Anda di halaman 1dari 16

TEORI POLITIK ZAMAN KLASIK, PERTENGAHAN, DAN MODERN

TEORI POLITIK ZAMAN KLASIK


A. Teori Politik Socrates
Kepribadian politik Socrates sebagai seorang teoritikus politik yang berupaya jujur, adil dan
rasional dalam hidup kemasyarakatan dan mengembangkan teori politik yang radikal. Namun
keinginan dan kecenderungan politik Socrates sebagai teoritikus politik membawa kematian
melalui hukuman mati oleh Mahkamah Rakyat (MR).
Metode Socrates yang berbentuk Maieutik dan mengembangkan metode induksi dan definisi.
Pada sisi lain Socrates memaparkan etika yang berintikan budi yakni orang tahu tentang
kehidupan dan pengetahuan yang luas. Dan pada akhirnya akan menumbuhkan rasa rasionalisme
sebagai wujud teori politik Socrates.
B. Teori Politik Plato
Filsafat politik yang diuraikan oleh Plato sebagai cerminan teori politik. Dalam teori ini yakni
filsafat politik tentang keberadaan manusia di dunia terdiri dari tiga bagian:
Pikiran atau akal
Semangat/keberanian
Nafsu/keinginan berkuasa.
Idealisme Plato yang secara operasional meliputi:
Pengertian budi yang akan menentukan tujuan dan nilai dari pada penghidupan etik.
Pengertian matematik.
Etika hidup manusia yaitu hidup senang dan bahagia dan bersifat intelektual dan rasional.
Teori tentang negara ideal.
Teori tentang asal mula negara, tujuan negara, fungsi negara dan bentuk negara.
Penggolongan dari kelas dalam negara.
Teori tentang keadilan dalam negara.
Teori kekuasaan Plato.
C. Teori Politik Aristoteles
Teori politik yang bernuansa filsafat politik meliputi:
Filsafat teoritis
Filsafat praktek
Filsafat produktif
Teori negara yang dinyatakan sebagai bentuk persekutuan hidup yang akrab di antara warga
negara untuk menciptakan persatuan yang kukuh. Untuk itu perlu dibentuk negara kota (Polis).
Asal mula negara. Negara dibentuk berawal dari persekutuan desa dan lama kelamaan
membentuk polis atau negara kota.
Tujuan negara harus disesuaikan dengan keinginan warga negara merupakan kebaikan yang
tertinggi.
Bentuk pemerintahan negara menurut Aristoteles diklasifikasi atas:
3 bentuk pemerintah yang baik
3 bentuk pemerintah yang buruk.

Aristoteles berpendapat sumbu kekuasaan dalam negara yaitu hukum.Oleh itu para penguasa
harus memiliki pengetahuan dan kebajikan yang sempurna. Sedangkan warga negara adalah
manusia yang masih mampu berperan.
Revolusi dapat dilihat dari faktor-faktor penyebab dan cara mencegahnya.
TEORI POLITIK ZAMAN PERTENGAHAN
A.Teori Politik Agustinus
Kegiatan belajar 1 membahas tentang :
Negara sekuler dan negara Tuhan.
Negara sekuler dianggap sebagai penyelewengan oleh para penguasa yang arif dan bijaksana
sehingga kekuasaan bagaikan keangkuhan dengan berbagai kejahatan. Sedangkan negara Tuhan
menghargai segala sesuatu yang baik dan mengutamakan nilai kebenaran.
Perkembangan negara sekuler dalam bentuk negara modern dimana penguasa berupaya untuk
menggunakan cara paksa menurut kehendak pribadi. Sedangkan perkembangan negara Tuhan
didasarkan atas kasih Tuhan.
Masalah politik negara sekuler yang membawa ketidakstabilan dari konflik kepentingan yang
dominan, rakus kekuasaan, ketidakadilan dalam pengadilan, peperangan.
Keadilan politik dalam negara Tuhan karena ditopang oleh adanya nilai kepercayaan dan
keyakinan tentang:

Tuhan menjadi raja sebagai dasar negara

Keadilan diletakkan sebagai dasar negara

Kehidupan warga negara penuh kepatuhan

Penguasa bertindak selaku pelayan dan pengabdi masyarakat.


B. Teori Politik Thomas Aquinas
Kegiatan Belajar 2 membahas tentang teori politik Thomas Aquinas yang meliputi:
Tentang pembagian negara baik dan negara buruk yang menerapkan sumber teori politik.
Tujuan negara yang diidentik dengan tujuan manusia dalam hidup yakni mencapai kemuliaan
abadi dalam hidup. Untuk mencapai kemuliaan abadi maka diperlukan pemerintah yang
berbentuk Monarkhi.
Dalam negara diperlukan adanya hukum abadi yang berakar dari jiwa Tuhan yang mengatur
alam semesta dan hukum alam manusia untuk merasionalkan manusia mentaati hukum. Hukum
positif yang merupakan pelaksanaan hukum alam dan untuk menyempurnakan pikiran manusia
maka diperlukan Hukum Tuhan.
C. Teori Politik Marthen Luther
Kegiatan Belajar 3 membahas tentang teori politik Marthen Luther dan kawan yang meliputi :
Teori politik reformasi yakni kebebasan politik dengan cara membatasi kekuasaan raja dan
kebebasan diserahkan pada rakyat.
Kekuasaan raja-raja diperjelas dan tidak diperlukan adanya campur tangan gereja atas unsur
negara. Menempatkan kekuasaan negara lebih tinggi dari kekuasaan gereja.
Kekuasaan Tuhan atas manusia bersifat langsung dan tidak melalui perantara. Pada sisi lain
dikatakan gereja yang sejati yaitu gereja yang didirikan manusia

D. Teori Politik Ibnu Khaldun


Teori tentang negara yang dikategorikan atas pengertian pemerintah manusia dan keterbatasan
manusia dalam negara yang disebut negara modern.
Setiap warga negara perlu memiliki Askabiyah untuk menumbuhkan kesatuan dalam negara.
Untuk itu dikembangkan teori politik askabiyah dan rasa keagamaan oleh pemimpin negara.
Perkembangan negara harus didasarkan pada solidaritas dengan keyakinan agama untuk dapat
menstabilkan negara. Hal ini perlu didukung oleh penguasa yang memiliki perangkat dominasi
pemerintah dan kekuasaan untuk mengatasi manusia-manusia yang memiliki sifatsifat
kebinatangan.
Untuk mempertahankan negara maka diperlukan teori pedang dan teori pena dalam menjalankan
kekuasaan negara.
E. Teori Politik Machiavelli
Bentuk negara yang meliputi negara republik dan monarkhi. Selanjutnya Monarkhi dibagi atas
dua yaitu Monarkhi Warisan dan Monarkhi Baru.
Tujuan negara yaitu memenuhi berbagai kebutuhan warga negara selama negara tidak dirugikan
karena negara juga memiliki berbagai kepentingan dan kepentingan utama.
Kekuasaan negara merupakan alat yang harus digunakan untuk mengabdi pada kepentingan
negara. Oleh karena itu sumber kekuasaan adalah negara.
Dalam hal penyelenggaraan kekuasaan negara membutuhkan kekuasaan, wujud kekuasaan fisik,
kualitas penguasa untuk mempertahankan kekuasaan negara, maka diperlukan militer.
Penguasa yang ideal yaitu penguasa militer, hal ini digambarkan dalam teori politik dan etika
Machiavelli sebagai dasar nasionalisme.
F. Teori Politik Liberalis
Pengertian dan faham liberal menunjuk pada kebebasan warga negara untuk memenuhi
kebutuhan hidup bidang politik ekonomi, sosial dan budaya.
Liberalisme sebagai faham kenegaraan menekankan pada kebebasan yang didasarkan pada faktor
alamiah, moral, agama, akal kebaikan, kemajuan, sekularisme, toleransi.
Pada sisi lain liberalisme sebagai sistem politik didasarkan atas negara dan kemerdekaan negara.
Unsur-unsur demokrasi liberal juga merupakan hal yang mendasar untuk difahami dalam
berbagai sistem politik. Oleh karena itu perwujudan demokrasi liberal dalam negara harus
mengutamakan kebebasan warga negara. Hal ini dapat terealisir dan tergantung pada model
liberalisme dalam struktur kekuasaan.
TEORI POLITIK MODERN
A. Teori Politik Thomas Hobbes
Kegiatan belajar I membahas tentang teori politik Thomas Hobbes yang mencakup:
Pengaruh situasi politik pada masa sistem politik absolut di bawah kekuasaan Charles I dan
Charles II di Inggris, kemudian Hobbes menulis Buku Decove 1642 dan Leviathan 1951.
Runtuhnya kekuasaan Absolute sebagai akibat dari petentangan antara cendikiawan dengan rajaraja dalam hal pembatasan kekuasaan raja yang menimbul teori politik liberal. 3. Thomas
Hobbes mengemukakan teori politik State Of Nature yakni manusia yang satu menjadi lawan

terhadap manusia lain. Keadaan ini disebut In Abstracto yang memiliki sifat; a) bersaing, b)
membela diri, c) ingin dihormati.
Untuk menghindari kematian, Hobbes mengemukakan teori perjanjian sosial untuk merubah
bentuk kehidupan manusia dari keadaan alamiah ke dalam bentuk negara atau Commen Wealth.
Hobbes sebagai seorang filosof ditandai dengan adanya keinginan untuk memperoleh
kenikmatan hidup dalam hal materi. Oleh sebab itu dia disebut filosof yang materialistis.
Pada sisi teori politik dan teori kekuasaan ini digambarkan oleh Hobbes dalam buku Leviathan.
Namun dari segi praktis teori politik Hobbes dominan berlaku pada saat sekarang.
B. Teori Politik John Locke
Kegiatan belajar 2 membahas tentang teori politik John Locke yang mencakup:
Kegiatan semasa hidup John Locke yang mampu berkarya dalam bidang teori politik ditulis
dalam buku TWO TREATISES ON CIVIL
GOVERNMENT.
State of Nature juga merupakan karya teori politik yang beda dengan Hobbes. John Locke
menekankan bahwa dalam state of nature terjadi:
Kebingungan
Ketidak pastian
Ketidak aturan
Tidak ada kematian.
Pada sisi lain Locke mengemukakan hak-hak alamiah sebagai berikut:
hak akan hidup
hak atas kebebasan dan kemerdekaan
hak memiliki sesuatu.
Konsep perjanjian masyarakat merupakan cara untuk membentuk negara. Oleh karena itu negara
harus mendistribusi kekuasaan kepada lembaga:
legislatif
eksekutif dan yudikatif
federatif
Dalam hal bentuk negara Locke membagi atas:
Monarkhi
Aristokrasi
Demokrasi
Dan tujuan negara yang dikehendaki Locke yaitu untuk kebaikan ummat manusia melalui
kegiatan kewajiban negara memelihara dan menjamin hak-hak azasi manusia. Dan pada akhirnya
Hobbes dan Locke memiliki perbedaan dalam hal teori perjanjian sosial.
C. Teori Politik Montesquine
Kegiatan belajar 3 membahas tentang teori politik Montesquieu yang mencakup:
Montesquieu terkenal dengan dunia ilmu pengetahan tentang negara, hukum dan kemudian dia
mengemukakan state of nature yang diartikan dalam keadaan alamiah kualitas hidup manusia
rendah.
Teori politik Trias Politika yang dikemukakan oleh Montesquieu merupakan landasan
pembangunan teori demokrasi dalam sistem politik yang menekankan adanya CHEK AND
BALANCE terhadap mekanisme pembangian kekuasaan.

Demokrasi yang dibentuk yaitu demokrasi liberal yang masih mengalami kekurangan. Untuk
memantapkan dan menyempurnakan teori demokrasi liberal maka dibutuhkan berbagai unsurunsur demokrasi liberal untuk mengukuhkan Montesquieu sebagai pencetus demokrasi liberal.
Semoga bermanfaat

PEMIKIRAN politik Barat seringkali dipahami dan dipelajari secara parsial atau setengahsetengah. Baik dalam diskursus politik di tanah air maupun di kelas-kelas ilmu politik di negara
industrialis maju, pemikiran politik Barat seringkali direduksi menjadi pengetahuan akan jargonjargon belaka. Akibatnya, pemahaman kita menjadi jargonistik dan ahistoris, memakai istilahistilah seperti hak, negara, kedaulatan, kebebasan dan kapitalisme tanpa memahami
konteks historis dari istilah-istilah tersebut.
Di tengah-tengah kondisi tersebut, Ellen Meiksins Wood berusaha memberikan analisanya
tentang Pemikiran Politik Barat melalui perspektif sejarah sosial dari Abad Renaisans hingga
Abad Pencerahan. Buku ini, yang merupakan lanjutan dari buku Wood sebelumnya, yaitu
Citizens to Lords, membahas berbagai pemikiran filsuf politik Barat, dari Machiavelli hingga
Spinoza, dari Montesquieu hingga Locke dengan meletakkannya pada konteks sosio-historis
pembentukan negara, perkembangan awal kapitalisme dan kelas borjuis, perebutan klaim
kedaulatan, hingga benturan dan dialektika antara faktor-faktor ideasional dan material.
Kali ini, Wood berusaha membongkar mitos keterkaitan antara modernitas, kapitalisme, dan
demokrasi. Menurut Wood, kapitalisme perlu dipahami sebagai bentuk perkembangan unik dari
fase perkembangan modernitas Barat. Wood juga berpendapat bahwa secara historis, ada
ketegangan yang tak terelakkan antara demokrasi dan kapitalisme sebuah ketegangan yang
juga belum terselesaikan hingga sekarang.
Transisi Historis Peradaban Barat: Menuju Modernitas atau Kapitalisme
Wood membagi bukunya dalam delapan bab yang disusun kurang lebih secara kronologis. Bab
pertama membahas tentang debat-debat dalam transisi feodalisme ke kapitalisme, metode
penafsiran sejarah pemikiran politik Barat, dan pentingnya sejarah sosial dalam membahas
filsafat politik Barat. Bab kedua hingga ketujuh masing-masing membahas tentang sejarah
pemikiran politik mulai dari masa Negara Kota Renaisans, Reformasi Protestan, Kekaisaran
Spanyol, Republik Komersial Belanda, Absolutisme Perancis hingga Revolusi di Inggris. Di bab
terakhir, Wood kembali menegaskan argumennya tentang ketegangan antara modernitas,
kapitalisme, dan demokrasi serta implikasinya terhadap konteks sekarang ini.
Di bab pertama, Wood mengkritik dua tendensi dalam penulisan sejarah, yaitu pendekatan
posmodernis dan revisionis. Dalam berbagai debat tentang penulisan sejarah, Wood menyadari
bahwa ada sejumlah argumen yang menolak adanya sejarah dan karenanya mempertanyakan apa
yang disebut sebagai modernitas. Wood mengritik tendensi tersebut karena menurutnya
kesadaran historis itu penting untuk memahami kondisi masa kini yang bisa jadi merupakan hasil
dari suatu proses sejarah yang panjang di masa lampau. Kesadaran akan proses dan konteks
sejarah inilah yang digunakan Wood untuk membedah sejumlah pemikiran filsuf Barat dan
meletakkannya pada konteks sosial di mana pemikiran-pemikiran tersebut lahir.
Namun, Wood juga mengingatkan kita akan satu hal: pentingnya memperhatikan keragaman
kondisi di tiap-tiap tempat dan perkembangan zaman. Sejumlah hal yang perlu kita perhatikan
dalam memahami sejarah sosial pemikiran politik Barat antara lain adalah kondisi tatanan sosial
di masing-masing tempat, pola hubungan antara institusi kerajaan, kaum bangsawan, tuan tanah,
dan rakyat (petani, kaum perempuan, pekerja, dan lain sebagainya), perebutan klaim atas

kedaulatan, definisi akan konsep-konsep kunci dalam diskursus politik pada masa itu seperti
kebebasan, rakyat, kedaulatan, dan lain sebagainya
Bab kedua dibuka dengan pembahasan akan latar belakang sejarah Negara-Kota (City-State) di
Italia. Di konteks Italia, sejumlah Negara-Kota Italia seperti Venesia dan Firenze menjadi pusat
perdagangan dan juga kota penghubung jaringan perdagangan di Eropa pada masa itu. Namun,
perlu diingat bahwa embrio kapitalisme modern sudah berkembang di Italia. Faktanya, sebagian
besar pendapatan para penguasa seperti kaum bangsawan justru didapat dari kegiatan-kegiatan
ektra-ekonomi (extra-economic factors) seperti pajak dari para petani penggarap dan rakyat
jelata serta fasilitas dan gaji dari jabatan negara. Kemudian, kota-kota seperti Venesia dan
Firenze, karena kemajuan ekonominya, juga menghadapi tantangan militer dari negara-negara
lain. Konteks inilah yang perlu dipahami dalam menganalisa pemikiran Machiavelli, terutama
dalam dua karya utamanya yaitu The Prince dan The Discourses.
Pertanyaan politik terpenting bagi Machiavelli kira-kira adalah sebagai berikut: bagaimana
seorang penguasa bisa mewujudkan ketertiban (order) sosial dan politik sekaligus
mempertahankan kedaulatannya dari serangan musuh dari luar. Terlepas dari berbagai perdebatan
dan kontroversi di seputar penggambaran Machiavelli baik sebagai perintis nilai-nilai
republikan modern sekaligus seorang Machiavellian yang menghalalkan segala cara, Wood
mencoba menelaah dua wajah dari pemikiran Machiavelli. Menurut Wood, dalam konteks politik
domestik, sesungguhnya konsepsi politik Republikan ala Machiavelli lebih condong kepada
tatanan politik yang memberikan ruang lebih besar kepada para warga negara dan membatasi
kekuasaan kaum bangsawan atau aristokrasi. Dengan kata lain, pemikiran kenegaraan
Machiavelli cenderung lebih demokratis dibandingkan oligarkis. Namun, dalam konteks
kebijakan luar negeri, Machiavelli berpendapat bahwa Negara-Kota Italia perlu memiliki
pertahanan dan militer yang kuat untuk menghadapi musuh-musuhnya sebuah pemikiran yang
juga menjadi dasar pemikiran Realisme modern dalam disiplin Hubungan Internasional.
Di Bab ketiga, Wood memfokuskan pembahasannya kepada pemikiran dua tokoh agama
terkemuka di Eropa, Martin Luther dan John Calvin, dalam konteks Reformasi Protestan dan
tantangan terhadap kekuasaan Gereja Katolik pada waktu itu. Dalam pemaparan kali ini, kita
akan fokus kepada pemikiran Luther.
Martin Luther, sang reformer Protestan itu, berusaha menantang legitimasi Gereja sebagai
perwakilan Tuhan di muka bumi. Menurut Luther, semua manusia, semua orang beriman,
memiliki kesamaan derajat di depan Tuhan. Luther mengakui bahwa manusia memang
cenderung akan tergelincir kepada perbuatan dosa, namun karena kesamaan derajat manusia dan
kasih sayang serta pengampunan Tuhan yang universal, maka umat manusia akan diselematkan
oleh Tuhan. Singkat kata, karena semua manusia sama derajatnya di depan Tuhan dan berhak
mendapatkan ampunan-Nya, maka peranan Gereja sebagai perantara kehilangan legitimasinya.
Inilah konsep teologi Luther yang terkenal dan kontroversial itu.
Namun, ini baru sisi lain. Dalam kaitannya dengan hubungan antara Gereja, mereka yang
beriman, dan kekuasaan negara yang sekuler, Luther justru berpendapat bahwa mereka yang
beriman harus tunduk terhadap kekuasaan negara yang sekuler, betapapun kejam dan sewenangwenangnya kekuasaan negara, karena hanya dengan negaralah sebuah ketertiban sosial dapat

terwujud. Luther memang menyebutkan bahwa orang-orang Kristen memiliki hak untuk
melanggar aturan-aturan negara tatkala kekuasaan negara itu menyimpang terlalu jauh dari
ajaran Kristen, tetapi itu tidak melegitimasi hak untuk memberontak terhadap negara tersebut
Luther justru menganjurkan kaum Kristiani untuk menerima hukuman dari negara apabila
mereka menolak mematuhi aturan-aturan yang dianggap bertentangan dengan prinsip ajaran
Kristen. Tetapi, dalam perkembangan selanjutnya, doktrin kesetaraan manusia di hadapan Tuhan
dan ketaatan manusia pada Tuhan ala Luther justru menjadi justifikasi bagi berbagai
pemberontakan petani di Eropa suatu hal yang Luther sendiri tidak menghendakinya.
Dalam bab ini, Wood juga mencoba membongkar persepsi populer akan tesis Weberian tentang
kapitalisme: bahwa ide-ide Protestanisme mempromosikan perkembangan kapitalisme di Eropa.
Meskipun Wood berbeda pendapat dengan Max Weber mengenai perkembangan awal
kapitalisme di Eropa, menurut Wood, Weber sendiri tidak pernah mengatakan bahwa ide-ide
Protestanisme per se lah yang mendorong perkembangan kapitalisme. Menurut Wood, Weber
mengakui bahwa embrio berupa perkembangan politik dan ekonomi yang kondusif terhadap
perkembangan kapitalisme di Eropa sudah ada sebelum munculnya Protestanisme. Ide-ide
Protestan hanya menjadi katalisator bagi perkembangan dan penyebaran kapitalisme.
Bab keempat membahas tentang Kekaisaran Spanyol dan kolonialismenya. Para pemikir dan
filsuf politik di Spanyol pada waktu itu berusaha menjawab berbagai permasalahan di seputar
praktek kolonialisme Spanyol di Amerika Latin dan berbagai macam dampaknya. Di satu sisi,
perebutan klaim atas kekuasaan politik dan keagamaan antara Kekaisaran Spanyol, kaum
bangsawan dan pihak Gereja mendorong Spanyol untuk memperluas Kekaisarannya.
Ketergantungan ekonomi Spanyol dengan berbagai sumber daya di tanah jajahannya seperti
emas dan perak juga semakin meneguhkan pentingnya kolonialisme bagi ekonomi Spanyol.
Namun, di sisi lain, Kekaisaran Spanyol juga memiliki kesulitan untuk menjustifikasi praktek
kolonialismenya terhadap bangsa Indian di Amerika Latin, yang menurut banyak pemikir politik
di Spanyol, juga memiliki peradaban yang sangat maju.
Dalam konteks inilah, berbagai pemikir dalam suatu aliran pemikiran yang disebut sebagai
Mazhab Salamanca (Salamanca School) berusaha menanggapi berbagai dilema dalam praktekpraktek kolonialisme dan imperialisme Kekaisaran Spanyol. Mereka yang mendukung
penjajahan Spanyol atas Amerika Latin mencetuskan doktrin Perang Adil (Just War) sebagai
dalilnya. Perang Adil berangkat dari asumsi bahwa Kekaisaran Spanyol memiliki misi untuk
memajukan peradaban manusia dan menyebarkan agama Kristen. Bangsa Indian di Amerika
Latin, betapapun majunya peradaban mereka, masih memeluk praktek-praktek Pagan dan
karenanya Kekaisaran Spanyol memiliki kewajiban untuk menyebarkan agama Kristen dan
membuat bangsa Indian menjadi beradab melalui praktek-praktek seperti pemindahan agama
secara paksa, perampasan tanah-tanah adat bangsa Indian, dan eksploitasi tenaga kerja bangsa
Indian di lahan-lahan pertanian dan tanah-tanah kaum penjajah Spanyol di Amerika Latin.
Sebaliknya, mereka yang menentang praktek kolonialisme mengatakan bahwa sekalipun bangsa
Indian bukanlah orang Kristen dan karenanya kaum Pagan atau Kafir (Heretic), peradaban
Indian adalah peradaban yang maju dan karenanya Kekaisaran Spanyol tidak memiliki hak untuk
menjajah mereka.

Bab kelima membahas tentang Republik Belanda, kebijakan perdagangannya, dan pengaruh dua
hal tersebut pada tatanan dan pemikiran politik pada masa itu. Pertumbuhan kota-kota di
Republik Belanda menjadikannya sebagai pusat perdagangan di Eropa pada masa itu. Bahkan,
pertumbuhannya jauh lebih pesat dibandingkan dengan berbagai Negara-Kota di Italia. Tetapi,
aktivitas komersial di Belanda berkembang pesat bukan karena aktivitas ekonomi kapitalis yang
merespon impuls pasar, namun karena akvitas ekstra-ekonomi sebagai perantara perdagangan
(commercial mediators), alih-alih produsen (producers). Selain perdagangan, berbagai aktivitas
ekstra-ekonomi yang lain adalah ekspansi militer, pajak yang tinggi yang diperoleh dari rakyat,
dan fasilitas yang tersedia untuk jabatan-jabatan negara. Aktivitas-aktivitas komersial dan
ekstra-ekonomi di Belanda dan juga Italia pada masa itu bukanlah akvititas ekonomi yang
bersifat (proto-)kapitalis, karena aktivitas-aktivitas ini pada dasarnya kurang merespon impuls
pasar dan tidak didorong oleh prinsip produksi yang kompetitif.

Perubahan sosial ini, yang mengakibatkan bangkitnya sejumlah elit lokal, kemudian
memunculkan persoalan baru: bagaimana mendamaikan berbagai klaim atas kedaulatan negara
dan hak-hak rakyat. Dalam konteks inilah, ide-ide resistensi dan tantangan terhadap kedaulatan
dan kekuasaan institusi monarki atau kerajaan muncul. Tetapi, ide-ide resistensi ini bukan berarti
melegitimasi usaha resistensi dari warga negara terhadap kekuasaan negara atau kerajaan. Bagi
banyak filsuf politik pada masa itu, warga negara atau rakyat secara individual tidak memiliki
legitimasi untuk mewakili dirinya sendiri dalam politik ia harus direpresentasikan oleh institusi
kolektif yang mewakili kekuatan politik lokal (lesser magistrates) seperti kaum bangsawan,
badan-badan korporasi, maupun pejabat lokal.
Implikasi perubahan sosial ini dalam tataran filsafat politik sangatlah menarik. Ada pemikir
seperti Hugo Grotius misalnya, bapak hukum internasional, yang mencetuskan konsep tentang
hak-hak korporasi internasional, dalam konteks ini yaitu East India Company atau VOC, sebagai
individu di dalam hukum internasional. Grotius juga memberikan dalil-dalil yang melegitimasi
kolonisasi sejumlah tanah dan sumber daya di negara-negara lain yang nantinya menjadi tanah
jajahan Belanda. Ada juga pemikir seperti Spinoza, yang mendobrak transendensi dalam
konsepsi kekuasaan politik. Ketika banyak filsuf politik berpendapat bahwa kekuasaan politik
bersumber dari luar, dari institusi kerajaan, Tuhan, atau suatu tatanan hukum alam misalnya,
dan karenanya meniscayakan kekuasaan yang absolutis, Spinoza berpendapat bahwa sumber
kekuasaan berasal dari rakyat, warga negara, sebagai kumpulan individu yang menempati negara
itu sendiri dengan kata lain, sumber kekuasaan yang bersifat imanen, dari rakyat, alih-alih
transenden. Terlepas dari kecenderungan Spinoza untuk membatasi implikasi transformatif dari
konsepsinya tentang sumber kekuasaan yang imanen, ide imanensi kekuasaan ala Spinoza
merupaka gebrakan yang radikal dan demokratis pada zamannya dan menjadi sumber inspirasi
bagi sejumlah pemikir Marxis kontemporer seperti Etienne Balibar, Michael Hardt, dan Antonio
Negri.
Bab keenam dan ketujuh membahas tentang sejumlah pemikir politik terkemuka dalam konteks
Absolutisme Negara di Perancis dan Revolusi di Inggris. Kontras antara kondisi sosial-politik di
Perancis dan Inggris dapat membantu kita memetakan perbedaan corak pemikiran politik di
antara kedua negara tersebut. Di Perancis, terdapat ketegangan politik antara institusi negara atau

monarki yang ingin memperbesar kekuasaan absolutisnya versus kaum bangsawan dan tuan
tanah yang ingin melawan kecenderungan tersebut. Di Inggris, sebaliknya, terdapat institusi
negara yang sudah kuat sebagai hasil kompromi dan kerja sama antara pihak monarki dan
aristokrasi. Kemudian, di Perancis, kaum petani atau peasantry cenderung bebas, dan meskipun
para tuan tanah serta negara tetap berusaha untuk mengeksploitasi kaum petani melalui pajak dan
iuran, tuan tanah dan bangsawan di Perancis lebih tertarik untuk memperkaya diri mereka
melalui jalur ekstra-ekonomi yang disediakan oleh negara. Sebaliknya, di Inggris, sebagian
besar tanah dikuasai oleh para tuan tanah dan para bangsawan yang merespon impuls pasar,
impuls komersial di masa proto-kapitalisme. Persaingan antara para tuan tanah di Inggris dalam
memperkaya diri mereka membuat para tuan tanah berusaha menerapkan strategi pertanian yang
meningkatkan produktivitas dan efisiensi produk pertanian suatu strategi yang kemudian
melahirkan kapitalisme agraria di Inggris.
Sejumlah pemikir dibahas di dua bab ini, mulai dari Montesquieu, Jean Bodin, Rousseau,
Hobbes, dan Locke. Namun kita hanya akan membahas Rousseau dan Locke kali ini, sekaligus
membongkar persepsi populer atas karya-karya mereka. Rousseau yang seringkali dituduh
memiliki kecenderungan totaliter dalam karya-karyanya, justru merupakan pemikir yang paling
berani menggugat kecenderungan absolutisme negara di Perancis. Keunikan pemikiran Rousseau
adalah analisanya yang jeli akan negara absolutis di Perancis sebagai bagian dari dan bukan
solusi atas masalah eksploitasi terhadap rakyat terutama kaum petani penggarap. Meskipun
solusi yang diajukan oleh Rousseau jelas adalah sebuah solusi utopis komunitas petani yang
bebas dari eksploitasi dan bebas menentukan proses produksi di antara mereka sendiri
Rousseau merupakan salah satu pemikir pertama yang menyadari persoalan eksploitasi dalam
politik dan solusi atasnya. Sebaliknya, Locke, yang seringkali dianggap sebagai pencetus
egalitarianisme dan konsep pemerintahan yang terbatas (limited government) justru memiliki
kecenderungan anti-demokratik. Ide kepemilikan pribadi sebagai hak alamiah (private property
as natural rights) justru bersifat ahistoris, karena kepemilikan pribadi sesunguhnya merupakan
produk sejarah dan kreasi institusional manusia, dan cenderung memarginalkan sejumlah
kelompok masyarakat, seperti perempuan, pekerja, para petani penggarap dalam proses
demokrasi yang lebih luas dan popular, atas nama pemerintahan yang terbatas.
Bab kedelapan atau yang terakhir merupakan ulasan singkat dan afirmasi Wood atas tesis
utamanya: bahwa sejarah modernitas melahirkan kapitalisme, sebuah momen sejarah yang
memiliki ketegangan yang inheren dengan demokrasi dan menghambat proses demokrasi yang
lebih luas dan radikal.
Ulasan Kritis
Karya Wood kali ini, seperti karyanya yang sebelumnya, patut mendapatkan apresiasi.
Pertama, pendekatan historiografi Wood atas pemikiran politik Barat perlu diacungi jempol.
Kemampuannya untuk memberikan narasi yang lengkap dan utuh, tanpa terjebak dalam
penulisan sejarah yang teleologis dalam artinya yang simplistis dan normatif adalah
keunggulan pendekatannya. Dalam hal ini, Wood menunjukkan keahliannya sebagai seorang ahli
politik yang membahas sejarah sosial dari ide-ide politik.

Kedua, Wood juga berhasil menunjukkan bahwa baik faktor ideasional maupun faktor material
sama-sama penting dan keduanya sama-sama membentuk proses sejarah. Dari perspektif
historiografi Marxis, Wood tentu ingin menunjukkan bagaimana faktor material terutama
kontestasi kelas membentuk faktor-faktor ideasional yang mempengaruhi corak pemikiran
berbagai filsuf politik di Eropa pada masa awal era modern. Namun, Wood juga tidak abai
dengan kekuatan ide dalam menggerakkan aktor-aktor sejarah seperti para tuan tanah dan petani
serta implikasi ide-ide tersebut dalam perkembangan sejarah.
Dalam hal ini, Wood bisa dikatakan berhasil menyajikan suatu pendekatan sejarah sosial
pemikiran politik Barat, suatu historiografi Marxis atas pemikiran politik Barat, tanpa terjebak
dalam historisisme, idealisme, voluntarisme naf, maupun partikularisme yang ahistoris.
Ketiga, Wood juga berhasil membongkar mitos akan dua hal: pertama, persepsi populer atas
karya-karya pemikiran politik Barat dan kedua, persepsi populer atas konsep-konsep politik
modern. Dua persepsi ini cenderung tergelincir dalam pandangan-pandangan yang ahistoris.
Pemikiran John Locke dan Montesequieu misalnya, dalam banyak hal justru tidak begitu
demokratis karena keberpihakannya atas institusi-institusi serta kolektif-kolektif dan
marginalisasinya atas hak-hak invidivual warga negara serta abainya dua pemikir tersebut atas
eksploitasi politik, ekonomi, dan sosial. Konsep-konsep politik modern seperti hak,
kebebasan, rakyat juga perlu diletakkan dalam konteks historis apakah kita berbicara
kebebasan bagi para pemilik modal dan tanah saja? Apakah kita akan menegasikan hak-hak
politik yang bersifat ekstra-parlementer? Kesadaran historis akan konsep-konsep ini perlu
dikembalikan dalam diskursus politik kita satu hal yang berhasil dilakukan oleh Wood.
Namun demikian, apresiasi ini tidak menghalangi kita untuk memberikan sejumlah kritik atas
karyanya.
Pertama, dalam hal metode, meskipun inovatif, metode sejarah sosial atas pemikiran politik
Barat dapat membingungkan pembaca dan pengkaji ilmu sosial serta humaniora karena fokusnya
yang terbelah: Apakah fokus karya ini ke konteks transisi feodalisme ke kapitalisme? Atau
bagaimana ide-ide para filsuf politik berkembang dalam konteks tersebut? Di beberapa bagian,
sepertinya penjelasan tentang bagaimana suatu pemikiran politik lahir dalam suatu konteks
sosial-politik agak hilang atau kurang jelas. Ini tentu akan menyulitkan pembaca, tidak hanya
bagi pembaca pemula, namun juga bagi para pengkaji yang sudah berkecimpung dengan isu-isu
seperti ini setelah sekian lama.
Kedua, metode ini sesungguhnya dapat dikembangkan lebih jauh lagi, menjadi semacam kajian
sejarah komparasi atau sejarah konektif atas sejarah sosial pemikiran politik Barat di konteks
Eropa. Bahkan, proyek intelektual ini dapat diteruskan dalam konteks interaksi antara
masyarakat Barat dan non-Barat. Metode historiografi Wood yang memberikan porsi yang adil
baik terhadap faktor-faktor ideasional maupun material sesungguhnya memiliki potensi untuk
melakukan studi yang tersebut di atas.
Ketiga, dan yang terakhir, lebih merupakan kritik yang sifatnya teknis. Beberapa penjelasan di
dalam buku ini cenderung diulang-ulang, misalnya pembahasan tentang pertarungan antara
berbagai klaim kedaulatan oleh berbagai entitas atau implikasi sosial politik dari konsep tentang

hukum alam sebagai dalil atas kekuasaan dan kedaulatan. Kemudian, beberapa pemaparan Wood
tentang transisi dari feodalisme ke kapitalisme bisa dikatakan tidak ada yang baru, kecuali dalam
kaitannya dengan perkembangan pemikiran politik Barat.
Kesimpulan
Sebagaimana karya Wood yang sebelumnya, dapat dikatakan bahwa karya Wood patut dijadikan
rujukan bagi para pengkaji dan penggerak gagasan Kiri dan ilmu sosial serta humaniora pada
umumnya. Topik-topik yang dibahas Wood dalam bukunya kali ini juga merupakan topik-topik
besar yang perlu dipelajari bagi para ilmuwan dan penggerak sosial, seperti persoalan negara,
evolusi konsep kepemilikan pribadi, implikasi sosial politik dari perkembangan sebuah ide,
pertautan antara hubungan tuan tanah dan kaum tani dengan ide-ide tentang kewarganegaraan
dan proses-proses politik, dan lain sebagainya. Buku ini juga dapat dijadikan sebagai penangkal
atas mitos bahwa modernitas, nilai-nilai borjuis, kapitalisme, dan demokrasi adalah hal-hal yang
datang dalam satu paket. Buku ini juga mengingatkan kita bahwa ide-ide tidak muncul dari suatu
kevakuman sejarah, namun merupakan hasil dari proses sejarah dan material yang membe
PEMIKIRAN POLITIK ABAD PERTENGAHAN
Pemikiran Politik Pada Masa Abad Pertengahan di Eropa (Medieval Political Theory in Europe)
Zaman pertengahan yang dimaksud di sini dimulai sejak abad ke-13 sampai awal abad ke-17 di
Eropa, dimana terdapat garis yang jelas antara teori politik pada masa itu. Hubungan public pada
masa ini banyak dicampuri oleh gereja, dalam hal ini pola hubungan antara kerajaan dan gereja.
Namun, pada abad ke-18 terjadi reformasi yang cukup besar dimana kalangan aristokrat tidak
diperbolehkan mengontrol gereja sama seperti mereka mengontrol militer dan kekuatan politik
masa itu.
Hal di atas menujukkan sebuah revolusi kepausan dalam sejarah Eropa dan menyebabkan krisis
kekuasaan antara gereja dengan kerajaan. Sepanjang abad ke-13, sering sekali terjadi konflik
yang melibatkan Paus Gregory VII dengan Raja Henry IV, termasuk perubahan posisi antara
Paus Innocent IV dengan Raja Frederick II. Terjadi ketidak pahaman mengenai konstitusi
pemilihan Raja dan pangeran terpilih, dan persetujuan Paus, serta mengenai hubungan antara
kerajaan Inggris dengan kerajaan Perancis dan Spanyol.
Kedudukan Paus dalam gereja juga menjadi kontroversi karena Paus memberikan dukungan
terhadap mendicant orders dan hal itu semakin meruncingkan oposisi dari uskup dan pendeta.
Juga terjadi sengketa antara otoritas gereja peraturan sekuler apakah pendeta dibebaskan dari
pajak dan dari pengadilan criminal umum, dan apakah uang yang dikumpulkan oleh gereja lokal
seharusnya digunakan oleh kepausan untuk membiayai pasukan Perang Salib melawan Saracens
tapi juga kampanye militer di Eropa.
Persengketaan semacam ini semakin meruncing di akhir abad ke-13 ketika studi mengenai
hukum, filosofi, dan teologi berada pada level yang tinggi. Sampai pada abad ke-14, perdebatan
yang rumit dan panjang terjadi antara Paus Boniface VIII, Raja Philip dari Perancis, Paus John
XXII, Raja Roma Ludwig dari Bavaria, orang-orang Perancis, dan Universitas Perancis. Hal ini
terjadi karena pakar teologi menciptakan banyak sekali perjanjian yang mengkhawatirkan

hubungan antara agama dan pemerintahan sekular, konstitusi Gereja, konstitusi pemerintahan
sekuler, yang pada akhirnya berujung pada hukum dan filosifi pengikut Aristoteles.
a.

Separation: The Spiritual dan Temporal Powers

Dalam dunia klasik tidak terdapat pemisahan kekuasaan antara agama dan politik. Namun, sejak
awal abad pertengahan, sudah ada usaha untuk memisahkan antara priesthood dan kingship di
Eropa. Dua jenis kekuasaan ini menjadi tidak setara dalam hal kedudukan, karena yang menjadi
teratas adalah kekuatan spiritual (gereja). Dari waktu ke waktu raja bertindak untuk mensucikan
gereja.
Ada satu hal yang menarik dalam hal penyucian bagi gereja. Dimana secara eksplisit, gereja
memperbolehkan para pendeta melakukan bunuh diri. Dengan kata lain, gereja membiarkan
adanya tindakan kekerasan dalam peraturan gereja. Pendeta biasa saja dipenjara oleh uskup tanpa
izin dari pemerintah sekuler.
Penjelasan di atas memperlihatkan bahwa dalam prakteknya ada pemisahan yang sangat jelas
antara kekuasaan dan peraturan gereja dengan kerajaan. Kedua elemen inipun tidak bisa saling
mengintervensi satu sama lain, walaupun dalam prakteknya kekuasaan gereja sering melampaui
kekuasaan raja.
b.

Subjection

Dalam gagasan lain, Gratian menyebut bahwa paus sebenarnya sangat menikmati plentitudo
polestatis atau kekuasaan penuh. Hal ini bukan berarti bahwa paus memiliki kekuasaan tertinggi
secara formal namun paus merupakan sumber dari hukum gereja, memiliki otoritas untuk
mengintervensi secara langsung urusan apa saja dan dimana saja yang berkaitan dengan gereja.
Gagasan yang menyatakan bahwa paus bisa menjalankan kekuasaan yang telah diberikan oleh
Kristus tidak menyalahi prinsip pemisahan kekuasaan antara spiritual dan kekuasaan duniawi,
selama gagasan tersebut diterima bahwa Kristus tirak memberikan kekuasaan duniawi bagi
gereja,
Paus menganggap bahwa gereja adalah perpanjangan dari komunitas Kristen di dunia dan paus
sendiri adalah pemimpinnya di muka bumi. Prinsip Dou Sunt, pemisahan kekuasaan tidak begitu
saja diabaikan. Para paus memperlihatkan intervensi dalam urusan duniawi sebagai
pengecualian. Namun, tidak pernah ditemukan ada intervensi yang sangat mendasar selama abad
pertengahan yang dilakukan oleh kerajaaan terhadap eksistensi gereja.
Hubungan antara kepausan dan kerajaan tidak pernah terlepas satu sama lain. Terkadang mereka
berjalan beriringan dan kadang pula terlibat konflik, namun satu hal yang pasti dalam kehidupan
masyarakat saat itu. Rakyat tidak dapat berbicara menyatakan aspirasinya, jika kerajaan atau
kepausan melakukan sesuatu yang salah seharusnya rakyat harus berbicara dengan lantang.
Namun, jika ada rakyat yang berani bicara, maka mereka akan dianggap menolak kerajaan,
menolak kehendak Tuhan, dan dengan kata lain mereka adalah pemberontak.

Paus selalu berada dibalik semua hal ini dan bisa dikatakan bahwa sebenarnya umat Kristen
mengalami masa misleading di abad pertengahan ini dan pengaruhnya masih banyak yang
bertahan sampai saat ini. Namun, paus yang masih berada dalam kantor kepausaan harus
dipatuhi. Paus bisa menghakimi semua namun tidak dihakimi oleh siapapun.
c.

The Debate on The Power of The Pope

Kekuasaan paus yang tidak terbatas menimbulkan banyak sekali perdebatan sejak dulu sampai
akhir abad pertengahan. Dua penulis yang cukup berkontribusi adalah Thomas Aquinas dan Giles
of Rome yang menganggap bahwa kepausan berada di atas kerajaan. Sedangkan John of Paris,
Marsilius of Padua, dan William of Ockham, dengan tegas menantang hal ini.
1. Thomas Aquinas
Thomas telah menelurkan beberapa tulisan mengenai kekuasaan paus di Eropa. Tulisan
pertamanya yaitu Scriptum super libros sentetiarum ketika dua kekuasaan berkonflik, yang
mana yang harus kita patuhi?. Jawaban yang muncul adalah, jika yang otoritas yang asli datang
dari yang lain, maka ketaatan yang semestinya adalah terhadap otoritas yang asli. Misalnya
kekuasaan pendeta yang diberikan oleh paus, maka yang harus dipatuhi adalah paus.
Sedangkan, jika yang berkonflik adalah dua kekuasaan yang tertinggi yakni gereja dan kerajaan,
ketaatan harus diberikan terhadap pemegang kekuasaan tertinggi melihat permasalahan itu
apakah berkaitan dengan spiritual atau duniawi. Hal ini dikarenakan bahwa baik kekuasaan
spiritual maupun duniawi berasal dari Tuhan. Masyarakat harus patuh pada paus dalam persoalan
yang menyangkut hal-hal yang telah ditentukan oleh Tuhan atau dengan kata lain yang
menyangkut urusan keagamaan. Di lain sisi, masyarakat harus patuh terhadap kerajaan jika yang
dipersengketakan adalah permasalahan sipil.
Namun, Thomas menambahkan bahwa kekuasaan spiritual dan duniawi dipegang hanya oleh
satu orang, paus, yang oleh Tuhan telah ditunjuk sebagai perpanjangan tangannya di dunia untuk
mengurusi urusan spiritual dan duniawi. Pada level yang rendah, memang kekuasaan spiritual
dan duniawi dipegang oleh dua orang berbeda. Namun pada level yang lebih tinggi, kedua
kekuasaan ini dipegang oleh satu orang yaitu paus.
Tulisan keduanya, De regno, menyatakan bahwa Negara (pemerintahan) bukanlah hal yang abadi
alias akan berakhir pada waktunya dan terdiri dari individu dengan tujuan masing-masing.
Negara ada untuk menjamin keamanan rakyatnya, keamanan yang dimaksud adalah keamanan
yang virtual yang nyata dan juga keamanan yang hakiki yaitu surga.
Kepausan menjelaskan bahwa pada dasarnya manusia harus mencapai keamanan hakiki, maka
dari itu Tuhan membangun gereja di muka bumi agar manusia bisa menerima bantuan khusus
dari Tuhan (Gods special help) berupa pengampunan. Gereja adalah agensi manusia dari Tuhan
yang sengaja dibangun agar manusia bisa lebih mudah meminta pengampunan dan melakukan
pengorbanan sebagai usaha penebusan dosa.

Di sinilah tugas Negara (pemerintah) untuk mengarahkan rakyatnya agar mau mengejar surga
yang dijanjikan. Bahkan gereja juga menginginkan adanya pengaplikasian hukum gereja dalam
kehidupan bermasyarakat seperti, bunuh diri bagi yang bersalah dan pengorbanan untuk
penebusan dosa.
Di era ini terdapat, hirarki antara gereja dan pemerintah. Pemerintah hanya menginginkan tujuan
kesejahteraan secara virtual, fisik, dan nyata. Sedangkan tujuan akhir bukanlah itu melainkan
surga dan hanya bisa dicapai jika seseorang benar-benar taat pada agamanya (Kristen) .
Sehingga, peraturan sekuler harus ditetapkan oleh paus karena hanya dialah yang bisa
menyediakan jalan menuju tujuan akhir yang tingkatannya lebih tinggi dibandingkan tujuan yang
diberikan oleh Negara.
2.

Giles of Rome

Dalam tulisannya yang berjudul On Ecclesiastical Power (1302), Giles of Rome menyatakan
bahwa kerajaan termasuk bangsawan pemilik property, harus tunduk terhadap paus. Dia (paus)
yang menjadi hakim atas segala hal seharusnya menjadi tuan atas segala hal yang dihakiminya,
termasuk pemerintah.
Giles berpandangan bahwa memang ada beberapa hal yang ditinggalkan Tuhan untuk diurusi
oleh raja. Namun, Tuhan dapat mengintervensi hal itu kapanpun Tuhan mau dengan mukjizat dan
keajaiban yang dimiliki-Nya. Jadi, paus membiarkan raja bertindak di bawah hukum virtual
walaupun dia bisa mengintervensi secara langsung dan nyata melalui kekuasaan utuh yang
dimilikinya.
Paus memiliki kekuasaan yang utuh yang bisa mengintervensi apapun yang berkaitan dengan
gereja secara langsung, hal ini termasuk pemerintahan sekuler karena argument di atas
memperlihatkan bahwa di luar gereja tidak ada tuan. Sehingga, dualism yang dilakukan oleh
paus memang dikatakan murni sebagai tugas yang diberikan oleh Tuhan secara langsung untuk
menjadi wakil-Nya di muka bumi dan paus bisa melakukannya tanpa intervensi dari pihak
manapun.
3.

John of Paris

Salah satu penulis yang dengan lantang menentang kekuasaan paus yang tidak berbatas dan
mutlak adalah John of Paris dalam tulisannya On Royal and Papal Power (1302). Dia menolak
anggapan bahwa sejak paus dinobatkan sebagai pendeta wakil Tuhan, dimana Kristus adalah
Tuhan dan Tuhan adalah pemilik segalanya, maka serta merta paus adalah pemilik dari
segalanya. Pernyataan ini menghancurkan dua poin penting. Pertama, paus adalah wakil Tuhan
dalam wujud manusia (bukan sebagai Tuhan), dan Kristus sebagai manusai bukanlah pemilik
dari segalanya. Kedua, walaupun Kristus dalam wujud manusia merupakan pemilik dari
segalanya, Kristus tidak memberikan semua kekuasaannya kepada wakilnya. Sehingga, tidak ada
bukti nyata yang bisa mendukung kekuasaan mutlaknya di muka bumi.

Tuhan adalah pemilik mutlak dari apa yang ada di akhirat dan dunia. Namun di dunia, tidak
manusia yang menjadi wakil Tuhan di kedua alam tersebut. Pemerintah merupakan wakil Tuhan
di dunia dan paus adalah wakil tuhan di akhirat.
Mengenai anggapan bahwa For he who judges a thing is always lord of the thing he judged,
maka John beranggapan bahwa paus memiliki juridiksi tersendiri dalam hal keagamaan.
Sedangkan untuk hal property, paus sama sekali tidak memiliki yuridiksi walaupun itu
menyangkut property gereja. Property merupakan milik pribadi, adapun komunitas (gereja) yang
memiliki property itu merupakan penerima dari individu yang memberikan hak propertinya
kepada komunitas tersebut. Seharusnya, gereja bisa menghargai pendonor bukan menjadi
pemilik atas hal itu. Kepala gereja hanyalah administrator, bukan pemilik atas gereja tersebut.
Menurut John, kekuasaan duniawi bukan datang dari kekuasaan spiritual melainkan langsung
dari Tuhan. Sehingga, paus yang tugasnya mengurusi urusan spiritual tidak berhak mencampuri
urusan duniawi yang dijalankan oleh kerajaan. Kekuasaan spiritual tidak boleh berlaku superior
di atas kekuasaan duniawi melainkan setara dan seimbang satu sama lain.
Pertanyaan utama mengenai hubungan antara kekuasaan spiritual dan duniawi, Thomas Aquinas
mendukung bahwa kepausan memiliki kekuasaan yang mutlak, Giles menganggap bahwa semua
kekuasaan legitimasi di bumi dimiliki oleh paus, dan Marsilius menyatakan bahwa kekuasaan
koersif dimiliki oleh pemerintahan. William menyatakan bahwa paus memiliki kekuasaan mutlak
dalam urusan keagamaan dan bisa sewaktu-waktu melakukan intervensi jika dianggap orang
awam tidak bisa menyelesaikan persoalan tersebut.
Namun ada pembahasan yang cukup menarik bahwa kekuasaan tidak boleh dimiliki oleh orang
yang tidak mempercayai Kristus. Baik itu raja maupun pemerintahan di bawahnya harus
sepenuhnya taat dan tunduk terhadap Kristus. Sehingga, satu-satunya agama yang diperbolehkan
ada pada masa itu adalah Kristen.
Perdebatan yang menarik mengenai kekuasaan paus tidak berhenti pada abad pertengahan saja
namu terus berlanjut sampai zaman pencerahan setelah gereja diturunkan kekuasaan yang
dimilikinya. Pada masa tradisional, sebelum abad pertengahan, fungsi pendeta hanya pada fungsi
duniawi. Beberapa penulis menginginkan pengembalian fungsi pendeta dan paus. Namun di sisi
lain, pergeseran kekuasaan sangat dipengaruhi oleh kondisi politik kerajaan yang dipenuhi
skandal serta pengkhianatan.

Anda mungkin juga menyukai