Anda di halaman 1dari 61

1

UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SEMARANG


FAKULTAS HUKUM

FUNGSI SISTEM PEMASYARAKATAN DALAM


MEREHABILITASI DAN MEREINTEGRASI SOSIAL
WARGA BINAAN DI LEMBAGA
PEMASYARAKATAN

SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan
Memenuhi Persyaratan Guna Menyelesaikan
Program Studi Strata 1 Ilmu Hukum

Oleh :
IWAN MAULANA
NPM. 121112112496

SEMARANG

2016

UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SEMARANG


FAKULTAS HUKUM
FUNGSI SISTEM PEMASYARAKATAN DALAM
MEREHABILITASI DAN MEREINTEGRASI SOSIAL
WARGA BINAAN DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan
Memenuhi Persyaratan Guna Menyelesaikan
Program Studi Strata 1 Ilmu Hukum

Oleh :
IWAN MAULANA
NPM. 121112112496

Disetujui Oleh :
Dosen Pembimbing
Sri Wulandari,SH,MHum,MKn
NRP.1111175

SEMARANG

2016

UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SEMARANG


FAKULTAS HUKUM
FUNGSI SISTEM PEMASYARAKATAN DALAM
MEREHABILITASI DAN MEREINTEGRASI SOSIAL
WARGA BINAAN DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan
Memenuhi Persyaratan Guna Menyelesaikan
Program Studi Strata 1 Ilmu Hukum

Oleh :
IWAN MAULANA
NPM. 121112112496
Disahkan Oleh :
Penguji
Sri Wulandari, SH.MHum.MKn
Nrp. 1111175
Penguji,II

Penguji,III
Mengetahui
Dekan
DR. Edy Lisdiyono, SH.MHum
Nrp. 1111135

SEMARANG
2016

UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945


FAKULTAS HUKUM
ABSTRAK
FUNGSI SISTEM PEMASYARAKATAN DALAM
MEREHABILITASI DAN MEREINTEGRASI SOSIAL
WARGA BINAAN DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan
Memenuhi Persyaratan Guna Menyelesaikan
Program Studi Strata 1 Ilmu Hukum

Oleh :
IWAN MAULANA
NPM. 121112112496
Disetujui Oleh :
Dosen Pembimbing
Sri Wulandari,SH,MHum,MKn
NRP. 1111175

SEMARANG
2016

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayahNya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tugas akhir (skripsi)
dengan judul Fungsi Sistem Pemasyarakatan Dalam Merehabilitasi dan
Reintegrasi Sosial Warga Binaan di Lembaga Pemasyarakatan, sebagai
prasyarat menempuh program Strata 1 Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Unvisertias 17 Agustus 1945 Semarang.
Penyusunan tugas akhir bisa terwujud dan selesai karena adanya kerjasama,
bantuan dan dorongan dari berbagai pihak secara moril dan materiil kepada
penulis, sekalipun dalam penyusunan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan
karena itu kritik dan saran sangat diharapkan dalam penulisan karya ilmiah ini.
Pada kesempatan ini pula penulis sampaikan ucapan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :.
1; Bpk Dr. Edy Lisdiyono,SH.Mhum. Dekan Fakultas Hukum Universitas 17
Agustus 1945 Semarang.
2; Ibu Sri Wulandari, SH.MHum.MKn. Pembimbing yang telah memberikan
bimbingan, petunjuk serta pengarahan dalam penulisan karya ilmiah ini.
3; Bapak / Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Semarang .
4; Bapak, ibu dan keluargaku tercinta yang telah memberikan doa, motifasi
dan dukungan moril dan materiil selama penulis menjalani studi di Fakultas
Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Semarang.
5;

Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu


memberikan bantuannya.

persatu yang telah

7
Penulis menyadari dengan segala keterbatasan, kemampuan dan waktu serta
tidak terlepas dari segala kekurangan dan kesempurnaan mohon kiranya di
maafkan.

Semarang,

Maret 2016

Penulis

8
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL.................................................................................

HALAMAN PERSETUJUAN..................................................................

ii

HALAMAN PENGESAHAN...................................................................

iii

KATA PENGANTAR................................................................................

iv

DAFTAR ISI.............................................................................................

vi

ABSTRAK................................................................................................

viii

BAB I

PENDAHULUAN.....................................................................

A. Latar Belakang Masalah......................................................

B. Pembatasan Masalah...........................................................

C. Perumusan Masalah.............................................................

D. Tujuan Penelitian.................................................................

E. Kegunaan Penelitian............................................................

F. Sistem Uraian Skripsi..........................................................

BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................

A; Tinjauan Umum
1; Pengertian Narapidana..................................................

2; Pengertian Sistem Pemasyaraatan dan Pembinaan


Narapidana ..................................................................

B; Tinjauan Khusus

9
1; Pola dan Dasar Pembinaan Narapidana........................

17

2; Dasar Pembinaan Narapidana.......................................

21

BAB III METODE PENELITIAN..........................................................

23

A. Tipe Penelitian.....................................................................

23

B. Spesifikasi Penelitian..........................................................

24

C. Sumber Data........................................................................

25

D. Metode Pengumpulan Data.................................................

25

E. Metode Analisa Data...........................................................

26

F. Metode Penyajian Data.......................................................

27

BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISA DATA. ..............................

28

A;

Fungsi Sistem Pemasyarakatan dalam Meresosialisasi


dan Mereintegrasi Sosial Warga Binaan di Lembaga
Pemasyarakatan.................................................................
...........................................................................................
28

B;

Kendala-Kendala

pelaksanaan

fungsi

sistem

pemasyarakatan dalam merehabilitasi dan mereintegrasi


sosial

warga

binaan di

lembaga Pemasyarakatan

Kedungpane Semarang......................................................
...........................................................................................
42

10
BAB V PENUTUP...................................................................................
46
A. Kesimpulan..........................................................................

46

B. Saran....................................................................................

48

DAFTAR PUSTAKA

11

ABSTRAK

Lembaga Pemasyarakatan (LP) adalah Badan atau lembaga penegak hukum


yang mempunyai fungsi dan tugas pembinaan narapidana dalam merehabilitasi
serta reintegrasi sosial Narapidana agar setelah menjalani masa pidananya bisa
kembali menjadi manusia yang baik. Pengenaan pidana dan tujuan pemidanaan
dalam sistem pemasyarakatan bukanlah suatu penderitaan / balas dendam, tetapi
dimaksutkan untuk memberikan efek jera dan tidak mengulangi tindak pidana.
Sehingga pendidikan moril, spiritual, jasmani dan rokhani serta keterampilan yang
diberikan disesuaikan bakat masing-masing terpidana untuk bekal hidupnya
kelak. Selama berada di Lembaga Pemasyarakatan (LP) warga binaan dan /
narapidana (napi) diperlakukan sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Penelitian ini mengangkat permasalahan :
Bagaimanakah fungsi sistem pemasyarakatan dalam merehabilitasi dan
mereintegrasi sosial warga binaan? dan Kendala-kendala fungsi sistem
pemasyarakatan dalam merehabilitasi dan mereintegrasi ssosial warga binaan di
LP Kedungpane Semarang? Dengan Tipe penelitian yuridis normatif, spesifikasi
penelitian diskriptif analitis. Sumber datanya menggunakan data sekunder (data
utama) dan data primer (data pendukung), penyajian datanya dilakukan secara
kualitatif. BahwaLembaga Pemasyarakatan (LP) melakukan fungsi sistem
pemasyarakatan pada narapidana melalui program pembinaan secara terpadu,
dengan tujuan agar setelah selesai menjalani pidananya narapidana dapat
menjadi warga negara yang baik sebagai abdi negara dan abdi masyarakat dalam
mengisi pembangunan. Sedangkan
petugas Lembaga Pemasyarakatan
melaksanakan kegiatan pembinaan narapidana secara bertanggungjawab berdaya
guna dan berhasil guna dengan professional dan integritas moral yang
disesuaikan dengan asas-asas yang terkandung dalam Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945. Sistem pembinaan yang diberikan terhadap narapidana di
Lembaga Pemasyarakatan mencakup pendidikan mental, spiritual dan
keterampilan, dilanjutkn dengan pemeriksaan psikologi untuk menyembuhkan
seseorang yang sementara tersesat hidupnya untuk dikembalikan menjadi manusia
yang baik. Setelah narapidana mengikuti pendidikan keterampilan diharapkan
dapat merubah sikap narapidana menjadi lebih baik dan punya kemampuan
untuk bekal mencari pekerjaan di masyarakat. Adapun kendala- kendala yang ada
dalam merehabilitasi dan mereintegrasi sosial antara lain :

Kurang tersedianya ruang-ruang di Lembaga Pemasyarakatan atau lahan


kegiatan untuk melakukan kegiatan pembinaan
Dana yang tersedia jumlahnya sangat sedikit .
Paket yang disediakan oleh Departemen Tenaga Kerja hanya terbatas pada
kegiatan tertentu .
Pihak Lemabaga Pemasyarakatan kurang mampu memahirkan latihan yang
sudah diperoleh berdasarkan paket dari Departemen Tenaga Kerja.

12
BAB I
PENDAHULUAN

A; Latar Belakang Masalah


Negara Republik Indonesia adalah negara hukum, pembangunan
hukum nasional dimaksutkan agar masyarakat menghayati hak dan
kewajibannya serta untuk meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana
penegak hukum sesuai tugas dan fungsinya masing masing kearah tegaknya
hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia
berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 serta menjunjung
tinggi Hak Asasi Manusia (HAM).
Negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila senantiasa melakukan
pemikiran pemikiran baru mengenai fungsi pemidanaan yang tidak lagi
sekedar penjeraan tetapi juga merupakan suatu usaha rehabilitasi (perbaikan ,
penyembuhan) dan reintegrasi sosial warga binaan pemasyarakatan yang telah
melahirkan suatu sistem pembinaan yang dinamakan sistem pemasyarakatan.
Sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas
serta cara pembinaan warga bianaan pemasyarakatan berdasarkan Pancasila
yang dilaksanakan secara terpadu antara Pembina, yang dibina dan
masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan agar
menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana
sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat berperan

13
dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik
dan bertanggungjawab.
Sistem pemasyarakatan juga merupakan suatu rangkaian kesatuan
penegakan hukum pidana. Karena itu pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan
dari pengembangan konsepsi umum mengenai pemidanaan. Pada dasarnya
sifat pemidanaan masih bertolak dari asas dan sistem pemenjaraan yang
menekankan pada unsur balas dendam dan penjeraan. Kondisi ini dipandang
sebagai suatu sistem dan sarana yang tidak sejalan dengan konsep rehabilitasi
dan reintegrasi sosial. Karena itu, narapidana bukan hanya sebagai objek
melainkan juga subjek yang tidak berbeda dari manusia lainnya yang sewaktu
waktu dapat melakukan kesalahan / kekhilafan yang dapat dipidana.
Lembaga pemasyarakatan (LP) adalah tempat untuk melaksanakan
pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan sedangkan Warga
Binaan Pemasyarakatan adalah narapidana, anak didik pemasyarakatan dan
klien pemasyarakatan.
Warga binaan pemasyarakatan sebagai insan dan sumber daya
manusia harus diperlakukan dengan baik dan manusiawi dalam suatu sistem
pembinaan yang terpadu. Pembinaan dimaksutkan sebagai upaya untuk
menyadarkan

narapidana

agar

mengembalikannya menjadi waraga

menyesali

perbuatannya

dan

masyarakat yang baik, taat kepada

hukum, menjunjung tinggi nilai nilai moral, sosial dan keagamaan sehingga
tercapai kehidupan masyarakat yang aman, tertib dan damai yang diletakkan

14
pada satu landasan yuridis Undang Undang No. 12 tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan.
Untuk melaksanakan sistem pemasyarakat tersebut, diperlukan keikut
sertaan masyarakat baik dengan mengadakan kerjasama dalam pembinaan
maupun dengan sikap

bersedia menerima kembali warga binaan

pemasyarakatan yang telah selesai menjalani masa pidananya.


Sistem pemasyarakatan juga bertujuan untuk melindungi masyarakat
terhadap kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh warga binaan
pemasyarakatan. Karena itu dalam pelaksanaan sistem pemasyarakatan
dilakukan pembinaan rokhani dan jasmani serta memberikan hak hak
mereka untuk menjalankan ibadah, berhubungan dengan pihak luar baik
keluarga maupun pihak lain, memperoleh pendidikan yang layak maupun
mendapatkan informasi melalui media cetak / elektronik.
Istilah pemasyarakatan dipergunakan secara resmi sejak 27 April
1964, melalui Amanat Presiden pada Konferensi Dinas Kepenjaraan di
Lembang

Bandung

yang

menghasilkan

10 Prinsip

Pemasyarakatan.

Sedangkan yang menjadi tugas pokok dan fungsi dari Devisi Pemasyarakatan
adalah:
1;

Pelayanan, Pembinaan dan Bimbingan dibidang pemasyarakatan,

2;

Pengkoordinasian pelaksanaan teknis di bidang Pemasyarakatan,

3;

Pengawasan

dan

pemasyarakatan.

pengendalian

pelaksanaan

teknis

dibidang

15
Selama narapidana berada di Lembaga Pemasyarakatan akan
mendapatkan pembinaan dan pendidikan moril, spiritual, jasmani, rohani dan
mendapatkan keterampilan sesuai dengan minat / bakatnya masing masing,
sehingga diharapkan setelah narapidana keluar atau selesai menjalani masa
pidananya di Lembaga Pemasyarakatan

diharapkan mampu untuk hidup

mandiri dan dapat diterima kembali oleh masyarakat seutuhnya seperti


anggota masyarakat yang lain.
Sebagaimana diamanatkan dalam Amandemen Undang-Undang Dasar 1945
Bab X tentang Warga Negara Pasal 27 ayat 2 yang berbunyi :
Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan.1
Pokok-pokok pemikiran di atas menjadi dasar bagi penulis sebagai
alasan pemilihan judul tentang Fungsi Sistem Pemasyarakatan dalam
Merehabilitasi dan Mereintegrasi Sosial Warga Binaan di Lembaga
Pemasyarakatan.

B.Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya materi terkait dengan masalah Sistem Pembinaan
Narapidana serta terbatasnya waktu, biaya dan kesempatan dalam melakukan
penelitian, penulis membatasi pada Fungsi sistem pemasyarakatan dalam
merehabilitasi

dan

mereintergrasi

sosial

warga

binaan

1 Undang-Undang Dasar 1945, BP-7 Pusat, Percetakan Negara Indonesia.

di

lembaga

16
Pemasyarakatan Kedungpane Semarang menurut Undang-Undang Nomor 12
Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
C. Perumusan Masalah
Permasalahan dirumuskan sebagai berikut :
1;

Bagaimanakah Fungsi Sistem Pemasyarakatan Dalam Merehabilitasi dan


Mereintegrasi Sosial warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan ?

2;

Kendala-kendala apakah yang terjadi pada fungsi sistem pemasyarakatan


dalam merehabilitassi dan mereintegrasi sosial warga binaan di Lembaga
Pemasyarakatan Kedungpane Semarang?

D. Tujuan Penelitian
Ada beberapa hal yang menjadi alasan dari tujuan penelitian, yaitu :
1; Untuk mengetahui fungsi sistem pemasyarakatan dalam merehabilitasi
dan mereintegrasi sosial warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan.
2; Untuk mengetahui Kendala-kendala dari fungsi sistem pemasyarakatan
dalam merehabilitasi dan mereintegrasi sosial warga binaan di Lembaga
Pemasyarakatan Kedungpane Semarang.

E. Kegunaan Penelitian
Dari kegunaan hasil penelitian diharapkan dapat diperoleh manfaat atau
kegunaan sebagai berikut :
a;

Kegunaan Teoritis

17
Secara keseluruhan hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai
kontribusi pengembangan ilmu hukum dalam sistem pembinaan
pemasyarakatan narapidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 1995, sebagai

upaya merehabilitasi dan mereintegrasi sosial

warga binaan pemasyarakatan.


b;

Kegunaan Praktis
Dari hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan acuan bagi masyarakat
untuk turut serta dan berperan aktif dalam pelaksanaan sistem pembinaan
pemasyarakatan narapidana sehingga setelah

narapidana selesai

menjalani masa pidananya di Lembaga Pemasyarakatan (LP) bisa


kembali menjadi manusia yang baik dan diterima oleh masyarakat untuk
turut berperan serta dalam pembangunan dan tidak menjadi residivis.

F. Sistem Uraian Skripsi


Sebelum dilakukan pembahasan secara terperinci,

penulis uraikan

secara singkat tentang sistematika penulisan skripsi sebagai berikut :


Bab I

Pendahuluan tentang latar belakang masalah, pembatasan masalah,


perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat atau kegunaan
penelitian dan sistematika uraian skripsi.

Bab II

Tinjauan Pustaka tentang tinjauan umum dan tinjauan khusus yaitu


pengertian narapidana,

pengertian

sistem pemasyarakatan dan

18
pembinaan narapidana, pola dan dasar pembinaan narapidana di
Lembaga Pemasyarakatan.
Bab III Metodologi Penelitian tentang metode pendekatan, spesifikasi
penelitian, sumber data metode pengumpulan data, metode penyajian
data dan metode analisa data.
Bab IV Hasil Penelitian dan Analisa Data menguraikan dan menjelaskan
tentang fungsi sistem

pemasyarakatan dalam merehabilitasi dan

mereintegrasi sosial warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan dan


kendala

kendala

yang

dihadapi

dalam

fungsi

sistem

pemasyarakatan dalam merehabilitasi dan mereintegrasi sosial warga


binaan di Lembaga Pemasyarakatan Kedungpane Semarang.
Bab V Penutup yang berisi tentang kesimpulan dan saran.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A; Tinjauan Umum.
1; Pengertian Narapidana.
Menurut Bambang Purnomo pengertian narapidana adalah :
Seorang manusia anggota masyarakat yang dipisahkan dari induknya dan
selama waktu tertentu itu diproses dalam lingkungan tempat tertentu
dengan tujuan, metode dan sistem pemasyarakatan. Pada suatu saat
narapidana itu akan kembali menjadi manusia anggota yang baik dan taat
kepada hukum.2
2 Bambang Purnomo, Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan, 1985, hal.
180.

19
Dari pendapat Bambang Purnomo tersebut di atas jelas bahwa
narapidana sebenarnya adalah sebagai manusia anggota masyarakat biasa,
tetapi karena suatu sebab tertentu dia dipisahkan dari anggotanya dan
ditempatkan dalam suatu tempat tertentu dengan harapan agar suatu saat
dia akan kembali menjadi anggota masyarakat yang baik dan taat kepada
hukum.
Menurut Abdul Syani dilaksanakan bahwa :
Narapidana adalah manusia biasa, seperti manusia-manusia lain hanya
karena melanggar hukum diputuskan oleh hakim untuk menjalani suatu
sistem perlakuan. Narapidana selain individu juga anggota masyarakat
yang dalam pembinaannya tidak boleh diasingkan kehidupan masyarakat
malah justru diintegrasikan kedalamnya.3
Sedangkan menurut Sahardjo dalam penganugrahan gelar Doktor
Honoris Causa dalam ilmu hukum pada tahun 1963 oleh Universitas
Indonesia telah menggunakan istilah narapidana bagi mereka yang telah
dijatuhi pidana hilang kemerdekaannya.
Menurut Mr. R.A. Koesoen dalam bukunya yang berjudul Politik
Penjara Nasional pada Pasal 9, mengatakan :
Pidana penjara adalah pidana pencabutan kemerdekaan, menurut asal
usul penjara atau kata penjara berasal dari kata penjoro (Jawa) yang
berarti tobat. Di penjara berarti dibikin tobat. Menurut politik penjara
sekarang yang bertujuan memperbaiki narapidana tidak sesuai lagi,
karena dibikin tobat menurut pengalaman tidak dapat seorang betul-btul
menjadi tobat.4

3 Abdul Syani, Sosiologi Kriminalitas, Remaja Karya CV. Bandung, 1987, hal. 144.
4 R. Ahmad S. Soemodiradja dan Romli Atmasasmita, Sistem Pemasyarakatan di Indonesia, Bina
Cipta, 1979, hal. 17018.

20
Dalam Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 sub 7, dijelaskan
Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan
di Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS)

2; Pengertian Sistem Pemasyarakatan dan Pembinaan Narapidana.


Pasal 1 ayat (1) Undang Undang No. 12 Tahun 1995 Tentang
Pemasyarakatan,

menjelaskan bahwa Pemasyarakatan adalah kegiatan

untuk melakukan pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan


sistem, kelembagaan dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir
dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana.
Warga binaan pemasyarakatan adalah Narapidana, Anak Didik
Pemasyarakatan dan Klien Pemasyarakatan. Dan Narapidana adalah
Terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga
Pemasyarakatan (LAPAS).
Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk
warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menjadari
kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulang tindak pidana sehingga
dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan
dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang
baik dan bertanggungjawab.
Sistem pemasyarakatan berfungsi menyiapkan warga binaan
pemasyarakatan agar dapat berfungsi secara sehat dengan masyarakat

21
sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas
dan bertanggungjawab.
Penyelenggaraan sistem pemasyarakatan mempunyai tugas inti
pembinaan terhadap narapidana, sebagaimana tercantum dalam Piagam
Pemasyarakatan pada tanggal 27 April sampai dengan 9 Mei 1964 di
Bandung, merupakan arti pembinaan menurut Pasal 1, 2 dan 6 adalah
sebagai berikut :
Bahwa sistem pemasyarakatan Indonesia mengandung arti
pembinaan narapidana yang berintegrasi dengan masyarakat dan menuju
kepada integrasi kehidupan dan penghidupan. Pemasyarakatan sebagai
proses bergerak dengan menstimulir timbul dan berkembangnya self
propelling adjustment diantara elemen bersangkutan menuju arah
perkembangan pribadi melalui asosiasinya sendiri menyesuaikan dengan
integritas kehidupan dan penghidupan.5
Pembinaan narapidana mempunyai arti memperlakukan seseorang
yang berstatus narapidana untuk dibangun agar bangkit menjadi seseorang
yang baik, atas dasar pengertian pembinaan yang demikian itu sasaran
yang perlu dibina adalah pribadi dan budi pekerti narapidana, yang
mendorong untuk membangkitkan rasa harga diri pada diri sendiri dan
pada diri orang lain, serta mengembangkan rasa tanggung jawab untuk
menyesuaikan diri dengan kehidupan yang tentram dan sejahtera dalam
masyarakat, dan selanjutnya berpotensi untuk menjadi manusia yang
berbudi luhur dan bermodal tinggi. Pembinaan terhadap pribadi dan budi
pekerti yang dimaksudkan tidaklah tanpa batas, akan tetapi selama waktu
5 Bambang Poernomo, Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan, Disertasi
UGM, Yogyakarta, 1985, hal. 186.

22
tertentu memberi warna dasar agar narapidana kelak dikemudian hari tidak
melakukan kejahatan lagi dan taat terhadap hukum yang berlaku didalam
masyarakat. Namun pembinaan narapidana masih tergantung hubungannya
terhadap masyarakat luar, yang menerima narapidana menjadi anggotanya
karena itu arah pembinaan harus tertuju pada :
1; Membina pribadi narapidana agar jangan sampai mengulangi
kejahatan dan mentaati peraturan hukum.
2; Membina hubungan antara narapidana dengan masyarakat luar, agar
dapat berdiri sendiri dan diterima menjadi anggotanya.
Sedangkan pengertian pembinaan dalam rumusan penjelasan Pasal
2 (dua) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
adalah sebagai berikut :
Pembinaan narapidana yang mempunyai kesanggupan dan kemampuan
untuk turut serta dalam pembangunan masyarakat yang adil dan makmur
berdasarkan Pancasila.6
Dari pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa narapidana
adalah manusia yang karena perbuatannya melanggar norma-norma
masyarakat, dipidana menurut putusan hakim karena narapidana adalah
manusia yang lemah daya tahannya terhadap desakan-desakan sosial,
sehingga tidak dapat hidup selaras dengan tatanan masyarakat dimana ia
berada. Karena itu dengan memberikan pembinaan dan bimbingan
diharapkan setelah selesai menjalani pidananya, narapidana dapat hidup

6 Lembaga Pembinaan Hukum Nasional, Penerbitan IV LPHN 1968, hal. 40.

23
selaras tidak melanggar hukum lagi dan ikut aktif dalam kegiatankegiatan masyarakat dalam pembangunan.
Menurut Salamin Budi Santoso pengertian pembinaan narapidana
adalah :
Suatu proses yang berlandaskan bentuk-bentuk treatman yang terus
menerus, bagaikan mata rantai untuk mencapai suatu sasaran, dan
kesemuanya itu harus tunduk pada norma-norma hukum yang
berkembang didalam masyarakat secara kontinuetas dimana dalam
penerapannya ada tiga faktor yang kait mengkait dan tidak terpisahkan
yang ikut menunjang keberhasilan pembinaan narapidana, yang
dimaksud tiga faktor tersebut adalah : Petugas Pemasyarakatan,
Narapidana dan Masyarakat. Dimana petugas pemasyarakatan adalah
merupakan eksponen yang menentukan arah dan tujuan untuk
berhasilnya suatu usaha pembinaan narapidana guna merehabilitir
kembali ke dalam masyarakat, narapidana adalah merupakan faktor
terpenting karena sebagai obyek pengarahan yang berlandaskan
treatment yang terus menerus, sistematis dan berencana, sehingga suatu
tujuan yang akan dicapai dapat terlaksana, dan masyarakat adalah
merupakan wadah dari hasil treatment yang dijalankan dengan
sistematis dan berencana dalam usaha merehabilitasi narapidana. Dan
dalam persoalan ini masyarakat merupakan suatu faktor yang
menentukan berhasil atau tidaknya suatu pembinaan narapidana.7
Sistem pemasyarakatan adalah suatu proses pembinaan terpidana
yang didasarkan atas asas Pancasila, dan memandang terpidana sebagai
mahkluk Tuhan, individu dan masyarakat sekaligus. Dalam pembinaannya,
pribadi

serta

kemasyarakatannya,

dan

dalam

penyelenggaraannya

mengikutsertakan secara langsung dan tidak melepaskan hubungannya


dengan masyarakat, wujud serta cara pembinaan terpidana dalam semua
segi kehidupan dan pembatasan kebebasan bergerak serta pergaulannya
7 Salimin Budi Santoso, Kebijakan Pembinaan Narapidana Dalam Pembangunn Nasional
Berdasarkan Sistem Pemasyarakatan, Majalah Pemasyarakatan, 1978, hal. 25.

24
dengan masyarakat di luar Lembaga Pemasyarakatan di sesuaikan dengan
kemajuan sikap dan tingkah lakunya serta lamanya pidana yang wajib ia
jalani. Dengan demikian diharapkan narapidana pada waktu lepas dari
Lembaga Pemasyarakatan benar-benar telah siap hidup bermasyarakat
kembali dengan baik.8
Sedangkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12
Tahun

1995,

tentang

Pemasyarakatan

dijelaskan

bahwa

sistem

pemasyarakatan adalah :
Suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga
binaan pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara
terpadu antara pembina yang dibina, dan masyarakat untuk
meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan agar menyadari
kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana
sehingga dapat di terima kembali oleh lingkungan masyarakat, dan dapat
hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.9
Sedangkan

untuk

menentukan

keberhasilan

pemasyarakatan

sebagai suatu sistem, menurut teorinya Lawrance M. Friedman,


membedakan unsur sistem kedalam tiga macam yaitu :
Struktur, Subtansi dan Kultur.10
Komponen

struktur

dalam

sistem

pemasyarakatan

adalah

kelembagaan yang diciptakan oleh sistem pemasyarakatan dengan


berbagai macam fungsinya dalam rangka mendukung bekerjanya sistem
pemasyarakatan.

Komponen

subtansi,

adalah

iuran

dari

sistem

8 Soedjono Dirdjosisworo, Sejarah dan Aazas-azas Penoldi (Pemasyarakatan), Armico Bandung,


hal. 199-200.
9 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995, Pemasyarakatan.
10 Satjipto Rahardjo (Penyunting), Hukum Dalam Perspektif Sosial, Alumni Bandung, 1998, hal.
134.

25
pemasyarakatan

termasuk

didalamnya

norma-norma

yang

berupa

peraturan-peraturan, keputusan-keputusan yang semuanya itu digunakan


untuk mengatur tingkah laku manusia. Sedangkan komponen budaya atau
kultur adalah nilai-nilai dan sikap-sikap yang merupakan pengikat dari
sistem pemasyarakatan itu, serta menentukan tempat pemasyarakatan
ditengah-tengah budaya bangsa sebagai keseluruhan.
Istilah pemasyarakatan banyak yang memberikan arti dan belum
ada kesepakatan diantara ahli-ahli Penologi Indonesia untuk menetapkan
apa yang dimaksud dengan istilah pemasyarakatan itu sendiri. Suhardjo
sebagai

pencetus

istilah

ini

untuk

pertama

kalinya

pengertian

pemasyarakatan sebagai tujuan penjara.11


Sudarto menyamakan istilah pemasyarakatan dengan resosialisasi,
dengan pengertian bahwa segala sesuatunya ditempatkan dalam tata
budaya Indonesia.12
Sedangkan Bahroedin Suryobroto dalam prasarananya yang
berjudul Tujuan dan Kedudukan Pemasyarakatan pada bulan April 1964,
menjabarkan

kedudukan

arti

pemasyarakatan

yaitu

Bahwa

pemasyarakatan hukum hanya tujuan dari pidana penjara, melainkan


sebagai suatu proses yang bertujuan memulihkan kembali kesatuan
hubungan (integritas) kehidupan yang antara individu, terpidana dan
11 Padmo Wahjono (Penyunting), Pohon Beringin Pengayom Lima Puluh Tahun Pendidikan
Hukum di Indonesia, Karya Ilmiah Guru-guru Besar Hukum di Indonesia, Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 1997, hal. 541.
12 R. Apik Notosoebroto, Pidana dan Pemasyarakatan Berdasar Konsep Revolusi Indonesia,
Inspeksi Wilayah Pemasyarakatan IV Jawa Tengah, Semarang, 1965, hal. 75-76.

26
masyarakat, menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan
Pancasila, pemulihan kesatuan hubungan ini hanya dapat dicapai melalui
proses gotong-royong, dimana terpidana harus pula ikut serta aktif. Dari
kedudukan pemasyarakatan itu R. Apik Noto Soebroto menariknya
sebagai definisi pemasyarakatan yaitu :
Pemasyarakatan adalah sebagai dari pengejawantahan keadilan khusus
dalam bidang tata laksana pengadilan (administration of justice) dan lebih
khusus dalam bidang tata urusan perlakuan dari mereka yang karena
mengingkari tata tertib masyarakat berdasarkan keputusan hakim
ditempatkan dibawah pengawasan, perawatan, asuhan pemerintah.13
Sedangkan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dijelaskan bahwa pemasyarakatan
adalah :
Kegiatan

untuk

melakukan

pembinaan

warga

binaan

pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan dan cara pembinaan


yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan
pidana.14
Bambang Poernomo memberikan penjabaran agak luas tentang
istilah pemasyarakatan, dikatakan olehnya dari segi ilmu bahasa Indonesia,
dapat diterangkan bahwa pemasyarakatan dari kata dasar masyarakat
mempunyai arti menurut gotro dan werdinya masyarakat dalam arti yang
menggotro ialah organisme dari kesatuan kelompok manusia yang
mempunyai watak integrasi dan asimilasi satu sama lain, sedangkan
13 Ibid.
14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995, Tentang Pemasyarakatan.

27
masyarakat dalam werdinya ialah situasi sosial dimana terdapat hubungan
timbal balik antara manusia yang berintegrasi menurut naluri untuk hidup
bersama dan berkeinginan menyesuaikan diri dengan orang lain serta alam
sekitarnya. Bentukan kata pemasyarakatan mengandung kata dasar
masyarakat mendapat awalan pe-an yang mempunyai arti kata menyatakan
peristiwa atau perbuatan, dan merupakan jenis kata benda, sehingga tidak
berlebihan apabila pemasyarakatan mempunyai inti perlakuan untuk
mewujudkan sesuatu menjadi masyarakat dapat sesuai dengan gotro dan
werdinya meskipun kata pemasyarakatan dapat pula diturunkan dari kata
dasar masyarakat mendapat awalan pe dan akhiran an yang mempunyai
arti

kata

menyatakan

tempat

dan

jenis

kata

benda

sehingga

pemasyarakatan dapat mempunyai arti tempat untuk mewujudkan sesuatu


menjadi

masyarakat

sesuatu

gotro

dan werdinya.

Dari

definisi

pemasyarakatan tersebut diatas, maka sistem pemasyarakatan dapat


diartikan suatu kegiatan/pelakuan untuk mewujudkan upaya baru terhadap
narapidana agar hasil pembinana menjadi manusia sesuai dengan gotro dan
werdinya masyarakat atas dasar semangat pembaharuan pelaksanaan
pidana penjara.15

B. Pola dan Dasar Pembinaan Narapidana.


1.Pola Pembinaan Narapidana
15 Bmbang Poernomo, Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem, Pemasyarakatan, Disertasi
UGM, Yogyakarta, 1985, hal. 1-2

28
Menurut petunjuk pelaksanaan pembinaan narapidana dalam
Lembaga Pemasyarakatan yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan Departemen Kehakiman Republik Indonesia pada Bab I
Umum disebutkan : Tugas Pokok Direktorat Jenderal Pemasyarakatan
adalah melaksanakan sebagian tugas Departemen Kehakiman dalam
pelaksanaan pemasyarakatan dan Bispa (Bimbingan Kemasyarakatan dan
Pengentasan Anak).
Lebih lanjut dijelaskan bahwa dalam melaksanakan tugas pokok di
atas, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan memiliki 3 (tiga) pola
pembinaan sebagai pola pokok yaitu :
a; Pembinaan narapidana (dewasa) di dalam Lembaga Pemasyarakatan
b; Pembinaan anak didik di dalam Lembaga Pemasyarakatan
c; Pembinaan di luar Lembaga Pemasyarakatan terhadap narapidana dan
anak didik
Ketiga pola pembinaan di atas harus dilaksanakan dengan mengingat
kebutuhan pembinaan setempat dan dilandaskan kepada cita-cita
pemasyarakatan. Dengan demikian melalui program atau pola pembinaan
narapidana selama proses pemasyarakatan diharapkan tujuan untuk
mengembalikan narapidana ketengah-tengah masyarakat bebas dengan
memberikan bekal kemampuan fisik, mental serta dorongan moril yang
baik dapat dicapai.

29
Disamping itu program pembinaan ini masih harus ditunjang oleh
sarana lain yang nantinya dapat mencapai apa yang menjadi tujuan
narapidana sistem pemasyarakatan yaitu agar :
a; Tidak akan menjadi pelanggar hukum lagi
b; Menjadi anggota masyarakat yang berguna, aktif, produktif
c; Berbahagia di dunia dan diakhirat16
Menurut Bambang Poernomo, dikatakan : Pembinaan dengan
bimbingan dan kegiatan lainnya yang diprogramkan terhadap narapidana
dapat meliputi cara pelaksanaan :
1.Bimbingan mental, yang diselenggarakan dengan pendidikan agama,
kepribadian, budi pekerti, dan pendidikan umum, yang diarahkan
untuk membangkitkan sikap mental baru sesudah menyadari akan
kesalahan masa lalu.
2. Bimbingan sosial, yang dapat diselenggarakan dengan memberikan
pengertian akan arti pentingnya hidup bermasyarakat, dan pada masamasa tertentu diberikan kesempatan untuk asimilasi serta integrasi
dengan masyarakat luar.
3. Bimbingan keterampilan yang dapat diselenggarakan dengan khusus,
latihan kecakapan tertentu sesuai dengan bakatnya, yang nantinya
menjadi bekal hidup untuk mencari nafkah dikemudian hari.

16 Dirjen Pemasyarakatan, Dari Sangkar Ke Sangkar, Komitmen Pengayoman, Jakarta, 1979, hal.
11.

30
4. Bimbingan untuk memelihara rasa aman, damai untuk hidup dengan
teratur dan belajar untuk mentaati peraturan.
5. Bimbingan untuk memelihara yang menyangkut perawatan kesehatan,
seni budaya dan sedapat-dapatnya diperkenalkan kepada segala aspek
kehidupan bermasyarakat dalam bentuk tiruan masyarakat kecil
selaras dengan lingkungan sosial yang terjadi diluarnya.
Dari apa yang telah disebutkan oleh Bambang Poernomo, di atas
tidak lain adalah untuk melatih dan membiasakan narapidana agar dapat
bergaul dengan masyarakat secara teratur jika nanti setelah keluar dari
Lembaga Pemasyarakatan, diharapkan mereka dapat hidup bermasyarakat
secara wajar dengan saling menghormati kepentingan umum disamping
kepentingan pribadinya. Seluruh pola pembinaan di atas dapat dikatakan
sebagai suatu kesatuan rangkaian yang saling berhubungan, dan
merupakan sarana penunjang untuk dapat tercapainya dari sistem
pemasyarakatan.
Berdasarkan hasil-hasil rapat kerja yang telah diadakan oleh
Direktorat Jenderal Bina Tuna Warga Tahun 1976 tersusunlah pola-pola
pembinaan narapidana dalam lembaga baik untuk narapidana pada
umumnya maupun narapidana golongan residivis, adalah :

1. Pola penerimaan/pendaftaran warga bagi narapidana :


a. Perihal admisi dan orientasi
b. Perihal klasifikasi/diversifikasi

31
2. Pola perawatan narapidana
a. Perihal pakaian
b. Perihal makanan
c. Perihal kesehatan dan dinas media
d. Perihal pemberitahuan sakit dan kematian narapidana
3. Pola tata tertib dan disiplin narapidana
a. Perihal tata tertib
b. Perihal prosedur mengajukan keluhan/pengaduan narapidana
4. Pola bimbingan/pendidikan agama bagi narapidana
a. Umum
b. Program-program keagamaan
5. Pola pendidikan dan rekreasi bagi narapidana
a. Perihal pendidikan
b. Perihal rekreasi
c. Perihal pendidikan kepramukaan
d. Perihal perpustakaan
6. Pola pekerjaan narapidana
a. Fungsi pekerjaan narapidana dalam sistem pemasyarakatan
b. Perihal jenis pekerjaan narapidana
c. Perihal syarat-syarat pemberian pekerjaan
d. Perihal hasil-hasil pekerjaan
e. Perihal pemberian imbalan jasa
7. Pola
pelaksanaan
mekanisme
kerja
Dewan
Pemasyarakatan (DPP) dalam instansi pelaksana
a. Status dan susunan Dewan Pembina Pemasyarakatan
b. Sidang-sidang Dewan Pembina Pemasyarakatan

Pembinaan

8. Pola tentang hal-hal narapidana dan lain-lain


a. Perihal hubungan dengan pihak lain
b. Perihal pelaksanaan pemberian remisi
c. Perihal pelaksanaan pemberian cuti
d. Perihal penyelenggaraan integrasi
e. Perihal pelaksanaan lepas bersyarat
9. Pola pengangkutan, pemindahan dan peminjaman narapidana
a. Perihal pengangkutan narapidana
b. Perihal pemindahan narapidana
c. Perihal peminjaman narapidana

32
10. Pola tentang keamanan
11. Pola pemeliharaan sarana fisik lembaga pemasyarakatan17
2. Dasar Pembinaan Narapidana
Menurut M. Djakarta dalam buku I Pemasyarakatan dikatakan :
Pemasyarakatan yang mempunyai fungsi sebagaimana yang tersebut di
atas dalam teknik pelaksanaan pembinaan mempunyai titik tolak landasan
sebagai dasar hukum pelaksanaannya, antara lain sebagai berikut :
1;
2;
3;
4;

Pancasila
Undang-Undang Dasar 1945
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Reglement Penjara18
Berdasarkan hal tersebut di atas, pemerintah telah memperbaharui

peraturan-peraturan yang berkaitan dengan sistem pemasyarakatan. Adapun


yang menjadi landasan hukum bagi sistem pemasyarakatan adalah :
1; KUHP (Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 jo Undang-Undang No. 73
Tahun 1953),
2; Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan,
3; Keputusan Menteri Kehakiman No. M.02.PK.01.10 Tahun 1990 tentang
Pola Pembinaan Narapidana dan Tahanan,
4; Keputusan Menteri Kehakiman No. 02-PK.04.10 Tahun 1990 tentang
Pembaharuan Kegiatan Narapidana di Dalam Aktifitas Masyarakat,

17 R. Achmad, S. Soemandiprodjo dan Romli Atmasasmita, Op.Cit., hal. 64-65.


18 M. Djakarta, Buku I Pemasyarakatan, 1981, hal. 17.

33
5; Surat Keputusan Menteri Kehakiman No. M.01-PK.04.02 Thun 1990
tentang Cuti Mengunjungi Keluarga,
6; Peraturan Menteri Kehakiman No. M.01-PK.04.10 Tahun 1989 tentang
Cuti Menjelang Bebas,
7; Surat Edaran Kepala Dirjend Pemasyarakatan No. 10.13/3/1 Tahun 1965
tentang Pemasyarakatan Sebagai Proses,
8; Surat Edaran Dirjend Bina Tuna Warga No. D.P.4.1/14/14 Tahun 1978
tentang Pola Pembinaan Narapidana.
BAB III
METODE PENELITIAN

Dalam penelitian ilmu hukum diuraikan mengenai penalaran dalil-dalil,


postulat-postulat dan proposisi yang menjadi latar belakang dari suatu langkah
dalam proses penelitian ilmu hukum. Menurut Ronny Hanitijo Soemitro, didalam
bukunya Metodologi Penelitian Hukum menerangkan bahwa penelitian hukum
dapat dikategorikan menjadi :
1.Penelitian hukum normatif atau menurut kepustakaan Anglo American, disebut
sebagai legal research, yaitu penelitian hukum yang mempunyai kemampuan
dan jangkauan terbatas, karena hanya berdasarkan pada norma-norma hukum
atau doktrin-doktrin hukum dan peraturan-peraturan hukum yang sudah ada.
a; Penelitian yang berupa inventarisasi hukum positif
b; Penelitian dasar falsafah (dogma atau doktrin) hukum positif

34
c; Penelitian yang berupa usaha penemuan hukum in concreto yang sesuai
diterapkan guna menyelesaikan suatu perkara hukum tertentu.
2. Penelitian hukum dengan mempergunakan metode-metode dan teknik-teknik
ilmu-ilmu sosial, atau disebut juga socio legal research.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
A. Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang penulis pergunakan adalah metode penelitian
yuridis normatif atau disebut juga penelitian hukum yang doktrinal. Hal ini
disesuaikan dengan pokok permasalahannya, yang hanya mempergunakan
data sekunder saja, yaitu membahas dan menguraikan tentang kaidah-kaidah
serta perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah pembinaan
narapidana.
Pemilihan metode normatif ini sekaligus memberikan pengertian akan
keterbatasan kemampuan serta jangkauan penelitian yang penulis laksanakan.
Penelitian ini lebih bersifat doktrinal, yaitu hanya mempergunakan data-data
yang bersifat sekunder, antara lain peraturan perundang-undangan, keputusankeputusan pengadilan, teori-teori hukum dan pendapat-pendapat sarjana
hukum. Jadi data primer hanya sebagai penunjang / pendukung.

B. Spesifikasi Penelitian
Untuk mendekati pokok penelitian, maka penulis mempergunakan
penelitian deskriptif analitis yaitu menggambarkan dan menganalisis Peraturan

35
Perundang-undangan yang berlaku, yang kemudian dikaitkan dengan teoriteori hukum mengenai permasalahan yang diteliti.
Menurut Soerjono Soekanto, Penelitian deskriptif adalah untuk
memberikan data yang diteliti mungkin tentang keadaan manusia dan gejalagejala lainnya.19

C.Sumber Data
1. Data Sekunder
Data sekunder yang merupaka sumber data utama dalam penelitian ini
adalah jenis data yang diperoleh tidak secara langsung dari obyek
penelitian. Melainkan melalui studi pustaka, terutama terhadap bukubuku literatur

ilmu hukum. Peraturan perundang-undangan maupun

bahan hukum lainnya yang erat kaitannya dengan permasalahan sistem


pembinaan pemasyarakatan narapidana.
2. Data Primer
Data primer yang merupakan pendukung data sekunder dalam penelitian
ini adalah jenis data yang diperoleh secara langsung dari obyek penelitian
atau nara sumbernya yaitu kalapas, staf dan narapidana di Lembaga
Pemasyarakatan Kedungpane Semarang. Adapun jenis data ini diperoleh
dengan melalui kegiatan wawancara secara terbuka.
19 Soerjono Soekanto, 1981, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : UI Press, hal. 10.

36

D. Metode Pengumpulan Data


Untuk dapat memperoleh data yang diharapkan didalam penelitian ini,
penulis telah menentukan interview sebagai teknik untuk mengumpulkan
data. Di dalam penelitian ini, ada dua macam data yaitu data yang sifatnya
primer dan data yang sifatnya sekunder yaitu yang lebih banyak digunakan
oleh penulis dalam menyusun skripsi ini. Data sekunder ini diperoleh dari
buku-buku ilmiah, bahan-bahan kuliah, kumpulan aturan-aturan hukum serta
artikel-artikel pada majalah dan surat kabar yang ada sangkut pautnya dengan
obyek penelitian. Teknik interview yang telah peneliti tentukan sebagai
metode pengumpulan data adalah interview bebas terpimpin, yaitu wawancara
dengan responden, dimana dalam wawancara ini unsur kebebasan masih
dipertahankan sehingga kewajaran dapat dicapai secara maksimal, dan
memudahkan diperolehnya data secara mendalam.20
Di dalam interview bebas terpimpin ini penulis telah menentukan
pokok-pokok yang akan ditanyakan, kemudian dikembangkan lagi pokokpokok pertanyaan tadi pada waktu mewawancarai.

E.Metode Analisa Data


Metode analisa data yang akan penulis pergunakan dalam penyusunan
skripsi ini adalah metode kualitatif, dimana maksud dari metode ini adalah
suatu cara penelitian yang menghasilkan data diskriptif analitis yang semata20 Ronny Hanitijo Soemitro, Op.Cit., hal. 73.

37
mata tidak hanya bertujuan mengungkapkan kebenaran data, tetapi juga
memahami kebenaran itu. Data-data tersebut sesuai dengan materi yang
berkaitan dengan maksud yang diteliti, sehingga dapat memberikan gambaran
tentang

sistem

pembinaan

pemasyarakatan

narapidana

di

Lembaga

Pemasyarakatan dalam rangka merehabilitasi dan mereintegrasi sosial warga


binaan pemasyarakatan.

F. Metode Penyajian Data


Setelah data terkumpul, maka penulis akan melakukan :
1; Editing yaitu memeriksa atau meneliti data-data yang telah diperoleh
dalam

penelitian,

untuk

menjamin

apakah

data

tersebut

dapat

dipertanggungjawabkan dan sesuai dengan pokok permasalahan yang


diuraikan.
2; Analisa normatif kualitatif yaitu menganalisa data-data hasil penelitian
berdasarkan kualitas kebenaran yang sesuai dengan pokok permasalahan.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN ANALISA DATA

A; Fungsi Sistem Pemasyarakatan dalam Meresosialisasi dan Mereintegrasi

Sosial Warga Binaan di Lembaga Pemasyarakatan

38
Pada dasarnya tindakan pemidanaan (penahanan dan pemenjaraan)
adalah upaya paksa terhadap seseorang yang bertentangan dengan Hak-Hak
Asasi Manusia (HAM). Namun karena tindakan tersebut dijamin oleh
perundang-undangan maka tindakan tersebut sah menurut hukum, dimana
Lembaga Pemasyarakatan (LP)/Rumah Tahanan Negara (RUTAN) berfungsi
sebagai tempat pelaksanaan upaya paksa.
Ironisnya hamper semua kejahatan yang ditangani dalam proses
peradilan pidana di Indonesia selalu berakhir di penjara. Padahal penjara
bukan merupakan solusi terbaik dalam menyelesaiakan masalah-masalah
kejahatan. Dalam menyikapi masalah kejahatan pada dasarnya masyarakat
menginginkan agar bagi pelaku diberikan pelayanan yang bersifat
rehabilitative agar pelaku kejahatan menjadi lebih baik disbanding sebelum
mereka masuk ke institusi penjara.
Berdasar Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI No. 28 Tahun 2014
tanggal 17 Oktober 2014 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah
Kementrian Hukum dan HAM RI, Tugas Pokok dan Fungsi Devisi
Pemasyarakatan adalah :

1; Pelayanan, Pembinaan dan Bimbingan dibidang Pemasyarakatan,


2; Pengkoordinasian pelaksanaan teknis di bidang Pemasyarakatan,
3; Pengawasan

dan

pengendalian

pelaksanaan

teknis

dibidang

Pemasyarakatan.
BAB I Ketentuan Umum Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan, Pasal 1 ayat (1) menyebutkan bahwa Pemasyarakatan adalah
kegiatan untuk melakukan pembinaan warga binaan pemasyarakatan

39
berdasarkan sistem, kelembagaan dan cara pembinaan yang merupakan bagian
akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana.
Kemudian dalam Pasal 1 ayat (2) menegaskan bahwa Sistem
Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara
pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang
dilaksanakan secara terpadu antara Pembina, yang dibina dan masyarakat
untuk meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan agar menyadari
kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga
dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan
dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik
dan bertanggungjawab.
Sistem Pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk
warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari
kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga
dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan
dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik
dan bertanggungjawab. Sistem pemasyarakatan berfungsi menyiapkan warga
binaan pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan
masyarakat sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat
yang bebas dan bertanggungjawab.
Sejak diperkenalkan oleh Sahardjo, tanggal 5 Juli 1963 negara
Indonesia tidak lagi menganut Sistem Penjara dan beralih ke Sistem
Pemasyarakatan. Dalam sistem Kepenjaraan tujuan pidana penjara adalah

40
untuk melindungi masyarakat dari segala bentuk kejahatan sebagai politik
kriminal pemerintahan Kolonial terhadap usaha mengurangi angka kejahatan.
Oleh sebab itu perlakuan terhadap pelanggar hukum dilaksanakan dengan
tidak manusiawi. Hal ini dapat difahami karena dalam sistem kepenjaraan
mengandung prinsip bahwa narapidana adalah merupakan objek semata- mata
dan penjatuhan pidana dimaksutkan sebagai tindakan balas dendam, sehingga
dalam

pelaksanaan

hukuman

penjara

masalah

HAM

tidak

diperhatikan/diabaikan.
Dalam Sistem Pemasyarakatan, tujuan dari pemasyarakatan adalah
bahwa pemidanaan terhadap seorang terpidana disamping menimbulkan rasa
derita karena hilangnya kemerdekaan bergerak, juga membimbing terpidana
agar bertobat, mendidik supaya menjadi seorang anggota masyarakat sosialis
Indonesia yang berguna. Dan pemidanaan tidak lagi berorientasi pada tujuan
pembalasan/penjeraan yang bertentangan dengan nilai nilai kemanusiaan
melainkan berorientasi pada rehabilitasi (perbaikan , penyembuhan) dengan
mengarahkan pemidanaan pada tata perlakuan yang bertujuan bukan saja agar
para narapidana bertobat dan tidak melakukan tindak pidana lagi, tetapi juga
melindungi masyarakat dari tindak kejahatan.
Istilah Pemasyarakatan dipergunakan secara resmi sejak tanggal 27
april 1964 melalui Amanat Presiden pada Konferensi Dinas Kepenjaraan di
Lembang Bandung,

menghasilkan 10 (sepuluh) Prinsip Pemasyarakatan-

Reintegrasi Sosial yaitu :

41
1;

Ayomi dan berikan bekal hidup agar mereka dapat menjalankan


peranannya sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna.

2;

Bahwa penjatuhan pidana bukan tindakan balas dendam negara.

3;

Berikan bimbingan bukan penyiksaan supaya mereka bertobat.

4;

Negara tidak berhak membuat mereka menjadi lebih buruk dari sebelum
dijatuhi pidana.

5;

Selama

kehilangan

kemerdekaan

bergerak,

para

warga

binaan

pemasyarakatan harus dikenalkan dengan masyarakat.


6;

Pekerjaan yang diberikan kepada warga binaan pemasyarakatan tidak


boleh sekedar mengisi waktu, tetapi lebih diprioritaskan untuk bekal
hidup setelah nanti kembali ke masyarakat .

7;

Bimbingan dan didikan yang diberikan

kepada warga binaan

pemasyarakatan harus berdasarkan Pancasila.


8;

Warga binaan pemasyarakatan sebagai orang-orang yang tersesat adalah


manusia, dan mereka harus diperlakukan sebagai manusia.

9;

Warga binaan pemasyarakatan hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan


sebagai satu-satunya derita yang dialaminya.

10; Disediakan dan dipupuk sarana-sarana yang dapat mendukung fungsi

rehabilitatif, korektif dan edukatif dalam sistem pemasyarakatan.


Hakekat dari Sistem Pemasyarakatan pada dasarnya merupakan buah
pikiran untuk menerapkan konsep Treatment of Offender (perlakuan
terhadap pelanggar hukum) dan dapat dianggap menggantikan system
kepenjaraan. Menurut kajian penology bahwa system kepenjaraan tidak sesuai
dengan pengakuan terhadap hak dan kebebasan kodrat manusia dalam

42
kehidupan personality, sexuality, security selama yang bersangkutan
menjalani pidana penjara.
Karena itu, tujuan pemidanaan berorientasi pada rehabilitasi
( perbaikan, pemulihan, penyembuhan), dimana pemidanaan diarahkan lebih
pada ketata perlakuan yang bertujuan bukan saja agar narapidana bertobat dan
tidak melakukan tindak pidana lagi, melainkan juga melindungi masyarakat
dari tindak kejahatan.
Pemasyarakatan yang berarti memasyarakatkan kembali narapidana
sehingga menjadi warga yang baik dan berguna pada hakekatnya adalah
Rehabilitasi. Dalam proses Resosialisasi narapidana sering mendapat halangan
karena di dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) terjadi juga proses
Prisonisasi. Resosialisasa merupakan suatu proses interaksi antara narapidana,
petugas Lapas dan masyarakat. Proses interaksi termasuk merubah sistem nilai
dari narapidana sehingga akan dapat dengan baik dan effektif beradabtasi
dengan norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Resosialisasi
dilaksanakan melalui proses Rehabilitasi dan Reintegrasi terhadap Warga
Binaan Pemasyarakatan (WBP).
Pemasyarakatan sebagai proses bukan hanya tujuan pemidanaan,
maka fokus pemasyarakatan tidak hanya individu terpidana secara eksklusif
melainkan merupakan kesatuan hubungan antara terpidana dan masyarakat
sehingga sistem pemasyarakatan mengenal aspek pembinaan institusional dan
non institusional.
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan (lapas) ataupun
di Rumah Tahanan Negara (Rutan) merupakan suatu proses yang dijalankan
berdasarkan tahapan-tahapan yang didasarkan pada waktu dan hasil

43
pembinaan yang dijalani. Pentahapan ini berguna untuk proses perbaikan
narapidana, tahap-tahap pembinaan narapidana dibagi dalam tiga (3) tahap
yaitu :
1;

tahap awal,

2;

tahap lanjutan, dan

3;

tahap akhir.
Pembinaan tahap awal (Admisi) didahului dengan masa pengamatan,

penelitian dan pengenalan lingkungan yaitu sekurang-kurangnya 1/3


(sepertiga) dari masa pidana yang sebenarnya.
Pada tahap awal / pertama dilakukan penelitian tentang segala hal yang
terkait dengan diri narapidana termasuk apa sebabnya mereka melakukan
kejahatan.
Tahap kedua adalah pembinaan lanjutan diatas 1/3 sampai sekurang
kurangnya dari masa pidana yang sebenarnya dan menurut pendapat dewan
Pembina pemasyarakatan telah dicapai cukup kemajuan yaitu menunjukan
keinsyafan, disiplin dan patuh pada peraturan tata tertib yang berlaku di
lembaga pemasyarakatan. Maka kepada narapidana yang bersangkutan
diberikan kebebasan dengan memberlakukan tingkat pengawasan medium
security.
Dilanjutkan dengan pembinaan lanjutan diatas sampai sekurangkurangnya 2/3 masa pidana yang sebenarnya. Pada tahap ini telah dicapai
kemajuan baik secara fisik maupun mental dan dari segi ketrampilan maka
pembinaan diperluas dengan memperbolehkan narapidana yang bersangkutan
mengadakan asimilasi dengan masyarakat di luar lembaga pemasyarakatan.

44
Dan tahap pembinaan akhir adalah lanjutan bimbingan diatas 2/3 masa
pidananya atau sekurang-kurangnya Sembilan bulan sampai selesai menjalani
pidananya. Kepada narapidana tersebut bdapat diberikan lepas bersyarat yang
pengusulannya ditentukan oleh dewan Pembina pemasyarakatan.
Dalam pelaksanaan proses pemasyarakatan ada dua (2) segi yang tidak
dapat dipisahkan yaitu segi pengamanan dan segi pembinaan, keduanya harus
berjalan bersama-sama dan saling mempengaruhi artinya pengamanan dan
ketertiban yang baik di dalam Lembaga Pemasyarakatan akan mempermudah /
memperlancar

pembinaan

sebaliknya

pembinaan

yang

baik

akan

mempermudah mengatur pemeliharaan pengamanan dan ketertiban.


Pasal 2 Rancangan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan, menjelaskan bahwa tujuan pembinaan narapidana dengan
sistem pemasyarakatan adalah :
Pembinaan yang mempunyai kesanggupan dan kemampuan untuk
serta dalam pembangunan masyarakat yang adil dan makmur
berdasarkan Pancasila21
Sehingga pelaksanaan program pembinaan memerlukan harmonisasi
keterpaduan

antara narapidana, penegak hukum

dan

masyarakat yang

nantinya akan menerima kembali terpidana.


Untuk mewujudkan fungsi dan tugasnya seorang pembina atau
pendidik perlu diterapkan cara-cara sebagai berikut :
1; Melaksanakan kunjungan ketempat-tempat kegiatan pelatihan kerja dan
tempat lain di Lembaga Pemasyarakatan,
21 Bambang Poernomo, Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan, Lyberti,
Yogyakarta, 1986, hal. 187.

45
2; Melakukan komunikasi yang aktif,
3; Memberikan perhatian dan anugerah kepada mereka yang berprestasi dan
pantas menerimanya sesuai dengan peraturan yang ada.
Meningat betapa pentingnya hak-hak tersebut diperlukan peranan
hakim pengawas dan pengamat dalam pelaksanaan pembinaan narapidana
selama di Lembaga Pemasyarakatan agar tidak memunculkan berbagai macam
bentuk penyimpangan.
Beberapa bentuk penyimpangan yang timbul, antara lain :
1

Adanya narapidana yang berkeliaran di luar Lembaga Pemasyarakatan


tanpa ketentuan hukum yang jelas

Adanya tindakan penekanan, penganiayaan dan ancaman petugas


Lembaga Pemasyarakatan kepada narapidana.

Adanya pelarian dari narapidana sehingga putusan pemidanaan tidak dapat


dilaksanakan sebagaimana mestinya.

Adanya narapidana yang meninggal dunia di Lembaga Pemasyarakatan


sebagai kesalahan prosedur pembinaan petugas.

Adanya narapidana yang melakukan penindasan terhadap sesama


narapidana.
Kesemua penyimpang tersebut perlu dihilangkan dan

untuk

mewujudkan tujuan dari pembinaan pemasyarakatan perlu dilaksanakan


program-program pembinaan sebagai berikut :
a. Pembinaan dibidang Mental dan Agama,

46
b. Pembinaan dibidang Ketrampilan,
c. Pembinaan dibidang Umum dan Keolahragaan.
Dalam praktek pembinaan narapidana biasa dan narapidana residivis
adalah sama, hanya saja dalam hal pengawasan dan proses pembinaan lebih
lanjut di Lembaga Pemasyarakatan ada hal-hal khusus yang perlu
diperhatikan, yaitu :
1

Segera setelah seorang masuk, maka diadakan pendaftaran tentang data


dirinya, vonisnya serta barang-barang yang dibawa masuk.

Setelah prosedur (1) selesai, maka selanjutnya diadakan pemeriksaan


kesehatan. Kalau ternyata yang bersangkutan menderita penyakit kanker
menular, maka ia dikarantinakan.

Sesudah

prosedur

(2)

maka

dilangsungkan

prosedur

observasi

(councelling) untuk mengetahui keadaan unsur-unsur kehidupannya,


keluarganya, jiwanya, lingkungannya, pendidikannya, pekerjaannya dan
lain-lain.
4

Hasil observasi atau councelling ini menjadi dasar penyusunan program


pembinaan bagi yang bersangkutan, (diberi pendidikan apa, dipekerjakan
dimana, pengembangan bakat dan lain sebagainya).
Penghuni Lembaga Pemasyarakatan

selain narapidana ada juga

narapidana residivis serta tahanan titipan. Sehingga ada pembedaan jadwal


kegiatan pembinaan antara narapidana dan tahanan maupun residivis. Selain

47
itu, dilakukan pula program asimilasi ke dalam ataupun asimilasi keluar serta
remisi (pengurangan masa pidana setiap tahunnya)
Sistem pembinaan pemasyarakatan ini dimaksudkan sebagai upaya
pembaharuan dari sistem kepenjaraan kuno, keadaan yang demikian
dimaksutkan untuk lebih menggiatkan usaha merehabilitasi dan mereintegrasi
sosial narapidana. Bukan saja dalam teori dan rencana tetapi juga dengan
kenyataan, sehingga diharapkan

dapat tercapainya usaha penanggulangan

kejahatan, baik secara represif maupun preventif.


Selain program asimilasi dan remisi di Lembaga Pemasyarakatan
diterapkan pula dua

bentuk pembinaan yaitu intramural dan ekstramural.

Pembinaan intramural bersifat general artinya diikuti oleh semua narapidana


tanpa memandang masa pidana yang sudah dijalani dan berupa :
a; Pendidikan umum : pemberantasan tiga buta dan Kursus Persamaan
Sekolah Dasar (KPSD) tanpa berijazah dengan pengajar dari petugas
Lembaga Pemasyarakatan sendiri.
b; Pembinaan mental atau spiritual : pembinaan agama sesuai yang dianut
oleh masing-masing narapidana, Penataran P4, pembinaan budi pekerti,
perpustakaan dan penyuluhan hukum.
c; Pendidikan keterampilan : latihan/kursus keterampilan yang bekerja sama
dengan instansi luar (BLK atau Ditjen Industri Kecil), bekerja di bengkel
kerja.

48
d; Kegiatan sosial : pemberian kebebasan melakukan ibadah keagamaan,
menerima kunjungan keluarga/badan sosial keagamaan, menerima dan
atau mengirim surat.
Sedangkan pembinaan ekstramural bersifat individual artinya dilihat
masing-masing individu narapidana apakah dapat diberi program pembinaan
ini ataukah tidak, sehingga tidak semua narapidana mendapatkan pembinaan.
Dan untuk mengembalikan narapida kemasyarakat dilakukan melalui sistem
pembinaan narapidana yang dilaksanakan diluar Lembaga Pemasyarakatan
melalui tahap asimilasi. Dalam tahap ini pembinaan narapidana ditujukan
kearah tata kehidupan yang positif

bagi

pribadi narapidana melalui

pembinaan yang bersifat pendidikan latihan kerja dengan memberi


kesempatan untuk bergaul dengan masyarakat luar secara terbatas.22
Pembinaan narapidana dalam tahap asimilasi, berpedoman pada
peraturan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor : M.01-PK.04.10
Tahun 1989, tentang asimilasi, pembebasan bersyarat dan cuti menjelang
bebas. Dalam Peraturan Menteri Kehakiman Republik Indonesia tersebut
terdapat pengertian tentang asimilasi :
Asimilasi adalah proses pembinaan narapidana yang dilaksanakan dengan
membaurkan narapidana didalam kehidupan masyarakat dengan maksud
untuk memulihkan hubungan narapidana dengan masyarakat, serta memberi
kesempatan bagi narapidana untuk meningkatkan pendidikan dan latihan
kerja, guna mempersiapkan diri hidup mandiri ditengah masyarakat setelah
bebas menjalani pidananya.

22 Bambang Poernomo, Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan,


Yogyakarta, hal. 153.

49
Proses asimilasi narapidana harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut :
1; Narapidana telah memperlihatkan perkembangan budi pekerti dan moral
yang positif.
2; Narapidana telah memperlihatkan kesadaran dan penyesalan atas
kesalahan yang menyebabkan dijatuhi pidana.
3; Narapidana berhasil mengikuti program kegiatan pembinaan dengan tekun
dan bersemangat.
4; Masyarakat telah dapat menerima program kegiatan pembinan narapidana
yang bersangkutan.
5; Selama menjalankan masa pidana, narapidana tidak pernah mendapat
hukuman disiplin, setidak-tidaknya dalam waktu satu tahun terakhir.
6; Masa pidana yang telah dijalani harus setengah dari masa pidananya,
sedangkan bentuk kegiatan mandiri dan penempatan di Lembaga
Pemasyarakatan terbuka, narapidana telah menjalani dua pertiga dari masa
pidananya.23
Wewenang untuk memberikan izin asimilasi bagi narapidana adalah
wewenang Menteri Kehakiman Republik Indonesia atau pejabat yang ditunjuk
dengan melalui prosedur sebagai berikut :
1

Tim Pemasyarakatan (TPP) setelah mendengar pendapat anggota tim,


serta mempelajari laporan penelitian kemasyarakatan Pemasyarakatan

23 Peraturan Menteri Kehakiman Republik Indonesia, Tanggal 15 April 1989 Nomor : M.01-PK.

50
(BAPAS), mengusulkan kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan yang
dituangkan dalam formulir yang telah ditetapkan untuk itu.
2

Kepala

Lembaga

Pemasyarakatan

apabila

menyetujui

usul

Tim

Pemasyarakatan (TPP), meneruskan usul tersebut kepada Kepala Kantor


Wilayah Departemen Kehakiman.
3

Apabila Kakanwil menolak usul Kepala Lembaga Pemasyarakatan setelah


memertimbangkan hasil sidang Tim Pemasyarakatan (TPP) Kantor
Wilayah.

Apabila Kakanwil menolak usul Kepala Pemasyarakatan, maka ia dalam


jangka waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari sejak diterimanya
usul tersebut, dan memberitahu penolakan tersebut disertai alasannya
kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan.

Apabila Kakanwil menyetujui usul Kepala Lembaga Pemasyarakatan,


maka ia dalam jangka waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari
sejak diterimanya usul tersebut, meneruskan usul Kepala Lembaga
Pemasyarakatan kepada Direktur Jenderal Pemasyarakatan.

Direktur Jenderal Pemasyarakatan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh)


hari sejak diterimanya usul Kakanwil menetapkan persetujuan atau
penolakan usul tersebut.

Apabila Direktur Jenderal Pemasyarakatan menyetujui usul Kakanwil,


maka ia meneruskan usul tersebut kepada Menteri Kehakiman Republik
Indonesia untuk mendapatkan persetujuan.

51
8

Apabila Menteri Kehakiman menyetujui usul tersebut maka kemudian


dibuatkan keputusan mengenai pemberian asimilasi, sedangkan keputusan
pemberian asimilasi untuk bekerja di luar Lembaga Pemasyarakatan,
keputusan dibuat oleh Kepala Lembaga Pemasyarakatan.
Asimilasi diluar Lembaga pemasyarakatan dilaksanakan melalui

berbagai bentuk kegiatan, yaitu :


1.Bekerja diluar Lembaga Pemasyarakatan yang dapat berupa :
a. Bekerja pada pihak ketiga baik instansi pemerintah maupun swasta
1

Bekerja pada pihak ketiga baik instansi pemerintah maupun swasta

Bekerja mandiri misalnya menjadi tukang cukur, binatu, bengkel,


tukang memperbaiki radio, dan sebagainya.

Bekerja pada Lembaga Pemasyarakatan terbuka.

b. Mengikuti pendidikan, bimbingan dan latihan kerja diluar Lembaga


Pemasyarakatan.
c. Mengikuti kegiatan sosial dan kegiatan pembinaan lainnya seperti :
1

Kerja bakti bersama dengan masyarakat.

Berolah raga bersama dengan masyarakat.

Mengikuti

upacara

masyarakat.24

24 Ibid, hal. 11.

atau

peragaan

keterampilan

bersama

52
B; Kendala-Kendala pelaksanaan fungsi sistem pemasyarakatan dalam
merehabilitasi dan mereintegrasi sosial warga binaan di lembaga
Pemasyarakatan Kedungpane Semarang
Pemasyarakatan adalah proses pembinaan narapidana yang sering
disebut dengan The Repeutice Process. Karena itu, pembinaan narapidana
berusaha meyakinkan narapidana yang masih memiliki potensi produktif
dengan cara mendidik narapidana untuk menguasai keterampilan tertentu
sebagai bekal hidup mandiri dan berguna bagi pembangunan.25
Pelaksanaan

sistem

pembinaan

Narapidana

di

Lembaga

Pemasyarakatan seringkali dihadapkan pada persoalan persoalan

sebagai

kendala pelaksanaan fungsi sistem pemasyarakatan dalam merehabilitasi dan


mereintegrasi sosial narapidana di Lembaga Pemasyarakatan. Seperti halnya
yang

terjadi

di

Lembaga

Pemasyarakatan

Kedungpane

Semarang,

sebagaimana disampaikan Kalapas yaitu, sebagai berikut :26

1; Faktor-faktor penghambat :
-

Kurang tersedianya ruang-ruang di Lembaga Pemasyarakatan atau


lahan kegiatan untuk melakukan kegiatan pembinaan yang sesuai
dengan bakat dan minat narapidana.

25 Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia, Op.Cit., hal. 4.


26 Wawancara dengan Kalapas Kedungpane Semarang tanggal 20 November 2015.

53
-

Dana yang tersedia jumlahnya sangat sedikit tidak sebanding


dengan kegiatan untuk kepentingan pembinaan narapidana.

Paket yang disediakan oleh Departemen Tenaga Kerja hanya


terbatas pada kegiatan tertentu dan jumlah peserta napi yang dapat
mengikuti sangat terbatas dan paket inipun tidak selalu ada setiap
tahunnya, dan waktu yang tersedia sangat singkat / terbatas.

Pihak Lemabaga Pemasyarakatan kurang mampu memahirkan


latihan yang sudah diperoleh berdasarkan paket dari Departemen
Tenaga Kerja, selain itu, tidak tersedianya tenaga ahli yang sesuai
dengan ragam dan minat narapidana yang ikut pendidikan pelatihan
kerja.
Untuk mengatasi hal diatas perlu ditempuh suatu upaya

meningkatkan mutu diri narapidana dalam rangka meningkatkan


produktivitas dan kemampuan kreatifitas

guna menciptakan iklim

swadaya, peluang dan kebebasan narapidana untuk mandiri sebagai ciri


pokok meningkatkan kemandirian narapidana menghadapi tantangan
kehidupan.

2; Faktor-faktor Pendukung
Upaya yang ditempuh Lembaga Pemasyarakatan adalah dengan
mengadakan kerja sama antar instansi terkait yaitu Departemen Tenaga

54
Kerja dan Departemen Sosial dengan menerbitkan keputusan bersama
penyelenggaraan program pembinaan bagi narapidana.
3; Faktor-faktor yang terdapat di luar Lembaga Pemasyarakatan :
a

Pembinaan yang diberikan terhadap narapidana di Lembaga


Pemasyarakatan adalah

sama dengan pekerjaan yang ada di

masyarakat, dengan maksut setelah narapidana bebas / selesai


menjalani

pidananya

tidak

kesulitan

mencari

pekerjaan.

Kenyataannya masyarakat masih sulit untuk menerima bekas


narapidana/eks napi

karena trauma

masyarakat atas kejahatan

yang dilakukan, keadaan/kondisi semacam ini sangat berpengaruh


terhadap pendidikan keterampilan yang diterapkan Lembaga
Pemasyarakatan terhadap narapidana.
bInstansi pemerintah atau swasta hampir tidak mau menerima pekerja
eks narapidana yang salah satu persyaratannya harus berkelakuan
baik dan tidak pernah dihukum, padahal dalam surat edaran
Menteri Pertama Republik Indonesia tanggal 1 Februari 1962
Nomor : 3/M.P/R.I/1962 tentang syarat tidak pernah dihukum,
telah melarang semua instansi dalam lingkungan (kekuasaan
Menteri yang bersangkutan) termasuk Perusahaan Negara, untuk
tidak mencantumkan syarat tidak pernah dihukum bagi
penerimaan calon pegawai. Tetapi banyak instansi pemerintah atau

55
swasta maupun perusahaan negara yang tidak mentaati surat edaran
ini.
cMengikutsertakan narapidana di kursus-kursus keterampilan yang ada
di masyarakat, sebagai pengganti kesempatan latihan kerja yang
diadakan di Lembaga Pemasyarakatan, dengan penggunaan
fasilitas yang ada di masyarakat yang menjamin mutu pelajaran
lebih tinggi dan memudahkan pengakuan tingkatan keterampilan.
secara bertahap.
Dengan mengenali faktor-faktor pembinaan narapidana, baik yang
berada di lingkungan Lembaga Pemasyarakatan maupun di luar Lembaga
Pemasyarakatan, diharapkan pembinaan narapidana akan dilaksanakan dengan
lebih baik, mengingat fungsi pemasyarakatan sebagai lembaga pendidikan dan
lembaga pembangunn yang mendidik narapidana dengan mengikutsertakan
narapidana menjadi manusia yang produktif. Oleh karen itu, perlu
diperhatikan akan pentingnya pembinaan dan keterampilan yang tepat sebab
akan berpengaruh pada sikap narapidana di masyarakat nantinya.

BAB V
PENUTUP

A.Kesimpulan

56
1; Lembaga

Pemasyarakatan

(LP)

melakukan

fungsi

sistem

pemasyarakatan pada narapidana melalui program pembinaan secara


terpadu, dengan tujuan

agar

setelah selesai menjalani pidananya

narapidana dapat menjadi warga negara yang baik sebagai abdi negara
dan abdi masyarakat dalam mengisi pembangunan. Sedangkan petugas
Lembaga Pemasyarakatan melaksanakan kegiatan pembinaan narapidana
secara bertanggungjawab berdaya guna dan berhasil guna

dengan

professional dan integritas moral yang disesuaikan dengan asas-asas yang


terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Sistem
pembinaan yang diberikan secara terhadap kepada narapidana di
Lembaga Pemasyarakatan mencakup pendidikan mental, spiritual dan
keterampilan, dilanjutkn dengan

pemeriksaan

psikologi untuk

menyembuhkan seseorang yang sementara tersesat hidupnya untuk


dikembalikan menjadi manusia yang baik. Setelah narapidana mengikuti
pendidikan keterampilan diharapkan dapat merubah sikap narapidana
menjadi lebih baik dan punya kemampuan

untuk bekal mencari

pekerjaan di masyarakat.

2; Pelaksanaan

fungsi sistem pemasyarakatan dalam merehabilitasi dan

mereintegrasi sosial warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan


Kedungpane Semarang, terdapat kendala-kendala. Sehingga diperlukan
metode pembinaan yang baik, terarah dan terpadu didukung sistem

57
perundang-undangan yang baik dan konsisten agar tujuan

sistem

pemasyarakatan dapat berhasil dengan baik.


Kendala-kendala tersebut antara lain :
-

Kurang tersedianya ruang-ruang di Lembaga Pemasyarakatan atau


lahan kegiatan untuk melakukan kegiatan pembinaan yang sesuai
dengan bakat dan minat narapidana.

Dana yang tersedia jumlahnya sangat sedikit tidak sebanding dengan


kegiatan untuk kepentingan pembinaan narapidana.

Paket yang disediakan oleh Departemen Tenaga Kerja hanya terbatas


pada kegiatan tertentu dan jumlah peserta napi yang dapat mengikuti
sangat terbatas dan paket inipun tidak selalu ada setiap tahunnya, dan
waktu yang tersedia sangat singkat / terbatas.

Pihak Lemabaga Pemasyarakatan kurang mampu memahirkan


latihan yang sudah diperoleh berdasarkan paket dari Departemen
Tenaga Kerja, selain itu, tidak tersedianya tenaga ahli yang sesuai
dengan ragam dan minat narapidana yang ikut pendidikan pelatihan
kerja.

Untuk mengatasi hal tersebut ditempuh upaya-upaya sebagai berikut :

58
a;

Mengadakan kerja sama antar instansi terkait yaitu Departemen Tenaga


Kerja dan Departemen Sosial dengan menerbitkan keputusan bersama
penyelenggaraan program pembinaan bagi narapidana.

b; Melakukan pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan sesuai


dengan pekerjaan yang ada di masyarakat dengan maksut

setelah

narapidana bebas / selesai menjalani pidananya tidak kesulitan mencari


pekerjaan.
c;

Mengikutsertakan narapidana di kursus-kursus keterampilan yang ada di


masyarakat sebagai pengganti kesempatan latihan kerja yang diadakan di
Lembaga Pemasyarakatan dengan penggunaan fasilitas yang ada di
masyarakat yang

menjamin mutu pelajaran lebih tinggi dan

memudahkan pengakuan tingkatan keterampilan. secara bertahap.


B. Saran
1; Sistem pembinaan perlu ditingkatkan dengan melihat bakat, minat dan
kemampuan dari masing-masing narapidana dengan menentukan jenis
keterampilan tepat guna bagi narapidana.
2; Meningkatkan profesionalitas / SDM petugas Lembaga Pemasyarakatan
sebagai motivator atau pendorong, pembimbing dan pembina narapidana
dengan pengetahuan yang matang serta mengetahui arah pembinaan.
3; Perlu kerjasama dengan instansi luar baik swasta maupun pemerintah
yang terkait dengan pelatihan kerja narapidana dalam mengintegrasikan
narapidana dengan masyarakat di luar Lembaga Pemasyarakatan.

59
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Syani, 1987, Sosiologi Kriminologi, Remaja, Karya CV, Bandung.


Budi Santoso, 1978, Salami, Kebijakan Pembinaan Narapidana Dalam
Pembangunan Nasional Berdasarkan Sistem Pemasyarakatan, Majalah
Pemasyarakatan.
Dirdjosiswoto, Soedjono, Sejarah dan Azas-azas Penologi (Pemasyarakatan),
Armico, Bandung.
Djakarta, M, 1981, Buku I Pemasyarakatan.
Koencoroningrat, 1985, Metodologi Penelitian Masyarakat, Gramedia, Jakarta.
Muladi, 1984, Rangkuman Keseluruhan di Sertai Lembaga Pidana Bersyarat
Sebagai Faktor Yang Mempengaruhi Proses Hukum Yang
Berkemanusiaan, (INPA) Bandung.
Noto Soebroto R, Apik, 1965, Pidana dan Pemasyarakatan Berdasarkan Konsep
Revolusi Indonesia, Inspeksi Wilayah Pemasyarakatan IV Jawa Tengah,
Semarang.
Nasir, Moh., 1985, Metodologi Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta, Poernomo,
Bambang,
Pelaksanaan
Pidana
Penjara
Dengan
Sistem,
Pemasyarakatan.
Rahardjo, Satjipto, 1984, Hukum Dalam Perspektif Sosial, Alumni Bandung.
Sudarto, Diktat Hukum Pidana I, A, FH UNDIP.
Sahardjo, 1979, Dari Sanggar ke Sanggar, Suatu Komitmen, Pengayoman
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan.
Soemadi Praja, R. Ahmad S, dan Romly Atmosasmita, 1979, Sistem
Pemasyarakatan di Indonesia, Bina Cipta.
Sudarto, 1981, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung.

60

Soemitro, Ronny Hanitijo, 1963, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia,


Jakarta.
Wahyono, Padmo, 1974, Pohon Beringin Pengayom, Lima Puluh Tahun
Pendidikan Hukum di Indonesia, Karya Ilmiah Guru Besar Hukum di
Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Lembaga Pembinaan Hukum Nasional, Penerbit IV, LPHN, 1968.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995, tentang Pemasyarakatan.

61

Anda mungkin juga menyukai