Anda di halaman 1dari 66

LAPORAN

PENELITIAN MANDIRI

ARSITEKTUR VERNAKULAR PAPUA DALAM


RANCANGAN PENGEMBANGAN KAWASAN WISATA
DANAU SENTANI KABUPATEN JAYAPURA

PENELITI

UNIVERSITAS SAINS DAN TEKNOLOGI JAYAPURA


2020
HALAMAN PENGESAHAN
i
DAFTAR ISI

Hlm
HALAMAN SAMPUL ………..………………………………………… i
HALAMAN PENGESAHAN ………………………….………………..ii
DAFTAR ISI ……………..……………………………………………iii

BAB I PENDAHULUAN ….………………………………..………1

1.1. Latar Belakang ……………………..………………….....1

1.2. Rumusan Masalah ………………………………………….. 6

1.3. Tujuan Penelitian …..……………………………………… 6

1.4. Luaran Penelitian (publikasi jurnal) …………………….……. 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ….………………………………………..7

2.1. Tinjauan Pustaka ….………………………………………. 7

2.2. Dasar Teori ……………………………………………….... 14

BAB III METODE PENELITIAN ..………………………………………. 28

3.1. Pendekatan Penelitian ………………….…………………… 28

3.2. Tempat Penelitian dan Waktu Penelitian ..………………….. 29

3.3. Metode Pengambilan Data …………………………….…..… 32

3.3.1. Wawancara …………………………………………. 34

3.3.2. Observasi …………………………………………. 35

3.3.3. Studi Dokumen …………………………………. 36

3.4. Teknik Analisis Data ……...…………………………...……. 37

BAB IV ARSITEKTUR VERNAKULAR DAN PENGEMBANGAN


DESTI-NASI WISATA Di KABUPATEN JAYAPURA

4.1. Indentifikasi Arsitektur Vernacular Papua dalam


Kebudayaan Masyarakat Sentani di Kabupaten Jayapura ……. 39
ii
4.2. Penerapan dalam pengembangan destinasi Wisata ……………. 45
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………… 59

5.1. Kesimpulan ………………………………………………….. 59


5.2. Saran ……………………………………………………….. 60

DAFTAR PUSTAKA ..…………………………………………………… 61

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Menurut Gedemahaputera (2014), Secara literal, vernacular dalam

bahasa latin disebut sebagai ‘vernaculus, yang artinya adalah native atau

penduduk setempat, berasal dari daerah setempat sementara dalam istilah dalam

bahasa Italia, vernacular berasal dari kata ‘verna‘ yang artinya adalah tenaga

kerja setempat (Oliver, 2007). Dari pengertian tersebut terlihat bahwa unsur

‘tempat’ yang spesifik di dalam suatu wilayah memiliki peran besar dalam kata

vernacular. Bangunan apa saja yang digolongkan sebagai vernacular buildings?

Paul Oliver (2003) menyebut bangunan yang digolongkan dalam vernacular

buildings sebagai berikut:

…it includes many types of building which have not been professionally

designed. Broadly, it may be defined…as comprising dwellings and all other

buildings of the people.

Rapoport, Amos (1969), dalam ‘House Form and Culture’ juga

memisahkan antara karya bangunan masyarakat setempat dengan

bangunan yang dihasilkan oleh seorang master builder. Bangunan yang

dihasilkan oleh masyarakat setempat dari usaha untuk menciptakan tempat

berlindung dan selanjutnya terus berkembang menyesuaikan dengan

kebutuhan masyarakatnya disebut sebagai Folk Tradition :

1
… The folk tradition, on the other hand, is the direct and unself-consious

translation into physical form of a culture, its needs and values-as well as the

desires, dreams, and passions of a people….

The folk traditionis much more closely related to the culture of the majority and

life as it is really lived than is the grand design tradition, whichrepresents the

culture of the elite. The folk tradition also represents the bulk of the built

environment.

Nilai - nilai vernacular justru terkandung tidak pada apa yang nampak tetapi hubungan

yang terjalin antara penghuni dengan bangunan, bangunan dengan lingkungan dan site,

serta antara bangunan dengan bangunan lain membentuk sebuah permukiman.

Bangunan vernacular dibangun dengan cara lokal untuk memenuhi kebutuhan manusia

terhadap perlindungan dari kondisi alam. Umumnya bangunan dibangun dengan teknik

konstruksi yang dikembangkan setempat oleh masyarakat, dan telah teruji selama

bertahun-tahun, dapat beradaptasi dengan sangat baik dengan lingkungan sekitarnya

yang mana adaptasi ini sering dilupakan oleh bangunan-bangunan yang digolongkan

sebagai karya arsitektur modern. Bangunan vernacular merupakan reaksi alami manusia

dan masyarakatnya dalam menanggapi salah satu kebutuhan mendasarnya (lihat Paul

Oliver : Build to Meet Needs).

Bangunan vernacular merupakan contoh yang sempurna, bagaimana

sebuah lingkungan dibangun selaras dengan lingkungan sekitarnya,

menyelesaikan persoalan-persoalan kebutuhan ruang, pemilihan bahan, teknik

konstruksi serta mampu bertahan selama bertahun tahun.

Dwi Ari & Antariksa (2005:79) menyatakan bahwa permukiman

vernakular memiliki pola-pola yang membicarakan sifat dari persebaran

2
permukiman sebagai suatu susunan dari sifat yang berbeda dalam hubungan

antara faktor-faktor yang menentukan persebaran permukiman. Terdapat

kategori pola permukiman vernakular berdasarkan bentuknya yang terbagi

menjadi beberapa bagian, yaitu : (1). Pola permukiman bentuk memanjang

terdiri dari memanjang sungai, jalan, dan garis pantai; (2). Pola permukiman

bentuk melingkar; (3). Pola permukiman bentuk persegi panjang; dan (4). Pola

permukiman bentuk kubus.

Menurut Gedemahaputera (2014), Kawasan Asia Pasifik, dimana

Indonesia menjadi titik sentral, merupakan wilayah yang sangat kaya dengan

bangunan bangunan vernacular. Study tentang arsitektur di kawasan ini secara

cukup terperinci disajikan oleh Roxana Waterson dalam buku Living house: An

Antropology of Architecture in South East Asia. Di dalam buku yang diterbitkan

tahun 1997 tersebut, Waterson melakukan study mulai dari kawasan Asia

Tenggara hingga ke kepulauan Polynesia. Sekalipun menemukan variasi bentuk

yang sangat kaya, dipengaruhi oleh kehidupan local serta budaya setempat,

banyak pula ditemukan kesamaan prinsip yang mendasari bangunan serta tata

permukiman pada kawasan ini. Di salam salah satu bagian bukunya, Waterson

mencoba mencari garis pemisah antara tata cara membangun modern yang

dibawa oleh kolonialis ke kawasan ini. Pemisahan ini mirip seperti yang

dilakukan oleh Amos Rapoport dengan menggolongkan bangunan berdasarkan

tata cara pembangunannya, oleh masyarakat, atau oleh perancang professional.

Pariwisata merupakan sektor yang potensial dan berperan penting dalam

mebangunan suatu wilayah. Peran tersebut antara lain sebagai penghasil devisa

(Samimi et al., 2011; Schubert et al., 2011), meningkatkan kesempatan kerja

3
(Neto, F. 2003; Samimi et al., 2011), meningkatkan pendapatan masyarakat dan

pemerintah (Lee & Chang, 2008), mendorong pelestarian lingkungan hidup

(Hillery et al., 2011) serta memperkokoh persatuan bangsa (UU No. 10 tahun

2009). Hal ini dipandang memungkinkan karena kepariwisataan sebagai upaya

ekonomi (Lee & Chang, 2008; Smeral, 2010), bukan saja padat modal tetapi

juga padat karya.

Permintaan pariwisata terus meningkat secara signifikan dari tahun ke

tahun sejak decade 1970-an (Smeral, 2003). Peningkatan ini memberikan

berbagai dampak, baik dampak positif maupun dampak negatif. Dampak positif

dari pembangunan pariwisata dapat meningkatkan pendapatan daerah (Walpole

& Goodwin, 2000; Seetanah, 2011), menciptakan lapangan pekerjaan (Neto, F.

2003; Samimi et al., 2011) serta dapat memunculkan kegiatan ekonomi di

daerah (Neto, 2003). Akan tetapi dampak negatif dari pengembangan pariwisata

yang kurang dianalisis efeknya, seperti perubahan norma sosial, bencana alam

atau keterlibatan manusia (Wickramasinghe & takano, 2009), pencemaran

lingkungan dan eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan (Hillery et al.,

2001) serta adanya perubahan keaslian kualitas keanekaragaman hayati dan

ekosistem (Davenport & Davenport, 2006). Hal ini menunjukan bahwa industri

pariwisata memiliki hubungan erat dan kuat dengan lingkungan fisik. Sehingga

penting untuk memperhatikan kaidah-kaidah pengelolaan bagi pertumbuhan

pariwisata secara berkelanjutan.

Danau Sentani merupakan danau terbesar kedua di Papua, dengan luas

9.360 hektar dan memiliki kedalaman 52 meter serta berada di ketinggian sekitar

72 meter di atas permukaan laut. Danau ini berada di bawah lereng Pegunungan

4
Cagar Alam Cyclops dan terbentang antara kota Jayapura dan (Distrik Abepura)

dan kabupaten Jayapura (Distrik Sentani Timur, Distrik Sentani, Distrik Waibu,

dan Distrik Ebungfauw) Propinsi Papua. Berdasarkan RTRW 2008-2028

Kabupaten Jayapura, Danau Sentani ditetapkan sebagai kawasan wisata

unggulan di Jayapura, karena memiliki keindahan dan keunikan alamnya, baik

hasil interaksi antar elemen lanskap alami, maupun hasil interaksi antara

manusia dan alam.

Danau Sentani juga dihuni oleh masyarakat asli sentani, yang bermukim di

dalam danau/pulau – pulau maupun di pesisir dan daratan. Masyarakat sekitar

danau hidup dengan cara memanfaatkan alam, kehidupan masyarakat sekitar

yang khas juga dapat menjadi atraksi wisata bagi wisatawan. Letak Danau

Sentani dekat dengan bandara internasional sentani (Provinsi Papua), sehingga

aksesibilitas untuk menuju Danau Sentani tidaklah terlalu sulit.

Potensi yang dimiliki belum dimanfaatkan secara maksimal, hal tersebut

terlihat dari kurangnya sarana dan fasilitas pendukung wisata serta kurangnya

atraksi wisata, sehingga Kawasan Danau Sentani belum menjadi daerah tujuan

wisata bagi wisatawan domistik maupun internasional. Penelitian ini bertujuan

untuk mengembangkan potensi Danau Sentani sebagai destinasi wisata, yakni

memberikan kontribusi pengetahuan dengan mengeksplorasi arsitektur

vernakular papua yang di wujudkan dalam sebuah rancangan pengembangan

kawasan wisata danau sentani

5
1.2. Rumusan Masalah

a. Bagaimana mengindentifikasi arsitektur vernacular papua dalam

kebudayaan masyarakat di Kabupaten Jayapura

b. Bagaimana konsep penerapan arsitektur vernakular papua sehingga

memberikan keunikan dalam pengembangan destinasi Wisata Danau

Sentani.

1.3. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengindentifikasi arsitektur vernacular papua dalam kebudayaan

masyarakat di Kabupaten Jayapura

b. Untuk memahami konsep penerapan arsitektur vernacular papua sehingga

memberikan keunikan dalam pengembangan destinasi wisata danau

Sentani.

1.4. Keluaran Penelitian

a. Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan kajian

ilmiah dalam memahami Arsitektur vernakular Papua, menetapkan

pentingnya analisis faktor fisik, sosial dan budaya yang mempengaruhi

bentuk bangunan pada Arsitektur vernakular Papua yang ada di Kabupaten

Jayapura, dapat diterbitkan dalam jurnal Ber ISSN

b. Diharapkan dapat digunakan sebagai referensi bagi peneliti-peneliti yang

lain ke depan, terutama yang berkaitan dengan Arsitektur vernakular pada

pengembangan kawasan wisata di Papua yang diterbitkan pada Jurnal

terindeks Sinta 1-6.

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Pustaka

Roxana Waterson (1997) melakukan study tentang antropologi arsitektur

di kawasan Asia Tenggara. Obyek studynya adalah permukiman tradisional mulai

dari kawasan Asia Tenggara hingga ke kepulauan Polynesia. Meskipun

menemukan variasi bentuk yang sangat kaya dan dipengaruhi oleh kehidupan

lokal serta budaya setempat, banyak pula ditemukan kesamaan prinsip yang

mendasari bangunan serta tata permukiman pada kawasan ini.

Sebagaimana yang dinyatakan Rapoport. (1969), bahwa bangunan

vernacular (tradisional) sebagai berikut: Bangunan vernacular (tradisional),

dengan bentuk yang paling sederhana, mengacu pada bentuk yang diproduksi oleh

masyarakat, didefinisikan sebagai bangunan primitif oleh para antropolog. Ini

sebagian besar mengacu pada tingkat perkembangan teknologi dan ekonomi

tertentu, tetapi juga mencakup aspek organisasi sosial. Sementara tempat tinggal

yang diproduksi dalam budaya seperti itu, yang menurut pandangan standar

teknologi kita, muncul elemen, tetapi mereka sebenarnya dibangun oleh orang-

orang yang menggunakan kecerdasan dan sumber daya yang mereka miliki.

Permukiman tradisional atau permukiman vernakular adalah permukiman

yang pola penataan, bentuk, struktur dan fungsi serta cara pembuatannya

diwariskan secara turun temurun, melewati kurun waktu yang sangat panjang

sehingga dapat mengatasi berbagai kondisi iklim dan lingkungan, perubahan

sosial dan budaya dimana permukiman itu dibuat. Hal ini dapat dijelaskan

sebagaimana pernyataan Papanek (1995-136) : Dapat dikatakan, bahwa bentuk


7
permukiman vernakular merupakan penghormatan terhadap tradisi, keahlian

masyarakatnya menggunakan bahan dan metode lokal, dengan modifikasi

berdasarkan iklim dan lingkungan, pertimbangan budaya dan sosial, penemuan

estetika, keluarga kontekstual dan pola pemukiman, dan banyak lagi yang lainnya.

Papanek (1995), menyimpulkan bahwa: Permukiman vernakular adalah hasil dari

banyak sebab-akibat termasuk penyebaran permukiman dari kondisi geografi yang

berbeda turut berpengaruh terhadap bentuk dan tatanan permukimannya. Dalam

kondisi tertentu, pengaruh faktor budaya lebih dominan terhadap aspek lainnya.

Studi identifikasi Arsitektur tradisional Irian Jaya yang dilkukan oleh USTJ pada

tahun 1997 meliputi wilayah adat di bebrapa Kawasan Papua masa masa lalu,

dapat memberi gambaran kekayaan budaya pada bidang Arsitektur baik di

Kawasan pesisir yaitu: Kota dan Kabupaten Jayapura, Kabupaten Biak Numfor,

dan Merauke. Di samping itu Kawasan Lembah Baliem menjadi salah satu

wilayah identifikasi studi tersebut. Namun tindak lanjut dari hasil identifikasi

tersebut belum memberkan dampak yang signifikan dalam penerapan arsitektur

tradisional Papua ke Bangunan secara luas. Hasil yang dapat dilihat saat ini adalah

penerapan masih terbatas pada kantor bupati dan DPRD, itupun hasilnya belum

maksimal. Sedangkan penerapan arsitetur tradisional tersebut belum Nampak

terlihat pada destinasi wisata di Papua, akibatnya destinasi wisata yang

dikembangkan oleh eerintah daerah kurang menampilkan keunikan dan bentuk

khas arsitektur Papua yang sebenarnya justru menjadi factor yang sangat penting

dalam industry pariwisata sebagaimana yang dikembangakan pada daerah wisata

nasional maupun internasional. Keunikan destinasi wisata Bali yang

mencerminkan budaya khas Bali menjadi salah satu daya Tarik wisata baik

8
wisatawan lokal maupun asing datang ke Bali. Demikian Pula dengan kawasan

wisata Asia Tenggara, di samping Bali, wisatawan yang cenderung lebih memilih

Thailand, Malaysia, Singapura dan vietnam. Wisatawan terbanyak tahun 2019

yang meliputi Bangkok = 25.8 jt, Singapura = 19,7 jt, Kual Lumpur= 14,0 jt,

Puket =10,9 jt, Pattaya = 9,9 Jt, Ho Chi Minh City=8,2 jt, Denpasar 8,5 jt, Johor

Bahru=7,2 jt, Ha Long =6,2 jt dan Hano 5,1 jt. (sumber: Southeast Asia’s Top

Destinations 2019). Dari sepuluh daerah tersebut semuanya mempunyai

keunggulan alam, budaya dan infrastruktur wiasata.

Di Indonesia, Bali menjadi daerah kunjungan wisata terbanyak karena

ditunjang oleh budaya yang khas dan infrastruktur wisata yang berkelas

Internasional. Jakarta sebagai ibukota negara Indonesia adalah bukanlah satu-

satunya ibukota negara anggota Asean yang kunjungan wisatanya kalah dari kota

lain yaitu Bali mengungguli Indonesia karena kekhasan budaya di Bali. DEmikian

pula dengan HO Chi Minh City mengungguli Hanoi sebgai ibukota Vietnam,

walaupun keduanya kaya akan wisata budaya dan sejarah, tetapi Kota Ho Chi

Minh lebih modern dari segi infrastrktur karena dulu menjadi pangkalan Pasukan

AS. Dari Gambaran diatas terlihat bahwa kekhasan suatu kota (wiayah) sangat

berpengaruh terhadap daya Tarik wisata. Kekhasan tersebut bisa berupa

keindahan alam sebagai destinasi wisata, kekayaan budaya dan Sejarah seperti

Bangkok dan Kuala Lumpur, maupun keindahan dan kebersihan kota seperti

Singapura.

Oleh karena itu, untuk meningkatkan nilai destinasi wisata, maka perlu

upaya pengmbangan kawasan wisata yang mempunyai kekhasan dan keunikan

sehingga menjadi daya tarik wisatawan. Di Provinsi Papua, destinasi wisata yang

9
paling menarik minat wisatawan dalam beberapa tahun terakhir adalah wisata

alam Raja Ampat, dengan jumlah kunjungan 32.000 jiwa. (Sumber: Kunjungan

Wisata Raja Ampat, wartawisata.id 03 Januari 2020).

Salah satu penerapan Arsitektur vernacular adalah pos linta Batas Skow

yang telah berdiri pada tahun 2006, dengan mengadaptasi bangunan Rumah

Tangfa, rumah adat masyarakat pesisir di daerah Skouw. Ciri khasnya adalah

bagian atapnya dengan bentuk perisai. Ada juga dua ruang panjang tempat

masyarakat berkumpul. Beberapa bangunan yang ada di Kabuapten Sentani dan

Jayapura seperti kantor Bupati Kabuapten Jayapura di Sentani dan Gedung DPRD

kota Jayapura. Namun demikian fasilitas wisata yang ada di kabupaten Jayapura

masih kurang optimal dalam menerapkan arsitektur vernacular, sehingga

kekhasan daerah tidak Nampak dalam destinasi wisata, kalaupun ada hanya

diterapkan di pos jaga yang sebenarnya kurang sesuai dengan nilai vernacular

dengan nilai sejarah dan budaya di justru diterapkan ke dalam bangunan pos jaga

atau bagian entrance perkantoran.

2.2. Dasar Teori

2.2.1. Penelitian Terdahulu

Penelitian tentang fenomena destinasi pariwisata telah banyak dilakukan

dan telah menjadi trend beberapa tahun belakangan ini. Penelitian tersebut telah

menggunakan berbagai konstruk untuk menguji perilaku konsumen terhadap

destinasi wisata yang dikunjungi. Namun sejauh ini, penelitian tersebut masih

sebatas mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi dari sisi supply dan

demand pariwisata. Masih sulit menemukan penelitian yang mengevaluasi faktor

supply dan demand tersebut terhadap kualitas informasi, kualitas layanan, citra

10
destinasi, kepuasan dan loyalitas wisatawan untuk melakukan kunjungan ulang

bahkan merekomendasikannya pada orang lain. Apalagi dengan

mengintegrasikan faktor-faktor tersebut dalam konsep layanan dengan adopsi

teknologi. Penelitian ini akan memunculkan gap (kesenjangan) antara faktor

supply dan demand sekaligus mengevaluasi tanggapan wisatawan tentang

destinasi yang dikunjungi sehingga dapat mengetahui pola perilaku lanjutan dari

mereka untuk merumuskan strategi yang tepat digunakan bagi peningkatan

destinasi wisata, khususnya danau sentani. Untuk menjawab tujuan tersebut maka

penelitian ini menggunakan konstruk supply pariwisata, demand pariwisata,

kualitas informasi, kualitas layanan, citra destinasi, kepuasan dan loyalitas

wisatawan yang selanjutnya dikembangkan suatu strategi destinasi. Penelitian

tentang supply dan demand pariwisata masih sangat kurang. Salah satu penelitian

yang banyak menjadi rujukan bagi peneliti-peneliti pariwisata di Indonesia adalah

yang dilakukan oleh Formica & Uysal (2006). Artikel ini menyajikan model

untuk menjelaskan dan mengukur faktor-faktor penentu daya tarik destinasi

pariwisata dengan mengukur indikator supply dan demand. Prinsip dari penelitian

ini adalah bahwa daya tarik destinasi pariwisata secara keseluruhan tergantung

pada hubungan antara ketersediaan atraksi yang ada dan pentingnya atraksi

tersebut. Metode yang digunakan analisis statistik kualitatif dan kuantitatif untuk

persediaan, kelompok, dan mengukur portofolio dan pentingnya daya tarik yang

dirasakan. Temuan menegaskan bahwa daerah pariwisata tidak diciptakan sama

dan mengungkapkan perbedaan spasial yang signifikan dalam hal ketersediaan

sumber daya dan persepsi aktual sumber daya tersebut. Kerangka yang diusulkan

dapat digunakan sebagai alat pengambilan keputusan dalam perencanaan,

11
pemasaran, dan mengembangkan strategi alokasi sumber daya yang tepat.

Berikut ini beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan variabel- variabel

yang dianalisis dalam penelitian ini.

2.2.2. Penelitian tentang Loyalitas Wisatawan

Penelitian tentang loyalitas telah banyak dilakukan oleh peneliti bidang

pemasaran. Penelitian tersebut menguji hubungan kausal antara berbagai konstruk

persepsi maupun kepuasan dengan loyalitas pelanggan atau pengguna jasa.

Beberapa penelitain yang dikutip oleh penulis sebagai dasar empiris adalah

sebagai berikut;

Penelitian dilakukan oleh Chi & Qu (2008) bertujuan untuk

menawarkan sebuah pedekatan terpadu untuk memahami loyalitas destinasi

dengan memeriksa fakta-fakta teoritis dan empiris dari hubungan kausal antara

citra destinasi, atribut wisata dan kepuasan wisatawan secara keseluruhan.

Penelitian yang dilakukan di destinasi wisata utama Arkansas terhadap 807

pengunjung ini mengusulkan sebuah model penelitian dengan mengembangkan

tujuh hipotesis. Penelitian ini berkontribusi pada kemajuan pengetahuan dalam

aspek psikologi konsumen pariwisata dengan melakukan eksplorasi dari aspek

kognitif dan afektif yang membentuk citra destinasi. Hasil penelitian mendukung

model loyalitas destinasi yang berkaitan dengan niat wisatawan untuk kembali

atau merekomendasikan kepada orang lain. Temuan ini menyarankan hal penting

bagi manajer destinasi untuk melakukan investasi yang lebih besar dalam sumber

daya destinasi pariwisata mereka dalam rangka terus meningkatkan pengalaman

wisatawan. Studi ini memiliki kemampuan besar untuk menghasilkan aplikasi

12
yang lebih tepat terkait dengan perilaku destinasi, terutama menyangkut loyalitas

wisatawan.

2.2.3. Penelitian tentang Kepuasan Wisatawan

Penelitian tentang kepuasan dilakukan oleh beberapa peneliti yakni;

Lee et al., (2011) yang menguji hubungan kausal antara pengalaman, motivasi

wisatawan, kualitas perjalanan, kepuasan wisatawan, complain wisatwan dan

loyalitas wisatawan China yang berkunjung ke Korea. Penelitian lain dilakukan

oleh Kim et al, (2012) untuk menguji hubungan antara citra destinasi dan faktor-

faktor yang dievaluasi (kualitas layanan, persepsi nilai dan kepuasan. Sedangkan

Liu & Lee (2013) mengidentifikasi esensi dari faktor-faktor kualitas yang

mendorong komunitas online dan mendiskusikan implikasi faktor-faktor tersebut

untuk memformulasikan strategi manajemen yang berperan signifikan dalam

memperluas komunitas online. Penelitian lainnya dilakukan oleh Setiawan et al.,

(2014) untuk Menguji hubungan kausal antara e-WOM, citra destinasi, kepuasan

dan loyalitas terhadap turis domestic yang berkeliling di Pulau Bali – Denpasar.

Dan penelitian Guzman-Parra et al., (2016) yang menyediakan bukti empiris dari

hubungan antara dua kelompok dari atribut persepsi citra destinasi, kepuasan dan

loyalitas wisatawan yang berkunjung ke Malaga, Spanyol. Semua penelitian ini

mendukung hubungan kausal antara kepuasan dan loyalitas wisatawan.

2.2. Dasar Teori

Pengertian pariwisata telah dikemukakan oleh beberapa ahli dengan

perspektif yang berbeda sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Menurut

Menurut A.J.Burkart dalam Damanik et al., (2006), pariwisata adalah perpindahan

orang untuk sementara dan dalam jangka waktu pendek ke tujuan-tujuan di luar
13
tempat dimana mereka biasa hidup dan bekerja dan kegiatan- kegiatan mereka

selama mereka berada di tempat tujuan.

Menurut Mathieson & Wall dalam Pitana dan Gayatri (2005),

pariwisata adalah kegiatan perpindahan orang untuk sementara waktu ke destinasi

diluar tempat tinggal dan tempat kerjanya dan melaksanakan kegiatan selama di

destinasi tertentu dan penyiapan fasilitas-fasilitas untuk memenuhi kebutuhan

mereka. Sedangkan berdasarkan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang

kepariwisataan, pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan

kegiatan perjalanan yang dilakukan secara sukarela, serta bersifat sementara

untuk menikmati objek dan daya tarik wisata termasuk penguasaan obyek dan

daya tarik wisata tersebut. Dengan demikian, pariwisata merupakan perjalanan

dengan tujuan untuk menghibur yang dilakukan diluar kegiatan sehari-hari yang

biasa dilakukan guna memberikan keuntungan yang bersifat permanen maupun

sementara. Tetapi apabila dilihat dari konteks pendidikan, pariwisata bertujuan

untuk menghibur dan mendidik.

Berdasarkan definisi pariwisata tersebut, maka dapat disimpulkan

bahwa kegiatan pariwisata memiliki ciri-ciri, yaitu; (1) Terdapat dua lokasi yang

saling terkait yaitu dareah asal dan daerah tujuan (destinasi); (2) Sebagai daerah

tujuan pasti memiliki objek dan daya tarik wisata; (3) Sebagai daerah tujuan pasti

memiliki sarana dan prasarana pariwisata; (4) Pelaksana perjalanan ke daerah

tujuan dilakukan dalam waktu sementara; dan (5) Terdapat dampak yang

ditimbulkan, khususnya pada daerah tujuan segi sosial budaya, ekonomi dan

lingkungan.

14
Pitana dan Diarta (2009) mengemukakan bahwa semua definisi yang

muncul selalu mengandung beberapa unsur, yaitu: (1) Adanya unsur travel

(perjalanan), yaitu pergerakan manusia dari satu tempat ke tempat lain; (2)

Adanya unsur “tinggal sementara” di tempat yang bukan merupakan tempat

tinggal yang biasanya, dan; (3) Tujuan utama dari pergerakan manusia tersebut

bukan untuk mencari penghidupan/pekerjaan di tempat yang dituju. Selanjutnya,

Mathieson dan Wall dalam Pitana dan Diarta (2009), mengatakan bahwa

pariwisata mencakup tiga elemen utama, yaitu: (1) A Dynamic Element, yaitu

travel ke suatu tempat tujuan wisata; (2) A Static Element, yaitu singgah di

daerah tujuan; dan (3) A Consequential Element, atau akibat dari dua hal di atas

(khususnya terhadap masyarakat lokal), yang meliputi dampak ekomoni, sosial

dan fisik dari adanya kontak dengan wisatawan.

Ketentuan WATA (World Association of Travel Agent), wisata adalah

perjalanan keliling selama lebih dari tiga hari, yang diselenggarakan oleh suatu

kantor perjalanan di dalam kota dan acaranya antara lain melihat-lihat di berbagai

tempat atau kota baik didalam maupun luar negeri. Sehingga pada pengertian

tersebut dapat disimpulkan bahwa pengertian wisata lebih menekankan pada

kegiatan yang dilakukan wisatawan dalam suatu perjalanan pariwisata. Dalam

suatu perjalanan wisata, wisatawan mengunjungi suatu tempat wisata sejarah,

maka wisatawan tersebut dapat dikatakan melakukan kegiatan wisata sejarah.

Dalam artian kegiatan yang dilakukan adalah untuk menikmati objek-objek

bersejarah. Hal tersebut merupakan gambaran dari pengertian wisata itu sendiri,

apabila dijelaskan secara singkat wisata adalah suatu kegiatan dalam suatu

perjalanan pariwisata. Dimana kegiatan dalam pariwisata ini sangat ditentukan

15
oleh minat dari wisatawan itu sendiri. Tidak hanya ditentukan oleh minat

wisatawan melainkan berdasarkan sumber daya pariwisata yang tersedia. Oleh

karena itu banyak muncul istilah wisata sejarah, wisata budaya, wisata alam,

wisata edukasi dan jenis wisata lainnya.

Ada berbagai unsur yang berkepentingan dengan aktifitas pariwisata,

yaitu:

 Wisatawan. Wisatawan memiliki beragam motif, minat, karakteristik sosial,

ekonomi, budaya, dan sebagainya. Dengan motif dan latar belakang yang

berbeda-beda itu menjadikan mereka pihak yang menciptakan permintaan

produk dan jasa wisata. Wisatawan adalah konsumen atau pengguna produk

dan layanan. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan mereka

berdampak langsung pada kebutuhan wisata, yang dalam hal ini permintaan

wisata.

 Industri pariwisata. Industri pariwisata artinya semua usaha barang dan jasa

bagi pariwisata yang dikelompokan ke dalam dua golongan utama, yaitu: (1)

Pelaku langsung, yaitu usaha-usaha wisata yang menawarkan jasa secara

langsung kepada wisatawan atau yang jasanya langsung dibutuhkan oleh

wisatawan. Termasuk dalam kategori ini adalah hotel, restoran, biro

perjalanan, pusat informasi wisata, atraksi hiburan dan lain-lain; (2) Pelaku

tidak langsung, yaitu usaha yang mengkhususkan diri pada produk-produk

yang secara tidak langsung mendukung pariwisata, misalnya usaha kerajinan

tangan, penerbit buku atau lembar panduan wisata, penjual roti, dan lain-lain

 Jasa Pendukung Wisata. Kelompok ini adalah usaha yang tidak secara khusus

menawarkan produk dan jasa wisata tetapi seringkali bergantung kepada

16
wisatawan sebagai pengguna jasa dan produk tersebut. Termasuk didalamnya

adalah penyedia jasa fotografi, jasa kecantikan, olahraga, usaha bahan pangan,

penjualan bahan bakar minyak, dan sebagainya.

 Pemerintah. Pemerintah mempunyai otoritas dalam pengaturan, penyediaan

dan peruntukkan berbagai infrastruktur yang terkait dengan kebutuhan

pariwisata. Selain itu, pemerintah bertanggung jawab dalam menentukan arah

yang dituju perjalanan wisata. Kebijakan makro yang ditempuh pemerintah

merupakan panduan bagi stakeholder yang lain di dalam memainkan peran

masing-masing.

 Masyarakat Lokal. Masyarakat lokal terutama penduduk asli yang bermukim

di kawasan wisata, menjadi salah satu peran kunci dalam pariwisata, karena

sesungguhnya merekalah yang akan menyediakan sebagian besar atraksi

sekaligus menentukan kualitas produk wisata. Pengelolaan lahan pertanian

secara tradisional, upacara adat, kerajinan tangan, kebersihan merupakan

beberapa contoh peran yang memberikan daya tarik bagi pariwisata.

 Lembaga swadaya masyarakat. Banyak lembaga swadaya masyarakat, baik

lokal, regional, maupun internasional yang melakukan kegiatan di kawasan

wisata, bahkan jauh sebelum pariwisata berkembang, organisasi non

pemerintah ini sudah melakukan aktivitasnya baik secara partikuler maupun

bekerja sama dengan masyarakat. Mereka ini melakukan berbagai kegiatan

yang terkait dengan konservasi dan regulasi kepemilikan dan pengusahaan

sumberdaya alam setempat.

Analisis sistem pariwisata tidak terlepas dari segmen pasar

pariwisata karena segmen pasar pariwisata merupakan spesifikasi bentuk dari

17
pariwisata yang dapat berfungsi sebagai bentuk khusus pariwisata. Hal ini

terkait dengan output akhir yang diharapkan oleh wisatawan yaitu kepuasan

akan obyek wisata yang dihasilkan. Untuk mewujudkan sistem pariwisata

yang diinginkan, maka diperlukan beberapa komponen pariwisata. Menurut

Inskeep dalam Mihalic (2013), di berbagai macam literatur dimuat berbagai

macam komponen wisata. Komponen-komponen tersebut saling berinteraksi

satu sama lain. Komponen- komponen wisata tersebut dapat dikelompokkan

sebagai berikut:

 Atraksi dan kegiatan-kegiatan wisata. Kegiatan-kegiatan wisata yang

dimaksud berupa semua hal yang berhubungan dengan lingkungan alami,

kebudayaan, keunikan suatu daerah dan kegiatan-kegiatan lain yang

berhubungan dengan kegiatan wisata yang menarik wisatawan untuk

mengunjungi sebuah obyek wisata.

 Akomodasi. Akomodasi yang dimaksud adalah berbagai macam hotel dan

berbagai jenis fasilitas lain yang berhubungan dengan pelayanan untuk

para wisatawan yang berniat untuk bermalam selama perjalanan wisata

yang mereka lakukan.

 Fasilitas dan pelayanan wisata. Fasilitas dan pelayanan wisata yang

dimaksud adalah semua fasilitas yang dibutuhkan dalam perencanaan

kawasan wisata. Fasilitas tersebut termasuk tourand travel operations

(disebut juga pelayanan penyambutan). Fasilitas tersebut misalnya,

restoran dan berbagai jenis tempat makan lainnya, toko-toko untuk

menjual hasil kerajinan tangan, cinderamata, toko-toko khusus, toko

kelontong, bank, tempat penukaran uang dan fasilitas pelayanan keuangan

18
lainnya, kantor informasi wisata, pelayanan pribadi (seperti salon

kecantikan), fasilitas pelayanan kesehatan, fasilitas keamanan umum

(termasuk kantor polisi dan pemadam kebakaran), dan fasilitas perjalanan

untuk masuk dan keluar (seperti kantor imigrasi dan bea cukai).

 Fasilitas dan pelayanan transportasi. Meliputi transportasi akses dari dan

menuju kawasan wisata, transportasi internal yang menghubungkan atraksi

utama kawasan wisata dan kawasan pembangunan, termasuk semua jenis

fasilitas dan pelayanan yang berhubungan dengan transportasi darat, air,

dan udara.

 Infrastruktur lain. Infrastruktur yang dimaksud adalah penyediaan air

bersih, listrik, drainase, saluran air kotor, telekomunikasi (seperti telepon,

telegram, telex, faksimili, dan radio).

 Elemen Kelembagaan. Kelembagaan yang dimaksud adalah kelembagaan

yang diperlukan untuk membangun dan mengelola kegiatan wisata,

termasuk perencanaan tenaga kerja dan program pendidikan dan pelatihan;

menyusun strategi pemasaran dan program promosi; menstrukturisasi

organisasi wisata sektor umum dan swasta; peraturan dan perundangan

yang berhubungan dengan wisata; menentukan kebijakan penanaman

modal bagi sektor publik dan swasta; mengendalikan program ekonomi,

lingkungan, dan sosial kebudayaan.

Semua komponen ini menjadi bagian dalam pengembangan

pariwisata baik dari aspek permintaan (demand) maupun aspek penawaran

(supply).

 Sisi Supply Pariwisata

19
Pengembangan sektor pariwisata biasanya menggabungkan

semua komponen supply dan interaksinya. Komponen-komponen ini

mewakili kekuatan penarik yang membangkitkan demand tourism.

Dalam usahanya untuk mendefinisikan pariwisata dan perspektif supply

dan untuk menunjukan bahwa pariwisata adalah industri dengan dampak

yang dapat diukur, Smith (1984) mengelompokan produk pariwisata ke

dalam barang dan jasa, akomodasi, transportasi, jasa perjalanan, kuliner,

rekreasi/budaya/hiburan dan barang ritel. Smith (1984) mendefinisikan

sisi supply pariwisata sebagai: “agregat dari semua bisnis ritel yang

menghasilkan komoditas bagi wisatawan, terlepas dari motivasinya atau

karakteristik wisatawan tersebut”. Kebanyakan peneliti setuju bahwa

sumber daya inti yang dapat menarik pengunjung ke suatu destinasi

adalah situs yang berbasis lingkungan dan budaya (Alhemoud dan

Amstrong, 1996). Walaupun demikian, terdapat sedikit kesepakatan

mengenai terminology untuk menentukan komponen inti dari sisi

supply. Lew (1986), Pearce (1981) dan Leiper (1979) menyebutnya

sebagai atraksi, sementara Jafari (1979) dan Smith (1984) menggunakan

kata sumber daya. Gunn (1994) mendefinisikan atraksi sebagai “unit

kekuatan yang bersinergi dari suatu system pariwisata”. Gunn

menganalisis sumber daya dari berbagai referensi, tetapi kemudian

sepakat untuk menggunakan kata atraksi sebagai perwakilan dari sumber-

sumber daya alami dan kultural. Karena penggunaan yang sama dari

istilah “sumber daya” dan “atraksi” dalam berbagai penelitian, kedua

kata ini digunakan secara bergantian dan memiliki arti yang sama.

20
Ketika menganalisis sumber daya suatu regional sangat perlu untuk

menggunakan pengukuran-pengukuran yang objektif dan menentukan

potensinya dalam menarik pengunjung. Para peneliti menyarankan untuk

mengumpulkan semua informasi mengenai keberadaan faktor-faktor

alami dan buatan manusia yang berada dalam suatu situs wisata. Sebagai

contoh, suatu pantai tidak cukup untuk menjadi atraksi destinasi apabila

tidak ditunjang oleh kedua faktor yang disebutkan di atas. Faktor lain

yang penting disarankan oleh

Kaiser dan Helber (1976) dalam pengukuran objektif suatu

tujuan atraksi adalah daya tariknya terhadap turis potensial yang

ditargetkan. Kaiser dan Helber (1976) mengelompokan sumber daya

pariwisata dalam dua kelompok. Pertama terdiri dari budaya/sejarah,

lingkungan, rekreasi, hiburan, belanja dan makan, arsitektur dan atribut

alami. Kelompok kedua meliputi transportasi, industry pendukung, tanah,

tenaga kerja, modal, dan kebijakan pemerintah, berkaitan dengan

infrastruktur destinasi. Klasifikasi ini membantu dalam pemahaman

tentang interaksi antara berbagai elemen sumber daya wisata di suatu

destinasi. Meskipun terdapat pendekatan supply, Kaiser dan Helber

(1978) menyadari fakta bahwa saat menyelidiki suatu system pariwisata,

persepsi turis terhadap sumber daya supply sangat perlu untuk

dipertimbangkan. Harus juga diakui bahwa beberapa tipologi sumber

daya wisata mempunyai daya tarik yang kuat dibandingkan dengan yang

lain dan perlu untuk dipasarkan untuk menciptakan demand turis.

Sumber-sumber daya infrastruktur merupakan bagian integral dari

21
pengalaman yang dialami sector wisata tetapi tidak cukup untuk

meningkatkan citra promosi destinasi. Keindahan alam, sumber daya

budaya, fasilitas rekreasi, jasa perhotelan, dan jasa pendukung pariwisata

lainnyaperlu dipertimbangkan saat menentukan butir-butir atraksi suatu

destinasi. Untuk beberapa decade, peneliti pariwisata telah mencoba

untuk menemukan cara yang komprehensif yang bertujuan untuk

menganalisis, mengklasifikasi dan mengukur atraksi wisata. Untuk

memudahkan pemahaman dan pengelompokan elemen supply

pariwisata, Jafari (1979) membagi elemen supply menjadi tiga kelompok,

yaitu:

 Produk berbasis pariwisata. Unsur ini yang memungkinkan

pariwisata dapat berlangsung karena berhubungan erat dengan

kebutuhan mendesak para wisatawan seperti penginapan, jasa

makanan dan jasa perjalanan;

 Produk berbasis penduduk local. Unsur ini adalah kebutuhan

penduduk lokal seperti rumah sakit, toko-toko bahan makanan, toko

buku dan jasa kebersihan. Wisatwan cenderung untuk menggunakan

fasilitas ini apabila masa tinggal mereka diiperpanjang; dan

 Unsur-unsur berlatar belakang pariwisata. Unsur ini tidak secara

langsung dicari oleh wisatawan tetapi tetap tanpa sengaja dialami

oleh turis tersebut.

Unsur-unsur ini adalah pemandangan, monument, dan budaya

baru yang merupakan temmpat wisata alam, social budaya dan atraksi

buatan manusia.

22
Kombinasi dari unsur-unsur ini akan menentukan pengalaman

berkunjung dari wisatawan secara keseluruhan (Pyo et al., 1991). Sebagai

konsekuensi dari unsur ini dapat meningkatkan nilai daya tarik suatu

destinasi (Uysal, 1998). Daya tarik umumnya dianggap sebagai kondisi

yang mendorong turis berpergian ke suatu destinasi. Daya tarik destinasi

dapat berupa lingkungan alam, struktur bangunan atau peristiwa. Secara

umum, sisi supply tourism tersusun atas atraksi, transportasi, akomodasi,

jasa pendukung lainnya dan infrastruktur.

Atraksi merupakan unsur vital dari sisi supply. Faktanya,

semua komponen supply tergantung pada atraksi tourism utama. Atraksi

dapat diklasifikasikan menurut kepemilikan yaitu; organisasi non-profit,

bisnis swasta dan milik pemerintah. Klasifikasi lainnya didasarkan atas

faktor lama tinggal wisatawan, seperti atraksi untuk kunjungan singkat

(kebin binatang, situs-situs sejarah, dll) atau untuk kunjungan dalam

waktu lama (seperti untuk konvensi, resort-resort pantai, club med, dll).

Klasifikasi yang banyak digunakan sebagi atraksi tourism adalah yang

didasari oleh kriteria sumber daya seperti: alam (natural seperti

kehidupan alam liar), atau buatan manusia seperti bangunan-bangunan

bersejarah, kasino, taman-taman bermain. Beberapa unsur sosiokultural

dapat dikategorikan sebagai atraksi seperti bahasa, music, kuliner

tradisional, dan lain- lain.

Transportasi merupakan komponen penting dalam

memprediksi kecenderungan dan perkembangan destinasi wisata.

Sesudah perang dunia II, pembangunan besar-besaran jaringan kereta api

23
mempengaruhi perkembangan destinasi wisata. Banyak atraksi wisata

saat itu yang dibangun disekitar stasiun - stasiun kereta api. Sesudah

masa itu, kebangkitan transportasi darat dan udara mempengaruhi secara

signifikan pola aliran wisatawan seperti juga perkembangan dan

perencanaan destinasi.

Akomodasi, menurut Pearce (1981), dapat diklasifikasikan

dalam tiga komponen utama. Pertama, sector komersial yang terdiri dari

hotel, motel, dan vila. Kedua adalah sector prifat seperti rumah, properti

pribadi, gedung-gedung tempat tinggal yang biasanya menampung

keluarga dan kerabat-kerabat. Ketiga, adalah tempat-tempat camping,

aktivitas caravan, dan tenda-tenda yang dikelola perusahaan-perusahaan

bisnis. Jasa-jasa pendukung lainnya adalah lokasi- lokasi yang

menyediakan fasilitas kebutuhan dasar (pertokoan), komunikasi dan

perdagangan, sandang, rasa aman termasuk fasilitas kesehatan dan

fasilitas yang menawarkan kemewahan.

Infrastruktur tourism dan juga fasilitas publik sangat

mempengaruhi aktivitas tourism. Termasuk didalamnya adalah jalan,

bandara, pelabuhan, penerangan listrik dan air siap minum. Umumnya,

infrastruktur yang dibangun untuk kebutuhan penduduk local sangat

perlu dikembangkan dengan fasilitas untuk wisatawan. Dari perspektif

profit, infrastruktur berbeda dengan atraksi, transportasi dan akomodasi

karena tidak secara langsung menimbulkan revenue.

Atraksi, transportasi, akomodasi dan fasilitas pendukung

sering dianggap sebagai unsur-unsur daya tarik tourism. Secara garis

24
besar, beberapa ahli sepakat untuk memasukan empat kelompok besar

daya tarik itu sebagai factor penting yang mempengaruhi daya saing

destinasi.

 Sisi Demand Pariwisata

Sisi demand sering dipakai untuk melakukan segmentasi

produk wisata. Tujuan utama segmentasi ini adalah untuk

mengidentifikasi kelompok individu dengan kebutuhan dan keinginan

yang serupa untuk melakukan perjalanan wisata (Uysal dan McDonald,

1989). Dalam pengertian ini, variabel yang digunakan untuk melihat sisi

demand para turis adalah keuntungan yang dicari oleh wisatawan

(Gitelson dan Kerstetter, 1980), motivasi (Fomica dan Uysal, 1998) dan

system nilai personal (Madrigal dan Kale, 1994).

Walaupun bukan merupakan faktor ekslusif, motivasi dapat

dikatakan sebagai komponen utama untuk menjelaskan kebutuhan

psikologis pribadi (system nilai dan manfaat yang dicari) yang mungkin

akan dapat dipenuni apabila turis tersebut melakukan perjalanan wisata.

Secara teoritis segmentasi pariwisata pada dua kekuatan utama yaitu pull

dan push. Sisi demand merupakan kekuatan push. Persepsi wisatawan

terhadap atraksi yang tersedia merupakan kekuatan pendorong (push)

wisatawan melakukan perjalanan wisata. Unsur-unsur sosio-psikologis

yang mendorong individu untuk melakukan perjalanan dan pengalaman

berwisata di suatu destinasi menjadi komponen penting dalam

pengamatan sisi demand. Seperti setiap elemen sosio-psikologis lainnya,

faktor pendorong merupakan faktor yang tidak berwujud dan hanya

25
dapat diekspresikan oleh kebutuhan dan keinginan, seperti keinginan

untuk beristirahat dan relaksasi, bersenang-senang, berpetualang,

berinteraksi social, dan berstatus social. Faktor pendorong ini

menghasilkan kebutuhan untuk pergi berlibur.

Baloglu dan Uysal (1996) menemukan bahwa terdapat empat

kelompok turis yang berbeda sesuai dengan motivasinya yaitu: kesukaan

pada aktivitas olahraga, pencari tantangan baru, senang akan kehidupan

perkotaan, dan kesukaan terhadap resort-resort pantai. Penyuka olahraga

akan mencari kegiatan yang difokuskan pada tujuan yang akan

memberikan berbagai turis kegiatan di luar ruangan, olahraga air,

kehidupan malam dan hiburan. Turis yang bermotivasi untuk mencari

tantangan baru akan suka pada tujuan yang kaya dengan sumber daya

alam dan budaya. Turis yang menyukai kehidupan perkotaan paling

banyak tertarik pada infrastruktur dan layanan yang membuat pariwisata

dapat berlangsung, seperti restoran dan kamar hotel yang nyaman.

Sementara turis yang menyukai resor-resor pantai terutama akan tertarik

pada destinasi yang bercuaca hangat dan cerah, lingkungan yang eksotis

dan pantai- pantai.

Permintaan untuk pariwisata tidak hanya dilakukan oleh

mereka yang berpartisipasi, tetapi juga bagi mereka yang tidak bepergian

(Payangan, 2017). Kecenderungan melakukan perjalanan merupakan

suatu indikator yang berguna dari partisipasi pariwisata, dimana hal ini

memberikan proporsi masyarakat yang benar-benar bergabung dalam

kegiatan pariwisata.

26
Banyak faktor yang mempengaruhi orang melakukan

perjalanan wisata (Payangan, 2017), antara lain; pendapatan, harga,

kualitas, hubungan politik, ekonomi dan sosial budaya antar Negara,

perubahan musim, faktor hari libur, peraturan pemerintah dan teknologi

serta aksesibilitas.

Banyak pustaka yang mengaitkan motivasi melakukan

perjalanan dengan ketersediaan atraksi suatu destinasi (Pyo et al., 1989).

Secara umum, berbagai studi secara konsisten menunjukan bahwa

terdapat hubungan yang nyata antara motivasi pengunjung dengan

tipologi atraksi. Alasan para turis untuk melakukan perjalanan wisata

adalah keuntungan nilai yang akan diperolehnya pada suatu destinasi.

Secara umum, sisi demand ini mewakili opini, kepercayaan, dan

perasaan para turis terhadap suatu destinasi, pembobotan suatu destinasi

akan sangat dipengaruhi oleh persepsi wisatawan.

27
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Pendekatan Penelitian

Melalui arsitektur vernacular bangunan di Papua khususnya di

Kabupaten Jayapura dan Kota Jayapura, peneliti akan mengkaji nilai-nilai

budaya dalam pola permukiman masyarakat adat di Kabupaten Jayapura dan

Kota Jayapura dengan pendekatan yang dipergunakan adalah metode kualitatif

yang memungkinkan peneliti mengamati gejala fisik melalui sudut pandang

kebudayaan suku masyarakat tempat dilakukannya penelitian, dalam hal ini di

permukiman di masyarakat Kabupaten Jayapura dan Kota Jayapura secara

mendalam Khusunya masyarakat adat yang bermukim di sepanjang koridor

danau sentani. Oleh karena itu, metode kualitatif ini dianggap sesuai dengan

tujuan penelitian yang hendak mengetahui tata ruang dan tata letak yang

membentuk simbol kosmologi dan territori dalam permukiman masyarakat adat

di Kabupaten Jayapura dan untuk mengidentifikasi nilai budya permukiman

masyarakat adat di Kabupaten Jayapura, serta memahami proses dan faktor

terbentuknya permukiman masyarakat, baik dari aspek sosial budaya maupun

dari aspek lingkungan, yang pada akhirnya membentuk permukiman masyarakat

adat. Dalam pelaksanaannya, cara kerja penelitian didasarkan pada metode

pendekatan studi kasus untuk mendeskripsikan arsitektur vernacular dan

penerapannya dalam pengembangan wisata danau Sntani. Pemilihan metode ini

karena penelitian dengan metode studi kasus menjelaskan atau menggambarkan

konsep arsitektur vernacular yang ada dalam ingatan masayarakat adat.

28
Metode penelitian kualitatif dianggap tepat untuk memaknai

permukiman permukiman masyarakat adat di kabupaten Jayapura yang perlu di

kaji secara mendalam. Hakekat hubungan antara peneliti dan informan akan

memberi pemahaman yang lebih, agar dapat merespon kegiatan secara bersama

mengenai nilai-nilai yang diteliti. Metode ini akan mempermudah untuk

mendeskripsikan informasi pada tingkat abstraksi yang tinggi, sehingga dapat

mendeskripsikan pola permukiman masyarakat adat sebagai nilai budaya dan

kebudayaan suku di Kabupaten Jayapura dan Kota Jayapura.

Penelitian ini dilakukan dalam situasi yang alami, sehingga tidak ada

batasan dalam mendeskrisikan obyek yang dikaji. Menurut Creswell (1998:54),

Pendekatan studi kasus adalah mengamati dan mengkaji pusat budaya fisik dan

non fisik aspek yang diteliti, dimana peneliti menyusun dan mengelompokkan

data-data tentang apa yang dikatakan oleh responden. Metode pengamatan

(observation) dilakukan untuk mengetahui prilaku penghuni permukiaman adat

serta melihat gejala-gejala yang ada dilapangan sesuai dengan sasaran yang

diteliti. Pengamatan sedapat mungkin dilakukan secara detail dengan menggali

pemahaman masyarakat tentang arsitektur vernacular.

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di Distrik Sentani Timur, secara

keseluruhan adalah ± 15.182,72 ha / Km2 namun lokasi penelitian ini

dibatasi hanya 3 kampung di distrik sentani timur, karena 3 kamupng

inilah yang berbatasan langsung dengan lokasi destinasi wisata danau

sentani, kampung tersebut teridiri dari 3 kampung yang berada di sisi jalan

utama / penghubung kota Jayapura dengan Bandara Sentani yaitu

29
1) Kampung Nolokla,

2) Kampung Nendali

3) Kampung Asei Kecil

Luas Wilayah penelitian ini yakni kawasan strategis kabupaten

pengembangan pariwisata di Sentani Timur yaitu 86,05 ha, yang terdiri

dari

a. Kampung Nolokla dengan luas 7,91 ha

b. Kampung Nendali dengan luas 19,25 ha

c. Kampung Ase Kecil dengan luas 58,87 ha

Adapun batas wilayah Penilitian ini adalah sebagai berikut :

Sebelah Utara : tebing dan bukit

Sebelah Selatan : danau sentani

Sebelah Barat : perbatasan kawasan perkotaan sentani

Sebelah Timur : Kota Jayapura.

30
h Administrasi Distrik Kurulu

Gambar 3. 1
31
Wilayah Administrasi Penilitian

Penelitian ini rencananya akan dilaksanakan selama 8 bulan sejak tanggal 25

Agustus 2020 sampai dengan 24 April2020.

3.3. Metode Pengumpulan Data

Jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari jenis

data primer dan sekunder. Jenis data primer adalah data hasil penelitian

yang diperoleh dengan cara wawancara mendalam (in-depth interview)

dan pengamatan langsung (participant observation) di Kawasan

permukiman masyarakat adat di 3 kampung dilokasi penelitian. Sedangkan

jenis data sekunder adalah data hasil penelitian yang diperoleh dari sumber

perpustakaan, statistik dan dokumen lainnya.

Berbagai jenis data baik primer maupun sekunder yang

dikumpulkan, sianalisa, diverifikasi dan dikelompokan sesuai subyek yang

akan dikaji dan disajikan dalam bentuk naskah penulisan. Naskah

penulisan dibaca dan dikoreksi untuk dikonsultasikan dengan tim

promotor.

Wawancara mendalam dilakukan dengan pelaku budaya dan

informan kunci berdasarkan pedoman wawancara yang disusun untuk

memperoleh data tentang orang Masyarakat adat berupa data aspek

permukiman, system kekerabatan, system social, pandangan hidup dan

pengetahuan local. Untuk menjaga jangan sampai pelaksanaan wawancara

yang isinya diseuaikan dengan obyek penelitian.

Penenatuan informan adalah yang memiliki pengetahuan tentang

kebudayaan suku di Kabuapten Jayapura maupun masyarakat adat di 3


32
kampung dilokasi penelitian. Sebagai pelaku budaya masyarakat adat di 3

kampung dilokasi penelitian dan informan kunci, tidak tertutup

kemungkinan bahwa informan dapat memiliki status sebagai tokoh

masyarakat, tokoh adat, Aparatur Sipil Negara, bahkan politisi.

Observasi partisipan dilakukan dengan cara melibatkan diri dalam

aktivitas penduduk untuk mendapatkan data autentik tentang unsur-unsur

seperti bentuk, tata letak dan tata ruang permukiman Masyarakat adat,

sistem mata pencaharian, pemetaan social, pola kegiatan penghuni dalam

permukiman Masyarakat adat dan berbagai aktivitas lain berhubungan

dengan Masyarakat adat.

Data sekunder yang dikumpulkan adalah data mengenai gambaran

umum daerah penelitian meliputi : identifikasi orang pada Masyarakat

adat, keadaan geografi, iklim, mata pencaharian penduduk dan potensi

wilayah. Dokumen ini pada umumnya terdiri dari dokumen pribadi, dan

dokumen resmi berbentuk gambar dan foto yang berkaitan dengan

masalah yang diteliti. Dokumen pribadi adalah catatan atau tulisan

seseorang tentang apa yang yang dilakukan, dirasakan, sehingga

merupakan pengalaman dirinya tentang orang Masyarakat adat. Catatan

yang berharga ini meliputi buku harian, surat pribadi, dan autobiografi

seseorang menjadi sasaran penelitian.

Dokumen resmi terbagi atas dokumen internal dan eksternal.

Dokumen internal dalam penelitian ini berupa memo, pengumuman,

instruksi, aturan suatu Lembaga masyarakat tertentu yang dipergunakan

untuk kalangan sendiri. Dokumen eksternal dalam penelitian ini, yaitu:

33
bahan informasi yang dihasilkan oleh suatu Lembaga resmi berupa :

jurnal, bulletin, surat kabar dan majalah ilmiah dan ulasan literatur yang

berkaitan dengan Masyarakat adat. Peneliti akan berupaya agar data

terhindar dari subyektivitas dan terjamin tingkat kepercayaannya, maka

setiap data yang diperoleh, dilakukan pengecekan dan membandingkan

antara sumber data yang satu dengan sumber data yang lain.

3.3.1. Wawancara

Pengumpulan data dengan wawancara melalui percakapan dilakukan

dengan informan kunci dan pelaku budaya berdasarkan pedoman wawancara

yang telah disusun. interview ini digunakan untuk menjaring informasi mengenai

permukiman Masyarakat adat dan bentuk arsitektur vernacular.

Wawancara dilakukan dalam Bahasa Indonesia Dialek Papua, karena

informan dan pelaku budaya Masyarakat adat Papua, yang senantiasa

menggunakan Bahasa Indonesia Dialek Papua sebagai Bahasa kedua dalam

komunikasi sehari-hari. Dalam melakukan wawancara, peneliti memperhatikan

dan mengaplikasikan langkah-langkah sebagai berikut : 1). Menetapkan waktu

wawancara, 2). menyiapkan pokok masalah yang akan ditanyakan pada saat

wawancara berlangsung berdasarkan pedoman wawancara, 3) mengawali atau

membuka alur wawancara dengan informan, 4) melangsungkan wawancara, 5)

mengiformasikan ikhtisar wawancara, 6). menuliskan hasil wawancara, 7)

melakukan identifikasi tindak lanjut wawancara yang diperoleh. Selama masa

penelitian terutama pada saat wawancara berlangsung, peneliti berusaha menjaga

hubungan dengan informan.

34
Wawancara akan ditanyakan mengenai kebudayaan Masyarakat adat

meliputi : 1). nilai-nilai budaya (filosofis dan ideologis) berupa norma, aturan

adat, cerita rakyat dan karya seni berkaitan dengan bentuk permukiman

vernakular ; 2). Sistem budaya berupa gagasan dan konsep yang juga merupakan

manifestasi dari pemikiran, tulisan dan gambar berkaitan dengan permukiman

Masyarakat adat; 3). Sistem sosial sebagai wujud selanjutnya. Merupakan

tindakan untuk mewujudkan tindakan apa yang dilakukan dalam proses

pembangunan permukiman Masyarakat adat; 4). Kebudayaan fisik berkaitan

dengan permukiman Masyarakat adat, hasil pembuatan benda-benda seni dan alat

untuk menjaga keamanan dan kenyamanan Masyarakat adat, termasuk benda-

benda lain yang dihasilkan dari proses kebudayaan fisik untuk tujuan ekonomi;

3.3.2. Observasi

Dalam pelaksanaan penelitian ini, peneliti melakukan partisipasi

secara langsung ke dalam kehidupan sehari-hari Masyarakat adat dan

sekitarnya, dan mencatat serta merekam kejadian sebagaimana terjadi dala

peristiwa yang sebenarnya. Observasi partisipan ini, peneliti melibatkan

diri secara langsung dengan mengamati secara saksama terhadap sikap,

tingkah laku dan interaksi subyek penelitian ketika peristiwa berangsung.

Peneliti juga mengamati : pola tata letak dan tata ruang permukiman

Masyarakat adat, bentuk bangunan, perbandingan antara bentuk bangunan

satu dengan yang lain, besaran ruang (tempat kegiatan pria dan wanita

demikian pula dengan anak-anak), aktifitas apa saja yang dilakukan di

masing-masing tempat yang dirasakan nyaman dan aman serta aktifitas

apa yang dilakukan oleh tamu yang membuat kurang nyaman dan aman
35
penghuni permukiman Masyarakat adat ini. Kegiatan apa yang dilakukan

baik terkait dengan waktu maupun terkait dengan tempat dan pelaku.

Kejadian atau peristiwa yang dirasakan nyaman dan aman serta kejadian

dan peristiwa apa yang kelihatannya tidak nyaman dan aman. Bagaimana

interaksi antara setiap orang dalam permukiman Masyarakat adat berkaitan

dengan waktu dan tempat.

3.3.3. Studi Dokumen

Studi dokumen (literatur) dilakukan dengan membaca buku-buku

yang berkaitan dengan studi tentang permukiman adat Papua dan aspek

sosial-budaya suku Masyarakat adat serta jurnal yang mengakaji hal

serupa. Melalui studi dokumen ini diharapkan dapat memperkaya serta

memperdalam pengetahuan, teori-teori serta pemahaman penulis untuk

mengkaji simbol dalam kebudayaan Masyarakat adat. Dokumen telah

lama digunakan dalam penelitian sebagai sumber data karena dalam

banyak hal dokumen sebagai sumber data dimanfaatkan untuk menguji,

menfsirkan bahkan untuk meramalkan.

Studi dokumen merupakan teknik pengumpulan informasi dengan

focus kegiatan utama dilakukan di perpustakaan. Kegiatan utama

mempelajari penelitian-penelitian yang sama yang pernah dilakukan

dengan obyek penelitian yang berbeda. Studi dokumen yang lain adalah

mempelajari hasil-hasil penelitian yang memiliki akses langsung dengan

Masyarakat adat, studi dokumentasi ini dilakukan pada perpustakaan-

perpustakaan yang mempunyai referensi tentang Masyarakat adat, yaitu

Perpustakaan yang ada di kota Jayapura.

36
Sejumlah besar fakta dan data tersimpan dalam bahan yang

berbentuk buku dan jurnal berkaitan dengan permukiman Masyarakat adat

di Sentani, juga terdapat dalam bentuk dokumentasi, yaitu: surat-surat,

catatan harian, cenderamata, laporan, artefak, foto, dan sebagainya. Sifat

utama data ini tak terbatas pada ruang dan waktu sehingga memberi

peluang kepada peneliti untuk mengetahui hal-hal yang pernah terjadi di

waktu silam. Secara detail bahan dokumenter terbagi beberapa macam,

yaitu otobiografi, surat-surat pribadi, buku atau catatan harian, memorial,

klipping, dokumen pemerintah atau swasta, data di server dan flashdisk,

data tersimpan di website, dan lain-lain.

3.4. Teknik Analisis Data

Setelah data yang dibutuhkan telah diperoleh melalui proses

penggalian data, kemudian peneliti akan melakukan analisis data dengan

menggunakan teknik triangulasi, yang meliputi teori, sumber-sumber dan

penelitian sejenis. Hasil temuan dianlisis kembali dengan merujuk pada

teori-teori yang berhubungan dengan simbol dalam budaya, teori

permukiman vernakular dalam arsitektur dan territory lingkungan.

Langkah-langkah analisis data pada penelitian ini, yaitu: 1) Peneliti

memulai mengorganisasikan semua data atau gambaran menyeluruh

tentang fenomena pengalaman yang telah dikumpulkan; 2) Membaca data

secara keseluruhan dan membuat catatan pinggir mengenai data yang

dianggap penting kemudian melakukan pengkodean data; 3) Menemukan

dan mengelompokkan makna pernyataan yang dirasakan oleh responden

dengan melakukan horizonaliting yaitu setiap pernyataan pada awalnya

37
diperlakukan memiliki nilai yang sama. Selanjutnya, pernyataan yang

tidak relevan dengan topik dan pertanyaan maupun pernyataan yang

bersifat repetitif atau tumpang tindih dihilangkan, sehingga yang tersisa

hanya horizons (arti tekstural dan unsur pembentuk yang tidak mengalami

penyimpangan); 4) Pernyataan tersebut kemudian di kumpulkan ke dalam

unit makna, lalu ditulis gambaran tentang bagaimana pengalaman tersebut

terjadi; 5) Selanjutnya peneliti mengembangkan uraian secara keseluruhan

dari aspek tersebut sehingga menemukan esensi dari penjelasan budaya

tersebut. Kemudian mengembangkan itu terjadi); 6) Peneliti kemudian

memberikan penjelasan secara deskriptif yang diteliti dan mendapatkan

bentuk konsep permukiman tradisional; 7). Menyusun Laporan penelitian

berdasarkan deskripsi kasus yang ditelti.

38
BAB IV
ARSITEKTUR VERNAKULAR DAN PENGEMBANGAN DESTINASI
WISATA Di KABUPATEN JAYAPURA

4.1. Indentifikasi Arsitektur Vernacular Papua dalam Kebudayaan Masyarakat

Sentani di Kabupaten Jayapura.

a. Letak dan lingkungan Daerah Sentani

Orang Sentani bertempat tinggal di daerah sekitar Danau Sentani dalam

wilayah Distrik Sentani, Kabupaten Jayapura. Daerah tersebut terletak di sebelah

selatan Gunung Cycloop yang tingginya kurang lebih 2.160 m (Dubois 1961:8)

dan berada di antara Teluk Yos Sudarso di sebelah timur dan Teluk Tanah Merah

di sebelah barat. Lokasi daerah ini berada pada posisi antara meridian 140°27'-

140°38' bujur timur dan meridian 2°27'-2c59' lintang selatan.

Danau Sentani memanjang arah timur-barat, dengan panjang kurang lebih

30 km, berada pada elevasi 70 m di atas permukaan laut. Garis pantainya tidak

membentuk garis lurus melainkan berkelok-kelok dan membentuk beberapa

lekukan yang menjorok amat jauh ke dalam berbentuk 'teluk', misalnya 'teluk'

39
Puai yang terdapat di bagian selatan pada ujung timur danau dan 'teluk' Doyo

yang terletak di sebelah barat danau. Di dalam danau terdapat pulau-pulau yang

sejak dahulu kala hingga sekarang dijadikan tempat bermukim, misalnya Pulau

Asei di sebelah timur, Pulau Ajau, Pulau Putali, Pulau Atamali, Pulau Kensio di

bagian tengah, dan Pulau Yonokom di sebelah barat. Tiga di antara pulau-pulau

tersebut penting karena merupakan pusat persebaran penduduk di Danau Sentani,

yaitu Pulau Asei, Pulau Ajau dan Pulau Yonokom.

Suku asli di Sentani adalah Tobati, Kayubatu, dan Kayupulo, sedangkan di

kawasan perkotaan penduduk asli telah bercampur baur dengan penduduk

pendatang dari Papua maupun dari luar Papua (Toraja, Bugis, Manado, Padang,

Batak, Jawa, Ambon). Mereka hidup dalam suasana persaudaraan dan saling

mengasihi, karena pendatang menghormati dan mengakui hak-hak penduduk asli

dan sebaliknya penduduk asli mengulurkan tangan dan memberikan tempat-

tempat yang layak dan aman kepada pendatang untuk hidup bersama,

mereka hidup dalam suasana penuh persaudaraan penuh hormat, aman, damai,

dan tenteram. Penduduk asli umumnya bermata pencaharian sebagai petani,

tukang becak, pegawai negeri, dan masyarakat pendatang cenderung mendominasi

perdagangan dan perekonomian.

Masyarakat Kabupaten Jayapura memiliki nilai religius yang tinggi,

budaya dan etnik yang ekslusif, serta keanekaragaman suku dan bahasa. Di

dalamnya terdapat sejumlah klen dalam tatanan masyarakat adat, sedangkan

jumlah bahasa sampai saat ini belum ditentukan secara pasti banyaknya. Selain

itu, terdapat berbagai bentuk hubungan sosial dalam kehidupan bermasyarakat.

b. Kecendrungan perkembangan Kota Sentani

40
Aspek kecenderungan perkembangan di Distrik sentani timur lebih

cenderung berkembang ke arah koridor jalan tepatnya kearah kota jayapura dan

kearah distrik sentani yang notabene terdepat bandara. Perkembangan di sekitar

kawasan ini cukup pesat dengan bermunculnya kawasan-kawasan perdagangan

mulai dari ruko, hingga restoran-restoran di tepi danau.

Kecenderungan perkembangan yang lain yaitu perkembangan

permukiman yang saat ini sangat terbatas berada di sisi jalan utama karena

disalah satu sisi ruas jalan terdapat tebing yang cukup terjal sedangkan

pada disi danau sangat berhimpitan dengan danau, namun pada lokasi

kampung harapan perkembangan permukiman ke arah dalam cukup besar

hal ini dikarenakan ketersediaan lahan cukup luas.

Gambar 3. 1 Kecenderungan Perkembangan

Adanya kecendrungan perkembangan kota Sentani yang mengikuti arah jalan,

dapat dipahami karena kawasan Sentani memiliki kondisi lahan yang berbukit

disebelah utara dan rawa dan danau dibagian selatan, sehingga arah

perkembangan kota mengikuti batasan kondisi alam dengan memanfaatkan lahan

41
sekitar jalan dari Kota Jayapura ke Kota Sentani dan melewati pinggiran Danau

Sentani.

Gambar 3.2. Kondisi Sarana dan Prasarana di Sentani Timur

Kondisi ini menjadi salah satu penyebab ketersediaan prasarana jalan ke arah

Jayapura hanya berupa jalan tunggal.

c. Peninggalan Arsitektur Vernakular di Kabupaten Jayapura

Menurut Mansoben (1995: 190-191): kontak orang Sentani dengan

orang asing (orang Eropa) baru terjadi pada akhir abad lalu, ketika seorang

Inggris beraama Doherty mengunjungi Danau Sentani pada tahun 1892

(Galis & Van Doornik 1960:4). Kunjungan tersebut terjadi 16 tahun

sebelum pengawas pos pemerintah tuan Windhouwer, membuka pos

pemerintah Hindia Belanda yang pertama dan resmi di Pulau Metu Debi,

Teluk Yotefa, pada tahun 1908 (Dubois 1961:28). Kunjungan orang asing

kedua di Danau Sentani terjadi pada tahun 1893 oleh pendeta Bink yang

berada di sana selama kurang lebih 3 bulan lamanya. Setelah kedua

kunjungan pertama tersebut, banyak kunjungan oleh orang Eropa ke

daerah ini terjadi kemudian.

42
Pos pemerintah Belanda yang pertama di daerah Danau Sentani

dibuka di Koyabu yang terletak di ujung timur laut danau (Pantai Waena

sekarang) pada tahun 1916. Pos tersebut pada tahun 1921 dipindahkan ke

Doyo Baru tetapi tidak lama kemudian berpindah kembali ke Koyabu pada

tahun 1926.

Selain pembukaan pos pemerintah, pihak pekabaran injil dari

agama Kristen Protestan telah berupaya untuk membuka wilayah

penginjilannya di daerah ini sejak kunjungan pendeta Bink (1893). Upaya

tersebut baru kelihatan pengaruhnya sekitar tahun 1921 sampai tahun 1926

ketika terjadi pemusnahan terhadap benda-benda yang dianggap berhala

melalui pembakaran bangunan-bangunan obe (tempat menyimpan benda-

benda magi) dan khombubulu (tempat inisiasi para pemuda remaja).

Pembakaran bangunan-bangunan untuk memusnahkan benda-benda

berhala itu dilakukan di semua kampung dan sejak itu masyarakat tidak

lagi melaksanakan upacara adat inisiasi bagi para pemuda remaja di daerah

ini (Galis & Van Doornik 1960; Siregar 1987:33).

Berdasarkan uraian Mansoben diatas, maka dapat dipahami

mengapa peninggalan Arsitektur Vernacular Papua yang asli di Kabupaten

Jayapura tidak dapat dilihat saat ini karena adanya anggapan dari para

kabar injil yang datang di Jayapura bahwa kegiatan inisiasi yang dilakukan

di dalam bangunan khombubulu/ Kariwari (Arsitektur Vernakular) adalah

kegiatan berhala sehingga perlu dihilangkan dari kehidupan masyarakat.

Hal ini berbeda dengan prinsip pekabaran injil di daearah Asmat yang

43
membiarkan bangunan Jew (Arsitektur Vernakular Papua di Asmat)

walaupun dipergunakan sebagai tempat inisiasi sebagai kegiatan budaya.

Saat ini bentuk kariwari sebagai arsitektur vernacular sudah mulai

dibangun Kembali dengan Sentani (pulai Asei Besar) berupa rumah adat

Sentani untuk tujuan wisata, demikian pula dengan bangunan ruang

tunggu executive di bandara Sentani Kabupaten Jayapura sebagai wujud

Arsitektur vernacular sebagai ciri khas daerah. Peran sebagai obyek wisata

dan ciri khas kedaerahan menjadi alasan penting untuk menghidupkan

kembali Arsitektur Vernakular di Kabupaten Jayapura. Disamping hal

tersebut, perkembangan Arsitektur Nusantara yang merupakan bentuk

Arsitektur Indonesia yang ada di masing-masing wilayah budaya tersebar

mulai dari Sabang sampai Merauke menjadi wujud Arsitekur yang telah

teruji oleh waktu sehingga dapat menjadi bentuk arsitektur yang dapat

menyesuaikan diri dengan kondisi iklim, geografi dan ketersediaan

material yang melimpah di alam sekitar bangunan tersebut berada.

Arsitketur Vernakular Papua dapat digolongkan kedalam

Arsitektur Nuantara yang ada di Papua, menurut Josep Priyotomo

(2008:31-32)…. Tapi kita temui adalah deretan bangunan berhadap-

hadapan satu sama lain, dan kedua dereten bangunan tadi dipisahkan oleh

sebuah pelataran memanjang atau lonjong. Bagian penghujung dari

pelataran tadi selalu merupakan titik yang disucikan, daigungkan ataupun

dikeramatkan. Segenap kegiatan kegiatan upacara dapat diselenggarakan

disana. Penjelasan ini menyiratkan bahwa dalam Arsitektur Nusantara

selalu dikaitkan dengan upacara-upacara adat yang merupakan bagian dari

44
keprcayaan masyarakat bahkan di daerah yang memiliki pemahaman

agama yang dominan seperti Aceh dan Padang tetap mempergunakan

Rumah Adat mereka sebagai tempat upacara yang tidak bertentangan

dengan agama. Demikian pula di Toraja dan Batak yang menggunakan

Rumah Adat untuk kegiatan upacara yang bersifat budaya.

Berdasarkan kondisi diatas, maka proses penghilangan benda

budata berupa bangunan adat (Arsitektur Vernakular) pada masa lalu

sangat berpengaruh pada kekayaaan budaya yang tidak dapat dipulihkan

bahkan untuk membuat replika budaya material yang sesuai dengan

aslinya akan sulit karena tidak adanya peninggalan budaya yang dapat

diamati dan dijadikan sebagai patron. Dalah satu upaya yang dapat

dilakukan hanyalah mengamati peninggalan benda bersejarah tersebut

melalui foto yang dibuat sebelum bangunan tersebut dihancurkan, namun

terbatas pada bagian luar bangunan Kariwari. Sehingga bangunan yang

ada saat ini tidak akan sama dengan bangunan aslinya terutama pada

bagian detail-detail bangunan bagian dalam yang tidak dpat dipahami

secara teliti. Beberapa bangunan Kariwari yang dibangun seperti yang ada

di Pulai Asei Besar dapat dijadikan sebagai acuan dalam membuat

bangunan Kariwari pada masa yang akan datang. Disamping itu

perkembangan pendekatan dalam desain arsitektur seperti pendekatan

Arsitektur Post modern yang mengamil bangunan vernacular sebagai dasar

desain dapat memanfaatkan bangunan kariwari yang ada di Asei Besar dan

Bandara Sentani.

4.2. Penerapan dalam Pengembangan destinasi Wisata

45
a. Dasar Teori

Citra kota yang merupakan suatu gambaran khas yang melekat

pada kota yang dapat menciptakan representasi kota bagi penduduk

maupun pengunjung. Citra kota pada umumnya dipengaruhi oleh aspek

fisik kota tersebut. Kevin Lynch mengungkapkan ada 5 elemen

pembentuk image kota secara fisik, yaitu: path (jalur), edge (tepian),

distric (kawasan), nodes (simpul), dan landmark (penanda). Kelima

elemen ini dirasa dapat mewakili cita rasa dari suatu kawasan dan

memberikan citra yang kuat terhadap kota.

Gambar 3.3. Elemen Citra Kota dari Kevin Lynch

Masing-masing elemen Citra kota tersebut dapat menjadi aspek

pembentuk ciri khas suatu kawasan obyek wisata yaitu baik berupa jalan,

bangunan, batas kota, ciri alam, atau bangunan tradisional yang bsa

dijadikan sebagai lanmar.

b. Analisa Elemen pembentuk Citra Kawasan Wisata di Sentani

1. Path adalah elemen yang paling penting dalam citra kota. Kevin Lynch

menemukan dalam risetnya bahwa jika identitas elemen ini tidak jelas, maka

46
kebanyakan orang meragukan citra kota secara keseluruhan. Path merupakan

rute-rute sirkulasi yang biasanya digunakan orang untuk melakukan pergerakan

secara umum. Path mempunyai identitas yang lebih baik kalau memiliki tujuan

besar (misalnya ke stasiun, tugu, alun-alun, dan lain-lain), serta ada penampakan

yang kuat (misalnya fasad, pohon, dan lain-lain), atau ada belokan yang jelas.

Kualitas ruang mampu menguatkan citra jalan-jalan khusus, dengan cara yang

sangat sederhana yang dapat menarik perhatian, dengan pengaturan kelebaran

atau kesempitan jalan-jalan.

Gambar 3.4. Analisis pathway

2. Edges adalah elemen linear yang tidak digunakan atau dipertimbangkan

sebagai path oleh pengamat. Edges adalah batas-batas antara dua wilayah, sela-

sela linier dalam kontinuitas: pantai, potongan jalur kereta api, tepian

bangunan, dinding.

47
Edges juga merupakan elemen linier yang dikenali manusia pada saat dia

berjalan, tapi bukan merupakan jalur/paths. Batas bisa berupa pantai, dinding,

deretan bangunan, atau jajaran pohon/ lansekap. Batas juga bisa berupa barrier

antara dua kawasan yang berbeda, seperti pagar, tembok, atau sungai. Fungsi

dari elemen ini adalah untuk memberikan batasan terhadap suatu area kota

dalam menjaga privasi dan identitas kawasan, meskipun pemahaman elemen

ini tidak semudah memahami paths. Edges berada pada batas antara dua

kawasan tertentu dan berfungsi sebagai pemutus linear. Edges merupakan

penghalang walaupun kadang-kadang ada tempat untuk masuk. Juga

merupakan pengakhiran dari sebuah district yang lebih baik jika kontinuitas

tampak jelas batasnya. Demikian pula fungsi batasnya harus jelas; membagi

atau menyatukan.

Gambar 3.5. Fasilitas berupa Edge adalah Batas Kawasan berupa penanda kawasan

3. Distrik (district) adalah kawasan kota yang bersifat dua dimensi dengan skala

kota menengah sampai luas, dimana manusia merasakan ’masuk’ dan ’keluar’

48
dari kawasan yang berkarakter beda secara umum. Karakter ini dapat

dirasakan dari dalam kawasan tersebut dan dapat dirasakan juga dari luar

kawasan jika dibandingkan dengan kawasan dimana si pengamat berada.

Elemen ini adalah elemen kota yang paling mudah dikenali setelah

jalur/paths, meskipun dalam pemahaman tiap individu bisa berbeda. Districts

merupakan wilayah yang memiliki kesamaan (homogen). Kesamaan tadi bisa

berupa kesamaan karakter/ciri bangunan secara fisik, fungsi wilayah, latar

belakang sejarah dan sebagainya.nSebuah kawasan district memiliki ciri khas

yang mirip (bentuk, pola, wujudnya) dan khas pula dalam batasnya, dimana

orang merasa harus mengakhiri atau memulainya. Distrik mempunyai

identitas yang lebih baik jika batasnya dibentuk dengan jelas tampilannya dan

dapat dilihat homogen, serta fungsi dan posisinya jelas (introvert/ekstrovert

atau berdiri sendiri atau dikaitkan dengan yang lain).

4. Nodes adalah titik-titik, spot-spot strategis dalam sebuah kota dimana

pengamat bisa masuk, dan yang merupakan fokus untuk ke dan dari mana dia

49
berjalan. Nodes bisa merupakan persimpangan jalan, tempat break (berhenti

sejenak) dari jalur, persilangan atau pertemuan path, ruang terbuka atau titik

perbedaan dari suatu bangunan ke bangunan lain. Elemen ini juga

berhubungan erat dengan elemen district, karena simpul-simpul kota yang

kuat akan menandai karakter suatu district. Untuk beberapa kasus, nodes bisa

juga ditandai dengan adanya elemen fisik yang kuat. Nodes menjadi suatu

tempat yang cukup strategis, karena bersifat sebagai tempat bertemunya

beberapa kegiatan/aktifitas yang membentuk suatu ruang dalam kota. Nodes

adalah satu tempat dimana orang mempunyai perasaan ‘masuk’ dan ’keluar’

dalam tempat yang sama.

Gambar 3.6. Bagian dari Node kawasan berupa fasilitas Wisatawan dan Prasarana Liannya

5. Landmark adalah titik-acuan dimana si pengamat tidak memasukinya, mereka

adalah di luar. Landmark at terlihat dari banyak sudut dan jarak, atas puncak-

puncak dari elemen yang lebih kecil, dan digunakan sebagai acuan orintasi.

50
Landmark-landmark lain adalah yang bersifat lokal, hanya bisa dilihat di

tempat-tempat yang terbatas dan dari jarak tertentu.

Landmark adalah elemen fisik suatu kota sebagai referensi kota dimana

pengamat tidak dapat masuk kedalamnya, tetapi penanda bersifat eksternal

terhadap pengamat. Biasanya dikenali melalui bentuk fisik dominan dalam

suatu kawasan kota seperti bangunan, monumen, toko, atau gunung.

Landmark sudah dikenali dalam jarak tertentu secara radial dalam kawasan

kota dan dapat dilihat dari berbagai sudut kota; tetapi ada beberapa landmark

yang hanya dikenali oleh kawasan tertentu pada jarak yang relatif dekat.

Landmark bisa terletak di dalam kota atau diluar kawasan kota (bedakan

antara gunung dan monumen).

Gambar 3.7. Analisis Landmark

c. Arsitektur Vernakular dalam Pengembangan Fasilitas Wisata di Sentani

1. Konsep pengolahan Lahan

Dari hasil analisa kondisi fisik dasar kawasan perencanaan,

sebagian besar wilayah perencanaan merupakan kawasan layak bangun.

Kemampuan daya dukung wilayah perencanaan relatif baik dalam mendukung

pengembangan kegiatan pariwisata serta kegiatan pelayanan umum, disamping itu

51
diperlukan adanya upaya pengelolaan dan pengendalian penggunaan air tanah

secara bijaksana serta pengelolaan sampah dan saluran drainase sehingga dapat

berfungsi dengan optimal .

Lokasi perencanaan kawasan wisata di sentani timur berada dalam

distrik sentani timur. Berdasarkan hasil pengukuran tahun 2013, distrik

sentani timur memiliki luasan ± 15182Ha yang terdiri dari 7 wilayah

adminitrasi kampung, dimana untuk kawasan perencanaan berada

kampung asei kecil, nendali dan nolokla. Dalam rencana Jenis

Kegiatan yang dikembangkan adalah kegiatan yang berskala regional

yaitu antara lain adalah kawasan wisata sentani timur, kawasan pusat

distrik, kawasan perdagangan dan jasa (pertokoan skala kota ), serta

kawasan perkantoran (kompleks perkantoran kota – termasuk kantor

polsek, distrik dll)

Berdasarkan dari kondisi persebaran fasilitas dan sarana prasarana

pendukung permukiman yang tersebar di wilayah perencanaan, maka

pengembangan di masing-masing blok yang ada di masing- masing

tempat dapat diarahkan ke dalam sebuah tematik skala mikro untuk

memberikan kesan penataan yang komprehensif dengan lingkungan yang

ada.

Penataan kawasan yang akan dilakukan, sebaiknya

disesuaikan dengan daya dukung lingkungan yang ada. Secara garis

besar konsep penataan kawasan dalam tahap awal adalah dengan

menyesuaikan arahan pengembangan dengan daya dukung lingkungan yang

ada dan juga kebijakan- kebijakan yang ada di dalam kawasan

52
pengembangan (dalam hal ini merupakan kebijakan sectoral seperti

RDTR yang dapat digunakan sebagai acuan dalam pengembangan yang

lebih detail lagi).

Gambar 3.8. Analisa Keterkaitan Kawasan dengan Lingkungan

Sebagai pusat pelayanan Distrik, distrik Sentani Timur berperan

sebagai pusat perdagangan dan jasa skala distrik, pusat pelayanan

pemerintahan skala distrik. Sebagai pusat kegiatan pemerintahan ini

wilayah pelayanannya adalah seluruh wilayah Distrik sentani timur yang

mencakup 7 kampung.

Fungsi pelayanan pusat dan pengembangan kawasan sebagai pusat

perdagangan dan jasa, yang erat kaitannya dengan fungsi koleksi dan

distribusi diarahkan kegiatan utamanya sebagai sektor yang mendorong

kegiatan pariwisata, karena pengembangan pariwisata jelas dengan

sendirinya akan mendorong kegiatan perdagangan dan jasa baru begitu

pula sebaliknya.

53
Dengan mensinergikan kedua garis/guidance kebijakan strategis

tersebut, maka konsep penataan lahan yang dapat diarahkan di dalam

penyusunan Rencana Kawasan pengembangan pariwisata di Sentani

Timur Kabupaten Jayapura adalah sebagai kawasan pintu gerbang daerah,

dengan intensitas guna lahan sebagai kawasan pusat kegiatan wisata

danau, pusat wisata, pusat perekonomian (kawasan perbelanjaan dan

pertokoan), kawasan permukiman.

Konsep peruntkan lahan makro kawasan dalam kawasan pusat

pengembangan pariwisata di distrik Sentani Timur antara lain : Fungsi

Kawasan wisata kulier, Fungsi kawasan taman bermain, Fungsi kawasan

olahraga, Fungsi

kawasan penginapan, Fungsi kawasan permukiman tepian danau, Fungsi kawasan

perdagangan dan jasa, Fungsi kawasan sarana pelayanan umum dan Fungsi RTH

diarahkan di sepanjang koridor, obyek wisata.

2. Konsep Peruntukan Lahan Makro

Secara garis besar peruntukan lahan di Distrik sentani Timur akan

diperutukan sebagai kawasan:

54
Gambar 3.9. Peruntukan Lahan Makro

Pembagian lahan secara makro tersebut diatas berdasarkan alias

potensi lahan dimasing-masing kawasan yaitu:

 Peruntukan lahan di segmen 1 adalah untuk: Permukiman, RTH,

Peribadatan, Perkantoran, Perdagangan dan Jasa.

55
 Peruntukan lahan di Segmen 2 adalah untuk: Permukiman, RTH,

Peribadatan, Perkantoran, Pendidikan, Kesehatan, Perdagangan dan Jasa.

 Peruntukan lahan di Segmen 3 adalah untuk: Permukiman, Pariwisata,

RTH, Peribadatan,, Perdagangan dan Jasa.

 Peruntukan lahan di segmen 4 adalah untuk: Permukiman, Pariwisata,

RTH, Perkantoran, Pendidikan, Perdagangan dan Jasa.

3. Konsep penataan Bangunan

Konsep penataan bangunan pada wilayah perencaan diarahkan

sebagai berikut: Pengembangan dengan sistem blok dilakukan bila ada

pihak yang membebaskan seluruh area yang dibatasi secara fisik oleh

Jalan atau saluran.

Bila dalam area yang akan dibebaskan terdapat bangunan yang

mempunyai nilai kesejarahan atau nilai arsitektural yang khas, maka

pengembangan blok harus diarahkan untuk mempertahankan eksistensi

bangunan tersebut.

Adapun ilustrasi konsep penataan bangunan pada kawasan

perencanaan dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

Gambar 3. 10. Kondisi Bangunan Awal dan Rencana Penataan Bangunan

56
Gambar 3. 11. Konsep Penataan Bangunan Tampak Atas

Dari perbandingan kedua gambar di atas dapat dilihat bahwa

konsep penataan bangunan pada pembangunan baru diarahkan dengan

sistem blok bila ada pihak yang membebaskan seluruh area yang dibatasi

secara fisik oleh Jalan atau saluran, sehingga blok-blok kecil yang

ada diganti dengan blok besar. Hal ini akan berpengaruh pada intensitas

bangunan dan kemunduran bangunan, sehingga bangunan baru diharapkan

dapat lebih teratur dan selaras dengan bangunan sekitarnya.

Sedangkan konsep penataan bangunan tampak depan dapat dilihat seperti

berikut:

Gambar 3.12. Konsep Penataan Bangunan

4. Konsep Pacade bangunan

Konsep fasade bangunan yang direncanakan di kawasan perencanaan

adalah bangunan dengan gaya arsitektur lokal. Hal ini didasarkan pada bangunan

dengan fungsi perdagangan jasa lebih banyak dibandingkan dengan bangunan

dengan fungsi – fungsi lainya. Desain yang modern menampilkan gaya yang lebih

baru, yang akan menghasilkan bentuk disain yang lebih segar dan berbeda dari

kebiasaan. Misalnya, modern kontemporer, semua menyajikan gaya kombinasi

57
dengan kesan kekinian dan untuk menciptakan gaya ini, tak harus dengan material

baru. Jenis material bangunan boleh sama, tapi dengan desain yang baru.

Bangunan yang terdapat di wilayah perencanaan terdiri dari bangunan lama dan

bangunan baru. Bangunan lama lebih condong pada bentukan sederhana

sedangkan baru lebih pada bangunan moderen. Pada perkembangan ke depan,

tentu bangunan – bangunan baru yang akan dihadirkan ingin menampilkan gaya

masa kini. Hal ini bisa kita jembatani dengan tetap menghadirkan gaya arsitektur

kontemporer dengan bentukan bangunan yang lebih condong ke arah modern.

Gambar 3.13 Konsep Tampilan Bangunan

5. Penerapan Arsitektur Vernakular pada Bangunan Wisata di Sentani

Penerapan Arsitektur Vernakular pada bangunan yang terdapat di kawasan

Wisata Sentani lebih dititikberatkan pada kajian vocal point yang merupakan titik

atau satu lokasi dari suatu kawasan atau area yang sangat strategis untuk

dijadikan sebagai poin of interest suatu kawasan. Lokasi-lokasi vocal

point biasa pada perempatan, pertigaan atau tikungan. Sedangkan pada

kawasan koridor kawasan perdagangan dan sekitar wisata kondisi jalan

cenderung linier, dan dikawasan tersebut terdapat tikungan yang bisa

dijadikan vocal point.


58
Gambar 3.14. Konsep Visual Lingkungan Wisata

Gambar 3.15. Konsep Visual Bangunan Tepi Danau

Gambar 3.16. Konsep Bangunnan Restauran di Kawasan Wisata

59
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

a. Kesimpulan

1. Arsitektur Vernacular di Kabupaten Jayapura Papua yang asli, telah hilang

sejak bangunan tradisional tersebut dianggap sebagai tempat berhala oleh para

pekabar injil dari Belnda pada tahun 1921 – 1926, sehingga bangunan Kariwari

yang ada saat ini di Danau Sentani maupun di kawasan Bandara Sentani

merupakan bentuk Kariwari perkirakan bentuknya sesuai dengan foto yang ada

di beberapa pustaka.

2. Arsitektur Vernakular Papua merupakan salah satu bentuk Arsitektur

Nusantara, sehingga perlu dipertahankan bentuknya sebagai wujud kekayaan

budaya Daerah Papua. Oleh karena itu upaya yang dilakukan oleh Pemerintah

Kabupaten Jayapura maupun pemerintah Provinsi Papua untuk menghidupkan

Arsitektur Kariwari sebagai Arsitektur Vernakular Papua perlu didukung dan

mendapat perhatian terutama oleh Lembaga Pendidikan seperti Universitas

Sains dan teknologi Jayapura yang memiliki Program studi Arsitektur. Perlu

studi-studi yang lebih komprehensif untuk menghidupkan dan membuat desain

Arsitektur Kariwari yang mendekati bentuk aslinya baik dari segi proporsi

bangunan maupun bentuk bangunannya.

3. Upaya yang dilakukan pada tahap ini adalah mengaplikasikan bentuk

Arsitektur Vernakular Papua ke dalam bentuk bangunan di kawasan Wisata

agar dapat menampilkan jati diri orang Papua alam khasasanah budaya bangsa,

sehingga wisatawan yang berkunjung ke Jayapura akan mengenal dan


60
memahami arsitektur Vernakular dan memehami esensi dari bentuknya dan

menikmati estettika bangunannya.

b. Saran

1. Perlu ada upaya yang lebih besar dari berbagai pihak terutama Pemerintah

Provinsi Papua dan Pemerintah daerah di Kabupaten Jayapura Untuk

melakukan identifikasi bentuk Arsitektur Vernakular Papua di Sentani

berdasarkan bentuk aslinya sehingga dapat dijadikan sebagai bahan

pemebelajaran untuk membuat bentuk duplikasi yang sesuai dengan esensi

wujud bangunan asli tersebut.

2. Perlu adanya kajian yang lebih mendalam dalam bentuk seminar atau bentuk

pembelajaran lainnya kepada mahasiswa agar dapat memahami arsitektur

vernacular Papua yang ada di Sentani sehingga dapat dijadikan sebagai dasar

dalam Perencanaaan Bangunan Post Modern untuk Tugas Akhir.

3. Bagi Dosen yang mengikuti Program S3 dapat memilih topik disertasi

Banguna Vernakular Papua yang ada di Sentani untuk melakukan ekplorasi

bentuk, makna dan desain bangunan yang menjadi Jati diri masyarakat Sentani

sehingga kekayaan budaya dalam bentuk Arsitektur Vernakular dapat di

wujudkan.

61
Daftar Pustaka

Altman, Irwin and Chemer, Martins, Culture and Environment, New York,
Cambridge University Press, 1984 reprinted 1989;

Ashadi 2018, Pengantar Antropologi Arsitektur. Arsitektur UMJ Press.

Bruner, Jerome dalam Shweder, A. Richard & Good, Byron (2014), Gertz &
Para Koleganya. Yogyakarta – Kanisius.

Creswell, J. W. 1998. Qualitatif Inquiry and Research Design. Sage


Publications, Inc: California.
Ihromi, T.O, 2006. Pokok-Pokok Antropologi Budaya, Jakarta, Yayasan Obor
Indonesia, Edisi Pertama1980, edisi ke dua belas 2006.
.Koentjaraningrat. 1993. Bunga Rampai Kebudayaan, Mentalitas dan
Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia.
Koentjaraningrat. 2005. Pengantar Antropologi, pokok-pokok etnografi II.
Jakarta: PT Asdi Mahasaya.
Machmud, 2006. Pola Permukiman Masyarakat Tradisional Ammatoa Kajang
di Sulawesi Selatan. Jurnal Teknik. XIII (3):178-186.
Mansoben, Johszua R. 1995. Sistem Politik Tradisional di Irian Jaya, LIPI-
RUL, Jakarta.
Mentayani, Ira & Ikaputra, (2012) Menggali Makna Arsitektur Vernakular:
Ranah, Unsur, dan Aspek-aspek Vernakularitas. Lanting Journal of
Architecture, Volume 1, Nomor 2, Agustus 2012, Halaman 68-82.
ISSN 2089-8916.
Mitchell, M. and Bevan A. 1992, Culture, Cash and Housing, Community
and Tradition, in Low-income Bulding, VSO/ Intermediate
Technology Publications, London.
Oliver, Paul. 2007. Dwellings: The Vernacular House Worldwide. England.
Phaidon Press.
Papanek, Victor. 1995. The Green Imperative, Ecology and Ethics in Design
and Architecture. Thames and Hudson. London.
Prijotomo, Josef, 2008. Pasang Surut Arsitektur Indonesia, Wastu Lanas
Grafika, Surabaya.
Rapoport, Amos. 1969. House Form and Culture: USA: Prentice Hall, Inc,
Engleewood Cliffs, N.J.
Salim, Agus. 2006. Teori & Paradigma Penelitian Sosial, Buku Sumber Untuk
Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Penerbit Tiara Wacana
62
Sasongko, I 2002. Transformai Struktur Ruang pada Permukiman Sasak,
Kasus: Permukiman Desa Payung. Jurnal ASPI 2 (I): 117-125.
Sumardjo, Jacob 2006, Estetika Paradoks, Bandung, Sunan Ambu Press.

Waterson, Roxana (1997), The Living House An Anthropology of Architecture


in South - East Asia. Singapure, Tuttle Publishing.

Wikantiyoso, Respati 1997. Konsep Pengembangan: Transformasi Pola Tata


Ruang Tradisional Studi Kasus : Permukiman Tradisional Jawa di
Yogyakarta-Indonesia.Science 37:25-33.

Samimi et al., 2011, Tourism and Economic Growth in Developing Countries:


P-VAR Approach, Midle East Journla Scientific Research, 10(1), 28-
32.

Neto, F. 2003, A new approach to sustainable tourism development: Moving


beyond environmental protection, Natural Resources Forum, A United
Nations Sustainable Journal. Volume 27, issue 3.

Lee & Chang, 2008. Tourism Development and Economic Growth: A Closer
Look at Panels, Tourist and Management Journal 29 (1):180-192.

Hillery et al., 2001. Tourist perception of environmental impact. Annals of


Tourism Research 28(4):853-867
Smeral, 2003. A structural view of tourism growth. Tourism Economics 9 (1) :
77-93.
Walpole & Goodwin, 2000; Economics of Tourism Taxation: Evidence from
Mauritius. Annals of Tourism Research 32(2):478-498.
Wickramasinghe & takano, 2009), Application of combined SWOT and
analytic hierarchy process (AHP) for tourism revival strategic
marketing planning. Vol.7 (The 8th International Converence of Asia
Society for Transfortation Studies, 2009.

Davenport & Davenport, 2006). The impact of tourism and personal leisure
transport on coastal environments: A review. Estuarine, Coastal and
Shelf Science. Volume 67, Issues 1–2, March 2006, Pages 280-292.

https://www.mainmain.id/r/4818/5-destinasi-wisata-yang-paling-sering-dikunjungi-
di-asia-tenggara.

https://wartawisata.id/en/2020/01/03/kunjungan-wisatawan-ke-raja-ampat-naik-
drastis-tahun-2019/.

63

Anda mungkin juga menyukai