Anda di halaman 1dari 36

FILSAFAT BERPERSPEKTIF FEMINIS : FILSAFAT BERSUASA FEMINIS

UNTUK MASA DEPAN FILSAFAT

Disusun Oleh :
Kelompok 5
Kelas B
Tasya Ananda 211301106
Eva Trilestari Simbolon 211301107
Thara Putri Nabila 211301108
Maghfirah Ramadhani Siagian 211301109
Anggita Fitriska 211301110
Shyrin Mirhaida Lubis 211301111

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
TAHUN 2021
BAB 6

FILSAFAT BERSUARA FEMINIS

A. PENDAHULUAN: CARA BERADA PEREMPUAN


Gender and the Politics of History karya Joan Scott adalah sebuah penemuan
tentang pemikiran-pemikiran besar yang telah ditemukan. “sejarah bukan saja
merupakan suatu akumulasi data-data baru, tetapi juga mempelajari bagaimana
gender telah beroperasi secara historis” kata Scott dalam karyanya. Cukup
banyak para filsuf terkenal yang memakai strategis postmodern, seperti Rotry,
Derrida, dan Lacan serta filsuf-filsuf perancis lainnya mempelopori perdebaran
perlunya memasukkan “suara-suara feminis” dalam filsafat atau filsafat feminism
yang dapat memeperkaya fisafat secara keseluruhan. Derrida menyatakan telah
menemukan “cara kerja feminin” (feminine operation) yaitu dengan memasukan
suara baru menurut suara perempuan (her story). Rotry merekomendasikan asalisis
pragmatismenya sebagai praktek filsafat yang egalitarian di mana perempuan
dapat berpartisipasi. Tawaaran ini diterima dengan syarat direvisi dan dicermati
dengan seksama.

Carol C. Gould secara gigih berargumentasi bahwa pernyataan tentang


perempuan merupakan pertanyaan filosofis. Ada beberapa pendekatan umum yang
penting dalam menghadapi persoalan ini. Pendekatan pertama, bahwa karena
perempuan seperti laki-laki adalah manusia dengan demikian hak-haknya adalah
universal. Pendekatan kedua, adalah bahwa sesungguhnya tidak ada manusia yang
universal sebab yang ada adalah kodrat manusia laki-laki dan perempuan. Dengan
demikian kodrat manusia laki-laki dan kodrat manusia perempuan adalah sama.
Pendekatan Gould menyambung pendekatan yang kedua dengan catatan penting
bahwa ada perbedaan antara perempuan antara laki-laki dan perempuan dan
perbedaan tersebut membuat peremouan ditindas melaui sejarah, budaya dan
sosial. Menjadi manusia sebenarnya adalaha persoalan sejarh, sosial dan budaya

1
dengan demikian sangat erak kaitannya dan mengakar pada persoalan filsafat.
Kemudian pembahasannya merambah pada metafisika, epistemology, etika
berperspektif feminis.

B. METAFISIKA DAN PERSOALANNYA


Metafisika adaah salah satu cabang filsafat yang memerhatikan konsep ada
(eksistensi) dan konsep-konsep lainnya senada. Metafisika adalah cabang filosofis
yang paling abstrak. Dalam filsafat Yunani, Aristoteles mendefenisikan metafisika
secara sederhana yakni meta (sesudah) dan physics (fisik-alam). Menurut Michael
Jubien dalam bukunya Contemporary Metaphysics, cakupan metafisika biasanya
dibagi dalam beberapa hal, antara lain :

Entitas Abstrak. Terdapat bermacam-macam hal yang disebut abstrak. Misalnya,


yang umum adalah properties, relasi dan proposisi. Juga, obyek matematis seperti
angka, fungsi, titik, garis, dan sebagainya, dianggap abstrak. Pertanyaan mendasar
tentang perosalan ini adalah, apakah persoalan-persoalan tersebut ada (eksis)?

Kebenaran dan Ketidakbenaran. Merupakan pernyataan penting metafisika.


Pertanyaan mendasarnya adalah apakah kebenaran? Apakah analisis kebenaran?
Apakah kebenaran relatif?

Sebab Akibat. Ada filsuf yang beranggapan bahwa sebab akibat yang terjadi
adalah imajinasi manusia.

Keniscayaan dan Posibilitas. Segala sesuatu yang sederhana seperti meja atau
pohon menurut para filsuf mungkin saja tidak ada. Semuanya tidak mungkin ada
secara independen. Bagaimana benda-benda ini hadir? Apakah lewat kebutuhan
atau kebetulan saja mereka hadir? Appakah makna dari semua ini bagaimana
menganalisanya?

Determinisme dan Kebebasan. Pertanyaan metafisis lainnya adalah persoalan


kehendak (volition), yang tidak dipengaruhi oleh hal-hal yang berada di luar diri

2
manusia. Apakah kehendak ini dapat berkonflik? Bagaiamana dengan takdir dan
fatalisme?

Persons, yang masuk ke dalam wilayah ontologi melontarkan pertanyaan-


pertanyaan apa saja yang eksis? Bila persoalan persosns masuk dalam pembahasan
ontology maka persoalannya yang dibahas oleh metafisika adalah konsep menjadi
manusia.

Kritik paling keras adalah bahwa metafisika mempunyai pretensi esensialis dan
universalis. Sikap esensialis dan universalis membuat pengalaman yang berbeda
tidka diperhitungkan terutama pengalaman-pengalaman perempuan. Para teoris
metafisika dianggap gagal dalam menghormati perbedaan dan telah mengambil
hak-hak suara lain yang berbeda. Hal ini berakibat fatal diakrenakan akan
merambat pada filsafat lainnya, seperti epistemology, etika, teori politik, dan
sosial.

Leslie A. Macavoy menandakan bahwa bila feminism dan filsafat adalah


koekstensif seperti bidang-bidang lainnya maka tentunya kedua-duanya baik
filsafat maupun feminis harus di “drop”. Menurutnya, istilah filsafat menunjukkan
pada praktek berpikir di mana kita berusaha untuk mencoba mengerti diri sendiri,
dan entitas dunia di mana kita hidup. Dengan demikian, adanya banyak cara agar
kita dapat mengerti diri kita sendiri, yaitu dengan metafisika. Akan tetapi,
metafisika tidak memadai, sehingga kita harus mengerti dominasi yang terjadi
pada metafisika yang konvensional.

Ada dua asumsi mendasar dalam wacana metafisika. Pertama, keberadaan


subyek terletak pada kemampuannya dalam merepresentasiakn diri. Kedua,
keberadaan ibyek terletak pada keberadaan representasi si subyek. Artinya, sebuah
obyek tidak dapat dikatakan “ada” (to be) bila tidak dijadikan obyek oleh si
subyek. Hal ini membuat subyek mempunayi kekuasaan terhadap obyek. Caranya,
pertama, si subyek akan mendefenisikan obyek berdasarkan apa yang tampak.

3
Kedua, apa yang tidak tampak dari obyek tersebut tidak dapat ia ketahui sebagai
ada. Akhirnya, bila ada seorang sedang diobyektifikasikan, tidak mempunyai
kemungkinan membuka dan mengekspresikan keberadaannya sendiri, dan oleh
sebab itu, dimungkinkannya sbeuah dominasi.

Wacana dominasi dalam metafisika terjadi karena kegagalan untuk mngawali


bahwa ide subyek dan obyek tersituasikan di mana masing-masing mempunyai
perspektif yang particular dan mempunyai keterhubungan denga nada lainnya.
metafisika selalu mengandalkan kenetralan Ada (being) sehingga tidak menyadari
bahwa operasi telah terjadi dengan tidak menaruh perhatian pada perbedaan
seksual yang terkandung.

C. METAFISIKA KETERHUBUNGAN (INTERRELATEDNESS) VS


METAFISIKA KEHADIRAN (PRESENCE)
Metafisika konvensional adalah metafisika yang mementingkan kehadiran
(presence). Kehadiran ditandai dengan berbasis pada akal (reason). Karena basis
ini maka ada operasi akal yang dijalankan yang kemudian mengklain pengetahuan
yang absolut.

Begitupula dengan Fenomenologi yang dikatakan sebagai reinskripsi dari


metafisika. Fenomeologi selalu mementingkan kehadiran dengan menerjemahkan
diri sebagai prinsip dari semua prinsip. Kekurangan fenomenologi adalah selalu
meredusir ekspresi yang merupakan esensi dari bahasa, menelanjangi terus
menerus makna yang kaya sampai tidak ada lagi interpretasi yang dapat didengar
sehingga menjadi sunyi dan tertutup. Dengan melakukan hal tersebut fenomenologi
telah mengentalkan diri menjadi pusat kehadiran dibalik kehadiran (presence a
non-presence).

Di lain pihak, para filsuf feminis mengambil contoh filsafat Heidegger Being-
in the world sebagai cara yang tidak tertutupi tetapi mengakui adanya hubungan-

4
hubungan antara entitas yang eksis dalam fenomena dunia. Ini artinya memahami
ada diri sendiri dengan ada yang lain (Being with Others). Macavoy menjelaskan,
berdasarkan Heidegger, hal ini dengan mangambil contoh tentang cara berada yang
positif, “melompat ke dalam” dan “melompat ke luar” (leaping in and leaping
ahead).

Menurut Heidegger, ketika seseorang menjumpai orang lain maka orang


tersebut juga akan menyadari bahwa kita ada disana yang artinya orang tersebut
akan memahami dunia yang kita pahami. Mitsein artinya ada implifikasi signifikasi
istilah-istilah dan makna yang saling dipahami, walaupun orang-orang teersebut
tidak ada di tempat. Ada juga ‘Ada’ yang lain yang dianggap negative, seperti Ada
yang sendiri (Being-alone), Ada yang hilang (Being-missing), Ada yang pergi
(Being-away), dan Ada-ada yang lain, seperti yang tidak peduli, dan sebagainya.
Baginya hanya ada dua ada yang positif, yakni acra Ada leaping ahead dan leaping
in.

Macavoy melihat, leaping in adalah cara ada yang tertutup yang menganggap
Ada-nya orang lain berdasarkan cara, kriteria dan pembenarannnya sendiri. Adanya
intimidasi terhadap Ada yang lain. Hal ini sangat dirasakan oleh kaum feminis
sehingga tidak diakui cara beradanya. Sedangkan, leaping in melakukan
dominasinya tanpa disadari oleh Ada-ada yang lain yaitu dengan cara ketika terjadi
leaping in. dalam feminism ini sering terjadi di mana perempuan sering
mengemukakan pendapat dan pengetahuannya tetapi tidak mendapatkan tempat di
dalam pengetahuan dan masyarakat.

Menurut Macavoy, ada leaping ahead lebih menekankan Ada yang mengakui
Ada yang lain, sehingga kaum feminis dapat diterima. Yang dituntut pada leaping
ahead adalah kesediaan untuk selalu terlibat dengan Ada lain. Bagi Macavoy,
leaping ahead merupakan metafisika yang mementingkan keterhubungan

5
(interrelatedness) yang tidak akan menindas cara berada lain seperti yang terjadi
dalam metafisika kehadiran (presence).

D. POLITIK PERBEDAAN SEKSUAL


Pertanyaan mengenai status ontologis perbedaan seksual merupakan
pertanyaan filsuf feminis yang paling banyak diperdebatkan dalam metafisika
kontemporer, terutama pada 1990-an. Mengenai pertanyaan yang dilontarkan
adalah : apakah tubuh yang berjenis kelamin ini diberikan secara biologis dan
secara spesifik telah ditentukan sejak awal? Ataukah ditentukan secara sosial saja?
Ataukah karena dominasi patriarki laki-laki terhadap perempuan?

Di dalam tulisan Elizabeth Grosz, yang menganalisa pemikiran Derrida, ia


mengemukakan bahwa Derrida adalah orang pertama yang memikirkan
pertanyaan-pertanyaan soal perbedaan seksual. Derrida menuduh sejak awal
filsafat melihat persoalan status ontologi sebagai netral. Hal ini dapat dilihat dari
pemaparan Martin Heidegger yang bersikeras bahwa Dassein adalah istilah yang
netral. Dasein dibangun di luar perbedaan seksual. Tidak ada hubungannya dengan
jenis kelamin, budaya, sejarah, etika, dan determinasi politik tetapi seara murni
adalah Dasein itu sendiri.

Emanuel Levinas memproklamirkan dirinya sebagai diri laki-laki (I-be).


Elizabeth Grosz mengutip tulisan Derrida tentang pemikiran -pemikiran Levinas
dalam bukunya At This Very Moment In This Work Here I Am. Di dalam karyanya,
Derrida menganggap bahwa ia menyebutkan dengan berani identitas seksual
dengan memakai kata He. Berikut kutipan Levinas :
“Saya pikir bagian akhir dari kitab suci, perempuan dijunjung
di sana; ia membuat mungkin kehidupan bagi laki-laki; ia
adalah rumah bagi laki-laki. Tetapi, suami mempunyai
kehidupan di luar rumah: Ia duduk di kursi walikota; ia
mempunyai kehidupan public; ia siap melayani secara

6
universal; ia tidak membatasi diri pada bidang domestic, pada
keintiman, pada rumah, walaupun tanpa mereka ia tidak dapat
melakukan apa-apa.”

Derrida melihat Levinas tidak menjelaskan tentang kenetralan melainkan


dominasi maskulin, ia juga menuliskan jenis kelamin lainnya (perempuan) sebagai
sebuah Holy other (yang “lain” tetapi mulia). Melihat perbedaan ontologis yang
dikemukakan Derrida, Elizabeth Frosz menyimpulkan ada dua pernyataan
ontologis. Pertama, klain bahwa ontologi tidak mengakui adanya perbedaan jenis
kelamin atau netral secara seksual (seperti teks Heidegger) dan kedua, vahwa
terdapat perbedaan seksual tetapi dilakuakn secara alamiah dan bukan merupakan
produksi manusia (seperti teks Levinas). Bagi Grosz, status ontologis perbedaan
seksual mengimplikasikan interderminasi secara fundamental. Bahwa Ada
terbuka, tidak penuh dan terus-menerus terjadi retranskripsi. Dan yang paling
penting untuk diingat dalam perdebatan ini adalah bahwa struktur pemikiran
logosenstris dan phallusentris akhirnya terkikis.

E. EPISTEMOLOGI FEMINIS
Posisi para filsuf feminis adalah bahwa mereka skeptis tentang pengetahuan
yang universal dan obyektif.Pandangan filsuf feminis memang tidak terlepas dari
komitmen mereka pada perjuangan hak-hak perempuan dan kecurigaan mereka
yang besar tentang adanya bias gender dalam filsafat.

F. KRITIK TERHADAP TRADISI EPISTEMOLOGI

Filsuf feminis sama sekali tidak tertarik dengan pengagungan ilmu pengetahuan
dan sikap-sikap kaku ilmiah.Joan Hartman dan Ellen Messer-Davidows dalam
buku mereka (En)gendering knowlage:Feminists in academe,ingin
mengembangkan “epistemology sosial “ yang menginginkan suatu transformasi
pengetahuan akademis sebagai sebuah “praktek”.Artinya,bahwa formulasi

7
pengetahuan tidak ekslusif tetapi juga inklusif dalam memformulasikan
pengetahuan.

Filsuf Helen Longino menawarkan bentuk empirisme kontekstual dimana bukti


penalaran dikatakan tergantung dengan konteks,data hanya dapat diaggap sebagai
bukti bila mempunyai hubungan dengan latar belakang asumsi-asumsi dan ilmu
pengetahuan adalah pengetahuan sosial.Oleh sebab itu,obyektifitas baginya
merupakan usaha komunikasi Bersama dan pencapaian komunal.

Feminist epistemology Lynn Nelson yang menganut aliran pemikiran pasca


Quine,menawarkan sumber pengembangan khusus feminis dan secara empiris
ketat dengan teori pengetahuan.Oleh sebab itu,kita harus menerima bahwa
pengetahuan dibentuk berdasarkan pengalaman-pengalaman yang dibentuk oleh
komunitasnya.

Michael Foucault memberikan kontribusi pemikiran pada penolakannya


dengan proyek modernitas.Kontribusi lainnya yang sering diperdebatkan oleh para
feminis adalah soal kekuasaan.Ia menambahkan bahwa kekuasaan bersifat
permanen,pengulangan dari memproduksi ulang.Dengan demikian,menurutnya
kekuasaan tidak dapat dilihat sebagai satu individu mendominasi individu lainnya
atau satu kelopok mendominasi kelompok lainnya.

G. EPISTEMOLOGI STANDPOINT
Klaim dari para filsuf feminis bahwa dominasi dan opresi terhadap perempuan
terjadi,membuat para epistemolog feminis mencari pijakan yang kuat dalam
epistemologi feminis.

Filsuf feminis Nancy Hartstock dalam tulisannya the feminist


standpoint:Developing The Ground for a spesifically Feminist Historical
materialism (1983),mengambil pola Marxis yang memasukkan unsur analisis
sosio-ekonomi dalam pengetahuan dengan gender.

8
Hiliary Rose berargumentasi bahwa bukan saja ilmu pengetahuan dan teknologi
merefleksikan adanya pembagian tugas antara kaum proleter dan para kapitalis
tetapi juga antara perbedaan kerja perempuan dan laki-laki yang produktif.Bagi
Rose pengetahuan berhaluan feminis harus didasarkan pada kegiatan
perempuan.Pemihakan inidianggap mengambil posisi tertentu yakni
standpoint.Bagi para epistemology standpoint hubungan pengetahuan dan ilmu
politik merupakan hubungan yang penting.

Tantangan yang dihadapi epistemology standpoint pertama apakah standpoint


berarti kecenderungan etnosentris atas perempuan?kedua,apakah pengetahuan
dianggap sah bila hanyandatang dari sumbernya sendiri?ketiga,apakah kehidupan
perempuan dibentuk oleh suatu budaya feminitas?

H. MEMPERTIMBANGKAN SUBYEKTIFIKASI

Karl Popper mengatakan,”Epistemologi bagi saya adalah teori pengetahuan


ilmiah.” Ia memulai argumentasinya dengan mengatakan bahwa sangat tidak
mungkin untuk menganggap adanya gender yang netral dalam epistemology,bahwa
gender tidak ada hubungannya dengan produksi pengetahuan,bahwa pikiran orang
bebas dari orientasi seksualnya dan bahwa reason hanya ditemukan pada laki-
laki.Posisi yang diambil para feminis ini adalah memeriksa ulang standar
epistemology S(yang mengetahui)-P(yang diketahui).

I. MENUJU TEORI PEMBEBASAN EPISTEMOLOGI


Ada beberapa usulan dari Nancy C.M.Hartsock,pertama subyektifitas atau
nuansa subyek harus diakui dan bukan diabaikan seperti yang terlihat pada
Foucault.Kedua,ia melihat epistemologi sebagai basis bahwa semua pengetahuan
dimungkinkan.Ketiga,teori kekuasaan dibutuhkan selama hal itu dipakai untuk
mengerti tentang dunia kita.Keempat,sebagai makhluk sosial yang mempunyai
ikatan visi,pemahaman tentang kelompok tertindas mengekspos perlakuan
ketidakadilan yang mereka alami sehingga perlu sebuah komitmen aksi politik.

9
J. ETIKA FEMINIS
Pada tahun-tahun 1970an para filsuf feminis memprotes gaya-gaya etika
sekuler yang “Administratif” Hal utama yang dibongkar para filsuf feminis adalah
adanya bias gender dalam teori etika.Demikian pula dalam teori modern etika
terdapat peminggiran terhadap perspektif perempuan.
K. ETIKA FEMININ DAN ETIKA MASKULIN
Feminis etika Nel Noddings dalam tulisannya In Caring (1984) menjelaskan
bahwa nilai tidak dapat dibentuk dan dipraktekkan dengan reason. Tetapi nilai
dibentuk dan dipraktekkan lewat kesadaran moralitas yang merespons kepada
orang lain. Namun Noddings berargumentasi bahwa berelasi dengan orang
mementingkan “hubungan” bukan logika. Hubungan ini menurut Noddings harus
didasarkan oleh tindakan, karakter, penalaran, sikap yang membuat orang lain
bahagia.

Noddings setuju bahwa kadangkala seseorang dipaksa dalam perbuatan-


perbuatan tertentu di luar kontrol dirinya masing-masing. Namnun, Noddings
sekali lagi beranggapan bahwa saat situasi sulit tersebut tiba, perempuan dan laki-
laki akan bereaksi berbeda. Yang satu akan bertindak karena kepeduliannya dengan
orang lain sedangkan yang satu lagi berargumen bahwa tindakanya di luar
kemampuan dirinya atau ada faktor-faktor eksternal. Artikel filsuf feminis
Genevieve Lloyd misalnya, mengambil contoh bagaimana ungkapan the man of
reason telah berhasil mengkarakteristikkan laki-laki sebagai makhluk yang
bernalar sehingga telah mengubah periode historis yang membuat laki-laki
bersebrangan dengan perempuan. Rasionalitas menjadi milik laki-laki sedangkan
emosionalitas menjadi milik perempuan. Pengkarakteristik ini tentunya telah
merubah secara fundamental pengaruh pada sejarah fisafat dan etika. Pemisahan
antara nalar dan emosi merupakan konsep yang familiar dalam filsafat. Advokasi
bahwa nalar menguasai emosi, nalar memberi arah pada passion, mempunyai
sejarah yang panjang dalam baik filsafat maupun non-filsafat.

10
Kita secara tidak sadar telah disuguhkan suatu argumentasi yang mempunyai
konsekuensi mendefinisilan laki-laki sebagai makhluk yang benalar, oleh sebab itu
superior, perempuan adalah makhluk emosi oleh sebab itu inferior.

Di dalam teori moral di Abad Moderen, nalar telah diterjemahkan dalam dua
bentuk prioritas. Pertama, adalah dalam penjelasan Kantian atau yang terinspirasi
oleh Kant, dengan upayanya mencari prinsip-prinsip moral yang abstrak, umum,
logis dan universal. Imperatif kategoris Kant merupakakan contoh yang baik.
Menurut teori ini, semua persoalan moral ditangani secara murni, imparsial dan
menganut prinsip rasional. Kedua, adalah penjelasan dalam bentuk Utilitarian.
Pendekatan utilitarian juga merefleksikan teori pemilihan yang rasional dimana
setiap orang mempunyai keinginan dan gairah serta kepentingan, teori ini
mengusulkan pemilihan rasional untuk melayani setiap kepentingan.

L. MATERNAL THINKING
Etika feminin yang banyak dibahas oleh para filsuf feminis mendasarkan salah
satu argumentasinya mengenai jenis etika naluri keibuan pada setiap perempuan.
Sara Ruddick adalah filsuf feminis yang amat dikenal tulisan-tulisannya tentang
pemikiran ibu. Ruddick tertarik untuk memeriksa dan mempertanyakan apa saja isi
kepala seorang ibu? Bagi Ruddick hal ini perlu dikaji karena sikap keibuan
merupakan sikap dan aktifitas yang melekat pada perempuan dan dapat ditarik
perspektif moralnya dari sini.

Praktek-praktek maternal merespons kebutuhan anak secara spontanitas dalam


dunia sosial yang kita alami. Respons maternal ini yang menuruti kehendak anak
merupakan suatu konsep dan logika yang "menghubungkan"
(connections) ekspresi nilai-nilai tertentu. Dalam melakulan keputusan dan refleksi
diri, kegiatan intelektual nampak tetapi tidak terpisah dari disiplin dan perasaan.
Praktek-praktek maternal ini yang didasarkan pada kepentingan merawat dan
merbesarkan, melakukan pelatihan sosial bagi seorang anak serta melibatkan suatu

11
wawasan metafisis, kemampuan kognitif dan nilai-nilai intrinsik keibuan yang
diabaikan para filsuf-filsuf besar etika.

Tujuan dari cara berpikir maternal bukan dominasi dan penaklukan. Akan
tetapi, mengadakan keseimbangan dalan relasi, melakukan perawatan,
penumbuhan, dan pengembangan. Bagi seorang ibu, anak tidak dilihat sebagai
suatu dualisme seperti yang dikemukakan teori Descartes, yakni ada badan dan ada
mind, tetapi bagi intuisi ibu, badan dan mind atau seorang anak merupakan
kesatuan dengan dirinya yang berdasarkan maternal spirit terus hidup dan
berkembang.

M. ETIKA KEPEDULIAN
Sensibilitas moral antara laki-laki dan perempuan menurut Sigmund Freud
sangat berbeda. Freud menginterpretasi "kelainan" perempuan sebagai
sebuah penyimpangan dari perkembangan konstruksi yang dibangun berdasarkan
model laki-laki, Jean Piaget seorang psikolog kondang menginterpretasikan ciri
perempuan lebih menarik lagi. Piaget dalam studinya yang diterbitkan pada
tahun1932 mengobservasi permainan-permainan yang dilalukan anak laki- laki dan
perempuan. Pada anak-anak perempuan ia menemukan bahwa mereka tidak begitu
ketat dalam peraturan dan lebih pragmatis. Berbeda dengan anak laki-laki yang
sangat rigid dalam permainan dan lebih tertarik pada aturan-aturan yang berlaku.
Hasilnya, anak perernpuan dalam permainannya lebih toleran serta lebih inovatif.

Carol Giligan menulis buku yang sangat popular berjudul In a Different Voice,
sebuah teori psikologis tentang perkembangan mental perempuan. Di dalam
bukunya ini ia memuat studi tentang diri (self) dan moralitas perempuan. Beberapa
kutipan yang menarik menunjukkan bagaimana perempuan mempunyai konstruksi
moral yang berbeda.

Dalam menganalisa konsep diri dan moralitas perempuan. Giligan menguraikan


adanya paling tidak tiga tahap yang teridentiikasi, hasil pemikiran ini ia peroleh

12
dengan mengamati dilema aborsi pada dini perempuan. Pada tahap pertama ia
menggambarkan bahwa keputusan moral perempuan berada pada fokus diri yang
orientasinya cenderung untuk mempertahakan diri (survival). Pada tahap ini
perempuan cenderung mencampuradukkan antara apa yang diharuskan (should),
dan apa yang diinginkan (would). Dalam tahap ini, keputusan-keputusan yang
dihasilkan terjadi bila ada konfik dan keputusan yang dihasilkan selalu dipengaruhi
oleh orang lain. Ini menunjukkan kurangnya kontrol atas diri sendiri. Pada tahap
ini pula, ketakutan akan dapat disakiti terlihat dengan jelas, sehingga perempuan
cenderung berhati-hati bahkan mengisolasi diri.

Namun, pada tahap kedua terjadi keputusan moral yang berkiblat pada kebaikan
sebagai pengorbanan. Transisi ini terjadi ketika perempuan mulai kehilangan fokus
dirinya (bahkan rasa selfishness) karena pengalaman kehamilan yang membuatnya
terus menerus adanya keterhubungan (connetedness) dengan hal-hal di luar dirinya.

Pada tahap ketiga, perempuan masuk pada moralitas yang tanpa kekerasan. Di
sini terjadi perkembangan yang menarik, karena usaha untuk menghindari rasa
disakiti baik ketika remaja dan dewasa, perempuan ketika mempunyai anak,
mengalani tingkat kepedulian yang semakin terasah dalam batin dan jiwanya.
Kepedulian kemudian menjadi semacam kewajiban universal.

N. ETIKA AMBIGUITAS
Dalam Simone de Beauvoir yang berjuful Ethics of Ambiguity, keseluruhan
buku ini tidak menyebut secara spesifik konsep moralitas perempuan namun etika
ambiguitas yang ditulis de Beavoir dapat merupakan "lubang' untuk
menjelaskan eika "the other" (perempuan) yang tidak dianggap sebagai
perdebatan mainstream filsafat. Bila pada paragraf-paragraf di atas pengaruh
feminitas menjadi sumber utama untuk mengkonstruksi moralitas perempuan maka
pada pembahasan de Beauvoir etika tidak secara eksklusif dibedah dalam
mengkaitkannya dengan karakteristik-katakteristik perempuan. Akan tetapi,

13
penjelasan etika ambiguitas yang dibahas secara filosofis membuat celah untuk
dapat mengikutsertakan pembahasan etika feminis.

Konsep Manusia Menurut Eksistensialisme


Berbeda dengan upaya menghadirkan manusia yang positif seperti yang
dilakulan oleh Immanuel Kant yang pada dasarnya ingin mencani semacam sintesis
pengetahuan lewat critique of pure reason, critique of pratical reason dan critique
of judgement. Demikian pula halnya dengan Descartes yang mendefinisikan
manusia dengan cogito ergo sum. Sebaliknya Jean-Paul Sartre dalam bukunya
Being and Nothingness, tidak pernah mendefinisikan manusia sebagai yang
definitif. Katena baginya, manusia adaiah suatu Ada yang selalu “membuat
dirinya” manusia sadar akan kekurangun dirinya sebagai Ada. Artinaya, segala
gairah hidupnya ditentukan oleh dirinya sendiri segala akhir dari ceritanya ia
situasikan sendiri. Justifikasi akan dirinya tidak pernah datang dati faktor-faktor
eksternal.

Manusia menemukan dirinya sebagai yang kurang. Akan tetapi, ia menolak


kekurangannya sebagai sesuatu yang kurang dan mengafirmasikan dirinya sebagai
eksistensi yang positif.

Manusia eksistensialis mengaku akan kekurangannya tersebut dan sekaligus


menolaknya, sehingga ia dapat dikatakan mahluk yang ambign. De Beauvoir
mengatakan bahwa manusia jangan menolak keambiguan dirinya tetapi justru harus
menyadarinya. Perempuan bila kita memakai kerangka eksistensialisme, apakah
dengan demikian untuk mencapai kebenaran dirinya tidak dapat dibenarkan untuk
menutupi kegagalan-kegagalannya tetapi justru harus membongkarnya,
menyadarinya dan mengeluarkannya untuk kemudian diterima dengan lapang
dada? Persoalannya adalah selama ini kegagalan- kegagalan perempuan selalu
dianggap sebagai sesuatu yang tidak wajar atau "sepantasnya begitu"

14
(Freud), dan bukan dianggap sebagai memang bagian dari eksistensi diri, sepert
halnya yang diungkapkan manusia Sartre.

Manusia eksis, peterpuan eksis. Apa yang perlu dilakukan oleh manusia dan
manusia yang berjenis kelanin perempuan adalah, bukan untuk terus menerus
bertanya apaksah kehadiran dirinya berguna, apakah hidup harus dijalani.
Pertanyaan ini tidak relevan lagi, katena sebagai makhluk yang ambigu dengan
kekurangan Adanya,.maka, yang penting adalah mengetahui (knowledgeable)
tentang kekurangannya ini dan mau hidup dan menerima kondisi tersebut sebagai
yang selalu dan terus menerus ditolak.

Kebebasan Manusia
Kebebasan menurut Sartre bukan sesuatu yang dicantolkan pada sesuatu (a
thing or a quality naturally attached to a thing). Kebebasan dapat eksis dari realitas
ambigu manusia yang disebut eksistensi, dengan cara melakukan transisi dari alam
ke moralitas, meraih kebebasan yang sesungguhnya.
Sartre mengatakan bahwa kebebasan tidak diberi atau diraih akan tetapi terlahir
dengan manusia atau “manusia dikutuk untuk bebas” Eksistensionalisme tetap
bersikeras bahwa kebebasan itu tetap ada dan persoalannya adalah bagaimana
melakukan to will oneself free dengan memberi makna yang positif dan konkrit
Bila manusia ingin mempertahankan eksistensinya maka ia harus seterusnya
sampai akhir mempertahankan kebebasannya.

O. ETIKA FEMININ DAN ETIKA FEMINIS


Filsuf feminis yang membahas soal-soal etika membagi dua kelompok teori
dalam etika. Kelompok pertama, etika feminim yang memakai pendekatan
tradisional yang sangat berdekatan dengan apa yang dianggap nilai-nilai
perempuan, seperti kepedulian, altruisme, dan sebagainya. Kelompok kedua,
adalah kelompok yang lebih progresif dimana mereka memasukkan perspektif
politis dan memberi masukan- masukan terhadap perlunya perubahan etika

15
Pembahasan ini menggarisbawahi etika feminis dimana penindasan terhadap
perempuan sama sekali tidak dapat dibenarkan secara moral dan politik. Boleh jadi
elemen-elemen feminitas seperti maternalitas dan kepedulian merupakan faktor-
faktor untuk menindas perempuan.

Sebenarnya, yang diinginkan dari seluruh teori etika yang ada adalah perbaikan
kondisi hidup baik bagi perempuan maupun laki-laki. Oleh sebab itu, perbaikan
kondisi hidup ini tidak akan tercapai bila etika kepedulian dieksklusifkan untuk
perempuan. Bahwa laki-laki juga perlu untuk melakukan etika kepedulian ini, agar
penindasan terhadap perempuan tidak terjadi lagi.

Bahaya lain dari etika feminin adalah mengarahkan semua energi perempuan
pada kepentingan orang lain. Melihat pola-pola seksisme yang ada, maka sangat
jelas bahwa etika feminin akan terus didukung sebagai ciri khas perempuan dan
sebaliknya laki-laki akan terus memfokuskan diri pada otonomi dan mementingkan
hak-haknya. Sekali lagi bila ini terjadi perempuan akan rugi, karena hanya
mementingkan pengorbanan dan tidak menanyakan persoalan hak.
Transformasi Sosial
Arah dari filsuf feminis menjadi jelas bahwa perlu adanya pemikiram ulang atas
asumsi-asumsi dasar dan konsep dari teori moral. Pemikiran kedepan ini dijabarkan
dengan baik oleh Virgina Held dalam artikelnya Feminist Reconceptualization in
Ethics, sebagai berikut. Baginya, teori moral harus memasukkan etika kepedulian
dengan aspek etika keadilan. Etika kepedulian menjadi penting bila kita merasa
peduli dan concern terhadap orang lain. Akan tetapi, etika kepedulian saja tidak
cukup, aspek etika keadilan harus dipertimbangkan, bukan saja untuk persoalan-
persoalan publik, tetapi juga dalam persoalan domestik. Sebuah masyarakat yang
feminis akan memperhatikan kedua aspek yang telah disebut, dan bila semua aspek
kehidupan diperhatikan maka sistem politik yang demokratis akan terwujud dengan
baik.

16
Estetika Feminis
Perspektif feminis dalam estetika bermula dari pembahasan seni dengan
tentunya pengaruh kuat dari gerakan-gerakan perempuan, yang kemudian
diformulasikan secara filosofis, memadukan dan memperdebatkan konsep-konsep
estetika. Istilah "estetika" diperkenalkan oleh seorang filsuf Jerman
bernama Alexander Baumgarten yang dipinjam dari yunani untuk referensi sebuah
tipe pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman-pengalaman (Kant memakai
makna yang sama dalam Critiques of Pure Reason, 1781). Selanjutnya, Baumgarten
menggeser makna semula dengan menghubungkan kognisi sensoris dengan
persepsi obyek-obyek yang indah dan seni. Makna ini kemudian mengkukuhkan
estetika sebagai pengalaman yang khusus, sebuah pengcapaian keindahan.
Pembahasan estetika kemudian memasukkan perdebatan-perdebatan yang lebih
dari sekedar pengalaman keindahan, tetapi ada sublimasi, imajinasi, picturesque,
dan grotesque, komikal dan tragis bahkan juga keburukan.

P. NILAI ESTETIS
Hobbes merupakan filsuf yang mendukung konsep kesenangan. Ia berargumen
bahwa kualitas nilai dalam estetika berhubungan dengan kesenangan dan konsep
ini kemudian menjadi konsep empiristis. Kesenangan menurut Hobbes juga adalah
imajinasi kepuasan dari desire, dan ini datang dari diri sendiri (selfish). Menurut
Terry Eagleton, nilai universal estetis dibentuk oleh orang kelas menengah yang
mempunyai ideologi dan kepentingan tertentu. Konsep “universal” dapat merujuk
pada filsuf yang amat terkenal, Ernst Cessirer tentang Philosophy of Symbolic
Forms dan karya Susanne Langer di dalam buku Philosophy in a New Key, yang
memuat studinya tentang simbolisme, akal, tradisi, dan seni. Kontribusi yang amat
penting dari Cassirer adalag mengemukakan teori simbol sebagai kodrat manusia
yang ia jabarkan dari prinsip-prinsip biologi von Uxkull. Menurutnya, penjabaran
von uckull tentang anatomi binatanh yang memiliki merknetz (efektor) dan
wirknetz (reseptor) tertentu memperlihatkan adanya mata rantai sebagai lingkaran

17
fungsional binatang. Menurutnya, ciri khas terpenting manusia adalah bahwa ia
memiliki mata rantai bukan saja efektor dan reseptor akan tetapi juga mata rantai
sistem simbolis. Konsep animal rationale dari Aristoteles menjadi lengkap dengan
penemuan ini. Bukan saja manusia dengan rasionya dapat membentuk hal-hal yang
konseptual akan tetapi juga dapat mengupas struktur mitos secara rasional. Itu
sebabnya, manusia adalah animal symbolicum.

Dari prinsip simbolis tersebut, Cassirer memberi contoh dengan kasus Helen
Keller (anak yang bisu tuli) betapa sensasionalisme tidal benar, yakni yang
mengatakan setiap ide tidal lain hanya salinan samar dari kesan indrawi yang asli.
Aristoteles memulai dengan teori “imitasi”;, yaitu seni yang dianggap sebagai
peniruan dari obyek yang “;riil” Teori ini mendapat pertentangan dari Jean Jaxques
Rousseau yang menolak seni sebagai deskripsi atau reproduksi dari dunia empiris
melainkan menurutnya adalah luapan-luapan emosi. Atau Immanuel Kant yang
mengajukan konsep universalitas estetis dimana digunakan prinsip kegiatan ilmiah.
Filsuf perempuan juga berbicara tentang simbol adalah Sesanne Langer dalam
bukunya Philosophy in a New Key, yang diterapkan pada seni di Feeling and Form.

Definisi simbol bagi Langer adalah digunakan untuk memberi arti pada sesuatu
yang ditunjuk, direpresentasi, atau yang menggantikan sesuatu. Namun, Langer
mengkritik keras cara mensimbolkan eksistensi, realitas dan hal-hal lain dengan
cara deduktif matematis. Ia memganggap bahwa entitas simbol bukan merupakan
data-data akan tetapi konsep. Konsep simbol “diskursif” dan “presentasional”
menjadi amat penting dalam pembahasam simbol. Kedua jenis ini dijelaskan oleh
Langer sebagai cara untuk membebaskan interpretasi yang ajeg dan ketat. Dalam
konsep simbol “diskursif” simbol-simbol membawa kita pada interpretasi yang
lebih kompleks dan imajinatif. Sedangkan, pada konsep “presentasional” dimana
tidak tergantung pada frase-frase atau terjemahan-terjemahan.

18
Q. SUDUT PANDANG LAKI-LAKI
Awal-awal analisa persoalan perempuan dalam seni adalah dengan memakai
pendekatam sosiologi dimana perempuan dikategorikan dalam bentuk seni yang
disebut seni masa (mass art) atau seni tinggi (high art). Ann Kaplan dalam
tulisannya Is the Gaze Male, menyimpulkan bahwa yang penting dalam analisa seni
adalah melihat bagaimana makna-makna diproduksi.

Kaplan memakai dua teori dasar Freud untuk melihat film. Pertama, disebut
voyeurism dan kedua adalah fetishism. Voyeurism adalah semacam kesenangan
seksual organ pria dalam hal “mengintip” orang lain melakukan hubungan seks.
Persis sama seperti apa yang terjadi dalam ruang bioskop dimana lampu
dipadamkan dan tontonan di dalam bioskop hanya memakai lampu proyektor
merupakan setting pengintipan. Sedangkan, fetishism adalah display perempuan
untuk dipertontonkan. Namun, dalam display tersebut para penonton pria walaupun
menikmati apa yang ia lihat akan tetapi juga merasa ada ancaman kehilangan
kontrol karena si perempuan yang memegang kendali dalam mengarahkan tontonan
tersebut.

Menurut Laura Mulvey, pembuatan film asal inggris, bahwa penampilan erotis
perempuan di dalam layar lebar pada dasarnya distrukturkan oleh tiga pandangan
laki-laki. Pandangan pertama adalah lewat lensa kamera dimana diambil angel
gambar menurut selera laki-laki. Kedua, dalam narasi terdapat teks laki-laki agar
perempuan dapat dijadikan obyek yang membawa kesenangan. Ketiga, adalah
penonton laki-laki yang menikmati suguhan yang diberikan. Analisa sudut pandan
laki-laki menyuburkan kecurigaan terhadap nilai-nilai seni yang sebagian besar
dikonstruksikan oleh laki-laki demi kesenangan laki-laki.

R. SUARA ESTETIKA FEMININ


Carolyn Korsmryer dalam tulisannya Perceptions, Pleasures, Arts: Considering
Aesthetics, mengajukan pertanyaam-pertanyaan yang menarik dan sulit dijawab

19
oleh filsuf lain dalam mengupayakan teori estetika yang memperhitungkan suara-
suara perempuan.

Tugas mencari female/feminine/feminist dalam teori estetis yang filosofis tidak


dapat hanya dianalisa lewat karya-karya kreatif. Para feminis awal mencoba
mengklasifikasikan mana seni perempuan dan mana seni laki-laki menurut ciri-
cirinya. Satu hal yang pasti, adalah bahwa penggugatan perempuan terhadap nilai-
nilai estetika yang selalj berpretensi untuk mengandung nilai “universal”,
merupakan gugatan yang berarti dalam wacana estetika.

Pada tahun 1980an kritik filsuf feminis terfokus pada posisi subyek dalam
eksplorasi mengukuhkan subyek perempuan dan dekonstruksi terhadap tradisi-
tradisi yang diwariskan. Subyek perempuan disini adalah subyek yang mempunyai
komitmen tinggi terhadap kepentingan gender karena hanya melalui hal ini
perubahan politik dapat tercapai, ideologi perbedaan seksual dapat dikupas dan
termasuk juga penggugatan pandangan terhadap institusi-institusi yang ada.

S. YANG POLITIS ADLAH FILOSOFIS


Sedikit filsuf laki laki akan setuju dan bersedia menghubungkan kehidupan
pribadinya di dalam keluarga pada hal hal yang bersifat politis atau Filosofis. dalam
pembahasan filsafat politik, persoalan persoalan keluarga tidak diberikan tempat
untuk dikaji dan dilihat hubungannya dengan persoalan persoalan politik dan sosial.
Aristoteles jauh jauh hari telah mengingatkan dalam karyanya politics, sebuah
pemikiran dasar politik, agar membedakan yang domestik dan publik. Baginya,
rumah tangga adalah bentuk institusi sosial yang Primitif. Hubungan antara kepala
rumah tangga dan istrinya, anak anak dan para pembantu merupakan hubungan
sosial material yang dasar. Menurutnya, kita temui selanjutnya bentuk bentuk
seperti ini yang lebih berkembang dalam administrasi kampung, kota atau negara.
Politik baginya adalah teori tentang pengaturan, kekuasaan dan administrasi.

20
Pada abad ke-20 matriks sosial dasar keluarga dianggap sebagai struktur yang
dibutuhkan. banyak versi yang menguatkan hal ini, seperti Freud, Levi- Strauss,
Lacan, dan sebagainya. kita mendapatkan pijakan yang sama diantara mereka
bahwa struktur awal sosial dalam level yang paling Primitif pun adalah pertukaran
perempuan oleh laki laki dalam sistem pertalian keluarga. Feminis Andre Nye
mengomentari hal ini dengan mengatakan bahwa "berbagai bentuk Pemahaman
tentang keluarga seperti Aristoteles yang menganggap keluarga sebagai hirarki,
Locke sebagai faktor biologis atau keluarga dipahami sebagai basis struktur
identitas sosial, tetap merupakan cakupan Pemahaman yang berada di luar filsafat
politik. Dalam kehidupan politik seorang laki laki dapat melarikan diri,
bertransendir, bebas dari urusan teteh bengek seks, pemeliharaan anak dan pertalian
keluarga".

Tantangan bagi para filsuf perempuan bidang filsafat sosial adalah untuk
mencari konsep konsep di mana filsuf filsuf feminis dapat secara kritis memeriksa
persoalan persoalan hubungan keluarga yang Menindas perempuan dan
memasukkan wacana tersebut dalam perdebatan filsafat sosial. Hal ini sangat
penting sebab dalam memasukkan wacana seperti itu bukan saja perdebatan
keadilan untuk perempuan yang dipertimbangkan tetapi juga kaum buruh,
kelompok kelompok Inferiore, dan sebagainya. sayangnya, menurut filsuf feminis
Moira Gatens Hanya ada dua hubungan antara para feminis dan para filsuf sosial.

Susan okin memaparkan bahwa sesungguhnya Rawls Mempunyai tujuan yang


sangat ambisius. Ia menggabungkan teori kontrak sosial Locke, Rousseau dan Kant
Dalam sistematika yang ia sebut keadilan mengalahkan Utilitarianisme. Menurut
okin, nilai sebuah masyarakat bukan terletak pada kebahagiaan yang sebesar
besarnya seperti yang didengungkan Kelompok utilitarian tetapi nilai masyarakat
terletak pada keadilan yang artinya setiap anggota masyarakat harus mempunyai
akses dalam mendapatkan materi terbaik masyarakat dan ini berarti harus
memerangi ketidaktahuan atau kebodohan.Di sini okin melihat bahwa akses ini

21
tidak dapat dimiliki oleh mereka yang tidak mengetahui hak haknya atau hak
haknya di Rampas.

Di dunia di mana individu ditindas oleh kelas, gender atau ras dan dibentuk
lewat struktur struktur sosial, Diskursus dan bahasa, maka perangkat kerasionalan
yang harus dimiliki untuk mempunyai akses keadilan tidak dapat diterapkan pada
perempuan. Linda Nicholson Seorang filsuf perempuan Posmodernisme menolak
penjelasan abstrak tentang keadilan seperti yang di teori kan John Rawals baginya
persoalan keadilan dimulai dari "situasi" yang ditemui dan bukan "ideologis".

Di lain pihak, para feminis sering dituduh oleh para Filsuf Tentang perhatian
mereka yang berlebihan dalam politik domestik seperti kekerasan terhadap
perempuan, pornografi, aborsi, dan sebagainya. Masalah di sini adalah bahwa para
filsuf laki laki ini tidak dapat mengerti sama sekali bahwa dari kaca mata
kebanyakan perempuan, dunia publik tidak dapat dipisahkan dari dunia domestik,
bahwa klaim filsafat tentang kebenaran dari universal itas tidak dapat
diformulasikan tanpa memasukkan problem dari setengah populasi manusia
lainnya yaitu perempuan.

T. KESIMPULAN : FILSAFAT YANG INKLUSIF

Bagaimana seorang perempuan dapat menjalani hidupnya? Apa yang harus ia


lakukan? Apa yang harus ia tidak lakukan? Apa kewajiban dirinya dan kepada
orang lain? Bagaimana seorang feminis meyakinkan banyak orang bahwa tidak
semuanya baik dan adil di dalam masyarakat dan bagaimana menciptakan
alternatif-alternatif lain? Bagaimana memutuskan persoalan- persoalan hidup
perempuan tentang identitas, kerja, aborsi atau berkompetisi dan kebenaran di
dunia akademis yang didominasi oleh pemikiran laki-laki?

Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan pertanyaan-pertanyaan mendalam


tentang kehidupan perempuan yang ingin menegaskan bahwa ada perbedaan antara
laki-laki dan perempuan. tidak disangkal bahwa memang terdapat polemik polemik

22
di kalangan feminis sendiri tentang konsep konsep yang dilontarkan Feminisme
tentang argumentasi perbedaan antara laki laki dan perempuan. Penekanan pada
perbedaan seringkali memunculkan pertanyaan pertanyaan kritis terhadap
kelompok para feminis seperti:

1. adanya "Universalisme" baru ya dibawa semua perempuan mempunyai


pengalaman yang sama dan tidak juga mengindahkan "perbedaan" yang ada
diantara perempuan itu sendiri.
2. bahaya mengidealkan sudut pandang perempuan. Ide bahwa perempuan
selalu benar dan laki laki selalu salah, dan penindasan yang terjadi terhadap
perempuan adalah hasil keburukan laki laki. Kualitas kualitas feminin di
ideal kan sebagai kualitas terbaik dan belum "terpolusi", adanya anggapan
bahwa nilai nilai perempuan "Suci". Adanya anggapan bahwa akibat
budaya patriarki, nilai nilai perempuan tersebut tercemar dan perempuan
selalu menjadi korban.
3. ide bahwa perempuan terkunci dalam pengalamannya sendiri dan
meminggirkan laki laki. Lalu, perempuan ingin membersihkan diri dari
masa lalu perempuan yang tertindas dan ingin membangun masa depan
manusia berdasarkan pengalaman perempuan.

Richards melihat filsafat sebagai "teknik" untuk dapat dipakai membersikan


dan mengklarifikasi konsep konsep Feminisme. Teknik ini dapat pula meluruskan
kebingungan kebingungan konseptual serta pelurusan makna makna yang dipakai.
Namun di lain pihak Feminisme dapat "membumikan" filsafat serta memeriksa
ulang cara bekerja filsafat yang hanya menekankan koherensi dan cara berfikir
logis yang abstrak.

Apa yang dikemukakan oleh richard sebenarnya menarik sekali bila kita
memeriksa dengan teliti wacana wacana filsuf perempuan karena di satu Sisi
terdapat ke aja gan berfikir rasional dalam menyusun argumen argumennya untuk

23
mengemukakan posisi filsafatnya. Di lain pihak, ada pula kekentalan epistimologi,
etika, estetika, metafisis feminin yang dikeluarkan. Kerjasama antara Veni misma
dan filsafat untuk menghasilkan filsafat feminis merupakan kerjasama yang
penting. Oleh sebab itu, menurut hemat saya, tidak ada gunanya untuk mengambil
posisi radikal di mana para Filosof feminis berusaha untuk mengeliminasi tradisi
maskulin di dalam filsafat. Yang lebih tepat dalam kerjasama ini adalah untuk
membuat filsafat terbuka menerima pandangan pandangan feminitas dalam filsafat,
sebuah Eksplorasi yang juga dapat memasukkan implikasi Filosofis dalam soal
gender dan perbedaan seksual. Artinya, tidak cukup bila filsafat feminis hanya
dimasukkan dalam bagian yang partikular dalam filsafat misalnya bagian dari
"filsafat politik" tetapi bahwa kontribusi feminis harus dimasukkan dalam
mainstream filsafat.

Bila demikian halnya, maka ada beberapa ciri filsafat feminis yang dapat
disimpulkan di sini sebagai kontribusi yang penting bagi filsafat mainstream.

BAB 7
MERAJUT MASA DEPAN FILSAFAT
Saat tiba pada lembaran lembaran terakhir Goresan ide tentang segala sesuatu yang
diperdebatkan di sini, akhirnya, tinta tinta tersisa harus dihabiskan untuk membuat
sebuah penutup yang bagaimanapun sulitnya karena 1000 suara lainnya belum sempat
terdengar harus dinaikkan agar keributan keributan yang terjadi sepanjang lebaran
lebaran ini dapat menemukan tempat meditasinya, bukan untuk disajikan tetapi untuk
direfleksikan. Berikut adalah beberapa butir hasil perdamaian dari peperangan ide yang
telah direncanakan sebelum sampai pada kesimpulan kesimpulan yang seterusnya
dapat diperdebatkan lagi.

Tujuan dari buku ini adalah untuk menunjukkan adanya cara berfikir yang lain
dalam filsafat yang belum dimanfaatkan dan dijadikan sumber untuk pengayaan filsafat

24
itu sendiri. Tujuan ini hendak dicapai dengan terlebih dahulu membuka pemikiran para
filsuf besar pada jamannya masing masing tentang perempuan. Sayangnya Kadangkala
pembongkaran ini seringkali di interpretasikan sebagai bentuk pembelaan dari filsuf
feminis atau Resistensi terhadap para pemikir besar filsafat yang laki laki. Padahal,
yang ingin dilakukan sesungguhnya dari seluruh pekerjaan pembongkaran ini adalah
penyediaan strategi bacaan refleksi diri dan keinginan untuk berkontribusi pada
Transformasi sejarah filsafat dalam batasan batasan kegiatan akademis.

A. MENJADI PEREMPUAN MERUPAKAN PROBLEM YANG FILOSOFIS


Klaim Universal itas merupakan klaim filsafat sepanjang sejarah dalam
pembahasan nya di segala bidang kehidupan yang dibahas secara Filosofis. Hal ini
sangat terasa di Era sejarah filsafat modern yang dimulai dengan pemikiran carte
Ciyan untuk mencari kebenaran sebagai akar akarnya. Dengan mengatakan bahwa
problem filsafat adalah problem universal, maka sesungguhnya filsafat seharusnya
juga membicarakan persoalan perempuan. Filsafat dapat berkilah bahwa persoalan
ini telah dimasukkan dalam pembahasan filsafat manusia (philosophy of man)
yang bagi kaum feminis Dibaca sebagai philosophy of "man" (filsafat laki- laki).

Simone de Beauvoir merupakan filsuf perempuan pertama yang membahas


persoalan ada perempuan di (being of woman) secara Filosofis, yang ia akui
awalnya sangat segan mengajukan protes protes terhadap filsafat apalagi protesnya
berkaitan dengan persoalan perempuan dan pembahasan ini baginya sangat
menyebalkan. Akan tetapi, ia kemudian sadar bahwa dirinya sendiri adalah
perempuan dan karena itu ia mulai mengeksplorasi problem perempuan dengan
mengajukan pertanyaan awal what is a woman? (apa itu perempuan?). pertanyaan
ini ia temukan dalam jawaban one is not born a woman but rather becomes a
woman (seseorang tidak dilahirkan sebagai perempuan tetapi menjadi perempuan).
pertanyaan pertanyaan reflektif Simone de Beauvoir Yang ia tuangkan dalam
bukunya Le Deuxime sexe (1949), menjadi buku klasik para filsuf mini seperti
Nancy Tuana atau Genevieve Loyd Yang akhirnya tidak mungkin tidak menuduh

25
adanya bias gender dalam sejarah filsafat. Sejak akhir tahun 1970an, dimulailah
perjalanan gak Irah baru filsuf akademis feminis yang kemudian menggoyang
filsafat dalam melihat dunia dengan kaca mata yang konservatif.

B. FILSAFAT SEBAGAI TEKS

Auguste Comte pernah mengatakan, bahwa filsafat itu sebuah fosil dari jaman
kedua perkembangan umat manusia, yaitu jaman metafisik, yang berhasil
diselamatkan ke jaman ketiga, jaman kita, jaman positif-ilmiah. Penyelamatan ini
terjadi ketika masyarakat mengandalkan kekuatan mitos, khayal atau keyakinan
yang buta, berpikir berputar-putar tanpa tertib ataupun filsafat dipakai untuk
melamun. Akan tetapi, dalam perkembangannya, filsafat memperlihatkan cara
berpikir yang metodis, logis, bertata tertib dan secara tegas mendasarkan diri pada
fenomena-fenomena yang dialami oleh manusia yang dipertanggung-jawabkan
secara intelektual dengan pendasaran rasio yang kuat. Filsafat demikian disebut
filsafat kritis.

Namun, filsafat yang mendasarkan diri pada tertib rasio dikritik oleh para filsuf
feminis yang berkembang dalam filsafat kontemporer sebagai cara berpikir
maskulin yang tidak memberikan ruang bagi cara berada perempuan. Filsafat pada
akhirnya dituntut untuk terbuka dan memasukkan suara-suara marjinal,
mendekonstruksi teks-teks yang mendasarkan diri pada kebenaran tunggal. Kini
filsafat diselamatkan oleh pada filsuf feminis yang mengingatkan bahwa cara
berfilsafat adalah cara bernarasi dari satu teks ke teks lain, dan filsafat hanya
sebuah teks yang dapat didekonstruksi.

C. PEREMPUAN DAN “PERCAKAPANNYA” DENGAN FILSAFAT

Immanuel Kant mengistilahkan filsafat sebagai “pulau kebenaran”. Ketika Kant


berkiprah, ilmu pengetahuan tidak lagi terancam oleh institusi-institusi gereja
tetapi ia masih merasakan akan adanya ancaman-ancaman filsafat terhadap politik

26
ilmu pengetahuan yang dapat membuat pemahaman ilmiah salah arah. Oleh sebab
itu, perlu membuat filsafat menjaga akal (reason) pada jalan yang benar.

Tidak dapat dipungkiri bahwa filsuf-filsuf besar yang berada di dalam kanon
filsafat (Plato, Aristoteles, Descartes, Hume, Dewey, Wittgeinstein, Heidegger)
menilai “keabsahan, kebenaran dan keseriusan” filsafat. Dengan cara berpikir
yang sangat intelektual dan “tinggi” ini tentunya sangat sulit bagi feminisme untuk
memasukkan “urusan-urusan perempuan” di dalam filsafat. Namun sebenarnya,
bila menyimak tulisan Richard Rorty dalam bukunya Philosophy and the Mirror
of Nature, ia telah berhasil menunjukkan bahwa seluruh exercise filsafat adalah
bukan untuk “mencari kebenaran” tetapi untuk mengadakan diskursus. Bila kita
melihat dari para filsuf awal bahwa adanya kecenderungan menganggap
pengetahuan berhubungan langsung dengan realitas obyek, Rorty menganggap
pengetahuan hanyalah “relasi pada preposisi”. Jadi, apa yang hendak dikemukakan
oleh Rorty adalah bahwa untuk membenarkan pengetahuan artinya membenarkan
argumen, yakni dapat membuktikan alasan-alasan yang kita kemukakan dengan
preposisi-preposisi. Dengan demikian, menurut hemat penulis, Rorty tidak melihat
filsafat sebagai upaya untuk mencari kebenaran tetapi sebagai upaya untuk
berargumentasi. Rorty mengatakan : “If they find a new way of speaking then they
try it on”. Oleh sebab itu, bila “pulau” Kant adalah pulau yang diatur lewat akal,
maka pulau Rorty adalah pulau yang tidak dikekang oleh aturan-aturan.

D. WOMEN’S TIME-WOMEN’S PHILOSOPHY

Di dalam teori feminisme sendiri, pemikiran feminisme dapat dibagi dalam tiga
gelombang. Gelombang pertama, yang disebut berhubungan dengan masalah hak-
hak perempuan (rights), melakukan agenda politik untuk memperjuangkan
kesetaraan perempuan. Pada gelombang kedua, program politik dibawa lebih jauh
lagi untuk mempertanyakan persoalan identitas dengan konsentrasi pengalaman
perempuan, nilai dan psikologi. Pada tahap ini penekanan ada pada perbedaan

27
diantara dua jenis kelamin, dengan cara berada yang berbeda pula. Pada
gelombang ketiga, konsentrasi beralih pada psikoanalisa dan dekonstruksi yang
mencoba menjelaskan keseluruhan perbedaan baik secara politik dan sosial dengan
bertumpu pada diskriminasi bahasa, artinya menyangkut juga dengan diskriminasi
cara berpikir.

Pada tahap ini pula, para feminis memakai konsep dekonstruksi dan mengklaim
bahwa pemikiran Barat sangat logosentris. Artinya, logos merupakan bentuk
intelligible (yang dapat dimengerti secara jelas) dari dunia di mana cara
mempresentasikan, merefleksi dan mengetahui tertana di dalam dunia. Pemikiran
logosentris dapat juga dikatakan sebagai phallogosentris. Artinya, istilah-istilah
maskulin lebih diprioritaskan daripada feminin, dan yang lain-lainnya yang
dihubungkan dengan konsep maskulinitas.

Ketika suatu subyek diidentifikasikan dengan suatu jenis kelamin yang


direferensasikan lewat biologis atau fisiologis, maka orang tersebut diandaikan
harus bersikpa sesuai dengan peranan gendernya, yang dianggap alami atau
kodratiah. Di lain pihak, bila kita mendefinisikan subyek bukan secara kodrati
tetapi sebagai agen resional dan moral, maka seperti kaum liberal dan
eksistensialis, kita menolak pendefinisian secara kodratiah atau berdasarkan peran
gendernya. Akan tetapi, para filsuf feminis sudah pula mengemukakan keberatan
argumentasinya akan hal ini bahwa mendefinisikan manusia sebagai makhluk
rasional menjadi sebuah masalah lagi justru juga meminggirka perempuan.

Persoalan lain yang perlu dipikirkan oleh para filsuf feminis adalah bahwa bisa
saja dikatakan bahwa peminggiran terhadap subyek perempuan di dalam filsafat
terjadi pada pra-linguistik. Artinya, sudah terjadi karena bentukan-bentukan sistem
kepercayaan, representasi hukum, sosial dan konsep yang berlaku di masyarakat.
Artinya, diskriminasi sudah terbentuk terlebih dahulu dan dirasakan akibatnya
dalam proses psiko-sosial.

28
E. FEMINISME, FEMINISME DALAM FILSAFAT, FILSAFAT FEMINIS

Pada tahun 1980an, filsuf-filsuf perempuan antara lain Andrea Nye dan
Michele le Doef menggugat representasi maskulin filsafat. Sebelumnya Simone de
Beauvoir lewat karyanya Le Deuxieme Sexe (1949) telah menggebrak dunia
filsafat dengan rumusan teori feminisme eksistensialis. Namun, gerakan Simone
de Beauvoir mendapatkan banyak tanggapan dari kalangan feminis dan sedikit
sekali dari kalangan para filsuf. Baru pada era hangatnya pembicaraan
postmodernisme, unsur feminisme dalam filsafat terlihat kentara sekali. Para filsuf
seperti Jacques Derrida dan Jacques Lacan secara filosofis membongkar wacana-
wacana marjinal termasuk wacana perempuan. Feminisme dalam filsafat juga
dapat ditandai dengan maraknya usaha menampilkan ulang representasi filsuf
perempuan yang berbicara bukan saja tentang perempuan tetapi pemikirannya
tentan filsafat.

Selanjutnya, suara-suara feminin atas pembahasan filsafat dirasakan tidak


cukup. Maka muncul bukan saja feminisme dalam filsafat tetapi usaha untuk
mengkonstruksi filsafat dengan memasukkan suara dan konsep feminin di dalam
filsafat agar dapat menghasilkan filsafat yang feminis. Sejauh ini, feminisme
maupun feminisme dalam filsafat tidak terlihat megalami banyak masalah di
dalam wacana besar filsafat seiring dengan perkembangan jaman yang menuntuk
kesetaraan gender dan teori-teori sosial yang memperhatikan akan hal ini.

Pertanyaan yang masih menyisa dalam epistemologi feminis adalah persoala


teori standpoint. Para teoris standpoint berargumentasi bahwa apa yang dipercayai
oleh seseorang dipercayai karena atas dasar pembuktian-pembuktian yang ada
yang bergantung pada lokasi dan pengalaman si subyek. Akan tetapi, argumen
standpoint dapat dikatakan juga sebagai sesuatu yang relatif. Dalam arti bahwa
bila kita menerima apa yang didefinisikan di dunia terbatas pada bahasa, dan apa
yang kita lihat sangat partikular dan bukan universal, maka, laki-laki dan

29
perempuan mempunyai cara pandang yang berbeda tentang dunia, masing-masing
mempunyai otoritas epistemik yang berbeda pula.

F. FILSAFAT YANG BERTUBUH DAN BERGENDER

Filsafat yang berguna adalah filsafat yang memberikan jawaban tentang siapa
kita, bagaimana kita mengalami dunia ini dan bagaimana kita harus hidup.
Sepanjang jaman, para filsuf sebagai bagian dari berbagai budaya telah
mengajukan pandangan-pandangan filosofisnya tentang apa yang disebut sebagai
individu (person). Sampai pada tahap belakangan ini, filsafat Barat dapat
disimpulkan mengkonsepsikan individu (person) sebagai berikut:

Dunia yang obyektif: Dunia mempunyai kategori yang unik terstruktur secara
independen dari pemikiran, badan atau otak manusia.

Rasio yang universal: Terdapat rasio yang universal yang dapat


mengkarakteristikkan keseluruhan struktir dunia.

Pengetahuan obyektif :Pengetahuan dapat diperoleh lewat rasio universal dan


konsep-konsep universal.

Kodrat manusia :Hakekat dari manusia yang memisahkan antara diri kita dan
binatang adalah kemampuan diri untuk menggunakan rasio universal.

Kehendak kebebasan (free will) : Kehendak bebas adalah aplikadi dari akal (rasio)
ke aksi/tindakan.

Konsep individu (person) dari filsafat Barat merupakan konsep yang dapat
dikatakan memisahkan atau menjauhkan tubuh manusia (disembodiment). Padahal
untuk mengetahui diri sebagai manusia, dituntu pula untuk mengetahui diri yang
tidak hanya berakal tetapi bertubuh. Tubuh manusia adalah sesuatu yang sangat
alami. Tubuh manusia dapat dikatakan juga merupakan transfigurasi dari binatang
ke manusia.

30
Hasil dari konstruksi gender adalah bahwa kita menerima Lebenswelt sebagai
yang memiliki jurang ontologis. Bukan saja terdapat kesengajaan dalam
membedakan antara manusia dan non-manusia, tetapi juga ada perbedaan antara
yang maskulin dan feminin. Namun, perbedaan antara maskulin dan feminin
cakupannya terlihat luas sekali di dalam hampir berbagai bidang. Gender tidak
dapat dikatakan hanya bagian dari Lebenswelt, karena, gender dapat dipandang
sebagai keseluruhan individu itu sendiri. Tidak ada satupun manusia yang tidak
terlepas dari jenis kelaminnya dan konsep gendernya.

31
SOAL
1. Komitmen epistemologi feminis tidak terlepas dari…

a. Perjuangan hak-hak perempuan


b. Perjuangan bayi dan anak-anak
c. Perjuangan laki-laki
d. Perjuangan para filsafat pemula
e. Perjuangan kaum borjuis

2. Yang bukan merupakan usulan C.M.Hartsock menuju teori pembebasan


epistemologi adalah…

a. Subyektifitas diakui
b. Semua pengetahuan dimungkinkan
c. Teori kekuasaan dibutuhkan selama untuk mengerti dunia
d. Makhluk sosial memiliki ikatan visi
e. Kelompok tertindas perlu komitmen aksi penjelajahan

3. Filsuf feminis yang amat dikenal tulisan-tulisannya tentang pemikiran ibu adalah..

a. Sara Ruddick
b. Nel Noddinga
c. Jean Piaget
d. Aristoteles
e. Immanuel Kant

4. ‘Mengadakan keseimbangan dalan relasi, melakukan perawatan, penumbuhan, dan


pengembangan’. Pernyataan tersebut merupakan tujuan cara berpikir...

a. Feminis
b. Ambiguitas
c. Maternal

32
d. Rasionalis
e. Moralitas

5. Hobbes merupakan seorang filsuf yang mendukung konsep....

a. Kedamaian
b. Kesedihan
c. kesengsaraan
d. Kelebihan
e. Kesenangan
6. Istilah "estetika" diperkenalkan oleh soerang filsuf jerman yang bernama....

a. Thomas Hobbes
b. Terry Eagleton
c. Laura Mulvey
d. Carolyn Korsmryer
e. Alexander Baumgarten

7. Siapa filsuf perempuan Posmodernisme yang menolak penjelasan abstrak tentang


keadilan...
a. Linda Nicholson
b. Nancy Tuana
c. Genevieve Loyd
d. John Rawals
e. Susan okin

8. Apakah isi dari buku Le Deuxime sexe yang ditulis Simone de Beauvoir?
a. Hak Asasi Perempuan
b. Feminisme
c. pertanyaan pertanyaan reflektif tentang perempuan

33
d. Bias Gender
e. Philosophy of man

9. Filsafat yang memberikan jawaban tentang siapa kita, bagaimana kita mengalami
dunia ini dan bagaimana kita harus hidup adalah definisi dari filsafat yang...
a. Berpendidikan
b. Berkaitan
c. Berguna
d. Berhubungan
e. Selaras

10. Filsafat Barat merupakan konsep yang dapat dikatakan memisahkan atau
menjauhkan tubuh manusia (disembodiment) disebut sebagai...
a. konsep separate (pisah)
b. konsep tubuh
c. konsep individu (person)
d. konsep different (perbedaan)
e. konsep analogi

11. Menurut Martin Heidegger, ada du acara berada yang positif, yaitu “melompat ke
dalam” dan “melompat ke luar” atau yang disebut dengan …
a. Being-in-the-world
b. Being-with Others
c. Presence
d. Leaping in dan Leaping ahead
e. Presence a non-presence

34
12. Dalam sebuah buku yang berjudul Contemporary Metaphysics, terdapat enam
cakupan metafisik, antara lain Entitas Abstrak, Kebenaran dan Ketidakbenaran,
Sebab Akibat, Keniscayaan dan Posibilitas, Determinasi dan Kebebasan, dan
Persons. Buku dan enam cakupan tersebut adalah karya …
a. Michael Jubien
b. Aristoteles
c. Rorty
d. Derrida
e. Elizabeth Grosz
KUNCI JAWABAN
1. A
2. E
3. A
4. C
5. E
6. E
7. A
8. C
9. C
10. C
11. D
12. A

35

Anda mungkin juga menyukai