Anda di halaman 1dari 6

Review Buku Sistem Politik Indonesia Era Reformasi

Judul : Sistem Politik Indonesia Era Reformasi

Pengarang : Budi Winarno

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama 2007

ISBN : 9792222111, 9789792222111

Tebal : 178 halaman

Buku ini memberikan gambaran yang jelas mengenai sistem politik


Indonesia era reformasi. Penelaahan mendetail tentang kerangka teoritik sejak
tahun 1998, budaya politik, struktur dan fungsi-fungsi politik, proses politik
berdasarkan kapabilitas sistem politik, dan batas-batas sistem politik dengan
memfokuskan pada batas-batas domestik dan internasional, di antaranya mengenai
globalisasi, hegemoni Amerika Serikat dan perang melawan terorisme.

Buku yang berjudul “Sistem Politik Indonesia Era Reformasi” karya Bapak
Prof. DR. Budi Winarno, MA secara garis besar menggambarkan bagaimana
kondisi politik Indonesia menjelang kejatuhan rezim Orde Baru serta analisa
mengenai bagaimana pelaksanaan politik Indonesia di era Reformasi. Isi dari buku
ini sangatlah menarik, penulis menjelaskan mengenai bagaimanakah sistem politik
itu dan apa saja unsur-unsur dari sistem politik serta fenomena-fenomena yang
berkaitan dengan sistem politik. Penyusunan semacam ini membuat pembaca,
khususnya kalangan mahasiswa mudah mengerti maksud dari buku dan mudah
memahami pembelajaran yang terkandung di dalam buku ini.

Dari segi sistematika buku, buku karya Bapak Prof. DR. Budi Winarno, MA
ini tersistematika dengan baik. Penulis membagi buku ini ke dalam delapan bab
yaitu :

1. Bab 1, pembahasan mengenai kerangka teoritik sistem politik yang


sebagian besar diambil dari tulisan tokoh-tokoh politik kenamaan dunia,
seperti David Easton, Gabriel Almond, dan lain-lain.
David Easton mengemukakan, bahwa kehidupan politik seyogianya dilihat
sebagai sebuah sistem dari kegiatan-kegiatan yang saling berhubungan. Sedangkan
menurut Almond dan Powell semua interaksi yang mempengaruhi semua
penggunaan paksaan fisik yang sah. Dalam hal ini, sistem politik tidak hanya sistem
yang membuat peraturan dan melaksanakannnya, tetapi aturan itu dan
pelaksanaannya didukung oleh paksaan.

2. Bab 2, menjelaskan krisis dan keretakan pada sistem Orde Baru.

Legitimasi pemerintahan pada masa Orde Baru sudah rapuh, sebagai kegagalan
ekonomi dan persepsi politik yang terus-menerus. Krisis moneter pada pertengahan
tahun 1997 dan memicu terpuruknya ekonomi Indonesia menjadi penyulutan
jatuhnya rezim Orde Baru. Terdapat banyak pandangan yang mengemukakan
bahwa reformasi politik pada dasarnya hanya berhasil menggusur penguasa Orde
Baru, dalam hal ini Soeharto. Namun reformasi gagal mendesakkan agenda
reformasi menyeluruh terhadap sistem ekonomi dan politik.

3. Bab 3, digambarkan bagaimana kondisi reformasi politik pada tahun 1998


disertai fenomena-fenomena sosial yang mengiringi reformasi tersebut.

Secara harfiah Reformasi berasal dari bahasa Latin (re) kembali dan formare
yang berarti membentuk. Dalam hal ini reformasi didefinisikan sebagai “usaha
untuk membentuk kembali”.

Penggunaan istilah reformasi popular mada masa Martin Luther, Ia


menyerukan pentingnya segera dilakukan rekonstruksi dalam kehidupan dan ajaran
kristianani. Sebagaimana diketahui gereja telah memegang peran penting pada
masa-masa sebelumnya dalam menentukan alur politik kerajaan. Permasalahan
yang banyak dihadapi oleh para reformis jauh lebih kompleks dibandingkan dengan
yang dihadapi oleh para revolusionaris.

Huntington mencatat dalam melakukan pembaruan politik para reformis akan


menghadapi setidaknya tiga hal :

1. Perjuangan kelompok reformis merupakan perjuangan sisi ganda, yaitu


menghadapi kelompok-kelompok konservatif dan revolusioner
2. Para agen pembaharu, artinya tidak hanya harus lebih ahli dalam
menggerakkan dan mendayagunakan kekuatan-kekuatan sosial politik
dibandingkan dengan kaum revolusioner.
3. Masalah prioritas dan alternatif antara berbagai perbedaan tipe-tipe
reformasi yang jauh lebiih akut bagi agen pembaharu dibandingkan dengan
kaum revolusioner.

4. Bab 4, ialah pembahasan menarik yang sangat membuka “mata” para


pembaca mengenai budaya politik.

Budaya politik sangat dipengaruhi oleh struktur politik, sedangkan daya


operasional sangat ditentukan oleh konteks kultural dimana stuktur itu berada.
Adapun budaya politik di Indonesia merupakan kombinasi antara parochialsubject
culture, subject participant culture, parochial-participant culture, dan sering disebut
sebagai civic culture. Dalam hal ini budaya politik Indonesia bergerak diantara
subject-participant culture, dan parochial-participant culture. subject participant
culture ditandai oleh menguatnya partisipasi politik masyarakat dalam kehidupan
politik terhadap input-input politik, sementara diwaktu yang sama berkembang
ketidakmapanan masyarakat untuk mengubah kebijakan. Namun tampak bahwa
reformasi tidak membawa perubahan yang signifikan terhadap budaya politik,
budaya politik Indonesia masih tetap diwarnai oleh paternalisme, parokhialisme,
yang memiliki orientasi yang kuat terhadap kekuasaan dan patrimonialisme yang
masih berkembang dengan sangat kuat.

5. Bab 5, adalah pembahasan mengenai struktur dan fungsi-fungsi politik, dan


disertai langsung dengan kajian kasus di Indonesia.

Unit dasar struktur politik adalah peranan individu. Peranan merupakan pola-
pola perilaku yang teratur, yang ditentukan oleh harapan-harapan nya sendiri dan
tindakan-tindakan dan oranglain. Struktur senantiyasa melibatkan fungsifungsi
politik,dan karenanya pendekatan yang digunakan biasa disebut sebagai
pendekatan struktural fungsional. Menurut Almond dan powell Jr, keuntungan
pndekatan struktural fungsional adalah memberikan kesempatan kepada kita guna
menghindari kebingungan yang mungkin timbul antara tujuan-tujuan struktur yang
bersifat formal dengan fungsi-fungsi politik yang secara actual mereka jalankan.
Menurutnya pula struktur politik dapat dibedakan kedalam sistem, proses dan
aspek-aspek kebijakan. Struktur sistem merujuk pada organisasi dan intansi yang
memelihara atau mengubah (maintain or change) struktur politik dan secara kusus
struktur menampilkan fungsi-fungsi sosialisasi politik, rekruitmen politik dan
komunikasi politik.

6. Bab 6, adalah bahasan mengenai proses politik dengan menekankan


pembahasan pada kapabilitas sistem politik.

Proses politik di Indonesia setelah mengalami reformasi sejak 1998, pada masa
Orde Baru sistem politik yang berkembang adalah sistem politik otoriter dimana
birokrasi dan militer mempunyai peran penting dalam mengambil kebijakan dan
keputusan politik.

Dalam konteks reformasi, sistem politik yang digulirkan mengalami perubahan


tetapi tidak pada budaya politiknya sehingga nilai-nilai demokrasi tidak berakar
denagn baik karena adopsi sistem politik hanya menyentuh pada dimensi struktur
dan fungsi-fungsi politiknya, tidak pada semangat budaya yang melingkupi
pembentukan sistem politik tersebut. Padahal konstitusi bukanlah sekedar
preskripsi-preskripsi, apalagi hanya dokumen melainkan suatu komitmen,
keberpihakan, dan makna-makna yang hidup dalam dan sepanjang perjalanan
sejarah.

7. Bab 7, menggambarkan batas-batas sistem politik dengan memfokuskan


pada batas-batas domestik dan internasional.

Suatu sistem politik melakukan interaksi dengan sistem politik lain tidak hanya
dalam lingkungan domestic juga dalam lingkungan internasional, maka
keberadaannya juga mempunyai dampak terhadap bagaimana negara-negar lain
merespon kebijakan tersebut. Dalam situasi seperti ini tidak ada satu sistem politik
yang tidak bersinggungan dengan lingkungan-lingkungannya, tempat dimana
sistem politik tersebut berada.

8. Bab 8, merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan kritis mengenai


sistem politik Indonesia di masa Orde Baru dan Reformasi.
Terdapat dua hal besar yang menajadi benang merah mengenai sistem politik
Indonesia era reformasi, yaitu berkenaan dengan reformasi yang digulirkan sejak
1998 dan berkenaan dengan kinerja sistem politik.

1. Reformasi hanya mengubah struktur politik Orde Baru yang sangat otoriter dan
despotis.

2. Kegagalan reformasi ini disebabkan oleh ketiadaan talenta politik yang


mengawalnya. Kinerja sistem politik Indonesia era reformasi adalah buruk atau
tidak bekerjanya sistem politik demokrasi secara maksimal.

Hal tersebut dapat dikatakan dengan indikator berikut, keseluruhan kapabilitas


yang seharusnya dimiliki oleh sistem politik, yakni kapabilitas ekstraktif,
kapabilitas regulatif, kapabilitas distributif, kapabilitas sombolik, dan kapabilitas
responsif kesemuanya hamper tidak ada yang bagus.

Dari keseluruhan isi buku ini, menurut saya pembahasan yang sangat menarik
ialah tentang krisis dan keretakan pada masa orde baru yang dibahs pada bab ke
dua. Saya sangat setuju dengan pembahasan yang disampaikan oleh penulis dalam
buku ini. Umum atau rakyat atau publik, yaitu pemilik negeri ini, “meminjamkan”
wewenang kekuasaan kepada pemerintah, termasuk kepada presiden republik ini,
untuk dapat mengatur negara dan menjalankan pemerintahan. Mereka para
penguasa (termasuk presiden), kasarnya adalah “pegawai” rakyat. Rakyatlah yang
sebenarnya membayar gaji mereka. Mereka dipinjami oleh rakyat wewenang
kekuasaan untuk mengatur negeri, dan bukan untuk menyalahgunakaan wewenang
kekuasaan tersebut, termasuk dengan melakukan tindak korupsi dan kolusi guna
memperkaya diri sendiri.

Penetapan konsep Dwifungsi ABRI oleh pemerintah Orde Baru juga sudah
membuat kerusakan-kerusakan besar di berbagai bidang. Terutama sekali dalam
bidang pembangunan moral di kalangan ABRI. Dengan konsep seperti inilah sistem
politik dimasa Presiden Soeharto telah membuat ABRI terlibat terlalu jauh dan
terlalu dalam, di dalam urusan-urusan yang bukan bidang mereka, terutama di
bidang politik. Dengan dalih stabilisator, dinamisator, penjaga UUD 1945,
pengaman Pancasila, tokoh-tokoh ABRI di berbagai tingkat, telah ditempatkan di
mana-mana, seperti dalam sistem pemerintahan sipil, dalam berbagai macam
organisasi lembaga politik, dalam berbagai sektor-sektor ekonomi, serta dalam
bidang diplomasi dan bidang-bidang lainnya. Hal inilah yang menyebabkan adanya
stigma dari masyarakat mengenai TNI yang keras terbawa hingga saat ini.
Penetapan yang salah dalam konsep Dwifungsi ABRI ini telah melahirkan jaring-
jaringan kekuasaan yang ditugaskan untuk mempertahankan tegaknya rezim Orde
Baru. Kekurangan dari buku ini menurut saya, terdapat pada penyampaian bahasa
yang pada beberapa bagian terkesan terlalu berat sehingga sulit dipahami oleh
pembaca awam yang pengetahuan politiknya masih rendah. Buku ini sangatlah
layak untuk dibaca baik bagi kalangan umum maupun akademisi, karena dapat
menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai bahasan bidang politik di
waktu reformasi yang penuh dengan gejolak dan perjuangan bangsa Indonesia
menuju negara demokratis yang sesungguhnya dengan meninggalkan jejak-jejak
orde baru yang mengekang asas-asas demokrasi yang sesungguhnya.

Anda mungkin juga menyukai