Anda di halaman 1dari 17

CRTICAL JURNAL REVIEW

PRODI S1 PENDIDIKAN
PANCASILA DAN
KEWARGANEGARAAN
BOOKREVIEWVKVKHMGKH
SKOR NILAI
JKJ :
MK. ILMU NEGARA
PRODI S1 PEND.PKN-FIS

NAMA MAHASISWA :HERTI NOITA SIMBOLON


NIM :3202411002
KELAS :1A
DOSEN PENGAMPU :Dra. YUSNA MELIANTI, M.H
MATA KULIAH :ILMU NEGARA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN


FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya ucapkan kehadirat Tuhan Ynag Maha Esa, atas Rahmat dan
HidayahNya sehingga saya dapat membuat dan menyelesaikan tugas Critial Journal Review ini
dengan keadaan baik dan sehat.
Tugas ini saya susun untuk menyelesaikan mata kuliah Ilmu Negara. Harapan saya dari
Critical Jurnal Riview ini adalah dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya dan pada
khususnya juga teman-teman di program studi Pendidikan kewarganegaraan.
Demikianlah Critical Journal Review ini saya susun, dan daya sadar masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat dibutuhkan. Atas
perhatian dosen pengampumata kuliah Ilmu Negara, saya ucapkan Terimakasih.

Medan, 13 Oktober 2020


DAFTAR ISI

COVER…………………………………………………………………………………………………………………………………

KATA PENGANTAR……………………………………………………………………………………………………………...

DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………………………………………………

BAB 1: PENDAHULUAN……………………………………………………………………………………………………….
A. Rasionalisasi Pentingnya CJR………………………………………………………………………………………..
B. Tujuan CJR…………………………………………………………………………………………………………………...
C. Manfaat CJR………………………………………………………………………………………………………………….
D. Identitas Jurnal Yang Diriview………………………………………………………………………………………

BAB 2: RINGKASAN JURNAL………………………………………………………………………………………………..


A. Jurnal Utama………………………………………………………………………………………………………………..
B. Jurnal Pembanding……………………………………………………………………………………………………....

BAB 3: PENUTUP…………………………………………………………………………………………………………………
A. Kelebihan dan Kekurangan Jurnal…………………………………………………………………………………
B. Kesimpulan …………………………………………………………………………………………………………………

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………………………………………………
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Rasionalisasi Pentingnya CJR


Seringkali kita bingung memilih jurnal referensi untuk kita baca dan pahami. Terkadang
kita memilih satu jurnal, namun kurang memuaskan hati kita misalnya dari segi analisis bahasa
dan pembahasan. Melakukan Critical Jurnal Review pada suatu buku dengan
membandingkannya dengan buku lain sangat penting untuk dilakukan, dari kegiatan inilah kita
dapat mengetahui kelebihan dan kekurangan suatu Jurnal. Dari mengkritik inilah kita jadi
mendapatkan informasi yang kompeten dengan cara menggabungkan informasi dari jurnal
yang lain.

B. Tujuan CJR
Memahami dan menganalisis kelebihan dan kekurangan dari suau jurnal.
Mempermudah dalam membahas inti hasil penelitian yang telah ada. Mencari dan mengetahui
informasi yang ada dalam suatu jurnal.

C. Manfaat Jurnal
Membantu semua kalangan dalam mengetahui inti dari hasil penelitian yang terdapat
dalam suatu jurnal. Menjadi bahan evaluasi dalam pembuatan suatu jurnal didalam penerbitan
berikutnya.

D. Identitas Jurnal yang Diriview

A. JURNAL UTAMA

1. Judul Artikel : Prinsip Pengakuan Dalam Pembentukan Negara Baru


Ditinjau dari Hukum Internasional

2. Nama Jurnal : Lex Jurnalica

3. Edisi terbit : Agustus 2011

4. Pengarang Artikel : A. Mansyur Effendi, Andri

5. Penerbit : Universitas Brawijaya, Surabaya

6. Kota terbit : Surabaya

7. Nomor ISSN : 2528-3251

8. Link Mengunduh :

https://ejournal.esaunggul.ac.id/index.php/Lex/article/download/329/299

B. JURNAL PEMBANDING
1. Judul Artikel : Peranan Pengakuan dalam Hukum Internasional: Teori
Lahirnya Suatu Negara dan Ruang Lingkup Pengakuan

2. Nama Jurnal : Jurnal Pendidikan Kewarganegaran

3. Edisi Terbit : September 2018

4. Pengarang Artikel : Yulita Pujilestari

5. Penerbit : Universitas Pamulang, Tangerang Selatan

6. Kota Terbit : Tangerang Selatan

7. Nomor ISSN : 2621-346X

8. Link Mengunduh :
https://openjournal.unpam.ac.id/index.php/PKn/article/download/260/pdf
BAB 2
RINGKASAN JURNAL

A. JURNAL UTAMA

Prinsip Pengakuan Dalam Pembentukan Negara Baru Ditinjau dari Hukum Internasional

Pendahuluan
Kelahiran sebuah negara baru dapat melalui bermacam–macam cara, contohnya :
pemisahan diri dari wilayah suatu negara dan berdiri sendiri sebagai negara merdeka,
melepaskan diri dari penjajahan, pecahnya suatu negara menjadi negara – negara kecil, ataupun
penggabungan beberapa negara menjadi sebuah negara yang baru. Permasalahan yang akan
dibahas adalah mengenai Bagaimana peran pengakuan negara-negara dunia dalam
pembentukan sebuah Negara baru?
Penelitian ini menggunakan tipe penelitian normatif yang bersifat deskriptif dengan
menggunakan jenis data bahan pustaka yang merupakan data sekunder, yaitu data – data yang
diperoleh dari bahan –bahan bacaan dan pustaka.

Pembahasan
Masyarakat internasional merupakan masyarakat yang dinamis. Dimana ia berubah dari
waktu ke waktu. Ada negara yang baru lahir maupun negara yang takluk dan dikuasai negara
lain. Pemerintah yang baru lahir, pemerintah yang lama terguing. Lahirnya pemerintah/atau
negara tersebut ada yang melalui cara – cara kekerasan ada pula yang melalui jalan damai.
Perubahan – perubahan yang terjadi terhadap negara seperti itu membuat anggota masyarakat
internasional dihadapkan kepada dua pilihan. Pilihan tersebut adalah menolak atau menerima.
Lahirnya sebuah negara baru tidak lepas dari pengamatan masyarakat internasional,
karena kelahiran sebuah negara baru mau tidak mau harus berhubungan dengan negara lain.
Sebuah negara tidak dapat lahir begitu saja, negara tersebut harus memenuhi syarat – syarat
yang telah ada sejak lama dalam Hukum Internasional yang diakui oleh pergaulan internasional,
syarat tersebut terdapat dalam konvensi pasal 1 ”Montevideo” tahun 1933. Syarat tersebut
antara lain : harus ada rakyat (a permanent population), harus ada wilayah (a defined territory),
harus ada pemerintahan (a government), mempunyai kapasitas untuk berhubungan dengan
negara lain (a capacity to enter into relations with other states), dan syarat – syarat lainnya.
Lahirnya sebuah negara baru di dunia ini, sebenarnya tidak lepas dari pengamatan PBB.
Sesudah tahun 1945 terdapat banyak negara–negara baru setelah membebaskan diri dari
kekuasaan kolonial, selama waktu tersebut 140 negara baru telah lahir dan semuanya menjadi
anggota PBB. Syarat – syarat negara yang dapat diakui oleh PBB hanya bahwa negara baru
tersebut harus cinta damai (peace loving), menerima kewajiban yang terdapat di dalam piagam,
mampu dan bersedia melaksanakan kewajiban dan ditetapkan oleh Majelis Umum atas
rekomendasi Dewan Keamanan PBB. Peran – peran PBB dalam pembentukan sebuah negara
baru dapat dilihat dalam beberapa cara, antara lain : Sistem Perwalian Internasional, Misi
Perdamaian PBB (Peace Keeping Operations), Pengawasan Pemilihan Umum (Electoral
Assistan-ce), Pengawasan Administrasi Pemerintahan (An Interim Administrator).

Fungsi Pengakuan
Dalam literatur – literatur hukum terdapat pendapat yang menyatakan bahwa
pengakuan ini adalah sebagai suatu keharusan atau sebagai suatu kewajiban hukum. Hal ini
berawal dari doktrin Luterpacht dan Chen yang menyatakan bahwa pengakuan ini merupakan
suatu keharusan agar suatu negara dapat lahir.
Teori – teori Tentang Pengakuan Dalam literatur–literatur hukum internasional
terdapat dua teori yang terkenal tentang pengakuan, yaitu :
1. Teori Konstitutif
Dalam teori konstitutif ini dikemukakan bahwa di mata hukum internasional,
suatu negara lahir jika negara tersebut telah diakui oleh negara lainnya. Hal ini
mengartikan bahwa hanya dengan pengakuanlah suatu negara baru itu dapat diterima
sebagai anggota masyarakat internasional dan dapat memperoleh status sebagai subjek
hukum internasional. Ada dua alasan yang melatarbelakangi teori ini. Pertama, jika kata
sepakat yang menjadi dasar berlakunya hukum internasional, maka tidak ada negara
atau pemerintah yang diperlakukan sebagai subjek hukum internasional tanpa adanya
kesepakatan dari negara yang ada terlebih dahulu. Alasan kedua, yaitu bahwa suatu
negara atau pemerintah yang tidak diakui tidak mempunyai status hukum sepanjang
negara atau pemerintah itu berhubungan dengan negara – negara yang tidak mengakui
(Adolf, 1993).

2. Teori Deklaratif
Dalam teori ini pengakuan tidak menciptakan suatu negara karena lahirnya
suatu negara, karena suatu negara lahir atau ada berdasarkan situasi – situasi/fakta
murni. Kemampuan tersebut secara hukum ditentukan oleh usaha – usahanya serta
keadaan–keadaan yang nyata dan tidak perlu menunggu untuk dapat diakui oleh negara
lain. Suatu negara ketika lahir langsung menjadi anggota masyarakat internasional dan
pengakuan hanya merupakan pengukuhan dari kelahiran tersebut, maka menurut teori
ini pengakuan tidak menciptakan suatu negara, dan pengakuan bukan merupakan
syarat lahirnya suatu negara baru.
Dalam perkembangan di lingkungan hukum internasional kecenderungan
praktek negara–negara lebih mengarah kepada teori deklaratif. Contohnya adalah
penolakan pengakuan oleh negara negara Barat sampai tahun 1973 atas pembentukan
Republik Demokrasi Jerman yang dianggap merupakan pelanggaran Uni Soviet terhadap
kewajiban – kewajiban yang tercantum dalam perjanjian –perjanjian yang telah dibuat
dengan negara – negara sekutu sesudah perang (Mauna, 2003). Ini adalah contoh dari
pelaksanaan teori konstitutif yang sekarang ini tidak lagi dipakai dalam praktek negara
– negara.
Suatu negara atau pemerintah tidak akan mendapatkan status dari negara lain
kecuali negara tersebut diakui oleh negara yang bersangkutan (teori konstitutif). Namun
bukan berarti bahwa negara tersebut tidak ada (teori deklaratif). Maka, jika dilihat dari
hal tersebut, negara tetap ada meskipun tidak diakui. Negara tersebut hanya dapat
mengadakan hubungan dengan negara yang mengakuinya. Pada waktu rezim komunis
Cina berkuasa, negara Cina ini tetap ada meskipun Amerika Serikat tidak mengakuinya,
tetapi negara Cina tidak dapat melakukan hubungan dengan Amerika Serikat sampai
Amerika Serikat memberikan pengakuannya (Adolf, 1993).
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa muncul atau lahirnya suatu negara
adalah suatu peristiwa yang tidak langsung mempunyai ikatan dengan hukum
internasional. Pengakuan yang diberikan kepada negara yang baru lahir tersebut hanya
bersifat politik, atau seperti pengukuhan terhadap statusnya di lingkungan anggota
masyarakat internasional dengan segala hak dan kewajiban yang dimiliki sesuai dengan
hukum internasional.

Bentuk – bentuk Pengakuan


1. Pengakuan secara Kolektif
Pengakuan suatu negara dalam kategori ini dapat berupa dua bentuk. Bentuk
yang pertama adalah deklarasi bersama oleh sekelompok negara. Contohnya adalah
pengakuan negara – negara Eropa secara koletif/bersama – sama pada tahun 1992
terhadap ketiga negara yang berasal dari pecahan Yugoslavia yakni Bosnia dan
Herzegovina , Kroasia, dan Slovenia (Mauna, 2003). Bentuk kedua yaitu pengakuan yang
diberikan melalui penerimaan suatu negara baru untuk menjadi bagian/peserta ke dalam
suatu perjanjian multilateral. Contohnya seperti perjanjian damai.
Pengakuan kolektif berkaitan dengan masuknya suatu negara ke dalam suatu
organisasi internasional terkadang menimbulkan masalah yang cukup penting bagi
negara yang bersangkutan. Penyebab hal ini adalah karena masuknya negara tersebut ke
dalam pengakuan terhadapnya bukan diberikan oleh organisasi internasional melainkan
oleh para anggotanya.

2. Pengakuan secara Terang – terangan dan Individual


Pengakuan seperti ini berasal dari pemerintah atau badan yang berwenang di bidang
hubungan luar negeri, ada beberapa cara seperti :
a.Nota Diplomatik, Suatu Pernyataan atau Telegram.
Pada umumnya suatu negara mengakui negara lain secara individual yang hanya
melibatkan negara itu saja. Pengakuan individual ini mempunyai arti diplomatik
tersendiri bila diberikan oleh suatu negara kepada negara bekas jajahannya atau
kepada negara yang sebelumnya bagian dari negara yang memberikan pengakuan
(Mauna, 2003). Misal pernyataan negara Republik Indonesia terhadap kemerdekaan
Timor Leste dimana sebelumnya Timor Leste adalah salah satu bagian dari NKRI.
b. Suatu Perjanjian Internasional,
beberapa contohnya adalah :
1. Pengakuan Prancis terhadap Laos tanggal 19 Juli 1949 dan Kamboja 18 November
1949. 2. Pengakuan Jepang terhadap Korea tanggal 8 September 1951 melalui pasal
12 Peace Treaty.
3. Pengakuan timbal – balik Italia – Vatikan melalui pasal 26 Treaty of Latran 14
Februari 1929 (Mauna,2003:68-69)
3. Pengakuan secara Diam – Diam
Pengakuan ini terjadi jika suatu negara mengadakan hubungan dengan pemerintah atau
negara baru dengan mengirimkan seorang wakil diplomatik, mengadakan pembicaraan
dengan pejabat resmi atau kepala negara setempat. Namun dalam keadaan ini harus ada
indikasi atau tindakan nyata untuk mengakui pemerintah atau negara yang baru. Seperti
yang terjadi pada hubungan Amerika Serikat dan Cina. Walaupun Amerika Serikat secara
resmi tidak mengakui RRC, tetapi semenjak tahun 1955 negara tersebut telah mengadakan
perundingan – perundingan tingkat duta besar di Jenewa, Warsawa, Prancis, dan yang diikuti
dengan pembukaan kantor – kantor penghubung di kedua negar akhir Mei 1973 (Mauna,
2003).
4. Pengakuan Terpisah
Pengakuan terpisah ini juga dapat diberikan kepada suatu negara baru. Kata “terpisah” ini
digunakan apabila pengakuan itu diberikan kepada suatu negara baru, namun tidak kepada
pemerintahnya, atau sebaliknya pengakuan diberikan kepada suatu pemerintah yang baru
yang berkuasa, tetapi pengakuan tidak diberikan kepada negaranya (Tasrif, 1966).
5. Pengakuan Mutlak
Suatu pengakuan yang telah diberikan kepada suatu negara baru tidak dapat ditarik kembali.
Institut Hukum Internasional dalam suatu Resolusi yang disahkannya pada 1936
menyatakan bahwa pengakuan de jure suatu negara tidak dapat ditarik kembali (Tasrif,
1966). Moore menyatakan bahwa pengakuan sebagai suatu asas umum bersifat mutlak dan
tidak dapat ditarik kembali (absolute and irrevocable) (Tasrif, 1966). Hal ini dapat dikatakan
sebagai konsekuensi dari pengakuan de jure. Namun pengakuan secara de facto yang telah
diberikan, dalam keadaan tertentu pengakuan ini dapat ditarik kembali (Malcolm, 1986).
karena biasanya pengakuan de facto diberikan kepada negara, sebagai hasil dari
penilaiannya yang bersifat temporer atau sementara dan hati– hati terhadap lahirnya suatu
negara baru. Hal seperti ini dilakukan untuk mengahadapi suatu situasi dimana pemerintah
yang diakui secara de facto tersebut kehilangan kekuasaan, karena hal ini maka alasan untuk
memberikan pengakuan menjadi hilang. Oleh karena itu pengakuan yang telah diberikan
dapat ditarik kembali bagi negara yang memberi pengakuan (Adolf, 1993).
6. Pengakuan Bersyarat
suatu pengakuan yang diberikan kepada suatu negara baru yang disertai dengan syarat –
syarat tertentu untuk dilaksanakan oleh negara baru tersebut sebagai imbangan pengakuan
(Tasrif, 1966). Pengakuan bersyarat ini diberikan sebagai pengikat dan sebagai suatu cara
tekanan politik kepada suatu negara baru. Contoh dari pengakuan ini adalah,
ditandatanganinya perjanjian Litvinov tahun 1933, perjanjian ini berisi pengakuan Amerika
Serikat terhadap pemerintah Soviet. Dalam perjanjian tersebut diisyaratkan agar Uni Soviet
membayar seluruh tuntutan keuangan Amerika Serikat dan bahwa Uni Soviet tidak akan
melakukan tindakan – tindakan yang dapat mengganggu keamanan dalam negeri Amerika
Serikat (Adolf, 1993).

Pengakuan Pemerintah Baru


Pengakuan pemerintah baru ini adalah hal yang kerapkali muncul. Pemerintah dalam
suatu negara akan dan pasti berganti – ganti. Perubahan seperti ini sebetulnya tidak
memerlukan pengakuan dari negara– negara lain. Jika dibutuhkan pengakuan diberikan hanya
sebatas tindakan formalitas saja dan biasanya dilakukan secara diam –diam. an ini tidak lahir
karenanya (Adolf, 1993). Yang menjadi permasalahan adalah ketika dalam penggantian
pemerintahan suatu negara terjadi karena cara –cara yang tidak konstitusional. Contoh,
pemerintah yang berkuasa mendapatkan kekuasaanya melalui kudeta (coup d’etat),
pemberontakan atau penggulingan pemerintah yang sah melalui cara – cara yang tidak sah.
Contohnya, Rezim Tinoco di Kosta Rica yang berkuasa antara tahun 1917 – 1919 tidak diakui
oleh negara –negara sekutu yang sebagian besar disebabkan karena Amerika Serikat tidak
menyetujui rezim tersebut (Adolf, 1993).

Syarat Pembentukan Negara Baru


Berdasarkan Hukum Internasional Negara merupakan subyek hukum yang terpenting
dibanding dengan subyek – subyek hukum internasional lainnya (Mochtar, 1989). Sebagai
subyek hukum internasional negara mempunyai hak – hak dan kewajiban menurut hukum
internasional.
Meskipun telah banyak sarjana yang mengemukakan definisi atau kriteria tersebut
namun secara umum apa yang telah dikumukakan di atas, tidak jauh bedanya dengan unsur
tradisional suatu negara yang tercanttum dalam pasal 1 ” Montevideo (Pan American)
Convention on Rights and Duties of states of 1993 ” (Adolf,1993:4). Bunyi dari pasal 1 dalam
konvensi ”Montevideo ” adalah : The State as a person of international law should posses the
following qualifications :
1. A permanent population.
2. A defined territory.
3. A government, and
4. A capacity to enter into relations with other states
Unsur – unsur di atas juga dikemukakan oleh Oppenheim – Lauterpacht. Berikut uraian uraian
tentang masing – masing unsur tersebut :
1. Harus ada rakyat / penduduk.
Rakyat adalah sekumpulan manusia dari ke dua jenis kelamin yang hidup bersama
sehingga merupakan suatu masyarakat, meskipun mereka ini mungkin berasal dari
keturunan yang berlainan, menganut kepercayaan berlainan, ataupun memiliki kulit
berlainan. Syarat penting untuk unsur ini yaitu bahwa masyarakat ini harus
terorganisasi dengan baik (Organized Population), ini dibutuhkan karena pemerintahan
tidak akan berjalan jika pemerintah nya terorganisasi sedangkan masyarakatnya tidak
terorganisasi. (Adolf, 1993).
2. Harus ada daerah / wilayah.
Daerah yaitu dimana rakyat tersebut menetap. Rakyat yang hidup berkeliaran di suatu
daerah ke daerah lain (a wandering people) bukan termasuk negara, tetapi tidak
penting apakah daerah yang didiami secara tetap itu besar atau kecil, dapat juga hanya
terdiri dari satu kota saja, sebagaimana halnmya dengan negara kota. Tidak
dipersoalkan pula apakah seluruh wilayah tersebut dihuni atau tidak.
3. Harus ada pemerintah.
Harus ada pemerintah maksudnya adalah yaitu seseorang atau beberapa orang yang
memiliki rakyat, dan memerintah menurut hukum negerinya. Dalam salah satu
tulisannya Lauterpacht menyatakan bahwa unsur ini, yaitu pemerintah merupakan
syarat utama untuk adanya suatu negara.
4. Kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara lain.
Oppenheim – Lauterpacht menggunakan kalimat lain untuk unsur keempat ini, yaitu
dengan menggunakan kalimat ”pemerintah harus berdaulat” (Sovereign). Yang
dimaksud dengan pemerintah berdaulat yaitu kekuasaan yang tertinggi yang merdeka
dari pengaruh suatu kekuasaan lain di muka bumi. Kedaulatan dalam arti sempit berarti
kemerdekaan sepenuhnya, baik kedalam maupun ke luar batas – batas negeri.

Setelah memenuhi unsur – unsur diatas barulah sebuah negara dapat dikatakan negara
menurut hukum internasional. Negara – negara yang dapat dikatakan sebuah negara juga
mempunyai bentuk – bentuk tersendiri, bentuk – bentuk negara yang dimaksud adalah (Adolf,
1993):
1. Negara Kesatuan.
Negara dengan bentuk ini yaitu suatu negara yang memiliki suatu pemerintah yang
bertanggungjawab mengatur seluruh wilayahnya, contoh Indonesia, Myanmar, dan lain
– lain.
2. Dependent States.
Dependent states adalah negara – negara yang bergantung kepada negara – negara lain
baik karena adanya pengawasan dari negara lainnya, adanya perjanjian, adanya
persetujuan untuk menyerahkan hubungan luar negeri kepada negara lain atau karena
adanya pendudukan akibat perang. Negara – negara seperti ini tidak selalu bergantung
dari segi keamanan pertahanan, politik, administratif, tapi juga dari segi ekonomi.
3. Negara Federal.
Salah satu bentuk negara yang cukup penting dewasa ini, karena menurut suatu
penelitian telah dikalkulasikan hampir setengah dari jumlah penduduk dunia ini hidup
dibawah pemerintahan yang berbentuk federal. Negara – negara seperti ini contohnya
adalah Amerika Serikat, Kanada, dan Australia. Bentuk dasar dari negara federal ini
yaitu bahwa wewenang terhadap urusan dalam negeri dibagi menurut konstitusi antara
pejabat – federal dan anggota – anggota federasi, sedangkan urusan luar negerinya
biasanya dipegang oleh pemerintah federal (pusat).
4. Negara – negara Anggota Persemakmuran.
Bentuk – bentuk negara yang tergolong dalam persemakmuran dilatarbelakangi oleh
adanya proses dekolonisasi pada negara – negara tersebut. Proses dekolonissasi dapat
terjadi karena dua kemungkinan. Pertama, negara tersebut merdeka penuh, berdaulat
dan ” terpisah ” dari negara yang mendudukinya. Kedua, negara tersebut terpaksa
tergantung kepada negara yang mendudukinya karena negara tersebut kecil atau
terbelakang (miskin), sehingga kemerdekaan bukanlah jalan yang terbaik.
5. Negara Netral.
Menurut Starke yang dimaksud dengan negara netral adalah suatu negara yang
kemerdekaan, politik, dan wilayahnya dengan kokoh dijamin oleh suatu perjanjian
bersama negara – negara besar (the Great Power) dan negara – negara ini tidak akan
pernah berperang melawan negara lain, kecuali untuk pertahanan diri, dan tidak akan
pernah mengadakan perjanjian aliansi yang akan menimbulkan peperangan.

Kesimpulan
Sebagai pribadi internasional yang membutuhkan hubungan dengan negara lain atau
subyek hukum internasional yang lain, negara baru tersebut membutuhkan pengakuan dari
negara lainnya agar dapat melakukan hubungan yang akan melahirkan hak – hak dan kewajiban
– kewajiban internasional yang harus dilaksanakan dalam tatanan pergaulan internasional.
Hendaknya dibedakan pula antara negara sebagai pribadi internasional dalam
melaksanakan hak–hak dan kewajiban – kewajiban internasionalnya pada hal yang lain. Suatu
negara baru dapat dikatakan memiliki pribadi internasional atau sebagai negara baru memang
tidak membutuhkan pengakuan dari negara – negara lain sesuai dengan pandangan teori
Deklaratif.
JURNALPEMBANDING

Peranan Pengakuan dalam Hukum Internasional: Teori Lahirnya Suatu Negara dan
Ruang Lingkup Pengakuan

Pendahuluan
Oppenheim berpendapat bahwa pengakuan adalah penjelasan kemahiran suatu negara
baru. Yang belum mendapatkan pengakuan bagi setiap negara-negara bisa memberi kesan
kepada negara-negara lain negara tersebut bahwa tidak dapat melaksanakan kewajiban
internasional. Dengan demikian, bahwa jelas didalam memberikan pengakuan negara-negara
ini semata-mata didasari pada dorongan politik, bukan dorongan hukum. Keberadaan aturan
hukum dalam masalah pengakuan ini.
Tetapi, dengan pengukuhan Negara atau pemerintah baru, akibatnya dapat berupa
konsekuensi yuridis tertentu dan konsekuensi politik antara negara yang dipercayai dan negara
yang mempercayai. Misalnya, konsekuensi politik, kedua negara dapat bebas membangun
kerjasama diplomatik, sedangkan konsekuensi yuridisnya, yaitu sebagai berikut. Pertama,
pengakuan adalah bukti dari situasi nyata. Kedua, pengakuan muncul dari konsekuensi undang-
undang khusus dalam menetapkan suatu kerjasama diplomatik antara negaranegara yang
mempercayai dan dipercayai. Ketiga, pengakuan menegaskan bahwa kedudukan hukum negara
yang dipercayai di hadapan pengadilan negara yang mengesahkan. Selain alasan politik, dalam
memberikan pengakuan pertama-tama negara ke negara lain harus memiliki keteguhan bahwa
negara baru telah menyanggupi syarat-syarat dalam pembentukan sebuah negara. Pemerintah
baru mengendalikan dan mampu memimpin wilayahnya menurut hukum Internasional.
Dalam memberikan pengakuan syarat-syaratnya yaitu sebagai berikut. Pertama, negara
harus dapat bertanggung jawab atas negara lain, kedua pemerintah dinegara baru harus
memperolehkekuasaannya melalui konstitusional.syarat-syaratnya yaitu sebagai berikut.
Pertama, negara harus dapat bertanggung jawab atas negara lain, kedua pemerintah dinegara
baru harus memperolehkekuasaannya melalui konstitusional. Metode dalam artikel jurnal ini
metode yang digunakan adalah metode literatur dimana menurut pendapat Koentjaraningrat,
teknik perpustakaan adalah cara untuk mengumpulkan berbagai jenis bahan yang terkandung
dalam ruang perpustakaan, semacam, buku, Koran, manuskip, dokumen, majalah dan
sebagainya yang dapat digunakan untuk penelitian (Koentjaraningrat, 1983: 420).
Fungsi dan Bentuk Pengakuan
Menurut sarjana hukum interernasional berbendapat bahwa “pengakuan”(Inggris:
recognition, Prancis: reconnaissance, Jerman: anerkennung) adalah wadah yang memegang
peranan penting dalam jalinan antarnegara. Pada abad ke-20 ini, tidak ada satu pun negara bisa
hidup tersaing dari negara lainnya dan perkembangan teknologi telah berpengaruh
menciptakan jalinan interpendensi yang erat antarnegra didunia ini. Namun, sebelum negara
baru menjalin kerjasama berbagai bidang dengan negara lain, baik sosial, ekonomi, politik,
sosial budaya, dan sebagainya, negara baru tersebut harus terlebih dahulu lewat pengakuan.
Sehingga, peranan pengakuan adalah menanggung negara baru dapat menempati tempat yang
benar sebagai organisme politik yang berdaulat dan merdeka di tengah-tengah keluarga
bangsa-bangsa, maka secara umum dapat menjadi kekhawatiran bahwa jabatannya sebagai
kesatuan politik akan diganggu oleh negara-negara yang sebelumnya ada.
Sampai saat ini hubungan internasional dalam praktiknya, pengakuan bukan hanya
diberikan kepada suatu negara, tetapi juga terhadap hal lainnya. Bentuk pemberian pengakuan
terdiri diantaranya Pengakuan terhadap negara baru, jelas, pengakuan ini diberikan kepada
suatu negara (berupa pengakuan baik de facto maupun de jure), Pengakuan terhadap
pemerintahan baru. Dalam hal ini dipisahkan antara pengakuan terhadap negara dan
pengakuan terhadap pemerintahannya (yang berkuasa). Ini terjadi jika wujud pemerintahan
yang lama dan yang baru sangat terlihat perbedaannya. Pengakuan terhadap pemberontak.
Pengakuan ini dipersembahkan kepada sekelompok perlawanan yang sedang melaksanakan
perlawanan kepada pemerintah.
Pengakuan terhadap beligerensi. Sifat pengakuan ini lebih kuat dari pada pengakuan
sebagai pemberontak. Pengakuan ini sama dengan pengakuan sebagai pemberontak, Pengakuan
ini diberikan apabila pemberontak sangat kuat. Akibat dari pemberian pengakuan ini, antara
lain beligeren dapat memasuki pelabuhan neagara yang menyetujui mengadakan pinjaman, dan
lain-lain. sehingga seakanakan ada dua pemerintahan yang sedang berlawanan. Pengakuan
sebagai bangsa. Komsekuensi hukum ini sama dengan konsekuensi hukum pengakuan
beligerensi.
Teori lahirnya Negara dan Berbagai Bentuknya
Asal-usul Terbentuknya Pemerintahan, Secara sederhana, timbulnya institusi sosial,
lahir tatanan prapemerintah (negara) Seterusnya berlanjut pada institusi formal berupa negara,
dan dari negara ini lahir aparatur negara yang bertugas mengatur negara atau dikenal dengan
nama pemerintah, yang menjadi pembentukan pengelolaan pemerintahan dan begitu
seterusnya. Proses inilah yang kemudian dikenal dengan istilah garis kontinum. Asal-mula
terbentuknya suatu unsur alamiah manusia sebagai makhluk social. Sementara itu, tentang
model proses pembentukan bangsa dan pemerintahannegara, umumnya terdapat dua model,
sebagaimana diuraikan oleh Ramlan Surbakti, yaitu Model ortodoks suatu pemerintahan politik
(konstutusi) dibentuk dan disahkan sama dengan pilihan pemerintah rezim politik itu, Hal itu
berawal dari adanya suatu bangsa terdahulu kemudian bangsa mendirikan negara sendiri. Dari
kedua model ini, terdapat hal pasti yaitu jika terjadi interaksi dari partisipasi politik, terjadi
pula hukum sosiologis berupa munculnnya stratifikasi sosial yang minimal berbentuk
dwi_polar, yang dalam kategori mosca. Pertama, pihak penguasa atau pemerintah yang
melaksanakan pemerintahan; dan kedua, pihak yang diperintah atau yang dijadikan sasaran
pemerintahan.
Ruang Lingkup dan Mekanisme Pemberian Pengakuan atas Negara
Kata negara dipandang dari segi pengertian menampakan variasi pandagam, baik secara
keabsahan maupun secara istilah. Secara Bahasa negara diartikan sebagai berikut sebuah
organisasi didalam suatu daerah tertentu yang memiliki kekuasaan tertiggi yang ditaati dan sah
oleh rakyat; Sekelompok makhluk yang menempati tempat tertentu sehingga diatur di bawah
lembaga pemerintahan yang efektif, berdaulat, memiliki kesatuan sehinngga berhak
menetapkan tujuan rasionalnya (Anonimous, 1990: 123).
“Negara adalah salah satu daerah territorial yang masyarakatnya diperintah (governed)
oleh beberapa pejabat pemerintahan dan bangsanya patuh pada aturan undang-undang lewat
penguasaan (control) monopoli dari kekuasaan yang sah (Miriam Budiarjo, 1992: 39-40).
secara bersembunyi atau tersirat, pemberian pengakuan ini didasarkan perbuatan pihak
yang berkaitan sehingga memiliki niat untuk memberi pengkuan. Tindakan yang tergolong
secara tersirat, yaitu Menyambut kunjungan kepala negara, Mengibarkan bendera yang
bersangkutan, Mengungkapkan pernyataan selamat, dan lain-lain Contoh nyata atau konkretnya
pengakuan tersirat, yaitu pada tahun 199 Presiden RI berkunjung ke Bosnia , pada tahun
Perdana Menteri Israel di Bnadara Soekarno-Hatta disambut presiden RI, atas pengangkatan
Megawati Sebagai Presiden RI, 23 Juli.
Akibat pengakuan bersyarat jika kewajiban tidak dijalankan maka tidak akan
menghapus pengakuan, adanya suatu kesyaratan yang harus dipeuhi negara itu, yaitu
pemberian pengakuan secara tersirat. Namun negara yang mengakui dapat membatalkan
kerjasama diplomatik sebagai sanksi. Sekalipun demikian, status pengakuan terhadap negara
tersebut tidak ambil kembali. Untuk melihat contoh konkret dari pengakuan bersyarat, yaitu
sebagai berikut: pada tahun 1917 AS mengakui kemerdekaan Bolivia, negara tersebut
mensyaratkan agar Bolivia tidak menasionalisasikan PMA AS di Bolivi, Kongres Berlin
memberikan pengakuan kepada montegro dan Serbia dengan ketentuan pemerintah Serbia
maupun Montenegro tidak memjalankan yang dilarang agama atau tidak boleh memkasakan
kekeliruan agama terhadap warganya.
Ada juga yang berpendapat mengenai pengakuan itu tidak boleh disertai pernyataan.
Contohnya, jika negara tersebut dengan sadar bersedia menghadiri maka wilayahnya sebagai
pangkalan militer kepada pihak yang akan memberikan pengakuan, maka suatu negara akan
memjanjikan suatu pengakuan kepada negara lain. Hal ini dipandang tidak layak karena
pengakuan yaitu suatu perbuatan yang bersifat sepih serta dengan ketentuan yang menanggung
pihak yang akan diberi pengakuan, persyaratan seperti ini tidak dianggap benar karna dirasa
sebagai pemaksaan kehendak secara sepihak.
Para ahli sarjana hukum internasional membuat suatu pengakuan hukum sebagai
bagian dari topik hukum internasional. Masalah lain adalah tidak adanya ukuran objektif untuk
pembagian pengakuan. Akan tetapi, karena pengakuan itu memberi dampak bagi persoalan-
persoalan hukum internasional, hukum nasional, ada kaitannya dengan substansi persoalan
tentang negara sebagai subjek hukum internasional. Pengakuan de facto hanya diberikan
berdasarkan fakta bahwa suatu peristiwa sudah ada atau terjadi, sambil mengamati
perkembangan selanjutnya, seseorang yang diakui de facto akan memperbaiki efektif
eksistensinya atau sebaliknya berhasil dikalahkan oleh pihak lawannya. Pengakuan De Jure (De
Jure Recognition) menurut pihak yang akan memberi pengakuan, pengakuan de jure diberikan
apabila adapun pihak yang akan diakui secara de jure telah memenuhi standar kualifikasi
sebagai berikut : Secara efektif menguasai, formal maupun semacam substansial, daerah dan
masyarakat yang berada di bawah kekuasaannya.
Pengakuan de jure dan pengakuan de facto, dalam praktiknya sering diberikan kepada
negara baru maupun pemerintah baru. Bagi pemberontak ataupun pengakuan atas hak-hak
teritorial sangat jarang dalam bentuk de facto atau tahap pengakuan de jure, yaitu berupa
pengakuan, tanpa diembel-embel dengan de facto dan de jure. Beberapa dampak pengakuan
dan penolakan pemberian pengakuan atas suatu negara baru: Sikap badan peradilan nasional
negara yang sudah memberikan pengakuan. Yaitu pada umumnya, sikap badan-badan peradilan
nasional akan mengikuti sikap badan eksekutif. Jika badan eksekutifnya telah memberikan
pengakuan kepada suatu negara baru yang berarti pula pengakuan dan
penerimaan/penghormatan atas tindakantindakannya sebagai negara yang berdaulat, maka
pihak badan peradilannya akan menghormatinya pula.
Pengakuan bagi pemerintah baru (recognition of a new government). Yaitu suatu
pernyataan dari suatu negara bahwa negara tersebut telah siap dan bersedia bergandengan
dengan pemerintah yang baru yang diakui sebagai organ yang berbuat untuk dan atas nama
negaranya. Perbedaan antara Pengakuan Negara dan Pengakuan Pemerintah, yaitu : Pengakuan
negara adalah pengakuan bagi suatu entitas baru yang telah memiliki semua unsur konstitutif
negara dan yang sudah menampilkan kemempuannya dalam menjalankan hak-hak dan
kewajiban sebagai anggota bangsa internasional. Dampak pengakuan bagi pemerintah negara
yang diakui dan untuk mengadakan kerja sama dengan pemerintah yang baru itu. Pengakuan
bagi pemerintahan dapat dicabut sewaktuwaktu namun negara sekali diberikan tidak dapat
dibatalkan kembali.
Akibat pengakuan terhadap pemerintah baru yaitu sebagai berikut : pemerintah bisa
membentuk kerjasama resmi bersama negara yang mengakui, Bagi pemerintah yang diakui.
dapat menuntut atas nama negara yang mengakui di dalam peradilan-peradilan, Untuk semua
perbuatan internasionalnya bagi pemerintah yang diakui. mencampuri perbuatan negara yang
diakui Pemerintah yang diakui mempunyai hak untuk mendapatkan kekayaan atau harta benda
pemerintah yang sebelumnya di batas wilayah negara yang mengakui.
KESIMPULAN
Secara sederhana, asal-mula terbentuknya tatanan alamiah manusia sebagai makhluk
social, seterusnya terbentuk institusi sosial, berbentuk tatanan prapemerintah (negara);
kemudian tumbuh menjadi institusi formal yaitu negara, selanjutnya negara ini timbul aparatur
yang bertugas mengelola negara yaitu pemerintah, Proses inilah yang kemudian dikenal dengan
istilah garis kontinum. Pada dasarnya penulis mencoba menguraikan sebagai pembahasan
pertama adalah teori wina yang memberikan pengaruh terhadap konsep negara di barat
ataupun eropa.
Teori wina di pelopori oleh Moritz schlick dan august comte yang bearakar dari filsafat
dan sains,kedua ilmu itu menjadi pedoman dari postivisme logis, yang selanjutnya disebut
sebagai mazhab wina. Dalam perjalannya banyak pihak yang menentang mazhab wina di
cambrigde misalnya, seperti yang dikemukakan oleh fichte dan hegel atau kant yang lebih
mengutamakan spirit dan pemikiran dari pada logika dan fisik, sehingga orang yakin bahwa
sains harus belajar dari filsafat dan potivisme logis ( Mazhab wina )juga bersebrangan dengan
idealisme model jerman, Lingkaran wina menggunakan relativitas einstein (yang pada masa itu
bertentangan dengan akal sehat)untuk melawan pendapat kant,meskipun demikian mazhab ini
meninggalkan aliran potivisme yang sampai sekarang masih kuat. Positivisme secara bahasa
berasal dari bahasa jerman, positive yang artinya yakin dan past. Istilah positivisme di gunakan
oleh Comte untuk mendesain sistem pemikiran dan kehidupan yang berhubungan dengan
realitas dan di dasarkan pada hasil yang pasti melalui metode ilmiah.
Atas pola pikir yang di pengaruhi aliran positivisme,konsep hukum termasuk negara
mempengaruhi barat secara umum pada abad ke-18 hingga abad ke-19 secara faktual paham
positivisme berbasis pada fakta yang empiris. Hukum sosial yang di anut suatu negara yang
bermashab komunis merupakan reaksi bagi penyimpangan dan kekurangan-kekurangan dari
sistem hukum barat yang berdasarkan liberalisme, kaptalisme, dan materialisme. Adapun
Hukum barat di landasi bersama prinsip-prinsip lalu konsep materialisme, sekularisme,
liberalisme, dan kapitalisme, adapun.
Saint-simon menjelaskan bahwa telah terjadi transformasi konsepsi mendasar dalam
beberapa hal sebagai pengaruh dari paham potivisme,yaitu:
(1) bersifat induvidual dan legal formalisme,
(2) dalam konstelasi hukum telah lahir kode napoleon dan
(3) teori hukum murni hans kelsen.
BAB 3
PENUTUP

A. KELEBIHAN DAN KEKURANGAN JURNAL


Kelebihan jurnal utama adalah menjelaskan secara rinci dan jelas tentang teori-teori
pengakuan yaitu teori lomstitutif, dan teori deklaratif. Serta bentuk-bentuk pengakuan yaitu
pengakuan secara kolektif, pengakuan secaraterang-terangan, pengakuan secara diam-diam,
pengakuan terpisah, pengakuan mutlak, serta pengakuan bersyarat. Sedangkan kekurangan
jurnal ini adalah tidak menjelaskan mengenai ruanglingkup dan mekanisme pemberian
pengakuan atas Negara serta perbedaan pengakuan Negara dan pemerintahan.
Kelebihan jurnal pembanding adalah menjelaskan mengenai ruang lingkup dan
mekanisme pemberian pengakuan atas Negara, menjelaskan mengenai pengakuan de facto dan
de jure dengan rinci. Sedangkan kekurangan jurnal ini adalah tidak menjelaskan dengan
lengakp tentang teori-teori pengakuan, dan syarat-syarat terbentuknya Negara.

B. KESIMPULAN
Sebagai pribadi internasional yang membutuhkan hubungan dengan negara lain atau
subyek hukum internasional yang lain, negara baru tersebut membutuhkan pengakuan dari
negara lainnya agar dapat melakukan hubungan yang akan melahirkan hak – hak dan kewajiban
– kewajiban internasional yang harus dilaksanakan dalam tatanan pergaulan internasional.
Hendaknya dibedakan pula antara negara sebagai pribadi internasional dalam
melaksanakan hak–hak dan kewajiban – kewajiban internasionalnya pada hal yang lain. Suatu
negara baru dapat dikatakan memiliki pribadi internasional atau sebagai negara baru memang
tidak membutuhkan pengakuan dari negara – negara lain sesuai dengan pandangan teori
Deklaratif.
DAFTAR PUSTAKA

JURNAL UTAMA
Boer Mauna, ”Hukum Internasional : Pengertian, Peranan, dan Fungsi Dalam Era Dinamika
Global”, PT Alumni, Bandung, 2003.
Huala Adolf, ”Aspek – aspek Negara Dalam Hukum Internasional”, Rajawali Pers, Jakarta, 1993.
Malcolm N. Shaw, ”International law”, Butterworths, London, 1986.
Mochtar Kusuma Atmadja, “Pengantar Hukum Internasional”, Binacipta, Bandung, 1989.
S.Tasrif, ”Pengakuan dalam Teori dan Praktik”, Media Raya, Jakarta, 1966.
Setyo Widagdo, ”Masalah–masalah Hukum Internasional Publik”, Bayumedia, Malang, 2008.
Soerjono Soekanto, ”Pengantar Penelitian Hukum”, UI Press, Jakarta, 2008.
United Nations, “The United Nations Today”, United Nations Departement of Public Information,
New York, 2008.

JURNAL PEMBANDING
Asshiddiqie, J. (2016). Pengantar Hukum Tata Negara, Rajawali Pers, Jakarta.
Bayu, S. (2015). Pengakuan Negara Baru Ditinjau Dari Perspektif Hukum Internasional (Studi
terhadap kemerdekaan Kosovo)." Fiat Justisia 6.1
Dedi, S. (2013). Hukum Internasional (dari konsepsi sampai aplikasi). Bandung: Pustaka Setia
Istanto. (1994). Hukum Internasional. Universitas Admajaya. Yogyakarta.
Kusumaadmadja. (1991). Pengantar Hukum Internasional. Cetakan keempat.
Buku I . Maggalatung, S. (2016). Desain Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945,
Gramata Publishing, Bekasi.
Manan, B. (2015). Politik PerundangUndangan, Bahan Kuliah Hukum Tata Negara,
Penyusunannya, Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga,
Surabaya.
Masyhur, E. A., & Andri. (2011). "Prinsip Pengakuan dalam Pembentukan Negara Baru Ditinjau
dari Hukum Internasional." Lex Jurnalica 8.3.
Mauna. (2000). Hukum Internasional, Pengertian, Peranan Dan Fungsi Dalam Era Dinamika
Global. Penerbit Alumni. Bandung.
Riza, K. A. "Hubungan Hukum Internasional dengan Hukum Nasional (Analisis Teori dan
Penerapan Teori di Indonesia)."
Wayan, P. I. (1989). Beberapa Masalah Dalam Hukum Nasional dan Hukum Internasional.

Anda mungkin juga menyukai