Anda di halaman 1dari 40

MINI RISET SEJARAH INDONESIA MASA KOLONIAL

PERANG JAGARAGA DI BALI

DOSEN PENGAMPU :

Dr. Rosmaida Sinaga, M.Hum.

KELOMPOK 7

Lastiarma Silaban (3192121004)

Lulu Luciana Sinurat (3192421024)

Rayhan Iqhwadan (3193121007)

A Reguler 2019

JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
penyusunan mini riset yang berjudul “Perang Jagaraga di Bali”, mata kuliah
Sejarah Indonesia Masa Kolonial. Dalam penyusunan makalah ini, penulis juga
tidak terlepas dari bantuan serta dorongan dari beberapa pihak yang memotivasi
dalam pembuatan makalah ini supaya lebih baik dan efisien.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr.
Rosmaida Sinaga, M. Hum, sebagai dosen Sejarah Indonesia Masa Kolonial, yang
telah memberikan tugas dan membimbing penulis dalam pembuatan makalah ini.

Apabila dalam terdapat kesalahan dalam makalah ini,baik dalam isi


maupun sistematika penulisan. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan kritik serta
saran untuk mengembangkan dan menyempurnakan makalah ini. Akhir kata
penulis ucapkan terima kasih.

Medan, 24 April 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................i

DAFTAR ISI........................................................................................................ ii

BAB I : PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG.................................................................................1


1.2 RUMUSAN MASALAH.............................................................................3
1.3 TUJUAN PENULISAN...............................................................................3
1.4 MANFAAT PENULISAN...........................................................................3

BAB II : PEMBAHASAN

2.1 LATAR BELAKANG TERJADINYA PERANG JAGARAGA................4


2.2 PROSES JALANNYA PERANG JAGARAGA.........................................13
2.3 TOKOH-TOKOH PERANG JAGARAGA.................................................25
2.4 DAMPAK PERANG JAGARAGA.............................................................28

BAB III : PENUTUP

3.1 KESIMPULAN............................................................................................35
3.2 SARAN........................................................................................................36

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................37

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Perang Jagaraga merupakan perang antara pasukan Belanda melawan rakyat
Jagaraga. Adapun dijelaskan terdapat beberapa hal yang menjadi faktor terjadinya
perang ini, yakni diantaranya dikarenakan rakyat ingin menuntut balas atas
kekalahannya dalam pertempuran tahun 1846 di Buleleng, adanya ketidakpuasaan
dan kebencian luar biasa dari raja berserta rakyat yang merasa terhina akibat
perjanjian tahun 1846 dan merasa kedaulatannya di langgar, dan dikatakan bahwa
rakyat tidak mampu membayar pampasan yang dianggap terlalu besar. Selain itu,
terdapat penyebab lain yang menjadi faktor terjadinya perang Jagaraga tersebut,
yaitu hak tawan karang yang di miliki raja-raja Bali. Hak ini di limpahkan kepada
kepala desa untuk menawan perahu dan isinya terdampar diperairan wilayah
kerajaan tersebut. Antara Belanda dan kerajaan Buleleng dengan rajanya yaitu raja
I Gusti Ngurah Made Kerang Asem beserta Patih I Gusti Ketut Jelantik telah ada
perjanjian pada tahun 1843 isinya pihak kerajaan akan membantu Belanda jika
kapalnya terdampar di wilayah Buleleng namun perjanjian itu tidak dapat berjalan
dengan semestinya.
Dalam perang ini, baik pasukan Belanda dan rakyat Jagaraga memiliki
siasat atau strategi masing-masing. Adapun rakyat Jagaraga telah memilih desa
Jagaraga sebagai tempat pertempuran, karena jika perang tersebut dilakukan di
pantai, tentu akan mempermudah Belanda untuk menang dalam perang Jagaraga
tersebut, dengan kelengkapan persenjataan yang Belanda miliki. Jagaraga disebut
merupakan suatu desa yang mana merupakan daerah perhutanan. Maka dengan
kondisi alam yang demikian akan membantu rakyat Jagaraga. Selain daripada itu,
siasat yang digunakan oleh rakyat Jagaraga yaitu dengan menggunakan benteng-
benteng yang akan diletakkan dibeberapa tempat. Selain hal tersebut, menyadari
bahwa persenjataan mereka sangat lemah dibandingkan dengan persenjataan
Belanda, maka rakyat Jagaraga menggunakan alam, seperti pasir yang dapat
digunakan untuk menahan ledakan dari granat yang akan dilempar oleh pasukan
Belanda. Sedangkan, Belanda menggunakan siasat dengan melakukan

1
penyelidikan terhadap areal perang. Dalam hal ini, Belanda juga mengakui
kecerdikan daripada rakyat Jagaraga dalam melakukan siasat perang.
Adapun proses jalannya perang Jagaraga tersebut, diawali pada tanggal 7
Maret 1848, yang mana kapal-kapal perang milik Belanda melintas di sekitaran
perairan Buleleng. Kemudian pada tanggal 27 April 1848, pemerintah Belanda
mengumumkan perang kepada rakyat Jagaraga. Lalu pada tanggal 6 Juni 1848,
Belanda mulai melakukan ekspedisi kedua dengan mendarat dj pantai Sangsit.
Adapun dalam ekspedisi kedua tersebut, mereka dilengkapi oleh 22 kapal perang
serta kelengkapan persenjataan. Kemudian, pada tanggal 8 Juni 1848, para
pasukan Belanda yang terbagi atas 4 devisi mulai melakukan penyerangan. Hal
tersebut kemudian menyebabkan terjadinya pertempuran hebat di desa Bungkulan.
Pada tanggal 9 Juni Mayor Sorg berhasil menguasai Bungkulan, namun pada
pertempuran di hari tersebut, rakyat Jagaraga menang dengan menggunakan siasat
yang telah mereka siapkan. Dengan demikian pada tanggal 20 Juni 1848 pasukan
Belanda kembali ke Jawa. Kemudian pada tanggal 14 April 1849, memulai
ekspedisi ketiga dengan mendarat di pantai Sangsit. Dalam ekspedisi ketiga ini
Belanda mampu menguasai induk dari rakyat Jagaraga.

Adapun dari peperangan tersebut menimbulkan dampak baik bagi rakyat


Jagaraga dan bagi pasukan Belanda. Bagi Belanda sendiri meskipun mereka
memenangkan perang tersebut, namun pasukan Belanda juga mengalami kerugian
yang cukup besar dengan banyaknya pasukan Belanda yang tewas dalam perang
tersebut. Dalam rakyat Jagaraga juga banyak yang tewas dalam perang tersebut.
Dari kemenangan yang didapat oleh Belanda, akhirnya seluruh Bali dapat mereka
kuasai, selain itymu raja-raja juga kehilangan kekuasaan atas kerajaan mereka di
Bali. Kemudian Belanda juga berhasil menguasai perdagangan dengan demikian
mereka melakukan monopoli perdagangan. Selain itu Belanda juga mengubah
berbagai struktur sosial di Bali. Adapun dalam perang Jagaraga ini terdapat
beberapa tokoh yang berperan, yaitu I Gusti Ketut Jelantik, Jero Jempiring, raja
Karangasem serta raja Buleleng. Namun meski mengalami kekalahan, dalam
perang Jagaraga dapat diketahui bahwasanya rakyat Jagaraga memiliki siasat yang
sangat cerdik dan mereka memiliki semangat yang kuat dalam mempertahankan
tanahnya dari pihak asing. Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, kami

2
selaku penulis menyusun makalah ini, yang mana berjudul " Perang Jagaraga di
Bali ".

1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis menyusun rumusan


masalah sebagai berikut :
1. Apa latar belakang terjadinya perang Jagaraga di Bali?
2. Bagaimana proses terjadinya perang Jagaraga di Bali?
3. Siapa saja tokoh-tokoh dalam perang Jagaraga di Bali?
4. Bagaimana dampak dari perang Jagaraga di Bali?
1.3 TUJUAN PENULISAN
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan makalah
ini, yaitu sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui latar belakang terjadinya perang Jagaraga di Bali.
2. Untuk mengetahui proses terjadinya perang Jagaraga di Bali.
3. Untuk mengetahui tokoh-tokoh dalam perang Jagaraga di Bali.
4. Untuk mengetahui dampak dari perang Jagaraga di Bali.
1.4 MANFAAT PENULISAN
Manfaat penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.

1. Manfaat Bagi Penulis


Untuk pengembangan keilmuan tentang perang Jagaraga di Bali.

2. Manfaat Bagi Lembaga pendidikan.


Sebagai masukan untuk mensosialisasikan mengenai perang Jagaraga di
Bali.

3. Manfaat Bagi Masyarakat.


Masyarakat mampu memahami dan mengerti perang Jagaraga di Bali.

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 LATAR BELAKANG TERJADINYA PERANG JAGARAGA

A. Tinjauan Geografis

Daerah Bali pada masa lampau terbagi atas Sembilan buah kerajaan, yaitu
Kerajaan Buleleng, Jembrana, Tabanan, Bandung, Mengwi, Gianyar, Klungkung,
Bangli dan Karangsem. Masing-masing daerah di perintah oleh raja sebagai
kepala pemerintahannya. Jagaraga merupakan sebuah desa yang dahulu
merupakan daerah yang berhutan. Jagaraga terletak di wilayah Buleleng bagian
timur. Desa jagaraga menjadi ibu kota kerajaan Buleleng setelah kota Singaraja di
bakar oleh Belanda pada tahun 1846, yaitu pada waktu ekspedisi Belanda pertama
kali ke Buleleng.

Gambar 1. Peta Perang Jagaraga


Sumber : Buku Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di
daerah Bali.
Buleleng disebut juga Bali Utara di bagi atas bagian yaitu Buleleng Barat,
Buleleng Tengah, Buleleng Timur. Di Buleleng timur ini terletak desa Jagaraga.
Dan dipulau ini sering mengalami perubahan disebabkan adanya peperangan-
peperangan yang berlangsung terus-menerus antara beberapa kerajaan di Bali di
masa lampau. Jagaraga yang terletak di wilayah Buleleng bagian Timur ini, dalam
masa lampau merupakan tempat yang masih banyak hutannya. Jagaraga

4
merupakan wilayah yang letaknya sangat strategis. Antara satu kampong dengan
kampong yang lainnya, dibatasi oleh sungai-sungai yang saat itu airnya mengalir
deras. Sungai-sungai itu mempunyai peranan yang sangat membantu pihak
Jagaraga dalam peristiwa tahun 1848 karena dipakai untuk menggenangi sawah-
sawah selaku medan pertempuran yang sungguh-sungguh mempersulit gerakan
maju tentara Belanda. Belanda tidak perpengalaman bertempur dalam medan
seperti itu.

Sedangkan Jagaraga letak yang demikian strategis ini justru menguntungkan


dalam perjuangan membela diri dari nafsu serakah kolonialisme Belanda. Di
samping itu tempat yang agak berhutan memudahkan mengatur siasat secara
gerilya. Di bagian Utara terletak Sangsit dan dari tempat itulah Belanda mulai
serangannya ke Buleleng. Di samping itu, Sangsit merupakan tempat berlabuhnya
kapal-kapal Belanda. Letak sangsit betul-betul menguntungkan bagi Belanda
waktu itu. Jagaraga merupakan rumah tangga terutup, maksudnya desa tersebut
memprosedur hasil-hasil untuk kepentingan penduduknya sendiri. Penghidupan
penduduknya yang terutama ialah bercocok tanam. Sawah-sawahnya cukup
banyak dan penduduknya juga cukup cakap dalam mengatur pengairan untuk
keperluan pertanian tersebut.

B. Struktur Pemerintahan Di Buleleng Pada Awal Abad XIX


1. Pemerintahan Keturunan Panji Sakti
Untuk mengetahui sejarah pemerintahan dari raja-raja yang memerintah
di Buleleng perlu kiranya diketahui terlebih dahulu secara singkat tentang
keturunan dari raja Panci sakti yang sangat penting artinya bagi sejarah
Buleleng, karena dialah peletak dasar atau pendiri dari Kerajaan
Buleleng. Di dalam Babad Buleleng diceritakan bahwa raja-raja yang
memerintah di Buleleng dan raja-raja di Bali adalah keturunan dari
Danghyang Kepaksian. Danghyang Kepaksian di Bali adalah seorang
pendeta sebagai penasehat dan patih Nirada Mada. Pada masa ini Patih
Nirada Mada Menjabat Patih dari Sri Aji Kala Gemet raja Majalangan.
Pada masa pemerintahan raja Panji Sakti seringkali diadakan
mangadakan perang, antara lain penaklukan atas Blambangan, Jembrana

5
pada tahun 1691, kemudian Mengwi. Kebiasaan zaman dahulu adalah
kerajaan yang ditaklukkan di satukan dengan perkawinan. Ki Gusti
Ngurah Panji Sakti menikah dengan Ki Gusti Ayu Rai. Tidak lama
kemudian Ki Gusti Ngurah Panji Sakti menyerang kerajaan Badung.
Pertempuran seru ini terjadi di Taensiat. Peperangan ini diakhiri dengan
perkawinan Panji Sakti dengan seseorang perempuan Wesia dari Banjar
Ambengan Badung.
Tidak ketinggalan Ki Gusti Ngurah Panji Sakti mangkat. Pemerintahan di
Buleleng kini di pegang oleh putranya yang sulung bernama Ki Gusti
Ngurah Panji Gede dan diwakili oleh adiknya yang tinggal di Puri
Sukasada. Tentang pemerintahan kediia saudara ini tidak banyak
diketahui. Setelah kedua bersaudara ini mengkat yang menduduki Tahta
kerajaan ialah Ki Gusti Ngurah Panji Bali yaitu anak dari Ki Gusti
Ngurah Panji Made. Dalam masa pemerintahannya beliau mengadakan
perbaikan Puri Singaraja. Ki Gusti Ngurah Panji Bali memiliki 2 putra
tetapi memiliki ibu yang berbeda. Putra yang pertama bernama Ki Gusti
Ngurah Panji yang menjadi raja di Sukasada dan adiknya bernama Ki
Gusti Ngurah Jelantik yang menjadi raja di Singaraja. Ki Gusti Ngurah
Panji Bali membagi kerajaan Buleleng menjadi dua, hal dilakukan untuk
menghindari perang saudara. Namun, tindakan yang dilakukan gagal
yang menyebakan terjadinya perang saudara.
2. Perang Saudara
Makin lama pertentangan antara kakak beradik yaitu I Gusti Ngurah
Panji raja Sukasada melawan I Gusti Ngurah Jelantik raja Singaraja
makin meruncing. Hal ini disebabkan, karena sama-sama merasa tidak
puas dan akhimya meletuslah perang saudara. Raja Singaraja I Gusti
Ngurah Jelantik minta bantuan kepada raja Amlapura (Karangasem) yang
bernama I Gusti Ngurah Ketut Karangasem dan patihnya Ki Gusti
Nengah Sibetan yang menjabat Adipati di Selat, Karangasem. Diadakan
perjanjian antara raja Singaraja dengan raja Karangasem di mana
ditetapkan, bila I Gusti Ngurah Jelntik dapat mengalahkan kakaknya raja
Sukasada, raja Karangasem akan diberikan ikut memerintah di Buleleng.

6
Kemudian didatangkan bala bantuan dari Karangasem menuju Buleleng
dan terus berkurnpul di purl Singaraja. Raja Sukasada yang mendengar
berita bahwa I Gusti Ngurah Jelantik minta bantuan ke Karangasem,
mulai bersiap-siap untuk mengadakan perlawanan terhadap Singaraja.
Pada tahun 1804 meletuslah perang saudara itu. Berkat bantuan yang
didatangkan dari Karangasem, akhimya raja Sukasada menderita kalah.
Sejak saat itu pemerintahan di Buleleng dipegang oleh I Gusti Ngurah
Jelantik dan beristana di Singaraja. Atas perintah Ki Gusti Ngurah Ketut
Karangasem, maka I Gusti Nyoman Karangasem dari Karangasem diberi
kekuasaan untuk bersama-sama memerintah di Singaraja sebagai raja
bawahan. Setelah I Gusti Ngurah Jelantik wafat, atas persetujuan raja
Karangasem pemerintahan di Buleleng dipegang oleh I Gusti Nyoman
Karangasem. Sedangkan anak dari I Gusti Ngurah Jelantik 12 yang
bemama I Gusti Bagus Jelantik Banjar dijadikan patih di Bangkang,
sebelah barat Banyumala Mulai saat itu pemerintahan di Singaraja
dipegang oleh keturunan raja-raja Karangasem.
3. Masa Pemerintahan
Raja-Raja Karangasem Tiada berapa lama I Gusti Nyoman Karangasem
menjadi raja di Buleleng beliau wafat, dan diganti oleh Ki Gusti Agung
Made Karangasem Sari dari Karangasem. Beliau juga tidak lama
memerintah kerajaan Buleleng karena tiga tahun kemudian ia meletakkan
jabatan. Ia digantikan oleh I Gusti Ngurah Agung yang akhirnya wafat di
desa Pengambengan Jembrana, karena rakyat Jembrana tidak setuju
diperintah raja tersebut. Sedangkan I Gusti Bagus Jalantik Banjar yang
menjadi patih di Bangkang meninggal karena tertirnbun tanah longsor
pada tahun 1738 (1829 M).
Beliau memindahkan purl Singaraja ke sebelah barat jalan. Masa
pemerintahannya penuh dengan kekejaman. Ia menjalankan
pemerintahan dengan tangan besi, sehingga rakyat mengalami kecemasan
dan penderitaan. Beliau tidak segan-segan menjatuhkan hukuman mati
terhadap rakyatnya. Tidak mengherankan bila dalam masa
pemerintahannya timbul ketidakpuasan di kalangan kaum bangsawan dan

7
rakyat. Pada suatu ketika meletus pemberontakan yaitu pada saat
diadakan pertunjukan wayang di istana. Terjadilah huru-hara sehingga
banyak yang menjadi korban. Keesokan harinya raja mengerahkan semua
tentaranya untuk menyerang para bangsawan yang ada di Buleleng dan
Sukasada. Dalam serangan ini ratusan kaum bangsawan meninggal.
Banyak yang dapat meloloskan diri, kemudian terus mengungsi. Di
antaranya yang lolos ialah Ki Gusti Made Kari dan Ki Gusti Ketut Panji
yang dulu tinggal di Sukasada pindah ke Mengwi. Pengungsian para
bangsawan ini penting artinya bagi perkembangan keluarga bangsawan
Singaraja selanjutnya. Ki Gusti Nyoman Panji dan saudaranya Ki Gusti
Ketut Jelantik Sangket pindah 13 ke desa Paitji yang kemudian
menurunkan para bangsawan Bangkang. Banyaklah bangsawan yang
berpindahan akibat kekejaman raja I Gusti Agung Pahang; ada yang lari
ke Tabanan, Kubutambahan dan ada pula yang lari ke Lombok yaitu Ki
Gusti Ketut Jelantik Juali yang menetap di Karang Buleleng - Sasak.
Pada tahun 1823 I Gusti Agung Pahang merencanakan untuk menyerang
Karangasem. Tepi karena rakyat tidak sependapat, sesampainya di desa
Bukti, yaitu di sebelah timur desa Kubutambahan, rakyat memberontak,
sedangkan I Gusti Agung Pahang sempat melarikan diri ke Karangasem.
Sampai di Karangasem ia dibunuh oleh tentara Karangasem atas perintah
raja Karangasem yaitu I Gusti Gede Lanang Paguyangan. Pada tahun
1843 I Gusti Ngurah Made Karangasem Sari menjadi raja di Buleleng
dengan dibantu kemenakan beliau I Gusti Ketut Jelantik Gingsir
menjabat sebagai patihnya. Beliau merupakan seorang raja yang
bijaksana dan pemberani yang berhasil mempersatukan kembali
Buleleng. Beliau pemah menaklukkan desa-desa di pegunungan Bangli
terutama desa Payangan. Pada masa pemerintahan beliau inilah Buleleng
menjadi gelanggang pertumpahan darah, rakyat Buleleng bersatu padu
menentang penjajah Belanda.

Perang Jagaraga merupakan perang yang terjadi antara Koninklijk


Nederlandsch-Indisch Leger dengan Kerajaan Bali pada tahun 1849. Pada tanggal
8 Juni 1848, Belanda mulai mengadakan serangan terhadap daerah Jagaraga

8
dengan menghujankan tembakan-tembakan meriam dari pantai Sangsit. Bagi
Belanda pantai Sangsit harus dikuasai dan dipertahankan sebab Sangsit
merupakan salah satu pantai yang masih bisa digunakan sebagai penghubung
antara Bali dengan Batavia. Disamping itu penduduk Sangsit dengan mudah dapat
dibina agar membantu pemerintah Belanda. Dalam ekspedisi Belanda yang kedua
ini, Belanda telah mempersiapkan pasukannya secara matang. Dalam ekspedisi
ini, pasukan militer Belanda diangkut oleh kapal-kapal perang sebanyak 22 buah
seperti : kapal perang Merapi, Agro, Etna, Hekla, Anna, A.R. Falck, Ambonia dan
Galen dan sebagainya. Masing-masing kapal perang itu dilengkapi dengan
persenjataan yang berupa meriam dan persenjataan lainnya.

Kekalahan Belanda dalam ekspedisinya yang pertama ke Bali benar-benar


di luar dugaan, Belanda menjadi marah dengan diundurkannya serangan balasan
pada tahun 1848. Seorang perwira Belanda bernama Rochussen menulis kepada
Jenderal Van der Wijck, bahwa jika ia diharuskan menjabat terus pangkatnya
yang sekarang, ia tidak mau beristirahat sebelum dapat memusnahkan Jagaraga.

Dengan gugurnya Patih Jelantik maka berhenti pulalah perlawanan Jagaraga


terhadap pasukan Belanda. Dalam serangan ini, dengan mengadakan pertempuran
selama sehari, Belanda telah berhasil memukul hancur pusat pertahanan dari
laskar Jagaraga, sehingga secara politis benteng Jagaraga secara keseluruhan telah
jatuh ke tangan pemerintah Kolonial Belanda pada tanggal 19 April 1849, dengan
jumlah korban di pihak Jagaraga kurang lebih sekitar 2200 orang, termasuk 38
orang pedanda dan pemangku, lebih 80 orang Gusti, serta 83 pemekel, sedang di
pihak Belanda menderita korban sebanyak kurang lebih 264 orang serdadu
bawahan maupun tingkat yang lebih tinggi.

Di Bali terdapat hukum tawan karang. Yaitu hukum yang memberikan hak
kepada kerajaan di Bali untuk merampas kapal-kapal yang terdampar di perairan
Bali dan seluruh isinya termasuk anak buah kapal sebagai asset mereka. Hukum
Tawan Karang tetap saja dilakukan oleh rakyat Buleleng sepanjang pesisir.
Bahkan sering mengganggu pelayaran Belanda.

9
Pada tahun 1841, Belanda mengadakan suatu perjanjian dengan raja
Buleleng dimana hukum Tawan Karang tersebut tidak berlaku kepada kapal-kapal
Belanda. Pada tahun 1844 perjanjian tersebut dijalankan. Pada tahun itu juga,
ketika sebuah kapal milik Belanda terdampar di Bali, kapal itu dirompak dan
protes atas perlakuan itu diabaikan, yang berarti penguasa Bali melanggar
kesepakatan, sehingga pemerintah colonial Belanda di Jawa tak bisa lagi
mentoleransi dan melancarkan ekspedisi.

Latar belakang dari kerajaan Buleleng adalah Patih Jelantik tetap pada
pendiriannya semula yaitu bertekad mengusir Belanda dari wilayah kerajaan
Buleleng. Untuk mewujudkan keinginan ini, Patih Jelantik mempersiapkan Desa
Jagaraga sebagai pusat kegiatan untuk mencapai maksudnya. Namun tindakan-
tindakan serdadu Belanda merampas ibukotanya merampok rumah-rumah rakyat
menimbulkan dendam pada rakyat Buleleng. Maka Patih Jelantik secara rahasia
telah mengirimkan mata-mata untuk mengetahui kegiatan serdadu Belanda di
Pabean dan kemudian mengambil kesimpulan bahwa Belanda telah
mempersiapkan suatu penyerangan besar-besaran terhadap Jagaraga. Karena itu
Patih Jelantik memutuskan memperkuat Jagaraga dalam system perbentengan,
kekuatan lascar, dan persenjataan.

Ada juga yang berpendapat bahwa latarbelakang perang jagaraga di Bali


adalah: Bali terdapat sejumlah wilayah, yaitu Buleleng, Karangasem, Klungkung,
Gianyar, Badung , Jembaran, Tabanan, Mengwi, dan Bangli. Wilayah-wilayah ini
masing-masing mempunyai kekuasaan sendiri dan merupakan negara merdeka.
Hubungan antara raja-raja di Bali dengan Belanda sebenarnya telah ada sejak abad
ke-17. Akan tetapi, hubungan ini  bukanlah hubungan politik. Hubungan raja-raja
Bali pada tahun 1827 dan seterusnya sampai 1831 dengan pemerintah Hindia
Belanda hanyalah dalam bidang sewa-menyewa orang untuk dijadikan bala
tentara pemerintah Hindia Belanda.

Hubungan politik antara raja-raja Bali dengan pemerintah Hindia Belanda


baru terjadi pada tahun 1841 tatkala raja Karangasem meminta bantuan dari
pemerintah Hindia Belanda guna memulihkan kekuasaanya di Lombok. Hal ini

10
memberi kesempatan kepada pemeirntah Hindia Belanda untuk mengikat negara
itu dengan suatu perjanjian yang akan membuka pintu untuk mengadakan
hubungan poilitik dengan negara-negara diseluruh Bali. Pada tahun 1841 juga
diaadakan perjanjian dengan raja-raja Klungkung, Badung, dan Buleleng.

Jika dilihat isi perjanjian, tampak bahwa pemerintah Hindia Belanda


berusaha untuk meluaskan daerah kekuasaannya. Dalam perjanjian tersebut antara
lain, dinyatakan bahwa raja-raja Bali mengakui bahwa kerajaan-kerajaan Bali
berada dibawah kekuasaan negara Belanda, raja-raja Bali tidak akan menyerahkan
kerajaannya kepada bangsa Eropa lainnya, raja memberi izin pengibaran bendera
Belanda di daerahnya.

Suatu masalah yang menyulitkan hubungan antara Belanda dan kerajaan


kerajaan di Bali adalah berlakunya hukun tawan karang, yaitu hak dari Bali untuk
merampas perahu yang terdampar di pantai wilayah kekuasaannya. Hukum tawan
karang ini telah menimpa kapal-kapal Belanda seperti yang dialami pada tahun
1841 dipanati wilayah Badung.

Meskipun dalam tahun 1843 raja-raja Buleleng, Karangasem, dan beberapa


raja lainnya telah menandatangani perjanjian penghapusan tawan karang, ternyata
mereka tidak pernah melaksanakannya dengan sungguh-sunggguh. Pada tahun
1844 di Pantai Prancak dan Sangsit terjaid pula perampasan terhadap kapal-kapal
Belanda yang terdampar. Percekcokan kemudian timbul diantara kerjaan-kerajaan
tersebut dengan Belanda. Raja-raja Bali dituntut agar mau menghapuskan hak
tersebut.

Dalam tahun 1845 Raja Buleleng menolak pengesahan perjanjian


penghapusan hukum tawan karang yang diajukan oleh pemerintah Hindia
Belanda. Sementara itu, tuntutan Belanda agar Raja Buleleng melaksanakan isi
perjanjian yang mereka buat pada tahun 1841 dan 1843, yaitu mengganti kerugian
atas kapal-kapal Belanda yang dirampas dan menerima kekuasaan Hindia
Belanda, telah menimbulkan kegelisahan pada diri raja.

11
Patih Buleleng, Gusti Ketut Jelantik, dengan tegas mengatakan bahwa
tuntutan tersebut tidak mungkin diterima. Gusti Jelantik yang terkenal sangat
menentang Belanda mengetahui akibat yang akan terjadi dengan penolakan
tuntutan pemerintah Hinida Belanda tersebut. Ia menghimpun pasukan,
menggiatkan latiahan berperang, serta menambah perlengkapan dan persenjataan
guna menghadapi hal-hal yang tidak diingikan.

Sikap menentang dari Buleleng mendorong pemerintah Hindia Belanda


untuk mengeluarkan ultimatum pada tanggal 24 juni 1846 yang berakhir dalam
waktu 3×24 jam. Isi ultimatum tersebut, antara lain menyebutkan agar Raja
Buleleng mengakui kekuasaan Belanda, menghapuskan hak tawan karang, dan
memberi perlindungan terhadap perdagangan Hindia Belanda. Batas waktu
ultimatum sampai 27 Juni 1846 tidak dapat dipenuhi oleh raja Buleleng. Untuk
memikirkan masalah itu, raja membutuhkan waktu 10 hari. Gusti Jelantik yang
diutus oleh raja untuk merundingkan hal itu dengan Dewa Agung dari Klungkung,
telah menyatakan pendiriannya kerjaan Karangasem juga telah menyatakan sikap
menentang pemerintah Hindia Belanda.

Adapun yang menjadi penyebab Perang Jagaraga di Bali adalah:

A. Sebab Umum
1. Dari pihak Buleleng:
a. Karena ingin menuntut balas atas kekalahannya dalam pertempuran
tahun 1846 di Buleleng.
b. Karena adanya ketidakpuasaan dan kebencian luar biasa dari raja
berserta rakyat yang merasa terhina akibat perjanjian tahun 1846
dan merasa kedaulatannya di langgar.
c. Tidak sanggupnya Buleleng membayar pampasan perang yang
dianggap terlalu memberatkan pihak Buleleng.
2. Dari pihak Belanda:
a. Karena Buleleng dianggap tidak menepati perjanjian tahun 1846.
b. Karena rakyat Buleleng sering mengganggu tempat kedudukan
tentara Belanda yang ditinggalkan di Buleleng.

12
c. Ketakutan pada pihak Belanda akan pengaruh raja Klungkung yang
telah berhasil mempersatukan raja-raja di Bali untuk melawan
Belanda.
d. Karena tawan karang masih ditetap dijalankan oleh rakyat di
Buleleng, yaitu bahwa Buleleng berjanji tidak melaksanakannya
lagi.
B. Sebab Khusus:
Faktor yang menyebabkan perang Bali antara tahun 1846-1849. Masalah
utamanya adalah adanya hak tawan karang yang di miliki raja-raja Bali.
Hak ini di limpahkan kepada kepala desa untuk menawan perahu dan
isinya terdampar diperairan wilayah kerajaan tersebut. Antara Belanda
dan kerajaan Buleleng dengan rajanya yaitu raja I Gusti Ngurah Made
Kerang Asem beserta Patih I Gusti Ketut Jelantik telah ada perjanjian
pada tahun 1843 isinya pihak kerajaan akan membantu Belanda jika
kapalnya terdampar di wilayah Buleleng namun perjanjian itu tidak dapat
berjalan dengan semestinya.
Pada tahun 1844 kapal Belanda terdampar di wilayah Buleleng Timur
(Sangsit) dan Buleleng Barat (Prancah). Dengan adanya kejadian tersebut
Belanda menuntut agar kerajaan Buleleng melepaskan hak tawan karanya
sesuai perjanjian tahun 1843 itu namun di tolak. Kejadian tersebut
dijadiin alasan oleh Belanda untuk menyerang Buleleng.
2.2 PROSES JALANNYA PERANG JAGARAGA
A. Persiapan Perang Jagaraga

Perang Bali II atau dikenal dengan perang Jagaraga merupakan perang


antara pasukan Belanda melawan rakyat Bali, yang terjadi pada tahun 1848.
Menurut Yuliani, dkk (2018 : 42), Jagaraga diambil dari nama suatu desa, yang
mana merupakan areal pertempuran antara pasukan Belanda dengan rakyat Bali.
Adapun proses terjadinya perang Jagaraga tersebut, diawali dengan pengiriman
utusan ke raja Klungkung yang dilakukan oleh patih Jelantik dengan tujuan
menambah kekuatan laskarnya. Adapun utusan yang dikirim tersebut dipimpin
oleh I Gusti Ketut Jelantik. Selain kepada raja Klungkung, utusan-utusan juga
dikirim ke raja-raja lain. Adapun setiap utusan tersebut membawa sepucuk surat

13
dari raja Buleleng. Sepucuk surat tersebut berisi permintaan kesediaan daripada
raja-raja untuk mengusir Belanda dari pulau Bali. Dalam hal ini juga diminta
kepada setiap raja-raja untuk memberikan sumbangsih dengan menambah jumlah
lascar dan juga membantu dalam hal persenjataan. Ternyata surat tersebut
mendapat respon yang posistif dari raja-raja tersebut. Mereka mendukung
keputusan dari raja Buleleng dan patih Jelantik tersebut, maka kemudian pasukan
dikerahkan ke Jagaraga.

Laskar bantuan dalam melawan pasukan Belanda mulai berdatangan, salah


satunya dari Dewa Agung Putra, yang merupakan pimpinan daripada raja-raja
yang ada di Bali. Dewa Agung Putra memberikan dukungan dengan menyediakan
pasukan dengan 1650 orang dan dilengkapi dengan persenjataan. Selain Dewa
Agung Putra, Kerajaan Mengwi juga menyediakan bantuan, yakni pasukan
berjumlah 600 orang. Demikian halnya dengan Kerajaan Karangsem yang
memberikan pasukan berjumlah 1200 orang yang dipimpin oleh I Made Jungutan
dan juga Gde Padang. Dengan laskar bantuan dari beberapa raja Bali, pasukan
yang terkumpul untuk perang tersebut berjumlah ± 8000 orang. Adapun pasukan
ini juga dilengkapi dengan persenjataan.

I Gusti Ketut Jelantik menjadi pemimpin dari pasukan tersebut. sebagai


pemimpin pasukan, I Gusti Ketut Jelantik menyediakan pondok-pondok laskar,
yang dibuat disekitar perkampungan. Dalam persiapan perang tersebut, pasukan
rakyat Bali mendapat persiapan makanan, yang disediakan oleh rakyat Jagaraga.
Tentu I Gusti Ketut Jelantik sebagai pemimpin dalam perang ini, memiliki siasat
dalam melawan Jepang. Selain dalam hal persiapan pangan, rakyat Jagaraga dan
pemerintah setempat memberikan bantuan lainnya, yakni dalam hal penjagaan
senjata-senjata. Persenjataan yang akan digunakan dalam perang disimpan di
rumah-rumah warga. Adapun beberapa senjata tersebut, diantaranya tombak,
perisai, pedang, keris, dan beberapa senjata api. Pasukan perang tersebut juga
telah dipersiapkan dengan baik, dengan adanya pelatihan yang dibuat oleh patih
Jelantik. Latihan-latihan yang dibuat oleh patih Jelantik tersebut bertujuan untuk
membuat pasukan tersebut tangguh dalam melawan pasukan Belanda. Adapun

14
bentuk latihan yang dilakukan terfokus dalam hal sistem pertahanan dan
penyerangan.

Sebagai pemimpin pasukan, I Gusti Ketut Jelantik menyadari bahwasanya


pasukan Belanda memiliki kelebihan dalam beberapa hal dibanding dengan
pasukannya. Misalnya, dalam hal persenjataan. Belanda tentu telah memiliki
senjata-senjata yang lebih modern, seperti misanya senapan api serta meriam.
Selain itu, tentu pasukan Belanda tersebut telah dibekali persediaan makanan yang
memadai. Maka dengan demikian, I Gusti Ketut Jelantik menggunakan sistem
pertahanan supit udang atau makara wyuha, untuk dapat mengimbangi pasukan
Belanda tersebut.

Adapun pemilihan Jagaraga sebagai areal pertempuran, juga merupakan


bagian dari siasat I Gusti Ketut Jelantik, yang mana Beliau menyadari
bahwasanya dalam hal perang, daerah Pantai hanya akan mempermudah pasukan
Belanda untuk menembaki pasukannya dengan senapan api. Maka I Gusti Ketut
Jelantik Jagaraga sebagai areal pertempuran rakyat Bali dengan pasukan Belanda.
Dalam buku Sejarah Perlawanan terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di
Daerah Bali yang ditulis oleh Sutaba (1983 : 34-35), Jagaraga merupakan suatu
desa yang dahulunya merupakan daerah berhutan, yang terletak di wilayah
Buleleng bagian timur. Selain itu, I Gusti Ketut Jelantik juga mendirikan suatu
benteng yang akan digunakan pasukan rakyat Bali dari serangan pasukan Belanda.
Benteng yang didirikan tersebut, dibangun dengan kuat, tebal serta tinggi. Adapun
I Gusti Ketut Jelantik juga membangun pintu yang pada bagian depannya,
ditanami beberapa pohon bambu yang berduri, sehingga dapat digunakan sebagai
penutp dari pasukan Belanda. Di antara pintu dan benteng, kemudian dibuat suatu
parit, yang memiliki ukuran cukup lebar serta dalam di dasar parit tersebut akan
ditancapkan pancang yang tajam. Tujuan dibuatnya parit ini adalah sebagai
jebakan untuk pasukan Belanda.

Kemudian pasukan I Gusti Ketut Jelantik juga membangun suatu tembok


benteng utama yang dibangun dengan menggunakan tanah liat yang ditimbun
kemudian disusun agar membentuk suatu tembok benteng. Adapun tembok
benteng yang dibangun tersebut memiliki kamar-kamar yang digunakan untuk

15
mengintai dan juga kamar-kamar yang digunakan untuk menyimpan berbagai
perlengkapan serta kamar-kamar yang digunakan untuk bala bantuan selama
perang berlangsung. Tembok yang dibangun tersebut terletak di tepi barat sungai
Bungkulan sampai kepada tepi jurang desa Jagaraga bagian barat. Dikarenakan
area perang berbukit serta berlembah, tembok ini dibuat terputus-putus, yang
mana kemudian berakhir di dekat tepi sungai Sangsit. Pada bagian belakang
tembok benteng utama ini digunakan sebagai pusat markas serta pusat komando
yang disebut Pura Dalem Jagaraga, dan sekitar 500-600 meter dari belakang pura
tersebut terdapat desa Jagaraga, yang mana akan dijadikan sebagai pusat
perbekalan bagi para pasukan perang. Sistem perbentengan yang dibangun I Gusti
Ketut Jelantik ini disebut dengan nama makara wyuha atau supit udang.

I Gusti Ketut Jelantik sebagai komando atau pemimpin dari perang ini,
berada pada bagian atas. Dalam hal ini Beliau memiliki peran untuk dapat
mengatur seluruh pasukan. Adapun pada bagian kanan serta kiri ujung supit akan
ditempatkan pasukan-pasukan yang dianggap lebih cerdik serta dapat memahami
situasi serta kondisi dari medan perang yang akan mereka lewati. Kemudian pada
bagian depan serta belakang merupakan tempat bagi pasukan gabungan dari
beberapa utusan-utusan dari kerajaan-kerajaan setempat. Sedangkan pada bagian
belakang akan ditempatkan pasukan bala bantuan untuk membantu pasukan
lainnya selama perang tersebut berlangsung. Beberapa pasukan dari kerajaan-
kerajaan setempat yang turut serta dalam perang, yakni diantaranya Mengwi,
Jembrana, Klungkung, Karangsem, serta Gianyar. Selain I Gusti Ketut Jelantik,
istri Beliau yang bernama Jero Jempiring, juga berperan serta dalam perang ini,
yakni sebagai pemimpin dari pasukan yang bertugas untuk menjaga tempat-
tempat suci. Sistem perbentengan supit udang ini tentu merupakan taktik yang
teah dipersiapkan oleh Patih Jelantik untuk melawan pasukan Belanda.

Selain daripada sistem perbentengan supit udang, area perang yang telah
dipilih oleh Patih Jelantik, yakni desa Jagaraga diharapkan mampu membantu
pasukan Buleleng dalam menghadapi Belanada. Adapun hal ini tentu juga dapat
mempersulit pasukan Belanda, selain hal itu, untuk dapat masuk ke desa Jagaraga,
pasukan Belanda hanya dapat melewati satu jalan saja. Benteng yang dibangun

16
oleh I Gusti Ketut Jelantik ini telah rampung dibangun pada tahun 1847. Sebagai
pemimpin dalam pasukan Buleleng ini, I Gusti Ketut Jelantik merasa senang serta
memiliki keyakinan yang tinggi serta kuat untuk menghadapi pasukan Belanda.
Adapun dalam buku berjudul Sejarah Perlawanan terhadap Imperialisme dan
Kolonialisme di Daerah Bali yang ditulis oleh Sutaba (1983 : 39), dijelaskan
bahwa I Gusti Ketut Jelantik telah mulai melaksanakan beberapa penyerangan
yang sifatnya gerilya di daerah Pabean. Kemudian, Ia juga menyuruh nelayan-
nelayan Buleleng untuk merampok kapal-kapal yang berbendera Belanda yang
melewati pesisir utara Buleleng. Tentu tindakan dari I Gusti Ketut Jelantik
tersebut menimbulkan kemarahan para serdadu Belanda.
B. Strategi Perang Pasukan Belanda

Perang yang terjadi antara tahun 1848-1849, yang mana merupakan


pertempuran diantara Belanda dengan rakyat Buleleng. Tentu kedua pihak
tersebut membuat strategi-strategi yang akan dilakukan dalam perang tersebut.
Belanda sebelumnya telah berperang pada tahun 1846. Dari perang yang
berlangsung tersebut, serdadu Belanda dapat mempelajari bahwasanya dalam
peperangan rakyat Bali akan rela mati dan memiliki sifat yang pantang menyerah.
Belanda juga mengakui bahwa rakyat Bali sangat efektif dalam hal menjaga
benteng-benteng perang mereka dan juga dalam hal bertindak rakyat Bali
cenderung akan melakukannya pada saat malam hari. Dalam perang menghadapi
rakyat Bali ini, Belanda telah mempersiapkan beberapa hal. Persiapan yang
dilakukan oleh Belanda tersebut disebabkan atas pengalaman pada perang
sebelumnya.

Pada perang sebelumnya, yang mana terjadi pada tahun 1846, dalam hal
material Belanda menang dalam perang tersebut, namun dalam hal moril Belanda
kalah, dan tentunya pihak Belanda mengakui tentang hal tersebut. Di dalam
perang sebelumnya pasukan Belanda menggunakan siasat gertakan, yaitu dengan
mengerahkan semua pasukan yang disertai dengan kapal laut yang akan
memberikan tembakan-tembakan kepada pasukan rakyat Buleleng, dengan tujuan
menggertak pasukan tersebut. Namun, hal tersebut nyatanya tidak menyusutkan
perjuangan dari rakyat Buleleng dan justru semakin bertekad untuk melawan serta

17
mengusir Belanda dari tanah mereka. Pasukan Belanda sendiri menjadikan pantai
Sangsit yang terletak sekitar 4,5 Km di sebelah Barat Bungkulan sebagai pusat
awal penyerangan mereka dan juga sebagai tempat pertahanan mereka serta
sebagai tempat segala bentuk keperluan perang Belanda termasuk dalam hal
persediaan makanan. Maka Belanda berusaha mempertahankan pantai Sangsit
tersebut dari penyerangan rakyat Buleleng.

Kemenangan material Belanda pada tahun 1846 ternyata tidak meredupkan


perjuangan rakyat Buleleng yang mana semakin menentang kehadiran Belanda.
Dalam melaksanakan penyerangan di Jagaraga, Belanda memiliki siasat lainnya,
yakni mulanya mereka menyelidiki desa Jagaraga, dan penyelidikan tersebut
dipimpin oleh Let.Kol. Van Swieten. Dengan penyelidikan tersebut, Belanda
bertujuan untuk mengetahui desa Jagaraga serta dapat membayangkan serangan
seperti apa yang akan mereka laksanakan. Namun, meski demikian tentu tak
semua hal tentang areal Jagaraga tersebut diketahui oleh Belanda, termasuk hal-
hal yang mendetail. Sebenarnya tujuan awal dari penyerangan yang dilakukan
Belanda di Jagaraga tersebut adalah untuk dapat menguasai kerajaan Buleleng.

C. Strategi Perang Pasukan Rakyat Jagaraga

Seperti yang telah dijelaskan di awal bahwasanya rakyat Jagaraga tidak


memilih pantai sebagai area perang. Hal ini dikarenakan pasukan Belanda yang
menggunakan senapan api, yang mana apabila pantai dijadikan sebagai medan
perang, maka akan semakin mudah bagi Belanda untuk menembaki pasukan
rakyat Jagaraga. Maka dengan demikian, rakyat Jagaraga memilih Jagaraga
sebagai areal perang. Jagaraga merupakan daerah perhutanan, dengan kondisi
alam seperti ini akan membantu pasukan rakyat Jagaraga dalam melindungi diri.

Adapun dalam perang melawan Belanda, tersebut rakyat Jagarag hanya


menggunakan senjata-senjata yang sederhana dan tentunya sangat jauh berbeda
dengan persenjataan milik Belanda. Adapun senjata yang digunakan oleh rakyat
Jagaraga tersebut, yaitu adalah tombak, pedang. Selain daripada pemilihan
Jagaraga sebagai areal perang, rakyat Jagaraga juga melakukan strategi lainnya,
yakni dengan membuat benteng-benteng yang diletakkan dibeberapa tempat.

18
Selain itu, pasukan rakyat Jagaraga dengan bantuan alam berusaha menyaingi
kemodernan senjata pasukan Belanda, salah satu dengan menggunakan pasir.
Pasir tersebut akan digunakan jika pasukan Belanda melempar granat, maka
dengan pasir tersebut akan membuat granat tidak akan meledak.

Kecerdikan daripada rakyat Jagaraga ini diakui oleh pasukan Belanda.


Meskipun mereka tidak memiliki persenjataan yang modern seperti halnya
pasukan Belanda, namun siasat perang rakyat tersebut sangat tinggi. Terlebih
dengan pembangunan benteng-benteng tersebut yang juga mempersulit gerak dari
pasukan Belanda. Siasat perang yang dimiliki rakyat Jagaraga tersebut semakin
diperkuat dengan kepemimpinan dari I Gusti Ketut Jelantik.

D. Jalannya Perang Jagaraga

Pada tanggal 7 Maret 1848, di sekitaran perairan Buleleng melintas


beberapa kapal milik Belanda. Adapun kapal-kapal perang tersebut dipimpin oleh
l.C.G. Van Hoogenhouck Tulleken. Hal ini menjadi awal pertanda akan terjadinya
pertempuran. Dalam hal itu, rakyat telah menyadari bahwasanya daerah pantai
tidak dapat dipertahankan dari pasukan Belanda. Hal itu yang mendasari rakyat
tidak memberikan perhatian yang besar untuk mempertahankan daerah pantai.
Sebaliknya rakyat berfokus ke desa Jagaraga, yang mana telah dibangun benteng-
benteng sebagai bagian dari siasat rakyat Jagaraga dalam peperangan tersebut.
Atas terjadinya peristiwa tersebut, akhirnya pada tanggal 27 April 1848, pasukan
Belanda menyatakan perang kepada rakyat Jagaraga. Adapun rakyat Jagaraga
serta pasukan Belanda memulai strategi perang di daratan pantai Pangsit, yang
mana merupakan tempat dari pangkalan Belanda. Maka dengan demikian,
pasukan Belanda berupaya untuk dapat mempertahankan pantai Sangsit tersebut,
karena segala bentuk keperluan serta perbekalan pasukan Belanda berada di
Sangsit tersebut.

19
Gambar 2. Perang Jagaraga di Bali (1848-1849)
Sumber : https://amp.kompas.com/skola/read/2021/02/16/141453969/puputan-
jagaraga-1848-1849
Dalam pertempuran ini senjata-senjata serta perlengkapan-perlengkapan
perang tersedia, diantaranya seperti granat, senapan, kapal-kapal perang, infantri,
dan sebagainya. Dalam buku yang berjudul Sejarah Perlawanan terhadap
Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Bali yang ditulis oleh Sutaba (1983 :
42), dijelaskan kapal-kapal perang yang digunakan oleh Belanda dalam
pertempuran tersebut, yakni kapal Merapi, Etna, Vesuvius, Hekla, Argo de Rijn,
Dolphijn, Circe, Doris, Ambonia, A.R' Faclk, Anna Margaretha, Pieter
Floriszoon, Van Galen, Staatsraad Baud, Minerva, Anna Elisa, Maxirniliaen
Theodoor, Nassau Hertor, Fatool Barie. Berbeda dengan rakyat Jagaraga yang
hanya menggunakan peralatan-peralatan perang yang sederhana, seperti pedang
serta ombak. Namun, selain itu rakyat Jagaraga juga menggunakan alam dalam
membantu mereka dalam pertempuran tersebut, yakni pasir, air, serta bukit dan
sawah yang diharapkan mampu mempersulit pergerakan pasukan Belanda.

Dan seperti halnya yang telah dijelaskan diatas, bahwasanya rakyat telah
menggali parit yang akan digunakan sebagai jebakan. Dengan berbagai siasat
yang telah disediakan oleh rakyat Jagaraga ini berhasil melawan gertakan yang
dilakukan oleh pasukan Belanda. Adapun pada tanggal 8 Juni 1848, Belanda
kembali ke pantai Sangsit. Pada saat hari masih pagi Belanda membuat tembakan
meriam dari kapal-kapal perang milik Belanda. Namun, ternyata terdapat

20
beberapa orang rakyat Jagaraga yang menjaga pantai tersebut, terkhususnya di
Bungkulan di sebelah timur Sangsit. Dalam hal itu mereka bertugas sebagai mata-
mata untuk mengintai segala bentuk pergerakan yang dilakukan oleh pasukan
Belanda. Dalam penyerangan itu Tentara Belanda terbagi atas 4 devisi, yakni
yaitu yang pertama dipimpin oleh LetKol. Sutherland, yang kedua yaitu devisi
reserve di pimpin oleh Mayoor Sorg, yang ketiga di bawah pimpinan oleh
Let.Kol. Le Bron de Vexela dan yang terakhir devisi ke empat dipimpin oleh
Mayoor de Vos.

Pada tanggal 8 Juni tersebut, baik dari devisi satu, dua, tiga, serta empat
yang telah sampai di pantai Sangsit tersebut mendapat perlawanan dari rakyat
yang telah lebih dahulu ada di tempat tersebut untuk mengintai pergerakan dari
pasukan Belanda. Devisi tiga dan devisi empat yang telah mendarat mendapat
serangan yakni pukulan yang membuat kaget pasukan Belanda. Selain itu, devisi
pertama juga tak luput dari penyerangan rakyat Jagaraga tersebut. Maka dengan
terjadinya penyerangan oleh rakyat Jagaraga terhadap devisinya, pasukan Belanda
kemudian membuat tembakan-tembakan untuk memggertak pasukan rakyat
Jagaraga tersebut. Kemudian, Mayoor de Vos sebagai pemimpin dari devisi
empat, memerintahkan pasukannya untuk memberikan perlindungan terhadap
sayap kanan dari devisi pertama dan devisi ketiga. Dilain sisi rakyat Jagaraga
yang berada Bungkulan, 4,5 Km di sebelah timur Sangsit juga telah menyiapkan
penyerangannya. Maka dengan demikian, terjadilah pertempuran di antara rakyat
Jagaraga dengan pasukan Belanda. Adapun pertempuran tersebut pada akhirnya
menimbulkan korban jiwa dari pihak Belanda, yakni Lt. Wiebers yang merupakan
seorang perwira Belanda, kemudian terdapat 2 (dua) orang tentara Belanda. Selain
itu, terdapat 7 (tujuh) orang lainnya yang menderita luka-luka.

Kemudian, di tanggal 9 Juni 1848 pimpinan devisi dua, yaitu Mayoor Sorg
berupaya untuk dapat menguasai Bungkulan, yang mana pada saat itu masih
dipertahankan oleh rakyat. Sementara ketiga devisi lainnya langsung menuju desa
Jagaraga. Adapun jarak antara Bungkulan ke desa Jagaraga, yakni sekitar 7,5 Km.
Dalam perjalanan menuju desa Jagaraga tersebut, pasukan Belanda dihadapkan
beberapa rintangan, selain daripada kondisi jalan yang tidak bagus, adanya

21
beberapa jebakan-jebakan yang telah dibuat oleh rakyat Jagaraga, membuat
pasukan Belanda harus demikian berhati-hati. Seperti yang telah dijelaskan di
awal bahwasanya rakyat Jagaraga telah menyiapkan beberapa jebakan, seperti
diantaranya pagar bambu yang berduri. Selain daripada jebakan-jebakan tersebut,
perjalanan pasukan Belanda tersebut semakin dipersulit dengan adanya beberapa
pasukan rakyat Jagaraga yang mengintai. Dalam perjalanan menuju desa Jagaraga
tersebut, pasukan Belanda menemukan benteng-benteng yang telah dibangun oleh
rakyat Jagaraga.

Adapun benteng-benteng yang telah dibangun oleh rakyat Jagaraga tersebut


telah terhubung antara satu sama lain, yaitu jalan bawah tanah. Benteng pertama,
yaitu benteng yang berada di bagian paling barat daripada beberapa benteng
lainnya. Belanda berupaya untuk dapat menguasai benteng pertama tersebut,
yakni dengan menggunakan senjata, lalu kemudian menembaki pasukan rakyat
Jagaraga yang selama perjalanan tersebut tidak berhenti memberikan serangan
kepada pasukan Belanda. Setelah melakukan beberapa upaya, pada akhirnya
benteng pertama tersebut berhasil dikuasai oleh Belanda, tepatnya oleh van
Swieten, yang merupakan pemimpin pada saat pasukan Belanda mengadakan
penyelidikan di desa Jagaraga. Mengetahui benteng pertama mereka telah berhasil
dikuasai oleh Belanda, pasukan rakyat Jagaraga kemudian membuat siasat dengan
melewati jalan yang menghubungkan antara benteng pertama dengan benteng
kedua dan bersembunyi di benteng tersebut. Mengetahui hal tersebut, kemudian
pasukan Belanda menembaki benteng kedua. Rakyat yang ada di benteng tersebut
tidak tinggal diam, kemudian mereka berbalik menembaki pasukan Belanda tanpa
berhenti. Dan benteng kedua tersebut akhirnya tidak dapat dikuasai oleh Belanda.

Kemudian, selain benteng itu terdapat benteng-benteng lainnya. Adapun


antara benteng kedua dengan dengan benteng-benteng lainnya itu terdapat jurang
yang cukup dalam. Dari beberapa benteng di sebelah timut tersebut, satu
diantaranya berhasil dikuasai oleh Dastol. Namun, oleh rakyat Jagaraga Ia
kemudian ditikam dengan menggunakan pedang. Dalam pertempuran ini, rakyat
melaksanakan berbagai taktik, yakni dengan memusatkan penyerangan kepada
pasukan cadangan serta bagian logistik dari pasukan Belanda, karena dengan

22
demikian maka akan membuat pasukan Belanda tercerai-berai. Pada akhirnya
siasat yang dijalankan itu berhasil, pasukan Belanda terpencar. Beberapa pasukan
dan tentara Belanda yang terpencar ke tengah sawah dipermainkan dengan cara
menggenangi sawah dengan air. Dengan demikian akan membuat pasukan
Belanda tersebut kebingungan.

Dilain sisi, rakyat kemudian berhasil merebut Bungkulan dari pasukan


Belanda. Dengan demikian, pasukan-pasukan Belanda tersebut berhasil dipukul
mundur dari Bungkulan ke pantai, beberapa diantaranya juga berhasil dipukul
mundur dari benteng-benteng. Dan untuk mempersulit pasukan Belanda tersebut,
rakyat memutuskan hubungan dari benteng-benteng di Jagaraga dengan
Bungkulan.

Dalam pertempuran ini rakyat berusaha untuk dapat mempertahankan


tanahnya meskipun ditembaki oleh Van Swieten, tidak menyurutkan semangat
dari rakyat Jagaraga tersebut. Tentara serta pasukan Belanda kewalahan dalam
menghadapi perlawanan dari rakyat Jagaraga tersebut, banyak dari antara mereka
yang memilih untuk mundur ke pantai. Selain itu, beberapa granat yang mereka
lempar tidak dapat meledak, karena telah ditahan menggunakan pasir yang
sebelumnya telah disebarkan oleh rakyat Jagaraga. Dalam upaya untuk mundur,
pasukan Belanda tetap mendapat serangan dari rakyat yang menyerang dengan
tombak, terlebih pada saat itu peluru dari pasukan Belanda telah habis. Dengan
begitu, rakyat semakin mudah untuk melakukan penyerangan terhadap pasukan
Belanda. Adapun pada benteng kedua yang tidak dapat dikuasai oleh Belanda
tersebut merupakan tempat persembunyian I Gusti Ketut Jelantik dan beberapa
orang lainnya yang memberikan komando kepada pasukan rakyat Jagaraga
lainnya.

Siasat-siasat yang dilakukan oleh rakyat Jagaraga tersebut berhasil memukul


mundur pasukan Belanda dari Jagaraga, dan rakyat juga berhasik merebut kembali
benteng-benteng miliknya. Dugaan Belanda bahwa mereka akan kembali
memenangkan pertempuran seperti halnya pada tahun 1846 tidak sesuai, dan pada
akhirnya mereka tidak dapat menguasai induk rakyat Jagaraga. Atas kekalahan

23
tersebut, akhirnya pasukan Belanda kembali ke Jawa pada tanggal 20 Juni 1848.
Dengan kondisi demikian, dapat dilihat bahwasanya dalam ekspedisi kedua ini
Belanda mengalami kekalahan.

Gambar 3. Benteng rakyat Jagaraga


Sumber : https://www.sejarahbali.com/read/174/benteng-jagaraga-menjadi-saksi-
sejarah-perjuangan-patih-agung-i-gusti-ketut-jelantik.html
Pada bulan April tahun 1849, pasukan Belanda yang pada saat itu dipimpin
oleh Mayoor Jenderal Michiels dan Let.Kol. C.A. de Bruw, kembali melakukan
ekspedisi ketiga. Dalam ekspedisi ketiga ini Belanda menggunakan siasat tipu
muslihat, yakni dengan mengatakan bahwasanya Belanda telah berhasil
menguasai beberapa daerah yang pernah membantu Buleleng. Hasil tipu muslihat
Belanda ini akhirnya berhasil. Pada akhirnya raja-raja yang pada saat itu
memberikan bala bantuan, setelah mendengar hal itu enggan memberikan bantuan
lagi.

Hal tersebut menyebabkan hanya sedikit pasukan rakyat yang dapat


mempertahankan Jagaraga. Dengan demikian, tentu kondisi ini mempermudah
Belanda dalam melakukan agresinya. Pada tanggal 15 April 1849, pada saat dini
hari Belanda mulai melakukan penyerangan, yang berlanjut hingga keesokan
harinya di tanggal 16 April 1849. Di hari itu juga Belanda berhasil menguasai
benteng Jagaraga. Raja serta patih Buleleng pada saat itu melarikan diri ke
Karangasem, namun oleh penduduk setempat raja dan patih tersebut dibunuh
karena dianggap akan menimbulkan kekacauan. Dalam ekspedisi ketiga ini

24
Belanda berhasil menyandera sekitar 1.000 orang pasukan Bali. Dan Bali bagian
utara juga berhasil dikuasai oleh Belanda. Dalam hal ini meski mengalami
kekalahan, dapat terlihat upaya dari rakyat Jagaraga dalam melawan Belanda
dengan siasat yang luar biasa.

2.3 Tokoh-tokoh dalam Perang Jagaraga


A. I Gusti Ketut Jelantik
I Gusti Ketut Jelantik atau disebut dengan nama Patih Jelantik, adalah salah
satu tokoh yang berperan besar dalam perang Jagaraga. Dalam buku yang ditulis
Soegianto (2011 : 11), Ia menjelaskan bahwasanya Patih Jelantik ini merupakan
merupakan anak ketika dari seorang bangsawan keturunan raja Buleleng yang
berasal dari wangsa Panji Sakti yang bernama Ki Gusti Anglurah Ketut Jelantik.
Seperti yang telah dipaparkan dalam di atas bahwasanya I Gusti Ketut Jelantik
merupakan pemimpin dari pasukan rakyat Jagaraga.

Gambar 4. I Gusti Ketut Jelantik


Sumber : https://kelasips.com/perang-jagaraga-di-bali/
Menurut Asih. dkk, (2017 : 266), I Gusti Ketut Jelantik adalah sosok
pemimpin yang tangguh dan memiliki strategi perang yang bagus. Meskipun pada
akhirnya Beliau gugur dalam perang Jagaraga pada tahun 1849, namun jasanya
dalam melawan pasukan Belanda sangat besar. Maka dengan hal itu, rakyat

25
mendirikan monumen perang Jagaraga di desa Jagaraga untuk mengenang jasa
Beliau.

Gambar 5. Monumen Perang Jagaraga


Sumber : https://tatkala.co/2020/04/15/sepenggal-kisah-sejarah-dan-monumen-
perang-jagaraga/
B. Jero Jempiring
Jero Jempiring merupakan istri dari I Gusti Ketut Jelantik. Ia juga memiliki
peran yang besar dalam perang Jagaraga ini. Jero Jempiring berperan dalam
menggerakan kaum wanita untuk mempersiapkan makanan untuk para pasukan
rakyat Jagaraga.
C. Raja Karangasem
Seperti yang telah dijelaskan dalam buku Sejarah Perlawanan terhadap
Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Bali yang ditulis oleh Sutaba (1983 :
35-36), bahwasanya beberapa kerajaan setempat termasuk diantaranya kerajaan
Karangasem memberikan bantuan dalam perang Jagaraga tersebut, yakni dengan
memberikan sekitar 1200 orang pasukan yang dipimpin oleh I Made Jungutan dan
Gde Padang untuk bertempur melawan pasukan Belanda.

26
Gambar 6. Raja Karangasem
Sumber : https://kelasips.com/perang-jagaraga-di-bali/
D. Raja Buleleng
Seperti yang telah dijelaskan bahwasanya Raja Buleleng yang membuat
surat yang dikirim kepada raja-raja lainnya untuk membantu pasukan rakyat
dalam menghadapi pasukan dari Belanda. Raja Buleleng juga memberikan
komando kepada pasukan selama perang Jagarag tersebut berlangsung.

Gambar 7. Raja Buleleng


Sumber : https://kelasips.com/perang-jagaraga-di-bali/

27
2.4 DAMPAK PERANG JAGARAGA BALI

Akhir dari perang jagaraga adalah pada tahun 1849, Belanda kembali
mengirim ekspedisi militer di bawah pimpinan Mayor Jenderal Michies. Mereka
menyerang benteng Jagaraga dan merebutnya. Belanda juga menyerang
Karangasem. Pada 1906, Belanda menyerang kerajaan Badung. Raja dan
rakyatnya melakukan perlawanan sampai titik darah penghabisan. Perang yang
dilakukan sampai titik darah penghabisan dikenal sebagai Puputan.

Untuk memadamkan perlawanan rakyat Bali yang berpusat Jagaraga,


Belanda mendatangkan pasukan secara besar-besaran, maka setelah mengatur
persiapan mereka Langsung menyerang benteng Jagaraga. Mereka menyerang
dari dua arah yaitu arah depan dan dari arah belakang benteng Jagaraga.
Pertempuran sengit tak dapat dielakan lagi, terutama pada posisi di mana I Gusti
Ketut Jelantik berada.

Benteng Jagaraga dihujani tembakan meriam dengan gencar. Korban telah


berjatuhan di pihak Buleleng. Kendatipun demikian, tidak ada seorangpun Laskar
Jagaraga yang mundur atau melarikan diri. Mereka semuanya gugur dan pada
tanggal 19 April 1849 benteng Jagaraga jatuh ke tangan Belanda, Dan mulai saat
itulah Belanda menguasai daerah Bali Utara.

Dampak perang Jagaraga pada masing-masing bidang adalah sebagai berikut :

A. Bidang Politik
1. Dikuasainya seluruh pulau Bali oleh Belanda
2. Berkurangnya kekuasaan raja pada kerajaannya bahkan raja dapat
dikatakan menjadi bawahan belanda
B. Bidang Ekonomi
1. Dikuasainya monopoli perdagangan di bali karena bali merupakan
daerah yang banyak dikunjungi bangsa asing
C. Bidang sosial
1. Banyaknya tatanan sosial yang dirubah oleh Belanda termasuk di
hapuskan nya adat sute pada upacara ngaben.

28
Adapun dalam pertempuran yang terjadi antara tahun 1848 sampai tahun
1849, tentu memberikan dampak yang signifikan terkhusus bagi Belanda. Dapat
diketahui dari pemaparan mengenai proses terjadinya perang Jagaraga, Belanda
cukup mengalami kerugian. Adapun beberapa dampak perang Jagaraga terhadap
Belanda, yaitu secara formal diketahui bahwasanya Belanda memenangkan
perang Jagaraga itu, dengan menggunakan siasat tipu muslihat, yakni dengan
mengaku bahwasanya Belanda telah menguasai kerajaan Buleleng, yang pada
akhirnya membuat raja-raja yang sebelumnya memberikan bantuan berupa
pasukan perang, setelah mendengar tipu muslihat Belanda tersebut menjadi
enggan untuk membantu kembali.

Sebelumnya pada tahun 1846, Belanda juga pernah memenangkan


pertempuran dalam hal militer, namun sayangnya dalam hal moril pasukan
Belanda mengalami kekalahan. Pada ekspedisi selanjutnya di tahun 1848, Belanda
kemudian mengalami kekalahan. Dan pada tahun 1849 kembali melakukan
ekspedisi ketiga, lalu mendapatkan kemenangan dan berhasil menguasai Bali
bagian Utara. Dengan kemenangan yang didapat itu, Belanda semakin bertekad
untuk dapat menguasai daerah-daerah lainnya. Adapun beberapa daerah yang
berhasil ditaklukkan oleh Belanda, yaitu Banjar di Buleleng Barat, yang
ditaklukan pada tahun 1868. Meski daerah tersebut berhasil ditaklukkan oleh
Belanda, namun mereka juga mengalami kerugian yang cukup besar.

Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwasanya salah satu taktik yang
dijalankan oleh Belanda untuk dapat menguasai daerah-daerah yang ada di Bali,
yakni dengan menggunakan siasat tipu muslihat. Selain menipu raja-raja agar
tidak membantu perang di Jagaraga, Belanda juga menipu dengan mengatakan
akan memberikan kebebasan kepada rakyat Bali dari segala bentuk penindasan
serta kekerasan serta tindakan sewenang-wenang dari raja-raja. Namun, hal
tersebut hanyalah suatu siasat Belanda agar rakyat memiliki pandangan yang
positif terhadap Belanda.

Dalam buku dikatakan bahwasanya terdapat suatu politik yang selalu


diumumkan Belanda kepada rakyat Bali, yaitu Mission Sacree. Adapun maksud
daripada politik ini, yaitu agar bangsa Indonesia percaya bahwasanya Belanda

29
akan memberikan keselamatan serta akan mensejahterakan bangsa Indonesia.
Namun, justru yang terjadi adalah kebalikannya, yang mana rakyat menderita
sengsara serta hidup dengan kemiskinan. Tetapi Belanda tidak pernah berhenti
untuk menarik simpati dari rakyat Bali, dengan adanya sense of duty yang mereka
miliki, Belanda berusaha seolah-olah sebagai penyelamat bagi rakyat yang
tertindas dari tindakan sewenang-wenang raja-raja setempat.

Tentu dalam hal ini terdapat tujuan tersembunyi yang ingin dicapai oleh
Belanda, yakni dengan hal itu akan terjadi perselisihan diantara raja-raja yang ada
di Bali dengan rakyat-rakyatnya. Dengan munculnya perselisihan tersebut tentu
akan semakin mempermudah Belanda dalam menguasai daerah-daerah di Bali.
Karena dengan hal tersebut, tentu memungkinkan melemahnya persatuan serta
kesatuan diantara bangsa Indonesia yang ada di Bali. Dan dengan hal itu akan
memberikan peluang serta kesempatan yang besar bagi Belanda dalam mencapai
tujuannya.

Dampak positif dan negatifnya bagi rakyat adalah sebagai berikut :

A. Dampak positif dari peristiwa ini bagi perjuangan kemerdekaan


Indonesia adalah peristiwa ini mengajarkan rakyat Indonesia tentang
pentingnya rasa cinta tanah air. Pasukan Ngurah Rai telah memberi
contoh kepada rakyat dan pejuang pejuang indonesia pada kala itu
tentang betapa tinggi rasa nasionalisme yang mereka miliki. Mereka
bertekad untuk mengusir tentara Belanda yang ada di tanah Bali agar
mereka dapat terhindar dari penjajahan.

Mereka memiliki prinsip untuk berperang habis-habisan atau dikenal


dengan nama sebutan. Setelah peristiwa ini pejuang pejuang
kemerdekaan Indonesia memiliki sikap yang lebih optimis dan memiliki
rasa nasionalisme yang lebih tinggi dari sebelumnya. Dengan rasa
nasionalisme yang tinggi yang dimiliki pejuang-pejuang kemerdekaan
kita, mereka telah memperjuangkan kemerdekaan untuk kita semua.

B. Dampak negatif yang timbul dari peristiwa tersebut. 96 pejuang-pejuang


kita termasuk I Gusti Ngurah Rai harus mengorbankan nyawa mereka

30
masing-masing demi kepentingan bangsa kita yaitu agar bangsa kita bisa
meraih cita-citanya untuk menjadi negara yang merdeka. Selain itu dari
peristiwa itu juga menimbulkan kerugian material yang cukup banyak.
Tetapi semua kerugian itu akhirnya dapat terbayarkan karena akhirnya
bangsa Indonesia bisa merasakan kemerdekaannya dan menjadi negara
yang mandiri.

Adapun beberapa dampak dari perang jagaraga yang masih di gunakan


sampai sekarang yaitu :

1. Monumen perang jagaraga digunakan sebagai sumber belajar IPS di SMP


Negeri 1 Sawan Kecamatan Sawan Kabupaten Buleleng. Nah dari
sumber jurnal yang saya baca salah satu peninggalan dari perang
jagaraga yaitu monumen perang jagaraga di gunakan sebagai sumber
belajar bagi siswa SMP, setelah perang terjadi pada tahun 1884 sampai
1885 di Desa jagara Jagaraga berlalu, Kenangan dari kisah para pejuang
dalam usahanya melawan penjajah Belanda masih ada di benak
masyarakat di Desa Jagaraga.
Dalam upaya mengenang menghormati dan mengabadikan jasa-jasa para
pejuang yg telah gugur sebagai Pahlawan Kusuma Bangsa pada masa
perjuangan di Bali, maka timbullah ide untuk mendirikan sebuah
monumen perjuangan di Desa Jagaraga yang sekarang disebut Monumen
Perang Jagaraga.
Monumen ini mulai dibangun pada bulan Agustus 2016 dengan anggaran
dari pemerintah provinsi Bali, dana yang disiapkan untuk pembangunan
Monumen ini senilai 15 miliar rupiah. Monumen yang tingginya 15
meter itu dibangun di lahan seluas 0,5 hektar.
Di Monumen dibuat patung dua tokoh pejuang Perang Jagaraga yaitu
Gusti Ketut Jelantik dan Jro Jempiring. Kedua tokoh ini memegang peran
penting dalam Perang Puputan Jagaraga melawan Belanda tahun 1849
pada 9 Juni 1848 terjadi peperangan heroik yang dilakukan rakyat
Jagaraga dalam mengusir penjajahan Belanda.

31
Berdasarkan latar belakang tersebut, perjuangan heroik dalam perang di
Buleleng merupakan sejarah pertama masuknya penjajah Belanda ke
Bali. Beberapa faktor yang melatarbelakangi pendirian Monumen
Jagaraga ini antara lain sebagai peringatan terhadap suatu peristiwa dan
sebagai penghargaan serta penghormatan jasa-jasa para pahlawan yang
gugur dalam pertempuran melawan Belanda.

Nilai-nilai karakter yang terkandung dalam Monumen Perang Jagaraga


adalah sebagai berikut:

a. Religius sebagai salah satu nilai karakter sebagai sikap dan perilaku yang
patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianut toleran terhadap
pelaksanaan ibadah lain dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.
b. Toleransi adalah suatu sikap atau perilaku manusia yang tidak
menyimpang dari aturan, di mana seseorang menghargai atau
menghormati Setiap tindakan yang orang lain lakukan.
c. Jujur, jika diartikan adalah mengakui, berkata atau memberikan suatu
informasi yang sesuai dengan kenyataan dan kebenaran sebenarnya.
d. Kerja keras adalah kegiatan yang dikerjakan secara sungguh-sungguh
tanpa mengenal lelah atau berhenti sebelum target kerja tercapai dan
selalu mengutamakan dan memperhatikan kepuasan hasil pada setiap
kegiatan yang dilakukan.
e. Kreatif adalah kemampuan untuk memberikan suatu gagasan baru dalam
pemecahan masalah.
f. Semangat kebangsaan adalah suatu keadaan yang menunjukkan adanya
kesadaran untuk menyerahkan kesetiaan tertinggi dari setiap pribadi
terhadap negara atau bangsa.
g. Cinta tanah air adalah perasaan yang timbul dari dalam hati Seorang
warga negara untuk mengabdi memelihara, membela melindungi tanah
airnya dari segala macam bentuk ancaman dan juga gangguan.
h. Cinta damai adalah cinta yang mengedepankan perdamaian dalam
berinteraksi terhadap sesama umat manusia.

32
i. Tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau
perbuatan yang disengaja maupun tidak disengaja.

Selanjutnya monumen Perang Jagaraga digunakan sebagai sumber belajar


IPS di SMP yang penerapannya dilakukan dengan menyesuaikan pada kompetensi
dasar di dalam rpp yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran. Oleh karena itu
Monumen Perang Jagaraga digunakan sebagai sumber belajar IPS di SMP yang
penerapannya dilakukan dengan menyesuaikan pada kompetensi dasar dalam rpp
yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran.

2. Ada juga dampak dari perang jagaraga di buat game seperti jurnal yang
saya baca, judulnya "Pengembangan Game Castle Defense Jagaraga Pada
Platform Android. Menurut saya cukup unik dan juga kreatif, didalam
jurnal nya berisi game dengan judul Jagaraga merupakan game dengan
genre Castle Defense dengan tema fantasi Bali dan penyisipan cerita
Puputan Jagaraga.
Cerita dalam permainan merupakan gabungan cerita fiksi dan beberapa
kejadian atau event sejarah yang terjadi di Jagaraga. Pengembangan
game memanfaatkan beberapa metode. Pergerakan animasi
menggunakan pembuatan kurva bezier.
Artificial intelijen musuh dalam permainan memanfaatkan metode
forward chaining yang sederhana dan penggunaan metode skala likert
untuk format format penilaian game untuk mengukur tingkat
keberhasilan pengembangan game. Pengembangan game pada penelitian
ini sudah mencapai tahap yang memuaskan.
Hasil perhitungan form penilaian, jumlah responden sebanyak 23 orang
menyatakan aspek grafis bertemakan pasukan Bali mencapai nilai 88,
70% yang termasuk dalam kategori sangat baik. Aspek cerita permainan
yang menceritakan Puputan Jagaraga juga mendapatkan Respon yang
sangat positif dengan nilai 86, 96% yang juga termasuk dalam kategori
sangat baik.
Main menu merupakan tampilan awal dan sekaligus menjadi homescreen
permainan. Main menu menyajikan pilihan permainan, pilihan permainan

33
campaign merupakan pilihan untuk memainkan permainan sambil
mengikuti kisah pertempuran di Jagaraga. Pilihan skirmish merupakan
modif permainan tanpa mengikuti cerita Jagaraga. Dan juga credits
merupakan rangkaian tampilan profil pengembang game.
Jadi menurut saya sangat luar biasa dari ide si pembuat game, di luar
dugaan orang-orang bahwa perang jagaraga ini bisa di jadi kan salah satu
game yang bisa di mainkan semua orang yang memiliki Hape android.
Salah satu dampak yang sangat kreatif menurut saya.

34
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Perang Jagaraga merupakan perang yang terjadi antara Koninklijk
Nederlandsch-Indisch Leger dengan Kerajaan Bali pada tahun 1849. perang Bali
antara tahun 1846-1849. Masalah utamanya adalah adanya hak tawan karang yang
di miliki raja-raja Bali. Hak ini di limpahkan kepada kepala desa untuk menawan
perahu dan isinya terdampar diperairan wilayah kerajaan tersebut. Antara Belanda
dan kerajaan Buleleng dengan rajanya yaitu raja I Gusti Ngurah Made Kerang
Asem beserta Patih I Gusti Ketut Jelantik telah ada perjanjian pada tahun 1843
isinya pihak kerajaan akan membantu Belanda jika kapalnya terdampar di wilayah
Buleleng namun perjanjian itu tidak dapat berjalan dengan semestinya.

Pada tahun 1844 kapal Belanda terdampar di wilayah Buleleng Timur


(Sangsit) dan Buleleng Barat (Prancah). Dengan adanya kejadian tersebut Belanda
menuntut agar kerajaan Buleleng melepaskan hak tawan karanya sesuai perjanjian
tahun 1843 itu namun di tolak. Kejadian tersebut dijadiin alasan oleh Belanda
untuk menyerang Buleleng. Pada tanggal 7 Maret 1848, di sekitaran perairan
Buleleng melintas beberapa kapal milik Belanda. Adapun kapal-kapal perang
tersebut dipimpin oleh l.C.G. Van Hoogenhouck Tulleken. Pada tanggal 8 Juni
tersebut, baik dari devisi satu, dua, tiga, serta empat yang telah sampai di pantai
Sangsit tersebut mendapat perlawanan dari rakyat yang telah lebih dahulu ada di
tempat tersebut untuk mengintai pergerakan dari pasukan Belanda. Kemudian, di
tanggal 9 Juni 1848 pimpinan devisi dua, yaitu Mayoor Sorg berupaya untuk
dapat menguasai Bungkulan, yang mana pada saat itu masih dipertahankan oleh
rakyat. Namun, dalam pertempuran tersebut Belanda mengalami kekalahan.
akhirnya pasukan Belanda kembali ke Jawa pada tanggal 20 Juni 1848. Dengan
kondisi demikian, dapat dilihat bahwasanya dalam ekspedisi kedua ini Belanda
mengalami kekalahan. Pada bulan April tahun 1849, pasukan Belanda yang pada
saat itu dipimpin oleh Mayoor Jenderal Michiels dan Let.Kol. C.A. de Bruw,
kembali melakukan ekspedisi ketiga. Dalam ekspedisi ketiga ini Belanda
menggunakan siasat tipu muslihat, yakni dengan mengatakan bahwasanya

35
Belanda telah berhasil menguasai beberapa daerah yang pernah membantu
Buleleng. Hasil tipu muslihat Belanda ini akhirnya berhasil. Pada akhirnya raja-
raja yang pada saat itu memberikan bala bantuan, setelah mendengar hal itu
enggan memberikan bantuan lagi. Dampak negatif yang timbul dari peristiwa
tersebut. 96 pejuang-pejuang kita termasuk I Gusti Ngurah Rai harus
mengorbankan nyawa mereka masing-masing demi kepentingan bangsa kita yaitu
agar bangsa kita bisa meraih cita-citanya untuk menjadi negara yang merdeka.
3.2 SARAN
Materi mengenai perang Jagaraga di Bali ini tentu merupakan materi sejarah
ini sangat penting untuk dipelajari, karena melalui hal ini kita mengetahui bentuk
perjuangan rakyat Jagaraga dalam melawan pasukan Belanda. Dan dapat
diketahui bahwa rakyat Jagaraga merupakan pejuang yang tidak kenal menyerah.
Maka dengan demikian, kita hendaknya sebagai mahasiswa pendidikan sejarah
dapat mempelajari materi ini untuk meningkatkan rasa nasionalisme.

36
DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku
Sutaba, Made. dkk. 1983. Sejarah Perlawanan terhadap Imperialisme dan
Kolonialisme di Daerah Bali. Jakarta : Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Sastrodiwiryo, Soegianto. 2011. Perang Jagaraga (1846-1849). Denpasar:
Pustaka Bali Post.
Sumber Jurnal
Yuliani, Meri, dkk. 2018. Monumen Perang Jagaraga di Desa Jagaraga Sebagai
Sumber Belajar IPS di SMP Negeri 1 Sawan Kecamatan Sawan Kabupaten
Buleleng. Jurnal Pendidikan IPS Indonesia. 2 (1) : 41-50.
Asih, Putu Wusantria Widya. dkk. 2017. Nilai-Nilai Kepahlawanan Tokoh I Gusti
Ketut Jelantik dalam Perang Jagaraga (1846-1849) Sebagai Sumber
Penanaman Karakter dalam Pembelajaran IPS di SMP Laboratorium
Undiksha Singaraja. Jurnal Penelitian dan Evaluasi Pendidikan. 1 (4) :264-
268.

Indy, Willem, dkk. 2015. Pengembangan Game Castle Defense "Jagaraga" Pada
Platform Android. Jurnal Merpati. 3 (1) : 48-57.

Sumber Internet
Kelas IPS. 2020. Perang Jagaraga di Bali [Internet]. [Diunduh pada 2021
April 22]. Tersedia pada https://kelasips.com/perang-jagaraga-di-bali/.

Prawitasari, I. A. dkk. 2018. Sejarah Perang Jagaraga [Internet]. [Diunduh


pada 2021 April 22]. Tersedia pada
https://hedisasrawan.blogspot.com/2012/12/makalah-sejarah-perang-
jagaraga.html
Mata-mata Politik. 2021. Perang Bali : Latar Belakang, Penyebab, hingga Tokoh
[Internet]. [Diunduh pada 2021 April 22]. Tersedia pada
https://www.matamatapolitik.com/perang-bali-latar-belakang-penyebab-
hingga-tokoh/

37

Anda mungkin juga menyukai