MK. ANTROPOLOGI
LINGKUNGAN DAN PERKOTAAN
SKOR NILAI:
FAUZIAH (3173322024)
OKTOBER 2018
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena dengan rahmat dan
karuniaNYA kami dapat menyusun dan menyelesaikan tugas Antropologi Lingkungan dan
Perkotaan dengan tepat waktu yang berjudul tugas “Laporan Mini Riset”.
Kami sebagai penulis menyadari bahwa isi dan juga penyampaian dalam “Laporan Mini
Riset” ini masih kurang sempurna. Oleh sebab itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran
yang bersifat membangun dan semoga “Laporan Mini Riset” ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Kelompok 1
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Pengemis sebagai lapisan sosial ekonomi dan budaya paling bawah dalam stratifikasi
masyarakat kota. Permasalahan sosial dalam bentuk pengemis di masyarakat terutama di kota
besar merupakan realitas kehidupan yang sebagian orang akan menimbulkan prasangka jelek,
karena dengan adanya pengemis di sekitar tempat tinggal akan menimbulkan perasaan cemas dan
timbulnya kerawanan sosial ekonomi, timbulnya daerah kumuh dan akan mengganggu keamanan
dan ketertiban masyarakat.
Menurut PP No. 31 Tahun 1980, pasal 1 ayat 1 dan 2 menyatakan “Pengemis adalah orang-
orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di tempat umum dengan berbagai
cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain. Menurut Artidjo Alkostar
(1988:100), Pengemis adalah orang yang pekerjaannya meminta-minta hanya saja kondisi
badannya mereka ada yang sehat dan ada yang sakit. Sedangkan menurut Perda Pemerintah
31/1980, pengemis adalah orang-orang yang dapat penghasilan dengan cara meminta-minta di
muka umum dengan berbagai cara dan alasanuntuk mengharapkan belas kasih dari orang lain.
Permasalahan yang timbul akibat adanya pengemis akan membawa pengaruh yang kurang
baik terhadap kehidupan masyarakat, terutama bagi masyarakat kota. Baik pengaruh tersebut
secara langsung maupun tidak langsung yang jelas dapat diamati dan diteliti pada saat ini
banyaknya dan semakin terus bertambah jumlah pengemis di perkotaan, dan hal ini akan membuat
daerah perkotaan menjadi kotor.
2
1.3 Pembatasan Masalah
Karena keterbatasan waktu, biaya dan kemampuan, maka penelitian ini dibatasi denga
ketentuan sebagai berikut:
a) Objek penelitiannya adalah pelaku pengemis dan masyarakat setempat (penjual sepatu).
b) Wilayah penelitiannya berada di Kota Medan, tepatnya di Jalan Gatot Subroto, Kelurahan
Petisah Tengah, Kecamatan Medan Petisah Kota Medan Sumatera Utara.
c) Mencari faktor yang menyebabkan atau alasan tetap bekerja sebagai pengemis.
3
1.6 Manfaat Penelitian
Penelitian yang penulis lakukan ini diharapkan memberikan manfaat bagi pembaca dan
penulis, yaitu sebagai berikut:
4
BAB II
KAJIAN TEORI
5
Mengemis di Mata Islam
Meminta-minta sumbangan atau mengemis pada dasarnya tidak disyari’atkan dalam agama
Islam. Bahkan jika melakukannya dengan cara menipu atau berdusta kepada orang banyak atau
lembaga tertentu yang dimintai sumbangan dengan menampakkan dirinya seakan-akan dia adalah
orang yang edang kesulitan ekinomi, atau sangat membutuhkan biaya pendidikan anak sekolah,
atau perawatan dan pengobatan keluarganya yang sakit, atau untuk membiayai kegiatan tertentu,
maka hukumnya haram dan termasuk ke dalam dosa besar.
Akan tetapi, di dalam hadist disebutkan bahwa terdapat beberapa keadaan yang
membolehkan seseorang untuk mengemis atau meminta-minta sumbangan. Keadaan-keadaan
tersebut di antarnya:
a) Keadaan ketika seseorang menanggung beban diyat (denda) atau pelunasan hutang orang
lain, ia boleh meminta-minta sampai ia melunasinya, kemudian berhenti.
b) Keadaan ketika seseorang ditimpa musibah yang menghabisakan seluruh hartannya, ia
boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup.
c) Keadaan ketika seseorang tertimpa kefakiran yang sangat sehingga disaksikan oleh 3 orang
berakal cerdas dari kaumnya bahwa tertimpa kefakiran, maka halal baginya meminta-minta
sampai ia mendapatkan penegak bagi kehidupannya.
Beberapa solusi yang mungkin bisa mengatasi atau setidaknya mengurangi jumlah pengemis
yang semakin hari semakin banyak:
6
a) Berikan Lapangan Kerja
b) Pelatihan Sosial
c) Kelembangkan Pembangunan Desa
d) Sanksi Tegas Supaya Kapok
e) Jangan Manjakan Pengemis
Perda Pemerintah 31/1980, dalam peraturan pemerintah ini yang dimaksud dengan:
a) Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma
kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat, serta tidak mempunyai tempat tinggal
dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum
b) Pengemis adalah orang-orang yang dapat penghasilan dengan cara meminta-minta di muka
umum dengan berbagai cara dan alasanuntuk mengharapkan belas kasih dari orang lain
c) Menteri adalah menteri sosial
d) Usaha preventif adalah usaha secara terorganisir yang meliputi penyuluhan, bimbingan,
pengawasan, serta pembinaan lanjut kepada berbagai pihak yang ada hubungannya dengan
pergelandangan, dan pengemis sehingga akan tercegah terjadinya :
a. Pergelandangan dan pengemisan oleh individu atau keluarga-keluarga tertentu yang
sedang dalam keadaan sulit penghidupannya
b. Meluasnya pengaruh dan akibatnya adanya pergelandangan dan pengemisan di dalam
masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban dan kesejahteraan pada umumnya
c. Pergelandangan dan pengemisan kembali oleh para gelandangan dan pengemis yang
telah direhabilitasi dan telah ditrasmigrasikan ke daerah permukiman baru ataupun
telah dikembalikan ke tengah masyarakat.
e) Usaha represif adalah usaha-usaha yang terorganisir baik melalui lembaga maupun bukan
dengan maksud menghilangkan pergelandangan dan pengemisan serta mencegah
meluasnya di dalam masyarakat
a) Usaha rehabilitatif adalah usaha-usaha penyantunan, pemberian latihan dan pendidikan,
pemulihan kemampuan dan penyaluran kembali baik ke daerah-daerah permukiman baru
melalui trasmigrasi maupun ketengah-tengah masyarakat, pengawasan serta pembinaan
lanjut, sehingga dengan demikian para gelandangan dan pengemis, kembali memiliki
7
kemampuan untuk hidup secara layak sesuai dengan martabat manusia sebagai warga
negara
Jurnal (Risna)
Menurut Chief J.O. Udoji (dalam Wahab, 2008:5) kebijakan publik adalah suatu tindakan
yang memiliki sanksi yang mengarah pada suatu tujuan tertentu yang diarahkan pada suatu
masalah atau sekelompok masalah tertentu yang saling berkaitan yang mempengaruhi sebagian
besar masyarakat. Untuk itu kebijakan publik merupakan suatu kegiatan yang memiliki aturan
untuk mengatasi suatu masalah atau beberapa masalah yang saling berkaitan yang berhubungan
dengan suatu kepentingan masyarakat secara luas. Sedangkan menurut Nugroho R (2008: 1-7)
kebijakan publik adalah suatu aturan yang mengatur kehidupan bersama yang harus ditaati dan
berlaku mengikat seluruh warganya.
Penertiban yang dimaksud dalam Peraturan No.16 Tahun 2002 tersebut yaitu kegiatan razia
yang bertujuan untuk meminimalisir keberadaan anak jalanan yang dapat mengganggu ketertiban
umum. Sedangkan penanggulangan yaitu dalam Bab II Ketentuan Umum Pasal 2 Peraturan daerah
Kota Samarinda Nomor 16 Tahun 2002 ayat 1. Penanggulangan Pengemis dan Anak Jalanan dapat
dilakukan melalui pembinaan oleh Pemerintah atau perorangan dan atau Badan Hukum. Dalam
Bab II Ketentuan Umum Pasal 2 Peraturan daerah Kota Samarinda Nomor 16 Tahun 2002 ayat 2
yaitu Pembinaan dimaksud pada ayat (1) pasal ini dapat berbentuk Yayasan, Panti-Panti Sosial
dan lain sebagainya yang tujuannya untuk memberikan perbaikan mental baik rohani maupun
jasmaninya, agar pengemis dan atau anak jalanan dimaksud tidak mengulangi perbuatannya untuk
meminta-minta belas kasihan orang lain di jalan yang dapat mengganggu ketertiban umum.
Menurut Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2002 Tentang Penangulangan dan Penertiban
Pengemis, Anak Jalanan dan Gelandangan. Pengemis adalah orang-orang yang melakukan
aktifitasnya dengan meminta-minta di depan umum atau di badan jalan dan atau di simpang-
simpang jalan dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain
dan dapat mengganggu ketertiban umum. Dan Anak Jalanan Menurut Peraturan Daerah Nomor
8
16 Tahun 2002 Tentang Penangulangan dan Penertiban Pengemis, Anak Jalanan dan Gelandangan.
Anak Jalanan merupakan orang-orang atau anak manusia dengan batasan usia 19 tahun ke bawah
yang melakukan aktifitasnya di simpang-simpang jalan dan atau di jalan-jalan umum dalam
wilayah Kota Samarinda dengan tujuan untuk meminta-minta uang baik atas kehendaknya sendiri,
9
Hambatan yang dirasakan oleh pihak instansi penegak peraturan daerah yang sangat terasa adalah
keterbatasan dana untuk pelaksanaan kegiatan penertiban dan penanggulangan dan pemberian
sanksi yang belum optimal yaitu masih mempertimbangkan aspek kemanusiaan.
Diantara faktor-faktor pendukungnya yaitu adanya peraturan daerah nomor 16 tahun 2002
tentang penertiban dan penanggulangan pengemis, anak jalanan dan gelandangan di Kota
Samarinda yang didalamnya tercantum larangan bagi pelanggar yang melanggar ketentuan di
dalam Peraturan Daerah tersebut. Selain itu, di dalam Peraturan Daerah tersebut juga terdapat
perlindungan hukum bagi pihak instansi pelaksana Peraturan Daerah tersebut. Selain faktor adanya
peraturan daerah tersebut, adanya komitmen yang dimiliki oleh instansi penegak peraturan daerah.
Jurnal (Reni)
Upaya penanganan gelandangan dan Pengemis Menurut Kepala Seksi Tuna Sosial Mewah
Tambunan, (22.03.2013). pelaksanaan ketertiban atau yang kita kenal dengan razia pada
gelandangan dan pengemis, wanita tuna susila sering dilaksanakan dan hasil tangkapan atau razia
diserahkan kepada panti sosial yang menangani permasalahan gelandangan dan pengemis atau
tuna susila untuk dibina dan diberikan pelayanan rehabilitasi sosial agar mereka nantinya setelah
selesai menjalani pembinaan dan dikembalikan kepada masyarakat dapat hidup sesuai dengan
norma-norma yang berlaku di masyarakat.
Sudah banyak program dan upaya yang dilakukan secara terpadu dan berkesinambungan
maupun sporadis untuk menanggulangi gelandangan dan pengemis akan tetapi setiap upaya yang
dilakukan tanpa memahami persoalan yang dihadapi secara mendasar akan menimbulkan
alternatif-alternatif yang keliru, hal ini dapat dilihat dari yang melatar belakangi berkembangnya
persoalan gelandangan dan pengemis ini antara lain:
a) Mengentaskan Kemiskinan
b) Pendidikan oleh Masyarakat
c) Ajakan Moral
Kegiatan Penanganan Gelandangan dan Pengemis Sesuai dengan Perda No. 4 Tahun 2008
tentang penanganan gelandangan dan pengemis bahwa di Dinas Kesejahteraan dan Sosial Provinsi
Sumatera Utara telah melaksanakan kegiatan di bidang :
10
Kegiatan Preentif dilaksanakan dengan cara memberikan penyuluhan-penyuluhan sosial
yang dilakukan oleh fungsional ke daerah-daerah kabupaten kota dengan jangka waktu 3 bulan
sekali (per-triwulan) dengan mengikut sertakan aparat pemerintahan dari kabupaten atau kota,
Tokoh tokoh masyarakat, Tokoh-tokoh Agama. Brosur-brosur dengan penjelasan tentang
penanganan gelandangan dan pengemis melalui kegiatan rehabilitasi sosial di panti sosial, brosur
ini dibagikan kepada pemerintah kabupaten atau kota, untuk dapat meneruskan kepada
masyarakat. Untuk mendapatkan tanggapan dari tokoh agama, tokoh pendidikan, tokoh
masyarakat, pihak Dinas Kesejahteraan dan Sosial Provinsi Sumatera Utara 1. Bekerjasama
dengan Provinsi Sumatera Utara telah melaksanakan seminar sehari tentang penanganan
gelandangan dan pengemis yang telah dilaksanakan pada awal peluncuran Peraturan Daerah No.
4 Tahun 2008 dengan memanggil narasumber dari perguruan tinggi dan antropolog dari Sumatera
Utara.
Dalam kegiatan preventif, Dinas Kesejahteraan dan Sosial Provinsi Sumatera Utara telah
mengadakan penyuluhan-penyuluhan sosial dan bimbingan sosial ke kabupaten atau kota yang ada
di Provinsi Sumatera Utara dan memberikan kesempatan bekerja untuk kelompok-kelompok
masyarakat rentan, jika tidak diberikan kesempatan untuk bekerja kemungkinan di kota untuk
mencari pekerjaan, tetapi pekerjaan tidak didapat karena latar belakang pendidikan dan
pengetahuan tidak memadai kemungkinan akan menjadi gelandangan dan pengemis.
Kegiatan responsif yang dilakukan oleh Dinas Kesejahteraan dan Sosial Provinsi Sumatera
Utara yaitu dengan penertiban proses kegiatan agar gelandangan dan pengemis taat pada peraturan
dan perundang-undangan dengan mempertimbangkan hak-haknya sebagai manusia. Dalam
kegiatan ini diperlukan juga pendamping dalam penanganan gelandangan dan pengemis untuk
menjalin relasi didalam memecahkan masalah seperti halnya orang tua asuh atau petugas relawan
disebut sebagai Pekerja Sosial Masyarakat (PSM).
Pada kegiatan rehabilitasi sosial pihak Dinas Kesejahteraan dan Sosial Provinsi Sumatera
Utara dalam penanganan gelandangan dan pengemis bekerjasama dengan Satuan Polisi Pamong
Praja (Satpol PP) Provinsi Sumatera Utara dan Kota Medan, Kepolisian Kota Medan.
Melaksanakan razia pada gelandangan dan pengemis yang sedang menjalankan aksi
pengemisannya, setelah razia para Satpol PP membawa tangkapan atau hasil razia ke panti sosial
gelandangan dan pengemis yang ada di kota Binjai yaitu UPT Pelayanan Sosial Gelandangan dan
Pengemis Binjai, disini para gelandangan dan pengemis setelah diseleksi beberapa tahapan sesuai
11
dengan proses pertolongan dalam profesi pekerja sosial, para gelandangan diberikan kegiatan
terdiri daripada bimbingan fisik, bimbingan mental spiritual, bimbingan sosial, bimbingan
keterampilan, bimbingan jaminan sosial, dan resosialisasi.
Program kegiatan penanganan secara berkesinambungan sebagaimana informasi yang
diperoleh, dilakukan dengan 2 (dua) aspek yaitu: (1) Aspek pengendalian, dimaksudkan dalam hal
ini adalah pengendalian seluruh proses kegiatan penanganan yang dilakukan untuk kepentingan
pemerintah dan masyarakat, gelandangan dan pengemis dengan melihat aspek: supervise,
pemantauan dan pelaporan. (2) Indikator keberhasilan, dimaksudkan keberhasilan dalam
penanganan sosial dan gelandangan dan pengemis dapat dilihat dari aspek: petugas atau pegawai
yang mampu memahami teknis penyandang masalah sosial gelandangan dan pengemis dan aspek
masyarakat.
Dari 2 aspek diatas menunjukkan program kegiatan penanganan gelandangan dan pengemis
melalui implementasi kebijakan dan peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah cukup
baik dan terkoordinir secara professional, artinya program ini tidak berhenti pada saat selesai
melaksanakan kegiatan pelaksanaan penanganan gelandangan dan pengemis, tetapi dilanjutkan
pada tahapan selanjutnya.
Dalam melakukan pelaksanaan penanganan gelandangan dan pengemis, sebaiknya
dilakukan secara berkesinambungan dan terus menerus, sehingga hasilnya akan dicapai bisa
maksimal sesuai dengan ketentuan yang sudah dibuat. Setidaknya untuk menjaga standar kualitas
peraturan yang telah diterapkan, petugas pelaksana harus selalu siap untuk memberikan pelayanan
dan penerangan kepada masyarakat yang membutuhkan bantuan.
Jurnal (Annisa)
Belief in just world yang dimiliki oleh individu akan mendorongnya untuk berperilaku
menolong karena membantu seseorang yang membutuhkan merupakan hal yang benar untuk
dilakukan dan orang yang membantu benar-benar akan mendapatkan keuntungan dari perbuatan
baiknya. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Baron dan Byrne (2000), belief in just
world merupakan faktor yang mempengaruhi seseorang untuk menolong.
Tetapi hasil penelitian ini bertolak belakang dengan hasil penelitian sebelumnya. Zick Rubin
dari Harvard University dan Letitia Anne Peplau dari UCLA (1975), pada penelitiannya
menemukan bahwa orang yang memiliki belief in just world yang tinggi cenderung lebih religius,
12
cenderung lebih otoriter dalam kehidupan sehari-hari, memiliki pemikiran yang konservatif,
cenderung masih mendukung nilai-nilai tradisional, mengagumi tokoh-tokoh pemimpin politik
dan lembaga sosial, memiliki sikap negative terhadap orang yang kurang mampu, khususnya para
pengemis dan untuk tingkat yang lebih rendah cenderung kurang merasa untuk ikut serta dalam
perubahan masyarakat. Bertolak belakang dengan penelitian tersebut, penelitian ini justru
menunjukkan bahwa individu yang memiliki belief in just world yang tinggi, perilaku menolong
pengemisnya meningkat. Terjadinya perbedaan antara hasil penelitian ini dengan penelitian
sebelumnya karena penelitian ini dilakukan pada tempat yang berbeda dan budaya yang berbeda.
Penelitian terdahulu dilakukan pada orang-orang Barat, sementara di Indonesia merupakan
negara dengan budaya kolektif yang memiliki interaksi sosial yang tinggi. Ini terbukti dari hasil
penelitian yang dilakukan (Hofstede, 1994) bahwa masyarakat Indonesia memiliki tingkat
kolektivisme yang tinggi dibandingkan negara lainnya. Indonesia yang biasa disebut Bangsa
Timur juga dikenal memiliki sifat yang ramah, saling bergotong-royong, mudah bersosialisasi
serta memiliki sikap peduli terhadap lingkungan sekitar, sedangkan orang-orang Bangsa Barat
cenderung lebih bersifat individualisme ataupun independen (Matsumoto & Juang, 2008).
Individualisme merupakan hubungan antara seseorang yang tidak saling bergantung satu sama lain
hanya mengharapkan mampu menjaga diri sendiri dan keluarga dekat saja (Hofstede, 1994).
Sehingga inilah salah satu factor pendukung yang menjadikan hasil penelitian ini berbeda dengan
penelitian sebelumnya.Selain itu dalam setiap ajaran agama diajarkan saling tolong menolong,
saling mengasihi (Salmadanis, 2012), salah satunya dalam agama Islam yang memandang bahwa
perilaku menolong merupakan fitrah manusia yang dibawa sejak lahir.
Seperti yang tertulis dalam Firman Allah Swt Surah Al-Maidah ayat 2 yang artinya ‘ Dan
tolong menolonglah kamu dalam kebajikan dan ketakwaan dan janganlah tolong menolong dalam
dosa dan pelanggaran” dan disebutkan juga pada (QS 55 Ar-Rahmaan: 60) “. Dan setiap kebaikan
yang kita lakukan akan dibalas dengan kebaikan pula”. Artinya apa yang seorang individu perbuat
akan mendapatkan konsekuensinya di kemudian hari. Sesuai dalam belief in just world terdapat
asumsi bahwa seseorang akan memperoleh apa yang sepatutnya ia peroleh, reward dan punishment
akan diperoleh secara adil sesuai dengan perilaku, sifat dan karakter individu (Lerner, 1980).
Keadaan inilah yang menyebabkan terjadinya hubungan positif antara belief in just world dengan
perilaku menolong pengemis karena orang berpikir jika mereka berbuat baik maka akan
mendatangkan kebaikan juga di kemudian hari.
13
Jurnal Nia
Ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang mengemis terkhusus didaerah Dangko
kelurahan balang baru adalah faktor fisik dimana seseorang mengemis karena keadaan fisik
mereka yang tidak sempurna (penderita kusta), yang tidak mampu melakukan pekerjaan lain
seperti bekerja di pertokoan. Faktor ekonomi, ekonomi adalah ilmu yang mempelajari upaya
manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, baik secara perorangan maupun kelompok dengan
mempergunakan segala perangkat fasilitas yang berhubungan dan mendukung usaha dilakukannya
kegiatan ekonomi, dengan maksud agar memperoleh kesejahteraan atau kemakmuran. Kebutuhan
adalah segala sesuatu yang dibutuhkan manusia untuk mempertahankan hidup serta untuk
memperoleh kesejahteraan dan kenyamanan. Untuk memenuhi kebutuhan, kesejahteraan hidup
seseorang adalah hanya dengan melakukan pekerjaan mengemis karena melihat kondisi fisik
mereka yang tidak sempurna yang tidak dapat bekerja selain dari mengemis.
14
Jurnal (Fauziah)
Gelandangan dan pengemis atau sering disingkat Gepeng. Mereka pemandangan umum
hampir semua kota di Indonesia. Potret yang meneguhkan keyakinan bahwa masalah sosial di
negeri ini masihlah amat besar. Ada banyak orang yang nasibnya kurang beruntung, sehingga
terpaksa menggantungkan hidup di jalanan. Sebagian memilih menjadi pengasong, penyemir
sepatu, pemulung, dan pengamen. Sedangkan setengahnya lagi menempuh jalan lebih pintas dalam
mengais rejeki menjadi Pengemis.
Permasalahan Gepeng saat ini masih tetap menjadi menjadi beban pembangunan nasional
dewasa ini untuk itu peran Pemerintah dan masyarakat untuk menanggulangi permasalahan ini
tentunya harus dilakukan secara bersama – sama sehingga mampu mengurangi kesenjangan sosial
yang ada. Gepeng merupakan kantong kemiskinan yang hidup diperkotaan. Hal in dosebabkan
karena faktor ekonomi dan kebutuhan hidup yang semakin mendesak.
Mudahnya mencari uang di kota besar seperti Jakarta, Medan dan kota besar lainnya telah
menjadi daya tarik tersendiri buat pendatang dari luar daerah tanpa bekal skill dan pendidikan yang
memadai untuk mengadu nasib. Ketiadaan skill yang dimiliki serta tuntutan untuk memenuhi
kebutuhan hidu dan sifat kemalasan membuat orang memilih untuk menjadi pengemis.
Penyebab banyaknya gepeng dikota besar, bukan hanya korban dari tidak adanya lapangan
pekerjaan, tetapi juga dari faktor tidak adanya keinginan untuk berusaha dan tidak memiliki
keterampilan, dan pada kenyataannya banyak kita lihat gelandangan yang justru masih mampu
berusaha.
Pemerintah resah melihat realita sosial yang memilukan tersebut.Sebab fenomena Gepeng
mencerminkan kegagalan negara dalam mengurusi kependudukan. Citra Indonesia dimata dunia
pun memburuk oleh sebab bertambahnya jumlah penduduk miskin perkotaan. Maka sejumlah
langkah pun diambil untuk mengurangi jumlah pendudu liar yang hidup dijalanan.
15
pengemis merupakan ungkapan protes terhadap keberpihakan pemerintah terhadap pemilik modal
dan kaum terdidik dengan skill yang memadai serta memprioritaskan sektor formal.
Pengemis merupakan gambaran masyarakat yang tak berdaya. Pengemis tidak mampu
berkompetisi di sektor formal karena pendidikan rendah, tidak memiliki modal, tidak memiliki
keterampilan yang memadai. Sebab itu, mereka biasanya masuk ke sektor informal. Mereka
bekerja serabutan, kerja apa saja, pada sektor yang tidak membutuhkan pengetahuan, modal dan
skill, termasuk meminta-minta. Semua dilakukan, demi kelangsungan hidup pada pengemis.
PENGEMIS
TERJADINYA
KRIMINALITAS
MEMBLUDAKNYA
PELAKU PENGEMIS
MENINGKATNYA
PENGANGGURAN
16
BAB III
METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian deskriptif dengan analisis
kualitatif. Deskriptif yaitu menggambarkan, menelaah, dan memaparkan hasil-hasil data yang
telah dikumpulkan sedangkan analisa kualitatif yaitu merupakan kalimat-kalimat atau kata-kata
yang diambil langsung dari informan.
Dalam membahas tentang analisis data dalam penelitian kualitatif, analisis data yang
digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah teknis analisis penelitian kualitatif yang dibantu
dengan model interaktif menurut Matthew B. Miles dan Mickel Hubarman. Sedangkan model
interaktif menurut Matthew B. Miles dan Mickel Hubarman (1992) adalah analisis data yang
terdiri dari beberapa alur kegiatan yaitu: 1) pengumpulan data, 2) reduksi data, 3) penyajian data,
4) penarikan kesimpulan.
17
BAB IV
Kami juga bertanya bagaimana cara Bapak itu datang ke tempat Ia bekerja sebab kami juga
bertanya bahwa Bapak itu tidak mungin berjalan jauh karena kami melihat bahwa Bapak tersebut
seorang penyandang disabilitas. Lalu Ia menjawab bahwa Ia datang ke tempatnya mengemis
diantar oleh seorang tukang becak yang dengan setia mengantar jemput Bapak itu ke tempat Ia
bekerja. Lalu kami juga bertanya apakah Bapak itu melakukan pekerjaan ini untuk memenuhi
kehidupannya dan Bapak itu menjawab bahwa “memang iya Bapak tersebut bekerja sebagai
pengemis untuk memenuhi kehidupannya, sebab Bapak itu tidak ingin menyusahkan keluarganya.
Setelah itu kami juga bertanya pada saat jam berapa Bapak itu melakukan pekerjaannya dan
Bapak itu menjawab bahwa Bapak itu melakukan pekerjaannya dengan tidak menetap, kadangkala
Bapak itu melakukan pekerjaannya dimulai dari jam 10.00 atau jam 11.00 WIB. Ataupun sesuai
18
dengan kondisi cuaca. Dan kami juga bertanya berapakah pendapatan yang diperoleh oleh Bapak
itu dalam satu hari, lalu Bapak itu menjawab “hasil yang diperolehnya tidak menentu, sebab ada
kadangkala Ia memperoleh Rp 50.000 atau Rp 60.000/hari.
Lalu kami mencari seorang narasumber kedua yaitu seorang Bapak yang berprofesi sebagai
penjual sepatu. Yang pertama kali kami lakukan ialah memperkenalkan diri dan maksud dari
tujuan kami mewawancarai. Beliau juga memperkenalkan dirinya, yang bernama Wisnu, yang
berumur 47 tahun, yang berasal dari Aek Nabara. Kami melontarkan pertanyaan lalu Bapak itu
menjelaskan secara spesifik. Kami bertanya tentang bagaimana tanggapan Bapak terhadap
pengemis yang ada di sekitar lingkungan Bapak bekerja, lalu Bapak itu menjawab bahwa beliau
merasa risih dengan adanya pengemis tersebut. Tetapi Bapak itu juga mengatakan antara setuju
dengan tidak setuju dengan adanya pengemis tersebut.
Alasan Bapak itu mengatakan setuju karena ada beberapa para pengemis yang memiliki
keterbatasan fisik, sehingga mereka lebih memilih untuk bekerja sebagai pengemis. Sebab
walaupun mereka bekerja di luar sebagai pengemis namun ada beberapa orang yang tidak
menerima seseorang yang memiliki keterbatasan fisik. Sehingga untuk memenuhi kebutuhannya
mereka secara terpaksa harus menjadi seorang pengemis. Bagaimanapun juga mereka harus
memenuhi kebutuhan hidupnya dan juga kebutuhan keluarganya.
Dan alasan Bapak itu tidak menerima dengan adanya pengemis sebab di lingkungan ada
seorang pengemis yang dianggap masih sehat dan tidak memiliki cacat fisik namun Ia lebih
memilih mengemis dari pada mencari pekerjaan yang lain.
Kata pengemis rupanya telah masuk salah satu kosa kata Bahasa Indonesia yang tentunya
memiliki kata dasar kemis (kamis) bukan emis. Sebutan pengemis pun lebih sering digunakan
daripada kata peminta-minta. Padahal jika diuraikan dan diambil kata dasarnya kata kemis atau
emis mungkin tidak dikenal dalam kosakata Bahasa Indonesia kecuali jika ada tambahan awal pe-
sehingga membentuk istilah pengemis. Lainya dengan kata peminta-minta yang memiliki kata
dasar minta yang artinya sudah jelas bahkan bisa berdiri sendiri.
19
Menurut Perda Pemerintah 31/1980, pengemis adalah orang-orang yang dapat penghasilan
dengan cara meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan
belas kasih dari orang lain.
Mereka menjadikan mengemis sebagai pekerjaan mereka dengan berbagai macam alasan,
seperti kemiskinan dan ketidakberdayaan mareka karena lapangan kerja yang sempit. Alasan
seperti itu sudah sangat klasik terdengar dan bukan hal baru lagi di telinga masyarakat Indonesia.
Kebanyakan pengemis biasanya berasal dari kampung atau luar kota. Mereka mencoba
peruntungannya di kota. Namun karena keterbatasan kemampuan dan tidak adanya modal,
membuat para perantau menjadi pengemis. Karena santai, tanpa modal, tidak perlu bersusah
payah, untung yang didapat pun lebih besar dibandingkan harus bekerja sebagai karyawan.
Apabila ditotalkan secara keseluruhan di Indonesia terdapat ratusan ribu sampai jutaan
pengemis, mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, sampai tua. Jumlah pengemis semakin hari
semakain banyak karena berbagai hal. Kehadiran para pengemis cukup membuat sesak kota-kota
yang ada di Indonesia. Pihak pemerintah sudah sering melakukan tindakan pengendalian terhadap
para pengemis dan pengamen, namun tindakan tersebut tidak membuahkan hasil. Segala sesuatu
yang disosialisasikan kepada para pengemis yang ditangkap tidak digubris sama sekali. Alih-alih
mengurangi pengemis yang ada, malah menambah kuota mereka.
Disabilitas fisik atau cacat fisik sering sekali menjadi cara yang dipakai para pengemis,
Mereka berpura-pura cacat fisik untuk menarik simpati dari orang-orang untuk mendapatkan uang.
Tetapi tidak semua pengemis itu berbohong, ada juga yang memang memiliki keterbatasan
kemampuan fisik, sehingga mereka memilih mengemis dibandingkan bekerja. Alasannya karena
tidak ada perusahaan yang mau menerima orang yang memiliki cacat fisik. Meskipun memiliki
otak cerdas tetap saja jarang ada perusahaan yang mau menerima.
Biaya pendidikan yang mahal juga menjadi alasan yang menyebabkan banyaknya pengemis.
Alasan ini mayoritas diungkapkan oleh pengemis cilik. Mahalnya biaya sekolah membuat tidak
semua orang bisa mengenyam pendidikan sebagaimana semestinya, hal ini membuat tidak adanya
pilihan selain menjadi seorang pengemis. Karena tanpa pendidikan yang layak masyarakat tidak
20
memiliki kemampuan akademis yang baik, padahal untuk dapat bekerja mereka harus memiliki
kemampuan akademis.
Tidak adanya lapangan kerja juga membuat orang-orang yang memiliki kemampuan terbatas
menjadi peminta-minta sebagai satu-satunya pekerjaan yang bisa dilakukan. Karena meminta-
minta tidak menuntut sertifikat pendidikan formal ataupun kemampuan akademis lainnya. Padahal
mereka hanya perlu diberikan pelatihan kerja mandiri agar mereka memiliki kemampuan bekerja,
seperti berdagang dan membuat kerajinan tangan. Dan pelatihan yang harusnya mereka dapat,
berasal dari kepedulian pemerintahan terhadap kaum miskin.
Mengemis merupakan sebuah tradisi yang sudah ada dari zaman kerajaan dahulu. Para
pengemis meminta-minta kepada orang-orang untuk mengharapkan sedekah berupa uang dan
beras (sekarang sudah jarang). Kebiasaan mengemis ini seakan tidak luntur dan terus menjadi
pilihan hidup seseorang. Hal inilah yang menjadikan mengemis sebagai tradisi turun temurun
kepada anak cucunya.
21
Penyebab Meningkatnya Pengemis
22
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan kata pengemis rupanya telah masuk salah
satu kosa kata Bahasa Indonesia yang tentunya memiliki kata dasar kemis (kamis) bukan emis.
Sebutan pengemis pun lebih sering digunakan daripada kata peminta-minta. Padahal jika diuraikan
dan diambil kata dasarnya kata kemis atau emis mungkin tidak dikenal dalam kosakata Bahasa
Indonesia kecuali jika ada tambahan awal pe- sehingga membentuk istilah pengemis. Lainya
dengan kata peminta-minta yang memiliki kata dasar minta yang artinya sudah jelas bahkan bisa
berdiri sendiri.
5.2 Saran
Untuk masyarakat bila menemui para pengemis dan apabila para pengemis itu masih gagah
dan kuat untuk bekerja sebaiknya tidak usah diberi uang karena itu bisa membuat mereka makin
malas mencari pekerjaan. Dan kepada Pemerintah diharapkan dapat merealisasikan tugasnya
dengan baik kalau ada peralihan tugas, misalnya dari dinas kesehatan ke dinas sosial sebaiknya
kesejahteraan masyarakat diutamakan bukan hanya kepentingan pemerintahan saja.
Dan subsidi kepada masyarakat miskin sebaiknya ditambah karena dalam Undang-Undang
telah ditetapkan juga fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara sebaiknya ini
bukan hanya kata-kata saja tetapi direalisasikan dengan benar agar negara Indonesia menjadi
negara yang memang berlandaskan masyarakat yang sejahtera.
23
DAFTAR PUSTAKA
Amalia, L. N. (2014). Implementasi Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2002 Tentang Penertiban
Dan Penanggulangan Pengemis, Anak Jalanan Dan Gelandangan Di Kota Samarinda. eJournal
Ilmu Pemerintahan, 2558-2568.
Dimas. (2013). Pengemis Undercover. Titik Media.
Irwan, S. (2016). Mengemis Sebagai Suatu Pekerjaan. Jurnal Equilibrium Pendidikan Sosiologi,
96-104.
Nasution, C. (2016). Implementasi Kebijakan Program Pembinaan Dinas Sosial Dan Tenaga Kerja
Terhadap Gelandangan Dan Pengemis Di Kota Medan. Jurnal Administrasi Publik, 105-119.
Saputri, S. (2015). Hubungan Antara Belief In Just World Dengan Perilaku Menolong Pengemis.
Jurnal Pemikiran & Penelitian Psikologi, 185-0327.
Zul, M. (2014). Implementasi Kebijakan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2008 Tentang
Penanganan Gelandangan Dan Pengemis Di Kota Medan Pada Dinas Kesejahteraan Sosial
Provinsi Sumatera Utara. Jurnal Administrasi Publik, 71-85.
24
LAMPIRAN
25
26