Anda di halaman 1dari 6

Kasus-Kasus Pelaksanaan Demokrasi di Indonesia yang

Dinilai Buruk dan Gagal

· Disusun Oleh :

1. Harits Athar Arriq A.D.

2. Oxy Boas Gamaliel

3. Septiayu Nazwa Rahmayani

4. Siti Jauza’a P.M.C

5. Syifa Eka Fadiya

6. Timothy Steven Sihombing

7. Zailanty Anggit

1. Kekerasan dan Intimidasi Pilkada Aceh (2017)


● Analisa:

Pemilu merupakan salah satu tonggak penting yang merepresentasikan


kedaulatan rakyat, sehingga dapat dikatakan bahwa tidak ada Negara
demokrasi tanpa memberikan peluang adanya pemilihan umum yang
dilakukan secara sistematik dan berkala. Oleh karenanya pemilu
digolongkan juga sebagai elemen terpenting dalam sistem demokrasi.
Apabila suatu negara telah melaksanakan proses pemilu dengan baik,
transparan, adil, teratur dan berkesinambungan, maka Negara tersebut
dapat dikatakan sebagai negara yang tingkat kedemokratisan yang baik,
namun sebaliknya apabila suatu negara tidak melaksanakan pemilu atau
tidak mampu melaksanakan pemilunya dengan baik yang ditandai dengan
terjadinya berbagai kecurangan, diskriminasi, dan manipulasi maka
negara itu pula dinilai sebagai negara yang anti demokrasi (Hendrik,
2010). Pelaksanaan Pemilu di Indonesia menganut asas “Luber” yang
merupakan singkatan dari “Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia”. Asas
“Luber” sudah ada sejak zaman Orde Baru. Kemudian di era reformasi
berkembang pula asas “Jurdil” yang merupakan singkatan dari “Jujur dan
Adil”. Dalam kasus ini, pilkada Aceh telah melanggar asas LUBER yang
lebih tepatnya melanggar asas bebas. Di mana seharusnya asas bebas
ini rakyat pemilih berhak untuk memilih sesuai dengan hati nuraninya
tanpa adanya tekanan atau paksaan dari siapapun atau dengan apapun.
Peristiwa kekerasan di Aceh terkait pilkada pada Kamis (09/02) mencapai
26 kasus berupa kekerasan fisik perusakan alat peraga, penembakan,
dan pelemparan granat. Berdasarkan temuan Perludem, kekerasan yang
terjadi selama masa kampanye cenderung meningkat dengan persentase
49% kasus kekerasan yang terjadi di masa persiapan dan 51% kasus
terjadi pada saat kampanye. Dengan melanggar asas pemilu maka pemilu
kali ini dapat dikatakan gagal sehingga menjadikannya demokrasi yang
gagal.

● Referensi

Frenki, F. (2016). Asas-asas Dalam Pelaksanaan Pemilihan Umum Di


Indonesia Menurut Fiqh Siyasah. ASAS, 8(1).

Sakir, S. A. (n.d.). PEMETAAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI


PARTISIPASI PEMILIH DI KABUPATEN BANTUL. Seminar Pilkada
serentak.pdf, 3.

ERRY/AFP, A. (2017, Februari 9). Kekerasan selama proses Pilkada


2017, terbanyak di Aceh. Retrieved from BBC NEWS Indonesia:
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-38298912

2. Tragedi Trisakti
● Analisa :
Tragedi Trisakti adalah peristiwa penembakan yang terjadi pada tanggal
12 Mei 1998, terhadap mahasiswa pada saat demonstrasi menuntut
Soeharto turun dari jabatannya. Kejadian ini menewaskan empat
mahasiswa Universitas Trisakti di Jakarta Indonesia serta puluhan lainnya
terluka. Tragedi Trisakti dipicu oleh ekonomi Indonesia yang mulai goyah
pada awal tahun 1998 akibat pengaruh krisis finansial Asia (krisis
moneter) sepanjang 1997-1999. Mereka melakukan aksi damai dari
kampus Trisakti menuju Gedung Nusantara. Namun aksi mereka
dihambat oleh blokade dari Polri dan Militer datang. Kemudian beberapa
mahasiswa mencoba bernegosiasi dengan pihak Polri yang pada akhirnya
pihak kepolisian menyarankan mahasiswa untuk kembali ke dalam
universitas dan membuat mahasiswa bergerak mundur mengikuti usulan
aparat keamanan. Peristiwa penembakan terjadi akibat adanya pancingan
dari kedua pihak baik dari mahasiswa sendiri maupun aparat Keamanan
yang memancing emosi. Tiga orang mahasiswa sempat terpancing dan
bermaksud menyerang aparat keamanan, bersamaan dengan aparat
keamanan yang mulai melemparkan gas air mata dan penembakan yang
membabi buta. Dari kejadian tersebut, dipastikan empat mahasiswa tewas
dan satu orang dalam keadaan kritis. Meskipun pihak aparat keamanan
membantah telah menggunakan peluru tajam, hasil otopsi menunjukkan
kematian disebabkan peluru tajam. Peristiwa penembakan itu memicu
kemarahan dan amukan masyarakat dari berbagai daerah yang pada
akhirnya melakukan demokrasi menuntut keadilan.
Kasus Trisakti dinyatakan sebagai demokrasi gagal karena pelanggaran
HAM yang berat dan melanggar ketentuan pelaksanaan demokrasi
Pancasila di Indonesia. Diantaranya melanggar hak dalam kebebasan
menyampaikan pendapat serta bertentangan dengan Sila Pancasila ke-5
‘Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’.

● Referensi :
a. https://www.sikkabola.wordpress.com/2012/08/28/kasus-pelanggaran
-ham-tragedi-trisakti/ Diarsipkan 2020-02-23 di Wayback Machine.
Kasus Pelanggaran HAM pada Tragedi Trisakti
b. https://id.wikipedia.org/wiki/Tragedi_Trisakti#Pranala_luar
c. https://nasional.tempo.co/read/1591350/kronologi-tragedi-kerusuhan-
12-15-mei-1998-gugur-4-mahasiswa-trisakti
d. https://kalender-peristiwa.blogspot.com/2013/05/tragedi-trisakti-krono
logis-peristiwa.html Kronologis Peristiwa Tragedi trisakti

3.Pemasangan Threshold 20% pada Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden
● Analisa :
Undang-undang Threshold 20% diambil dari pasal 222 Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2017.Hal ini merupakan suatu pelanggaran demokrasi yang dimana hal
ini,membatasi jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden.Hal ini
tentunya,akan memperkecil kemungkinan pasangan calon yang berelektabilitas
timbul karena keterbatasan dukungan,dana ataupun lain
sebagainya.Sebagaimana ditetapkan pada UURI Nomor 2 Tahun 1999 Pasal 1
ayat (3),hal ini akan terlihat kontras karena melalui undang-undang threshold ini
akan menguntung salah satu partai politik yaitu partai politik yang memenangkan
pemilu sebelumnya.Sehingga saat memungkinkan,apabila pasangan calon yang
memenangkan pemilu berikutnya ialah yang berasal dari partai yang sama.Ini
menghilangkan kesempatan setiap individu yang berkompetensi untuk menjadi
presiden.

● Referensi :

1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1999


https://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/403.pdf
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017
https://www.mkri.id/public/content/pemilu/UU/UU%20No.7%20Tahun%202
017.pdf
3. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1946 Pasal 6
dan 6A
4. Apa Itu “Presidential Thershold”? (KompasTV)
https://youtu.be/BKDoin0wcEU

4. Politik Uang Oleh Caleg Gerindra


● Analisa :
Pemilihan Umum (Pemilu) atau Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) merupakan
sistem demokrasi di Indonesia yang telah diamanatkan dalam Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang
diselenggarakan secara reguler setiap lima tahun. Sistem demokrasi ini
merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dimana rakyat memilih sendiri
secara langsung siapa yang akan memimpin negara atau daerahnya selama
lima tahun. Pemilihan Umum di Indonesia dilaksanakan berdasarkan pada asas
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil oleh rakyat yang berpedoman
pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Politik uang atau politik perut (Money politic) adalah suatu bentuk pemberian
atau janji menyuap seseorang baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya
untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu
pada saat pemilihan umum. Transaksi politik uang biasanya terjadi pada masa
kampanye yang dilakukan oleh calon peserta pemilu atau pilkada, tujuannya
ialah mendapatkan dukungan politik dari orang-orang yang disuap.

Politik uang dapat merusak paradigma bangsa dan juga melanggar HAM karena
memanipulasi pilihan nurani setiap manusia yang ditukar dengan materi. Untuk
membentuk Pemilu yang adil harus ada kebebasan dalam memilih sesuai nurani
tanpa ada paksaan dari luar, baik berupa intimidasi atau iming-iming. Rendahnya
kesadaran masyarakat terhadap akibat dari politik uang bagi sistem demokrasi
menyebabkan hal tersebut menjadi budaya yang mengakar karena terjadi dari
generasi ke generasi. Selain itu, tingkat kesenjangan ekonomi yang tinggi
menjadi kendala bagi perkembangan demokrasi. Dalam kerangka itu, politik
uang merupakan subsidi yang mengalir ke kelompok-kelompok tertentu secara
masif.

● Referensi :
a. Insetyonoto (Gatra), 2019. "Terbukti Politik Uang, Caleg Gerindra Divonis 1,5
Bulan Penjara"
https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://www.gatra.com/
news-419085-politik-terbukti-politik-uang-caleg-gerindra-divonis-15-bulan-penjar
a.html&ved=2ahUKEwji97TevsH6AhXl-DgGHXQuBaoQFnoECAcQAQ&usg=AO
vVaw1qPQTVuT_Z-4KzNxUv0tYO

b. Sugiyarto (Tribunnews), 2019. "Terungkap, 3 Kasus Politik Uang di Jateng


Dilakukan Caleg dari Partai Gerindra, PKS dan Golkar"
https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://m.tribunnews.co
m/amp/regional/2019/05/22/terungkap-3-kasus-politik-uang-di-jateng-dilakukan-c
aleg-dari-partai-gerindra-pks-dan-golkar&ved=2ahUKEwji97TevsH6AhXl-DgGHX
QuBaoQFnoECBIQAQ&usg=AOvVaw1gk1CZD-xcfdI5M-u2OmCR

c. Faisal Affan, Muh Radlis (Jateng Tribunnews), 2019. "Tiga Kasus Politik Uang
di Jateng Libatkan Caleg dari Partai Gerindra, PKS dan Golkar"
https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://jateng.tribunnew
s.com/amp/2019/05/22/tiga-kasus-politik-uang-di-jateng-libatkan-caleg-dari-partai
-gerindra-pks-dan-golkar&ved=2ahUKEwji97TevsH6AhXl-DgGHXQuBaoQFnoE
CBMQAQ&usg=AOvVaw36gAlB-_CNmJitYl3nzxjM
5. Penggelembungan Suara Caleg di Pileg 2019
● Analisis :
Berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 7 Tahun 2019
menyebutkan pengumuman rekapitulasi hasil pemilu di tingkat kecamatan
dilakukan dalam rentang waktu 18 April hingga 5 Mei 2019. Setelah itu,
rekapitulasi diserahkan dari kecamatan ke KPU Kabupaten/Kota, terhitung mulai
18 April hingga 5 Mei 2019.

Namun demikian, berdasarkan pantauan Tribun Network di lapangan, Panitia


Pemilihan Kecamatan Cengkareng, Jakarta Barat, baru menyelesaikan pleno
pada Kamis (9/5). Pleno terhambat karena proses input dan jumlah tempat
pemungutan suara yang terlalu banyak sehingga butuh waktu lebih untuk proses
input. Saat itu ditemukan dugaan praktik kecurangan lewat modus memindahkan
suara partai politik kepada calon anggota legislatif tertentu. Hal ini diungkap oleh
saksi dari Partai Kebangkitan Bangsa Budi AS. Budi memperhatikan
upaya-upaya kecurangan yang dipertontonkan saat pleno PPK Kecamatan
Cengkareng. Praktik dugaan pemindahan suara dari partai ke calon legislatif itu
terjadi di sejumlah partai politik. Penggelembungan mencapai 3.000 suara.
Modusnya, suara partai dibagi-bagikan ke semua caleg, namun dengan jumlah
yang beragam. Misalnya, caleg nomor urut pertama, kedua, ketiga dan
seterusnya diberikan 100 suara. Lalu caleg nomor urut kesembilan ditambah
1000 suara. Budi memprotes keras saat rapat pleno penghitungan suara.

● Referensi
https://www.tribunnews.com/nasional/2019/05/21/penggelembungan-suara-caleg
-terjadi-di-pileg-2019-jumlahnya-bisa-sampai-ribuan

Anda mungkin juga menyukai