian kesetaraan
gender terbaik diraih oleh Provinsi DI Yogyakarta dengan poin 94,80 poin dan disusul oleh
DKI Jakarta dengan skor 94,63 poin.

Gambar 3. 10 Provinsi dengan Indeks Pembangunan Gender Tertinggi


Pada daerah Kabupaten Bandung, Jawa Barat, banyak anak – anak perempuan dan
remaja perempuan yang menghadapi berbagai tantangan terhadap kemiskinan yang terjadi,
terutama jika mereka tidak memiliki kualifikasi pendidikan yang baik. Mereka akan
cenderung untuk melakukan pekerjaan informal yang dibayar dengan upah rendah atau malah
tidak dibayar sepeserpun, dan mereka pun rentan terhadap perlakukan buruk seperti
pelecehan seksual atau kekerasan bebasis gender yang terjadi secara umum.

Sebagai salah satu negara anggota PBB, Indonesia telah menyepakati Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals tujuan 5 yaitu Gender
Equality, untuk mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan kaum perempuan. Dalam
mencapai tujuan tersebut, Indonesia dibantu oleh salah satu Non-Governmental Organization
yang berfokus pada isu keadilan gender & inklusi sosial, yaitu Yayasan CARE Peduli atau
yang lebih dikenal dengan CARE Indonesia. Untuk dapat mewujudkan kesetaraan gender,
CARE Indonesia memiliki program yang ditargetkan untuk anak – anak remaja perempuan,
yaitu program untuk meningkatkan kapasitas diri (capacity building) dengan nama Personal
Advancement and Career Enhancement (PACE). Program ini dilaksanakan dengan
melakukan kerjasama langsung antara Pemerintah Kabupaten Bandung dan NGO CARE
Indonesia. Dalam kesepakatan tersebut, kerjasama ini pada awalnya hanya dimaksudkan
untuk melakukan program peningkatan kapasitas diri, ketahanan pada lingkungan yang
kurang mendukung, pemberdayaan perempuan, perlindungan anak, dan kesetaraan gender di
sekolah – sekolah dan desa di Kabupaten Bandung. Namun, seiring berjalannya waktu,
program ini terus diperpanjang dan juga akan diadaptasi serta dikembangkan oleh pemerintah
daerah di bawah Dinas Pendidikan untuk diintegrasikan ke dalam kurikulum untuk
mengurangi jumlah kasus perkawinan anak, meningkatkan akses pendidikan bagi anak
perempuan, dan menghentikan kekerasan terhadap anak perempuan.

Kesetaraan gender akan memperkuat kemampuan sebuah negara untuk berkembang,


mengurangi kemiskinan, dan memerintah secara efektif. Dengan demikian, mempromosikan
kesetaraan gender adalah bagian utama dari strategi pembangunan dalam rangka
memberdayakan masyarakat, baik perempuan dan laki – laki, untuk mengentaskan diri dari
kemiskinan dan meningkatkan taraf hidup mereka (Bappenas, 2015). Sama halnya dengan
yang tertulis pada penelitian terdahulu mengenai Kesetaraan Gender yang telah dilakukan
oleh Tessa J. Roseboom (2020), ia mengatakan bahwa permasalahan terkait kesetaraan
gender ini bukan hanya menjadi masalah bagi kaum perempuan saja namun juga akan
berdampak kepada generasi mendatang. Selama perempuan selalu dihadapkan dengan
masalah kemiskinan, kekerasan, dan kesehatan mental serta sulitnya untuk mengakses
makanan dengan kualitas baik ataupun pendidikan yang tinggi, maka hal ini tidak akan hanya
berdampak kepada perempuan tersebut namun juga terhadap pembangunan dan kesehatan
generasi mendatang. Selain itu, Helena Morais Maceira (2017) mengatakan bahwa kesetaraan
gender dapat membantu sebuah negara untuk meningkatkan pembangunan ekonominya.
Kesetaraan gender yang baik akan memberikan dampak positif bagi pertumbuhan pendapatan
perkapita sebuah negara, sehingga dapat terjadinya pertumbuhan ekonomi yang
berkelanjutan.

Dalam mewujudkan kesetaraan gender, aktor non-negara atau Non-Governmental


Organization (NGO) memiliki peranan yang penting. Penelitian terdahulu terkait dengan
Peran Non-Governmental Organization (NGO) yang dikemukakan oleh Enamol Hassan
(2015) mengatakan bahwa NGO memiliki peran besar dalam mempromosikan pembangunan
sosial di Bangladesh. NGO bekerja untuk memastikan bahwa pembangunan sosial ekonomi
juga akan berdampak untuk masyarakat yang tidak mampu, dimana hal ini sering terlewatkan
dan terpinggirkan oleh sektor negara dan bisnis. Kedua sektor tersebut, baik negara ataupun
bisnis, seringkali melaksanakan pembangunan karena adanya implikasi politik ataupun untuk
memaksimalkan keuntungan. Namun sebagai lembaga non-profit, NGO melaksanakan hal
tersebut atas dasar kemanusian untuk membantu masyarakat miskin dan perempuan dalam
mencapai kesetaraan. Sementara, Elena V. Kucheryavaya (2016) mengatakan bahwa NGO
harus bekerja secara koalisi untuk dapat melakukan kolaborasi sehingga mereka bisa
mendapatkan banyak support dari institusi lainnya untuk mempromosikan kegiatan mereka
secara lebih luas lagi.

CARE Indonesia mengeluarkan sebuah program Personal Advancement and Career


Enhancement (PACE), program ini merupakan sebuah program capacity building yang
bertujuan untuk pemberdayaan remaja perempuan di Kabupaten Bandung Jawa Barat.
Berikut beberapa penelitian terdahulu mengenai Pemberdayaan Perempuan, Cyril Anfasha
Firmansyah & Estro Dariatno Sihaloho (2021) mengatakan dalam penelitiannya bahwa
pemberdayaan perempuan dari 34 provinsi di Indonesia telah membawa dampak positif yang
signifikan untuk rasio pendapatan per-kapita Indonesia. Endalcachew Bayeh (2016)
menyatakan bahwa fakta tentang populasi perempuan adalah setengah dari populasi suatu
negara, membuat pemberdayaan perempuan menjadi hal yang efektif untuk pembangunan
sebuah negara. Perlu adanya komitmen untuk melakukan pemberdayaan perempuan dan
memanfaatkan semua potensi negara demi mewujudkan pembangunan berkelanjutan. I Gusti
Ayu Purnamawati & Made Suryana Utama (2019) berpendapat bahwa strategi pemberdayaan
perempuan akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Pemberdayaan
perempuan diperlukan sebagai upaya untuk meningkatkan dan mengaktualisasikan potensi
dirinya agar mampu mandiri & bekerja, mengentaskan diri mereka dari keterbatasan
Pendidikan & keteramoilan, serta ketertindasan akibat perlakuan diskriminatif dari berbagai
pihak.

Berlandasarkan beragam pemahaman dari penelitian terdahulu diatas, maka dalam


penelitian ini peneliti akan membahas mengenai peran CARE Indonesia sebagai sebuah NGO
terhadap isu kesetaraan gender melalui program peningkatan kapasitas diri (capacity
building) yaitu Personal Advancement and Career Enhancement (PACE). Dengan latar
belakang masalah penelitian diatas serta kajian pustaka yang telah peneliti lakukan dengan
penelitian terdahulu, maka peneliti melihat adanya gap ataupun celah bagi peneliti untuk
melakukan penelitian dengan judul : “Peran CARE dalam Meningkatkan Kesetaraan
Gender melalui Program Personal Advancement and Career Enhancement (P.A.C.E) di
Indonesia Periode 2019 – 2022”.
1.2 Rumusan Masalah

Jika dibandingkan dengan negara – negara di ASEAN ataupun di dunia, Indonesia


merupakan salah satu negara dengan tingkat kesetaraan gender yang masih sangat rendah.
Hal ini dapat dilihat dari data yang dikeluarkan oleh UNDP dan dipublikasikan kembali oleh
BPS, bahwa Indonesia menduduki peringkat tertinggi dalam Indeks Ketimpangan Gender di
ASEAN. Hal tersebut tentunya tidak sejalan dengan komitmen Indonesia sebagai anggota
PBB dalam Tujuan 5 pada Pembangunan Berkelanjutan, yaitu terciptanya kesetaraan gender
dan pemberdayaan perempuan.

Sebagai sebuah Non-Governmental Organization (NGO) yang berfokus pada keadilan


gender dan inklusi sosial, CARE Indonesia memiliki peran penting dalam mewujudkan hal
tersebut. Salah satunya melalui program peningkatan kapasitas (capacity building) untuk
anak – anak remaja di Kabupaten Bandung. Program ini diharapkan kedepannya dapat
diadopsi oleh pemerintah setempat untuk membantu dalam mengurangi jumlah kasus
perkawinan anak, meningkatkan akses pendidikan bagi anak perempuan dan menghentikan
kekerasan terhadap perempuan dan anak. Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka
dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

Bagaimana peran CARE Indonesia sebagai sebuah NGO pada kasus kesetaraan gender
di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, melalui program “Personal Advancement and
Career Enhancement” (PACE) periode 2019 – 2022?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui, memaparkan, dan menjelaskan
peran CARE Indonesia sebagai sebuah Non-Governmental Organizations (NGO) dalam isu
kesetaraan gender yang dilakukan melalui program capacity building “Personal
Advancement and Career Enhancement (PACE)” di Kabupaten Bandung, Jawa Barat.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat Akademis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan
ilmu hubungan internasional serta pembelajaran terkait peran Non-Governmental
Organization (NGO) terhadap isu kesetaraan gender di Indonesia.
1.4.2 Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pembelajaran dan tambahan
informasi bagi pembaca yang tertarik terhadap isu kesetaraan gender yang
dilakukan oleh NGO CARE Indonesia dimana gambaran strategi, hasil analisis,
dan kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini dapat menjadi referensi atau
acuan bagi pembaca untuk menganalisis kasus serupa.
1.5 Sistematika Penulisan

Dalam rangka memberikan pemahaman yang menyeluruh mengenai permasalahan


penelitian yang dibahas, untuk itu peneliti membagi penelitian ini ke dalam beberapa bagian
sehingga dapat menghasilkan penelitian yang komprehensif.

BAB I PENDAHULUAN

Bagian ini berisi uraian latar belakang masalah penelitian yang akan diteliti
beserta pemaparan terkait hasil pemikiran beberapa penelitian terdahulu
sebagai referensi penulis dalam melakukan penelitian ini. Lalu terdapat juga
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta sistematika
penelitian.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bagian ini, berisi uraian mengenai konsep dan teori yang digunakan
peneliti sebagai sarana untuk mencari jawaban terhadap masalah penelitian,
kerangka pemikiran, dan alur pemikiran.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Bagian ini menjelaskan mengenai teknis penelitian melalui objek penelitian,


jenis penelitian, jenis data, sumber data, teknik pengumpulan data dan teknik
analisa data yang digunakan penulis dalam melakukan penelitian ini, serta
waktu dan lokasi penelitian.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori dan Konsep Penelitian

2.1.1 Non-Governmental Organization (NGO)

Pada umumnya, NGO atau Non-Governmental Organization merupakan sebuah


organisasi yang didirikan oleh perorangan atau sekelompok orang yang secara sukarela
memberikan pelayanan kepada masyarakat umum tanpa bertujuan untuk memperoleh
keuntungan dari kegiatannya (Praja, 2009). Menurut Nugroho, NGO merupakan suatu
lembaga, kelompok, atau organisasi yang aktif dalam mengupayakan pemberdayaan
masyarakat dan pembangunan terutama pada lapisan masyarakat kelas bawah (Nugroho,
2001).

David Lewis mendefinisikan sebuah NGO sebagai sebuah “voluntary associations”


yang memiliki kepedulian untuk merubah sebuah lingkungan tertentu dalam konteks yang
lebih baik (Lewis, 2001). Kampanye yang dilakukan oleh setiap NGO saat ini biasanya
berorientasi pada masalah yang paling menjadi polemik dan sangat kompleks dalam
kehidupan sosial masyarakat. Seperti berbagai bentuk kampanye dalam pembangunan
demokrasi, penyelesaian konflik, penegakan hak asasi manusia, kesetaraan gender, dan lain
sebagainya (Lewis & Mensah, 2006).

Salamon (1994), menuliskan tentang peran organisasi sektor ketiga (NGO) sebagai
revolusi asosiasi global. Hal ini dikarenakan, saat ini NGO telah terbentuk menjadi sebuah
arena penting bagi aktivitas sosial, ekonomi, hingga politik suatu negara disamping aktor
negara dan pasar. NGO telah meningkatkan perannya dalam sebuah kebijakan publik (Lewis,
2001).

NGO merupakan sebuah organisasi yang sistem keanggotaannya tidak melibatkan


negara, melainkan melibatkan minimal dua kelompok tertentu dari negara yang berbeda,
tetapi memiliki keinginan dan tujuan yang sama. Kelompok NGO ini melakukan serangkaian
aktivitas yang bersifat transnasional, selain itu, setiap NGO dapat melakukan kerjasama
dengan pihak pemerintahan sebuah negara, meskipun keanggotaan organisasi yang
bersangkutan tidak menempatkan kelompok pemerintahan di dalam sistem keanggotaannya
(Archer, 2001a).

Setiap NGO memiliki beberapa fungsi penting dalam hubungan internasional, seperti
berfungsi sebagai badan artikulasi dan agregasi dalam memandang sebuah permasalahan
dalam lingkup internasional (L. Bennett, 1995). Melalui fungsi ini, sebuah NGO dapat
mengangkat sebuah permasalahan dalam lingkup internasional untuk kemudian dilakukan
pencarian terhadap pemecahan masalah tersebut. Selain itu, saat ini NGO juga ikut
mempengaruhi nilai – nilai dan norma yang berkembang dalam lingkup hubungan
internasional. Jika dibandingkan dengan International Government Organization, NGO
merupakan sebuah organisasi yang tidak memiliki cukup banyak kekayaan, namun di sisi
lain, organisasi ini memiliki kemampuan dalam mengembangkan sistem sosialisasi kedalam
lingkup masyarakat. NGO biasanya memiliki kemampuan lebih untuk dapat mendekati
masyarakat agar masyarakat yang bersangkutan dapat menerima pemikiran yang organisasi
tersebut miliki (Auliarini, 2013).

Sebuah organisasi dapat dikategorikan sebagai sebuah organisasi internasional non-


pemerintah (INGO) jika memenuhi beberapa poin penting, yaitu tidak mengandung unsur
keterlibatan dari pemerintahan negara yang bersangkutan, memiliki tujuan global atau
menyangkut lingkup hubungan internasional yang luas, memiliki sifat keanggotaan yang
terbuka baik dalam melakukan rekruitmen maupun dalam menjalin hubungan kerjasama
dengan kelompok maupun organisasi lainnya, memiliki sistem kepemimpinan yang dirancang
secara berkala, serta dana mobilitas organisasi berasal dari minimal tiga negara (McLellan,
1977).

Menurut The Global Development Research Centre (GDCR.org), jenis – jenis NGO
dapat dipahami melalui dua cara yaitu melalui orientasi dan level operasi mereka (C.
William, 1991). Jenis NGO berdasarkan orientasi, yaitu :

1. Charitable Orientation (orientasi amal) : mengacu pada upaya dari atas kebawah
dengan partisipasi yang sedikit dari penerima manfaat (bantuan), NGO ini
memiliki kegiatan yang diarahkan untuk memenuhi kebutuhan miskin dengan
mendistribusikan makanan, pakaian, maupun obat – obatan dan menyediakan
akomodasi, sekolah, dan sejenisnya. NGO juga dapat melakukan kegiatan bantuan
saat ada bencana alam maupun bencana akibat ulah manusia.
2. Service Orientation (orientasi layanan) : mencakup kegiatan seperti menyediakan
layanan kesehatan, keluarga berencana, atau pendidikan. Dengan adanya program
layanan yang dirancang oleh sebuah NGO ini, maka masyarakat diharapkan dapat
berpartisipasi dalam melaksanakan program dan menerima layanan tersebut.
3. Participatory Orientation (orientasi partisipasif) : dicirikan dengan adanya proyek
swadaya dimana penerima manfaat (bantuan) tersebut berada dan terlibat
langsung, terutama dalam melaksanakan program dengan cara menyumbangkan
uang tunai, peralatan, tanah, bahan, tenaga kerja, dan sebagainya. Dalam program
pengembangan masyarakat klasik, partisipasi dimulai dengan definisi kebutuhan
dan berlanjut ke tahap perencanaan dan implementasi bersama. Orientasi
partisipasif seringkali diidentifikasikan dengan adanya kerjasama yang kooperatif.
4. Empowering Orientation (orientasi pemberdayaan) : memiliki tujuan untuk
membantu orang dalam mengembangkan pemahaman yang lebih jelas tentang
faktor – faktor sosial, politik, dan ekonomi yang mempengaruhi kehidupan
mereka, dan untuk memperkuat kesadaran mereka akan potensi dan kekuatan
yang mereka sendiri miliki guna mengontrol kehidupan mereka. NGO berperan
sebagai sebuah fasilitator, dimana kelompok ini biasanya berkembang secara
spontan pada suatu masalah atau suatu isu, dan NGO memiliki peran dalam
memfasilitasi perkembangan mereka.

Adapun jenis NGO dari level operasinya, yaitu :

1. Community-based Organizations (CBOs) (organisasi berbasis komunitas) :


muncul dari inisiatif pribadi. Hal tersebut bisa termasuk klub olahraga, organisasi
Wanita, lingkungan, maupun religious, atau organisasi pendidikan. NGO ini
muncul untuk mengabdikan diri guna meningkatkan kesadaran masyarakat kota
dalam membantu mereka memahami hak – hak mereka dalam mendapatkan akses
ke layanan yang dibutuhkan dan menyediakan pula layanan tersebut.
2. Citywide Organizations (organisasi skala kota) : organisasi seperti perdagangan
dan industry, koalisi bisnis, kelompok etnis atau pendidikan, dan asosiasi
organisasi komunitas. Organisasi ini ada yang diciptakan khusus untuk membantu
orang miskin, dan ada juga yang menjadikan kegiatan membantu orang miskin
sebagai salah satu kegiatannya ditengah tujuan yang lain.
3. National NGOs (NGO skala nasional) : merupakan organisasi professional.
Beberapa NGO ini memiliki cabang diberbagai daerah atau kota dan juga bertugas
untuk membantu NGO lokal.
4. International NGOs (NGO skala internasional) : NGO ini termasuk dari kelompok
lembaga sekuler hingga kelompok bermotivasi agama. Kegiatan mereka
bervariasi, seperti mendanai NGO lokal dalam sebuah lembaga atau program,
hingga melaksanakan program mereka sendiri.

Dapat disimpulkan bahwa Non-Governmental Organization (NGO) adalah sebuah


organisasi nirlaba yang didirikan oleh perorangan atau sekelompok orang secara sukarela
yang memiliki dasar kepentingan pada isu sosial dan juga lingkungan. Organisasi ini
bergerak secara independen tanpa bertujuan untuk memperoleh keuntungan dan tanpa adanya
campur tangan dari pemerintah pusat ataupun daerah.

Penulis menggunakan konsep Non-Governmental Organization (NGO) dalam


penelitian ini dengan tujuan untuk menganalisa CARE Indonesia sebagai sebuah NGO
dengan lebih mendalam dan mendetail. Sebagai salah satu NGO di Indonesia, CARE
Indonesia berfokus terhadap isu kesetaraan gender dan inklusi sosial. Konsep ini digunakan
untuk melihat bagaimana peran CARE Indonesia sebagai sebuah NGO, khususnya dalam
membantu meningkatkan kesetaraan gender di Indonesia tepatnya di Kabupaten Bandung
terhadap remaja perempuan melalui peningkatan kapasitas diri (capacity building) pada
program Personal Advancement and Career Enhancement (PACE).

2.1.2 Teori Peran (Role Theory)

Konsep peran awalnya dikembang oleh seorang sosiolog, peran dikaitkan dengan
asumsi dan nilai – nilai yang dibawa individu pada interaksi yang mereka jalankan dengan
orang lain. Peran yang dijalankan bergantung terhadap dengan siapa mereka berinteraksi,
hubungan apa yang terjadi antara mereka, ataupun dalam konteks sosial spesifik seperti apa
interaksi tersebut dapat terjadi. Pada intinya, peran yang dijalankan oleh seseorang dapat
berbeda – beda. Dengan demikian, setiap individu sering dianggap telah memainkan peran
ganda (Turner, 2002).

Teori peran (Role Theory) mendefinisikan peran sebagai serangkaian pola perilaku
yang memiliki keterkaitan dengan seseorang yang berada dalam posisi tertentu dalam sebuah
unit sosial. Teori peran menganggap sebagian besar aktivitas diperankan oleh kategori yang
ditetapkan secara sosial. Maka dari itu, setiap peran sosial mengandung serangkaian hak,
kewajiban, norma, harapan, dan perilaku seseorang yang harus dihadapi maupun dipenuhi
(Robbins & Judge, 2008).

Biddle dan Thomas menjelaskan bahwa peran adalah perangkat patokan yang
membatasi perilaku apa yang diharapkan dari pemegang kedudukan. Selain itu, ada pula
istilah menyangkut aktor yang mengambil bagian dalam interaksi sosial, perilaku yang
muncul dalam interkasi tersebut, kedudukan orang – orang dalam perilaku, serta kaitan antara
orang dan perilaku. Menurutnya, peran diwujudkan dalam bentuk perilaku (performance) dari
aktor yang terlibat. Wujud perilaku ditunjukkan secara nyata dan bukan sekedar harapan atau
norma. Harapan (expectation) merupakan prasangka orang lain tentang suatu perilaku yang
pantas ditunjukkan oleh seseorang yang memiliki suatu peran tertentu, sedangkan norma
(norm) hanya merupakan salah satu perwujudan dari harapan (Biddle & Thomas, 1966).

Soerjono Soekanto mengatakan bahwa peran dapat diartikan sebagai aspek dinamis
kedudukan, dimana seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan
kedudukannya dalam suatu peranan (Soekanto, 1990). Selain itu, menurut Soejono Soekanto
teori peran atau Role Theory mencakup empat artian yaitu :

1. Peranan meliputi norma – norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat
seseorang dalam masyarakat

2. Peranan dalam arti peraturan – peraturan yang dibimbing seseorang dalam


kehidupan bermasyarakat

3. Peranan sebagai suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu
dalam masyarakat sebagai organisasi

4. Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang paling penting bagi
struktur sosial masyarakat.

Menurut Alvin LeRoy Bennett, peran dalam organisasi internasional dijelaskan untuk
menyediakan sarana kerjasama dalam berbagai bidang yang menguntungkan seluruh
anggotanya, selain itu peran juga membantu menyediakan jalur komunikasi antar negara agar
mempermudah akses jika muncul suatu masalah (A. L. Bennett, 1995).

Clive Archer (2001) mengidentifikasi peranan organisasi internasional menjadi tiga


bagian yaitu sebagai instrument dalam mencapai kepentingan negara, sebagai arena dalam
melakukan diplomasi, dan sebagai aktor independent yang mengatur (Archer, 2001b).
Berikut uraian lebih jelasnya :

1. Organisasi Internasional sebagai instrumen


Organisasi internasional dapat menjadi sebuah instrumen untuk kebijakan
masing – masing pemerintahan yang digunakan dalam diplomasi negara untuk
mencapai suatu kesepakatan, menghindari terjadinya konflik, atau mengurangi
intensitas konflik tersebut. Sebagai sebuah instrumen, organisasi internasional
seringkali dijadikan alat penyambung kepentingan nasional sebuah negara. Archer
juga menjelaskan bahwa organisasi internasional tidak akan terus didominasi oleh
satu kekuatan ketika anggota organisasi tersebut lebih bervariasi.
Meskipun organisasi internasional berfungsi sebagai sebuah instrumen bagi
anggotanya, namun bukan berarti bahwa setiap keputusan yang dibuat harus
menyajikan kepentingan masing – masing anggota.
2. Organisasi internasional sebagai arena
Archer menjelaskan tentang organisasi internasional yang juga dapat berperan
sebagai sebuah arena, artinya organisasi internasional dapat berperan menjadi
tempat terjadinya kegiatan seperti forum, tempat berhimpun dan berkonsultasi,
dan tempat merumuskan serta memprakarsai pembentukan perjanjian – perjanjian
internasional. Organisasi internasional menyediakan tempat yang lebih terbuka
bagi anggotanya untuk mengemukakan pandangannya serta mengetahui sudut
pandang lain melalui sebuah forum umum. Tidak jarang organisasi internasional
digunakan oleh beberapa negara untuk mengangkat masalah di dalam negerinya
sehingga bisa mendapatkan perhatian dunia internasional.
3. Organisasi internasional sebagai aktor
Organisasi internasional dianggap sebagai sebuah aktor independen yang
dapat bertindak dengan sendirinya tanpa dipengaruhi oleh kekuatan luar. Archer
juga menambahkan bahwa kebanyakan organisasi internasional sangat bergantung
kepada keberadaan anggotanya, terutama organisasi internasional pemerintah
(IGO). Organisasi internasional non-pemerintah (INGO) banyak yang
menunjukkan korporasi identitas yang kuat, menunjukkan bahwa organisasi
internasional tersebut lebih kuat dari pada negara anggotanya, bahkan diantaranya
memiliki peran efektif di dunia internasional.
Kahn juga berpendapat terkait teori peran yang berhubungan dengan organisasi yang
menyatakan bahwa lingkungan organisasi dapat mempengaruhi harapan setiap individu
terkait sikap atau peranan mereka, yang mana harapan ini dapat meliputi norma – norma atau
tekanan dengan tujuan agar dapat bertindak mempengaruhi individu dengan cara – cara
tertentu. Pesan yang dibawa oleh organisasi akan diterima oleh individu terkait, lalu di
interpretasikan, dan di respon dalam berbagai cara (Kahn, 1990).

Dalam buku Non-Governmental Organization and Development karya David Lewis,


dikatakan bahwa organisasi non-pemerintah (NGO) memiliki peran sebagai sektor ketiga
diluar sektor pemerintahan dan pasar. Sebagai organisasi non-profit, sektor ini menjadi sektor
yang penting bagi sebuah negara dalam mempromosikan perubahan sosial, politik, hingga
ekonominya. Peran tersebut biasanya diasosiasikan dengan konsep pembangunan ataupun
memberikan bantuan kepada orang – orang yang membutuhkan (Lewis, 2021).

Dari beberapa pengertian peran diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa peran
merupakan serangkaian pola perilaku yang dilakukan dengan berdasarkan kepada sebuah
ketetapan sosial. Peran mengandung serangkaian hak, kewajiban, norma, harapan, dan
perilaku yang harus dipenuhi. Dalam hubungan internasional, organisasi internasional
memiliki peran penting yaitu menyediakan sarana kerjasama dan jalur komunikasi antar
negara agar mempermudah akses apabila terdapat permasalahan. Selain itu, sebuah organisasi
internasional, khususnya organisasi non-pemerintah (NGO) juga memiliki peran besar dalam
pembangunan sebuah negara.

Teori peran ini digunakan oleh peneliti untuk membantu peneliti dalam memahami
bahwa setiap individu maupun kelompok memiliki peranannya masing – masing, termasuk
juga dengan organisasi internasional non-pemerintah (INGO) seperti CARE Indonesia.
Dalam penelitian ini, CARE Indonesia memiliki peran sebagai sebuah Non-Governmental
Organization (NGO) non-profit di bidang kesetaraan gender dan inklusi sosial ikut serta
dalam membantu negara mewujudkan tujuan untuk mempromosikan perubahan sosial demi
terciptanya kesetaraan gender. Peran telah mengambil bagian dalam interaksi sosial dengan
munculnya perilaku dari interaksi tersebut. Hal tersebut menjelaskan peran CARE Indonesia
yang selama ini telah berjalan dalam membantu Indonesia mewujudkan kesetaran gender
karena adanya interaksi diantara organisasi, pemerintah, dan masyarakat yang bersinergi
bersama dalam berkomitmen mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) no 5
yaitu Gender Equality. Dengan adanya teori peran, teori ini dapat penulis gunakan untuk
menganalisa kesesuaian peran CARE Indonesia dalam meningkatkan kesetaraan gender di
Indonesia melalui peningkatakan kapasitas diri (capacity building) pada program Personal
Advancement and Career Enhancement (PACE).

2.1.3 Kesetaraan Gender (Gender Equality)

Istilah gender saat ini tentunya sudah tidak asing, gender sering kali diidentikkan
dengan jenis kelamin (sex), padahal gender berbeda dengan jenis kelamin. Dalam Webster’s
New World Dictionary edisi 1984, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara
laki – laki dan perempuan yang dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Secara terminologis,
Hilary M. Lips mendefinisikan gender sebagai harapan – harapan terhadap laki – laki dan
perempuan. H. T Wilson mengartikan gender sebagai suatu dasar untuk menentukan
perbedaan peran yang diberikan oleh laki – laki dan perempuan terhadap kebudayaan dan
kehidupan kolektif yang menjadikan mereka sebagai seorang laki – laki dan perempuan.
Sementara itu, Elaine Showalter mengartikan gender lebih dari sekedar pembedaan laki – laki
dan perempuan yang dilihat dari konstruksi sosial budaya. Ia lebih menekankan gender
sebagai konsep analisis yang dapat digunalan untuk menjelaskan sesuatu (Nasaruddin Umar,
1999).

Dari beberapa definisi diatas, dapat dipahami bahwa gender adalah suatu sifat yang
dijadikan dasar untuk mengidentifikasi perbedaan antara laki – laki dan perempuan yang
menekankan pada perkembangan aspek sosial, budaya, psikologis, dan aspek – aspek non
biologis lainnya. Sedangkan, jenis kelamin (sex) digunakan untuk mengidentifikasikan
perbedaan laki – laki dan perempuan dari segi anatomis biologis, komposisi kimia dan
hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi, serta karakteristik biologis lainnya dalam
tubuh seorang laki – laki dan perempuan.

Kesetaraan gender berarti kesamaan kondisi bagi laki – laki dan perempuan untuk
memperoleh kesempatan serta hak – haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan
berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan, pertahanan
dan keamanan nasional, serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut.
Kesetaraan gender juga meliputi penghapusan diskriminasi dan ketidakadilan struktural, baik
terhadap laki – laki maupun perempuan (Adriana, 2009). Pengertian kesetaraan gender
merujuk kepada suatu keadaan setara antara laki – laki dan perempuan dalam pemenuhan
hak dan kewajiban.
Kesetaraan gender akan memperkuat kemampuan sebuah negara untuk berkembang,
mengurangi kemiskinan, dan memerintah secara efektif. Dengan demikian mempromosikan
kesetaraan gender adalah bagian utama dari strategi pembangunan dalam rangka untuk
memberdayakan masyarakat (baik laki – laki maupun perempuan) untuk mengentaskan diri
dari kemiskinan dan meningkatkan taraf hidup mereka. Adanya hubungan erat antara
kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan dapat menjadi pondasi penting bagi
masyarakat yang inklusif dan kuat, dan hanya dapat dicapai jika perempuan dilibatkan secara
penuh dalam segala prosesnya.

Kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan telah menjadi salah satu tema utama
dalam berbagai perjanjian, kovenan, dan deklarasi global terutama karena pemahaman ini
adalah katalisator untuk strategi pembangunan yang jelas yang ditargetkan pada pengurangan
kemiskinan, peningkatan standar hidup, tata kelola yang baik dan investasi produktif yang
menguntungkan yang sangat penting untuk menciptakan kapasitas yang lebih besar yang
memberikan kesempatan yang sama bagi laki – laki dan perempuan dan akses tak terbatas ke
lembaga dan proses pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan (Tjiptaningsing,
2018).

Pemberdayaan sendiri merupakan sebuah orientasi nilai untuk bekerja di masyarakat,


dan juga sebuah model teoritis untuk memahami proses serta konsekuensi dari upaya untuk
melakukan kontrol dan pengaruh atas keputusan yang mempengaruhi kehidupan seseorang,
fungsi organisasi, dan kualitas kehidupan masyarakat (Perkins & Zimmerman, 1995). Selain
itu, pemberdayaan dapat dilihat sebagai proses di mana seorang individu belajar untuk
melihat lebih dekat tujuan mereka dan cara bagaimana mereka mencapainya, serta hubungan
antara upaya yang mereka lakukan dengan hasil di kehidupan mereka (Mechanic, 1991).
Menurut Cornell Empowerment Group, pemberdayaan adalah proses yang disengaja dan
berkelanjutan yang berpusat di komunitas lokal, dengan melibatkan rasa saling menghormati,
refleksi kritis, kepedulian, dan partisipasi kelompok, di mana orang – orang yang tidak
memiliki bagian (hak) yang sama atau setara dari sebuah sumber daya akan mendapatkan
akses dan kontrol lebih besar pada sumber daya tersebut (Zimmerman, 2000).

Shardlow (1998) mengatakan bahwa pada intinya pemberdayaan membahas tentang


bagaimana individu, kelompok, ataupun komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka
sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka.
Sedangkan Ife (1995) menyebutkan pemberdayaan sebagai upaya penyediaan sumber,
kesempatan, pengetahuan, dan keterampilan kepada orang – orang guna meningkatkan
kemampuan mereka dalam menentukan masa depannya agar dapat berpartisipasi dalam
mempengaruhi kehidupan komunitas mereka.

Dalam konsep pemberdayaan sumber daya manusia itu sendiri, pemberdayaan


diartikan sebagai suatu kegiatan usaha untuk lebih memberdayakan daya (energy) manusia
melalui perubahan dan pengembangan manusia itu sendiri, beruapa kemampuan
(competency), kepercayaan (confidence), wewenang (authority), dan tanggung jawab
(responsibility) dalam rangka pelaksanaan kegiatan – kegiatan organisasi untuk
meningkatkan kinerja yang sebagaimana diharapkan (Bisri, 2000).

Pemberdayaan menyarankan pendekatan yang berbeda untuk mengembangkan


intervensi dan perubah sosial, dengan cara mengarahkan perhatian pada kesehatan, adaptasi,
kompetensi, dan bantuan sistem alami. Hal ini dikarenakan perspektif bahwa banyaknya
masalah sosial yang muncul disebabkan oleh distribusi dan akses yang tidak merata kepada
semua orang terhadap sumber daya. Pemberdayaan dilakukan karena bantuan yang paling
baik dilakukan dengan cara saling membantu, membantu orang lain, dan mempertahankan
hak – hak mereka, dibandingkan hanya dengan selalu memenuhi kebutuhan mereka (Gallant,
Cohen, & Wolf, 1985).

Sedangkan konsep pemberdayaan perempuan menurut Kementerian Pemberdayaan


Perempuan (Kemen PP) disebutkan bahwa pemberdayaan perempuan adalah upaya
memampukan perempuan untuk memperoleh akses dan kontrol terhadap sumber daya,
ekonomi, politik, sosial, dan budaya, agar perempuan dapat mengatur diri dan meningkatkan
rasa percaya diri untuk mampu berperan dan berpartisipasi aktif dalam memecahkan masalah,
sehingga dapat membangun kemampuan dan konsep diri (Kemen Pemberdayaan Perempuan,
2014).

Menurut Karl M. (1996), pemberdayaan perempuan dipandang sebagai suatu proses


kesadaran dan pembentukan kapasitas (capacity building) terhadap partisipasi yang lebih
besar, kekuasaan dan pengawasan pembuat keputusan yang lebih besar, serta Tindakan
transformasi agar menghasilkan persamaan derajat yang lebih besar antara perempuan dan
laki – laki. Upaya pemberdayaan perempuan dapat dilakukan dengan usaha menyadarkan dan
membantu mengembangkan potensi yang ada, sehingga menjadi manusia yang mandiri.

Valsamma Antony menyatakan bahwa pemberdayaan perempuan merupakan sebuah


proses multidimensional, dimana seorang individu atau sekolompok individu dapat
menyadari identitas dan kekuatan yang mereka miliki pada semua bidang kehidupan.
Pemberdayaan perempuan artinya perempuan dapat menikmati hak yang sama, status yang
sama, dan kebebasan pengembangan diri yang sama dengan laki – laki (Antony, 2006).

Pemberdayaan perempuan dapat dikatakan berhasil jika dimana pun perempuan


tersebut, mereka memiliki jaminan akan kesehatannya, dan berkecukupan untuk kebutuhan
mereka, kelangsungan hidup mereka sendiri serta keluarga dan komunitas mereka. Selain itu,
mereka juga memilki hidup yang bermartabat, dan dapat hidup serta bekerja di lingkungan
yang aman dan peduli, yang memungkinkan pertumbuhan dan pembangunan holistik mereka,
yaitu secara fisik, emosional, sosial, dan ekonomi (Shiva, 2001).

Griffin (1987) menyatakan bahwa pemberdayaan perempuan adalah ketika


perempuan mampu memberikan kontribusi di semua lapisan masyarakat dan bukan hanya di
rumah. Adanya pemberdayaan juga berarti membuat kontribusi perempuan dapat lebih diakui
dan dihargai. McWhirter (1994) menggambarkan bahwa, pemberdayaan adalah proses
dimana orang, organisasi, atau kelompok yang tidak berdaya dan terpinggirkan dapat (a)
menyadari dinamika kekuasaan yang bekerja dalam konteks kehidupan mereka, (b)
mengembangkan keterampilan dan kapasitas untuk mendapatkan kontrol yang seharusnya
atas hidup mereka, (c) mendapatkan pelatihan, (d) memahami tanpa melanggar hak orang
lain, dan (e) mendapatkan dukungan pemberdayaan oleh komunitas (Aspy & Sandhu, 1999).

Pemberdayaan perempuan memiliki beberapa tujuan (Sulistyowati, 2015), antara lain


adalah :

1. Meningkatkan kedudukan dan peran perempuan di berbagai bidang kehidupan


keluarga, masyarakat, bangsa dan negara
2. Meningkatnya peran perempuan sebagai pengambil keputusan dalam mewujudkan
kesetaraan dan keadilan gender
3. Meningkatkan kualitas peran kemandirian organisasi perempuan dengan
mempertahankan nilai persatuan dan kesatuan
4. Meningkatkan komitmen dan kemampuan semua lembaga yang memperjuangkan
kesetaraan dan keadilan gender
5. Mengembangkan usaha pemberdayaan perempuan, kesejahteraan keluarga dan
masyarakat, serta perlindungan anak
Menurut Ambar T. Sulistiyani, terdapat beberapa tahapan yang harus dilalui pada
proses belajar dalam rangka pemberdayaan masyarakat (Sulistiyani, 2004). Diantaranya
sebagai berikut, yaitu :

1. Tahap persiapan dan penyadaran


Tahap persiapan dan penyadaran dilakukan untuk pembentukan perilaku
menuju perilaku sadar dan peduli sehingga merasa membutuhkan peningkatan
kapasitas diri. Tahap ini merupakan tahap persiapan dalam proses pemberdayaan.
Pada tahap ini pihak pemberdaya/aktor/pelaku pemberdayaan berusaha
menciptakan prakondisi, supaya dapat memfasilitasi berlangsungnya proses
pemberdayaan yang efektif. Dengan adanya sentuhan penyadaran akan lebih
membuka keinginan dan kesadaran masyarakat tentang kondisinya saat itu,
dengan demikian akan dapat merangsang kesadaran mereka tentang perlunya
memperbaiki kondisi untuk menciptakan masa depan yang lebih baik.
2. Tahap transformasi kemampuan
Tahap transformasi kemampuan berupa wawasan pengetahuan, kecakapan
keterampilan agar terbuka wawasan dan memberikan keterampilan dasar sehingga
dapat mengambil peran di dalam pembangunan. Proses transformasi pengetahuan
dan kecakapan keterampilan dapat berlangsung dengan baik, penuh semangat, dan
berjalan dengan efektif jika tahap pertama telah terkondisikan. Masyarakat akan
menjalani proses belajar tentang pengetahuan dan kecakapan keterampilan yang
relevan dengan tuntutan kebutuhan. Pada tahap ini masyarakat dapat memberikan
peran partisipasi pada tingkat yang rendah yaitu sekedar menjadi pengikut atau
objek pembangunan saja, belum mampu menjadi subjek dalam pembangunan.
3. Tahap peningkatan kemampuan intelektual
Tahap peningkatan kemampuan intelektual berupa kecakapan keterampilan
sehingga terbentuklah inisiatif dan kemampuan inovatif untuk mengantarkan pada
kemandirian. Kemandirian tersebut akan ditandai oleh kemampuan masyarakat
dalam membentuk inisiatif, melahirkan kreasi – kreasi dan melakukan inovasi –
inovasi dalam lingkungannya. Apabila masyarakat dapat melakukan tahap ini,
maka masyarakat dapat secara mandiri melakukan pembangunan.

Dari konsep – konsep diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa pemberdayaan


menunjuk pada upaya untuk memampukan orang, khususnya kelompok rentan dan lemah,
untuk memiliki akses terhadap sumber daya produktif yang memungkinkan mereka dapat
meningkatkan pendapatannya dan memperoleh barang – barang dan jasa – jasa atau
kebutuhan lain yang mereka perlukan, serta dapat berpartisipasi dalam proses pembangunan
dan keputusan – keputusan yang mempengaruhi mereka. Mereka yang termasuk dalam
kelompok yang rentan dan lemah salah satunya adalah kaum perempuan. Secara gender,
kelompok perempuan adalah kelompok yang rentan memperoleh kekerasan, diskriminasi,
dan marjinalisasi ekonomi akibat dari konstruksi sosial masyarakat terhadap jenis kelamin
laki – laki dan perempuan (gender). Pemberdayaan perempuan dilakukan dengan
memberikan pemahaman dan pelatihan kepada perempuan untuk dapat meningkatkan
kedudukan dan peran perempuan tersebut di berbagai bidang kehidupan.

Konsep ini digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini untuk memahami makna dari
kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan itu sendiri. Pada penelitian ini, CARE
Indonesia sebagai sebuah NGO memiliki memiliki fokus utama pada isu keadilan gender dan
inklusi sosial yang membuat sebuah program peningkatan kapasitas diri (capacity building)
yaitu Personal Advancement and Career Enhancement (PACE). Program ini merupakan
salah satu upaya dalam pemberdayaan perempuan sebagai proses kesadaran dan
pembentukan kapasitas untuk adanya partisipasi perempuan yang lebih besar terhadap
lingkungannya. Sasaran dalam program ini adalah anak remaja (terutama perempuan) pada
tingkat SMP berusia 12 – 14 tahun di Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Program PACE
bertujuan untuk meningkatkan harga diri dan kepercayaan diri murid perempuan,
kemampuan memecahkan masalah dan kepemimpinan, serta kemampuan mereka untuk
mengurus diri mereka sendiri. PACE dipercaya dapat menjadi sebuah landasan penting untuk
meningkatkan jumlah perempuan yang percaya diri dan tangguh di Indonesia untuk
mengembangkan potensi mereka dan memiliki masa depan yang lebih baik.
2.2 Kerangka Pemikiran

Permasalahan : Kentalnya budaya patriarki


di Indonesia menyebabkan tingginya tingkat
ketimpangan gender di Indonesia.

CARE Indonesia merupakan


NGO. Menurut Clive Archer,
organisasi internasional
memiliki 3 kategori peran
yaitu : CARE Indonesia memiliki visi dan misi untuk
1. Instrumen / Alat mencapai keadilan sosial dengan berfokus
2. Arena pada kesetaraan gender dan inklusi sosial.
3. Aktor Independen

CARE Indonesia memiliki program Personal


Advancement and Career Enhancement (PACE)
sebagai upaya pemberdayaan perempuan untuk
mewujudkan kesetaran gender dengan peningkatan
kapasitas diri atau capacity building.
Peran CARE Indonesia dalam meningkatkan kesetaraan
gender melalui bidang edukasi dengan peningkatan
kapasitas diri (capacity building) pada program
Personal Advancement & Career Enhancement (PACE).

Permasalahan terkait kesetaran gender di Indonesia salah satunya disebabkan oleh


kentalnya budaya patriarki yang ada hingga saat ini. Menurut Muhadjir (2005), kultur budaya
patriarki ini mengakibatkan terjadinya diskriminasi, marjinalisasi, maupun kekerasan
terhadap perempuan. Dalam buku Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam, E.
Linda Yuliani menjelaskan bahwa budaya patriarki yang masih terjadi di masyarakat
membuat posisi perempuan menjadi terpojok. Masyarakat dengan sistem patriarki
menetapkan parameter perempuan dalam posisi yang tidak setara secara struktural baik di
keluarga maupun di lingkungan sosialnya (Salaam, 2003).

Ketidaksetaraan antara perempuan dan laki – laki di dalam budaya patriarki


menyebabkan Indonesia memperoleh angka yang tinggi pada Indeks Ketidakseteraan Gender.
Hal ini dapat dilihat pada data United Nations Development Programme (UNDP) tahun 2019
yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), bahwa Indonesia memiliki indeks
ketimpangan gender (Gender Inequality Index/ GII) tertinggi di kawasan ASEAN.

Sebagai sebuah organisasi internasional non-pemerintah (INGO) yang memiliki visi


dan misi untuk mewujudkan keadilan sosial, CARE Indonesia hadir untuk turut ikut serta
dalam membantu mewujudkan keadilan sosial di Indonesia, salah satunya melalui isu
kesetaraan gender. Menurut Clive Archer, sebuah organisasi internasional sendiri memiliki 3
kategori peran, yaitu (a) sebagai instrumen / alat, (b) sebagai arena, dan (c) sebagai aktor
independen.

Dilansir dari websitenya, CARE Indonesia memiliki fokus pada isu kesetaraan gender
dan juga inklusi sosial, salah satu cara yang dilakukan oleh CARE Indonesia dalam
menghadapi isu kesetaraan gender adalah dengan melakukan upaya pemberdayaan
perempuan dengan tujuan untuk mengembangkan potensi mereka demi memiliki masa depan
yang lebih baik.

CARE Indonesia menyadari bahwa permasalahan – permasalahan yang timbul dalam


isu ketidaksetaraan gender seperti marginalisasi kaum perempuan, subordinasi, stereotipe,
kekerasan, ataupun peran ganda yang saat ini ada di masyarakat dapat diminimalisir dengan
melakukan pencegah sejak dini kepada anak – anak perempuan atau remaja perempuan
menggunakan bidang pendidikan di bangku persekolahan. Hal ini sejalan dengan jurnal
Rahmi Fitrianti (2012) yang berjudul Ketidaksetaraan Gender dalam Pendidikan, dikatakan
bahwa akar dari ketidaksetaraan gender terletak pada sektor pendidikan. Ketidaksetaraan
pada sektor pendidikan telah menjadi faktor utama yang paling berpengaruh terhadap
ketidaksetaraan gender secara menyeluruh. Maka dari itu, CARE Indonesia tidak hanya
melakukan pemberdayaan kepada perempuan dewasa di tempat kerja mereka, namun juga
pemberdayaan berupa peningakatan kapasitas kepada anak – anak perempuan dan remaja –
remaja perempuan.

Program PACE ini ditargetkan untuk anak – anak remaja (khususnya perempuan)
pada tingkat SMP usia 12 – 14 tahun di Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Jika dilihat secara
geografis, Kabupaten Bandung berada di daerah Pulau Jawa dimana letaknya pun dekat
dengan Ibukota, Jakarta. Namun, CARE Indonesia menemukan dan melihat bahwa adanya
tantangan ketidaksetaraan gender yang tinggi dan berdampak pada kemiskinan yang
berkelanjutan pada anak perempuan dan remaja perempuan. Mereka lebih cenderung
melakukan pekerjaan informal yang dibayar rendah atau tidak dibayar dan rentan terhadap
perlakuan buruk, pelecehan seksual, dan kekerasan berbasis gender secara umum.

Pada akhirnya, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana peran CARE
Indonesia sebagai sebuah Non-Governmenntal Organization (NGO) dalam meningkatkan
kesetaraan gender melalui upaya pemberdayaan anak dan remaja perempuan di Kabupaten
Bandung dengan peningkatan kapasitas diri (capacity building) pada program Personal
Advancement and Career Enhancement (PACE).
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Objek Penelitian

3.1.1 CARE International

CARE International merupakan salah satu organisasi internasional non-pemerintah


(INGO) yang berdiri sejak tahun 1940-an. Hingga saat ini, CARE International telah menjadi
konfederasi global berusia 75 tahun yang bekerja untuk memerangi kemiskinan dan
ketidakadilan sosial di dunia, CARE berfokus khusus pada pemberdayaan perempuan dan
anak perempuan. Selain itu, CARE International menjadi salah satu organisasi
penanggulangan kemiskinan terbesar di dunia, yang memberikan bantuan kepada orang –
orang yang berada dalam keadaan darurat, dan berkontribusi pada pemberdayaan ekonomi
yang memperkuat mata pencaharian dalam jangka panjang.

CARE International yang saat ini menjadi jaringan luas mitra yang bekerja secara
global untuk mengatasi ketidakadilan sosial, bermula dengan paket bantuan sederhana yang
dikirimkan lebih dari tujuh dekade lalu. Paket bantuan CARE pertama dikirimkan ke Le
Havre, Prancis, untuk membantu jutaan orang yang membutuhkan makanan dan persediaan
bantuan pada saat akhir Perang Dunia II. Dengan adanya pemulihan pasca perang, CARE
semakin terlibat dengan banyak kegiatan di beberapa negara. Pada awal 1950-an, operasi
telah didirikan di sejumlah negara Amerika Latin, dan diikuti di Afrika pada awal 1960-an.
Saat itu, CARE juga mulai memberikan layanan medis serta bantuan kepada orang – orang di
daerah perang.
Sepanjang tahun 1960-an dan 1970-an, CARE memperluas jangkauannya dari
bantuan langsung dan jangka pendek menjadi bantuan jangka panjang dalam bentuk
pemulihan dan rehabilitasi. Bukan hanya merespon dengan distribusi makanan setelah
bencana dan keadaan darurat, tetepi juga memprakarsai proyek – proyek inovatif untuk
membantu masyarakat memenuhi kebutuhan mereka sendiri dengan lebih baik.

3.1.2 Mitra Kerja CARE International

CARE percaya bahwa untuk dapat memecahkan tantangan kompleks seperti


kemiskinan dan ketidakadilan sosial dapat dicapai melalui adanya kerjasama. Maka dari itu,
CARE berkomitmen pada kemitraan operasional yang berdaya, saling menghargai, dan fokus
terhadap pertumbuhan bersama. Kemitraan akan memperkuat dampak yang dihasilkan,
karena kemiskinan dan ketidakadilan sosial sendiri hanya dapat diatasi melalui aliansi
strategis yang melibatkan banyak aktor seperti pemerintah, masyarakat sipil, sektor swasta,
dan lain sebagainya. Tindakan kolektif dengan mengumpulkan berbagai sumber daya dan
banyak tenaga ahli tentunya akan berdampak lebih besar.

CARE memiliki beberapa donatur yang mendukung pendanaan untuk program –


program yang dilaksanakan oleh CARE, baik dari individu, perusahaan, perwalian, yayasan,
pemerintah, lembaga, dan kelompok masyarakat. Berikut beberapa donatur yang telah
membantu CARE :

a. Mitra Pendanaan Multilateral


European Union (EU) through the European Commission Humanitarian
Office (ECHO) and Directorate General for Development and Co-operation (DG
DEVCO), Food and Agriculture Organization (FAO), International Labour
Organization (ILO), International Fund for Agricultural Development (IFAD),
United Nations Children's Fund (UNICEF), United Nations Development Fund for
Women (UNIFEM), United Nations Development Program (UNDP), United Nations
Population Fund (UNFPA), United Nations Human Settlements Program (UN-
HABITAT), United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), Steering
Committee for Humanitarian Response (SCHR), The World Bank (WB), World
Health Organization (WHO), World Food Program (WFP).
b. Mitra Pendanaan Bilateral
Australian Agency for International Development (AusAID), Austrian Federal
Chancellery, Austrian Federal Ministry of Foreign Affairs, UK Government's
Department for International Development (DFID), Agence Française de
Développement, Canadian International Development Agency (CIDA), Danish
Cooperation for Environment and Development (DANCED), Danish International
Development Agency (DANIDA), Dutch Ministry of Development Cooperation,
German Ministry of Economical Cooperation and Development (BMZ), Japanese
Government, Norwegian Agency for Development Cooperation (NORAD),
Norwegian Ministry of Foreign Affairs, Republic and canton of Geneva, Swiss
Agency for Development and Cooperation (SDC), United States Agency for
International Development (USAID), United States Office of Foreign Disaster
Assistance (OFDA).

Selain bekerjasama dengan mitra untuk pendanaan, CARE juga bekerja dengan
berbagai aktor dari mitra proyek lokal, kelompok advokasi, hingga lembaga penelitian dan
teknis, serta para pemasok.

a. Mitra proyek, baik ditingkat lokal atau nasional, membantu CARE dalam
membawa pengetahuan dan pemahaman tentang kemiskinan dan ketidakadilan
pada komunitas dan negara mereka sendiri. Mitra ini menjadi sangat penting
karena mereka yang paling memahami masalah dari negara mereka sendiri. Dalam
hal ini, CARE berperan untuk mendukung dengan membagikan pembelajaran
keterampilan dan kapasitas diri dengan mitra untuk membantu masyarakat
mengeluarkan potensi penuh mereka.
b. Kelompok advokasi, membantu CARE dalam lebih menonjolkan isu dan suara
masyarakat yang terkena dampak kemiskinan dan ketidakadilan. CARE bermitra
dengan berbagai LSM kemanusiaan dan pembangunan, advokat terkemuka,
aliansi nasional dan regional, serta selebriti untuk memperkuat suara masyarakat
dan mendapatkan perubahan yang diperlukan untuk mengatasi solusi
permasalahan tersebut.
c. Lembaga penelitian dan teknis, membantu CARE dalam membawa pengetahuan
akademis dan kemajuan teknis kelas dunia untuk memerangi kemiskinan dan
ketidakadilan. Kemitraan ini sangat penting untuk menangkap dan menerapkan
ide, pengetahuan, dan praktik baru kedalam dunia internasional.
d. Para pemasok, membantu CARE dalam mengirimkan barang dan layanan penting
lainnya yang dibutuhkan untuk memajukan program darurat dan pengembangan
yang CARE jalankan.

3.1.3 CARE Indonesia

CARE International telah beroperasi di Indonesia sejak tahun 1967, dengan berawal
dari bidang distribusi makanan, proyek infrastruktur kecil, kesehatan, lingkungan, serta air
dan juga sanitasi. Setelah adanya serangkaian krisis di akhir 1990-an yang mencakup krisis
keuangan pada tahun 1997 dan krisis kekeringan yang meluas, maka CARE Indonesia
mengalihkan fokusnya terhadap program tanggap darurat.

Pada awalnya, keberadaan CARE di Indonesia dikenal dengan nama CARE


International Indonesia. Namun sejak Juli 2018, sebagai bagian dari komitmen global CARE
untuk diversifikasi dan penguatan kapasitas lokal di Indonesia, maka dibentuklah Yayasan
CARE Peduli (YCP) atau yang lebih dikenal dengan CARE Indonesia sebagai sebuah entitas
nasional untuk meneruskan kehadiran CARE International Indonesia. Transisi ini
memungkinkan penyesuaian yang lebih tepat antara program CARE dengan prioritas
nasional, program yang bermanfaat dan berkelanjutan, dengan kepemilikan lokal, serta
memperkuat komitmen CARE terhadap pelokalan untuk berinvestasi dan membangun
kapasitas lokal.

Sama halnya dengan CARE International, CARE Indonesia memiliki visi untuk
menciptakan dunia yang penuh harapan, inklusi, dan keadilan sosial, dimana kemiskinan
telah diatasi dan semua orang hidup dengan bermartabat dan aman. Serta misi untuk bekerja
diseluruh dunia untuk menyelamatkan nyawa, mengalahkan kemiskinan dan mencapai
keadilan sosial. CARE sendiri memiliki fokus untuk menempatkan perempuan dan anak
perempuan pada tujuan utama mereka karena mereka berpendapat bahwa kemiskinan tidak
akan dapat diatasi hingga semua orang (perempuan dan anak perempuan) memiliki hak dan
kesempatan yang sama.

3.2 Pendekatan Penelitian

Setiap penelitian tentu akan menggunakan metode – metode tertentu untuk mencari
data yang relevan sehingga data yang didapatkan mampu menjawab isu yang diidentifikasi.
Metode penelitian umumnya terdiri dari beberapa jenis metode, yaitu metode kualitatif,
metode kuantitatif dan metode campuran (Creswell, 2014).
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode kualitatif. Menurut Creswell,
penelitian kualitatif merupakan metode – metode untuk mengeksplorasi dan memahami
makna yang dianggap berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan oleh sejumlah individu
atau sekelompok orang (Creswell, 2014). Pendekatan kualitatif memiliki tujuan untuk
memahami (To Understand) dan menafsirkan (To Interpret) sebuah perilaku atau interaksi
sosial. Penelitian kualitatif berusaha untuk menemukan makna (meaning), proses dan konteks
sebuah perilaku sosial yang sedang diamati. Proses penelitian kualitatif ini melibatkan upaya
– upaya penting seperti mengajukan pertanyaan – pertanyaan dan prosedur – prosedur,
mengumpulkan data yang spesifik dari partisipan, dan menganalisis data secara induktif
mulai dari tema – tema yang khusus ke tema – tema umum, dan menafsirkan data.

Creswell membagi metodologi kualitatif dengan beberapa pendekatan, antara lain :


fenomenologi, etnografi, grounded theory, naratif dan studi kasus. Pada penelitian ini peneliti
menggunakan pendekatan studi kasus dimana peneliti melakukan eksplorasi secara
mendalam terhadap program, kejadian, proses, aktivitas, terhadap satu orang atau lebih.
Pendekatan studi kasus menurut Creswell mencakup studi tentang suatu kasus dalam
kehidupan nyata, dalam konteks atau setting kontemporer. Penelitian studi kasus adalah
penelitian kualitatif yang menggunakan eksplorasi kehidupan nyata, dengan sistem terbatas
kontemporer (kasus) atau beragam sistem terbatas (berbagai kasus), melalui pengumpulan
data yang detail dan mendalam dengan melibatkan berbagai sumber informasi secara
langsung atau sumber informasi majemuk (seperti pengamatan, wawancara, bahan
audiovisual, dan dokumen serta berbagai laporan).

Penggunaan metode kualitatif dalam penelitian ini diharapkan dapat memaksimalkan


pembahasan masalah dan rumusan masalah dalam penelitian ini. Metode kualitatif
diharapkan akan membantu peneliti dalam mendeskripsikan peran CARE Indonesia dalam
meningkatkan kesetaraan gender melalui program Personal Advancement and Career
Enhancement (PACE). Sedangkan pemilihan pendekatan studi kasus diharapkan dapat
membantu peneliti dalam menganalisis dan mengeksplorasi lebih mengenai program
Personal Advancement and Career Enhancement (PACE) yang dilakukan oleh CARE
Indonesia dengan melibatkan berbagai sumber informasi seperti pengamatan, wawancara,
bahan audiovisual, dan dokumen serta berbagai laporan.

3.3 Jenis Penelitian


Jenis penelitian dalam metode kualitatif dibagi menjadi beberapa jenis yaitu penelitian
deskriptif, penelitian eksplanatif, dan penelitian eksploratif. Untuk menganalisa permasalahan
dan penelitian ini, penulis menggunakan tipe jenis penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian
deskriptif dimaksudkan untuk mengeksplorasi mengenai sebuah fenomena atau kenyataan
sosial dengan cara mendeskripsikan sejumlah variabel yang berkenaan dengan masalah yang
diteliti. Penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian deskriptif karena berdasarkan pada
data – data kualitatif dimana tujuan utama dari tipe penelitian ini ialah untuk memberikan
gambaran dalam mempresentasikan suatu masalah penelitian, dimana hasil penelitian tersebut
digunakan untuk menjawab berbagai pertanyaan penelitian seperti apa, kapan, dimana, dan
bagaimana (Neuman, 2014).

Jenis penelitian ini penulis gunakan untuk menjelaskan dan menggambarkan secara
deskriptif peran CARE Indonesia dalam meningkatkan kesetaraan gender pada peningkatan
kapasitas diri melalui program Personal Advancement and Career Enhancement (PACE) di
Kabupaten Bandung pada periode 2019 – 2022.

3.4 Sumber Data

Pada penelitian ini, penulis menggunakan dua jenis data, yakni data primer dan data
sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung oleh penulis
(Sugiyono, 2016). Data primer yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini berasal dari
data dan dokumen resmi mengenai laporan berupa annual report program Personal
Advancement and Career Enhancement (PACE) yang telah dilaksanakan oleh CARE
Indonesia selama 2 periode sejak tahun 2019 - 2022. Selain itu data primer juga didapatkan
dari hasil wawancara dengan beberapa narasumber yang relevan dengan topik penelitian.

Selain data primer, sumber data juga bisa didapatkan sebagai sumber data sekunder.
Data sekunder dapat menjadi tambahan data untuk mendukung penelitian penulis. Data
sekunder sendiri merupakan data yang biasanya sudah tersedia secara publik dan diperoleh
secara tidak langsung atau melalui orang lain. Data sekunder yang penulis gunakan dalam
penulisan ini diperoleh melalui buku – buku, jurnal ilmiah, artikel dalam media cetak atau
online, situs internet dan website resmi nasional maupun internasional, serta data lainnya
yang dapat mendukung penelitian.

3.5 Teknik Pengumpulan Data


Menurut Sugiyono, teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling
strategis dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data
(Sugiyono, 2016). Menurut Creswell, berdasarkan tipe data kualitatif maka teknik
pengumpulan data dibagi menjadi 4 macam tipe, yaitu observasi, wawancara, dokumen, dan
rekaman audiovisual (Creswell, 2014).

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan tiga dari empat macam tipe pengumpulan
data kualitatif yang dikemukakan oleh Creswell, yaitu tipe pengumpulan data wawancara,
tipe pengumpulan data dokumen, dan tipe pengumpulan data dengan rekaman audiovisual.

Dalam melakukan tipe pengumpulan data wawancara, penulis melakukan wawancara


dengan narasumber yang terkait dengan penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan
informasi yang lebih relevan mengenai masalah yang sedang dibahas dan ingin dijawab oleh
peneliti. Wawancara ini melibatkan pertanyaan wawancara semi terstruktur atau yang
termasuk kedalam kategori in-dept interview. Tujuan wawancara jenis ini adalah untuk
menemukan permasalahan secara lebih terbuka, dimana pihak yang diajak untuk melakukan
wawancara juga diminta untuk mengeluarkan pendapat dan idenya, hal ini dimaksudkan
untuk memperoleh pandangan dan pendapat dari para informan (Sugiyono, 2016). Dalam
penelitian ini, penulis akan melakukan wawancara dengan :

1. CARE Indonesia, untuk mempereoleh data terkait peran yang telah dilakukan oleh
CARE Indonesia dalam meningkatkan kesetaraan gender melalui program Personal
Advancement and Career Enhancement (PACE).

2. Siswa partisipan dari Program Personal Advancement and Career Enhancement


(PACE), untuk memperoleh data atau keterangan terkait hasil signifikan yang
dirasakan setelah adanya Program Personal Advancement and Career Enhancement
(PACE) untuk siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Kabupaten Bandung
terhadap peningkatan kapasitas diri.

3. Guru partisipan dari Program Personal Advancement and Career Enhancement


(PACE), untuk memperoleh data atau keterangan terkait hasil signifikan yang
dirasakan setelah adanya Program Personal Advancement and Career Enhancement
(PACE) untuk siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Kabupaten Bandung
terhadap peningkatan kapasitas diri.
Selain itu, penulis juga melakukan tipe pengumpulan data dokumen atau kepustakaan
(Library Research), yaitu dengan cara mengumpulkan data dari sejumlah literature yang
berhubungan dengan masalah yang sedang dibahas, baik itu berupa buku – buku, jurnal,
dokumen, majalah, surat kabar, ataupun artikel. Bahan – bahan tersebut penulis dapatkan
melalui beberapa sumber yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan seperti
perpustakaan ataupun lembaga terkait, baik dari media cetak maupun media online.

Tipe pengumpulan data terakhir yang digunakan oleh peneliti adalah data rekaman
audiovisual. Data ini bisa berupa foto, benda seni, kaset video, halaman utama situs web, e-
mail, pesan teks, teks media sosial, atau bentuk suara apapun. Teknik perekaman audiovisual
yang dijelaskan oleh Creswell ini dilakukan dengan cara merekam menggunakan alat
perekam suara, taperecorder, atau menggunakan ponsel dan kamera. Sedangkan sumber dari
teknik rekaman audio-visual yang akan digunakan oleh peneliti adalah teknik rekaman yang
akan dilakukan bersamaan dengan teknik wawancara.

3.6 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data merupakan proses akhir dalam penelitian kualitatif (Creswell,
2014). Proses analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan pada saat pengumpulan data
berlangsung. Miles dan Huberman (1984) mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis
data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus. Adapun
aktivitas yang dilakukan dalam menganalisis data yaitu, reduction, data display, dan
conclusion drawing/verification (Sugiyono, 2016).

1. Data reduction (Reduksi Data)

Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian


terhadap data kasar atau mentah yang didapatkan dari catatan – catatan tertulis atau
hasil penelitian di lapangan. Dengan demikian, data yang telah direduksi akan
memberikan gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti untuk melakukan
pengumpulan data dan mencarinya bila diperlukan (Sugiyono, 2008). Reduksi data
dilakukan untuk mengerucutkan data – data yang telah didapatkan supaya
mendapatkan data yang relevan dengan penelitian penulis.

Proses reduksi dimulai pada saat peneliti mengumpulkan semua data terkait
peran CARE Indonesia melalui program – program yang dilaksanakan dalam
meningkatkan kesetaraan gender di Indonesia. Pada akhirnya peneliti memilih fokus
penelitian terhadap peran CARE Indonesia dalam meningkatkan kesetaraan gender
melalui isu pendidikan pada program Personal Advancement and Career
Enhancement (PACE) untuk siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Kabupaten
Bandung, Jawa Barata. Kemudian peneliti mulai mereduksi data – data yang
dikumpulkan pada proses awal, mencari data yang sesuai dengan fokus penelitian,
dan menambahkan data primer yang berasal langsung dari sumber tarkait serta data
sekunder sebagai data penunjang penelitian. Data yang direduksi akan memberikan
gambaran yang lebih jelas dan mempermudah peneliti untuk mengumpulkan data
selanjutnya yang diperlukan.

2. Data Display (Penyajian Data)

Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah penyajian data.


Penyajian data merupakan teknik dimana penulis menyusun data – data relevan yang
didapatkan. Penyajian data adalah proses mengumpulkan sekumpulan informasi
untuk disusun dan memungkinkan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan
tindakan, Data – data tersebut bisa didapatkan dari jurnal, buku, hasil penelitian,
maupun dokumen resmi.

Peneliti menyajikan data dengan bentuk uraian singkat sesuai dengan yang
dikatakan oleh Miles dan Huberman (1984) bahwa bentuk penyajian data dalam
penelitian kualitatif yang paling sering digunakan adalah teks naratif. Penyajian data
dengan dengan teks naratif akan menjelaskan dan menceritakan peran yang telah
dilakukan oleh CARE Indonesia pada peningkatkan kapasitas diri melalui program
Personal Advancement and Career Enhancement (PACE). Penjelasan mengenai data
dan informasi tersebut akan dijelaskan menggunakan rangkaian kalimat dan paragraf
yang disusun secara teratur dan sistematik di dalam penelitian ini. Dengan penyajian
data menggunakan narasi, maka akan memudahkan penulis ataupun orang lain dalam
memahami masalah yang diteliti.

3. Conclusion Drawing/Verification (Kesimpulan dan Verifikasi)

Tahap selanjutnya adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan


awal yang masih belum jelas akan meningkat dan akan menjadi lebih terperinci.
Kesimpulan awal tersebut masih akan bersifat sementara, dan dapat berubah bila tidak
ditemukan bukti – bukti yang kuat yang mendukung dalam tahap pengumpulan data
berikutnya (Sugiyono, 2016).
Kesimpulan dan verifikasi merupakan proses terakhir dalam analisis data
untuk mendapatkan kesimpulan mengenai penelitian ini. Sebelum melakukan sebuah
penarikan kesimpulan, langkah awal yang penulis lakukan adalah memberikan
kesimpulan awal atau asumsi dasar terlebih dahulu. Hal ini digunakan sebagai titik
acuan saat mengumpulkan data dan untuk membandingkan kondisi yang sebenarnya
di lapangan mengenai peran CARE Indonesia dalam meningkatkan kesetaraan gender
di Indonesia melalui peningkatan kapasitas diri pada program Personal Advancement
and Career Enhancement (PACE). Asumsi dasar yang dimiliki oleh penulis
selanjutnya akan melalui tahap verifikasi terlebih dahulu untuk mengungkap
kebenaran informasi tersebut melalui beberapa cara salah satunya adalah triangulasi
data. Setelah dilakukan verifikasi, maka data tersebut boleh untuk dijadikan sebagai
kesimpulan akhir dalam penelitian.

Pada penelitian ini, penulis menggunakan metode triangulasi yang bertujuan


untuk meningkatkan pemahaman peneliti terhadap data dan fakta yang dimiliki.
Triangulasi menurut Norman K. Denkin adalah gabungan atau kombinasi dari
berbagai metode yang dipakai untuk mengkaji keterkaitan antar fenomena melalui
sudut pandang yang berbeda. Triangulasi sumber data dilakukan dengan
membandingkan informasi yang diperoleh peneliti dengan informasi lain yang
diperoleh melalui sumber berbeda.

Proses triangulasi sumber data yang dilakukan oleh peneliti yaitu dengan cara
membandingkan data primer yang diperoleh dari data laporan hasil kegiatan program
beasiswa Stuned serta hasil wawancara informan dengan data sekunder yang
diperoleh peneliti melalui portal berita, website, serta jurnal – jurnal yang berkaitan
dengan penelitian ini. Penggunaan triangulasi sumber data oleh peneliti dilakukan
untuk menghindari bias terhadap subjek penelitian.

3.7 Waktu Dan Lokasi Penelitian

3.7.1 Waktu Penelitian

Tabel 1 Pelaksanaan Kegiatan

Waktu Penelitian (Bulan)


No Urutan Kegiatan
6 7 8 9 10
1 Pembuatan outline
2 Penyusunan proposal
3 Bimbingan proposal
4 Sidang proposal
5 Revisi proposal
6 Bimbingan skripsi
7 Pengambilan data
8 Pengolahan data
9 Sidang Skripsi
10 Revisi Skripsi

3.7.2 Lokasi Penelitian


1. CARE Indonesia
Jl. Taman Margasatwa No. 26 Blok D, Ragunan, Pasar Minggu, Jakarta
Selatan, 12550 Indonesia
2. Zoom Meeting

DAFTAR PUSTAKA

Adriana, I. (2009). Kurikulum Berbasis Gender. Tadris, 4(1), 138. http://repository.uin-


suska.ac.id/20488/7/7. 2018205TMPI_BAB II.pdf

Antony, V. (2006). Education and employment: The key to women’s empowerment.


Kurukshetra.
http://americanscholarspress.us/journals/IFST/pdf/IFOTS-2-2013/IFOTS_v9_n2_art3.pd
f

Archer, C. (2001b). International Organizations (Third Edit). Routledge Taylor & Francis
Group.

Aspy, C. B., & Sandhu, D. S. (1999). Empowering women for equity: A counseling approach.
American Counseling Association.
https://www.ojp.gov/ncjrs/virtual-library/abstracts/empowering-women-equity-
counseling-approach

Auliarini, F. (2013). Peran Non-Governmental Organization (NGO) dalam Menanggulangi


Perdagangan Anak di Rusia. Unri.

Bappenas. (2015). Kesetaraan Gender. Bappenas.Go.Id. https://sdgs.bappenas.go.id/tujuan-5/

Bennett, A. L. (1995). International Organizations : Principles and Issues. Prentice Hall.

Bennett, L. (1995). Transnational Relation and International Organization. Prentice Hall.


Inc.

Biddle, B. J., & Thomas, E. J. (1966). Role Theory : Concept and Research. Wiley.

Dihni, V. A. (2021). Ketimpangan Gender Indonesia Tertinggi di ASEAN, Singapura


Terendah. Databoks.
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/12/14/ketimpangan-gender-indonesia-
tertinggi-di-asean-singapura-terendah

DTE. (2014). Kebutuhan akan Keadilan Gender. Down To Earth, 99–100.


https://www.downtoearth-indonesia.org/id/story/kebutuhan-akan-keadilan-gender

Fakih, M. (2008). Analisis Gender dan Transformasi Sosial. INSISTPress.

Kahn, R. L. (1990). Nations as Organizations : Organizational Theory and International


Relations. Journal of Social Issue, 45(Social), 181–194.

KEMENPPPA. (2021). MENTERI PPPA : BUDAYA PATRIARKI PENGARUHI


RENDAHNYA IPM PEREMPUAN.
https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/3114/menteri-pppa-budaya-
patriarki-pengaruhi-rendahnya-ipm-perempuan

Kristopel, H. (2019). Peran Non-Governmental Organization dalam Pemberdayaan


Perempuan [Universitas Brawijaya].
http://repository.ub.ac.id/id/eprint/172222/1/Hendra Kristopel 155030100111049
%282%29.pdf

Lewis, D. (2001). The Management of Non-Governmental Development Organizations.


Routledge.
https://www.taylorfrancis.com/books/mono/10.4324/9780203002162/management-non-
governmental-development-organizations-david-lewis
Lewis, D. (2021). Non-Governmental Organization and Development (Second Edi).
Routledge Taylor & Francis Group.

Lewis, D., & Mensah, P. O. (2006). “Moving Forward Research Agendas On International
NGOS: Theory, Agency and Context.” Journal of International Development, 18(10),
665.

McLellan, D. S. (1977). The Theory and Practice of International Relation. Prentice Hall.

Noah, Y., & Rythia, A. (2020). Inclusion in Indonesia’s Education Sector. In Policy Report
Working Paper.
https://openknowledge.worldbank.org/bitstream/handle/10986/33943/Inclusion-in-
Indonesias-Education-Sector-A-Subnational-Review-of-Gender-Gaps-and-Children-
with-Disabilities.pdf?sequence=1&isAllowed=y

Perkins, D. D., & Zimmerman, M. (1995). Empowerment theory, research, and application.
American Journal of Community Psychology, 23(5).
https://www.researchgate.net/publication/14354763_Empowerment_theory_research_an
d_application

Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2008). Perilaku Organisasi (Edisi ke-1). Salemba Empat.

Rokhmansyah, A. (2016). Pengantar Gender dan Feminisme. Garudhawaca.


https://books.google.co.id/books?
id=tDUtDQAAQBAJ&printsec=frontcover#v=onepage&q&f=false

Shiva, M. (2001). Health care in last 50 years and women’s empowerment. Empowering the
Indian Women.

Soekanto, S. (1990). Sosiologi suatu Pengantar. Raja Grafindo Persada.

Sulistiyani, A. T. (2004). Kemitraan dan Model - Model Pemberdayaan. Gaya Media.

Sulistyowati, T. (2015). Model Pemberdayaan Perempuan dalam Meningkatkan


Profesionalitas dan Daya Saing untuk Menghadapi Komersialisasi Dunia Kerja. Jurnal
Perempuan Dan Anak, 1(1), 1–11. http://jpa.umm.ac.id/download-pdf-journal-30-
model-pemberdayaan-perempuan-dalam-meningkatkan-profesionalitas-dan-daya-saing-
untuk-menghadapi-komersialisasi-dunia-kerja.pdf

Suryadi, A., & Idris, E. (2004). Kesetaraan Gender dalam Bidang Pendidikan. Ganesindo.
Tjiptaningsing, W. (2018). Pemberdayaan Perempuan Dalam Upaya Peningkatan Ekonomi
Keluarga (Studi Kasus Pada Kelompok Usaha Perempuan di Desa Sindangkempeng
Kecamatan Greged Kabupaten Cirebon). REFORMASI : Jurnal Ilmiah Administrasi,
2(1), 45–67.

Turner, J. H. (2002). Face to Face : Toward a Sociological Theory of Interpersonal


Behaviour. Standford University Press.

UNESCO. (2004). Gender and Education for All THE LEAP TO EQUALITY.
https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000132550

UNFPA. (2005). Frequently asked questions about gender equality. United Nations
Population Fund. https://www.unfpa.org/resources/frequently-asked-questions-about-
gender-equality

United Nations. (2015). Gender Equality : Why It Matters. UN.Org.


http://www.un.org/sustainabledevelopment

William, C. (1991). Non-Governmental Initiatives. In The Urban Poor and Basic


Infrastructure Services in Asia and The Pacific. Asian Development Bank.

William, D. (2006). GENDER BUKAN TABU Catatan Perjalanan Fasilitasi Kelompok


Perempuan di Jambi. Center for International Forestry Research (CIFOR).
https://www.cifor.org/publications/pdf_files/Books/BDede0601.pdf

Zimmerman, M. A. (2000). Handbook of Community Psychology : Empowerment Theory.


Springer. https://link.springer.com/chapter/10.1007/978-1-4615-4193-6_2

Anda mungkin juga menyukai