Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN LATIHAN MEMBUAT PROPOSAL

PENGRAJIN CAP TIKUS DI DESA TOSURAYA KECAMATAN RATAHAN


KABUPATEN MINAHASA TENGGARA

Dosen pengampu :

Dra. Femmy Lumempouw, M.Hum.

Disusun oleh :

1. Yayu Melisa – 20091101022


2. Deniks Gery Antou - 20091101024

UNIVERSITAS SAM RATULANGI

FAKULTAS ILMU BUDAYA

SASTRA INDONESIA

MANADO

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan hidayah-
Nya telah memberikan kemudahan dan kelancaran dalam proses pembuatan laporan ini hingga bisa
terselesaikannya laporan ini. Laporan ini membahas hasil analisis yang telah dilakukan penulis
sesuai dengan judulnya yaitu “Laporan Hasil Observasi Pengrajin Cap Tikus di Desa Tosuraya
Kecamatan Ratahana Kabupaten Minahasa Tenggara”. Laporan ini disusun guna memenuhi tugas
dari dosen yang bersangkutan pada mata kulia Antropolinguistik.

Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, segala
bentuk kritik dan saran dari pembaca sangat membantu demi penyempurnaan laporan ini. Apabila
terdapat banyak kesalahan pada laporan ini, mohon dimaafkan.

Demikian yang dapat disampaikan. Akhir kata, semoga laporan hasil observasi ini dapat
bermanfaat.

Manado, 20 Oktober 2022

Penulis
DAFTAR ISI

JUDUL ………………………………………………………………………………......... i
KATA PENGANTAR............................................................................................................... ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang …………………………………………………….. .............…………. 1
B. Rumusan Masalah …………………………………………………. …………............. 2
C. Tujuan …………………………………………………………………............………. 2
D. Manfaat Observasi ………………………………………………………............……. 2
E. Metode …………………………………………………………………........……....... 2
BAB II HASIL OBSERVASI
A. Kegiatan Para Pengrajin Cap Tikus ….........………..……………………………….... 3
B. Kultur Petani Aren ......................................................................................................... 3
C. Hasil Penelitian …………………………………………...................................…....... 4
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ……………………………………………….....…………………….. .... 6
B. Dokumentasi ………………………………………………........…………………...... 7
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………...…………....... 8
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu amboo dengan keanekaragaman suku bangsa terbesar di dunia.
Terdapat setidaknya 400 kelompok etnis yang tersebar di lebih dari 13 ribu pulau. Setiap suku
bangsa memiliki identitas, politik, dan budaya yang berbeda-beda, seperti bahasa yang berbeda,
adat istiadat serta tradisi, kepercayaan, dan sebagainya. Corak yang berbeda-beda dan
keanekaragaman kebudayaan yang ada di Indonesia tercermin pada semboyan Negara Kesatuan
Republik Indonesia yaitu: “Bhineka Tunggal Ika” yang artinya berbeda-beda tetapi tetap satu.
Bukan hanya kaya akan kebudayaan tetapi Indonesia juga yang kaya akan sumberdaya alamnya
baik di pertanian, maupun hasil lautnya. Dari hasil sumberdaya alam yang melimpah di setiap
kebudayaan di Indonesia mempunyai hasil kebudayaan yang kompleks begitupun dengan
pengrajinnya. Hasil kerajinan yang dihasilkan itu biasanya berupa barang- barang kebudayaan
(artefak) seperti senjata-senjata perang, baju adat, juga benda kebudayaan lainnya. Bukan hanya
barang-barang serbaguna tersebut, ada juga yang memodifikasi sumber-sumber alam di sekitarnya
sebagai bahan makanan atau lauk-pauk sehingga menjadi sebuah benda hasil kebudayaan yang
dapat di konsumsi. Salah satunya adalah Cap Tikus minuman tradisonal khas Sulawesi Utara yang
sampai saat ini masih dikonsumsi.
Di Sulawesi Utara Cap Tikus merupakan minuman berakohol hasil karya tangan manusia yang
berbahan baku nira pohon enau yang disadap, pada awalnya Cap Tikus merupakan minuman lasim
diminum bagi para petani sebelum pergi berkebun, yang berfungsi utuk mengahangatkan badan
ketika dalam perjalanan, dan hanya ada di Sulawesi Utara. Seiring perkembangan jaman dan
penyebaran masyarakat Sulawesi Utara ke pelosok daerah yang ada di Indonesia Cap Tikus sudah
menjadi minuman yang dapat dikonsumsi sampai ke tanah Papua. Dengan ditujang dengan teknologi
Cap Tikus mempunyai peran penting bagi para Industri minuman berakhol yang ada di kota Manado
dengan menjadi bahan baku pembuatan minuman keras. Walaupun bermunculan minuman berakohol
lainya di Sulawesi Utara, akan tetapi tidak menurunkan eksistensi Cap Tikus dikalangan
masyarakat. Dengan menjamurnya warung-warung kecil menjual minuman Cap Tikus yang
merupakan minuman primadona bagi masyarakat Sulawesi Utara. Hal ini dapat dilihat dari
pengonsumsian Cap Tikus bagi masyarakat Sulawesi Utara di setiap kesempatan baik itu acara
pernikahan, ucapan syukur, kedukaan dan lain sebagainya. Pengrajin Cap Tikus yang ada di
Sulawesi Utara melihat peluang yang lumayan besar khususnya para pengrajin yang ada di desa
Tosuraya Kecamatan Ratahan Kabupaten Minahasa Tenggara, untuk dijadikan usaha dalam
memenuhi kebutuhan hidup mereka.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kebudayaan cap tikus bagi masyarakat setempat?
2. Bagaimana kultur petani aren dalam pembuatan cap tikus di Minahasa Tenggara?

C. Tujuan
1. Mengetahui kehidupan sosial budaya pengrajin cap tikus.
2. Mengetahui konsep kebudayaan dan karakteristik petani aren di Minahasa Tenggara.

D. Manfaat
Setelah melakukan observasi mengenai pengrajin cap tikus di Minahasa Tenggara, penulis dapat
mengetahui bagaimana konsep kebudayaan dan karakteristik petani aren di Minahasa Tenggara.

E. Metode
Metode yang digunakan dalam observasi adalah observasi langsung dengan kata lain
menemui langsung para petani aren di kabupaten Minahasa Tenggara.

BAB II
HASIL OBSERVASI
A. Kegiatan Para Pengrajin Cap Tikus

Kegiatan yang dilakukan pengrajin untuk menopang kehidupannya merupakan suatu


pilihan yang melibatkan proses-proses pengambilan keputusan dalam menghadapi dunianya,
bahkan dengan cara yang paling praktis dan mempunyai tujuan langsung. Manusia tentu akan
membuat pilihan, dan pilihan ini tergantung pada keadaan materi, kepentingannya dan amboo
nilai. Sehingga dapat terjadi pada suatu kawasan lingkungan yang sama dijumpai perbedaan-
perbedaan kegiatanmasyarakat.
Manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya harus melakukan aktivitas ekonomi yang
meliputi bidang yang berhubungan langsung dengan alam, seperti pertanian, perikanan,
pertambangan, pengrajin dan sebagainya. Upaya yang dicapai oleh masyarakat Desa
Tosuraya dalam mengembangkan usaha mengolah pohon aren/seho di desanya mendorong
terjadinya perubahan sitem perekonomian dan akan menyebabkan terjadinya perubahan-
perubahan pada hubungan atau kehidupan. Faktor lingkungan sebagai unsur eksternal secara
tidak langsung juga telah mempengaruhi aktivitas ekonomi yang telah memicu munculnya
pengembangan usaha dengan hadirnya pengumpul saguer dan Cap Tikus. Potensi alam berupa
pohon aren/seho merupakan salah satu usaha pemanfaatan lahan secara intensif. Lahan yang
dipakai penduduk Desa Tosuraya adalah lahan diwariskan secara turun temurun yang sudah
ditumbuhi pohon aren/seho sejak dulu dan sampai sekarang belum ada upaya untuk
membudidayakan dalam memperluas usaha mereka.

B. Kultur Petani Aren


Pada masyarakat yang sumber ekonomi utamanya berasal dari usaha tani aren, maka
tanaman aren secara tidak langsung telah mempengaruhi sistem dan kultur masyarakat
tersebut. Untuk masyarakat Tosuraya, pohon aren diberi penghargaan yang tinggi. Misalnya
salah satu tata nilai yang berbentuk nasehat yang umum dikenal masyarakat setempat
adalah ‘Tou temou tanu wen seho ang’ dengan makna bahwa setiap manusia harus menjalani
kehidupan sebagai pohon seho yang mampu memberi banyak manfaat kepada alam. Pada
kalangan ahli sosial, kultur diberiarti yang sangat luas yaitu : seluruh dari total pikiran,
karya dan hasil karya dari manusia yang tidak berakar dari nalurinya, dan hanya bisa
dicetuskan oleh manusia sesudah suatu proses belajar (Koentjaraningrat,1992). Jadi kultur
atau kebudayaan merupakan pandangan yang menyeluruh menyangkut pandangan hidup, sikap,
dan nilai dalam kehidupan.
Dengan kata lain, kebudayaan merupakan instrumen atau alat dalam kehidupan masyarakat,
di mana nilai-nilai yang terkandung dalam kebudayaan menjadi acuan sekaligus tujuan hidup.
Dalam bentuk batasan yang Lebih sederhana, menurut Koentjaraningrat (1992), kebudayaan
mempunyai tiga wujud, yaitu : (1)wujud kebudayaan sebagai suatu kompleksdari ide-ide,
gagasan, nilai-nilai, norma-norma peraturan, dan sebagainya, (2) wujud kebudayaan sebagai
suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat yang disebut
sebagai wujud sistem sosial atau wujud kelakuan kebudayaan, dan (3) wujud kebudayaan
sebagai benda-benda hasil karya manusia atau disebut dengan wujud fisik kebudayaan.

Dengan batasan di atas, maka membicarakan kultur masyarakat petani aren di Desa
Tosuraya pada hakekatnya adalah memaparkan bagaimana struktur masyarakat yang
terbangun. Baik dari sisi ekonomi dan sosial akibat pengusahaan aren, serta bagaimana sikap,
pengetahuan dan perilaku hidup keseharian masyarakat berkaitan dengan pengusahaan aren.
Artinya konteks kultur di sini dibatasi hanya pada berbagai komponen kultur yangt erkait
langsung dengan pengusahaan tanaman aren. Jika kebudayaan dipandang sebagai produk,
yaitu nilai-nilai dan norma-norma yang mantap, baku dan mandiri, maka diasumsikan bahwa
kultur petani aren sudah berhenti sampai saat ini, dan hanya tinggal meneruskan saja oleh
generasi berikutnya. Namun jika kebudayaan dipandang sebagai sebuah proses berarti
bentuk dan isi kebudayaan mereka masih sedang dibentuk, dan akan terus dibentuk lagi.
Berbagai bentuk tata nilai dan norma positif yang saat ini diterapkan timbul dari pola
pengusahaan aren, diantaranya adalah sikap santun dan menyayangi alam dengan segala
pemberiannya.
Pada sebagian besar masyarakat Desa Tosuraya, aren (seho) merupakan sumber ekonomi.
Kemampuan membuat Cap Tikus telah diturunkan dari generasi ke generasi, namun dengan
tingkat teknologi yang hampir tidak berkembang. Sebagai sumber ekonomi, seho telah
menyumbangkan beberapa komponen dari seluruh sistem kebudayaan masyarakatnya.

A. Hasil Penelitian
Walaupun penulis biasa melihat proses pembuatan Cap Tikus namun untuk kepentingan
penulisan laporan ini terjun langsung mewawancarai informan kunci untuk lebih detailnya.
Perjalanan dari Kota Manado menuju Kabupaten Minahasa Tenggara menggunakan kendaraan
roda dua memakan waktu sekitar 2 jam. Sesampainya di sana kami menjumpai salah seorang di
kelurahan Tosuraya bernama Jhonly R. Rondondewoe, S.Pd dan berbincang mengenai budaya
yang masih melekat sampai saat ini di desa tersebut. Bapak Jhonly menyebutkan musik bambu,
tarian katrili, dan pengrajin cap tikus. Dari beberapa yang telah disebutkan, maka kami
tertarik mengambil kebudayaan pengrajin cap tikus. Tempat pembuatan Cap Tikus itu sedikit
jauh dari perkampungan. Butuh beberapa menit berjalan kaki melewati hutan untuk sampai di
kebun salah seorang pengrajin cap tikus. Kami berjalan menuju kebun yang ditumbuhi pohon
enau atau lebih dikenal dengan nama pohon seho, orang Minahasa menyebutnya. Setibanya pada
tujuan tampak pipa-pipa dari bambu disusun mulai menanjak kemudian menurun dalam bentuk
seperti persegi panjang. Bila digabungkan panjang bambu tersebut semuanya lebih dari 50
meter. Pipa-pipa bambu digunakan untuk menyuling saguer atau air nira yang diambil dari
pohon seho. Di bangunan berukuran 2x3 tempat pembuatan Cap Tikus itu, sudah ada dua orang
pria. Pria yang kurus tinggi, wajahnya tirus dan rambut potongan pendek, namanya Om Hentje
dan Om Simon. Om Simon memasukkan kayu bakar ke tungku yang terbuat dari tanah. Dia
mengatur kayu-kayu bakar tersebut agar api dalam tungku tidak mati. Di atas tungku
terdapat drum yang warnanya sudah hitam pekat. Tepat di tengah-tengah drum yang tertutup
rapat tersebut terdapat cerobong bambu. Cerobong tersebut merupakan tempat mengalirnya
uap dari saguer yang dipanaskan. Memasak saguer untuk mendapatkan uapnya merupakan satu
tahapan dalam membuat Cap Tikus. Pembuatan Cap Tikus mulai dari pertama kali menyadap
saguer sampai jadi Cap Tikus membutuhkan waktu berhari-hari, tapi itu amb dilakukan sambil
melakukan pekerjaan lain. Dia mencontohkan untuk menyadap/batifar dilakukan kapan pun
tidak memerlukan waktu khusus. Tidak sama dengan membuat gula aren yang harus pagi atau
sore hari ketika menyadapnya. Selesai disadap, saguer di kumpulkan dalam bambu, demikian Om
Hentje dan rekannya menyebut kompan. Galon tersebut disimpan di atas tanah. Saguer
tersebut mengalir ke bambu melalui bantuan bambu yang dipasang dari batang seho yang
disadap karena dengan bambu itu lebih praktis. Jika galonnya di simpan di atas seho, nantinya
berat yang akan menurunkannya.
Menentukan batang seho yang disadap/ditifar tidak sembarangan. Batang tersebut biasanya
dipukul-pukul lebih dulu. Sebagai petani mereka dapat merasakan mana yang sudah disadap,
mana yang belum. Ketika saguer sudah terkumpul, kemudian didiamkan sedikitnya dalam satu
hari atau dua hari dalam yang tertutup sehingga kadar asamnya cukup baik untuk pembuatan
Cap Tikus. Baru kemudian dipanaskan dalam drum. Saguer sebenarnya masih bertahan sampai
seminggu, kadar keasaman atau cuka’nya akan turun sehingga kadar alkoholnya pun turun.
Dalam seminggu itu saguer harus disimpan dalam yang tertutup rapat, agar cuka’nya tidak
keluar,” jelas Om Simon. Setelah dipanaskan, uap dari saguer tersebut mengalir ke cerobong
bambu kemudian dialirkan dalam pipa- pipa yang terbuat dari bambu.
Bambu-bambu tersebut dipasang di atas tanah. Bambu pertama dipasang mengarah menanjak.
Bambu kedua, ketiga, keempat dan kelima dipasang menurun. Ujung kelima mengarah kembali ke
tempat tungku, dan disanalah keluar uap saguer. Dan, itulah yang disebut Cap Tikus.
“Sebenarnya memasuki bambu kedua, uap tersebut telah menjadi cair kembali,” ujar Om
Hentje.
Untuk mendapatkan Cap Tikus, pemanasan saguer bisa berlangsung dari 1,5 jam sampai 2 jam.
“Jika tungkunya baru dipakai, biasanya lebih lama. Tapi untuk, pemanasan kedua, ketiga dan
seterusnya bisa lebih pendek lagi,” jelas Om Hentje. Dalam sehari, tungku tersebut bisa
dipakai sampai tujuh kali pemanasan saguer. Tungku tersebut dipakai oleh beberapa pembuat
Cap Tikus.“ Tempat ini bisa dipakai siapa saja. Jadi, siapa yang duluan, boleh menggunakannya
terlebih dulu,” jelas Om Hentje.
Satu galon saguer atau kira-kira 25 liter, bisa menghasilkan 15 botol Cap Tikus di kemasan
ukuran 1,5 liter dan sekitar 19-20 botol dalam kemasan berukuran 500ml. Dan satu botol Cap
Tikus tersebut dijual ke penampung sekitar Rp 9-10ribu/liter. Minuman ini merupakan
minuman khas Minahasa bahkan beberapa daerah di Minahasa minuman yang mempunyai kadar
alkohol tinggi ini disajikan dalam pesta pernikahan, duka dan acara syukuran lainya” kata Om
Simon. Om Simon mengaku sudah belajar membuat Cap Tikus sejak kecil.“Ya, seumuran anak
saya itu, saya sudah dibawa orangtua saya ke kebun,” ujarnya sambil menunjuk anaknya yang
sedang asik menghitung galon-galon yang entah berisi saguer atau Cap Tikus.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Petani Aren terlebih khusus pengrajin Cap Tikus Desa Tosuraya sangat berharap pada
hasil dari pohon aren/seho sebagai penopang ekonomi rumah tangga daripada hasil
hortikultural hanya sebagai sampingan dalam kebutuhan sehari-hari.
Pengetahuan Pengrajin Cap Tikus Desa Tosuraya mengenai aren seperti karakteristik
khas, pemanfaatan serta pengolahannya sangat mendalam, di mana mereka dapat
mengetahui berbagai pemanfaatan dan pengolahan aren/seho dengan baik meskipun
menggunakan peralatan yang tradisional dan sederhana serta tetap mempertahankan
pengetahuan lokal yang sifatnya turun-temurun.
Upaya pengelolaan aren/seho di Desa Lobu Atas belum dilakukan secara maksimal
begitupun dengan upaya pembudidayaannya. Hal ini disebabkan masyarakat Desa Tosuraya
menganggap bahwa upaya budidaya aren belum perlu dilakukan, mengingat masih saja
terdapat pohon aren yang tumbuh secara alami meskipun dalam jumlah sedikit.

B. Dokumentasi
]

Anda mungkin juga menyukai