pengetahuan (knowledge)
tersusun secara sistematis
menggunakan pemikiran
bersifat obyektif (dapat dikontrol secara kritis oleh umum)
Pengetahuan adalah kesan di dalam pikiran manusia sebagai hasil penggunaan panca inderanya.
Misalnya : pengetahuan jenis-jenis kain, pengetahuan mengenai bebauan minyak wangi,
pengetahuan mengenai cara pembuatan tempe.
Sistematis berarti berdasarkan urutan unsur-unsur yang merupakan satu kebulatan, sehingga akan
jelas apa yang merupakan garis besar dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Tidak semua
pengetahuan merupakan suatu ilmu, hanya pengetahuan yang tersusun sistematis saja yang
merupakan ilmu pengetahuan. Sistem tadi merupakan suatu konstruksi yang abstrak dan teratur
sehingga merupakan keseluruhan yang terangkai.
Menggunakan pemikiran : ilmu pengetahuan yang tersusun secara sistematis menggunakan
kekuatan pemikiran, yang selalu dapat diperiksa dan ditelaah dengan kritis (obyektif).
Apabila sosiologi memenuhi rumusan-rumusan di atas maka sosiologi merupakan suatu ilmu
sejauh sosiologi mengembangkan suatu kerangka pengetahuan yang tersusun dan teruji yang
didasarkaan pada penelitian ilmiah. Sejauh sosiologi meninggalkan mitos, dongeng dan anganangan, dan mendasarkan kesimpulannya pada bukti-bukti ilmiah maka sosiologi adalah suatu
ilmu. Bila ilmu didefinisikan sebagai suatu metode penelaahan, maka sosiologi adalah suatu ilmu
sejauh sosiologi menggunakan metode penelaahan ilmiah.
Ilmu Pengetahuan sendiri dikelompokkan dalam 2 (dua) macam :
1. Ilmu Pengetahuan murni (pure science).
Ilmu pengetahuan murni bertujuan untuk membentuk dan mengembangkan ilmu pengetahuan
secara abstrak, untuk mempertinggi mutunya, tanpa menggunakannya langsung dalam
masyarakat. Misalnya : seorang ahli fisika bukanlah membuat jembatan, ahli kimia bukanlah
membuat obat, juga ahli sosiologi hanya mengemukakan pendapatnya yang berguna bagi
pembentuk undang-undang, birokrat, petugas administrasi, guru-guru, diplomat dan lain
sebagainya akan tetapi mereka tidak akan menentukan secara langsung apa yang dikerjakan
oleh petugas-petugas tersebut.
Sosiologi bertujuan untuk mendapatkan fakta-fakta masyarakat yang mungkin dapat
dipergunakan untuk mememecahkan persoalan-persoalan masyarakat. Akan tetapi itu bukan
berarti bahwa sosiologi tidak berguna bagi masyarakat.
2. Ilmu Pengetahuan Terapan (applied science)
Ilmu pengetahuan terapan merupakan ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk
mempergunakan dan menerapkan ilmu pengetahuan tersebut dalam masyarakat.
Misalnya : ilmu pengetahuan tentang berbagai seni, sebagaian besar dipergunakan dan
diterapkan langsung.
1.3. Bapak Pendiri Sosiologi (The Founding Fathers Of Sosiology)
Pada bagian ini akan dijelaskan empat ahli yang sampai kini pikirannya masih dipakai dalam
teori sosiologi, yaitu Auguste Comte, Karl Marx, Max Weber, dan Emile Durkheim. Pandangan
mereka telah memberi stimulan diskusi panjang tentang pelbagai persoalan terkait dgn
kehidupan ekonomi, politik, dan kebudayaan. Pandangan mereka juga digunakan dalam disiplin
ilmu social lain seperti ilmu politik, ekonomi, antropologi, dan sejarah.
1.3.1. Auguste Comte (1798-1857)
Auguste Comte (Perancis, 1798-1857) mengemukakan istilah awal : SOCIAL PHYSICS
(FISIKA SOSIAL) karena istilah ini sudah digunakan oleh ahli statistik sosial Belgia Adophe
Quetelet, maka istilah diubah menjadi sociology.
Auguste Comte membagi sosiologi ke dalam dua pendekatan yakni:
1. Statika sosial (social static) : mengkaji tatanan sosial. Statika mewakili stabilitas.
2. Sosial dinamik : mengkaji kemajuan dan perubahan social. Dinamika mewakili perubahan.
Progres dlm membaca fenomena sosial perlu melihat masyarakat secara keseluruhan sebagai unit
analisis. Dengan memakai analogi dari biologi, Comte menyatakan bahwa hubungan antara
statika dan dinamika merujuk pada konsep order didalamnya ditekankan bahwa bagian-bagian
dari masyarakat tidak dapat dimengerti secara terpisah, tetapi harus dilihat sebagai satu kesatuan
yg saling berhubungan.
1.3.2. Karl Marx (1818-1883)
Karl Marx lahir di Trier, Jerman tahun 1818 dari kalangan keluarga rohaniwan Yahudi.
Tamat dari perguruan tinggi menjadi editor di sebuah surat kabar di Jerman. Pandangannya mat
2
kritis terutama sangat anti penindasan yg hadir bersama system kapitalis yang mewarnai
peradaban Eropa Barat. Beliau pindah ke Paris setelah terjadipertentangn dengan pemerintah
Jerman. Ia berkolaborasi dengan Friedrich Engels menulis buku berjudul The Communist
Manifesto (1848). Lalu menulis buku : Das Capital, dua bab terakhir buku ini diteruskan oleh
Engels karena Marx keburu meninggal.
Menurut Marx, sejarah manusia mulai dari pertanian primitive, feudal dan industri,
ditandai hubungan social yg melembagakan sifat ketergantungan untuk mengontrol atau
menguasai sumber-sumber ekonomi. Mereka yg menguasai dan mengonytol sumber-sumber
ekonomi adalah kelas atas, seangkan mereka yg hanya memiliki sedikit atau bahkan tidak punya
sama sekali adalah dari kelas bawah. Terjadi penindasan oleh kelas atas terhadap kelas bawah.
Fokus perhatian Marx pada dua kelas penting : BORJUIS (kelas atas/kapitalis yg memiliki
memiliki alat-alat produksi seperti pabrik dan mesin) dan PROLETAR (kelas bawah/ para buruh
yg bekerja pada borjuis).
Pendapat Marx terhadap fenomena social semacam itu (penindasan /eksploitasi kaum
borjuis terhadap kaum proletar) hanya dapat dihentikan dengan cara mengganti atau merusak
system kapitalis. Caranya dengan melakukan revolusi (prinsip konflik) kemudian menggantinya
dengan system yg lebih menghargai martabat manusia. Ini tidak mudah karena para buruh harus
menghilangkan False Consciousness (kesadaran palsu) dengan class consciousness kesadaran
kelas. Melalui bimbingan pemimpin-pemimpin revolusioner, para buruh akan menjadi setia dan
mau berkorban demi perjuangan kelas. Denagn demikian kan muncul masyarakat yg adil, sama
rata sama rasa, dan terhindardari segala bentuk eksploitasi, ini yg disebutnya sebagai masyarakat
komunisme modern. Disamping dipuja banyak orang, Marx juga dikecam banyak orang,
terutama pendapatnya tentang agama sebagai candu masyarakat (the opium of the people).
1.3.3. Max Weber (1864-1920)
Max Weber lahir di Erfurt, Jerman berasal dari keluarga kaya dan terpandang. Ayahnya
seorang birokrat (kelak akan mewarnai pikiran beliau tentang birokrasi) yg menduduki posisi
politik penting, sedangkan ibunya adalah seorang pemeluk agama Calvinisme yg sangat taat
(juga mempengaruhinya melakukan studi tentang kaitan etika protestan dengan spirit kapitlisme
industrial).
Beliau menempuh kuliah di Universitas berlin belajar hukum. Setelah berhasil mengambil gelar
doctor ia berprofesi sebagai praktisi hukum, di samping itu ia juga bekerja sebagai dosen di
Universitas Wina dan Munich. Ia banyak mendalami masalah ekonomi, sejarah, dan sosiologi.
Bukunya yg terkenal berjudul A Contribution to the histoy of Medieval Business
Organizations dan The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism (1904) . Dalam bukunya
yg kedua ini ia mengemukakan tesisnya mengenai keterkaitan antara etika protesan dengan
munculnya kapitalisme di Eropa Barat.
Pandangan Weber, kenyataan social lahir dari motivasi individu dan tindakan-tindakan
social (social action). Dari pandangannya sebenarnya Weber lazim digolongkan nominalis yg
lebih percaya bahwa hanya individu-individu sajalah yg riil secara obyektif, dan masyarakat
adalah satu nama yg menunjukan pada sekumpulan individu yg menjalin hubungan. Pandangan
beliau tentang tindakan sosila inilah yg kemudian menjadi acuan dikembangkannya teori
sosiologi yg membahas interaksi social.
1.3.4. mile Durkheim (1858-1917)
Lahir di Epinal, Perancis dan berasal dari keluarga yg mewarisi tradisi sebagai pendeta
Yahudi. Ia awlnya sebenarnya bersekolah untuk menjadi pendeta.
Durkheim merupakan ilmuwan yg sangat produktif. Salah satu karyanya yg berjudul The
division of Labor in Society (1968) membahas mengenai gejala yg sedang melanda
masyarakat : pembagian kerja. Ia mengemukakan bahwa di bidang perekonomian seperti industri
modern terjadi penggunaan mesin serta konsentrasi modal dan tenaga kerja yg mengakibatkan
pembagian kerja ke dalam bentuk spesialisasi dan pemisahan okupasi yg semakin rinci.
Pembagian tersebut dijumapai pula di bidang perniagaan dan pertanian. Lalu melebar pula pada
bidang-bdang kehidupan yg lainnya : hokum, politik, kesenian, dan bahkan keluarga. Tujuan
kajian durkheim ialah untuk memahami fungsi pembagian kerja tersebut, serta untuk mengetahui
factor penyebabnya.
1.4. Perkembangan Sosiologi di Indonesia
Sejak jaman kerajaan di Indonesia sebenarnya para raja dan pemimpin di Indonesia sudah
mempraktikkan unsur-unsur Sosiologi dalam kebijakannya begitu pula para pujangga Indonesia.
Misalnya saja Ajaran Wulang Reh yang diciptakan oleh Sri PAduka Mangkunegoro dari
3
Surakarta, mengajarkan tata hubungan antara para anggota masyarakat Jawa yang berasal dari
golongan-golongan yang berbeda, banyak mengandung aspek-aspek Sosiologi, terutama dalam
bidang hubungan antar golongan (intergroup relations).
Ki Hajar Dewantoro, pelopor utama pendidikan nasional di Indonesia, memberikan
sumbangan di bidang sosiologi terutama mengenai konsep-konsep kepemimpinan dan
kekeluargaan di Indonesia yang dengan nyata di praktikkan dalam organisasi pendidikan Taman
Siswa.
Pada masa penjajahan Belanda ada beberapa karya tulis orang berkebangsaan belanda
yang mengambil masyarakat Indonesai sebagai perhatiannya seperti Snouck Hurgronje, C. Van
Vollenhoven, Ter Haar, Duyvendak dll. Dalam karya mereka tampak unsur-unsur Sosiologi di
dalamnya yang dikupas secara ilmiah tetapi kesemuanya hanya dikupas dalam kerangka non
sosiologis dan tidak sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri. Sosiologi pada waktu itu
dianggap sebagai Ilmu pembantu bagi ilmu-ilmu pengetahuan lainnya. Dengan kata lain
Sosiologi ketika itu belum dianggap cukup penting dan cukup dewasa untuk dipelajari dan
dipergunakan sebagai ilmu pengetahuan, terlepas dari ilmu-ilmu pengetahuan lainnya.
Kuliah-kuliah Sosiologi mulai diberikan sebelum Pernag Dunia ke dua diselenggarakan
oleh Sekolah Tinggi Hukum (Rechtshogeschool) di Jakarta. Inipun kuliah Sosiologi masih
sebagai pelengkap bagi pelajaran Ilmu Hukum. Sosiologi yang dikuliahkan sebagin besar bersifat
filsafat Sosial dan Teoritis, berdasarkan hasil karya Alfred Vierkandt, Leopold Von Wiese,
Bierens de Haan, Steinmetz dan sebagainya.
Pada tahun 1934/1935 kuliah-kuliah Sosiologi pada sekolah Tinggi Hukum tersebut malah
ditiadakan. Para Guru Besar yang bertaggung jawab menyusun daftar kuliah berpendapat bahwa
pengetahuan dan bentuk susunan masyarakat beserta proses-proses yang terjadi di dalamnya
tidak diperlukan dalam pelajaran hukum.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, seorang sarjana
Indonesia yaitu Soenario Kolopaking, untuk pertama kalinya member kuliah sosiologi (1948)
pada Akademi Ilmu Politik di Yogyakarta (kemudia menjadi Fakultas Sosial dan Ilmu Politik
UGM . Beliau memberika kuliah dalam bahasa Indonesai ini merupakan suatu yang baru, karena
sebelum perang dunia ke dua semua perguruan tinggi diberikan da;am bahasa Belanda. Pada
Akademi Ilmu Politik tersebut, sosiologi juga dikuliahkan sebagai ilmu pengetahuan dalam
Jurusan Pemerintahan dalam Negeri, hubungan luar negeri dan publisistik. Kemudian
pendidkikan mulai di buka dengan memberikan kesempatan kepara para mahasiswa dan sarjana
untuk belajar di luar negeri sejak tahun 1950, mulailah ada beberapa orang Indonesia yang
memperdalam pengetahuan tentang sosiologi.
Buku Sosiologi mulai diterbitkan sejak satu tahun pecahnya revolus fisik. Buku tersebut
berjudul Sosiologi Indonesai oleh Djody Gondokusumo, memuat tentang beberapa pengertian
elementer dari Sosiologi yang teoritis dan bersifat sebagai Filsafat.
Selanjutnya buku karangan Hassan Shadily dengan judul Sosilogi Untuk Masyarakat
Indonesia yang merupakan merupakan buku pelajaran pertama yang berbahasa Indonesia yang
memuat bahan-bahan sosiologi yang modern.
Para pengajar sosiologi teoritis filosofis lebih banyak mempergunakan terjemahan bukubukunya P.J. Bouman, yaitu Algemene Maatschapppijleer dan Sociologie, bergrippen en
problemen serta buku Lysen yang berjudul Individu en Maatschapppij.
Buku-buku Sosiologi lainnya adalah Sosiologi Suatu Pengantar Ringkas karya Mayor
Polak, seorang warga Negara Indonesia bekas anggota Pangreh Praja Belanda, yang telah
mendapat pelajaran sosiologi sebelum perang dunia kedua pada universitas Leiden di Belanda.
Beliau juga menulis buku berjudul Pengantar Sosiologi Pengetahuan, Hukum dan politik terbit
pada tahun 1967. Penulis lainnya Selo Soemardjan menulis buku Social Changes in Yogyakarta
pada tahun 1962. Selo Soemardjan bersama Soelaeman Soemardi, menghimpun bagian-bagian
terpenting dari beberapa text book ilmu sosiologi dalam bahasa Inggris yang disertai dengan
pengantar ringkas dalam bahasa Indonesia dirangkum dalam buku Setangkai Bunga Sosiologi
terbit tahun 1964.
Dewasa ini telah ada sejumlah Universitas Negeri yang mempunyai Fakultas Sosial dan
politik atau Fakultas Ilmu Sosial. Sampai saat ini belum ada Universitas yang mngkhususkan
sosiologi dalam suatu fakultas sendiri, namun telah ada Jurusan Sosiologi pada beberapa fakultas
Sosial dan Politik UGM, UI dan UNPAD.
Penelitian-penelitian sosiologi di Indonesai belum mendapat tempat yang sewajarnya,
oleh karena masyarakat masih percaya pada angka-angka yang relative mutlak, sementara
sosiologi tidak akan mungkin melakukan hal-hal yang berlaku mutlak disebkan masing-masing
manusia memiliki kekhususan. Apalagi masyarakat Indonesai merupakan masyarakat majemuk
yang mencakup berates suku.
4
kajians sosiologi. Sosiologi tidaklah semata-mata hanya menjelaskan secara deskriptif suatu
perilaku sosial, tetapi lebih dari itu, sosiologi berupaya menjelaskan dan berusahaa memahami
kaitan antara elemen-elemen perilaku sosial.
Ketiga : penjelasan sosiologi itu bersifat analitis. Setiap ilmu pengetahuan senantiasa terdiri dari
(1) content / the body of knowledge atau substansi dari ilmu pengetahuan itu dan (2) methods /
procedures atau tata cara bagaimana substansi pengetahuan itu diperoleh secara sistematis. Ini
berarti bahwa dalam sosiologi terdapat pula prinsip-prinsip metodologis yang diterapkan dalam
menjelaskan perilaku sosial tersebut, dan bukan berdasarkan pada konsensus atau kesepakatan
yang berlaku khusus. Terdapat kaidah atau prinsip metodologi penelitian tertentu yang digunakan
untuk menjelaskan perilaku sosial dalam sosiologi.
Keempat : penjelasan sosiologi bersifat sistematis. Ini berarti bahwa dalam memahami perilaku
sosial sosiologi merupakan suatu disiplin ilmu yang mengikuti tatanan atau aturan-aturan yang
dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
2.2. Pandangan Para Perintis Sosiologi Tentang Sosiologi
2.2.1. Emile Durkheim : Fakta Sosial
Emile Durkheim berpendapat bahwa sosiologi merupakan ilmu yang mempelajari fakta sosial.
Fakta sosial merupakan cara-cara bertindak, berpikir, dan berperasaan, yang berada di luar
individu, dan mempunyai kekuatan memaksa yang mengendalikannya. Untuk memahami konsep
fakta sosial ini, Durkheim menyajikan contoh misalnya pendidikan anak. Sejak bayi anak
diwajibkan untuk makan, minum, tidur pada waktu-waktu tertentu; diwajibkan taat, dan menjaga
kebersihan serta ketenangan; diharuskan tenggang rasa terhadap orang lain, menghormati adat
dan kebiasaan.
Contoh-contoh di atas merupakan unsur-unsur yang dikemukakan dalam definisi Durkheim
tersebut : ada cara bertindak, berpikir, berperasaan yang bersumber pada kekuatan di luar
individu, bersifat memaksa dan mengendalikan individu, dan berada di luar kehendak pribadi
individu. Contoh lain dari konsep fakta sosial yang diambil dari buku Durkheim : The Division
of Labor in Society (1968) dan Suicide (1968). Durkheim mengemukakan bahwa pembagian
kerja dalam masyarakat (mungkin di saat sekarang orang cenderung menggunakan istilah lain),
seperti spesialisasi. Spesialisasi dalam semua aspek kehidupan masyarakat seperti bidang
ekonomi, pendidikan, politik, hukum, ilmu pengetahuan, kesenian, administrasi merupakan cara
bertindak yang dianut secara umum, berada di luar kehendak pribadi, individu.
Kemudian contoh dari buku Suicide-nya : menurut Durkheim laju bunuh diri dalam tiap
masyarakat dari tahun ke tahun cenderung relatif konstan-menurut Durkheim ini merupakan
fakta sosial. Dalam penelitian Durkheim ditemukan bahwa laju bunuh diri disebabkan oleh
kekuatan-kekuatan yang berada di luar individu.
2.2.2. Max Weber : Tindakan Sosial
Bagi Weber sosiologi ialah ilmu yang mempelajari tindakan sosial (social action). Menurut
Weber tidak semua tindakan manusia disebut sebagai tindakan sosial. Suatu tindakan hanya
disebut sebagai tindakan sosial apabila tindakan tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan
perilaku orang lain, dan berorientasi pada perilaku orang lain. Misalnya menyanyi di kamar
mandi untuk menghibur diri sendiri tidak dapat dianggap sebagai tindakan sosial; tetapi
menyanyi di depan umum dengan maksud untuk menghibur orang lain merupakan tindakan
sosial.
Menurut Weber suatu tindakan sosial ialah perilaku manusia yang mempunyai makna subyektif
bagi pelakunya. Dari contoh di atas nampak bahwa tindakan yang sama : menyanyi - dapat
mempunyai makna berlainan bagi pelakunya. Menurut Weber sosiologi bertujuan untuk
memahami (verstehen) mengapa tindakan sosial mempunyai tujuan dan akibat tertentu,
sedangkan tiap tindakan mempunyai makna subyektif bagi pelakunya. Maka apabila ahli
sosiologi ingin memahami makna subyektif suatu tindakan sosial ia harus dapat membayangkan
dirinya di tempaat pelaku untuk dapat ikut menghayati pengalamannya. Suatu contoh hanya
dengan menempatkan diri di tempat seorang pelacur, misalnya seorang ahli sosiologi dapat
memahami makna subyektif tindakan sosial mereka.
2.2.3. Pembagian Sosiologi : Makrososiologi dan Mikrososiologi.
Kebiasaan para ahli di kalangan sosiologi dijumpai mengklasifikasikan pokok bahasan sosiologi
ke dalam dua bagian. Nama-nama yang diberikan tidak selalu sama, misalnya broom dan Selznik
membedakan tatanan makro dan tatanan mikro; jack Douglas membedakan antara perspektif
makrososial (macrosocial perspective) dan perspektif mikrososial (microsocial perspective);
Doyle Paul Johnson membedakan antara jenjang makro dan jenjang mikro, dan Randal Collins
6
beragama, tetapi tidak fungsional bagi pengembangan persatuan berbagai etnik yang beragam
agamanya.
Dalam pandangan perspektif struktural fungsional ini, suatu sistem sosial eksis karena sistem
sosial itu menjalankan fungsinya yang berguna bagi masyarakat. Pusat perhatian perspektif ini
juga tertuju pada masalah tatanan (order) dan stabilitas, yang karena perhatiannya pada hal ini
mereka dikritik mempertahankan status-quo. Karena perhatiannya tertuju pada keseimbangan
dan kelsetarian sistem, perspektif ini juga sering dikritik mengabaikan proses perubahan yang
terjadi dalam sistem sosial.
3.3. Perspkektif Teori Konflik
Perspektif teori konflik juga memiliki akar pemikiraan pada pemikiran beberapa ahli sosiologi
klasik terutama pada Karl Marx. Meskipun demikian, para ahli dari perspektif teori konflik
modern juga banyak memberi sumbangan pemikiran, terutama dari John Stuart Mill, Ralph
Dahrendorf, Lewis Coser dan sebagainya. Dalam pandangan para ahli dari perspektif teori
konflik ini masyarakat akan dapat dengan tepat dianalisis jika menggunakan konsep kekuasaan
(power) dan konflik.
Karl Marx memulainya dengan suatu asumsi dasar yang sederhana, yaitu struktur dari
masyarakat ditentukan oleh organisasi ekonomi, terutama pada pemilikan barang produksi
(ownership of poverty). Dogma agama, nilai-nilai budaya, kepercayaan individual, susunan dan
struktur lembaga-lembaga dalam masyarakat, semuanya secara mendasar merupakan refleksi
dari organisasi ekonomi yang ada dalam masyarakat. Menyatu dalam sistem ekonomi,
kesenjangan dalam pemilikan barang produksi telah mendorong mendorong terjadinya konflik
antar kelas secara revolusioner. Kelas yang tidak menguasai alat produksi telah menjadi kelas
yang dieksploitasi, senantaiasa berjuang memperbaiki posisi mereka yang rendah dan tertindas
dan secara revolusi mereka melawan kelas yang dominan dalam penguasaaan faktor produksi.
Dalam pandangan Marx, cerita sejarah tentang manusia tidak lain adalah cerita tentang
perjuangan kelas antara para pemilik alat produksi dengan para buruh yang tidak menguasai alat
produksi, antara yang didominasi melawan yang mendiminasi atau antara yang memiliki
kekuasaan dengan yang tidak memiliki kekuasaan.
Para ahli perspektif teori konflik masa kini melihat bahwa konflik merupakan fenomena yang
senantiasa ada dalam kehidupan sosial dan sebagai hasilnya, masyarakat senantiasa berada dalam
perubahan yang terus menerus. Berbeda dengan Marx, para ahli sosiologi perspektif konflik
masa kini jarang yang melihat konflik senantaiasa merupakan refleksi dari organisasi ekonomi
maupun kepemilikan (ownership). Konflik dalam pandaangan para ahli perspektif konflik masa
kini , meliputi bidang yang luas di mana terjadi pertentangan dari berbagai kepentingan dan
kelompok dalam masyarakat. Jadi konflik bukan hanya antara pemilik modal dengan para buruh
seperti dikemukakan oleh Marx, tetapi juga meliputi pertentangan antara orang muda dengan
orang tua, antara pria dan wanita, antara satu etnis atau ras tertentu dengan etnis atau ras tertentu
sebagaimana antara pemilik modal dengan para buruh. Konflik ini disebabkan karena sesuatu
yang dihargai dalam masyarakat (kekuasaan, ilmu pengetahuan, tanah, uang dan sebagainya)
tidak terdistribusi merata dan tidak semua orang dapat memperolehnya secara sama. Sesuatu
yang bernilai itu merupakan komoditas yang terbatas, sedangkan permintaan (demand) akan hal
itu lebih besar dari penawaran (supply) yang ada dalam masyarakat. Oleh sebab itu barang siapa
dapat memiliki atau mengontrol barang dan jasa yang bernilai dalam masyarakat, akan
cenderung mempertahankan dan melindungi kepentingannyaa terhadap usaha pihak lain untuk
merebutnya.
Dalam pandangan yang demikian, konflik tidak selalu berarti perang, kekerasan dan sejenisnya.
Konflik menunjuk pada perjuangan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari yang dilakukan
setiap anggota masyarakat untuk berusaha mempertahankan, meningkatkan dan menjaga posisi
sosial mereka dalam kehidupan sehari-hari. Konflik juga tidak dilihat sebagai proses yang
destruktif (merusak) yang akan embawa paada kondisi ketidak-terauran (disorder) dan pecahnya
masyarakat. Beberapa ahli perspektif teori konflik modern misalnya Dahrendorf dan Lewis
Coser bahkan melihat adanya peranan konflik dalam menciptakan integrasi, yang ditandai oleh
adanya kekuatan yang menyumbang terjadinya keteraturan dan stabilitas. Bagaimana konflik
memeiliki peran integratif dapat dipahami dengan melihat bahwa semua orang memiliki
kepentingan yang sama akan bekerja sama untuk berusaha mencapainya agar keuntungan dapat
diraih bersama. Konflik antar ras misalnyaa dapat menjadi pengikat kebrsamaan dalam suatu ras
tertentu, mengabaikan perbedaan-perbedaan diantara mereka sendiri.
Teori ini berbeda dengan dari struktural fungsional. Jika teori struktural fungsional melihat
masyarakat sebagai suatu sistem yang senantiasa dalam keadaan ekulibrium atau kesimbangan,
teeori konflik sebaliknya, melihat masyarakat sebagai arena bagi terjadinya pertentangan yang
terus menerus dan terjadi perubahan-perubahan. Teori struktural fungsional melihat proses sosial
9
keuntungan, setidaknya tidak mengalami kerugian dalam pertukaran itu. Secara antropologis,
psikologis maupun sosiologis, hal yang dipertukarkan meliputi pula baik faktor fisik maupun
faktor sosial. Misalnya agar dapat mempererat persahabatan, orang mengundang orang lain
makan malam dan sebagainya. Pekerjaan, pemberian, gagasan, uang, perhatian adalah sesuatu
yang dimiliki orang untuk dipertukarkan dengan orang lain.
Teori pertukaran sosial berupaya memhami mengapa suatu tingkah laku terjadi dalam suatu
situasi struktural tertentu dan dalam situasi dimana kemungkinan untuk berinteraksi terjadi.
Misalnya mengapa perempuan cenderung menikah dengan laki-laki dengan status sosial yang
lebih tinggi, bukan sebaliknya laki-laki dengan status sosial yang rendah dengan perempuan
berstatus sosial lebih tinggi. Perspektif teori pertukaran berupaya memahami hal ini dengan
melihat kualitas yang diinginkan oleh laki-laki dan oleh perempuan yang dapat saling
dipertukarkan. Dalam suatu masyarakat, mungkin pekerjaan yang baik dan memiliki kekayaan
melimpah merupakan hal yang diinginkan oleh perempuan dari seorang laki-laki, sedangkan bagi
laki-laki barangkali kecantikan dan kondisi fisik yang sempurna yang diinginkan. Jadi dalam
situasi sosial yang demikian dapat dipahami mengapa perempuan yang cantik dari status sosial
yang rendah akan mempertukarkan kecantikan yang dimilikinya itu dengan harta dan
masa depan yang dimiliki oleh laki-laki dari staatus sosial ekonomi lebih tinggi, demikian pula
sebaliknya bagi laki-laki, mungkin baginya akan membanggakan dirinya menggandeng istri yang
cantik.
Perspektif teori pertukaran ini berasumsi bahwa orang selalu berupaya mendapatkan status,
berusaha mendapatkan ganjaran (reward), menjalin hubungan yang lebih baik dan berupaya
untuk menghindari atau mengurangi seminimal mungkin biaya atau kerugian, hukuman uyang
diperolehnya. Menghadapi serangkain alternatif yang ada, setiap orang akan memilih pilihan
yang memberi keuntungan terbesar, ganjaran terbesar, keamanan tertinggi dan pada saay yang
sama menghindari resiko, mengurangi kerugian dan menghindari hal yang tidak aman. Jika
kerugian lebih besra dari perolehan maka orang akan merasa tidak suka, marah, dan tidak
nyaman, sebaliknyaaaaaa jika perolehan lebih besar dari kerugian maka akan merasa enak,
nyaman, dan suka. Agar pihak-pihak dalam pertukaran itu sama-sama merasakan keuntungan,
maka interaksi sosial harus dilakukan dalam mewujudkan pertukaran yang seimbang, yaitu suatu
perasaan bahwa masing-masing mendapatkan sesuatu yang lebih besar dari kerugiannya.
Terdapat dua aliran dalam perspektif teori pertukaran ini. Aliran yang pertama adalah aliran
dengan tokohnya George Homans. Homans merupakan salah satu ahli yang mewakili aliran teori
pertukaran yang bersifat psikologis (behavioral psichology), yang melihat perilaku dapat
dijelaskan dalam kaitannya dengan ganjaran dan hukuman. Aliran teori ini memusatkan
perhatiannya pada perilaku yang terjadi (actual behavior), bukan pada proses yang dapat dilacak
dari perilaku yang terjadi itu, karena proses itu tidaklah dapat diamati. Dalam pertukaran sosial,
ganjaran dan hukuman pada dasarnya adalah perilaku pihak lain.
Aliran pemikiran yang lain dengan tokohnya Peter M. Blau, yang secara konsisten mengikuti
prisnsip teeori interkasionisme simbolik. Blau tidak menekankan untuk melakukan penjelasan
atas semua pertukaran yang nampak dari perilaku yang dapat diamati. Dalam pandangan Blau,
pertukaran itu lebih bersifat subyektif dan interpretatif, sehingga pertukaran pada dasarnya
berada pada tingkatan simbolik. Sebagai hasilnya dalam pandangan perspektif ini uang dapat
memiliki makna yang berbeda-beda, misalnya uang sebagai ganjaran jika penerima uang itu
mengartikannya demikian, tetapi dapt pula berarti bentuk fisik dari penghargaan karena
seseorang telah bekerja dengan baik, atau uang hanyalah sekedar wujud rasa kasih sayang atau
perhatian dari pihak lain, dan sebaginya.
Baik Homans maupun Blau keduanya sepakat baahwa adalah penting bagi masing-masing pihak
dalam pertukaran menerima sesuatu setara dengan yang telah diberikannya pada pihak lain.
Menurut Homans ini disebut dengan distribitive justice sedang Blau menyebutnya fair exchange.
Dalam pertukaran terkandung harapan-harapan yang seimbang yang masing-masing memiliki
kesetaraan. Jika sumber atau kriteria pertukaran ini tidak seimbang maka salah satu berada pada
posisi dirugikan dan lemah, sedang pihak lain memiliki kekuasaan lebih besar serta mampu
mengontrol dalam hubunagnnya dengan pihak lain. Sebagai contoh, dalam perkawinan yang
kriteria pertukarannya tidak seimbang akan membawa akibat adaanya dominasi salah satu pihak
terhadap lainnya atau bahkan mungkin akan emneybabkan perkawinan itu berakhir. Jadi dalam
pandangan perspektif pertukaran kehidupan sosial dipandang sebagai proses dimana didalamnya
terjadi tawar menawar atau negosiasi dan hubungan sosial yang terjadi didasrkan pada
kepercayaan dan kepentingan kedua pihak.
BAB 4 METODE SOSIOLOGI
11
Sosiologi sebagaimana ilmu-ilmu sosial lainnya, lahir, tumbuh dan berkembang. Untuk
itu perlu dilakukan kegiatan yang dinamakan penelitian sosial. Melalui penelitian sosial.,ini para
ahli sosiologi mengumpulkan data yang dapat menambah pengetahuan mengesai sasaran
perhatian mereka, yakni masyarakat.Melalui penelitian sosial para ahli sosiologimenemukan
fakta baru yang memperluas cakrawala serta memperdalam pemahaman kita sehingga
merupakan sumbangan ke arah pengembangan sosiologi.
Cara untuk menghasilkan temuan-temuan baru dalam sosiologi, para ahli perlu
memperhatikan tahap penelitian. Walaupun jumlah serta jenis tahap yg dijabarkan dalam
berbagai buku penuntun metode penelitian tidak selalu sama, namun dalam kebanyakn buku
tersebut dijumpai beberapa tahap yg dianggap pokok, yaitu tahap:
1. perumusan masalah
2. penyusunan disain penelitian
3. pengumpulan data
4. analisis data
5. penulisan laporan peneltian
4.1. Perumusan Masalah
Ilmu Sosiologi semakin berkembang berkat hasil pemikiran dan hasil penelitian sejumlah
ahli besar sosiologi, terutama mereka yg telah berhasil mengungkapkan temuan-temuan baru.
Sebelum memulai suatu penelitian, seorang ahli sosiologi terlebih dahulu melakukan tinjauan
pustaka (literature review), yaitu tinjauan terhadap bahan-bahan pustaka yang ada di bidang yang
bersangkutan agar dapat mengetahui temuan-temuan apa sajakah yang sebelumnya pernah
dilakukan oleh ahli sosiologi lain.Seseorang yang ingin meneliti masalah sosiologi agama
misalnya, paling tidak perlu mengenal tulisan tokoh klasik seperti Emile Durkheim dan Max
Weber, maupun tokoh masa kini seperti Robert Bellah, Peter Berger. Mereka yang ingin meneliti
masalah sosiologi pedesaan perlu membaca tulisan ilmuwan seperti Selo Soemardjan,
Koentjaraningrat, Loekman Soetrisno.
Kadang-kadang seorang peneliti melakukan penelitian terhadap obyek tertentu tanpa
terlalu memperhatikan hasil karya sosiologi lain yang berkecimpung dalam bidang yang
sama.Mungkin saja beberapa orang peneliti melakukan kegiatan penelitian serupa, tanpa saling
mengetahui kegiatan masing-masing. Kemudian masing-masing merasa ia melakukan sesuatu
yang asli, menemukan sesuatu yang baru. Misalnya saja, selama tujuh tahun, baik Luc
Montagnier dari Institut Pasteur di Paris maupun Gallo dari Institut kesehatan Nasional AS di
Bethesda, Maryland, masing-masing bersiteguh bahwa ialah yang pertama kali menemukan virus
HIV yang menjadi penyebab penyakit AIDS. Semula tercapai kata sepakat bahwa kedua-duanya
berhak mendapat penghargaan sebagai penemu virus HIV, tetapi kemudian Gallo dituduh telah
melakukan kecurangan.
Kemungkinan lain seseorang merasa telah menemukan sesuatu yang sebenarnya sudah
ditemukan oleh ahli lain terdahulu. Masalah ini banyak ditemui dalam masyarakat yang sedang
berkembang di mana sarana komunikasi ilmiah seperti perpustakaan, buku, majalah, makalah
ilmiah masih langka dan tradisi tukar menukar informasi ilmiah masih lemah, sehingga seorang
ilmuwan seolah-seolah bekerja sendiri secara terisolasi. Suatu penelitian diawali dengan suatu
masalah penelitian, tidak selalu berarti masalah sosial. Sebagai contoh Durkheim tertarik pada
gejala bunuh diri, yang dirumuskan sebagai "semua kasus kematian yang secara langsung
ataupun tidak langsung dihasilkan oleh suatu tindak posistif atau negatif si korban sendiri, yang
diketahuinya kan membawa hasil tesebut." Pertanyaan penelitian Durkheim adalah faktor sosial
apakah yang mempengaruhi angka bunuh diri dalam masyarakat? Kenapa angka tersebut
berbeda antara suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya? Dan kenapa angka bunuh diri
dalam masyarakat dapat berubah? Penelitian tersebut mengkaji data bunuh diri di berbagai
wilayah di Eropa kemudian menghasilkan karyanya yang terkenal SUICIDE (1968)
4.2. Penyusunan Disain
Setelah pertanyaan penelitian dirumuskan sehingga si peneliti mempunyai suatu gambaran
mengenai apa yang hendak diketahuinya melalui peneliitian, maka ia harus menemukan metode
penelitian.
Jenis penelitian yang dimaksud terdiri atas :
4.3.1. Survai
Survai adalah sutu jenis penelitian yang mana di dalamnya hal yang hendak diketahui oleh
peneliti dituangkan dalam suatu daftar pertanyaan (questionnaire) baku. Misalnya Karl Max
mengirim daftar pertanyaan ke 25.000 orang buruh di Perancis, dan Max Weber pun dikabarkan
melakukan teknik survei dalam peneltiannya.
Suatu daftar pertanyaan pada umumnya memuat sejumlah pertanyaan yang dikenal dengan
nama pertanyaan tertutup karena subyek penelitian diminta
12
memilih satu dari sejumlah jawaban yang telah disediakan oleh peneliti. Ada pula jenis daftar
pertanyaan yang bersifat terbuka, yakni pertanyaan yang dijawab secara bebas sesuai dengan
keinginan subyek penelitian.
4.3.2. Pengamatan
Pengamatan (Observation) merupakan suatu metode penelitian nonsurvei. Peneliti mengamati
secara langsung perilaku para subyek penelitiannya. Melalui pengamatan terhadap perilaku
seseorang atau sekelomok orang dalam kurun waktu yang relatif lama, seorang peneliti
memperoleh kesempatan untuk memperoleh banyak data yang bersifat mendalam dan rinci,
dimana suatu hal yang agak sulit dicapai melalui metode survei.
Selain itu, pengamatan juga memungkinkan peneliti untuk merekam perilaku yang wajar, asli,
tidak dibuat-buat, spontan, yang mungkin kurang nampak bila ia menggunakan metode survai.
4.3.3. Riwayat Hidup
Riwayat hidup merupakan suatu teknik pengumpulan data dalam sosiologi yang jarang
digunakan tetapi dianggap dapat mengungkapkan data yang penting mengenai pengalaman
subyektif yang penting bagi pengembangan teori sosiologi. Kajian terhadap riwayat hidup dapat
mengungkapkan data baru yang belum terungkap dengan memakai teknik pengmpulandata
lainnya. Studi Sosiologi yang terkenal yang memakai pendekatan ini adalah tulisan Thomas dan
Znaniecki: The Polish Peasants in Europe dan America. Tulisan lainnya yg menggunakan metode
ini adalah buku yang berjudul The Jack-Roller yang mengisahkan riwayat hidup seseorang yang
disekap dalam rumah tahanan untuk anak nakal.
4.3.4. Studi Kasus
Dalam penelitian dengan memakai teknik studi kasus berbagai segi kehidupan sosial sutu
kelompok sosial menyeluruh. Penelitian studi kasus klasik dalam sosiologi ialah penelitian
Robert S. Lynd dan Helen Merrel Lynd terhadap kehidupan masyarakat sutu kota kecil di AS
bagian tengah yang mereka beri nama samaran Middletown. Tujuan penelitian ini sangat luas
karena mencakup segi pencaharian nafkah, pembentukkan rumah tangga, sosialisasi anak,
penggunaan waktu luang, kegiatan di bidang keagamaan sampai pada keterlibatan dalam
kegiatan komunitas. Hasil penelitan mereka dituangkan dalam dua buku: Middletown: A Study
in Modern American Culture (1929) dan Middletown in Transition: A Study in Cultural Conflict
(1937).
4.3.5. Analisis Isi
Suatu masalah penelitian dapat pula diungkapkan dengan jalan menganalisis isi berbagai
dokumen seperti surat kabar, majalah, dokumen resmi maupun naskah di bidang seni sastra. Data
dari berbagai sumber tersebut dialihkan menjadi suatu bentuk yang dapat dianalisis secara
kuantitatif.
4.3.6. Eksperimen
meskipun teknik eksperimen lebih banyak dijumpai dalam ilmu sosial lain seperti psikologi,
namun dalam hal tertentu kita juga menjuampai eksperimen dalam sosiologi. Salah satu contoh
adalah penelitioan yang dilakukan oleh Michael Wolff. Ia melakukan studi mengenai interaksi
diantara pejalan kaki dikala mereka berpapasan di tengah kota. Dalam eksperimen ini anggota
tim peneliti berjalan lurus ke depan meskipun dari arah berlawanan seorang pejalan kaki lain
berjalan tepat ke arahnya untuk melihat bagaimana reaksi pihak lawan di kala
kedua orang hampir bertabrakan. Dari berbagai reaksi tersebut kemudian disimpulkan adanya
pola tertentu dalam interaksi demikian (gerak tubuh dan gerak tangan tertentu untuk menghindari
kontak fisik, benturan kecil yang kadang-kadang tidak dapat dihindarkan, umpatan manakala
benturan terjadi).
Eksperimen dapat pula terdiri atas perbandingan anatara kelompok yang diberi perlakuan
(experimental group) dan kelompok yang tidak diberi perlakuan (Control Group). Eksperimen
dilakukan terhadap dua kelompok yang anggotanya dianggap mempunyai ciri yang sama.
4.3.7. Penelitian Kualitatif Dan Kuantitatif
Penelitian yang menggunakan metode survai dan sensus menggunakan pendekatan kuantitatif,
karena data yang dikumpulkan dapat diukur, seperti tinggi pendidikan, banyaknya jenis
pekerjaan, besarnya penghasilan warga. Pendekatan ini dapat pula menggunakan metode
penelitian lain seperti eksperimen, penggunaan data yang tersedia atau analisis isi.
Sedangkan pendekatan kualitatif, mengutamakan segi kualitas data. Teknik pengumpulan data
yang digunakan antara lain teknik pengamatan (observasi) serta wawancara mendalam.
13
Komunikasi merupakan proses penyampian pesan dari komunikator (penyampai) pesan) kepada
komunikan (penerima pesan). Komunikasi berlangsung apabila seseorang menyampikan suatu
stimulus (rangsang) yang kemudian memeproleh arti tertentu yang dijawab (respon) oleh orang
lain.
Komunikasi diartikan bahwa seseorang memberikan tafsiran pada perilaku orang lain (bisa
berupa pembicaraan, gerak-gerak badaniah atau sikap); dan perasaan-perasaan apa yang ingin
disampikan oleh orang tersebut. Orang tersebut kemudian memberikan respon/reaksi terhadap
apa yang disampaikan. Misalnya apabila seorang gadis menerima seikat bunga, secara spontan ia
akan mencium bunga tersebut; akan tetapi yang menjadi pertanyaan dari gadis tersebut adalah
siapa yang mengirim bunga tersebut, dan apa yang menyebabkan dia mengirimkannya. Apakah
bunga tersebut dikirimkan sebagai tanda cinta, perhatian, untuk mendamaikan suatu perselisihan,
untuk peringatan hari ulang tahun, untuk memenuhi janji, sebagai tanda simpati atas kesehatan
seseoraang dll. Apabila gadis tersebut tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut,
maka dia-pun tidak tahu apa yang akan dilakukannya, dan selama itu juga belum terjadi
komunikasi.
Dalam komunikasi terjadi pula berbagai macam penafsiran terhadap tingkah laku orang lain.
Misalnya seulas senyum bisa ditafsirkan sebagai keramahtamahan, sikap bersahabat. Lirikan bisa
ditafsirkan bahwa mungkin orang tersebut tidak senang atau malah sebaliknya menunjukkan
ketertarikan.
5.3. Dasar Berlangsungnya Interaksi Sosial
Dasar berlangsungnya proses interaksi sosial didasarkan pada berbagai faktor yaitu :
1. Imitasi
Imitasi adalah proses meniru yang menyebabkan terjadinya interaksi sosial.
2. Sugesti
Sugesti adalah proses mempengaruhi dari seseorang kepada orang lain. Prosesnya akan efektif
apabila penerima sugesti dalam kedudukan lebih rendah, dalam keadaan mental yang tidak
seimbang, atau apabila pemberi sugesti adalah orang yang lebih berwibawa.
3. Identifikasi
Identifikasi adalah kecenderungan untuk menjadi sama dengan orang lain yang menjadi
idolanya. Identifikasi sifatnya lebih mendalam dari imitasi, oleh karena kepribadian seseorang
dapat terbentuk pada proses ini.
4. Simpati
Simpati merupakan proses di mana seseorang merasa tertarik pada pihak lain. Ketertarikan
menyebabkan orang cenderung untuk ingin selalu berhubungan.
Hal-hal tersebut di atas merupakan faktor-faktor minimal yang menjadi dasar bagi
berlangsungnya proses interaksi sosial, walaupun di dalam kenyataannya proses tadi memang
sangat kompleks, sehingga kadang-kadang sulit mengadakan pembedaan tegas antara faktorfaktor tersebut.
5.4. Bentuk-bentuk Interaksi Sosial
Bentuk-bentuk interaksi sosial dapat berupa kerja sama (cooperation), persaingan (competition),
pertentangan (conflict). Secara rinci bentuk-bentuk interaksi sosial adalah sebagai berikut :
1. Kerjasama (cooperation)
Kerjasama maerupakan suatu usaha bersama antara orang perorangan atau kelompok manusia
untuk mencapai satu atau beberapa tujuan bersama. Bentuk kerjasa antara lain : bargaining,
cooptation, coation, dan joint venture.
(a) Bargaining adalah pelaksanaan perjanjian mengenai pertukaran barang-barang dan jasa-jasa
antara dua organisasi atau lebih
(b) Cooptation adalah suatu penerimaan unsur baru dalam kepemimpinan baru dalam organisasi
atau kehidupan politik
(c) Coalition adalah penggabungan dua organisasi atau lebih untuk mencapai tujuan bersama
(d) Joint venture adalah kerjasama dalam pendirian atau penyelesaian proyek-proyek tertentu.
2. Akomodasi
Akomodasi bisa menunjuk sebagai suatu keadaan atau proses. Akomodasi sebagai suatu proses
adalah usaha untuk meredakan suatu pertentangan, dalam mencapai kestabilan. Akomodasi
sebagai suatu keadaan adalah apabila antara dua kelompok yang saling bertentangan berhenti
tidak bertikai, tetapi masih dalam kondisi bertentangan. Bentuk-bentuk akomodasi antara lain :
(a) Coercion (penggunaan paksaan atau kekerasan)
Adalah suatu akomodasi yang prosesnya dilaksanakan secara paksaan, di mana salah satu pihak
menguasai pihak lain.
(b) Compromise (kompromi)
15
Adalah suatu akomodasi di mana pihak-pihak yang berlawanan saling mengurangi tuntutannya
dengan mengadakan kesepakatan-kesepakatan (kompromi)
(c) Arbritation (perwasitan)
Adalah penyelesaian melalui pihak ketiga, apabila masing-masing pihak yang bertentangan tidak
mampu menyelesaikan sendiri.
(d) Mediation (mediasi)
Penyelesaian sengketa yang menyerupai arbritation, tetapi pihak ketiga hanya sebagai perantara
dan tidak mempunyai kewenangan mengambil prakarsa.
(e) Conciliation (konsiliasi)
Adalah usaha untuk mempertemukan keinginan pihak-pihak yang berselisih, agar tercapai
persetujuan bersama.
(f) Toleration (toleransi)
Toleransi merupakan bentuk akomodasi tanpa persetujuan bersama. Misalnya toleransi antarumat
beragama di Indonesia, masing-masing umat beragama berusaha menghindarkan diri dari
perselisihan.
(g) Stalemate (buntu)
Adalah pihak-pihak yang saling bertentangan karena mempunyai kekuatan seimbang berhenti
pada suatu titik tertentu dalam melakukan pertentangan. Misalnya perang dingin anatar AmerikaRusia di masa lalu karena masalah nuklir
(h) Adjudication (keputusan pengadilan)
Adalah penyelesaian perkara atau sengketa melalui pengadilan.
3. Akulturasi
Membicarakan akulturasi lebih tepat dalam kaitannyan dengan perubahan kebudayaan.
Akulturasi terjadi apabila suatui kelompok masyarakat dengan kebudayaan tertentu berinteraksi
dengan unsur-unsur kebudayaan asing yang dibawa kelompok lain, sehingga lambat laun unsur
kebudayaan asing itu diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri, tanpa menyebabkan
hilangnya kepribadian kebudayaan yang menyerapnya.
4. Asimilasi
Adalah proses sosial yang ditandai dengan adanya usaha-usaha untuk mengurangi perbedaan
antara kelompok-kelompok yang berbeda tetapi sudah bergaul cukup lama. Asimilasi ideal
apabila kebudayaan-kebudayaan dari kelompok yang berbeda berubah saling menyesuaikan diri.
Faktor-faktor yang mempermudah terjadinya asimilasi :
1). Adanya toleransi amsing-masing kelompok
2). Kesempatan dalam bidang ekonomi yang seimbang
3). Sikap saling menghargai kebudayaan amsing-masing
4). Sikap terbuka dan mau bekerja sama
5). Adanya unsur-unsur kebudayaan yang mirip atau memiliki persamaan
6). Antara kelompok yang berbeda terjadi perkawinan
7). Adanya musuh bersama dari luar, sehinggaa menodorng masing-masing kelompok untuk
bersatu
Faktor-faktor yang mempersulit terjadinya asimilasi :
1). Perbedaan ciri-ciri fisik badaniah
2). Identitas sosial khas yang terus-menerus dipertahankan
3). Dominasi ekonomi oleh kelompok tertentu
4). Terisolasinya kelompok tertentu dalam suatu kawasan, misalnya kelompok dengan tingkat
ekonomi lebih baik menghuni suatu kawasan pemukiman khusus (perumahan elit) akan
menyulitkan pembaauran dan asimilasi.
5. Persaingan
Persaingan adalah suatu proses sosial di mana orang perorangan atau kelompok bersaing untuk
memperebutkan sesuatu yang jumlahnya terbatas. Persaingan perorangan disebut persaingan
pribadi, sedangkan persaingan yang tidak bersifat pribadi merupakan persaingan antar kelompok,
misalnya persaingan antara dua perusahaan dalam memperebutkan daerah pemasaran.
6. Pertikaian atau pertentangan
Pertentangan (conflict) adalah usaha menentang pihak lawan dalam mencapai tujuan. Bentukbentuk pertentangan antara lain :
1). Pertentangan pribadi
2). Pertentangan rasial
3). Pertentangan antara kelas-kelas sosial
4). Pertentangan politik
5). Pertentangan yang bersifat internasional
5.5. Interaksi Sosial dalam Perspektif Teori Interaksionisme Simbolik
16
Dalam mempelajari interaksi sosial digunakan pendekatan tertentu, yang dikenal dengan nama
interactionist perspektive. Di antara berbagai pendekatan yang digunakan untuk mempelajari
interaksi sosial, dijumpai pendekatan yang dikenal dengan nama symbolic interactionism
(interaksionisme simbolik). Pendekatan ini bersumber pada pemikiran George Herbert Mead.
Dari kata interaksionisme tampak bahwa sasaran pendekatan ini adalah interaksi sosial;
sementara kata simbolik mengacu pada penggunaan simbol-simbol dalam interaksi.
Simbol menurut Leslie White didefinisikan sebagai a thing the value or meaning of
which is bestowed upon by those who use it. Jadi simbol merupakan sesuatu yang nilai atau
maknanya diberikan kepadanya oleh seseorang (mereka) yang mempergunakannya. Menurut
White makna atau nilai tersebut tidak berasal dari atau ditentukan oleh sifat-sifat yang secara
instrinsik terdapat di dalam bentuk fisiknya. Makna suatu simbol, menurut White hanya dapat
ditangkap melalui cara-cara non sensoris; melalui cara-cara simbolis. Misalnya : makna suatu
warna tergantung mereka yang mempergunakannya. Warna merah, misalnya dapat berarti berani
(dalam bendera kita merah berarti berani, putih suci); namun dapat pula berarti komunis (kaum
merah); dapat pula berarti tempat pelacuran (daerah lampu merah). Warna putih berarti suci;
dapat pula berarti berkabung; dapat pula berarti menyerah.
Makna-makna tersebut tidak dapat ditangkap dengan panca indera; sebagaimana dikemukakan
oleh White bahwa makna-makna tersebut tidak ada kaitannya dengan sifat-sifat yang secara
intrinsik terdapat pada warna. Hal yang sama misalnya, air atau benda lain yang dianggap suci.
Kesucian hewan tertentu (misalnya sapi bagi orang India), atau benda lain (seperti air, patung)
tergantung pada makna yang diberikan oleh pihak yang menggunakannya. Jadi kesucian suatu
benda tidak ada hubungannya dengan sifat-sifat intrinsik yang melekat pada benda tersebut.
Herbert Blumer salah seorang penganut pemikiran Mead, berusaha menjabarkan
pemikiran Mead mengenai interaksionisme simbolis. Menurut Blumer pokok pikiran
interaksionisme simbolik ada tiga :
(1) Pertama manusia bertindak (act) terhadap sesuatu (thing) atas dasar makna (meaning) yang
dipunyai sesuatu tersebut baginya. Dengan demikian tindakan (act) seorang penganut agama
Hindu di India terhadap seekor sapi (thing) akan berbeda dengan tindakan seseorang penganut
agama Islam di Pakistan, karena masing-masing orang tersebut memiliki makna (meaning)
yang berlainan terhadap sapi.
(2) Kedua Blumer mengemukakan bahwa makna yang dipunyai sesuatu tersebut berasal atau
muncul dari interaksi sosial antara seseorang dengan sesamanya. Mengapa dalam masyarakat
kita warna merah bermakna berani, dan putih suci? Mengapa orang yang ideologinya radikal
sering disebut kiri? Makna yang diberikan orang pada konsep-konsep merah, putih, kanan, kiri
ini muncul dari interkasi sosial, Keberanian tidak melekat pada warna merah (sebagai telah
disebutkan, dalam konteks warna merah dapat pula diartikan sebagai komunisme atau tempat
pelacuran) dan pandangan ideologis pun tidak ada kaitannya dengan arah kiri atau kanan.
(3) Ketiga Blumer mengemukakan bahwa makna diperlakukan atau diubah melalui suatu proses
penafsiran (interpretative process), yang digunakan orang dalam menghadapi sesuatu yang
dijumpainya. Yang hendak ditekankan Blumer di sini ialah bahwa makna yang muncul dari
interaksi tersebut tidak begitu saja diterima oleh seseorang melainkan ditafsirkan terlebih dahulu.
Apakah seseorang akan menanggapi dengan baik ucapan selamat pagi atau assalamualaikum,
tergantung pada penafsirannya apakah si pemberi salam tersebut beritikad baik ataukah beritikad
buruk.
5.6. Definisi Situasi
Konsep lain yang juga penting diperhatikan dalam pembahasan mengenai interkasi sosial
ialah konsep definisi situasi (the definitiation of the situation) dari William Isac Thomas (1968).
Berbeda dengan pandangan yang mengatakan bahwa interkasi manusia merupakan pemberian
tanggapan (response) terhadap rangsangan (stimulus), maka menurut Thomas seseorang tidak
segera memberikan reaksi manakala ia mendapat rangsangan dari luar. Menurutnya tindakan
seseorang selalu didahului suatu tahap penilaian dan pertimbangan; rangsangan dari luar
diseleksi melalui proses yang dinamakannya definisi atau penafsiran situasi. Dalam proses ini
orang yang bersangkutan memberi makna pada rangsangan yang diterimanya itu. Misalnya
dalam proses ini orang yang memberi salam, maka rangsangan yang berupa ucapan selamat
pagi diseleksi dan diberi makna. Bila menurut definisi situasi seorang gadis ucapan selamat
pagi dari seorang pria yang belum dikenalnya tidak dilandasi itikad baik, ia akan cenderung
memberikan reaksi berupa tindakan yang sesuai dengan penafsirannya-misalnya mengabaikan
salam tersebut.
Dalam kaitannya dengan definisi situasi ini, Thomas terkenal karena ungakpannya :
when men define situations as real, they are real in the consequnces bila orang
mendefinisikan situasi sebagai hal yang nyata, maka konsekuensinya nyata. Yang
17
dimaksudkannya di sini ialah bahwa definisi situasi yang dibuat orang akan membawa
konskeunsi nyata.
Thomas membedakan antara dua macam definisi situasi : definisi situasi yang dibuat
secara spontan oleh individu, dan definisi situasi yang dibuat oleh masyarakat (definisi situasi
yang mengatur interaksi manusia). Definisi situasi dibuat oleh masyarakat keluarga, teman,
komunitas. Thomas melihat adanya persaingan antara kedua macam definisi situasi tersebut.
Menurutnya moralitas yang berwujud aturan atau hukum muncul untuk mengatur kepentingan
pribadi agar tidak bertentangan dengan kepentingan masyarakat.
BAB 6 SOSIALISASI
6.1. Pengertian Sosialisasi
Peter L. Berger mencatat adanya perbedaan penting antara manusia dengan makhluk lain.
Berbeda dengan makhluk lain yang seluruh perilakunya dikendalikan oleh naluri yang diperoleh
sejak awal hidupnya. Sementara hewan tidak perlu menentukan misalnya apa yang harus
dimakannya karena hal itu sudah diatur naluri; manusia harus memutuskan apa yang harus
dimakannya dan kebiasannya yang harus selalu ditegakkannya. (Sunarto, 1993:27). Karena
keputusan yang diambil suatu kelompok dapat berbeda dengan kelompok lain, maka kemudian
dijumpai keanekaragaman kebiasaan dalam soal makanan. Ada kelompok yang makanan
pokoknya nasi, roti, sagu, jagung. Kalau hewan berjenis kelamin berlainan dapat saling
berhubungan karena naluri, sementara manusia mengembangkan kebiasaan mengenai hubungan
laki-laki dan perempuan. Kebiasaan yang berkembang dalam tiap kelompok tersebut kemudian
menghasilkan berbagai macam sistem pernikahan yang berbeda satu sama lain. Kemudian
keseluruhan kebiasaan yang dipunyai manusia tersebut, baik dalam bidang ekonomi,
kekeluargaan, pendidikan, agama, politik dan sebagainya haris dipelajari oleh setiap anggota
baru suatu masyarakat melalui suatu proses yang dinamakan sosialisasi.
Berger mendefinisikan sosialisasi sebagai a process by which a child learns to be a participant
member of society (Sunarto, 1993:27). (proses melalui mana seorang anak belajar menjadi
seorang anggota yang berpartisipasi dalam masyarakat). Wright mendefinisikan sosialisasi
sebagai proses ketika individu mendapatkan kebudayaan kelompoknya dan menginternalisasikan
(sampai tingkat tertentu) norma-norma sosialnya, sehingga membimbing orang itu untuk
memperhitungkan harapan-harapan orang lain.(Wright, 1988:182). Sosialisasi tidak bersifat
sekaligus/total, dalam arti merupakan proses yang terus berlangsung, bergerak dari masa kanakkanak sampai usia tua. Misalnya beberapa norma, seperti peraturan-peraturan dasar mengenai
makanan dan makan, disampaikan kepada individu sewaktu ia masih kanak-kanak; beberapa
norma lainnya seperti norma pacaran ditangguhkan sampai usia berikutnya (ketika memasuki
usia awal remaja). Beberapa lagi yang lain melibatkan pengajaran yang terus-menerus dan
dilakukan sepanjang kehidupan manusia. Tanggung jawab sosialisasi biasanya di tangan lembaga
atau orang-orang tertentu, tergantung pada aspek-aspek yang harus terlibat. Misalnya, pendidikan
agama diarahkan oleh orang tua sejak kanak-kanak dan oleh ustad setempat atau sekolah taman
kanak-kanak berbasis agama; pendidikan profesi diberikan oleh para spesialis atau lembaga
pendidikan kejuruan ayng berkompeten dalam hal itu, dan lain-lain. Sosialisasi bisa dilakukan
dengan sengaja, maupun terjadi secara tidak disadari ketika individu mengambil petunjuk
mengenai norma-norma sosial tanpa pengajaran khusus mengenai hal itu.
Kemudian apa yang dipelajari seseorang dalam sosialisasi? Menurut sejumlah tokoh sosiologi,
yang diajarkan melalui sosialisasi ialah peranan-peranan. Oleh karena di dalam menjelaskan
sosialisasi, sejumlah tokoh sosiologi menjelaskannya dengan teori peranan (role theory).
6.2. Sosialisasi Menurut Pemikiran Mead
George Herbert Mead mengemukakan teori sosialisasi yang diuraikan dalam bukunya
Mind, Self, Society. Mead mengemukakan tahap-tahap pengembangan diri (self) manusia.
Manusia yang baru lahir belum mempunyai diri. Diri manusia berkembang secara bertahap
melalui interaksi dengan anggota masyarakat lain. Menurut Mead pengembangan diri manusia
ini berlangsung melalui beberapa tahap yaitu tahap play stage, tahap game stage, dan tahap
generalized other.
Menurut Mead setiap anggota baru masyarakat harus mempelajari peranan-peranan yang
ada dalam masyarakat-suatu proses yang dinamakannya pengambilan peranan (role taking).
Dalam proses ini seseorang belajar untuk mengetahui peranan yang harus dijalankannya serta
peranan yang harus dijalankan orang lain. Melalui penguasaan peranan yang ada dalam
masyarakat ini seseorang dapat berinteraksi dengan orang lain.
Pada tahap pertama, play stage, merupakan suatu tahap di mana seorang anak mulai belajar
mengambil peranan orang-orang yang berada di sekitarnya. Ia mulai menirukan peranan yang
18
diajlankan orang tuanya atau orang dewasa lain dengan siapa ia sering berinteraksi. Dengan
demikian sering dijumpai ketika anak kecil sedang bermain sering meniru peranan yang
dijalankan oleh ayah, ibu, kakak, nenek, polisi, dokter, guru dan sebagainya. Namun dalam tahap
ini anak belum bisa memahami isi peranan-peranan yang ditirunya. Misalnya seorang anak yang
meniru mengenakan dasi kemudian pura-pura berangkat ke kantor, atau seorang yang berpurapura menjadi polisi, petani, dokter ia belum memahami mengapa ayah pergi ke kantor,
mengapa dokter memeriksa pasien, atau mengapa petani mencangkul.
Pada tahap game stage, seorang anak tidak hanya telah mengetahui peranan yang haruis
dijalankannya, tetapi telah pula mengetahui peranan yang harus dijalankan oleh orang lain
dengan siapa ia berinteraksi. Contoh yang dikemukakan Mead ialah dalam suatu pertandingan :
seorang anak yang bermain dalam suatu pertandingan tidak hanya mengetahui apa yang
diharapkan orang lain darinya, tetapi juga apa yang diharapkan dari orang lain yang ikut bermain
dalam pertandingan tersebut. Misalnya dalam suatu pertandingan sepak bola seorang pemain
bola tahu peranan apa yang sedang ia jalankan, sekaligus juga mengetahui peranan para pemain
lain, wasit, penjaga garis dan sebagainya. Menurut Mead pada tahap ini seseorang telah dapat
mengambil peranan orang lain.
Pada tahap awal sosialisasi interaksi seorang anak biasanya terbatas pada sejumlah kecil orang
lain, biasanya anggota keluarga, terutama ayah ibu. Oleh Mead orang-orang penting dalam
proses sosialisasi ini dinamakan significant others. Pada tahap ketiga seseorang dianggap telah
mampu mengambil peranan-peranan yang dijalankan orang lain dalam masyarakat, mampu
mengambil peran generalized others. Ia telah mampu berinteraksi dengan orang lain dalam
masyarakat karena telah memahami perannya sendiri serta peranan orang lain dengan siapa ia
berinteraksi. Selaku anak ia telah memahami peranan yang dijalankan orang tua, selaku siswa ia
memahami peranan guru, selaku anggota masyarakat ia memahami peranan para tokoh
masyarakat. Menurut Mead orang tersebut telah mempunyai suatu diri. Dari pendapat Mead
tersebut di atas nampak bahwa menurut Mead, diri seseorang terbentuk melalui interaksi dengan
orang lain.
6.3. Sosialisasi Menurut Pemikiran Cooley
Pandangan lain yang juga menekankan pada peranan interaksi dalam proses sosialisasi
adalah Charles H. Cooley. Menurut Cooley konsep diri (self concept) seseorang berlkembang
melalui interaksinya dengan orang lain. Diri yang berlkembang melalui interaksi dengan orang
lain oleh Cooley diberi nama looking-glass self. Ia menamakannya demikian karena ia melihat
analogi antara pembentukan diri seseorang dengan perilaku orang yang sedang bercermin; kalau
cermin memantulkan apa yang terdapat di depannya, maka menurut Cooley diri seseorang pun
memantulkan apa yang dirasakannya sebagai tanggapan masyarakat terhadapnya.
Cooley berpendapat bahwa looking-glass self terbentuk melalui tiga tahap. Pada tahap
pertama seseorang mempunyai persepsi mengenai pandangan orang lain terhadapnya. Pada tahap
berikut seseorang mempunyai persepsi mengenai penilain orang lain terhadap penampilannya.
Pada tahap ketiga seseorang mempunyai perasaan terhadap apa yang dirasakannya sebagai
penilaian orang lain terhadapnya itu.
Untuk memahami pandangan Cooley, bisa dicontohkan di sini seorang mahasiswa yang
cenderung memperoleh nilai-nilai rendah (misalnya nilai D atau E) dalam ujian-ujian
semesternya, misalnya menganggap para dosen di jurusannya menganggap bodoh. Ia merasa
bahwa karena ia dinilai bodoh, maka ia merasa pula para dosen kurang menghargainya. Karena
merasa kurang dihargai, mahasiswa tersebut menjadi murung.
Jadi di sini perasaan seseorang mengenai penilaian orang lain terhadap dirinya menentukan
penilaiannya mengenai diri sendiri. Diris eseorang merupakan pencerminan dari penilaian orang
lain (looking-glass self). Dalam kasusu tersebut di atas, pelecehan oleh dosen ini ada dalam
benak si mahasiswa dan mempengaruhi pandangannya mengenai dirinya sendiri, terlepas dari
soal apakah dalam kenyataan para dosen memang berperasaan demikian terhadapnya.
Apa yang terjadi bila seseorang tidak mengalami sosialisasi? Seseorang yang ingin berperan
sebagai anggota masyarakat - agar seseorang mempunyai diri, maka seseorang tidak dapat
berinterkasi dengan orang lain. Hal ini terungkap dari kasus anak-anak ditemukan dalam keadaan
terlantar (feral children). Giddens (1990) mengisahkan kasus anak-anak yang tidak disosialisasi
(Giden menamakan unsocialized children), yaitu seorang anak laki-laki berusia sekitar 11-12
tahun yang pada tahun 1990 ditemukan di desa Saint-Serin , Perancis dan kasus gadis berisia tiga
belas tahun di California, Amerika Serikat yang disekap ayahnya dalam gudang gelap sejak
berusia satu setengah tahun.
Dari kasus di atas terungkap bahwa anak-anak yang ditemukan tersebut tidak berperilaku sebagai
manusia. Mereka tidak dapat berpakaian, buang air kecil dengan tertib, atau berbicara. Mereka
ada yang tidak bisa mengunyah makanan, juga tidak dapat tertawa atau menangis.
19
dipelajari dan dialami bersama secara sosial oleh para anggota suatu masyarakat. (Horton dan
Hunt,1991:58).
Berdasar asal usul katanya kebudayaan berasal dari bhs Sansekerta buddhayah (bentuk jamak).
Bentuk tunggal : buddhi (budi atau akal). Jadi berdasarkan asal usul katanya kebudayaan
diartikan dengan hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal. Dari bahasa Inggris culture
berasal dari bhs Latin (colere) yang artinya mengolah atau mengerjakan, yaitu mengolah tanah
atau bertani. Jadi culture adalah segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan
mengubah alam. (Soekanto, 1990:188).
Selo Sumarjan & Sulaeman Sumardi memberikan pengertian kebudayaan sebagai semua hasil
karya, rasa, cipta dan karsa masyarakat. (Soekanto, 1990:189). Karya (material culture)
menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah yang diperlukan
oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya, agar kekuatan serta hasilnya dapat dipergunakan
oleh masyarakat.
Rasa meliputi jiwa manusia, mewujudkan segala kaidah dan nilai-nilai social yang perlu untuk
mengatur masalah-masalah kemasyarakatan dalam arti luas. Di dalamnya termasuk misalnya
agama, ideology, kebatinan, kesenian, dan semua unsur yang merupakan hasil ekspresi jiwa
manusia yang hidup sebagai anggota masyarakat.
Cipta (immaterial culture) merupakan kemampuan mental, kemampuan berpikir yang
menghasilkan filsafat serta ilmu pengetahuan. Karsa merupakan kecerdasan dlm menggunakan
karya, rasa dan cipta scr fungsional menghasilkan sesuatau yang bermanfaat bagi manusia
Kebudayaan dapat dibagi ke dalam dua bentuk yaitu kebudayaan materi dan nonmateri.
Kebudayaan nonmaeri terdiri dari kata-kata yang dipergunakan orang, hasil pemikiran,m adat
istiadat, keyakinan, dan kebiasaan yang diikuti anggota masyarakat. Kebuadayaan materi terdiri
atas benda-benda hasilkarya misalnya, alat-alat, mebel, mobil, bangunan ladang yang diolah,
jembatan dsb.
Kebudayaan (culture) sering dicampuradukan dengan masyarakat (society), yang sebenarnya arti
keduanya berbeda. Kebuadayaan adalah sistem nilai dan norma, sementara masyarakat adalah
sekumpulan manusia yang secara relatif mendiri, yang hidup bersama-sama cukup lama, yang
mendiami suatu wilayah tertentu, memeliki kebuadayaan yang sama, dan melakukan sebagain
besar kegiatannya dalam kelompok tersebut. Masyarakat adalah suatu organisasi manusia yang
saling berhubungan satu sama lain. Kebudayaan adalah suatu sistem nilai dan norma yang
terorganisasi yang menjadi pegangan bagi masyarakat tersebut.
7.2. Fungsi Kebudayaan bagi Masyarakat
Kebudayaan mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat. Bermacam
kekuatan yang harus dihadapi masyarakat dan anggota-anggotanya seperti kekuatan clam,
maupun kekuatan-kekuatan lainnya di dalam masyarakat itu sendiri yang tidak selalu baik
baginya. Kecuali itu, manusia dan masyarakat memerlukan pula kepuasan, baik di bidang
spiritual maupun materiil. Kebutuhan-kebutuhan masyarakat tersebut di atas, untuk sebagian
besar dipenuhi olch kebudayaan yang bersumber pada masyarakat itu sendiri. Dikatakan
sebagian besar oleh karma kemampuan manusia adalah terbatas, dan dengan demikian
kemampuan kebudayaan yang merupakan basil ciptaannya juga terbatas di dalam memenuhi
segala kebutuhan.
Hasil karca masyarakat melahirkan teknologi atau kebudayaan kebendaan yang
mempunyai kegunaan utama di Main melindungi masyarakat terhadap lingkungan dalamnya.
Teknologi pada hakikatnya meliputi paling sedikit tujuh unsur, yaitu:
1. alat-alat produktif,
2. senjata,
3. wadah,
4. makanan clan minuman,
5. pakaian dan perhiasan,
6. tempat berlindung dan perumahan,
7. alat-alat transpor.
Dalam tindakan-tindakannya untuk melindungi diri terhadap lingkungan alam, pada taraf
permulaan, manusia bersikap menyerah dan semata-mata bertindak di dalam batas-batas untuk
melindungi dirinya. Taraf tersebut masih banyak dijumpai pada masyarakat-masyarakat yang
hingga kini masih rendah taraf kebudayaannya. Misalnya suku bangsa Kubu yang tinggal di
pedalaman daerah Jambi, masih bersikap menyerah terhadap lingkungan alamnya. Rata-rata
mereka itu masih merupakan masyarakat yang belum mempunyai tempat tinggal tetap, hal mana
disebabkan karena persediaan bahan pangan semata-mata tergantung dari lingkungan alam. Taraf
teknologi mereka belum mencapai tingkatan di mana kepada manusia diberikan kemungkinankemungkinan untuk memanfaatkan dan menguasai lingkungan alamnya.
21
Keadaannya berlainan dengan masyarakat yang sudah kompleks, di mana taraf kebudayaannya
lebih tinggi. Hasil karya manusia tersebut, yaitu teknologi, memberikan kemungkinankemungkinan yang sangat luas untuk memanfaatkan hasil-hasil alam dan apabila mungkin
menguasai alam. Perkembangan teknologi di negara-negara besar seperti Amerika Serikat,
Soviet Rusia, Perancis, Jerman dan sebagainya, merupakan beberapa contoh dimana
masyarakatnya tidak lagi pasif menghadapi tantangan alam sekitar.
7.3. 7 Unsur Kebuadayaan Universal
Istilah ini menunjukkan bahwa unsur-unsur tersebut bersifat universal, yaitu dapat dijumpai pada
setiap kebudayaan di manapun di dunia ini. Para antropolog yang membahas persoalan tersebut
secara lebih mendalam, belum mempunyai pandangan seragam yang dapat diterima.
Antropolog C. Kluckhohn di dalam sebuah karyanya yang berjudul Universal Categories of
Culture" telah menguraikan ulasan para sarjana mengenai hal itu. Inti pendapat-pendapat para
sarjana itu menunjuk pada adanya tujuh unsur kebudayaan yang dianggap sebagai cultural
universals, yaitu:
1. Peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian perumahan, alat-alat rumah tangga,
senjata, alat-alat produksi transpor dan sebagainya).
2. Mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi (pertanian peternakan, sistem produksi,
sistem distribusi dan sebagainya).
3. Sistem kemasyarakatan (sistern kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, sistem
perkawinan).
4. Bahasa (lisan maupun tertulis).
5. Kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak dan sebagainya).
6. Sistem pengetahuan.
7. Religi (sistem kepercayaan).
Cultural-universals tersebut di atas, dapat dijabarkan lagi ke dalam unsur-unsur yang lebih kecil.
Ralph Linton menyebutnya kegiatan-kegiatan kebudayaan atau cultural aclivity.13 Sebagai
contoh, cultural universals pencaharian hidup dan ekonomi, antara lain mencakup kegiatankegiatan seperti pertanian, peternakan, sistem produksi, sistem distribusi dan lain-lain. Kesenian
misalnya, meliputi kegiatan-kegiatan seperti seni tari, seni rupa, seni suara dan lain-lain.
Selanjutnya Ralph Linton merinci kegiatan-kegiatan kebudayaan tersebut menjadi unsur-unsur
yang lebih kecil lagi yang disebutnya trait-complex. Misalnya, kegiatan pertanian menetap
meliputi unsure-unsur irigasi, sistem mengolah tanah dengan bajak, sistem hak milik atas tanah
dan lain sebagainya. Selanjutnya trait-complex mengolah tanah dengan bajak, akan dapat
dipecah-pecah ke dalam unsur-unsur yang lebih kecil lagi umpamanya hewan-hewan yang
menarik bajak, teknik mengendalikan bajak dan seterusnya. Akhirnya sebagai unsur kebudayaan
terkecil yang membentuk traits, adalah items. Apabila diambil contoh alat bajak tersebut di atas
maka, bajak tadi terdiri dari gabungan alat-alat atau bagian-bagian yang lebih kecil lagi yang
dapat dilepaskan, akan tetapi pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan. Apabila salah-satu
bagian bajak tersebut dihilangkan, maka bajak tadi tak dapat melaksanakan fungsinya sebagai
bajak. Menurut Bronislaw Malinowski yang selalu mencoba mencari fungsi atau kegunaan setiap
unsur kebudayaan, tak ada suatu unsur kebudayaan yang tidak mempunyai kegunaan yang
cocok dalam rangka kebudayaan sebagai keseluruhan. Apabila ada unsur kebudayaan yang
kehilangan kegunaannya, unsur tersebut akan hilang dengan sendirinya. Kebiasaan-kebiasaan
serta dorongan, tanggapan yang didapat dengan belajar serta dasar-dasar untuk organisasi, harus
diatur sedemikian rupa, sehingga memungkinkari pemuasan kebutuhan-kebutuhan pokok
manusia.
7.4. Kebudayaan sebagai Sistem Norma
Kebudayaan berarti menyangkut aturan yang harus diikuti - maka kebudayaan menentukan
standar perilaku. Sebagai contoh untuk bersalaman kita mengulurkan tangan kanan; untuk
menggaruk kepala boleh menggunakan tangan kiri atau kanan. Karena kebudayaabn kita tidak
memiliki norma untuk menggaruk kepala.
Istilah norma memiliki dua kemungkinan arti. Suatu noema budaya adalah suatu konsep yang
diharapkan ada. Kadang norma statis dianggap sebagai kebudayaan yang nyata. Norma satis
sering disebut sebagai suatu ukuran dari perilaku yang sebenarnya, disetujui atau tidak. Norma
kebudayaan adalah seperangkat perilaku yang diharapkan suatu citra kebuadayaan tentang
bagaimana seharusnya seseorang bersikap.
Berbagai masyarakat telah mencoba berbagai macam pola yang dapat dilaksanakan. Sebagai
contoh contoh suatu masyarakat sudah emncoba makan sambil berdiri, duduk di lanati, duduk di
kursi atau jongkok di lanatai; mereka boleh makan bersama, atau masing-masing sendiri; boleh
menggunakan tangan, sendok; boleh memulai dengan minum anggur, makan soup atau tidak
22
ekduanya. Setiap cara merupakan sekumpulan sejumlah kemungkinan, yang semuanya dapat
dikerjakan. Melalui coba-coba, situasi kebetulan, atau nbeberapa pengaruh yang tidak disadari
suatu masyarakat sampai pada salah satu kemungkinan, mengulanginya dan menerimanya
sebagai cara yang wajar untuk memenuhi kebutuhan tertentu, pakai baju batik, makan nasi dsb.
Generasi baru menyerap kebiasaan tersebut. Mereka terus menerus melihat cara berperilaku
tertentu, mereka yakin itulah cara yang benar.
Kejadian itu diteruskan kepada generasi penerus sebagai salah satu kebiasaan. Folkways
(kebiasaan) : cara yang lazim yang wajar dalam melakukan sesuatu oleh sekelompok orang.
Sebagai contoh berjabat tangan, makan dengan tangan, makan dengan sumpit, makan dengan
sendok-garpu, mengenakan sarung, kopiah, pada kesempayan-kesempatan tertentu. Ada dua
kebiasaan yaitu (1) hal-hal yang seharusnya diikuti sebagai sopan santun dan perilaku sopan, (2)
hal-hal yang harus diikuti karena yakin kebiasaan itu penting untk kesejahteraan masyarakat.
Pandangan salah benar yang menyangkut kebiasaan disebut tata kelakuak (mores). Jadi mores
(tata kelakuan) adalah gagasan yang kuat mengenai salah dan benar yang menuntut tindakan
tertentu dan melarang yang lain.
Biasanya anggota suatu amsyarakat sama-sam merasakan keyakinan yang luhur bahwa
pelanggaran pada tata kelakuakn mereka akan menimbulkan bencana bagi anggota masyarakat
tersebut. Namu kadang-kadang orang luar melihatnya sebagi sesuatu yang tidak masuk akal.
Kalau orang yakin bahwa perilaku tertentu merugikan, maka ia akan dikutuk oleh tata kelakuan.
Tata kelakua adalah keyakinan tentang salah dan benar dalam perilaku/tindakan. Sebagi contoh
kenduri merupakan kebiasaan masyarakat jawa. Dipercaya apabila orang tidak melaksanakan
kenduri akan mendatarngkan bencana bagi masyarakat tersebut.
7.5. Etnosentrisme
Etnosentrisme bisa diartikan sebagai pandangan bahwa kelompoknya sendiri adalah pusat dari
segalanya dan semua kelompok lain dibandingkan dan dinilai sesuai dgn standar kelompok
sendiri. Atau secara bebas bisa dikatakan etnosentrisme adalah kebiasaan setiap kelompok untuk
menganggap kebudayaan kelompoknya sebagai kebuadayaan yang paling baik. Kita
mengasumsikan tanpa pikir atau argument bahwa masyarakat kita merupakan masyarakat
progresif sedangkan masyarakat di luar dunia terbelakang, kesenian kita indah, sedangkan
kesenian lain aneh.
Etnosentrisme membuat kebuadayaan kita sebagai patokan untuk mengukur baik buruknya,
tinggi rendahnya dan ebnar atau ganjilnya kebudayaan lain . ini sering dinyatakan dalam
ungkapkan orang-orang terpilih, ras unguul, penganut sejati, dsb.
7.6. Xenosentrisme
Istilah ini berarti suatu pandangan yang lebih menyukai hal-hal yang berbau asing. Ini adalah
kebailkan yang tepat dari etnosentrisme. Ada banyak kebangga bagi orang-orang tertentu ketika
mereka membayar lebih mahal untuk barang-barang impor dengan asumsu bahwa segala yang
datang dari luar negeri lebih baik.
7.7. Relativisme Kebudayaan
Kita tidak mungkin memahami perilaku kelompok lain dengan sudut pandang motif, kebiasaan
dan nilai yang kita anut. Relativisme kebudayaan fungsi dan arti dari suatu unsur adl
berhubungan dg lingkungan/keadaan kebudayaannya. Motif, kebiasaan, nilai suatu kebudayaan
hrs dinilai/dipahami dari sudut pandang mereka. Relativisme kebuadayaan juga bisa diartikan
segala sesuatu benar pada suatu tempat-tetapi tidak benar pada semau tempat
BAB 8 STRATIFIKASI SOSIAL
8.1. Pengertian Stratifikasi Sosial
Stratifikasi Sosial adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara
bertingkat (Pitirim A. Sorokin dalam Soekanto, 1990). Pembedaan atas lapisan masyarakat
merupakan gejala universal yang merupakan bagian dari sistem sosial masyarakat. Sistem
lapisan masyarakat dapat terjadi dengan sendirinya dalam proses pertumbuhan masyarakat ada
pula yang sengaja disusun untuk mengejar tujuan bersama. Yang biasa menjadi alasan
terbentuknya lapisan masyarakat dengan sendirinya adalah kepandaian, tingkat umur (yang
senior), sifat keaslian keanggotaan kerabat seorang kepala masyarakat, harta dalam batas2
tertentu.
Dalam kebudayaan masyarakat kita menjumpai berbagai pernyataan yang menyatakan
persamaan manusia. Di bidang hukum, misalnya, kita mengenal anggapan bahwa di hadapan
hukum semua orang adalah sama; pernyataan serupa kita jumpai pula di bidang agama. Dalam
23
adat Minangkabau kita mengenal ungkapan "tagok sama tinggi, duduk samo rendah" yang berarti
bahwa setiap orang dianggap sama.
Namun, dalam kenyataan sehari-hari, kita mengalami adanya ketidaksamaan. Dalam kutipan dari
buku Mosca tersebut di atas, misalnya, kita melihat bahwa dalam semua masyarakat dijumpai
ketidaksamaan di bidang kekuasaan: sebagian anggota masyarakat mempunyai kekuasaan,
sedangkan sisanya dikuasai. Kita pun mengetahui bahwa anggota masyarakat dibeda-bedakan
berdasarkan kriteria lain; misalnya berdasarkan kekayaan dan penghasilan, atau berdasarkan
prestise dalam masyarakat. Pembedaan anggota masyarakat berdasarkan status yang dimilikinya
dalam sosiologi dinamakan stratifikasi social (social stratifications).
Beberapa orang sejak lahir orang memperoleh sejumlah status tanpa memandang perbedaan
antar individu atau kemampuan. Berdasarkan status yang diperoleh dengan sendirinya ini,
anggota masyarakat dibeda-bedakan berdasarkan usia, jenis kelamin, hubungan kekerabatan, dan
keanggotaan dalam kelompok tertentu seperti kasta dan kelas. Berdasarkan status yang diperoleh
ini, kita menjumpai adanya berbagai macam stratifikasi.
Suatu bentuk dari stratifikasi berdasarkan perolehan ialah stratifikasi usia (age stratification).
Dalam sistem ini anggota masyarakat yang berusia lebih muda mempunyai hak dan kewajiban
berbeda dengan anggota masyarakat yang lebih tua. Dalam hukum adat masyarakat tertentu,
misalnya, anak sulung memperoleh prioritas dalam pewarisan harta atau kekuasaan. Elizabeth,
putri sulung Raja Inggris George mewarisi tahta Kcrajaan Inggris tatkala ayahnya meninggal
dunia pada tahun 1952; setelah Kaisar Jepang Hirohito meninggal dunia tahta kekaisaran Jepang
diwarisi putra sulungnya, Putra Akihito; di kala Ratu Juliana dari Negeri Belanda turun tahta
beliau digantikan putri sulungnnya Beatrix sedangkan Juliana sendiri pernah mewarisi tahta dari
ibunya, Ratu Wilhelmina.
Asas senioritas yang dijumpai dalam stratifikasi berdasarkan usia ini dijumpai pula dalam bidang
pekerjaan. Dalam berbagai organisasi modern, misalnya, kita sering melihat adanya hubungan
erat antara usia karyawan dengan pangkat mereka dalam organisasi, atau persamaan usia antara
karyawan yang memangku jabatan sama. Ini terjadi karena dalam organisasi tersebut pada
asasnya karyawan hanya dapat memperoleh kenaikan pangkat setelah berselang suatu jangka
waktu tertentu--misalnya dua tahun, atau empat tahun; karena jabatan dalam organisasi hanya
dapat dipangku oleh karyawan yang telah mencapai suatu pangkat minimal tertentu; dan karena
dalam hal terdapat suatu lowongan jabatan baru, karyawan yang dipertimbangkan untuk
mengisinya ialah mcreka yang dianggap paling senior. Sistem yang dianut di kalangan pegawai
negeri kita, misalnya, merupakan perpaduan antara merit system (sistem penghargaan terhadap
prestasi) dan sistem senioritas. Oleh sebab itu tidaklah terlalu mengherankan bilamana kita
menjumpai bahwa jabatan yang dipangku dosen di dalam struktur organisasi pcrguruan tinggi
negeri (seperti jabatan ketua jurusan, pembantu dekan, dekan dan sebagainya) serta jabatan
fungsional mereka (seperti asisten ahli, lektor, guru besar) memperlihatkan hubungan erat
dengan usia para pemangku jaba4ln, meskipun usia memang hukan satu-satunya ukuran yang
dipakai untuk mengusulkan scorang pcmangku jabatitn.
Masih pentingnya asas senioritas dijumpai pula dalam sistem kenaikan pangkat dosen. Dosen
tetap pada perguruan tinggi negeri yang tidak berhasil naik pangkat ke golongan IV sebelum
mencapai usia tertentu, misalnya, akan dipensiunkan dan tidak dapat dipertimbangkan untuk
jabatan guru besar, apa pun gelar akademik yang dimilikinya dan apa pun prestasi dan
sumbangan-nya dalam bidang keahliannya.
Stratifikasi jenis kelamin (sex stratification) pun didasarkan pada faktor perolehan: sejak lahir
laki-laki dan perempuan memperoleh hak dan kewajiban yang berbeda, dan perbedaan tersebut
sering mengarah ke suatu herarki. Dalam banyak masyarakat, status laki-laki lebih tinggi
daripada perempuan. Laki-laki sering memperoleh pendidikan formal lebih tinggi daripada
perempuan. Partisipasi perempuan dalam dunia kerja relatif lebih terbatas, dan dibandingkan
dengan laki-laki para pekerja perempuan pun relatif lebih banyak tcrdapat di strata yang rendah,
dengan status di bidang administratif, dan sering mcnerima upah atau gaji lebih rendah daripada
laki-laki.
Stratifikasi yang didasarkan atas hubungan kekerabatan. Perbedaan hak dan kewajiban antara
anak, ayah, ibu, paman, kakek dan sebagainya sering mengarah ke suatu herarki. Ada pula sistem
stratifikasi yang didasarkan atas keanggotaan dalam kelompok tertentu, seperti stratifikasi
keagamaan (religious stratification), stratifikasi etnik (ethnic stratification) atau stratifikasi ras
(racial stratification). Pembedaan hak dan kewajiban warga masyarakat berdasarkan warna kulit
atau kebudayaan kita jumpai antara lain di di Israel, di mana orang Palestina dan Arab tidak
mempunyai hak yang sama, dengan orang Yahudi. Di Jepang dijumpai perbedaan antara hak dan
kewajiban orang Jepang asli dan orang keturunan Korea. Tatkala di Afrika Selatan masih berlaku
sistem Apartheid, dijumpai pembedaan hak dan kewajiban antara orang Kulit Hitam dan orang
24
Kulit Putih; suatu pembedaan yang di masa lalu pernah dilaksanakan pula di Amerika Serikat
dan beberapa negara Amerika Selatan.
Di samping dibeda-bedakan berdasarkan status yang diperoleh anggota masyarakat dibedabedakan pula berdasarkan status yang diraihnya, sehingga menghasilkan berbagai jenis
stratifikasi. Salah satu di antaranya ialah stratifikasi pendidikan (educational stratification): hak
dan kewajiban warga masyarakat sering dibeda-bedakan atas dasar tingkat pendidikan formal
yang berhasil mereka raih.
Stratifikasi pekerjaan (occupational stratification). Di bidang pekerjaan modern kita mengenal
berbagai klasifikasi yang mencerminkan stratifikasi pekerjaan, seperti misalnya pembedaan
antara manajer serta tenaga eksekutif dan tenaga administratif; antara asisten dosen, lektor, dan
guru besar; antara tamtama, bintara, perwira pertama, perwira menengah, perwira tinggi.
Stratifikasi ekonomi (economic stratification), yaitu pembedaan warga masyarakat berdasarkan
penguasaan dan pemilikan materi, pun merupakan suatu kenyataan sehari-hari. Dalam kaitan ini
kita mengenal, antara lain, pembedaan warga masyarakat berdasarkan penghasilan dan kekayaan
mereka menjadi kelas atas, kelas menengah, dan kelas bawah. Dalam masyarakat kita terdapat
sejumlah besar warga yang tidak mampu memenuhi keperluan minimum manusia untuk hidup
layak karena penghasilan dan miliknya sangat terbatas, tetapi ada pula warga yang seluruh
kekayaan pribadinya bemilai di atas Rp 1 miliar. Di kalangan pertanian di pedesaan kita
menjumpai pembedaan antara petani pemilik tanah dan buruh tani. Kita masih ingat bahwa Marx
memakai kriteria pemilikan atas alat produksi untuk membedakan antara kaum borjuis dan kaum
proletar.
8.2. Sifat Sistem Lapisan Masyarakat
1. Sistem Tertutup (closed social stratification)
tidak memungkinkan pindahnya seseorang dari satu lapisan ke lapisan lainnya (atas maupun
bawah). Satu-satunya jalan adalah adalah melalui kelahiran.
Contoh Sistem tertutup terlihat pada masyarakat India yang berkasta. Atau di dalam masyarakat
yang feodal, atau masyarakat di mana lapisannya tergantung pada perbedaan-perbedaan rasial.
Apabila ditelaah pada masyarakat India, sistem lapisan di sana sangat kaku clan menjelma dalam
diri kasta-kasta. Kasta di India mempunyai ciri-ciri tertentu, yaitu :
1) Keanggotaan pada kasta diperoleh karena kewarisan/kelahiran. Anak yang lahir memperoleh
kedudukan orang tuanya.
2) Keanggotaan yang diwariskan tadi berlaku seumur hidup, oleh karena seseorang tak mungkin
mengubah kedudukannya, kecuali bila ia dikeluarkan dari kastanya.
3) Perkawinan bersifat endogam, artinya harus dipilih dari orang yang sekasta.
4) Hubungan dengan kelompok-kelompok sosial lainnya bersifat terbatas.
5) Kesadaran pada keanQgotaan suatu kasta yang tertentu, terutama nyata dari nama kasta,
identifikasi anggota pada kastanya, penyesuaian diri yang ketat terhadap norma-norma kasta clan
lain sebagainya.
6) Kasta diikat oleh kedudukan-kedudukan yang secara tradisional ditetapkan.
7) Prestise suatu kasta benar-benar diperhatikan.
Contoh lain sistem lapisan tertutup terjadi di Amerika Serikat, di mana terdapat pemisahan yang
tajam antara golongan kulit putih dengan golongan kulit berwarna terutama orang-orang Negro.
Sistem tersebut dikenal dengan segregation yang sebenarnya tak berbeda- jauh dengan sistem
apartheid yang memisahkan golongan kulit putih dengan golongan asli (pribumi) di Uni Afrika
Selatan.
Sistem lapisan yang tertutup, dalam batas-batas tertentu, juga dijumpai pada masyarakat Bali.
Menurut kitab-kitab suci orang Bali, masyarakat terbagi dalam empat lapisan, yaitu Brahmana,
Satria, Vesia clan Sudra.' Ketiga lapisan pertama biasa disebut triwangsa sedangkan lapisan
terakhir disebut jaba yang merupakan lapisan dengan jumlah warga terbanyak. Keempat lapisan
tersebut terbagi lagi dalam lapisan-lapisan khusus. Biasanya orang-orang mengetahui dari gelar
seseorang, ke dalam kasta mana dia tergolong, gelar-gelar tersebut diwariskan menurut garis
keturunan laki-laki yang sepihak patrilineal adalah Ida Bagus, Tjokorda, Dewa, Ngahan, Bagus,
I Gusti, Gusti. Gelar pertama adalah gelar orang Brahmana, gelar kedua sampai dengan
keempat bagi orang-orang Satria, sedangkan yang kelima dan keenam berlaku bagi orang-orang
Vaicya. Orang-orang Sudra juga memakai gelar seperti Pande, Kbon, Pasek dan selanjutnya.
Dahulu kala gelar tersebut berhubungan erat dengan pekerjaan orang-orang yang bersangkutan.
Walaupun gelar tersebut tidak memisahkan golongan-golongan secara ketat, tetapi sangat penting
bagi sopan santun pergaulan. Disamping itu hukum adat juga menetapkan hak-hak bagi si
pemakai gelar, misalnya, dalam memakai tanda-tanda, perhiasan-perhiasan, pakaian tertentu dan
lain-lain. Kehidupan sistem kasta di Bali umumnya terlihat jelas dalam hubungan perkawinan.
25
Seorang gadis suatu kasta tertentu, umumnya dilarang bersuamikan seseorang dari kasta yang
lebih rendah.
2. Sistem Terbuka (open social stratification)
setiap anggota masyarakat mempunyai kesempatan untuk berusaha dengan kecakapan sendiri
untuk naik lapisan atau yang tidak beruntung turun lapisan. Pada umumnya sistem terbuka ini
memberi perangsang yang lebih besar kepada setiap anggota masyarakat untuk dijadikan
landasan pembangunan masydrakat dari ada sistem yang tertutup.
8.3. Kelas Sosial
Adalah semua orang atau keluarga yang sadar akan kedudukannya di dalam suatu lapisan serta
diketahui dan diakui oleh masyarakat. Kurt B. Mayer berpendapat istilah kelas hanya untuk
lapisan yang bersandarkan atas unsur2 ekonomis sedangkan lapisan yang berdasarkan
kehormatan kemasyarakatan dinamakan kelompok kedudukan (status group).
Max Weber membedakan antara dasar2 ekonomis dan dasar2 kedudukan sosial akan tetapi
menggunakan istilah kelas bagi semua lapisan. Golongan yang mendapatkan kehormatan khusus
dari masyarakat dinamakan stand.
Joseph Schumpeter mengatakan bahwa terbentuknya kelas dalam masyarakat karena diperlukan
untuk menyesuaikan masyarakat dengan keperluan2 nyata, akan tetapi makna kelas dan gejala2
kemasyarakatan lainnya hanya dapat dimengerti dengan benar apabila diketahui riwayat
terjadinya. Kelas menyediakan kesempatan atau fasilitas2 hidup tertentu (life chance).
8.4. Ukuran yang mendasari Pelapisan
Ukuran kekayaan (material)
Ukuran kekuasaan
Ukuran kehormatan
Ukuran ilmu pengetahuan
8.5. Peranan dan Status
Hal yang mewujudkan unsur dalam teori sosiologi tentang sistem lapisan masyarakat adalah
kedudukan (status) clan peranan (role)." Kedudukan dan peranan merupakan unsur-unsur baku
dalam sistem lapisan, dan mempunyai arti yang penting bagi sistem sosial. Yang diartikan
sebagai sistem sosial adalah pola-pola yang mengatur hubungan timbal-balik antar individu
dalam masyarakat dan antara individu dengan masyarakatnya, dan tingkah-laku individuindividu tersebut. Dalam hubungan-hubungan timbal-balik tersebut, kedudukan clan peranan
individu mempunyai arti yang penting. Karena langgengnya masyarakat tergantung pada
keseimbangan kepentingan-kepentingan individu termaksud.
Unsur2 baku dalam lapisan masyarakat adalah :
1. Kedudukan (Status)
Kadang-kadang dibedakan antara pengertian kedudukan (status), dengan kedudukan sosial
(social status)." Kedudukan,dprhkan sebagai tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok
sosial. Kedudukan sosial artinya adalah tempat seseorang secara umum dalam masyarakatnya
sehubungan dengan orang-orang lain, dalam arti lingkungan pergaulannya, prestisenya dan hakhak serta kewajiban-kewajibannya. Untuk lebih mudah mendapatkan pengertian, kedua istilah
tersebut di atas akan dipergunakan dalam arti yang sama dan digambarkan dengan istilah
"kedudukan" (status) saja.
Secara abstrak, kedudukan berarti tempat seseorang dalam suatu pola tertentu.20 Dengan
demikian, seseorang dikatakan mempunyai beberapa kedudukan, oleh karena seseorang biasanya
ikut serta dalam berbagai pola kehidupan. Pengertian tersebut menunjukkan tempatnya
sehubungan dengan kerangka masyarakat secara menyeluruh. Kedudukan Tuan A sebagai
warga masyarakat, merupakan kombinasi dari segenap kedudukannya sebagai guru, kepala
sekolah, ketua rukun tetangga, suami nyonya B, avah anakanak (Ian seterusnya.
2. Peranan (role) berarti pelaksanaan hak dan kewajiban sesuai dengan kedudukannya.
8.6. Macam-macam Kedudukan
1. Ascribed satatus : kedudukan seseorang dalam masyarakat tanpa memperhatikan perbedaan
rohaniah dan kemampuan. Diperoleh karena kelahiran
2. Achieved status : kedudukan yang dicapai oleh seseorang dengan usaha2 yang disengaja.
Tidak bedasar kelahiran tergantung kemampuan mengejar tujuan masing2
3. Assigned status : kedudukan yang diberikan. Berhubungan erat dengan achieved status dalam
arti suatu kelompok memberikan kedudukan yang lebih tinggi kepada orang yang berjasa
Kedudukan yang dimiliki seseorang tercermin dalam kehidupan sehari2 lewat ciri tertentu (status
symbol).
26
28
memerlukan bantuan atau kerja sama dengan kelompok di luarnya. Masing-masing anggota pada
umumnya dapat menjalankan peran yang diperankan oleh anggota lain; pembagian kerja belum
berkembang. peran semua anggota sama sehingga ketidakhadiran seorang anggota kelompok
tidak mempengaruhi kelangsungan hidup kelompok karena peran anggota tersebut dapat
dijalankan orang lain.
Dalam masyarakat yang menganut solidaritas mekanik, yang diutamakan ialah persamaan
perilaku dan sikap. Perbedaan tidak dibenarkan. Menurut Durkheim seluruh warga masyarakat
diikat oleh apa yang dinamakannya kesadaran kolektif, hati nurani kolektif (collective
conscience)-suatu kesadaran bersama yang mencakup keseluruhan kepercayaan dan perasaan
kelompok, dan bersifat ekstern serta memaksa.
Solidaritas organik merupakan bentuk solidaritas yang mengikat masyarakat kompleks
masyarakat yang telah mengenal pembagian kerja yang rind dan dipersatukan oleh
kesalingtergantungan antarbagian. Tiap anggota menjalankan peran berbeda, dan di antara
berbagai peran yang ada terdapat kesalingtergantungan laksana kesalingtergantungan antara
bagian suatu organisme biologis. Karena adanya kesalingtergantungan ini maka ketidakhadiran
pemegang peran tertentu akan mengakibatkan gangguan pada kelangsungan hidup masyarakat.
Tidak berperannya tentara, misalnya, berarti bahwa masyarakat rentan terhadap serangan dari
masyarakat lain; tidak berperannya petani akan mengakibatkan masalah dalam oroduksi dan
penyediaan bahan pangan yang dapat mengancam kelangsungan hidup masyarakat.
Pada masyarakat dengan solidaritas organik in!, ikatan utama yang mempersatukan masyarakat
bukan lagi kesadaran kolektif atau hati nurani kolektif (collective conscience) melainkan
kesepakatan yang terjalin di antara berbagai kelompok profesi. Di sini pun hukum yang
menonjol bukan lagi hukum pidana, melainkan ikatan hukum perdata. Dalam hal terjadi
pelanggaran terhadap kesepakatan bersama maka yang berlaku ialah sanksi restitutif: si
pelanggar harus membayar ganti rugi kepada pihak yang menderita kerugian untuk
mengembalikan keseimbangan ang telah dilanggarnya.
9.1.4. Tonnies: Gemeinschaft dan Gesellschaft
Tokoh sosiologi klasik lain--kali ini dari Jerman--yang juga mengulas secara rinci perbedaan
pengelompokan dalam masyarakat ialah Ferdinand Tonnies. Dalam bukunya Gemeinschaft und
Gesellschaft ia mengadakan pembedaan antara dua jenis kelompok, yang dinamakannya
Gemeinschaft dan Gesel/schaft. Menurut Tonies:
All intimate, private, and exclusive living together. .. is understood as life in Gemeinschaft
(community). Gesellschatt (society) is public life--it is the world itself. In Gemeinschaft with
one's family, one lives from birth on, bound to it in weal and woe. One goes into Gesellschaft as
on goes into a strange country (Tonnies, 1963:33-34).
Di sini Gemeinschaft digambarkannya sebagai kehidupan bersama yang intim, pribadi dan
eksklusif; suatu keterikatan yang dibawa sejak lahir. Tonnies, misalnya, menggambarkan ikatan
pernikahan sebagai suatu "Gemeinschaft of life." Ia pun berbicara mengenai suatu Gemeinschaft
di bidang rumah tangga, agama, bahasa, adat, yang dipertentangkannya dengan Gesellschaft
dibidang ilmu atau perdagangan.
Tonnies membedakan antara tiga jenis Gemeinschaft. Jenis pertama, Gemeinschaft by blood,
mengacu pada ikatan-ikatan kekerabatan. Gemeinschaft of place pada dasarnya merupakan
ikatan yang berlandaskan kedekatan letak tempat tinggal ser'ta tempat bekerja yang mendorong
orang untuk berhubungan secara intim satu dengan yang lain, dan mengacu pada kehidupan
bersama di daerah pedesaan. Jenis ketiga, Gemeinschaft of mind, mengacu pada hubungan
persahabatan, yang disebabkan oleh persamaan keahlian atau pekerjaan serta pandangan yang
mendorong orang untuk saling berhubungan secara teratur. Menurut Tonnies, Gesellschaft
merupakan suatu nama dan gejala baru. Gesellschaft dilukiskannya sebagai kehidupan publik;
sebagai orang yang kebetulan hadir bersama tetapi masingmasing tetap mandiri. GesellschaR
bersifat sementara dan semu. Menurut Tonnies perbedaan yang dijumpai antara kedua macam
kelompok ini ialah bahw~ dalam Gemeinschaft individu tetap bersatu meskipun terdapat
berbagai faktor yang memisahkan mereka, sedangkan dalam Gesellschaft individu pada dasarnya
terpisah kendatipun terdapat banyak faktor pemersatu.
Tonnies mengemukakan bahwa Gemeinschatt ditandai oleh kehidupan organik, sedangkan
Gesellschaft ditandai oleh struktur mekanik. Pendapat ini menarik, mengingat bahwa,
sebagalmana telah kita lihat di atas, Durkheim menggunakan konsep yang sama untuk
menggambarkan ciri kelompok yang berlawanan; menurut Durkheim kelompok segmental justru
bersifat mekanik sedangkan solidaritas pada kelompok terdiferensiasi justru bersifat organik.
9.1.5. Cooley: Primary Group
30
Masalah perubahan dalam kualitas pengelompokan pun menarik perhatian ahli sosiologi dari
Amerika. Pada tahun 1909 Charles Horton Cooley memperkenalkan konsep primary group, yang
didefinisikannya sebagai kelompok yang "characterized by intimate face-to-face association and
cooperation"--kelompok yang ditandai oleh pergaulan dan kerja sama tatap muka yang intim.
Menurutnya ruang lingkup terpenting dari kelompok primer ini.adalah keluarga, teman bermain
pada anak kecil, dan rukun warga serta komunitas pada orang dewasa. Dalam pandangannya
pergaulan intim ini menghasilkan terpadunya individu dalam satu kesatuan sehingga dalam
banyak hal did seseorang menjadi hidup dan tujuan bersama kelompok. Menurut Cooley
keterpaduan, simpati dan identifikasi bersama ini diwujudkan dalam kata "kita" (lihat Cooley,
1909).
Menurut Ellsworth Faris (1937) kelompok primer dapat dipertentangkan dengan kelompok
formal, tidak pribadi, dan berciri kelembagaan. Nama apa yang harus kita berikan bagi kelompok
yang tidak merupakan kelompok primer itu? Faris mengemukakan bahwa sejumlah ahli sosiologi
telah menciptakan konsep secondary group--suatu konsep yang tidak kita jumpai dalam karya
Cooley.
Faris melihat bahwa konsep kelompok primer yang diperkenalkan Cooley, yang mengandung
unsur tatap muka, pengutamaan pengalaman terdahulu, serta perasaan kebersamaan yang
terwujud dalam ungkapan "kita" mengandung berbagai persoalan. Sebagai contoh antara lain
dikemukakannya bahwa beberapa orang kerabat yang mempunyai rasa kebersamaan dan
keterpaduan namun tinggal di tempat yang berjauhan sehingga hanya dapat berhubungan dengan
surat merupakan kelompok primer meskipun mereka tidak dapat berhubungan secara tatap muka.
Faris pun mempertanyakan apakah suatu keluarga yang di dalamnya orang tua menindas anakanak-mereka dapat dinamakan kelompok primer meskipuh syarat tatap muka dipenuhi karena
perasaan "kita" yang menandai kebersamaan dan keterpaduan mungkin tidak dijumpai.
9.1.6. Sumner: In-Group dan Out-Group
Suatu klasifikasi lain, yaitu pembedaan antara in-group dan out-group, didasarkan pada konsep
in-group yang diperkenalkan oleh W.G. Sumner (1940). Sumner mengemukakan bahwa
"masyarakat primitif," yang merupakan kelompok kecil yang tersebar di suatu wilayah, muncul
diferensiasi antara kelompok kita (we-group) atau kelompok dalam (in-group) dengan orang lain:
kelompok orang lain (others-group) atau kelompok luar (out-groups). Menurut Sumner di
kalangan anggota kelompok dalam dijumpai persahabatan, kerjasama, keteraturan dan
kedamaian sedangkan hubungan antara kelompok dalam dengan kelompok luar cenderung
ditandai kebencian, permusuhan, perang clan perampokan.
Menurut Sumner selanjutnya, perasaan yang berkembang pada masyarakat modern ialah
patriotisme. Meskipun dalam masyarakat modern batas kelompok telah diperluas dan
keanggotaan yang dijadikan acuan ialah kewarganegaraan, namun dalam patriotisme kesetiaan
pada kelompok dan pimpinan kelompok serta perasaan etnosentrisme tetap dipertahankan. Setiap
warga negara diharapkan berkorban untuk negaranya. Dalam pandangan Sumner patriotisme ini
bahkan dapat berkembang menjadi chauvinisme.
9.1.7. Merton: Membership group dan Reference group.
Robert K. Merton memusatkan perhatiannya pada kenyataan bahwa keanggotaan dalam suatu
kelompok tidak berarti bahwa seseorang akan menjadikan kelompoknya menjadi acuan bagi cara
bersikap, menilai maupun bertindak. Kadang-kadang perilaku seseorang tidak meng-acu pada
kelompok yang di dalamnya ia menjadi anggota, melainkan pada kelompok lain. Pandangan
Merton tercermin dalam kalimat berikut ini:
Reference groups are, in principle, almost innumerable: any of the groups of which one is a
member, and these are comparatively few, as well as groups of which one is not a member, and
these are, of course, legion, can become points of reference for shaping one's attitudes,
evaluations and behavior (Merton, 1965:233).
Dari pernyataan Merton ini nampak bahwa kelompok acuan berjumlah sangat banyak, dan
mencakup bukan hanya kelompok yang di dalamnya orang menjadi anggota melainkan juga
sejumlah besar kelompok yang di dalamnya seseorang tidak menjadi anggota. Kelompok acuan
yang berjumlah banyak tersebut menjadi acuan bagi sikap, penilaian dan perilaku seseorang.
Merton menekankan bahwa dalam berperilaku dan bersikap seseorang dapat menunjuk-kan
konformitas pada kelompok luar (out-group)--pada aturan dan nilai kelompok lain. Ini berarti
bahwa orang tersebut tidak mengikuti aturan kelompok dalamnya sendiri (nonconformity to the
norms of the in-group. Lihat Merton, 1965:264
Merton pun membahas perubahan kelompok acuan manakala keanggotaan kelompok seseorang
berubah. Menurut Merton gejala ini menarik, karena kedua peristiwa tersebut tidak berlangsung
pada saat yang bersamaan; perubahan kelompok acuan sering mendahului perubahan
31
keanggotaan kelompok. Seorang siswa kelas 3 SMU, misalnya, dalam berperilaku dan bersikap
sering sudah berorientasi pada aturan dan nilai yang berlaku di kalangan perguruan tinggi
meskipun secara resmi ia belum berstatus mahasiswa (belum berstatus anggota) dan masih
menjadi siswa SMU. Perubahan orientasi yang mendahului perubahan keanggotaan kelompok
seperti ini oleh Merton diberi nama sosialisasi antisipatoris (anticipatory socialization). Menurut
Merton proses sosialisasi antisipatoris ini mempunyai dua fungsi: membantu diterimanya
seseorang dalam kelompok baru, dan membantu penyesuaian anggota baru dalam kelompok
yang baru itu.
9.1.8. Parsons: Variabel Pola
Tokoh sosiologi modern, Talcott Parsons, memperkenalkan perangkat variabel pola (pattern
variables) yang oleh banyak ahli sosiologi sering dianggap sebagai salah satu sumbangan
teoretisnya yang terpenting. Menurut Parsons variabel pola merupakan seperangkat dilema
universial yang dihadapi dan harus dipecahkan seorang pelaku dalam setiap situasi sosial.
Variabel pola ini memungkinkan dilakukannya perbandingan antara bermacam-macam
kelompok, termasuk di dalamnya yang berada dalam kebudayaan lain (pembahasan tentang
Parsons ini didasarkan pada Devereux, 1976:39-44.
Parsons mengidentifikasikan lima perangkat dilema: affectivity-affective neutrality,
specificitydiffuseness, universalism-particularism, quality-performance, self-orientation collectivity
orientation. Dikotomi yang pertama, affectivity-affective neutrality mengacu pada dilema antara
ada-tidaknya perasaan kasih sayang ataupun kebencian dalam suatu interaksi. Dalam hubungan
antara pelaku yang terikat oleh pertalian kekerabatan ataupun ikatan pernikahan, sikap afektif
dapat diharapkan; namun dalam hubungan antara atasan dan bawahan, antara guru dan murid,
atau antara nasabah dan langganannya yang diharapkan ialah adanya affective neutralityketiadaan sikap afektif.
Specificity-diffuseness mengacu pada dilema antara kekhususan dan kekaburan. Dalam situasi
interaksi antara orang tua dan anak, misalnya, kita sering menjumpai kekaburan (diffuseness);
seorang anak yang melakukan kesalahan di suatu bidang tertentu-misalnya memecahkan piring
di waktu makan pagi--mungkin akan dimarahi sepanjang hari, walaupun interaksinya dengan
orang tuanya tidak ada hubungannya dengan kegiatan makan. Di pihak lain, kita mengharapkan
akan menjumpai kekhususan (specificity) dalam situasi sekolah. Seorang siswa SMP yang
ditegur guru karena memperoleh nilai buruk dalam ulangan mate-matika, misalnya, pada jam
pelajaran berikutnya mungkin dipuji gurunya karena memperoleh nilai baik sekali dalam mata
pelajaran biologi.
Dilema berikutnya, universalism-particularism, mengacu pada dilema antara dipakai-tidaknya
ukuran universal. Universalism diharapkan akan dijumpai, misalnya, di lingkungan sekolah;
setiap orang siswa diharapkan memperoleh perlakuan sama dari guru--siapa pun juga akan dipuji
bila berprestasi dan dicela bila tidak berprestasi. Dalam situasi keluarga, di pihak lain, sering
berlaku perlakuan khusus (particularism); seorang anak sering lebih diutamakan oleh orang
tuanya daripada anak lain.
Dikotomi quality-performance mengacu pada situasi yang di dalamnya orang harus memutuskan
apakah yang penting faktor yang dibawa sejak lahir ataukah suatu perangkat prestasi tertentu.
Kalau dalam suatu hubungan faktor yang dibawa sejak lahir seperti jenis kelamin, usia atau
hubungan kekerabatan lebih penting, maka hubungan diwarnai oleh kualitas. Namun bilamana
dalam suatu hubungan yang dipentingkan ialah prestasi, seperti misatnya hubungan guru atau
pelatih olahraga dengan para siswa mereka, maka hubungan tersebut diwarnai oleh prestasi.
Variabel pola terakhir, self-orientation dan collectivity-orientation menitikberatkan pada orientasi
pelaku dalam suatu hubungan. Manakala dalam suatu hubungan seseorang berorientasi pada
kepentingan diri-sendiri, seperti misalnya pada hubungan perniagaan, maka kita berbicara
mengenai orientasi pada dirisendiri. Namun bilamana dalam suatu hubungan dijumpai orientasi
pada kepentingan umum, yaitu dalam hal pelaku yang terlibat dalam institusi pelayanan-misalnya rohaniwan, dokter, pemadam kebakaran-maka kita berbicara mengenai orientasi pada
kolektiva.
9.1.9. Geertz: Priayi, Santri, dan Abangan
Suatu klasifikasi yang digali Geertz dari masyarakat Jawa (khususnya masyarakat suatu kota di
Jawa Timur serta daerah pedesaan di sekitarnya) ialah pembedaan antara kaum abangan, santri
dan priayi (lihat Geertz, 1964). Meskipun klasifikasi ini banyak dikritik dan gejala yang diamati
Geertz pun terjadi pada tahun 50-an dan 60-an sehingga kini telah-banyak berubah, namun
pemikiran Geertz ini cukup penting untuk kita ketahui karena sering digunakan para ilmuwan
untuk menjelaskan berbagai peristiwa di kala itu--terutama kehidupan politik kita di tahun-tahun
32
menjelang terjadinya tragedi pada tahun 1965 berupa kudeta Gerakan Tiga Puluh September
serta epilognya.
Menurut Geertz pembagian masyarakat yang ditelitinya ke dalam tiga tipe budaya ini didasarkan
atas perbedaan pandangan hidup di antara mereka. Subtradisi abangan yang menurut Geertz
diwarnai berbagai upacara selamatan, praktik pengobatan tradisional serta kepercayaan pada
makhluk halus dan kekuatan gaib itu terkait pada kehidupan di pedesaan. Subtradisi santri yang
ditandai oleh ketaatan pada ajaran agama Islam serta keterlibatan dalam berbagai organisasi
sosial dan politik yang bernafaskan Islam dijumpai di kalangan pengusaha yang banyak bergerak
di pasar maupun di desa selaku pemuka agama. Subtradisi ketiga, priayi, ditandai pengaruh
mistik Hindu-Buddha prakolorrial maupun pengaruh kebudayaan Barat dan dijumpai pada
kelompok elite "kerah putih" (white collar elite) yang merupakan bagian dari birokasi
pemerintah. Dengan demikian Geertz melihat adanya keterkaitan erat antara ketiga subtradisi
ini--abangan, santri dan priayi--dengan tiga lingkungan--desa, pasar dan birokrasi pemerintah.
Di tahun 50-an dan 60-an dijumpai suatu pengelompokan yang terdiri atas partai politik yang
masing-masing mempunyai organisasi massa sendiri--suatu pengelompokan yang oleh Geertz
dinamakan aliran (lihat Geertz, 1959). Di Jawa Geertz mengidentifikasikan empat aliran: PNI,
PKI, Masyumi dan NU. Yang menarik ialah bahwa pola aliran tersebut kemudian dikaitkan
dengan ketiga subtradisi Geertz; muncul pandangan bahwa ketiga subtradisi tersebut melandasi
pengelompokan aliran. Menurut pendapat ini aliran berhaluan Islam didukung oleh kaum santri,
PNI berintikan kaum priayi, dan PKI didukung oleh kaum abangan.
Sebagaimana telah disebutkan, klasifikasi Geertz telah memancing berbagai reaksi. Harsja W.
Bachtiar (1973), misalnya, menemukan beberapa masalah dalam klasifikasi Geertz ini. Harsja
Bachtiar antara lain mengemukakan bahwa Geertz tidak secara tegas mengemukakan apakah
klasifikasinya merupakan klasifikasi budaya ataukah klasifikasi kelompok. Sebagai klasifikasi
kelompok, pembagian Geertz ini menurut Harsja Bachtiar tidak memadai karena besarnya
kemungkinan tumpang tindih. Dari segi ketaatan pada ajaran agama Islam, misalnya, seorang
priayi dapat diklasifikasikan sebagai santri atau abangan.
9.2. Organisasi Formal
Weber memusatkan perhatian pada organisasi formal dalam masyarakat modem. Menurutnya
dalam masyarakat modern kita,menjumpai suatu hubungan kekuasaan rasional-legal--suatu
sistem jabatan modern (modern officialdom) yang dijumpai baik di bidang pemerintahan maupun
di bidang swasta. Sistem jabatan ini dinamakan birokrasi (bureaucracy), yang berarti pengaturan
atau pemerintahan oleh pejabat (lihat Giddens, 1989:277). Menurut Reinhard Bendix organisasi
birokrasi yang disebutkan Weber mengandung sejumlah prinsip (lihat Bendix, 1960:418-419),
yaitu (1) urusan kedinasan dilaksanakan secara berkesinambungan, (2) urusan kedinasan
didasarkan pada aturan dalam suatu badan administratif, (3) tanggung jawab dan wewenang tiap
pejabat merupakan bagian dari suatu herarki wewenang, (4) pejabat dan pegawai administratif
tidak memiliki sarana dan prasarana yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas, (5) para
pemangku jabatan tidak dapat memperjualbelikan jabatan laksana milik pribad-i, dan (6) urusan
kedinasan dilaksanakan dengan menggunakan dokumen tertulis.
9.3. Kelompok Formal Dan Kelompok Informal
Suatu gejala yang menarik perhatian banyak ilmuwan sosial ialah adanya keterkaitan antara
kelompok formal dan kelompok informal. Segera setelah seseorang menjadi anggota organisasi
formal seperti sekolah, urniversitas, perusahaan atau kantor, ia sering mulai menjalin hubungan
persahabatan dengan anggota lain dalam organisasi formal tersebut sehingga dalam organisasi
formal akan terbentuk berbagai kelompok informal, seperti kelompok teman sebaya, kelompok
yang tempat tinggalnya berdekatan, kelompok yang bertugas dalam satu bagian kantor yang
sama, kelompok yang lulus dari perguruan tinggi sama, kelompok yang lulus sekolah seangkatan
dan sebagainya.
Hubungan antara organisasi formal dan kelompok informal dapat pula kita jumpai dalam bidang
pekerjaan. Di satu pihak kita dapat menjumpai studi yang mengungkapkan bahwa hubungan
persahabatan antara teman sekerja dapat memperlancar urusan kedinasan. Namun ada pula studi
yang memperlihatkan adanya kesenjangan antara tujuan organisasi dengan tujuan kelompok
informal; di kalangan sekelompok kaum buruh dapat terjalin kesepakatan untuk menetapkan
sasaran produksi yang lebih rendah daripada sasaran produksi yang ditetapkan oleh perusahaan,
atau--sebagaimana halnya dengan kasus absensi mahasiswa tersebut di atas--kesepakatan untuk
menutupi ketidakhadiran seorang teman yang absen karena tidak masuk kerja, datang terlambat,
atau pulang sebelum waktunya.
BAB 10. JENIS KELAMIN DAN GENDER
33
Sebagai agen sosialisasi kelompok bermainpun menerapka kontrol sosial bagi anggota
yang tidak menaati aturannya. Seorang laki-laki yang memilih permainan perempuan akan dicap
sebagai banci dan menghadapi resiko dikucilkan. Hal; serupa dialami oleh anak perempuan
yang apabila berorientasi dengan permainan laki-laki akan dicap tomboy.
10.5.3. Sekolah
Sebagai agen sosialisais gender, sekolah menerapkan pembelajaran gender melalui media
utamanya yaitu kurikulum formal. Misalnya dalam mata pelajaran prakarya kadang siswa dan
siswi dipisahkan, dimana siswa laki-laki diberi pelajaran pertukangan sementara siswa
perempaun diberi pelajaran di bidang ekonomi ruma tangga, atau menjahit, menyulam dsb.
Pembekajaran yang lain adalah melalui buku teks. Sebagai contoh dalam pekerjaan
domestik dan publik digambarkan, ayah pergi ke kantor, ibu pergi ke pasar atau tono bermain
layang-layang, tini bermain boneka.
10.5.4. Media Massa
Media massa berperan sebagai agen sosialisasi gender melalui sajiannya baik berupa
pemberitaan, iklan, film/sinetron. Dalam iklan misalnya seringkali memperkuat stereotipe
gender. Sebagai contoh iklan yang mempromosikan produk keperluan rumah tangga seperti
sabun cuci, sabun mandi, pasat gigi, minyak goreng, pembasmi serangga, bumbu masak, mi
instan cenderung menampilkan peran perempuan sebagi ibu rumah tangga maupun ibu,
sedangkan iklan yang mempromosikan produk mewah yang merupakan simbol status dan
kesuksesan selalu menggunakan model laki-laki dalam iklannya.
Meskipun iklan juga seringkali menampilkan perempuan di ranah publik, ettapi sering
menekankan pada jenis pekerjaan yang cenderung dilakukan perempuan seperti sebagai
resepsionis, pramugari, sekretaris, atau kasir bukan pada jabatan yang berstatus tinggi seperti
perseiden direktur bank atau kapten penerbang.
10.6. Kekerasan terhadap Perempuan
Dalam interaksinya dengan laki-laki, kaum perempuan sering mengalami berbagai bentuk
kekerasan dibanding laki-laki. Ada yang berbentuk perkosaan, kekerasan dalam rumah tangga,
kekerasan terhadap pasangan, pelecehan seksual.
10.6.1. Perkosaan
Moore dan Sinclair menyajikan beberapa fakta mengenai perkosaan dimana ini lebih banyak
dialmi oleh perempuan (dalam Sunarto, 2004:117). Bahkan di media massa pun banyak dijumpai
pemberitaan perkosaan baik yang terjadi di dalam negeri maupun yang dilami oleh para TKW di
luar negeri.
10.6.2. Kekerasan dalam Rumah Tangga
Dalam kehidupan sehari-hari baik alki-laki maupun perempuan mengalami kekerasan di tangan
orang dekatmereka , seperti orang tua, kakak, adik, majikan, atau isuami/isteri.
10.6.3. Pelecehan Seksual
Pelecehan seksual (sexual harrassment) didefiniskan sebagai komentar, isyarat, atau kontak fisik
yang bersifat seks, diulang-ulang, dan tidak dikehendaki.
BAB 11. PERUBAHAN SOSIAL
Perubahan sosial merupakan fenomena kehidupan sosial yang tidak dapat dihindari oleh setiap
individu maupun kelompok masyarakat manapun di dunia ini. Pertanyaan mendasar yang kerap
muncul adalah mengapa perubahan itu muncul? Menurut Horton & Hunt (1984: 207) barangkali
jawabannya adalah manusia pada dasarnya memiliki sifat bosan. Perubahan sosial merupakan
perubahan dalam segi struktur sosial dan hubungan sosial meliputi diantaranya perubahan
distribusi kelompok usia, tingkat pendidikan rata-rata, tingkat kelahiran penduduk, penurunan
kadar rasa kekeluargaan informalitas antar tetangga karena adanya perpindahan orang dari desa
ke kota dan perubahan peran suami sebagai atasan yang kemudian menjadi mitra (partner) istri
dalam keluarga demokratis dewasa ini (Horton & Hunt 1984: 208).
Di samping itu Auguste Comte mengemukakan bahwa sosiologi mempelajari statika
social dan dinamika sosial. Hingga kini perhatian kita lebih tertuju pada segi statika struktur
sosial pada pokok-pokok bahasan seperti kelompok-kelompok, hubungan antarkelompok,
institusi-institusi, stratifikasi. Meskipun pembahasan kita terpusat pada aspek statika masyarakat,
namun di canes sini kita telah mulai menyentuh masalah perubahan. Dalam kenyataan statika
36
social dan dinamika social memang sukar dipisahkan, meskipun secara analitik kita berusaha
melakukannya. Kita telah melihat bahwa stratifikasi social dapat berubah melalui mobilitas
sosial; institusi social dapat berubah karena terjadinya perubahan pada institusi lain atau karena
terjadinya gerakan sosial. Kita pun telah mulai menyinggung beberapa teori perubahan sosial,
seperti teori Marx mengenai perubahan sistem feodal menjadi kapitalis dan kemudian sosialis,
teori Weber mengenai munculnya kapitalisme dalam masyarakat feodal, teori Durkheim
mengenai perubahan solidaritas mekanik menjadi organik. Sekarang Pawl perhatian kita akan
beralih pada segi dinamika masyarakat pada perubahan sosial (Sunarto, 2000: 203).
11.1. Pola Perubahan Social
a. Pola Linear
Etzioni-Halevy dan Etzioni (1973:3-8) mengemukakan bahwa pemikiran para tokoh sosiologi
klasik mengenai perubahan sosial dapat digolongkan ke dalam beberapa pola. Pola pertama ialah
pola linear; menurut pemikiran ini perkembangan masyarakat mengikuti suatu pola yang pasti.
Contoh yang diberikan Etzioni-Halevy dan Etzioni mengenai pemikiran linear ini ialah karya
Comte dan Spencer.
Pemikiran mengenai pola perkembangan linear kita temukan dalam karya Comte (lihat Comte,
1877 dalam Etzioni-Halevy dan Etzioni, ed., 1973:14-19). Menurut Comte kemajuan progresif
peradaban manusia mengikuti suatu jalan yang alami, pasti, sama, dan tak tcrelakkan. Dalam
teorinya yang dikenal dengan nama "Hukum Tiga Tahap," Comte mengemukakan bahwa sejarah
memperlihatkan adanya tiga tahap yang dilalui peradaban. Pada tahap pertama yang diberinya
nama tahap Teologis dan Militer, Comte melihat bahwa semua hubungan sosial bersifat militer;
masyarakat senantiasa bertujuan menundukkan masyarakat lain. Semua konsepsi teoretik
dilandaskan pada pemikiran mengenai kekuatan-kekuatan adikodrati. Pengamatan dituntun oleh
imajinasi; penelitian tidak dibenarkan.
Tahap kedua, tahap Metafisik dan Yuridis, merupakan tahap antara yang menjembatani
masyarakat militer dengan masyarakat industri. Pengamatan masih dikuasai imajinasi tetapi
lambat laun semakin merubahnya dan menjadi dasar bagi penelitian.
Pada tahap ketiga dan terakhit, tahap Ilmu Pengetahuan dan Industri, industri mendominasi
hubungan sosial dan produksi menjadi tujuan utama masyarakaL Imajinasi telah digeser oleh
pengamatan dan konsepsi-konsepsi teoritik telah bersifat positif.
Dari apa yang telah dikemukakan Comte tersebut--perubahan yang pasti, serupa, tak terelakkan,
dapat kita lihat bahwa pandangannya mengenai perubahan sosial bersifat unilinear.
b. Pola Unilinier
Pemikiran unilinear kita jumpai pula dalam karya Spencer (lihat Spencer, 1892 dalam EtzioniHalevy dan Etzioni, ed., 1973:9-13). Spencer mengemukakan bahwa struktur sosial berkembang
secara evolusioner dari struktur yang homogen menjadi heterogen. Perubahan struktur
berlangsung dengan diikuti perubahan fungsi. Suku yang sederhana bergerak maju secara
evolusioner ke arah ukuran lebih besar, keterpaduan, kemajemukan, dan kepastian sehingga
terjelma suatu bangsa yang beradab.
Comte dan Spencer berbicara mengenai perubahan yang senantiasa menuju ke arah kemajuan.
Namun ada pula pandangan unilinear yang cenderung mengagung-agungkan masa lampau dan
melihat bahwa masyarakat berkembang ke arah kemunduran--suatu pandangan yang oleh
Wilbert E. Moore (1963) dinamakan "primitivisme."
Pola Siklus
Menurut pola kedua, pola siklus, masyarakat berkembang laksana suatu roda: kadang kala naik
ke atas, kadangkala turun ke bawah. Contoh yang dikemukakan Etzioni-Halevy dan Etzioni ialah
karya Oswald Spengler dan Vilfredo Pareto.
Dalam bukunya yang terkenal, The Decline of the West (judul asli: Die Untergang des
Abendlandes, 1926, dikutip dalam Etzioni-Halevy dan Etzioni, ed., 1973:20-25) Oswald
Spengler mengemukakan sebagai berikut:
the great cultures accomplish their majestic wave cycles. "They appear suddenly, swell in
splendid lines, flatten again, and vanish ... dan Every culture passes through the age phases of the
individual man. Each has its childhood, youth, manhood, and old age.
Kutipan-kutipan di atas mencerminkan pandangannya bahwa kebudayaan tumbuh, berkembang
dan pudar laksana perjalanan gelombang, jang muncul mendadak, bcrkembang dan kemudian
lenyap; ataupun laksana tahap perkembangan seorang manusia--melcwati masa muda, masa
dewasa, masa tua, dan akhirnya punah. Sebagai contoh Spengler mengacu pada kebudayaankebudayaan besar yang kini telah tiada, seperti kebudayaan Yunani, Romawi, dan Mesir.
Menurut Spengler kebudayaan Barat akan mengalami hal serupa--oleh karena u bukunya
diberinya judul The Decline of the West ("pudarnya Barat").
37
Pandangan mengenai siklus kita jumpai pula dalam karya Vilfrcdo Pareto (lihat Pareto, 1935
dalam Etzioni-Halevy dan Etzioni, ed. 1973:26-29). Dalam tulisannya mengenai sirkulasi kaum
elite (the circulation of elites) Pareto mengemukakan bahwa dalam tiap masyarakat terdapat dua
lapisan, lapisan bawah atau nonelite dan lapisan atas, elite, yang terdiri atas kaum aristokrat dan
terbagi lagi dalam dua kelas: elite yang berkuasa dan elite yang tidak berkuasa. Menurut Pareto
aristokrasi senantiasa akan mengalami transformasi; sejarah menunjukkan bahwa aristokrasi
hanya dapat bertahan untuk jangka waktu tertentu saja dan akhimya akan pudar untuk
selanjutnya diganti oleh suatu aristokrasi baru yang berasal dari lapisan bawah. Sejarah, menurut
Pareto, merupakan tempat pemakaman bagi aristokrasi. Aristokrasi yang menempuh segala
upaya untuk mempertahankan kekuasaan akhirnya akan digulingkan melalui gerakan dengan
disertai kekerasan atau revolusi. Sebagaimana halnya dengan Spengler, maka di sini Pareto pun
mengacu pada pengalaman kaum aristokrat di Yunani, Romawi dan sebagainya.
c. Gabungan Beberapa Pola
Sejumlah teori menampilkan penggabungan antara kedua pola ~ergebut di atas. HalevyEtzioni
dan Etzioni memberikan dua contoh; salah satu di antaranya ialah teori konllik Karl Marx.
Pandangan Marx bahwa sejarah manusia merupakan sejarah perjuangan tcrus-menerus antara
kelas-kelas dalam masyarakat sebenarnya mengandung benih pandangan siklus karena setelah
suatu kelas berhasil menguasai kelas lain menurutnya siklus serupa akan berulang lagi.
Ramalannya mengenai masyarakat komunis pun mengandung pemikiran siklus, karena
masyarakat komunis yang didambakan Marx merupakan masyarakat yang menurut Marx pernah
ada sebelum adanya feodalisme dan kapitalisme--masyarakat yang tidak mengenal pembagian
kerja, yang di dalamnya konflik diganti dengan kerja sama. Namun dalam pemikiran Marx kita
pun menjumpai pemikiran linear: menurutnya perkembangan pesat kapitalisme akan memicu
konflik antara kaum buruh dengan kaum borjuis yang akan dimenangkan kaum buruh yang
kemudian akan membentuk masyarakat komunis. Pandangan Marx mengenai perkembangan
linear pun tercermin dari pandangannya bahwa negara jajahan Barat pun akan melalui proses
yang telah dialami masyarakat Barat.
Max Weber merupakan tokoh sosiologi klasik lain yang menurut Etzioni-Halevy dan Etzioni
menghasilkan teori yang berpola siklus (lihat Weber, 1958 dan 1947 dalam EtzioniHalevy dan
Etzioni, eds., 1973:40-53). Pemikiran Weber yang dinilai mengandung pemikiran siklus ialah
pembedaannya antara tiga jenis wewenang: kharismatik, rasional-legal dan tradisional. Weber
mclihat bahwa wewenang yang ada dalam masyarakat akan beralih-alih: wewenang kharismatik
akan mengalami rutinisasi sehingga beralih menjadi wewenang tradisional atau rasional-legal;
kemudian akan muncul lagi wewenang kharismatik, yang diikuti dengan rutinisasi; dan
seterusnya. Di pihak lain, Weber pun melihat adanya perkembangan linear dalam masyarakat,
yaitu semakin meningkatnya rasionalitas.
Pandangan-pandangan para tokoh sosiologi klasik tcrscbut sudah banyak yang ditinggalkan olch
para tokoh sosiologi modern. Meskipun banyak tokoh sosiologi modern-khususnya penganut
fungsionalisme seperti Talcott Parsons dan Neil J. Smclser--menganut pandangan mengenai
perkembangan masyarakat secara evolusioner, namun suatu perkembangan linear laksana teori
tiga tahap Comte tidak dianut lagi. Meskipun di kalangan tokoh sosiologi modern pun terdapat
penganut pendekatan konflik, seperti misalnya Ralf Dahrendorf, namun mercka pun sudah
meninggalkan banyak di antara pemikiran asli Marx.
11.2. Perubahan Sosial di Abad ke 20
Teori-teori yang dikemukakan para perintis awal sosiologi muncul sebagai reaksi terhadap
perubahan-perubahan sosial besar yang terjadi pada masyarakat Barat, terutama di Eropa Barat.
Di kala itu proses-proses perubahan besar yang terjadi semenjak abad ke - 18 seperti
detradisionalisasi, defeodalisasi, urbanisasi, industrialisasi, perkembangan kapitalisme dan
sosialisme memang baru terbatas pada masyarakat Eropa Barat. Masyarakat-masyarakat nonBarat di luarnya--di Asia, Afrika, dan di Amerika Latin--bukannya tidak tersentuh oleh
perubahan-perubahan yang terjadi di Barat. Praktik-praktik imperialisme dan kolonialisme
terhadap masyarakat-masyarakat non-Barat yang mendahului dan menyertai peruhahan besar di
Eropa Barat pun memicu perubahan pada masyarakat non-Barat, meskipun perubahan yang
terjadi sangat berbeda dengan perubahan di Eropa. Kontak dengan Belanda dan negara Eropa
lain yang dialami masyarakat kita sejak abad ke 17 berakibat hilangnya kekuasaan politik dan
ekonomi para penguasa pribumi pada tingkat regional dan lokal yang diikuti penjajahan langsung
maupun tidak langsung, sehingga eksploitasi hasil bumi kita dalam skala besar oleh pihak swasta
maupun Pemerintah Belanda untuk keperluan pasar Eropa dimungkinkan.
Berakhirnya Perang Dunia II diikuti perubahan-perubahan sosial besar di kawasan Asia, Afrika
dan Amerika Selatan--baik di negara-negara yang telah ada maupun di negara-negara baru yang
telah bebas dari penjajahan. Perhatian sejumlah ilmuwan sosial mulai dipusatkan pada proses
38
perubahan di kawasan di mana mayoritas masyarakat dunia hidup, dan sebagai akibatnya muncul
berbagai teori mengenai perubahan-perubahan di negara-negara di kawasan ini. Pusat-pusat studi
yang mengkhususkan diri pada masyarakat non-Barat ini mulai berkembang di berbagai negara
Barat. Negara-negara non-Barat ini mulai diberi berbagai
.julukan seperti "Masyarakat-masyarakat Dunia Ketiga" (Third World Societies),
"Ncgaranegara Terkebelakang" (Underdeveloped Countries atau Less Developed Countries),
"Negaranegara Sedang Berkembang" (Developing Countries), atau "Ncgara-ncgara Sclatan"
(South Countries).
Istilah Masyarakat Dunia Ketiga mengacu pada mayoritas masyarakat dunia yang pernah dijajah
negara-negara Barat dan yang masyarakatnya kebanyakan hidup dari pertanian; istilah
Masyarakat Dunia Pertama (First World Society) mengacu pada negara-negara industri maju di
Eropa Barat, Amerika, Australia dan Jepang; dan istilah Masyarakat Dunia ICCdua (Second
World Societies) mengacu pada negara-negara industri di Eropa Timur (lihat Giddens,
1989:5258). Negara-negara "Sedang Berkembang" tersebut sering pula dijuluki Ncgara-negara
Sclatan (South Countries), karena negara-negara tersebut kebanyakan terletak di belahan Selatan
bumi.
Giddens (1989) mengemukakan bahwa kesalingtergantungan masyarakat dunia semakin
meningkat. Proses peningkatan kesalingtergantungan masyarakat dunia ini dinamakannya
globalisasi (globalization) dan ditandai kesenjangan besar antara kckayaan dan tingkat hidup
masyarakat-masyarakat industri dan masyarakat-masyarakat Dunia Ketiga. Mcnurutnya tiap
tahun jutaan penduduk mati kelaparan meskipun produksi makanan di scluruh dunia cukup untuk
memberi makan semua orang, sedangkan sejumlah besar bahan makanan tersimplan-atatt
dimusnahkan di negara-negara Barat. Gejala-gejala perubahan sosial lain yang dicatat Giddens
ialah tumbuh dan berkembangnya negara-negara industri baru (newly industrialized countries,
atau NIC), dan semakin meriingkatnya komunikasi antarnegara sebagai dampak teknologi
komunikasi yang semakin canggih.
Masalah globalisasi diulas pula oleh Waters, yang mendefinisikannya sebagai "A social process
in which the constraints of geography on social and cultural arrangements recede and in which
people become increasingly aware that they are receding" (1996:3). Waters berpandangan bahwa
globalisasi berlangsung di tiga bidang kehidupan, yaitu perekonomian, politik, dan budaya.
Menurutnya globalisasi ekonomi berlangsung di bidang perdagangan, produksi, investasi,
ideologi organisasi, pasar modal, dan pasar kerja; globalisasi politik terjadi di bidang kedaulatan
negara, fokus kegiatan pemecahan masalah, organisasi internasional, hubungan internasional,
dan budaya politik; dan globalisasi budaya terjadi dalam bidang apa yang dinamakannya
sacriscape (ide keagamaan), ethnoscape (etnisitas), econoscape (pola pertukaran benda
berharga), mediascape (produksi dan distribusi gambaran sama ke seluruh dunia), dan
leisurescape (pariwisata).
11.3. Teori-teori modern Mengenai Perubahan Sosial
Teori-teori modern yang terkenal ialah, antara lain, teori-teori modernisasi para penganut
pendekatan fugsionalisme seperti Neil J. Smelser dan Alex Inkeles, teori ketergantungan . Andrd
Gunder Frank yang merupakan pendekatan konflik, dan teori mengenai sistem dunia dari
Wallerstein.
Di antara teori-teori klasik dan teori-teori modern kita dapat menjumpai benang merah.
Sebagaimana halnya dengan pandangan mengenai perkembangan masyarakat secara linear yang
dikemukakan oleh tokoh klasik seperi Comte dan Spencer, maka teori-teori modernisasi pun
cenderung melihat bahwa perkembangan masyarakat Dunia Ketiga berlangsung secara
evolusioner dan linear dan bahwa masyarakat bergerak ke arah kemajuan--dari tradisi ke
modernitas. Para penganut teori kontlik, di pihak lain, melihat bahwa perkembangan yang terjadi
di Dunia Ketiga justru menuju ke keterbelakangan dan pada ketergantungan pada negaranegara
industri maju di Barat.
Teori modernisasi. Teori modernisasi menganggap bahwa negara-negara terbelakang akan
menempuh jalan sama dengan negara industri maju di Barat sehingga kemudian akan menjadi
negara berkembang pula melalui proses modernisasi (lihat Light, Keller and Calhoun, 1989).
Teori ini berpandangan bahwa masyarakat-masyarakat yang belum berkembang perlu mengatasi
berbagai kekurangan dan masalahnya sehingga dapat mencapai tahap "tinggal landas" (take-offl
ke arah perkembangan ekonomi. Menurut Etzioni-Halevy dan Etzioni transisi dari keadaan
tradisional ke modernitas melibatkan revolusi demografi yang ditandai menurunnya angka
kematian dan angka kelahiran; menurunnya ukuran dan pengaruh keluarga; terbukanya sisem
stratifikasi; peralihan dari struktur feodal atau kesukuan ke suatu birokrasi; menurunnya
pengaruh agama; beralihnya fungsi pendidikan dari keluarga dan komunitas ke sistem
39
pendidikan formal; munculnya kebudayaan massa; dan munculnya perekonomian pasar dan
industrialisasi (lihat Etzioni-Halevy dan Etzioni, 1973:177).
Teori ketergantungan. Menurut teori ketergantungan (dependencia) yang didasarkan pada
pengalaman negara-negara Amerika Latin ini (lihat antara lain, Giddens, 1989, dan Light, Keller
and Calhoun, 1989) perkembangan dunia tidak merata; negara-negara industri menduduki posisi
dominan sedangkan negara-negara Dunia Ketiga secara ekonomis tergantung padanya.
Perkembangan negara-negara industri dan keterbelakangan negara-negara Dunia Ketiga,
menurut teori ini, berjalan bersamaan: di kala negara-negara industri mengalami perkembangan,
maka negara-negara Dunia Ketiga yang mengalami kolonialisme dan ncokolonialisme,
khususnya di Amerika Latin, tidak mengalami "tinggal landas" tetapi justru menjadi semakin
terkebelakang.
Teori sistem dunia. Menurut teori yang dirumuskan Immanuel Wallerstein ini (lihat Giddens,
1989 dan Light, Keller dan Calhoun, 1989) perekonomian kapitalis dunia kini tersusun atas tiga
jenjang: negara-negara inti, negara-negara semi-periferi, dan negara-negara periferi. Negaranegara inti terdiri atas negara-negara Eropa Barat yang sejak abad 16 mengawali proses
industrialisasi dan berkembang pesat, sedangkan negara-negara semi-periferi merupakan negaranegara di Eropa Selatan yang menjalin hubungan dagang negara-negara inti dan secara ekonomis
tidak berkembang. Negara-negara periferi merupakan kawasan Asia dan Afrika yang semula
merupakan kawasan ekstern karena berada di luar jaringan perdagangan negata-negara inti tetapi
kemudian melalui kolonisasi ditarik ke dalam sistem dunia. Kini negara-negara inti (yang
kemudian mencakup pula Amerika Serikat dan Jepang) mendominasi sistem dunia sehingga
mampu memanfaatkan sumber daya negara lain untuk kepentingan mereka sendiri, sedangkan
kesenjangan yang berkembang antara negara-negara inti dengan negara-negara lain sudah
sedemikian lebarnya sehingga tidak mungkin tersusul lagi.
11.4. Perubahan Sosial di Asia Tenggara
Konta antara masyarakat Barat dengan masyarakat pribumi yang telah mengakibatkan perubahan
sosial pada masyarakat Asia Tenggara pun telah menarik perhatian para ilmuwan soial.
Kemajemukan masyarakat-masyarakat di Asia Tenggara telah memungkinkan munculnya
berbagai konsep dan teori yang dilandaskan pada pengalaman khas berbagai masyarakat Asia
Tenggara. Dalam bukunya Sociology of South East Asia: Readings on Social Change and
Development, Hans-Dietcr Evers mcnyunting scjumlah tulisan ~ilmuwan sosial yang mencakup
beberapa konsep dan teori yang diangkat dari pengalaman masyarakat Indonesia seperti konsep
dual societies, plural societies dan involution (lihat Evers, 1980).
Dual societies. Pada awal abad ini J.H. Boeke, seorang ahli ekonomi Belanda yang pernah
bekerja di Indonesia mcmpertanyakan mengapa dalam masyarakat Barat kekuatan kapitalisme
telah membawa peningkatan taraf hidup dan persatuan masyarakat, sedangkan dalam masyarakat
Timur kapitalisme justru bersifat merusak. Dengan datangnya kapitalisme di masyarakat Timur
ikatan-ikatan komunitas melemah, dan taraf hidup masyarakat menurun. Di Asia Tenggara
sendiri lapisan atas masyarakat mengalami Westernisasi dan urbanisasi sedangkan lapisan bawah
menjadi semakin miskin (lihat Boeke, dalam Evers, 1980: Evers, 1980:2-3).
Menurut Boeke, gejala ini disebabkan karena kapitalisme telah mengakibatkan terjadinya apa
yang dinamakannya ekonomi dualistis (dual economy). Dalam suatu masyarakat dualistis,
menurut Boeke, kita menjumpai sejumlah antitesis, yaitu pertentangan antara (1) faktor produksi
pada masyarakat Barat yang bersifat dinamis dan pada masyarakat pribumi di pedesaan yang
bersifat statis, (2) masyarakat perkotaan (yang terdiri atas masyarakat Barat) dengan masyarakat
pedesaan (orang Timur), (3) ekonomi uang dan ekonomi barang, (4) sentralisasi administrasi dan
1okalj,&asi, (5) kehidupan yang didominasi mesin (pada masyarakat Barat) dan yang didominasi
kekuatan alam (pada masyarakat Timur), dan (6) perekonomian produsen dan perekonomian
konsumen.
Menurut Evers ciri dualistis pada perekonomian masyarakat kolonial maupun pascakolonial
yang disebutkan Boeke, yaitu adanya masyarakat yang terkebelakang yang hidup berdampingan
dengan masyarakat yang maju mempetoleh berbagai tanggapan. Sejumlah ilmuwan sosial
mencoba mengembangkan pemikiran Boeke ini, sedangkan ilmuwan lain menolaknya. Evers
sendiri mengecam Boeke karena cenderung mempersalahkan masyarakat pribumi sendiri atas
keterbelakangan mereka. ,;
Plural societies. Konsep masyarakat majemuk (plural societies) dipopulerka~n oleh J.S.
Furnivall. Menurut Furnivall (dalam Evers, 1980:86-96) Indonesia (Hindia-Belanda) merupakan
contoh suatu masyarakat majemuk, yaitu: ". . . a society, that is, comprising two
or more elements or social orders which live side by side, yet without mingling, in one political
unit."
40
Dalam gambarannya masyarakat Indonesia terdiri atas sejumlah tatanan sosial yang hidup
berdampingan tetapi tidak berbaur; namun menurutnya kelompok Eropa, Cina dan pribumi
saling melekat laksana kembar Siam dan akan hancur bilamana dipisahkan, scbagaimana nampak
dari kutipan bcrikut:
.., in Netherlands India, the European, Chinese and native are linked as vitally as Siamese twins
and, if rent asunder, every element must dissolve in anarchy.
Menurut Evers konsep ini pun telah mendorong sejumlah ilmuwan sosial untuk
menggunakannya, mengembangkannya, dan mengujinya pada masyarakat lain. Evers sendiri
menilai bahwa baik Boeke maupun Furnivall menganut gambaran yang terlalu sederhana
mengenai masyarakat Asia Tenggara.
Involution. Dampak pengaruh kapitalisme terhadap masyarakat pribumi dibahas Clifford Geertz
dalam bukunya Agricultural Involution (Involusi Pertanian; lihat Geertz, 1966). Menurut Geertz
kontak dengan kapitalisme Barat tidak menghasilkan perubahan secara evolusioner pada
masyarakat pedesaan di Jawa, melainkan suatu proses yang dinamakannya involusi. Menurut
Geertz penetrasi kapitalisme Barat terhadap sistem sawah di Jawa membawa kemakmuran di
Barat tetapi mengakibatkan suatu proses "tinggal landas" berupa peningkatan jumlah penduduk
pcdesaan. Ternyata kelebihan penduduk ini dapat diserap sawah melalui proses involusi, yaitu
suatu kerumitan berlebihan yang semakin rinci yang memungkinkan tiap orang tetap menerima
hagian dari panen meskipun bagiannya memang menjadi semakin mcngecil.
Konsep Geertz ini pun digunakan sejumlah ilmuwan sosial lain--antara lain di bidang perkotaan
sehingga kita mengenal pula konsep urban involution yang dipopulerkan oleh W.R. Armstrong
dan Terry McGee (lihat Armstrong dan McGee dalam Evers, 1980:220-234). Armstrong dan
McGee mengaitkan konsep involusi dengan sistem pasar di daerah perkotaan Dunia Ketiga, yang
senantiasa mampu menyerap tenaga kerja. Evers (1974) lebih mengaitkan konsep involusi
dengan perubahan struktural di daerah perkotaan; meskipun penduduk bertambah, namun kurang
terjadi diferensiasi sosial.
41