Anda di halaman 1dari 2

Prosa Indonesia

“Sejarah Perkembangan Prosa


Indonesia”

Kelompok IV :
• EUGGINE CLARISSA SUSANTO
20091101019
• NURBAITI IZLAMIYAH 20091101020
• PUTRI ENGGERESIİ 20091101021
• YAYU MELISA 20091101022
• STEFLER YOSUA SANGKOY 20091101023
• DENIKS GERY ANTOU 20091101024
• JUWANDY ARDIKA LAPIAN 20091101025
• REGINA SASUE 20091101026
• TIPENUS WENDA 20091101027
Sejarah Perkembangan Prosaa Indonesia

Perkembangan prosa sejak awal abad ke-20, muncul prosa dengan nama
roman (kini: novel) dan cerpen. Novel pada waktu itu sudah jauh lebih maju
daripada hikayat. Demikian juga cerpen. Isinya tidak lagi melukiskan alam
khayali di negara antah berantah, tetapi kehidupan yang lebih realistis. Pada
awalnya, warna kedaerahan masih kuat. Tema prosa yang diusung masih
masalah pertentangan kaum tua-muda (adat) terutama yang berkaitan dengan
kawin. Azab dan Sengsara (1918) karangan Merari Siregar, dan Sitti Nurbaya
(1922) karangan Marah Rusli terbitan Balai Poestaka adalah contohnya.
Sifatnya didaktis (mendidik).
Pelan-pelan warna dan sifat dari prosa itu ditinggalkan. Lebih-lebih setelah
majalah Poedjangga Baroe (edisi pertama, 1933 terbit). Melalui majalah ini
cendekiawan, sastrawan, budayawan melontarkan pikiran dan gagasannya
mengenai bahasa, sastra, budaya, pendidikan, manusia Indonesia, dan lain-
lain. Layar Terkembang (1936) karangan Sutan Takdir Alisjahbana, melontarkan
idealismenya mengenai Indonesia modern. Belenggu (1940) karangan Armijn
Pane tidak lagi didaktis, tetapi psikologis. Di dalam Lembah Kehidupan (1938)
kumpulan cerpen Hamka menyajikan masalah sehari-hari secara realistis.
Karena pergaulan bangsa Indonesia meluas ke seluruh dunia, pada periode
1940-an tema bukan lagi idealisme, melainkan humanisme universal. Atheis
(1948) karangan Achdiat Kartamihardja, Tak Ada Esok (1950) dan Jalan Tak Ada
Ujung (1952) keduanya karangan Mochtar Lubis adalah contohnya. Cerpen
tidak hanya relaistis tetapi juga ada yang bersifat simbolik, bahkan sinis.
Tahun 1960-an sastrawan terkotak-kotak dalam bingkai politik. Walaupun
begitu, sebagian enggan masuk kotak politik. Kelompok ini ingin menempatkan
seni dan sastra pada tempatnya, menegakkan kebenaran dan keadilan, serta
menegakkan UUD 45 yang doyong. Mereka melakukan perlawanan terhadap
tirani. Pernyataan mereka dikenal dengan sebutan Manifes Kebudayaan. Oleh
H.B Jassin kelompok merekalah yang disebut Angkatan 66.
Prosa periode-1970 kemari berkembang bahasan yang abstrak dan
filosofis. Khotbah di Atas Bukit (Kuntowijoyo), Harimau! Harimau! (Mochtar
Lubis), dan Burung-Burung Manyar (Y.B. Mangunwijaya) adalah contohnya.
Pada periode ini bermunculan novel populer karya pengarang wanita.
Termasuk di dalamnya Saman karya Ayu Utami.

Anda mungkin juga menyukai