Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN MINI RISET

MK. ANTROPOLOGI
LINGKUNGAN DAN PERKOTAAN

SKOR NILAI:

“MENGEMIS DI JADIKAN MATA PENCAHARIAN ”

NAMA KELOMPOK 1 : RENI SELFIA SIHOMBING (3171122016)

RISNAWATI MANURUNG (3171122018)

FAUZIAH (3173322024)

ANISA STEFANI GINTING (3173322006)

NIA TESALONIKA BARUS

KELAS : C REGULER 2017

DOSEN PENGAMPU : SULIAN EKOMILA, S.Sos., MSP

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN ANTROPOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

OKTOBER 2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena dengan rahmat dan
karuniaNYA kami dapat menyusun dan menyelesaikan tugas Antropologi Lingkungan dan
Perkotaan dengan tepat waktu yang berjudul tugas “Laporan Mini Riset”.

Kami mengucapkan terimakasih kepada Ibu“SULIAN EKOMILA, S.Sos., MSP” selaku


dosen mata kuliah Antropologi Lingkungan dan Perkotaan, yang telah memberikan arahan dan
bimbingan dalam pembuatan “Laporan Mini Riset” ini.

Kami sebagai penulis menyadari bahwa isi dan juga penyampaian dalam “Laporan Mini
Riset” ini masih kurang sempurna. Oleh sebab itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran
yang bersifat membangun dan semoga “Laporan Mini Riset” ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Medan, 25 Oktober 2018

Kelompok 1

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................................... i


DAFTAR ISI................................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ...................................................................................................................... 1
1.2 Identifikasi Masalah .............................................................................................................. 2
1.3 Pembatasan Masalah ............................................................................................................. 3
1.4 Rumusan Masalah ................................................................................................................. 3
1.5 Tujuan Penelitian................................................................................................................... 3
1.6 Manfaat Penelitian................................................................................................................. 4
BAB II KAJIAN TEORI ................................................................................................................ 5
2.1 Kajian Pustaka ....................................................................................................................... 5
2.2 Kerangka Teori .................................................................................................................... 15
2.3 Kerangka Konsep ................................................................................................................ 16
BAB III METODE PENELITIAN ............................................................................................... 17
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................................... 18
4.1 Hasil Penelitian ................................................................................................................... 18
4.2 Pembahasan Penelitian ........................................................................................................ 19
BAB V PENUTUP ....................................................................................................................... 23
5.1 Simpulan.............................................................................................................................. 23
5.2 Saran .................................................................................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 24
LAMPIRAN .................................................................................................................................. 25

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Jumlah penduduk yang semakin meningkat, kebutuhan dan tuntutan hidup juga meningkat
serta teknologi dan informasi yang terus berkembang, sedangkan sumber daya alam, sumber-
sumber penghasilan, dan sumber daya manusia yang tidak bisa menyeimbangi peningkatan-
peningkatan tersebut, menyebabkan masalah sosial, dimana masalah sosial yang terjadi begitu
banyak, khususnya pengangguran, dimana kebanyakan para pengangguran beralih kepekerjaan
instan khususnya pekerjaan mengemis. Pengemis di Indonesia sangatlah banyak, hampir di setiap
kota-kota yang ada di Indonesia selalu ada pengemis khususnya di Kota Medan.
Kota Medan tumbuh secara baik dan bahkan menjadi pusat-pusat pertumbuhan ekonomi
yang berkembangan dengan pesat yang ditandai dengan berdirinya kantor-kantor, pusat
perbelanjaan, sarana perhubungan, pabrik, sarana hiburan dan sebagainya mendorong para urban
untuk mengadu nasib. Salah satu persoalan yang muncul adalah kesenjangan atau ketimpangan
yang semakin besar dalam pembagian pendapatan antara berbagai golongan pendapatan, antara
daerah perkotaan dan pedesaan.
Ini berarti juga bahwa pertumbuhan ekonomi yang pesat belum berhasil untuk
menanggulangi masalah kemiskinan, seperti pengangguran dan masalah sosial ekonomi lainnya,
seperti pengemis. Tetapi arus urbanisasi, khususnya yang menuju kota Medan seiring dengan
pertumbuhan ekonomi regional. Kota Medan yang sebagai Ibu kota Provinsi Sumatera Utara
menjadi daerah yang “subur” bagi penduduk untuk mendapatkan pekerjaan. Disisi lain,
kesempatan yang tersedia dan peluang berusaha ternyata tidak mampu manampung pelaku-pelaku
urbanisasi karena keterbatasan dan keterampilan yang dimiliki di daerah asal. Apalagi mereka
yang melakukan urbanisasi tidak memiliki keterampilan tertentu yang dibutuhkan dan sengaja
untuk melakukan kegiatan sebagai pengemis.
Maraknya pengemis yang ada dikota Medan bukan sepenuhnya penduduk tetap kota Medan,
melainkan mereka datang dari daerah tetangga kota Medan, seperti Pekanbaru, Palembang,
Padang, Bukit Tinggi, Aceh, Jambi. Disini bisa kita lihat, para pengemis masih berkeliaran bebas.
Berarti pengawasan yang dilakukan oleh pihak terkait belum efektif, pengemis masih saja
merajalela mengemis di tempat-tempat umum.

1
Pengemis sebagai lapisan sosial ekonomi dan budaya paling bawah dalam stratifikasi
masyarakat kota. Permasalahan sosial dalam bentuk pengemis di masyarakat terutama di kota
besar merupakan realitas kehidupan yang sebagian orang akan menimbulkan prasangka jelek,
karena dengan adanya pengemis di sekitar tempat tinggal akan menimbulkan perasaan cemas dan
timbulnya kerawanan sosial ekonomi, timbulnya daerah kumuh dan akan mengganggu keamanan
dan ketertiban masyarakat.
Menurut PP No. 31 Tahun 1980, pasal 1 ayat 1 dan 2 menyatakan “Pengemis adalah orang-
orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di tempat umum dengan berbagai
cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain. Menurut Artidjo Alkostar
(1988:100), Pengemis adalah orang yang pekerjaannya meminta-minta hanya saja kondisi
badannya mereka ada yang sehat dan ada yang sakit. Sedangkan menurut Perda Pemerintah
31/1980, pengemis adalah orang-orang yang dapat penghasilan dengan cara meminta-minta di
muka umum dengan berbagai cara dan alasanuntuk mengharapkan belas kasih dari orang lain.
Permasalahan yang timbul akibat adanya pengemis akan membawa pengaruh yang kurang
baik terhadap kehidupan masyarakat, terutama bagi masyarakat kota. Baik pengaruh tersebut
secara langsung maupun tidak langsung yang jelas dapat diamati dan diteliti pada saat ini
banyaknya dan semakin terus bertambah jumlah pengemis di perkotaan, dan hal ini akan membuat
daerah perkotaan menjadi kotor.

1.2 Identifikasi Masalah


Permasalahan penelitian yang penulis ajukan ini dapat diidentifikasi permasalahannya
sebagai berikut:

a) Rendahnya pendidikan di Indonesia sehingga menyebabkan masyarakat tidak mampu


bersaing yang dapat menimbulkan masalah-masalah sosial, salah satu contohnya ialah
pengemis.
b) Persaingan pekerjaan yang semakin ketat antara masyarakat pendatang dengan masyarakat
yang menetap di kota tersebut untuk meningkatkan kemampuan yang dimiliki agar dapat
bersaing dalam hal mendapatkan pekerjaan.
c) Rendahnya peran pemerintah dalam pengawasan terhadap peraturan yang ada sehingga
pekerjaan pengemis di kota-kota besar semakin banyak.

2
1.3 Pembatasan Masalah
Karena keterbatasan waktu, biaya dan kemampuan, maka penelitian ini dibatasi denga
ketentuan sebagai berikut:

a) Objek penelitiannya adalah pelaku pengemis dan masyarakat setempat (penjual sepatu).
b) Wilayah penelitiannya berada di Kota Medan, tepatnya di Jalan Gatot Subroto, Kelurahan
Petisah Tengah, Kecamatan Medan Petisah Kota Medan Sumatera Utara.
c) Mencari faktor yang menyebabkan atau alasan tetap bekerja sebagai pengemis.

1.4 Rumusan Masalah


Berdasarkan batasan masalah yang telah penulis pilih maka dapat dirumuskan permasalahan
penelitian ini sebagai berikut:

a) Jelaskan apa yang dimaksud dengan pengemis!


b) Jelaskan faktor yang menyebabkan mereka menjadi pengemis dan apa yang membuat
mereka terus bertahan bekerja sebagai pengemis!
c) Bagaimana tanggapan masyarakat sekitar dengan adanya pengemis di lingkungan mereka?
d) Jelaskan penyebab meningkatnya pengemis di kota Medan!

1.5 Tujuan Penelitian


Tujuan penelitian merupakan jawaban atau sasaran yang ingin dicapai penulis dalam sebuat
penelitian. Oleh sebab itu, tujuan penelitian ini adalah:

a) Untuk mengetahui pengertian pengemis.


b) Untuk mengetahui faktor yang menyebabkan mereka menjadi pengemis dan faktor yang
membuat mereka terus bertahan bekerja sebagai pengemis.
c) Untuk mengetahui tanggapan masyarakat sekitar dengan adanya pengemis di lingkungan
mereka.
d) Untuk mengetahui penyebab meningkatnya pengemis di kota Medan.

3
1.6 Manfaat Penelitian
Penelitian yang penulis lakukan ini diharapkan memberikan manfaat bagi pembaca dan
penulis, yaitu sebagai berikut:

a) Pembaca menjadi mengetahui bahwa dengan rendahnya pendidikan di Indonesia maka


akan menimbulkan masalah-masalah sosial, salah satu contohnya ialah pengemis.
b) Pembaca mengetahui bahwa para pelaku yang menyebabkan masalah-masalah sosial
seperti pengemis tidak hanya masyarakat yang menetap di kota tersebut melainkan
masyarakat pendatang yang gagal mengadu nasib di kota tersebut.
c) Pembaca juga mengetahui bahwa rendahnya perhatian pemerintah dalam menanggulangi
para pelaku pengemis.

4
BAB II

KAJIAN TEORI

2.1 Kajian Pustaka


Buku
Pengemis adalah salah satu profesi baru yang ada di Indonesia bahkan di dunia. Hanya saja
belum terdaftar dalam situs lowongan kerja. Mungkin jika sudah ada, akan banyak orang yang
mendaftar untuk menjadi pengemis karena pengasilan yang ditawarkan cukup menggiurkan.

a) Pendapatan yang menjanjikan


Banyak orang yang berasal dari kampung maupun kota lebih memilih pengemis sebagai
mata pencahariannya, karena menganggap uang yang dihasilkan dari pengemis sangat
menjanjikan untuk memenuhi kebutuhan hidup daripada menjadi buruh pabrik. Selain itu,
mereka tidak perlu bekerja dan berharap-harap cemas ketika ada PHK atau pemtongan
jumlah karyawan.
b) Malas bekerja
Selain itu, sifat malas namun pintar juga diperlukan karena hanya orang malas yang
memerlukan jenis pekerjaan sperti ini. Akan tetapi para pengemis bukan termaksud orang
bodoh, mereka termasuk orang pintar karena berhasil menaklukan rasa simpati orang
banyak melaui tipu daya yang mereka miliki.
c) Lapangan kerja yang sempit
Lapangan kerja semakin sempit, lowongan untuk menjadi karyawan atau buruh semakin
berkurang, apalagi untuk orang yang tidak memiliki kemampuan akan sangat sulit. Pada
akhirnya mereka pun meneruskan budaya yang sudah ada selama bertahun-tahun yakni
mengemis sebagai pekerjaan mereka.
d) Bisnis paling mengguntungkan
Pada zaman modern sekarang ini, banyak hal yang biasa dijadikan sebagai sebuah bisnis.
Mulai dari menjual barang barang sampai jasa biasa dijadikan sebagai referensi bisnis.
Namun tidak hanya berdagang, mengemis pun biasa dijadikan bisnis.

5
Mengemis di Mata Islam

Sesungguhnya Islam merupakan agama rahmah yang selalu mengarahkan pemeluknya


kepada hal-hal positif, Islam dengan sangat keras melarang praktek-praktek yang dapat
menurunkan iffah atau harga diri pemeluknya, seperti meminta-minta kepada manusia.

Meminta-minta sumbangan atau mengemis pada dasarnya tidak disyari’atkan dalam agama
Islam. Bahkan jika melakukannya dengan cara menipu atau berdusta kepada orang banyak atau
lembaga tertentu yang dimintai sumbangan dengan menampakkan dirinya seakan-akan dia adalah
orang yang edang kesulitan ekinomi, atau sangat membutuhkan biaya pendidikan anak sekolah,
atau perawatan dan pengobatan keluarganya yang sakit, atau untuk membiayai kegiatan tertentu,
maka hukumnya haram dan termasuk ke dalam dosa besar.

Akan tetapi, di dalam hadist disebutkan bahwa terdapat beberapa keadaan yang
membolehkan seseorang untuk mengemis atau meminta-minta sumbangan. Keadaan-keadaan
tersebut di antarnya:

a) Keadaan ketika seseorang menanggung beban diyat (denda) atau pelunasan hutang orang
lain, ia boleh meminta-minta sampai ia melunasinya, kemudian berhenti.
b) Keadaan ketika seseorang ditimpa musibah yang menghabisakan seluruh hartannya, ia
boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup.
c) Keadaan ketika seseorang tertimpa kefakiran yang sangat sehingga disaksikan oleh 3 orang
berakal cerdas dari kaumnya bahwa tertimpa kefakiran, maka halal baginya meminta-minta
sampai ia mendapatkan penegak bagi kehidupannya.

Trik dan Tips Mereka Mengemis

a) Kesan Miskin dengan Penampilan Lusuh


b) Wajah Memelas, Wajah Orang Susah
c) Luka Palsu Penghasil Uang
d) Pura-Pura Hamil
e) Cacat Buatan

Beberapa solusi yang mungkin bisa mengatasi atau setidaknya mengurangi jumlah pengemis
yang semakin hari semakin banyak:

6
a) Berikan Lapangan Kerja
b) Pelatihan Sosial
c) Kelembangkan Pembangunan Desa
d) Sanksi Tegas Supaya Kapok
e) Jangan Manjakan Pengemis

Perda Pemerintah 31/1980, dalam peraturan pemerintah ini yang dimaksud dengan:

a) Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma
kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat, serta tidak mempunyai tempat tinggal
dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum
b) Pengemis adalah orang-orang yang dapat penghasilan dengan cara meminta-minta di muka
umum dengan berbagai cara dan alasanuntuk mengharapkan belas kasih dari orang lain
c) Menteri adalah menteri sosial
d) Usaha preventif adalah usaha secara terorganisir yang meliputi penyuluhan, bimbingan,
pengawasan, serta pembinaan lanjut kepada berbagai pihak yang ada hubungannya dengan
pergelandangan, dan pengemis sehingga akan tercegah terjadinya :
a. Pergelandangan dan pengemisan oleh individu atau keluarga-keluarga tertentu yang
sedang dalam keadaan sulit penghidupannya
b. Meluasnya pengaruh dan akibatnya adanya pergelandangan dan pengemisan di dalam
masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban dan kesejahteraan pada umumnya
c. Pergelandangan dan pengemisan kembali oleh para gelandangan dan pengemis yang
telah direhabilitasi dan telah ditrasmigrasikan ke daerah permukiman baru ataupun
telah dikembalikan ke tengah masyarakat.
e) Usaha represif adalah usaha-usaha yang terorganisir baik melalui lembaga maupun bukan
dengan maksud menghilangkan pergelandangan dan pengemisan serta mencegah
meluasnya di dalam masyarakat
a) Usaha rehabilitatif adalah usaha-usaha penyantunan, pemberian latihan dan pendidikan,
pemulihan kemampuan dan penyaluran kembali baik ke daerah-daerah permukiman baru
melalui trasmigrasi maupun ketengah-tengah masyarakat, pengawasan serta pembinaan
lanjut, sehingga dengan demikian para gelandangan dan pengemis, kembali memiliki

7
kemampuan untuk hidup secara layak sesuai dengan martabat manusia sebagai warga
negara

Jurnal (Risna)

Menurut Chief J.O. Udoji (dalam Wahab, 2008:5) kebijakan publik adalah suatu tindakan
yang memiliki sanksi yang mengarah pada suatu tujuan tertentu yang diarahkan pada suatu
masalah atau sekelompok masalah tertentu yang saling berkaitan yang mempengaruhi sebagian
besar masyarakat. Untuk itu kebijakan publik merupakan suatu kegiatan yang memiliki aturan
untuk mengatasi suatu masalah atau beberapa masalah yang saling berkaitan yang berhubungan
dengan suatu kepentingan masyarakat secara luas. Sedangkan menurut Nugroho R (2008: 1-7)
kebijakan publik adalah suatu aturan yang mengatur kehidupan bersama yang harus ditaati dan
berlaku mengikat seluruh warganya.

Implementasi kebijakan menurut Kamus webster (dalam Wahab 2008:64) adalah to


implement (mengimplementasikan) berarti to provide the means for carrying out (menyediakan
sarana untuk melaksanakan sesuatu).

Penertiban yang dimaksud dalam Peraturan No.16 Tahun 2002 tersebut yaitu kegiatan razia
yang bertujuan untuk meminimalisir keberadaan anak jalanan yang dapat mengganggu ketertiban
umum. Sedangkan penanggulangan yaitu dalam Bab II Ketentuan Umum Pasal 2 Peraturan daerah
Kota Samarinda Nomor 16 Tahun 2002 ayat 1. Penanggulangan Pengemis dan Anak Jalanan dapat
dilakukan melalui pembinaan oleh Pemerintah atau perorangan dan atau Badan Hukum. Dalam
Bab II Ketentuan Umum Pasal 2 Peraturan daerah Kota Samarinda Nomor 16 Tahun 2002 ayat 2
yaitu Pembinaan dimaksud pada ayat (1) pasal ini dapat berbentuk Yayasan, Panti-Panti Sosial
dan lain sebagainya yang tujuannya untuk memberikan perbaikan mental baik rohani maupun
jasmaninya, agar pengemis dan atau anak jalanan dimaksud tidak mengulangi perbuatannya untuk
meminta-minta belas kasihan orang lain di jalan yang dapat mengganggu ketertiban umum.

Menurut Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2002 Tentang Penangulangan dan Penertiban
Pengemis, Anak Jalanan dan Gelandangan. Pengemis adalah orang-orang yang melakukan
aktifitasnya dengan meminta-minta di depan umum atau di badan jalan dan atau di simpang-
simpang jalan dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain
dan dapat mengganggu ketertiban umum. Dan Anak Jalanan Menurut Peraturan Daerah Nomor

8
16 Tahun 2002 Tentang Penangulangan dan Penertiban Pengemis, Anak Jalanan dan Gelandangan.
Anak Jalanan merupakan orang-orang atau anak manusia dengan batasan usia 19 tahun ke bawah
yang melakukan aktifitasnya di simpang-simpang jalan dan atau di jalan-jalan umum dalam
wilayah Kota Samarinda dengan tujuan untuk meminta-minta uang baik atas kehendaknya sendiri,

Serta Gelandangan Menurut Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2002 Tentang


Penangulangan dan Penertiban Pengemis, Anak Jalanan dan Gelandangan. Gelandangan adalah
orang-orang yang hidup dalam keadaan yang tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak
dalam masyarakat dan tempat tinggal tidak menetap serta mengembara di tempat umum.
Dalam Bab II Ketentuan Pengemis dan Anak jalanan Pasal 3 Peraturan daerah Kota
Samarinda Nomor 16 Tahun 2002 ayat 2. Kepala daerah dan atau pejabat yang ditunjuk oleh kepala
daerah mempunyai wewenang untuk melarang anak jalanan baik yang dilakukan secara
perorangan, kelompok dan atau disuruh orang lain untuk meminta-minta di jalan-jalan umum atau
simpang-simpang jalan yang dapat mengganggu ketertiban umum. Dalam Bab II Ketentuan
Pengemis dan Anak jalanan Pasal 4 Peraturan daerah Kota Samarinda Nomor 16 Tahun 2002
Untuk melaksanakan ketentuan pada pasal 3 tersebut perlu dilakukan dengan penertiban atau razia.
Oleh karena itu, dalam Implementasi Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2002 Terutama dalam
hal Penertiban dan Penanggulangan Anak jalanan di Kota Samarinda kegiatan penertiban
dilakukan melalui kegiatan razia .
Dalam Implementasi Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2002 Terutama dalam hal
Penertiban dan Penanggulangan Anak jalanan di Kota Samarinda penanggulangan dilakukan
dengan pembinaan. Dalam Bab II Ketentuan Umum Pasal 2 Peraturan daerah Kota Samarinda
Nomor 16 Tahun 2002 ayat 1. Penanggulangan Pengemis dan Anak Jalanan dapat dilakukan
melalui pembinaan oleh Pemerintah atau perorangan dan atau Badan Hukum. Pembinaan
dilakukan melalui dua cara yaitu bagi anak jalanan yang berasal dari luar Samarinda akan
dipulangkan ke daerah asal mereka sedangkan bagi yang berasal dari Kota Samarinda akan dibina
oleh Dinas Kesejahteraan Sosial. Anak jalanan yang berasal dari luar Samarinda dipulangkan
kedaerah asal mereka masing-masing yang diantar oleh pihak Satpol-PP dan Dinkessos Kota
Samarinda hingga sampai tujuan dengan menggunakan kapal laut
Implementasi Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2002 Terutama dalam hal Penertiban dan
Penanggulangan anak jalanan di Kota Samarinda sudah dilaksanakan namun tidak serta merta
berjalan mulus, di balik itu semua terdapat hal yang dinamakan faktor pendukung dan penghambat.

9
Hambatan yang dirasakan oleh pihak instansi penegak peraturan daerah yang sangat terasa adalah
keterbatasan dana untuk pelaksanaan kegiatan penertiban dan penanggulangan dan pemberian
sanksi yang belum optimal yaitu masih mempertimbangkan aspek kemanusiaan.
Diantara faktor-faktor pendukungnya yaitu adanya peraturan daerah nomor 16 tahun 2002
tentang penertiban dan penanggulangan pengemis, anak jalanan dan gelandangan di Kota
Samarinda yang didalamnya tercantum larangan bagi pelanggar yang melanggar ketentuan di
dalam Peraturan Daerah tersebut. Selain itu, di dalam Peraturan Daerah tersebut juga terdapat
perlindungan hukum bagi pihak instansi pelaksana Peraturan Daerah tersebut. Selain faktor adanya
peraturan daerah tersebut, adanya komitmen yang dimiliki oleh instansi penegak peraturan daerah.

Jurnal (Reni)

Upaya penanganan gelandangan dan Pengemis Menurut Kepala Seksi Tuna Sosial Mewah
Tambunan, (22.03.2013). pelaksanaan ketertiban atau yang kita kenal dengan razia pada
gelandangan dan pengemis, wanita tuna susila sering dilaksanakan dan hasil tangkapan atau razia
diserahkan kepada panti sosial yang menangani permasalahan gelandangan dan pengemis atau
tuna susila untuk dibina dan diberikan pelayanan rehabilitasi sosial agar mereka nantinya setelah
selesai menjalani pembinaan dan dikembalikan kepada masyarakat dapat hidup sesuai dengan
norma-norma yang berlaku di masyarakat.
Sudah banyak program dan upaya yang dilakukan secara terpadu dan berkesinambungan
maupun sporadis untuk menanggulangi gelandangan dan pengemis akan tetapi setiap upaya yang
dilakukan tanpa memahami persoalan yang dihadapi secara mendasar akan menimbulkan
alternatif-alternatif yang keliru, hal ini dapat dilihat dari yang melatar belakangi berkembangnya
persoalan gelandangan dan pengemis ini antara lain:

a) Mengentaskan Kemiskinan
b) Pendidikan oleh Masyarakat
c) Ajakan Moral

Kegiatan Penanganan Gelandangan dan Pengemis Sesuai dengan Perda No. 4 Tahun 2008
tentang penanganan gelandangan dan pengemis bahwa di Dinas Kesejahteraan dan Sosial Provinsi
Sumatera Utara telah melaksanakan kegiatan di bidang :

10
Kegiatan Preentif dilaksanakan dengan cara memberikan penyuluhan-penyuluhan sosial
yang dilakukan oleh fungsional ke daerah-daerah kabupaten kota dengan jangka waktu 3 bulan
sekali (per-triwulan) dengan mengikut sertakan aparat pemerintahan dari kabupaten atau kota,
Tokoh tokoh masyarakat, Tokoh-tokoh Agama. Brosur-brosur dengan penjelasan tentang
penanganan gelandangan dan pengemis melalui kegiatan rehabilitasi sosial di panti sosial, brosur
ini dibagikan kepada pemerintah kabupaten atau kota, untuk dapat meneruskan kepada
masyarakat. Untuk mendapatkan tanggapan dari tokoh agama, tokoh pendidikan, tokoh
masyarakat, pihak Dinas Kesejahteraan dan Sosial Provinsi Sumatera Utara 1. Bekerjasama
dengan Provinsi Sumatera Utara telah melaksanakan seminar sehari tentang penanganan
gelandangan dan pengemis yang telah dilaksanakan pada awal peluncuran Peraturan Daerah No.
4 Tahun 2008 dengan memanggil narasumber dari perguruan tinggi dan antropolog dari Sumatera
Utara.
Dalam kegiatan preventif, Dinas Kesejahteraan dan Sosial Provinsi Sumatera Utara telah
mengadakan penyuluhan-penyuluhan sosial dan bimbingan sosial ke kabupaten atau kota yang ada
di Provinsi Sumatera Utara dan memberikan kesempatan bekerja untuk kelompok-kelompok
masyarakat rentan, jika tidak diberikan kesempatan untuk bekerja kemungkinan di kota untuk
mencari pekerjaan, tetapi pekerjaan tidak didapat karena latar belakang pendidikan dan
pengetahuan tidak memadai kemungkinan akan menjadi gelandangan dan pengemis.
Kegiatan responsif yang dilakukan oleh Dinas Kesejahteraan dan Sosial Provinsi Sumatera
Utara yaitu dengan penertiban proses kegiatan agar gelandangan dan pengemis taat pada peraturan
dan perundang-undangan dengan mempertimbangkan hak-haknya sebagai manusia. Dalam
kegiatan ini diperlukan juga pendamping dalam penanganan gelandangan dan pengemis untuk
menjalin relasi didalam memecahkan masalah seperti halnya orang tua asuh atau petugas relawan
disebut sebagai Pekerja Sosial Masyarakat (PSM).
Pada kegiatan rehabilitasi sosial pihak Dinas Kesejahteraan dan Sosial Provinsi Sumatera
Utara dalam penanganan gelandangan dan pengemis bekerjasama dengan Satuan Polisi Pamong
Praja (Satpol PP) Provinsi Sumatera Utara dan Kota Medan, Kepolisian Kota Medan.
Melaksanakan razia pada gelandangan dan pengemis yang sedang menjalankan aksi
pengemisannya, setelah razia para Satpol PP membawa tangkapan atau hasil razia ke panti sosial
gelandangan dan pengemis yang ada di kota Binjai yaitu UPT Pelayanan Sosial Gelandangan dan
Pengemis Binjai, disini para gelandangan dan pengemis setelah diseleksi beberapa tahapan sesuai

11
dengan proses pertolongan dalam profesi pekerja sosial, para gelandangan diberikan kegiatan
terdiri daripada bimbingan fisik, bimbingan mental spiritual, bimbingan sosial, bimbingan
keterampilan, bimbingan jaminan sosial, dan resosialisasi.
Program kegiatan penanganan secara berkesinambungan sebagaimana informasi yang
diperoleh, dilakukan dengan 2 (dua) aspek yaitu: (1) Aspek pengendalian, dimaksudkan dalam hal
ini adalah pengendalian seluruh proses kegiatan penanganan yang dilakukan untuk kepentingan
pemerintah dan masyarakat, gelandangan dan pengemis dengan melihat aspek: supervise,
pemantauan dan pelaporan. (2) Indikator keberhasilan, dimaksudkan keberhasilan dalam
penanganan sosial dan gelandangan dan pengemis dapat dilihat dari aspek: petugas atau pegawai
yang mampu memahami teknis penyandang masalah sosial gelandangan dan pengemis dan aspek
masyarakat.
Dari 2 aspek diatas menunjukkan program kegiatan penanganan gelandangan dan pengemis
melalui implementasi kebijakan dan peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah cukup
baik dan terkoordinir secara professional, artinya program ini tidak berhenti pada saat selesai
melaksanakan kegiatan pelaksanaan penanganan gelandangan dan pengemis, tetapi dilanjutkan
pada tahapan selanjutnya.
Dalam melakukan pelaksanaan penanganan gelandangan dan pengemis, sebaiknya
dilakukan secara berkesinambungan dan terus menerus, sehingga hasilnya akan dicapai bisa
maksimal sesuai dengan ketentuan yang sudah dibuat. Setidaknya untuk menjaga standar kualitas
peraturan yang telah diterapkan, petugas pelaksana harus selalu siap untuk memberikan pelayanan
dan penerangan kepada masyarakat yang membutuhkan bantuan.

Jurnal (Annisa)
Belief in just world yang dimiliki oleh individu akan mendorongnya untuk berperilaku
menolong karena membantu seseorang yang membutuhkan merupakan hal yang benar untuk
dilakukan dan orang yang membantu benar-benar akan mendapatkan keuntungan dari perbuatan
baiknya. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Baron dan Byrne (2000), belief in just
world merupakan faktor yang mempengaruhi seseorang untuk menolong.
Tetapi hasil penelitian ini bertolak belakang dengan hasil penelitian sebelumnya. Zick Rubin
dari Harvard University dan Letitia Anne Peplau dari UCLA (1975), pada penelitiannya
menemukan bahwa orang yang memiliki belief in just world yang tinggi cenderung lebih religius,

12
cenderung lebih otoriter dalam kehidupan sehari-hari, memiliki pemikiran yang konservatif,
cenderung masih mendukung nilai-nilai tradisional, mengagumi tokoh-tokoh pemimpin politik
dan lembaga sosial, memiliki sikap negative terhadap orang yang kurang mampu, khususnya para
pengemis dan untuk tingkat yang lebih rendah cenderung kurang merasa untuk ikut serta dalam
perubahan masyarakat. Bertolak belakang dengan penelitian tersebut, penelitian ini justru
menunjukkan bahwa individu yang memiliki belief in just world yang tinggi, perilaku menolong
pengemisnya meningkat. Terjadinya perbedaan antara hasil penelitian ini dengan penelitian
sebelumnya karena penelitian ini dilakukan pada tempat yang berbeda dan budaya yang berbeda.
Penelitian terdahulu dilakukan pada orang-orang Barat, sementara di Indonesia merupakan
negara dengan budaya kolektif yang memiliki interaksi sosial yang tinggi. Ini terbukti dari hasil
penelitian yang dilakukan (Hofstede, 1994) bahwa masyarakat Indonesia memiliki tingkat
kolektivisme yang tinggi dibandingkan negara lainnya. Indonesia yang biasa disebut Bangsa
Timur juga dikenal memiliki sifat yang ramah, saling bergotong-royong, mudah bersosialisasi
serta memiliki sikap peduli terhadap lingkungan sekitar, sedangkan orang-orang Bangsa Barat
cenderung lebih bersifat individualisme ataupun independen (Matsumoto & Juang, 2008).
Individualisme merupakan hubungan antara seseorang yang tidak saling bergantung satu sama lain
hanya mengharapkan mampu menjaga diri sendiri dan keluarga dekat saja (Hofstede, 1994).
Sehingga inilah salah satu factor pendukung yang menjadikan hasil penelitian ini berbeda dengan
penelitian sebelumnya.Selain itu dalam setiap ajaran agama diajarkan saling tolong menolong,
saling mengasihi (Salmadanis, 2012), salah satunya dalam agama Islam yang memandang bahwa
perilaku menolong merupakan fitrah manusia yang dibawa sejak lahir.
Seperti yang tertulis dalam Firman Allah Swt Surah Al-Maidah ayat 2 yang artinya ‘ Dan
tolong menolonglah kamu dalam kebajikan dan ketakwaan dan janganlah tolong menolong dalam
dosa dan pelanggaran” dan disebutkan juga pada (QS 55 Ar-Rahmaan: 60) “. Dan setiap kebaikan
yang kita lakukan akan dibalas dengan kebaikan pula”. Artinya apa yang seorang individu perbuat
akan mendapatkan konsekuensinya di kemudian hari. Sesuai dalam belief in just world terdapat
asumsi bahwa seseorang akan memperoleh apa yang sepatutnya ia peroleh, reward dan punishment
akan diperoleh secara adil sesuai dengan perilaku, sifat dan karakter individu (Lerner, 1980).
Keadaan inilah yang menyebabkan terjadinya hubungan positif antara belief in just world dengan
perilaku menolong pengemis karena orang berpikir jika mereka berbuat baik maka akan
mendatangkan kebaikan juga di kemudian hari.

13
Jurnal Nia
Ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang mengemis terkhusus didaerah Dangko
kelurahan balang baru adalah faktor fisik dimana seseorang mengemis karena keadaan fisik
mereka yang tidak sempurna (penderita kusta), yang tidak mampu melakukan pekerjaan lain
seperti bekerja di pertokoan. Faktor ekonomi, ekonomi adalah ilmu yang mempelajari upaya
manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, baik secara perorangan maupun kelompok dengan
mempergunakan segala perangkat fasilitas yang berhubungan dan mendukung usaha dilakukannya
kegiatan ekonomi, dengan maksud agar memperoleh kesejahteraan atau kemakmuran. Kebutuhan
adalah segala sesuatu yang dibutuhkan manusia untuk mempertahankan hidup serta untuk
memperoleh kesejahteraan dan kenyamanan. Untuk memenuhi kebutuhan, kesejahteraan hidup
seseorang adalah hanya dengan melakukan pekerjaan mengemis karena melihat kondisi fisik
mereka yang tidak sempurna yang tidak dapat bekerja selain dari mengemis.

Penegakan Hukum Yang Mengatur Kegiatan Mengemis


a) Peraturan Daerah
Untuk menghilangkan atau meminimalisir pengemis, gelandangan dan anak jalanan, dinas
sosial kota makassar telah mengeluarkan peraturan daerah tentang pembinaan pengemis.
Peraturan daerah ini tidak hanya mengatur pembinaan, tetapi juga mengatur pelarangan
kepada masyarakat untuk member uang kepada para pengemis. Masyarakat akan diajak
untuk terbiasa member atau menyumbangkan uang melalui lembaga-lembaga resmi.
Dalam peraturan daerah ini juga telah diatur sanksi bagi yang member uang kepada
pengemis.
b) Hukum Islam
Hukum syariat (terdapat dalam alqur’an dan hadits) yang berkaitan dengan perbuatan
subjek hukum, berupa melakukan sesuatu perbuatan memilih atau menentukan sesuatu
sebagai syarat, sebab, atau penghalang. Dalam pokok ajaran Islam ada beberapa hal yang
melarang mengemis itu dijadikan sebagai pekerjaan, diantaranya ialah (1) haram jika
pengemis yang melakukan pekerjaan itu setiap hari memang sudah menjadi kebiasaannya.

14
Jurnal (Fauziah)

Gelandangan dan pengemis atau sering disingkat Gepeng. Mereka pemandangan umum
hampir semua kota di Indonesia. Potret yang meneguhkan keyakinan bahwa masalah sosial di
negeri ini masihlah amat besar. Ada banyak orang yang nasibnya kurang beruntung, sehingga
terpaksa menggantungkan hidup di jalanan. Sebagian memilih menjadi pengasong, penyemir
sepatu, pemulung, dan pengamen. Sedangkan setengahnya lagi menempuh jalan lebih pintas dalam
mengais rejeki menjadi Pengemis.

Permasalahan Gepeng saat ini masih tetap menjadi menjadi beban pembangunan nasional
dewasa ini untuk itu peran Pemerintah dan masyarakat untuk menanggulangi permasalahan ini
tentunya harus dilakukan secara bersama – sama sehingga mampu mengurangi kesenjangan sosial
yang ada. Gepeng merupakan kantong kemiskinan yang hidup diperkotaan. Hal in dosebabkan
karena faktor ekonomi dan kebutuhan hidup yang semakin mendesak.

Mudahnya mencari uang di kota besar seperti Jakarta, Medan dan kota besar lainnya telah
menjadi daya tarik tersendiri buat pendatang dari luar daerah tanpa bekal skill dan pendidikan yang
memadai untuk mengadu nasib. Ketiadaan skill yang dimiliki serta tuntutan untuk memenuhi
kebutuhan hidu dan sifat kemalasan membuat orang memilih untuk menjadi pengemis.
Penyebab banyaknya gepeng dikota besar, bukan hanya korban dari tidak adanya lapangan
pekerjaan, tetapi juga dari faktor tidak adanya keinginan untuk berusaha dan tidak memiliki
keterampilan, dan pada kenyataannya banyak kita lihat gelandangan yang justru masih mampu
berusaha.
Pemerintah resah melihat realita sosial yang memilukan tersebut.Sebab fenomena Gepeng
mencerminkan kegagalan negara dalam mengurusi kependudukan. Citra Indonesia dimata dunia
pun memburuk oleh sebab bertambahnya jumlah penduduk miskin perkotaan. Maka sejumlah
langkah pun diambil untuk mengurangi jumlah pendudu liar yang hidup dijalanan.

2.2 Kerangka Teori


Teori yang kami gunakan dalam penelitian ini ialah teori struktural fungsional. Teori
struktural fungsional ialah menjelaskan bahwa kelompok kelas bawah dalam struktur masyarakat
berupaya mengekspresikan keberadaan mereka dengan menekuni dunia informal sebagai bentuk
resistensi terhadap pembangunan yang cenderung berpihak pada sektor formal. Fenomena

15
pengemis merupakan ungkapan protes terhadap keberpihakan pemerintah terhadap pemilik modal
dan kaum terdidik dengan skill yang memadai serta memprioritaskan sektor formal.

Pengemis merupakan gambaran masyarakat yang tak berdaya. Pengemis tidak mampu
berkompetisi di sektor formal karena pendidikan rendah, tidak memiliki modal, tidak memiliki
keterampilan yang memadai. Sebab itu, mereka biasanya masuk ke sektor informal. Mereka
bekerja serabutan, kerja apa saja, pada sektor yang tidak membutuhkan pengetahuan, modal dan
skill, termasuk meminta-minta. Semua dilakukan, demi kelangsungan hidup pada pengemis.

2.3 Kerangka Konsep

PENGEMIS

RENDAHNYA LEMAHNYA TIDAK ADANYA SKILL


PENDIDIKAN PERATURAN ATAU KEAHLIAN

TERJADINYA
KRIMINALITAS

MEMBLUDAKNYA
PELAKU PENGEMIS

MENINGKATNYA
PENGANGGURAN

16
BAB III

METODE PENELITIAN

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian deskriptif dengan analisis
kualitatif. Deskriptif yaitu menggambarkan, menelaah, dan memaparkan hasil-hasil data yang
telah dikumpulkan sedangkan analisa kualitatif yaitu merupakan kalimat-kalimat atau kata-kata
yang diambil langsung dari informan.

Dalam membahas tentang analisis data dalam penelitian kualitatif, analisis data yang
digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah teknis analisis penelitian kualitatif yang dibantu
dengan model interaktif menurut Matthew B. Miles dan Mickel Hubarman. Sedangkan model
interaktif menurut Matthew B. Miles dan Mickel Hubarman (1992) adalah analisis data yang
terdiri dari beberapa alur kegiatan yaitu: 1) pengumpulan data, 2) reduksi data, 3) penyajian data,
4) penarikan kesimpulan.

17
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian


Pada hari Jumat, tanggal 05 Oktober 2018, kami melakukan penelitian di Jalan Gatot
Subroto, Kelurahan Petisah Tengah, Kecamatan Medan Petisah Kota Medan Sumatera Utara yang
dimulai dari jam 14.00 WIB sampai dengan selesai. Dengan judul penelitiian mengemis di jadikan
mata pencaharian. Dalam hal ini kami mencari narasumber untuk kami wawancarai yang
bersinggungan dengan tugas kami tersebut. Untuk itulah kami mencari seorang pengemis dan pada
hari itu juga kami mendapat seorang Bapak yang bekerja sebagai pengemis yang dimana beliau
juga termasuk penyandang disabilitas.

Kami melontarkan beberapa pertanyaan-pertanyaan terhadap beliau, sebelum kami bertanya


kami memperkenalkan diri dan beliau juga memperkenalkan dirinya. Beliau bernama Amaratun
Siregar yang berumur 38 tahun, beliau juga menjelaskan kepada kami bahwa beliau berasal dari
Tapanuli Selatan. Dalam hal ini kami menanyakan apa yang menjadi alasannya memilih menjadi
seorang pengemis dari pada mencari pekerjaan lain yang dianggap lebih layak oleh masyarakat.
Beliaupun menjawab bahwa “Ia memilih pekerjaan tersebut sebab Ia menyandang disabilitas, Ia
juga mengatakan bahwa telah mencari pekerjaan lain tetapi tidak ada yang mau menerima dengan
alasan bahwa dirinya cacat”. Setelah Ia mencari pekerjaan namun tetap tidak ada yang menerima
sehingga Ia memilih menjdi seorang pengemis.

Kami juga bertanya bagaimana cara Bapak itu datang ke tempat Ia bekerja sebab kami juga
bertanya bahwa Bapak itu tidak mungin berjalan jauh karena kami melihat bahwa Bapak tersebut
seorang penyandang disabilitas. Lalu Ia menjawab bahwa Ia datang ke tempatnya mengemis
diantar oleh seorang tukang becak yang dengan setia mengantar jemput Bapak itu ke tempat Ia
bekerja. Lalu kami juga bertanya apakah Bapak itu melakukan pekerjaan ini untuk memenuhi
kehidupannya dan Bapak itu menjawab bahwa “memang iya Bapak tersebut bekerja sebagai
pengemis untuk memenuhi kehidupannya, sebab Bapak itu tidak ingin menyusahkan keluarganya.

Setelah itu kami juga bertanya pada saat jam berapa Bapak itu melakukan pekerjaannya dan
Bapak itu menjawab bahwa Bapak itu melakukan pekerjaannya dengan tidak menetap, kadangkala
Bapak itu melakukan pekerjaannya dimulai dari jam 10.00 atau jam 11.00 WIB. Ataupun sesuai

18
dengan kondisi cuaca. Dan kami juga bertanya berapakah pendapatan yang diperoleh oleh Bapak
itu dalam satu hari, lalu Bapak itu menjawab “hasil yang diperolehnya tidak menentu, sebab ada
kadangkala Ia memperoleh Rp 50.000 atau Rp 60.000/hari.

Lalu kami mencari seorang narasumber kedua yaitu seorang Bapak yang berprofesi sebagai
penjual sepatu. Yang pertama kali kami lakukan ialah memperkenalkan diri dan maksud dari
tujuan kami mewawancarai. Beliau juga memperkenalkan dirinya, yang bernama Wisnu, yang
berumur 47 tahun, yang berasal dari Aek Nabara. Kami melontarkan pertanyaan lalu Bapak itu
menjelaskan secara spesifik. Kami bertanya tentang bagaimana tanggapan Bapak terhadap
pengemis yang ada di sekitar lingkungan Bapak bekerja, lalu Bapak itu menjawab bahwa beliau
merasa risih dengan adanya pengemis tersebut. Tetapi Bapak itu juga mengatakan antara setuju
dengan tidak setuju dengan adanya pengemis tersebut.

Alasan Bapak itu mengatakan setuju karena ada beberapa para pengemis yang memiliki
keterbatasan fisik, sehingga mereka lebih memilih untuk bekerja sebagai pengemis. Sebab
walaupun mereka bekerja di luar sebagai pengemis namun ada beberapa orang yang tidak
menerima seseorang yang memiliki keterbatasan fisik. Sehingga untuk memenuhi kebutuhannya
mereka secara terpaksa harus menjadi seorang pengemis. Bagaimanapun juga mereka harus
memenuhi kebutuhan hidupnya dan juga kebutuhan keluarganya.

Dan alasan Bapak itu tidak menerima dengan adanya pengemis sebab di lingkungan ada
seorang pengemis yang dianggap masih sehat dan tidak memiliki cacat fisik namun Ia lebih
memilih mengemis dari pada mencari pekerjaan yang lain.

4.2 Pembahasan Penelitian


Pengertian Pengemis

Kata pengemis rupanya telah masuk salah satu kosa kata Bahasa Indonesia yang tentunya
memiliki kata dasar kemis (kamis) bukan emis. Sebutan pengemis pun lebih sering digunakan
daripada kata peminta-minta. Padahal jika diuraikan dan diambil kata dasarnya kata kemis atau
emis mungkin tidak dikenal dalam kosakata Bahasa Indonesia kecuali jika ada tambahan awal pe-
sehingga membentuk istilah pengemis. Lainya dengan kata peminta-minta yang memiliki kata
dasar minta yang artinya sudah jelas bahkan bisa berdiri sendiri.

19
Menurut Perda Pemerintah 31/1980, pengemis adalah orang-orang yang dapat penghasilan
dengan cara meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan
belas kasih dari orang lain.

Faktor yang Menyebabkan Mereka Mengemis

Mereka menjadikan mengemis sebagai pekerjaan mereka dengan berbagai macam alasan,
seperti kemiskinan dan ketidakberdayaan mareka karena lapangan kerja yang sempit. Alasan
seperti itu sudah sangat klasik terdengar dan bukan hal baru lagi di telinga masyarakat Indonesia.
Kebanyakan pengemis biasanya berasal dari kampung atau luar kota. Mereka mencoba
peruntungannya di kota. Namun karena keterbatasan kemampuan dan tidak adanya modal,
membuat para perantau menjadi pengemis. Karena santai, tanpa modal, tidak perlu bersusah
payah, untung yang didapat pun lebih besar dibandingkan harus bekerja sebagai karyawan.

Apabila ditotalkan secara keseluruhan di Indonesia terdapat ratusan ribu sampai jutaan
pengemis, mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, sampai tua. Jumlah pengemis semakin hari
semakain banyak karena berbagai hal. Kehadiran para pengemis cukup membuat sesak kota-kota
yang ada di Indonesia. Pihak pemerintah sudah sering melakukan tindakan pengendalian terhadap
para pengemis dan pengamen, namun tindakan tersebut tidak membuahkan hasil. Segala sesuatu
yang disosialisasikan kepada para pengemis yang ditangkap tidak digubris sama sekali. Alih-alih
mengurangi pengemis yang ada, malah menambah kuota mereka.

Disabilitas fisik atau cacat fisik sering sekali menjadi cara yang dipakai para pengemis,
Mereka berpura-pura cacat fisik untuk menarik simpati dari orang-orang untuk mendapatkan uang.
Tetapi tidak semua pengemis itu berbohong, ada juga yang memang memiliki keterbatasan
kemampuan fisik, sehingga mereka memilih mengemis dibandingkan bekerja. Alasannya karena
tidak ada perusahaan yang mau menerima orang yang memiliki cacat fisik. Meskipun memiliki
otak cerdas tetap saja jarang ada perusahaan yang mau menerima.

Biaya pendidikan yang mahal juga menjadi alasan yang menyebabkan banyaknya pengemis.
Alasan ini mayoritas diungkapkan oleh pengemis cilik. Mahalnya biaya sekolah membuat tidak
semua orang bisa mengenyam pendidikan sebagaimana semestinya, hal ini membuat tidak adanya
pilihan selain menjadi seorang pengemis. Karena tanpa pendidikan yang layak masyarakat tidak

20
memiliki kemampuan akademis yang baik, padahal untuk dapat bekerja mereka harus memiliki
kemampuan akademis.

Tidak adanya lapangan kerja juga membuat orang-orang yang memiliki kemampuan terbatas
menjadi peminta-minta sebagai satu-satunya pekerjaan yang bisa dilakukan. Karena meminta-
minta tidak menuntut sertifikat pendidikan formal ataupun kemampuan akademis lainnya. Padahal
mereka hanya perlu diberikan pelatihan kerja mandiri agar mereka memiliki kemampuan bekerja,
seperti berdagang dan membuat kerajinan tangan. Dan pelatihan yang harusnya mereka dapat,
berasal dari kepedulian pemerintahan terhadap kaum miskin.

Mengemis merupakan sebuah tradisi yang sudah ada dari zaman kerajaan dahulu. Para
pengemis meminta-minta kepada orang-orang untuk mengharapkan sedekah berupa uang dan
beras (sekarang sudah jarang). Kebiasaan mengemis ini seakan tidak luntur dan terus menjadi
pilihan hidup seseorang. Hal inilah yang menjadikan mengemis sebagai tradisi turun temurun
kepada anak cucunya.

Tanggapan Masyarakat Terhadap Pengemis

Berdasarkan hasil penelitian, tanggapan masyarakat terhadap pengemis adalah sebagai


berikut: Peneliti menemukan semua informan tidak setuju dengan keberadaan pengemis, Pertama
keberadaan mereka dianggap menganggu pelanggan mereka terutama saat sedang makan mereka
di buat repot karna harus mengambilkan uang. Kedua cara mereka mengemis yang cenderung
memaksa tidak mau pergi sampai mereka diberi uang, Ketiga mereka juga di anggap sebagai
sampah masyarakat mereka sebenarnya bisa mencari pekerjaan lain selain mengemis tapi mereka
lebih memilih mengemis untuk dijadikan pekerjaan di tambah lagi pengemis yang sebenarnya rata-
rata masih kuat masih mampu mengerjakan pekerjaan lain selain mengemis dan jika dibiarkan
terus menerus pengemis yang ada.
Sikap Masyarakat Terhadap Pengemis berdasarkan hasil Penelitian Penulis, bahwa
tanggapan dan sikap masyarakat sangat mempengaruhi keberadaan pengemis karena pemerintah
tidak mampu mengatasi permasalahan tersebut sendiri tanpa adanya kerja sama dari masyarakat,
dibutuhkan kesadaran masyarakat untuk tidak memberikan uang kepada pengemis sehingga
peraturan yang dibuat oleh pemerintah dapat berjalan dengan baik.

21
Penyebab Meningkatnya Pengemis

a) Pendapatan yang menjanjikan


Banyak orang yang berasal dari kampung maupun kota lebih memilih pengemis sebagai
mata pencahriannya, karena menganggap uang yang dihasilkan dari pengemis sangat
menjanjikan untuk memenuhi kebutuhan hidup daripada menjadi buruh pabrik. Selain itu,
mereka tidak perlu bekerja dan berharap-harap cemas ketika ada PHK atau pemotongan
jumlah karyawan.
b) Malas bekerja
Selain itu, sifat malas namun pintar juga diperlukan karena hanya orang malas yang
memerlukan jenis pekerjaan sperti ini. Akan tetapi para pengemis bukan termaksud orang
bodoh, mereka termasuk orang pintar karena berhasil menaklukan rasa simpati orang
banyak melaui tipu daya yang mereka miliki.
c) Lapangan kerja yang sempit
Lapangan kerja semakin sempit, lowongan untuk menjadi karyawan atau buruh semakin
berkurang, apalagi untuk orang yang tidak meiliki kemampuan akan sangat sulit. Pada
akhirnya mereka pun meneruskan budaya yang sudah ada selama bertahun-tahun yakni
mengemis sebagai pekerjaan mereka.
d) Bisnis paling mengguntungkan
Pada zaman modern sekarang ini, banyak hal yang bias dijadikan sebagai sebuah bisnis.
Mulai dari menjual barang barang sampai jasa bias dijadikan sebagai refrensi bisnis.
Namun tidak hanya berdagang, mengemis pun bias dijadikan bisnis.

22
BAB V

PENUTUP

5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan kata pengemis rupanya telah masuk salah
satu kosa kata Bahasa Indonesia yang tentunya memiliki kata dasar kemis (kamis) bukan emis.
Sebutan pengemis pun lebih sering digunakan daripada kata peminta-minta. Padahal jika diuraikan
dan diambil kata dasarnya kata kemis atau emis mungkin tidak dikenal dalam kosakata Bahasa
Indonesia kecuali jika ada tambahan awal pe- sehingga membentuk istilah pengemis. Lainya
dengan kata peminta-minta yang memiliki kata dasar minta yang artinya sudah jelas bahkan bisa
berdiri sendiri.

Penyebab meningkatnya pengemis ialah pendapatan yang menjanjikan, malas bekerja,


lapangan kerja yang sempit dan bisnis paling menguntungkan.

5.2 Saran
Untuk masyarakat bila menemui para pengemis dan apabila para pengemis itu masih gagah
dan kuat untuk bekerja sebaiknya tidak usah diberi uang karena itu bisa membuat mereka makin
malas mencari pekerjaan. Dan kepada Pemerintah diharapkan dapat merealisasikan tugasnya
dengan baik kalau ada peralihan tugas, misalnya dari dinas kesehatan ke dinas sosial sebaiknya
kesejahteraan masyarakat diutamakan bukan hanya kepentingan pemerintahan saja.

Dan subsidi kepada masyarakat miskin sebaiknya ditambah karena dalam Undang-Undang
telah ditetapkan juga fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara sebaiknya ini
bukan hanya kata-kata saja tetapi direalisasikan dengan benar agar negara Indonesia menjadi
negara yang memang berlandaskan masyarakat yang sejahtera.

23
DAFTAR PUSTAKA

Amalia, L. N. (2014). Implementasi Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2002 Tentang Penertiban
Dan Penanggulangan Pengemis, Anak Jalanan Dan Gelandangan Di Kota Samarinda. eJournal
Ilmu Pemerintahan, 2558-2568.
Dimas. (2013). Pengemis Undercover. Titik Media.
Irwan, S. (2016). Mengemis Sebagai Suatu Pekerjaan. Jurnal Equilibrium Pendidikan Sosiologi,
96-104.
Nasution, C. (2016). Implementasi Kebijakan Program Pembinaan Dinas Sosial Dan Tenaga Kerja
Terhadap Gelandangan Dan Pengemis Di Kota Medan. Jurnal Administrasi Publik, 105-119.
Saputri, S. (2015). Hubungan Antara Belief In Just World Dengan Perilaku Menolong Pengemis.
Jurnal Pemikiran & Penelitian Psikologi, 185-0327.
Zul, M. (2014). Implementasi Kebijakan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2008 Tentang
Penanganan Gelandangan Dan Pengemis Di Kota Medan Pada Dinas Kesejahteraan Sosial
Provinsi Sumatera Utara. Jurnal Administrasi Publik, 71-85.

24
LAMPIRAN

25
26

Anda mungkin juga menyukai