Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN MINI RISET

MK. TEORI
ANTROPOLOGI MODERN
DAN POSTMODERN

SKOR NILAI:

“EKSISTENSI ADAT BUDAYA BATAK DALIHAN NA TOLU PADA


MASYARAKAT BATAK DI DESA RIANIATE KABUPATEN SAMOSIR
PANGURURAN”

Disusun Oleh :
Kelompok 7

 NIA TESALONIKA BARUS (3171122011)


 RENI SELFIA SIHOMBING (3171122016)
 MEGAWATY SILITONGA (3173322040)
 SULISTIA RACHMAH (3172122020)

Dosen Pengampu :
Dr. ROSRAMADHANA, M.Si

C REGULER 2017

PRODI PENDIDIKAN ANTROPOLOGI


FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
MEI 2019
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia yang dilimpahkan-Nya kepada penulis. Atas karunia-Nya
penulis dapat menyelesaikan tugas laporan hasil miniriset.

Adapun yang menjadi judul tugas kami adalah “Eksistensi Adat Budaya Batak Dalihan
Na Tolu Pada Masyarakat Batak Di Desa Rianiate Kabupaten Samosir Pangururan”.
Tujuan penulis menulis laporan ini yang utama untuk memenuhi salah satu tugas KKNI dari
dosen pembimbing yang bersangkutan dengan mata kuliah “ Teori Antropologi Modern dan
Postmodern”.

Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal. Terlepas dari semua itu, kami
menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata
bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari
pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.

Harapan kami agar makalah ini dapat bermanfaat untuk para mahasiswa khususnya
mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial UNIMED. Yang suatu saat melakukan penelitian yang sama
demi kemudahan dalam mengerjakan tugas untuk dijadikan referensi.

Segala kritik dan saran yang membangun sangat kami apresiasi guna meningkatkan ilmu
pengetahuan dalam menyelesaikan tugas lainnya. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.

Medan, 05 Mei 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................................... i


DAFTAR ISI..................................................................................Error! Bookmark not defined.
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ...................................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................................. 2
1.3 Tujuan Penelitian................................................................................................................... 2
1.4 Manfaat Penelitian................................................................................................................. 3
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORITIS ...................................................... 4
2.1 Penelitian Terdahulu ............................................................................................................. 4
2.2 Kerangka Teori ...................................................................................................................... 5
2.3 Kerangka Konsep .................................................................................................................. 6
BAB III METODE PENELITIAN ................................................................................................. 9
3.1 Jenis dan Pendekatan Penelitian ............................................................................................ 9
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian................................................................................................. 9
3.3 Subyek Penelitian .................................................................................................................. 9
3.4 Teknik Pengumpulan Data .................................................................................................. 10
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................................... 11
4.1 Keberadaan Dalihan Na Tolu di Desa Rianiate Kabupaten Samosir Pangururan ............... 11
4.2 Sistem Dalihan Na Tolu di Desa Rianiate Kabupaten Samosir Pangururan ....................... 13
BAB V PENUTUP ....................................................................................................................... 17
5.1 Kesimpulan.......................................................................................................................... 17
5.2 Saran .................................................................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 18
LAMPIRAN .................................................................................................................................. 19

ii
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia selain memiliki wilayah yang luas dan penduduk yang sangat banyak, juga
mempunyai puluhan bahkan ratusan adat budaya. Dari adat budaya Batak, adat budaya Jawa,
adat budaya Bugis, adat budaya Sasak dan masih banyak yang lainnya. Salah satu diantara adat
budaya Indonesia yang memiliki banyak kekhasan adalah adat budaya Batak Sumatera Utara.
Kekhasan itu bisa dilihat dari upacara perkawinan, sistem kekerabatan, cara mereka
bersosialisasi dengan masyarakat suku lain serta falsafah hidup mereka.

Masyarakat Batak memiliki falsafah hidup yang selalu dilaksanakan dalam setiap aktivitas
kemasyarakatan, seperti dalam aktivitas perkawinan, upacara kematian, upacara menempati
rumah yang baru dan sebagainya, yang sangat menarik untuk dikaji terutama bagi masyarakat di
luar etnis Batak. Mengenal kebiasaan adat suku-suku lain dan memahami dengan benar makna
serta tujuannya, dapat menumbuhkan rasa toleransi dan simpati terhadap kebudayaan suku-suku
lain tersebut. Hal ini sangat bermanfaat jika terjadi perkawinan antar suku, yang pada saat ini
banyak terjadi di tengah-tengah masyarakat kita.

Setiap suku bangsa memiliki falsafah atau pedoman hidup yang berbeda satu dengan yang
lain. Begitu pula dengan masyarakat suku Batak, meskipun mereka berada jauh dari tempat
mereka berasal mereka akan tetap menjunjung tinggi falsafah hidup mereka. Falsafah hidup
masyarakat Batak yang paling tinggi adalah falsafah Dalihan Na Tolu yang disebut juga
”Tungku nan Tiga” yang selanjutnya akan disingkat dengan DNT adalah suatu ungkapan yang
menyatakan kesatuan hubungan kekeluargaan pada suku Batak. Di dalam DNT, terdapat tiga
unsur hubungan kekeluargaan. Ketiga unsur hubungan kekeluargaan itu adalah Dongan Sabutuha
(teman semarga), Hula-hula (keluarga dari pihak Istri), dan Boru (keluarga dari pihak menantu
laki-laki kita) (Sihombing, T.M., 1986: 71).

1
Dalihan Na Tolu berfungsi menentukan tentang kedudukan, hak dan kewajiban seseorang
atau kelompok orang atau mengatur dan mengendalikan tingkah laku seseorang atau kelompok
dalam kehidupan adat bermasyarakat. Selain itu juga berfungsi sebagai dasar dalam
bermusyawarah dan mufakat masyarakat Batak (Marbun dan Hutapea, 1987: 37).

Seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan di berbagai bidang mulai dari
pengetahuan hingga teknologi, maka adat budaya akan tergeser jika kita tidak merawat dan
melestarikannya. Sama halnya dengan adat budaya lain maka adat budaya Batak pun perlu
dirawat dan dilestarikan agar anak cucu kita tetap dapat menikmati. Apa lagi bagi masyarakat
Batak yang sangat memegang teguh falsafah hidup mereka yaitu Dalihan Na Tolu. Bagi
masyarakat Batak menjaga eksistensi dari adat budaya Dalihan Na Tolu dalam berbagai aktivitas
yang mereka lakukan adalah suatu hal yang wajib. Karena bagi masyarakat Batak Dalihan Na
Tolu adalah falsafah hidup yang akan tetap ada sampai kapanpun.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah penulis adalah sebagai berikut:

a) Bagaimana keberadaan Dalihan Na Tolu di Desa Rianiate Kabupaten Samosir


Pangururan?
b) Bagaimana sistem Dalihan Na Tolu di Desa Rianiate Kabupaten Samosir Pangururan?

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan yang hendak dicapai penulis adalah sebagai berikut:

a) Untuk mengetahui keberadaan Dalihan Na Tolu di Desa Rianiate Kabupaten Samosir


Pangururan.
b) Untuk mengetahui sistem Dalihan Na Tolu di Desa Rianiate Kabupaten Samosir
Pangururan.

2
1.4 Manfaat Penelitian
Secara teoritis, manfaat penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan bahan bagi
penelitian lanjutan agar dapat memperluas pengetahuan tentang eksistensi adat budaya Dalihan
Na Tolu pada masyarakat Batak.

Secara praktis, manfaat penelitian ini adalah:

a) Bagi peneliti, hasil penelitian ini sebagai tambahan pengetahuan tentang eksistensi adat
budaya Dalihan Na Tolu pada masyarakat Batak.
b) Bagi masyarakat Batak, penelitian ini diharapkan mampu memberikan dorongan kepada
masyarakat Batak agar dapat tetap menjaga adat budaya yang dimiliki, khususnya adat
budaya Dalihan Na Tolu.
c) Bagi masyarakat umum, dapat membuka wacana bagi masyarakat luas tentang adat
budaya Batak khususnya Dalihan Na Tolu.

3
BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORITIS


2.1 Penelitian Terdahulu
Dalam jurnal yang berjudul Mengenal Budaya Batak Toba Melalui Falsafah “Dalihan Na
Tolu”(Perspektif Kohesi dan Kerukunan) yang ditulis oleh Adison Adrian Sihombing yang
berisi, Dalihan Natolu dipahami sebagai identitas dan pedoman hidup yang mengatur sistem
kekerabatan serta menjadi faktor penentu dalam adat budaya Batak. Tulisan ini memiliki dua
tujuan yaitu: mencari dan menemukan landasan filosofis Dalihan Natolu; dan menampilkan
bagaimana “das sollen” dan “das sein” Dalihan Natolu di zaman “now”. Metode penelitian yang
digunakan adalah kualitatif deskriptif-interpretatif dalam perspektif filsafat fenomenologi dan
penelitian kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Dalihan Natolu merupakan
perwujudan hakikat hidup manusia itu sendiri dan merupakan hasil pencarian makna hidup suku
Batak Toba. Dalihan Natolu merupakan perwujudan dari hakikat Debata Natolu (Allah yang
tiga). Dia menjadi tiang penyangga dan penjamin menuju kehidupan yang harmonis.

Namun demikian telah terjadi pergeseran, penyimpangan nilai serta perubahan cara
pandang akan posisi kedudukan ketiga golongan fungsional yang ada dalam Dalihan Natolu,
yaitu Hulahula, Dongan Sabutuha, dan Boru. Berdasarkan narasi nilai-nilai budaya dan
pemikiran tentang falsafah hidup yang telah dijelaskan sebelumnya terhadap Dalihan Natolu
dapat dikatakan bahwa istilah tersebut merupakan jati diri dan kepribadian orang Batak Toba.
Warisan tradisi leluhur tersebut tetap dapat berdiri kokoh sampai sekarang karena diletakkan
pada pondasi (dasar) yang kuat. Bagaikan sebuah bangunan hanya akan berdiri kokoh dan kuat
jika dia mempunyai pondasi yang kuat pula. Dalihan Natolu menjadi kokoh dan kuat karena dia
mempunyai landasan teologis dan filosofis. Landasan teologis Dalihan Natolu adalah Debata
Mulajadi Nabolon sebagai sumber dan tujuan hidup manusia. Dialah pencipta, pelindung,
penyelenggara seluruh kehidupan manusia. Hidup yang harmoni, hidup yang bermakna, hidup
yang bahagia hanya dapat terwujud bila manusia Batak Toba hidup ‘di dalam’ dan bersama
Debata Mulajadi Nabolon. Sementara itu landasan filosofisnya merujuk langsung pada kodrat
manusia sebagaimana Aritoteles filosof besar zaman Yunani kuno telah mengajarkan bahwa
manusia pada hakekatnya adalah makhluk sosial. Jadi dari kodratnya setiap manusia harus hidup

4
bersama dengan orang lain: hula-hula,dongan sabutuha, boru, tetangga, teman dan sahabat.
Hanya dengan cara itu dia mampu meraih kebahagiaan dalam hidupnya. Eksistensi Dalihan
Natolu akan tetap ada selama perkawinan antara manusia itu ada, dan dia bernilai universal
karena perkawinan itu tidak terbatas hanya pada sesama masyarakat Batak Toba saja.
Sayangnya, kesadaran akan adanya pergeseran dan kekaburan makna Dalihan Natolu belum
begitu kuat dalam masyarakat Batak Toba sehingga generasi muda milenial banyak yang tidak
paham. Hal ini tampak dari kurang adanya gerakan-gerakan diskursus yang massif sebagai
pembelajaran bersama akan penggalian nilai-nilai dan makna kearifan yang terkandung di
dalamnya. Pergeseran tersebut sebagai akibat dari gempuran globalisasi dan modernisasi.

Akhirnya falsafah Dalihan Natolu hendak menegaskan bahwa manusia itu adalah sebuah
entitas yang relasional. Maksudnya adalah manusia sebagai makhluk yang tak mungkin tidak
menjalin sebuah relasi dengan dunia hidupnya. Jadi relasionalitas bagi manusia adalah sebuah
keniscayaan. Relasionalitas adalah realitas yang tak terelakkan. Hanya dengan menjalin relasi
yang harmoni dengan Debata Mulajadi Nabolon, Hula-hula, Dongan sabutuha, Boru dan
Sahabat, manusia dapat memperoleh kehidupan yang bahagia di dunia ini.

2.2 Kerangka Teori


2.2.1 Sistem Sosial Menurut Talcot Parsons

a) Menurut Talcot Parson, Sistem adalah interdependensi antar bagian, komponen dan
proses yang mengatur hubungan-hubungan tersebut.
b) Interdepensi berarti tanpa 1 bagian atau komponen maka akan mengalami guncangan.
Suatu sistem akan terintegrasi ke suatu equilibrium.
c) Teori Sibenertika Parson: sistem sosial merupakan suatu sinergi antara berbagai sub
sistem sosial yang saling mengalami ketergantungan dan keterkaitan.
d) Adanya hubungan yang saling keterkaitan, interaksi dan saling ketergantungan.

2.2.2 Syarat Fungsional Agar Sistem Sosial Bertahan Menurut Talcott:

a) Adaptation (adaptasi)
b) Goal attainment (pencapaian tujuan)
c) Integration (integrasi)

5
d) Latent pattern maintenance (pemeliharaan polalatent)

2.2.3 Asumsi Dasar Teori Struktural Fungsional Talcot Parson

a) Masyarakat adalah suatu sistem dari bagian-bagian yang saling berhubungan.


b) Hubungan dalam masyarakat bersifat ganda dan timbal balik (saling mempengaruhi).
c) Secara fundamental, sistem sosial cenderung bergerak kearah equilibrium dan bersifat
dinamis.
d) Disfungsi/ketegangan sosial atau penyimpangan pada akhirnya akan teratasi dengan
sendirinya melalui penyesuaian dan proses institusionalisasi.

2.3 Kerangka Konsep


Sistem adalah istilah yang artinya menggabungkan, untuk mendirikan, untuk menempatkan
bersama. Sistem adalah kumpulan elemen berhubungan yang menjadi kesatuan atau kebulatan
yang kompleks. Sistem merupakan jarintan kerja dari prosedur-prosedur yang saling
berhubungan, untuk menjalankan fungsi masing-masing untuk menghasilkan atau menyelesaikan
sesuatu yang menjadi sasaran bersama. Sosial menurut Lena Dominelli adalah bagian yang tidak
utuh dari sebuah hubungan manusia sehingga membutuhkan pemakluman atas hal-hal yang
bersifat rapuh didalamnya.

Edward B. Tylor berpendapat bahwa kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks, yang
di dalamnya termuat kepercayaan, pengetahuan, kesenian, moral, adat istiadat, hukum, dan
kemampuan-kemampuan lain yang diperoleh seseorang sebagai bagian dari masyarakat.
Perubahan sosial budaya bisa terjadi apabila satu kebudayaan melakukan kontak atau terjadi
hubungan dengan kebudayaan asing. Perubahan sosial budaya merupakan sebuah gejala
berubahnya struktur sosial dan juga pola budaya di dalam sebuah masyarakat.

Unsur Budaya menurut Bronislaw Malinowski

a) Sistem norma sosial yang memberikan kemungkinan kepada masyarakat untuk


bekerjasama dan menyesuaikan diri
b) Organisasi ekonomi
c) Alat atau lembaga pendidikan (keluarga)

6
d) Organisasi politik

Ciri Sistem Sosial adalah terbuka atau menerima unsur-unsur yang datang dari luar. Hal ini
menjadikan terjadinya jalinan antar unsur-unsur dan pertukaran sistem sosial yang berasal dari
luar(eksternal).

Secara harafiah Dalihan Natolu adalah tiga tiang tungku.

Kata dalihan berasal dari kata dalik yang berarti dais (bersentuhan). Ketiga tungku dalihan
adalah simbol dari Hula-hula, Dongan Sabutuha dan Boru. Sedangkan masyarakat Toba adalah
simbol periuk yang diletakkan di atas dalihan. Orang Batak Toba percaya bahwa alam semesta
diciptakan oleh Mulajadi Na Bolon (Sang Asal Mula yang Mahabesar). Menurut Anicetus
Sinaga Mulajadi Na Bolon mengatasi waktu, tidak mempunyai awal dan akhir, berasal dari
keabadian dan bersifat abadi. Ia hadir dalam alam semesta yang terdiri dari tiga bagian, yakni
Banua Ginjang (dunia atas), Banua Tonga (dunia tengah), dan Banua Toru (dunia bawah). Banua
Ginjang adalah tempat tinggal Mulajadi Na Bolon.

Dari dunia inilah (dunia atas) segala sesuatu yang ada di bumi diciptakan; matahari, bulan,
bintang, tanah dan manusia. Dunia ini juga tempat tinggal roh para leluhur, roh-roh orang yang
belum lahir dan yang sudah meninggal. Bagian dunia yang kedua adalah Banua Tonga-tempat
tinggal manusia yang masih hidup, yang ketiga adalah Banua Toru-tempat orang-orang yang
telah meninggal, tapi hanya jasadnya saja, sedangkan jiwanya kembali ke Banua Ginjang.
Menarik untuk disimak bahwa dalam pandangan orang Batak Toba meski dunia terdiri dari tiga
bagian, ketiganya dialami sebagai satu kesatuan. Masing-masing lapisan dunia memiliki fungsi
kehidupan tertentu, namun memiliki satu tujuan yakni menciptakan harmoni.

7
2.4 Kerangka Berpikir

DALIHAN NA TOLU

Dilaksanakan Dienkulturasikan

SISTEM SOSIAL MASYARAKAT DI DESA


RIANIATE KABUPATEN SAMOSIR

8
BAB III

METODE PENELITIAN
3.1 Jenis dan Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif melalui pendekatan
deskriptif. Deskriptif yaitu menggambarkan, menelaah dan memaparkan hasil-hasil data yang
dikumpulkan. Sedangkan analisis kualitatif yaitu merupakan kalimat-kalimat atau kata-kata yang
diambil langsung dari informan.

Menurut Bogdan dan Taylor (Moleong, 2000 : 3) metode penelitian kualitatif sebagai
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata tertulis atau lisan dari orang-
orang dan perilaku yang dapat diamati. Dengan pendekatan deskriptif kualitatif yang digunakan
pada penelitian ini, penulis dapat memperoleh informasi dari informan mengenai permasalahan
yang sudah dirumuskan.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di Desa Rianiate Kabupaten Samosir, Sumatera Utara. Dimana
Desa tempat penelitian ini merupakan salah satu tempat yang cukup mudah untuk dijangkau
oleh peneliti didaerah Samosir. Penelitian ini dilakukan hanya satu kali, yaitu dilakukan pada
hari Sabtu, 13 April 2019 pukul 09.00 WIB sampai selesai.

3.3 Subyek Penelitian


Pemilihan subjek dalam penelitian ini dilakukan secara purposif, Bungin (2011: 107)
menyatakan bahwa penentuan informan secara purposif adalah salah satu strategi menentukan
informan yang paling umum dalam penelitian kualitatif, yaitu menentukan kelompok peserta
yang menjadi informan sesuai dengan kriteria terpilih yang relevan dengan masalah penelitian
tertentu.

Pada penelitian kualitatif responden atau subjek penelitian disebut dengan istilah informan,
yaitu orang yang memberi informasi tentang data yang diinginkan peneliti berkaitan dengan
penelitian yang sedang dilaksanakan. Menurut Bungin (2001:62) bahwa informan adalah orang
yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar belakang

9
penelitian berdasarkan pengetahuan dan kemampuan. Dalam penelitian ini peneliti memilih
informan yang sudah lama bertempat tinggal atau menetap dan menjadi Ketua Adat atau penetua
di Desa Rianiate tersebut.

3.4 Teknik Pengumpulan Data


3.4.1 wawancara

Wawancara merupakan suatu teknik pengumpulan data yang dilakukan secara terstruktur
maupun tidak terstruktur dan dapat dilakukan melalui tatap muka maupun dengan menggunakan
jaringan telepon (Sugiyono).

Wawancara digunakan oleh peneliti untuk mendapatkan informasi (data) dari informan
dengan cara langsung bertatap muka (face to face). Dalam penelitian penulis melakukan
pengumpulan data dengan menggunakan teknik wawancara tidak terstruktur. Adapun yang
menjadi informan dalam penelitian yaitu Bapak A.Simbolon yang berumur 61 Tahun.

3.4.2 Dokumentasi

Dokumentasi adalah pengumpulan data dengan melakukan cara pengambilan rekaman


suara, video dan gambar yang mendukung dari data primer. Alat bantu yang penulis gunakan
dalam penelitian ini yaitu menggunakan handphone untuk mengambil gambar(foto),
pengambilan rekaman suara dan mengambil video.

Pengambilan gambar atau foto yaitu berguna untuk sebagai bukti bahwa penulis telah
melakukan penelitian terhadap informan. Menggunakan rekaman dan video bertujuan agar
menjadi bukti yang akurat dan sebagai bukti bahwa penulis mendapatkan informasi yang nyata
tanpa adanya rekaya dalam penelitian.

10
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 Keberadaan Dalihan Na Tolu di Desa Rianiate Kabupaten Samosir Pangururan
Dalihan Na Tolu adalah tungku masak berkaki tiga. Dimana tungku masak berkaki tiga
tersebut diibaratkan sebagai simbol dari tatanan sosial kemasyarakatan orang batak. Ketiga kaki
itu sama tinggi dan sama besar supaya ada keseimbangan dan menunjukkan bahwa adanya ketiga
unsur Dalihan Na Tolu. Dalihan Na Tolu merupakan sistem kekerabatan orang batak yang
menempatkan posisi seseorang secara pasti sejak dilahirkan hingga meninggal dalam tiga posisi
yang disebut Dalihan Na Tolu. Dalihan Na Tolu mengandung arti yang sangat penting bagi
kekerabatan adat orang batak. Seperti yang dijelaskan oleh informan dalam penelitian bahwa
istilah Dalihan Na Tolu itu terbagi atas tiga, yaitu:

a) Hula-Hula (Tulang)
b) Dongan Tubu (Semarga)
c) Marboru (Anak Perempuan)

Istilah dalam Dalihan Na Tolu ini sudah melekat pada diri setiap orang-orang batak. Yang
mana setiap orang batak pada suatu waktu akan berposisi sebagai salah satu di antara Hula-Hula
atau berposisi sebagai Boru dan atau berposisi sebagai Dongan Tubu. Hal itu tergantung sebagai
apa posisinya dalam adat pada waktu sebuah pesta adat yang sedang diikutinya.

Sistem Dalihan Na Tolu ini sudah ada sejak dari zaman dahulu, sistem kekerabatan ini
sudah di wariskan turun menurun, apabila melanggar tatanan adat ini berarti melanggar petuah
leluhur yang berarti pula menentang kehendak masyarakat sekitarnya yang tentu dapat menjadi
bahan pembicaraan atau dikucilkan dari lingkungan masyarakat. Sistem Dalihan Na Tolu ini
bersifat tetap dan tidak dapat berubah-rubah.

Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan bahwa di Desa Rianiate bahwa sistem
kekerabatan Dalihan Na Tolu ini masih berlaku dikalangan masyarakat batak. Sistem Dalihan
Tolu di desa ini tidak ada perubahan dari zaman dahulu hingga saat ini meskipun di era
perkembangan zaman atau di era globalisasi saat ini, artinya masyarakat masih dapat
mempertahankannya.

11
Keberadaan Dalihan Na Tolu di Desa Rianiate Kabupaten Samosir Pangururan masih
terlihat dengan jelas. Terbukti dari pernyataan informan yang bernama Alex Simbolon
mengatakan “makna Dalihan Na Tolu yang dulu dengan sekarang yang ada di Desa Rianiate
masih sama dan Dalihan Na Tolu berpengaruh dalam bidang pertanian untuk mempererat
kekerabatan”. Dari pernyataan di atas Hula-Hula memiliki peranan penting pada batak toba.
Misalnya ketika proses panen pada pertanian, maka pemilik padi akan mengajak Hula-Hula
untuk gotong royong dalam memanen hasil padi tersebut dan mereka tidak menerima upah
melainkan bergantian ke tempat yang lain. Sedangkan untuk memanen kopi, upah yang diterima
berupa gaji.

Dalam meneruskan sistem kekerabatan kebudayaan batak yang di sebut Dalihan Na Tolu,
setiap orang tua memiliki tanggung jawab untuk meneruskan kembali adat-adar tersebut kepada
generasinya melalui anak-anaknya. Hal tersebut sangat penting bagi orang batak agar sistem
kekerabatan tersebut dapat terus berkembang.

Namun meskipun orang tua telah menjalankan tanggung jawabnya atau menjelaskan
kepada anak-anaknya masih ada juga anak-anak yang belum memahami sekali mengenai
kebudayaan orang batak. Seperti yang dikatakan oleh Informan bahwa “Tidak semua orang dapat
memahami dan melakukan pelajaran yang dipelajari”. Dalam mengajarkan atau pun menjelaskan
tentang kebudayaan batak orang tua mulai cerita kepada anak-anaknya mulai anaknya duduk di
bangku SMP (Sekolah Menengah Pertama).

Pada era zaman sekarang ini sudah ada orang-orang yang menikahi Ito atau orang yang
semarga dengannya. Tetapi masyarakat di Desa Rianiate tetap mempertahankan kebudayaan
mereka tanpa melanggar aturan atau adat istiadat bagi adat orang Batak. Namu jika terdapat
orang yang melanggar aturan tersebut akan diberikan hukuman atau sangsi bagi siapa pun yang
melanggar. Hukuman yang diberikan bagi yang melanggar seperti yang telah dijelaskan oleh
informan yaitu harus disisihkan dari peradatan, yaitu tidak dianggap atau tidak masuk tarombo.

Jika ada perkataan yang dilakukan oleh suami dari istri terhadap abang ipar si istri atau
yang disebut dengan Hula maka si suami akan membawa makanan atau daging untuk Hula-Hula,

12
makanan yang dibawa yaitu babi. Sedangkan dari pihak Hula-Hula memberikan atau membawa
ikan mas.

Informan mengatakan bahwa tulang sangatlah berharga bagi orang batak. Bahkan ada
istilah bahwa Tulang merupakan Tuhan yang terlihat di dunia. Tulang merupakan abang dari
mamak orang batak. Tulang sangat berharga sekali bagi orang batak, hal tersebut dikarenakan
bahwa yang menjadi generasi marga orang batak yaitu dari tulang.

Dalihan Na Tolu bagi masyarakat Batak berfungsi menentukan tentang kedudukan, hak,
dan kewajiban seseorang atau kelompok orang atau mengatur dan mengendalikan tingkah laku
seseorang atau kelompok dalam kehidupan adat bermasyarakat. Selain itu juga berfungsi sebagai
dasar dalam bermusyawarah dan mufakat masyarakat Batak. Dalihan Na Tolu berfungsi dengan
sempurna menopang masyarakat Batak secara penuh keseimbangan. Kalau ada persoalan seperti
kemalangan atau musibah, akan ditopang dan ditanggulangi oleh ketiga unsur Dalihan Na Tolu
secara bersama-sama sesuai dengan kedudukannya masing-masing, sehingga beban yang berat
akibat musibah atau kemalangan dapat teratasi dengan baik.

4.2 Sistem Dalihan Na Tolu di Desa Rianiate Kabupaten Samosir Pangururan


Mangaraja Salomo (1938); Raja Marpodang Gultom (1992); Richard Sinaga (1998)
menyebutkan bahwa, Dalihan Na Tolu berasal dari kata Dalihan artinya tempat memasak, Na
artinya kata penghubung yang, Tolu artinya tiga. Dengan demikian Dalihan Na Tolu artinya tiga
tiang (kaki) tungku yang dijadikan kaki tempat memasak makanan. Sistem interaksi pada
masyarakat Batak adalah Dalihan Na Tolu ”Tungku Nan Tiga”, yang terdiri atas dongan tubu
(pihak semarga), boru (pihak penerima istri), dan hula-hula (pihak pemberi istri). Dalam
interaksinya, setiap orang akan memiliki sikap berperilaku yang berbeda pada masing-masing
pihak itu. Orang akan manat mardongan tubu ”hati-hati pada teman semarga”, elek marboru
”membujuk pada pihak penerima istri”, dan somba marhula-hula “hormat pada pihak pemberi
istri”. Jelas bahwa nilai interaksional ini hanya bisa dipahami, bahkan dijelaskan, setelah
memiliki dan memahami nilai identitas.

Dongan Tubu adalah semarga. Setiap orang Batak pasti punya marga. Marga adalah
identitas keluarga dalam suku Batak. Karena bersifat patrilineal, maka marga hanya dapat

13
“diturunkan” atau diwariskan oleh kaum lelaki saja. Di dalam realita kehidupan sehari-harinya,
dongan tubu (semarga) memiliki tugas yang sangat penting dan sangat banyak. Baik suka
maupun duka, dongan tubu akan tetap berkewajiban membantu. Misal dalam upacara
pernikahan, dongan tubu lah yang harus pertama kali diberitahu rencana untuk melamar seorang
gadis. Juga dalam upacara penguburan mayat, pihak semarga akan memegang peran yang sangat
sentral dalam tata cara upacara adat penguburan mayat tersebut. Mengenai marga, akan
dijelaskan lagi dalam tulisan “Marga”.

Boru. Boru ini adalah kebalikan dari Hulahula. Misal, apabila ada sebuah keluarga
bermarga Siregar memiliki seorang gadis yang kemudian menikah dengan marga Siahaan, maka
marga Siahaan akan menjadi Boru bagi keluarga Siregar karena salah satu anggota keluarga
mereka telah menikahi putri dari keluarga mereka.

Yang terakhir Hulahula secara singkat dapat digambarkan sebagai keluarga pihak
mempelai wanita. Misal seorang gadis boru Siregar (dari keluarga marga Siregar) menikah
dengan seorang pemuda bermarga Siahaan. Maka Hulahula dari pemuda bermarga Siahaan
tersebut (dan keluarganya) adalah marga Siregar. Setelah terikat oleh pernikahan, si gadis akan
masuk keluarga Siahaan, dan secara adat sudah menjadi tanggungan pihak keluarga Siahaan
(pihak laki-laki). Dalam kehidupan sehari-harinya, Hulahula berperan sebagai pemberi pasu-pasu
atau restu. Itu sebabnya jika manortor, Hulahula akan memposisikan tangannya dengan telapak
menghadap ke bawah dan sedikit lebih tinggi dari bahu, atau sejajar dengan kepala. Gerakan ini
disimbolkan sebagai pemberian restu atau berkat.

Adat Dalihan Natolu ini memiliki peran yang sangat penting baik dalam adat maupun
dalam pekerjaan sehari-hari. Apabila ada sebuah masalah yang berat atau tidak dapat
diselesaikan oleh sebuah keluarga, maka kaum semarganyalah yang akan turut membantu
dengan ikhlas. Dalam praktiknya akan terlihat budaya gotong royong yang kuat di dalam
masyarakat batak. Tidak peduli apakah masalah itu urusan suka maupun duka, kaum semarga
akan tetap membantu. Juga tidak memandang status sosial keluarga tersebut, kaya atau miskin,
terpandang atau tidak, bukan jadi masalah. Apabila pihak keluarga tersebut menyembunyikan
masalahnya atau tidak memberitahukan terlebih dahulu ke dongan tubunya, maka keluarga
tersebut dianggap tidak sopan atau tidak menghormati adat. Jadi tidaklah berlebihan kalau ada

14
umpama yang mengatakan “manat mardongan tubu” yang artinya berhati-hatilah menjaga
perasaan kaum semargamu.

Dan juga di dalam Visi orang Batak sangat jelas, yakni ingin memiliki Hagabeon-
Hamoraon-Hasangapon. Istilah hagabeon berarti ”mempunyai keturunan terutama anak laki-
laki”, hamoraon berarti ”kekayaan atau kesejahteraan” , dan hasangapon berarti ”kehormatan”.
Hamoraon dan hagabeon sangat jelas indikatornya, tetapi hasangapon agak abstrak: hasangapon
adalah hagabeon plus hamoraon. Untuk mencapai hagabeon, orang harus menikah; untuk
mencapai hamoraon, orang harus mandiri, kerja keras, gotong royong, dan berpendidikan, yang
kesemuanya membuat orang dapat mencapai hasangapon. Oleh karena hagabeon-hamoraon-
hasangapon itu merupakan visi dan tujuan kehidupan orang Batak, maka itulahyang disebut
dengan nilai terminal.

Adapun penjelasan dari bapak elex simbolon selaku ketua adat di desa rianiate, kabupaten
samosir tersebut ialah bagaimana Dalihan Na Tolu ini sendiri hadi ditengah-tengah interaksi atau
berlangsungnya kegiatan sehari-hari yang menjadi salah satu sistem sosial yang dianut oleh
masyaratat setempat. Seperti dalam bidang pertanian yang tidak luput dati adanya sistem dalihan
na tolu tersebut yang semakin memupuk rasa persaudaran dalam kegiatan gotong royong.
Dimana menurut pengakuan informant kami dalam kegiatan pertaniannya beliau tidak jarang
meminta bantuan dengan saudaranya atau dapat disebut sebagai dongan tubunya yang termasuk
kedalam sistem tatanan dalihan na tolu tersebut.

Beliau juga menjelaskan sebagai upaya untuk mempertahankan tradisi dalihan na tolu
tersebut agar tidak tergerus ditengah maraknya arus globalisasi ini, ialah dengan tetap
melaksanakan enkulturasi atau pewarisan nilai-nilai budaya kepada generasi-generasi berikutnya
yang tidak terlepas dari cerita-cerita yang disampaikan ataupun kegiatan seperti pesta yang
dimana didalamnya memuat unsure atau kaidah daalihan na tolu itu seindiri. Hal ini tentu sejalan
juga dengan pendapat beliau yang menyatkan bahwasannya Tulang atau Hula-Hula memilki
peran yang sangat penting dalam upacara atau adat pernikahan dimana tulang juga dianggap
sangat berharga bagi orang batak sehingga apabila terdapat keputusan atau ketetapan yang telah
diberikan maka akan sangat dihormati.

15
Selanjutnya peran penting dari hula-hula ini juga sangat kontras terlihat pada pernyataan
informant kami yang mengatakan “…. Jadi dalam kesehariannya, kita sebagai manusia yang
tidak sempurna dan tidak luput dari kesalahan, apabila telah dirasa telah berbuat kesalahan
kepada hula-hula atau tulang kita maka diharuskan untuk meminta maaf, sembari membawa
makanan yang biasanya berupa daging(babi) yang kemudian akan dibalas oleh hula-hula
dengan memberikan kita ikan, karena pada dasarnya dalam pandangan batak tulang atau hula-
hula sangat dihormati dan dijunjung tinggi… “.

Untuk masyarakat yang menetap disana juga dikatakan oleh informant kami tidak
sepenuhnya beretnis batak, tetapi sudah terdapat pencampuran yang disebabkan oleh
percampuran etnis pada pernikahan seperti pada suku jawa, kaliamantan yang tentunya
disepakatai dengan tradisi pembelian marga (Parmaen) bagi orang yang tidak berasal dari suku
batak, hal ini dianggap merupakan salah satu cara juga untuk mempertahankan tradisi atau
kebudayaan dari suku batak toba disana, sehingga dalam realisasinya orang yang tadinya todak
berasal dari suku batak, namun setelah diberlangsungkan acara pembelian marga tetap dapat
mengetahui dan melaksanakan tradisi-tradisi suku batak yang ada disana. Walaupun pada
dasarnya suku bataklah yang lebih dominan berada disana.

Kemudian sebagai wujud dari rasa mengikuti segenap aturang yang dipercayai oleh suku
batak di desa rianiate ini sendiri setiap masyarakat nya sangat patuh dan taat terhadap segenap
aturan yang telah ditetapkan, hal-hal yang dianggap bertentangan dikatakan tidak pernah terjadi
seperti halnya pernikahan antar satu marga atau dongan tubu tidak penah terjadi karena sesuai
dengan kepercayaan suku batak, satu marga artinya satu darah yakni bersaudara jadi sama
artinya dengan menikahi saudara sendiri, sehingga menurut pernyataan bapak elex simbolon
apabila hal ini sampai terjadi maka tentunya akan deberlakukan sanksi yang tegas, sesuai dengan
hukumnya maka akan diasingkan, disisihkan bahkan akan dihilangkan dari desa karena dianggap
sangat bertentangan dengan norma atau aturan yang sudah ditetapkan pada suku batak itu sendiri.

16
BAB V

PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dalihan Na Tolu berasal dari kata Dalihan artinya tempat memasak, Na artinya kata
penghubung yang, Tolu artinya tiga. Dengan demikian Dalihan Na Tolu artinya tiga tiang (kaki)
tungku yang dijadikan kaki tempat memasak makanan. Sistem interaksi pada masyarakat Batak
adalah Dalihan Na Tolu ”Tungku Nan Tiga”, yang terdiri atas dongan tubu (pihak semarga),
boru (pihak penerima istri), dan hula-hula (pihak pemberi istri). Dalam interaksinya, setiap orang
akan memiliki sikap berperilaku yang berbeda pada masing-masing pihak itu. Orang akan manat
mardongan tubu ”hati-hati pada teman semarga”, elek marboru ”membujuk pada pihak penerima
istri”, dan somba marhula-hula “hormat pada pihak pemberi istri”. Jelas bahwa nilai
interaksional ini hanya bisa dipahami, bahkan dijelaskan, setelah memiliki dan memahami nilai
identitas.

5.2 Saran
Sebagai peneliti dan sebagai masyarakat suku Batak Toba, apa yang saya lihat dari hasil
penelitian ini adalah adanya pergeseran terhada falsafah hidup Dalihan Na Tolu terhadap sistem
kekerabatan masyarakat Batak Toba. Dalam hal ini, kita tidak bisa menyalahkan kebudayaan
Batak Toba, tetapi merupakan suatu kewajiban bagi suku Batak Toba untuk lebih intropeksi diri
untuk menjaga serta melestarikan eksistensi diri dan budayanya di masa yang akan datang.

17
DAFTAR PUSTAKA

Gultom, Raja Marpodang,Dj.1992.Dalihan Na Tolu Nilai Budaya Suku Batak.Medan:CV.


Armanda.

Aritonang Jan S., dkk, 2006, Beberapa Pemikiran Menuju Teologi Dalihan Na Tolu, Jakarta:
Dian Utama.

Bangun, Payung, 1970. Kebudayaan Batak, dalam Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan
di Indonesia. Jakarta: Jembatan.

18
LAMPIRAN

Foto Bersama Informan

Suasana di Desa Rianiate Kabupaten Samosir Pangururan

19

Anda mungkin juga menyukai