Anda di halaman 1dari 8

MEDIAN

Jurnal Arsitektur dan Planologi

KAJIAN TEORI TURNER: PRIORITAS KEBUTUHAN PERMUKIMAN


DAN TINGKAT PENDAPATAN
Studi Kasus: Permukiman Bajo, Kelurahan Bajoe, Kabupaten Bone, Sulawesi
Selatan

M. Amir Salipu¹*, Anggia R. Nurmaningtyas1, Inayatul Ilah Nashruddin1

¹Staf Pengajar Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Universitas Sains
dan Teknologi Jayapura
*e-mail penulis korespondensi: asalipu@gmail.com,

ABSTRAK

Permukiman adalah sekumpulan rumah yang mencakup aspek fisik dan non fisik. Aspek fisik yaitu:
lokasi, lingkungan dan sarana prasarana, sedangkan aspek non fisik yaitu: politik, ekonomi, sosial
dan budaya. Menurut Turner, perumahan bukan kata benda tetapi kata kerja tentang proses berlanjut
dan terkait dengan mobilitas sosial-ekonomi penghuninya. Perubahan pola lokasi perumahan pada
golongan tertentu merupakan konsepsi segregasi (pemisahan) tingkat sosial yang dapat diukur pada
perubahan lokasi. Hal ini terutama dilakukan oleh penduduk yang mempunyai tingkat ekonomi tinggi,
yang memilih lokasi rumah dengan standar modern dan memberikan identitas. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui penerapan Teori Turner tentang prioritas kebutuhan perumahan terkait
dengan tingkat pendapatan masyarakat di kawasan permukiman Suku Bajo di Pantai Bajoe,
Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa Teori Turner tentang
prioritas kebutuhan perumahan yaitu bagi masyarakat berpenghasilan rendah, yang mana lokasi di
sekitar tempat pekerjaan sangat penting, namun bagi Suku Bajo di Pantai Bajoe walaupun level
income mereka sudah berubah dari sangat rendah menjadi rendah dan rendah-menengah, lokasi
permukiman mereka tetap diprioritaskan dekat dengan tempat kerja. Hal ini tidak bisa dipisahkan dari
budaya Suku Bajo yang dikenal dengan manusia bahari. Teori Turner lebih cocok diterapkan pada
masyarakat di perkotaan padat dengan harga lahan yang mahal serta kondisi masyarakat yang
memiliki pekerjaan yang berbeda-beda. .

Kata kunci : Teori Turner, Permukiman Pesisir, Suku Bajo, Pantai Bajoe, Kabupaten Bone

I. PENDAHULUAN ekonomi yang rendah. Pendidikan formal dan


1.1. Latar Belakang keterampilan secara umum juga rendah.
Permukiman nelayan tersebar di Sarana sosial seperti pendidikan dan sarana
sepanjang pulau-pulau di seluruh Indonesia. perhubungan serta komunikasi umumnya
Ada yang terletak jauh terpencil dari sangat kurang. Di samping itu, faktor fisik
keramaian, ada pula yang terletak di tepi seperti karakteristik wilayah pesisir ini
pantai, muara sungai, teluk dan kawasan dibentuk oleh parameter lingkungan fisik
tambak, meskipun ini tidak berarti bahwa seperti pasang surut, arus laut, gelombang,
tambak-tambak tersebut merupakan milik angin, salinitas, suhu dan perubahan muka
dari nelayan tadi. Suku Bajo mendiami air laut. Hal ini menyebabkan masyarakat
daerah pesisir Pantai Bajoe. Sebagian besar pesisir mengalami banyak tantangan yang
masyarakat Suku Bajo memiliki mata berpengaruh terhadap keamanan lingkungan
pencaharian sebagai nelayan, yang masyarakat pesisir yang berdiam di atas
menghadapi banyak tantangan, baik di darat perairan.
maupun di laut. Suku Bajo sebagai suku laut, dijelaskan
Menurut Juhana (2000) dalam Nimmo dalam Salipu (2000:I-1) sebagai
Nurmaningtyas (2012:34), pada umumnya berikut:
masyarakat di daerah pantai merupakan “Suku Bajo atau Bajau dikenal sebagai
masyarakat tradisional dengan kondisi sosial salah satu suku Nomads yang masih

Vol. 8 No. 1 Juli 2018-108


MEDIAN
Jurnal Arsitektur dan Planologi

bertahan sampai saat ini. Di Filipina, suku Bone Sulawesi Selatan, apakah terdapat
Bajau merupakan orang-orang yang kesamaan, perbedaan atau pengembangan
bertempat tinggal di perahu (Boat-dwelling) mengenai teori tersebut.
masih mengembara di laut Sulu, Filipina
Selatan”. II. KAJIAN TEORITIS
Di permukiman Suku Bajo, Kelurahan Proses Bermukim Suku Bajo di Bajoe
Bajoe, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, Kampoh Bajo merupakan bagian dari
terjadi kontak antara Suku Bajo dengan Kelurahan Bajoe yang terletak sekitar 6 km
Suku Bugis di sekitar Teluk Bone. Menurut dari Watampone ibukota Kabupaten Bone.
Salipu (2000:I-1), kontak antara kedua suku Pada mulanya daerah ini tidak berpenduduk,
ini menyebabkan akulturasi budaya dari baru ketika orang Bajo pertama kali datang di
budaya pendatang (Bajo) dengan budaya daerah Bone, mereka membuat Kampoh di
lokal (Bugis), yaitu berubahnya budaya Suku sekitar perbatasan daerah Cellu yang pada
Bajo yang dapat dilihat dari perubahan waktu itu masih merupakan pantai. Kampoh ini
tempat tinggal dari babaroh ke papondok lalu ditandai dengan adanya patok yang mereka
rumak (rumah panggung) di atas laut dan sebut sambuah yang dipancangkan dengan
saat ini sebagian besar rumah mereka sebutan sambungan taguk pulih yang artinya
menjadi rumah panggung di atas daratan. patok tetap atau patok mati yang tidak dapat
Perubahan bentuk tempat tinggal seperti dicabut lagi. Kampoh ini tidak mempunyai
dikemukakan di atas diakibatkan oleh rumah karena pada waktu itu orang Bajo
adanya perubahan budaya pada Suku Bajo, belum mengenal rumah, mereka tinggal
yang dipengaruhi oleh budaya Bugis, bersama keluarganya dalam perahu yang juga
sebagaimana yang dijelaskan Lauer dalam digunakan sebagai rumah.
Salipu (2000:I-2): Kampoh ini dipimpin oleh seorang kepala
“Akulturasi adalah satu pola perubahan di suku yang mereka sebut Atowe Kampoh dan
mana terdapat tingkat penyatuan antara dua dibantu oleh pelaksana tugas yang mereka
kebudayaan. Penyatuan itu dapat sebut Sariah. Segala urusan keagamaan
menimbulkan perubahan dalam kebudayaan dipimpin oleh seorang imam yang mereka
atau terutama dalam salah satu di antara sebut Guru Same. Pada mulanya Guru Same
kedua kebudayaan itu. Penyatuan di sini ini berasal dari lapisan Lolo Same, semua
tidak berarti bahwa kesamaannya lebih anggota kampoh disebut anak parenta.
banyak daripada perbedaanya, tetapi hanya Menurut Syahbandi (1996) dalam Salipu
bahwa kedua kebudayaan menjadi semakin (2000:II-16), ada 5 lapisan masyarakat yang
serupa dibanding keadaan sebelum dikenal oleh Suku Bajo, yaitu:
terjadinya kontak antara keduanya”. Namun 1. Lolo Same, atau bangsawan Bajo;
perubahan yang terjadi tidak menghilangkan 2. Ponggawa Same, golongan bangsawan
semua ciri budaya Suku Bajo di Kelurahan akan tetapi sudah mempunyai
Bajoe, ada bagian-bagian tertentu yang percampuran darah dengan strata di
masih dipertahankan, misalnya kepercayaan bawah atau adanya perkawinan campuran
terhadap penguasa di laut dan di darat yang dengan suku lainnya;
perlu dihormati. 3. Gallarang, yaitu golongan bangsawan yang
mempunyai banyak campuran darah
1.2 Rumusan Masalah dengan strata di bawahnya;
Pada penelitian ini adalah bagaimana 4. Same, artinya orang biasa;
implementasi Teori Turner mengenai prioritas 5. Ate, atau hamba sahaya.
kebutuhan perumahan terkait dengan tingkat Khusus mengenai lapisan ate (budak) ini
pendapatan dalam buku Freedom to Build diungkapkan oleh Mattulada dalam karyanya
pada permukiman Suku Bajo di Kelurahan bertajuk Latoa (1995), bahwa terjadinya strata
Bajoe Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, hamba ini karena adanya peristiwa jual beli
apakah terdapat kesamaan, perbedaan atau atau kalah dalam perang, perampasan perang
pengembangan dari teori tersebut. dan karena adanya putusan pengadilan.

1.3. Tujuan Penelitian Permukiman Suku Bajo di Bajoe


Tujuan penelitian ini adalah untuk Menurut Soesangobeng (1977), sebelum
mengetahui lebih jauh implementasi Teori Suku Bajo membangun rumah di Bajoe, maka
Turner mengenai prioritas kebutuhan mereka bertempat tinggal di bidok (perahu)
perumahan terkait dengan tingkat pendapatan sampai tahun 1935. Setelah itu mereka mulai
dalam buku Freedom to Build pada membangun rumah di tepi pantai di daerah
permukiman Suku Bajo di Bajoe Kabupaten yang terkena pasang surut air laut dalam
Volume 8 No.2 Juli 2018 - 109
MEDIAN
Jurnal Arsitektur dan Planologi

bentuk kelompok perahu yang disebut


kelompok pelayaran bersama. Jumlah
penghuni bidok adalah 10-15 jiwa. Di mana
siklus perjalanan dari darat ke laut dan
sebaliknya, dijalani sepanjang waktu selama
mereka masih tinggal di atas perahu. Lebih
banyak waktu dihabiskan di laut sekitar
gugusan karang mencari hasil laut,
dibandingkan dengan waktu yang dihabiskan
di pantai. Hal ini bisa terjadi karena tujuan
mereka mendarat di tepi pantai adalah
menukarkan hasil laut yang mereka peroleh Sumber: Salipu, 2000
dengan bahan makanan, pakaian, peralatan Gambar 2. Rumah Orang Bajo di Atas Daratan
kerja, dan mengambil air tawar.
Kampoh Suku Bajo di Bajoe tidak Lokasi Permukiman Suku Bajo di Bajoe dapat
mengikuti jalur jalan utama tetapi tersebar dan dilihat pada gambar peta di bawah ini.
mengelompok pada pinggir pantai dan mereka
mendirikan rumahnya sebagian besar
menghadap ke laut. Bagi Suku Bajo di masa
lalu, rumah-rumah menghadap ke laut sesuai
falsafah hidup mereka, yaitu laut itu sumber
kehidupan atau kehidupan mereka segala-
galanya di sekitar lautan. Pada mulanya
sebagian besar rumah orang Bajo terletak di
atas air laut untuk memudahkan pencapaian
ke laut lepas dengan menggunakan perahu.
Saat ini, sebagian besar rumah mereka sudah
berada di daratan. Perubahan lokasi ini
mempengaruhi wujud rumah orang Bajo dilihat
dari bentuk, luasan, dan strukturnya.
Pada Suku Bajo, perubahan sistem
pengetahuan dan makna mempunyai implikasi
yang lebih jauh pada permukimannya.
Implikasi tersebut adalah perubahan orientasi
mereka terhadap laut dan darat. Pada saat
tinggal di Babaroh, orientasi ke laut dan darat
hanya sebagai tempat sementara. Kondisi ini
berubah pada saat mereka tinggal di Gambar 3. Pantai Bajoe, September 2004
papondok, menjadi berorientasi juga ke darat.
Lalu pada saat awal tinggal di rumak,
orientasinya adalah laut dan darat, dan saat ini
berubah menjadi orientasi yang lebih dominan
di darat daripada laut. Perubahan orientasi
tersebut dapat dilihat pada ilustrasi berikut ini.

Sumber: Salipu, 2000


Gambar 1. Perubahan Tapak Permukiman
Suku Bajo
Gambar 4. Pantai Bajoe, Februari 2018
Vol. 8 No. 1 Juli 2018-110
MEDIAN
Jurnal Arsitektur dan Planologi

permukiman yakni air, saluran yang baik,


Rumah orang Bajo terdiri atas tiga bagian udara bersih, akses dan mobilitas. Aspek
seperti halnya rumah orang Bugis yang terdiri budaya di antaranya mencakup kebebasan
atas: berekspresi dan memilih, adanya
kesinambungan, bersifat responsif,
1. Pamuka rumak, yaitu bagian atas rumah mempengaruhi secara efektif, keindahan, seni,
yang dipergunakan sebagai tempat visi dan mimpi-mimpi.
menyimpan alat-alat penangkap ikan Uraian di atas menjelaskan bahwa
seperti jala, pukat dan panah ikan; permukiman terdiri dari aspek fisik dan non
2. Dialan rumak, yaitu bagian tengah rumah fisik yang perlu berinteraksi secara seimbang
yang dipergunakan sebagai tempat tinggal; agar memberi nilai bagi sebuah rumah
3. Dia’ rumak, yaitu bagian bawah yang maupun permukiman. Menurut Rapoport
digunakan sebagai tempat menambatkan (1969), rumah adalah suatu lembaga dan
perahu dan menyimpan layar. bukan hanya struktur, yang dibuat untuk
berbagai tujuan yang kompleks dan karena
Pembagian ruang secara vertikal pada membangun suatu rumah merupakan gejala
rumah orang Bajo di Bajoe, dapat dilihat pada budaya, maka bentuk dan pengaturannya
gambar berikut ini. sangat dipengaruhi oleh budaya lingkungan di
mana bangunan itu berada. Uraian Rapoport
tersebut menjelaskan bahwa apa yang
dihasilkan manusia itu terbentuk karena latar
belakang sosial budaya manusia.
Altman (1989) menjelaskan rumah sebagai
refleksi dari hubungan antara kebudayaan dan
lingkungan. Desain sebuah rumah akan
mengindikasikan berbagai hal, yaitu: iklim dan
faktor-faktor lingkungan, struktur keluarga dan
Sumber: Salipu, 2000 sistem kekerabatan, agama, kosmologi serta
Gambar 5. Potongan Rumah Bajo di Bajoe pandangan hidup yang dianut oleh suatu
masyarakat. Dari uraian Altman dapat
Bentuk rumah Bajo ini menyerupai rumah disimpulkan bahwa peran kebudayaan dalam
orang Bugis yang ada di sekitar permukiman bentuk rumah akan tampak dari keterlibatan
mereka. aspek budaya tersebut, yaitu: kosmologi,
agama serta struktur keluarga dan struktur
Teori Permukiman sosial. Sebaliknya, rumah akan merefleksikan
Definisi rumah menurut Newmark & berbagai aspek atau nilai-nilai dari
Thomson (1977:2) dapat dilihat dari istilah kebudayaan. Menurut Roske (1983) dalam
House dan Home yang dijelaskan sebagai Swanendri (2000:II-32), orang akan memilih
berikut: home didefinisikan sebagai tempat rumahnya yang merupakan perlindungan
tinggal atau hunian yang merupakan tempat dasar dari lingkungannya (di luar kulit dan
kediaman seseorang atau keluarga, sebuah pakaian) untuk menampilkan atau
lingkungan psikososial, sedangkan house menyimbolkan apa-apa yang menarik yang
didefinisikan sebagai bangunan tempat tinggal sebelumnya tidak dapat ditampilkan. Selain
orang-orang, bersifat struktural, tempat memenuhi kebutuhan sebagai shelter, rumah
berlindung (shelter), sebuah lingkungan fisik. juga dapat memberikan kepuasan akan
Maka pengertian dari rumah (house & home) pemenuhan kebutuhan psikologis.
adalah sebuah tempat tinggal (fisik) seseorang
atau keluarga untuk melakukan berbagai Perumahan menurut John F.C. Turner
aktivitas sehari-hari (sosial) dan sebagai Menurut Turner (1972:151), perumahan
tempat berlangsungnya proses bukan kata benda tetapi kata kerja tentang
pengembangan diri (budaya). proses berlanjut dan terkait dengan mobilitas
Permukiman merupakan tempat suatu sosial-ekonomi penghuni. Perubahan pola
komunitas berada, yang mana di dalamnya lokasi perumahan pada golongan tertentu
terjalin interaksi antar berbagai aspek. merupakan konsepsi segregasi (pemisahan)
Menurut Barbara Ward (1976:125), aspek ini tingkat sosial yang dapat diukur pada
mencakup aspek sosial, prasarana fisik, dan perubahan lokasi. Hal ini terutama dilakukan
budaya. Beberapa aspek sosial mencakup oleh penduduk yang mempunyai tingkat
kesehatan, melek huruf, pekerjaan, keamanan ekonomi tinggi, yang memilih lokasi rumah
penghuni. Aspek prasarana fisik dasar dalam berstandar modern dan memberikan identitas.

Volume 8 No.2 Juli 2018 - 111


MEDIAN
Jurnal Arsitektur dan Planologi

Prioritas kebutuhan pada tingkat pendapatan


akan berbeda antara setiap kelompok, hal ini
sesuai dengan penjelasan Turner (1972:165)
bahwa prioritas kebutuhan vital pada tingkat
pendapatan bervariasi dan mempunyai nilai-
nilai esensial yang berlainan. Pada tingkat
pendapatan sangat rendah, maka hal yang
esensial akan berbeda jika berada pada
tingkat pendapatan rendah, dan seterusnya.
Gambaran lebih jelas tentang prioritas
kebutuhan vital dan tingkat pendapatan ini
dapat dilihat pada grafik berikut.

Sumber: Salipu, 2000


Gambar 7. Kesesuaian antara Prioritas
Kebutuhan Vital dan Perumahan dengan
Tingkat Pendapatan

Gambar di atas menjelaskan beberapa hal


penting tentang kebutuhan vital dan
kebutuhan perumahan terkait dengan tingkat
pendapatan yang dapat dinarasikan sebagai
Sumber: Salipu, 2000 berikut:
Gambar 6. Prioritas Kebutuhan Vital pada 1. Bagi masyarakat yang pendapatannya
Tingkat Pendapatan sangat rendah, cenderung menganggap
kesempatan dan memperoleh tempat
Gambar di atas merupakan ilustrasi dari tinggal dekat dengan lokasi pekerjaan yang
konsep Turner yang menjelaskan jika ada tidak memerlukan keterampilan merupakan
perubahan pada tingkat pendapatan, maka hal yang esensial;
akan menyebabkan perubahan pada prioritas 2. Bagi yang memiliki pendapatan rendah
kebutuhan vital. Konsep ini disusun setelah sampai menengah-rendah, yang esensial
Turner melakukan penelitian di Lima (Peru). adalah kepemilikan dan keamanan;
Hipotesis dari Turner adalah bahwa sektor 3. Bagi yang memiliki pendapatan tinggi, hal
pendapatan yang sangat rendah sangat yang esensial adalah memiliki rumah yang
memprioritaskan opportunities (kesempatan) berstandar modern dan memberikan
untuk keluar dari situasinya sedangkan pada identitas.
pendapatan rendah dan sedang, maka hal
yang sangat penting bagi mereka adalah Ini berarti pemilihan lokasi perumahan bagi
security (keamanan) dari tempat kerjanya. masing-masing kelompok tidak selalu sama.
Sebaliknya, pada tingkat pendapatan tinggi Kecenderungan masing-masing kelompok
yang mereka pentingkan adalah sesuatu yang pendapatan akan sangat berbeda sesuai
memberikan identity (identitas) dari tingkat dengan nilai esensial yang dimiliki. Apakah hal
sosialnya. ini juga berlaku pada permukiman Suku Bajo,
Matched prioritas antara kebutuhan vital yang secara fisik tetap berada dalam
dan perumahan dengan tingkat pendapatan kelompok mereka sendiri sehingga pemisahan
tergambar pada grafik berikut ini. etnis tidak terjadi, akan dikaji di sini. Teori
Turner atau teori prioritas kebutuhan vital dan
kebutuhan rumah dikaitkan dengan tingkat
pendapatan, akan dijadikan acuan dalam
upaya menjelaskan permukiman Suku Bajo
sebagai kata kerja.

Vol. 8 No. 1 Juli 2018-112


MEDIAN
Jurnal Arsitektur dan Planologi

juga akan berubah menjadi kepemilikan, baik


III. METODE PENELITIAN status tanah maupun rumah.
Metode yang dipergunakan dalam
Teori Turner tersebut sebenarnya
penelitian ini adalah metode kualitatif dengan
menjelaskan transformasi morfologi prioritas,
mendeskripsikan aplikasi teori Turner tentang
baik kebutuhan vital maupun kebutuhan
kebutuhan perumahan terkait dengan tingkat
perumahan. Perubahan tersebut dapat dilihat
pendapatan dalam suatu permukiman.
pada Tabel 1.
Pengumpulan data dilakukan antara lain lewat
studi pustaka. Data sekunder diperoleh
Tabel 1. Transformasi Prioritas Kebutuhan
dengan menggali data pustaka dan sumber
Rumah Menurut Tingkat Pendapatan
sekunder untuk menemukan data dan Level Prioritas Kebutuhan
kerangka pemikiran dalam analisis. Survei Income Vital Perumahan
dilakukan dengan pengamatan langsung 1. Sangat Kesempatan Dekat dengan tempat
terhadap objek di lapangan. Analisis yang Rendah kerja yang tidak
dilakukan meliputi kegiatan penelaahan, memerlukan keahlian
khusus.
pengelompokan dan penafsiran data yang 2. Rendah Keamanan Kepemilikan pribadi
bersumber dari kajian pustaka dengan 3. Menengah Keamanan Kepemilikan pribadi
menelaah artikel jurnal dan kepustakaan hasil Rendah
penelitian sedangkan pengamatan lapangan 4. Menengah Identitas Tempat tinggal modern
5. Tinggi Identitas Tempat tinggal modern
dilakukan pada tahun 2018 yang berkaitan
dengan kondisi kawasan permukiman Suku
Bajo di Kelurahan Bajoe, Kabupaten Bone Perubahan pada level pendapatan tersebut
Sulawesi Selatan. hanya dapat dicapai dengan meningkatkan
usaha, baik produksi, pengolahan dan
IV. LOKASI PENELITIAN pemasaran. Kegiatan ekonomi tersebut
Penelitian dilakukan di permukiman Suku memerlukan penyesuaian dengan kondisi
Bajo di Dusun Bajo, Kelurahan Bajoe, pasar dan sumber daya sehingga diperlukan
Kecamatan Tanete Riattang Timur, Kabupaten usaha yang terus-menerus untuk
Bone, yang terletak 6 km di sebelah timur Kota meningkatkan usaha dengan tetap
Watampone ibukota Kabupaten Bone. Jarak memperhatikan sumber daya yang ada.
antara Watampone dengan Kota Makassar
adalah ±174 km. Kondisi sosial ekonomi Suku Bajo yang
tinggal di kawasan pesisir sebagai nelayan
V. PEMBAHASAN sesuai keahlian dan pola hidup bahari
Prioritas kebutuhan vital dan perumahan menyebabkan keterbatasan mobilitas sosial.
yang disandingkan dengan tingkat pendapatan Mobilitas sosial adalah strategi untuk bertahan
masyarakat Suku Bajo, akan memperlihatkan hidup masyarakat Suku Bajo yang dilakukan
bahwa berbagai tingkat pendapatan suatu dengan cara relasi aktif dan relasi pasif. Hal ini
kelompok masyarakat memiliki preferensi dijelaskan oleh Mukramin (2018:183) dalam
yang berbeda-beda akan sesuatu hal yang penelitiannya terhadap Suku Bajo di Kolaka
esensial dalam hidupnya. Makin tinggi tingkat Utara, bahwa relasi aktif, yaitu hubungan
pendapatan masyarakat maka akan proses sosial yang bersifat horisontal
mengalami perubahan yang kadang naik atau (hubungan terhadap sesama masyarakat),
turun tingkat esensialnya. Sebagaimana dengan cara bertahan pada mata pencaharian
dijelaskan oleh Turner (1972) bahwa sebagai nelayan dalam upaya
perumahan bukan kata benda tetapi kata kerja mempertahankan hidup sedangkan relasi pasif
tentang proses berlanjut dan terkait dengan adalah hubungan proses sosial yang bersifat
mobilitas sosial ekonomi penghuni walaupun vertikal (hubungan terhadap pemerintah).
kata perumahan dalam bahasa Inggris dapat Dengan kondisi yang terbatas, baik pada
berarti kata benda (noun) dan kata kerja aspek pendidikan, ekonomi, bahkan sosial,
(verb). Kalau perumahan dianggap sebagai akan diperlukan dukungan dari pemerintah
kata kerja, maka pergerakan pun menjadi hal setempat. Kondisi sosial ekonomi Suku Bajo
yang mendasar dalam aktivitas. Jika dilihat yang rendah, tidak hanya terjadi di Kolaka
dari bidang perumahan, maka prioritas Utara saja, tetapi juga terjadi di Kelurahan
kebutuhan terhadap perumahan bagi Bajoe, Kabupaten Bone.
masyarakat yang berada pada level sangat Kondisi sosial ekonomi Suku Bajo yang
rendah adalah dekat dengan tempat kerja. rendah, dapat diartikan sebagai masyarakat
Jika level pendapatan berubah menjadi yang berpenghasilan sangat rendah sampai
menengah-rendah, maka prioritas kebutuhan rendah namun tidak dapat diklasifikasikan

Volume 8 No.2 Juli 2018 - 113


MEDIAN
Jurnal Arsitektur dan Planologi

seperti yang terdapat dalam Teori Turner, mereka adalah membuat bentukan yang
karena prioritas kebutuhan mereka berbeda. menyerupai bangunan lain di sekitarnya, yaitu
Bagi Suku Bajo yang hidupnya terbiasa di laut, membuat rumah yang serupa dengan rumah
maka permukiman yang dekat dengan tempat orang Bugis yang ada disekitar mereka.
pekerjaan adalah hal yang paling esensial
Dengan kondisi yang diuraikan di atas,
dalam hidup mereka. Walaupun kondisi sosial
maka apabila Teori Turner akan digunakan
mereka berubah dari sangat rendah ke
untuk menjelaskan perubahan prioritas
rendah-menengah, prioritas kebutuhan
kebutuhan perumahan Suku Bajo, perlu ada
perumahan tetap memilih lokasi perumahan
penyesuaian level income dan prioritas
yang dekat dengan tempat kerja (laut dan
kebutuhan yang perlu dikoreksi karena bentuk
perahu).
kebutuhan Suku Bajo tersebut tidak sama
Kondisi sejarah masa lalu Suku Bajo dengan kriteria yang diungkapkan dalam Teori
sebagai manusia bahari dan lokasi Turner. Dengan kata lain bisa saja muncul
permukiman mereka yang tersebar di prioritas kebutuhan baik vital maupun
beberapa kawasan pesisir pantai Sulawesi, perumahan yang lebih sesuai dengan sistem
Kalimantan, Nusa Tenggara Timur dan pengetahuan dan makna dari kebudayaan
kawasan Asia Tenggara, tidak bisa dipisahkan tersebut.
dari kawasan pantai dan lautan. Hal ini sesuai
Teori permukiman Turner lebih banyak
dengan penjelasan Hasrawaty dkk (2017:33),
menguraikan perubahan pada prioritas
bagi masyarakat Suku Bajo yang tersebar di
kebutuhan vital dan perumahan pada level
Kabupaten Wakatobi, laut bagi mereka adalah
income tertentu dengan memberikan tiga
berkah alam sebagai modal untuk kepentingan
kategori perubahan sedangkan kategori
social.
tingkat pendapatan pada kajian ini dibagi
Berkaitan dengan uraian di atas, maka menjadi lima. Turner berpendapat bahwa
perubahan prioritas tersebut pada Teori antara level pendapatan rendah dan
Turner, hanya dilihat dari segi kebutuhan yang menengah-rendah terdapat kesamaan
umum bagi golongan yang tinggal di daerah prioritas kebutuhan, demikian pula pada level
perkotaan, di mana tanah bagi golongan pendapatan menengah dan tinggi, ada
berpenghasilan rendah sulit didapat dengan kesesuaian prioritas kebutuhan. Menurut
harga yang rendah sedangkan pada kasus pendapat penulis, kategori prioritas Turner
Suku Bajo, masyarakatnya berada pada lebih cocok diterapkan pada konteks
daerah kota (dalam pengertian administratif), perkotaan padat, di mana tanah merupakan
tetapi kehidupan warganya masih diwarnai sumber daya alam yang langka dengan tipe
dengan suasana desa. Prioritas untuk perumahan yang sesuai standar modern dan
mendapatkan rumah modern sebenarnya lebih kepemilikan yang dibangun oleh swasta, serta
merupakan usaha untuk mendapatkan rumah kondisi masyarakat yang memiliki bidang
yang luas agar dapat digunakan untuk pekerjaan yang bervariasi.
kegiatan usaha.
VI. KESIMPULAN
Pembuatan rumah “modern” dalam uraian
1. Prioritas kebutuhan vital dan perumahan,
Turner lebih tepat disebut sebagai usaha
walaupun dapat menjelaskan kondisi
untuk mengatasi kondisi alam (air laut, angin,
permukiman Suku Bajo di Kelurahan Bajoe
tapak dan iklim) sebagaimana yang dijelaskan
tentang pemilihan lokasi yang dekat
Juhana (2000) dalam Nurmaningtyas
dengan tempat kerja bagi masyarakat
(2012:34), faktor fisik seperti karakteristik
berpenghasilan sangat rendah, namun
wilayah pesisir ini dibentuk oleh parameter
masyarakat yang telah memiliki
lingkungan fisik seperti pasang surut, arus
pendapatan menengah dan tinggi (para
laut, gelombang, angin, salinitas, suhu dan
pemilik usaha), lokasi rumah mereka tetap
perubahan muka air laut. Kondisi lingkungan
berada di tempat awal yang dekat dengan
kawasan pesisir yang demikian itu
tempat pekerjaan.
menyebabkan adanya kesulitan bagi penghuni
2. Bagi masyarakat berpenghasilan rendah
untuk menikmati ketenangan lingkungan
dan menengah-rendah, dapat dijelaskan
karena adanya perubahan lingkungan yang
bahwa mereka memprioritaskan
terjadi setiap saat. Oleh karena itu, untuk
kepemilikan lahan dan rumah, dengan
meningkatkan keamanan dalam permukiman
adanya perubahan rumah mereka yang
Suku Bajo, diperlukan upaya mengatasi
dulunya di atas laut (tidak ada kepemilikan
permasalahan lingkungan yang terus berubah.
pribadi), saat ini mereka telah menghuni
Di samping itu, modern dalam pengertian
rumah secara permanen di darat maupun

Vol. 8 No. 1 Juli 2018-114


MEDIAN
Jurnal Arsitektur dan Planologi

di atas air (kepemilikan pribadi dan jaminan Rapoport, Amos (1969). House Form and
keamanan). Culture. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice
3. Kelompok yang berpenghasilan menengah Hall.
dan tinggi di permukiman Suku Bajo, tidak Salipu, Amir (2000). Transformasi Permu-
meninggalkan lokasi permukiman mereka, kiman Suku Bajo di Kelurahan Bajoe, Kota
sebagaimana terjadi pada suku Bugis yang Administratif Watampone, Sulawesi Selatan.
cenderung memilih lokasi rumah yang Tesis Program Studi Arsitektur, Program
modern dengan fasilitas yang memenuhi Pasca Sarjana ITS Surabaya.
aspek bangunan modern dari segi sarana Soesangobeng, Herman (1977).
dan prasarana. Namun bagi Suku Bajo, Perkampungan Bajo di BajoE Suatu Rintisan
keterikatan dalam kelompok mereka sangat Studi Tentang Orang Bajo dan Konsep
kuat, termasuk bahasa yang dipergunakan Permukimannya di Pesisir Teluk Bone dan
oleh Suku Bajo yang jarang dimengerti Sekitarnya. Penelitian Pusat Latihan
oleh masyarakat yang ada disekitarnya Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Ujung Pandang.
(Bugis), hal ini berbeda dengan Suku Bajo Swanendri, Ni Made (2000). Eksistensi Rumah
yang juga dapat berbahasa Bugis. Mereka Bali sebagai Basis Ekonomi Keluarga; Studi
telah merasa menyatu dengan lingkungan Kasus Desa Belega dan Desa Bona,
permukiman mereka saat ini. Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar
4. Teori Turner tentang prioritas kebutuhan Bali. Tesis Program Studi Arsitektur.
vital dan perumahan terkait dengan level Program Pasca Sarjana ITS Surabaya.
income, lebih sesuai untuk menjelaskan Turner, John, FC (1972). Freedom to Build.
fenomena perubahan kebutuhan tersebut New York: The Macmillan Company.
pada wilayah kota, di mana harga tanah Ward, Barbara (1976). The Home of Man.
sangat mahal dan lokasi pekerjaan pada Pinguin Books Ltd., Harmondsworth,
masing-masing kelompok berbeda-beda, Middlesex, England.
sedangkan untuk lokasi penelitian ini lebih
menyerupai desa yang secara administratif
termasuk wilayah kota (kelurahan).

DAFTAR PUSTAKA
Altman, Irwin and Chemer, Martins (1989).
Culture and Environment. New York,
Cambridge University Press, 1984 reprinted
1989
Hasrawaty, Esti, Anas, Pigoselpi, Wisudo,
Sugeng, Hari (2017). Peran Kearifan Lokal
Suku Bajo dalam Mendukung Pengelolaan
Kawasan Konservasi di Kabupaten
Wakatobi. Jurnal Penyuluhan Perikanan dan
Kelautan, 11 (1): 25-34.
Mattulada (1995). LATOA: Satu Lukisan
Analitis Terhadap Antropologi Politik Orang
Bugis, Cet.2. Ujung Pandang: Hasanuddin
University Press.
Mukramin, Sam’un (2018). Strategi Bertahan
Hidup: Masyarakat Pesisir Suku Bajo di
Kabupaten Kolaka Utara. Jurnal Walasuji, 9
(1), Juni 2018: 175-185. Balai Pelestarian
Nilai Budaya Makassar.
Nemwark, Norma L. & Thomson, Patricia J.
(1977). Self, Space and Shleter An
Introduction to Housing. San Fransisco:
Canfield Press.
Nurmaningtyas, Anggia R. (2012). Teknologi
Perlindungan Rumah Kayu Pada Arsitektur
Rumah Kayu Suku Tobati di Teluk Yotefa,
Papua. Tesis Program Studi Teknik
Arsitektur. Program Pasca Sarjana
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Volume 8 No.2 Juli 2018 - 115

Anda mungkin juga menyukai