Anda di halaman 1dari 6

PERSPEKTIF PANCASILA TERHADAP KESETARAAN GENDER DI

MASYARAKAT

Adinda Firda Choirun Nisa


Pendidikan Vokasi Universitas Brawijaya

Jl. Veteran No.12-14, Ketawanggede Malang 65145

Abstract
Gender can be categorized as an operational tool in evaluating men and women associated with
the division of roles in society constructed by the community itself. The term gender equality is
often discussed with conversations obtained by women. Discrimination arises because a rigid
social understanding of society will distinguish the roles between women and men. Actually,
gender differences are not a problem because of gender inequality. The problem will appear that
gender compilation has created various injustices. Pancasila mediates this problem through the
five precepts contained therein. This article uses the literature review method. The purpose of
this research is to be able to study the Pancasila perspective on gender equality.
Keywords: Gender, Pancasila and Social

Abstrak
Gender bisa dikategorikan sebagai perangkat operasional dalam melakukan pengukuran terhadap
persoalan laki-laki dan perempuan terutama yang terkait dengan pembagian peran dalam
masyarakat yang dikonstruksi oleh masyarakat itu sendiri. Istilah kesetaraan gender sering
dikaitkan dengan diskriminasi yang didapat oleh perempuan. Diskriminasi itu muncul karena
paham sosial masyarakat yang kaku akan perbedaan peran antara perempuan dan laki-laki.
Perbedaan gender sebenarnya tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan
gender. Masalah itu akan muncul ketika perbedaan gender telah melahirkan berbagai
ketidakadilan. Pancasila menengahi masalah tersebut melalui lima sila yang terkandung di
dalamnya. Artikel ini menggunakan metode kajian pustaka. Tujuan dari penelitian ini agar
mengetahui perspektif pancasila terhadap kesetaraan gender.
Kata kunci : Gender, Pancasila dan Sosial

PENDAHULUAN
Isu tentang kesetaraan gender mulai merebak khususnya di Indonesia pada tahun 1990-an.
Sampai saat ini pun beberapa orang masih saja mengsalahartikan tentang konsep kesetaraan
gender. Gender bisa dikategorikan sebagai perangkat operasional dalam melakukan pengukuran
terhadap persoalan laki-laki dan perempuan terutama yang terkait dengan pembagian peran
dalam masyarakat yang dikonstruksi oleh masyarakat itu sendiri.
Perempuan yang jumlahnya lebih besar dibanding laki-laki belum banyak mengisi dan
menempati sektor-sektor publik. Sebagai contoh dalam bidang pendidikan kaum perempuan
masih tertinggal dibandingkan dengan laki-laki. Ketertinggalan perempuan tersebut tercermin
dalam presentase perempuan buta huruf (14,47% tahun 2001) yang lebih besar dibandingkan
laki-laki (6,87%). Data tersebut menegaskan bahwa partisipasi perempuan di sektor publik dalam
bidang pendidikan masih rendah (Wirutomo, 2012:188-189). Pendidikan dan penegakan hak-hak
wanita mempunyai kaitan yang erat, semakin rendah pendidikan seorang wanita semakin sedikit
kesempatan dia untuk menuntuk hak-haknya. Keinginan untuk bersekolah atau mendapatkan
pendidikan lainnya karena alasan untuk berkarir di luar rumah sangat sedikit yang mendapat
persetujuan dari pihak keluarga khususnya orang tua (Bainar dan Halik,1999:37-38)Di dunia
pendidikan, antara anak perempuan dan anak laki-laki hendaknya harus seimbang. Akan tetapi
saat ini masih kerap terdapat adanya ketidakadilan gender. Banyak anak perempuan usia sekolah
yang tak bisa lagi mendapatkan pendidikan yang layak. Hal ini disebabkan karena pengaruh cara
pandang patriarkis dari orang tua mereka. Namun, hal ini justru berbanding terbalik dengan
realita bahwa perempuan ternyata mempunyai peranan yang sangat besar dalam berbagai bidang,
baik dalam bidang ekonomi, politik, maupun sosial, bahkan peranan perempuan justru sangat
dirasakan oleh masyarakat luas (Megawangi, 1999:19).
Istilah kesetaraan gender sering dikaitkan dengan diskriminasi yang didapat oleh perempuan.
Diskriminasi itu muncul karena paham sosial masyarakat yang kaku akan perbedaan
peran antara perempuan dan laki-laki. Perbedaan gender sebenarnya tidak menjadi masalah
sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender. Masalah itu akan muncul ketika perbedaan
gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, terutama bagi kaum perempuan. Untuk
memahami bagaimana keadilan gender menyebabkan ketidakadilan gender perlu dilihat
manifestasi ketidakadilan dalam berbagai bentuknya, seperti marginalisasi atau proses
pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik,
pembentukan stereotipe atau melalui pelabelan negatif, kekerasan (violence), beban kerja lebih
panjang dan lebih lama (burden), serta sosialisasi ideologi nilai peran gender (Mansour Fakih,
1997: 13).
Di sisi lain, kesetaraan gender juga berlaku untuk laki-laki walaupun memang isu perempuan
lebih mendominasi, tidak dipungkiri laki-laki juga mendapat perlakuan yang tidak adil, seperti
dalam hal pekerjaan. Laki-laki cenderung dituntut untuk bergelut pada pekerjaan ‘laki-laki pada
umumnya’, namun dengan merebaknya laki-laki yang berprofesi sebagai tukang rias, tukang
masak, ataupun tukang jahit menjadikan mereka dipandang sebelah mata, bahkan timbul
diskriminasi. Sering mendengar ungkapan masyarakat bahwa laki-laki tidak boleh menangis atau
laki-laki harus malu jika gaji yang diterimanya lebih kecil daripada perempuan. Dalam hal ini,
laki-laki maupun perempuan sama-sama berkaitan dan dirugikan oleh persepsi masyarakat itu
sendiri. Ketidakadilan gender tersebut dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM karena
merugikan pihak lain. Hal tersebut sangatlah berbeda dari apa yang diingankan oleh Pancasila.
Tindakan masyrakat tersebut bertolak belakang dengan Pancasila sebagai pedoman hidup
bangsa. Ketidakberdayaan Pancasila inilah yang menyebabkan timbulnya masalah sosial budaya
di masyarakat.
Dengan demikian perlu adanya penengah dalam menanggapi isu tersebut dengan mendalami apa
yang menyebabkan isu tersebut terjadi. Selain itu juga memaknai perspektif pancasila sebagai
dasar Negara juga sebagai pandangan hidup bangsa terhadap konsep kesetaraan gender yang
merebak di masyarakat Indonesia. Tujuan artikel ini agar masyarakat mulai memahami konsep
kesetaraan gender dalam perspektif Pancasila.
METODE
Metode yang yang digunakan dalam kajian ini ialah metode kajian pustaka. Penulis mengkaji
masalah yang diangkat dalam dengan berbagai literatur yang tersedia, baik itu buku jurnal yang
relevan mengenai masalah yang diangkat, yakni perempuan dalam budaya patriaki
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kesetaraan gender adalah keadaan bagi perempuan dan laki-laki menikmati status dan
kondisi yang sama untuk merealisasikan hak azasinya secara penuh dan sama-sama
berpotensi dalam menyumbangkannya dalam pembangunan, dengan demikian kesetaraan
gender adalah penilaian yang sama oleh masyarakat terhadap persamaan dan perbedaan
perempuan dan laki-laki dalam berbagai peran yang mereka lakukan (KMNPP RI, 2001).
Cara Pandang Masyarakat terhadap Kesetaraan Gender
Laki-laki maupun perempuan notabenenya telah dibedakan bahkan sebelum mereka lahir.
Sebagai contoh para orangtua telah menyiapkan nama, pakaian yang berbeda satu sama lain, jika
bayi laki-laki akan diberi pakaian yang berwarna biru, jika perempuan cenderung berwarna
merah muda dan lain-lain. Masalah sekecil itupun kadang menjadi bahan diskriminasi, jika laki-
laki berpakaian merah muda dianggap tidak pantas, begitupun sebaliknya jika perempuan
mengenakan pakaian laki-laki dianggap tidak pantas. Padahal perempuan dan laki-laki memang
sudah berbeda tanpa perlu dituntut unttuk berbeda. Dari hal fisik secara genetika, psikologis
maupun emosionalnya pun berbeda. Pandangan masyarakat yang berlebihan itu yang menjadikan
adanya ketidakadilan gender.
Pada upacara bendera di sekolah selalu bisa dipastikan bahwa pembawa bendera adalah siswa
perempuan. Siswa perempuan itu dikawal oleh dua siswa laki-laki. Hal demikian tidak hanya
terjadi di tingkat sekolah, tetapi bahkan di tingkat nasional. Paskibraka yang setiap tanggal 17
Agustus bertugas di istana negara, selalu menempatkan dua perempuan sebagai pembawa
bendera pusaka dan duplikatnya. Sedangkan laki-laki tidak pernah membawa bendera pusaka itu.
Hal ini menanamkan pengertian kepada siswa dan masyarakat pada umumnya bahwa tugas
pelayanan seperti membawa bendera, lebih luas lagi, membawa baki atau pemukul gong dalam
upacara resmi sudah selayaknya menjadi tugas perempuan. Hal itu mengajarkan kepada siswa
tentang apa yang layak dan tidak layak dilakukan oleh laki-laki dan apa yang layak dan tidak
layak dilakukan oleh perempuan (Muthali’in, 2001:140).
Terjadinya ketimpangan seperti ini kemungkinan dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain,
adalah ideologi gender yang ada di masyarakat. Suatu anggapan muncul dengan pemahaman
mereka sendiri tanpa didasari pengetahuan yang faktual. Faktor yang lain adalah budaya patriarki
yang melekat pada konsep sosial di Indonesia. sebagaimana pendapat dari Nurmila (2015: 2)
yang menyatakan bahwa semua masyarakat Indonesia pada umumnya menganut sistem patriarki,
sehingga posisi perempuan dalam masyarakat masih dipandang tidak melebihi laki-laki dan laki-
laki juga selalu diposisikan paling utama, unggul dan dominan dalam masyarakatnya. Yusalia
(2014:198) menyatakan bahwa budaya patriarki mengacu pada kondisi sosial budaya yang
memberikan pandangan bahwa laki-laki adalah superior. Dengan maksud bahwa laki-laki berada
pada posisi wanita sehingga bisa mengendalikan wanita, budaya seperti ini tumbuh pada
masyarakat zaman dulu dan menciptakan mitos-mitos tertentu. Budaya patriarki juga muncul
dari perbedaan fisik antara lakilaki dan perempuan. Nurcahyo (2016:27) menyatakan bahwa
perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan dianggap sebagai awal pembentukan budaya
patriarki. Perbedaan biologis antara keduanya merupakan status yang tidak setara. Perempuan
yang tidak memiliki otot dijadikan alasan mengapa masyarakat menempatkan mereka pada
posisi lemah.
Perspektif Pancasila terhadap Kesetaraan Gender
Prof. Mr. Dr. R.M Soeripto (Anggota Konstituanse Fraksi PNI)1 “Pancasila sebagai dasar negara
telah dipergunakan selama lebih dari 12 tahun tahan uji. Bilamana negara kita sekarang
mengalami kesulitankesulitan kenegaraan, ini disebabkan oleh hal di luar Pancasila. Menurut
hemat kami di antaranya oleh karena itu tidak mentaati dasar musyawarah dari demokrasi
Indonesia, yaitu dasar keempat dari Pancasila, tetapi memakai system demokrasi Barat yang
tidak sesuai dengan kejiwaan kita”. Pada prinsipnya Pancasila dibangun di atas kesadaran adanya
kompleksitas, heterogenitas atau pluralitas kenyataan dan pandangan. Artinya segala sesuatu
yang mengatasnamakan Pancasila tetapi tidak memperhatikan prinsip ini, maka akan gagal.
Pada isu kesetaraan gender, tindakan diskriminasi oleh kaum perempuan maupun laki-laki
menimbulkan adanya kesenjangan sosial dan jika dilihat lebih spesifik, ketimpangan yang terjadi
itu pun melibatkan pelanggaran HAM. Hubungan antara Hak asasi manusia dengan Pancasila
dapat dijabarkan Sebagai berikut:
1. Sila ketuhanan yang maha Esa, menjamin hak kemerdekaan untuk memeluk agama,
melaksanakan ibadah dan menghormati perbedaan agama. Sebagai contoh agama islam,
kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam ajaran Islam, bisa dilihat dari cara Islam melihat
konsep manusia dari segi penciptaannya serta tugas dan kedudukannya di dunia ini, Allah
menciptakan manusia, baik laki-laki dan perempuan berangkat dari berbagai hal yang sama, baik
ditinjau dari apa mereka dibuat dan tempat mereka dibuat, hal tersebut jelas diterangkan Allah
dalam berbagai surat yang ada di dalam Al-Qur’an. Pandangan Pancasila terhadap kesetaraan
gender pun melibatkan unsur ketuhanan, agar persepktif masyarakat juga luas dan pastinya setiap
manusia memiliki keyakinan dan diatur oleh Tuhan bahwa perempuan dan laki-laki mempunyai
peran yang berbeda namun dengan porsi yang sama. Laki-laki maupun perempuan pun tidak
berbeda di mata Tuhan. Lantas, mengapa manusianya ribut membedakan dan menyalahkan satu
sama lain?. Namun yang perlu digarisbawahi adalah kodrat sebagai perempuan dan laki-laki.
Islam memandang kesetaraan gender sebagai keadilan antara lakilaki dan perempuan, bukan
kesetaraan laki-laki dan perempuan.
2. Sila kemanusiaan yang adil dan beradab, menempatkan hak setiap warga negara pada
kedudukan yang sama dalam hukum serta serta memiliki kewajiban dan hak-hak yang sama
untuk mendapat jaminan dan perlindungan undang-undang. Dalam suatu Negara, baik laki-laki
maupun perempuan diberi fasilitas dan konstruksi hukum yang sama. Kesetaraan gender
merupakan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-
haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum,
ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional serta kesamaan
dalam menikmati hasil pembangunan (Afif:2013).
3. Sila persatuan Indonesia, mengamanatkan adanya unsur pemersatu diantara warga Negara, hal
ini sesuai dengan prinsip HAM dimana hendaknya sesama manusia bergaul satu sama lainnya
dalam semangat persaudaraan. Hendaknya masyarakat saling menghargai dengan banyaknya
perbedaan antara laki-laki dan perempuan, dengan menghilangkan kesenjangan gender yang
beredar di masyarakat,karena sejatinya masyarakat adalah pembentuk bangsa. Jika pemikiran
masyarakat tidak kunjung berkembang bahkan untuk isu kesetaraan gender ini,bangsa Indonesia
akan selalu tertinggal dengan Negara-negara lainnya.
4. Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan /
perwakilan, dicerminkan dalam kehidupan pemerintahan, bernegara, dan bermasyarakat yang
demokratis. Menghargai hak setiap warga negara untuk bermusyawarah mufakat yang dilakukan
tanpa adanya tekanan, paksaan, ataupun intervensi yang membelenggu hak-hak partisipasi
masyarakat. Dengan tidak menekankan suatu konsep yang salah terhadap kaum perempuan dan
laki-laki, dalam hal pekerjaan, penampilan maupun psikologis.
5. Sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam hal kesetaraan gender, Pancasila
juga menerapkan keadilan. Konsep kesetaraan bertolak belakang dengan prinsip keadilan, karena
adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya, memberikan hak kepada yang berhak
menerimanya. Sementara kesamaan adalah menyetarakan antara dua hal tanpa adanya perbedaan
(Joana:2013). Terwujudnya kesetaran dan keadilan gender ditandai dengan tidak adanya
diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, dan dengan demikian mereka memiliki akses,
kesempatan berpartisipasi, dan kontrol atas pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara
dan adil dari pembangunan.
KESIMPULAN
Kesetaraan gender merupakan salah satu hak asasi setiap manusia. Gender itulah yang
membedakan peran, atribut, sifat, sikap dan perilaku yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat. Cara pandang masyarakat yang salah merupakan faktor terjadinya ketimpangan isu
kesetaraan gender ini. Oleh karena itu, Pancasila hadir memberikan perspektif yang luas dalam
menyikapi ketidakadilan gender dalam lingkup sosial masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Adji, Muhammad & Wati, Meilina, (2009) Perempuan dalam Kuasa Patriarki,
Asyhari (2009), Kesetaraan Gender Menurut Nasarudin Umar dan Ratna Megawangi.
Kollo, L.F, (2017) Budaya Patriarki dan Partisipasi Perempuan dalam Bidang Politik, 316-320.
Lubis, Aminuddin, Konsep dan Isu Gender dalam Islam.
Marzuki, (2008), Studi Tentang Kesetaraan Gender dalam Berbagai Aspek.
Purwanti, A (2015), Muatan Materi Dan Pelaksanaan Pendidikan Kesetaraan Gender.
Rohmah, Nur & Ulinnuha, Labib. (2014), Relasi Gender dan Pendidikan Islam, Islamic
Education Journal, Vol.3, (2)/1436, 345-363, DOI: 10.14421/jpi.2014.32.345-364.
Wiasti, M.N, Gender dan Kesetaraan dan Keadilan Gender:Studi Tentang Pengetahuan dan
Sikap Masyrakat Bali.
Widayani, D.M.N & Hartati, Sri. (2014), Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Pandangan
Perempuan Bali: Studi Fenomenologis terhadap Penulis Perempuan Bali, Journal of Psychology
Diponegoro University, Vol.13, 149-162, CC BY-NC-SA 4.0.
Yudhanti, Ristina, (2016) Pancasila dan Berbagai Permasalahan Aktual, Vol.2, (1), 599-610.

Anda mungkin juga menyukai